Analisis faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi ... filekebutuhan masyarakat untuk...
Transcript of Analisis faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi ... filekebutuhan masyarakat untuk...
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemenuhan modal atau dana merupakan kebutuhan yang sangat penting
bagi sebuah perusahaan. Perkembangan zaman yang diiringi dengan
perkembangan teknologi dan komunikasi, dewasa ini telah menciptakan iklim
persaingan yang ketat. Berbagai perusahaan selalu berusaha untuk
mempertahankan bisnisnya dalam kompetitif persaingan, salah satunya dengan
cara melakukan ekspansi guna memperluas usahanya agar sejalan dengan
perkembangan ekonomi yang terus maju. Kebutuhan penambahan modal akan
semakin besar seiring dengan perkembangan perusahaan. Hal ini akan mendorong
manajemen untuk memilih salah satu dari alternatif-alternatif pembiayaan, baik
yang berasal dari dalam yakni laba ditahan maupun yang berasal dari luar
perusahaan melalui pinjaman modal atau penambahan jumlah kepemilikan saham
dengan penerbitan saham baru. Penerbitan saham baru merupakan salah satu
upaya yang dapat ditempuh oleh perusahaan dengan cara menjual hak atas
kepemilikannya.
Perusahaan yang menghendaki pemegang sahamnya terbatas pada orang-
orang tertentu saja, maka perusahaan tersebut bisa mengeluarkan saham yang
jenisnya “saham atas nama”, sehingga saham tersebut tidak bisa diperjual-belikan
secara umum. Tetapi apabila pemilik perusahaan menghendaki pemegang
sahamnya masyarakat umum (siapa saja bisa memiliki sahamnya), perusahaan
tersebut bisa mengeluarkan saham yang jenisnya “saham atas unjuk”, sehingga
saham tersebut bisa diperjual-belikan secara bebas kepada masyarakat umum.
Perusahaan yang demikian ini biasanya disebut perusahaan terbuka (PT tbk). Jenis
perusahaan inilah yang biasanya menjual sahamnya di pasar modal (bursa efek).
hampir semua perusahaan yang besar, bentuk badan-usahanya adalah PT
(Perseroan Terbatas). Di dalam PT, seluruh pemiliknya mempunyai tanggung
jawab terbatas, dan modalnya terbagi atas saham-saham. Menurut Darmadji dan Fakhruddin (2006) pasar modal merupakan sarana
bagi perusahaan untuk memenuhi kebutuhan pendanaan dan memfasilitasi
kebutuhan masyarakat untuk berinvestasi pada beragam instrumen finansial
seperti saham, obligasi dan reksa dana. Pasar modal adalah sumber dana segar
jangka panjang. Keberadaan institusi ini bukan sekedar cuma sebagai wahana
sumber pembiayaan, tetapi juga sebagai sarana investasi yang melibatkan seluruh
potensi dana masyarakat, baik yang tersedia di kantong dalam negeri maupun
pundi-pundi yang tersedia di luar negeri. Yang memanfaatkan pasar modal
sebagai sarana investasi bukan Cuma pemodal lokal tetapi juga pemodal asing.
Dari sini secara gamblang bisa disimak bahwa pasar modal bisa memenuhi
kebutuhan dana, baik bagi swasta maupun pemerintah dan BUMN (Suta 2000).
Kebijakan pendanaan eksternal untuk melaksanakan ekspansi usaha
menurut Riyanto (2001) salah satunya bisa didapatkan melalui sarana sumber
dana pasar modal dengan cara melakukan emisi saham atau Initial Public Offering
(IPO). Banyak perusahaan memilih pasar modal sebagai tempat alternatif untuk
memperluas usaha atau melakukan ekspansi. Dana yang dibutuhkan untuk
2
melakukan ekspansi tidak sedikit. Oleh karena itu perusahaan menawarkan
sahamnya ke public.
Penawaran umum perdana perusahaan pada tahun 2010-2015 :
Tabel 1 Perusahaan yang melakukan Initial Public Offering Tahun 2010-2015
Tahun Jumlah Perusahaan IPO
2010 23
2011 25
2012 22
2013 29
2014 23
2015 15
Total 137 Sumber : www.idx.co.id
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat, bahwa tahun dari 2010 sampai 2011,
terjadi peningkatan jumlah perusahaan yang melakukan penawaran perdananya di
pasar modal Indonesia yaitu berjumlah 23 dan 25, sedangkan tahun 2012
mengalami penurunan namun tidak terlalu drastis hanya berjumlah 22 perusahaan
saja. Pada tahun 2013 perusahaan yang melakukan penawaran perdana semakin
meningkat yaitu ada 29 perusahaan. Sementara itu pada tahun 2014, perusahaan
yang menawarkan saham perdananya berjumlah 23. Pada tahun 2015 kembali
menurun dengan jumalh 15 perusahaan yang menawarkan saham perdananya.
Sehingga total perusahaan yang melakukan IPO adalah 137 perusahaan. Adanya
kondisi seperti ini menunjukkan bahwa setiap tahunnya ada perusahaan yang terus
berkembang karena dengan melakukan penawaran perdana perusahaan
memperoleh tambahan dana agar dapat melakukan perluasan (ekspansi) usahanya.
Kegiatan perusahaan menjual sebagian sahamnya kepada masyarakat luas
termasuk investor melalui pasar modal disebut dengan penawaran umum (go
public), perusahaan penerbit saham disebut emiten atau investee dan pembeli
saham disebut investor. Banyak perusahaan memilih pasar modal sebagai tempat
alternatif untuk memperluas usaha atau melakukan ekspansi. Dana yang
dibutuhkan untuk melakukan ekspansi tidak sedikit. Oleh karena itu perusahaan
menawarkan sahamnya ke publik atau go public. Transaksi penawaran umum
penjualan saham pertama kalinya terjadi di Pasar Perdana (Primary Market)
(Sutrisno 2001). Kegiatan yang dilakukan dalam rangka penawaran umum saham
perdana disebut Initial Public Offering (IPO), selanjutnya saham dapat
diperjualbelikan di Bursa Efek, yang disebut pasar sekunder (Secondary Market).
IPO sepertinya menjadi salah satu pilihan utama paling tepat bagi
perusahaan privat untuk mendapatkan tambahan dana, terutama untuk ekspansi
usaha. Penerbitan saham di pasar modal telah menjadi salah satu alternatif serta
pertimbangan yang menarik bagi perusahaan guna memperoleh dana tambahan
untuk kegiatan ekspansi atau operasi perusahaan bukan hanya bagi perusahaan,
bagi investor pasar modal juga menjadi salah satu alternatif untuk menanamkan
modalnya (berinvestasi) dengan membeli sejumlah efek dengan harapan akan
memperoleh keuntungan yang disebut dengan initial return dari hasil kegiatan
tersebut.Pasar modal menjadikan semakin banyak perusahaan yang akan go
public. Jika semakin banyak perusahaan yang go public, berarti semakin tinggi
kualitas yang dihasilkan perusahaan (Bodie et al. 2006).
3
Harga saham yang akan dijual perusahaan pada pasar perdana ditentukan
oleh kesepakatan antara emiten (perusahaan penerbit) dengan underwriter
(penjamin emisi), sedangkan harga saham yang dijual pada pasar sekunder
ditentukan oleh mekanisme pasar, yaitu permintaan dan penawaran (Kristiantari
2012).
Selama beberapa waktu terakhir, pasar modal di Indonesia mengalami
peningkatan sehingga semakin banyak saham-saham perusahaan yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia (BEI). Hal ini mengakibatkan meningkatkan jumlah saham
di pasar modal sehingga investor dapat memilih saham yang akan dibelinya,
keadaan ini tentu memerlukan strategi tertentu untuk membeli saham yang
sekiranya akan menguntungkan dan saham-saham yang dijual pada pasar perdana
dapat menjadi pilihan untuk berinvestasi.
Menurut Handayani (2008) transaksi penawaran umum perdana atau IPO
dilakukan oleh emiten (perusahaan go public) untuk pertama kalinya dilaksanakan
di pasar perdana (primary market) dengan tujuan agar perusahaan mendapatkan
dana sebesar saham yang ditawarkan, kemudian diperjualbelikan di pasar
sekunder (secondary market) yang bertujuan untuk menyelenggarakan
perdagangan saham yang sudah ada di tangan investor, sehingga investor yang
ingin menjual atau membeli sejumlah saham terlaksana.
Di dalam kegiatan penawaran umum perdana (IPO) terdapat suatu
fenomena menarik yang disebut dengan underpricing dimana harga saham yang
ditawarkan pada pasar perdana lebih rendah dibandingkan dengan harga saham
ketika diperdagangkan di pasar sekunder.
Harga saham yang dijual di pasar perdana ditentukan berdasarkan
kesepakatan antara perusahaan emiten dan penjamin emisi (underwriter),
sedangkan harga di pasar sekunder ditentukan oleh mekanisme pasar (permintaan
dan penawaran). Apabila penentuan harga saham saat IPO secara signifikan lebih
rendah dibandingkan dengan harga yang terjadi di pasar sekunder di hari pertama,
maka terjadi underpricing. Sebaliknya apabila penentuan harga saham saat IPO
secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang terjadi di pasar
sekunder di hari pertama, maka terjadi overpricing (Hanafi 2004).
Underpricing dan overpricing merupakan dua hal atau perilaku saham
yang selalu terjadi pada penawaran perdana. Namun sejalan dari penelitian
terdahulu dan banyak dari literatur yang menyatakan bahwa rata-rata harga saham
pada saat masuk pasar sekunder di hari pertama selalu cenderung
terjadi underpricing, maka dalam penelitian ini hanya memfokuskan pada
fenomena underpricing saja. Over reaction pelaku pasar menciptakan harga yang
kemahalan (over priced) dan kemurahan (underpriced). Ini memberi kesempatan
bagi investor untuk membeli di harga kemurahan dan menjual di harga
kemahalan.
Fenomena underpricing yang terjadi di berbagai pasar modal disebabkan
oleh adanya informasi asimetri. Informasi asimetri ini dapat terjadi antara emiten
dan penjamin emisi, maupun antar investor. Untuk mengurangi adanya informasi
asimetri maka perusahaan yang akan go public menerbitkan prospektus yang
berisi berbagai informasi perusahaan yang bersangkutan (Indah 2006). Teori
keagenan pada penelitian ini lebih difokuskan pada masalah-masalah yang
ditimbulkan oleh informasi yang tidak lengkap, yaitu ketika tidak semua keadaan
4
diketahui oleh kedua belah pihak (asimetri informasi). Akibatnya konsekuensi-
konsekuensi tertentu tidak ikut dipertimbangkan oleh pihak-pihak tersebut.
Berbagai macam teori yang dikemukakan dan diteliti oleh para ahli untuk
menjelaskan penyebab terjadinya fenomena underpricing. Guinness (1992)
menjelaskan terjadinya underpricing karena adanya information asymmetry antara
perusahaan emiten dengan penjamin emisi dan antara investor yang memiliki
informasi tentang prospek perusahaan emiten dengan investor yang tidak memiliki
informasi prospek perusahaan emiten. Informasi yang disajikan dalam prospektus
memberikan gambaran perusahaan emiten yang berguna bagi investor untuk
membuat keputusan.
Asimetri informasi adalah istilah untuk menggambarkan adanya dua
kondisi investor dalam perdagangan saham yaitu investor yang lebih banyak
mengetahui informasi dan investor yang sedikit mengetahui informasi. Teori ini
terjadi pada manajer dan investor yang sebagai pemakai laporan keuangan yang
dapat menyebabkan investor kesulitan mengamati kinerja dan prospek perusahaan
secara meyeluruh. Asimetri informasi sering terjadi ketika manajer lebih
mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan dimasa depan
dibandingkan pemegang saham/ stakeholders. Dengan demikian konsekuensi
tertentu hanya akan diketahui pihak lain yang juga memerlukan informasi tersebut
(Sylvia dan Yanivi 2003).
Semakin besar informasi asimetri yang dihadapi oleh para calon investor
semakin besar pula mereka akan mem-penalty penawaran harga di pasar perdana
yang akan memaksa penjamin emisi menawarkan saham tersebut dengan
underpriced. Disamping itu apabila penjamin emisi memberikan jaminan full
commitment, maka jaminan tersebut juga akan memperkuat kecenderungan untuk
melakukan underpricing. Laporan keuangan merupakan salah satu sumber
informasi yang digunakan oleh investor potensial dan underwriter untuk menilai
perusahaan yang akan go public. Agar laporan keuangan dapat lebih dipercaya,
maka laporan keuangan harus diaudit. Laporan keuangan yang telah diaudit akan
memberikan tingkat kepercayaan yang lebih besar kepada pemakainya.
Tingkat pengembalian saham pada hari pertama dikenal dengan tingkat
pengembalian awal (initial return). Namun karena kondisi underpricing yang
terjadi pada pasar modal di Indonesia, seperti terlihat pada Tabel 2, sudah tentu
dapat merugikan perusahaan yang go public, karena dana yang diperoleh dari
publik tidak maksimal akibatnya investor dapat merugi karena tidak menerima
initial return.
Return awal (initial return) adalah return yang diperoleh dari aktiva di
penawaran perdana mulai dari saat dibeli di pasar primer sampai pertama kali
didaftarkan di pasar sekunder. Pembelian aktiva, misalnya saham, di pasar primer
belum dapat dijual sampai aktiva tersebut terdaftar di pasar sekunder. Setelah
masuk di pasar sekunder, saham tersebut mulai diperdagangkan dalam bentuk jual
dan beli, (Jogiyanto 2010).
Fenomena underpricing terjadi di pasar modal berbagai negara
diantaranya Amerika Serikat, Inggris, Australia, Afrika Selatan, China, Malaysia
dan Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari Bursa Efek Indonesia (BEI),
fenomena underpricing yang terjadi di Indonesia dapat diketahui dari 137 IPO
dari tahun 2010 sampai dengan 2015, seperti yang ada pada Tabel 1, sebanyak
115 IPO atau sebesar 84% memberikan return awal (initial return) yang positif.
5
Perusahaan di Indonesia yang mengalami underpricing pada periode tahun
2010-2015 :
Tabel 2 Perusahaan yang Underpricing Tahun 2010-2015
Tahun Overpricing Initial
Return 0% Relisting Underpricing
2010 1 0 0 22
2011 6 1 0 18
2012 1 1 2 18
2013 3 3 0 23
2014 3 0 0 20
2015 1 0 0 14
Total 15 5 2 115 Sumber : www.idx.co.id
Underpricing terjadi pada 115 perusahaan, bukan perusahaan relisting dan
dengan nilai IR tidak 0% pada tahun 2010-2015 dimana harga IPO yang
ditawarkan pada hari 1 di pasar perdana lebih rendah dari harga penutupan
(closing price) saham pada saat hari 1 diperdagangkan di pasar sekunder. Dari
data tersebut dapat dilihat bahwa kecenderungan perusahaan mengalami
underpricing dihari pertama perdagangan saham sangatlah besar. Maka asumsi
bahwa perusahaan akan mengalami underpricing semakin menguat.
Menurut Gumanti (2002), penetapan harga saham perdana suatu perusahaan
adalah hal yang tidak mudah. Salah satu penyebab sulitnya menetapkan harga
penawaran perdana adalah karena tidak adanya informasi harga yang relevan. Hal
ini terjadi karena sebelum pelaksanaan penawaran perdana, saham perusahaan
belum pernah diperdagangkan sehingga kesulitan untuk menilai dan menentukan
harga yang wajar. Di samping itu, keterbatasan informasi mengenai apa dan siapa
perusahaan yang akan go public membuat underwriter maupun calon investor
harus melakukan analisa yang baik sebelum memutuskan untuk membeli
(memesan) saham. Pasalnya, karakter berinvestasi saham adalah investasi jangka
pendek dan berorientasi margin, berbeda dengan investasi langsung di
infrastruktur yang bersifat jangka panjang. Ketika capital gain di depan, investor
dengan sigap akan segera melepas sahamnya. Underpricing menjadi salah satu
penyebab tax ratio Indonesia hanya 11%-12%. Selain itu, akibat dari underpricing
tersebut devisa menjadi terbatas.
Penentuan harga saham yang akan ditawarkan pada saat IPO merupakan
faktor penting, baik bagi emiten maupun underwriter karena berkaitan dengan
jumlah dana yang akan diperoleh emiten dan risiko yang akan ditanggung oleh
underwriter. Hal ini mengakibatkan emiten seringkali menentukan harga saham
yang dijual pada pasar perdana dengan membuka penawaran harga yang tinggi,
karena menginginkan pemasukan dana semaksimal mungkin. Jumlah dana yang
diterima emiten adalah perkalian antara jumlah saham yang ditawarkan dengan
harga per saham, sehingga semakin tinggi harga per saham maka dana yang
diterima akan semakin besar. Upaya yang dilakukan underwriter untuk mencegah
tidak terjualnya saham-saham emiten adalah dengan melakukan negosiasi dengan
emiten agar harga saham tersebut tidak terlalu tinggi.
6
Pengujian underpricing pada saat IPO dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1 Pengujian underpricing pada saat IPO
Brigham dan Houston (2001) dalam penelitiannya menyatakan teori sinyal
adalah suatu tindakan yang dilakukan manajemen dengan memberi arahan bagi
investor tentang cara manajemen melihat masa depan perusahaan. Di dalam teori
sinyal, didalamnya menjelaskan secara tersirat mengenai manajemen laba.
Adapun hal tersebut dijelaskan bahwa jika kinerja perusahaan memburuk, manajer
akan memberikan sinyal dengan menurunkan laba akuntansi, sebaliknya jika
kinerja perusahaan membaik, maka manajer akan memberikan sinyal dengan
menaikkan laba akuntansi.
Investor yang membeli saham pada IPO selalu menginginkan harga
sahamnya mengalami peningkatan di pasar sekunder terutama pada hari pertama
agar investor memperoleh pengembalian saham. Investor seringkali berasumsi
bahwa harga pada saat IPO cenderung underpricing sehingga membeli pada saat
IPO adalah investasi yang menguntungkan.
Banyak hal mempengaruhi kesuksesan seorang investor di pasar saham,
tetapi seringkali, kegagalan dipicu oleh kesalahan sang investor sendiri.
Sebagaimana Benjamin Graham, ekonom sekaligus investor profesional terkenal
asal Amerika Serikat, pernah berkata, "Seringkali, saham biasa menjadi subjek
fluktuasi harga yang tidak rasional dan berlebihan (baik naik ataupun turun) sebagai konsekuensi dari tendensi orang untuk berspekulasi atau berjudi yang
sudah berurat berakar memberi jalan bagi harapan, ketakutan, dan kerakusan."
Penentuan harga saham saat IPO dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu
perusahaan/emiten/issuer, dan penjual/penjamin/makelar (underwriter). Dalam
hal ini emiten memiliki berupaya agar mendapatkan dana yang optimal;
sedangkan underwriter berusaha untuk mendapatkan fee.
Bagi sebuah perusahaan, penawaran saham perdana sejatinya merupakan
sebuah bentuk corporate action yang lumrah dan wajar. Melalui IPO, perusahaan
bisa meningkatkan ketersediaan modalnya untuk kepentingan ekspansi usaha dan
peningkatan kapasitas produksi. Selain itu,melalui IPO juga diharapkan terjadi
perbaikan kinerja manajemen karena terciptanya mekanisme kontrol yang lebih
baik dari publik selaku pemilik dan pemegang saham (shareholders). Namun,
7
tujuan utama IPO seringkali tidak maksimal, seperti contoh yang dilaksanakan
pada badan usaha milik negara (BUMN).
Proses IPO pada BUMN kerapkali lebih mengedepankan bahasa politik
ketimbang bahasa korporasi. Karena itu, proses IPO BUMN tak jarang hanya
menciptakan gaung besar dalam wacana publik yang sesungguhnya tidak
memberikan nilai tambah bagi perusahaan yang melaksanakan IPO itu sendiri
sebagaimana terjadi pada PT Krakatau Steel (KS). Setelah melalui berbagai proses
IPO, KS akhirnya resmi melantai di bursa dan tercatat sebagai emiten ke-413
dengan ticker KRAS pada 10 November 2010. Sayang, proses IPO KS hingga
kini masih meninggalkan polemik.Salah satu yang dipersoalkan adalah penetapan
harga saham perdana KS sebesar Rp.850 yang dianggap terlalu murah dan
ditengarai berbau kepentingan politis. Terlebih,setelah harga saham KS melonjak
tajam di awal perdagangannya dan menciptakan gain besar bagi investor asing.
Terjadinya kondisi ini pada umunya disebabkan oleh berbagai faktor baik
melalui rasio keuangan ataupun non-keuangan. Fenomena underpricing tidak
menguntungkan bagi perusahaan yang melakukan go public, karena dana yang
diperoleh perusahaan atau emiten tidak maksimal, tetapi dilain pihak
menguntungkan para investor.
Underpricing bagaimanapun juga merupakan biaya tidak langsung dalam
suatu IPO. Underpricing merupakan fenomena yang tidak hanya terjadi di pasar
modal Indonesia, melainkan di seluruh dunia (Amelia 2007). Derajat underpricing
bervariasi di berbagai pasar modal dunia, mulai yang terendah sebesar 4,3 persen
di Perancis (Husson dan Jacquillat 1989) sampai yang tertinggi di China sebesar
388,0 persen (Datar dan Mao 1998). Secara rata-rata, tingkat underpricing IPO di
negara-negara sedang berkembang (emerging markets) lebih tinggi daripada di
negara-negara maju (developed markets).
Penelitian mengenai underpricing diawali oleh Ibbotson (1975) di pasar
modal Amerika Serikat yang lalu diikuti oleh para peneliti di berbagai belahan
dunia termasuk Indonesia (Manurung, 2012). Dari beberapa penelitian pada setiap
pasar efek di seluruh dunia seperti Amerika Serikat (Ritter 1991), Hongkong (Mc
Guiness 1992), Korea (Kim et al. 1993), Australia (How 1995) serta Kuala
Lumpur (Ranko et al. 1992) menunjukkan bahwa fenomena underpricing terjadi
hampir di seluruh Bursa efek. Penelitian dari Suad Husnan (1996) menunjukkan
bahwa penawaran saham perdana pada perusahaan-perusahaan privat maupun
BUMN di Indonesia umumnya mengalami underpricing.
Prospektus perusahaan, yang merupakan salah satu sumber informasi yang
relevan dan dapat digunakan untuk menilai perusahaan yang akan go public,
dimaksudkan untuk mengurangi adanya kesenjangan informasi. Dalam prospektus
terdapat banyak informasi yang berhubungan dengan keadaan perusahaan yang
melakukan penawaran umum, baik informasi akuntansi maupun non akuntansi.
Dalam proses IPO, salah satu tahapan yang paling sulit adalah penetapan
harga saham perdana (offering price) yang sesuai harga pasarnya. Di banyak
negara, penetapan harga saham perdana seringkali di bawah harga pasarnya alias
underpricing. Ini terbukti dari kenaikan harganya secara tajam setelah melantai di
bursa. Hasil riset Jay Ritter, seorang Profesor Finance di Universitas Florida,
menunjukkan dari 7.921 kasus IPO di AS dalam kurun waktu 1975 hingga 2007
ditemukan rata-rata harga sahamnya naik 17,2 persen di hari pertama masuk
bursa.
8
Penelitian-penelitian terhadap initial return dihubungkan dengan informasi
pada prospektus merupakan hal yang menarik bagi peneliti keuangan untuk
mengevaluasi secara empiris perilaku investor dalam pembuatan keutusan
investasi di pasar modal. Dari berbagai penelitian yang sudah ada, terlihat masih
terjadi inkonsistensi hasil penelitian (research gap) baik yang dilakukan di
Indonesia maupun di luar negeri. (Yulianti 2011).
Informasi yang tersedia di prospektus memuat informasi keuangan dan
informasi non-keuangan. Informasi keuangan terdiri dari profitabilitas (return on
asset) dan financial leverage sedangkan informasi non keuangan terdiri dari
persentase saham yang ditawarkan, umur perusahaan, reputasi auditor, dan
reputasi penjamin emisi (Pamungkas 2011). Tidak hanya faktor keuangan dan non
keuangan yang mempengaruhi underpricing, tetapi juga faktor makro yang
digunakan dalam penelitian ini. Faktor makro merupakan faktor yang berada di
luar perusahaan, tetapi mempunyai pengaruh terhadap kenaikan atau penurunan
kinerja perusahan baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti tingkat
bunga domestik, tingkat inflasi, peraturan perpajakan, kurs valuta asing dan lain-
lain (Samsul 2006). Berbagai indikator ekonomi seperti laju PDB, inflasi, suku
bunga, nilai tukar rupiah, neraca pembayaran, hingga cadangan devisa relatif
stabil dan cenderung terus menguat. Selain itu, peringkat investasi Indonesia
dalam beberapa tahun terakhir juga terus mengalami upgrading menuju
investment grade. Hal ini telah meningkatkan kepercayaan investor asing
sebagaimana tercermin dari derasnya net foreign buying di pasar saham dalam
beberapa waktu terakhir.
Oleh karena itu, seorang investor saham harus review portofolio secara
reguler. Jika outlook sebuah perusahaan semakin baik, atau setidaknya stabil,
maka investor bisa mempertimbangkan untuk membeli saham perusahaan itu lagi
atau tetap mempertahankannya. Lalu ketika asumsi potensi yang dijadikan dasar
untuk memiliki saham itu sudah tidak lagi berlaku, maka investor bisa
menjualnya. Pasar selalu bereaksi berlebihan terhadap berita, baik itu naik
ataupun jatuh. Idealnya, harga saham harus proporsional dengan total kapital dan
prospek pendapatan sebuah perusahaan. Meski begitu, kepanikan pasar
melahirkan harga saham yang overpriced atau underpriced. Dalam kondisi pasar
bullish, investor sering berinvestasi dalam saham-saham yang overpriced hanya
karena semua orang lain juga melakukan aksi beli. Mereka menjadi kelewat
optimistis dan mengharapkan harga terus menanjak. Sebaliknya, di pasar bearish,
investor berubah pesimistis dan berusaha menjual saham justru di saat-saat
mereka seharusnya berusaha membeli.
Hal yang membedakan penelitian ini dengan peneliti sebelumnya adalah
selain periode penelitian serta variabel-variabel yang berpengaruh terhadap initial
return, dalam penelitian ini tidak hanya variabel keuangan dan non keuangan
tetapi juga menambahkan variabel makro yang digunakan dalam penelitian.
Dalam penelitian ini menggunakan variabel return on asset (ROA), debt to equity
ratio (DER), umur perusahaan dan ukuran perusahaan yang merupakan faktor
internal, jenis industri sebagai faktor pembeda untuk setiap sampel yang akan
diteliti, dan reputasi underwriter dan variabel makro yang digunakan dalam
penelitian adalah kurs dan inflasi sebagai faktor eksternal, kedelapan variabel
independen yang diduga mempengaruhi underpricing sebagai variabel dependen
saat penawaran umum saham perdana (IPO).
9
Perumusan Masalah
Berbagai penelitian terdahulu telah dilakukan untuk menganalisis faktor-
faktor yang mempengaruhi underpricing saat pewaran umum saham perdana
(IPO), namun terdapat perbedaan terhadap hasil penelitian, sehingga
menimbulkan permasalahan yang dapat dirumuskan oleh peneliti yaitu sebagai
berikut :
1. Bagaimana kondisi dari masing-masing faktor internal dan eksternal terhadap
underpricing saat IPO di Bursa Efek Indonesia periode 2010 – 2015 ?
2. Apakah terdapat pengaruh pada faktor internal terhadap underpricing saat IPO
di Bursa Efek Indonesia periode 2010 – 2015 ?
3. Apakah terdapat pengaruh pada faktor eksternal terhadap underpricing saat
IPO di Bursa Efek Indonesia periode 2010 – 2015 ?
Tujuan Penelitian
Setelah merumuskan beberapa masalah penulis memiliki beberapa tujuan
dalam penelitian yaitu :
1. Untuk mengetahui kondisi dari masing-masing faktor internal dan eksternal
terhadap underpricing saat IPO di Bursa Efek Indonesia periode 2010 – 2015
2. Untuk menganalisis pengaruh faktor internal terhadap underpricing IPO di
Bursa Efek Indonesia periode 2010 – 2015.
3. Untuk menganalisis pengaruh faktor eksternal terhadap underpricing saat IPO
di Bursa Efek Indonesia periode 2010 – 2015.
Manfaat Penelitian
1. Secara Praktis
Penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam membuat
keputusan untuk menginvestasikan dana di pasar modal dan agar diperoleh
return secara optimal. Dapat memberi informasi kepada emiten dalam
menentukan harga pada saat penawaran saham perdana (IPO) yang tepat
sehingga mendapatkan modal yang maksimal.
2. Secara Teoritis
Penelitian ini dapat dikembangkan kembali sebagai referensi penelitian
selanjutnya dan dapat menambah pengetahuan mengenai informasi keuangan
dan informasi non keuangan serta veriabel makro terhadap underpricing.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menggunakan variabel keuangan serta variabel non
keuangan dan variabel makro yang merupakah faktor internal dan eksternal
sebagai variabel independen yang diduga mempengaruhi underpricing sebagai
variabel dependen saat penawaran umum saham perdana (IPO) di Bursa Efek
Indonesia periode 2010 – 2015.