Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan ... · Hal ini didukung oleh kondisi alam,...
Transcript of Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan ... · Hal ini didukung oleh kondisi alam,...
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN EKSPOR BERAS INDONESIA
MARISSA AMBARINANTI A14303029
SKRIPSI
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
ii
RINGKASAN
MARISSA AMBARINANTI. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Ekspor Beras Indonesia. Dibawah bimbingan MANGARA TAMBUNAN. Beras merupakan salah satu komoditi pangan yang mempunyai arti penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan keberadaannya sebagai makanan pokok bagi hampir seluruh bangsa Indonesia. Hampir 97 % penduduk Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi untuk mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok utama. Selain merupakan negara pengkonsumsi beras, Indonesia juga merupakan negara produsen beras terbesar ke tiga di dunia. Hal ini didukung oleh kondisi alam, iklim, dan topografi yang mendukung dilakukannya usahatani padi di Indonesia. Indonesia pernah mencapai swasembada pangan pada tahun 1984 dan berhasil menjadi net eksportir beras, tetapi setelah periode swasembada tersebut produksi beras Indonesia berfluktuasi dengan laju pertumbuhan yang cenderung menurun sedangkan laju pertumbuhan konsumsi terus meningkat, sehingga Indonesia lebih sering tergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan beras domestiknya.
Selain melakukan impor beras, Indonesia juga melakukan ekspor beras. Fluktuasi pada produksi dan predikat Indonesia sebagai negara pengimpor beras mengakibatkan ekspor beras Indonesia cenderung menurun dan bahkan terhapus. Namun demikian pada tahun 2004 hingga 2005, ekspor beras meningkat cukup signifikan yaitu dari 4.495 ton pada tahun 2004 menjadi 44.285 ton pada tahun 2005. Hal ini memberikan harapan dan peluang bagi Indonesia untuk mempertahankan dan mengembangkan ekspor beras yang ada mengingat pada dasarnya Indonesia merupakan salah satu negara produsen beras terbesar. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi produksi beras Indonesia, (2) menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi ekspor beras Indonesia.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data time series selama peride waktu 30 tahun (1976-2005). Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Departemen Pertanian, BULOG, dan Departemen Perdagangan. Model analisis data yang digunakan adalah model regresi berganda dengan persamaan tunggal. Persamaan ini diduga dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dengan menggunakan program Minitab 14. Berdasarkan hasil estimasi model secara keseluruhan, pendugaan dan pengujian model ekonomi dengan kriteria statistik yang ada menunjukkan hasil yang sangat baik, dimana parameter-parameter dalam setiap persamaan memberikan tanda yang sesuai dengan harapan dan cukup logis dari sudut pandang ekonomi. Nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh untuk model produksi adalah sebesar 98,6 persen dan nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh untuk model ekspor adalah sebesar 71,0 persen. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman masing-masing variabel endogen dapat dijelaskan dengan baik oleh variabel-variabel eksogen yang terdapat dalam model. Masalah autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinier tidak terdapat dalam kedua model yang dianalisis.
iii
Hasil analisis regresi pada model produksi menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi beras Indonesia terdiri dari luas areal panen padi Indonesia, harga dasar gabah, pupuk urea, dan curah hujan. Dari hasil perhitungan didapatkan bahwa semua variabel yang digunakan berpengaruh nyata secara bersama-sama dalam peningkatan dan penurunan volume produksi beras Indonesia. Hasil analisis regresi menyatakan bahwa dari keempat variabel eksogen terdapat tiga variabel eksogen yang berpengaruh nyata terhadap produksi beras Indonesia, yaitu luas areal panen padi Indonesia (pada taraf 0,01), harga dasar gabah (0,01), dan pupuk urea (pada taraf 0,01). Sedangkan variabel eksogen yang tidak berpengaruh nyata adalah variabel curah hujan dengan nilai P value 0,815.
Hasil analisis regresi pada model ekspor menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi volume ekspor beras Indonesia terdiri dari produksi beras Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dollar, harga beras eceran, dan konsumsi beras per kapita. Dari hasil perhitungan didapatkan bahwa semua variabel yang digunakan berpengaruh nyata secara bersama-sama dalam peningkatan dan penurunan volume ekspor beras Indonesia. Hasil analisis regresi menyatakan bahwa dari keempat variabel eksogen terdapat dua variabel eksogen yang berpengaruh nyata terhadap volume ekspor beras Indonesia, yaitu produksi beras Indonesia (pada taraf 0,2) dan konsumsi beras per kapita (pada taraf 0,01). Sedangkan variabel eksogen yang tidak berpengaruh nyata adalah nilai tukar rupiah terhadap dollar dengan nilai P value 0,539 dan harga beras eceran dengan nilai P value 0,883.
Adapun saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Menciptakan kebijakan yang mendukung pertanian di indonesia, misalnya dengan memberikan subsidi pupuk bagi para petani dengan cara yang bijak dan tepat sehingga tersedia dalam jumlah dan harga yang memadai, mengingat pupuk urea merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi produksi beras Indonesia. Selain itu menetapkan kebijakan harga dasar gabah yang melindungi petani, sehingga hal tersebut memberikan insentif bagi petani untuk meningkatan produksi padi, (2) Perlu diupayakan peningkatan luas areal tanam padi untuk meningkatkan produksi padi Indonesia, sehingga produksi beras pun akan meningkat. Selain itu perlu diupayakan adanya diversifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan pada beras, (3) Membina, menjaga, dan mengembangkan pasar ekspor beras yang sudah ada. Mengorientasikan produksi beras bukan hanya untuk konsumsi tetapi juga untuk mulai mengembangkan ekspor beras, dan (4) Saran bagi penelitian selanjutnya adalah mencoba melakukan penelitian ini dengan metode two stage least square (2SLS) dengan menggunakan model persamaan simultan. Dapat juga mencoba dengan membagi rentang waktu penelitian antara waktu sebelum terjadinya krisis ekonomi dengan waktu setelah terjadi krisis ekonomi.
iv
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN EKSPOR BERAS INDONESIA
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: Marissa Ambarinanti
A14303029
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
v
Judul : ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN EKSPOR BERAS INDONESIA
Nama : Marissa Ambarinanti NRP : A14303029
Menyetujui,
Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc NIP. 130 345 010
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr NIP. 131 124 013
Tanggal Lulus :
vi
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-
BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI TULISAN ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU
LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Mei 2007
Marissa Ambarinanti A14303029
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Juni 1985. Penulis
merupakan anak ke lima dari enam bersaudara pasangan Bapak Indarjo dan Ibu
Juminten.
Penulis mengawali pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK) Katholik Eka
Prasetia Reni Jaya pada tahun 1990 dan memasuki jenjang Sekolah Dasar (SD)
pada tahun 1991 di SD Eka Prasetia, Reni Jaya. Kemudian pada tahun 1995
penulis melanjutkan pendidikan kelas 5 SD di SD Negeri Pondok Petir 03,
Sawangan. Pada tahun 1997, penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1
Ciputat. Pendidikan sekolah menengah atas ditempuh penulis di SMU Negeri 1
Ciputat pada tahun 2000-2003. Pada tahun 2003, penulis diterima sebagai
mahasiswa Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Departemen
Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Selama menjadi
mahasiswa di IPB, penulis aktif dalam organisasi Persekutuan Mahasiswa Kristen
dalam Komisi Kesenian.
viii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang
Maha Esa atas segala berkat dan kasihNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul Analisis Faktor- faktor yang Mempengaruhi Produksi dan
Ekspor Beras Indonesia. Skripsi ini disusun sebagai bagian dari persyaratan untuk
memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor- faktor apa saja
yang mempengaruhi produksi dan ekspor beras Indonesia. Selain itu, penelitian
ini juga membahas perkembangan kondisi perberasan baik di Indonesia maupun
dunia.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam proses penyusunan skripsi mulai dari awal hingga akhir. Penulis
berharap semoga hasil yang telah disajikan dalam skripsi ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak, khususnya bagi penulis sendiri dan bagi yang berminat untuk
melakukan penelitian lebih lanjut.
Bogor, Mei 2007
Penulis
ix
UCAPAN TERIMA KASIH
Selama menulis skripsi ini, penulis banyak mendapatkan pimpinan,
bimbingan, bantuan, arahan, dan dukungan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. TUHAN ALLAH sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi bagi penulis.
2. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc sebagai dosen pembimbing skripsi
yang dengan penuh kesabaran membimbing, mendukung, dan memberikan
kritik serta saran kepada penulis dalam menulis skripsi ini.
3. Dr. Ir. Harianto, MS sebagai dosen penguji utama yang telah memberikan
kritik serta saran kepada penulis bagi kesempurnaan skripsi ini.
4. Ir. Murdianto, MSi sebagai dosen penguji wakil departemen yang telah
memberikan kritik serta saran kepada penulis bagi kesempurnaan skripsi
ini.
5. Keluarga terkasih, Ayah, Ibu, kakak-kakak, serta adik yang telah
memberikan kasih sayang, doa, semangat dan dukungan kepada penulis
selama proses belajar ini.
6. Keluarga terkasih, Papa Hadi, Mama Botty, Aldes, dan Dyota yang telah
memberikan kasih sayang, doa, dukungan dan keceriaan kepada penulis
selama proses belajar ini.
7. Bapak Rasidin Karo-karo Sitepu yang memberikan masukan dan bantuan
kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi.
8. Sahabat-sahabat tersayang: Sardina, Rosa, Welly, Nela, Ferdy, Silvy,
Christine, Kak Eva, Tati, Ance, Ade Eva, Fitri, Rendy, Bolon, Bang
x
Eprim, Robin, Roy Sinaga, dan Mas Sandi yang telah memberikan
semangat, dukungan, dan bantuan kepada penulis
9. Eyang dan teman-teman yang tinggal bersama penulis di Wisma Rosa:
Mbak Fitri, Dimmy, Via, Nitha, Pak Eko, Neny, ibu Yus, dan sebagainya.
10. Teman-teman dari EPS’ 40, EPS’ 41, EPS’ 39, AGB’ 40 dan AGB’41
11. Teman-teman di Komisi Kesenian PMK IPB.
xi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................... viii
DAFTAR TABEL....................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xiii
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah.................................................................... 6
1.3 Tujuan......................................................................................... 8
1.4 Kegunaan Penelitian................................................................... 8
1.5 Ruang Lingkup Penelitian dan Keterbatasan Penelitian ............ 9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 10
2.1 Beras Sebagai Pangan Pokok Utama ....................................... 10
2.2 Penelitian Terdahulu ................................................................ 11
2.2.1 Penelitian Mengenai Beras ........................................... 11
2.2.2 Penelitian Mengenai Produksi dan Ekspor Produk
Pertanian........................................................................ 15 2.2.3 Pemilihan Metode Analisis ........................................... 17 2.2.4 Perbedaan Penelitian dengan Penelitian Terdahulu ...... 20
BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN ......................................................... 22
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ................................................... 22
3.1.1 Teori Penawaran dan Permintaan.................................. 22
3.1.2 Fungsi Produksi............................................................. 27
3.1.3 Teori Perdagangan Internasional................................... 28
3.1.4 Fungsi Ekspor................................................................ 33
3.1.5 Analisis Regresi Berganda ............................................ 36
xii
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional............................................ 38
3.3 Hipotesis Penelitian................................................................. 42
BAB IV. METODE PENELITIAN ............................................................ 43
4.1 Jenis dan Sumber Data ............................................................ 43
4.2 Metode Analisis Data .............................................................. 44
4.2.1. Perumusan Model......................................................... 46
4.2.2. Pengujian Model dan Hipotesis .................................... 47
4.2.2.1 Goodness Of Fit (Kesesuaian Model) ............. 47
4.2.2.2 Uji Statistik ...................................................... 47
4.2.2.2.1 Uji F................................................. 48
4.2.2.2.2 Uji t.................................................. 49
4.2.2.2.3 Uji Normalitas ................................. 50
4.2.2.2.4 Uji Multikolinieritas ........................ 51
4.2.2.2.5 Uji Heteroskedastisitas .................... 51
4.2.2.2.6 Uji Autokorelasi .............................. 52
4.2.2.2.7 Pengukuran Elastisitas .................... 53
4.2.3 Model Alternatif ............................................................ 54
BAB V. POTENSI PRODUKSI DAN EKSPOR BERAS .......................... 56
5.1 Kondisi Perberasan Indonesia ................................................ 56
5.1.1 Perkembangan Produksi Beras Indonesia ..................... 60
5.1.2 Perkembangan Konsumsi Beras Indonesia ................... 63
5.1.3 Perkembangan Ekspor dan Impor Beras Indonesia ....... 65
5.2 Kondisi Perberasan dunia ........................................................ 69
5.2.1 Perkembangan Produksi Beras Dunia .......................... 69
5.2.2 Perkembangan Konsumsi Beras Dunia ......................... 70
5.2.3 Perkembangan Ekspor dan Impor Beras Dunia ........... 72
5.3 Keadaan Pergerakan Harga Beras Domestik, Harga Beras Internasional, dan Nilai Tukar ................................................ 75
xiii
BAB VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN EKSPOR BERAS INDONESIA ......................................... 78
6.1 Uji Empiris Model Ekonometrika Faktor- faktor yang Mempengaruhi Produksi Beras Indonesia ................................ 78
6.2 Uji Empiris Model Ekonometrika Faktor- faktor yang Mempengaruhi Ekspor Beras Indonesia................................... 84
6.3 Definisi Variabel yang Digunakan .......................................... 90
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 92
7.1 Kesimpulan............................................................................... 92
7.2 Saran ......................................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 94
LAMPIRAN ................................................................................................. 97
xiv
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
1. Perkembangan Volume Ekspor Beras (Kg) Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan Tahun 2000-2004 ............................................................... 4
2. Perkembangan Produksi Beras, Luas Panen Padi, Produkstivitas, dan Ekspor Beras Tahun 2001-2005 ............................................................ 5
3. Produksi padi (GKG) menurut Pulau di Indonesia Tahun 2001- 2005 (000 ton) ............................................................................................. 61
4. Perkembangan Produksi Padi dan Beras Tahun 2000-2005 ........................ 62
5. Jumlah Penduduk dan Tingkat Konsumsi beras di Indonesia...................... 64
6. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Beras Indonesia Tahun 2000-2005..................................................................................................... 67
7. Produksi, Impor/Ekspor Beras (1000 Ton), dan Tingkat Swasembada dan Ketergantungan impor: Rataan 4 periode 1995-2005 ........................... 68
8. Produksi Beras Dunia Tahun 2001-2004 ..................................................... 70
9. Konsumsi Beras Dunia Tahun 1999/2000-2002/2003 ................................. 71
10. Perkembangan Ekspor Beras Dunia Tahun 2001-2004 ............................. 73
11. Perkembangan Impor Beras Dunia Tahun 2001-2004 ............................... 74
12. Perkembangan Harga Beras Domestik, Harga Beras Internasional, dan Nilai Tukar........................................................................................... 76
13. Hasil Pendugaan Persamaan Produksi Beras Indonesia............................. 80
14. Hasil Pendugaan Persamaan Ekspor Beras Indonesia ............................... 86
xv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman
1. Kurva Terjadinya Perdagangan Internasional ........................................ 29
2. Kurva Terjadinya Perdagangan Internasional 2 ..................................... 30
3. Mekanisme Pengaruh Kurs Terhadap Volume Ekspor .......................... 32
4. Pergerakan Harga Beras Domestik, Harga Beras Internasional, dan Nilai Tukar ............................................................................................ 77
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Teks Halaman
1. Lampiran 1. Produksi Padi, Produksi Beras, Luas Panen Padi, Konsumsi Beras Domestik, dan Ekspor Beras Tahun 1976-2005 ........... 98
2. Lampiran 2. Perkembangan Harga Dasar Gabah, Harga Eceran Beras, Harga Beras Dunia, dan Nilai Tukar Rupiah ................................ 99
3. Lampiran 3. Hasil Analisis Regresi Fungsi Produksi Beras Indonesia.... 100
4. Lampiran 3. Uji Normalitas dan Uji Homoscedasticity Analisis Regresi Fungsi Produksi Beras Indonesia ............................................................. 101
5. Lampiran 4. Hasil Analisis Regresi Fungsi Ekspor Beras Indonesia...... 102
6. Lampiran 5. Uji Normalitas dan Uji Homoscedasticity Fungsi Ekspor Beras Indonesia ........................................................................................ 103
xvii
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Beras merupakan salah satu komoditi pangan yang mempunyai arti
penting dalam kehidupan bangsa Indonesia dan memiliki sejarah panjang dalam
kebijakan ekonomi politik Indonesia. Hal ini disebabkan keberadaannya sebagai
makanan pokok bagi hampir seluruh rakyat Indonesia. Hampir 97 % penduduk
Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi untuk mengkonsumsi beras
sebagai makanan pokok utama. Oleh karena tingginya permintaan terhadap beras
dan ketersediaannya yang relatif terbatas, maka beras dapat disebut sebagai
komoditas ekonomi, bahkan beras juga sering dijadikan sebagai alat sosial dan
politik.
Indonesia merupakan negara pengkonsumsi beras terbanyak setelah Cina
dan India. Keadaan ini menyebabkan Indonesia harus berusaha memproduksi
beras untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Selain
merupakan negara pengkonsumsi beras, Indonesia juga merupakan negara
produsen beras ke tiga di dunia (Deptan, 2004). Hal ini didukung oleh kondisi
alam, iklim, dan topografi yang mendukung dilakukannya usahatani padi di
Indonesia. Selain Indonesia, negara-negara yang menjadi negara produsen beras
adalah Thailand, Vietnam, India, Pakistan, China, dan Amerika Serikat. Produksi
beras Indonesia umumnya diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
beras domestik, sehingga produksi beras merupakan salah satu faktor utama yang
menopang ketahanan pangan Indonesia.
2
Pada era orde baru, yaitu sekitar tahun 1960-an hingga awal 1990-an
Indonesia termasuk salah satu negara yang berhasil mengantar sektor pertanian
terutama beras dari keadaan kekurangan menuju swasembada beras. Pemenuhan
kebutuhan sendiri ini berlangsung pada era 1980-an, bahkan pada tahun 1984
hingga tahun 1994 Indonesia adalah net-eksportir beras. Hal ini terjadi karena
program Revolusi Hijau yang digalakkan pemerintah orde baru mulai tahun 1970.
Sebelum Revolusi Hijau, produktivitas padi di Indonesia lebih tinggi dari
rata-rata Asia. Setelah penerapan teknologi Revolusi Hijau produktivitas padi
Indonesia selalu berada di atas rata-rata Asia, akan tetapi setelah swasembada
beras tercapai tahun 1984 senjang produktivitas padi Indonesia dengan rata-rata
Asia semakin mengecil. Hal ini antara lain disebabkan mulai melandainya
produktivitas padi Indonesia sedangkan produktivitas negara Asia lainnya
terutama Cina dan Vietnam masih meningkat (Kasryno et al., 2002).
Selama periode tahun 1990 hingga 2003 produksi beras Indonesia
berfluktuasi dan cenderung menurun, seperti terlihat pada lampiran 1. Selama
periode 1995 – 2001 rata-rata produksi beras Indonesia sebesar 32,02 juta ton.
Selama periode tersebut, produksi tertinggi dicapai pada tahun 1996 yaitu sebesar
33,22 juta ton dan terendah pada tahun 1998 hanya sebesar 31,01 juta ton. Pada
periode yang sama rata-rata konsumsi beras Indonesia sebesar 26,8 juta ton,
dimana konsumsi tertinggi dicapai pada tahun 1998 yaitu sebesar 28,5 juta ton dan
konsumsi terendah pada tahun 2000 yaitu hanya sebesar 23,4 juta ton. Konsumsi
yang cenderung meningkat ini selain disebabkan oleh peningkatan jumlah
penduduk Indonesia yang relatif masih tinggi, juga karena konsumsi per kapita
terhadap berasnya masih tinggi. Sebagai contoh pada tahun 1999 konsumsi per
3
kapita penduduk Indonesia masih sekitar 122,76 kg/tahun. Idealnya, konsumsi per
kapita penduduk Indonesia harusnya sebesar 80-90 kg/tahun (Suryana et al.,
2001) .
Usaha untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri terus dilakukan
dengan mengimplementasikan berbagai program diantaranya Sistem Usahatani
Berbasis Padi Berorientasi Agribisnis (SUTPA) pada 1995-1999, namun demikian
kenaikan tersebut belum mencukupi kebutuhan cadangan beras nasional sehingga
impor beras terus meningkat. Kelemahan dan kekurangan program tersebut terus
diperbaiki dalam program selanjutnya, misalnya pada tahun 1998 lahir program
Intensifikasi yang Berwawasan Agribisnis (Inbis), dan Peningkatan Mutu
Intensifikasi (PMI). Program Ketahanan Pangan yang diluncurkan tahun 2000
disertai dengan pembenahan paradigma dalam rencana strategis pembangunan
tanaman pangan tahun 2001-2004. Selain itu, Departemen Pertanian merancang
dua program/proyek yaitu Program Pengembangan Agribisnis (PA) dan Program
Peningkatan Ketahanan Pangan (PKP) (Situmorang, 2005).
Meskipun berbagai program peningkatan produksi beras telah
diimplementasikan, namun demikian produksi beras nasional tetap belum mampu
mencukupi kebutuhan domestik. Jumlah produksi beras Indonesia sebenarnya
sudah dapat memenuhi kebutuhan konsumsi domestik, akan tetapi laju
pertumbuhan konsumsi domestik lebih tinggi dari laju pertumbuhan produksi
beras domestik. Oleh karena itu stok cadangan beras nasional harus selalu
terpenuhi untuk tujuan emergensi dan stabilitas harga beras. Sehingga meskipun
produksi beras dalam negeri masih dapat memenuhi kebutuhan konsumsi
domestik, Indonesia tetap melakukan impor beras untuk melengkapi ketersediaan
4
beras dalam negeri. Indonesia menjadi negara pengimpor beras semenjak tahun
1988, dan merupakan salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia. Pada
dekade lahirnya World Trade Organization (WTO) pada dekade 1990-1999
Indonesia mengimpor rata-rata 1,5 juta ton beras per tahun dan fenomena ini
berlangsung hingga tahun 2003.
Selain melakukan impor beras, Indonesia juga melakukan ekspor beras
untuk beras jenis-jenis tertentu. Indonesia mengekspor berasnya dalam bentuk
(a) Broken rice (beras pecah); (b) Semi milled or wholly milled rice, whether or
not polished or glazed (beras setengah giling atau giling penuh); (c) Husked
(brown) rice (beras pecah kulit); dan (d) Rice in the husk (paddy or rough)
(gabah). Negara tujuan ekspor beras Indonesia antara lain, Singapura, Malaysia,
East Timor, dan Filipina, seperti yang terlihat dalam tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan Volume Ekspor Beras (Kg) Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan Tahun 2000-2004.
No Negara 2000 2001 2002 2003 2004* 1 Singapura 2.064 130 148.088 476.760 88.000 2 Malaysia 874 1.431 1.081.118 275.950 78.917 3 Timor-Timur 800 1.900 1.719.127 49.603 46 4 Filipina 0 1.444.500 2.412.823 34.200 0 5 Lainnya 4.667.198 3.777.325 5.958.449 397.666 803.953 Total 4670.936 5.222.424 11.319.605 1.234.179 970.916
Sumber: BPS, diolah Subdit Pemasaran Internasional Tanaman Pangan * : Data sampai bulan Juli 2004
Pada tahun 2004 produksi beras Indonesia meningkat dan mencapai
34 juta ton, hal ini disebabkan oleh peningkatan luas areal panen padi dengan
melakukan pencetakan sawah-sawah baru. Pada saat yang sama ekspor beras yang
dilakukan oleh Indonesia juga meningkat dari 1.234 ton pada tahun 2003 menjadi
4.495 ton pada tahun 2004 seperti yang terlihat dalam tabel 2. Kemudian pada
tahun 2005 ekspor beras meningkat cukup signifikan dari tahun sebelumnya, yaitu
5
dari 4.495 ton pada tahun 2004 menjadi 44.285 ton pada tahun 2005. Peningkatan
ekspor beras pada tahun 2005 lebih disebabkan oleh adanya peningkatan pada
harga beras dunia yaitu dari 225 US$/ton pada tahun 2004 menjadi 265 US$/ton
dan peningkatan nilai tukar rupiah terhadap dollar dari Rp.9.290,00/US$ menjadi
Rp.9.900/US$.
Tabel 2. Perkembangan Produksi Beras, Luas Panen Padi, Produkstivitas, dan Ekspor Beras Tahun 2001-2005
Tahun Produksi Beras
(ton) Luas Areal
Panen Padi (ha) Produktivitas
(ton/ha) Ekspor Beras
(ton) 2001 31.790.293 11.499.997 4,38 5.222 2002 32.438.507 11.521.166 4,47 11.320 2003 32.809.663 11.477.357 4,54 1.234 2004 34.075.735 11.922.974 4,54 4.495 2005 34.055.458 11.818.913 4,57 44.285
Sumber: Badan Pusat Statistik dan Departemen Pertanian.
Peningkatan ekspor beras merupakan hal baru yang menggembirakan bagi
Indonesia, karena selama periode tahun 1994 hingga 2003 ekspor beras
berfluktuasi dan cenderung menurun. Peningkatan ekspor merupakan salah satu
faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dengan semakin
meningkatnya ekspor maka pertumbuhan ekonomi dapat dipacu dan cadangan
devisa negara menjadi bertambah. Peningkatan ekspor dapat dilakukan dengan
cara merangsang produksi domestik. Dalam perdagangan internasional apabila
terjadi peningkatan perdagangan domestik suatu komoditi dengan asumsi terjadi
kelebihan produksi pada komoditi tersebut (over supply), maka kelebihan tersebut
dapat diekspor ke luar negeri. Hal ini berarti dengan semakin meningkatnya
produksi, maka volume ekspor juga meningkat (Salvator, 1997).
6
1.2 Perumusan Masalah
Indonesia merupakan negara agraris yang sangat berpotensi untuk
memproduksi beras. Pertanian merupakan salah satu sumber daya alam terbesar
yang dimiliki oleh Indonesia. Hampir seluruh masyarakat bermatapencaharian
sebagai petani, hingga bangsa Indonesia dijuluki sebagai negara agraris. Keadaan
alam, topografi, dan iklim yang ada di Indonesia sangat mendukung
diupayakannya usahatani padi baik padi sawah maupun padi ladang.
Selama ini produksi beras Indonesia sangat berfluktuasi. Sekitar tahun
1984 pertanian Indonesia menjadi sorotan dunia, hal itu dikarenakan Indonesia
mampu berswasembada beras. Namun demikian, tahun-tahun berikutnya hasil
produksi beras Indonesia terus mengalami penurunan. Konsep pembangunan yang
tidak berkelanjutan dan pengalihan sektor pembangunan ke sektor industri
dianggap sebagai salah satu penyebabnya. Hal ini ditandai dengan banyaknya
konversi lahan pertanian ke non pertanian yang menyebabkan luas areal tanam
padi semakin berkurang. Selain faktor konversi lahan, jumlah penduduk Indonesia
yang semakin bertambah setiap tahun secara langsung mengindikasikan
peningkatan konsumsi penduduk. Selain itu faktor lain yang menyebabkan
penurunan produksi beras Indonesia adalah fenomena penurunan rendemen beras.
Penurunan rendemen beras menyebabkan menurunnya hasil dan total produksi
padi dalam bentuk beras sehingga berdampak negatif baik dalam profitabilitas
usahatani maupun produksi beras nasional (Suryana et al., 2001).
Saat ini Indonesia sedang mengembangkan pertaniannya dengan konsep
pertanian yang berkelanjutan dengan memperhatikan keseimbangan lingkungan.
Penerapan teknologi modern pun dilakukan. Dari sisi teknologi yang digunakan
7
dalam pertanian, sebenarnya Indonesia tidak kalah dengan negara-negara
produsen beras lainnya. Pembangunan pertanian yang dimulai dari hulu (saprotan,
obat-obatan, pupuk, bibit, dll), kemudian on farm (cara bercocok tanam), sampai
dengan hilir (pengolahan dan pemasaran), serta didukung dengan sarana
pelayanan dan jasa diharapkan mampu meningkatkan sektor pertanian Indonesia.
Sehingga pada tahun 2004, pertanian Indonesia mampu mengantarkan Indonesia
mencapai produksi beras tertinggi selama republik Indonesia berdiri..
Perdagangan dunia akan lebih cenderung pada spesialisasi perdagangan,
dalam arti suatu negara akan memperdagangkan produk-produk yang merupakan
keunggulan komparatifnya. Sebagai negara yang memiliki keunggulan komparatif
dalam memproduksi beras, Indonesia seharusnya memiliki peluang yang lebih
besar dalam berswasembada beras dan mengekspor beras dibandingkan dengan
negara-negara lainnya.
Pada kenyataannya Indonesia lebih sering tergantung pada impor untuk
mencukupi kebutuhan berasnya, bahkan Indonesia dikategorikan sebagai negara
besar dalam mengimpor beras. Keadaan tersebut menyebabkan resiko
perkembangan ekspor beras Indonesia semakin lama semakin menurun bahkan
terhapus.
Potensi Indonesia untuk memproduksi beras dalam negeri
mengindikasikan bahwa seharusnya Indonesia mampu mencukupi kebutuhan
beras dalam negeri dan menjadikan beras sebagai komoditi unggulan sehingga
Indonesia dapat memenuhi kebutuhan konsumsi domestik dan mengupayakan
ekspor beras dalam rangka menambah devisa negara. Peningkatan ekspor beras
Indonesia yang cukup signifikan pada periode 2004-2005 mengindikasikan
8
adanya perbaikan dalam sektor pertanian khususnya padi, sehingga ekspor beras
dapat dijadikan sebagai fenomena baru yang layak dipertahankan dan
dikembangkan.
Selama ini produksi sektor pertanian tanaman pangan khususnya beras,
hanya diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi domestik dan tidak
berorientasi untuk ekspor. Namun demikian peningkatan ekspor beras yang cukup
signifikan pada tahun 2004 hingga 2005 memberikan harapan baru bagi
Indonesia, dimana Indonesia sebagai negara produsen beras selayaknya mampu
mempertahankan dan mengembangkan potensi produksi dan ekspor yang ada.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka dapat ditarik suatu permasalahan yang
menarik untuk dianalisis, yaitu sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi beras Indonesia?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ekspor beras Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi beras Indonesia
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor beras Indonesia.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk:
1. Menyediakan informasi bagi pemerintah, produsen beras domestik, dan
masyarakat secara umum tentang perkembangan produksi dan ekspor
9
beras selama kurun waktu 30 tahun yaitu pada periode 1976-2005, serta
faktor- faktor yang mempengaruhi produksi dan ekspor beras Indonesia.
2. Sebagai sumber referensi, penyedia informasi, dan penambah wawasan
bagi mahasiswa dalam melakukan studi lanjutan.
3. Sebagai sarana bagi pengembangan wawasan dan pengaplikasian ilmu
pengetahuan yang diperoleh penulis selama melakukan stud i di Institut
Pertanian Bogor.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis faktor- faktor yang
mempengaruhi produksi dan ekspor beras Indonesia. Penelitian ini membahas
mengenai produksi beras dan ekspor beras secara umum, tidak secara khusus ke
negara tujuan tertentu. Ekspor beras yang dianalisis dalam penelitian ini adalah
beras secara umum, bukan beras dengan jenis tententu seperti, (a) Broken rice
(beras pecah); (b) Semi milled or 4 wholly milled rice, whether or not polished or
glazed (beras setengah giling atau giling penuh); (c) Husked (brown) rice (beras
pecah kulit); dan (d) Rice in the husk (paddy or rough) (gabah). Dengan
keterbatasan data, maka penelitian dibatasi menggunakan data periode 1976-2005.
10
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Beras Sebagai Pangan Pokok Utama
Beras adalah hasil olahan dari produk pertanian yang disebut padi (Oryza
Sativa, L). Beras merupakan komoditas pangan yang dijadikan makanan pokok
bagi bangsa Asia, khususnya Indonesia, Thailand, Malaysia, Vietnam, Jepang,
dan Myanmar.
Pangan pokok adalah pangan yang muncul dalam menu sehari-hari,
mengambil porsi terbesar dalam hidangan dan merupakan sumber energi terbesar.
Sedangkan pangan pokok utama ialah pangan pokok yang dikonsumsi oleh
sebagian besar penduduk serta dalam situasi normal tidak dapat diganti oleh jenis
komoditas lain (khumaidi 1997).
Sebagai bahan pangan pokok, ketersediaan beras dalam jumlah dan
kandungan gizi yang cukup memiliki arti penting dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Untuk itu ketersediaan beras perlu diupayakan kelestariannya dan
keserasiannya dengan dinamika ekosistem tropik.
Menurut Dawe (1997) dan Tsujii (1998) dalam Amang dan Sawit (1999)
karakteristik beras adalah sebagai berikut:
i. 90 persen produksi dan konsumsi beras dilakukan di Asia, hal ini berbeda
dengan gandum dan jagung yang diproduksi oleh banyak negara di dunia.
ii. Beras yang diperdagangkan di pasar dunia tipis (thin market) yaitu antara
4-5 % total produksi, berbeda sekali dengan sejumlah komoditas lainnya
seperti gandum(20%), jagung (15%), dan kedelai (30%). Pada umumnya
volume beras yang diperdagangkan merupakan sisa konsumsi dalam
11
negara. Semakin tidak stabilnya harga beras dunia (atau harga beras dalam
negeri suatu negara), semakin besar tingkat self-sufficiency besar yang
dianut oleh suatu negara, demikian juga rumah tangga tani di Asia.
iii. Harga beras sangat tidak stabil dibandingkan komoditas pangan lainnya,
misalnya gandum.
iv. 80 % perdagangan beras dikuasai oleh enam negara yaitu Thailand, AS,
Vietnam, Pakistan, Cina, dan Myanmar. Oleh karena itu pasar beras
internasional tidak sempurna, harga beras akan ditentukan oleh kekuatan
oligopoli tersebut.
v. Indonesia merupakan negara net importir terbesar beras pada peride tahun
1997-1998 yaitu sekitar 31% dari total beras yang diperdagangkan dunia.
vi. Hampir banyak negara di Asia, memperlakukan beras sebagai wage goods
dan political goods. Pemerintah akan goncang apabila harga beras tidak
stabil dan tinggi.
2.2 Penelitian Terdahulu
2.2.1 Penelitian Mengenai Beras
Pada tahun 2005, Simbolon (2005) melakukan penelitian tentang integrasi
pasar beras domestik dengan pasar beras dunia dan pengaruh adanya tarif impor.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) secara umum terjadi integrasi antara
pasar beras domestik dengan pasar beras dunia. Namun derajat integrasi tersebut
berbeda menurut varietas atau jenis beras: ha rga satu varietas beras domestik
(yaitu setra) terintegrasi kuat dengan ketiga jenis beras dunia (yaitu broken 5
persen, broken 25 persen, dan broken 35 persen) dan lima harga varietas beras
12
domestik (yaitu Muncul, IR 64, IR I, IR II, IR III) terintegrasi lemah dengan harga
ketiga jenis beras dunia tersebut. (2) tarif impor yang diterapkan oleh pemerintah
dalam perdagangan beras ternyata meningkatkan harga beras di pasar beras
domestik. Tetapi peningkatan harga tersebut tidak mampu menekan volume impor
beras. (3) lonjakan volume impor yang terjadi pada tahun 1998 hanya
berpengaruh nyata terhadap harga beras domestik varietas IR II, yang merupakan
varietas dengan volume perdagangan terbanyak kedua setelah varietas IR 64.
Situmorang (2005) meneliti tentang faktor- faktor yang mempengaruhi
produksi dan impor beras Indonesia. Situmorang mengemukakan bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi produksi dan impor beras Indonesia adalah jumlah
penggunaan urea, harga impor beras, produksi padi, dan lag harga gabah; variabel
jumlah penggunaan urea dan lag produktivitas berpengaruh nyata terhadap
produktivitas. Impor beras Indonesia dipengaruhi oleh harga impor beras,
produksi beras, jumlah penduduk, nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika, dan
lag impor beras; hanya variabel harga impor beras yang berpengaruh nyata
terhadap impor beras Indonesia. Harga impor beras Indonesia dipengaruhi oleh
harga beras dunia, tarif impor, dan lag harga impor; selain tarif impor semua
variabel berpengaruh nyata terhadap harga impor beras Indonesia.
Azziz (2006) yang melakukan penelitian tentang impor beras serta
pengaruhnya terhadap harga beras dalam negeri. Penelitian tersebut bertujuan
menganalisis pengaruh impor terhadap harga beras dalam negeri dan menganalisis
faktor- faktor yang mempengaruhi harga beras dalam negeri, termasuk kebijakan
pemerintah. Azziz mengemukakan bahwa impor beras secara nyata
mempengaruhi harga beras dalam negeri dengan tingkat kepercayaan 15 % dan
13
berpengaruh negatif; dimana ketika impor beras meningkat maka harga beras
dalam negeri akan menurun tetapi memiliki respon yang inelastis baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Faktor- faktor yang mempengaruhi impor
beras secara nyata adalah kebijakan perdagangan (penetapan tarif impor), harga
terigu, harga beras impor dan harga beras dalam negeri; nilai tukar rupiah
terhadap dollar AS, dan produksi beras nasional.
Menurut Azziz (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi impor beras
secara negatif adalah variabel produksi beras nasional, nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS, harga beras impor dan harga terigu. Sedangkan faktor- faktor yang
mempengaruhi impor beras secara positif adalah harga beras dalam negeri, dan
kebijakan impor beras dimana ketika impor beras dapat dilakukan tanpa dilakukan
tanpa tarif impor, impor beras lebih besar daripada ketika tarif impor beras sudah
diterapkan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dengan
menerapkan tarif untuk impor beras sudah efektif dalam upaya mengurangi
volume beras impor yang masuk ke Indonesia. Selain itu hasil ramalannya dengan
model peramalan memperlihatkan trend yang menurun dan volume impor beras
yang masuk menunjukkan besaran yang negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa
Indonesia dalam lima periode ke depan tidak akan melakukan impor beras.
Dampak kebijakan perdagangan dan liberalisasi perdagangan terhadap
permintaan dan penawaran beras di Indonesia telah dianalisis oleh Sitepu (2002).
Sitepu menganalisis dengan menggunakan model ekonometrika dengan
persamaan simultan. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa kebijakan
perdagangan dan liberalisasi perdagangan tersebut tidak efisien dan tidak tepat
untuk dilaksanakan karena keuntungan yang diterima produsen sehingga total net
14
surplus menurun. Kebijakan tersebut merugikan petani kecil dan memperburuk
distribusi pendapatan.
Hasil analisis Sitepu (2002) juga menunjukkan bahwa jumlah impor beras
secara nyata dipengaruhi oleh harga impor (taraf nyata 10 persen), produksi beras
Indonesia (taraf nyata 20 persen), stok beras awal tahun (taraf nyata 5 persen),
jumlah penduduk (taraf nyata 10 persen). Sedangkan pengaruh dari GDP dan
impor beras tahun lalu tidak berbeda nyata dari nol.
Mulyana (1998) melakukan penelitian yang berjudul ”Keragaan
Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan Prospek Swasembada menuju Era
Perdagangan Bebas: Suatu Simulasi”. Dalam analisisnya, produksi domestik
disegregasikan ke dalam lima wilayah, yaitu Jawa dan Bali, Kalimantan,
Sulawesi, Sumatera, dan sisa wilayah Indonesia sedangkan analisis permintaan
dilakukan secara agregat nasional.
Model impor beras yang digunakan Mulyana (1998) menyertakan variabel
harga beras domestik, harga beras impor, total produksi beras, stok beras awal
tahun, nilai tukar rill rupiah terhadap dollar, bunga pinjaman Bulog dan impor
beras tahun lalu sebagai variabel independen. Berdasarkan model impor yang
terbentuk, diperoleh hasil bahwa impor beras responsif terhadap perubahan stok
beras awal tahun, produksi beras, tren waktu dan impor beras tahun lalu, tetapi
tidak responsif terhadap harga beras dan harga impor.
Mulyana (1998) menyimpulkan bahwa Bulog telah berhasil melakukan
stabilisasi lewat mekanisme pengelo laan stok, pengadaan dan operasi pasar beras,
disertai dengan elastisnya intervensi harga konsumen terhadap harga impor dan
produksi, serta relatif stabilnya harga gabah dan beras di pasar domestik
15
menunjukkan bahwa pasar beras diproteksi secara ketat. Selain itu, pada
kenyataannya negara-negara importir dan eksportir beras utama sangat protektif
terhadap pasar beras domestik masing-masing negara dan peran indonesia sebagai
stabilitas dan destabilator pasar beras dunia relatif lebih besar. Ketidakstabilan
pasar beras dunia, biaya impor yang besar pada krisis ekonomi dan potensi
peningkatan produksi di luar Jawa dan Bali melalui pengembangan teknologi
produksi dan pasca panen merupakan justifikasi bagi upaya swasembada beras
pada masa mendatang.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa kebijakan yang sama tidak selalu
direspon dengan arah yang sama di tiap-tiap wilayah. Kombinasi antara
liberalisasi perdagangan dan penghapusan peran Bulog akan lebih menurunkan
produksi dan konsumsi beras dan swasembada beras tidak tercapai dalam jangka
pendek. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia belum siap dalam
meliberalisasikan pasar berasnya. Dengan adanya liberalisasi perdagangan
tersebut, Indonesia tidak bisa lagi mencapai swasembada absolut, tetapi akan
menjadi net eksportir beras pda tahun 2013.
2.2.2 Penelitian Mengenai Produksi dan Ekspor Produk Pertanian
Saleh (2005) mencoba melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi dan ekspor tomat segar Indonesia dengan menggunakan
data time series kurun waktu 1984-2003. Penelitian tersebut dianalisis dengan
pendekatan ekonometrika model regresi linier berganda dengan menggunakan
software minitab 14. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran
produksi dan ekspor tomat segar Indonesia serta menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhinya dan seberapa besar pengaruh-pengaruh tersebut. Hasil analisis
16
menunjukkan bahwa variabel-variabel yang berpengaruh nyata terhadap ekspor
tomat segar Indonesia adalah ekspor tomat tahun sebelumnya, dan harga tomat
domestik tahun sebelumnya pada taraf nyata 10 persen. Harga tomat ekspor tahun
sebelumnya memiliki hubungan yang negatif dengan ekspor tomat, nilai ini tidak
sesuai dengan nilai dugaan yang diharapkan dimana seharusnya harga tomat
ekspor tahun sebelumnya memiliki hubungan yang positif dengan ekspor tomat.
Sambudi (2005) melakukan yang berjudul Analisis Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Produksi dan Ekspor Kopi Arabika Indonesia. Data yang
digunakan dalam penelitian tersebut adalah data time series selama periode tahun
1992-2002. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model regresi
linier berganda. Pada model penawaran produksi digunakan model fungsi Cobb-
Douglas dan pada model fungsi penawaran ekspor digunakan model fungsi linier.
Kedua model tersebut diduga dengan menggunakan metode Ordinary Least
Square (OLS).
Hasil pendugaan Sambudi menunjukkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi produksi kopi Arabika
Indonesia adalah luas lahan, tenaga kerja, bibit, pupuk urea, dan pestisida.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor kopi Arabika Indonesia
harga ekspor, harga domestik, nilai tukar, produksi, dan lag ekspor.
Lubis (2006) dalam penelitiannya mencoba meneliti faktor- faktor yang
mempengaruhi ekspor nenas segar Indonesia. Penelitiannya tersebut bertujuan
mengetahui perkembangan ekspor nenas segar Indonesia, menganalisis faktor-
faktor yang mempengaruhi ekspor nenas segar Indonesia ke negara-negara tujuan
ekspor serta pengaruhnya terhadap ekspor beras nenas segar Indonesia. Data yang
17
digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa data times series
tahunan dari tahun 1996-2004 dan data cross section yang berupa data negara-
negara importir nenas segar.
Lubis (2006) menggunakan metode deskriptif digunakan untuk melihat
perkembangan ekspor nenas segar Indonesia, sedangkan model kuantitatif dengan
analisis regresi data panel dengan Metode Fixed Effect digunakan untuk
menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi ekspor nenas segar Indonesia.
Hasil dugaan model nenas segar Indonesia dengan menggunakan Metode Fixes
Effect menunjukkan bahwa variabel-variabel yang berpengaruh nyata terhadap
ekspor nenas segar Indonesia adalah harga ekspor, produksi nenas, pendapatan per
kapita negara-negara tujuan ekspor, volume ekspor dalam bentuk nenas segar
olahan, dan volume nenas segar tahun sebelumnya.
2.2.3 Pemilihan Metode Analisis
Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi impor ilegal daging
sapi dan susu Indonesia dengan pendekatan regresi linier berganda yang dilakukan
oleh Amelia (2006), mencoba menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi
impor ilegal daging sapi dan susu ke Indonesia oleh negara-negara eksportir,
mengkaji implikasi dari impor ilegal daging sapi dan susu terhadap perekonomian
sektor perternakan domestik, dan memberikan alternatif kebijakan apa yang harus
diambil pemerintah dalam mengurangi impor ilegal daging sapi dan susu. Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa times series
periode tahun 1980-2004. Analisis yang digunakan adalah pendekatan
ekonometrika yang diduga dengan metode Ordinary Least Square (OLS) dengan
menggunakan model regresi linier berganda. Proses pengolahan data dilakukan
18
dengan menggunakan program minitab 14. Dari hasil analisis diketahui bahwa
faktor- faktor yang mempengaruhi volume impor ilegal daging sapi terdiri:
pendapatan perkapita penduduk Indonesia, harga daging sapi impor, indeks
trnsparansi, tarif, serta konsumsi daging sapi domestik, pada taraf nyata 1-15
persen. dari hasil perhitungan didapatkan bahwa semua variabel yang digunakan
berpengaruh nyata dalam peningkatan dan penurunan volume impor ilegal untuk
daging sapi, dimana variabel eksogen pembentuk model tersebut yang memiliki
nilai elastis adalah konsumsi daging sapi domestik berpengaruh positif terhadap
peningkatan volume impor ilegal, yang menindikasikan bahwa konsumsi
domestik bersifat responsif terhadap peningkatan volume impor ilegal daging
sapi.
Sedangkan faktor- faktor yang mempengaruhi volume impor ilegal susu
dipengaruhi oleh faktor- faktor eksogen berupa, pendapatan perkapita Indonesia,
produksi domestik, nilai tukar rupiah, indeks transparansi Indonesia, serta bea
masuk (tarif) impor susu bubuk Indonesia. Hasil analisis menyatakan bahwa
perkapita Indonesia, produksi domestik, indeks transparansi Indonesia, serta bea
masuk (tarif) impor susu berpengaruh nyata pada taraf nyata 1-10 persen.
Novansi (2006) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi volume ekspor beberapa buah-buahan penting Indonesia.
Penelitian tersebut membahas perkembangan ekspor beberapa buah-buahan
penting Indonesia menurut negara tujuan ekspor dan pengaruh faktor- faktor
(harga dometik, harga ekspor, nilai tukar rupiah, volume ekspor ke negara lain dan
volume ekspor periode sebelumnya) terhadap volume ekspor beberapa buah-
buahan penting Indonesia.
19
Dalam penelitiannya tersebut Novansi menggunakan data bulanan dari
Januari 2002 sampai dengan Desember 2004. metode deskriptif untuk melihat
perkembangan ekspor dan metode kuantitatif yaitu analisis regresi linier berganda
untuk menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi volume ekspor beberapa
buah-buahan penting Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
perkembangan ekspor beberapa buah penting Indonesia seperti pisang, manggis,
mangga, dan rambutan selama tahun 2002-2003 cenderung menurun. Sedangkan
faktor- faktor yang mempengaruhi volume ekspor beberapa buah-buahan penting
Indonesia menunjukkan tidak semua peubah bebas yang digunakan dalam model
berpengaruh nyata terhadap volume ekspor.
Resmisari (2006) juga menggunakan regresi linier berganda untuk
menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi ekspor teh PT Perkebunan
Nusantara VIII. Variabel dependen yang digunakan adalah volume ekspor teh
PTPN VIII ke masing-masing negara tujuan. Sedangkan variabel independen
meliputi volume produksi, harga harga ekspor periode t, harga ekspor periode
sebelumnya (t-1), harga kopi periode t, nilai tukar rupiah terhadap dollar, lag
ekspor, dan nilai tukar negara tujuan terhadap dollar. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh nyata pada taraf lima persen ke
tiga negara tujuan adalah variabel harga ekspor periode t. Variabel tersebut juga
bersifat elastis untuk setiap negara. Ini berarti bahwa variabel harga ekspor
merupakan variabel yang perlu diperhatikan PTPN VIII untuk melakukan ekspor
ke tiga negara.
Pemilihan model didasarkan pada tujuan penelitian yang ingin dicapai
yaitu, untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan ekspor
20
beras Indonesia. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, model regresi
berganda dinilai lebih sederhana dan mampu menunjukkan berapa persen variabel
dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen. Selain itu model ini dapat
melihat apakah variabel-variabel independennya berpengaruh nyata atau tidak
terhadap variabel dependen dengan melihat uji-F dan uji-t, serta perhitungannya
lebih sederhana. Metode ini diduga dengan Ordinary Least square (OLS). Oleh
karena itu, penelitian mengenai faktor- faktor yang mempengaruhi produksi dan
ekspor beras Indonesia menggunakan metode analisis yang sama, yaitu metode
Ordinary Least square (OLS) dengan model regresi berganda.
2.2.4 Perbedaan Penelitian dengan Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Situmorang (2005), Azziz (2006), Sitepu
(2002), dan Mulyana (1998) membahas tentang impor beras, mulai dari faktor-
faktor yang mempengaruhinya sampai pada tingkat responsitasnya terhadap
berbagai variabel lainnya dengan berbagai metoda dan alat analisis. Situmorang
(2005) dan Sitepu (2002) melakukan analisisnya dengan metode Two Stage Least
Square (2SLS) dengan persamaan simultan menggunakan Software Eviews, Azzis
(2006) melakukan penelitiannya dengan menggunakan analisis regresi linier
berganda dengan software minitab 14 untuk menganalisis faktor- faktor yang
mempengaruhi impor beras dan menggunakan metode peramalan times series
untuk melakukan peramalan. Sedangkan penelitian ini membahas tentang
produksi dan ekspor beras Indonesia, yaitu faktor- faktor yang mempengaruhinya.
Pada umumnya penelitian-penelitian terdahulu menggunakan data time
series tahunan yang kurang dari tiga puluh tahun dan data bulanan selama kurun
waktu bebarapa tahun saja, sedangkan penelitian ini menggunakan data time
21
series selama kurun waktu tiga puluh tahun yaitu dari tahun 1976 sampai dengan
tahun 2005. Penelitian ini mencoba menganalisis faktor- faktor yang
mempengaruhi produksi dan ekspor beras Indonesia dengan metode Ordinary
Least Square (OLS) dengan model regresi linier berganda dengan menggunakan
software minitab 14.
22
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Teori Penawaran dan Permintaan
Penawaran suatu komoditi baik barang maupun jasa merupakan jumlah
komoditi yang ditawarkan oleh produsen kepada konsumen dalam suatu pasar
pada tingkat harga dan waktu tertentu. Lebih lanjut dikatakan bahwa antara harga
dan jumlah yang ditawarkan ini mempunyai hubungan yang positif yaitu jika
harga naik maka jumlah komoditi yang ditawarkan semakin banyak. Adapun
sumber penawaran meliputi produksi pada waktu tertentu dan persediaan (stok)
pada waktu sebelumnya.
Menurut Iswardono (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran
suatu komoditi dapat digambarkan dengan fungsi sebagai berikut:
QSK = f (PK, PS, PI, G, T, TX) ....................................................... (1)
Dimana :
QSK = Penawaran komoditi
PK = Harga komoditi yang bersangkutan
PS = Harga komoditi substitusi dan komplementer
PI = Harga faktor produksi
G = Tujuan perusahaan
T = Tingkat penggunaan teknologi
TX = Pajak dan subsidi
23
1. Harga komoditi yang bersangkutan (PK)
Suatu hipotesa dasar ekonomi menyatakan bahwa harga sejumlah
komoditi mempunyai hubungan yang positif dengan jumlah yang ditawarkan yaitu
semakin tinggi harganya semakin besar jumlah yang ditawarkan, cateris paribus.
Hal ini karena peningkatan harga komoditi menyebabkan peningkatan keuntungan
yang akan memacu peningkatan produksi maupun penjualan hasil produksinya.
Jadi peningkatan harga dari suatu komoditi akan menyebabkan peningkatan
penawaran komoditi tersebut. Dengan demikian perubahan harga suatu komoditi
akan menyebabkan pergerakan sepanjang kurva penawaran.
2. Harga komoditi substitusi dan komplementer (PS)
Berbagai komoditi dapat disubstitusi dan juga memiliki komoditi
pendukung, baik dalam produksi maupun konsumsi. Perubahan harga pada
komoditi substitusi dan komplementer akan mempengaruhi jumlah penawaran
pada komoditi yang bersangkutan. Peningkatan harga komoditi substitusi akan
menyebabkan berkurangnya jumlah penawaran komoditi bersangkutan. Dan
sebaliknya, penurunan harga komoditi substitusi akan menyebabkan peningkatan
jumlah penawaran komoditi yang bersangkutan. Sedangkan penurunan pada harga
komoditi komplementer akan menyebabkan penurunan pula pada jumlah
penawaran komoditi yang bersangkutan, sebaliknya peningkatan pada harga
komoditi komplementer akan menyebabkan peningkatan komoditi yang
bersangkutan.
3. Harga faktor produksi (PI)
Harga suatu faktor produksi merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh
perusahaan. Dengan meningkatnya harga faktor produksi maka keuntungan yang
24
diterima perusahaan akan berkurang. Hal ini menyebabkan perusahaan akan
mengurangi jumlah produksinya. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa
peningkatan harga faktor produksi yang digunakan untuk memproduksi suatu
komoditi, akan menyebabkan berkurangnya jumlah komoditi yang ditawarkan.
4. Tujuan perusahaan (G)
Jumlah komoditi yang ditawarkan juga tergantung apa tujuan perusahaan.
Tujuan suatu perusahaan tidak semata-mata memaksimumkan keuntungan saja.
Jika perusahaan lebih mementingkan volume produksi, perusahaan dapat
menghasilkan dan menjual lebih banyak.
5. Tingkat penggunaan teknologi (T)
Teknologi berkorelasi positif dengan jumlah yang ditawarkan. Jika
perusahaan menggunakan teknologi baru, fungsi produksi akan bergeser ke atas
yang berarti produksi meningkat dan kurva biaya akan bergeser ke bawah yang
berarti biaya produksi berkurang. Keuntungan yang akan diperoleh menjadi lebih
besar. Jadi dapat disimpulkan, jumlah komoditi yang ditawarkan dipengaruhi oleh
tingkat penggunaan teknologi dalam proses produksinya.
6. Pajak dan subsidi (TX)
Adanya pajak seperti pajak penjualan, pajak penghasilan akan
mengakibatkan kenaikan pada ongkos produksi sehingga mengurangi insentif
untuk berproduksi. Maka penawaran komoditi tersebut akan berkurang.
Sebaliknya, pemberian subsidi akan mengurangi ongkos produksi dan
meningkatkan keuntungan, sehingga penawaran komoditi tersebut akan
meningkat.
25
Penawaran pasar dari suatu komoditi merupakan fungsi dari harga
komoditi itu sendiri dengan koefisien arah (slope) yang positif. Jika harga
komoditas tersebut naik maka jumlah komoditas yang ditawarkan akan
meningkat. Sebaliknya, jika harga komoditas tersebut menurun maka jumlah
komoditi yang ditawarkan akan menurun. Perubahan pada harga komoditi tersebut
menyebabkan pergerakan sepajang kurva penawaran. Sedangkan pengaruh dari
perubahan harga faktor produksi, teknologi, dan tujuan perusahaan adalah faktor
yang dapat menggeser kurva penawaran.
Menurut Pappas dan Hirschey (1995) dalam Purnamasari (2005),
permintaan adalah sejumlah barang atau jasa yang rela dan mampu dibeli oleh
konsumen selama periode tertentu, yang dapat digambarkan dengan fungsi
berikut:
QDK = f (PK, PS, I, S, JP) ............................................................ (2)
Dimana :
QDK = Permintaan komoditi
PK = Harga komoditi itu sendiri
PS = Harga komoditi lain
I = Pendapatan
S = Selera
JP = Populasi penduduk
1. Harga komoditi itu sendiri (PK)
Dengan asumsi cateris paribus, peningkatan harga komoditi yang
bersangkutan akan menurunkan permintaannya, dan sebaliknya. Permintaan dan
harga komoditi yang bersangkutan memiliki hubungan yang negatif.
26
2. Harga komoditi lain (PS)
Perubahan harga komoditi substitusi akan mempengaruhi permintaan atas
komoditi yang bersangkutan secara positif. Kenaikan harga komoditi substitusi
akan meningkatkan permintaan atas komoditi yang bersangkutan, dan sebaliknya.
Sedangkan perubahan harga barang komplementer dapat mengubah permintaan
komoditi yang bersangkutan secara negatif. Semakin tinggi harga barang
komplementer, semakin rendah permintaan atas komoditi yang bersangkutan.
3. Pendapatan (I)
Kenaikan pendapatan cenderung meningkatkan permintaan untuk
komoditi yang berupa barang normal, dan sebaliknya.
4. Selera (S)
Salah satu hal yang berpengaruh terhadap permintaan adalah selera.
Perubahan selera terjadi dari waktu ke waktu, dan cepat atau lambat akan
meningkatkan permintaan pada periode tertentu dan tingkat harga tertentu.
5. Populasi penduduk (JP)
Peningkatan jumlah penduduk dapat meningkatkan permintaan atas suatu
komoditi. Hal ini diakibatkan semakin banyak jumlah penduduk maka semakin
banyak konsumen yang menginginkan suatu komoditi.
Hubungan antara penawaran dan permintaan suatu komoditi merupakan
petunjuk penting dalam teori ekonomi, yang memperlihatkan berbagai jumlah
barang dan jasa yang diminta atau dibeli oleh konsumen dan yang ditawarkan oleh
produsen secara bersamaan sebagai pengaruh adanya perubahan harga barang dan
jasa yang bersangkutan atau faktor- faktor lainnya.
27
3.1.2 Fungsi Produksi
Suatu proses produksi melibatkan suatu hubungan yang erat antara faktor-
faktor produksi yang digunakan dengan produk yang dihasilkan. Produksi adalah
tindakan dalam membuat komoditi, baik berupa barang maupun jasa (Lipsey,
1993). Dalam pertanian, proses produksi begitu kompleks dan terus-menerus
berubah seiring dengan kemajuan teknologi.
Menurut Salvator (1997), fungsi produksi merupakan hubungan matematis
antara input dan output. Menurut Doll and Orazem (1984), fungsi produksi selain
menggambarkan hubungan antara input dan output, juga menggambarkan tingkat
dimana sumberdaya diubah menjadi produk. Ada banyak hubungan input dan
output dalam pertanian karena input yang diubah menjadi output akan berbeda-
beda di antara tipe tanah, hewan, teknologi, curah hujan, dan faktor lainnya. Tiap
hubungan input output menggambarkan kuantitas dan kualitas yang berbeda dari
sumberdaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk tertentu. Nicholson
(2002) dalam Purnamasari (2005) menyatakan bahwa fungsi produksi
memperlihatkan jumlah maksimum sebuah barang yang dapat diproduksi dengan
menggunakan kombinasi alternatif antara modal (K) dan Tenaga kerja (L).
Sebuah fungsi produksi dapat digambarkan dengan cara yang berbeda;
dalam bentuk tertulis, menyebutkan dan menggambarkan tiap input yang
berhubungan dengan output; dengan membuat daftar input dan hasil output secara
numerik dalam tabel; dalam bentuk grafik atau diagram; dan dalam bentuk
persamaaan aljabar. Menurut Doll and Orazem (1984), secara matematis fungsi
produksi dapat ditulis sebagai berikut:
Y = f (X1, X2, ..., Xn) ................................................................. (3)
28
Dimana Y adalah output dan X1, ..., Xn adalah input- input yang berbeda yang
terlibat dan ambil bagian dalam produksi Y. Simbol f menggambarkan bentuk
hubungan dari input menjadi output.
3.1.3 Teori Perdagangan Internasional
Perdagangan antar negara atau perdagangan internasional sudah ada sejak
dahulu namun masih dalam jumlah dan ruang lingkup yang terbatas. Seiring
dengan pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya taraf kehidupan yang
bersamaan dengan kemajuan teknologi informasi menyebabkan peningkatan
kebutuhan masyarakat. Peranan perdagangan internasional sangat penting, karena
pada saat ini tidak ada satu negara pun yang berada dalam kondisi autarki, yaitu
negara yang hidup terisolasi, tanpa mempunyai hubungan perdagangan dengan
negara lain.
Terdapat beberapa hal yang mendorong terjadinya perdagangan
internasional diantaranya keterbatasan suatu negara dalam sumberdaya alam,
sumberdaya modal, tenaga kerja, dan teknologi. Perbedaan dalam penawaran dan
permintaan antar negara juga turut menyebabkan terjadinya perdagangan
internasional.
Teori perdagangan internasional mengkaji dasar-dasar terjadinya
perdagangan internasional serta keuntungan yang diperolehnya. Kebijakan
perdagangan internasional membahas alasan-alasan serta pengaruh pembatasan
perdagangan, serta hal-hal yang menyangkut proteksionisme baru (new
protectionism) (Salvator, 1997).
Secara teoritis, suatu negara (sebut saja negara A) akan mengekspor suatu
komoditi (beras) ke negara lain (misalnya negara B) apabila harga domestik di
29
negara A (sebelum terjadinya perdagangan) relatif lebih rendah bila dibandingkan
dengan harga domestik di negara B (Gambar 1 ). Struktur harga yang relatif lebih
rendah di negara A tersebut disebabkan karena adanya kelebihan penawaran
(excess supply) yaitu produsi domestik melebihi konsumsi domestik, sebesar BE.
Dalam hal ini faktor produksi di negara A relatif berlimpah. Dengan demikian
negara A mempunyai kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain.
Negara B mengalami kekurangan suplai beras karena konsumsi domestiknya
melebihi produksi domestik (excess demand), sebesar B’E’ sehingga harga
menjadi lebih tinggi. Pada kesempatan ini negara B berkeinginan untuk membeli
komoditi beras dari negara lain yang harganya lebih murah.
Px/Py Px/Py Px/Py Sa Sw Sb
Ekspor A” Pb
B E Pw E* B’ A’ E’
Pa A A* D Impor Db
0 Da
Negara A Perdagangan Internasional Negara B
Gambar 1. Kurva Terjadinya Perdagangan Internasional
Sumber: Salvatore, 1997
Apabila kemudian terjadi komunikasi antara negara A dan negara B, maka
akan terjadi perdagangan antara kedua negara tersebut. Dalam hal ini negara A
akan mengekspor beras ke negara B. dapat dilihat pada gambar 1, sebelum
terjadinya perdagangan internasional, harga di negara A adalah sebesar Pa
30
sedangkan di negara B adalah sebesar Pb. Suplai di pasar internasional akan terjadi
jika harga internasional lebih besar dari Pa, sedangkan permintaan di pasar
internasional akan terjadi jika harga internasional lebih rendah dari Pb. Pada saat
harga internasional sama dengan Pw maka di negara B terjadi kelebihan
permintaan sebesar B’E’, sedangkan di negara A terjadi kelebihan suplai sebesar
BE. Perpaduan antara kelebihan penawaran di negara A dan kelebihan permintaan
di negara B akan menentukan harga yang terjadi di pasar internasional, yaitu
sebesar Pw. Dengan adanya perdagangan tersebut maka negara A akan
mengekspor beras sebesar BE, dan negara B akan mengimpor beras sebesar B’E’.
Negara A Perdagangan Internasional Negara B
Sb
Sa Sw Sw1 Db
Da Sa1 E* Eb
Pw1 E**
Pa
Pa1
B F E G 0 Q1 Q2 F’ B’ E’ G’ Gambar 2. Kurva Terjadinya Perdagangan Internasional 2.
Sumber: Salvator, 1997.
Berdasarkan gambar 2, dapat dilihat adanya saling ketergantungan antar
negara yang terlibat dalam perdagangan internasional. Seandainya oleh karena
satu atau beberapa hal menyebabkan penawaran ekspor suatu komoditi di negara
A meningkat sebagaimana yang ditunjukkan oleh pergeseran kurva penawaran
31
dari Sa menjadi Sa1. Pergeseran kurva penawaran ke kanan dapat disebabkan
karena terjadinya peningkatan produksi.
Pergeseran kurva penawaran Sa menjadi Sa1 menyebabkan harga domestik
menjadi turun. Oleh karena harga domestik relatif lebih rendah dibandingkan
dengan harga internasional maka secara ekonomis adalah lebih menguntungkan
bila mengekspor, dan ini ditunjukkan oleh pergeseran kurva penawaran ekspor
dari Sw menjadi Sw1. akibatnya harga di pasar internasional turun menjadi di
bawah P menjadi Pw1. penurunan harga di pasar internasional ini menyebabkan
permintaan domestik di negara B meningkat, sehingga akan terjadi pningkatan
jumlah impor menjadi F’G’ oleh negara B yang besarnya sama dengan jumlah
peningkatan ekspor oleh negara A menjadi FG. Kenaikan ekspor impor ini
ditunjukkan dalam perdagangan dunia yang meningkat dari 0Q1 menjadi 0Q2.
Mekanisme perdagangan internasional dapat dilihat pada gambar 2.
Kondisi nilai tukar seperti terdepresiasinya rupiah terhadap dollar juga
merupakan faktor yang dapat menyebabkan kurva penawaran bergeser ke kanan.
Nilai tukar menggambarkan daya saing suatu negara dalam perdagangan
internasional. Terdepresiasinya rupiah terhadap dollar membuat harga beras
Indonesia relatif lebih murah sehingga mendorong terjadinya peningkatan jumlah
penawaran ekspor (Mankiw, 2000). Mekanisme pengaruh perubahan kurs
terhadap volume ekspor dapat dilihat pada gambar 3.
32
Pengeluaran E Pengeluaran aktual
? NX
Pengeluaran direncanakan
Kurs e Kurs, e
e1 e1
e2 e2
NX1 NX2 (ekspor bersih) Y1 Y2 (output)
Sw Db Sb
Da Sa
P Sw1
Dw
F B E G 0 Q1 Q2 F’ B’ E’ G’ Negara A Perdagangan Internasional Negara B
Gambar 3. Mekanisme Pengaruh Kurs Terhadap Volume Ekspor
Sumber: Mankiw, 2000.
33
Seandainya di negara A terjadi deperesiasi kurs yang terlihat pada
penurunan kurs dari e1 menjadi e2. Penurunan kurs yang terjadi ini menyebabkan
terjadinya peningkatan output pada kurva IS. Peningkatan output ini terjadi karena
adanya peningkatan ekspor bersih sebagaimana ditunjukkan pada gambar
perpotongan Keynesian. Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa penurunan
kurs (depresiasi) menyebabkan terjadinya peningkatan volume ekspor.
Selanjutnya dapat dijelaskan pula bagaimana mekanisme peningkatan
volume ekspor yang disebabkan penurunan kurs pada gambar perdagangan
internasional. Semula sebelum terjadinya penurunan kurs, besarnya nilai excess
supply di negara A sebesar BE. Setelah terjadinya penurunan kurs menyebabkan
terjadinya peningkatan excess supply menjadi FG. Kondisi ini mengakibatkan
kurva suppy dunia mengalami pergeseran dengan titik awal yang sama.
Pergeseran kurva supply dunia dari Sw menjadi Sw1 menyebabkan tingkat harga
dunia yang terjadi lebih rendah dan volume perdagangan internasional meningkat
dari 0Q1 menjadi 0Q2. negara pengimpor merespon perubahan harga ini dengan
meningkatkan jumlah impornya. Besarnya volume ekspor negara A setelah
depresiasi kurs (FG) sama dengan besarnya volume impor negara B (F’G’).
3.1.4 Fungsi Ekspor
Ekspor suatu negara merupakan selisih produksi domestik dikurangi
konsumsi domestik ditambah dengan stok pada akhir tahun lalu, secara matematis
dapat digambarkan sebagai berikut:
Xt = PBt –KBt + SBt ............................................................................. (4)
34
Dimana:
Xt = Jumlah ekspor tahun ke t
PBt = Jumlah produksi domestik pada tahun ke t
KBt = Jumlah konsumsi domestik pada tahun ke t
SBt-1 = jumlah stok awal tahun ke t atau akhir tahun lalu (tahun ke t-1)
Jumlah produksi beras tahun ke t (PBt) pada dasarnya ditentukan input-
inputnya yaitu luas areal panen padi (LPt), penggunaan pupuk urea (PUt), iklim
yang terjadi selama satu tahun dan dalam hal ini adalah curah hujan rata-rata
(CHt), dan penggunaan teknologi (yang ditunjukkan oleh produktivitas (PVt)).
Dengan melihat faktor-faktor tersebut maka fungsi produksi dapat dituliskan
sebagai berikut:
PBt = f (LPt, PUt, CHt, PVt,) ................................................................. (5)
Produksi yang dihasilkan tersebut sebagian besar akan dikonsumsi
mengingat jumlah penduduk yang besar sehingga kebutuhan pangan pun besar.
Besar konsumsi tersebut (KBt) tergantung pada harga beras domestik (HEt),
Jumlah penduduk (JPt), Pendapatan per kapita (YPt), harga komoditi substitusi
(dalam hal ini jagung (HJt)) dan selera (yang ditunjukkan oleh konsumsi per
kapita (CPt)). Dengan demikian maka fungsi konsumsi dapat dituliskan sebagai
berikut :
KBt = f (HEt, JPt, YPt, HJt, CPt) ........................................................... (6)
Dari penjelasan-penjelasan tersebut maka ekspor (Xt) suatu komoditi
pertanian dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan struktural sebagai berikut:
Xt = f (LPt, PUt, CHt, PVt, HEt, JPt, YPt, HJt, CPt, SBt) .. .................. (7)
35
Selain dipengaruhi oleh faktor- faktor dalam negeri, jumlah ekspor tahun
ke t juga dipengaruhi oleh faktor- faktor yang berasal dari luar negeri. Ada dua
faktor yang berpengaruh terhadap jumlah ekspor tahun ke t yaitu tingkat nilai
tukar (Exchange Rate (ERt)), dan harga beras internasional (HDt). Dengan
demikian maka fungsi ekpor menjadi :
Xt = f (LPt, PUt, CHt, PVt, HEt, JPt, YPt, HJt, CPt, SBt, ERt, HDt)...(8)
Berdasarkan teori tersebut di atas maka pada saat fungsi ekspor tersebut
digunakan pada komoditas beras pada penelitian ini ada beberapa peubah yang
dikeluarkan dari fungsi ekspor karena diduga berpengaruh sangat kecil dan ada
peubah yang sulit diduga. Selain itu juga karena ketidaktersediaan data yang
diperlukan. Beberapa variabel yang tidak dimasukkan dalam analisis yaitu:
1. Luas Panen Padi (LPt), curah hujan (CHt), pupuk urea (PUt), harga dasar gabah
(HGt), stok beras (SBt), dan teknologi atau produktivitas (PVt).
Pada penelitian ini, variabel-variabel seperti luas panen padi (LPt), curah hujan
(CHt), pupuk urea (PUt), stok beras (SBt), dan teknologi atau produktivitas
(PVt) sudah terwakili oleh variabel produksi beras (PBt), sehingga tidak perlu
dimasukkan kembali ke dalam model persamaan ekspor.
2. Jumlah penduduk (JPt), pendapatan per kapita (YPt), dan konsumsi beras
domestik (KBt).
Pendapatan per kapita (Ypt) dan konsumsi beras domestik telah diwakili oleh
tingkat konsumsi beras per capita (CPt). Peningkatan jumlah penduduk akan
mempengaruhi tingkat konsumsi domestik. Oleh karena variabel konsumsi
beras per kapita telah mewakili konsumsi beras domestik, maka variabel
jumlah penduduk tidak perlu dimasukkan kembali ke dalam model.
36
3. Harga komoditi substitusi atau harga jagung (HJt)
Variabel harga komoditi substitusi atau harga jagung (HJt) tidak dimasukkan
ke dalam model persamaan karena diduga berpengaruh sangat kecil terhadap
volume ekspor beras Indonesia.
4. Harga beras internasional atau harga beras dunia (HDt)
Variabel harga beras internasional (HDt) tidak dimasukkan ke dalam
persamaan karena variabel tersebut sudah terwakili oleh adanya variabel nilai
tukar rupiah terhadap dollar (ERt). Nilai tukar rupiah terhadap dollar (ERt)
menyatakan berapa besar nilai rupiah yang harus dikorbankan untuk
mendapatkan dollar Amerika Serikat, yang dinyatakan dengan satuan rupiah
per dollar AS (Rp/US$). Nilai tukar ini menggambarkan daya saing suatu
negara dalam melakukan perdagangan internasional. Pada saat nilai tukar
rupiah meningkat yang berarti nilai rupiah melemah, maka secara teori
permintaan terhadap dollar meningkat sehingga peningkatan permintaan
terhadap dollar akan meningkatkan ekspor.
Dari teori tersebut maka fungsi ekspor dapat dirumuskan sebagai berikut:
Xt = f (PBt, ERt, HEt, CPt ) ........................................................ (9)
Sedangkan fungsi produksi dapat dirumuskan sebagai berikut:
PBt = f (LPt, HGt, PUt, CHt) ........................................................ (10)
3.1.5 Analisis Regresi Berganda
Analisis regresi linier berganda adalah analisis yang berkenaan dengan
studi ketergantungan satu variabel (variabel dependen) yang satu atau lebih
variabel lain (variabel independen) dengan maksud menaksir dan atau
meramalkan nilai variabel dependen berdasarkan nilai yang diketahui dari variabel
37
yang menjelaskan (variabel independen). Model regresi yang terdiri lebih dari satu
variabel independen disebut model regresi berganda (Gujarati, 1991).
Pendekatan yang paling umum digunakan dalam menentukan garis yang
paling cocok disebut Metode Kuadrat Terkecil atau Ordinary Least Square (OLS).
Metode kuadrat terkecil digunakan untuk menghitung persamaan garis lurus yang
meminimisasi jumlah kuadrat jarak antara titik data X-Y dengan garis yang diukur
ke arah vertikal Y. Dengan menggunakan OLS, dapat diperoleh intersep dan slope
sehingga diperoleh garis regresi yang menunjukkan trend data secara baik.
Dalam mengevaluasi apakah model yang digunakan sudah baik atau
belum, terdapat beberapa kriteria yang memerlukan pengujian secara statistik.
Indikator untuk melihat kebaikan model adalah R2, F-hitung, dan t-hitung.ukuran
ini digunakan untuk menunjukkan signifikan atau tindakannya model yang
diperoleh secara keseluruhan.
Dalam model regresi berganda dapat terjadi keterkaitan antar variabel
bebas yang disebut multikolinieritas. Multikolinieritas merupakan keadaan
dimana variabel-variabel independen pada regresi berganda saling berhubungan
erat. Kekuatan multikolinieritas diukur melalui faktor varian inflasi. Dalam
analisis regresi dengan data time series dan cross-section terdapat masalah
autokorelasi. Autokorelasi timbul karena sederetan pengamatan dari waktu ke
waktu saling berkaitan satu dengan yang lainnya, sehingga suatu nilai kejadian
pada periode waktu sebelumnya akan mempengaruhi nilai pada kejadian peride
waktu berikutnya. Pengujian autokorelasi tersebut dilakukan dengan uji Durbin
Watson.
38
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Beras merupakan komoditas pangan yang dijadikan sebagai bahan pangan
utama oleh sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia. Pangan adalah
kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa, sehingga dalam
keberlangsungannya ketersediaan beras menjadi hal yang sangat penting bagi
suatu negara.
Negara Indonesia merupakan negara produsen utama beras ke tiga di
dunia. Hal tersebut didukung oleh keadaan alam di Indonesia yang sangat
potensial untuk menanam padi. Namun demikian negara-negara produsen beras
lainnya seperti Vietnam dan Thailand telah mampu berswasembada beras, bahkan
menjadi eksportir beras utama pada tahun 2002 sampai sekarang. Sedangkan
Indonesia yang memiliki lahan lebih luas dari Thailand dan Vietnam sulit sekali
mempertahankan swasembada beras yang pernah dicapai pada tahun 1984 bahkan
Indonesia cenderung lebih sering bergantung pada impor beras untuk memenuhi
kebutuhan pangan berasnya.
Selain melakukan impor beras, Indonesia juga melakukan ekspor beras
untuk beras jenis tertentu. Produksi beras di Indonesia berfluktuasi dengan laju
pertumbuhan yang cenderung semakin menurun. Produksi beras yang berfluktuasi
tersebut mempengaruhi ekspor beras Indonesia. Sehingga dengan ketidakstabilan
produksi beras dalam negeri, ekspor beras Indonesia cenderung menurun dan
bahkan terhapus.
Adanya peningkatan ekspor yang cukup signifikan pada tahun 2004-2005
membuka peluang dan harapan bagi Indonesia untuk mempertahankan keadaan
tersebut dan bahkan untuk mengembangkannya, mengingat pada dasarnya
39
Indonesia memang memiliki potensi untuk memproduksi beras. Indonesia yang
memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi beras seharusnya mampu
meningkatkan produksinya dan mulai berusaha untuk mengembangkan ekspor
beras yang sudah ada.
Oleh karena itu kebutuhan untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi beras Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhi
ekspor beras Indonesia tersebut penting untuk dilakukan guna mengetahui
kebijakan strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk
meningkatkan produksi beras Indonesia dan ekspor beras yang sudah ada.
Pada dasarnya produksi beras merupakan perkalian antara faktor rendemen
beras (konversi beras) dengan produksi padi. Berdasarkan pada komponen input
yang digunakan dalam usahatani padi dan insentif bagi petani untuk menanam
padi, produksi beras Indonesia diduga dipengaruhi oleh luas areal panen padi,
harga dasar gabah, pupuk urea, dan curah hujan. Produksi padi pada dasarnya
tergantung pada luas areal panen padi dan produktivitas padi. Sehingga variabel
luas areal panen padi merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi
produksi beras Indonesia. Sedangkan harga dasar gabah merupakan harga yang
dapat memberikan insentif bagi petani untuk menanam padi, sehingga ketika
harga dasar gabah akan meningkat, produksi beras pun akan meningkat.
Selain luas panen padi dan harga gabah, faktor lain yang dapat
diperhitungkan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi beras
Indonesia adalah pupuk urea dan curah hujan. Hal ini didasari pada suatu
pemikiran dimana pupuk urea merupakan salah satu komponen input utama dalam
memproduksi padi sehingga penggunaan pupuk urea akan sangat menentukan
40
produktivitas padi yang dihasilkan dan akan mempengaruhi produksi beras
Indonesia, sedangkan curah hujan merupakan suatu iklim yang sangat mendukung
usahatani padi.
Sedangkan ekspor beras Indonesia diduga dipengaruhi oleh produksi
beras, nilai tukar, harga eceran beras atau harga beras domestik, dan konsumsi
beras per kapita. Produksi beras dan konsumsi beras per kapita diduga merupakan
faktor yang mempengaruhi ekspor karena ekspor beras dilakukan pada saat terjadi
surplus produksi. Variabel konsumsi beras per kapita menunjukkan besarnya
selera masyarakat dalam mengkonsumsi beras, dan dapat mewakili variabel
konsumsi beras domestik. Sedangkan harga beras eceran atau harga beras
domestik dijadikan pertimbangkan karena harga eceran diduga mempengaruhi
keputusan ekspor, dimana ketika harga beras eceran meningkat, insentif utuk
melakukan ekspor akan berkurang karena akan lebih menguntungkan jika menjual
beras di pasar domestik.
Nilai tukar mata uang suatu negara terhadap dollar dijadikan pertimbangan
untuk mengukur nilai pembelian dan penjualan barang ke luar negeri, sehingga
nilai tukar mata uang suatu negara mencerminkan daya saing negara tersebut di
pasar internasional. Berdasarkan pada kondisi tersebut, maka harga beras dunia
dapat diwakili oleh variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar. Dengan semakin
meningkatnya nilai tukar rupiah terhadap dollar, maka nilai rupiah akan semakin
menurun dan mendorong penawaran ekspor. Harga barang-barang domestik yang
diperdagangkan di pasar internasiona l akan berdaya saing karena memiliki harga
yang dirasakan lebih murah bagi negara-negara tujuan ekspor, dan hal tersebut
akan mendorong peningkatan ekspor beras Indonesia.
41
Bagan 1. Alur Kerangka Berpikir
Indonesia Sebagai Produsen Beras
Fluktuasi ekspor yang cenderung menurun
Pendugaan faktor- faktor yang Mempengaruhi Produksi Beras
Indonesia
Pengujian terhadap Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Ekspor Beras
Indonesia
Hasil Dugaan: Faktor Dominan yang
Mempengaruhi Produksi dan Ekspor Beras Indonesia
Pendugaan faktor- faktor yang Mempengaruhi Ekspor Beras
Indonesia
Analisis Regresi Berganda
Selain melakukan impor juga melakukan ekspor
beras
Fluktuasi Produksi beras
Peningkatan Ekspor pada periode 2004-2005
42
3.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan pada kerangka pemikiran yang ada, maka hipotesis penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi produksi beras Indonesia adalah luas
areal panen padi, harga dasar gabah, pupuk urea, dan curah hujan. Dimana
semua variabel tersebut memiliki korelasi positif terhadap produksi beras
Indonesia.
2. Faktor- faktor yang diduga mempengaruhi ekspor beras Indonesia adalah
produksi beras Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dollar, harga eceran
beras/harga beras domestik, dan konsumsi beras per kapita. Dimana produksi
beras Indonesia dan nilai tukar rupiah terhadap dollar memiliki korelasi positif
terhadap ekspor beras Indonesia, sedangkan harga beras eceran atau harga
beras domestik dan konsumsi beras per kapita memiliki korelasi negatif
terhadap ekspor beras Indonesia.
43
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
berupa data time series. Data time series meliputi data tahunan selama 30 tahun
(tahun 1976-2005). Semua data yang dikumpulkan diperoleh dari Departemen
Pertanian, Departemen Perdagangan, Badan Pusat Statistik, Badan Urusan
Logistik, dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi, serta literatur-
literatur dan situs-situs yang terkait dengan penelitian ini.
Penelitian ini dilakukan di Jakarta dan Bogor. Lokasi penelitian ini
ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa di Jakarta dan
Bogor terdapat instansi- instansi terkait seperti Departemen Pertanian, Departemen
Perdagangan, Badan Pusat Statistik, Badan Urusan Logistik, dan Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sosial Ekonomi yang menyediakan kebutuhan data yang
diperlukan dalam penelitian. Pengumpulan data dilakukan selama bulan Februari
sampai Maret 2007.
Adapun data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data-data yang
digunakan dalam analisis faktor- faktor yang mempengaruhi produksi dan ekspor
beras Indonesia, antara lain adalah: volume ekspor beras (ton), produksi beras
(ton), produksi padi (ton), harga dasar gabah (Rp/kg), curah hujan (mm/tahun),
harga beras eceran (Rp/kg), luas areal panen padi (Ha), produktivitas padi
(Ton/Ha), volume impor beras, penggunaan pupuk urea (kg/ha), harga jagung
(Rp/ton), konsumsi beras per kapita (kg/kapita/tahun), nilai tukar rupiah terhadap
44
dollar (Rp/US$), harga beras dunia (US$/ton), dan indeks harga konsumen
Indonesia.
4.2 Metode Analisis Data
Metode yang digunakan untuk untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi dan ekspor beras Indonesia adalah metode kuantitatif
dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dengan model regresi
linier berganda. Proses pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software
Microsoft Excel dan Minitab 14. Sedangkan metode deskriptif dalam penulisan
digunakan untuk memberikan penjelasan tentang gambaran umum perkembangan
perberasan, baik di Indonesia maupun di dunia. Selain itu metode deskriptif juga
digunakan untuk menginterpretasi data.
Model yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi dan ekspor beras Indonesia adalah model regresi
berganda dengan persamaan tunggal karena bentuk ini mampu menunjukkan
berapa persen variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen
dengan nilai R2. Selain itu model ini dapat melihat apakah variabel-variabel
independennya berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel dependen dengan
melihat uji-F dan uji- t serta perhitungannya lebih sederhana. Bentuk umum dari
fungsi regresi tersebut adalah:
Y = ao + ? ai Xi + Ei
Dimana:
Y = variabel dependen
ao = intersep
45
ai = parameter penduga Xi
Xi = variabel independen yang menjelaskan variabel Y
Ei = pengaruh sisa (error term)
Model tersebut diduga dengan Metode Kuadrat Terkecil Biasa (Ordinary
Least Square/ OLS) yang didasarkan pada asumsi-asumsi berikut (Supranto
(1984) dalam Resmisari (2006)):
1. Nilai rata-rata kesalahan pengganggu sama dengan nol, yaitu E (ei) = 0 untuk
i = 1, 2, 3, ..., n
2. Varian (ei) = E (ej) = s 2, sama untuk semua kesalahan pengganggu
(homoskedastisitas).
3. Tidak ada autokorelasi antara kesalahan pengganggu berarti kovarian (ei, ej) =
0, i ? j.
4. Variabel bebas Xi, X2, ..., Xk konstan dalam sampling yang terulang dan bebas
terhadap kesalahan pengganggu, E (Xi, ei) = 0.
5. Tidak ada kolinearitas ganda di antara variabel bebas X.
6. ei ˜ N (0 ; s 2), artinya kesalahan pengganggu mengikuti distribusi normal
dengan rata-rata nol dan varian s 2.
Dengan dipenuhinya asumsi di atas, maka koefisien regresi (parameter)
yang diperoleh merupakan penduga linier terbaik yang tidak bias (BLUE= Best
Linier Unbiased Estimator). Pengujian dilakukan terhadap variabel-variabel
independen yang diduga berpengaruh besar terhadap produksi dan ekspor beras
Indonesia.
46
4.2.1. Perumusan Model
Berdasarkan pada kerangka pemikiran teoritis, dan berbagai spesifikasi
model yang telah dicoba, maka model ekonometrik produksi dan penawaran
ekspor beras Indonesia secara umum diduga sebagai berikut:
PBt = a0 + a1 LPt + a2 HGt + a3 PUt + a4 CHt + ε t .............................. (9)
Xt = a0 + a1 PBt + a2 ERt + a3 HEt + a4 CPt + ε t ..................................... (10)
Dimana:
Xt = volume ekspor beras Indonesia (ton)
PBt = produksi beras Indonesia (ton)
LPt = luas areal panen padi Indonesia (Ha)
HGt = harga dasar gabah (Rp/kg)
PUt = pupuk urea (Kg/Ha)
CHt = curah hujan rata-rata (mm/tahun)
ERt = nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (Rp/US$)
HEt = harga beras domestik atau harga beras eceran (Rp/kg)
CPt = konsumsi beras domestik (kg/cap/tahun)
a0 = intersep
ai = koefisien regresi (i = 1, 2, 3, ...)
ε t = error
Nilai koefisien regresi yang diharapkan untuk model produksi adalah:
a1, a2, a3, dan a4 dan > 0
Nilai koefisien regresi yang diharapkan untuk model ekspor adalah:
a1dan a2 >0, a3 dan a4 < 0.
47
4.2.2 Pengujian Model dan Hipotesis
4.2.2.1 Goodness Of Fit (Kesesuaian Model)
Goodness Of Fit (kesesuaian model) dihitung dengan nilai koefisien
determinasi (R2). Koefisien determinasi (R2) bertujuan untuk mengukur
keragaman variabel dependen yang dapat diterangkan oleh variabel independen.
R2 menunjukkan besarnya pengaruh semua variabel independen terhadap variabel
dependen. Koefisien determinasi dapat dirumuskan sebagai berikut:
R2 = TotalKuadrat Jumlah GalatKuadrat Jumlah
1talKuadrat toJumlah
regresiKuadrat Jumlah −=
Selang R2 yang digunakan adalah 0<R2<1. R2 = 1 berarti semua variasi
respon dari variabel dapat dijelaskan dengan fungsi regresi, sedangkan R2 = 0
berarti tidak satupun variasi pada variabel dapat dijelaskan oleh fungsi regresi.
Dalam kenyataannya nilai R2 berada dalam selang 0 sampai 1 dengan intrepretasi
relatif terhadap ekstrim 0 dan 1. Nilai koefisien determinasi semakin mendekati 1,
maka model tersebut semakin baik.
4.2.2.2 Uji Statistik
Untuk menguji apakah secara statistik variabel independen yang
digunakan berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel dependen, digunakan
uji statistik-F dan uji statistik-t. Penggunaan uji statistik-F dilakukan untuk
mengetahui apakah model penduga yang diajukan sudah layak untuk menduga
parameter dalam fungsi produksi dan fungsi volume ekspor. Uji statistik-t
digunakan untuk menguji koefisien regresi dari masing-masing variabel
independen secara terpisah, apakah variabel ke- i berpengaruh nyata terhadap
variabel dependen (Gujarati, 1991).
48
4.2.2.2.1 Uji F
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel
independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen.
Pengujian yang dilakukan menggunakan distribusi F dengan membandingkan
antara nilai kritis F dengan nilai F-hitung yang terdapat pada hasil analisis.
Langkah- langkah analisis dalam pengujian hipotesis terhadap variasi nilai
variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variasi nilai variabel independen
adalah sebagai berikut:
1. Perumusan Hipotesis
H0 = variasi perubahan nilai variabel independen tidak dapat menjelaskan
variasi perubahan nilai variabel dependen.
H1 = variasi perubahan nilai variabel independen dapat menjelaskan variasi
perubahan nilai variabel dependen.
2. Perhitungan nilai kritis F-tabel dan F-hitung
Fhitung = ( )1-k-n
sisakuadrat Jumlah k
regresikuadrat Jumlah
Dimana:
n = jumlah pengamatan (j = 1, 2, 3, …,n)
k = jumlah peubah bebas (i = 1, 2, 3,...,k)
3. Penentuan penerimaan atau penolakan H0
Fhitung < Ftabel : terima H0
Fhitung > Ftabel : tolak H0
4. Apabila keputusan yang diperoleh adalah tolak H0 maka dapat disimpulkan
bahwa variasi perubahan nilai variabel dependen dapat dijelaskan oleh variasi
49
perubahan nilai semua variabel independen. Artinya, semua variabel
independen secara bersama-sama dapat berpengaruh terhadap variabel
dependen.
4.2.2.2.2 Uji t
Pengujian hipotesis dari koefisien dari masing-masing peubah bebas
dilakukan dengan uji t. Langkah-langkah analisis dalam pengujian hipotesis
terhadap koefisien regresi adalah:
1. Perumusan hipotesis
H0 : ai =0
H1 : ai < 0 atau ai >0
2. Penentuan nilai kritis
Nilai kritis dapat ditentukan dengan mengunakan tabel distribusi normal
dengan memperhatikan tingkat signifikansi (a) dan banyaknya sampel yang
digunakan.
3. Nilai t-hitung masing-masing koefisien regresi dapat diketahui dari hasil
perhitungan komputer.
Statistik uji yang digunakan dalam uji-t adalah :
thitung= ( )i
i
aSa
Dimana:
ai = nilai koefisien regresi atau parameter
S(ai) = standar kesalahan dugaan parame ter
Kriteria uji:
t hitung < t tabel : terima H0
t hitung > t tabel : tolak H0
50
4. Pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan letak nilai t-hitung masing-
masing koefisien regresi pada kurva normal yang digunakan dalam penentuan
nilai kritis. Jika letak t-hitung suatu koefisien regresi berada pada daerah
penerimaan H0, maka keputusannya adalah menerima H0. artinya koefisien
regresi tersebut tidak berbeda dengan nol. Dengan kata lain, variabel tersebut
tidak berpengaruh nyata terhadap nilai variabel dependen. Sebaliknya jika t-
hitung menyatakan tolak H0 maka koefisien regresi berbeda dengan nol dan
berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.
4.2.2.2.3 Uji Normalitas
Salah satu metode yang digunakan untuk menguji apakah error term
menyebar normal atau tidak adalah dengan menggunakan Metode Kolmogorov
Smirnov. Langkah- langkah dalam pengujian ini adalah:
1. Perumusan model
H0 : sebaran data normal
H1 : sebaran data tidak normal
2. Rumus Uji Kolmogorov Smirnov (KS) adalah:
X2 = 4 x (Dmax)2 x ( )( )nm
nm××
Dimana:
m = kelompok data 1
n = kelompok data 2
D = perbedaan maksimal kelompok data
3. Penentuan penerimaan atau penolakan H0
KS hitung < KS tabel maka terima H0
KS hitung > KS tabel maka tolak H0
51
4.2.2.2.4 Uji Multikolinieritas
Dalam model regresi yang mencakup lebih dari dua variabel independen,
sering dijumpai adanya kolinear ganda (multikolinear). Adanya multikolinear
menyebabkan pendugaan koefisien regresi tidak nyata walaupun nilai R2 tinggi,
tanda koefisien tidak sesuai dengan teori dan dengan metode OLS, penduga
koefisien mempunyai simpangan baku yang sangat besar.
Pengujian multikolinieritas dapat dilakukan dengan memperhatikan nilai
Variance Inflation factor (VIF) untuk koefisien regresi ke-j yang dapat
dirumuskan sebagai berikut:
VIF = ( )
jR
21
1
−, j= 1, 2, 3,..., k
Rj2 yang dimaksud adalah koefisien determinasi dari regresi variabel
independen ke j pada k-1 variabel independen sisanya untuk k = 2 variabel
independen, rj2 adalah kuadrat dari korelasi sampel r. Jika variabel prediktor X ke j
tidak berkaitan dengan X sisa, maka Rj2 = 0. Jika terdapat hubungan, maka VIFj >
10. Nilai VIF mendekati 10 (< 10) menunjukkan bahwa tidak terdapat masalah
multikolinier pada variabel independen.
4.2.2.2.5 Uji Heteroskedastisitas
Variabel atau keragaman dalam deret waktu cenderung meningkat dengan
tingkat deret. Variabilitas dapat meningkat apabila variabel berkembang pada
tingkat yang konstan dibandingkan jumlah yang konstan sepanjang waktu.
Variabel yang tidak konstan disebut heteroskedastisitas. Pengujian untuk
menganalisis masalah heteroskedastisitas antara lain adalah dengan metode uji
homogenitas Barlett. Pengujian dengan metode Barlett menggunakan rumus:
52
B =
( )
( )[ ]13
11
1
lnv-Ev
Svln v 2
ii
i2
i
i
−
−
+
×
∑ ∑
∑∑
∑
k
vv
S
ii
i
Si2 =
( )
1
2
1
−
∑=
−
i
n
j
ij
n
XXi
Keterangan:
B hitung = nilai uji Barlett hitung
K = jumlah variabel
ni = jumlah sampel variabel i
Vi = derajat kebebasan (ni - 1)
S2i = ragam variabel i
Dengan hipotesis:
H0 = data homogen
H1 = data tidak homogen
Jika B hitung < B tabel maka terima H0
Jika B hitung > B tabel maka tolak H0
4.2.2.2.6 Uji Autokorelasi
Dalam analisis regresi dengan data time series dan cross-section terdapat
masalah autokorelasi. Uji autokorelasi digunakan untuk mengetahui apakah error
pada suatu persamaan bersifat independen atau dependen. Pengujian kemungkinan
adanya autokorelasi dilakukan dengan uji d Durbin Watson.
53
Rumus Durbin Watson:
( )
t
n
t
n
t
ed
∑
∑
=
==
1
2
1-tt e -e, dimana 0<d<4
Nilai hitung statistik d dibandingkan dengan nilai d tabel, yaitu dengan batas
bawah (dL) dan batas atas (dU). Hasil perbandingan akan menghasilkan
kesimpulan seperti sebagai berikut:
1. Jika d < dL, berarti ada autokorelasi positif
2. Jika d > 4-dL, berarti ada autokorelasi negatif
3. Jika dL < d < 4-dU, berarti tidak terjadi autokorelasi positif ataupun negatif
4. Jika dL = d = dU atau 4-dU = d = 4-dL, berarti tidak dapat disimpulkan.
4.2.2.2.7 Pengukuran Elastisitas
Pengukuran elastisitas dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh
peubah dependen terhadap peubah independen (Koutsoyiannis, 1977). Elastisitas
adalah derajat kepekaan peubah dependen terhadap perubahan yang terjadi pada
peubah independen yang mempengaruhinya. Nilai elastisitas dari model linear
berganda diperoleh dari perhitungan berikut:
E (Yt Xit) = ( )
( )t
it
YX a
Dimana:
E (Yt Xit) = Elastisitas variabel Yt terhadap variabel Xit
ai = koefisien regresi variabel independen Xi
Xi = Rata-rata variabel independen Xi
Yt = Rata-rata variabel dependen (Yt)
54
Apabila nilai elastisitas lebih besar dari 1 (E >1) dikatakan elastisitas
(responsif) karena perubahan satu persen variabel independen mengakibatkan
perubahan variabel dependen lebih dari satu persen. Jika nilai elastisitas antara nol
dan satu (0 < E < 1) dikatakan inelastis (tidak responsif) karena perubahan satu
persen variabel independen akan mengakibatkan perubahan variabel independen
kurang dari satu persen. Sedangkan nilai elastisitas sama dengan nol (E = 0)
artinya inelastis sempurna, dan nilai elastisitas tak hingga (E = ~) artinya
elastisitas sempurna, dan jika nilai elastisitas sama dengan satu (E = 1) disebut
elastis uniter.
4.2.3 Model Alternatif
Satu asumsi penting dalam model regresi linier adalah bahwa gangguan
(disturbance) ui yang muncul dalam fungsi regresi populasi adalah homoscedastic,
yaitu semua gangguan tadi memiliki varians yang sama. Jika asumsi itu tidak
dapat dipenuhi maka dapat dikatakan terjadi penyimpangan. Penyimpangan
terhadap faktor pengganggu disebut heteroskedastisitas. Keadaan
heteroskedastisitas tersebut akan mengakibatkan penduga OLS yang diperoleh
tetap memenuhi persyaratan tidak bias. Selain itu juga varians yang diperoleh
menjadi tidak efisien, artinya cenderung membesar sehingga tidak lagi merupakan
varians yang terkecil. Kecenderungan membesarnya varians tersebut akan
mengakibatkan uji hipotesis yang dilakukan tidak akan memberikan hasil yang
baik (tidak valid). Dengan demikian model perlu diperbaiki dulu agar pengaruh
dari heteroskedastisitasnya hilang (Firdaus, 2004 dalam Resmisari, 2006)
Salah satu cara untuk menyempurnakan model adalah dengan
mentransformasikan model asli ke dalam model yang baru, sehingga diharapkan
55
akan mempunyai e dengan varians yang konstan. Untuk mengatasi terjadinya
heteroskedastisitas yang terdapat dalam model, dapat dilakukan transformasi ke
dalam bentuk logaritma. Transformasi model dalam bentuk logaritma dapat
mengurangi masalah heteroskedastisitas, hal ini disebabkan karena transformasi
yang memampatkan skala untuk pengukuran variabel, mengurangi perbedaan nilai
dari sepuluh kali lipat menjadi perbedaan dua kali lipat (Gujarati, 1991).
Model produksi beras yang diperoleh dengan mentransformasi model
dalam bentuk logaritma natural adalah:
Ln-PBt = a0 + a1 ln-LPt + a2 ln-HGt + a3 ln-PUt + a4 ln-CHt + et
Model ekspor beras yang diperoleh dengan mentransformasi model dalam
bentuk logaritma natural adalah:
Ln Xt = a0 + a1 ln-PBt + a2 ln-ERt + a3 ln-HEt + a4 ln-CPt + et
Manfaat tambahan dari transformasi logaritma bahwa koefisien
kemiringan ai mengukur elastisitas variabel endogen terhadap variabel eksogen,
yaitu persentase perubahan dalam variabel endogen untuk persentase perubahan
dalam variabel eksogen.
56
V. POTENSI PRODUKSI DAN EKSPOR BERAS
5.1 Kondisi Perberasan Indonesia
Indonesia merupakan negara agraris sehingga sebagian besar mata
pencaharian penduduknya adalah sebagai petani. Hal ini didukung oleh keadaan
alam indonesia yang sangat potensial dijadikan lahan pertanian untuk komoditi
pertanian daerah tropis. Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam
tatanan perekonomian Indonesia karena sesuai dengan predikat Indonesia sebagai
negara agraris. Hal itu terbukti pada saat Indonesia mengalami krisis
multidimensional hanya sektor pertanian yang mampu survive bahkan mampu
menjadi penyangga sektor lainnya.
Sektor pertanian memiliki peranan penting dalam pembangunan ekonomi
nasional. Peranan penting sektor pertanian di dalam perekonomian Indonesia
adalah terutama dalam bentuk penyediaan kesempatan kerja dan kontribusinya
terhadap pembentukan PDB dan ekspor (Tambunan, 2003). Oleh karena itu sektor
petanian merupakan suatu sektor penting yang harus dipertahankan dan
dikembangkan di Indonesia.
Indonesia menyandang predikat sebagai negara produsen beras terbesar ke
tiga di dunia (Sawit, 2006). Hal ini didukung oleh potensi alam, iklim, dan
topografi yang sangat potensial untuk dilakukannya usahatani padi di Indonesia.
Selain itu menurut (Rachman et al., 2004), Indonesia juga memiliki keunggulan
komparatif dan kompetitif dalam memproduksi beras.
Dari sisi usahatani, produktivitas padi per hektar Indonesia merupakan
yang tertinggi setelah China, sementara dari sisi biaya produksi per kilogram,
57
usahatani padi Indonesia termasuk yang efisien, yaitu sekitar Rp.688 per kg beras
atau setara dengan US$ 81 per ton (kurs 1 US$ = Rp.8500). Dengan biaya
usahatani yang relatif rendah dan produktivitas per hektar yang relatif tinggi,
maka usahatani padi Indonesia cukup kompetitif dibandingkan dengan negara-
negara penghasil beras lainnya.
Luas pertanaman padi di Indonesia diperkirakan mencapai 11–12 juta ha,
yang tersebar di berbagai tipologi lahan seperti sawah (5,10 juta ha), lahan tadah
hujan (2,10 juta ha), ladang (1,20 juta ha), dan lahan pasang surut. Lebih dari 90%
produksi beras nasional dihasilkan dari lahan sawah (Badan Pusat Statistik 2000),
dan lebih dari 80% total areal pertanaman padi sawah telah ditanami varietas
unggul (Badan Pusat Statistik, 2000).
Dari sisi ketersediaan lahan, menurut Hutapea dan Mashar (2003), lahan
kering yang tersedia di Indonesia pada saat ini sebesar 11 juta hektar yang
sebagian besar berupa lahan tidur dan lahan marginal sehingga tidak produktif
untuk tanaman pangan. Di Pulau Jawa yang padat penduduk, rata-rata pemilikan
lahan usaha tani berkisar hanya 0,2 ha/KK petani. Namun, banyak pula lahan tidur
yang terlantar. Ada 300.000 ha lahan kering terbengkalai di Pulau Jawa dari
kawasan hutan yang menjadi tanah kosong terlantar. Luas lahan pasang surut dan
Lebak di Indonesia diperkirakan mencapai 20,19 juta hektar dan sekitar 9,5 juta
hektar berpotensi untuk pertanian serta 4,2 juta hektar telah di reklamasi untuk
pertanian (Ananto, E.,2002 dalam Hutapea dan Mashar 2003). Hal ini
mengindikasikan bahwa masih banyak potensi alam Indonesia yang belum
dimanfaatkan secara optimal.
58
Perekonomian beras (rice economy) secara signifikan merupakan
pendukung pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 1960-an
(Timmer,1996 dalam Amang dan Sawit, 1999). Dalam rangka penyediaan pangan
nasional dan sumber lapangan kerja transisi, Indonesia terus berusaha mendorong
peningkatan produksi beras dalam negeri dan mengelola stok beras nasional untuk
tujuan emerjensi dan stabilisasi harga (Sawit, 2006). Produksi beras atau padi
dalam negeri sangat penting untuk menghindari tingginya resiko ketidakstabilan
harga dan suplai beras dari pasar dunia, disamping terkait erat dengan usaha
pengentasan kemiskinan dan pembangunan pedesaan.
Pusat penanaman padi di Indonesia adalah Pulau Jawa (Karawang,
Cianjur), Bali, Madura, Sulawesi, dan akhir-akhir ini Kalimantan. Pada tahun
1992 luas panen padi mencapai 11,10 ha dengan rata-rata hasil 4,35 ton/ha/tahun.
Produksi padi nasional adalah 48,24 ton. Pada tahun itu hampir 22,5 % produksi
padi nasional dipasok dari Jawa Barat. Dengan adanya krisis ekonomi, sentra padi
Jawa Barat seperti Karawang dan Cianjur mengalami penurunan produksi yang
berarti.
Sekitar tahun 1984 pertanian Indonesia menjadi sorotan dunia, hal itu
dikarenakan Indonesia mampu berswasembada beras. Tetapi tahun-tahun
berikutnya hasil pertanian padi Indonesia terus mengalami peningkatan dengan
laju pertumbuhan yang menurun. Konsep pembangunan yang tidak berkelanjutan
dan pengalihan leading sector pembangunan ke bidang industri dianggap sebagai
salah satu penyebabnya.
59
Potensi produksi beras yang masih diliputi oleh berbagai kendala ini,
membuat Indonesia memilih untuk mengembangkan konsep swasembada on
trend dengan pertimbangan sebagai berikut:
(1) Kebutuhan beras Indonesia sangat besar karena sebagian sumber kebutuhan
pokok pangan masyarakat didominasi oleh beras dan elastisitas permintaan
terhadap beras masih positif.
(2) Kebutuhan pangan atau beras nasional mencapai hampir dua setengah kali
jumlah beras yang beredar di pasar beras dunia dan kebutuhan tersebut
meningkat terus, sehingga Indonesia tidak dapat sepenuhnya menggantungkan
diri dari impor.
(3) Kondisi wilayah Indonesia sangat luas dan terdiri dari ribuan pulau, serta
dengan sarana infrastruktur yang belum semuanya memadai, sehingga apabila
ada gangguan dalam produksi beras, maka pemenuhan kebuhan beras dapat
dijamin melalui impor.
Disisi lain sebenarnya Indonesia memiliki potensi cukup besar untuk
mencapai kemandirian pangan jika dikaitkan dengan potensi peningkatan
produksi padi. Penelitian menunjukkan bahwa produktivitas padi masih dapat
ditingkatkan melalui inovasi teknologi di berbagai agroekosistem padi, baik di
lahan sawah irigasi, lahan kering, lahan sawah tadah hujan, maupun lahan rawa
pasang surut. Selain melalui inovasi teknologi, kemandirian pangan akan lebih
cepat dicapai kalau masyarakat mulai belajar memanfaatkan sumber pangan selain
beras (diversifikasi) (Balitbang, 2004).
Selain itu menurut Sumarno (2006), Indonesia sebenarnya memiliki
potensi ekspor beras, namun potensi tersebut perlu direalisasikan dengan
60
mengupayakan perluasan lahan pertanian padi. Peningkatan produktivitas tanpa
dibarengi oleh peningkatan luas areal tanam padi tidak akan mengahasilkan
produksi yang maksimum.
5.1.1 Perkembangan Produksi Beras Indonesia
Produksi beras dalam negeri dari tahun ke tahun terus meningkat,
walaupun mempunyai kecenderungan laju pertumbuhannya melandai. Sejak
periode tahun 1993 hingga tahun 2001 laju peningkatan produksi pangan,
terutama beras mengalami penurunan. Rendahnya laju peningkatan produksi
pangan dan terus menurunnya produksi di Indonesia antara lain disebabkan oleh:
(1) Produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan terus menurun; (2)
Peningkatan luas areal penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun
khususnya di lahan pertanian pangan produktif di pulau Jawa. Kombinasi kedua
faktor di atas memastikan laju pertumbuhan produksi dari tahun ke tahun yang
cenderung terus menurun (Hutapea dan Mashar, 2003)
Perkembangan luas areal panen selama kurun waktu 1990-2001 relatif
tidak banyak berubah dengan laju pertumbuhan hanya 0,31 persen/tahun. Luas
areal panen terendah terjadi pada tahun 1991 (10,28 juta ha) dan tertinggi pada
tahun 1998 (11,730 juta ha). Bahkan laju produktivitas padi hanya 0,04
persen/tahun, dengan kisaran antara 4,17 ton/ha (1998) sampai dengan 4,52 ton/ha
(1999). Laju pertumbuhan produksi pada kurun waktu tersebut sebesar 0,32
persen/tahun dengan kisaran produksi antara 44,69 juta ton hingga 51,17 juta ton
GKG, setara dengan 29,04 juta ton hingga 33,21 juta ton beras.
Di sisi lain, pertumbuhan penduduk Indonesia melaju dengan cepat, yakni
1,35 % per tahun pada periode tahun 1990-2000. Kenyataan ini menyebabkan
61
produksi dalam negeri hanya cukup untuk pemenuhan konsumsi beras domestik,
bahkan untuk cadangan nasional setiap tahun selalu ada realisasi impor beras dari
luar negeri.
Tabel 3. Produksi padi (GKG) menurut Pulau di Indonesia Tahun 2001-2005 (000 ton)
Daerah 2000 2001 2002 2003 2004 2005* Sumatera 11.819 11.286 11.542 12.136 12.665 12.620
(22,77) (22,37) (22,42) (23,28) (23,42) (23,25) Jawa 29.120 28.312 28.607 28.167 29.635 29.763
(56,11) (56,11) (55,56) (54,03) (54,79) (55,06) Bali dan Nusa
Tenggara 2.776 2.695 2.647 2 .725 2.807 2.590 (5,35) (5,34) (5,14) (5,23) (5,19) (4,79)
Kalimantan 3.000 3.074 3.169 3.357 3.656 3.604 (5,78) (6,09) (6,16) (6,44) (6,76) (6,67)
Sulawesi 5.065 4.982 5.438 5.602 5.171 5.296 (9,76) (9,87) (10,56) (10,74) (9,56) (9,80)
Maluku dan Irian Jaya 117 108 85 149 151 180 (0,23) (0,22) (0,17) (0,29) (0,28) (0,33)
Luar Jawa 22.778 22.148 22.881 23.970 24.452 24.292 (43,89) (43,89) (44,44) (45,97) (45,21) (44,94)
Indonesia 51.898 50.460 51.489 52.137 54.088 54.056 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2000-2005
Keterangan: * : angka sementara
Angka di dalam kurung menyatakan persentase terhadap produksi nasional.
Produksi padi Indonesia pada dasarnya tergantung pada dua variabel, yaitu
luas areal panen dan produkstivitas per satuan luas. Produksi dalam negeri sampai
saat ini masih didominasi oleh pulau Jawa yaitu sekitar 56 % persen dari total
produksi nasional. Pada tabel 3, terlihat bahwa selama ini produksi padi dalam
negeri masih tergantung pada produksi di pulau Jawa, karena 56 persen produksi
padi berada di pulau Jawa, selebihnya tersebar 22 persen di pulau Sumatera, 10
persen di pulau Sulawesi dan 5 persen di pulau Kalimantan. Pulau Jawa mendapat
proporsi paling besar dalam pengusahaan padi. Hal ini didukung oleh topografi,
dan kesuburan tanah di pulau Jawa yang sangat cocok untuk usahatani padi.
Selain itu tenaga kerja yang dibutuhkan dalam sektor pertanian juga lebih banyak
62
terdapat di pulau Jawa mengingat pulau Jawa merupakan pulau yang terpadat
penduduknya.
Pulau Jawa merupakan sentra produksi padi yang utama dan berperan
sebagai penyangga produksi beras nasional. Luas tanaman di pulau Jawa
cenderung menurun. Hambatan peningkatan luas tersebut karena: 1) pertambahan
penduduk yang relatif tinggi akan meningkatkan permintaan terhadap lahan
perumahan dan infrastruktur. 2) Industrialisasi diperkirakan akan cenderung
berlokasi di pulau Jawa yang memiliki fasilitas infrastruktur yang lebih baik.
Hambatan lain yang menyebabkan usaha peningkatan hasil per hektar lebih sukar
diduga karena harga pupuk dan pestisida/insektisida yang meningkat, sehingga
pemakaian pupuk tidak berimbang (Suryana et al., 2001).
Tabel 4. Perkembangan Produksi Padi dan Beras Tahun 2000-2005
Tahun Luas Panen Padi (ha)
Produksi Padi (ton)
Produktivitas Padi (ton)
Produksi Beras (ton)
2000 11.793.475 51.989.852 4,40 32.696.277 2001 11.499.997 50.460.782 4,38 31.790.293 2002 11.521.166 51.489.694 4,47 32.438.507 2003 11.477.357 52.078.830 4,54 32.809.663 2004 11.922.974 54.088.468 4,54 34.075.735 2005 11.818.913 54.056.282 4,57 34.055.458
Sumber: Badan Pusat Statistik.
Laju pertumbuhan produksi pangan nasional dalam dasawarsa terakhir
rata-rata cenderung terus menurun. Luas lahan pertanian di Indonesia semakin
lama semakin berkurang oleh karena adanya konversi lahan pertanian ke non
pertanian. Konversi lahan ini dilakukan sebagai bentuk implikasi dari
pertambahan jumlah penduduk yang menuntut bertambahnya kebutuhan manusia
akan pemukiman dan barang-barang kebutuhan lainnya. Tentu saja hal ini
berpengaruh terhadap produksi padi dalam negeri mengingat luas lahan adalah
63
salah satu faktor yang berpengaruh terhadap produksi padi. Kenyataan tersebut
dapat dilihat pada tabel 4.
Namun demikian, dalam rangka meningkatkan produktivitas dan produksi
padi nasional, pemerintah tengah mempromosikan pengembangan sistem dan
usaha agribisnis berbasis usahatani padi. Berbagai program promosi yang
dilaksanakan secara berkelanjutan adalah sebagai berikut: (a) Pengembangan
infrastruktur mendukung usahatani padi dan peningkatan akses petani terhadap
sarana produksi dan sumber permodalan, (b) Peningkatan mutu intensifikasi
usahatani padi dengan menggunakan teknologi maju, (c) Melaksanakan
ekstensifikasi lahan pertanian terutama di luar Jawa, dan (e) Peningkatan akses
petani terhadap sarana pengolahan pasca panen dan pemasaran.
Pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut ternyata telah mendorong
peningkatan produksi padi. Pada tahun 2003, produksi padi mencapai 52,08 juta
ton gabah kering giling, atau meningkat sekitar 0,70 persen dibanding produksi
tahun 2002. Adapun produktivitas padi pada tahun 2003 meningkat menjadi 45,38
kuintal/ha, atau naik sekitar 1,29 persen dibandingkan tahun 2002.
Tahun 2004, produksi padi nasional mencapai 54,09 juta ton gabah kering
giling, setara 34 juta ton beras (konversi 0,632), merupakan produksi beras
tertinggi selama Republik ini berdiri. Tahun 2004 Indonesia dapat dikatakan
mampu swasembada beras, mengulangi keberhasilan swasembada tahun 1984.
5.1.2 Perkembangan Konsumsi Beras Indonesia
Beras merupakan bahan pangan pokok bagi masyarakat Indonesia dan
tetap mendominasi pola makan orang Indonesia. Dari 11 jenis pola pangan pokok
rumah tangga di Indonesia, pola pangan pokok beras adalah yang dominan di
64
setiap propinsi. Perubahan jenis pangan pokok hanya terjadi pada komoditas
bukan beras, seperti antara jagung dengan umbi-umbian dan sebaliknya. Hal
tersebut menunjukkan bahwa preferensi rumah tangga terhadap beras sangat besar
dan sulit diubah (Mardianto dan Ariani, 2004).
Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai lebih dari 219 juta jiwa
dengan angka pertumbuhan 1,7 % per tahun. Angka tersebut mengindikasikan
besarnya bahan pangan yang harus tersedia. Kebutuhan yang besar jika tidak
diimbangi peningkatan produksi pangan justru menghadapi masalah bahaya latent
yaitu laju peningkatan produksi di dalam negeri yang terus menurun. Jika tidak
ada upaya untuk meningkatkan produksi pangan maka akan menimbulkan
masalah antara kebutuhan dan ketersediaan dengan kesenjangan semakin melebar.
Tabel 5. Jumlah Penduduk dan Tingkat Konsumsi beras di Indonesia
Tahun Jumlah Penduduk (jiwa) Konsumsi Beras Domestik (ton)
1998 201.537.838 28.501.481,05 1999 204.789.931 25.140.011,93 2000 208.436.800 23.401.199,54 2001 211.063.000 24.515.474 2002 213.722.300 24.611.977,95 2003 214.374.096 24.687.037,92 2004 217.072.346 25.505.827 2005 219.205.000 25.461.186,84
Sumber: Badan Pusat Statistik
Pada tabel 5 dapat diketahui bahwa konsumsi beras perkapita penduduk
Indonesia sangat tidak stabil. Pada peride tahun 1998 hingga tahun 2005
konsumsi beras domestik tertinggi adalah pada tahun 1998, kemudian terjadi
penurunan konsumsi yang sangat signifikan pada tahun 1999, yang semula
sebesar 28,5 juta ton menjadi 25,14 juta ton. Penurunan ini sangat besar
kemungkinannya disebabkan oleh kondisi krisis ekonomi dan bukan karena mulai
65
beralihnya konsumsi beras ke non beras. Selain itu hal ini juga disebabkan oleh
konsumsi beras per kapita per tahun antara penduduk pedesaan relatif lebih tinggi
jika dibandingkan dengan penduduk perkotaan, karena banyaknya jumlah
penduduk yang mempunyai golongan pendapatan rendah di desa jika
dibandingkan dengan perkotaan, sedangkan penduduk kota lebih cenderung
menyukai jumlah makanan cepat saji yang sebetulnya bukan berbahan baku dari
beras (Sitepu, 2002).
Fenomena penurunan konsumsi ini terus berlangsung tahun 2000,
kemudian konsumsi beras kembali berfluktuasi hingga tahun 2005. Namun jika
dilihat secara keseluruhan, terjadi penurunan konsumsi beras yang sangat
signifikan dari 28,5 juta ton pada tahun 1998 menjadi 25,46 juta ton pada tahun
2005. Hal ini terjadi akibat mulai berubahnya pola konsumsi masyarakat terutama
masyarakat perkotaan yang lebih suka mengkonsumsi roti atau berbagai sayuran
dengan tujuan mengatur pola diet khusus.
5.1.3 Perkembangan Ekspor dan Impor Beras Indonesia
Analisis perkembangan ekspor sektor pertanian dilakukan sebagai upaya
dalam mengevaluasi kinerja dan capaian pembangunan sektor pertanian secara
kuantitatif dalam meningkatkan kontribusinya terhadap penerimaan negara.
Sektor pertanian dalam hal ini meliput i subsektor tanaman pangan, khususnya
padi atau beras.
Subsektor tanaman pangan merupakan satu-satunya subsektor yang belum
berorientasi ekspor. Fokus peningkatan produktivitas komoditas tanaman pangan
lebih diarahkan pada penguatan pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri.
Karena itu dalam perdagangan internasional lebih diupayakan penekanan pada
66
bagaimana meningkatkan produksi, diversifikasi produk khususnya untuk produk
substitusi impor.
Perkembangan volume ekspor beras Indonesia selama periode tahun 1976
hingga tahun 2005 yang dapat dilihat pada lampiran 1 menunjukkan
kecenderungan berfluktuasi secara signifikan. Pada periode tahun 1976 hingga
1983 Indonesia hampir sama sekali tidak melakukan ekspor beras. Hal ini karena
pada periode tersebut Indonesia belum mampu untuk berswasembada pangan dan
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, Indonesia harus melakukan
impor. Namun pada periode 1984 hingga tahun 1985 mengalami peningkatan
yang relatif signifikan. Hal ini terjadi karena pada tahun 1984 Indonesia berhasil
mencapai swasembada pangan sehingga ekspor beras dapat dilakukan tanpa
mengorbankan konsumsi beras domestik.
Pada tahun 1985 hingga tahun 2000 ekspor beras mengalami fluktuasi
yang cenderung menurun, bahkan pada tahun 1995 ekspor beras Indonesia
mengalami penurunan yang sangat signifikan dibandingkan tahun 1994 yaitu dari
sebesar 233 ribu ton menjadi 10 ton. Hal ini terjadi karena terjadinya peningkatan
konsumsi perkapita dari 139,6 pada tahun 1994 menjadi 171,16 pada tahun 1995,
selain itu terjadi peningkatan jumlah panduduk sebesar 1,6 % dari tahun
sebelumnya. Keadaan ini membuat Indonesia harus mengorientasikan produksi
berasnya kepada pemenuhan kebutuhan konsumsi beras domestiknya terlebih
dahulu, sehingga ekspor beras menurun secara signifikan.
Pada tabel 6 terlihat bahwa peningkatan ekspor beras kembali dicapai oleh
Indonesia pada periode tahun 2001 hingga 2002, namun pada tahun 2003 ekspor
beras Indonesia turun kembali menjadi 1.234 ton, sedangkan pada tahun 2004
67
ekspor beras Indonesia kembali meningkat menjadi 4.495 ton dan pada akhir 2005
ekspor beras Indonesia meningkat cukup signifikan menjadi 44.285 ton.
Peningkatan ekspor beras selama dua tahun terakhir ini terjadi karena adanya
peningkatan produksi beras akibat adanya perluasan luas areal tanam melalui
pencetakan sawah-sawah baru pada tahun 2004. Selain itu peningkatan ekspor
beras tersebut juga dipicu oleh peningkatan harga beras internasional dan nilai
tukar rupiah terhadap dollar yang terjadi pada periode 2004-2005.
Tabel 6. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Beras Indonesia Tahun 2000-2005
Tahun Volume Ekspor Beras (ton) Nilai Ekspor Beras (US$/ton) 2000 4.671 907.000 2001 5.222 997.000 2002 11.320 1.643.000 2003 1.234 679.000 2004 4.495 1.465.186 2005 44.285 8.941.927
Sumber: Departemen Pertanian.
Dari rata-rata ekspor beras Indonesia pada tahun 2000-2003, beras
Indonesia paling banyak diekspor ke negara Philippina (17,34 %), kemudian
diikuti dengan East Timur (7,89 %), Malaysia (6,06 %), dan negara-negara
lainnya (Deptan, 2004). Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia telah mampu
mengembangkan potensinya sebagai negara produsen beras, meskipun beras yang
diekspor adalah beras jenis tertentu yang kualitasnya memenuhi standar kualitas
yang ditetapkan oleh negara tujuan ekspor beras Indonesia.
Pada periode 1998-1999, terjadi penurunan produksi padi akibat adanya
bencana El Nino yang bersamaan dengan krisis ekonomi, sehingga impor beras
tertinggi yaitu mencapai 3,8 juta ton/tahun, dengan tingkat ketergantungan impor
hampir 11%. Namun, impor beras menurun drastis pada periode 2004-2005,
68
karena Indonesia melarang impor beras, kecuali beberapa jenis beras untuk
penggunaan tertentu (Tabel 7). Pada periode ini, rata-rata impor hanya 206 ribu
ton/tahun, dengan tingkat swasembada mencapai 99,5% (Sawit, 2006).
Tabel 7. Produksi, Impor/Ekspor Beras (1000 Ton), dan Tingkat Swasembada dan Ketergantungan impor: Rataan 4 periode 1995-2005
Rataan/ Tahun Produksi Impor Ekspor
Tingkat Swasembada (%)
Tingkat Ketergantungan Impor (%)
1995-1997 32.252 1.920,1 3,5 94,6 5,4 1998-1999 31.633 3.844,9 4,2 89,3 10,7 2000-2003 32.356 1.310,0 2,9 96,1 3,9 2004-2005 34.174 205,5 21,6 99,5 0,5
Sumber : Badan Pusat Statistik
Berdasarkan tabel 7 di atas, volume impor beras Indonesia selama dua
tahun terakhir mengalami penurunan yang cukup signifikan. Keadaan ini
disebabkan oleh adanya upaya peningkatan produktivitas padi melalui
penambahan luas areal tanam padi dan peningkatan efisiensi dalam biaya produksi
usahatani padi.
Dalam dua tahun terakhir ini, Indonesia hampir mampu 100%
berswasembada beras. Keadaan ini membuat pemerintah Indonesia pun
melemparkan sinyal bahwa impor beras akan dihentikan (Sawit, 2006). Hal ini
mengindikasikan bahwa impor beras dapat berpeluang untuk dihapuskan apabila
Indonesia mampu lebih meningkatkan produktivitas padi dan efisiensi.
Swasembada on trend merupakan salah satu program yang ditetapkan untuk
meningkatkan produksi beras domestik dalam rangka upaya memenuhi kebutuhan
konsumsi domestik dan mencapai swasembada pangan.
69
5.2 Kondisi Perberasan Dunia
5.2.1 Perkembangan Produksi Beras Dunia
Beras merupakan komoditas strategis bukan hanya bagi Indonesia tetapi
juga bagi sebagian besar negara-negara Asia, karena (1) usahatani padi masih
diusahakan oleh jutaan petani, (2) bagi sebagian negara, seperti Vietnam, Burma,
Thailand, India dan China, beras merupakan salah satu penyumbang devisa negara
yang cukup besar, dan (3) bagi masyarakat berpendapatan rendah, dimana jumlah
golongan berpendapatan tersebut masih dominan di Asia, beras masih merupakan
bahan pangan pokok yang utama.
Hampir semua negara penghasil beras di Asia gencar mengembangkan
inovasi teknologi untuk mendorong peningkatan produktivitas dan efisiensi
produksi. China semakin gencar mengembangkan padi hibrida dengan potensi
hasil yang mencapai 17,92 ton per hektar, sedangkan India sedang
mengembangkan padi rekayasa genetika yang disebut dengan golden rice, dimana
beras tersebut mengandung beta carotene (provitamin A) yang dapat digunakan
untuk membantu upaya penyelamatan jutaan anak-anak India yang kekurangan
vitamin A. Thailand, Vietnam dan Philipina saat ini juga sangat gencar
mengembangkan varietas unggul padi untuk lahan kering dan rawa/pasang surut
(Mardianto dan Ariani, 2004).
Produksi beras dunia tahun 2002 meningkat dibandingkan tahun 2001 dari
398,1 juta ton menjadi 398,6 juta ton sejalan dengan meningkatnya produksi beras
di negara-negara produsen utama seperti Vietnam, Thailand, dan Myanmar,
namun kembali turun pada tahun 2003 menjadi 378,3 juta ton dan meningkat
kembali pada tahun 2004. Bahkan pada tahun 2004 produksi beras dunia
70
mencapai 395,8 juta ton, naik 4,4 % dari tahun sebelumnya. Walaupun
perkembangan luas panen padi dunia cukup berfluktuasi pada tahun-tahun tertentu
namun karena produktivitasnya selalu bergerak naik maka laju produksi padi
dunia juga cenderung mengalami peningkatan.
Berdasarkan tabel 8 dapat dilihat bahwa China merupakan negara dengan
share produksi terbesar (32 % dari total produksi beras dunia) dan kemudian
diikuti oleh India dengan share produksi sebesar 21 % dari total produksi total
beras dunia. Indonesia merupakan produsen beras ke tiga dunia dengan share
produksi sebesar 9 %. Hal ini didukung oleh keadaan alam ketiga negara yang
berpotensi untuk menghasilkan beras.
Tabel 8. Produksi Beras Dunia Tahun 2001-2004
Negara Tahun (000 ton)
Share Ratio
2001 2002 2003 2004 (%) China 131 536 124 306 122 180 121 438 33 India 84 871 93 080 72 700 86 667 21 Indonesia 32 960 32 960 33 411 34 571 9 Bangladesh 25 086 24 310 25 187 25 917 6 Vietnam 20 473 21 036 21 527 21 403 5 Thailand 17 057 17 499 17 198 17 792 4 Lainnya 86 124 85474 86 110 88 069 22 Total 398 107 398 665 378 313 395 856 100
Sumber: USDA, Diolah Subdit Pemasaran Internasional Tanaman Pangan, Tahun 2004
5.2.2 Perkembangan Konsumsi Beras Dunia
Lonjakan permintaan beras di dunia sulit dibendung, dengan
bertambahnya jumlah penduduk, semakin bertambah pula jumlah konsumsi,
terutama negara China, India, Indonesia, termasuk Amerika Serikat. Meskipun
China, India, dan Indonesia merupakan negara produsen beras yang utama,
namun demikian kebutuhan konsumsi domestik ketiga negara juga sangat tinggi,
71
sehingga produksi domestik lebih dahulu difokuskan untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi domestik.
Dari tabel 9 dapat dilihat bahwa China merupakan negara pengkonsumsi
beras yang tertinggi, hal ini karena China memiliki populasi terbesar di dunia,
sehingga tergolong paling banyak mengkonsumsi beras. Kemudian disusul
dengan negara India dan indonesia yang populasi penduduknya juga besar.
Namun demikian secara keseluruhan dari tahun ke tahun konsumsi beras
menunjukkan tren yang meningkat. Untuk itu maka produksi beras pun meningkat
selaras dengan kenaikan permintaan. Berbagai negara berupaya untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi berasnya dengan mendorong produksi beras dalam negeri.
Tabel 9. Konsumsi Beras Dunia Tahun 1999/2000-2002/2003
N e g a r a 1999/2000 2000/2001 2001/2002 2002/2003 China 133.763 134.356 134.595 134.800 India 82.670 75.851 82.251 84.000
Indonesia 35.400 35.877 36.358 36.790 Banglades 23.766 25.790 26.250 26.250 Vietnam 16.771 17.275 17.400 17.700 Thailand 9.300 9.400 9.500 9.600 Burma 9.330 9.350 9.400 9.475 Filipina 8.400 8.750 8.900 9.105 Jepang 9.450 9.000 9.000 9.000 Brasil 7.956 7.956 7.958 8.000 Korsel 4.986 5.000 5.100 5.100
AS 3.846 3.676 3.889 3.969 Mesir 2.856 3.015 3.150 3.275 Iran 3.019 3.050 3.075 3.100
Uni Eropa 2.190 2.207 2.215 2.190 Korea Utara 2.000 1.837 1.500 1.950
Taiwan 1.315 1.265 1.150 1.150 Afrika Selatan 531 525 550 600
Lain- lain 40.788 42.168 41.696 42.607 Total dunia 398.337 396.348 403.937 408.661
Sumber : USA Rice Federation
Produksi beras sebagian besar dihasilkan oleh negara-negara Asia.
Produksi beras tersebut diorientasikan terlebih dahulu untuk memenuhi
72
kebutuhan konsumsi domestik, kemudian ketika konsumsi domestik telah
terpenuhi dan tercipta surplus produksi, maka surplus produksi tersebut akan
diekspor ke negara lain.
5.2.3 Perkembangan Ekspor dan Impor Beras Dunia
Banyak negara produsen beras yang mengorientasikan produksi berasnya
selain untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, juga untuk diekspor. Ekspor
beras merupakan implikasi adanya surplus produksi beras suatu negara. Oleh
karena itu surplus beras yang diperdagangkan di pasar dunia tidak stabil karena
pengaruh musim dan ketahanan pangan masing-masing negara. Situasi seperti ini
mengisyaratkan bahwa sebagian besar produksi beras dunia digunakan untuk
konsumsi domestik, sehingga surplus yang diperdagangkan sangat terbatas.
Sejak tahun 2001, Thailand merupakan negara pengekspor terbesar dengan
realisasi ekspor sebesar 7,5 juta ton, kemudian disusul oleh Vietnam yang
menempati urutan ke dua sebagai negara pengekspor beras dengan realisasi
ekspor sebesar 3,5 ton, dan pada urutan ke tiga ada USA dengan realisasi ekspor
sebesar 2,5 juta ton. Namun demikian keadaan ini tidak bertahan lama. Pada tahun
2002, posisi ke dua sebagai negara pengekspor beras ditempati oleh India dengan
total realisasi ekspor sebesar 6,6 juta ton, dan pada urutan pertama tetap diduduki
oleh Thailand dengan realisasi ekspor sebesar 7,2 juta ton meskipun jumlah ini
lebih sedikit dibanding tahun sebelumnya.
Ekspor beras dunia tahun 2004 terbesar tetap dipasok oleh Thailand
sebesar 8,9 juta ton sehingga Thailand merupakan eksportir terbesar dunia.
Sedangkan pada tahun 2004, Vietnam memasok sebesar 4 juta ton (eksportir
73
terbesar ke dua), Amerika Serikat memasok sebesar 3 juta ton, dan China
memasok sebesar 1,3 juta ton. Keadaan tersebut dapat terlihat pada tabel 10.
Sedangkan pada tahun 2005 Thailand masih merupakan negara
pengekspor beras terbesar dunia dengan realisasi ekspor beras mencapai 7 juta
ton. Hal ini terjadi karena hanya separuh produksi beras Thailand yang
dikonsumsi oleh masyarakatnya. Urutan kedua sebagai negara pengekspor beras
ditempati oleh Vietnam, dengan volume ekspor beras sebesar 5 juta ton.
Selanjutnya, Amerika Serikat dan India menempati urutan ketiga dan keempat,
dengan volume ekspor masingmasing sebesar 3,7 juta ton dan 3,5 juta ton,
kemudian disusul oleh Pakistan sebesar 2,8 juta ton (Outlook Tanaman Pangan,
Departemen Pertanian, 2007).
Tabel 10. Perkembangan Ekspor Beras Dunia Tahun 2001-2004
Negara Tahun (000 ton)
Share Ratio
2001 2002 2003 2004 (%) Thailand 7.521 7.245 7.552 8.942 30 India 1.936 6.650 4.421 2.542 15 USA 2.541 3.295 3.843 3.192 12 Vietnam 3.528 3.245 3.795 3.900 14 China 1.847 1.963 2.583 1.263 7 Pakistan 2.417 1.603 1.958 1.858 7 Lainnya 4.633 3.866 3.498 3.404 15 Total 24.423 27.867 27.650 25.099 100
Sumber : Subdit Pemasaran Internasional Tanaman Pangan, Tahun 2004
Sedangkan pada tabel 11 tidak semua negara produsen beras menjadi
negara pengekspor. Indonesia misalnya merupakan salah satu produsen utama
dunia, namun bukan merupakan negara pengekspor beras. Hal ini terjadi karena
tingginya konsumsi domestik terhadap komoditas beras. Lain halnya dengan
negara-negara lainnya yang menjadi negara pengimpor beras, negara-negara
74
tersebut mengimpor beras karena negaranya tidak memiliki keunggulan
komparatif dalam memproduksi beras atau hanya dapat memproduksi beras dalam
jumlah yang relatif sedikit, sehingga untuk mencukupi kebutuhan pangan beras
domestik, mereka harus melakukan impor.
Dari tabel 11 dapat dilihat bahwa dari volume beras yang diperdagangkan
di pasar internasional pada kurun waktu tahun 2001 hingga 2004 sebanyak 30 %
diserap oleh enam negara importir beras, yaitu Indonesia (9 %), Nigeria (6 %),
Philipina (4 %), Iraq (4 %), EU-25 ($ %). Total impor keenam negara tersebut
pada tahun 2001 adalah sebesar 24,4 juta ton dan terus mengalami peningkatan
sampai tahun 2003. Beras yang diimpor adalah total berbagai jenis beras yang
diperdagangankan di pasar internasional.
Tabel 11. Perkembangan Impor Beras Dunia Tahun 2001-2004
Negara Tahun (000 ton)
Share Ratio
2001 2002 2003 2004 (%) Indonesia 1.500 3.500 2.750 1.238 9 Nigeria 1.906 18.973 1.600 1.425 6 Philipina 1.175 1.250 1.300 992 4 Iraq 959 17.178 672 1.100 4 EU-25 1.189 1.173 1.189 1.008 4 Iran 765 964 900 963 3 Lainnya 16.929 17.905 19.239 18.454 70 Total 24.423 27.867 27.179 25.179 100
Sumber : Subdit Pemasaran Internasional Tanaman Pangan, Tahun 2004
Pada tahun 2004, impor beras oleh negara-negara pengimpor cenderung
menurun, hal ini terlihat dari total impor beras yang dihasilkan oleh negara-negara
tersebut pada tahun 2004 hanya sebesar 25,1 juta ton yang menurun sebanyak 2
juta ton dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini terjadi karena terjadi
75
peningkatan produksi beras pada negara-negara pengimpor beras, sehingga
kebutuhan konsumsi sebagian besar telah terpenuhi oleh produksi domestik.
5.3 Keadaan Pergerakan Harga Beras Domestik, Harga Beras Internasional,
dan Nilai Tukar.
Perkembangan harga beras domestik pada periode tahun 1995 hingga 2005
menunjukkan angka yang berfluktuasi. Perkembangan harga beras domestik
cenderung tidak stabil sejak awal krisis ekonomi pada Juli 1997. Para peneliti
menyimpulkan bahwa ketidakstabilan harga beras dalam negeri ditentukan oleh
faktor ketidakstabilan nilai tukar rupiah terhadap dollar (US$) daripada
berkurangnya suplai beras dalam negeri (Amang dan Sawit, 1999).
Harga beras internasional atau harga beras dunia sangat bergantung pada
pasokan beras dari negara Thailand dan Vietnam karena kedua negara tersebut
merupakan negara besar dalam mengekspor beras. Patokan harga beras
internasional adalah harga beras (FOB) kualitas 25 persen Broken di Bangkok.
Pada saat panen raya, harga beras di pasaran internasional akan cenderung
menurun. Sebaliknya, pada saat musim paceklik, harga beras di pasaran
internasional akan cenderung meningkat. Trend harga beras di pasar dunia pada
dasawarsa 1974-1980 meningkat sebesar 1,85 persen per tahun, pada dasawarsa
1981-1990 sebesar 0,98 persen per tahun, dan pada dasawarsa 1991-2001
menurun sebesar -3,56 persen per tahun (Purwoto et al., 2002).
Pada tabel 12 terlihat bahwa mulai tahun 1997 harga beras internasional
cenderung menurun. Penurunan ini terkait erat dengan musim panen raya di
sejumlah negara penghasil beras seperti Thailand, Vietnam, dan Cina yang
76
panennya bersamaan dengan musim paceklik di Indonesia (Amang dan Sawit,
1999). Hal ini mengakibatkan banyaknya beras yang masuk ke pasar dalam
negeri. Selain itu nilai tukar rupiah terhadap dollar menunjukkan tren yang
meningkat dimana nilai rupiah semakin melemah. Dengan keadaan tersebut,
meskipun harga beras di pasar internasional cenderung menurun, namun karena
nilai rupiah melemah, maka harga beras internasional tetap lebih tinggi dari harga
beras domestik. Fenomena ini berlangsung hingga tahun 2003.
Tabel 12 . Perkembangan Harga Beras Domestik, Harga Beras Internasional, dan Nilai Tukar
Tahun Harga Beras Domestik (Rp/kg)
Harga Beras Internasional
(US$/kg)
Nilai Tukar Rupiah
Terhadap dollar 1995 776,38 0,304 2.308 1996 880 0,331 2.383 1997 1.063,8 0,289 4.650 1998 2.099,03 0,275 8.025 1999 2.665,58 0,216 7.100 2000 2.215 0,173 9.595 2001 2.449 0,153 10.400 2002 2.842 0,175 8.940 2003 2.759 0,182 8.465 2004 2.795 0,225 9.290 2005 3.332 0,265 9.900
Sumber: Badan Pusat Statistik.
Pada tahun 2004 harga beras internasional cenderung meningkat dari
0,182 US$/kg pada tahun 2003 menjadi 0,225 US$/kg. Selain itu harga beras
domestik juga meningkat walaupun hanya meningkat sebesar Rp.36,00 dari
Rp.2.759.,00 menjadi Rp.2.795,00. Pada saat yang sama nilai tukar rupiah
terhadap dollar meningkat dari Rp.8.465,00/US$ menjadi Rp.9.290,00/US$ yang
mengindikasikan nilai rupiah yang melemah. Hal ini merupakan peluang bagi
Indonesia untuk melakukan ekspor beras sebagai implikasi dari harga beras
internasional yang meningkat dan nilai rupiah yang melemah, meskipun harga
77
beras domestik juga meningkat. Hal ini berlangsung hingga tahun 2005 sehingga
ekspor beras meningkat cukup signifikan.
Pergerakan Harga Beras Domestik, Harga Beras Internasional, dan Nilai Tukar
02000400060008000
1000012000
1976
1978
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
Tahun
HEt, H
Dt, ER
t
HEt HDt Ert
Gambar 4. Pergerakan Harga Beras Domestik, Harga Beras Internasional, dan
Nilai Tukar
Peningkatan dan penurunan harga beras di tingkat konsumen domestik
dalam dasawarsa terakhir 1995-2001 praktis tidak dipengaruhi oleh dinamika
harga beras di pasar dunia, tetapi dipengaruhi sepenuhnya oleh dinamika nilai
tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Penurunan harga beras di pasar
dunia pada dasawarsa 1991-2001 pada hakekatnya merupakan konsekuensi logis
pemberlakuan liberalisasi perdagangan global sejak awal dasawarsa 1990-an.
Dalam era liberalisasi perdagangan global, penurunan harga komoditas
pangan di pasar dunia tidak secara otomatis akan menurunkan harga komoditas
pangan serupa di tingkat konsumen domestik selama persentase penurunan harga
komoditas pangan di pasar dunia jauh lebih rendah dibandingkan dengan
persentase kenaikan nilai tukar (persentase depresiasi nilai tukar) (Purwoto et al.,
2006).
78
VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN
EKSPOR BERAS INDONESIA
6.1 Uji Empiris Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Beras
Indonesia
Berdasarkan model yang dirumuskan yaitu model linier berganda dengan
metode Ordinary Least Square (OLS), maka pada bagian ini disajikan nilai-nilai
dan hasil pendugaan model secara keseluruhan yaitu koefisien determinasi (R2),
uji F, uji t statistik, uji multikolinier, dan uji korelasi. Selanjutnya dilakukan
pembahasan mengenai implikasi ekonomi dari tanda dan besaran parameter
dugaan serta nilai-nilai elastisitas yang relevan untuk setiap persamaan dalam
model.
Pada penelitian ini model persamaan faktor- faktor yang mempengaruhi
produksi beras Indonesia dimodifikasi menjadi bentuk logaritma natural karena
dengan mengubah bentuk model persamaan menjadi bentuk logaritma natural
menghasilkan estimasi nilai koefisien determinasi (R2) yang jauh lebih baik
daripada nilai koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan pada bentuk model
persamaan linier biasa, selain itu transformasi model tersebut meniadakan
heteroskedastisitas pada model.
Pada umumnya keragaan hasil model ekonometrik produksi beras
Indonesia sangat baik, dimana memiliki nilai koefisien determinasi sebesar 98,6
% untuk persamaan produksi beras Indonesia. Nilai R2 sebesar 98,6 % pada model
persamaan produksi beras Indonesia menjelaskan bahwa kemampuan variabel
79
eksogen dalam menjelaskan variabel endogennya sebesar 98,6 % dan sisanya
sebesar 1,4 % dijelaskan oleh variabel eksogen di luar model.
Pengujian parameter secara keseluruhan untuk faktor yang mempengaruhi
produksi beras Indonesia, dimaksudkan untuk melihat pengaruh bersama-sama
antara variabel bebas (variabel eksogen) dengan variabel tak bebas (endogen).
Pengujian ini dapat dilakukan dengan melihat nilai P value pada Analysis of
Variance yaitu sebesar 0,000 yang menunjukkan bahwa variabel-variabel penjelas
yang ada di dalam model berpengaruh nyata pada taraf 0,01 secara bersama-sama
terhadap volume produksi beras Indonesia. Selain itu pengujian parameter dapat
pula dilakukan dengan melihat nilai F hitung model tersebut. Pada model tersebut
dihasilkan nilai F hitung sebesar 442,86 yaitu lebih besar dibanding nilai F tabel
sebesar 4,18 pada taraf nyata 0,01. Hal ini berarti bahwa secara bersama-sama
luas areal panen padi Indonesia, harga dasar gabah, pupuk urea, dan curah hujan
berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa variasi peubah-peubah eksogen dalam persamaan tersebut secara bersama-
sama dapat menjelaskan dengan baik variasi peubah endogennya.
Selain itu berdasarkan uji autokorelasi dengan menggunakan Durbin
Watson yang dihitung dengan menggunakan program Minitab 14, persamaan
faktor- faktor yang mempengaruhi produksi beras Indonesia memiliki nilai DW
sebesar 1,66077. Nilai ini berada diantara dL (0,94) dan 4 - dU (1,51), dimana nilai
ini mencerminkan tidak terdapatnya autokorelasi dalam model persamaan
tersebut.
Pengujian terhadap masalah normalitas, dilakukan dengan menggunakan
uji Kolmogorov-Smirnov. Pada grafik Kolmogorov–Smirnov di lampiran 4
80
terlihat bahwa titik-titik galat yang ada tergambar segaris. Hal ini juga dibuktikan
dengan P value (0,15) yang lebih besar dari α (5 persen). Maka dapat dinyatakan
bahwa galat model faktor-faktor yang mempengaruhi produksi beras Indonesia
menyebar secara normal. Syarat lain yang harus dipenuhi dalam asumsi Ordinary
Least Square (OLS) adalah syarat homoskedastisitas yang mengharuskan galat
menyebar secara homogen. Dengan melihat grafik residual versus the fitted
values seperti yang terlihat dalam lampiran 4 dimana galat menyebar dan tidak
membentuk pola, maka dapat disimpulkan bahwa galat menyebar secara
homogen.
Tabel 13. Hasil Pendugaan Persamaan Produksi Beras Indonesia
Variabel Koefisien t-Hitung P value VIF
Konstanta
Luas areal panen (ln-LPt)
Harga dasar gabah (ln-HGt)
Pupuk urea (ln-PUt)
Curah hujan (ln-CHt)
-3,451
1,26647
0,10423
0,16919
0,001546
-2,69
15,21
5,32
12,57
0,24
0,013
0,000
0,000
0,000
0,815
3,0
1,4
2,9
1,0
R-sq 98,6 %
R-sq (adj) 98,4 %
F statistik 442,86
Durbin Watson 1,66077
F tabel 4,18
P value model 0,000
Dari hasil perhitungan analisis regresi di atas, maka dapat dijelaskan
pengaruh masing-masing variabel eksogen terhadap variabel endogen yang
berupa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi beras Indonesia dapat
dijelaskan sebagai berikut:
81
1. Luas Areal Panen Padi Indonesia (ln-LPt)
Koefisien regresi variabel luas areal panen padi Indonesia adalah sebesar
1,26647. Karena model persamaan dalam bentuk logaritma natural, maka nilai
koefisien regresi langsung menunjukkan nilai elastisitasnya. Nilai elastisitas
variabel luas areal panen padi bernilai 1,26647 yang berarti bahwa peningkatan
areal panen padi sebesar 1 % akan meningkatkan volume produksi beras
Indonesia sebesar 1,26647 %. Nilai elastisitas tersebut bernilai lebih besar dari
satu, yang artinya perubahan pada luas areal panen padi responsif terhadap
perubahan produksi beras Indonesia karena perubahan sebesar satu persen pada
luas areal panen padi akan mengakibatkan perubahan sebesar lebih besar dari satu
persen pada produksi beras Indonesia. Tanda positif pada variabel luas areal
panen padi Indonesia sesuai dengan parameter dugaan yang diharapkan, karena
peningkatan luas areal panen padi akan meningkatkan produksi beras.
Hasil perhitungan P value variabel luas areal panen padi Indonesia bernilai
0,000 yang berarti berpengaruh nyata pada taraf 0,01 terhadap produksi beras
Indonesia. Hal tersebut menjelaskan bahwa luas areal panen padi Indonesia sangat
berpengaruh terhadap penurunan atau peningkatan produksi beras Indonesia,
dengan kata lain luas areal panen padi Indonesia merupakan salah satu faktor
utama yang mempengaruhi produksi beras Indonesia.
2. Harga dasar gabah (ln-HGt)
Koefisien regresi variabel harga dasar gabah Indonesia adalah sebesar
0,10423. Nilai tersebut menunjukkan nilai elastisitas variabel harga dasar gabah
bernilai 0,10423 yang berarti bahwa peningkatan harga dasar gabah sebesar 1 %
akan meningkatkan volume produksi beras Indonesia sebesar 0,10423 %. Nilai
82
elastisitas tersebut bernilai lebih kecil dari satu, yang artinya perubahan pada
harga dasar gabah tidak responsif terhadap perubahan produksi beras Indonesia
karena perubahan sebesar satu persen pada harga dasar gabah akan
mengakibatkan perubahan sebesar lebih kecil dari satu persen pada produksi beras
Indonesia. Tanda positif pada nilai koefisien tersebut sesuai dengan nilai
parameter dugaan yang diharapkan, dimana ketika pemerintah menetapkan harga
dasar gabah yang melindungi petani, yaitu dengan meningkatkan harga dasar
gabah, maka petani akan meningkatkan produksi padi sehingga produksi beras
juga akan meningkat..
Hasil perhitungan P value variabel harga dasar gabah bernilai 0,000 yang
berarti berpengaruh nyata pada taraf 0,01 terhadap produksi beras Indonesia. Hal
tersebut menjelaskan bahwa harga dasar gabah berpengaruh nyata terhadap
penurunan atau peningkatan produksi beras Indonesia. Ketika pemerintah
meningkatkan harga dasar gabah, maka hal ini akan menjadi insentif bagi petani
untuk meningkatkan produksinya.
3. Pupuk urea (ln-PUt)
Koefisien regresi variabel pupuk urea adalah sebesar 0,16919. Nilai
tersebut menunjukkan nilai elastisitas variabel pupuk urea bernilai 0,16919 yang
berarti bahwa peningkatan penggunaan pupuk urea sebesar 1 % akan
meningkatkan volume produksi beras Indonesia sebesar 0,16919 %. Nilai
elastisitas tersebut bernilai kurang dari satu, yang artinya perubahan pada
penggunaan pupuk urea tidak responsif terhadap perubahan produksi beras
Indonesia karena perubahan sebesar satu persen pada penggunaan pupuk urea
akan mengakibatkan perubahan sebesar kurang dari satu persen pada produksi
83
beras Indonesia. Tanda positif pada variabel pupuk urea sesuai dengan parameter
dugaan yang diharapkan, dimana secara teori ketika penggunaan pupuk urea yang
merupakan input bagi beras meningkat, maka produksi beras akan meningkat.
Hasil perhitungan P value variabel pupuk urea bernilai 0,000 yang berarti
berpengaruh nyata pada taraf 0,01 terhadap produksi beras Indonesia. Hal tersebut
menjelaskan bahwa penggunaan pupuk urea berpengaruh nyata terhadap
penurunan atau peningkatan produksi beras Indonesia, dengan kata lain
pengunaan pupuk urea merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi
produksi beras Indonesia.
4. Curah hujan (ln-CHt)
Koefisien regresi variabel curah hujan adalah sebesar 0,001546. Nilai
tersebut menunjukkan nilai elastisitas variabel curah hujan bernilai 0,001546 yang
berarti bahwa peningkatan curah hujan rata-rata sebesar 1 % akan meningkatkan
volume produksi beras Indonesia sebesar 0,001546 %. Nilai elastisitas tersebut
bernilai lebih kecil dari satu, yang artinya perubahan pada curah hujan rata-rata
tidak responsif terhadap perubahan produksi beras Indonesia karena perubahan
sebesar satu persen pada curah hujan rata-rata akan mengakibatkan perubahan
sebesar lebih kecil dari satu persen pada produksi beras Indonesia. Tanda positif
pada variabel curah hujan sesuai dengan parameter dugaan yang diharapkan.
Hasil perhitungan P value variabel curah hujan bernilai 0,815 yang berarti
tidak berpengaruh nyata terhadap produksi beras Indonesia. Hal tersebut
menjelaskan bahwa curah hujan tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan atau
peningkatan produksi beras Indonesia, dengan kata lain curah hujan bukan
merupakan faktor utama yang mempengaruhi produksi beras Indonesia. Pada
84
kenyataannya yang terjadi di lapang, sebagian besar pertanian Indonesia sudah
tidak terlalu bergantung pada curah hujan karena telah memiliki sistem irigasi
yang baik. Sistem irigasi ini telah mampu menyimpan air (cadangan air), sehingga
ketika musim kemarau tiba, pertanian tetap berproduksi.
6.2 Uji Empiris Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Beras Indonesia
Berdasarkan model yang dirumuskan yaitu model linier yang telah
dimodifikasi menjadi model logaritma natural dengan metode Ordinary Least
Square (OLS), maka pada bagian ini disajikan nilai-nilai dan hasil pendugaan
model secara keseluruhan yaitu koefisien determinasi (R2), uji F, uji t statistik, uji
multikolinier, dan uji korelasi. Selanjutnya dilakukan pembahasan mengenai
implikasi ekonomi dari tanda dan besaran parameter dugaan serta nilai-nilai
elastisitas yang relevan untuk setiap persamaan dalam model.
Pada penelitian ini model persamaan faktor- faktor yang mempengaruhi
volume ekspor beras Indonesia dimodifikasi menjadi bentuk logaritma natural
karena dengan mengubah bentuk model persamaaan menjadi bentuk logaritma
natural menghasilkan estimasi nilai koefisien determinasi (R2) yang jauh lebih
baik daripada nilai koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan pada bentuk model
persamaan linier biasa, selain itu transformasi model tersebut meniadakan
heteroskedastisitas pada model.
Pada umumnya keragaan hasil model awal ekonometrik volume ekspor
beras Indonesia cukup baik, dimana memiliki nilai koefisien determinasi sebesar
71,0 % untuk persamaan ekspor beras Indonesia. Nilai R2 sebesar 71,0 % pada
volume ekspor beras Indonesia menjelaskan bahwa kemampuan variabel eksogen
85
dalam menjelaskan variabel endogennya sebesar 71,0 % dan sisanya sebesar 29,0
% dijelaskan oleh variabel eksogen di luar model.
Pengujian parameter secara keseluruhan untuk faktor yang mempengaruhi
volume ekspor beras Indonesia, dimaksudkan untuk melihat pengaruh bersama-
sama antara variabel bebas (variabel eksogen) dengan variabel tak bebas
(endogen). Pengujian ini dapat dilakukan dengan melihat nilai P value pada
Analysis of Variance yaitu sebesar 0,000 yang menunjukkan bahwa variabel-
variabel penjelas yang ada di dalam model berpengaruh nyata pada taraf 0,01
secara bersama-sama terhadap volume ekspor beras Indonesia. Selain itu
pengujian parameter dapat pula dilakukan dengan melihat nilai F hitung model
tersebut. Pada model tersebut dihasilkan nilai F hitung sebesar 15,28 yaitu lebih
besar dibanding nilai F tabel sebesar 4,18 pada taraf nyata 0,01. Hal ini berarti
bahwa secara bersama-sama produksi beras Indonesia, nilai tukar rupiah, harga
eceran beras/harga beras domestik, dan volume impor beras berpengaruh nyata
pada selang kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan bahwa variasi peubah-
peubah eksogen dalam persamaan tersebut secara bersama-sama dapat
menjelaskan dengan baik variasi peubah endogennya.
Selain itu berdasarkan uji autokorelasi dengan menggunakan Durbin
Watson yang dihitung dengan menggunakan program Minitab 14, persamaan
faktor- faktor yang mempengaruhi volume ekspor beras Indonesia memiliki nilai
DW sebesar 1,69902. Nilai ini berada diantara dL (0,94) dan 4 - dU (1,51), dimana
nilai ini mencerminkan tidak terdapatnya autokorelasi dalam model persamaan
tersebut. Hal ini berarti model tersebut telah memenuhi salah satu syarat yang
terdapat dalam metode kuadrat terkecil biasa atau Ordinary Least Square (OLS),
86
dimana tidak terdapat autokorelasi antar kesalahan pengganggu yang berarti
kovarian.
Tabel 14. Hasil Pendugaan Persamaan Ekspor Beras Indonesia
Variabel Koefisien t-Hitung P value VIF
Konstanta
Produksi beras (ln-PBt)
Nilai Tukar Rupiah (ln-Ert)
Harga Eceran Beras (ln-HEt)
Konsumsi Beras per Kapita (ln-
CPt)
-130.97
9,063
0,879
-0,404
-1.6297
-1,36
1,64
0,62
-0,15
-4,11
0,185
0,114
0,539
0,883
0,000
6,0
8,1
2,1
1,4
R-sq 70,1 %
R-sq (adj) 66,3 %
F statistik 15,28
Durbin Watson 1,69902
F tabel 4,18
P value model 0,000
Pengujian terhadap masalah normalitas, dilakukan dengan menggunakan
uji Kolmogorov-Smirnov. Pada grafik Kolmogorov–Smirnov di lampiran 6
terlihat bahwa titik-titik galat yang ada tergambar segaris. Hal ini juga dibuktikan
dengan P value (0,15) yang lebih besar dari α (5 persen). Maka dapat dinyatakan
bahwa galat model faktor- faktor yang mempengaruhi volume ekspor beras
Indonesia menyebar secara normal. Syarat lain yang harus dipenuhi dalam asumsi
Ordinary Least Square (OLS) adalah syarat homoskedastisitas yang
mengharuskan galat menyebar secara homogen. Dengan melihat grafik residual
versus the fitted values seperti yang terlihat dalam lampiran 6 dimana galat
menyebar dan tidak membentuk pola tertentu, maka dapat disimpulkan bahwa
galat menyebar secara homogen.
87
Dari hasil perhitungan di atas maka dapat dijelaskan pengaruh masing-
masing variabel eksogen terhadap variabel endogen berupa faktor-faktor yang
mempengaruhi volume ekspor beras Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Produksi Beras Indonesia (ln-PBt)
Koefisien regresi variabel produksi beras Indonesia adalah sebesar 9,063.
Nilai tersebut menunjukkan nilai elastisitas variabel produksi beras bernilai 9,063
yang berarti bahwa peningkatan produksi beras sebesar 1 % akan meningkatkan
volume ekspor beras Indonesia sebesar 9,063 %. Nilai elastisitas tersebut bernilai
lebih dari satu, yang artinya perubahan pada produksi beras responsif terhadap
perubahan volume ekspor beras Indonesia karena perubahan sebesar satu persen
pada produksi beras akan mengakibatkan perubahan sebesar lebih dari satu persen
pada volume ekspor beras Indonesia. Oleh karena itu perlu diupayakan
peningkatan produksi beras agar ekspor pun bisa meningkat. Tanda positif pada
variabel produksi beras Indonesia sesuai dengan parameter dugaan yang
diharapkan.
Hasil perhitungan P value variabel produksi beras Indonesia bernilai 0,114
yang berarti berpengaruh nyata pada taraf 0,2 terhadap volume ekspor beras
Indonesia. Hal tersebut menjelaskan bahwa produksi beras Indonesia
berpengaruh nyata terhadap penurunan atau peningkatan volume ekspor beras
Indonesia, dengan kata lain produksi merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi volume ekspor beras Indonesia.
2. Nilai Tukar Rupiah (ln-ERt)
Koefisien regresi variabel nilai tukar rupiah adalah sebesar 0,879. Nilai
tersebut menunjukkan nilai elastisitas variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar
88
adalah 0,879 yang berarti bahwa peningkatan nilai tukar rupiah sebesar 1 % akan
meningkatkan volume ekspor beras Indonesia sebesar 0,879 %. Nilai elastisitas
tersebut bernilai kurang dari satu, yang artinya perubahan pada variabel nilai tukar
rupiah tidak responsif terhadap perubahan volume ekspor beras Indonesia karena
perubahan sebesar satu persen pada nilai tukar rupiah akan mengakibatkan
perubahan sebesar kurang dari satu persen pada volume ekspor beras Indonesia.
Tanda positif pada koefisien variabel nilai tukar rupiah sesuai dengan
parameter dugaan yang diharapkan, dimana secara teori meningkatnya nilai tukar
rupiah terhadap dollar yang berarti melemahnya nilai rupiah akan menyebabkan
permintaan terhadap dollar meningkat, sehingga ekspor cenderung dilakukan dan
ekspor beras pun akan meningkat. Selain itu dengan meningkatnya nilai tukar,
berarti daya saing produk negara Indonesia di pasar internasional lebih tinggi
sehingga mendorong peningkatan ekspor.
Hasil perhitungan P value variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar
adalah 0,539 yang berarti bahwa variabel nilai tukar rupiah tidak berpengaruh
secara nyata terhadap volume ekspor beras Indonesia. Hal ini berarti nilai tukar
bukan menjadi faktor utama yang mempengaruhi peningkatan atau penurunan
volume ekspor beras.
3. Harga Beras Domestik atau Harga Beras Eceran (ln-HEt)
Koefisien regresi harga beras domestik atau harga eceran beras adalah
sebesar -0,404. Nilai tersebut menunjukkan nilai elastisitas variabel harga beras
domestik atau harga eceran beras bernilai -0,404 yang artinya bahwa peningkatan
harga beras domestik sebesar 1 % akan menurunkan volume ekspor beras
Indonesia sebesar -0,404 %. Nilai elastisitas tersebut bernilai kurang dari satu,
89
yang artinya perubahan pada harga beras domestik tidak responsif terhadap
perubahan volume ekspor beras Indonesia karena perubahan sebesar satu persen
pada harga beras domestik akan mengakibatkan perubahan sebesar kurang dari
satu persen pada volume ekspor beras Indonesia.
Tanda negatif pada koefisien variabel harga beras domestik atau harga
beras eceran sesuai dengan parameter dugaan yang diharapkan. Hal tersebut
menjelaskan bahwa ketika harga beras domestik cenderung rendah atau menurun,
maka ekspor beras cenderung tinggi karena produsen beras atau pedagang akan
memilih mencari keuntungan dengan melakukan ekspor daripada menjual beras di
dalam negeri.
Hasil perhitungan P value variabel harga beras domestik atau harga beras
eceran bernilai 0,883 yang berarti tidak berpengaruh nyata terhadap volume
ekspor beras Indonesia. Hal ini berarti bahwa penurunan atau peningkatan pada
harga beras domestik tidak mempengaruhi secara nyata peningkatan atau
penurunan volume ekspor beras Indonesia.
4. Konsumsi beras per kapita (ln-CPt)
Koefisien regresi variabel konsumsi beras per kapita adalah sebesar -
1,6297. Nilai tersebut menunjukkan nilai elastisitas variabel konsumsi beras per
kapita bernilai -1,6297 yang artinya bahwa peningkatan konsumsi beras per kapita
sebesar 1 % akan menurunkan vo lume ekspor beras sebesar 1,6297 %. Nilai
elastisitas tersebut bernilai lebih dari satu, yang artinya perubahan pada konsumsi
beras per kapita responsif terhadap perubahan volume ekspor beras Indonesia
karena perubahan sebesar satu persen pada konsumsi beras per kapita akan
90
mengakibatkan perubahan sebesar lebih dari satu persen pada volume ekspor
beras Indonesia.
Tanda negatif pada koefisien variabel konsumsi beras per kapita sesuai
dengan parameter dugaan yang diharapkan. Hal tersebut menjelaskan bahwa
ekspor beras dilakukan ketika terjadi surplus produksi. Ketika konsumsi per
kapita yang menunjukkan selera masyarakat untuk mengkonsumsi beras menurun,
maka kelebihan produksi akan digunakan untuk ekspor.
Hasil perhitungan P value variabel konsumsi beras per kapita bernilai
0,000 yang berarti berpengaruh nyata pada taraf 0,01 terhadap volume ekspor
beras Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi beras per kapita
merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi volume ekspor beras
Indonesia.
6.3 Definisi Variabel yang Digunakan
1. Produksi beras Indonesia adalah jumlah total produksi beras di Indonesia yang
dinyatakan dalam satuan ton. Periode waktu yang digunakan adalah tahun
1976-2005.
2. Luas areal panen padi adalah luas areal panen padi yang dinyatakan dengan
satuan hektar (Ha).
3. Harga dasar gabah adalah kebijakan harga yang diterapkan oleh pemerintah
untuk melindungi petani, yang telah dideflasi (1995 = 100) dengan Indeks
Harga Konsumen (IHK) dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/kg).
Periode waktu yang digunakan adalah tahun 1976-2005.
91
4. Pupuk urea dalam penelitian ini adalah jumlah pupuk urea yang digunakan
dalam usahatani padi, yang merupakan pupuk utama dalam produksi padi.
Periode waktu yang digunakan adalah tahun 1976-2005
5. Curah hujan merupakan jumlah curah hujan rata-rata tiap tahun yang diwakili
oleh jumlah curah hujan di sentar produksi padi Indonesia, yaitu di pulau Jawa
yang dinyatakan dalam satuan mm per tahun (mm/tahun). Periode waktu yang
digunakan adalah tahun 1976-2005
6. Volume Ekspor beras adalah jumlah seluruh beras yang di ekspor ke luar
negeri, tidak termasuk ekspor legal, dinyatakan dalam satuan ton. Periode
waktu yang digunakan adalah tahun 1976-2005.
7. Nilai tukar rupiah terhadap dollar adalah perbandingan dari perubahan mata
uang terhadap mata uang negara lain, dinyatakan dalam satuan Rupiah per
Dollar Amerika (Rp/US$) . Periode waktu yang digunakan adalah tahun 1976-
2005.
8. Harga beras eceran adalah harga rata-rata beras di pasar domestik Indonesia
yang telah dideflasi (1995=100) dengan Indeks Harga Konsumen (IHK)
dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/kg). Periode waktu yang
digunakan adalah tahun 1976-2005.
9. Konsumsi beras per kapita adalah rata-rata jumlah beras yang dikonsumsi oleh
seseorang, yang menunjukkan selera masyrakat dalam menkonsumsi beras,
dinyatakan dalam satuan kilogram per kapita per tahun (Kg/kapita/tahun).
Periode waktu yang digunakan adalah tahun 1976-2005.
92
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi beras Indonesia terdiri dari luas
areal panen padi Indonesia, harga dasar gabah, pupuk urea, dan curah hujan.
Dari hasil perhitungan didapatkan bahwa semua variabel yang digunakan
berpengaruh nyata secara bersama-sama dalam peningkatan dan penurunan
volume produksi beras Indonesia. Hasil analisis regresi menyatakan bahwa dari
keempat variabel eksogen terdapat tiga variabel eksogen yang berpengaruh
nyata terhadap produksi beras Indonesia, yaitu luas areal panen padi Indonesia
(pada taraf 0,01), harga dasar gabah (0,01), dan pupuk urea (pada taraf 0,01).
Sedangkan variabel eksogen yang tidak berpengaruh nyata adalah variabel
curah hujan dengan nilai P value 0,815.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi volume ekspor beras Indonesia terdiri dari
produksi beras Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dollar, harga beras eceran,
dan konsumsi beras per kapita. Dari hasil perhitungan didapatkan bahwa semua
variabel yang digunakan berpengaruh nyata secara bersama-sama dalam
peningkatan dan penurunan volume ekspor beras Indonesia. Hasil analisis
regresi menyatakan bahwa dari keempat variabel eksogen terdapat dua variabel
eksogen yang berpengaruh nyata terhadap volume ekspor beras Indonesia,
yaitu produksi beras Indonesia (pada taraf 0,2) dan konsumsi beras per kapita
(pada taraf 0,01). Sedangkan variabel eksogen yang tidak berpengaruh nyata
93
adalah nilai tukar rupiah terhadap dollar dengan nilai P value 0,539 dan harga
beras eceran dengan nilai P value 0,883.
7.2 Saran
1. Menciptakan kebijakan yang mendukung pertanian di indonesia, misalnya
dengan memberikan subsidi pupuk bagi para petani dengan cara yang bijak dan
tepat sehingga tersedia dalam jumlah dan harga yang memadai, mengingat
pupuk urea merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi produksi
beras Indonesia. Selain itu menetapkan kebijakan harga dasar gabah yang
melindungi petani, sehingga hal tersebut memberikan insentif bagi petani
untuk meningkatan produksi padi.
2. Perlu diupayakan peningkatan luas areal tanam padi untuk meningkatkan
produksi padi Indonesia, sehingga produksi beras pun akan meningkat. Selain
itu perlu diupayakan adanya diversifikasi pangan untuk mengurangi
ketergantungan konsumsi pada beras.
3. Membina, menjaga, dan mengembangkan pasar ekspor beras yang sudah ada.
Mengorientasikan produksi beras bukan hanya untuk konsumsi tetapi juga
untuk mulai mengembangkan ekspor beras.
4. Saran bagi penelitian selanjutnya adalah mencoba melakukan penelitian ini
dengan metode two stage least square (2SLS) dengan menggunakan model
persamaan simultan. Dapat juga mencoba dengan membagi rentang waktu
penelitian antara waktu sebelum terjadinya krisis ekonomi dengan waktu
setelah terjadi krisis ekonomi.
94
DAFTAR PUSTAKA
Amang Beddu dan M. Husein Sawit. 1999. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional. IPB Press: Jakarta.
Amelia, Indah Yulianti. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impor Ilegal Daging Sapi dan Susu Indonesia. Skripsi. Departemen Sosial Ekonomi Ekonomi Pertanian.
Azziz, Arisf abdul. 2006. Analisis Impor Beras Serta Pengaruhnya Terhadap Harga Beras Dalam Negeri. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Badan Pusat Statistik 2000. Statistik Indonesia 1999. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2004. Menyemarakkan Tahun Padi Internasional 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman pangan.
Departemen Pertanian, 2004. Database Subdit Pemasaran Internasional Tanaman Pangan.
Doll, John, and Frank Orazem. 1984. Production Economic. USA: John Wiley and Sons.
Gujarati, Damodar. 1991. Ekonometrika dasar. Jakarta: Erlangga.
Iswardono. 1994. Teori Ekonomi Mikro. Jakarta: Gunadarma.
Kasryno, dkk. 2002. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi.
Khumaidi, Muhammad. 1997. Beras Sebagai Pangan Pokok Utama Bangsa Indonesia, Keunikan dan Tantangannya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
95
Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometrics. Harper and Row publisher Inc. New York, USA.
Lipsey, Richard. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Jakarta: Binarupa Aksara.
Lubis, Syafrida Kesuma. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Ekspor Nenas Segar Indonesia. Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Mankiw, N. Gregory. 2000. Teori Makroekonomi. Edisi Keempat. Jakarta: Erlangga
Mardianto, Sudi, dan Mewa Ariano. 2004. Kebijakan Proteksi dan Komoditas Beras di Asia dan Prospek Pengembangannya di Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi.
Mulyana, Andy. 1998. Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan Prospek Menuju Perdagangan Bebas, Suatu Analisis Simulasi. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Novansi. 2006. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Ekspor Beberapa Buah-buahan Penting Di Indonesia. Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan. 2006. Pusat Data dan Informasi Pertanian. Jakarta: Departemen Pertanian.
Purnamasari, Rika. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Kedelai di Indonesia. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Purwoto, Adreng dkk. 2006. Korelasi Harga dan Derajat Integrasi Spasial Antara Pasar Dunia dan Pasar Domestik untuk Komoditas Pangan Dalam Era Liberalisasi Perdagangan (Kasus Propinsi Sulawesi Selatan). Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Rachman, dkk. 2004. Efisiensi dan Daya Saing Sistem Usahatani Padi. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi.
96
Saleh, Yopi. 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Ekspor Tomat Indonesia. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Salvator, Dominick. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi ke lima. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Sambudi, Selo. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Ekspor Kopi Arabika Indonesia. Skripsi. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Sawit, Husein. 2006. Indonesia Dalam Tatanan Perubahan Perdagangan Beras Dunia. Jurnal. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Simbolon, John sri Cay. 2005. Analisis Integrasi Pasar Beras Domestik dengan Pasar Beras Dunia dan Pengaruh Adanya Tarif Impor. Skripsi. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Sitepu, Rasidin Karo-Karo. 2002. Dampak Kebijakan Perdagangan dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Permintaan dan Penawaran Beras Di Indonesia. Tesis. Program Pascasarjana.
Situmorang, Manris Tua. 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Beras Indonesia. Skripsi. Jurusan ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Sumarno, 2006. Adakah Peluang untuk Ekspor Beras Bagi Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Sinar tani Edisi 3-9 Mei 2006 No. 3148.
Suryana, Achmad dkk. 2001. Bunga Rampai Ekonomi Beras. Jakarta: LPEM-FEUI.
Tambunan, Tulus T H. 2003. Perekonomian Indonesia: Beberapa Permasalahan Penting. Cetakan 1. Jakarta: Ghalia Indonesia.
97
98
Lampiran 1. Produksi Padi, Produksi Beras, Luas Panen Padi, Konsumsi Beras Domestik, dan Ekspor Beras Tahun 1976-2005
Tahun PPt PBt LPt KBt Xt 1976 23.300.939 15.844.639 8.368.759 15.731.443,45 0 1977 23.347.132 15.876.050 8.359.569 16.724.960,67 0 1978 25.771.570 17.524.668 8.929.169 16.976.031,84 0,40 1979 26.282.663 17.872.211 8.803.564 18.266.922,24 0 1980 29.651.905 20.163.296 9.005.065 19.235.251,8 0 1981 32.774.176 22.286.440 9.381.839 20.067.926,34 0 1982 33.583.677 22.836.900 8.988.455 21.405.122,91 0 1983 35.303.106 24.006.112 9.162.469 22.794.867,13 0 1984 38.136.446 25.932.783 9.769.580 22.671.028,12 10.979 1985 39.032.945 26.542.403 9.902.293 23.693.722,82 405.120 1986 39.726.761 27.014.197 9.988.453 24.895.415,44 241.000 1987 40.078.195 27.253.173 9.922.594 22.338.652,27 119.000 1988 41.676.170 28.339.796 10.138.155 26.882.856,39 20.000 1989 44.725.582 30.413.396 10.521.207 25.366.786,33 139.000 1990 45.178.751 29.366.188 10.502.419 23.079.944,54 18.000 1991 44.688.247 29.047.361 10.281.519 25.821.995,12 100.000 1992 48.240.009 31.356.006 11.103.317 29.954.735,13 73.000 1993 48.181.087 31.317.707 11.012.776 25.318.549,35 564.000 1994 46.641.524 30.316.991 10.733.830 26.478.639,77 233.000 1995 49.744.140 32.333.691 11.438.764 32.984.720,79 10 1996 51.101.506 33.215.979 11.569.729 25.854.255,41 200 1997 49.377.054 31.107.544 11.140.594 27.347.728,83 60 1998 49.236.692 31.019.116 11.730.325 28.501.481,05 1.980 1999 50.866.387 32.045.824 11.963.204 25.140.011,93 2.700 2000 51.898.852 32.696.277 11.793.475 23.401.199,54 4.671 2001 50.460.782 31.790.293 11.499.997 24.515.474 5.222 2002 51.489.694 32.438.507 11.521.166 24.611.977,95 11.320 2003 52.078.830 32.809.663 11.477.357 24.687.037,92 1.234 2004 54.088.468 34.075.735 11.922.974 25.505.827 4.495 2005 54.056.282 34.055.458 11.818.913 25.461.186,84 44.285
Sumber: Badan Pusat Statistik
Keterangan:
PPt = Jumlah Produksi Padi Tahun t (ton)
PBt = Jumlah Produksi Beras Tahun t (ton)
LPt = Luas Panen Padi (ha)
KBt = Konsumsi beras domestik (ton)
Xt = Volume Ekspor Beras Tahun t (ton)
99
Lampiran 2. Perkembangan Harga Dasar Gabah, Harga Eceran Beras, Harga Beras Dunia, dan Nilai Tukar Rupiah
Tahun HGt HEt HDt ERt 1976 68,5 128,48 222.5 421 1977 71 132,62 237.3 420 1978 75 140,46 335.3 417 1979 85 170,31 308.5 632 1980 105 198,39 395.1 634 1981 120 226,19 417.3 643 1982 135 254,92 250.9 692 1983 145 304,24 246.61 994 1984 165 330,97 235.23 1076 1985 175 322,07 198.14 1131 1986 175 345,24 172.1 1655 1987 190 386,86 202.35 1652 1988 210 469,2 283.23 1729 1989 250 486,56 296.51 1805 1990 270 525,17 254 1901 1991 295 562 244.13 1922 1992 330 603,68 235.17 2062 1993 340 592,25 215.63 2110 1994 360 660,37 270.78 2200 1995 400 776,38 304.25 2308 1996 450 880 331.8 2383 1997 525 1.063,8 289.96 4650 1998 767 2.099,03 275.99 8025 1999 1.400 2.665,58 216.21 7100 2000 1.500 2.215 172.83 9595 2001 1.500 2.449 152.76 10400 2002 1.519 2.842 175.13 8940 2003 1725 2.759 181.55 8465 2004 1.725 2.795 225.43 9290 2005 1.750 3.332 265.43 9900
Sumber: Badan Pusat Statistik
Keterangan:
HGt = Harga dasar gabah (Rp/kg)
HEt = Harga beras eceran (Rp/kg)
HDt = Harga Beras dunia (US$/ton)
ERt = Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar (US$)
100
Lampiran 3. Hasil Analisis Regresi Fungsi Produksi Beras Indonesia
Regression Analysis: ln-PBt versus ln-LPt, ln-HGt, ln-PU, ln-CHt
The regression equation is ln-PBt = - 3.45 + 1.27 ln-LPt + 0.104 LN-HGt + 0.169 ln-PU + 0.00155 LN-CHt Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant -3.451 1.283 -2.69 0.013 ln-LPt 1.26647 0.08327 15.21 0.000 3.0 ln-HGt 0.10423 0.01958 5.32 0.000 1.4 ln-PU 0.16919 0.01346 12.57 0.000 2.9 ln-CHt 0.001546 0.006523 0.24 0.815 1.0 S = 0.0294955 R-Sq = 98.6% R-Sq(adj) = 98.4% PRESS = 0.0437938 R-Sq(pred) = 97.20% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 4 1.54112 0.38528 442.86 0.000 Residual Error 25 0.02175 0.00087 Total 29 1.56287 Source DF Seq SS ln-LPt 1 1.39423 ln-HGt 1 0.00950 ln-PU 1 0.13733 ln-CHt 1 0.00005 Unusual Observations Obs ln-LPt ln-PBt Fit SE Fit Residual St Resid 23 16.3 17.2501 17.3325 0.0097 -0.0824 -2.96R 27 16.3 17.2949 17.2918 0.0291 0.0031 0.64 X 30 16.3 17.3435 17.3555 0.0254 -0.0120 -0.80 X R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Durbin-Watson statistic = 1.66077
101
Lampiran 4. Uji Normalitas dan Uji Homoscedasticity Analisis Regresi
Fungsi Produksi Beras Indonesia
1) Uji Normalitas
RESI1
Pe
rcen
t
0.0500.0250.000-0.025-0.050-0.075-0.100
99
95
90
80
70605040
30
20
10
5
1
Mean
>0.150
-5.92119E-16StDev 0.02738N 30KS 0.123P-Value
Proba bili ty Plot of RESI1Normal
2) Uji Homoscedasticity
Fitted V alue
Re
sid
ua
l
17.417.317.217.117.016.916.816.716.616.5
0.050
0.025
0.000
-0.025
-0.050
-0.075
-0.100
Residua ls Versus the Fitted Values(response is LN-PBt)
102
Lampiran 5. Hasil Analisis Regresi Fungsi Ekspor Beras Indonesia
Regression Analysis: ln-Xt versus ln-PBt, ln-ERt, ln-HEt, ln-CPt The regression equation is ln-Xt = - 131 + 9.06 ln-PBt + 0.88 ln-ERt - 0.40 ln-HEt - 1.63 ln-CPt Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant -130.97 96.12 -1.36 0.185 ln-PBt 9.063 5.529 1.64 0.114 6.0 ln-ERt 0.879 1.412 0.62 0.539 8.1 ln-HEt -0.404 2.727 -0.15 0.883 2.1 ln-CPt -1.6297 0.3964 -4.11 0.000 1.4 S = 2.82753 R-Sq = 71.0% R-Sq(adj) = 66.3% PRESS = 262.888 R-Sq(pred) = 61.81% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 4 488.49 122.12 15.28 0.000 Residual Error 25 199.87 7.99 Total 29 688.37 Source DF Seq SS ln-PBt 1 334.28 ln-ERt 1 15.90 ln-HEt 1 3.19 ln-CPt 1 135.11 Unusual Observations Obs ln-PBt ln-Xt Fit SE Fit Residual St Resid 30 17.3 10.698 11.301 2.500 -0.603 -0.46 X X denotes an observation whose X value gives it large influence. Durbin-Watson statistic = 1.69902
103
Lampiran 6. Uji Normalitas dan Uji Homoscedasticity Fungsi Ekspor Beras
Indonesia
1) Uji Normalitas
RESI1
Pe
rcen
t
7.55.02.50.0-2.5-5.0
99
95
90
80
70605040
30
20
10
5
1
Mean
>0.150
3.005004E -14StDev 2.626N 30KS 0.100P-Value
Proba bil ity Plot o f RE SI1Norm al
2) Uji Homoscedasticity
Fitte d Value
Re
sid
ua
l
151050
5.0
2.5
0.0
-2.5
-5.0
Res iduals Versus the F itted Values( response is ln-Xt)