ANALISIS EPIDEMIOLOGI KARAKTERISTIK PENDERITA …repository.utu.ac.id/72/1/I-V.pdfpada tahun 1998,...
Transcript of ANALISIS EPIDEMIOLOGI KARAKTERISTIK PENDERITA …repository.utu.ac.id/72/1/I-V.pdfpada tahun 1998,...
-
ANALISIS EPIDEMIOLOGI KARAKTERISTIK PENDERITA
DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI DINAS KESEHATAN
KABUPATEN SIMEULEU
TAHUN 2008-2012
PROPOSAL SKRIPSI
FADLAN
NIM: 06C10104314
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TEUKU UMAR
MEULABOH-ACEH BARAT
2014
-
ANALISIS EPIDEMIOLOGI KARAKTERISTIK PENDERITA
DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI DINAS KESEHATAN
KABUPATEN SIMEULEU
TAHUN 2008-2012
SKRIPSI
FADLAN
NIM: 06C10104314
Skripsi ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Universitas Teuku Umar
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TEUKU UMAR
MEULABOH-ACEH BARAT
2014
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan
kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap orang agar dapat mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal (UU Kesehatan No.36 Tahun 2009). Untuk mencapai
tujuan tersebut diatas berbagai program telah dilaksanakan dan dikembangkan,
baik oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat.
Salah satu program yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan dan
sasaran pembangunan dibidang kesehatan adalah pencegahan dan pemberantasan
penyakit menular. Program tersebut dilaksanakan untuk mencegah berjangkitnya
penyakit, atau mengurangi angka kematian dan kesakitan, dan sedapat mungkin
menghilangkan akibat buruk dari penyakit menular tersebut (Depkes RI, 2002).
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular yang
masih menjadi masalah nasional dibidang kesehatan masyarakat, karena penyakit
ini sering menimbulkan kematian bagi penderitanya, apalagi sampai saat ini obat
dan vaksinnya belum ditemukan. Penyakit DBD cenderung semakin luas
penyebarannya, penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopictus yang telah terinfeksi virus dengue.4 Faktor-faktor yang
mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD ini sangat kompleks,
yaitu pertumbuhan penduduk, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak
terkontrol, tidak adanya kontrol terhadap vektor di daerah endemik, dan
peningkatan sarana transportasi (Depkes RI, 2004).
-
2
Penyakit DBD di Asia pertama sekali ditemukan di Manila (Filipina) pada
tahun 1953, dan pada tahun 1958 terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit
Demam Berdarah Dengue di Bangkok (Thailand), selanjutnya penyakit ini
menyebar ke berbagai negara. Angka kesakitan (morbidity rate) dan kematian
(mortality rate) demam berdarah dengue di kawasan Asia Tenggara, selama kurun
waktu 1985-2004, Indonesia berada di urutan kedua terbesar setelah Thailand
(WHO 2008).
Selama tahun 1985-2004, di Indonesia tercatat angka penderita demam
berdarah dengue terendah 10.362 pada tahun 1989 dan tertinggi 72.133 orang
pada tahun 1998, dengan angka kematian terendah 422 orang pada tahun 1999 dan
tertinggi 1.527 pada tahun 1988 (Depkes RI, 2002).
Di Indonesia, Demam Berdarah Dengue (DBD) pertama sekali dicurigai di
Surabaya pada tahun 1968. Di Jakarta, kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969.
Kemudian DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung dan Jogyakarta (1972).
Epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan
Lampung, pada tahun 1973 di Riau, Sulawesi Utara dan Bali. Kemudian pada
tahun 1974, epidemi dilaporkan di Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat.
Penyakit DBD sudah tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, dengan
jumlah kasus yang masih cukup tinggi. Pada tahun 2002 sebanyak 40.377 kasus
dengan Insidens Rate (IR) 19,24 per 100.000 penduduk dan Case Fatality Rate
(CFR 1,3%), pada tahun 2003 sebanyak 51.439 kasus dengan IR 23,87 per
100.000 penduduk dan CFR 1,5% (Depkes RI, 2002).
Pada tahun 2004 penyakit DBD dilaporkan di 30 provinsi pada 309
kabupaten/kota dengan jumlah penderita 70.926 kasus dengan IR 37,11 per
-
3
100.000 penduduk dan CFR 1,12% (794 kematian).3 Provinsi-provinsi yang
dinyatakan KLB DBD di Indonesia adalah sebanyak 12 provinsi yaitu NAD, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Jogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali,
NTB, NTT, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara. Kasus dan angka kesakitan
tertinggi dilaporkan di provinsi DKI Jakarta sebesar 19.569 kasus dengan IR
173,97 per 100.000 penduduk dan 85 kematian (CFR 0,43%). Jawa Barat dengan
17.797 kasus dan 191 kematian (CFR 1,07%), Kalimantan Timur dengan IR 72,94
per 100.000 penduduk, Bali dengan IR 57,81 per 100.000 penduduk, dan
Jogyakarta dengan IR 57,04 per 100.000 penduduk. Angka kematian tertinggi
terjadi di provinsi Kalimantan Barat (CFR 6,67%), disusul NAD (CFR 4,37%),
dan Sulawesi Utara (CFR 3,88%), dan pada tahun 2005 jumlah penderita DBD di
Indonesia sebanyak 95.279 kasus dengan IR 43,42 per 100.000 penduduk dan
CFR 1,36% (Depkes RI, 2004).
Provinsi NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) termasuk salah satu wilayah
endemis penyakit DBD, dari tahun 2003-2007 jumlah kasus berfluktuatif, yaitu.
Pada tahun 2003 jumlah kasus 128 orang dengan IR 2,76 per 100.000 penduduk
CFR 3,1%, pada tahun 2004 jumlah kasus 252 orang dengan IR 5,43 per 100.000
penduduk CFR 4,37%, pada tahun 2005 jumlah kasus 629 dengan IR 14,86 per
100.000 penduduk CFR 1,59%,3 pada tahun 2006 tercatat sebanyak 700 kasus
DBD dengan IR 16,53 per 100.000 penduduk CFR 1,7% dan pada tahun 2007
jumlah kasus 1.569 orang dengan IR 38,55 per 100.000 penduduk CFR 0,7%
(Dinkes Provinsi Aceh, 2013).
Kabupaten Seumeuleu merupakan salah satu kabupaten di NAD yang
banyak ditemukan kasus DBD. Sejak kurun waktu lima tahun terakhir (2008-
-
4
2012) kasus DBD di Kabupaten Simeulue menunjukkan jumlah kasus yang
semakin meningkat, dan pada tahun 2012 telah melebihi target nasional yaitu
kurang dari 20 per 100.000 penduduk. Tahun 2008 tercatat sebanyak 10 kasus
dengan IR 5,98 per 100.000 penduduk CFR 0%, tahun 2009 sebanyak 19 kasus
dengan IR 10,22 per 100.000 penduduk CFR 0%, tahun 2010 sebanyak 250 kasus
dengan IR 143,9 per 100.000 penduduk CFR 0,8%, tahun 2011 sebanyak 250
kasus dengan IR 155,54 per 100.000 penduduk CFR 2,4%, dan pada tahun 2012
sebanyak 251 kasus dengan IR 156,13 per 100.000 penduduk CFR 1,59% (Dinkes
Kabupaten Simeulue, 2013).
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai
karakteristik penderita penyakit demam berdarah dengue (DBD) di Dinas
Kesehatan Kabupaten Simeulue tahun 2008-2012.
1.2. Rumusan Masalah
Dengan masih tingginya KLB (Kejadian Luar Biasa), IR (Insiden Rate)
dan CFR (Case Fatality Rate), maka perlu diketahui analisis karakteristik
penderita penyakit demam berdarah dengue di Dinas Kesehatan Kabupaten
Simeulue tahun 2008-2012.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui analisis karakteristik penderita penyakit demam
berdarah dengue di Dinas Kesehatan Kabupaten Simeulue tahun 2008-2012.
-
5
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui Insiden Rate (IR) dan Case Fatality Rate (CFR)
penderita DBD di Dinas Kesehatan Kabupaten Simeulue tahun 2008-2012.
2. Untuk mengetahui distribusi penderita DBD berdasarkan umur dan jenis
kelamin di Dinas Kesehatan Kabupaten Simeulue tahun 2008-2012.
3. Untuk mengetahui distribusi penderita berdasarkan waktu (bulan dan
tahun) di Dinas Kesehatan Kabupaten Simeulue tahun 2008-2012.
4. Untuk mengetahui distribusi penderita dan stratifikasi daerah rawan DBD
berdasarkan Kecamatan di Dinas Kesehatan Kabupaten Simeulue tahun
2008-2012.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Simeulue,
khususnya untuk kegiatan Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit DBD.
2. Bagi penulis dapat menambah wawasan, pengalaman serta kesempatan
dalam menerapkan ilmu yang telah penulis peroleh selama perkuliahan di
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Teuku Umar.
-
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
2.1.1. Definisi
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang
ditandai dengan demam mendadak dua sampai tujuh hari tanpa penyebab yang
jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri hulu hati, disertai tanda perdarahan di kulit berupa
petechie, purpura, echymosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena,
hepatomegali, trombositopeni, dan kesadaran menurun atau renjatan (Handayani,
2007).
2.1.2. Agent Infeksius
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue. Virus ini termasuk dalam
grup B Antropod Borne Virus (Arboviroses) kelompok flavivirus dari family
flaviviridae, yang terdiri dari empat serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN
4. Masingmasing saling berkaitan sifat antigennya dan dapat menyebabkan sakit
pada manusia. Keempat tipe virus ini telah ditemukan di berbagai daerah di
Indonesia. DEN 3 merupakan serotipe yang paling sering ditemui selama
terjadinya KLB di Indonesia diikuti DEN 2, DEN 1, dan DEN 4. DEN 3 juga
merupakan serotipe yang paling dominan yang berhubungan dengan tingkat
keparahan penyakit yang menyebabkan gejala klinis yang berat dan penderita
banyak yang meninggal (Soegijanto, 2004).
-
7
2.1.3 Vektor Penular
Nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus merupakan vektor
penularan virus dengue dari penderita kepada orang lain melalui gigitannya.
Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor penting di daerah perkotaan (daerah
urban) sedangkan daerah pedesaan (daerah rural) kedua spesies nyamuk tersebut
berperan dalam penularan (Handayani, 2007).
2.2. Penularan Virus Dengue
2.2.1. Mekanisme Penularan
Demam berdarah dengue tidak menular melalui kontak manusia dengan
manusia. Virus dengue sebagai penyebab demam berdarah hanya dapat ditularkan
melalui nyamuk. Oleh karena itu, penyakit ini termasuk ke dalam kelompok
arthropod borne diseases. Virus dengue berukuran 35-45 nm. Virus ini dapat
terus tumbuh dan berkembang dalam tubuh manusia dan nyamuk (WHO, 2008).
Terdapat tiga faktor yang memegang peran pada penularan infeksi dengue,
yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue masuk ke dalam tubuh
nyamuk pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, kemudian
virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti
dan Aedes albopictus yang infeksius (Soegijanto, 2004).
Seseorang yang di dalam darahnya memiliki virus dengue (infektif)
merupakan sumber penular DBD. Virus dengue berada dalam darah selama 4-7
hari mulai 1-2 hari sebelum demam (masa inkubasi instrinsik). Bila penderita
DBD digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terhisap masuk
ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan berkembangbiak dan
-
8
menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk, dan juga dalam kelenjar saliva. Kira-
kira satu minggu setelah menghisap darah penderita (masa inkubasi ekstrinsik),
nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain. Virus ini akan tetap
berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes
aegypti yang telah menghisap virus dengue menjadi penular (infektif) sepanjang
hidupnya (Handayani, 2007).
Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit (menusuk),
sebelum menghisap darah akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat
tusuknya (probosis), agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersama air liur
inilah virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain (WHO, 2008).
Hanya nyamuk Aedes aegypti betina yang dapat menularkan virus dengue.
Nyamuk betina sangat menyukai darah manusia (anthropophilic) dari pada darah
binatang. Kebiasaan menghisap darah terutama pada pagi hari jam 08.00-10.00
dan sore hari jam 16.00-18.00. Nyamuk betina mempunyai kebiasaan menghisap
darah berpindah-pindah berkali-kali dari satu individu ke individu lain (multiple
biter). Hal ini disebabkan karena pada siang hari manusia yang menjadi sumber
makanan darah utamanya dalam keadaan aktif bekerja/bergerak sehingga nyamuk
tidak bisa menghisap darah dengan tenang sampai kenyang pada satu individu.
Keadaan inilah yang menyebabkan penularan penyakit DBD menjadi lebih mudah
terjadi (Soegijanto, 2004).
2.2.2. Tempat Potensial Bagi Penularan Penyakit DBD
Menurut Depkes RI (2004), Penularan penyakit DBD dapat terjadi di
semua tempat yang terdapat nyamuk penularnya. Tempat-tempat potensial untuk
terjadinya penularan DBD adalah :
-
9
1. Wilayah yang banyak kasus DBD (rawan/endemis).
2. Tempat-tempat umum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang
datang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran
beberapa tipe virus dengue cukup besar.
Tempat-tempat umum itu antara lain :
a. Sekolah :
Anak murid sekolah berasal dari berbagai wilayah, merupakan
kelompok umur yang paling rentan untuk terserang penyakit DBD.
b. Rumah Sakit/Puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan lainnya :
Orang datang dari berbagai wilayah dan kemungkinan diantaranya
adalah penderita DBD, demam dengue atau carier virus dengue.
c. Tempat umum lainnya seperti :
Hotel, pertokoan, pasar, restoran, tempat-tempat ibadah dan lain-lain.
d. Pemukiman baru di pinggiran kota :
Karena di lokasi ini, penduduk umumnya berasal dari berbagai wilayah,
maka kemungkinan diantaranya terdapat penderita atau carier yang
membawa tipe virus dengue yang berlainan dari masing-masing lokasi
awal.
-
10
2.3. Nyamuk Penular DBD
Menurut Depkes RI (2004), dapat dirangkumkan sebagai berikut :
2.3.1. Morfologi
Nyamuk Aedes aegypti mempunyai morfologi sebagai berikut :
1. Nyamuk dewasa.
Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil, jika dibandingkan dengan
rata-rata nyamuk yang lain. Mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-
bintik putih pada bagian badan dan kaki.
2. Pupa (Kepompong).
Pupa atau kepompong berbentuk seperti “Koma”. Bentuknya lebih
besar namun lebih ramping dibandingkan larva (jentik) nya. Pupa nyamuk
Aedes aegypti berukuran lebih kecil, jika dibandingkan dengan rata-rata
pupa nyamuk lain.
3. Larva (jentik)
Ada 4 tingkat (instar) larva sesuai dengan pertumbuhan larva :
a. Larva instar I berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm.
b. Larva instar II berukuran 2,5-3,8 mm.
c. Larva instar III berukuran lebih besar sedikit dari larva instar II.
d. Larva instar IV berukuran paling besar 5mm.
Larva dan pupa hidup pada air yang jernih pada wadah atau tempat
air buatan seperti pada potongan bambu, dilubang-lubang pohon, pelepah
daun, kaleng kosong, pot bunga, botol pecah, tangki air, talang atap,
tempolong atau bokor, kolam air mancur, tempat minum kuda, ban bekas,
-
11
serta barang-barang lainnya yang berisi air yang tidak berhubungan
langsung dengan tanah.
Larva sering berada di dasar container, posisi istirahat pada
permukaan air membentuk sudut 45 derajat, sedangkan posisi kepala
berada di bawah.
4. Telur
Telur berwarna hitam dengan ukuran lebih 0,80 mm. Telur berbentuk oval
yang mengapung satu persatu pda permukaan air yang jernih, atau menempel pada
dinding penampungan air, Aedes aegypti betina bertelur diatas permukaan air pada
dinding vertikal bagian dalam pada tempat-tempat yang berair sedikit, jernih,
terlindung dari sinar matahari langsung, dan biasanya berada di dalam dan dekat
rumah. Telur tersebut diletakkan satu persatu atau berderet pada dinding tempat
air, di atas permukaan air, pada waktu istirahat membentuk sudut dengan
permukaan air.
2.3.2. Lingkungan Hidup
Nyamuk Aedes aegypti seperti nyamuk lainnya mengalami metamorfosis
sempurna yaitu telur – jentik – kepompong – nyamuk. Stadium telur, jentik dan
kepompong hidup di dalam air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik
dalam waktu kurang lebih 2 hari setelah telur terendam air. Telur dapat bertahan
hingga kurang lebih selama 2-3 bulan apabila tidak terendam air, dan apabila
musim penghujan tiba dan kontainer menampung air, maka telur akan terendam
kembali dan akan menetas menjadi jentik. Stadium jentik biasanya berlangsung 6-
8 hari, dan stadium pupa (kepompong) berlangsung antara 2-4 hari. Pertumbuhan
-
12
dari telur menjadi dewasa 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3
bulan.
Pergerakan nyamuk dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa
dan ke tempat istirahat ditentukan oleh kemampuan terbang. Jarak terbang
nyamuk betina biasanya 40-100 meter. Namun secara pasif misalnya angin atau
terbawa kendaraan maka nyamuk ini dapat berpindah lebih jauh.
2.3.3. Variasi Musiman
Pada musim hujan tempat perkembang biakan Aedes aegypti yang pada
musim kemarau tidak terisi air, mulai terisi air. Telur-telur yang tadinya belum
sempat menetas akan menetas. Selain itu pada musim hujan semakin banyak
tempat penampungan air alamiah yang terisi air hujan dan dapat digunakan
sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti. Oleh karena itu pada
musim hujan populasi nyamuk Aedes aegypti terus meningkat. Bertambahnya
populasi nyamuk ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan
penularan penyakit dengue.
2.3.4. Tempat Perkembangbiakan Aedes Aegypti
Tempat perkembangbiakan utama nyamuk Aedes aegypti ialah pada
tempat-tempat penampungan air berupa genangan air yang tertampung di suatu
tempat atau bejana di dalam atau sekitar rumah atau tempat-tempat umum,
biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Nyamuk ini biasanya tidak
dapat berkembangbiak di genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah.
Jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan
sebagai berikut :
-
13
1. Tempat Penampungan Air (TPA), yaitu tempat-tempat untuk menampung
air guna keperluan sehari-hari, seperti: tempayan, bak mandi, ember, dan
lain-lain.
2. Bukan tempat penampungan air (non TPA), yaitu tempat-tempat yang
biasa menampung air tetapi bukan untuk keperluan sehari-hari, seperti :
tempat minum hewan peliharaan (ayam, burung, dan lain-lain), barang
bekas (kaleng,botol, ban,pecahan gelas, dan lain-lain), vas bunga,
perangkap semut, penampung air dispenser, dan lain-lain.
3. Tempat penampungan air alami, seperti : Lubang pohon, lubang batu,
pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon pisang,
potongan bambu, dan lain-lain.
2.4. Epidemiologi Penyakit DBD
2.4.1. Distribusi Penyakit DBD Menurut Orang
Menurut WHO dan Depkes RI (2008), DBD dapat diderita oleh semua
golongan umur, walaupun saat ini DBD lebih banyak pada anak-anak, tetapi
dalam dekade terakhir ini DBD terlihat kecenderungan kenaikan proporsi pada
kelompok dewasa, karena pada kelompok umur ini mempunyai mobilitas yang
tinggi dan sejalan dengan perkembangan transportasi yang lancar, sehingga
memungkinkan untuk tertularnya virus dengue lebih besar, dan juga karena
adanya infeksi virus dengue jenis baru yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4
yang sebelumya belum pernah ada pada suatu daerah.
Pada awal terjadinya wabah di suatu negara, distribusi umur
memperlihatkan jumlah penderita terbanyak dari golongan anak berumur kurang
-
14
dari 15 tahun (86-95%). Namun pada wabah-wabah selanjutnya jumlah penderita
yang digolongkan dalam usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia penderita
DBD terbanyak pada golongan anak berumur 5-11 tahun, proporsi penderita yang
berumur lebih dari 15 tahun meningkat sejak tahun 1984.
2.4.2. Distribusi Penyakit DBD Menurut Tempat
Penyakit DBD dapat menyebar pada semua tempat kecuali tempat-tempat
dengan ketinggian 1000 meter dari permukaan laut karena pada tempat yang
tinggi dengan suhu yang rendah perkembangbiakan Aedes aegypti tidak
sempurna.
Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya
dan Jakarta tahun 1968 angka kejadian sakit infeksi virus dengue meningkat dari
0,05 per 100.000 penduduk menjadi 35,19 per 100.000 penduduk tahun 1998.
Sampai saat ini DBD telah ditemukan diseluruh propinsi di Indonesia.
Meningkatnya kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit
disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya
pemukiman baru, dan terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah
air serta adanya empat tipe virus yang menyebar sepanjang tahun.
2.4.3. Distribusi Penyakit DBD Menurut Waktu
Pola berjangkitnya infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan
kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-320C) dengan kelembaban yang
tinggi, nyamuk Aedes aegypti akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama.
Di Indonesia karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat maka
-
15
pola terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di pulau Jawa pada
umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus
sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.
2.4.4. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit DBD
Penularan penyakit DBD dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu agent
(virus), host (pejamu), dan lingkungan, yaitu :
1. Agent (penyebab penyakit) adalah semua unsur atau elemen hidup atau
mati yang kehadirannya, apabila diikuti dengan kontak yang efektif
dengan manusia rentan dalam keadaan yang memungkinkan akan menjadi
stimuli untuk mengisi dan memudahkan terjadinya suatu proses penyakit.
Dalam hal ini yang menjadi agent dalam penyebaran DBD adalah virus
dengue.
2. Karakteristik host (pejamu) adalah manusia yang kemungkinan terjangkit
penyakit DBD. Faktor-faktor yang terkait dalam penularan DBD pada manusia
yaitu :
a. Mobilitas penduduk akan memudahkan penularan dari suatu tempat ke
tempat yang lainnya. Hasil penelitian Fathi (2004) di kota Mataram
mobilitas penduduk tidak ikut berperan dalam terjadinya KLB penyakit
DBD di kota Mataram, hal ini dapat dikaitkan dengan mobilitas
penduduk di kota Mataram yang relatif rendah yaitu sebagian besar
adalah petani. Hasil penelitian Arsunan dan Wahiduddin (2003) di kota
Makassar mobilitas penduduk berperan dalam penyebaran DBD, hal ini
disebabkan mobilitas penduduk di kota Makassar yang relatif tinggi.
Hal ini sesuai dengan Sumarmo bahwa penyakit biasanya menjalar
-
16
dimulai dari suatu pusat sumber penularan (kota besar), kemudian
mengikuti lalu-lintas (mobilitas) penduduk. Semakin tinggi mobilitas
makin besar kemungkinan penyebaran penyakit DBD.
b. Pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan
penyuluhan dan cara pemberantasan yang dilakukan, hal ini berkaitan
dengan pengetahuan. Hasil penelitian Nicolas Duma (2007) di
kecamatan Baruga kota Kendari ada hubungan yang sangat signifikan
antara pengetahuan dengan kejadian DBD. Hal ini juga sesuai dengan
hasil penelitian Arsunan dan Wahiduddin (2003) di kota Makassar yang
mendapatkan adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan
dengan kejadian DBD. Hasil penelitian Kasnodiharjo (1997) di Subang
Jawa Barat menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai latar
belakang pendidikan atau buta huruf , pada umumnya akan mengalami
kesulitan untuk menyerap ide-ide baru dan membuat mereka
konservatif karena tidak mengenal alternatif yang lebih baik.
c. Kelompok umur akan mempengaruhi peluang terjadinya penularan
penyakit DBD. Hasil penelitian Soegeng Soegijanto (2000) di Jawa
Timur dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2000 proporsi kasus DBD
terbanyak adalah pada kelompok umur 5-9 tahun. Tetapi pada tahun
1998 dan 2000 proporsi kasus pada kelompok umur 15-44 tahun
meningkat, keadaan tersebut perlu diwaspadai bahwa DBD cenderung
meningkat pada kelompok umur remaja dan dewasa.4 Hal ini sesuai
dengan Suroso bahwa di Indonesia pada tahun 1995-1997 proporsi
kasus DBD telah bergeser ke usia ≥ 15 tahun. Hasil penelitian Fitri
-
17
(2005) di Pekanbaru proporsi penderita terbanyak lebih sering pada
kelompok umur ≥ 15 tahun.
d. Jenis kelamin, berdasarkan penelitian Widyana (1998) di Bantul pada
tahun 1997 menemukan bahwa proporsi penderita perempuan lebih
tinggi dibanding laki-laki yaitu sebesar 52,6 %.23 Hasil serupa juga di
peroleh oleh Enny dkk (2003) di Jakarta pada tahun 2000 sebagian
besar penderita adalah perempuan (58,2%). Namun secara keseluruhan
tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin penderita DBD dan
sampai sekarang tidak ada keterangan yang dapat memberikan jawaban
dengan tuntas mengenai perbedaan jenis kelamin pada penderita DBD.
Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Djelantik di
RSCM Jakarta (1998) menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara angka insiden laki-laki dan perempuan.
3. Lingkungan, lingkungan yang terkait dalam penularan penyakit DBD
adalah :
a. Tempat penampungan air/keberadaan kontainer, sebagai tempat
perindukan nyamuk Aedes aegypti. Hasil penelitian Yukresna (2003)
dengan desain penelitian case control di kota Medan mendapatkan
kondisi tempat penampungan air mempunyai hubungan dengan
kejadian DBD dengan OR 5,706 (CI 95% 1,59 – 20,39).26
b. Ketinggian tempat suatu daerah mempunyai pengaruh terhadap
perkembangbiakan nyamuk dan virus DBD. Di wilayah dengan
ketinggian lebih dari 1.000 meter diatas permukaan laut tidak
ditemukan nyamuk Aedes aegypti.
-
18
c. Curah hujan, pada musim hujan (curah hujan diatas normal) tempat
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang pada musim kemarau
tidak terisi air, mulai terisi air. Telur-telur yang belum sempat menetas,
dalam tempo singkat akan menetas, dan kelembaban udara juga akan
meningkat yang akan berpengaruh bagi kelangsungan hidup nyamuk
dewasa dimana selama musim hujan jangka waktu hidup nyamuk lebih
lama dan berisiko penularan virus lebih besar. Dari hasil pengamatan
penderita DBD yang selama ini dilaporkan di Indonesia bahwa musim
penularan DBD pada umumnya terjadi pada musim hujan yaitu awal
dan akhir tahun. Hasil penelitian Fitri (2005) kasus penyakit DBD di
kota Pekanbaru akan lebih tinggi pada saat curah hujan tinggi yaitu
diatas 300 mm.
d. Kebersihan lingkungan/sanitasi lingkungan, dari penelitian Yukresna
(2003) di kota Medan dengan desain penelitian case control yang
mendapatkan bahwa kebersihan lingkungan mempunyai hubungan
dengan kejadian DBD dengan OR 2,90 (CI 95% 1,63-5,15).26
Penelitian tersebut sesuai dengan pernyataan Seogeng, S (2004) yang
menyatakan bahwa kondisi sanitasi lingkungan berperan besar dalam
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti.
2.4.5. Manifestasi Klinis
Infeksi oleh virus dengue dapat bersifat asimtomatik maupun simtomatik
yang meliputi demam biasa (sindrom virus), demam dengue, atau demam
berdarah dengue termasuk sindrom syok dengue (DSS). Penyakit demam dengue
biasanya tidak menyebabkan kematian, penderita sembuh tanpa gejala sisa.
-
19
Sebaliknya, DHF merupakan penyakit demam akut yang mempunyai ciri-ciri
demam, manifestasi perdarahan, dan berpotensi mengakibatkan renjatan yang
dapat menyebabkan kematian. Gambaran klinis bergantung pada usia, status imun
penjamu, dan strain virus.
2.5. Kerangka Teori Penelitian
Infeksi virus dengue
Asimtomatik Simtomatik
Demam yang tak Demam dengue Demam berdarah
jelas penyebabnya dengue
(sindrom virus) (kebocoran plasma)
Tanpa Dengan
Perdarahan perdarahan
DBD tanpa DBD dengan
Syok syok (SSD)
Demam dengue Demam Berdarah Dengue
(Depkes RI, 2002 & 2004)
Gambar: 2.1. Kerangka Teori Penelitian
2.6. Kerangka Konsep Penelitian
Karakteristik Penderita Penyakit DBD
1. Karakteristik Penderita DBD berdasarkan
a. Orang (Umur dan Jenis kelamin)
b. Tempat (Kecamatan)
c. Waktu (Bulan dan Tahun)
2. Musim Penularan DBD
3. Stratifikasi daerah rawan DBD berdasarkan Kecamatan
Gambar: 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
-
20
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah bersifat analitik dengan menggunakan studi atau
desain Case Series.(Notoatmodjo, 2010)
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Dinas Kesehatan Kabupaten Simeuleu Provinsi
Aceh, dengan pertimbangan adanya peningkatan kasus yang berfluktuasi dan
cenderung meningkat.
3.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari tanggal 24 September 2013 sampai dengan
tanggal 30 September 2013.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah semua penderita penyakit DBD yang tercatat
di Dinas Kesehatan Kabupaten Simeuleu dari tahun 2008 - 2012 yang berjumlah
390 kasus.
-
21
3.3.2. Sampel
Sampel penelitian ini adalah semua penderita DBD yang tercatat di Dinas
Kesehatan Kabupaten Simeuleu dari tahun 2008 - 2012 yang berjumlah 390 kasus
(total sampling).
3.4. Metode Pengumpulan Data
Sumber data penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari
pencatatan dan pelaporan pada subdin P2P Dinas Kesehatan Kabupaten Simeuleu
tahun 2008-2012, dan data penduduk diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kota
Sinabang.
3.5. Definisi Operasional Variabel
Tabel 3.1. Variabel Penelitian
1. Variabel : Penderita DBD
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
:
:
:
:
:
Orang yang dinyatakan menderita Demam Berdarah
Dengue yang tercatat di laporan Dinas Kesehatan
Kabupaten Simeuleu tahun 2008-2012.
Merecord kasus dari register tahunan (2008-2012).
Pencatatan dan Pelaporan pada subdin P2P Dinas
Kesehatan Kabupaten Simeuleu dan rekapitulasi jumlah
kasus selama 5 tahun (2008-2012).
Jumlah Kasus (IR dan CFR).
Ordinal.
2. Variabel : Umur
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
:
:
:
:
:
Usia penderita penyakit DBD yang tercatat pada laporan
tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Simeuleu tahun
2008-2012.
Merecord kasus dari register tahunan (2008-2012).
Pencatatan dan Pelaporan Tahunan.
1. 0-4 tahun 6. 25-29 tahun 11. 50 – 54 tahun
2. 5-9 tahun 7. 30-34 tahun 12. 55 – 59 tahun
3. 10-14 tahun 8. 35-39 tahun 13. 60 – 64 tahun
4. 15-19 tahun 9. 40-44 tahun 14. ≥ 65 tahun
5. 20-24 tahun 10. 45-49 tahun
Nominal.
-
22
3. Variabel Jenis Kelamin
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
:
:
:
:
:
Gender dari penderita penyakit DBD tahun 2008-2012.
Merecord kasus dari register tahunan (2008-2012).
Pencatatan dan Pelaporan Tahunan.
1. Laki-laki. 2. Perempuan. Nominal.
4. Variabel Kecamatan
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
:
:
:
:
:
Tempat kejadian penyakit DBD di wilayah kerja Dinas
kesehatan Kabupaten Simeuleu, yang terdiri dari 10
Kecamatan tahun 2008-2012.
Merecord kasus dari register tahunan (2008-2012).
Pencatatan dan Pelaporan Tahunan.
1. Simeuleu Timur. 2. Simeuleu Barat. 3. Simeuleu Tengah. 4. Teupah Selatan. 5. Teupah Barat. 6. Teupah Tengah. 7. Alafan. 8. Teluk Dalam. 9. Simeuleu Cut. 10. Salang. Nominal.
5. Variabel Musim Penularan
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
:
:
:
:
:
Bulan di mana rata-rata kasus DBD tertinggi (rata-rata
dihitung selama 5 tahun terakhir) tahun 2008-2012.
Merecord kasus dari register tahunan (2008-2012).
Pencatatan dan Pelaporan Tahunan.
Jumlah Kasus dari Bulan Januari s/d Desember.
Nominal.
6. Variabel Stratifikasi Daerah Rawan DBD
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
:
:
:
:
:
Endemisitasnya suatu daerah.
Merecord kasus dari register tahunan.
Pencatatan dan Pelaporan Tahunan.
1. Endemis. 2. Sporadis. 3. Potensial. 4. Bebas. Ordinal.
3.6. Teknik Analisis Data
Data yang dikumpulkan diolah dan dianalisis secara deskriptif dan
kemudian data yang sudah diolah disajikan dalam bentuk tabel distribusi, grafik
line diagram dan Grafik bar diagram.
-
38
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Insiden Rate penderita DBD di Kabupaten Simeulue menunjukkan
peningkatan yang sangat tajam pada tahun 2008 IR 5,9 per 100.000 penduduk,
tahun 2009 IR 10,2 per 100.000 penduduk, tahun 2010 IR 143,9 per 100.000
penduduk, tahun 2011 IR 155,5 per 100.000 penduduk, dan pada tahun 2012
IR 156,7 per 100.000 penduduk.
2. Case Fatality Rate pada tahun 2008 CFR 0%, tahun 2009 CFR 0%, tahun
2010 CFR 0,8%, tahun 2011 CFR 2,4% dan tahun 2012 CFR 1,6%.
3. Musim penularan dan saat sebelum musim penularan DBD yaitu dengan
melihat rata-rata kasus tertinggi dan terendah tahun 2008-2012, saat sebelum
musim penularan terjadi pada bulan Mei yang merupakan rata-rata kasus
terendah, dan musim penularan terjadi pada akhir Desember hingga awal
Januari yang merupakan rata-rata kasus tertinggi.
4. Selama 3 tahun terakhir terdapat 10 Kecamatan yang seluruhnya merupakan
daerah endemis.
5. Insiden Rate tertinggi pada tahun 2007 adalah pada Kecamatan Simeulue
Timur, kemudian pada Kecamatan Simeulue Barat, dan terendah pada
Kecamatan Salang.
-
39
5.2. Saran-saran
Berdasarkan hasil penelitian maka penulis ingin memberikan saran antara
lain :
1. Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Simeulue yang mengelola sistem
pencatatan dan pelaporan agar memperhatikan kelengkapan laporan yang
dilaporkan dari Puskesmas yang berada diwilayah kerjanya dan hendaknya
melakukan Fogging Fokus berdasarkan hasil Penyelidikan Epidemiologi
untuk mencapai hasil kegiatan yang lebih efektif dan efisien.
2. Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Simeulue melalui Puskesmas hendaknya
menghimbau masyarakat pentingnya menjaga kebersihan lingkungan untuk
mencegah terjadinya wabah DBD.
-
40
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Perencanaan Tingkat Puskesmas (PTP) Tahun 2007 Puskesmas
Kedaton. Bandar Lampung.
Depkes RI. 2004. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Depkes
RI. Jakarta.
__________. 1992. Undang-undang Republik Indonesia No.23 Tahun 1992
tentang Kesehatan. Depkes RI. Jakarta
__________. 2002. Petunjuk Teknis Penemuan Pertolongan dan pelaporan
Penderita DBD. Depkes RI. Jakarta.
___________. 2004. Ukuran Masalah Kesehatan, “Kongres Nasional V Ikatan
Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia di Ujung Pandang
November 1996”, Jakarta
Dinkes Provinsi Aceh. 2013. Profil Kesehatan Aceh Tahun 2012. Dinkes
Provinsi Aceh. Banda Aceh.
Dinkes Kabupaten Seumeulue. 2013. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten
Seumeulue Tahun 2012. Dinkes Kabupaten Simeulue. Sinabang.
Handayani, K. 2007. Pengetahuan dan Persepsi Masyarakat tentang Penyakit
Demam Berdarah Dengue di kabupaten Tangerang. Jurnal ekologi
Kesehatan, Volume 6 No 1.
Lapau, Buchari. 2003. Epidemiologi dalam Management Pelayanan Kesehatan
pada Tingkat Puskesmas dan Posyandu, “Kongres Nasional V Ikatan
Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia di Ujung Pandang
November 1996”, Jakarta.
Myrnawati., 2000. Epidemiologi, Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kedokteran Universitas YARSI, Jakarta.
-
41
_________., 2001. Beberapa Macam Ukuran Masalah Kesehatan, Bagian Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas YARSI,
Jakarta.
Notoatmodjo, 2010. Metodeologi Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta
Soegijanto, S. 2004. Demam Berdarah Dengue pada Anak. Kumpulan Makalah
Penyakit Tropis dan Infeksi di Indonesia, Jilid 1, Airlangga
University Press. Surabaya.
WHO dan Depkes RI. 2008. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit DBD.
Depkes RI. Jakarta.
1BAB IBAB IIBAB IIIVBAB II