ANALISIS EPIDEMIOLOGI KARAKTERISTIK PENDERITA …repository.utu.ac.id/72/1/I-V.pdfpada tahun 1998,...

28
ANALISIS EPIDEMIOLOGI KARAKTERISTIK PENDERITA DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI DINAS KESEHATAN KABUPATEN SIMEULEU TAHUN 2008-2012 PROPOSAL SKRIPSI FADLAN NIM: 06C10104314 PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS TEUKU UMAR MEULABOH-ACEH BARAT 2014

Transcript of ANALISIS EPIDEMIOLOGI KARAKTERISTIK PENDERITA …repository.utu.ac.id/72/1/I-V.pdfpada tahun 1998,...

  • ANALISIS EPIDEMIOLOGI KARAKTERISTIK PENDERITA

    DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI DINAS KESEHATAN

    KABUPATEN SIMEULEU

    TAHUN 2008-2012

    PROPOSAL SKRIPSI

    FADLAN

    NIM: 06C10104314

    PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

    FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

    UNIVERSITAS TEUKU UMAR

    MEULABOH-ACEH BARAT

    2014

  • ANALISIS EPIDEMIOLOGI KARAKTERISTIK PENDERITA

    DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI DINAS KESEHATAN

    KABUPATEN SIMEULEU

    TAHUN 2008-2012

    SKRIPSI

    FADLAN

    NIM: 06C10104314

    Skripsi ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

    Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

    Universitas Teuku Umar

    PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

    FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

    UNIVERSITAS TEUKU UMAR

    MEULABOH-ACEH BARAT

    2014

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan

    kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap orang agar dapat mewujudkan derajat

    kesehatan yang optimal (UU Kesehatan No.36 Tahun 2009). Untuk mencapai

    tujuan tersebut diatas berbagai program telah dilaksanakan dan dikembangkan,

    baik oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat.

    Salah satu program yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan dan

    sasaran pembangunan dibidang kesehatan adalah pencegahan dan pemberantasan

    penyakit menular. Program tersebut dilaksanakan untuk mencegah berjangkitnya

    penyakit, atau mengurangi angka kematian dan kesakitan, dan sedapat mungkin

    menghilangkan akibat buruk dari penyakit menular tersebut (Depkes RI, 2002).

    Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular yang

    masih menjadi masalah nasional dibidang kesehatan masyarakat, karena penyakit

    ini sering menimbulkan kematian bagi penderitanya, apalagi sampai saat ini obat

    dan vaksinnya belum ditemukan. Penyakit DBD cenderung semakin luas

    penyebarannya, penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan

    Aedes albopictus yang telah terinfeksi virus dengue.4 Faktor-faktor yang

    mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD ini sangat kompleks,

    yaitu pertumbuhan penduduk, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak

    terkontrol, tidak adanya kontrol terhadap vektor di daerah endemik, dan

    peningkatan sarana transportasi (Depkes RI, 2004).

  • 2

    Penyakit DBD di Asia pertama sekali ditemukan di Manila (Filipina) pada

    tahun 1953, dan pada tahun 1958 terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit

    Demam Berdarah Dengue di Bangkok (Thailand), selanjutnya penyakit ini

    menyebar ke berbagai negara. Angka kesakitan (morbidity rate) dan kematian

    (mortality rate) demam berdarah dengue di kawasan Asia Tenggara, selama kurun

    waktu 1985-2004, Indonesia berada di urutan kedua terbesar setelah Thailand

    (WHO 2008).

    Selama tahun 1985-2004, di Indonesia tercatat angka penderita demam

    berdarah dengue terendah 10.362 pada tahun 1989 dan tertinggi 72.133 orang

    pada tahun 1998, dengan angka kematian terendah 422 orang pada tahun 1999 dan

    tertinggi 1.527 pada tahun 1988 (Depkes RI, 2002).

    Di Indonesia, Demam Berdarah Dengue (DBD) pertama sekali dicurigai di

    Surabaya pada tahun 1968. Di Jakarta, kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969.

    Kemudian DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung dan Jogyakarta (1972).

    Epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan

    Lampung, pada tahun 1973 di Riau, Sulawesi Utara dan Bali. Kemudian pada

    tahun 1974, epidemi dilaporkan di Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat.

    Penyakit DBD sudah tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, dengan

    jumlah kasus yang masih cukup tinggi. Pada tahun 2002 sebanyak 40.377 kasus

    dengan Insidens Rate (IR) 19,24 per 100.000 penduduk dan Case Fatality Rate

    (CFR 1,3%), pada tahun 2003 sebanyak 51.439 kasus dengan IR 23,87 per

    100.000 penduduk dan CFR 1,5% (Depkes RI, 2002).

    Pada tahun 2004 penyakit DBD dilaporkan di 30 provinsi pada 309

    kabupaten/kota dengan jumlah penderita 70.926 kasus dengan IR 37,11 per

  • 3

    100.000 penduduk dan CFR 1,12% (794 kematian).3 Provinsi-provinsi yang

    dinyatakan KLB DBD di Indonesia adalah sebanyak 12 provinsi yaitu NAD, DKI

    Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Jogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali,

    NTB, NTT, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara. Kasus dan angka kesakitan

    tertinggi dilaporkan di provinsi DKI Jakarta sebesar 19.569 kasus dengan IR

    173,97 per 100.000 penduduk dan 85 kematian (CFR 0,43%). Jawa Barat dengan

    17.797 kasus dan 191 kematian (CFR 1,07%), Kalimantan Timur dengan IR 72,94

    per 100.000 penduduk, Bali dengan IR 57,81 per 100.000 penduduk, dan

    Jogyakarta dengan IR 57,04 per 100.000 penduduk. Angka kematian tertinggi

    terjadi di provinsi Kalimantan Barat (CFR 6,67%), disusul NAD (CFR 4,37%),

    dan Sulawesi Utara (CFR 3,88%), dan pada tahun 2005 jumlah penderita DBD di

    Indonesia sebanyak 95.279 kasus dengan IR 43,42 per 100.000 penduduk dan

    CFR 1,36% (Depkes RI, 2004).

    Provinsi NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) termasuk salah satu wilayah

    endemis penyakit DBD, dari tahun 2003-2007 jumlah kasus berfluktuatif, yaitu.

    Pada tahun 2003 jumlah kasus 128 orang dengan IR 2,76 per 100.000 penduduk

    CFR 3,1%, pada tahun 2004 jumlah kasus 252 orang dengan IR 5,43 per 100.000

    penduduk CFR 4,37%, pada tahun 2005 jumlah kasus 629 dengan IR 14,86 per

    100.000 penduduk CFR 1,59%,3 pada tahun 2006 tercatat sebanyak 700 kasus

    DBD dengan IR 16,53 per 100.000 penduduk CFR 1,7% dan pada tahun 2007

    jumlah kasus 1.569 orang dengan IR 38,55 per 100.000 penduduk CFR 0,7%

    (Dinkes Provinsi Aceh, 2013).

    Kabupaten Seumeuleu merupakan salah satu kabupaten di NAD yang

    banyak ditemukan kasus DBD. Sejak kurun waktu lima tahun terakhir (2008-

  • 4

    2012) kasus DBD di Kabupaten Simeulue menunjukkan jumlah kasus yang

    semakin meningkat, dan pada tahun 2012 telah melebihi target nasional yaitu

    kurang dari 20 per 100.000 penduduk. Tahun 2008 tercatat sebanyak 10 kasus

    dengan IR 5,98 per 100.000 penduduk CFR 0%, tahun 2009 sebanyak 19 kasus

    dengan IR 10,22 per 100.000 penduduk CFR 0%, tahun 2010 sebanyak 250 kasus

    dengan IR 143,9 per 100.000 penduduk CFR 0,8%, tahun 2011 sebanyak 250

    kasus dengan IR 155,54 per 100.000 penduduk CFR 2,4%, dan pada tahun 2012

    sebanyak 251 kasus dengan IR 156,13 per 100.000 penduduk CFR 1,59% (Dinkes

    Kabupaten Simeulue, 2013).

    Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai

    karakteristik penderita penyakit demam berdarah dengue (DBD) di Dinas

    Kesehatan Kabupaten Simeulue tahun 2008-2012.

    1.2. Rumusan Masalah

    Dengan masih tingginya KLB (Kejadian Luar Biasa), IR (Insiden Rate)

    dan CFR (Case Fatality Rate), maka perlu diketahui analisis karakteristik

    penderita penyakit demam berdarah dengue di Dinas Kesehatan Kabupaten

    Simeulue tahun 2008-2012.

    1.3. Tujuan Penelitian

    1.3.1. Tujuan Umum

    Untuk mengetahui analisis karakteristik penderita penyakit demam

    berdarah dengue di Dinas Kesehatan Kabupaten Simeulue tahun 2008-2012.

  • 5

    1.3.2. Tujuan Khusus

    1. Untuk mengetahui Insiden Rate (IR) dan Case Fatality Rate (CFR)

    penderita DBD di Dinas Kesehatan Kabupaten Simeulue tahun 2008-2012.

    2. Untuk mengetahui distribusi penderita DBD berdasarkan umur dan jenis

    kelamin di Dinas Kesehatan Kabupaten Simeulue tahun 2008-2012.

    3. Untuk mengetahui distribusi penderita berdasarkan waktu (bulan dan

    tahun) di Dinas Kesehatan Kabupaten Simeulue tahun 2008-2012.

    4. Untuk mengetahui distribusi penderita dan stratifikasi daerah rawan DBD

    berdasarkan Kecamatan di Dinas Kesehatan Kabupaten Simeulue tahun

    2008-2012.

    1.4. Manfaat Penelitian

    1. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Simeulue,

    khususnya untuk kegiatan Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit DBD.

    2. Bagi penulis dapat menambah wawasan, pengalaman serta kesempatan

    dalam menerapkan ilmu yang telah penulis peroleh selama perkuliahan di

    Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Teuku Umar.

  • 6

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

    2.1.1. Definisi

    Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang

    disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang

    ditandai dengan demam mendadak dua sampai tujuh hari tanpa penyebab yang

    jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri hulu hati, disertai tanda perdarahan di kulit berupa

    petechie, purpura, echymosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena,

    hepatomegali, trombositopeni, dan kesadaran menurun atau renjatan (Handayani,

    2007).

    2.1.2. Agent Infeksius

    Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue. Virus ini termasuk dalam

    grup B Antropod Borne Virus (Arboviroses) kelompok flavivirus dari family

    flaviviridae, yang terdiri dari empat serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN

    4. Masingmasing saling berkaitan sifat antigennya dan dapat menyebabkan sakit

    pada manusia. Keempat tipe virus ini telah ditemukan di berbagai daerah di

    Indonesia. DEN 3 merupakan serotipe yang paling sering ditemui selama

    terjadinya KLB di Indonesia diikuti DEN 2, DEN 1, dan DEN 4. DEN 3 juga

    merupakan serotipe yang paling dominan yang berhubungan dengan tingkat

    keparahan penyakit yang menyebabkan gejala klinis yang berat dan penderita

    banyak yang meninggal (Soegijanto, 2004).

  • 7

    2.1.3 Vektor Penular

    Nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus merupakan vektor

    penularan virus dengue dari penderita kepada orang lain melalui gigitannya.

    Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor penting di daerah perkotaan (daerah

    urban) sedangkan daerah pedesaan (daerah rural) kedua spesies nyamuk tersebut

    berperan dalam penularan (Handayani, 2007).

    2.2. Penularan Virus Dengue

    2.2.1. Mekanisme Penularan

    Demam berdarah dengue tidak menular melalui kontak manusia dengan

    manusia. Virus dengue sebagai penyebab demam berdarah hanya dapat ditularkan

    melalui nyamuk. Oleh karena itu, penyakit ini termasuk ke dalam kelompok

    arthropod borne diseases. Virus dengue berukuran 35-45 nm. Virus ini dapat

    terus tumbuh dan berkembang dalam tubuh manusia dan nyamuk (WHO, 2008).

    Terdapat tiga faktor yang memegang peran pada penularan infeksi dengue,

    yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue masuk ke dalam tubuh

    nyamuk pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, kemudian

    virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti

    dan Aedes albopictus yang infeksius (Soegijanto, 2004).

    Seseorang yang di dalam darahnya memiliki virus dengue (infektif)

    merupakan sumber penular DBD. Virus dengue berada dalam darah selama 4-7

    hari mulai 1-2 hari sebelum demam (masa inkubasi instrinsik). Bila penderita

    DBD digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terhisap masuk

    ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan berkembangbiak dan

  • 8

    menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk, dan juga dalam kelenjar saliva. Kira-

    kira satu minggu setelah menghisap darah penderita (masa inkubasi ekstrinsik),

    nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain. Virus ini akan tetap

    berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes

    aegypti yang telah menghisap virus dengue menjadi penular (infektif) sepanjang

    hidupnya (Handayani, 2007).

    Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit (menusuk),

    sebelum menghisap darah akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat

    tusuknya (probosis), agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersama air liur

    inilah virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain (WHO, 2008).

    Hanya nyamuk Aedes aegypti betina yang dapat menularkan virus dengue.

    Nyamuk betina sangat menyukai darah manusia (anthropophilic) dari pada darah

    binatang. Kebiasaan menghisap darah terutama pada pagi hari jam 08.00-10.00

    dan sore hari jam 16.00-18.00. Nyamuk betina mempunyai kebiasaan menghisap

    darah berpindah-pindah berkali-kali dari satu individu ke individu lain (multiple

    biter). Hal ini disebabkan karena pada siang hari manusia yang menjadi sumber

    makanan darah utamanya dalam keadaan aktif bekerja/bergerak sehingga nyamuk

    tidak bisa menghisap darah dengan tenang sampai kenyang pada satu individu.

    Keadaan inilah yang menyebabkan penularan penyakit DBD menjadi lebih mudah

    terjadi (Soegijanto, 2004).

    2.2.2. Tempat Potensial Bagi Penularan Penyakit DBD

    Menurut Depkes RI (2004), Penularan penyakit DBD dapat terjadi di

    semua tempat yang terdapat nyamuk penularnya. Tempat-tempat potensial untuk

    terjadinya penularan DBD adalah :

  • 9

    1. Wilayah yang banyak kasus DBD (rawan/endemis).

    2. Tempat-tempat umum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang

    datang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran

    beberapa tipe virus dengue cukup besar.

    Tempat-tempat umum itu antara lain :

    a. Sekolah :

    Anak murid sekolah berasal dari berbagai wilayah, merupakan

    kelompok umur yang paling rentan untuk terserang penyakit DBD.

    b. Rumah Sakit/Puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan lainnya :

    Orang datang dari berbagai wilayah dan kemungkinan diantaranya

    adalah penderita DBD, demam dengue atau carier virus dengue.

    c. Tempat umum lainnya seperti :

    Hotel, pertokoan, pasar, restoran, tempat-tempat ibadah dan lain-lain.

    d. Pemukiman baru di pinggiran kota :

    Karena di lokasi ini, penduduk umumnya berasal dari berbagai wilayah,

    maka kemungkinan diantaranya terdapat penderita atau carier yang

    membawa tipe virus dengue yang berlainan dari masing-masing lokasi

    awal.

  • 10

    2.3. Nyamuk Penular DBD

    Menurut Depkes RI (2004), dapat dirangkumkan sebagai berikut :

    2.3.1. Morfologi

    Nyamuk Aedes aegypti mempunyai morfologi sebagai berikut :

    1. Nyamuk dewasa.

    Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil, jika dibandingkan dengan

    rata-rata nyamuk yang lain. Mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-

    bintik putih pada bagian badan dan kaki.

    2. Pupa (Kepompong).

    Pupa atau kepompong berbentuk seperti “Koma”. Bentuknya lebih

    besar namun lebih ramping dibandingkan larva (jentik) nya. Pupa nyamuk

    Aedes aegypti berukuran lebih kecil, jika dibandingkan dengan rata-rata

    pupa nyamuk lain.

    3. Larva (jentik)

    Ada 4 tingkat (instar) larva sesuai dengan pertumbuhan larva :

    a. Larva instar I berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm.

    b. Larva instar II berukuran 2,5-3,8 mm.

    c. Larva instar III berukuran lebih besar sedikit dari larva instar II.

    d. Larva instar IV berukuran paling besar 5mm.

    Larva dan pupa hidup pada air yang jernih pada wadah atau tempat

    air buatan seperti pada potongan bambu, dilubang-lubang pohon, pelepah

    daun, kaleng kosong, pot bunga, botol pecah, tangki air, talang atap,

    tempolong atau bokor, kolam air mancur, tempat minum kuda, ban bekas,

  • 11

    serta barang-barang lainnya yang berisi air yang tidak berhubungan

    langsung dengan tanah.

    Larva sering berada di dasar container, posisi istirahat pada

    permukaan air membentuk sudut 45 derajat, sedangkan posisi kepala

    berada di bawah.

    4. Telur

    Telur berwarna hitam dengan ukuran lebih 0,80 mm. Telur berbentuk oval

    yang mengapung satu persatu pda permukaan air yang jernih, atau menempel pada

    dinding penampungan air, Aedes aegypti betina bertelur diatas permukaan air pada

    dinding vertikal bagian dalam pada tempat-tempat yang berair sedikit, jernih,

    terlindung dari sinar matahari langsung, dan biasanya berada di dalam dan dekat

    rumah. Telur tersebut diletakkan satu persatu atau berderet pada dinding tempat

    air, di atas permukaan air, pada waktu istirahat membentuk sudut dengan

    permukaan air.

    2.3.2. Lingkungan Hidup

    Nyamuk Aedes aegypti seperti nyamuk lainnya mengalami metamorfosis

    sempurna yaitu telur – jentik – kepompong – nyamuk. Stadium telur, jentik dan

    kepompong hidup di dalam air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik

    dalam waktu kurang lebih 2 hari setelah telur terendam air. Telur dapat bertahan

    hingga kurang lebih selama 2-3 bulan apabila tidak terendam air, dan apabila

    musim penghujan tiba dan kontainer menampung air, maka telur akan terendam

    kembali dan akan menetas menjadi jentik. Stadium jentik biasanya berlangsung 6-

    8 hari, dan stadium pupa (kepompong) berlangsung antara 2-4 hari. Pertumbuhan

  • 12

    dari telur menjadi dewasa 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3

    bulan.

    Pergerakan nyamuk dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa

    dan ke tempat istirahat ditentukan oleh kemampuan terbang. Jarak terbang

    nyamuk betina biasanya 40-100 meter. Namun secara pasif misalnya angin atau

    terbawa kendaraan maka nyamuk ini dapat berpindah lebih jauh.

    2.3.3. Variasi Musiman

    Pada musim hujan tempat perkembang biakan Aedes aegypti yang pada

    musim kemarau tidak terisi air, mulai terisi air. Telur-telur yang tadinya belum

    sempat menetas akan menetas. Selain itu pada musim hujan semakin banyak

    tempat penampungan air alamiah yang terisi air hujan dan dapat digunakan

    sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti. Oleh karena itu pada

    musim hujan populasi nyamuk Aedes aegypti terus meningkat. Bertambahnya

    populasi nyamuk ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan

    penularan penyakit dengue.

    2.3.4. Tempat Perkembangbiakan Aedes Aegypti

    Tempat perkembangbiakan utama nyamuk Aedes aegypti ialah pada

    tempat-tempat penampungan air berupa genangan air yang tertampung di suatu

    tempat atau bejana di dalam atau sekitar rumah atau tempat-tempat umum,

    biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Nyamuk ini biasanya tidak

    dapat berkembangbiak di genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah.

    Jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan

    sebagai berikut :

  • 13

    1. Tempat Penampungan Air (TPA), yaitu tempat-tempat untuk menampung

    air guna keperluan sehari-hari, seperti: tempayan, bak mandi, ember, dan

    lain-lain.

    2. Bukan tempat penampungan air (non TPA), yaitu tempat-tempat yang

    biasa menampung air tetapi bukan untuk keperluan sehari-hari, seperti :

    tempat minum hewan peliharaan (ayam, burung, dan lain-lain), barang

    bekas (kaleng,botol, ban,pecahan gelas, dan lain-lain), vas bunga,

    perangkap semut, penampung air dispenser, dan lain-lain.

    3. Tempat penampungan air alami, seperti : Lubang pohon, lubang batu,

    pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon pisang,

    potongan bambu, dan lain-lain.

    2.4. Epidemiologi Penyakit DBD

    2.4.1. Distribusi Penyakit DBD Menurut Orang

    Menurut WHO dan Depkes RI (2008), DBD dapat diderita oleh semua

    golongan umur, walaupun saat ini DBD lebih banyak pada anak-anak, tetapi

    dalam dekade terakhir ini DBD terlihat kecenderungan kenaikan proporsi pada

    kelompok dewasa, karena pada kelompok umur ini mempunyai mobilitas yang

    tinggi dan sejalan dengan perkembangan transportasi yang lancar, sehingga

    memungkinkan untuk tertularnya virus dengue lebih besar, dan juga karena

    adanya infeksi virus dengue jenis baru yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4

    yang sebelumya belum pernah ada pada suatu daerah.

    Pada awal terjadinya wabah di suatu negara, distribusi umur

    memperlihatkan jumlah penderita terbanyak dari golongan anak berumur kurang

  • 14

    dari 15 tahun (86-95%). Namun pada wabah-wabah selanjutnya jumlah penderita

    yang digolongkan dalam usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia penderita

    DBD terbanyak pada golongan anak berumur 5-11 tahun, proporsi penderita yang

    berumur lebih dari 15 tahun meningkat sejak tahun 1984.

    2.4.2. Distribusi Penyakit DBD Menurut Tempat

    Penyakit DBD dapat menyebar pada semua tempat kecuali tempat-tempat

    dengan ketinggian 1000 meter dari permukaan laut karena pada tempat yang

    tinggi dengan suhu yang rendah perkembangbiakan Aedes aegypti tidak

    sempurna.

    Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya

    dan Jakarta tahun 1968 angka kejadian sakit infeksi virus dengue meningkat dari

    0,05 per 100.000 penduduk menjadi 35,19 per 100.000 penduduk tahun 1998.

    Sampai saat ini DBD telah ditemukan diseluruh propinsi di Indonesia.

    Meningkatnya kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit

    disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya

    pemukiman baru, dan terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah

    air serta adanya empat tipe virus yang menyebar sepanjang tahun.

    2.4.3. Distribusi Penyakit DBD Menurut Waktu

    Pola berjangkitnya infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan

    kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-320C) dengan kelembaban yang

    tinggi, nyamuk Aedes aegypti akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama.

    Di Indonesia karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat maka

  • 15

    pola terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di pulau Jawa pada

    umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus

    sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.

    2.4.4. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit DBD

    Penularan penyakit DBD dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu agent

    (virus), host (pejamu), dan lingkungan, yaitu :

    1. Agent (penyebab penyakit) adalah semua unsur atau elemen hidup atau

    mati yang kehadirannya, apabila diikuti dengan kontak yang efektif

    dengan manusia rentan dalam keadaan yang memungkinkan akan menjadi

    stimuli untuk mengisi dan memudahkan terjadinya suatu proses penyakit.

    Dalam hal ini yang menjadi agent dalam penyebaran DBD adalah virus

    dengue.

    2. Karakteristik host (pejamu) adalah manusia yang kemungkinan terjangkit

    penyakit DBD. Faktor-faktor yang terkait dalam penularan DBD pada manusia

    yaitu :

    a. Mobilitas penduduk akan memudahkan penularan dari suatu tempat ke

    tempat yang lainnya. Hasil penelitian Fathi (2004) di kota Mataram

    mobilitas penduduk tidak ikut berperan dalam terjadinya KLB penyakit

    DBD di kota Mataram, hal ini dapat dikaitkan dengan mobilitas

    penduduk di kota Mataram yang relatif rendah yaitu sebagian besar

    adalah petani. Hasil penelitian Arsunan dan Wahiduddin (2003) di kota

    Makassar mobilitas penduduk berperan dalam penyebaran DBD, hal ini

    disebabkan mobilitas penduduk di kota Makassar yang relatif tinggi.

    Hal ini sesuai dengan Sumarmo bahwa penyakit biasanya menjalar

  • 16

    dimulai dari suatu pusat sumber penularan (kota besar), kemudian

    mengikuti lalu-lintas (mobilitas) penduduk. Semakin tinggi mobilitas

    makin besar kemungkinan penyebaran penyakit DBD.

    b. Pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan

    penyuluhan dan cara pemberantasan yang dilakukan, hal ini berkaitan

    dengan pengetahuan. Hasil penelitian Nicolas Duma (2007) di

    kecamatan Baruga kota Kendari ada hubungan yang sangat signifikan

    antara pengetahuan dengan kejadian DBD. Hal ini juga sesuai dengan

    hasil penelitian Arsunan dan Wahiduddin (2003) di kota Makassar yang

    mendapatkan adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan

    dengan kejadian DBD. Hasil penelitian Kasnodiharjo (1997) di Subang

    Jawa Barat menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai latar

    belakang pendidikan atau buta huruf , pada umumnya akan mengalami

    kesulitan untuk menyerap ide-ide baru dan membuat mereka

    konservatif karena tidak mengenal alternatif yang lebih baik.

    c. Kelompok umur akan mempengaruhi peluang terjadinya penularan

    penyakit DBD. Hasil penelitian Soegeng Soegijanto (2000) di Jawa

    Timur dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2000 proporsi kasus DBD

    terbanyak adalah pada kelompok umur 5-9 tahun. Tetapi pada tahun

    1998 dan 2000 proporsi kasus pada kelompok umur 15-44 tahun

    meningkat, keadaan tersebut perlu diwaspadai bahwa DBD cenderung

    meningkat pada kelompok umur remaja dan dewasa.4 Hal ini sesuai

    dengan Suroso bahwa di Indonesia pada tahun 1995-1997 proporsi

    kasus DBD telah bergeser ke usia ≥ 15 tahun. Hasil penelitian Fitri

  • 17

    (2005) di Pekanbaru proporsi penderita terbanyak lebih sering pada

    kelompok umur ≥ 15 tahun.

    d. Jenis kelamin, berdasarkan penelitian Widyana (1998) di Bantul pada

    tahun 1997 menemukan bahwa proporsi penderita perempuan lebih

    tinggi dibanding laki-laki yaitu sebesar 52,6 %.23 Hasil serupa juga di

    peroleh oleh Enny dkk (2003) di Jakarta pada tahun 2000 sebagian

    besar penderita adalah perempuan (58,2%). Namun secara keseluruhan

    tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin penderita DBD dan

    sampai sekarang tidak ada keterangan yang dapat memberikan jawaban

    dengan tuntas mengenai perbedaan jenis kelamin pada penderita DBD.

    Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Djelantik di

    RSCM Jakarta (1998) menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan

    yang signifikan antara angka insiden laki-laki dan perempuan.

    3. Lingkungan, lingkungan yang terkait dalam penularan penyakit DBD

    adalah :

    a. Tempat penampungan air/keberadaan kontainer, sebagai tempat

    perindukan nyamuk Aedes aegypti. Hasil penelitian Yukresna (2003)

    dengan desain penelitian case control di kota Medan mendapatkan

    kondisi tempat penampungan air mempunyai hubungan dengan

    kejadian DBD dengan OR 5,706 (CI 95% 1,59 – 20,39).26

    b. Ketinggian tempat suatu daerah mempunyai pengaruh terhadap

    perkembangbiakan nyamuk dan virus DBD. Di wilayah dengan

    ketinggian lebih dari 1.000 meter diatas permukaan laut tidak

    ditemukan nyamuk Aedes aegypti.

  • 18

    c. Curah hujan, pada musim hujan (curah hujan diatas normal) tempat

    perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang pada musim kemarau

    tidak terisi air, mulai terisi air. Telur-telur yang belum sempat menetas,

    dalam tempo singkat akan menetas, dan kelembaban udara juga akan

    meningkat yang akan berpengaruh bagi kelangsungan hidup nyamuk

    dewasa dimana selama musim hujan jangka waktu hidup nyamuk lebih

    lama dan berisiko penularan virus lebih besar. Dari hasil pengamatan

    penderita DBD yang selama ini dilaporkan di Indonesia bahwa musim

    penularan DBD pada umumnya terjadi pada musim hujan yaitu awal

    dan akhir tahun. Hasil penelitian Fitri (2005) kasus penyakit DBD di

    kota Pekanbaru akan lebih tinggi pada saat curah hujan tinggi yaitu

    diatas 300 mm.

    d. Kebersihan lingkungan/sanitasi lingkungan, dari penelitian Yukresna

    (2003) di kota Medan dengan desain penelitian case control yang

    mendapatkan bahwa kebersihan lingkungan mempunyai hubungan

    dengan kejadian DBD dengan OR 2,90 (CI 95% 1,63-5,15).26

    Penelitian tersebut sesuai dengan pernyataan Seogeng, S (2004) yang

    menyatakan bahwa kondisi sanitasi lingkungan berperan besar dalam

    perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti.

    2.4.5. Manifestasi Klinis

    Infeksi oleh virus dengue dapat bersifat asimtomatik maupun simtomatik

    yang meliputi demam biasa (sindrom virus), demam dengue, atau demam

    berdarah dengue termasuk sindrom syok dengue (DSS). Penyakit demam dengue

    biasanya tidak menyebabkan kematian, penderita sembuh tanpa gejala sisa.

  • 19

    Sebaliknya, DHF merupakan penyakit demam akut yang mempunyai ciri-ciri

    demam, manifestasi perdarahan, dan berpotensi mengakibatkan renjatan yang

    dapat menyebabkan kematian. Gambaran klinis bergantung pada usia, status imun

    penjamu, dan strain virus.

    2.5. Kerangka Teori Penelitian

    Infeksi virus dengue

    Asimtomatik Simtomatik

    Demam yang tak Demam dengue Demam berdarah

    jelas penyebabnya dengue

    (sindrom virus) (kebocoran plasma)

    Tanpa Dengan

    Perdarahan perdarahan

    DBD tanpa DBD dengan

    Syok syok (SSD)

    Demam dengue Demam Berdarah Dengue

    (Depkes RI, 2002 & 2004)

    Gambar: 2.1. Kerangka Teori Penelitian

    2.6. Kerangka Konsep Penelitian

    Karakteristik Penderita Penyakit DBD

    1. Karakteristik Penderita DBD berdasarkan

    a. Orang (Umur dan Jenis kelamin)

    b. Tempat (Kecamatan)

    c. Waktu (Bulan dan Tahun)

    2. Musim Penularan DBD

    3. Stratifikasi daerah rawan DBD berdasarkan Kecamatan

    Gambar: 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

  • 20

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian

    Jenis penelitian ini adalah bersifat analitik dengan menggunakan studi atau

    desain Case Series.(Notoatmodjo, 2010)

    3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

    3.2.1. Lokasi Penelitian

    Penelitian dilakukan di Dinas Kesehatan Kabupaten Simeuleu Provinsi

    Aceh, dengan pertimbangan adanya peningkatan kasus yang berfluktuasi dan

    cenderung meningkat.

    3.2.2. Waktu Penelitian

    Penelitian ini dilakukan dari tanggal 24 September 2013 sampai dengan

    tanggal 30 September 2013.

    3.3. Populasi dan Sampel

    3.3.1. Populasi

    Populasi penelitian ini adalah semua penderita penyakit DBD yang tercatat

    di Dinas Kesehatan Kabupaten Simeuleu dari tahun 2008 - 2012 yang berjumlah

    390 kasus.

  • 21

    3.3.2. Sampel

    Sampel penelitian ini adalah semua penderita DBD yang tercatat di Dinas

    Kesehatan Kabupaten Simeuleu dari tahun 2008 - 2012 yang berjumlah 390 kasus

    (total sampling).

    3.4. Metode Pengumpulan Data

    Sumber data penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari

    pencatatan dan pelaporan pada subdin P2P Dinas Kesehatan Kabupaten Simeuleu

    tahun 2008-2012, dan data penduduk diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kota

    Sinabang.

    3.5. Definisi Operasional Variabel

    Tabel 3.1. Variabel Penelitian

    1. Variabel : Penderita DBD

    Definisi

    Cara Ukur

    Alat Ukur

    Hasil Ukur

    Skala Ukur

    :

    :

    :

    :

    :

    Orang yang dinyatakan menderita Demam Berdarah

    Dengue yang tercatat di laporan Dinas Kesehatan

    Kabupaten Simeuleu tahun 2008-2012.

    Merecord kasus dari register tahunan (2008-2012).

    Pencatatan dan Pelaporan pada subdin P2P Dinas

    Kesehatan Kabupaten Simeuleu dan rekapitulasi jumlah

    kasus selama 5 tahun (2008-2012).

    Jumlah Kasus (IR dan CFR).

    Ordinal.

    2. Variabel : Umur

    Definisi

    Cara Ukur

    Alat Ukur

    Hasil Ukur

    Skala Ukur

    :

    :

    :

    :

    :

    Usia penderita penyakit DBD yang tercatat pada laporan

    tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Simeuleu tahun

    2008-2012.

    Merecord kasus dari register tahunan (2008-2012).

    Pencatatan dan Pelaporan Tahunan.

    1. 0-4 tahun 6. 25-29 tahun 11. 50 – 54 tahun

    2. 5-9 tahun 7. 30-34 tahun 12. 55 – 59 tahun

    3. 10-14 tahun 8. 35-39 tahun 13. 60 – 64 tahun

    4. 15-19 tahun 9. 40-44 tahun 14. ≥ 65 tahun

    5. 20-24 tahun 10. 45-49 tahun

    Nominal.

  • 22

    3. Variabel Jenis Kelamin

    Definisi

    Cara Ukur

    Alat Ukur

    Hasil Ukur

    Skala Ukur

    :

    :

    :

    :

    :

    Gender dari penderita penyakit DBD tahun 2008-2012.

    Merecord kasus dari register tahunan (2008-2012).

    Pencatatan dan Pelaporan Tahunan.

    1. Laki-laki. 2. Perempuan. Nominal.

    4. Variabel Kecamatan

    Definisi

    Cara Ukur

    Alat Ukur

    Hasil Ukur

    Skala Ukur

    :

    :

    :

    :

    :

    Tempat kejadian penyakit DBD di wilayah kerja Dinas

    kesehatan Kabupaten Simeuleu, yang terdiri dari 10

    Kecamatan tahun 2008-2012.

    Merecord kasus dari register tahunan (2008-2012).

    Pencatatan dan Pelaporan Tahunan.

    1. Simeuleu Timur. 2. Simeuleu Barat. 3. Simeuleu Tengah. 4. Teupah Selatan. 5. Teupah Barat. 6. Teupah Tengah. 7. Alafan. 8. Teluk Dalam. 9. Simeuleu Cut. 10. Salang. Nominal.

    5. Variabel Musim Penularan

    Definisi

    Cara Ukur

    Alat Ukur

    Hasil Ukur

    Skala Ukur

    :

    :

    :

    :

    :

    Bulan di mana rata-rata kasus DBD tertinggi (rata-rata

    dihitung selama 5 tahun terakhir) tahun 2008-2012.

    Merecord kasus dari register tahunan (2008-2012).

    Pencatatan dan Pelaporan Tahunan.

    Jumlah Kasus dari Bulan Januari s/d Desember.

    Nominal.

    6. Variabel Stratifikasi Daerah Rawan DBD

    Definisi

    Cara Ukur

    Alat Ukur

    Hasil Ukur

    Skala Ukur

    :

    :

    :

    :

    :

    Endemisitasnya suatu daerah.

    Merecord kasus dari register tahunan.

    Pencatatan dan Pelaporan Tahunan.

    1. Endemis. 2. Sporadis. 3. Potensial. 4. Bebas. Ordinal.

    3.6. Teknik Analisis Data

    Data yang dikumpulkan diolah dan dianalisis secara deskriptif dan

    kemudian data yang sudah diolah disajikan dalam bentuk tabel distribusi, grafik

    line diagram dan Grafik bar diagram.

  • 38

    BAB V

    KESIMPULAN DAN SARAN

    5.1. Kesimpulan

    1. Insiden Rate penderita DBD di Kabupaten Simeulue menunjukkan

    peningkatan yang sangat tajam pada tahun 2008 IR 5,9 per 100.000 penduduk,

    tahun 2009 IR 10,2 per 100.000 penduduk, tahun 2010 IR 143,9 per 100.000

    penduduk, tahun 2011 IR 155,5 per 100.000 penduduk, dan pada tahun 2012

    IR 156,7 per 100.000 penduduk.

    2. Case Fatality Rate pada tahun 2008 CFR 0%, tahun 2009 CFR 0%, tahun

    2010 CFR 0,8%, tahun 2011 CFR 2,4% dan tahun 2012 CFR 1,6%.

    3. Musim penularan dan saat sebelum musim penularan DBD yaitu dengan

    melihat rata-rata kasus tertinggi dan terendah tahun 2008-2012, saat sebelum

    musim penularan terjadi pada bulan Mei yang merupakan rata-rata kasus

    terendah, dan musim penularan terjadi pada akhir Desember hingga awal

    Januari yang merupakan rata-rata kasus tertinggi.

    4. Selama 3 tahun terakhir terdapat 10 Kecamatan yang seluruhnya merupakan

    daerah endemis.

    5. Insiden Rate tertinggi pada tahun 2007 adalah pada Kecamatan Simeulue

    Timur, kemudian pada Kecamatan Simeulue Barat, dan terendah pada

    Kecamatan Salang.

  • 39

    5.2. Saran-saran

    Berdasarkan hasil penelitian maka penulis ingin memberikan saran antara

    lain :

    1. Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Simeulue yang mengelola sistem

    pencatatan dan pelaporan agar memperhatikan kelengkapan laporan yang

    dilaporkan dari Puskesmas yang berada diwilayah kerjanya dan hendaknya

    melakukan Fogging Fokus berdasarkan hasil Penyelidikan Epidemiologi

    untuk mencapai hasil kegiatan yang lebih efektif dan efisien.

    2. Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Simeulue melalui Puskesmas hendaknya

    menghimbau masyarakat pentingnya menjaga kebersihan lingkungan untuk

    mencegah terjadinya wabah DBD.

  • 40

    DAFTAR PUSTAKA

    Anonim. 2007. Perencanaan Tingkat Puskesmas (PTP) Tahun 2007 Puskesmas

    Kedaton. Bandar Lampung.

    Depkes RI. 2004. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Depkes

    RI. Jakarta.

    __________. 1992. Undang-undang Republik Indonesia No.23 Tahun 1992

    tentang Kesehatan. Depkes RI. Jakarta

    __________. 2002. Petunjuk Teknis Penemuan Pertolongan dan pelaporan

    Penderita DBD. Depkes RI. Jakarta.

    ___________. 2004. Ukuran Masalah Kesehatan, “Kongres Nasional V Ikatan

    Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia di Ujung Pandang

    November 1996”, Jakarta

    Dinkes Provinsi Aceh. 2013. Profil Kesehatan Aceh Tahun 2012. Dinkes

    Provinsi Aceh. Banda Aceh.

    Dinkes Kabupaten Seumeulue. 2013. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten

    Seumeulue Tahun 2012. Dinkes Kabupaten Simeulue. Sinabang.

    Handayani, K. 2007. Pengetahuan dan Persepsi Masyarakat tentang Penyakit

    Demam Berdarah Dengue di kabupaten Tangerang. Jurnal ekologi

    Kesehatan, Volume 6 No 1.

    Lapau, Buchari. 2003. Epidemiologi dalam Management Pelayanan Kesehatan

    pada Tingkat Puskesmas dan Posyandu, “Kongres Nasional V Ikatan

    Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia di Ujung Pandang

    November 1996”, Jakarta.

    Myrnawati., 2000. Epidemiologi, Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas

    Kedokteran Universitas YARSI, Jakarta.

  • 41

    _________., 2001. Beberapa Macam Ukuran Masalah Kesehatan, Bagian Ilmu

    Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas YARSI,

    Jakarta.

    Notoatmodjo, 2010. Metodeologi Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta

    Soegijanto, S. 2004. Demam Berdarah Dengue pada Anak. Kumpulan Makalah

    Penyakit Tropis dan Infeksi di Indonesia, Jilid 1, Airlangga

    University Press. Surabaya.

    WHO dan Depkes RI. 2008. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit DBD.

    Depkes RI. Jakarta.

    1BAB IBAB IIBAB IIIVBAB II