Analisis Ekonomi Dampak Tambang Inkonvensional (TI) Terhadap Pendapatan Nelayan di Kabupaten Bangka...

272
931 ANALISIS EKONOMI DAMPAK TAMBANG INKONVENSIONAL (TI) TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN BANGKA BARAT (ECONOMIC ANALYSIS OF ILLEGAL MINNING IMPACT TO FISHERMAN INCOME IN KABUPATEN BANGKA BARAT) Endang Bidayani Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung ABSTRACT Tin production in Kabupaten Bangka Barat (Bangka Belitung Province) generated positive and negative impact to environment. The aim of this research is to analyse impact from illegal minning (TI) activity to fisherman income in Kabupaten Bangka Barat. The data was analysed by analysis of impact methode. The results shows that the illegal minning causes decreasing income of fisherman up to 70% in ten years (1998-2008). The policy of fishery sector development is to stop illegal minning in the fishery area. Keyword : illegal minning, income of fisherman, Kabupaten Bangka Barat PENDAHULUAN Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu daerah penghasil timah terbesar di Indonesia dengan pasokan hampir mencapai 40% dari kebutuhan timah dunia. Selain berdampak positif, aktivitas penambangan timah juga berdampak negatif, yakni limbah berupa pasir tailing sisa buangan hasil pencucian pasir timah, dan terbentuknya danau yang istilah lokal Bangka Belitung disebut kolong atau lobang camuy. Sedangkan dampak pengerukan material tambang di laut, dapat menurunkan kualitas air, merusak ekosistem terumbu karang, menyebabkan degradasi fisik habitat pesisir dan abrasi pantai (Anonimous 2009). Salah satu daerah yang cukup parah dirambah TI adalah wilayah perairan Kabupaten Bangka Barat, dengan kerusakan terumbu karang mencapai 30%. (Anonymous 2007). Seiring maraknya aktivitas TI di perairan Kabupaten Bangka Barat, maka dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap pendapatan nelayan, dan semakin memperburuk kerusakan lingkungan pesisir/pantai yang terjadi. Untuk mengatasi hal ini, perlu strategi pengelolaan yang sifatnya terpadu dengan

description

Prosiding Semnas Endang Bidayani

Transcript of Analisis Ekonomi Dampak Tambang Inkonvensional (TI) Terhadap Pendapatan Nelayan di Kabupaten Bangka...

  • 931

    ANALISIS EKONOMI DAMPAK TAMBANG INKONVENSIONAL (TI) TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN BANGKA BARAT

    (ECONOMIC ANALYSIS OF ILLEGAL MINNING IMPACT TO FISHERMAN

    INCOME IN KABUPATEN BANGKA BARAT)

    Endang Bidayani

    Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung

    ABSTRACT

    Tin production in Kabupaten Bangka Barat (Bangka Belitung Province) generated positive and negative impact to environment. The aim of this research is to analyse impact from illegal minning (TI) activity to fisherman income in Kabupaten Bangka Barat. The data was analysed by analysis of impact methode. The results shows that the illegal minning causes decreasing income of fisherman up to 70% in ten years (1998-2008). The policy of fishery sector development is to stop illegal minning in the fishery area. Keyword : illegal minning, income of fisherman, Kabupaten Bangka Barat

    PENDAHULUAN

    Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu daerah

    penghasil timah terbesar di Indonesia dengan pasokan hampir mencapai 40% dari

    kebutuhan timah dunia. Selain berdampak positif, aktivitas penambangan timah

    juga berdampak negatif, yakni limbah berupa pasir tailing sisa buangan hasil

    pencucian pasir timah, dan terbentuknya danau yang istilah lokal Bangka Belitung

    disebut kolong atau lobang camuy. Sedangkan dampak pengerukan material

    tambang di laut, dapat menurunkan kualitas air, merusak ekosistem terumbu

    karang, menyebabkan degradasi fisik habitat pesisir dan abrasi pantai (Anonimous

    2009).

    Salah satu daerah yang cukup parah dirambah TI adalah wilayah perairan

    Kabupaten Bangka Barat, dengan kerusakan terumbu karang mencapai 30%.

    (Anonymous 2007). Seiring maraknya aktivitas TI di perairan Kabupaten Bangka

    Barat, maka dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap pendapatan nelayan, dan

    semakin memperburuk kerusakan lingkungan pesisir/pantai yang terjadi. Untuk

    mengatasi hal ini, perlu strategi pengelolaan yang sifatnya terpadu dengan

  • 932

    melibatkan semua stakeholders, sehingga penyusunan strategi pengelolaan

    sumberdaya pesisir di Kabupaten Barat tepat sasaran.

    Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan, yaitu : 1)

    Menganalisis dampak kerusakan lingkungan terhadap sumberdaya ikan; dan 2)

    Menghitung penurunan pendapatan nelayan. Adapun kegunaan penelitian ini

    diharapkan dapat memberi masukan bagi Pemerintah Kabupaten Bangka Barat

    dalam merumuskan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir di wilayah

    tersebut.

    METODOLOGI PENELITIAN

    Tempat dan Waktu Penelitian

    Penelitian ini dimulai pada bulan Juli 2009 sampai dengan Februari 2010 di

    wilayah pesisir Tanjung Ular Kabupaten Bangka Barat Provinsi Kepulauan Bangka

    Belitung.

    Metode Penelitian dan Pengumpulan Data

    Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

    dengan jenis metode studi kasus. Data yang digunakan dalam penelitian ini

    meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung di

    daerah penelitian melalui wawancara langsung kepada nelaya dan penambang

    timah berdasarkan kuesioner. Metode pengambilan sampel/responden yang

    digunakan adalah teknik sampling purposive atau sampling pertimbangan dengan

    teknik snow ball. Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat (nelayan pemilik

    yang mewakili sifat-sifat dari keseluruhan nelayan yang menangkap ikan dan

    pengunjung pantai) yang memperoleh dampak langsung dari kegiatan

    penambangan timah di laut, dan penambang timah yang memperoleh manfaat

    (benefit) dari kegiatan penambangan timah di Perairan Tanjung Ular. Jumlah

    sampel dalam penelitian ini adalah 30 orang nelayan dari populasi nelayan

    sebanyak 117 orang. Sedangkan data sekunder diperoleh dari literatur dan data

    statistik dari DKP Kabupaten Bangka dan DKP Kabupaten Bangka Barat.

  • 933

    Metode Analisis Data

    Analisis Bio-teknik dan Bioekonomi Sumberdaya Perikanan

    Dampak TI terhadap pendapatan nelayan diestimasi dengan analisis bio-

    teknik menggunakan metode surplus produksi dari Schaefer MB (1954) diacu

    dalam (Sobari, Diniah, Widiastuti 2008). Hasil tangkapan maksimum lestari

    dilakukan dengan cara menganalisis hubungan antara upaya penangkapan (E)

    dengan hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE) menggunakan

    persamaan :

    22

    Er

    KqqKEh =

    Untuk memperoleh nilai parameter bio-teknik r, q dan k dilakukan dengan

    menggunakan model estimasi Algoritma Fox pendukung dari persamaan

    Schaefer, sebagai berikut :

    +

    =

    +

    1

    1tU

    zy

    +

    = +

    21tt EE

    b

    az

    qk

    =

    2kqr =

    Analisis bio-ekonomi dilakukan dengan cara menambahkan faktor ekonomi

    faktor harga dan biaya - ke dalam aspek bio-teknik melalui model matematis

    Gordon-Schaefer (Sobari, Diniah, Widiastuti 2008)

    = TR TC

    = p.h c.E

    Keterangan : TR = penerimaan total (Rp), TC = biaya total (Rp), = keuntungan

    (Rp), p = harga rata-rata ikan (Rp), h = hasil tangkapan (kg), c= biaya

    penangkapan persatuan upaya (Rp), E = upaya penangkapan (trip)

    Berdasarkan rumusan di atas, maka berbagai kondisi pola pemanfaatan

    sumberdaya statik ikan di Perairan Tanjung Ular disajikan pada Tabel 1.

    .....(1)

    EcEr

    kqEkqp ..

    .... 2

    2

    = ......(3)

    +

    =

    1

    tU

    zx

    (2)

  • 934

    Tabel 1. Pola Pemanfaatan Sumberdaya Optimal Statik Ikan di Perairan Tanjung

    Ular

    Kondisi Variabel

    MEY MSY Open Access

    Biomassa

    (x)

    +

    Kqp

    cK

    ..1

    2

    q

    K

    2

    qp

    c

    .

    Catch (h)

    +

    Kqp

    c

    Kqp

    cKr

    ..1

    ..1

    4

    .

    4

    .Kr

    Kqp

    c

    qp

    cr

    ..1

    .

    .

    Effort (E)

    Kqp

    c

    q

    r

    ..1

    2

    q

    r

    2

    Kqp

    c

    q

    r

    ..1

    Rente

    Ekonomi

    ()

    p.q.K.E Ecr

    Eq.

    .1

    p.

    q

    rc

    Kr

    2.

    4

    . )(

    .xF

    xp

    cp

    Sumber : (Sobari, Diniah, Widiastuti 2008)

    Pengelolaan sumberdaya ikan dalam konteks dinamik, secara matematis

    dapat dituliskan dalam bentuk (Sobari dan Diniah 2009):

    ...................(4)

    dengan kendala:

    .................(5)

    Berdasarkan pertumbuhan mengikuti kaidah Golden Rule, pemecahan

    pengelolaan sumberdaya ikan dengan model dinamik dalam bentuk (Sobari dan

    Diniah 2009):

    dan

    ),()1(0

    max tttt

    tt

    t

    h

    hx

    =+

    =

    =

    tttt hxFxx =+ )(1

    +

    =

    qx

    cp

    qx

    ch

    K

    xr

    22

    1 ...(11)

    K

    xrx 1 ....(6)

    F(x) = h =

  • 935

    Dengam demikian nilai biomassa, hasil tangkapan, Effort dan rente ekonomi

    optimal model dinamik dapat dihitung dengan rumus (Sobari, Diniah, Widiastuti

    2008):

    .(7)

    +

    ++

    +=

    Kpqr

    c

    rKpq

    c

    rKpq

    cx

    811

    2

    * 14) *

    **

    qx

    hE =

    Biaya penangkapan dalam kajian bio-ekonomi model Gordon-Schaefer

    didasarkan pada asumsi bahwa hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan.

    Biaya penangkapan rata-rata dapat dihitung dengan rumus berikut (Sobari dan

    Diniah 2009):

    n

    c

    c

    n

    ii

    == 1 , dan ( ) 1001

    1

    11

    +=

    == e

    tmm

    t ji

    n

    i t

    eCPI

    CPI

    hh

    h

    E

    C

    nC

    ........................(9)

    keterangan:

    c= biaya nominal rata-rata penangkapan (Rp per tahun ), ci biaya nominal penangkapan responden ke- i (Rp per tahun), n=jumlah responden nelayan (orang), Ce= biaya riil per upaya pada periode penelitian (Rp per unit), C biaya nominal rata-rata penangkapan (Rp per tahun), Et= effort alat tangkap pada waktu t (trip), h= produksi ikan pada waktu t (ton), (hi+hj) = total produksi ikan dari alat tangkap (ton), n= jumlah responden (orang), m= jumlah tahun, CPIe= indek harga pada periode penelitiaan, CPIt= indek harga pada periode t

    Harga ikan yang digunakan merupakan harga rata-rata dari responden,

    dengan rumus sebagai (Sobari dan Diniah 2009):

    n

    P

    P

    n

    ii

    == 1 , dan 100= PCPI

    CPIP

    e

    tt

    ..............................................(10)

    dimana:

    I = responden ke i , Pt = harga riil ikan pada tahun t (Rp), P = harga nominal ikan berlaku (Rp), CPIe = indek harga pada periode penelitiaan CPIt = indek harga pada periode t

    Discount rate merupakan suatu rate untuk mengukur manfaat masa kini

    dibandingkan manfaat yang akan datang dari eksploitasi sumberdaya alam.

    ( )

    =

    K

    xrcpqx

    c

    xh

    21*

    .(8)

  • 936

    Tingkat discount rate yang digunakan dalam kasus ini adalah discount rate yang

    mengacu ketetapan World Bank yakni berkisar 8% hingga 18%.

    Standarisasi upaya penangkapan sebagai berikut (Gulland 1983 diacu

    dalam (Sobari, Diniah, Widiastuti 2008):

    FPI = CPUEi / CPUEs......(11)

    dimana:

    FPI = Fishing Power Index, CPUEi = CPUE alat tangkap yang akan distandarisasi (kg per trip), CPUEs = CPUE alat tangkap standar (kg per trip) Menghitung upaya standar

    fs = FPI x fi ..................(12)

    dimana:

    fs = upaya penangkapan hasil standarisasi (trip)

    fi = upaya penangkapan yang akan distandarisasi (trip)

    Standarisasi biaya yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti pola

    standarisasi yang digunakan Anna (2003) yang mengacu pada Gulland (1983)

    secara matematis dapat ditulis :

    Analisis depresiasi dan degradasi yang dilakukan mencakup analisis bio-

    teknik dan bio-ekonomi. Analisis bio-ekonomi menggunakan pendekatan model

    Algoritma Fox.

    Analisis Kerugian Ekonomi

    Penghitungan analisis kerugian ekonomi menggunakan data time series,

    yakni perhitungan total revenue menggunakan data produksi aktual dan harga riil,

    daan total cost yang menggunakan data effort dan riil cost mulai tahun 1998

    hingga tahun 2008, untuk mengetahui besarnya rente setiap tahunnya.

    Cet = ( )

    +

    =

    =

    n

    i

    tt

    ji

    itnt

    i

    i CPl

    hh

    h

    E

    TC

    n 1

    1

    1

    1100

    1 ................................(13)

    Keterangan : Cet = Biaya per unit standarisasi upaya tangkap pada periode t, TCi = Biaya total untuk alat tangkap i (i= 1,2), Ei = Total standarisasi upaya tangkap untuk alat tangkap i, (hi + hj) = Total produksi ikan, CPlt = Indeks harga konsumen pada periode t, hit = Produksi alat tangkap i pada periode t, n = Jumlah total alat tangkap

  • 937

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Analisis Dampak Kerusakan Terhadap Sumberdaya Ikan

    Analisis dampak kerusakan dilakukan melalui pendekatan analisis

    sumberdaya perikanan menggunakan analisis bioekonomi perikanan terhadap

    produksi ikan pelagis dan ikan demersal berdasarkan jenis alat tangkapnya, yakni

    jaring insang dan bagan, serta bubu dan pancing. Secara agregat jumlah

    tangkapan ikan pelagis mengalami penurunan dari tahun 1998 hingga 2008.

    Parameter biologi diestimasi dengan menggunakan model Gordon-

    Schaefer (1957). Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis dan ikan demersal belum

    terjadi overfishing secara biologi (biological overfishing). Hasil estimasi parameter

    biologi dapat dilihat pada Tabel 2.

    Tabel 2. Hasil Estimasi Parameter Biologi

    Parameter Ikan Pelagis Ikan Demersal

    R 0,18 0,61

    Q 0,000114 0,000218

    K 67.306,26 20.999,87

    Analisis optimasi statik sumberdaya ikan pelagis menunjukkan bahwa

    jumlah effort aktual sebesar 752 unit masih berada di bawah titik optimal, artinya

    upaya penangkapan ikan pelagis masih efisien baik secara ekonomi maupun

    biologi. Demikian juga dengan hasil tangkapan belum terjadi overfishing. Namun

    pada kondisi open access dengan effort sebesar 1.519 unit, dihasilkan produksi

    sebesar 541,64 ton mengindikasikan semakin banyak effort maka harvest turun

    atau pemborosan (inefisiensi ekonomi). Demikian juga dengan sumberdaya ikan

    demersal menunjukkan bahwa upaya penangkapan ikan demersal masih efisien

    baik secara ekonomi maupun biologi. Demikian juga dengan hasil tangkapan

    aktual sebesar 2.857,60 ton yang masih di bawah optimal pada kondisi MEY

    sebesar 3.053,93 ton dan MSY sebesar 3.060,52 ton, atau belum terjadi

    overfishing. Namun pada kondisi open access dengan effort sebesar 2.752 unit,

    dihasilkan produksi sebesar 127,19 ton mengindikasikan semakin banyak effort

    maka harvest turun atau pemborosan (inefisiensi ekonomi).

  • 938

    Nilai rente sumberdaya ikan pelagis dan ikan demersal pada kondisi open

    access adalah nol. Ini berarti jika sumberdaya ikan dibiarkan terbuka untuk setiap

    orang, maka persaingan upaya penangkapan pada kondisi ini tidak terkendali,

    sehingga mengakibatkan nilai keuntungannya menjadi nol. Dalam pengelolaan

    sumberdaya perikanan secara MEY, maka skenario kebijakan yang harus

    dilakukan adalah : Meningkatkan upaya penangkapan (effort). Berdasarkan

    perhitungan MEY model Fox, jumlah effort yang diperlukan dalam pengelolaan

    ikan pelagis berjumlah 759 unit. Demikian juga dengan sumberdaya ikan

    demersal, perlu penambahan effort dari 1.255 unit menjadi 1.376 unit atau

    sebanyak 121 unit. Penambahan effort ini bisa dilakukan melalui kebijakan

    pemberian kredit bunga ringan dari koperasi atau bantuan dana dari pemerintah.

    Analisis optimasi dinamik sumberdaya ikan pelagis, menunjukkan bahwa

    nilai rente tertinggi dicapai pada discount rate 8% sebesar Rp 672.751,37 juta.

    Maka dapat disimpulkan, bahwa kebijakan yang harus dibuat dalam pengelolaan

    yang optimal dan lestari pada ikan pelagis adalah penambahan jumlah effort, dari

    752 unit menjadi 1.288 unit untuk menghasilkan produksi (harvest) optimal

    sebesar 3.465,93 ton. Demikian juga berdasarkan sumberdaya ikan demersal,

    menunjukkan bahwa nilai rente tertinggi dicapai pada discount rate 8% sebesar

    Rp 1.413.182,92 juta. Maka dapat disimpulkan, bahwa kebijakan yang harus

    dibuat dalam pengelolaan yang optimal dan lestari pada ikan demersal adalah

    penambahan jumlah effort, dari 1.255 unit menjadi 1.679 unit untuk menghasilkan

    produksi (harvest) optimal sebesar 3.415,38 ton dari produksi aktual 2.408,34 ton.

    Analisis laju degradasi sumberdaya ikan pelagis menunjukkan bahwa,

    belum mengalami degradasi, dengan koefisien tertinggi terjadi tahun 1998 yaitu

    sebesar 0,35 dan koefisien terendah tahun 2001 sebesar 0,09. Laju degradasi

    cenderung mengalami kenaikan. Demikian juga untuk sumberdaya ikan demersal

    dengan nilai koefisien tertinggi terjadi tahun 2002 yaitu sebesar 0,43 dan terendah

    pada tahun 2001 dan 2003 sebesar 0,05 dan laju degradasi cenderung fluktuatif.

    Analisis laju depresiasi sumberdaya ikan pelagis menunjukkan belum

    mengalami depresiasi dengan koefisien tertinggi terjadi pada tahun 1998 yaitu

    sebesar 0,35 dan terendah pada tahun 2001 sebesar 0,08, dengan laju depresiasi

    yang cenderung mengalami penurunan. Demikian juga sumberdaya ikan demersal

    belum mengalami depresiasi dengan koefisien tertinggi terjadi pada tahun 2002

  • 939

    yaitu sebesar 0,44 dan terendah tahun 2001 dan 2003 sebesar 0,04, dengan laju

    depresiasi yang cenderung fluktuatif.

    Analisis Kerugian Ekonomi

    Nilai rente ikan pelagis secara agregat mengalami penurunan. Rente

    tertinggi dicapai pada tahun 1998, yakni sebesar Rp. 8,22 Milyar dan rente

    terendah pada tahun 2003 sebesar Rp. 1,24 Milyar. Rente rata-rata tahun 1998-

    1999 sebesar Rp. 7,68 Milyar dan menurun pada tahun 2000-2001 menjadi Rp.

    3,58 milyar. Pada tahun 2002 menjelang pemekaran wilayah, rente naik menjadi

    Rp. 6,63 Milyar dan kembali turun pada kurun waktu 2003-2008 dengan rente

    rata-rata sebesar Rp. 5,86 Milyar. Demikian juga untuk rente ikan demersal yang

    secara agregat mengalami penurunan. Rente tertinggi dicapai pada tahun 2002

    yakni sebesar Rp. 600,92 Milyar dan rente terendah tahun 2003 sebesar Rp.

    34,45 Milyar. Rente rata-rata tahun 1998-1999 sebesar Rp. 151,09 Milyar,

    dan menurun pada tahun 2000-2001 menjadi Rp. 105,99 Milyar. Pada kurun

    waktu 2003-2008 rente rata-rata menurun menjadi Rp. 46,44 Milyar. Untuk itu,

    kebijakan pengembangan sektor perikanan yang harus dilakukan adalah

    kebijakan penghentian kegiatan pertambangan timah di daerah yang berpengaruh

    besar terhadap sumberdaya perikanan.

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Kesimpulan

    Berdasarkan analisis data dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan

    bahwa : 1) Penambangan timah illegal (TI) apung berdampak negatif bagi

    lingkungan pesisir Tanjung Ular Kabupaten Bangka Barat, menyebabkan

    terjadinya penurunan kualitas air laut utamanya suhu, salinitas, kecerahan, dan

    kecepatan arus yang kurang optimal bagi pertumbuhan terumbu karang sebagai

    tempat hidup ikan; dan 2) Kerusakan lingkungan menyebabkan penurunan

    pendapatan nelayan ikan pelagis sebesar 24%, dan pendapatan nelayan ikan

    demersal hampir mencapai 70% dalam kurun waktu sepuluh tahun (1998-2008)

  • 940

    Saran

    Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan: Kebijakan penghentian

    kegiatan pertambangan timah di daerah yang berpengaruh besar terhadap

    sumberdaya perikanan.

    DAFTAR PUSTAKA

    Anonimous. 2007. Kondisi Terumbu Karang di Babel Memprihatinkan. http://www// kompascommunity. com/index.php. 5 September 2007.

    Anonymous. 2009. Perairan Dikeruk, Nelayan Terimpit. Kompas. Sabtu 7 Maret

    2009 Anna Suzy. 2003. Model Embeded Dinamik Ekonomi Interaksi Perikanan-

    pencemaran. Disertasi. Bogor. Sekolah Pascasarjana. IPB Fisher S. at al. 2000. Working with Conflict : Skills et Strategies for Action.

    Bookcraft Midsomer Norton, Bath. UK. Lipton DW et al. 1995. Economic Valuation of Natural Resources: A Handbook for

    Coastal Resources Policymakers. Decision Analysis Series No.5. Coastal Ocean Office. National Oceanic and Atmospheric Administration. U.S. Department of Commerce.

    Sobari Moch Prihatna, Diniah dan Widiastuti. 2008. Kajian Model Bionomi

    Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Ikan Layur di Perairan Pelabuhan Ratu: Makalah Seminar Nasional Perikanan Tangkap. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

    Sobari Moch Prihatna dan Diniah. 2009. Kajian Bio-Ekonomi dan Investasi

    Optimal Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning di Perairan Kepulauan Seribu. Padang. Jurnal Mangrove Bung Hatta (Siap Terbit)

  • 941

    PERTAHANKAN PENDAPATAN PEKEBUN KARET DENGAN MENGENDALIKAN PENYAKIT KERING ALUR SADAP

    Tri R Febbiyanti dan Lina Fatayati Syarifa

    Balai Penelitian Sembawa Pusat Penelitian Karet

    ABSTRAK

    Dampak fisiologis yang muncul akibat penyadapan terlalu berat pada tanaman karet adalah munculnya penyakit kering alur sadap (KAS). KAS adalah sebagai akibat tidak seimbangnya antara lateks yang dipanen dengan lateks yang terbentuk kembali. Kelainan fisiologis yang ditampakkan tanaman karet yang bergejala KAS ditandai dengan jumlah lateks yang mengalir setelah penyadapan sangat sedikit atau tidak dihasilkan lateks sama sekali, tetapi pohon dan bidang sadap tampak sehat, yang seolah tanpa gangguan. kerugian yang diakibatkan oleh penyakit KAS adalah sebesar Rp 287.300,- per pohon atau sekitar Rp 11.492.000,- per hanca untuk tanaman karet yang disadap dengan sistem 1/2S d2. Sedangkan untuk tanaman karet yang disadap dengan sistem 1/2S d/3 kerugian yang disebabkan penyakit KAS adalah sebesar Rp 364.650,- per pohon atau Rp 14.585.000,- per hanca. Namun apabila tanaman KAS tersebut diobati pada sistem sadap 1/2S d/2, besarnya kerugian yang bisa diselamatkan adalah senilai Rp 267.746,-per pohon maka kerugian yang bisa diselamatkan adalah sebesar Rp 9.103.350,- per hanca (menggunakan pisau sadap manual) dan Rp 272.076,- per pohon dan Rp 9.250.573,- per hanca (menggunakan pisau scrapping). Sedangkan pada sistem sadap sadap 1/2S d/3, besarnya kerugian yang bisa diselamatkan apabila KAS diobati adalah sebesar Rp 345.096,- per pohon atau sebesar Rp 11.733.250,- per hanca (bila menggunakan pisau sadap manual) dan Rp 349.426,- per pohon atau Rp 11.880.473,- per hanca (bila menggunakan pisau scrapping) . Pengendalian KAS dapat melalui deteksi dengan menggunakan jarum tusuk, kemudian kulit yang terserang KAS dikerok sampai batas 3-4 mm dari kambium dengan memakai pisau sadap atau alat pengerok. Kulit yang dikerok langsung dioles dengan menggunakan campuran senyawa oleokimia dan pohon diberikan pupuk ektra untuk mempercepat pemulihan. Penyadapan dapat dilaksanakan kembali setelah tumbuh kulit pulihan selama 1-1,5 tahun, dengan ketebalan minimal 7 mm.

    Kata Kunci : Kering alur sadap, karet, analisa ekonomi

  • 942

    PENDAHULUAN

    Karet merupakan komoditas ekspor yang sangat strategis bagi

    perekonomian Indonesia. Luas perkebunan karet Indonesia pada tahun 2007

    sekitar 3,4 juta hektar, 85% diantaranya dikelolah oleh rakyat dengan produksi

    2,76 juta ton. Dari produksi tersebut menghasilkan devisa bagi Indonesia sebesar

    US$ 4.868 juta dengan volume ekspor mencapai 2,4 juta ton (Amypalupy, 2009).

    Karet juga berperan penting dalam perekonomian nasional, yaitu sebagai sumber

    pendapatan lebih dari 10 juta petani dan memberikan kontribusi yang sangat

    berarti dalam menyerap tenaga kerja (GAPKINDO, 2005).

    Selain itu, perkebunan karet berperan dalam mendorong pertumbuhan

    sentra-sentra ekonomi baru di wilayah-wilayah pengembangan, dan berfungsi

    sebagai pelestari lingkungan. Andalan perkebunan karet di Indonesia bertumpu

    pada perkebunan rakyat, yang mencakup areal sekitar 83% (> 3 juta ha) dari total

    areal perkebunan karet Indonesia (3,5 juta ha), dan memberikan kontribusi sekitar

    76% (2,2 juta ton) dari total produksi karet alam nasional (2,8 juta ton) pada tahun

    2008 (Tabel 1).

    Tabel 1. Luas areal dan produksi perkebunan karet seluruh Indonesia

    Tahun dan jenis pengusahaan

    Luas areal (Ha) Produksi (Ton) Rerata produksi (Kg/Ha)

    Rakyat/smallholders 3.000.461 2.241.803 929 Negara/goverment 239.543 285.871 1.384 Swasta/Private 276.791 310.982 1.635

    Sumber : Statistik Perkebunan Indonesia (2007)

    Pada saat ini, permintaan karet dunia terus meningkat, pada tahun 1999,

    konsumsi karet alam di pasar dunia 6.650 juta ton, meningkat sampai 8.620 juta

    ton pada 2005 (International Rubbeer Study Group, 2006). Sementara itu harga

    karet fob SIR 20 juga meningkat dari US $ 510 per ton pada tahun 2001 menjadi

    US $ 2.340 per ton pada Juni 2006 (Bisnis Indonesia, 2006-2006; International

    Rubber Study Group, 2006; Gapkindo, 2006). Peningkatan konsumsi terutama

    disebabkan oleh adanya permintaan dalam jumlah besar dari negara-negara

    industri karet di pasar tradisional (Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang) dan

    meningkatnya permintaan di pasar baru (China, India, Rusia dan Brasilia), tarikan

    peningkatan pertumbuhan ekonomi global dan kesejahteraan negara-negara di

    dunia, dan peningkatan harga minyak bumi dan karet sintetis. Cina misalnya,

  • 943

    diperkirakan masih akan terus meningkatkan konsumsi karet alamnya menjadi

    sebesar 4 juta ton per tahun pada tahun 2020 (Pakpahan, 2004; Sinung, 2007 ).

    Prospek karet alam yang diperkirakan masih akan sangat terbuka ini

    mengakibatkan harga karet meningkat secara drastis. Peningkatan ini

    memberikan keuntungan yang berlipat bagi para pekebun dan petani karet.

    Keuntungan karet ini meningkatkan taraf hidup dan keinginan yang berlebih dari

    petani. Selanjutnya, untuk memenuhi setiap keinginan tersebut, para petani

    mengeksploitasi tanaman karet dengan melakukan penyadapan tidak sesuai

    dengan norma yang ditentukan, tanpa memperhatikan kesehatan dan

    kemampuan tanaman.

    Penyadapan merupakan suatu tindakan membuka pembuluh lateks,

    supaya lateks yang terdapat di dalam tanaman karet keluar. Cara penyadapan

    adalah dengan mengiris kulit batang sebesar 2mm dengan kedalam 1 mm dari

    kambium. Penyadapan yang terlalu berat mengakibatkan tanaman tidak mampu

    untuk meregenerasi/mensintesis lateks. Selain itu, pemakaian kulit yang

    berlebihan mengakibatkan pemulihan kulit bidang sadap tidak normal, yang

    berdampak pada produksi dan fisiologis tanaman.

    Dampak fisiologis yang muncul akibat penyadapan terlalu berat adalah

    munculnya penyakit kering alur sadap (KAS). KAS adalah sebagai akibat tidak

    seimbangnya antara lateks yang dipanen dengan lateks yang terbentuk kembali

    (Jacob et al., 1994; Dian et al., 1995). Kelainan fisiologis yang ditampakkan

    tanaman karet yang bergejala KAS ditandai dengan jumlah lateks yang mengalir

    setelah penyadapan sangat sedikit atau tidak dihasilkan lateks sama sekali, tetapi

    pohon dan bidang sadap tampak sehat, seolah tanpa gangguan. Bagian kulit

    yang kering akan berubah warnanya menjadi cokelat karena pada bagian ini

    terbentuk gum (blendok) (Semangun, 2004)

    Kasus KAS di perkebunan Indonesia mencapai 5 25 %, kerugian yang

    disebabkan oleh penyakit ini lebih dari 1,7 trilyun pertahun (Siswanto, 1997). KAS

    menjadi salah satu penyakit yang sangat penting di perkebunan karet Indonesia.

    Banyak cara dapat dilakukan untuk mengendalikan dan mencegah

    munculnya penyakit KAS. Pengendalian akan sangat efektif dan tepat sasaran jika

    teknik pengendalian dilakukan secara terpadu baik preventif maupun kuratif.

  • 944

    Tulisan ini memberikan informasi mengenai kerugian ekonomi, teknik pengamatan

    penyakit kering alur sadap di lapangan serta cara pengendaliannya.

    FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN KAS DI PERKEBUNAN RAKYAT

    KAS adalah penyakit fisiologis akibat penyadapan yang terlalu berat,

    apalagi jika disertai dengan penggunaan bahan perangsang lateks ethephon, klon

    yang berproduksi tinggi, tanaman yang berasal dari seedling dan tanaman yang

    sedang membentuk daun baru (Situmorang dan Budiman, 1984).

    Penggunaan sistem eksploitasi yang berlebihan merupakan faktor utama

    penyebab tingginya kejadian penyakit KAS. Eksploitasi berat ini terutama

    disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi-budaya petani dalam pemenuhan

    kebutuhan hidup.

    Kurangnya pengetahuan petani tentang budidaya tanaman karet dan

    pengetahuan mengenai penyakit KAS, merupakan faktor yang menyebabkan

    petani tidak memperhatikan kesehatan tanaman. Selanjutnya, kurangnya

    kesadaran petani terhadap pentingnya pengendalian penyakit juga merupakan

    penyebab tingginya kejadian penyakit KAS di lapangan. Selain itu, terbatasnya

    pendapatan petani untuk melaksanakan pengendalian penyakit, juga

    mempengaruhi tingginya kerugian ekonomi akibat penyakit KAS.

    Tabel 2. Faktor sosial-ekonomi-budaya yang mempengaruhi perkembangan kekeringan alur sadap

    No

    Tingkat kerawanan penyakit

    Tingkat kemajuan petani

    Kondisi sosial-ekonomi- budaya

    Dampak

    kondisi sosial-ekonomi-budaya

    1 Rawan Kurang maju 1. Sarana/penyuluh tidak tersedia PTP/Swasta/PPKR,

    2. Pengetahuan kurang, 3. Kesadaran kurang 4. Pendapatan rendah

    Penyadapan intensitas tinggi

    Akibatnya Intensitas penyakit tinggi

  • 945

    2 Sedang Agak maju 1. Sarana/penyuluh kadang tersedia

    2. Pengetahuan sedang 3. Kesadaran mulai ada 4. Pendapatan cukup

    Penyadapan intensitas tinggi mulai dikurangi

    Akibatnya Intensitas penyakit mulai berkurang

    3 Ringan Maju 1. Sarana/penyuluh tersedia 2. Pengetahuan tinggi, 3. Kesadaran cukup 4. Pendapatan cukup-tinggi

    Penyadapan sesuai dengan anjuran

    Akibatnya Intensitas penyakit rendah

    Pada kondisi seperti tersebut, peran kelembagaan yang terkait sangat diperlukan

    untuk memberikan pengetahuan dan wawasan akan pentingnya penjagaan

    kesehatan tanaman dan pelaksanaan sistem budidaya yang sesuai anjuran,

    karena intensitas searangan KAS akan meningkat bersama-sama dengan

    meningkatnya intensitas sadapan dan pemakaian stimulan yang tidak terkendali.

    PENGENDALIAN PENYAKIT KAS

    Sebaiknya KAS ditanggulangi secara terpadu baik secara preventif

    maupun kuratif. Tindakan tersebut dapat meliputi mengetahui sifat klon, sistem

    eksploitasi yang tepat, pemeliharaan tanaman dan pengobatan tanaman yang

    sakit.

    Mengetahui sifat klon sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya KAS.

    Ada klon yang rentan terhadap KAS yaitu BPM 1, PB 235, PB 260, PB 330, PR

    261 dan RRIC 100 dan ada klon yang tahan yaitu PB 237, PR 107 dan GT 1.

    Terhadap klon yang rentan KAS tersebut dihindari sistem penyadapan berlebihan

    (Situmorang dan Budiman, 2003).

    Salah satu upaya yang sangat penting mencegah terjadinya KAS adalah

    melakukan sistem eksploitasi yang tepat. Untuk klon berproduksi tinggi sebaiknya

    digunakan sistem eksploitasi rendah misalnya S d/3, S d/2 atau S d 3 ET

    1.5 % Ga 1.0.9/y(m) sedang untuk klon berproduksi sedang digunakan sistem

    ekploitasi tinggi misalnya S d/3 ET 2.5% Ga 1.0.18/y/(2w) (Sumarmadji et al.,

  • 946

    2004). Pemakaian kulit diusahakan sehemat mungkin, penyadapan yang

    memakai kulit secara berlebihan tidak akan menaikkan produksi, bahkan

    memperkecil produksi secara kumulatif. Untuk masing-masing sistem sadap

    ternayata ada jumlah konsumsi kulit yang optimal bagi produksi karet. Norma

    baku pemakaian kulit secara umum bervariasi sesuai dengan frekuensi sadapan

    (Tabel 2).

    Tabel 4. Pemakaian kullit yang terbaik sesuai dengan frekunsi sadap (sadap bawah)

    Pemakaian kulit Frekunsi sadap

    Per sadap (mm) Per bulan (cm) Per tahun (cm)

    d/2 1,2 1,8 22

    d/3 1,6 1,6 19

    d/4 1,8 1,3 15

    Sumber : Siagian et al. 2009

    Di perkebunan karet rakyat dianjurkan S d/2 tanpa penggunaan ethrel.

    Penggunaan ethrel tidak dianjurkannya pada petani karet karena dikhawatirkan

    penggunaannya dilakukan tidak sesuai atau berlebihan yang akan berakibat

    tingginya kejadian KAS.

    Bila terjadi penurunan kadar karet kering yang terus menerus pada lateks yang

    dipungut serta peningkatan jumlah pohon yang terkena kering alur sadap sampai

    10% pada seluruh areal, maka penyadapan diturunkan intensitasnya dari 1/2S d/2

    menjadi 1/2S d/3 atau 1/2S d/4, dan penggunaan ethrel dikurangi atau dihentikan

    untuk mencegah agar pohon-pohon lainnya tidak mengalami kering alur sadap

    (Situmorang dan Budiman, 2003).

    Pemeliharaan tanaman yaitu penyiangan gulma, pemupukan dan

    pengendalian penyakit sesuai anjuran perlu dilakukan untuk mempertahankan

    kondisi kesuburan tanaman. Pemeliharaan tanaman ini merupakan pendekatan

    pengendalian KAS secara preventif.

    Pengobatan tanaman dapat dilakukan dengan pengerokan (bark scraping)

    pada pohon yang terserang KAS. Setelah pohon diindikasikan terkena KAS

    melalui deteksi dini, penyebaran KAS ditentukan pada panel dengan

    menggunakan jarum tusuk. Kulit yang terkena KAS diisolasi dengan mengerok

    keliling sampai batas kambium. Kemudian panel yang kering dikerok. Pengerokan

  • 947

    kulit yang kering dilakukan sampai batas 3-4 mm dari kambium dengan memakai

    pisau sadap atau alat pengerok. Kulit yang dikerok dioles dengan bahan perangsang

    pertumbuhan kulit formulasi oleokimia sekali satu bulan dengan 3 ulangan. Balai

    penelitian Sembawa telah menemukan formula untuk menyembukan penyakit kering

    alur sadap yaitu Antico F 96. Formula ini mengandung Phytolipid Refinery Oil dan

    fungisida terpilih 1,0 5 v/v dan Plant Growth Regulator 250 ppm. Antico F 96 ini juga

    dapat mempercepat penyembuhan luka-luka kambium akibat kesalahan

    penyadapan.

    Pengobatan dengan cara ini pada pohon yang terserang KAS cukup efektif,

    sehingga setelah satu tahun, pohon sudah dapat disadap dengan ketebalan kulit

    7,0 7,8 mm dan produksi lateks 24 44 g/pohon/sadap (Siswanto et al. 2004).

    ANALISIS EKONOMIS KERUGIAN DAN PENYEMBUHAN KAS PADA TANAMAN KARET

    Pada tulisan ini, dihitung kerugian yang diakibatkan oleh KAS dan biaya

    pengobatannya pada klon karet PB 260 yang disadap dengan sistem sadap 1/2S

    d/2 dan 1/2S d/3. Asumsi berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang mana

    produksi lateks yang dihasilkan dengan sistem sadap 1/2S d/2 adalah 26 g/p/s

    dan dengan sistem sadap 1/2S d/3+ ET2,5% adalah 33 g/p/s (Sumarmadji, 2000

    dalam Sumarmadji, et al., 2005).

    Apabila diasumsikan bahwa konsumsi kulit sebesar 2 mm per kali sadap,

    maka setiap sentimeter kulit pohon dapat menghasilkan: 5 x 26 g = 130 g karet

    yang disadap dengan sistem 1/2S d/2 atau senilai (0,130 kg x Rp 35.000) = Rp

    4.550,- dan akan menghasilkan : 5 x 33 g = 165 g karet yang disadap dengan

    sistem 1/2S d/3 atau senilai ( 0,165 kg x Rp 35.000,-) = Rp 5.775,-. Rincian

    perhitungan kerugian dan penyembuhan KAS pada tanaman karet dapat dilihat

    pada Tabel 5.

    Dari Tabel 5. terlihat bahwa kerugian yang diakibatkan oleh penyakit KAS

    adalah sebesar Rp 591.500,- per pohon atau sekitar Rp 23.660.000,- per hanca

    untuk tanaman karet yang disadap dengan sistem 1/2S d2. Sedangkan untuk

    tanaman karet yang disadap dengan sistem 1/2S d/3 kerugian yang disebabkan

  • 948

    penyakit KAS adalah sebesar Rp 750.750,- per pohon atau Rp 30.030.000,- per

    hanca.

    Apabila tanaman yang terserang KAS tersebut diobati maka diperlukan biaya

    sebesar Rp 19.554,- per pohon atau Rp 782.177,- per hanca (bila digunakan pisau

    sadap manual). Sedangkan bila pengobatannya menggunakan pisau scrapping

    hanya diperlukan biaya sebesar Rp 15.224,- per pohon atau Rp 608.973,-.per

    hanca.

    Tabel 5. Kerugian akibat penyakit KAS pada tanaman karet dan biaya penyembuhannya

    Uraian Per pohon Per hanca

    1/2S d/2 1/2S d/3 1/2S d/2 1/2S d/3 KERUGIAN AKIBAT KAS A. Produksi 1. Per kali sadap - Produksi (gram) 26 33 1,040 1,320 - Produksi (Kg) 0.026 0.033 1.040 1.320 2. Per panel - Produksi (Kg) 17 21 676 858 B. Harga karet (Rp) 35,000 C. Kerugian 1. Per kali sadap - Rp/Kg 910 1,155 36,400 46,200 2. Per panel - Rp/Kg 591,500 750,750 23,660,000 30,030,000 BIAYA PENYEMBUHAN Pisau Sadap Manual A. Tenaga Kerja 1. Bark scrapping (Rp) 6,186 6,186 247,433 247,433 2. Pengolesan (Rp) 619 619 24,743 24,743 B. Bahan Antico-F96 (Rp) 12,750 12,750 510,000 510,000 Total Biaya (Rp) 19,554 782,177 782,177 Pisau scrapping A. Tenaga Kerja 1. Bark scrapping (Rp) 1,856 1,856 74,230 74,230 2. Pengolesan (Rp) 619 619 24,743 24,743 B. Bahan Antico-F96 (Rp) 12,750 12,750 510,000 510,000 Total Biaya (Rp) 15,224 15,224 608,973 608,973 KERUGIAN YANG DISELAMATKAN Dengan Pisau Sadap (Rp) 571,946 731,196 19,446,150 24,860,650 Dengan Pisau Scrapping (Rp) 576,276 735,526 19,593,373 25,007,873

    Asumsi :

  • 949

    1 hanca : 400 pohon Tingkat serangan KAS = 10 % 1 panel : 130 cm (konsumsi kulit 2 mm /kali sadap) = 650 kali sadap Harga karet : Rp 35.000,-/Kg (harga karet kering di tingkat pabrik per November 2010) Tenaga kerja bark scrapping apabila menggunakan : - pisau sadap secara manual : 1 HOK = 6 pohon - pisau scrapping : 1 HOK = 20 pohon Tenaga kerja aplikasi bahan : 1 HOK = 60 pohon Upah tenaga kerja adalah Rp 37.115,- per HOK (UMR tahun 2010) Harga bahan Antico-F 96 adalah Rp 85.000,- per liter (dosis pengobatan = 150 ml per 3 kali aplikasi)

    Namun dengan pengobatan menggunakan Antico F-96 tersebut pada sistem

    sadap 1/2S d/2, besarnya kerugian yang bisa diselamatkan adalah senilai Rp

    571.946,-per pohon atau bila diasumsikan dalam tingkat kesembuhan KAS dalam

    satu hamparan sebesar 85% maka kerugian yang bisa diselamatkan adalah

    sebesar Rp 19.446.150,- per hanca (menggunakan pisau sadap manual) dan Rp

    576.276,- per pohon dan Rp 19.593.373,- per hanca (menggunakan pisau

    scrapping). Sedangkan pada sistem sadap sadap 1/2S d/3, besarnya kerugian

    yang bisa diselamatkan dengan menggunakan Antico F96 adalah sebesar Rp

    731.196,- per pohon atau bila diasumsikan dalam tingkat kesembuhan KAS dalam

    satu hamparan sebesar 85% maka kerugian yang bisa diselamatkan adalah

    sebesar Rp 24.860.650,- per hanca (bila menggunakan pisau sadap manual) dan

    Rp 735.526,- per pohon atau Rp 25.007.873,- per hanca (bila menggunakan pisau

    scrapping) .

    Dengan menggunakan pisau sadap untuk bark scrappingnya, maka biaya

    dari pengobatan KAS per pohon tersebut sudah dapat dikembalikan dengan cara

    menyadap pindah panel ke panel sadap yang masih normal (tanpa

    pengistirahatan pohon) dimulai 3 bulan setelah aplikasi Antico-F96 ke-1, yaitu

    sepanjang 4,3 cm (Rp 19.554/Rp 4.550,- x 1 cm) atau penyadapan selama 1,5

    bulan penyadapan (pada sistem sadap 1/2S d/2) dan sepanjang 3,4 cm (Rp

    19.554/Rp 5.775,- x 1 cm) atau penyadapan selama 1,7 bulan penyadapan

    (pada sistem sadap1/2S d/3). Dengan demikian jika panjang panel KAS yang

    diobati sekitar 130 cm per pohon, maka sekitar 125 cm panjang panel per pohon

    (pada 1/2S d/2) dan 126 cm panjang panel per pohon (pada 1/2S d/3) merupakan

    keuntungan yang bisa diselamatkan dibandingkan jika pohon tidak diobati.

  • 950

    Apabila menggunakan pisau sadap scrapping untuk bark scrappingnya,

    maka biaya dari pengobatan KAS per pohon tersebut sudah dapat dikembalikan

    dengan cara menyadap pindah panel ke panel sadap yang masih normal (tanpa

    pengistirahatan pohon) dimulai 3 bulan setelah aplikasi Antico-F96 ke-1, yaitu

    sepanjang 3,3 cm (Rp 15.224,-/Rp 4.550,- x 1 cm) atau penyadapan selama 1

    bulan penyadapan (pada sistem sadap 1/2S d/2) dan sepanjang 2,6 cm (Rp

    15.224,-/Rp 5.775,- x 1 cm) atau penyadapan selama 1,3 bulan penyadapan

    (pada sistem sadap1/2S d/3).

    Hal ini berarti jika panjang panel KAS yang diobati sekitar 130 cm per pohon,

    maka sekitar 126 cm panjang panel per pohon (pada 1/2S d/2) dan 127 cm

    panjang panel per pohon (pada 1/2S d/3) merupakan keuntungan yang bisa

    diselamatkan dibandingkan jika pohon tidak diobati.

    PENUTUP

    Penyakit kering alur sadap (KAS) merupakan penyakit penting di perkebunan

    karet Indonesia.

    Pengobatan tanaman KAS dapat dilakukan dengan pengerokan (bark

    scraping) sedalam 3-4 mm kambium dan segera dilakukan pengolesan

    dengan menggunakan Antico F96.

    kerugian yang diakibatkan oleh penyakit KAS adalah sebesar Rp 287.300,-

    per pohon atau sekitar Rp 11.492.000,- per hanca untuk tanaman karet

    yang disadap dengan sistem 1/2S d2.

    Pada tanaman karet yang disadap dengan sistem 1/2S d/3 kerugian yang

    disebabkan penyakit KAS adalah sebesar Rp 364.650,- per pohon atau Rp

    14.585.000,- per hanca.

    Apabila tanaman KAS tersebut diobati pada sistem sadap 1/2S d/2,

    besarnya kerugian yang bisa diselamatkan adalah senilai Rp 267.746,-per

    pohon maka kerugian yang bisa diselamatkan adalah sebesar Rp

    9.103.350,- per hanca (menggunakan pisau sadap manual) dan Rp

    272.076,- per pohon dan Rp 9.250.573,- per hanca (menggunakan pisau

    scrapping).

  • 951

    Pada sistem sadap sadap 1/2S d/3, besarnya kerugian yang bisa

    diselamatkan apabila KAS diobati adalah sebesar Rp 345.096,- per pohon

    atau sebesar Rp 11.733.250,- per hanca (bila menggunakan pisau sadap

    manual) dan Rp 349.426,- per pohon atau Rp 11.880.473,- per hanca (bila

    menggunakan pisau scrapping) .

    DAFTAR PUSTAKA

    Amypalupy, 2007. 100 Langka Bijak Usahatani Karet. Balai Penelitian Sembawa-Pusat Penelitian Karet. Palembang.

    Basuki. 1982. Penyakit dan gangguan pada tanaman karet. Pusat Penelitain dan

    Pengembangan Perkebunan Tanjung Morawa, Tanjung Morawa. 125 hal.

    Budiman, A. 2001. Penanggulangan gejala mati kulit pada tanaman karet di perkebunan rakyat Kalimantan Selatan. Balai Penelitian Sembawa. Palembang.

    Dian, K., Sangare A., Diopoh J.K., 1995. Evidence for specific variations of protein pattern during tapping panel dryness condition development in Hevea brasiliensis. Plant Science, 105 : 207 - 216.

    Gomez J.B., Hamzah S., Ghandimathi H., & Ho L.H., 1990. The brown bast syndrome of Hevea : Part II. Histological observations. J. Nat. Rubb. Res., 5 (2) : 90 - 101.

    Jacob, J.L., J.C. Prevot & R. Lacrotte (1994). L'encoche seche chez Hevea brasilienis Plantations, recherche, developpement, CIRAD FRANCE, 15 - 21.

    . Husairis, K., Sitompul, J., Ginting K., Gunawan, Sipayung, T.V dan Siswanto.

    1999. dampak pemulihan bidang sadap terserang KAS dengan aplikasi NoBB di PT. Perkebunan Nusantara III. Pros. Pertemuan. Teknis Biotek. Perkebunan untuk praktek, Bogor 5-6 Mei 1999, 19 30.

    PT. Perkebunan Nusantara VII. 1994. Vademecum budidaya kelapa sawit dan

    karet. PTPN VII. Bandar Lampung Revli, N.R. 2004. Pertambahan tebal kulit pulihan dan produksi beberapa klon

    karet (Hevea brasiliensis Muell.Agr) anjuran yang bergejala kering alur sadap setelah perlakuan formulasi oleokimia. Fakultas pertanian. Universitas Sriwijaya. Indralaya.

  • 952

    Siswanto. Sumarmadji dan Aron Situmorang. 2004. Status pengendalian penyakit kering alur sadap tanaman karet. Prosiding Pertemuan Teknis Strategi Pengelolaan Penyakit Tanaman Karet untuk Mempertahankan Potensi Produksi Mendukung Indistri Perkaretan Indonesia Tahun 2020. Palembang, 6-7 Oktober 2004.87-96

    Situmorang A dan Budiman A. 2003. Penyakit tanaman karet dan pengendaliannya. Balit Sembawa Pusat Penelitian Karet.

    Soepadmo. 1980. Suatu pemikiran tentang pengendalian penyakit daun pada tanaman karet. BPP Bogor. Menara Perkebunan. Bogor. 48 (5): 147-154

    Sumarmadji. 2001. Pengendalian kering alur sadap dan nekrosis pada kulit tanaman karet. Warta Pusat Penelitian Karet, 2001, 20 (1-3) : 76 - 88

    Sumarmadji, U. Junaidi, Karyudi, T.H.S. Siregar, and Island Boerhendhy. 2004.

    Rubber exploiation system for Indonesia recommended clones based latex diagnosis. Proc. Int. Rubber Conf. and Product Exhibition 2004, 184-196.

  • 953

    PENDAPATAN USAHATANI DAN KEMAKMURAN: TERKAITKAH SECARA FUNGSIONAL?

    Muhammad Yazid

    Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Zone E, Kampus Unsri Indralaya,

    Jalan Palembang-Prabumulih, Indralaya

    ABSTRAK

    Walaupun kenaikan produksi pertanian terus berlanjut, pendapatan petani masih tergolong rendah. Hal ini diduga terkait dengan rendahnya pertumbuhan sektor pertanian dibandingkan sektor non-pertanian. Sehingga kemakmuran rumah tangga petani masih tertinggal dibandingkan rumah tangga non-pertanian. Kemakmuran rumah tangga petani diharapkan meningkat sejalan dengan peningkatan produksi. Pada pertanian pasang surut, keterkaitan antara kemakmuran dan produksi pertanian penting dipahami mengingat pertanian adalah satu-satunya pencaharian bagi sebagian besar rumah tangga di wilayah ini. Penelitian ini mencoba menjelaskan keterkaitan peningkatan pendapatan usahatani dengan kemakmuran keluarga petani di pertanian pasang surut. Kajian ini dilakukan melalui survei pada wilayah pertanian pasang surut Telang yang merupakan salah satu sentra produksi beras di Sumatera Selatan. Sampel kajian meliputi 500 keluarga tani. Hasil kajian menunjukkan bahwa beberapa indikator kemakmuran petani seperti kualitas rumah (lantai, dinding dan atap) terkait dengan tingkat pendapatan usahatani. Selain itu, rumah tangga petani yang berpendapatan usahatani lebih tinggi cenderung memiliki akses yang lebih baik terhadap sumber air bersih dan memiliki fasilitas pembuangan. Pengujian satistik membuktikan bahwa pendapatan usahatani dan kemakmuran rumah tangga petani di lahan pasang surut terkait secara signifikan. Kata kunci: pendapatan usahatani, kemakmuran, pasang surut

    PENDAHULUAN

    Pembangunan pertanian bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran

    ekonomi dan sosial petani. Di satu sisi, peningkatan kemakmuran tersebut

    hendak dicapai melalui peningkatan produksi dan perbaikan nilai tukar produk

    pertanian. Disisi lain, peningkatan tersebut akan membuka akses yang lebih baik

    terhadap perumahan, pendidikan, layanan kesehatan, dan lain-lain. Namun status

    ekonomi petani masih jauh di bawah mata pencaharian lainnya. Tidak hanya

    pendapatan perkapita petani yang rendah, tetapi pertumbuhan pendapatan sektor

    pertanian juga relatif rendah daripada sektor lainnya.

  • 954

    Usahatani di lahan pasang surut dipandang kurang produktif dibandingkan

    dengan usahatani di lahan beririgasi baik di dataran rendah ataupun di dataran

    tinggi (Simatupang and Rusastra, 2003). Hal ini disebabkan tidak hanya oleh

    faktor fisik lahan, tetapi juga aspek agro-klimat yang mengakibatkan usahatani di

    lahan pasang surut menghadapi lebih banyak kendala daripada lahan beririgasi di

    dataran rendah atau tinggi. Mayoritas lahan pertanian di wilayah pasang surut

    hanya dapat ditanami tanaman pangan semusim sekali dalam setahun, yaitu pada

    musim penghujan. Pada musim penghujan, kebutuhan air tanaman dapat

    dipenuhi oleh air hujan. Pada beberapa lokasi di pasang surut, musim tanam

    kedua dapat dilakukan segera setelah panen musim pertama dengan

    memanfaatkan curah hujan yang mulai menurun dan dicukupi oleh sistem irigasi

    pasang surut. Namun, pola tanam di lahan pasang surut tetap terbatas dan

    produktivitasnya pun masih lebih rendah dibandingkan dengan lahan irigasi.

    Memahami kendala-kendala di atas, patut dipertanyakan bagaimanakah

    pendapatan usahatani di lahan pasang surut dapat mendukung upaya petani

    untuk mensejahteraan petani dan keluarganya. Karena itu kajian ini mencoba

    menafsirkan kondisi pendapatan usahatani petani dengan beberapa indikator

    kesejahteraan ekonomi keluarga petani yang teramati saat ini.

    PENGEMBANGAN PERTANIAN DI LAHAN PASANG SURUT

    Indonesia memiliki lahan rawa (lowlands) yang luasnya diperkirakan 33,4

    juta ha. Lahan rawa yang luas dijumpai di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,

    dan Papua. Dari 33,4 juta ha tersebut, sekitar 60 persen (20,1 juta ha) merupakan

    lahan pasang surut (Direktorat Rawa dan Pantai, 2007). Sifat alamiah lahan rawa,

    di antaranya kondisi tanah yang fragile, water-logging, tergenang periodik hingga

    permanen, dan nilainya terhadap lingkungan, menyebabkan lahan rawa tidak

    direkomendasikan untuk pembangunan. Namun, karena pengaruh pasang surut

    air yang melimpahkan hara, lahan rawa dinilai sebagai salah satu sumberdaya

    lahan yang terbaik untuk pertanian (Ali, Suryadi, Schultz, 2002). Pengembangan

    pertanian ke lahan rawa menjadi pilihan karena konversi lahan beririgasi untuk

    kebutuhan non-pertanian. Sehingga, pengembangan lahan pasang surut untuk

    aktivitas pertanian sebagai pilihan untuk mengatasi tekanan konversi lahan di

  • 955

    Jawa dan Bali sekaligus mencapai tingkat produksi beras yang cukup haruslah

    direncanakan dan dikelola dengan tepat dengan memperhatikan semua alternatif.

    Ini bermakna bahwa pengembangan lahan pasang surut untuk pertanian haruslah

    memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan masyarakat, dampaknya

    terhadap lingkungan dan terakomodasinya pembangunan berkelanjutan (Schultz,

    2007). Kata kunci untuk mencapainya adalah pengelolaan air yang tepat

    (agricultural water management).

    Pengembangan lahan pasang surut untuk pertanian dilaksanakan melalui

    proses reklamasi. Reklamasi lahan pasang surut di Indonesia telah mencapai

    luasan 1,8 juta ha. Seluas 692.000 ha terdapat di Sumatra dan 373.000 ha di

    antaranya berlokasi di Provinsi Sumatera Selatan. Walaupun wilayah yang telah

    direklamasi luas, pemanfaatannya untuk kegiatan produksi pertanian masih

    rendah. Saat ini hanya sekitar 30 persen lahan yang cocok untuk padi dapat

    berproduksi di atas 5 ton per ha. Selain itu, haya sekitar 10 persen saja lahan

    yang dapat ditanami dua hingga tiga kali per tahun (IP 200 300). Hal ini

    disebabkan oleh kurangnya pemahaman petani terhadap karakteristik agro-fisika

    dan kimia lahan rawa dan terbatasnya penerapan sistem pengelolaan air.

    Tujuan utama pengembangan lahan pasang surut di Indonesia bersumber

    dari tujuan ganda untuk mendukung program transmigrasi dan meningkatkan

    produksi pangan untuk mengimbangi berkurangnya produksi akibat konversi lahan

    di Jawa yang mencapai 40.000 hingga 50.000 ha setiap tahun. Untuk

    mempertahankan tingkat produksi pangan, sekurang-kurangnya setiap ha lahan

    beririgasi yang dikonversi harus digantikan dengan 3 ha lahan kering atau sawah

    pasang surut.

    Tujuan untuk meningkatkan produksi pangan kembali menjadi prioritas

    sejak kering berkepanjangan yang berlangsung pada tahun 1991, 1994, dan 1997

    yang berdampak kepada peningkatan impor beras hingga 4,5 juta ton per tahun

    pada tahun-tahun tersebut. Tujuan peningkatan produksi pangan dengan

    mendorong kenaikan produktivitas telah diadopsi menjadi tujuan pengembangan

    pertanian pasang surut yang sebelumnya terfokus kepada mendukung program

    transmigrasi. Dengan demikian, arah selanjutnya dalam pengembangan pertanian

    pasang surut adalah meningkatkan kapasitas produksi dengan mengakomodasi

    perkembangan teknologi seperti penggunaan varietas unggul atau high yielding

  • 956

    varieties (HYVs), pupuk, pengendali hama dan penyakit, peralatan pertanian, dan

    perbaikan pengelolaan air.

    METODOLOGI

    Penelitian survei ini dilakukan di daerah persawahan pasang surut Telang

    yang merupakan salah satu sentra produksi beras di Sumatera Selatan. Telang

    secara administrasi berada dalam wilayah Kecamatan Muara Telang, Kabupaten

    Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Telang dipilih sebagai daerah penelitian

    karena merupakan salah satu wilayah reklamasi pasang surut yang paling

    produktif yang didukung oleh sistem pengelolaan air yang berkembang.

    Sampel survei sebanyak 500 keluarga petani dipilih secara acak dari

    sekitar 10.000 keluarga petani dilokasi studi yang meliputi 12 blok sekunder

    seluas sekitar 3.072 ha. Data dikumpulkan melalui observasi rumah tangga dan

    usahatani serta wawancara terstruktur kepada petani sampel.

    Data hasil observasi dan wawancara dianalisis secara deskriptif. Tabel

    frekuensi dan tabel silang (cross-tabulation) digunakan untuk menyajikan hasil

    analisis karena dipandang cukup untuk menampilkan data deskriptif (Norusis,

    2006). Untuk melihat hubungan antara variabel pendapatan dan variabel indikator

    kesejahteraan ekonomi rumah tangga petani, dilakukan uji 2 (kai kuadrat).

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Produksi, Produktivitas dan Pendapatan Usahatani di Lahan Pasang Surut

    Produksi adalah hasil dari kegiatan penggunaan beberapa masukan (input)

    usahatani seperti benih, pupuk, bahan kimia pertanian, dan tenaga kerja. Jumlah

    produksi tergantung kepada luas lahan yang diusahakan sehingga antar petani

    terdapat perbedaan jumlah produksi yang disebabkan oleh perbedaan luas lahan

    yang dimiliki dan diusahakan. Agar dapat dibandingkan, pengukuran produksi

    dilakukan menggunakan produktivitas. Ukuran produktivitas independen terhadap

    penggunaan input dan menggunakan satuan unit lahan sebagai referensi.

    Produktivitas dalam studi ini dinyatakan dengan jumlah produksi per ha lahan

    yang diusahakan.

  • 957

    Hasil analisis data produksi yang diperoleh dari 500 petani sampel

    menunjukkan bahwa produksi bervariasi dari serendah 1,5 ton hingga setinggi

    79,2 ton padi kering panen (on-farm dried paddy). Tingginya variasi angka

    produksi ini disebabkan oleh variasi dalam luas lahan yang diusahakan, yaitu dari

    seluas hanya 0,25 ha hingga seluas 12 ha. Produksi rerata adalah 9,75 ton 5,70

    ton dan luas tanam rerata 1,84 ha 0,99 ha. Produktivitas rerata di antara petani

    sampel mencapai 5, 35 ton 0,88 ton.

    Menggunakan harga di tingkat pasar lokal, yaitu Rp 2.100 per kg gabah

    kering panen, rerata penerimaan untuk setiap ha sawah adalah Rp 11.235.000.

    Dengan rerata biaya per ha sebesar Rp 4.958.460, pendapatan dari usahatani

    padi adalah Rp 6.276.540 per ha. Jika diasumsikan rerata lahan usahatani yang

    diusahakan per keluarga adalah 2 ha dan hanya sekali tanam dalam setahun

    sebagaimana dilakukan mayoritas petani di pasang surut karena kendala agro-

    klimat, maka pendapatan total per keluarga tani per tahun adalah sebesar Rp

    12.553.080. Nilai pendapatan inilah yang digunakan untuk semua jenis

    pengeluaran konsumsi keluarga dan jika memungkinkan diinvestasikan dalam

    berbagai bentuk untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan keluarga tani, misalnya

    perbaikan rumah (lantai, dinding, atap), pembangunan fasilitas rumah (toilet,

    pembuangan air), pengadaan listrik, dan lain-lain.

    Kesejahteraan Petani

    Perubahan kehidupan suatu masyarakat dapat diamati secara material

    melalui keadaan rumah dan kelengkapan fasilitasnya, khususnya fasilitas yang

    diperlukan untuk mendorong kualitas hidup masyarakat. Keadaan fisik rumah

    responden dapat diamati dari aspek-aspek berikut: jenis lantai, dinding dan bahan

    atap rumah. Sedangkan kualitas hidup dapat dilihat dari akses rumah tangga

    terhadap fasilitas listrik, air bersih, tersedianya toilet pada setiap rumah, dan

    sistem pembuangan limbah. Keadaan fisik rumah responden disajikan pada

    Tabel 1.

    Tipe bangunan rumah paling nampak mengalami perubahan, yaitu dari

    rumah asal berupa rumah panggung berbahan papan (elevated temporary

    wooden houses) menjadi rumah depok (earthed brick houses). Lantai rumah yang

    baru lebih luas daripada rumah asal. Beberapa rumah depok bahkan didesain

  • 958

    mengikuti perkembangan yang berlaku di kawasan perumahan di perkotaan.

    Lantai rumah pada umumnya berupa lantai semen, sebagian diantaranya sudah

    dilapisi keramik. Rumah panggung yang telah diperbaiki hanya tinggal sekitar 2

    persen saja.

    Bahan dinding rumah pada umumnya semen dan hanya sebagian masih

    berdinding papan. Persentase rumah berdinding papan lebih tinggi daripada

    rumah berlantai papan. Hal ini menunjukkan ada tahapan perubahan dari rumah

    panggung berbahan papan menjadi rumah depok berdinding papan sebelum

    menjadi sepenuhnya rumah depok, yaitu rumah yang berdinding dan berlantai

    semen atau keramik.

    Atap rumah terbanyak berupa genting, diikuti oleh seng dan hanya

    sebagian kecil saja yang masih berupa atap daun nipah (thatch-palm leaves).

    Atap daun nipah adalah tipikal atap rumah panggung sederhana di lokasi studi.

    Wujud fisik rumah sering merupakan simbol status dalam masyarakat.

    Berdasarkan wujud fisik rumah tampak bukti bahwa telah terjadi perubahan status

    ekonomi yang signifikan pada masyarakat di wilayah studi. Perubahan status

    ekonomi masyarakat tersebut bersumber dari hasil kegiatan pertanian yang

    merupakan pencaharian pokok.

    Tabel 1. Proporsi kondisi rumah responden

    Kondisi rumah Frekuensi Persentase Persentase kumulatif

    Jenis lantai:

    Tanah 58 11.6 11.6 Papan 12 2.4 14.1 Semen 354 71.1 85.1 Keramik 74 14.9 100.0 Total 498 100.0

    Bahan dinding: Papan 126 25.3 25.3 Semen 372 74.7 100.0 Total 498 100.0

    Jenis atap: Daun nipah 5 1.0 1.0 Seng 68 13.7 14.7 Genteng 424 85.3 100.0 Total 497 100.0

  • 959

    Pengamatan ke dalam isi rumah menunjukkan lebih dalam mengenai

    kualitas kehidupan rumah tangga responden. Lebih dari 90 persen rumah

    responden telah memiliki akses listrik seperti tampak pada Tabel 2. Listrik pada

    umumnya digunakan untuk menyalakan lampu dan beberapa peralatan berdaya

    listrik seperti televisi, radio, dan kipas angin.

    Sumber utama air minum rumah tangga responden adalah air hujan, diikuti

    oleh air dalam kemasan, bersama-sama persentasenya mencapai lebih 95 persen

    dari sumber air minum rumah tangga responden. Hampir semua rumah di wilayah

    studi memiliki penampung air hujan (rain water collector) dengan rerata kapasitas

    tampung 2 m3. Penampung air hujan ini sebagian disuplai melalui program yang

    disponsori pemerintah dan sebagian lagi dibuat oleh masyarakat sendiri. Pada

    musim hujan, sebagian besar kebutuhan air minum masyarakat dapat dicukupi

    dari penampung air hujan. Sedangkan pada masa curah hujan berkurang dan

    stok air hujan dalam penampung menurun, kebutuhan air minum dipenuhi dengan

    membeli air minum dalam kemasan. Namun, masih ada sebagian kecil rumah

    tangga responden yang mengkonsumsi air saluran dan sumur. Kedua sumber air

    ini dinilai tidak aman bukan saja karena kurang bersih, tetapi juga dicurigai

    terkontaminasi bahan berbahaya yang digunakan untuk mengendalikan hama dan

    penyakit tanaman yang terbawa aliran sampai ke saluran.

    Tabel 2. Proporsi beberapa aspek kualitas hidup responden

    Aspek kualitas Frekuensi Persentase Persentase kumulatif

    Listrik: Tidak tersambung 43 8.6 8.6 Tersambung 456 91.4 100.0 Total 499 100.0 Sumber air minum: Sungai dan saluran 1 .2 .2 Sumur 14 2.8 3.0 Hujan 365 73.3 76.3 Air dalam kemasan 118 23.7 100.0 Total 498 100.0 Toilet: Tanpa septic tank 134 27.0 27.0 Dengan septic tank 363 73.0 100.0 Total 497 100.0 Saluran pembuangan: Tiada 37 7.5 7.5

  • 960

    Ada 458 92.5 100.0 Total 495 100.0

    Fasilitas lainnya yang terdapat di dalam rumah yang dapat menunjukkan

    kualitas hidup rumah tangga adalah ketersediaan toilet. Sekalipun rumah telah

    diperbaiki, masih banyak rumah yang toiletnya tidak dilengkapi dengan tangki

    penampung kotoran (septic tank). Selain itu, ada sebagian kecil rumah yang

    tidak memiliki fasilitas pembuangan air kotor.

    Pendapatan Usahatani dan Kesejahteraan Fisik

    Bagi rumah tangga petani, pendapatan dari usahatani pertama kali

    digunakan untuk memenuhi berbagai keperluan dasar. Jika berlebih, kelebihan

    pendapatan digunakan untuk berbagai pengeluaran yang dapat dikategorikan

    sebagai investasi sesuai kebutuhan rumah tangga, khususnya untuk menambah

    modal (lahan pertanian, alat dan mesin pertanian) dan untuk memperbaiki rumah

    dan melengkapi fasilitas dalam rumah. Dengan demikian, surplus pendapatan

    usahatani terefleksi pada kondisi rumah yang lebih baik yang menggambarkan

    kesejahteraan fisik yang lebih tinggi. Analisis berikut menunjukkan bagaimana

    perbedaan pendapatan usahatani terkait dengan perbedaan pencapaian beberapa

    indikator kesejahteraan fisik rumah tangga (Tabel 3).

    Tabel 3. Tabulasi silang hubungan pendapatan usahatani dengan beberapa ukuran kesejahteraan fisik

    Tingkat pendapatan

    Ukuran kesejahteraan Rendah Menengah Tinggi

    Sig2a

    Jenis lantai: 1. Tanah 2. Semen 3. Keramik

    19.4 69.7 10.9

    15.1 71.7 13.3

    7.8

    71.7 20.5

    13.626**

    Jenisdinding: 1. Papan 2. Semen

    32.7 67.3

    28.3 71.7

    15.1 84.9

    14.803**

    Jenis atap: 1. Daun nipah 2. Seng 3. Genting

    1.2

    23.0 75.8

    0.6

    10.9 88.5

    1.2 7.2

    91.6

    19.604**

    Listrik: 1. Tidak

    tersambung

    5.4

    94.6

    10.8 89.2

    9.6

    90.4

    3.411

  • 961

    2. Tersambung Sumber air minum:

    1. Sungai, saluran 2. Hujan 3. Air dalam

    kemasan

    6.1

    75.8 18.2

    3.0

    74.1 22.9

    0.0

    69.9 30.1

    15.530**

    Toilet: 1. Tiada septic tank 2. Ada septic tank

    26.1 73.9

    27.7 72.3

    26.7 73.3

    0.118

    Saluran pembuangan: 1. Tiada 2. Ada

    9.1

    90.9

    10.3 89.7

    3.0

    97.0

    7.163**

    aSignifikansi dari Pearson Chi-square

    Tabel 3 menunjukkan bahwa pendapatan usahatani yang lebih tinggi

    secara signifikan berkorelasi dengan lantai, dinding dan atap rumah yang lebih

    berkualitas. Semakin tinggi pendapatan usahatani, semakin tinggi persentase

    rumah tangga petani yang memiliki lantai semen atau keramik, semakin tinggi

    persentase dengan dinding batu, dan semakin tinggi persentase atap genting.

    Pendapatan usahatani yang tinggi juga berkaitan dengan fasilitas rumah

    tangga yang lebih baik dan lebih sehat seperti sumber air minum, fasilitas toilet,

    dan ketersediaan saluran pembuangan. Peningkatan pendapatan diikuti oleh

    peningkatan penggunaan air minum dalam kemasan. Namun, sebagian kecil

    rumah tangga berpendapatan menengah ke bawah masih mengkonsumsi air

    sungai, saluran atau kolam, sedangkan rumah tangga berpendapatan tinggi tak

    satupun yang menggunakannya. Akses terhadap listrik tidak menunjukkan

    perbedaan antara rumah tangga berpendapatan rendah, menengah dan tinggi.

    Hal ini disebabkan listrik disuplai oleh pemerintah sehingga setiap rumah tangga

    tanpa membedakan pendapatannya tersambung kepada fasilitas ini.

    KESIMPULAN

    Dari temuan penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa

    1. Pendapatan usahatani bervariasi mengikuti variasi dalam produksi

    pertanian yang disebabkan adanya variasi dalam luas pemilikan lahan.

    Petani yang menguasai dan menanam lebih luas memperoleh total

    produksi yang lebih tinggi daripada petani yang menguasai dan menanam

  • 962

    lebih sedikit. Sehingga, pendapatan usahatani diantara mereka juga

    berbeda.

    2. Rumah tangga yang berpendapatan usahatani tinggi cenderung mencapai

    kesejahteraan fisik yang lebih tinggi pula. Mereka cenderung memiliki

    rumah dengan kondisi lebih baik, fasilitas rumah tangga lebih baik, dan

    menggunakan sumber air minum yang lebih sehat. Dengan kata lain,

    peningkatan pendapatan usahatani telah digunakan oleh rumah tangga

    responden untuk memperbaiki kesejahteraan hidup fisik keluarga.

    3. Upaya terus menerus untuk meningkatkan pendapatan usahatani melalui

    peningkatan produktivitas usahatani akan meningkatkan kesejahteraan fisik

    rumah tangga petani di wilayah pasang surut.

    DAFTAR PUSTAKA

    Ali, Md. L., F.X. Suryadi, B. Schultz. (2002). Water Management Objectives and Their Realization in Tidal Lowland Areas in Bangladesh and Indonesia. In Proceeding of the International Workshop on Sustainable Development of Tidal Areas. 18th Congress and 53rd IEC Meeting of the International Commission on Irrigation and Drainage. Montreal, Canada, July 22, 2002.

    Direktorat Rawa dan Pantai. (2007). Distribusi Lahan Rawa di Indonesia.

    Direktorat Jenderal Sumberdaya Air, Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia.

    Kasryno, F. et al. (Eds.). (2003). Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan

    Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. LWMTL. (2006). Technical Guidelines on Tidal Lowland Development Volume I:

    General Aspects. Report of the Joint Indonesia Netherlands Working Group. Jakarta, Indonesia.

    Norusis, M. J. (2006). SPSS 15.0 Statistical Procedures Companion. Upper

    Saddle River, New Jersey: Prentice Hall, Inc. Schultz, B. (2007). Development of Tidal Lowlands Potentials and Constraints of

    the Tidal Lowlands of Indonesia. Paper disajikan pada Kuliah Umum di Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya, 30 Juni 2007.

    Simatupang, P. and I. W. Rusastra. (2003). Kebijakan Pembangunan Sistem

    Agribisnis Padi. In Kasryno, F. et al. (Eds.). Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.

  • 963

    ANALISIS PENGGUNAAN FAKTOR PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI PADA LAHAN RAWA PASANG SURUT

    The Analysis Factor of Production and Revenue in Rice Farming in Tidal

    Swamp Land

    Nasir

    Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Tridinanti Palembang, Jl.

    Kapten Marzuki No. 2446 Kamboja palembang

    ABSTRACT The Analysis of Use Production factor and Income of Rice Farming in Lawland (Case in the village of Muara Telang Telang Rejo Sub District Banyuasin) by Nasir. The Study aims to: Analyze the relationship of input use with the production of rice farming, Measuring the efficiency of input use of rice farming, and count the rice farm income tidal wetlands. The experiment was conducted in the village of Muara Telang Telang Rejo district Banyuasin District. The method used in this research is the case with simple random sampling method on the respondent farmers who seek rice farming, while the methods used in data analysis to determine the effect of production factors on the production used regression analysis on the Cobb-Douglas equation, determining the efficiency of factor production efficiency measure used to calculate the level of prices and rates of return using the formula R / C ratio. The results showed that the production factors of land, seed, fertilizer and labor significantly influence on the production while the other production factors, namely: KCl and SP-36 as well as the use of herbicides and insecticides no significant effect on production. Judging from the level of efficiency, the use of all factors of production (land, seed, fertilizer (urea, SP-36 and KCl), pesticides (insecticides and herbicides) and an outpouring of all is not yet efficient workforce.) The number of average farm income of Rp. 4,799,222.20 / hectare, with the ratio of farm revenue at the expense of 2.1 means that every Rp1,- issued will generate revenue of Rp. 2.1, - Keywords: factors of production, efficiency and revenue.

    PENDAHULUAN

    Latar Belakang. Padi merupakan komoditi penting yang memiliki peran yang

    sangat penting yaitu sebagai barang ekonomi yang dikaitkan dengan fungsinya

    sebagai penghasil beras yang merupakan bahan pangan pokok, dan merupakan

    komoditi strategis yang kadangkala dapat mempengaruhi kondisi politik suatu

    Negara. Di Indonesia, dominasi beras atas pangan lainnya, tercermin dari 50%

  • 964

    total konsumsi pangan nasional dan 96% penduduk Indonesia menjadikan beras

    sebagai pangan pokok ketimbang sumber pangan lainnya. Pentingnya komoditi

    ini juga terlihat dari tingginya tingkat konsumsi komoditi ini yang mencapai 133

    kg/kapita/tahun dan jauh di atas tingkat konsumsi pangan lain (Simatupang,

    1999).

    Tingginya kebutuhan komoditi ini dimasa mendatang akan terus berlanjut

    sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk apalagi saat ini belum ada komoditi

    lain yang mampu menggeser keberadaan beras sebagai pangan pokok. Untuk

    memenuhi kebutuhan beras yang terus meningkat maka upaya peningkatan

    produksi yang dipacu melalui peningkatan produktivitas dengan mendayagunakan

    sumberdaya di berbagai wilayah yang berpotensi untuk pengembangan komoditi

    tersebut.

    Sumatera Selatan merupakan salah satu sentra pengembangan usahatani

    padi di Indonesia. Berdasarkan hasil survey pertanian, produksi padi di Sumatera

    Selatan tahun 2008 mencapai 2,97 juta ton GKG, bertambah sebesar 2.181,24

    ribu ton (7,93%) dibandingkan tahun 2007. Ditinjau wilayah pengusahaannya,

    untuk tahun 2008 kabupaten yang memiliki produksi tertinggi adalah kabupaten

    Banyuasin (746,55 ribu ton), Ogan Komering Ilir (789,81 ribu ton) dan OKU Timur

    (234,45 ribu ton), (BPS Sumsel, 2009).

    Berdasarkan data tersebut, Kabupaten Banyuasin merupakan sentra

    penghasil padi di Sumatera Selatan. Beberapa faktor yang menyebabkan

    kabupaten ini menjadi sentra beras antara lain karena memiliki lahan yang cukup

    luas, berupa lahan pasang surut yang potensial untuk pengembangan tanaman

    padi. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten

    Banyuasin (2007), luas lahan yang sudah direklamasi seluas 362.000 hektar. Dari

    luasan tersebut yang baru ditanami seluas 153.000 hektar dan dari jumlah

    tersebut yang baru dapat ditanami dua kali setahun baru 5.000 hektar yang telah

    dapat ditanami dua kali setahun sedangkan sisanya masih ditanami satu kali

    setahun, yang sebagian besar berupa lahan pasang surut.

    Meskipun dikenal sebagai daerah yang berpotensi untuk pengembangan

    usahatani padi, tetapi ternyata produktivitas usahatani di daerah ini masih lebih

    rendah. Beberapa faktor yang diduga menyebabkan rendahnya produktivitas

    lahan di daerah ini adalah karena kondisi lahan yang marjinal dengan

  • 965

    produktivitas yang rendah. Rendahnya produktivitas juga disebabkan karena

    penggunaan sumberdaya berupa sarana produksi yang masih rendah, Padahal

    upaya peningkatan produktivitas usahatani padi dapat dipacu dengan penggunaan

    sarana produksi secara optimal, antara lain menurut Suharno et al., (2000) dapat

    dilakukan melalui perbaikan teknologi budidaya seperti pemupukan, waktu tanam

    yang tepat dan pengendalian jasad pengganggu, dan penggunaan varietas

    unggul.

    Langkah awal untuk memacu peningkatan produktivitas lahan adalah

    dengan cara mengetahui faktor produksi yang paling berpengaruh terhadap

    peningkatan produksi dengan cara melakukan analisis terhadap tingkat efisiensi

    penggunaan faktor produksi. Berdasarkan alasan tersebut maka peneliti tertarik

    melakukan penelitian Analisis Penggunaan Faktor Produksi dan Pendapatan

    Usahatani Padi pada Lahan Rawa Pasang Surut penelitian ini dilaksanakan di di

    Desa Telang Rejo Kecamatan Muara Telang Kabupaten Banyuasin. Melalui

    penelitian ini diharapkan dapat diketahui pengaruh penggunaan faktor produksi

    terhadap produksi, tingkat efisiensi penggunaan faktor produksi serta pendapatan

    usahatani padi pada lahan rawa pasang surut.

    Rumusan Masalah. Permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini

    adalah:

    1. Bagaimanakah hubungan penggunaan faktor produksi dengan produksi

    usahatani padi.

    2. Bagaimanakah tingkat efisiensi pengunaan faktor produksi usahatani padi

    pada lahan rawa pasang surut

    3. Seberapa besar tingkat pendapatan usahatani padi lahan rawa pasang surut

    Tujuan dan Kegunaan. Tujuan penelitian ini adalah:

    1. Menganalisis hubungan hubungan penggunaan faktor produksi dengan

    produksi usahatani padi.

    2. Mengukur tingkat efisiensi pengunaan faktor produksi usahatani padi pada

    lahan rawa pasang surut

    3. Menghitung pendapatan usahatani padi lahan rawa pasang surut

  • 966

    Kegunaan penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi bagi

    semua pihak khususnya petani yang berkaitan langsung dengan pengembangan

    usahatani padi, dan memberikan manfaat berupa penambahan khazanah

    kekayaan ilmu pengetahuan khususnya yang berkenaan dengan penggunaan

    faktor produksi pada usahatani padi.

    METODE PENELITIAN

    Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Telang Rejo Kecamatan

    Muara Telang Kabupaten Banyuasin. Pemilihan lokasi dilakukan dengan sengaja

    (purposive) dengan pertimbangan Kecamatan Muara Telang merupakan sentra

    usahatani padi yang dianggap telah melaksanakan usahatani secara intensif.

    Penelitian dilaksanakan selama dua bulan yaitu April sampai Mei 2010.

    Metode Penelitian. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kasus,

    dengan alasan petani di Desa Telang Rejo Kecamatan Muara Telang Kabupaten

    Banyuasin merupakan petani yang telah melaksanakan intensifikasi usahatani

    karena telah merupakan salah satu wilayah yang sering menjadi sentra

    pengembangan proyek percontohan untuk usahatani padi di lahan rawa pasang

    surut.

    Metode Penarikan Contoh. Metode penarikan contoh pada penelitian ini adalah

    metode acak sederhana dengan jumlah sample sebanyak 38 orang atau 10

    persen dari jumlah populasi yang ada.

    Metode Pengumpulan Data. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan

    sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan petani yang

    meliputi karakteristik individu, penggunaan factor produksi, produksi, harga

    produksi. Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait dengan

    penelitian ini, seperti: Kantor Pemerintah Kecamatan Muara Telang, Dinas

    Pertanian dan lainnya. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara

    terstruktur terhadap petani dengan menggunakan panduan kuisioner.

    Metode Analisa Data. Data yang dikumpulkan di lapangan diolah secara tabulasi

    dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Untuk menjawab permasalahan

    pertama yaitu melihat hubungan antara penggunaan faktor produksi dan produksi

    digunakan model persamaan sebabagi berikut, yaitu:

  • 967

    LnY= Ln+1 LnX1+2 LnX2+3Ln X3+4Ln X4+5 LnX5+6 LnX6+7 LnX7+8 LnX8+e

    Keterangan:

    Y = Variabel yang dijelaskan (variabel tak bebas) produksi usahatani padi

    X = Variabel yang menjelaskan factor-faktor yang mempengaruhi produksi padi,

    yaitu: X1 = Lahan (ha), X2 = benih (kg); X3= pupuk urea (kg); X4= pupuk SP-36

    (kg); X5=Pupuk KCl (kg); X6= Insektisida (lt); X7= Herbisida (lt); X8= Tenaga Kerja

    (HOK); , = Penduga parameter dan i

    Kemudian untuk mengetahui apakah variable bebas (X) secara bersama-

    sama berpengaruh terhadap variable tak bebas (Y) menggunakan uji F, dengan

    hipotesis statistik sebagai berikut :

    Ho : 1 = 2 = 3 = ..= 9 = 0 : Y secara simultan dipengaruhi secara tidak

    nyata oleh X1, X2, X3,., X8

    Ho : 1 = 2 = 3 = ..= 9 0 : Y secara simultan dipengaruhi secara tidak

    nyata oleh X1, X2, X3,., X8

    JKR / (K 1) Rumus F hitung adalah = ---------------- JKK / (n 1)

    Keterangan :

    JKR = Jumlah kuadrat regresi; JKK = Jumlah kuadrat kesalahan; k= Jumlah

    parameter dugaan; n = Jumlah sampel

    Kaidah pengambilan keputusan adalah sebagai berikut :

    1. Jika F hitung > F tabel , (k 1), (n k) maka Hi diterima yang artinya variabel

    bebas secara bersama-sama berpengaruh terhadap produksi usahatani.

    2. Jika F hitung > F tabel , (k 1), (n k), maka Ho diterima yang artinya variabel

    bebas secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap produksi usahatani.

    Untuk mengetahui pengaruh masing-masing variable bebas (X) terhadap variable

    tak bebas (Y) menggunakan rumus t hitung dengan hipotesis statistik sebagai

    berikut :

    Ho : bo = 0 : Y secara parsial dipengaruhi secara tidak nyata oleh X1, X2, X3,, X8

    H1 : b1 0 : Y secara parsiap dipengaruhi secara nyata oleh X1, X2, X3,, X8

    i

  • 968

    Rumus t hitung = --------

    Se (i)

    Keterangan :

    i.. : Koefisien regresi variable ke 1; Se (i) : Simpangan variable ke-i

    Kaidah pengambilan keputusan adalah sebagai berikut :

    1. Jika thitung > t (/2) tabel maka tolak Ho, artinya variable bebas ke-n

    berpengaruh nyata terhadap produksi usahatani.

    1. Jika thitung < t (/2) tabel maka terima Ho, artinya variable bebas ke-n tidak

    berpengaruh nyata terhadap produksi usahatani

    Untuk menjawab permasalahan kedua yaitu mengukur tingkat efisiensi

    penggunaan factor produksi digunakan rumus efisiensi harga yang dirumuskan:

    NPMx NPMx = Px atau -------- = 1 Px b.Y.Py NPMx = ----------- X Dimana : b = elastisitas Y = produksi PY = harga produksi Y X = jumlah faktor produksi X PX = harga faktor produksi X Kaidah keputusan:

    NPM / Hx > 1---------- Tidak optimal (kekurangan penggunaan faktor produksi)

    NPM / Hx = 1---------- Optimal

    NPM / Hx < 1----------Tidak optimal (kelebihan penggunaan faktor produksi)

  • 969

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Pengaruh Penggunaan Faktor Produksi Terhadap Produksi Padi. Hasil

    analisis regresi fungsi produksi usahatani padi di Desa Telang Rejo dihasilkan

    persamaan sebagai berikut:

    Y = 6,957 - 0,261X1 - 0,075X2 +0,384X3+0,046X4+ 0,171X5 + 0,069X6 + 0,084X7 + 0,186X8

    Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa secara agregat hubungan antara

    faktor produksi dan produksi usahatani padi cukup kuat dengan nilai koefisien

    determinasi (R2) sebesar 0,988. Nilai koefisien 0,988 artinya 98,8 persen

    perubahan dari produksi usahatani padi dapat dijelaskan oleh variabel sarana

    produksi: luas lahan usahatani, jumlah benih, pupuk (urea, SP-36 dan KCl),

    herbisida, insektisida serta jumlah curahan tenaga kerja, sedangkan 1,2 persen

    dipengaruhi oleh faktor lain di luar model.

    Dari hasil uji F diketahui nilai F-hitung 311,620 pada tingkat kepercayaan 95

    persen lebih besar dibandingkan dengan F tabel sebesar 2,27 sehingga

    disimpulkan bahwa hasil pengujian berbeda sangat nyata sehingga variabel bebas

    luas lahan, benih, pupuk urea, SP36, KCl, herbisida, insektisida dan curahan

    tenaga kerja bersama-sama berpengaruh terhadap produksi usahatani padi.

    Meskipun secara bersama-sama penggunaan faktor produksi memiliki

    pengaruh atau dampak yang kuat terhadap produksi, tetapi hasil analisis

    menunjukkan bahwa tidak semua faktor prdoduksi berpengaruh nyata terhadap

    produksi. Hasil analisis regresi variabel independen (sarana produksi) dan produk

    di ditampilkan pada Tabel 1.

    Tabel 1. Hasil analisis regresi variabel independen terhadap variabel dependen

    No Variabel Koefisien t-hitung Keterangan

    X1 Lahan (ha) 6,957 5,724 Signifikan

    X2 Benih (kg) -0,261 -2,557 Signifikan

    X3 Urea (kg) 0,384 4,025 Signifikan

    X4 SP-36 (kg) 0,046 1,403 Non Signifikan

    X5 KCl (kg) 0,171 1,183 Non signifikan

  • 970

    X6 Insektisida (lt) 0,069 0,953 Non signifikan

    X7 Herbisida (lt) -0.084 -1,167 Non signifikan

    X8 Tenaga kerja (HOK) 0,186 2,266 Signifikan

    Koefisin determinasi (R2) = 0,992;

    F-hitung=311,62 dan F Tabel 0,05(8;30)=2,27

    t-tabel (0.025)=2,042 ; t-tabel (0.010)=2,457; t-tabel (0.005)=2,750

    Tabel 1 memperlihatkan dari delapan variable bebas hanya luas lahan

    usahatani, benih, pupuk urea dan tenaga kerja yang memiliki pengaruh signifikan

    terhadap produksi, sedangkan variable lainnya, yaitu: penggunaan pupuk KCl dan

    SP-36, penggunaan pestisida (herbisida dan insektisida tidak memiliki pengaruh

    yang signifikan terhadap produksi usahatani padi.

    Lahan usahatani memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap

    produksi usahatani dan memiliki hubungan yang negatif dengan koefisien sebesar

    -0,261. Nilai koefisin tersebut berarti setiap penambahan 10 persen lahan

    usahatani akan menyebabkan terjadinya penurunan produksi sebesar 2,61

    persen. Nilai negative disebabkan semakin luas lahan maka penggunaan sarana

    produksi yang digunakan juga makin tidak optimal karena biaya yang dikeluarkan

    besar sedangkan petani keterbatasan dana sehingga produksi yang dicapai untuk

    satuan luas tertentu makin rendah. Rata-rata kepemilikan lahan ditingkat petani

    cukup tinggi yaitu mencapai 1,92 hektar per petani.

    Penggunaan benih memiliki pengaruh yang signifikan. Pelaksanaan

    penanaman yang dilakukan petani menggunakan sistem tabela (tanam benih

    langsung) yaitu dengan cara menaburkan benih secara langsung di lahan

    usahatani sehigga jumlah benih yang digunakan besar, yaitu rata-rata 130

    kg/hektar dan melebihi dari batas optimal anjuran PPL yang maksimum 60

    kilogram perhektar. Penggunaan benih yang berlebihan menyebabkan

    pertumbuhan tanaman padi tidak berlangsung optimal karena terjadi persaingan

    penyerapan unsur hara oleh tanaman sehingga produksi yang dicapai tidak

    optimal. Nilai koefisien benih sebesar 0,075 yang artinya kenaikan 10 persen

    penggunaan benih akan menyebabkan terjadinya penurunan produksi sebesar

    0,75 persen.

  • 971

    Penggunaan pupuk urea memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

    produksi dengan nilai koefisien sebesar 0,384 yang artinya setiap penambahan

    penggunaan pupuk urea sebesar 10 persen akan menyebabkan peningkatan

    produksi sebesar 3,84 persen. Pengaruh positip ini disebabkan karena

    kemungkinan ketersediaan unsur hara N pada lahan rawa pasang surut masih

    rendah sehingga penggunaan pupuk urea yang mengandung unsure hara N akan

    cepat direspon oleh tanaman dalam bentuk peningkatan produksi. Selain itu

    jumlah penggunaan pupuk urea lebih banyak dibandingkan dengan pupuk lainnya

    yaitu rata-rata 219,87 kilogram perhektar permusim tanam, sehingga tanaman

    lebih mudah dalam merespon penggunaan pupuk tersebut.

    Penggunaan pupuk SP-36 dan KCl tidak berpengaruh secara signifikan

    terhadap produksi. Penyebabnya karena jumlah penggunaan kedua pupuk masih

    jauh dari anjuran lebih rendah dibandingkan dengan pupuk urea, yaitu masing-

    masing 134,23 kilogram dan 115,64 kilogram perhektar., padahal menurut

    Suwalan et al., (2004) respon tanaman terhadap pemberian pupuk akan

    meningkat apabila pupuk yang digunakan tepat jenis, dosis, waktu dan cara

    pemberian.

    Penggunaan herbisida dan insektisida tidak berpengaruh signifikan

    terhadap produksi. Penyebabnya, penggunaan sarana produksi tersebut ditingkat

    petani masih belum optimal, yaitu: insektisida pestisida 1,64 liter perhektar

    permusim tanam dan herbisida 0,615 liter perhektar permusim tanam. Faktor

    lainnya adalah sifat dari sarana ini yang tidak memiliki pengaruh langsung pada

    peningkatan produksi seperti sarana produksi lainnya khususnya pupuk. Faktor

    lainnya adalah serangan hama yang ditemui di lapangan masih dibawah batas

    ambang ekonomi, sehingga penggunaan insektisida masih rendah dan hanya

    bersifat pencegahan. Penggunaan herbisida masih rendah karena pemberantasan

    gulma sering dilakukan secara manual yaitu dengan melakukan penyiangan

    terhadap gulma sehingga penggunaan herbisida juga masih rendah.

    Faktor produksi tenaga kerja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

    produksi. Rata-rata curahan tenaga kerja pada usahatani padi adalah sebesar

    37,38 HOK perhektar permusim tanam. Hubungan antara curahan tenaga kerja

    dengan produksi bersifat positip artinya semakin tinggi curahan tenaga kerja maka

    produksi yang dicapai juga makin tinggi dengan nilai koefisien sebesar 0,186,

  • 972

    yaitu jika terjadi peningkatan curahan tenaga kerja sebesar 10 persen maka

    produksi akan meningkat seesar 1,86 persen. Pengaruh curahan tenaga kerja

    terhadap produksi sangat beralasan karena tanaman padi memerlukan perawatan

    dan pengelolaan yang baik, sehingga curahan tenaga kerja yang tinggi

    menyebabkan tanaman akan semakin terpelihara dengan baik sehingga produksi

    yang dicapai juga akan meningkat.

    Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi. Berdasarkan hasil penelitian

    penggunaan faktor produksi pada usahatani padi sebagian besar tidak efisien.

    Rincian perhitungan terhadap analisis efisiensi ditampilkan pada Tabel 2.

    Tabel 2. Efisiensi penggunaan faktor produksi pada usahatani padi

    No variabel Sarana propduksi NPMx / Px Keterangan

    X1 Lahan (ha) 0,99 Tidak efisien

    X2 Benih (kg) 0,89 Tidak efisien

    X3 Urea (kg) 9,94 Tidak efisien

    X4 SP-36 (kg) 1,39 Tidak efisien

    X5 KCl (kg) 3,80 Tidak efisien

    X6 Insektisida (lt) 14,12 Tidak efisien

    X7 Herbisida (lt) 6,04 Tidak efisien

    X8 Tenaga kerja (HOK) 1,17 Tidak efisien

    Berdasarkan tabel 2, terlihat bahwa sebagian besar penggunaan faktor

    produksi pada usahatani padi belum efisien karena memiliki nilai perbandingan

    nilai produk marjinal dan harga faktor produksi yang lebih kecil atau lebih besar

    dari satu.

    Nilai rasio produk marjinal dan harga faktor produksi lahan lebih kecil dari

    satu (0,991) menunjukkan bahwa penggunaan lahan usahatani belum efisien

    karena luas lahan yang digunakan petani relatif sudah cukup tinggi yaitu rata-rata

    1.92 hektar perpetani, sedangkan jumlah modal yang dimiliki petani untuk

    mengusahakan lahan tersebut masih rendah sehingga produksi yang dicapai tidak

    optimal. Rendahnya modal yang dimiliki petani terlihat dari belum optimalnya

  • 973

    penggunaan faktor produksi lain, yaitu: pupuk (urea, SP-36 dan KCl), pestisida

    (insektisida dan herbisida) serta curahan tenaga kerja yang belum optimal karena

    memiliki rasio nilai produk marjinal dan harga faktor produksi yang lebih besar dari

    satu. Nilai lebih besar dari satu menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi

    tersebut masih rendah dari jumlah yang dibutuhkan untuk pengelolaan usahatani

    padi sehingga perlu dilakukan penambahan agar usahatani tersebut efisien.

    Penggunaan benih memiliki rasio nilai produk marjinal dan harga benih

    yang lebih rendah dari satu (0,89) menunjukkan bahwa penggunaan benih tidak

    efisien karena terjadi kelebihan penggunaan yang seharusnya maksimal 60

    kg/hektar perpetani tetapi meningkat mencapai 130 kg/hektar. Terjadinya

    kelebihan penggunaan benih menyebabkan biaya yang dikeluarkan tinggi

    sedangkan produksi yang dicapai tidak optimal karena terjadi perebutan unsur

    hara