ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...

69
1 ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016

Transcript of ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...

Page 1: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

1

ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH

Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD

Jakarta 2016

Page 2: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

2

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Indonesia telah memulai kerjasama dengan Organisation for Economic and

Cooperation Development (OECD) sejak tahun 2007 seiring dengan diluncurkannya

Program Kerjasama Tingkat Lanjut (Enhanced Engagement) antara OECD dengan

negara-negara Emerging Markets termasuk Indonesia. Saat ini Indonesia telah menjadi

Strategic Partner bagi OECD dengan lingkup kerjasama yang terus diperluas.

Kerjasama ini memegang peranan sangat penting, mengingat OECD merupakan

lembaga kerjasama internasional negara-negara maju (advance countries) yang

memiliki standar dan kualifikasi yang tinggi dalam berbagai permasalahan

pembangunan dan kesejahteraan.

Kerjasama Pemerintah Indonesia dengan OECD memberikan manfaat yang

cukup besar dalam peningkatan kapasitas terutama mempelajari best practices dari

negara-negara maju dalam mengelola ekonomi dan pembangunan. Selain itu juga

dapat menjadi sarana dialog yang efektif dan obyektif dalam menghasilkan

rekomendasi kebijakan. Dengan semakin dalam dan luasnya kerjasama Pemerintah

Indonesia dan OECD, diperlukan kajian sejauhmana manfaat yang dapat diperoleh

Pemerintah dalam melakukan engagement dengan OECD tersebut.

Kerjasama Indonesia dengan OECD saat ini terus berjalan semakin mendalam

dengan berlangsungnya berbagai kerjasama di berbagai sektor terutama terkait

ekonomi dan pembangunan. Salah satu kerjasama yang terus dilakukan adalah

Economic Survey OECD. OECD secara rutin telah melakukan economic survey

terhadap Indonesia yang bertujuan untuk memetakan dan mengidentifikasi

permasalahan dan kondisi perekonomian di Indonesia. Dalam economic survey saat ini,

OECD akan lebih memfokuskan kepada review pengeluaran (expenditure review)

terutama terkait penyerapan dan penumpukan anggaran baik di tingkat Pemerintah

Pusat terutama lagi di tingkat daerah.

Page 3: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

3

Reformasi yang terjadi di Indonesia dalam hal keuangan negara mendorong pula

reformasi dalam hal keuangan daerah. Lahirnya paket Undang-undang Nomor 32 tahun

2004 tentang Otonomi Daerah dan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah telah memberikan perubahan yang sangat

mendasar terhadap pelaksanaan pemerintahan, terutama dalam hal pengelolaan

keuangan daerah dan menjadi tonggak awal dari otonomi daerah.

Dengan sistem baru ini pemerintah daerah diharapkan mampu untuk melahirkan

efektifitas dan efisiensi didalam penyelenggaraan pemerintahan dengan lebih

memperhatikan pada aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar

pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang serta tantangan

global.

Tujuan selanjutnya dari munculnya paket Undang-undang Keuangan Daerah

tersebut adalah agar pemerintah daerah mampu mempercepat terwujudnya

kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran

serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip

demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewan dan kekhususan suatu daerah dalam

sistem Negara Kesatuan Republik indonesia.

Namun setelah lebih dari sepuluh tahun implementasi otonomi daerah, masih

menyisakan banyak permasalahan yang salah satunya adalah lambatnya proses

pembangunan di daerah yang tercermin dari selalu lambatnya realisasi dan pencairan

alokasi anggaran daerah. Menteri Keuangan pernah menyatakan bahwa terdapat dana

daerah sekitar Rp 255 triliun yang mengendap di perbankan yang akan lebih

bermanfaat apabila direalisasikan untuk program-program pembangunan di daerah.

Sering terjadi, program dan kegiatan pembangunan telah direncanakan dengan sangat

baik, namun ternyata ketika direalisasikan dalam bentuk anggarannya tidak terserap

dan terlaksana secara maksimal.

Penyerapan anggaran merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan

keberhasilan suatu perencanaan untuk pembangunan. Meskipun program

pembangunan direncanakan dengan sangat baik, tanpa realisasi anggaran tentu saja

pembangunan tersebut tidak akan terjadi. Penyerapan anggaran masih menjadi

masalah klasik di Indonesia yang sulit untuk dipecahkan.

Page 4: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

4

Setiap tahun anggaran, rendahnya realisasi dan penumpukan realisasi anggaran

di akhir tahun selalu berulang. Berbagai langkah sudah dilakukan seperti

penyederhanaan prosedur, penerbitan DIPA lebih awal, proses lelang yang dilakukan

lebih awal dan berbagai langkah lain sudah dilakukan, namun permasalahan tersebut

masih terus terjadi.

Anggaran juga digunakan oleh setiap pemerintahan daerah untuk menjalankan

roda pembangunan di daerahnya masing-masing untuk mencapai target pembangunan

yang telah ditetapkan. Namun sudah menjadi persoalan umum bahwa sebagian besar

pemerintahan daerah tidak dapat memanfaatkan anggaran atau APBD yang dimiliki

setiap tahun secara maksimal. Permasalahan lain yang terjadi adalah meskipun pada

akhirnya anggaran dapat direalisasikan, namun sebagian besar masih menumpuk di

akhir tahun.

Menumpuknya anggaran di akhir tahun merupakan salah satu indikasi kurang

efektif dan efisien nya pengeluaran publik di daerah. Hal ini bias disebabkan oleh

perencanaan yang kurang matang, proses administrasi yang lamban, proses lelang dan

prosedur hukum yang harus ditempuh dan berbagai kemungkinan penyebab lainnya.

Mengingat pentingnya permasalahan tersebut, maka isu ini dijadikan topik utama

dengan tema Efisiensi Pengeluaran Publik Di Daerah. Kajian ini diharapkan dapat

menjadi penyeimbang dan pelengkap kajian dalam economic survey OECD tahun 2016

ini yang lebih menekankan kepada efisiensi pengeluaran public namun dari sisi yang

lebih makro dan menitik beratkan pada kebijakan yang diambil oleh Pemerintah

terutama Pemerintah Daerah.

Page 5: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

5

I.2. Maksud Dan Tujuan

Sebagaimana telah diuraikan dalam Latar Belakang tersebut diatas, maka

maksud dan tujuan dari kegiatan kajian ini diuraikan sebagai berikut:

Maksud

Maksud kegiatan kajian Analisis Efisiensi Pengeluaran Publik di daerah ini

adalah untuk mengidentifikasi tantangan dan kendala penyerapan anggaran di daerah

yang masih belum membaik dan stagnan sehingga berakibat terhambatnya program-

program pembangunan pemerintah di daerah.

Tujuan

Tujuan Kajian Analisis Tantangan dan Kendala Penyerapan Anggaran di daerah

ini adalah untuk memberikan rekomendasi dan perbaikan terkait tantangan dan kendala

penyerapan anggaran di daerah sehingga dapat mempercepat pencapaian tujuan

program-program pembangunan di daerah.

I.3. Ruang Lingkup Dan Metodologi

I.3.1. Batasan Kegiatan

Analisis tantangan dan kendala penyerapan anggaran di daerah yang

disarankan untuk menjadi objek kegiatan kajian ini adalah penyerapan APBD baik yang

berasal dari transfer dana dari Pemerintah Pusat seperti Dana Alokasi Umum, Dana

Alokasi Khusus maupun dana transfer lainnya maupun dana yang berasal dari

Pendapatan Asli Daerah. Objek kegiatan akan dilakukan sampel di lima Pemerintah

Daerah di Indonesia baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota.

I.3.2. Lingkup Kegiatan

Dengan mengacu pada maksud dan tujuan yang dijelaskan diatas, dapat

disampaikan bahwa ruang lingkup kajian Analisis Tantangan dan Kendala Penyerapan

Anggaran di daerah adalah sebagai berikut:

1. Menyiapkan kerangka analisis untuk merumuskan kajian yang lebih tepat

sasaran.

Page 6: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

6

2. Mengidentifikasi tantangan dan kendala yang terjadi dalam penyerapan

anggaran di beberapa Pemerintah derah sampel di Indonesia.

3. Melakukan observasi dan analisis terhadap data-data dan regulasi terutama dari

Pemerintah daerah untuk menganalisis tantangan dan kendala penyerapan

anggaran di daerah

4. Melakukan evaluasi atas permasalahan, penyebab dan alternatif solusi terhadap

penyerapan anggaran di daerah yang hipotesa nya selama ini relatif rendah

terutama di Pemerintah daerah yang menjadi sampel.

Dalam melaksanakan tugasnya, perlu dijalin aksesibilitas dan kerjasama dengan

berbagai unsur terkait, terutama stakeholders yang dijadikan objek kegiatan kajian,

yaitu Pemerintah daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota yang dijadikan sampel.

Koordinasi yang dilakukan tersebut harus sesuai dengan norma-norma kepatutan,

hubungan baik serta sesuai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

I.3.3. Metodologi

Metodologi penanganan dan pendekatan pelaksanaan yang akan digunakan

dalam kegiatan kajian ini adalah dengan menggunakan berbagai metode, antara lain:

1. Menelaah beberapa peraturan dan regulasi terkait keuangan negara dan

keuangan daerah termasuk APBN dan APBD, Undang-Undang, Peraturan

Pemerintah, Peraturan tingkat Menteri, Peraturan Daerah dan regulasi-regulasi

lainnya.

2. Menelaah rencana kerja perencanaan dan penganggaran serta realisasi

pelaksanaan kegiatan di Pemerintah Daerah yang menjadi sampel.

3. Melakukan observasi dan analisis terhadap data-data dan regulasi terutama dari

Pemerintah daerah untuk menganalisis tantangan dan kendala penyerapan

anggaran di daerah

4. Melakukan penelaahan kajian literatur terhadap buku-buku, jurnal dan artikel

terutama yang berhubungan dengan keuangan negara dan keuangan daerah

serta literatur tentang review pengeluaran (expenditure review).

5. Melakukan evaluasi atas penyerapan anggaran yang sudah dilakukan oleh

Pemerintah Daerah terkait sebagai objek kegiatan kajian.

Page 7: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Pelaksanaan sistem penganggaran yang berlaku di Indonesia saat ini

memerlukan pendekatan efisiensi dan pendekatan hirarki. Pendekatan efisiensi

dilakukan untuk mengukur penggunaan input atau sumber daya serta pencapaian

keluaran dan hasil sehingga diperlukan indikator kinerja input, output dan outcome.

Pendekatan ini juga dilakukan untuk mengukur efisiensi proses transformasi input

menjadi output sehingga diperlukan standar biaya. Sedangkan untuk mengukur

keberhasilan program dan kegiatan diperlukan evaluasi kinerja.

Efisiensi dan efektifitas penggunaan sumber daya yang terbatas harus dimulai

dari Pemerintah Pusat yang meliputi setiap Kementerian/Lembaga dan Pemerintah

daerah termasuk seluruh Satuan Kerja Perangkat daerah (SKPD) dengan menyusun

kegiatan yang berbasis kinerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing

yang disesuaikan dengan sasaran program dan tujuan pembangunan nasional secara

keseluruhan yang telah ditetapkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) baik

Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.

Reformasi sistem keuangan dan penganggaran yang telah dilakukan baik

keuangan pusat maupun daerah tersebut telah menempatkan anggaran berbasis

kinerja menjadi suatu keharusan dimana setiap anggaran yang dikeluarkan oleh negara

harus berdasarkan pada kinerja yang dihasilkan. Anggaran berbasis kinerja ini

mengambil prinsip bahwa pendekatan prestasi kerja dilakukan dengan memperhatikan

keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan dari kegiatan

dan program termasuk efisiensi dalam pencapaian keluaran dan hasil tersebut.

Anggaran berbasis kinerja diartikan sebagai penyusunan anggaran yang didasarkan

pada target kinerja tertentu. Anggaran yang disusun harus sesuai dengan beban target

kinerja dimana target kinerja bersifat tetap dan menjadi dasar dari penyusunan

anggaran.

Pendekatan baru dalam sistem anggaran publik tersebut memiliki karakteristik

umum antara lain bersifat komperehensif dan komparatif, terintegrasi dan lintas

departemen dimana setiap pengguna anggaran memiliki standar yang sama dalam

sistem penganggarannya, proses pengambilan keputusan yang rasional dan berjangka

Page 8: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

8

menengah dan panjang berdasarkan pada Medium Term Budget Framework. Selain itu,

anggaran berbasis kinerja memiliki spesifikasi tujuan dan berdasarkan prioritas,

berorientasi pada input, output dan outcome serta adanya pengawasan terhadap

kinerja masing-masing pengguna anggaran.

Anggaran Berbasis Kinerja

Penganggaran merupakan rencana keuangan yang secara sistimatis

menunjukkan alokasi sumber daya manusia, material, dan sumber daya lainnya.

Berbagai variasi dalam sistem penganggaran pemerintah dikembangkan untuk

melayani berbagai tujuan termasuk guna pengendalian keuangan, rencana manajemen,

prioritas dari penggunaan dana dan pertanggungjawaban kepada publik. Penganggaran

berbasis kinerja diantaranya menjadi jawaban untuk digunakan sebagai alat

pengukuran dan pertanggungjawaban kinerja pemerintah.

Penganggaran berbasis kinerja merupakan metode penganggaran bagi

manajemen untuk mengaitkan setiap pendanaan yang dituangkan dalam kegiatan-

kegiatan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam

pencapaian hasil dari keluaran tersebut. Keluaran dan hasil tersebut dituangkan dalam

target kinerja pada setiap unit kerja. Sedangkan bagaimana tujuan itu dicapai,

dituangkan dalam program, diikuti dengan pembiayaan pada setiap tingkat pencapaian

tujuan.

Program pada anggaran berbasis kinerja didefinisikan sebagai instrumen

kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang akan dilaksanakan oleh instansi

pemerintah atau lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan, serta memperoleh

alokasi anggaran atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi

pemerintah. Aktivitas tersebut disusun sebagai cara untuk mencapai kinerja tahunan.

Dengan kata lain, integrasi dari rencana kerja tahunan yang merupakan rencana

operasional dari rencana strategis dan anggaran tahunan merupakan komponen dari

anggaran berbasis kinerja.

Elemen-elemen yang penting untuk diperhatikan dalam penganggaran berbasis

kinerja adalah tujuan anggaran yang disepakati dan ukuran pencapaiannya,

pengumpulan informasi yang sistimatis atas realisasi pencapaian kinerja dapat

diandalkan dan konsisten, sehingga dapat diperbandingkan antara biaya dengan

Page 9: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

9

prestasinya, dan penyediaan informasi secara terus menerus sehingga dapat

digunakan dalam manajemen perencanaan, pemrograman, penganggaran dan

evaluasi.

Kondisi yang harus disiapkan sebagai faktor pemicu keberhasilan implementasi

penggunaan anggaran berbasis kinerja antara lain adalah kepemimpinan dan komitmen

dari seluruh komponen organisasi, fokus pada penyempurnaan administrasi secara

terus menerus, optimalisasi sumber daya yang cukup untuk usaha penyempurnaan

tersebut baik berupa uang, waktu maupun sumber daya manusia, penghargaan

(reward) dan sanksi (punishment) yang jelas dan keinginan yang kuat untuk berhasil

dalam mencapai tujuan pelaksanaan anggaran.

Dalam menyusun anggaran berbasis kinerja terdapat beberapa hal yang perlu

diperhatikan antara lain prinsip-prinsip penganggaran, aktivitas utama dalam

penyusunan anggaran berbasis kinerja dan peranan parlemen dalam hal ini DPR bagi

pemerintah pusat dan DPRD bagi pemerintah daerah dalam persetujuan anggaran.

Prinsip-prinsip penganggaran berbasis kinerja antara lain adalah:

1) Transparansi dan akuntabilitas anggaran

Anggaran harus dapat menyajikan informasi yang jelas mengenai tujuan,

sasaran, hasil, dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek

yang dianggarkan. Anggota masyarakat memiliki hak dan akses yang sama untuk

mengetahui proses anggaran karena menyangkut aspirasi dan kepentingan

masyarakat, terutama pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat.

Masyarakat juga berhak untuk menuntut pertanggungjawaban atas rencana ataupun

pelaksanaan anggaran tersebut.

2) Disiplin anggaran

Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara

rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan. Sedangkan belanja yang

dianggarkan pada setiap pos/pasal merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja.

Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya

penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan melaksanakan

kegiatan/proyek yang belum/tidak tersedia anggarannya. Dengan kata lain, bahwa

penggunaan setiap pos anggaran harus sesuai dengan kegiatan/proyek yang diusulkan

Page 10: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

10

3) Keadilan anggaran

Pemerintah harus mengalokasikan penggunaan anggarannya secara adil agar

dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian

pelayanan, karena pendapatan negara pada hakikatnya diperoleh melalui peran serta

masyarakat secara keseluruhan.

4) Efisiensi dan efektivitas anggaran

Penyusunan anggaran hendaknya dilakukan berlandaskan azas efisiensi, tepat

guna, tepat waktu pelaksanaan, dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan.

Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat

menghasilkan peningkatan dan kesejahteraan yang maksimal untuk kepentingan

stakeholders.

5) Disusun dengan pendekatan kinerja

Anggaran yang disusun dengan pendekatan kinerja mengutamakan upaya

pencapaian hasil kerja (output/outcome) dari perencanaan alokasi biaya atau input

yang telah ditetapkan. Hasil kerjanya harus sepadan atau lebih besar dari biaya atau

input yang telah ditetapkan. Selain itu harus mampu menumbuhkan profesionalisme

kerja di setiap organisasi kerja yang terkait.

Selain prinsip-prinsip secara umum seperti yang telah diuraikan di atas, Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2003 mengamanatkan perubahan-perubahan kunci tentang

penganggaran antara lain adalah:

1). Penerapan pendekatan penganggaran dengan perspektif jangka menengah

(Medium Term Budget Framework)

Pendekatan dengan perspektif jangka menengah memberikan kerangka yang

menyeluruh, meningkatkan keterkaitan antara proses perencanaan dan penganggaran,

mengembangkan disiplin fiskal, mengarahkan alokasi sumber daya agar lebih rasional

dan strategis, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada perguruan tinggi

dengan pemberian pelayanan yang optimal dan lebih efisien.

Dengan melakukan proyeksi jangka menengah, dapat dikurangi ketidakpastian di

masa yang akan datang dalam penyediaan dana untuk membiayai pelaksanaan

berbagai inisiatif kebijakan baru, dalam penganggaran tahunan. Pada saat yang sama,

harus pula dihitung implikasi kebijakan baru tersebut dalam konteks keberlanjutan fiskal

Page 11: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

11

dalam jangka menengah. Cara ini juga memberikan peluang untuk melakukan analisis

apakah pemerintah perlu melakukan perubahan terhadap kebijakan yang ada,

termasuk menghentikan program-program yang tidak efektif, agar kebijakan-kebijakan

baru dapat diakomodasikan.

2). Penerapan penganggaran secara terpadu (unified budget)

Dengan pendekatan ini, semua kegiatan perguruan tinggi disusun secara

terpadu, termasuk mengintegrasikan anggaran belanja rutin dan anggaran belanja

pembangunan. Hal tersebut merupakan tahapan yang diperlukan sebagai bagian upaya

jangka panjang untuk membawa penganggaran menjadi lebih transparan, dan

memudahkan penyusunan dan pelaksanaan anggaran yang berorientasi kinerja. Dalam

kaitan dengan menghitung biaya input dan menaksir kinerja program, sangat penting

untuk mempertimbangkan biaya secara keseluruhan, baik yang bersifat investasi

maupun biaya yang bersifat operasional.

3). Penerapan penganggaran berdasarkan kinerja (performance based budget)

Pendekatan ini memperjelas tujuan dan indikator kinerja sebagai bagian dari

pengembangan sistem penganggaran berdasarkan kinerja. Hal ini akan mendukung

perbaikan efisiensi dan efektivitas dalam pemanfaatan sumber daya dan memperkuat

proses pengambilan keputusan tentang kebijakan dalam kerangka jangka menengah.

Rencana kerja dan anggaran (RKA) yang disusun berdasarkan prestasi kerja

dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dengan

menggunakan sumber daya yang terbatas. Oleh karena itu, program dan kegiatan

pemerintah harus diarahkan untuk mencapai hasil dan keluaran yang telah ditetapkan

sesuai dengan Rencana Kerja Tahunan Pemerintah (RKP) baik pemerintah pusat

maupun pemerintah daerah yang telah ditetapkan.

Aktivitas utama dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja adalah

mendapatkan data kuantitatif dan membuat keputusan penganggarannya. Proses

mendapatkan data kuantitatif bertujuan untuk memperoleh informasi dan pengertian

tentang berbagai program yang menghasilkan output dan outcome yang diharapkan.

Data kuantitatif juga dapat memberikan informasi tentang bagaimana manfaat

setiap program terhadap rencana strategis. Proses pengambilan keputusan harus

melibatkan setiap level dari manajemen pemerintah. Pemilihan dan prioritas program

Page 12: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

12

yang akan dianggarkan akan sangat tergantung pada data tentang target kinerja yang

diharapkan dapat dicapai.

Proses penganggaran sangat menentukan keberhasilan pembangunan. APBN

dan APBD sebagai katalisator pembangunan baik di pusat maupun di daerah akan

memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi apabila

efektif dan efisien dalam pelaksanaannya. Salah satu yang menjadi permasalahan

adalah bagaimana anggaran yang telah disediakan oleh negara dapat diserap dan

dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

Proses Penganggaran di Daerah

Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 (yang telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014) tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-

Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

dan Pemerintah Daerah membuka peluang bagi daerah untuk mengembangkan dan

membangun daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan prioritas masing-masing. Kedua

undang-undang ini membawa konsekuensi bagi daerah dalam bentuk

pertanggungjawaban atas pengalokasian dana yang dimiliki dengan cara yang efektif

dan efisien.

Pengalokasian dana yang efektif mengandung arti bahwa setiap pengeluaran

yang dilakukan pemerintah mengarah pada pencapaian sasaran dan tujuan stratejik

yang dimuat dalam dokumen perencanaan stratejik daerah. Sedangkan, pengalokasian

dana yang efisien mengandung arti bahwa pencapaian sasaran dan tujuan stratejik

tersebut telah menggunakan sumber daya yang paling minimal dengan tetap

mempertahankan tingkat kualitas yang direncanakan. Pengalokasian pengeluaran yang

efektif dan efisien tersebut dapat diwujudkan dengan penerapan performance-based

budgeting dalam penyusunan anggaran pemerintah daerah.

Di Indonesia, berbagai peraturan dan pedoman telah diterbitkan terkait dengan

penerapan penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) pada

pemerintah daerah. Termasuk yang diatur dalamnya adalah pencantuman indikator

kinerja dalam dokumen-dokumen perencanaan dan penganggaran serta penggunaan

indikator kinerja tersebut dalam proses penyusunan anggaran pemerintah. Dokumen-

dokumen tersebut meliputi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

Page 13: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

13

(RPJMD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Kebijakan Umum Anggaran

(KUA) serta Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) pada tingkat pemerintah

daerah (provinsi/kabupaten/kota).

Sementara itu, dokumen-dokumen yang diperlukan dan disusun pada tingkat

satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) meliputi Rencana Stratejik (Renstra) SKPD,

Rencana Kerja (Renja) SKPD dan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD.

Keselarasan antar dokumen-dokumen perencanaan dapat dilihat dari keselarasan

indikator kinerja yang terdapat dalam dokumen-dokumen tersebut.

Pada SKPD, indikator kinerja yang dimuat dalam Renja SKPD haruslah

mendukung pencapaian indikator kinerja yang termuat dalam Renstra SKPD. Dan

selanjutnya, indikator kinerja Renja SKPD harus didukung oleh indikator kinerja yang

dimuat dalam RKA SKPD. Adanya keselarasan indikator kinerja ini secara logis akan

dapat mengaitkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai yang dicantumkan dalam

dokumen 3 perencanaan strategis (Renstra SKPD) dengan kegiatan-kegiatan

operasional yang dilaksanakan SKPD.

Page 14: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

14

BAB III

GAMBARAN UMUM DAERAH SURVEY

DAN REALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

Secara agregat, realisasi penyerapan APBD baik di tingkat propinsi maupun di

tingkat kabupaten/kota menunjukkan pola penyerapan yang sama. Hampir di semua

wilayah, realisasi penyerapan APBD semakin cepat dan tinggi di waktu akhir tahun

anggaran, terutama di triwulan terakhir, terlebih lagi di bulan Desember. Pola tersebut

terjadi setiap tahun dan belum ada perubahan yang berarti. Identifikasi terhadap pola

penyerapan yang ideal juga perlu dilakukan agar kebijakan yang diambil menjadi tepat

sasaran. Apakah pola yang memang terjadi saat ini sudah merupakan pola ideal

ataupun ada pola penyerapan lain yang lebih ideal namun belum dapat dicapai pada

saat ini sehingga diperlukan berbagai langkah dan kebijakan dalam rangka mencapai

pola penyerapan ideal tersebut.

Berdasarkan data yang berasal dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

dari tahun 2011 hingga tahun 2013, realisasi penyerapan belanja APBD hampir

mencapai 100 persen atau sekitar 96 persen dari pagu APBD. Rata-rata realisasi

penyerapan belanja dalam APBD pada tahun 2011 mencapai 98,8 persen. Realisasi

belanja pada tahun 2012 turun menjadi 96,2 persen dan realisasi belanja pada tahun

2013 berada pada tingkat 96,1 persen.

Meskipun realisasi penyerapan APBD secara tahunan menunjukan angka yang

cukup fantastis, yaitu hampir 100 persen terserap, namun jika dilihat dari pola bulanan

dan triwulanan realisasi penyerapan menunjukan angka yang kurang ideal. Realisasi

penyerapan belanja APBD pada bulan Januari berada dikisaran 4 hingga 5 persen.

Sementara itu, realisasi triwulan pertama yang berakhir pada bulan Maret paling tinggi

haya berada pada angka 14 persen yaitu pada tahun 2011, bahkan pada tahun 2014

hanya terserap sekitar 11,7 persen. Ketika data dilihat secara semesteran, kemajuan

penyerapan juga tidak terlihat cukup baik da hanya berkisar atara 33 hingga 34 persen.

Berikut ini adalah grafik rata-rata realisasi APBD tahun 2011-2014.

Page 15: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

15

Grafik 1. Rata-rata Realisasi APBD 2011-2014

Sumber : Direktorat Jederal Perimbangan Keuangan, Kemenkeu

Sementara itu, jika dilihat data realisasi per propinsi didapatkan rata-rata

penyerapan selama triwulan pertama tahun 2014 sebesar 11,7 persen. Realisasi

terendah pada triwulan pertama tahun 2014 adalah Propinsi Kalimantan Utara dengan

angka penyerapan sebesar 2,6 persen, diikuti oleh propinsi Kalimantan Timur sebesar

6,2 persen dan propinsi papua sebesar 8,8 persen. Sedangkan realisasi tertinggi pada

triwula pertama tahun 2014 adalah propinsi Sulawesi Utara dengan realisasi sebesar

18,8 persen, diikuti Propinsi Sulawesi Barat sebesar 17,1 persen dan Propinsi

Gorontalo sekitar 16 persen.

Jika dilihat dari lima propinsi dengan pola penyerapan terbesar pada tahun 2014,

empat propinsi merupakan propinsi yag terletak di pulau Sulawesi, yaitu Sulawesi

Utara, Sulawesi Barat, Gorontalo dan Sulawesi Selatan. Hal ini terjadi apakah karena

suatu faktor kebetulan atau ada faktor lain yang memang mempengaruhi, sehingga

menjadi salah satu faktor yang menarik untuk ditelusuri dan diidentifikasi. Begitu juga

jika dilihat dari lima propinsi dengan realisasi penyerapan terendah, tiga propinsi berada

di pulau Kalimantan, yaitu Kalimantan Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan

Selatan, serta dua propinsi lainnya dari pulau Papua yaitu propinsi Papua dan Papua

Barat. Apakah merupakan suatu kebetulan tiga propinsi di Kalimantan dan dua propinsi

Page 16: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

16

di Papua menjadi propinsi dengan realisasi penyerapan terendah, ataukah ada faktor-

faktor lain yang mempengaruhi dan menjadi penyebabnya sehingga menarik utuk

diidentifikasi penyebabnya. Berikut ini adalah grafik yang menunjukkan realisasi APBD

triwulan pertama tahun 2014.

Grafik 2. Realisasi APBD per Propinsi Triwulan I tahun 2014

Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kemenkeu

Dilihat dari data realisasi diatas, selama 3 tahun terakhir data realisasi baik

bulanan, triwulanan, semesteran maupun tahunan polanya tetap sama dan tidak

mengalami perubahan. berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah dan berbagai

stakeholders lain untuk mempercepat penyerapan seperti dengan pembentukan Tim

Evaluasi Penyerapan Anggaran (Teppa), penyederhanaan aturan dan regulasi maupun

percepatan penerbitan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) serta proses lelang

dapat dimulai di akhir tahun. Namun berbagai langkah dan kebijakan tersebut seperti

tidak dapat merubah pola penyerapan yang masih tetap lambat di awal tahun anggaran

dan menumpuk di belakang.

Sehingga perlu diidentifikasi permasalahan mendasar yang menjadi penyebab

terjadinya kondisi tersebut. Dengan berbagai kebijakan dan terobosan yang telah

dilakukan namun belum dapat merubah prilaku pola penyerapan anggaran sehingga

muncul hipotesis bahwa akar permasalahan nya masih belum dapat diselesaikan.

Page 17: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

17

Survey dalam kajian ini dilakukan di beberapa wilayah, antara lain Kabupaten

Bogor, Kota Bekasi, Kota Tangerang Selatan, Kota Depok, Kota Batam, Propinsi

Kepulauan Riau, Kota Semarang, Propinsi Jawa Tengah, Kabupaten Badung, Propinsi

Bali, Kota Mataram dan Propinsi Nusa Tenggara Barat.

III.1. Propinsi Jawa Tengah

III.1.1. Keadaan Geografi

1. Letak Geografi

Jawa Tengah sebagai salah satu provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua

provinsi besar, yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur. Letaknya antara 5°40' dan

8°30' Lintang Selatan dan antara 108°30' dan 111°30' Bujur Timur (termasuk Pulau

Karimunjawa). Jarak terjauh dari Barat ke Timur adalah 263 km dan dari Utara ke

Selatan 226 km (tidak termasuk Pulau Karimunjawa).

2. Luas Penggunaan Lahan

Provinsi Jawa Tengah terbagi menjadi 29 kabupaten dan 6 kota. Luas wilayah

Jawa Tengah pada tahun 2010 tercatat sebesar 3,25 juta hektar atau sekitar 25,04

persen dari luas Pulau Jawa (1,70 persen dari luas Indonesia). Luas yang ada, terdiri

dari 992 ribu hektar (30,47 persen) lahan sawah dan 2,26 juta hektar (69,53

persen) bukan lahan sawah. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya,

luas lahan sawah tahun 2010 turun sebesar 0,013 persen, sebaliknya luas bukan lahan

sawah naik sebesar 0,006 persen.

Menurut penggunaannya, persentase lahan sawah yang berpengairan teknis

adalah 39,03 persen, tadah hujan 27,47 persen dan lainnya berpengairan setengah

teknis, sederhana, dan lain-lain. Dengan menggunakan teknik irigasi yang baik, potensi

lahan sawah yang dapat ditanami padi lebih dari dua kali sebesar 78,70 persen.

Berikutnya, lahan kering yang dipakai untuk tegal/kebun sebesar 31,83 persen dari total

bukan lahan sawah. Persentase itu merupakan yang terbesar, dibanding persentase

penggunaan bukan lahan sawah lain.

3. Keadaan Iklim

Page 18: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

18

Menurut Stasiun Klimatologi Klas I Semarang, suhu udara rata-rata di Jawa

Tengah tahun 2014 berkisar antara 23°C sampai dengan 28°C. Tempat - tempat yang

letaknya berdekatan dengan pantai mempunyai suhu udara rata-rata relatif tinggi. Untuk

kelembaban udara rata-rata bervariasi, dari 80 persen sampai dengan 88 persen.

Curah hujan tertinggi tercatat di Stasiun Meteorologi Sempor, Kebumen yaitu sebesar

1.320 mm dan hari hujan terbanyak tercatat di Stasiun SMPK,Borobudur,Magelang 64

hari.

III.1.2. Penduduk Dan Ketenagakerjaan

1. Kependudukan

Berdasarkan Angka Sementara Proyeksi Sensus Penduduk (SP) 2010, jumlah

penduduk Jawa Tengah pada tahun 2014 tercatat sebesar 33,52 juta jiwa sekitar

13,29 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Ini menempatkan Jawa Tengah sebagai

provinsi ketiga di Indonesia dengan jumlah penduduk terbanyak setelah Jawa Barat dan

Jawa Timur. Jumlah penduduk perempuan lebih besar dibandingkan jumlah penduduk

laki-laki. Ini ditunjukkan oleh rasio jenis kelamin (rasio jumlah penduduk laki-laki

terhadap jumlah penduduk perempuan) sebesar 98,41 persen.

Penduduk Jawa Tengah belum menyebar secara merata di seluruh

wilayah Jawa Tengah. Umumnya penduduk banyak menumpuk di daerah kota

dibandingkan kabupaten. Secara rata-rata kepadatan penduduk Jawa Tengah tahun

2014 tercatat sebesar 1.030 jiwa setiap kilometer persegi, dan wilayah terpadat adalah

Kota Surakarta dengan tingkat kepadatan lebih dari 11 ribu orang setiap kilometer

persegi. Jumlah rumahtangga sebesar 9,0 juta pada tahun 2014 sedangkan rata-rata

penduduk per rumahtangga di Jawa Tengah tercatat sebesar 3,7 jiwa.

2. Keluarga Berencana

Peserta KB aktif di Jawa Tengah pada tahun 2014 mencapai 5,31 juta. Pada

tahun yang sama, peserta KB baru tercatat sebesar 934 ribu peserta. Suntik

merupakan metoda kontrasepsi yang paling banyak diminati peserta KB aktif dan KB

Baru.

Page 19: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

19

3. Ketenagakerjaan

Tenaga kerja yang terampil merupakan potensi sumberdaya manusia yang

sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan menyongsong era globalisasi. BPS

merujuk pada konsep/definisi ketenagakerjaan yang direkomendasikan oleh

International Labour Organization (ILO). Penduduk usia kerja didefinisikan sebagai

penduduk yang berumur 15 tahun ke atas, dan dibedakan sebagai Angkatan Kerja dan

bukan Angkatan Kerja. Pertumbuhan penduduk tiap tahun akan berpengaruh

terhadap pertumbuhan angkatan kerja.

Berdasarkan hasil Sakernas, angkatan kerja di Jawa Tengah tahun 2014

mencapai 17,55 juta orang atau naik sebesar 3,30 persen dibanding tahun sebelumnya.

Tingkat partisipasi angkatan kerja penduduk Jawa Tengah tercatat sebesar 70,72

persen. Sedangkan angka pengangguran terbuka di Jawa Tengah sebesar 6,02

persen.

Bila dibedakan menurut status pekerjaan utamanya, buruh/karyawan sebesar

31,83 persen. Status pekerjaan ini lebih besar dibanding status pekerjaan lain.

Sedangkan berusaha sendiri tanpa dibantu orang lain, berusaha dengan dibantu buruh

tidak tetap, berusaha sendiri dibantu buruh tetap dan pekerja lainnya masing-masing

tercatat sebesar 16,06 persen, 19,91 persen, 3,27 persen dan 28,93 persen.

Sektor pertanian menyerap sekitar 30,86 persen pekerja dan merupakan

sektor terbanyak menyerap pekerja. Hal ini dikarenakan sektor tersebut tidak

memerlukan pendidikan khusus. Sektor berikutnya yaitu sektor perdagangan dan sektor

industri, masing-masing menyerap tenaga kerja sebesar 22,46 persen dan 19,07

persen.

4. Transmigrasi

Salah satu upaya untuk mengatasi terbatasnya kesempatan kerja antara lain

melalui program transmigrasi. Di Jawa Tengah tercatat sebanyak 122 kepala keluarga

transmigran pada tahun 2014 atau turun 74,00 persen bila dibandingkan tahun

sebelumnya. Mereka berasal dari hampir semua daerah kabupaten/kota dan yang

terbanyak berasal dari Kabupaten Grobogan (5,74 persen).

Page 20: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

20

Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan merupakan daerah tujuan yang

paling banyak diminati transmigran asal Jawa Tengah. Jumlah keluarga yang berangkat

ke daerah tersebut masing-masing sebanyak 30 keluarga (24,60 persen), selebihnya

tersebar di Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Sulawesi

Barat.

III.1.3. Keuangan Dan Harga-Harga

1. Keuangan Daerah

Realisasi pendapatan asli daerah pada tahun anggaran 2014 terhimpun sekitar

9,91 trilyun rupiah naik sekitar 30,64 persen dibandingkan tahun anggaran sebelumnya.

Pajak daerah memberikan kontribusi paling tinggi yaitu sebesar 8,21 trilyun rupiah atau

sekitar 82,82 persen dari total pendapatan asli daerah.

2. Investasi

Perkembangan perekonomian daerah, tidak lepas dari peranan investasi yang

ditanamkan di Jawa Tengah, dimana realisasi investasi pada tahun 2014 penanaman

modal daerah dalam negeri (PMDN) sebanyak 20 proyek dengan total investasi

sebesar 3.142 milyar rupiah dengan tenaga kerja yang diserap sebanyak 13.072 orang.

Untuk Penanaman Modal Asing (PMA), sebanyak 58 proyek dan mampu menyerap

tenaga kerja sebanyak 25.011 orang dengan nilai investasi sebesar 3.788 milyar rupiah

dan 248.693 ribu USD.

3. Harga-harga

Informasi inflasi merupakan salah satu tolok ukur kestabilan perekonomian

daerah. Tingkat inflasi Kota Semarang untuk tahun kalender 2014 (8,53 persen), lebih

tinggi dibandingkan dengan tingkat inflasi nasional (8,36 persen). Ini menunjukkan

bahwa tingkat perubahan harga yang terjadi di Semarang lebih tinggi dibandingkan

perubahan harga secara nasional. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya

angka inflasi Kota Semarang lebih tinggi, dari 8,19 persen pada tahun 2014

menjadi 8,53 persen pada tahun 2014.

Besarnya angka inflasi dipengaruhi oleh perubahan harga menurut kelompok

barang. Secara umum indeks harga masing- masing kelompok barang pada tahun 2014

Page 21: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

21

lebih tinggi bila dibandingkan tahun sebelumnya. Angka inflasi pada tahun 2014

terutama karena meningkatnya harga kelompok bahan makanan sebesar 12,52

persen. Kenaikan indeks terendah tercatat pada kelompok sandang sebesar

2.32 persen.

Gambaran untuk melihat tingkat kesejahteraan petani, ditunjukkan oleh

Nilai Tukar Petani (NTP) dalam persentase, yaitu rasio antara indeks harga yang

diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani. NTP Jawa Tengah tahun

2014 menggunakan tahun dasar 2007. Angka di atas 100 berarti tingkat kesejahteraan

petani mulai tahun tersebut lebih baik dibandingkan tingkat kesejahteraan petani pada

tahun dasar 2007. Pada tahun 2014 NTP Jawa Tengah Bulan Januari sampai

Desember mempunyai angka di atas 100, berarti bahwa tingkat kesejahteraan petani

berada di atas tingkat kesejahteraan petani pada tahun dasar 2007.

III.1.4. Pendapatan Regional

1. PDRB Jawa Tengah menurut Sektor

Pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah tahun 2014 yang ditunjukkan oleh laju

pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan

2000, lebih tinggi dari tahun sebelumnya, yaitu 5,42 persen (2014 = 5,14 persen).

Pertumbuhan riil sektoral tahun 2014 mengalami fluktuasi dari tahun sebelumnya.

Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor Informasi dan Komunikasi sebesar

13,00 persen, namun peranannya terhadap PDRB hanya sekitar 3,07 persen.

Sektor pertanian mengalami pertumbuhan yang paling rendah pada tahun

2014, yaitu sebesar -2,95 persen.

Sektor industri pengolahan masih memberikan sumbangan tertinggi terhadap

ekonomi Jawa Tengah yaitu sebesar 36,31persen, dengan laju pertumbuhan sebesar

8,04 persen. Sektor perdagangan Besar dan Eceran,Reparasi Mobil dan Sepeda Motor

yang juga merupakan sektor dominan memberikan sumbangan bagi perekonomian

Jawa Tengah sebesar 13,44 persen dengan pertumbuhan riil sebesar 4,35 persen.

Sektor pertanian mengalami pertumbuhan sebesar - 2,95 persen, masih mempunyai

peranan yang cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi, karena mampu

memberi andil sebesar 14,78 persen.

Page 22: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

22

Dari angka-angka indeks implisit PDRB, dapat diketahui kenaikan harga dari

waktu ke waktu baik secara agregat maupun secara sektoral. Secara agregat indeks

implisit di Jawa Tengah tahun 2014 sebesar 120,80. Sedangkan secara sektoral,

pertumbuhan indeks implisit yang paling cepat atau di atas angka rata-rata indeks

implisit Jawa Tengah pada tahun 2014 terjadi pada sektor Jasa Pendidikan sebesar

140,74 persen. Sektor lain yang perkembangan indeks implisitnya paling lamban adalah

Informasi dan Komunikasi yaitu sebesar 94,27 persen.

2. PDRB Jawa Tengah menurut Komponen Penggunaan

PDRB menurut komponen penggunaan terdiri dari konsumsi rumahtangga,

konsumsi pemerintah, pembentukan modal serta ekspor dan impor barang dan

jasa. PDRB dari sudut penggunaan yang terbesar adalah untuk pengeluaran konsumsi

rumah tangga.

Menurut harga berlaku, konsumsi rumahtangga tahun 2014 mempunyai

konstribusi 64,03 persen dari total PDRB Provinsi Jawa Tengah atau senilai 592.695,6

milyar rupiah. Dibandingkan tahun sebelumnya nilai tersebut naik 10,90

persen. Jika didasarkan harga konstan 2000 nilainya mencapai 464.155,2 milyar rupiah,

naik sebesar 4,15 persen dari tahun 2014.

Konsumsi pemerintah yang dipakai untuk penyelenggaraan pemerintah pusat

dan daerah serta pertahanan dan keamanan, tahun 2014 atas dasar harga berlaku

sebesar 69.276,2 milyar rupiah, naik menjadi 76.604,2 milyar rupiah pada tahun 2014

atau meningkat 10,57 persen. Jika diukur berdasarkan harga konstan 2000, konsumsi

pemerintah tahun 2014 naik 2,85 persen dari tahun 2014.

Penggunaan lain yang cukup besar dari Produk Domestik Regional Bruto adalah

untuk pembentukan modal tetap bruto (PMTB). Menurut harga berlaku, tahun 2014

mencapai 273.585,2 milyar rupiah, dan sebesar 220.009,4 milyar rupiah atas dasar

harga konstan 2000. PMTB atas dasar harga berlaku meningkat sebesar 12,97 persen,

sementara atas dasar harga konstan 2000 naik 4,16 persen.

Investasi yang ditanamkan di berbagai sektor ekonomi berhasil meningkatkan

produksi. Meningkatnya produksi akan lebih mendorong ekspor. Nilai ekspor yang

Page 23: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

23

dicapai Jawa Tengah pada tahun 2014 sebesar 70.362,2 milyar rupiah, meningkat

menjadi 83.686,7 milyar rupiah pada tahun 2014. Nilai impor barang dan jasa masih di

atas kegiatan ekspor. Pada tahun 2014, nilai impor atas dasar harga berlaku mencapai

220.421,2 milyar rupiah, naik 17,99 persen dari tahun sebelumnya.

III.1.5. Pengeluaran Konsumsi Per Kapita

Besarnya pendapatan yang diterima rumah tangga dapat menggambarkan

kesejahteraan suatu masyarakat. Namun data pendapatan yang akurat sulit diperoleh,

sehingga dalam kegiatan Susenas data ini didekati melalui data pengeluaran rumah

tangga. Pengeluaran rumah tangga yang terdiri dari pengeluaran makanan dan bukan

makanan dapat menggambarkan bagaimana penduduk mengalokasikan kebutuhan

rumah tangganya. Walaupun harga antar daerah berbeda, namun nilai pengeluaran

rumah tangga masih dapat menunjukkan perbedaan tingkat kesejahteraan

penduduk antar provinsi khususnya dilihat dari segi ekonomi.

Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk Jawa Tengah tahun 2014

tercatat sebesar 622.904 rupiah. Rata-rata pengeluaran di daerah perkotaan lebih tinggi

dibandingkan di perdesaan, yakni 717.518 rupiah berbanding 542.735 rupiah.

Dengan kata lain, rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di perdesaan hanya

75,64 persen dari pengeluaran di daerah perkotaan.

Tahun 2014, sebesar 46,74 persen pengeluaran per kapita di perkotaan

digunakan untuk kebutuhan makanan, sedangkan di perdesaan tercatat sebesar 54,42

persen. Dibandingkan tahun 2014, terlihat adanya kenaikan

persentase pengeluaran untuk konsumsi makanan di perkotaan dan adanya

penurunan persentase pengeluaran untuk konsumsi makanan di pedesaan. Pada tahun

tersebut, persentase pengeluaran untuk konsumsi makanan di perkotaan dan

perdesaan masing-masing 45,66 dan 54,61 persen.

III.2. Propinsi Kepulauan Riau

III.2.1 Karakteristik Lokasi dan Wilayah Provinsi K epulauan Riau

Provinsi Kepulauan Riau terletak antara 0o29’ Lintang Selatan dan 04o40’ Lintang

Utara serta antara 103o22’ Bujur Timur sampai dengan 109o4’ Bujur Timur. Sejak tahun

Page 24: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

24

2008, Provinsi Kepulauan Riau terbagi menjadi 5 Kabupaten dan 2 Kota, yaitu

Kabupaten Karimun, Kabupaten Bintan, Kabupaten Natuna, Kabupaten Lingga,

Kabupaten Kepulauan Anambas serta Kota Batam dan Kota Tanjungpinang. Provinsi

Kepulauan Riau merupakan salah satu provinsi bahari di Republik Indonesia. Provinsi

Kepulauan Riau dikelilingi laut dan daratannya terdiri dari banyak gugusan pulau.

Berdasarkan hasil identifikasi Bakosurtanal, tercatat 394 pulau berpenghuni sedangkan

1.401 lainnya belum berpenghuni. Gugusan pulau besar dan kecil tersebar di seluruh

wilayah provinsi, Lingga tercatat memiliki jumlah pulau terbanyak yaitu 531 pulau

dimana 455 pulau belum dihuni dan sebanyak 76 pulau telah dihuni. Sementara hanya

9 pulau di Kota Tanjungpinang dengan 2 pulau sudah berpenghuni.

Beberapa pulau di Provinsi Kepulauan Riau berukuran relatif besar. Pulau Bintan

adalah salah satu diantaranya dimana terdapat kedudukan Ibukota Provinsi,

Tanjungpinang. Selain itu ada juga Pulau Batam yang merupakan Pusat

Pengembangan Industri dan Perdagangan, dengan Pulau Rempang dan Galang

(Barelang) sebagai kawasan perluasan wilayah industri Batam. Selanjutnya adalah

Pulau Karimun dan Pulau Kundur yang menjadi pusat perekono-mian hampir sebagian

besar masyarakat Kabupaten Karimun. Lalu ada juga Pulau Lingga di Kabupaten

Lingga. Kemudian Pulau Natuna serta gugusan Kepulauan Anambas yang merupakan

lokasi kegiatan pengembangan mega proyek gas alam cair.

Sebagai salah satu provinsi yang berada di daerah perbatasan negara yang

berbatasan langsung dengan beberapa negara ASEAN, Provinsi Kepulauan Riau

memiliki posisi yang sangat strategis. Selain itu Kepulauan Riau pun juga berbatasan

langsung dengan beberapa provinsi lainnya di Indonesia Batas-batas wilayah tersebut

meliputi:

• Batas Utara : Vietnam dan Kamboja

• Batas Selatan : Sumatera Selatan dan Jambi

• Batas Barat : Singapura, Malaysia dan Riau

• Batas Timur : Malaysia Timur dan Kalimantan Barat

Page 25: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

25

Dengan kondisi tersebut, tentunya memerlukan penanganan khusus terkait

dengan otoritas batas wilayah daerah, terutama yang berbatasan langsung dengan

negara lain. Luas wilayah Provinsi Kepulauan Riau adalah 251.810,71 Km2. Namun

sebagai daerah kepulauan, luas lautan yang dimiliki Provinsi Kepulauan Riau sekitar

95,79 persen atau seluas 241.215,30 Km2. Sedangkan sisanya sebesar 4,21 persen

atau seluas 10.595,41 Km2 adalah daratan. Kabupaten Karimun memiliki daratan

terbesar dengan persentase sebesar 27,12 persen dari luas daratan Provinsi

Kepulauan Riau atau seluas 2.873,20 Km2, diikuti Lingga 19,99 persen (2.117,72 Km2)

dan Bintan sebesar 18,36 persen (1.946,13 Km2). Kota Batam dan Kota Tanjungpinang

hanya memiliki persentase luas masing-masing sebesar 7,27 persen (770,27 Km2) dan

2,26 persen (239,20 Km2), namun merupakan sentra kegiatan hampir seluruh

perekonomian di Kepulauan Riau. Bahkan Batam merupakan pusat perindustrian

berskala international. Selanjutnya adalah Kabupaten Natuna yang luasnya 19,43

persen (2.058,45 Km2) dan Kabupaten Kepulauan Anambas dengan luas sekitar 5,57

persen (590,14 Km2).

III.2.2 Kependudukan

Pembangunan di Provinsi Kepulauan Riau yang saat ini berjalan belum merata,

hal tersebut dapat dilihat dari aktivitas ekonomi yang terjadi di Provinsi Kepulauan Riau

yang masih banyak terjadi di daerah perkotaan. Kondisi tersebut tentunya secara tidak

langsung menyebabkan tidak meratanya konsentrasi penduduk yang ada di Kepulauan

Riau. Indikator dalam melihat hal tersebut adalah dengan melihat kepadatan penduduk

di tiap Kabupaten/Kota.

Kepadatan penduduk yang terbesar ada di Kota Tanjungpinang dengan

kepadatan penduduk sebesar 833 jiwa/km2 , hal tersebut dikarenakan luas daratan

Kota Tanjungpinang yang tergolong kecil jika dibandingkan dengan Kabupaten/ Kota

Lainnya. Penyebab tingginya kepadatan Kota Tanjungpinang dikarenakan Kota

Tanjungpinang merupakan Ibu Kota Provinsi dimana kini terdapat pusat pemerintahan

yang secara tidak langsung juga dapat meningkatkan aktivitas ekonomi yang terjadi di

Kota Tanjungpinang, disamping juga aktivitas ekonomi lainnya yang juga meningkat.

Sedangkan kepadatan penduduk yang paling kecil ada di Kabupaten Natuna dengan

Page 26: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

26

kepadatan penduduk sebesar 27 jiwa, hal ini dpat dikarenakan Kabupaten Natuna

mempunyai luas daratan yang cukup besar dan jumlah penduduk yang masih sedikit.

Faktor letak geografis Natuna juga sedikit menjadi persoalan dimana akses ke

Kabupaten Natuna masih minim. Untuk melihat gambaran kepadatan penduduk di

Provinsi Kepulauan Riau dapat dilihat seperti tabel berikut ini

Grafik 3. Luas Daratan, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut

Kabupaten/Kota Tahun 2012

Kota Batam menjadi daerah yang memiliki penduduk terbanyak di Provinsi

Kepulauan Riau. Lebih dari setengah penduduk Provinsi Kepulauan Riau berada di

Kota Batam. Baik jumlah penduduk laki-laki maupun perempuan. Hal ini terjadi karena

pertumbuhan ekonomi dan industri yang sangat pesat di Kota Batam membuat kota ini

menjadi kota yang banyak didatangi orang untuk mencari pekerjaan (migrasi

penduduk). Kota Batam mempunyai tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi,

sedangkan Rasio Jenis kelamin di Kota Batam 104,60 yang berarti lebih banyak

penduduk laki-laki daripada penduduk perempuan.

III.2.3. Keuangan Daerah

Page 27: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

27

Berdasarkan data dari Badan Keuangan dan Kekayaan Daerah Provinsi

Kepulauan Riau, pada tahun anggaran 2013 penerimaan APBD Provinsi Kepulauan

Riau naik dari 2,04 triliun rupiah pada 2012 menjadi 2,84 triliun rupiah pada 2013.

Penerimaan APBD yang tertinggi disumbang oleh Bagi Hasil Pajak sebesar 37,31

persen atau 1,06 triliun rupiah, disusul dari Pajak Daerah 29,97 persen atau senilai

852,19 miliar rupiah. Sehingga dari kedua sumber pemasukan tersebut menyumbang

67,28 persen dari total APBD Provinsi Kepulauan Riau. Demikian juga dengan

anggaran belanja daerah yang meningkat dari 2,39 triliun rupiah pada 2012 menjadi

2,72 triliun rupiah pada 2013. Tercacat Belanja Tidak Langsung sebesar 1,20 triliun

rupiah dan Belanja Langsung sebesar 1,52 triliun rupiah. Data Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah selengkapnya disajikan pada Tabel dan Tabel yang dimuat

dalam publikasi Badan Pusat Statistik berikut.

Realisasi Anggaran Pendapatan Daerah Provinsi Kepri

Tahun Anggaran 2012—2013 (000 Rp)

Perkembangan Anggaran Belanja dan Pembiayaan Daerah Provinsi Kepri

Page 28: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

28

Tahun Anggaran 2012—2013 (000 Rp)

III.3. Propinsi Nusa Tenggara Barat

III.3.1. Letak Geografis

Provinsi Nusa Tenggara Barat terdiri atas 2 (dua) pulau besar yaitu Pulau

Lombok dan Pulau Sumbawa dan ratusan pulau-pulau kecil. Dari 279 pulau yang ada,

terdapat 44 pulau yang telah berpenghuni. Luas wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

mencapai 20.153,20 km2. Terletak antara 115046’-11905’ Bujur Timur dan 8010’-905’

Lintang Selatan.

Luas Pulau Sumbawa mencapai 15.414,5 km2 (76,49 %) atau 2/3 dari luas

Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan luas Pulau Lombok hanya mencapai 1/3 saja. Pusat

pemerintahan Provinsi NTB terdapat di Kota Mataram Pulau Lombok. Selong

merupakan kota yang mempunyai ketinggian paling tinggi, yaitu 166 mdpl sementara

Taliwang terendah dengan 11 mdpl. Kota Mataram sebagai tempat Ibukota Provinsi

NTB memiliki ketinggian 27 mdpl. Dari tujuh gunung yang ada di Pulau Lombok,

Gunung Rinjani merupakan tertinggi dengan ketinggian 3.726 mdpl, sedangkan Gunung

Tambora merupakan gunung tertinggi di Sumbawa dengan ketinggian 2.851 mdpl dari

sembilan gunung yang ada.

Keadaan Alam

Page 29: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

29

Menurut data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG),

temperatur maksimum pada tahun 2014 berkisar antara 30,10C– 35,80C, dan

temperatur minimum berkisar antara 20,50C – 24,90C. Temperatur tertinggi terjadi

pada bulan November dan terendah pada bulan Agustus.

Provinsi Nusa Tenggara Barat mempunyai kelembaban yang relatif tinggi, yaitu

antara 65-87 persen, dengan kecepatan angin rata-rata mencapai kisaran 2 - 6 Knots

dan kecepatan angin maksimum mencapai 13 Knots. Jumlah hari hujan terendah yaitu

0 hari pada bulan Agustus dan September dan yang terbanyak adalah pada bulan

Januari dengan jumlah 24 hari.

III.3.2. Penduduk, Tenaga Kerja, Dan Transmigrasi

Penduduk

Berdasarkan data Proyeksi Penduduk tahun 2010 - 2020 jumlah penduduk Nusa

Tenggara Barat Tahun 2014 mencapai 4.773.795 jiwa. Dengan rincian, laki-laki

sebanyak 2.315.234 jiwa dan perempuan sebanyak 2.458.561 jiwa, dengan rasio jenis

kelamin sebesar 94,17. Jumlah penduduk terbesar terdapat di Kabupaten Lombok

Timur dan yang terkecil di Kabupaten Sumbawa Barat. Jumlah rumahtangga di Provinsi

NTB adalah 1.327.948 rumahtangga dengan rata-rata anggota rumahtangga sebesar

3,68 orang.

Bila dilihat menurut kelompok umur. komposisi penduduk Provinsi NTB

berbentuk pyramid dengan komposisi penduduk terbanyak pada umur 0 - 4 tahun yaitu

sebanyak 508.589 jiwa. terkecil pada kelompok umur 60 – 64 tahun.

Tenaga Kerja

Jumlah penduduk NTB berumur 15 tahun ke atas mencapai 3.334.651 orang.

Penduduk yang bekerja mencapai 2.094.100 orang (62,80%). Sekolah 321.386 orang.

Mengurus Rumah Tangga 637.573 orang dan sisanya mencari pekerjaan dan

penerima pendapatan. Jumlah penduduk yang mencari pekerjaan berdasarkan

Susenas mencapai 127.710 orang. Berdasarkan data yang bersumber dari Dinas

Tenaga Kerja Provinsi NTB. pada tahun 2014 jumlah pencari kerja yang terdaftar di

Provinsi NTB sebanyak 76.271 orang, terdiri dari 47.561 laki- laki dan 28.210

Page 30: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

30

perempuan. Dari jumlah tersebut yang sudah ditempatkan atau mendapatkan pekerjaan

sebanyak 52.403 orang yang didominasi oleh tenaga kerja lulusan SMU mencapai

36,79 persen (atau 19.277 orang).

Jumlah TKI yang terdaftar hingga tahun 2014 telah mencapai 46.187 orang

dengan komposisi 78,42 persen laki-laki. Kalau dilihat menurut jabatan/bidang

pekerjaan terbanyak yaitu sebesar 36.005 orang bekerja di ladang dan 633

orang sebagai pembantu rumah tangga. Dilihat menurut Negara tujuan TKI resmi asal

Provinsi NTB paling banyak bekerja di Malaysia Barat dan Oman, masing- masing

sebanyak 37.398 orang dan 4.668 orang. Jumlah pegawai negeri sipil (PNS)

Pemerintah Provinsi NTB pada triwulan I 2015 sebanyak 7.046 orang. yang terdiri dari

226 orang golongan I. 2.502 orang golongan II. 3.656 orang golongan III dan sebanyak

662 orang golongan IV.

Transmigrasi

Jumlah Transmigran dari NTB pada tahun 2014 mengalami penurunan dari

tahun 2013. Bila Pada tahun 2013, transmigran asal NTB berjumlah 1.101 jiwa dengan

360 kepala keluarga maka itu pada tahun 2014 berjumlah 378 jiwa dengan 95 kepala

keluarga.

III.3.3. Keuangan Dan Harga-Harga

Keuangan Pemerintah Daerah

Dari rencana penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi NTB pada

tahun 2014 ditargetkan sebesar Rp. 1.194,26 milyar, hanya terealisasi sebesar Rp.

1.098,87 milyar. Secara umum, persentase realisasi penerimaan terhadap anggaran

penerimaan daerah Provinsi NTB tahun 2014 hanya mencapai 92,01 persen.

Bila dilihat menurut kabupaten/ kota, Kabupaten Lombok Timur memiliki

anggaran PAD terbesar, yaitu Rp. 205,52 milyar. Sedangkan yang terkecil adalah

anggaran PAD Kota Bima, sebesar Rp. 24,72 milyar.

Perbankan, Investasi, dan Koperasi

Page 31: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

31

Jumlah bank di NTB tahun 2014 sebanyak 53 buah, yang terdiri dari 24 Bank Umum

dan 29 Bank Perkreditan Rakyat dengan jumlah kantor sebanyak 291 buah. Jumlah

penabung hingga 2014 telah mencapai 2.528.886 orang/unit dengan rincian sebanyak

1.858.515 orang/unit pada bank pemerintah dan sisanya pada bank swasta dan BPR.

Jumlah dana yang disimpan pada ketiga jenis bank tersebut baik pemerintah, swasta

dan BPR hingga tahun 2014 mencapai 17,17 trilliun. Jumlah kredit yang dikucurkan

oleh bank pada tahun 2014 mencapai 26,76 trilliun dengan komposisi terbesar adalah

kredit yang penggunaannya untuk konsumsi.

Indeks Harga

Secara umum, laju inflasi Gabungan tertinggi pada tahun 2014 terjadi pada

Bulan Desember yaitu sebesar 2,21 dan yang terendah terjadi di bulan Maret sebesar -

0,38. Deflasi terjadi sebanyak dua kali, yaitu di bulan Maret dan April. Secara umum

inflasi pada tahun 2014 mencapai 7,23 persen. Secaranasional inflasi tahun 2014

mencapai 8,36 persen.

Dengan terjadinya inflasi tersebut, harga- harga barang dan jasa pada tahun

2014 cenderung mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya. Peningkatan harga yang

paling tinggi dialami oleh kelompok transportasi dan komunikasi akibat kenaikan harga

BBM.

Page 32: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

32

BAB IV

HASIL ANALISIS

Berdasarkan beberapa hasil penelitian sebelumnya, terdapat beberapa faktor

yang mempengaruhi penumpukan anggaran di daerah. Faktor-faktor tersebut antara

lain tersedia dan terpenuhinya dokumen perencanaan, pencatatan administrasi dan

kompetensi sumber daya manusia. Terkait permasalahan perencanaan, program kerja

dan kegiatan merupakan hal yang sangat penting dalam perencanaan. Perencanaan

program kerja dan kegiatan menjadi satu kesatuan dengan perencanaan anggaran,

sehingga program kerja dan kegiatan yang direncanakan akan sesuai dengan

kemampuan pembiayaan yang tersedia. Oleh karena itu perencanaan pembangunan

daerah harus dilengkapi dengan dokumen perencanaan.

IV.1. Faktor Perencanaan

Berdasarkan sistem penganggaran yang dianut saat ini yang menghasilkan

produk dokumen anggaran berupa rencana kerja SKPD di daerah dan RKA-KL di pusat

serta sistem perencanaan yang menghasilkan produk dokumen perencanaan berupa

Rencana Kerja Pemerintah (RKP) di Pemerintah Pusat dan RKPD di Pemerintah

Daerah, sudah seharusnya terdapat benang merah secara substansi atas kedua produk

tersebut yaitu dokumen perencanaan dan dokumen penganggaran.

Segala sesuatu yang tertuang dalam dokumen perencanaan beserta seluruh

informasi yang berada di dalamnya seperti outcome dan indikator kinerja pada tingkat

program atau kegiatan sudah seharusnya dapat dioperasionalkan dalam dokumen

penganggaran. Namun hal tersebut tidak terlihat selama ini. Hal ini disebabkan oleh

masih sering terjadi adanya anggaran kegiatan yang diblokir dan tidak dapat dicairkan

sehingga menyebabkan perencanaan-perencanaan yang sudah tertuang secara

matang didalam dokumen perencanaan perlu dilakukan revisi. Sehingga dapat

dikatakan bahwa keterkaitan yang ada pada kedua dokumen perencanaan dan

penganggaran tersebut hanya sebatas pada nama program dan kegiatan. Berdasarkan

permasalahan ketidaksinkronan antara perencanaan dan penganggaran tersebut maka

Page 33: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

33

terlihat dengan jelas bahwa faktor dokumen perencanaan memiliki hubungan yang

sangat erat dengan penyerapan anggaran.

Tahap Perencanaan APBD

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan

Keuangan Daerah, proses perencanaan dan penyusunan APBD dapat diuraikan dalam

beberapa langkah sebagai berikut: (i) penyusunan rencana kerja pemerintah daerah,

(ii) penyusunan rancangan kebijakan umum APBD serta prioritas dan plafon anggaran

sementara, (iii) penyusunan rencana kerja dan anggaran SKPD, (iv) penyusunan

rancangan perda APBD, dan (v) penetapan APBD.

Tahap pertama yang dilakukan adalah menyusun rencana kerja pemerintah

daerah (RKPD). Rencana kerja pemerintah daerah merupakan dasar penyusunan

APBD yang disusun berdasarkan program kerja tahunan pemerintah daerah. Jika dilihat

dari waktu pelaksanaan perencanaan, terdapat tiga kategori perencanaan yang dibuat

oleh pemda, yaitu Rencana Jangka Panjang Daerah (RPJPD) yang merupakan

perencanaan pemerintah daerah untuk periode 20 tahun, Rencana Jangka Menengah

Daerah (RPJMD) yang merupakan perencanaan pemerintah daerah untuk periode 5

tahun dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang merupakan perencanaan

tahunan daerah. Sedangkan perencanaan di tingkat SKPD terdiri dari Rencana Strategi

(Renstra) SKPD merupakan rencana untuk periode 5 tahun, dan Rencana Kerja (Renja)

SKPD merupakan rencana kerja tahunan SKPD.

Proses penyusunan perencanaan di tingkat SKPD Pemda secara kronologis

dapat diuraikan sebagai berikut:

1. SKPD menyusun rencana strategis (Renstra-SKPD) yang memuat visi, misi,

tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang bersifat

indikatif sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.

2. Penyusunan Renstra-SKPD dimaksud berpedoman pada rencana pembangunan

jangka menengah daerah (RPJMD). RPJMD memuat arah kebijakan keuangan

daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program SKPD,

lintas SKPD, dan program kewilayahan.

Page 34: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

34

3. Pemda menyusun rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) yang merupakan

penjabaran dari RPJMD dengan menggunakan bahan dari Renja SKPD untuk

jangka waktu satu tahun yang mengacu kepada Renja Pemerintah.

4. Renja SKPD merupakan penjabaran dari Renstra SKPD yang disusun

berdasarkan evaluasi pencapaian pelaksanaan program dan kegiatan tahun-

tahun sebelumnya.

5. RKPD memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas, pembangunan

dan kewajiban daerah, rencana kerja yang terukur dan pendanaannya, baik yang

dilaksanakan langsung oleh pemda maupun ditempuh dengan mendorong

partisipasi masyarakat.

6. Kewajiban daerah sebagaimana dimaksud di atas adalah mempertimbangkan

prestasi capaian standar pelayanan minimal sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

7. RKPD disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,

penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan.

8. Penyusunan RKPD diselesaikan selambat-lambatnya akhir bulan Mei tahun

anggaran sebelumnya.

9. RKPD ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.

Tahap kedua perencanaan anggaran yang dilakukan oleh Pemda adalah

melakukan penyusunan Kebijakan Umum APBD serta Prioritas dan Plafon Anggaran

Sementara (KUA-PPAS). KUA-PPAS adalah suatu jembatan antara proses perumusan

kebijakan dan penganggaran yang merupakan hal penting dan mendasar agar

kebijakan menjadi realitas dan bukannya hanya sekedar harapan.

Untuk tujuan ini, Pemda setidaknya harus menetapkan dua aturan yang jelas,

yaitu (i) Implikasi dari perubahan kebijakan (kebijakan yang diusulkan) terhadap sumber

daya harus dapat diidentifikasi, meskipun dalam estimasi yang kasar, sebelum

kebijakan ditetapkan dan (ii) Suatu entitas yang mengajukan kebijakan baru harus

dapat menghitung pengaruhnya terhadap pengeluaran publik, baik pengaruhnya

terhadap pengeluaran sendiri maupun terhadap departemen pemerintah yang lain.

Page 35: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

35

Semua proposal yang merupakan kebijakan umum Pemda harus

dibicarakan/dikonsultasikan dan dikoordinasikan dengan para pihak terkait antara lain

Ketua TAPD, Kepala Bappeda dan Kepala SKPD.

Dalam proses penyusunan anggaran, tim anggaran pemerintah daerah (TAPD)

harus bekerjasama dengan baik dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) untuk

menjamin bahwa anggaran disiapkan dalam koridor kebijakan yang sudah ditetapkan

(KUA dan PPAS); dan menjamin semua stakeholders terlibat dalam proses

penganggaran sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Konsultasi dapat memperkuat legislatif untuk menelaah strategi pemerintah dan

anggaran. Dengan pendapat antara legislatif dan pemerintah, demikian juga dengan

adanya tekanan dari masyarakat, dapat memberi mekanisme yang efektif untuk

mengkonsultasikan secara luas kebijakan yang terbaik. Pemerintah harus berusaha

untuk mengambil umpan balik atas kebijakan dan pelaksanaan anggarannya dari

masyarakat, misalnya melalui survey, evaluasi, seminar dan sebagainya. Akan tetapi,

proses penyusunan anggaran harus menghindari tekanan yang berlebihan dari pihak-

pihak yang berkepentingan dan para pelobi, agar penyusunan anggaran dapat

diselesaikan tepat waktu.

Proses penyusunan KUA-PPAS secara garis besarnya terdiri dari dua output

utama, yaitu Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran

Sementara (PPAS). Dalam melakukan proses penyusunan KUA terdapat beberapa

langkah yang dilakukan, antara lain: (i) Kepala daerah berdasarkan RKPD menyusun

rancangan kebijakan umum APBD (RKUA), (ii) Penyusunan RKUA berpedoman pada

pedoman penyusunan APBD yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setiap tahun.

Sebagai contoh untuk bahan penyusunan APBD Tahun 2007 Menteri Dalam Negeri

telah menerbitkan Permendagri Nomor 26 Tahun 2006 tertanggal 1 September 2006

tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun

Anggaran 2007, (iii) Kepala daerah menyampaikan RKUA tahun anggaran berikutnya,

sebagai landasan penyusunan RAPBD, kepada DPRD selambat-lambatnya

pertengahan bulan Juni tahun anggaran berjalan, dan (iv) RKUA yang telah dibahas

Page 36: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

36

kepala daerah bersama DPRD dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD selanjutnya

disepakati menjadi Kebijakan Umum APBD (KUA).

Pedoman Penyusunan Anggaran tersebut tercantum dalam Permendagri Nomor

26 Tahun 2006 yang memuat beberapa hal antara lain Pokok-pokok kebijakan yang

memuat sinkronisasi kebijakan pemerintah dengan pemerintah daerah, prinsip dan

kebijakan penyusunan APBD tahun anggaran bersangkutan, teknis penyusunan APBD,

dan hal-hal khusus lainnya.

Selain menyusun KUA, proses penyusunan rancangan APBD juga memerlukan

urutan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS). PPAS merupakan program

prioritas dan patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada SKPD untuk

setiap program sebagai acuan dalam penyusunan RKA-SKPD. Proses penyusunan dan

pembahasan PPAS menjadi PPA adalah sebagai berikut: (i) Berdasarkan KUA yang

telah disepakati, pemda dan DPRD membahas rancangan prioritas dan plafon

anggaran sementara (PPAS) yang disampaikan oleh kepala daerah, (ii) Pembahasan

PPAS yang bertujuan untuk menentukan skala prioritas dalam urusan wajib dan urusan

pilihan, menentukan urutan program dalam masing-masing urusan dan menyusun

plafon anggaran sementara untuk masing-masing program, (iii) KUA dan PPAS yang

telah dibahas dan disepakati bersama kepala daerah dan DPRD dituangkan dalam nota

kesepakatan yang ditandatangani bersama oleh kepala daerah dan pimpinan DPRD,

dan (iv) Kepala daerah berdasarkan nota kesepakatan menerbitkan pedoman

penyusunan rencana kerja dan anggaran SKPD (RKA-SKPD) sebagai pedoman kepala

SKPD menyusun RKA-SKPD.

Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 87 ayat (2) Permendagri

Nomor 13 Tahun 2006, kepala daerah menyampaikan rancangan PPAS kepada DPRD

untuk dibahas bersama antara TAPD dan panitia anggaran DPRD paling lambat

minggu kedua bulan Juli dari tahun anggaran berjalan. Setelah disepakati bersama

PPAS tersebut ditetapkan sebagai Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) paling lambat

pada akhir bulan Juli tahun anggaran berjalan.

Page 37: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

37

Tahap ketiga dari proses perencanaan anggaran di pemda adalah menyusunan

Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD). Menurut Pasal 89 ayat (3)

Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, setelah ada Nota Kesepakatan dalam KUA-PPAS,

maka Tim Anggaran (TAPD) menyiapkan surat edaran kepala daerah tentang Pedoman

Penyusunan RKA-SKPD yang harus diterbitkan paling lambat awal bulan Agustus

tahun anggaran berjalan.

Pengaturan pada aspek perencanaan diarahkan agar seluruh proses

penyusunan APBD semaksimal mungkin dapat menunjukkan latar belakang

pengambilan keputusan dalam penetapan arah kebijakan umum, skala prioritas dan

penetapan alokasi serta distribusi sumber daya dengan melibatkan partisipasi

masayarakat. Sementara itu, penyusunan anggaran dilakukan dengan tiga pendekatan,

yaitu pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah (KPJM), pendekatan

anggaran terpadu, dan pendekatan anggaran kinerja.

Pendekatan KPJM adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan,

dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif

lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya keputusan

yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju.

Kerangka pengeluaran jangka menengah digunakan untuk mencapai disiplin fiskal

secara berkelanjutan.

Gambaran jangka menengah diperlukan karena rentang waktu anggaran satu

tahun terlalu pendek untuk tujuan penyesuaian prioritas pengeluaran, dan

ketidakpastian terlalu besar bila perspektif anggaran dibuat dalam jangka panjang (di

atas 5 tahun). Proyeksi pengeluaran jangka menengah juga diperlukan untuk

menunjukkan arah perubahan yang diinginkan. Dengan menggambarkan implikasi dari

kebijakan tahun berjalan terhadap anggaran tahun-tahun berikutnya, proyeksi

pengeluaran multi tahun akan memungkinkan pemerintah untuk dapat mengevaluasi

biaya-efektivitas (kinerja) dari program yang dilaksanakan. Sedangkan pada

pendekatan anggaran tahunan yang murni, hubungan antara kebijakan sektoral dengan

alokasi anggaran biasanya lemah, dalam arti sumber daya yang diperlukan tidak cukup

Page 38: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

38

mendukung kebijakan/program yang ditetapkan. Akan tetapi, harus dihindari perangkap

dimana pendekatan pemograman multi tahun ini dengan sendirinya membuka peluang

terhadap peningkatan pengeluaran yang tidak perlu atau tidak relevan.

Penganggaran terpadu (unified budgeting) adalah penyusunan rencana

keuangan tahunan yang dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis belanja guna

melaksanakan kegiatan pemerintahan yang didasarkan pada prinsip pencapaian

efisiensi alokasi dana dan untuk menghindari terjadinya duplikasi belanja. Sedangkan

penyusunan anggaran berbasis kinerja dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan

antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan termasuk efisiensi

dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Dalam penyusunan anggaran berbasis

kinerja diperlukan indikator kinerja, standar biaya, dan evaluasi kinerja dari setiap

program dan jenis kegiatan.

Pendekatan penganggaran berdasarkan prestasi kerja dilaksanakan dengan

memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dan keluaran yang diharapkan dari

kegiatan dengan hasil kerja dan manfaat yang diharapkan termasuk efisiensi dalam

pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Anggaran Berbasis Kinerja ini disusun

berdasarkan pada indikator kinerja, capaian atau target kinerja, analisis standar belanja,

standar satuan kerja, dan standar pelayanan minimal.

Dokumen penyusunan anggaran yang disampaikan oleh masing-masing satuan

kerja perangkat daerah (SKPD) yang disusun dalam format Rencana Kerja dan

Anggaran (RKA) SKPD harus betul-betul dapat menyajikan informasi yang jelas tentang

tujuan, sasaran, serta korelasi antara besaran anggaran (beban kerja dan harga

satuan) dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai atau diperoleh masyarakat dari

suatu kegiatan yang dianggarkan. Oleh karena itu penerapan anggaran berbasis kinerja

mengandung makna bahwa setiap pengguna anggaran (penyelenggara pemerintahan)

berkewajiban untuk bertanggungjawab atas hasil proses dan penggunaan sumber

dayanya.

Page 39: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

39

Selanjutnya, beberapa prinsip dalam disiplin anggaran yang perlu diperhatikan

dalam penyusunan anggaran daerah antara lain adalah (1) Pendapatan yang

direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai

untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan merupakan

batas tertinggi pengeluaran belanja; (2) Penganggaran pengeluaran harus didukung

dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak

dibenarkan melaksanakan kegiatan yang belum tersedia atau tidak mencukupi kredit

anggarannya dalam APBD/Perubahan APBD; dan (3) Semua penerimaan dan

pengeluaran daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukan dalam

APBD dan dilakukan melalui rekening Kas Umum Daerah.

Tahap keempat yang harus dilakukan dalam proses perencanaan anggaran di

Pemda adalah penyiapan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD. RKA-SKPD

yang telah disusun, dibahas, dan disepakati bersama antara Kepala SKPD dan Tim

Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) digunakan sebagai dasar untuk penyiapan

Raperda APBD. Raperda ini disusun oleh pejabat pengelola keuangan daerah yang

untuk selanjutnya disampaikan kepada kepala daerah.

Terdapat beberapa lampiran yang harus disertakan dalam mengajukan Raperda

APBD, antara lain: (i) Ringkasan APBD menurut urusan wajib dan urusan pilihan, (ii)

Ringkasan APBD menurut urusan pemerintahan daerah dan organisasi, (iii) Rincian

APBD menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, pendapatan, belanja, dan

pembiayaan, (iv) Rekapitulasi belanja menurut urusan pemerintahan daerah,

organisasi, program, dan kegiatan, (v) Rekapitulasi belanja daerah untuk keselarasan

dan keterpaduan urusan pemerintahan daerah dan fungsi dalam kerangka pengelolaan

keuangan Negara, (vi) Daftar jumlah pegawai per-golongan dan per-jabatan, (vii) Daftar

piutang daerah, (viii) Daftar penyertaan modal (investasi) daerah, (ix) Daftar perkiraan

penambahan dan pengurangan aset tetap daerah, (x) Daftar perkiraan penambahan

dan pengurangan aset-aset lain, (xi) Daftar kegiatan-kegiatan tahun anggaran

sebelumnya yang belum diselesaikan dan dianggarkan kembali dalam tahun anggaran

ini, (xii) Daftar dana cadangan daerah, dan (xiii) Daftar pinjaman daerah.

Page 40: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

40

Suatu hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa sebelum disampaikan

dan dibahas dengan DPRD, Raperda tersebut harus disosialisasikan terlebih dahulu

kepada masyarakat yang bersifat memberikan informasi tentang hak dan kewajiban

pemerintah daerah serta masyarakat dalam pelaksanaan APBD pada tahun anggaran

yang direncanakan. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi tentang Raperda APBD ini

dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah selaku koordinator pengelola keuangan daerah.

Dalam tahap kelima, proses perencanaan anggaran yang dilakukan adalah

penetapan APBD. Dalam penetapan APBD, terdapat beberapa proses yang harus

dilalui yang melibatkan Kepala Daerah selaku wakil dari Pemda dan DPRD. Proses

penetapan APBD dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut:

1. Penyampaian dan Pembahasan Raperda tentang APBD

Menurut ketentuan dari Pasal 104 Permendagri No. 13 Tahun 2006, Raperda

beserta lampiran-lampirannya yang telah disusun dan disosialisasikan kepada

masyarakat untuk selanjutnya disampaikan oleh kepala daerah kepada DPRD paling

lambat pada minggu pertama bulan Oktober tahun anggaran sebelumnya dari tahun

anggaran yang direncanakan untuk mendapatkan persetujuan bersama. Pengambilan

keputusan bersama ini harus sudah terlaksana paling lama 1 (satu) bulan sebelum

tahun anggaran yang bersangkutan dimulai.

Atas dasar persetujuan bersama tersebut, kepala daerah menyiapkan rancangan

peraturan kepala daerah tentang APBD yang harus disertai dengan nota keuangan.

Raperda APBD tersebut antara lain memuat rencana pengeluaran yang telah disepakati

bersama. Raperda APBD ini baru dapat dilaksanakan oleh pemerintahan

kabupaten/kota setelah mendapat pengesahan dari Gubernur terkait. Selanjutnya

menurut Pasal 108 ayat (2) Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, apabila dalam waktu

30 (tiga puluh hari) setelah penyampaian Raperda APBD Gubernur tidak mengesahkan

raperda tersebut, maka kepala daerah (Bupati/Walikota) berhak menetapkan Raperda

tersebut menjadi Peraturan Kepala Daerah.

Page 41: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

41

2. Evaluasi Raperda tentang APBD dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang

Penjabaran APBD

Raperda APBD pemerintahan kabupaten/kota yang telah disetujui dan

rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan

oleh Bupati.Walikota harus disampaikan kepada Gubernur untuk di-evaluasi dalam

waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja.

Evaluasi ini bertujuan demi tercapainya keserasian antara kebijakan daerah dan

kebijakan nasional, keserasian antara kepentingan publik dan kepentingan aparatur,

serta untuk meneliti sejauh mana APBD kabupaten/kota tidak bertentangan dengan

kepentingan umum, peraturan yang lebih tinggi dan/atau peraturan daerah lainnya.

Hasil evaluasi ini sudah harus dituangkan dalam keputusan gubernur dan disampaikan

kepada bupati/walikota paling lama 15 (lima belas ) hari kerja terhitung sejak

diterimanaya Raperda APBD tersebut.

3. Penetapan Perda tentang APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran

APBD

Tahapan terakhir adalah menetapkan raperda APBD dan rancangan peraturan

kepala daerah tentang penjabaran APBD yang telah dievaluasi tersebut menjadi

Peraturan Daerah tentang APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran

APBD paling lambat tanggal 31 Desember tahun anggaran sebelumnya. Setelah itu

Perda dan Peraturan Kepala Daerah tentang penjabaran APBD ini disampaikan oleh

Bupati/Walikota kepada Gubernur terkait paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal

ditetapkan.

IV.2. Faktor Administrasi

Sementara itu, faktor lain yang mempengaruhi penumpukan anggaran di daerah

adalah faktor pencatatan dan administrasi. Administrasi merupakan kegiatan

ketatausahaan yang meliputi kegiatan catat-mencatat, surat-menyurat, pembukuan dan

pengarsipan surat serta hal-hal lainnya yang dimaksudkan untuk menyediakan

Page 42: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

42

informasi serta mempermudah memperoleh informasi kembali jika dibutuhkan.

Administrasi pada intinya melingkupi seluruh kegiatan dari pengaturan hingga

pengurusan sekelompok orang yang memiliki diferensiasi pekerjaan untuk mencapai

suatu tujuan bersama.

Administrasi Pemerintahan Daerah adalah keseluruhan dari bentuk

penyelenggaraan pelayanan Pemerintah Daerah secara intensif kepada masyarakat

baik itu pemerintahan tingkat I maupun pemerintahan tingkat II, dengan memanfaatkan

dan mendayagunakan segala kemampuan sumber-sumber daya yang ada supaya

tujuan negara dapat tertata dengan baik. Tetapi dalam penyelenggaran pelayanan itu

tidak dapat berjalan dengan baik tanpa adanya kerja sama dari beberapa orang.

Salah satu contoh sistem pencatatan administrasi yang memiliki kaitan dengan

penyerapan angggaran adalah adanya salah dalam penentuan akun pada dokumen

anggaran yang mungkin disebabkan pegawai dibagian perencanaan kurang teliti dalam

penentuan akun sehingga perlu dilakukan revisi dokumen anggaran. Hal tersebut dapat

menunda pelaksanaan kegiatan yang seharusnya direalisasikan tepat waktu. Dari

penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa administrasi memilki pengaruh

terhadap penyerapan anggaran yang mungkin akan terserap secara maksimal atau

tidak, karena administrasi merupakan salah satu bagian dari proses penganggaran.

Proses penyerapan anggaran di daerah membutuhkan proses administrasi yang

rapi dan teliti karena banyak aturan dan rambu-rambu yang menyebabkan proses

administrasi menjadi lebih rumit. Pencairan anggaran belanja daerah adalah proses

penarikan dana APBD dari rekening kas umum daerah oleh pengguna anggaran/kuasa

pengguna anggaran pada SKPD kepada Pejabat Pengelolaan Keuangan Daerah

(PPKD) selaku Bendahara Umum Daerah (BUD).

Mekanisme pembayaran dengan dana APBD dapat dilakukan melalui

pembayaran langsung kepada pihak ketiga (SPP LS) atau melalui bendahara dengan

prosedur uang persediaan yang menggunakan SPP-UP, SPP-GU dan SPP-TU. Sistem

uang persediaan merupakan sistem baru dan menggantikan sistem UUDP yang sudah

dihentikan. Hal ini dikarenakan uang persediaan belum membebani anggaran SKPD,

bersifat lebih fleksibel dan bersifat daur ulang (revolving).

Page 43: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

43

Sistem uang persediaan menggunakan dokumen Surat Perintah Pembayaran

(SPP). SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat yang bertanggung jawab

atas pelaksanaan kegiatan (PPTK)/bendahara pengeluaran untuk mengajukan

permintaan pembayaran. SPP terdiri dari SPP-Uang Persediaan (SPP-UP), SPP-Ganti

Uang Persediaan (SPP-GU), SPP-Tambahan Uang (SPP-TU), dan SPP-Langsung

(SPP-LS). SPP-UP adalah dokumen yang diajukan oleh bendahara pengeluaran untuk

permintaan uang muka kerja yang bersifat pengisian kembali (revolving) yang tidak

dapat dilakukan dengan pembayaran langsung.

Sementara itu SPP-GU adalah dokumen yang diajukan oleh bendahara

pengeluaran untuk permintaan pengganti uang persediaan yang tidak dapat dilakukan

dengan pembayaran langsung. SPP-TU adalah dokumen yang diajukan oleh

bendahara pengeluaran untuk permintaan tambahan uang persediaan guna

melaksanakan kegiatan SKPD yang bersifat mendesak dan tidak dapat digunakan

untuk pembayaran langsung dan uang persediaan. Sedangkan SPP-LS adalah

dokumen yang diajukan oleh bendahara pengeluaran untuk permintaan pembayaran

langsung kepada pihak ketiga atas dasar perjanjian kontrak kerja atau surat perintah

kerja lainnya dan pembayaran gaji dengan jumlah, penerima, peruntukan dan waktu

pembayaran tertentu yang dokumennya disiapkan oleh PPTK.

Dalam proses administrasi pencairan dana APBD, terdapat dua metode

pencairan yaitu metode Pencairan Dana Uang Persediaan (UP) dan Metode Pencairan

Langsung (LS). Dalam metode UP, proses pencairan menggunakan uang persediaan.

Uang Persediaan adalah sejumlah uang yang disediakan untuk Satuan Kerja dalam

melaksanakan kegiatan operasional sehari-hari.

Pengajuan Dana Uang Persediaan dilakukan melalui Surat Perintah Membayar,

yang terdiri dari (i) Surat Perintah Membayar Uang Persediaan (SPM-UP) adalah Surat

Perintah Membayar yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa pengguna

Anggaran, yang dananya dipergunakan sebagai uang persediaan untuk membiayai

kegiatan operasional kantor sehari-hari (ii) Surat Perintah Membayar Penggantian Uang

Persediaan (SPM-GU) adalah Surat Perintah Membayar yang diterbitkan oleh

Pengguna Anggaran/Kuasa pengguna Anggaran dengan membebani DIPA, yang

dananya dipergunakan untuk menggantikan uang persediaan yang telah dipakai, dan

Page 44: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

44

(iii) Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan (SPM-TU) adalah Surat

Perintah Membayar yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa pengguna

Anggaran karena kebutuhan dananya melebihi dari pagu uang persediaan yang

ditetapkan. Pembayaran perdasarkan Surat Permintaan Membayar tersebut di atas

dilakukan dengan penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) oleh KPPN selaku

Kuasa Bendahara Umum Negara

Adapun mekanisme Pencairan Dana Uang Persediaan (UP) adalah sebagai

berikut:

1) Penerbitan SPP-UP; Penerbitan dan pengajuan dokumen SPP-UP dilakukan oleh

bendahara pengeluaran untuk memperoleh persetujuan dari pengguna anggaran/kuasa

pengguna anggaran melalui pejabat penatausahaan keuangan SKPD dalam rangka

pengisian uang persediaan. Dokumen SPP-UP terdiri dari:

• Surat pengantar SPP-UP;

• Ringkasan SPP-UP;

• Rincian SPP-UP;

• Salinan SPD;

• Draft surat pernyataan untuk ditandatangani oleh pengguna anggaran/kuasa

pengguna anggaran yang menyatakan bahwa uang yang diminta tidak

dipergunakan untuk keperluan selain uang persediaan saat pengajuan SP2D

kepada kuasa BUD; dan

• Lampiran lain yang diperlukan.

2) Penerbitan SPP Ganti Uang Persediaan (GU); Penerbitan dan pengajuan dokumen

SPP-GU dilakukan oleh bendahara pengeluaran untuk memperoleh persetujuan dari

pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran melalui pejabat penatausahaan

keuangan SKPD. Dokumen SPP-GU terdiri dari:

• Surat pengantar SPP-GU;

• Ringkasan SPP-GU;

• Rincian SPP-GU;

• Surat pengesahan laporan pertanggungjawaban bendahara pengeluaran atas

penggunaan dana SPP-UP/GU/TU sebelumnya;

Page 45: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

45

• Salinan SPD;

• Draft surat pernyataan untuk ditandatangani oleh pengguna anggaran/kuasa

pengguna anggaran yang menyatakan bahwa uang yang diminta tidak

dipergunakan untuk keperluan selain ganti uang persediaan saat pengajuan

SP2D kepada kuasa BUD; dan lampiran lain yang diperlukan.

3) Penerbitan SPP Tambah Uang Persediaan (SPP-TU); Penerbitan dan pengajuan

dokumen SPP-TUP dilakukan oleh bendahara pengeluaran untuk memperoleh

persetujuan dari pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran melalui pejabat

penatausahaan keuangan SKPD. Dokumen SPP-TU terdiri dari:

• Surat pengantar SPP-TU;

• Ringkasan SPP-TU;

• Rincian SPP-TU;

• Salinan SPD;

• Surat pengesahan SPJ;

• Draft surat pernyataan untuk ditandatangani oleh pengguna anggaran/kuasa

pengguna anggaran yang menyatakan bahwa uang yang diminta tidak

dipergunakan untuk keperluan selain tambahan uang persediaan saat pengajuan

SP2D kepada kuasa BUD;

• Surat keterangan yang memuat penjelasan keperluan pengisian tambahan uang

persediaan.

• Lampiran lainnya.

Batas jumlah SPP-UP, SPP-GU, dan SPP-TU ditetapkan dalam Peraturan Kepala

Daerah.

Metode lain yang digunakan dalam proses pencairan dana adalah Metode

Langsung (LS). Metode Langsung merupakan metode pengajuan pembayaran secara

langsung terhadap gaji dan pengadaan barang dan/atau jasa. Beberapa hal yang terkait

dengan Metode LS antara lain:

1) Pencairan Dana Uang Langsung dilakukan melalui Surat Perintah Membayar

Langsung (SPM-LS) yang merupakan surat yang dikeluarkan oleh pengguna

Page 46: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

46

anggaran/kuasa pengguna anggara kepada pihak ketiga (rekanan) atas dasar

perjanjian kontrak kerja (Surat Perintah Kerja) atau pembayaran yang sejenisnya.

2) Pembayaran perdasarkan Surat Permintaan Membayar tersebut di atas dilakukan

dengan penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) oleh KPPN selaku Kuasa

Bendahara Umum Negara

3) Penerbitan dan pengajuan dokumen Surat Permintaan Pembayaran Langsung (SPP-

LS) dilakukan oleh PPTK untuk memperoleh persetujuan pengguna anggaran/kuasa

pengguna anggaran melalui pejabat penatausahaan keuangan SKPD.

Setelah dilakukan proses penerbitan SPM, maka kemudian dilanjutkan dengan

prosedur pengujian SPM. Prosedur pengujian SPM terdiri dari:

1) Pengujian Substansi: Petugas dari Seksi perbendaharaan melakukan

pengujian ulang atas SPM beserta lampiran, sebagai berikut:

a) Memeriksa kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam

SPM

b) Memeriksa ketersediaan dana pada sub kegiatan/kegiatan/MAK

dalam DIPA yang ditunjuk dalam SPM tersebut.

c) Memeriksa kontrak/SPK pengadaan barang/jasa

d) Memeriksa bukti pengeluaran dan/atau Surat Pernyataan

Tanggung Jawab dari kepala kantor/satuan kerja atau pejabat lain

yang ditunjuk mengenai tanggung jawab terhadap kebenaran

pelaksanaan pembayaran

e) Faktur pajak beserta SPP-nya

2) Pengujian Formal

a) Memeriksa tanda tangan pejabat penandatangan SPM

b) Memeriksa cara penulisan/pengisian jumlah uang dalam angka dan

huruf (termasuk tidak boleh terdapat cacat dalam penulisan)

3) Keputusan Hasil Pengujian

Atas dasar pengujian tersebut, Seksi Perbendaharaan:

Page 47: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

47

a) Mengembalikan SPM kepada Pejabat Penerbit SPM bilamana SPM

dimaksud tidak memenuhi syarat untuk dibayar. Keputusan

pengembalian SPM dilakukan selambat-lambatnya 1 (satu) hari

kerja sejak diterimanya SPM

b) Menerbitkan SP2D atas SPM-LS dan SPM-UP, kecuali atas SPM-

GU pada akhir tahun

c) Menerbitkan SP2D dan Surat Perintah Pembebanan (SPB) atas

SPM-GU yang membebani rekening khusus pada KPPN non KBL

Setelah dilakukan pengujian SPM, lalu proses terakhir adalah diterbitkannya

Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Terdapat beberapa langkah yang dilakukan

dalam menerbitkan SP2D. Langkah-langkah penerbitan SP2D tersebut antara lain:

1. SP2D ditandatangi bersama oleh seksi Perbendaharaan dan Seksi Bank/Giro

Pos atau Seksi Bendum

2. Penerbitan SP2D Uang Persediaan (UP) dan Pembayaran Langsung (LS)

dilakukan selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya SPM dari

Pejabat Penerbit SPM

3. Penerbitan SP2D untuk pembayaran gaji induk (gaji bulanan) PNS Pusat:

• SPM sudah harus diterima paling lambat tanggal 15 bulan sebelumnya.

• SP2D diterbitkan paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum awal bulan

pembayaran gaji

• Untuk pembayaran non gaji induk (non gaji bulanan), SP2D diterbitkan

paling lambat 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya SPM

• Pengembalian SPM dilakukan paling lambat hari kerja berikutnya sejak

diterimanya Surat Perintah Membayar berkenaan.

4. SP2D diterbitkan dalam rangkap 3 (tiga) dan dibubuhi stempel timbul Seksi

Bank/Giro Pos atau Seksi Bendum (Nomor 1) yang disampaikan kepada:

• Lembar 1 : kepada Bank Operasional

• Lembar 2 : kepada Penerbit SPM dengan dilampiri SPM yang telah diberi

cap “Telah diterbitkan SP2D tanggal....... nomor ............”

• Lembar 3: pertinggal KPPN (Seksi Verifikasi dan Akuntansi)

Page 48: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

48

5. Penerbitan Daftar Penguji

6. Untuk menyampaikan SP2D ke Bank Operasional diterbitkan daftar penguji

(sesuai format dalam Lampiran III Surat Edaran ini) dengan ketentuan sebagai

berikut:

• Ditandatangani bersama oleh Kepala KPPN dan Kepala Seksi Bank/Giro

Pos atau Seksi Bendum dan dibubuhi stempel timbul kepala KPPN

• Daftar Penguji diterbitkan dalam rangkap 2 (dua) dan dikirimkan melalui

kurir KPPN ke Bank Operasional bersama-sama SP2D

• Daftar Penguji Lembar 2 setelah ditandatangani oleh Bank Operasional

dikembalikan kepada KPPN melalui kurir.

IV.3. Faktor Sumber Daya Manusia

Faktor lain yang mempengaruhi penumpukan anggaran di daerah adalah faktor

kompetensi sumber daya manusia terutama yang bekerja di bidang administrasi dan

perencanaan penganggaran. Sumber Daya Manusia (SDM) adalah manusia yang

bekerja di lingkungan suatu organisasi. SDM memiliki hubungan dengan perencanaan,

karena terdapat tujuan dari perencanaan SDM yang diantaranya adalah untuk

kepentingan individu, kepentingan organisasi dan kepentingan nasional. SDM juga

merupakan potensi manusiawi sebagai penggerak organisasi dalam mewujudkan

eksistensinya.

Pada proses penyerapan anggaran, SDM memiliki hubungan yang erat

mengingat dalam ruang lingkup suatu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) SDM

sangat diperlukan dalm berbagai kegiatan perencanaan, penganggaran dan

pengadaan. Beberapa peran penting SDM antara lain sebagai pelaksana pengadaan

barang dan jasa yang sebaiknya memiliki sertifikat dan berkompetensi karena jika SDM

dalam suatu SKPD sebagai pelaksana pengadaan barang dan jasa kurang

berkompeten dan tidak memiliki sertifikat maka dapat menyebabkan pelaksanaan atas

pengadaan barang dan jasa tidak sesuai dengan apa yang telah ditentukan.

Berbagai permasalahan yang dihadapi dalam factor sumber daya manusia

antara lain adalah factor birokrasi dan kultur. Faktor birokrasi yang dimaksud adalah

Page 49: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

49

mekanisme dalam pelaksanaan anggaran. Penulis membagi birokrasi yang menjadi

penyebab utama tidak optimalnya penyerapan anggaran kedalam dua mekanisme,

yaitu mekanisme administrasi dan mekanisme pengadaan. Hambatan birokrasi yang

terkait dengan mekanisme administrasi antara lain masih adanya Surat Keputusan

penunjukan Kuasa Pengguna Anggaran dari K/L yang masih terlambat. Hal ini

mengakibatkan terlambatnya eksekusi pelaksanaan anggaran oleh satker karena belum

ada orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab pelaksanaan anggaran. Selain itu

juga keengganan pegawai untuk ditunjuk sebagai KPA sebagai akibat belum jelasnya

reward dan punishment serta ketakutan terhadap lembaga penegak hukum menjadi

salah satu faktor yang bisa menghambat pula dalam pelaksanaan anggaran.

Keterlambatan penunjukan KPA tersebut sebetulnya telah diantisipasi dengan Perpres

No.53 tahun 2010 yang menyatakan bahwa masa berlakunay KPA adalah sampai

ditetapkannya KPA baru. Namun dalam pelaksanaannya penunjukan KPA masih

dilakukan setiap tahun. Hal ini terjadi juga dikarenakan tidak sinkronnya Perpres 53

tersebut dengan Peraturan Dirjen perbendaharaan no. 66 tahun 2005 yang masih

mensyaratkan penunjukan KPA dilakukan setiap tahun anggaran.

Hambatan administrasi lain yang menjadi penyebab keterlambatan pencairan

anggaran adalah masih adanya alokasi anggaran yang diberikan tanda bintang yang

disebabkan kelengkapan data pendukung yang belum tersedia. Hal ini menjadi indikasi

bahwa perencanaan belum matang termasuk pula kesiapan satker dalam

mempersiapkan dokumen pendukung perlu ditingkatkan. Hambatan administrasi lain

diantaranya proses revisi yang terkadang masih terhambat, terutama revisi yang

dilakukan di kantor pusat K/L. Hal ini bisa diatasi dengan menyederhanakan

mekanisme revisi sesuai dengan kewenangan instansi masing-masing.

Sementara itu untuk mekanisme pengadaan barang dan jasa, masih banyak

yang menjadi hambatan bagi pelaksanaan pencairan anggaran. Hambatan yang utama

antara lain faktor SDM yang masih belum mendukung dengan kekurangan tenaga

pegawai yang memiliki sertifikat untuk menjadi pejabat pengadaan. Beberapa satker

sudah menggunakan kemudahan memulai pengumuman lelang diawal tahun –

pengumuman dilakukan setelah DIPA diterima namun masih meragukan penggunaan

anggaran tahun berjalan untuk kegiatan tahun berikutnya karena belum ada payung

Page 50: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

50

hukumnya. Selain itu pelaksanaan pelelangan secara elektronik (e-procurement) masih

belum dapat dilaksanakan dengan baik. Hambatan lain adalah mekanisme sanggah

banding yang relatif panjang sehingga dapat mengganggu jalannya proyek. Peraturan

yang sering berubah juga menjadi salah satu hambatan dalam mekanisme pengadaan.

Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 terlalu luas cakupannya sehingga kurang

focus dalam menjaga kualitas output bahkan cenderung hanya membuat taat pada

prosedur yang lebih kompleks tetapi mengabaikan pencapaian output yang optimal.

Faktor lain yang dianalisis sebagai penyebab rendahnya realisasi penyerapan

belanja K/L adalah faktor kultur. Faktor kultur yang dimaksud disini adalah budaya

pegawai dalam melaksanakan disiplin anggaran. Hipotesis tersebut didasarkan pada

fakta bahwa pada periode 2005 hingga 2011, Kementerian Pertahanan dan Kepolisian

RI yang dianggap memiliki kultur disiplin tinggi ternyata penyerapannya selalu berada

diatas rata-rata nasional. Hal ini mengindikasikan kedisiplinan dalam pelaksanaan

anggaran berpotensi meningkatkan penyerapan. Hal yang sebaliknya terjadi di lembaga

DPR, DPD dan MPR. Pada lembaga-lembaga tersebut penyerapan pada tahun 2005

hingga 2011 selalu berada dibawah rata-rata nasional. Berdasarkan data dan fakta

tersebut, penulis berkesimpulan bahwa faktor kultur terutama disiplin anggaran juga

sangat mempengaruhi pelaksanaan penyerapan anggaran. Semakin disiplin kultur

sebuah organisasi ternyata meningkatkan pula disiplin dalam pencairan anggaran.

Permasalahan kultur disiplin anggaran dapat diatasi dengan memberikan sanksi

terhadap K/L yang berkinerja tidak baik dalam pelaksanaan anggaran. Hal ini telah

dilakukan dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Keuangan no.170 tahun 2010 yang

salah satu isinya adalah tentang reward and punishment untuk mendisiplinkan

anggaran. Namun dasar hukum berupa KMK masih cukup lemah untuk mendisiplinkan

anggaran seluruh K/L sehingga perlu diterbitkan dasar hukum atau peraturan yang lebih

tinggi baik berupa Peraturan Pemerintah ataupun Perpres.

Page 51: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

51

IV.4. Analisis Data Hasil Survey

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan atas empat aspek yang telah

ditentukan yaitu aspek perencanaan, aspek regulasi, aspek pelaksanaan dan aspek

kultur, tim telah melakukan identifikasi berbabagi pertanyaan survey yang diberikan

kepada instansi survey. Daftar pertanyaan tersebut dijelaskan dalam table berikut.

IV.4.1. Daftar Pertanyaan

Aspek Perencanaan

1 Proses Perencanaan anggaran Pemda sudah optimal PER1

2 Kegiatan perencanaan yang dilakukan sudah sesuai dengan ketentuan yang

berlaku PER2

3 perencanaan kegiatan dan program tahunan sesuai dengan perencanaan

jangka menengah dan perencanaan jangka panjang PER3

4 kami puas terhadap kegiatan perencanaan di instansi kami PER4

5 waktu proses perencanaan anggaran yang berlaku selama ini sudah ideal PER5

6 kegiatan perencanaan merupakan pekerjaan yang sulit PER6

7 kami melakukan kegiatan perencanaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku PER7

8 Ketentuan-ketentuan yang ada menyulitkan kami dalam melakukan kegiatan

perencanaan PER8

9 Perencanaan kegiatan sudah sesuai dengan kebutuhan instansi kami PER9

10 Kami memiliki pengetahuan yang cukup tentang proses perencanaan PER10

Aspek Regulasi

1 Regulasi pemerintah pusat menghambat proses perencanaan REG1

2 Kami memahami regulasi terkait proses penganggaran REG2

3 Regulasi yang ada cukup rumit dan kompleks REG3

4 Regulasi dari pemerintah pusat sesuai dengan kepentingan pemerintah

daerah REG4

5 Regulasi yang ada sulit untuk diimplementasikan REG5

6 Regulasi yang dikeluarkan oleh instansi tertentu bertentangan dengan yang

dikeluarkan oleh instansi yang lain REG6

7 Sosialisasi regulasi yang baru dikeluarkan cukup memadai REG7

8 Regulasi yang dijadikan acuan ditetapkan pada waktu yang tepat REG8

Page 52: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

52

Aspek Pelaksanaan

1 Kami memiliki cukup waktu untuk melaksanakan pekerjaan sampai akhir

tahun anggaran PEL1

2 Sulit untuk memulai pelaksanaan anggaran tepat pada awal tahun anggaran PEL2

3 Dalam memulai kegiatan, kami harus menunggu instruksi dari pimpinan PEL3

4 Di instansi kami jumlah SDM di bidang penggaran telah mencukupi PEL4

5 Di instansi kami pengetahuan SDM di bidang penggaran telah memadai PEL5

6 Adakah program peningkatan kapasitas SDM di bidang penganggaran PEL6

7 Kami mengalami kesulitan dalam melakukan proses pencairan anggaran PEL7

8 Instansi kami mengalami kesulitan dalam menetapkan KPA, PPK dan petugas

penganggaran lainnya PEL8

9 Kami mengalami kesulitan dalam memulai proses lelang PEL9

10 Kami mengalami kesulitan dalam menetapkan pemenang lelang PEL10

11 Kami mengalami kesulitan dalam hal monitoring dan evaluasi dari hasil

pekerjaan pemenang lelang PEL11

12 Hasil pekerjaan pemenang lelang telah sesuai dengan yang kami harapkan PEL12

Aspek Kultur

1 Saya senang melakukan pekerjaan saya saat ini KUL1

2 Saya suka melakukan sesuatu pekerjaan tepat waktu KUL2

3 Saya sering melakukan pekerjaan menjelang dead line KUL3

4 Saya selalu mengerjakan pekerjaan berdasarkan instruksi atasan KUL4

5 Apakah anda memiliki preferensi untuk menentukan pemenang lelang KUL5

6 Apakah anda memiliki preferensi jenis kelamin petugas anggaran yang tepat

dalam melakukan proses penganggaran KUL6

Page 53: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

53

IV.4.2. Hasil Olah Data

Berdasarkan survey dan jawaban dari instansi terkait, diperoleh hasil olah data

yang mencerminkan jawaban-jawaban atas daftar pertanyaan yang ditanyakan. Hasil

olah data survey tersebut dapat dilihat dalam table berikut.

Variable Obs Mean Std0, Dev0, Min Max

per1 21 3,142857 0,4780914 2 4

per2 21 3,285714 0,46291 3 4

per3 21 3,428571 0,5976143 2 4

per4 19 3,105263 0,6578363 2 4

per5 21 2,809524 0,6015852 2 4

per6 21 2,285714 0,6436503 1 4

per7 21 3,333333 0,5773503 2 4

per8 21 2,142857 0,6546537 1 3

per9 21 3,047619 0,5895923 2 4

per10 21 3,047619 0,4976134 2 4

reg1 21 2,523810 0,6796358 1 4

reg2 21 3,095238 0,4364358 2 4

reg3 21 2,666667 0,7302967 2 4

reg4 21 2,523810 0,5117663 2 3

reg5 21 2,095238 0,4364358 1 3

reg6 21 2,380952 0,7400129 1 4

reg7 21 2,619048 0,7400129 1 4

reg8 21 2,238095 0,6248809 1 3

pel1 21 3,000000 0,6324555 2 4

pel2 21 2,523810 0,6796358 1 3

pel3 21 2,428571 0,74642 1 4

pel4 21 2,523810 0,6015852 1 3

pel5 21 2,714286 0,7171372 2 4

pel6 20 2,400000 0,5026247 2 3

pel7 21 2,047619 0,7400129 1 3

pel8 21 2,000000 0,5477226 1 3

pel9 20 2,200000 0,6958524 1 4

pel10 20 2,200000 0,615587 1 4

Page 54: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

54

pel11 20 2,450000 0,6048053 2 4

pel12 20 2,950000 0,5104178 2 4

kul1 19 3,210526 0,4188539 3 4

kul2 19 3,210526 0,4188539 3 4

kul3 19 2,052632 0,524265 1 3

kul4 19 2,631579 0,7608859 1 4

kul5 16 2,125000 0,8062258 1 4

kul6 19 1,736842 0,5619515 1 3

Survey kajian Analisis Efisiensi Pengeluaran Publik di Daerah dilaksanakan di 9

daerah yaitu Depok, Bekasi, Tangerang Selatan, Bogor, Batam, Kepulauan Riau, Bali,

Mataram, dan Semarang. Dinas yang dikunjungi antara lain Badan Perencanaan dan

Pembangunan Daerah, Badan Keuangan dan Kekayaan Daerah, Dinas Pendapatan

Daerah dan Dinas lainnya.

Adapun hasil pengolahan data pada setiap aspek dalam penganggaran akan

dibahas pada subbab berikut ini.

IV.4.3. Aspek Perencanaan

Terdapat 10 variabel dari unsur Aspek Perencanaan yang menjadi pertanyaan

dalam survey pada kajian ini, adapun hasil pengolahan data kuisioner berdasarkan

aspek perencanaan dapat dilihat pada tabel berikut ini

Tabel Hasil Pengolahan Data Untuk Aspek Perencanaan

Variable Uraian Obs Mean Std0,

Dev0, Min Max

per1

Proses Perencanaan

anggaran Pemda sudah

optimal 21 3,142857 0,4780914 2 4

per2

Kegiatan perencanaan yang

dilakukan sudah sesuai

dengan ketentuan yang 21 3,285714 0,46291 3 4

Page 55: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

55

berlaku

per3

Perencanaan kegiatan dan

program tahunan sesuai

dengan perencanaan

jangka menengah dan

perencanaan jangka

panjang 21 3,428571 0,5976143 2 4

per4

Kami puas terhadap

kegiatan perencanaan di

instansi kami 19 3,105263 0,6578363 2 4

per5

Waktu proses perencanaan

anggaran yang berlaku

selama ini sudah ideal 21 2,809524 0,6015852 2 4

per6

Kegiatan perencanaan

merupakan pekerjaan yang

sulit 21 2,285714 0,6436503 1 4

per7

Kami melakukan kegiatan

perencanaan sesuai

dengan ketentuan yang

berlaku 21 3,333333 0,5773503 2 4

per8

Ketentuan-ketentuan yang

ada menyulitkan kami

dalam melakukan kegiatan

perencanaan 21 2,142857 0,6546537 1 3

per9

Perencanaan kegiatan

sudah sesuai dengan

kebutuhan instansi kami 21 3,047619 0,5895923 2 4

per10 Kami memiliki pengetahuan 21 3,047619 0,4976134 2 4

Page 56: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

56

yang cukup tentang proses

perencanaan

Sumber : Hasil Olahan

Berdasarkan tabel diatas dapat kita ketahui bahwa jumlah observasi yang

disurvey pada penelitian ini berjumlah 21 instansi. Untuk variabel Per4 dengan jumlah

observasi hanya 19, berarti ada 3 instansi tidak menjawab untuk variabel tersebut.

Dari 10 variabel dalam aspek perencanaan ini, 7 variabel dijawab oleh seluruh

instansi yang disurvey dengan “setuju”. Adapun 7 variabel tersebut adalah :

• Proses Perencanaan anggaran Pemda sudah optimal

• Kegiatan perencanaan yang dilakukan sudah sesuai dengan ketentuan yang

berlaku

• Perencanaan kegiatan dan program tahunan sesuai dengan perencanaan jangka

menengah dan perencanaan jangka panjang

• Kami puas terhadap kegiatan perencanaan di instansi kami

• Kami melakukan kegiatan perencanaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

• Perencanaan kegiatan sudah sesuai dengan kebutuhan instansi kami

• Kami memiliki pengetahuan yang cukup tentang proses perencanaan

Sementara 3 variabel dalam aspek penganggaran dijawab oleh para responden

dengan rata-rata “tidak setuju” adalah :

• Waktu proses perencanaan anggaran yang berlaku selama ini sudah ideal

• Kegiatan perencanaan merupakan pekerjaan yang sulit

• Ketentuan-ketentuan yang ada menyulitkan kami dalam melakukan kegiatan

perencanaan

Page 57: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

57

Dari jawaban responden pada aspek perencanaan dalam penganggaran dapat

kita ketahui bahwa tidak terdapat masalah dalam masalah penganggaran ini. Hampir

seluruh jawaban responden menyatakan bahwa proses dan kegiatan perencanaan

telah optimal dan sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan yang berlalu. Kapasitas dan

peminatan dari sumber daya manusia yang ditempatkan pada bagian penganggaran

juga telah sesuai, sehingga mereka menganggap kegiatan perencanaan bukan

pekerjaan yang sulit. Hanya pada variabel waktu proses perencanaan yang belum

dirasakan sesuai oleh responden, beberapa responden menyampaikan proses

perencanaan memakan waktu yang cukup lama, sehingga menghabiskan hampir

seluruh waktu pekerjaan mereka.

IV.4.4. Aspek Regulasi

Aspek berikutnya dalam sistem penganggaran yang disurvey adalah aspek

regulasi. Adapun regulasi dalam proses penganggaran merupakan dasar hukum dalam

pelaksanaan anggaran. Terdapat 8 variabel yang masuk dalam aspek regulasi yang

ditanyakan pada survey kajian ini. Hasil pengolahan data survey tersebut dapat kita

lihat pada tabel berikut ini.

Tabel Hasil Pengolahan Data Untuk Aspek Regulasi

Variable Uraian Obs Mean Std0,

Dev0, Min Max

reg1

Regulasi pemerintah pusat

menghambat proses

perencanaan 21 2,523810 0,6796358 1 4

reg2 Kami memahami regulasi

terkait proses penganggaran 21 3,095238 0,4364358 2 4

reg3 Regulasi yang ada cukup rumit

dan kompleks 21 2,666667 0,7302967 2 4

reg4 Regulasi dari pemerintah pusat 21 2,523810 0,5117663 2 3

Page 58: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

58

sesuai dengan kepentingan

pemerintah daerah

reg5 Regulasi yang ada sulit untuk

diimplementasikan 21 2,095238 0,4364358 1 3

reg6

Regulasi yang dikeluarkan oleh

instansi tertentu bertentangan

dengan yang dikeluarkan oleh

instansi yang lain 21 2,380952 0,7400129 1 4

reg7 Sosialisasi regulasi yang baru

dikeluarkan cukup memadai 21 2,619048 0,7400129 1 4

reg8

Regulasi yang dijadikan acuan

ditetapkan pada waktu yang

tepat 21 2,238095 0,6248809 1 3

Sumber : Hasil olahan

Seluruh observasi berjumlah 21 instansi menjawab setiap variabel dalam aspek

regulasi ini. Adapun terdapat 7 dari 8 variabel aspek regulasi yang dijawab “tidak setuju”

oleh para responden. Variabel tersebut adalah :

• Regulasi pemerintah pusat menghambat proses perencanaan

• Regulasi yang ada cukup rumit dan kompleks

• Regulasi dari pemerintah pusat sesuai dengan kepentingan pemerintah daerah

• Regulasi yang ada sulit untuk diimplementasikan

• Regulasi yang dikeluarkan oleh instansi tertentu bertentangan dengan yang

dikeluarkan oleh instansi yang lain

• Sosialisasi regulasi yang baru dikeluarkan cukup memadai

• Regulasi yang dijadikan acuan ditetapkan pada waktu yang tepat

Berdasarkan jawaban responden atas aspek regulasi, dapat diketahui bahwa

regulasi dalam penganggaran tidak rumit dan kompleks, tidak sulit untuk

Page 59: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

59

diimplementasi, sejalan antar instansi, regukasi pemerintah pusat juga tidak

menghambat proses perencanaan. Akan tetapi regulasi pemerintah pusat dirasakan

oleh responden tidak sesuai dengan kepentingan daerah, sosialisasi juga dirasakan

kurang dan waktu terbitnya regulasi dirasakan oleh para responden tidak tepat waktu.

Sementara variabel “Kami memahami regulasi terkait proses penganggaran”

dijawab rata-rata oleh responden dengan “setuju”, hal ini menadakan sumber daya

manusia di bidang penganggaran telah memahami secara benar seluruh regulasi yang

ada dalam proses penganggaran.

IV.4.5. Aspek Pelaksanaan

Terdapat 12 variabel yang masuk dalam aspek pelaksanaan yang menjadi

pertanyaan survey dalam kajian ini. Hasil pengolahan data survey untuk 12 variabel

tersebut dapat kita lihat pada tabel berikut ini.

Tabel Hasil Pengolahan Data Untuk Aspek Pelaksanaan

Variable Uraian Obs Mean Std0,

Dev0, Min Max

pel1

Kami memiliki cukup waktu

untuk melaksanakan pekerjaan

sampai akhir tahun anggaran 21 3,000000 0,6324555 2 4

pel2

Sulit untuk memulai

pelaksanaan anggaran tepat

pada awal tahun anggaran 21 2,523810 0,6796358 1 3

pel3

Dalam memulai kegiatan, kami

harus menunggu instruksi dari

pimpinan 21 2,428571 0,74642 1 4

pel4

Di instansi kami jumlah SDM di

bidang penggaran telah

mencukupi 21 2,523810 0,6015852 1 3

Page 60: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

60

pel5

Di instansi kami pengetahuan

SDM di bidang penggaran telah

memadai 21 2,714286 0,7171372 2 4

pel6

Adakah program peningkatan

kapasitas SDM di bidang

penganggaran 20 2,400000 0,5026247 2 3

pel7

Kami mengalami kesulitan

dalam melakukan proses

pencairan anggaran 21 2,047619 0,7400129 1 3

pel8

Instansi kami mengalami

kesulitan dalam menetapkan

KPA, PPK dan petugas

penganggaran lainnya 21 2,000000 0,5477226 1 3

pel9 Kami mengalami kesulitan

dalam memulai proses lelang 20 2,200000 0,6958524 1 4

pel10

Kami mengalami kesulitan

dalam menetapkan pemenang

lelang 20 2,200000 0,615587 1 4

pel11

Kami mengalami kesulitan

dalam hal monitoring dan

evaluasi dari hasil pekerjaan

pemenang lelang 20 2,450000 0,6048053 2 4

pel12

Hasil pekerjaan pemenang

lelang telah sesuai dengan

yang kami harapkan 20 2,950000 0,5104178 2 4

Sumber : Hasil olahan

Page 61: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

61

Berdasarkan hasil pengolahan data dapat kita ketahui bahwa dari 12 variabel

pada aspek pelaksanaan, terdapat 11 variabel yang dijawab responden dengan “tidak

setuju”. Adapun 11 variabel tersebut adalah sebagai berikut :

1. Sulit untuk memulai pelaksanaan anggaran tepat pada awal tahun anggaran

2. Dalam memulai kegiatan, kami harus menunggu instruksi dari pimpinan

3. Di instansi kami jumlah SDM di bidang penggaran telah mencukupi

4. Di instansi kami pengetahuan SDM di bidang penggaran telah memadai

5. Ada program peningkatan kapasitas SDM di bidang penganggaran

6. Kami mengalami kesulitan dalam melakukan proses pencairan anggaran

7. Instansi kami mengalami kesulitan dalam menetapkan KPA, PPK dan petugas

penganggaran lainnya

8. Kami mengalami kesulitan dalam memulai proses lelang

9. Kami mengalami kesulitan dalam menetapkan pemenang lelang

10. Kami mengalami kesulitan dalam hal monitoring dan evaluasi dari hasil

pekerjaan pemenang lelang

11. Hasil pekerjaan pemenang lelang telah sesuai dengan yang kami harapkan

Kesimpulan yang dapat kita ambil dari aspek pelaksanaan adalah untuk aspek

pelaksanaan sejak awal tahun anggaran, penetapan KPA, PPA dan petugas

penganggaran, proses lelang, pencairan anggaran sampai dengan monitoring dan

evaluasi, bidang yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan penganggaran tidak

mengalami masalah. Akan tetapi untuk sumber daya manusia pada proses

penganggaran tersebut masih dirasa kurang dalam hal jumlah dan kapasitas. Program

pelatihan yang dilaksanakan untuk peningkatan kapasitas SDM juga dirasakan kurang.

Selain itu untuk hasil pekerjaan dari pemenang lelang juga masih dirasa kurang oleh

beberapa instansi.

Variabel “Kami memiliki cukup waktu untuk melaksanakan pekerjaan sampai

akhir tahun anggaran” rata-rata oleh responden dijawab dengan “setuju”. Hal ini berarti

Page 62: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

62

pelaksanaan penganggaran tidak mengalami masalah waktu dalam penyelesaiannya.

Segala pekerjaan terkait pelaksanaan penganggaran tidak mengalami hambatan,

sehingga dapat diselesaikan tepat waktu yaitu pada akhir tahun anggaran.

IV.4.6. Aspek Kultur

Aspek berikutnya yang ingin kita ketahui pada aspek penganggaran ini adalah

aspek kultur. Aspek kultur ini adalah aspek yang terkait dengan pola tingkah laku dari

sumber daya manusia selaku pelaksana penganggaran. Melalui aspek ini kita ingin

menangkap karakteristik dari para pelaksana penganggaran. Terdapat 6 variabel yang

masuk dalam aspek kultur yang menjadi pertanyaan survey dalam kajian ini. Hasil

pengolahan data survey untuk 6 variabel tersebut dapat kita lihat pada tabel berikut ini.

Tabel Hasil Pengolahan Data Untuk Aspek Kultur

Variable Uraian Obs Mean Std0,

Dev0, Min Max

kul1 Saya senang melakukan

pekerjaan saya saat ini 19 3,210526 0,4188539 3 4

kul2

Saya suka melakukan

sesuatu pekerjaan tepat

waktu 19 3,210526 0,4188539 3 4

kul3

Saya sering melakukan

pekerjaan menjelang dead

line 19 2,052632 0,524265 1 3

kul4

Saya selalu mengerjakan

pekerjaan berdasarkan

instruksi atasan 19 2,631579 0,7608859 1 4

kul5

Apakah anda memiliki

preferensi untuk

menentukan pemenang

lelang 16 2,125000 0,8062258 1 4

Page 63: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

63

kul6

Apakah anda memiliki

preferensi jenis kelamin

petugas anggaran yang

tepat dalam melakukan

proses penganggaran 19 1,736842 0,5619515 1 3

Sumber : Hasil olahan

Berdasarkan hasil pengolahan data dapat diketahui bahwa tidak semua

responden bersedia menjawab untuk aspek ini, hal ini dikarenakan responden masih

enggan untuk menyampaikan mengenai pola tingkah laku dari masing-masing

pelaksana penganggaran. Bahkan untuk variabel “Apakah anda memiliki preferensi

untuk menentukan pemenang lelang” hanya dijawab oleh 16 responden, hal ini juga

untuk menjaga kehati-hatian dalam menjawab pertanyaan.

Terdapat 2 variabel yang rata-rata dijawab dengan “setuju” oleh responden,

yaitu:

1. Saya senang melakukan pekerjaan saya saat ini

2. Saya suka melakukan sesuatu pekerjaan tepat waktu

Berdasarkan jawaban atas kedua variabel ini dapat kita ketahui bahwa untuk

sumber daya manusia pada proses penganggaran tidak mengalami masalah. Mereka

cenderung menyukai pekerjaan penganggaran, dan melaksanakan pekerjaan tersebut

tepat waktu.

Variabel lain dimana responden manjawab dengan “tidak setuju” adalah untuk

variabel sebagai berikut :

1. Saya sering melakukan pekerjaan menjelang dead line

2. Saya selalu mengerjakan pekerjaan berdasarkan instruksi atasan

3. Apakah anda memiliki preferensi untuk menentukan pemenang lelang

Jawaban atas ketiga variabel tersebut menandakan bahwa para pelaksana

anggaran mengerjakan pekerjaannya sesuai jadwal yang ditentukan, dan memiliki

Page 64: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

64

inisiatif dalam menyelesaikan pekerjaan. Selain itu dalam menentukan pemenang

lelang, para pelaksana anggaran memilih untuk tidak mengarah kepada satu

pemenang, akan tetapi menyerahkan keputusan pemenang lelang kepada sistem

lelang yang telah ada.

Sementara untuk variabel “Apakah anda memiliki preferensi jenis kelamin

petugas anggaran yang tepat dalam melakukan proses penganggaran”, responden

rata-rata menjawab dengan “tidak setuju”, hal ini menandakan kelancaran dalam proses

penganggaran bukan berdasarkan jenis kelamin, akan tetapi berdasarkan kapasitas

dan minat dari SDM pelaksana anggaran itu sendiri.

Page 65: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

65

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

V.1. Kesimpulan

Pelaksanaan sistem penganggaran yang berlaku di Indonesia saat ini

memerlukan pendekatan efisiensi dan pendekatan hirarki. Pendekatan efisiensi

dilakukan untuk mengukur penggunaan input atau sumber daya serta pencapaian

keluaran dan hasil sehingga diperlukan indikator kinerja input, output dan outcome.

Pendekatan ini juga dilakukan untuk mengukur efisiensi proses transformasi input

menjadi output sehingga diperlukan standar biaya. Sedangkan untuk mengukur

keberhasilan program dan kegiatan diperlukan evaluasi kinerja.

Terdapat tiga faktor yang dianalisis dalam penelitian ini, yaitu faktor

perencanaan, faktor administrasi dan faktor sumber daya manusia. Sementara itu

analisis yang dilakukan berdasarkan empat aspek analisis yaitu aspek perencanaan

anggaran, aspek regulasi, aspek pelaksanaan anggaran, dan aspek kultur.

Dalam aspek perencanaan, sebagian besar responden setuju dengan

pertanyaan yang diajukan, antara lain Proses Perencanaan anggaran Pemda sudah

optimal, kegiatan perencanaan yang dilakukan sudah sesuai dengan ketentuan yang

berlaku, perencanaan kegiatan dan program tahunan sesuai dengan perencanaan

jangka menengah dan perencanaan jangka panjang. Sementara itu variable yang

belum sesuai dengan jawaban responden antara lain adalah waktu proses

perencanaan anggaran yang berlaku selama ini sudah ideal, kegiatan perencanaan

merupakan pekerjaan yang sulit dan ketentuan-ketentuan yang ada menyulitkan kami

dalam melakukan kegiatan perencanaan.

Dalam aspek regulasi, sebagian besar responden setuju dengan pertanyaan

yang diajukan antara lain regulasi pemerintah pusat menghambat proses perencanaan,

rgulasi yang ada cukup rumit dan kompleks, regulasi yang dikeluarkan oleh instansi

tertentu bertentangan dengan yang dikeluarkan oleh instansi yang lain, sosialisasi

Page 66: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

66

regulasi yang baru dikeluarkan cukup memadai dan regulasi yang dijadikan acuan

ditetapkan pada waktu yang tepat.

Jawaban responden terhadap aspek pelaksanaan sebagian besar setuju

terhadap pertanyaan yang diajukan, antara lain sulit untuk memulai pelaksanaan

anggaran tepat pada awal tahun anggaran, dalam memulai kegiatan, kami harus

menunggu instruksi dari pimpinan, mengalami kesulitan dalam menetapkan KPA, PPK

dan petugas penganggaran lainnya, mengalami kesulitan dalam memulai proses lelang

dan hasil pekerjaan pemenang lelang telah sesuai dengan yang kami harapkan.

Dalam hal aspek kultur, berdasarkan hasil pengolahan data dapat diketahui

bahwa tidak semua responden bersedia menjawab untuk aspek ini, hal ini dikarenakan

responden masih enggan untuk menyampaikan mengenai pola tingkah laku dari

masing-masing pelaksana penganggaran. Namun terdapat 2 variabel yang rata-rata

dijawab dengan “setuju” oleh responden, yaitu senang melakukan pekerjaan saya saat

ini dan suka melakukan sesuatu pekerjaan tepat waktu. Selain itu juga, kultur yang

cenderung menghambat penyerapan anggaran antara lain adalah senang melakukan

pekerjaan menjelang deadline dan sangat strict dengan instruksi atasan.

V.2. Rekomendasi

Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan pengeluaran publik di

daerah perlu dilakukan peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan

penyederhanaan peraturan. Langkah-langkah yang dapat dilakukan antara lain:

• Mengoptimalkan pemberian bimbingan teknis pengelolaan keuangana daerah

dan pengembangan jalur karir bagi pengelola keuangan daerah.

• Mengembangkan mekanisme magang dan secondment.

• Mempersingkat proses perencaaan yang memakan waktu yang cukup lama,

sehingga menghabiskan hampir seluruh waktu pekerjaan mereka.

Menyusun regulasi yang lebih sederhana, tidak rumit dan kompleks serta tidak

menghambat proses pelaksanaan anggaran. Regulasi yang disusun harus

sinkron dan sesuai antara regulasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat

dengan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah.

Page 67: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

67

• Membangun kultur pegawai yang lebih baik agar tidak mengerjakan pekerjaan menjelang

deadline. Kultur menunggu instruksi atasan yang sangat kental juga perlu

diperbaiki sehingga dapat meningkatkan inisiatif dan pengembangan

kemampuan pegawai dalam mengambil keputusan dalam bekerja.

Page 68: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

68

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

Bank Dunia, 2007, Kajian Pengeluaran Publik Indonesia,

http://siteresources.worldbank.org/ INTINDONESIA/Resources/226271-1168333550999/PERFBAB5-Infrastruktur.pdf

Dikun, S, 2003. Infrastruktur Indonesia : Sebelum, Selama, dan Pasca Krisis.

Jakarta : Kementerian Negara PPN/BAPPENAS. Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan, 2011, Data Pokok Indikator

Ekonomi dan Perkembangan APBN, Jakarta. Herriyanto, Hendris. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterlambatan Penyerapan

Anggaran Belanja pada Satuan Kerja Kementerian/Lembaga di Wilayah Jakarta. Diss. Tesis. Jakarta: Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia, 2012.

Kuswoyo, Iwan Dwi. Analisis Atas Faktor-Faktor Yang Menyebabkan

Terkonsentrasinya Penyerapan Anggaran Belanja Di Akhir Tahun Anggaran (Studi Pada Satuan Kerja Di Wilayah KPPN Kediri). Diss. Universitas Gadjah Mada, 2012.

Kurrohman, Taufik. "Evaluasi Penganggaran Berbasis Kinerja Melalui Kinerja

Keuangan Yang Berbasis Value For Money Di Kabupaten/Kota Di Jawa Timur." Jurnal Dinamika Akuntansi 5.1 (2013).

Priatno, Prasetyo Adi, and Muhammad Khusaini. "Analisis Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Penyerapan Anggaran pada Satuan Kerja Lingkup Pembayaran KPPN Blitar." Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB 1.2 (2012).

Republik Indonesia, Nota Keuangan dan Anggaran pendapatan dan Belanja

Negara Tahun Anggaran 2011. Republik Indonesia, Nota Keuangan dan Anggaran pendapatan dan Belanja

Negara Tahun Anggaran 2012. Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan

Barang dan Jasa Pemerintah. Republik Indonesia, Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor 66 Tahun 2005

tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Page 69: ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH...ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK DI DAERAH Disusun oleh : Tim Peneliti PKPPIM Bekerjasama Dengan Bidang OECD Jakarta 2016 2 BAB

69

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD 2009.

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan

Lahan Pangan Berkelanjutan. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan

Negara. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan

Negara. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan

Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 2010 tentang Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2011. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2005 tentang

Perencanaan Pembangunan Nasional. Republik Indonesia, Peraturan Presiden RI No. 52 Tahun 2010 tentang Pengadaan

Barang dan Jasa Pemerintah.