ANALISIS DETERMINAN KUALITAS TIDUR PADA PEKERJA...
Transcript of ANALISIS DETERMINAN KUALITAS TIDUR PADA PEKERJA...
ANALISIS DETERMINAN KUALITAS TIDUR PADA PEKERJA SHIFT
WANITA DI PT. SANDRATEX TAHUN 2016
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
OLEH :
EKA ARI NURYANTI
NIM : 1112101000050
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016 M / 1438 H
i
LEMBAR PERSETUJUAN
ii
iii
LEMBAR PERNYATAAN
iv
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Skripsi, Desember 2016
Eka Ari Nuryanti, NIM : 1112101000050
Analisis Determinan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT.
Sandratex Tahun 2016
xvi + 188 halaman + 24 tabel + 2 bagan + 3 lampiran
ABSTRAK
Penerapan shift kerja pada suatu industri diketahui memberikan dampak yaitu
berupa gangguan tidur. Gangguan tidur tersebut kemudian akan mempengaruhi
kualitas tidur. Diketahui bahwa pekerja wanita merupakan kelompok yang lebih
berisiko mengalami gangguan tidur. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembuktian
terhadap determinan yang diduga mempengaruhi kualitas tidur pada pekerja shift
wanita.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kualitas tidur
dengan determinan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun
2016. Data yang digunakan adalah data primer dan dikumpulkan dengan
menggunakan kuesioner. Desain yang digunakan yaitu cross sectional deskriptif
dan analitik. Populasi pada penelitian ini yaitu seluruh pekerja shift wanita.
Kemudian, sampel diperoleh dengan menggunakan teknik sampling simple random
sampling, dengan jumlah sampel yang berhasil terkumpul dan dianalisis yaitu
sebanyak 126 sampel. Setelah itu, analisa data dilakukan dengan menggunakan uji
Chi-Square dan Mann-Withney.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja shift wanita
memiliki kualitas tidur yang buruk (88,9%). Hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa pada ⍺ 5%, ada hubungan yang signifikan antara penyakit fisik (p value =
0,042) dan kelelahan (p value = 0,048) dengan kualitas tidur pada pekerja shift
wanita.
Saran yang diberikan pada perusahaan yaitu dengan melakukan pengaturan
terhadap shift kerja, konsumsi pekerja, dan tempat kerja. Selain itu, perusahaan juga
disarankan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala dan
melaksanakan upaya pelayanan kesehatan di tempat kerja secara komprehensif.
Kemudian, saran yang diberikan pada pekerja yaitu dengan melakukan pengaturan
terhadap konsumsi makanan, minuman, dan obat-obatan; memperbaiki pola tidur
dengan tidur malam lebih awal; menghindari tekanan stres; meningkatkan
kemampuan adaptasi serta koping terhadap stres; berolahraga teratur minimal dua
puluh menit per hari; melakukan relaksasi setiap harinya; menciptakan lingkungan
tidur yang sejuk dan nyaman; dan segera beristirahat dan tidur cukup setelah pulang
bekerja terutama setelah bekerja pada shift malam.
Kata Kunci : Kualitas Tidur, Pekerja Shift Wanita.
Daftar Bacaan : 117 (1989-2016)
v
STATE ISLAMIC UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PROGRAM STUDY OF PUBLIC HEALTH
OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH DEPARTEMENT
Undergraduate Thesis, December 2016
Eka Ari Nuryanti, NIM : 1112101000050
Determinant Analysis of Sleep Quality in Woman Shift Workers at PT.
Sandratex Year 2016
xvi + 188 pages, 24 tables, 2 diagrams, 3 attachements
ABSTRACT
Application of shift work in an industry known give an impact to sleep
disorders. The sleep disturbance then affects the quality of sleep. It is known that
woman workers are the group that is at risk of sleep disorders. Therefore, there
should be proof against the suspected determinant affecting sleep quality in woman
shift workers.
This study aims to investigate the relationship between sleep quality with the
determinants of sleep quality in woman shift workers at PT. Sandratex Year 2016.
The data used are primary data and collected by using a questionnaire. The design
used is cross sectional descriptive and analytic. The population in this study is the
entire woman shift workers. Then, the samples were obtained using a sampling
technique is simple random sampling, with a number of samples were collected and
analyzed are 126 samples. After that, the data analysis is done by using Chi-square
and Mann-Whitney test.
The results showed that the majority of woman shift workers have poor sleep
quality (88.9%). The results also showed that on the ⍺ 5%, there is a significant
relationship between physical illness (p value = 0.042) and fatigue (p value = 0,048)
with sleep quality of woman shift workers.
The advice given to the company is to make the adjustment to shift work, the
workers consumption, and the workplaces. In addition, the company also adviced
to conduct regular health checks and implement comprehensive health care efforts
in the workplace. Then, the advice given to workers is to make the adjustment to
the consumption of food, beverages, and pharmaceuticals; creating a comfortable
sleeping environment; improve sleep patterns at night to sleep early; avoid the
pressure of stress; increasing adaptability and coping with stress; exercise regularly
at least twenty minutes per day; relaxation each day; and soon enough rest and sleep
after returning to work, especially after working on the night shift.
Keywords : Sleep Quality, Woman Shift Worker.
References : 117 (1989-2016)
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Eka Ari Nuryanti
TTL : Sukoharjo, 28 Januari 1995
Alamat : Gg. H. Sadeng RT/RW 002/006 No. 50 Rempoa,
Ciputat Timur, Tangerang Selatan, 15412
Telp. : 0857 1612 7050
Email : [email protected]
PENDIDIKAN FORMAL
2000 – 2006 : SD Negeri 08 Pondok Pinang
Jakarta Selatan
2006 – 2009 : SMP Negeri 87
Jakarta Selatan
2009 – 2012 : SMA Negeri 87
Jakarta Selatan
2012 – Sekarang : Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Tangerang Selatan
PENGALAMAN ORGANISASI
2012 – 2013 : Staff Divisi Keputrian Komisariat Dakwah (Komda) FKIK
2013 – 2014 : Sekretaris Departemen Kemahasiswaan Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) Prodi Kesehatan Masyarakat
2013 – 2015 : Staff OSH Science Departement Forum Studi Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (FSK3)
2015 – 2016 : Bendahara I Himpunan Mahasiswa Program Studi
(HMPS) Kesehatan Masyarakat
2015 – 2016 : Manager Finance Departement Forum Studi Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (FSK3)
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang berkah
limpahan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan
Skripsi yang berjudul “Analisis Determinan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift
Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016”. Sholawat serta salam senantiasa tercurah
kepada junjungan kita Sayyidina wa Maulana Muhammad SAW beserta keluarga,
sahabat, serta pecintanya hingga akhir kiamat kelak.
Banyak pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan Skripsi ini, baik
dalam bentuk moriil maupun materiil, untuk itu peneliti mengucapkan terimakasih
yang tak terhingga kepada :
1. Kedua Orang Tua dan Adik yang senantiasa memberi doa, dukungan materil
dan moril, serta kasih sayang kepada saya. Mereka adalah sumber motivasi dan
alasan mengapa saya harus terus berjuang.
2. Seluruh Keluarga Besar yang terus memberikan semangat, memotivasi, arahan,
dan mendoakan.
3. Ibu Yuli Amran, SKM., MKM. selaku Dosen Pembimbing Akademik
sekaligus Dosen Pembimbing I Skripsi yang selalu memberikan arahan,
motivasi, dan bimbingan dalam penyusunan Skripsi ini.
4. Ibu Izzatu Millah, SKM., M.KKK. selaku Dosen Pembimbing II Skripsi yang
selalu memberikan arahan, motivasi, dan bimbingan dalam penyusunan Skripsi
ini.
5. Ibu Meilani M. Anwar, SKM., M.T. selaku Dosen Penguji I Sidang Proposal
Skripsi yang banyak memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan
Skripsi ini.
6. Ibu Siti Rahmah Hidayatullah Lubis, SKM., M.KKK. selaku Dosen Penguji I
Skripsi yang banyak memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan
Skripsi ini.
7. Ibu Ratri Ciptaningtyas, SKM., MHS. selaku Dosen Penguji II Skripsi yang
banyak memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan Skripsi ini.
8. Ibu Putri Handayani, SKM., M.KKK. selaku Dosen Penguji III Skripsi yang
banyak memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan Skripsi ini.
viii
9. Pak Nanang selaku Kepala Personalia dan seluruh karyawan PT. Sandratex
yang telah membantu penelitian ini.
10. Pengurus PT. Argo Pantes Tbk yang telah membantu dalam uji validitas dan
reliabilitas kuesioner penelitian ini.
11. Kak Nur Najmi, SKM., M.KKK. yang sudah banyak membantu, membimbing,
dan memberikan arahan dengan sangat sabar.
12. Devina, Fita, dan Lilis (Geng Indah Kiat) teman seperjuangan saat magang
yang telah banyak membantu dan memotivasi.
13. Lola, Cinddy, Hani, dan Ayu, yang sudah banyak membantu, memberikan
semangat, memotivasi, dan mendoakan.
14. Anis Rohmana Malik, partner turlap skripsi yang kompak bekerjasama dalam
menyukseskan penelitian Skripsi kita.
15. Rr. Putri Annisya, teman seperjuangan yang sudah banyak membantu,
memotivasi, dan memberikan arahan dalam menyelesaikan Skripsi ini.
16. Viral, Nova El, Elsya, Kak Rahma, yang telah membantu, memberikan
pencerahan, dan terus memotivasi.
17. Teman-teman mahasiswa bimbingan Bu Yuli dan Bu Izza yang telah
memberikan informasi dan memotivasi untuk bimbingan.
18. Teman-teman Katiguys yang luar biasa. Terima kasih atas kebersamaan,
kekeluargaan, dan kerjasamanya, semoga kelak sama-sama bertemu dalam
keadaan yang lebih baik dan lebih sukses.
19. Teman-teman Kesehatan Masyarakat 2012, Kesehatan Masyarakat Seluruh
Angkatan, HMPS Kesmas, FSK3 UIN, Paskibra SMAN 87, Pandawa Lima,
MT Nurul Hidayah, dan Remaja Mushollah Baaburrahim yang telah
memberikan semangat, memotivasi, dan mendoakan.
20. Semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu.
Peneliti berharap agar seluruh kebaikan yang diberikan Allah SWT balas
dengan kebaikan yang tak terhingga. Aamiin.
Jakarta, Desember 2016
Peneliti
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii
ABSTRAK ......................................................................................................... iv
ABSTRACT ........................................................................................................ v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................ vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii
DAFTAR BAGAN ........................................................................................... xiv
DAFTAR ISTILAH ........................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 10
C. Pertanyaan Penelitian ......................................................................... 10
D. Tujuan Penelitian ............................................................................... 12
1. Tujuan Umum ............................................................................. 12
2. Tujuan Khusus ............................................................................ 12
E. Manfaat Penelitian ............................................................................. 13
1. Bagi Pekerja ................................................................................ 13
2. Bagi PT. Sandratex...................................................................... 13
3. Bagi Peneliti Selanjutnya ............................................................ 13
F. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................. 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 15
A. Kualitas Tidur .................................................................................... 15
1. Definisi Kualitas Tidur ................................................................ 15
2. Fisiologi Tidur ............................................................................ 16
3. Manfaat Tidur Berkualitas ........................................................... 21
4. Gangguan Tidur .......................................................................... 22
5. Kebutuhan Tidur Wanita ............................................................. 26
6. Instrumen Pengukuran Kualitas Tidur ......................................... 28
B. Determinan Kualitas Tidur ................................................................. 30
1. Jenis Shift Kerja .......................................................................... 30
2. Stres Emosional .......................................................................... 41
3. Motivasi ...................................................................................... 45
4. Aktivitas Fisik ............................................................................. 46
5. Kebiasaan Makan ........................................................................ 49
6. Asupan Obat-Obatan ................................................................... 51
7. Penyakit Fisik ............................................................................. 53
8. Hipersomnia ................................................................................ 56
x
9. Sindrom Pramenstruasi................................................................ 60
10. Kehamilan ................................................................................... 64
11. Menopause .................................................................................. 65
12. Kelelahan .................................................................................... 68
C. Kerangka Teori .................................................................................. 73
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ................. 74
A. Kerangka Konsep ............................................................................... 74
B. Definisi Operasional .......................................................................... 75
C. Hipotesis ............................................................................................ 79
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 81
A. Desain Penelitian ............................................................................... 81
B. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 81
C. Populasi dan Sampel Penelitian .......................................................... 81
1. Populasi ...................................................................................... 81
2. Sampel ........................................................................................ 82
D. Instrumen Penelitian .......................................................................... 83
1. Uji Validitas dan Reliabilitas ....................................................... 93
E. Metode Pengumpulan Data ................................................................ 95
F. Pengolahan Data ................................................................................ 95
G. Analisa Data ...................................................................................... 97
BAB V HASIL PENELITIAN ........................................................................... 99
A. Analisis Univariat .............................................................................. 99
1. Gambaran Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT.
Sandratex Tahun 2016 ................................................................. 99
2. Gambaran Determinan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di
PT. Sandratex Tahun 2016 .......................................................... 99
B. Analisis Bivariat .............................................................................. 106
1. Hubungan antara Faktor Pekerjaan dengan Kualitas Tidur pada
Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 .................... 106
2. Hubungan antara Faktor Psikologis dengan Kualitas Tidur pada
Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 .................... 107
3. Hubungan antara Faktor Latihan Fisik dengan Kualitas Tidur pada
Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 .................... 109
4. Hubungan antara Faktor Konsumsi dengan Kualitas Tidur pada
Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 .................... 110
5. Hubungan antara Faktor Fisiologis dengan Kualitas Tidur pada
Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 .................... 112
BAB VI PEMBAHASAN ................................................................................ 117
A. Keterbatasan Penelitian .................................................................... 117
B. Kualitas Tidur .................................................................................. 117
C. Determinan Kualitas Tidur ............................................................... 122
xi
1. Hubungan antara Faktor Pekerjaan dengan Kualitas Tidur pada
Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 .................... 122
2. Hubungan antara Faktor Psikologis dengan Kualitas Tidur pada
Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 .................... 131
3. Hubungan antara Faktor Latihan Fisik dengan Kualitas Tidur pada
Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 .................... 138
4. Hubungan antara Faktor Konsumsi dengan Kualitas Tidur pada
Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 .................... 145
5. Hubungan antara Faktor Fisiologis dengan Kualitas Tidur pada
Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 .................... 156
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 180
A. Simpulan.......................................................................................... 180
B. Saran................................................................................................ 181
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 184
LAMPIRAN .................................................................................................... 190
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Kelebihan dan Kekurangan Instrumen Pengukuran Kualitas Tidur..... 28
Tabel 2.2. Kelebihan dan Kekurangan Instrumen Pengukuran Aktivitas Fisik .... 48
Tabel 2.3. Kebutuhan Zat Makanan Pada Wanita ............................................... 50
Tabel 2.4. Kelebihan dan Kekurangan Instrumen Pengukuran Hipersomnia ....... 58
Tabel 2.5. Kelebihan dan Kekurangan Instrumen Pengukuran Sindrom
Pramenstruasi .................................................................................................... 63
Tabel 2.6. Kelebihan dan Kekurangan Instrumen Pengukuran Kelelahan ........... 71
Tabel 3.1. Definisi Operasional .......................................................................... 75
Tabel 4.1. Jumlah Sampel Tiap Variabel ............................................................ 83
Tabel 4.2. Nomor Pertanyaan Tiap Komponen PSQI ......................................... 84
Tabel 4.3. Nomor Pertanyaan Kuesioner ESS .................................................... 91
Tabel 4.4. Coding pada Tiap Variabel ................................................................ 95
Tabel 5.1. Distribusi Kualitas Tidur Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun
2016................................................................................................................... 99
Tabel 5.2. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016
Berdasarkan Faktor Pekerjaan .......................................................................... 100
Tabel 5.3. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016
Berdasarkan Faktor Psikologis ......................................................................... 101
Tabel 5.4. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016
Berdasarkan Faktor Latihan Fisik ..................................................................... 101
Tabel 5.5. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016
Berdasarkan Faktor Konsumsi ......................................................................... 102
Tabel 5.6. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016
Berdasarkan Faktor Fisiologis .......................................................................... 103
Tabel 5.7. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016
Berdasarkan Faktor Fisiologis (Variabel Kelelahan)......................................... 104
Tabel 5.8. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016
Berdasarkan Faktor Pekerjaan dengan Kualitas Tidur....................................... 106
Tabel 5.9. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016
Berdasarkan Faktor Psikologis dengan Kualitas Tidur ...................................... 108
xiii
Tabel 5.10. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016
Berdasarkan Faktor Latihan Fisik dengan Kualitas Tidur ................................. 109
Tabel 5.11. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016
Berdasarkan Faktor Konsumsi dengan Kualitas Tidur ...................................... 110
Tabel 5.12. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016
Berdasarkan Faktor Fisiologis dengan Kualitas Tidur....................................... 113
Tabel 5.13. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016
Berdasarkan Variabel Kelelahan dengan Kualitas Tidur ................................... 113
xiv
DAFTAR BAGAN
Bagan 2. 1. Kerangka Teori................................................................................ 73
Bagan 3. 1. Kerangka Konsep ............................................................................ 74
xv
DAFTAR ISTILAH
BSR : Bulbar Synchronizing Region
EDS : Excessive Daytime Sleepiness
EEG : Elektroensefalogram
EKG : Elektrokardiogram
EMG : Elektromiogram
EOG : Elektrookulogram
ESS : Epworth Sleepiness Scale
IPAQ : International Physical Activity Questionnaire
METs : Metabolic Equivalents
NREM : Nonrapid Eye Movement
PMS : Premenstrual Syndrome
PSG : Polysomnography
PSQI : The Pittsburgh Sleep Quality Index
RAS : Reticular Activating System
REM : Rapid Eye Movement
RMR : Resting Metabolic Rate
SCN : Supra Chiasmatic Nucleus
SPAF : Shortened Premenstrual Assessment Form
SPSS : Statistical Program for Social Science
SSRT : Subjective Self Rating Test
SWS : Slow Wave Sleep
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Balasan
Lampiran 2 Kuesioner
Lampiran 3 Output
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada saat ini, terdapat berbagai macam industri yang didirikan untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia dan meningkatkan perekonomian suatu
negara. Industri tersebut banyak mempekerjakan tenaga kerja baik laki-laki
maupun wanita pada setiap proses produksinya. Menurut data BPS, sampai
dengan bulan Agustus 2014, jumlah angkatan kerja di Indonesia telah
mencapai 114,63 juta orang, dimana 42,38 juta orang di antaranya adalah
buruh/karyawan. Jumlah tenaga kerja diperkirakan akan terus mengalami
peningkatan seiring dengan perkembangan zaman, peningkatan jumlah
angkatan kerja, dan bertambahnya kebutuhan hidup manusia. Namun,
peningkatan jumlah tenaga kerja ternyata juga diikuti oleh permasalahan-
permasalahan di tempat kerja. Permasalahan yang timbul yaitu seperti
kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Selanjutnya, baik kecelakaan maupun
penyakit akibat kerja tersebut dapat mempengaruhi produktifitas, profitabilitas,
dan mengancam kelangsungan tempat kerja.
Kecelakaan maupun penyakit akibat kerja dapat disebabkan oleh banyak
faktor yang saling berkaitan. Menurut Kodrat (2011), kecelakaan dan
kesehatan kerja selalu berhubungan dengan kelelahan, shift, dan waktu kerja.
Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi konsentrasi, performa,
kewaspadaan, maupun ketelitian seseorang dalam melakukan pekerjaan.
Namun, Kodrat (2011) lebih spesifik menyebutkan bahwa tingkat kecelakaan
2
kerja dapat meningkat seiring dengan meningkatnya ketidakpuasan akibat shift
kerja.
Pada umumnya, shift kerja terdiri dari 3 jenis shift, yaitu shift pagi, siang,
dan malam. Dari ketiga jenis shift tersebut, shift malam diketahui mendominasi
tingginya tingkat kecelakaan di tempat kerja. Selain itu, tingkat kelelahan,
tekanan darah sistol dan diastol, denyut nadi, stres fisik dan stres mental pada
pekerja shift malam lebih tinggi daripada pekerja shift pagi (Kodrat, 2011).
Dari keseluruhan dampak yang ditimbulkan dari shift malam, gangguan tidur
merupakan keluhan yang paling sering dirasakan dan merupakan masalah
utama yang berkaitan dengan shift kerja (Handayani, 2008; Agustin, 2012).
Namun, gangguan tidur tidak hanya dapat dialami oleh pekerja shift malam,
melainkan juga pada seluruh pekerja yang bekerja dalam sistem shift kerja. Hal
ini dikarenakan sistem shift kerja membuat perubahan pola tidur yang
kemudian akan menyebabkan pekerja memiliki permasalahan atau gangguan
tidur. Selaras dengan Epstein dan Mardon (2010) yang menyebutkan bahwa
sekitar 60% hingga 70% pekerja shift mengalami gangguan tidur.
Tidur secara kuantitas menunjukkan durasi atau lamanya tidur, sedangkan
secara kualitas menunjukkan kedalaman tidur. Diketahui bahwa pemenuhan
kebutuhan tidur seseorang tidak bergantung pada kuantitasnya, melainkan
lebih kepada kualitasnya. Meskipun secara kuantitas tidur tidak lama, namun
jika mendapatkan tidur yang berkualitas maka ketika bangun tubuh akan terasa
segar kembali dan pola tidur yang demikian tidak mengganggu kesehatan
(Lanywati, 2001).
3
Seseorang yang mendapatkan kualitas tidur yang baik ditandai dengan
tidur yang tenang, merasa segar pada pagi hari, dan merasa bersemangat untuk
melakukan aktivitas (Craven dan Hirnle, 2000). Jika terjadi gangguan terhadap
pemenuhan tidurnya, maka akan berpengaruh terhadap kualitas tidur dan
tentunya akan menyebabkan seseorang mengalami gangguan tidur. Hasil
survey pada tahun 2005 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, orang
dewasa memiliki rata-rata jam tidur sekitar 6,9 jam setiap hari dan 65% di
antaranya mengeluhkan penurunan kuantitas tidur (lama waktu tidur), serta
40% responden mengalami penurunan jam tidur menjadi di bawah 7-8 jam
pada hari kerja (NSF, 2005).
Tidur merupakan kebutuhan wajib yang harus terpenuhi oleh setiap
manusia. Jika tidak ditangani, gangguan tidur dapat menimbulkan dampak
yang serius terhadap pekerja. Hal ini dikarenakan tidur merupakan kebutuhan
fisiologis yang paling dasar dari piramida kebutuhan dasar manusia (Tarihoran
dkk., 2015). Seperti pada tahun 1989, pernah terjadi kecelakaan kapal tanker
minyak Exxon Valdez yang disebabkan oleh kurangnya tidur dan penambahan
jam kerja (NTSB, 1995). Terhadap kesehatan, gangguan tidur juga dapat
menyebabkan kelelahan, gangguan pencernaan, gangguan psikologis, dan
gangguan metabolisme tubuh (Suma'mur, 2009). Selain terhadap keselamatan
dan kesehatan, gangguan tidur juga berkontribusi terhadap peningkatan biaya
kesehatan. Penelitian terhadap gangguan tidur yang dilakukan oleh pusat
nasional di Amerika memperkirakan bahwa setiap tahunya, gangguan tidur,
kurang tidur, dan rasa kantuk menambah setidaknya 15,9 milyar dollar
Amerika untuk tagihan perawatan kesehatan, dan perhitungan tersebut masih
4
belum termasuk dengan biaya hilangnya produktivitas dan kecelakaan (Epstein
dan Mardon, 2010).
Pada beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, diketahui
bahwa dampak gangguan tidur pada pekerja wanita lebih berpengaruh negatif
bila dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Studi yang dilakukan di Amerika
menunjukkan bahwa sekitar 20% wanita dewasa melaporkan telah mengalami
kantuk yang berlebihan, kelelahan atau bahkan keduanya, serta wanita muda
yang cenderung memiliki masalah tidur (NSF, 2016). Hasil survey tersebut
juga menunjukkan kecenderungan wanita dibandingkan pria mengalami
insomnia setidaknya beberapa malam perminggu dengan presentase sebesar
63% (NSF, 2016). Penelitian Haryono, dkk. (2009) dan Sumirta dan Laraswati
(2014) juga menunjukkan hal serupa, dimana responden wanita cenderung
memiliki prevalensi gangguan tidur yang lebih besar dari laki-laki. Hal ini
dapat disebabkan oleh perbedaan faktor fisiologis dan psikologis antara laki-
laki dan wanita.
Laki-laki diketahui memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap
shift kerja dibandingkan dengan wanita (EKU Online, 2016). Secara alamiah
wanita juga membutuhkan waktu tidur yang lebih lama dan lebih mudah
mengalami kelelahan dibandingkan dengan laki-laki (Oginska dan Pokorskri,
2006). Hal ini dapat disebabkan oleh keberadaan hormon estrogen dan
progesteron yang lebih dominan pada wanita, dimana hormon tersebut sangat
mempengaruhi kualitas tidur. Hormon tersebut diketahui turut berperan dalam
proses tidur seseorang.
5
Secara psikologis, kemampuan koping dalam mengatasi masalah pada
wanita lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, sehingga wanita lebih
mudah mengalami kecemasan yang dapat menyebabkan insomnia (Sumirta
dan Laraswati, 2014). Permasalahan baik dari faktor fisiologis maupun
psikologis tersebutlah yang membuat permasalahan tidur wanita menjadi lebih
kompleks.
Selain faktor jenis shift kerja, terdapat faktor-faktor lain yang juga dapat
mempengaruhi kualitas tidur seseorang. Faktor psikologis seperti motivasi dan
stres emosional dapat mempengaruhi tidur seseorang. Seseorang yang
mengalami stres emosional akan merasa cemas, sensitif, mudah tersinggung,
fikiran kacau, marah, mental terganggu, dll. Perasaan tersebut yang kemudian
dapat menimbulkan gangguan tidur yang serius (Potter dan Perry, 2005).
Pekerjaan yang meletihkan dan penuh dengan stres juga dapat menyebabkan
seseorang mengalami kelelahan yang berlebihan sehingga membuat pekerja
tersebut menjadi sulit tidur (Potter dan Perry, 2005). Kemudian, ketika
mengalami rintangan atau halangan untuk dapat tidur, maka motivasi untuk
tidur juga akan hilang. Motivasi berpengaruh terhadap tidur dan dapat
menimbulkan keinginan untuk tetap terjaga dan waspada menahan kantuk
(Tarwoto dan Wartonah, 2010). Keinginan tersebut yang membuat seseorang
menjadi mengalami gangguan tidur.
Aktivitas fisik diketahui dapat mempengaruhi tidur. Seseorang yang
melakukan aktivitas fisik dan kemudian mengalami kelelahan akan lebih cepat
tertidur. Kelelahan menengah membuat seseorang akan memperoleh tidur yang
mengistirahatkan, khususnya jika kelelahan disebabkan oleh pekerjaan atau
6
latihan yang menyenangkan (Agustin, 2012). Kelelahan akan membuat tahap
tidur gelombang lambat (NREM) diperpendek (Uliyah dan Hidayat, 2008).
Namun, berbeda halnya jika yang dialami adalah aktivitas fisik berat. Aktivitas
fisik yang menimbulkan kelelahan berlebihan terutama jika dilakukan
menjelang waktu tidur akan membuat seseorang sulit tidur dan tetap terjaga
(Rafknowledge, 2004).
Faktor konsumsi seperti kebiasaan makan dan asupan obat-obatan juga
dapat mempengaruhi tidur. Terpenuhinya kebutuhan asupan makanan dapat
mempercepat tidur, namun jika asupanya tidak adekuat maka dapat
menyebabkan seseorang menjadi sulit tidur (Uliyah dan Hidayat, 2008). Hal
ini dikarenakan ketika seseorang mengkonsumsi makanan yang adekuat maka
akan menyuplai kadar gula darah dalam tubuh sehingga membantu tidur. Selain
itu, konsumsi obat-obatan juga akan mengganggu tidur. Terdapat beberapa
jenis obat yang dapat mengganggu fisiologi tidur, misalnya analgetika (yang
mengandung kofein), anoreksansia, glukokortikoida, agonis dopamin, beta-
blockers, dan beberapa obat psikotropik (fluoksetin, risperidon, sindrom
penarikan benzodiazepin) (Tjay dan Rahardja, 2007). Pada umumnya,
gangguan tidur disebabkan oleh obat-obatan yang dapat mengurangi tidur
REM dan membuat seseorang menjadi lebih sulit tertidur (Gracia dkk., 2011).
Konsumsi obat sangat erat kaitannya dengan penyakit fisik yang dialami.
Penyakit yang dialami seseorang dapat meningkatkan atau mengurangi tidur.
Penyakit akan mengganggu fungsi organ tubuh dan dapat menyebabkan
seseorang menjadi sulit untuk memulai tidur (initial insomnia) (Lanywati,
2001). Namun, orang yang sedang sakit pada umumnya juga membutuhkan
7
waktu istirahat dan tidur yang lebih banyak dikarenakan tubuh sedang bekerja
keras untuk menyediakan energi agar dapat segera pulih (Nurlela dkk., 2009).
Keluhan kesehatan yang ditimbulkan penyakit juga diketahui akan
mengganggu tidur seseorang. Keluhan yang ditimbulkan dapat berbeda-beda,
seperti nyeri, sesak nafas, ketidaknyamanan, dll. Hal tersebut yang kemudian
menyebabkan seseorang mengalami permasalahan pada tidurnya.
Secara alamiah, jumlah hormon estrogen dan progesteron pada wanita yang
lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Fluktuasi jumlah hormon tersebut
terjadi ketika wanita mengalami sindrom pramenstruasi, hamil, dan
menopause. Bahkan, gangguan tidur seperti hipersomnia juga dapat terjadi
ketika hormon tersebut mengalami penurunan. Selain itu, penurunan hormon
tersebut juga dapat mempengaruhi kualitas tidur. Penurunan kadar estrogen
dan progesteron menyebabkan wanita mengalami gangguan tidur seperti
insomnia, hipersomnia, dan mimpi buruk (Gracia dkk., 2011; Sulistiyowati dan
Nisa, 2014). Kualitas tidur terganggu akibat reseptor hormon tersebut yang
terletak pada bagian tersendiri di hipotalamus, dimana posisi tersebut
mempengaruhi irama sirkadian dan pola tidur secara langsung (Prasadja,
2009). Kemudian, hipersomnia diketahui dapat mempengaruhi tidur akibat
ketidakmampuan mempertahankan kondisi terjaga. Seseorang yang
mengalami hipersomnia membutuhkan waktu tidur yang lebih lama, namun
selalu merasa lesu dan letih sepanjang hari (Apriadji, 2007).
Dari berbagai industri yang ada, jenis industri yang paling banyak
menerapkan sistem shift kerja adalah industri manufaktur dan produksi dengan
persentase sebesar 83% (EKU Online, 2016). PT. Sandratex merupakan
8
perusahaan yang bergerak di bidang produksi tekstil yang berlokasi di
Tangerang Selatan dan turut mempekerjakan pekerja shift wanita pada seluruh
jenis shift kerjanya. Proses produksi yang dijalankan perusahaan tersebut yaitu
terdiri dari proses pembuatan kapas menjadi benang dan setelah itu diproses
kembali sampai menjadi kain. Proses produksi tersebut dilakukan terus-
menerus selama 24 jam.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada perwakilan
pekerja, terdapat beberapa fenomena terkait dengan permasalahan kualitas
tidur pekerja shift wanita. Pekerja sering mengeluhkan kondisi tubuh yang
tidak fit terutama setelah bekerja pada shift malam. Selain itu, pekerja wanita
sering merasakan rasa kantuk yang tak tertahankan dan sakit kepala setelah
pulang bekerja. Hal tersebut tentu membuat pekerja wanita tidak dapat
mengerjakan pekerjaan rumah dan kegiatan sosial lainnya setelah pulang
bekerja.
Hasil wawancara tersebut didukung dengan hasil studi pendahuluan yang
dilakukan kepada 30 pekerja shift wanita di PT. Sandratex. Hasil studi
pendahuluan menunjukkan bahwa mayoritas pekerja shift wanita memiliki
kualitas tidur yang buruk (70%). Dari 70% pekerja yang memiliki kualitas tidur
yang buruk tersebut, 42,86% di antaranya dialami oleh pekerja shift malam,
38,09% oleh pekerja shift pagi, dan 19,05% oleh pekerja shift siang. Hasil studi
pendahuluan yang telah dilakukan juga dikuatkan dengan hasil wawancara
dengan pengawas dan perwakilan pekerja. Berdasarkan hasil wawancara
tersebut, diketahui bahwa terdapat beberapa kasus kecelakaan yang disebabkan
oleh rasa kantuk yang dialami pekerja. Kecelakaan yang dialami yaitu seperti
9
tergores, terjepit, tertabrak dan menabrak mesin, serta tertarik mesin. Selain itu,
baik rekan kerja maupun pengawas juga kerap kali menemukan pekerja yang
tidur di saat seharusnya mereka bekerja atau bahkan mengerjakan pekerjaanya
sambil tertidur.
Rasa kantuk yang dialami pekerja ketika menjalankan pekerjaan
merupakan salah satu indikasi buruknya kualitas tidur pekerja. Namun, tidak
diketahui secara pasti berapa banyak kejadian kecelakaan yang berhubungan
dengan gangguan tidur maupun jumlah pekerja. Pekerjaan yang dilakukan
dalam proses produksi tekstil tergolong ke dalam pekerjaan yang
membutuhkan tingkat kewaspadaan yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan
pekerja berhadapan langsung dengan mesin yang berpotensi menyebabkan
pekerja mengalami kecelakaan seperti tergores, terpotong, tertarik, dsb. Oleh
karena itu, jika pekerja melakukan pekerjaan sambil tertidur, maka dapat
sangat membahayakan dirinya dan dapat menyebabkan kecelakaan serius.
Gangguan terhadap kualitas tidur merupakan permasalahan yang paling
sering dialami oleh pekerja shift. Keseluruhan dampak yang ditimbulkan juga
dapat berimbas pada produktifitas, profitabilitas, dan mengancam
kelangsungan tempat kerja. Perlu dilakukan penelitian yang difokuskan untuk
meneliti kualitas tidur pada pekerja shift wanita. Dengan demikian, dapat
diketahui faktor pencetus yang mempengaruhi kualitas tidur pada pekerja shift
wanita. Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti merasa tertarik untuk
melakukan penelitian yang berjudul analisis determinan kualitas tidur pada
pekerja shift wanita di PT. Sandratex tahun 2016.
10
B. Rumusan Masalah
Penerapan shift kerja telah menimbulkan dampak negatif yang cukup
serius terhadap pekerja. Dari keseluruhan dampak yang ditimbulkan, gangguan
tidur merupakan masalah utama yang berkaitan dengan shift kerja. Gangguan
tidur terjadi disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan tidur seseorang.
Kemudian, diketahui bahwa pemenuhan tidur seseorang bergantung pada
kualitas tidurnya. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan kepada
30 pekerja shift wanita PT. Sandratex, diketahui terdapat 70% pekerja wanita
memiliki kualitas tidur yang buruk. Hal tersebut diduga disebabkan oleh faktor
pekerjaan (jenis shift kerja), faktor psikologis (stres emosional), faktor latihan
fisik (aktivitas fisik), faktor konsumsi (kebiasaan makan dan asupan obat-
obatan), dan faktor fisiologis (penyakit fisik, hipersomnia, sindrom
pramenstruasi, menopause, dan kelelahan). Jika permasalahan tersebut tidak
diatasi, maka dapat menimbulkan dampak yang serius bagi pekerja shift
wanita. Keseluruhan dampak yang ditimbulkan tersebut juga akan berimbas
pada produktifitas, profitabilitas, dan mengancam kelangsungan tempat kerja.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dilakukan pembuktian apakah
faktor-faktor tersebut berhubungan dengan kualitas tidur pada pekerja shift
wanita.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT.
Sandratex Tahun 2016 ?
11
2. Bagaimana gambaran determinan kualitas tidur yaitu faktor pekerjaan
(jenis shift kerja), faktor psikologis (stres emosional), faktor latihan fisik
(aktivitas fisik), faktor konsumsi (kebiasaan makan dan asupan obat-
obatan), dan faktor fisiologis (penyakit fisik, hipersomnia, sindrom
pramenstruasi, menopause, dan kelelahan) ada pekerja shift wanita di PT.
Sandratex Tahun 2016 ?
3. Apakah terdapat hubungan antara faktor pekerjaan (jenis shift kerja)
dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun
2016 ?
4. Apakah terdapat hubungan antara faktor psikologis (stres emosional)
dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun
2016 ?
5. Apakah terdapat hubungan antara faktor latihan fisik (aktivitas fisik)
dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun
2016 ?
6. Apakah terdapat hubungan antara faktor konsumsi (kebiasaan makan dan
asupan obat-obatan) dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT.
Sandratex Tahun 2016 ?
7. Apakah terdapat hubungan antara faktor fisiologis (penyakit fisik,
hipersomnia, sindrom pramenstruasi, menopause, dan kelelahan) dengan
kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 ?
12
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Diketahuinya determinan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di
PT. Sandratex Tahun 2016.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya gambaran kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT.
Sandratex Tahun 2016.
b. Diketahuinya gambaran determinan kualitas tidur yaitu faktor
pekerjaan (jenis shift kerja), faktor psikologis (stres emosional), faktor
latihan fisik (aktivitas fisik), faktor konsumsi (kebiasaan makan dan
asupan obat-obatan), dan faktor fisiologis (penyakit fisik,
hipersomnia, sindrom pramenstruasi, menopause, dan kelelahan).
c. Diketahuinya hubungan antara faktor pekerjaan (jenis shift kerja)
dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun
2016.
d. Diketahuinya hubungan antara faktor psikologis (stres emosional)
dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun
2016.
e. Diketahuinya hubungan antara faktor latihan fisik (aktivitas fisik)
dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun
2016.
f. Diketahuinya hubungan antara faktor konsumsi (kebiasaan makan dan
asupan obat-obatan) dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di
PT. Sandratex Tahun 2016.
13
g. Diketahuinya hubungan antara faktor fisiologis (penyakit fisik,
hipersomnia, sindrom pramenstruasi, menopause, dan kelelahan)
dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun
2016.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pekerja
Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi pekerja, sehingga
pekerja dapat mengetahui determinan kualitas tidur. Dengan demikian,
pekerja dapat meningkatkan kualitas tidurnya.
2. Bagi PT. Sandratex
Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi, masukan, dan
pertimbangan bagi perusahaan untuk melakukan upaya yang dapat
meningkatkan kualitas tidur pekerja shift wanita di PT. Sandratex.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi peneliti
selanjutnya terkait dengan determinan kualitas tidur pada pekerja
khususnya pekerja shift wanita. Selain itu, penelitian ini juga dapat
menjadi referensi bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian serupa
maupun yang ingin mengembangkan penelitian.
F. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui determinan kualitas tidur pada
pekerja shift wanita di PT. Sandratex. Penelitian ini perlu dilakukan karena
14
perusahaan ini telah menerapkan shift kerja dan turut mempekerjakan wanita
dalam sistem shift kerjanya. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni –
September 2016. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan
menggunakan desain cross sectional deskriptif dan analitik. Populasi pada
penelitian adalah pekerja shift wanita di PT. Sandratex dan sampel penelitian
dipilih menggunakan metode simple random sampling. Data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data primer yang dikumpulkan dengan
menggunakan kuesioner. Uji statistik dilakukan dengan menggunakan analisis
Chi-Square dan Mann-Whitney.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kualitas Tidur
1. Definisi Kualitas Tidur
Kualitas tidur menunjukkan kedalaman tidur seseorang (Lanywati,
2001). Siagian (2014) mendefinisikan kualitas tidur sebagai kepuasan
seseorang terhadap tidurnya. Menurut Mutfiani (2012), kualitas tidur
merupakan kemampuan individu untuk tidur dan memperoleh jumlah
istirahat sesuai dengan kebutuhannya. Menurut Dariah dan Okatiranti
(2015) kualitas tidur adalah jumlah tahapan NREM dan REM yang dialami
seseorang dalam siklus tidurnya secara normal. Kemudian, Nashori dan
Diana (2005) mendefinisikan kualitas tidur sebagai suatu keadaan dimana
tidur yang dijalani seorang individu menghasilkan kesegaran dan
kebugaran di saat terbangun. Kualitas tidur mencakup aspek-aspek
kuantitatif tidur, seperti onset tidur latensi, efisiensi tidur, dan fragmentasi
tidur, serta aspek yang lebih subjektif, seperti "kedalaman" atau
"restfulness" tidur (Perumal dkk., 2016). Kualitas tidur yang baik ditandai
dengan tidur yang tenang, merasa segar pada pagi hari, dan merasa
bersemangat untuk melakukan aktivitas (Craven dan Hirnle, 2000).
16
2. Fisiologi Tidur
Fisiologi tidur merupakan suatu pengaturan kegiatan tidur yang
melibatkan hubungan mekanisme serebral secara bergantian agar
mengaktifkan dan menekan pusat otak untuk dapat tidur dan bangun
(Uliyah dan Hidayat, 2008). Fisiologi tidur diatur di otak tepatnya di dalam
mesensefalon dan bagian atas pons. Ketika tidur, aktivitas saraf
parasimpatis meningkat, kemudian terjadi penyempitan pupil (myosis),
perlambatan pernapasan dan sirkulasi darah (bronchokonstriksi dan
menurunnya kegiatan jantung), serta simulasi aktivitas saluran cerna
dengan penguatan peristaltik dan sekresi getah lambung-usus (Tjay dan
Rahardja, 2007).
Fisiologis tidur dapat diketahui dengan menggunakan
polysomnography (PSG). PSG merupakan seperangkat alat yang mampu
menganalisis peristiwa yang terjadi di dalam tubuh selama proses tidur
berlangsung (Prasadja, 2009). Seperangkat alat PSG terdiri dari
elektroensefalogram (EEG), elektromiogram (EMG), elektrookulogram
(EOG), elektrokardiogram (EKG), gerakan nafas, aliran udara nafas,
gerakan kaki, posisi tubuh, dan kadar oksigen dalam darah (Prasadja,
2009). Fungsi EEG, EMG, EOG, dan EKG yaitu untuk mengukur aktivitas
listrik otak, mengukur tonus otot, mengukur gerakan bola mata, dan
mengukur denyut jantung. Fisiologi tidur juga dikendalikan oleh sistem
Reticular Activating System (RAS) dan Bulbar Synchronizing Region
(BSR). Seseorang terbangun akibat neuron dalam sistem RAS yang
17
melepaskan katekolamin seperti norepinefrin dan pada saat tidur terjadi
pelepasan serum serotonin dari sel BSR (Uliyah dan Hidayat, 2008).
a. Irama Sirkadian (Circadian Rhythm)
Proses tidur diatur oleh mekanisme alamiah yang disebut dengan
irama sirkadian atau circadian rhythm. Irama sirkadian merupakan
siklus yang berlangsung selama 24 jam, dimana bermacam-macam
fungsi tubuh mengalami fluktuasi (Hidayat, 2011). Fungsi tubuh yang
mengalami fluktuasi berhubungan dengan suhu tubuh, tingkat
metabolisme, detak jantung, tekanan darah, dan komposisi kimia
tertentu dalam tubuh (Maurits dan Widodo, 2008).
Dalam keadaan normal, irama sirkadian berfungsi mengatur
siklus biologi irama tidur bangun dimana sepertiga waktu untuk tidur
dan dua pertiga untuk bangun atau beraktivitas (Saftarina dan
Hasanah, 2014). Siklus irama sirkadian dapat mengalami pergeseran.
Jika siklus tidur bangun mengalami perubahan, maka akan
menghasilkan kualitas tidur yang buruk. Gejala umum yang
menunjukkan gangguan siklus tidur yaitu seperti kecemasan, kurang
istirahat, mudah tersinggung, dan gangguan penilaian (Potter dan
Perry, 2005). Irama sirkadian sangat erat kaitannya dengan gangguan
tidur serta keluhan-keluhan yang ditimbulkan dengan gangguan tidur.
Irama sirkadian berperan sebagai jam biologis dalam tubuh
(Prasadja, 2009). Jam biologis memberikan sensasi rasa segar
sehingga seseorang akan terjaga. Oleh karena itu, penting untuk
memperhatikan jam biologis dan jangan beraktivitas melawan jam
18
biologis tersebut. Irama sirkadian terletak di Supra Chiasmatic
Nucleus (SCN) yang berada tepat di atas persilangan saraf mata,
sehingga pengaturan jam biologis sangat peka terhadap perubahan
cahaya (Prasadja, 2009). Oleh karena itu, ketika cahaya mulai
meredup tubuh secara otomatis akan mempersiapkan diri untuk tidur.
Jika sudah memasuki waktu dimana tubuh harus tidur namun cahaya
dalam ruangan sangat terang, maka tubuh akan melawan perintah
untuk tidur.
Melatonin merupakan hormon yang mengatur irama sirkadian
(Sumirta dan Laraswati, 2014). Ketika tidur, tubuh akan
meningkatkan kadar melatonin dan menjaga agar kadar melatonin
tetap tinggi sepanjang malam, dimana hormon melatonin sangat
berperan dalam proses tidur dan kualitas tidur seseorang (Potter dan
Perry, 2005). Hormon melatonin juga sangat peka terhadap cahaya.
Cahaya dapat menghambat dan menurunkan kadar hormon tersebut.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa cahaya dapat
menghambat mekanisme irama sirkadian (jam biologis) (Prasadja,
2009).
b. Tahapan Siklus Tidur
Siklus tidur terbagi menjadi dua tahapan, yaitu sebagai berikut :
1) Tidur Gelombang Lambat atau Nonrapid Eye Movement atau
Slow Wave Sleep (NREM 1 – NREM 3)
Nonrapid Eye Movement (NREM) atau Slow Wave Sleep
(SWS) dikenal dengan tidur yang dalam, istirahat penuh, dengan
19
gelombang otak yang lebih lambat, atau juga dikenal dengan tidur
nyenyak (Uliyah dan Hidayat, 2008). Tahapan tidur NREM
dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu :
a) Tahap NREM 1
Pada tahap NREM 1, seseorang akan mulai mengantuk
dan kehilangan kesadaran. Tahap NREM 1 merupakan tahap
drowsiness, yaitu tahapan dimana pikiran melayang-layang
tidak menentu tetapi masih menyadari kondisi di sekeliling
(Prasadja, 2009). Pada tahapan ini seseorang juga lebih
mudah terbangun karena masih dalam tidur yang dangkal.
Namun, aktivitas fisik, tanda vital, dan metabolisme sudah
mulai mengalami penurunan (Tarwoto dan Wartonah, 2010).
b) Tahap NREM 2
Pada tahap NREM 2, seseorang akan menjadi sulit
dibangunkan. Namun, pada tahapan ini kemungkinan
terbangun masih lebih mudah. Proses tubuh terus mengalami
penurunan dan tahapan ini berlangsung selama 10 hingga 20
menit (Potter dan Perry, 2005). Pada tahapan ini, otot juga
mulai mengalami relaksasi (Tarwoto dan Wartonah, 2010).
c) Tahap NREM 3
Tahap NREM 3 sebelumnya dikenal dengan tahapan
NREM 3 dan NREM 4. Namun, karena dianggap tidak
terdapat perbedaan bermakna secara klinis, maka tahapan
NREM 3 dan NREM 4 diubah menjadi N3 (Prasadja, 2009).
20
Tahapan ini disebut juga tidur dalam (slow wave). Pada
tahapan ini seseorang menjadi sulit dibangunkan dan tahapan
ini merupakan awal dari tidur nyenyak (Tarwoto dan
Wartonah, 2010). Dibutuhkan rangsangan yang kuat untuk
membangunkan seseorang yang telah memasuki tahap
NREM 3.
Ketika terbangun dari tidur dalam, seseorang
membutuhkan waktu beberapa saat untuk mengembalikan
kesadaran. Pada tahapan ini, tubuh juga mengeluarkan
hormon pertumbuhan atau growth hormone dan prolaktin.
Hormon pertumbuhan berfungsi untuk pertumbuhan dan
perbaikan jaringan yang rusak, sedangkan prolaktin banyak
terdapat pada ibu menyusui (Prasadja, 2009). Kemudian,
pada tahapan ini juga terjadi restorasi dan istirahat, tonus otot
menurun, sekresi lambung menurun, dan gerak bola mata
cepat (Tarwoto dan Wartonah, 2010).
2) Tidur Paradoks atau Rapid Eye Movement (REM)
Pada tahapan ini seseorang akan mengalami mimpi yang
penuh warna dan tampak hidup (Potter dan Perry, 2005).
Menjelang pagi hari, tubuh akan melepaskan hormon kortisol
(hormon stres) yang membuat tubuh siap menghadapi hari baru
dengan segar (Prasadja, 2009). Tahapan tidur ini sangat penting
untuk keseimbangan mental, emosi, memori, dan adaptasi
(Tarwoto dan Wartonah, 2010).
21
3. Manfaat Tidur Berkualitas
Tidur yang berkualitas memberikan banyak manfaat bagi tubuh.
Memperoleh kualitas tidur terbaik merupakan hal penting yang bertujuan
untuk meningkatkan kesehatan dan pemulihan seseorang yang sakit
(Potter dan Perry, 2005). Selain itu, ketika seseorang mendapatkan tidur
yang berkualitas, maka dapat memelihara otot jantung, memperbaiki
proses biologis secara rutin, menyimpan energi selama tidur, dan untuk
pemulihan fungsi kognitif (Umami dan Priyanto, 2012). Umami dan
Priyanto (2012) juga menyebutkan bahwa tidur yang berkualitas
berpengaruh terhadap pemulihan fungsi kognitif, dimana pada tahan tidur
REM terjadi perubahan aliran darah serebral, peningkatan aktivitas
kortikal, peningkatan konsumsi oksigen, dan pelepasan epinefrin.
Menurut Uliyah dan Hidayat (2008), secara umum tidur memberikan
dua efek fisiologis pada tubuh. Efek pertama yaitu terhadap sistem saraf
yang dapat memulihkan kepekaan normal dan keseimbangan di antara
berbagai susunan saraf dan efek kedua terhadap struktur tubuh yang dapat
memulihkan kesegaran dan fungsi organ dikarenakan selama tidur terjadi
penurunan aktivitas organ-organ tubuh. Selain itu, menurut Maghfirah
(2015) bila dilihat secara spesifik, manfaat dari tidur yaitu :
a. Terjadi penguraian zat sisa metabolisme tubuh.
b. Proses perbaikan sel-sel tubuh.
c. Terjadi proses regenerasi (perbaikan, perubahan, dan perkembangan)
sel.
d. Terjadi proses stabilisasi hormonal ketika tidur.
22
4. Gangguan Tidur
Gangguan tidur merupakan masalah yang dialami seseorang terhadap
pemenuhan kebutuhan tidurnya. Kurang tidur dapat menimbulkan efek
negatif seperti menurunnya kemampuan berpikir dan bekerja, membuat
kesalahan, dan sulit untuk mengingat sesuatu (Amran dan Handayani,
2012). Selain itu, tidur yang tidak adekuat juga dapat berdampak pada
aspek fisiologi seperti penurunan aktivitas sehari-hari, rasa capai, lemah,
proses penyembuhan lambat, daya tahan tubuh menurun, dan
ketidakstabilan tanda-tanda vital (Nurlela dkk., 2009).
Penting sekali mengetahui gangguan tidur apa yang diderita
seseorang. Hal ini dikarenakan gangguan tidur dapat memberikan dampak
negatif baik terhadap keselamatan maupun kesehatan. Pengetahuan yang
memadai mengenai gangguan tidur dapat menghindarkan diri dari efek
negatif serta dapat dilakukan upaya yang tepat untuk mengatasinya.
Gangguan tidur yang dialami antara satu orang dengan orang lainnya
dapat berbeda-beda. Gangguan tidur yang umum terjadi yaitu sebagai
berikut :
a. Insomnia
Insomnia merupakan salah satu gangguan tidur yang paling
sering dialami oleh seseorang. Insomnia atau sukar tidur merupakan
suatu keadaan yang menyebabkan individu tidak mampu
mendapatkan tidur yang adekuat baik secara kualitas maupun
kuantitas, sehingga individu tersebut hanya tidur sebentar atau susah
untuk tertidur (Uliyah dan Hidayat, 2008). Terdapat tanda dan gejala
23
insomnia. Insomnia ditandai dengan gejala kesulitan memulai tidur
(initial insomnia) dan bangun terlalu awal (early awakening)
(Lanywati, 2001).
Definisi insomnia kini juga disertai dengan gejala atau keluhan di
siang hari berupa rasa lelah, kantuk, gangguan mood, penurunan
kemampuan kognitif, dan gangguan hubungan sosial (Prasadja, 2009).
Insomnia akan merubah pola tidur dan membuat tubuh menjadi tidak
bertenaga. Hal ini dikarenakan insomnia menyebabkan penderitanya
tidak mendapatkan tidur yang berkualitas, sehingga mengalami tidur
yang dangkal dan tidak menyegarkan walaupun cukup waktu dan
tidak terbangun (Prasadja, 2009).
Insomnia dapat disebabkan oleh banyak faktor. Antara satu orang
dengan orang lainnya memiliki faktor penyebab atau pencetus yang
berbeda. Insomnia kerap ditemukan pada lansia, wanita hamil, wanita
PMS, dll. Insomnia dapat disebabkan oleh stres situasional (masalah
keluarga, kerja, jet lag, penyakit, atau kehilangan orang yang dicintai),
kekhawatiran, kecemasan, dan kebiasaan tidur yang buruk (Potter dan
Perry, 2005).
b. Apnea Tidur
Apnea tidur dikenal juga dengan sleep apnea atau obstructive
sleep apnea atau tidur mendengkur. Apnea tidur merupakaan keadaan
dimana seseorang mengalami kekurangan aliran udara melalui hidung
dan mulut selama 10 detik atau lebih pada saat tidur (Potter dan Perry,
2005).
24
Mendengkur hingga saat ini masih dianggap sebagai keadaan
seseorang yang tertidur lelap. Padahal mendengkur merupakan
gangguan tidur yang paling banyak dialami dan dapat sangat
berbahaya. Seseorang yang mengalami apnea tidur akan mengalami
berhenti bernafas ketika tidur (Prasadja, 2009).
Apnea tidur dapat menyebabkan seseorang tidak mendapatkan
tidur yang berkualitas. Hal ini dikarenakan pada saat berhenti
bernafas, akan diikuti dengan usaha nafas (gasping) yang
membangunkan otak sejenak (micro arousal), sehingga akan
memotong tidur seseorang (Prasadja, 2009). Selain itu, gejala yang
umum terjadi pada penderita apnea tidur yaitu adalah hipersomnia
atau EDS (Prasadja, 2009). Dengan demikian, penderita apnea tidur
akan mengalami rasa kantuk yang berlebihan pada saat siang hari.
Rasa kantuk yang berlebihan tersebut tentu dapat mengancam
keselamatan penderitanya.
c. Narkolepsi
Narkolepsi merupakan gangguan tidur yang menyebabkan
seseorang merasakan kantuk yang berlebihan pada siang hari.
Meskipun sudah tidur dalam waktu 15 menit, namun dalam waktu
singkat rasa kantuk akan datang kembali. Pada malam hari, banyak
penderita narkolepsi yang mengalami kesulitan untuk tidur (Prasadja,
2009). Ketika seseorang menderita narkolepsi, maka orang tersebut
akan mengalami disfungsi mekanisme yang mengatur keadaan
bangun dan tidur (Potter dan Perry, 2005).
25
Rasa kantuk yang menyerang ketika siang hari ini sangat
mengganggu aktivitas sehari-hari. Penderitanya tidak mampu
mengendalikan keinginan untuk tidur (Tarwoto dan Wartonah, 2010).
Terutama jika rasa kantuk muncul ketika sedang melakukan
pekerjaan. Tentu hal ini dapat mengancam keselamatan orang
tersebut. Tak jarang, seseorang yang menderita narkolepsi dianggap
sebagai seorang pemalas, kurang antusias, dan tidak bersemangat
dalam melakukan pekerjaan. Ciri-ciri seseorang yang menderita
narkolepsi yaitu (Prasadja, 2009):
1) Excessive Daytime Sleepiness
2) Cataplexy
3) Sleep Paralysis
4) Hypnagogic/Hypnopompic Hallucination
d. Sleep Paralysis
Sleep paralysis merupakan suatu keadaan dimana seseorang
mengalami kelumpuhan atau tidak dapat menggerakkan tubuhnya
ketika tidur (Prasadja, 2009). Sleep paralysis terjadi ketika tubuh
mengalami kelelahan dan penumpukkan utang tidur. Hal tersebut
menyebabkan otot-otot tidak dapat dikendalikan atau tidak dapat
digerakkan. Ketika mengalami sleep paralysis, menandakan bahwa
seseorang tersebut memasuki tahap tidur REM, dimana pada tahapan
tersebut hanya otot mata dan pernafasan yang tidak mengalami
kelumpuhan (Prasadja, 2009).
26
5. Kebutuhan Tidur Wanita
Pada umumnya, baik laki-laki maupun wanita dapat mengalami
gangguan pada tidurnya. Namun, wanita memiliki problematika tidur
tersendiri yang membutuhkan penanganan yang lebih kompleks. Wanita
diketahui memiliki kecenderungan untuk mengalami gangguan tidur.
Gangguan tidur yang cenderung dialami wanita seperti mengalami mimpi
buruk, kesulitan tidur, dan sering terbangun dibandingkan dengan pria
(Sumirta dan Laraswati, 2014). Penelitian-penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya juga menunjukkan bahwa gangguan tidur pada pekerja wanita
lebih berpengaruh negatif dibandingkan pada pekerja laki-laki. Seperti
pada penelitian yang dilakukan oleh Haryono, dkk. (2009) dan Sumirta
dan Laraswati (2014) yang menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan
responden wanita memiliki prevalensi gangguan tidur yang lebih besar
dari laki-laki. Hal tersebut dapat terjadi disebabkan oleh perbedaan
fisiologis dan psikologis antara laki-laki dan wanita.
Bekerja secara shift sangat berpengaruh terhadap wanita. Laki-laki
diketahui memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap shift kerja
dibandingkan dengan wanita (EKU Online, 2016). Secara alamiah, wanita
diketahui membutuhkan waktu tidur yang lebih lama dan lebih mudah
mengalami kelelahan dibandingkan dengan laki-laki (Oginska dan
Pokorskri, 2006). Hal ini dapat disebabkan oleh ketahanan fisik laki-laki
yang lebih kuat dibandingkan dengan wanita. Wanita memiliki massa otot
yang lebih sedikit dan kekuatan fisik yang lebih kecil (Harrington dan Gill,
27
2003). Hal tersebut yang kemudian dapat menyebabkan wanita lebih
mudah mengalami kelelahan.
Kelelahan yang disertai dengan stres emosional juga dapat
menyebabkan permasalahan lain terhadap tidurnya. Stres akan semakin
meningkatkan munculnya gangguan tidur akibat dari kecemasan dan
hilangnya ketenangan. Kelelahan hanya dapat diatasi dengan cara istirahat
yang cukup (Fajarwati dkk., 2011). Hal ini dikarenakan, ketika dalam
keadaan istirahat dan tidur, tubuh akan melakukan proses pemulihan untuk
mengembalikan stamina tubuh hingga dapat kembali ke dalam kondisi
yang optimal (Asmadi, 2008).
Ketika tidur terganggu, maka akan terjadi gangguan akibat perubahan
metabolisme tubuh. Salah satu perubahan yang terjadi yaitu pada produksi
hormon. Selain itu, terdapat perbedaan hormonal pada laki-laki dan
wanita. Jumlah hormon estrogen dan progesteron pada wanita lebih
dominan dibandingkan dengan laki-laki. Reseptor hormon estrogen dan
progesteron terletak pada bagian tersendiri di hipotalamus, dimana posisi
tersebut mempengaruhi irama sirkadian dan pola tidur secara langsung
(Prasadja, 2009). Keberadaan hormon estrogen dan progesteron pada
wanita secara langsung juga sangat berpengaruh pada masa Premenstrual
Syndrome (PMS), kehamilan, dan menopause. Keberadaan hormon
tersebut dapat menimbulkan gangguan tidur pada wanita.
Secara psikologis, kemampuan koping dalam mengatasi masalah pada
wanita lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, sehingga wanita lebih
mudah mengalami kecemasan yang dapat menyebabkan insomnia
28
(Sumirta dan Laraswati, 2014). Permasalahan secara psikologis dapat
memperburuk kualitas tidur wanita.
6. Instrumen Pengukuran Kualitas Tidur
Pengukuran kualitas tidur seseorang dapat dilakukan dengan
menggunakan beberapa instrumen. Berikut adalah kelebihan dan
kekurangan dari masing-masing instrumen kualitas tidur yang ada :
Tabel 2.1. Kelebihan dan Kekurangan Instrumen Pengukuran Kualitas Tidur
No Kuesioner Kelebihan Kekurangan
1 The Pittsburgh
Sleep Quality
Index (PSQI)
Mudah dalam
pengisiannya.
Waktu pengisian relatif
singkat.
Banyak digunakan untuk
meneliti kualitas tidur.
Telah diterjemahkan ke
dalam 48 bahasa (Buysse
dkk., 2008).
Telah digunakan dalam
berbagai studi berbasis
populasi dan klinis (Buysse
dkk., 2008).
Lebih terkait dengan
penilaian gejala psikologis
dan pengukuran catatan
harian tidur dibandingkan
dengan ESS (Buysse dkk.,
2008).
Memiliki konsistensi
internal dan koefisien
reliabilitas (Cronbach
Alpha) 0,83 dari 7
komponennya (Smyth,
1999).
Memiliki sensitivitas
89,6% dan spesifisitas
86,5% (Buysse dkk., 2008).
Tidak dapat
menggantikan
polysomnographic
(PSG), dikarenakan skor
PSQI tidak berkorelasi
dengan PSG (Grandner
dkk., 2006).
Tidak dapat digunakan
untuk skrining kelainan
tidur polysomnographic
(Buysse dkk., 2008).
29
No Kuesioner Kelebihan Kekurangan
Telah dilakukan uji
validitas yaitu sebesar 0,89
(Cunha, dkk., 2008), 0,84
(Fauziah, 2013).
Telah dilakukan uji
realibilitas sebesar 0,88
(Cueller dan Ratcliffe,
2008).
Telah dilakukan uji
realibilitas sebesar 0,766
(Agustin, 2012).
2 Sleep Quality
Scale (SQS) Waktu pengisian relatif
singkat
Instrumen yang valid dan
reliabel untuk pengukuran
kualitas tidur orang dewasa
(Kastler dan Davidson,
2007).
Dibandingkan dengan
PSQI, SQS mencakup item
tentang fungsi restoratif
setelah tidur, kesulitan
dalam bangun, dan
berbagai disfungsi siang
hari karena tidur (Kastler
dan Davidson, 2007).
Memiliki koefisien
Cronbach Alpha 0,92 (Yi
dkk., 2006).
Konsistensi internal dan
koefisien korelasi 0,81 (Yi
dkk., 2006).
Instrumen yang lebih
baru dari PSQI, sehingga
belum begitu banyak
digunakan seperti PSQI.
Belum banyak digunakan
di Indonesia sebagai
instrumen pengukuran
kualitas tidur.
3 Polysomnography
(PSG) Dilakukan oleh orang yang
sudah profesional.
Metode yang objektif untuk
pengukuran kualitas tidur
(Buysse dkk., 2008).
Metode yang tidak
praktis untuk digunakan
sebagai alat skrining
klinis atau penelitian
(Buysse dkk., 2008)
Mahal.
Hanya dapat dilakukan
oleh kalangan tertentu.
30
B. Determinan Kualitas Tidur
1. Jenis Shift Kerja
Pada umumnya, waktu kerja telah diatur oleh Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi dalam keputusan menteri. Menurut KEP.102/MEN/VI/2004,
waktu kerja normal untuk 6 hari kerja yaitu 7 jam/hari (hari ke 1-5), 5
jam/hari (hari ke 6) atau 40 jam/minggu, sedangkan untuk 5 hari kerja
yaitu 8 jam/hari atau 40 jam/minggu. Jika waktu kerja lebih dari waktu
tersebut, maka dihitung sebagai waktu kerja lembur. Agar dapat beroprasi
secara maksimal selama 24 jam, maka perusahaan menerapkan sistem shift
kerja dalam proses produksinya.
Shift kerja merupakan suatu cara mengorganisir waktu kerja harian
pada orang atau tim yang berbeda secara berturut-turut untuk waktu kerja
yang biasanya 8 jam, dan meliputi waktu keseluruhan 24 jam (Agustin,
2012). Definisi lain menyebutkan bahwa shift kerja merupakan pekerjaan
dengan jam kerja yang tidak biasa atau pekerjaan dimana jam kerjanya
berubah-ubah dan tidak teratur (Revalicha dan Sami'an, 2013). Kemudian,
Murits dan Widodo (2008) mendefinisikan shift kerja sebagai periode
waktu dimana suatu kelompok pekerja dijadualkan bekerja pada tempat
kerja tertentu.
Diketahui jumlah pekerja shift di Negara Uni Eropa hampir mencapai
22% (Utami dan Bayhakki, 2009). Sedangkan, di negara berkembang
sendiri jumlah pekerja shift diperkirakan berkisar antara 15-30% (Silaban,
1998 dalam Dewi, 2006). Belum diketahui secara pasti berapa banyak
jumlah pekerja shift di Indonesia. Namun, diperkirakan jumlah pekerja
31
shift di Indonesia terus mengalami peningkatan seiring dengan
bertambahnya jumlah angkatan kerja.
Pada umumnya, shift kerja terdiri dari tiga jenis, yatu shift pagi, siang,
dan malam. Durasi atau jam kerja pada tiap-tiap perusahaan dapat berbeda-
beda tergantung dengan jenis dan kebutuhan perusahaan. Penerapan shift
kerja dilakukan untuk meningkatkan produktivitas suatu perusahaan.
Namun, penerapan shift ternyata memberikan dampak negatif terhadap
pekerja, baik terhadap keselamatan maupun kesehatan. Shift kerja akan
berdampak dan mempengaruhi pekerja pada aspek-aspek sebagai berikut :
a. Aspek Fisiologis
Pada aspek fisiologis, shift kerja akan mempengaruhi irama
sirkadian seseorang. Hal ini dikarenakan irama sirkadian adalah dasar
pada siklus tidur dan bangun harian (Maurits dan Widodo, 2008). Efek
negatif yang ditimbulkan pada aspek fisiologis yaitu kapasitas fisik
menurun akibat perasaan mengantuk dan lelah, menurunnya nafsu
makan, dan gangguan pencernaan (Saftarina dan Hasanah, 2014).
b. Aspek Psikologis
Stres merupakan aspek psikologis yang sering terjadi pada
pekerja. Stres akibat shift akan menyebabkan kelelahan (fatigue) yang
dapat menyebabkan gangguan psikis pada pekerja seperti
ketidakpuasan dan iritasi, sehingga seiring dengan meningkatnya
stres, fatigue dan ketidakpuasan akibat shift juga dapat meningkatkan
kecelakaan (Maurits dan Widodo, 2008). Stres juga dapat
menimbulkan dampak bagi kesehatan. Stres akan mempengaruhi
32
keseimbangan sistem kekebalan tubuh (Wildani, 2012). Sistem
kekebalan tubuh yang terganggu dapat membuat tubuh mudah
terserang berbagai penyakit.
c. Aspek Kinerja
Menurut Hidayat (2011), kinerja secara umum diukur dalam tiga
variabel yaitu produktivitas, jumlah kesalahan, dan jumlah
kecelakaan. Pada malam hari, tingkat produktivitas, jumlah kesalahan,
dan jumlah kecelakaan jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan
siang hari. Hal tersebut disebabkan oleh menurunnya konsentrasi dan
kewaspadaan akibat pekerja yang mengantuk. Seseorang yang kurang
tidur tidak dapat mengenali saat-saat kantuk akan menyerang
(Prasadja, 2009). Hal tersebut membuat seseorang tidak tahu kapan
dirinya harus berhenti untuk beristirahat agar konsentrasi dan
kewaspadaan dapat tetap terjaga.
d. Aspek Domestik dan Sosial
Secara sosial, shift kerja juga akan mempengaruhi sosialisasi
pekerja karena interaksinya terhadap lingkungan menjadi terganggu
(Maurits dan Widodo, 2008). Hal ini disebabkan oleh waktu
sosialisasi di lingkungan selain lingkungan pekerjaan yang semakin
berkurang. Pekerja yang yang bekerja dalam sistem peputaran jadwal
shift sulit untuk mengembangkan dan mempertahankan interaksi
sosial dengan teman-teman yang kebetulan berada di pergeseran
berbeda karena proses rotasi, sehingga pekerja mengalami isolasi
sosial (Hidayat, 2011).
33
Dari ketiga shift yang umum diterapkan, shift malam memiliki
dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan kedua jenis shift
lainnya. Pekerja pada shift malam memiliki tingkat kelelahan, tekanan
darah sistol dan diastol, denyut nadi, stres fisik dan stres mental lebih
tinggi daripada pekerja shift pagi (Kodrat, 2011). Kelelahan pada kerja
shift malam relatif sangat besar dikarenakan faktor faal dan metabolisme
yang tidak dapat diserasikan serta kuatnya kerja saraf parasimpatis pada
malam hari (Suma'mur, 2009).
Secara teoritis, gangguan tidur terhadap wanita memiliki dampak
negatif yang lebih besar dibandingkan dengan laki-laki, meskipun
keduanya dapat mengalami gangguan tidur yang sama. Ketika bekerja
pada shift malam, produksi hormon melatonin juga menjadi tidak sesuai,
sehingga dapat meningkatkan risiko terhadap penyakit kanker payudara
(Agustin, 2012).
a. Pengaturan Shift Kerja
Penerapan sistem shift kerja di perusahaan harus memperhatikan
aturan-aturan tertentu. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah atau
mengurangi dampak yang diberikan oleh penerapan shift kerja.
berikut adalah hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan
shift kerja :
1) Menurut Suma’mur (1999) dan Suma’mur (2009)
a) Waktu bekerja dalam seminggu maksimal 40-50 jam, lebih
dari itu maka berkemungkinan besar akan menimbulkan
dampak negatif bagi tenaga kerja.
34
b) Setiap bekerja pada shift siang atau malam sebaiknya diikuti
dengan paling sedikit 24 jam libur dan tiap shift malam paling
sedikit 2 hari libur, sehingga pekerja dapat mengatur
kebiasaan tidur.
c) Tidak boleh meniadakan hari libur bersama (minggu, hari
libur nasional, dan lainnya).
d) Sistem kerja bergilir tiga regu (dari 8 jam) jauh lebih baik
dari 2 regu (dari 12 jam).
e) Waktu gilir kerja sebaiknya pendek (2 sampai beberapa hari)
untuk mengurangi terjadinya efek kumulatif.
2) Menurut Grandjean (1986) dalam Nurmianto (2004)
a) Waktu pergantian shift lebih baik dilakukan pada pukul
07.00, 15.00, dan 23.00 atau 08.00, 16.00, dan 24.00.
b) Pekerja shift sebaiknya berumur 25-50 tahun.
c) Pekerja yang mempunyai masalah perut dan usus, serta
emosi yang tidak stabil disarankan untuk tidak dipekerjakan
pada shift malam.
d) Pekerja yang memiliki tempat tinggal jauh dari tempat kerja
atau berada di lingkungan yang ramai sebaiknya tidak
dipekerjakan pada sistem shift kerja.
e) Rotasi pendek lebih baik daripada rotasi panjang dan
dihindarkan dari shift malam secara terus menerus.
f) Rotasi kerja yang baik yaitu dengan pola 2-2-2 (metropolitan
pola) atau 2-2-3 (continental pola).
35
g) Kerja dengan shift malam selama 3 hari secara berturut-turut
seharusnya diikuti istirahat paling sedikit 24 jam.
h) Perancangan shift kerja perlu mempertimbangkan waktu
libur 2 hari berurutan.
i) Tiap shift kerja terdiri dari satu kali istirahat yang cukup
untuk makan.
3) Menurut Tayyari dan Smith (1997)
a) Jika memungkinkan, shift malam dikurangi tanpa
mengurangi kompensasi dan benefit lainnya.
b) Jumlah pekerja shift malam dikurangi.
c) Waktu kerja shift tidak melebihi 8 jam.
d) Tiap shift siang atau malam diikuti dengan paling sedikit 24
jam libur dan tiap shift malam paling sedikit 2 hari libur.
e) Musik yang tidak monoton selama bekerja shift malam dapat
dilakukan.
4) Menurut UU No. 13 Tahun 2003
a) Pekerja atau buruh perempuan yang berumur kurang dari 18
tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul 07.00.
b) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja atau buruh
perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya
bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun
dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan
pukul 07.00.
36
c) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja atau buruh
perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00
wajib :
(1) Memberikan makanan dan minuman bergizi.
(2) Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat
kerja.
(3) Menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja atau
buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja
antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.
5) Menurut LaDou (1994)
a) Kecepatan Rotasi Kerja
Kecepatan rotasi kerja dapat mempengaruhi waktu
pekerja untuk beradaptasi dan mendapatkan waktu istirahat
yang cukup sesuai dengan jenis pekerjaan. Kecepatan rotasi
kerja dibagi menjadi dua, yaitu :
(1) Rotasi Lambat
Rotasi lambat membuat pekerja mendapat giliran
kerja setiap 5 hari. Dengan kata lain, setiap 5 hari pekerja
akan mengalami pergantian shift setelah 5 hari bekerja.
Jenis rotasi ini memiliki kelebihan yakni memberikan
waktu bagi pekerja untuk beradaptasi baik secara
fisiologis maupun sosial.
37
(2) Rotasi Cepat
Rotasi cepat membuat pekerja mendapat giliran
kerja setiap 1-3 hari. Pekerja akan mengalam pergantian
shift kerja setelah 1-3 hari bekerja. Namun, jenis rotasi
ini memberikan dampak negatif, yaitu menyebabkan
pekerja sulit untuk beradaptasi terhadap shift malam.
b) Arah Rotasi Kerja
Arah rotasi menunjukkan arah perubahan antara satu
shift dengan shift lainnya. Arah rotasi kerja terdiri dari rotasi
maju dan rotasi mundur. Rotasi maju merupakan arah rotasi
yang jauh lebih baik daripada rotasi mundur. Hal ini
dikarenakan rotasi maju memberikan waktu kepada pekerja
untuk bangun lebih telat. Dengan demikian, waktu tidur
menjadi lebih lama. Adapun arah rotasi kerja dibagi menjadi
dua, yaitu :
(1) Rotasi Maju
Arah rotasi ini mengikuti arah jarum jam. Rotasi
kerja akan dimulai dari shift pagi, kemudian ke shift
siang, dan selanjutnya shift malam.
(2) Rotasi Mundur
Arah rotasi ini berlawanan dengan arah jarum jam.
Rotasi kerja dimulai dari shift pagi, kemudian ke shift
malam, dan selanjutnya shift siang.
38
6) Menurut Kuswadji (1997)
Shift kerja dapat digolongkan berdasarkan desain, jumlah
jam kerja, jumlah hari kerja maupun karakteristik pekerjaan.
Penggolongan shift kerja dijelaskan sebagai berikut :
a) Pembagian shift kerja berdasarkan awal dan akhir jam kerja
shift, lama satu shift, dan keteraturannya yaitu sebagai
berikut :
(1) Sistem 3 Shift Biasa
Pada sistem shift ini, pekerja akan bekerja 8 jam
sehari selama 24 jam. Waktu kerja terbagi menjadi tiga
shift, yaitu shift pagi yang dimulai pada pukul 06.00
hingga 14.00, shift sore yang dimulai pada pukul 14.00
hingga 22.00, dan shift malam yang dimulai pada pukul
22.00 hingga 06.00.
Dari ketiga shift tersebut, shift malam diketahui
memiliki dampak negatif yang lebih besar dibandingkan
dengan kedua shift lainnya. Bekerja pada shift malam
akan mengganggu waktu berkumpul bersama keluarga.
Selain itu, waktu beristirahat yang dilakukan pada siang
hari setelah pulang bekerja pada shift malam umumnya
akan terganggu akibat suara bising, kegiatan bersama
keluarga, dll.
Berbeda halnya jika pekerja bekerja pada shift pagi.
Bekerja pada shift pagi dapat memungkinkan pekerja
39
untuk mengerjakan kegiatan pada sore dan malam
harinya. Pada shift sore juga memungkinkan pekerja
untuk mendapatkan tidur dan istirahat yang cukup.
(2) Sistem Amerika
Menurut sistem shift Amerika, jam kerja shift pagi
akan dimulai pada pukul 08.00 hingga pukul 16.00, shift
sore pada pukul 16.00 hingga pukul 24.00, dan shift
malam pada pukul 24.00 hingga pukul 08.00. Sistem
shift ini banyak memberikan keuntungan bagi pekerja, di
antaranya memberikan kesempatan pekerja untuk
mendapatkan waktu makan bersama keluarga dan untuk
tidur lebih lama terutama pada shift pagi dan sore.
(3) Sistem 12-12
Sistem shift ini biasa digunakan oleh pekerja di
penambangan minyak lepas pantai. Sistem shift ini
dibagi menjadi dua shift yakni shift pagi dan malam.
Shift pagi dimulai antara pukul 07.00 hingga pukul 19.00
dan shift malam dimulai antara pukul 19.00 hingga pukul
07.00. Setelah bekerja selama 2 minggu setelah shift
malam, biasanya pekerja akan pulang ke rumah. Namun,
bila dipandang dari sudut pandang kesehatan atau
ergonomi sistem shift ini tidak baik untuk diterapkan.
40
b) Pembagian shift kerja menurut jumlah hari kerja malam yang
berturut-turut paling sedikit ada tiga jenis, yaitu sebagai
berikut :
(1) Metropolitan Rota
Menurut Grandjean (1986) dalam Nurmianto
(2004), sistem rotasi pada shift ini dianggap sangat baik
untuk diterapkan di tempat kerja. Metropolitan rota
merupakan sistem shift dimana pekerja akan bekerja
menurut giliran 2-2-2 (pagi, pagi, siang, siang, malam,
malam, libur, libur). Hari libur pada hari sabtu dan
minggu hanya terjadi sekali dalam 8 minggu.
(2) Continental Rota
Menurut Grandjean (1986) dalam Nurmianto
(2004), sistem rotasi pada shift ini juga dianggap sangat
baik untuk diterapkan di tempat kerja. Continental rota
merupakan shift dimana pekerja akan bekerja menurut
giliran 2-2-3 (pagi, pagi, siang, siang, malam, malam,
malam, libur, libur). Hari libur pada hari jumat, sabtu,
dan minggu akan terjadi setiap 4 minggu.
(3) Sistem 4 Orang Siklus 32 Jam
Sistem shift ini lepas jaga tidak ada dan tidak ada
libur. Namun, sistem ini memberikan keuntungan pada
pekerja. Keuntungan dari sistem shift ini yaitu setiap
pekerja tidak mengalami kerja shift pagi sebanyak lima
41
kali seminggu. Pergantian shift pada tengah malam,
sehingga pekerja dapat tidur pada malam hari baik
sebelum maupun sesudah bekerja.
2. Stres Emosional
Stres merupakan suatu ancaman nyata atau yang dirasakan yang
tertuju pada kondisi fisik, emosi, dan sosial seseorang (Tamher dan
Noorkasiani, 2009). Tamher dan Noorkasiani (2009) juga menambahkan
bahwa stres merupakan kejadian eksternal serta situasi lingkungan yang
membebani kemampuan adaptasi individu, terutama beban emosional dan
kejiwaan. Kemudian, menurut Wildani (2012), stres merupakan suatu
respon seseorang yang dapat bersifat positif atau negatif, yang dapat
mempengaruhi fisik, perkembangan, emosional, intelektual, sosial, dan
spiritual.
Setiap orang pasti pernah mengalami stres dalam hidupnya. Stres
emosional banyak terjadi diakibatkan oleh masalah pribadi. Selain berasal
dari lingkungan keluarga, stres juga dapat berasal dari lingkungan
pekerjaan. Stimuli yang mengawali atau mencetuskan perubahan disebut
dengan stresor (Potter dan Perry, 2005). Stres emosional disebabkan oleh
permasalahan yang bersifat psikologis. Stres juga sangat erat kaitanya
dengan seberapa besar kemampuan seseorang untuk mengatasi perubahan
dalam hidupnya, baik itu dengan lingkungan keluarga, lingkungan kerja,
maupun lingkungan sosialnya (Stranks, 2005).
42
Penyebab stres atau stresor dikelompokkan menjadi dua, yaitu
(Gunarsa, 2002) :
a. Stresor fisik : lingkungan, yaitu faktor-faktor luar yang menjadi
penyebab stres seperti makanan, obat-obatan, hamil, abortus, operasi,
cedera, penyakit, panas, dingin, haus, dan kelelahan.
b. Stresor psikososial : situasi sosial, yaitu peristiwa yang menyebabkan
perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga orang tersebut harus
mengadakan adaptasi, berusaha menanggulangi stresor yang timbul.
Stresor psikososial yaitu seperti :
1) Pernikahan yang tidak bahagia, perceraian
2) Pekerjaan : penempatan tenaga kerja, peralatan yang canggih
3) Keluarga : anak yang berubah, berkembang, kematian.
Selain itu, penyebab stres juga dapat dikelompokkan sebagai berikut
(Stranks, 2005) :
a. Stresor lingkungan
Stresor yang berasal dari lingkungan seperti temperatur dan
kelembapan ekstrim, pencahayaan dan ventilasi yang tidak adekuat,
kebisingan dan getaran, serta keberadaan kontaminan udara seperti
debu, asap, dan gas.
b. Stresor pekerjaan
Stresor yang berhubungan dengan pekerjaan yang terlalu banyak
atau terlalu sedikit, kenaikan atau penurunan jabatan, tuntutan kerja
yang berlawanan, atasan atau pimpinan yang tidak kompeten, jam
43
kerja yang terlalu banyak, dan interaksi antara pekerjaan dan
komitmen keluarga.
c. Stresor Sosial
Stresor yang berhubungan dengan kehidupan keluarga, hubungan
perkawinan, kehilangan. Hal tersebut merupakan masalah yang dapat
ditemukan setiap hari.
Salah satu dampak yang ditimbulkan dari stres emosional yaitu
menyebabkan seseorang mengalami kesulitan tidur, sering terbangun
selama siklus tidur, atau bahkan lebih banyak tidur (Potter dan Perry,
2005). Hal ini dapat terjadi disebabkan oleh aktivitas saraf dalam tubuh.
Seseorang yang mengalami stres akan merangsang sistem saraf simpatis
untuk mengeluarkan katekolamin, glukagon, dan hormon kortisol-steroid
yang mempengaruhi SSP dalam meningkatkan rasa gelisah, nafas cepat,
hipertensi, dan ketegangan otot (Suwartika dan Cahyati, 2015).
Kecemasan, sensitif atau marah membuat mental terganggu dan
keseluruhan hal tersebut yang kemudian dapat menimbulkan gangguan
tidur yang serius (Potter dan Perry, 2005). Gejala atau dampak yang
ditimbulkan dari stres tersebut lah yang kemudian membuat seseorang
mengalami gangguan tidur.
Diketahui bahwa kesulitan tidur pada umumnya banyak terjadi pada
seseorang yang baru saja kehilangan orang yang dicintai, bercerai, atau
berada di bawah tekanan stres di tempat kerja (NHLBI, 2011). Agar tidak
menimbulkan dampak negatif, maka dapat dilakukan upaya pengendalian
terhadap stres emosional. Stres emosional dapat diatasi dengan
44
menghindari stres sebisa mungkin, serta meningkatkan kemampuan
adaptasi dan koping terhadap stres.
Ketika mengalami tekanan, maka seseorang akan beradaptasi atau
menanggulagi stresor yang timbul (Hidayati, 2013). Kemampuan adaptasi
yang kemudian membuat seseorang lebih kuat terhadap tekanan-tekanan
yang dapat menimbulkan stres. Selain itu, perlu dilakukan koping terhadap
stres. Koping merupakan cara berpikir dan bereaksi yang ditujukan untuk
mengatasi beban atau transaksi yang menyakitkan (stresor) (Tamher dan
Noorkasiani, 2009).
Terdapat dua tipe coping yang dapat menurunkan stres, yakni problem
focused coping dan emotion focused coping (Fink, 2010). Problem focused
coping merupakan metode yang dilakukan dengan cara menghadapi dan
menyelesaikan masalah yang menyebabkan stres emosional. Kemudian,
emotion focused coping lebih ditujukan untuk menghilangkan emosi
negatif dalam menyikapi masalah dan melihat sisi positif dari sebuah
masalah. Kedua metode tersebut dapat membuat fikiran dan perasaan
menjadi tenang. Fikiran dan perasaan yang tenang tentu akan
memudahkan pekerja untuk memperoleh istirahat yang baik. Dengan
demikian, hal tersebut akan menyelesaikan masalah dan mengubah situasi
stres.
Olahraga juga diketahui dapat mengatasi stres emosional. Olahraga
dapat berfungsi sebagai psychological relaxer yang mengalihkan perhatian
dari hal-hal yang membuat stres (Widyarini, 2009). Olahraga juga
diketahui dapat meningkatkan tidur jika dilakukan selama dua puluh menit
45
per hari (Rafknowledge, 2004). Kemudian, rileksasi juga diketahui dapat
mencegah stres dengan cara menurunkan denyut jantung dan tekanan
darah, serta memberikan rasa tenang (Widyarini, 2009). Relaksasi yang
dapat dilakukan yaitu seperti meditasi, yoga, latihan pernafasan dalam, tai
chi, pemijatan, shalat, berdoa (dzikir), dll.
3. Motivasi
Motivasi untuk tidur merupakan suatu dorongan atau keinginan
seseorang untuk tidur (Uliyah dan Hidayat, 2008). Motivasi berpengaruh
terhadap tidur dan dapat menimbulkan keinginan untuk tetap terjaga dan
waspada menahan kantuk (Tarwoto dan Wartonah, 2010). Agar dapat
tidur, seseorang harus memiliki motivasi untuk dapat tidur. Jika seseorang
tidak memiliki keinginan untuk tidur, maka dapat membuat seseorang
terjaga dan sulit untuk memulai tidur. Menurut Bastable (2002), faktor
yang dapat mempengaruhi motivasi seseorang yaitu adalah faktor insentif
atau rintangan dalam mendapatkan perilaku yang diinginkan.
Faktor yang bersifat memfasilitasi atau mengahalangi terbentuknya
motivasi dapat digolongkan ke dalam tiga kategori utama, yakni (1) atribut
pribadi, yang terdiri dari komponen fisik, perkembangan, dan psikologis;
(2) pengaruh lingkungan yang mencakup kondisi fisik dan sikap; (3)
sistem hubungan dengan pihak lain seperti keluarga, komunitas, rekan
kerja, dll (Bastable, 2002). Seseorang dapat memiliki rintangan dalam
mendapatkan pemenuhan kebutuhan tidurnya.
46
Pada dasarnya setiap orang memiliki motivasi untuk tidur. Namun,
seseorang akan kehilangan motivasi untuk tidur ketika mendapatkan
rintangan, baik yang berasal dari internal maupun eksternal. Rintangan
tersebut dapat membuat seseorang tidak memiliki keinginan untuk tidur,
sehingga akan mengalami gangguan tidur.
4. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik didefinisikan sebagai setiap gerakan tubuh yang
memerlukan tenaga yang cukup (Dewi, 2014). Azis (2015) menambahkan
bahwa aktivitas fisik merupakan gerakan tubuh oleh otot tubuh dan sistem
penunjangnya yang membutuhkan sejumlah energi. Definisi lain
menyebutkan bahwa aktivitas fisik adalah gerakan otot bergaris yang
membakar energi tubuh (Tandra, 2009). Tandra (2009) juga
mengungkapkan bahwa aktivitas fisik mencakup semua olahraga, semua
gerakan tubuh, pekerjaan, rekreasi, kegiatan sehari-hari, sampai dengan
berlibur atau waktu senggang (Tandra, 2009). Dapat disimpulkan, kegiatan
yang termasuk dalam aktivitas fisik adalah setiap kegiatan yang dilakukan
yaitu seperti jalan kaki, bersepeda, berkebun, melakukan pekerjaan rumah,
berlari, jogging, dll.
Olahraga masuk ke dalam jenis kegiatan dalam aktivitas fisik.
Olahraga didefinisikan sebagai gerakan tubuh yang berirama dan teratur
untuk memperbaiki dan meningkatkan kebugaran (Tandra, 2009).
Olahraga masuk ke dalam aktivitas fisik dengan intensitas tinggi, sehingga
47
dibutuhkan usaha yang cukup besar untuk melakukan kegiatan yang
termasuk ke dalam kategori olahraga.
Seseorang yang melakukan aktivitas fisik dan kemudian mengalami
kelelahan akan lebih cepat tertidur karena tahap tidur gelombang lambat
(NREM) diperpendek (Uliyah dan Hidayat, 2008). Menurut Agustin
(2012), seseorang yang melakukan olahraga di siang hari akan mudah
tertidur di malam harinya. Hal ini dikarenakan olahraga dapat
mempertinggi pengeluaran hormon pertumbuhan nokturnal, meredakan
dengkuran dan keluhan tidur apnea obstruktif (Rafknowledge, 2004).
Selain itu, diketahui bahwa olahraga akan menimbulkan rasa santai
dan relaks dari ketegangan otot dan aktivasi saraf simpatis yang terjadi
akibat peningkatan kecemasan atau stres yang menyebabkan gangguan
tidur (Suastari dkk., 2014). Olahraga berfungsi sebagai psychological
relaxer yang mengalihkan perhatian dari hal-hal yang membuat stres
(Widyarini, 2009). Namun, yang perlu diperhatikan yaitu durasi olahraga
yang dilakukan. Olahraga dapat meningkatkan tidur seseorang jika
dilakukan selama dua puluh menit per hari (Rafknowledge, 2004).
Aktivitas fisik terutama olahraga dapat menimbulkan gangguan tidur.
Hal ini terjadi jika aktivitas fisik atau olahraga yang dilakukan
menimbulkan kelelahan yang berlebihan, terutama jika dilakukan
menjelang waktu tidur, sehingga akan membuat seseorang sulit tidur dan
tetap terjaga (Rafknowledge, 2004). Selain itu, diketahui bahwa aktivitas
fisik yang padat dan mengikuti sistem shift kerja malam dapat
menyebabkan gangguan tidur yang disebabkan oleh peningkatan suhu
48
tubuh dan ketegangan otot yang membutuhkan beberapa jam untuk
kembali ke keadaan normal, sehingga pikiran merasa tegang (Azis, 2015).
Dibutuhkan istirahat dan tidur yang cukup setelah pulang bekerja
terutama setelah bekerja pada shift malam untuk mengatasi kelelahan
akibat aktivitas fisik yang dilakukan. Hal ini dikarenakan, ketika dalam
keadaan istirahat dan tidur, tubuh akan melakukan proses pemulihan untuk
mengembalikan stamina tubuh hingga dapat kembali ke dalam kondisi
yang optimal (Asmadi, 2008).
a. Instrumen Pengukuran Aktivitas Fisik
Terdapat beberapa jenis kuesioner yang digunakan untuk
mengukur aktivitas fisik seseorang. Berikut adalah kelebihan dan
kekurangan dari masing-masing kuesioner aktivitas fisik yang ada :
Tabel 2.2. Kelebihan dan Kekurangan Instrumen Pengukuran Aktivitas Fisik
No Kuesioner Kelebihan Kekurangan
1 International
Physical
Activity
Questionnaire
(IPAQ)
Mudah dimengerti.
Pertanyaan sedikit,
sehingga cepat dalam
pengisiannya.
Cepat dan bisa diterapkan
secara masal (Sudibjo dkk.,
2013).
Telah divalidasi di berbagai
negara termasuk Indonesia
(Sudibjo dkk., 2013).
Pertanyaan bersifat
terbuka, sehingga ada
kemungkinan responden
sulit mengisi kuesioner.
Bergantung pada
kemampuan subjek untuk
mengingat kembali
kebiasaanya secara rinci
(Sudibjo dkk., 2013).
Sulit mengkonversikan
informasi aktivitas
kualitatif menjadi data
kuantitatif (Sudibjo dkk.,
2013).
2 Physical
Activity
Questionnaire
for Children
(PAQ-C)
Biaya dan waktu yang
efisien (Kowalski dkk.,
2004).
Instrumen yang valid dan
reliabel untuk mengukur
Hanya dapat digunakan
untuk anak-anak usia 8-14
tahun dalam sistem
sekolah (Kowalski dkk.,
2004).
49
No Kuesioner Kelebihan Kekurangan
tingkat aktivitas fisik umum
dari masa kanak-kanak
hingga remaja (Kowalski
dkk., 2004).
Menggunakan isyarat
memori seperti item siang
dan malam untuk
meningkatkan kemampuan
mengingat anak-anak dan
remaja (Kowalski dkk.,
2004).
Mudah diterapkan pada
populasi dengan skala yang
besar dan menampilkan sifat
distribusi normal (Kowalski
dkk., 2004).
Tidak memberikan
perkiraan pengeluaran
kalori atau frekuensi,
waktu, dan informasi
intensitas tertentu
(Kowalski dkk., 2004).
Tidak membedakan antara
intensitas kegiatan
tertentu, seperti kegiatan
moderat dan kuat, namun
hanya memberikan skor
aktivitas ringkasan
(Kowalski dkk., 2004).
Hanya sesuai bila
digunakan selama sekolah,
sehingga tidak dapat
digunakan untuk menilai
aktivitas fisik dalam
periode liburan (Kowalski
dkk., 2004).
5. Kebiasaan Makan
Kebiasaan mengkonsumsi makanan diketahui dapat membantu atau
bahkan mempersulit tidur. Kebiasaan makan dapat mempengaruhi tidur
seseorang disebabkan oleh waktu seseorang mengkonsumsi makanan.
Pekerja yang bekerja secara shift, terutama pada shift malam, dapat
mempengaruhi kebiasaan makannya.
Kebiasaan makan yang baik adalah kebiasaan mengkonsumsi
makanan sebelum tidur setelah pulang bekerja. Hal ini dikarenakan
terpenuhinya kebutuhan makanan dapat mempercepat tidur, namun jika
asupanya tidak adekuat maka dapat menyebabkan seseorang menjadi sulit
tidur (Uliyah dan Hidayat, 2008). Jika asupan makanan seseorang
terpenuhi, maka dapat menyuplai kebutuhan kadar gula darah dalam
tubuh. Namun jika terjadi penurunan kadar gula darah dalam tubuh, maka
50
akan menyebabkan kesulitan tidur di malam hari (Rafknowledge, 2004).
Selain itu, kadar gula dalam darah dibutuhkan pekerja sebagai bahan bakar
untuk menghasilkan energi bagi keperluan melaksanakan pekerjaan
(Suma'mur, 2009). Kebiasaan mengkonsumsi makanan sebelum tidur
setelah pulang bekerja dapat menggantikan atau menjadi sumber energi
untuk melaksanakan pekerjaan selanjutnya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan
bahwa salah satu kewajiban pengusaha yang mempekerjakan
pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00
yaitu wajib memberikan makanan dan minuman yang bergizi. Menurut
KEP.102/MEN/VI/2004 turut menyebutkan bahwa makanan dan
minuman yang diberikan sekurang-kurangnya 1.400 kalori apabila kerja
lembur dilakukan selama tiga jam atau lebih dan pemberian makan dan
minum tersebut tidak dapat digantikan dengan uang. Kemudian, menurut
Suma’mur (2009), kebutuhan makanan tenaga kerja wanita yang memiliki
rerata postur tubuh dengan tinggi badan 155 cm dengan berat badan 55 Kg
yaitu sebagai berikut :
Tabel 2.3. Kebutuhan Zat Makanan Pada Wanita
Usia Kilo-
kalori
Protein
(g)
Kalsium
(g)
Zat
Besi
(mg)
Vit A sbg
karoten
(mikrogram)
Tiamin
(mg)
Ribo-
flavin
(mg)
Niasin
(mg)
Vit
C
(mg)
20-39 2.500 65 0,6 14 4.500 0,9 1,3 15 70
40-59 2.400 65 0,6 14 4.500 0,9 1,2 15 70
>60 2.300 65 0,6 14 4.500 0,7 1,0 11 70
Sumber : Suma’mur (2009)
51
Kebiasaan mengkonsumsi makanan sangat penting untuk
diperhatikan. Ketika pekerja wanita bekerja pada shift malam, maka pola
makannya juga akan mengalami perubahan. Oleh karena itu, dibutuhkan
asupan makanan yang cukup agar dapat membantu menjaga kesehatan
pekerja serta mencegah kualitas tidur yang buruk akibat asupan makanan
yang tidak adekuat.
Begitu pentingnya memberikan pengetahuan kepada pekerja
mengenai betapa pentinganya membiasakan diri untuk mengkonsumsi
makanan dengan gizi yang baik dan sesuai dengan kebutuhan pekerja shift
wanita. Dengan demikian, pekerja shift wanita dapat mengatur pola makan
yang baik dalam kesehariannya dan mencegah kualitas tidur yang buruk.
6. Asupan Obat-Obatan
Terdapat banyak sekali obat resep atau obat bebas yang dapat
menimbulkan rasa kantuk sebagai efek sampingnya. Gangguan tidur
disebabkan oleh obat-obatan yang dapat mengurangi tidur REM dan
membuat seseorang menjadi lebih sulit tertidur (Gracia dkk., 2011).
Beberapa jenis obat dapat mengganggu fisiologi tidur, misalnya analgetika
(yang mengandung kofein), anoreksansia, glukokortikoida, agonis
dopamin, beta-blockers, dan beberapa obat psikotropik (fluoksetin,
risperidon, sindrom penarikan benzodiazepin) (Tjay dan Rahardja, 2007).
Jenis obat lain yang juga dapat mempengaruhi proses tidur yaitu jenis
diuretik yang dapat menyebabkan insomnia; antidepresan yang dapat
menekan REM; kafein yang dapat meningkatkan saraf simpatis sehingga
52
menyebabkan kesulitan untuk tidur; golongan beta bloker yang dapat
berefek pada timbulnya insomnia; dan golongan narkotik yang dapat
menekan REM sehingga mudah mengantuk (Uliyah dan Hidayat, 2008).
Seseorang pada umumnya mengkonsumsi obat tidur untuk
mempermudah tidurnya. Hal ini biasa dialami oleh orang yang mengalami
kesulitan tidur. Konsumsi obat tidur membuat seseorang menjadi lebih
mudah untuk mengantuk sehingga dapat tertidur. Obat tidur pada
umumnya menekan fase 3 dan 4 dari SWS serta tidur REM sehingga
sekresi growth hormone menurun (Tjay dan Rahardja, 2007). Sekresi
growth hormone atau hormon pertumbuhan terjadi sewaktu tidur yaitu
pada fase 3 dan 4 SWS dan tidur REM, dimana hormon tersebut berfungsi
penting sekali bagi pertumbuhan tubuh, sintesa protein, dan stimulasi
reabsorpsi asam amino oleh jaringan (Tjay dan Rahardja, 2007).
Konsumsi obat tidur akan sangat berpengaruh terhadap pemenuhan
kebutuhan tidur dan akan mengakibatkan terganggunya pola tidur.
Mengkonsumsi obat tidur lebih dari satu atau dua kali seminggu tidak
dianjurkan (Colligan dan Rosa, 1997). Konsumsi obat tidur yang
berlebihan akan memberikan efek yang berlangsung lama, dimana orang
yang mengkonsumsinya akan terus merasakan kantuk bahkan setelah
terbangun dari tidur (Amran dkk., 2010). Dosis obat tidur yang lebih besar
juga akan menyebabkan kantuk, bicara sempoyongan, dan lebih jauh lagi
dapat menyebabkan koma hingga kematian (Martono dan Joewana, 2006).
Tentunya, konsumsi obat tidur secara terus-menerus dalam jangka waktu
53
yang lama akan merubah pola tidur dan menimbulkan gangguan tidur
secara permanen.
Efek obat antara satu orang dengan orang lainnya dapat berbeda
dipengaruhi oleh faktor individual (Thay dan Rahardja, 2007. Faktor
tersebut yang kemudian memberikan efek atau respon yang berbeda sesuai
dengan kepekaan masing-masing orang terhadap obat tersebut. Inilah yang
kemudian menyebabkan dosis obat antara satu orang dengan orang lainnya
tidak dapat memberikan efek yang sama. Konsumsi obat dengan dosis
yang besar juga diketahui akan menyebabkan ketergantungan
(Prijosaksono dan Sembel, 2002). Oleh karena itu, konsumsi obat tidur
haruslah sesuai dengan resep dan anjuran dari dokter. Hal ini bertujuan
untuk menghindari efek obat tidur yang tidak diinginkan.
7. Penyakit Fisik
Terdapat beberapa penyakit yang dapat mempengaruhi kebutuhan
tidur. Penyakit tersebut dapat meningkatkan atau mengurangi tidur. Orang
yang sedang sakit pada umumnya akan membutuhkan waktu istirahat dan
tidur yang lebih banyak dikarenakan tubuh sedang bekerja keras untuk
menyediakan energi agar dapat segera pulih, namun banyak aspek
penyakit yang juga dapat membuat seseorang menjadi sulit dalam
memenuhi kebutuhan tidur dan istirahat (Nurlela dkk., 2009). Lanywati
(2001) juga menyebutkan bahwa penyakit akan mengganggu fungsi organ
tubuh dan dapat menyebabkan seseorang menjadi sulit untuk memulai
tidur (initial insomnia).
54
Keluhan kesehatan yang ditimbulkan penyakit diketahui akan
mengganggu tidur seseorang. Keluhan yang ditimbulkan dapat berbeda-
beda, seperti nyeri, sesak nafas, ketidaknyamanan, dll. Pada penelitian
Nurlela, dkk. (2009) menunjukkan bahwa faktor fisiologis seperti nyeri,
mual, dan muntah dapat mempengaruhi kualitas tidur. Penelitian Bukit
(2005) juga menunjukkan bahwa penyebab utama gangguan tidur pasien
pada tingkat gangguan yang tinggi adalah nyeri, sesak nafas, dan batuk.
Penyakit gagal jantung juga merupakan salah satu penyakit yang dapat
mempengaruhi tidur karena penderitanya akan merasa sesak nafas dan
kesulitan tidur karena kesulitan bernafas (Suwartika dan Cahyati, 2015).
Seseorang yang mengalami sesak nafas atau mengalami gangguan
pernafasan sering mengalami kesulitan untuk tidur (Nurlela dkk., 2009).
Penyakit pernafasan dapat mengganggu tidur dikarenakan terjadinya
perubahan irama pernafasan, kemudian pada seseorang yang pilek akan
mengalami kongesti nasal, drainase sinus, dan sakit tenggorok (Potter dan
Perry, 2005).
Rasa nyeri merupakan salah satu tanda fisiologis yang mengganggu
kualitas tidur. Rasa nyeri dapat mengganggu kualitas tidur dikarenakan
membuat seseorang menjadi tidak nyaman (Nurlela dkk., 2009). Nyeri
yang dialami seseorang dapat timbul akibat infeksi pernapasan,
pencernaan, dispepsia, serangan angina, MCI, kanker, dll (Bukit, 2005).
Penyakit lainnya yang dapat mengganggu tidur yaitu penyakit diabetes
mellitus tipe 2. Selaras dengan penelitian Maurits dan Widodo (2008) yang
menunjukkan sebagian besar pasien dengan diabetes mellitus tipe 2
55
memiliki kualitas tidur yang buruk. Kemudian diketahui bahwa salah satu
penyakit yang dapat memperbesar kebutuhan tidur yaitu seperti penyakit
infeksi terutama infeksi limpa (Uliyah dan Hidayat, 2008). Infeksi limpa
membuat penderitanya mengalami keletihan sehingga kebutuhan tidurnya
mengalami peningkatan.
Keluhan kesehatan yang biasa terjadi pada pekerja shift ialah
gangguan sistem pencernaan (nyeri peru, konstipasi, diare, dan kehilangan
nafsu makan), kelelahan, insomnia, stres, gangguan pola tidur
(Occupational Health Clinics for Ontario Workers Inc, 2005 dalam
Agustin 2012). Keluhan kesehatan tersebut akan menimbulkan rasa
ketidaknyamanan, nyeri, kecemasan atau depresi yang menyulitkan
seseorang untuk tertidur atau bahkan untuk memasuki tidur REM. Namun,
tidak menutup kemungkinan keluhan kesehatan lainnya juga turut
mempengaruhi tidur pekerja.
Gangguan tidur yang dialami pekerja shift wanita pada umumnya
dapat diatasi dengan upaya pelayanan kesehatan yang komprehensif. Hal
tersebut sesuai dengan Permenaker No. 03 tahun 1982 dimana perusahaan
wajib memberikan pelayanan kesehatan kerja kepada semua tenaga
kerjanya yang meliputi upaya preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif.
Kemudian, dalam KEP.22/DJPPK/V/2008 menyebutkan bahwa
perusahaan dapat menyelenggarakan sendiri pelayanan kesehatan kerjanya
dalam bentuk klinik atau rumah sakit perusahaan, atau juga dapat
bekerjasama dengan pihak di luar perusahaan seperti rumah sakit,
puskesmas, poliklinik, balai pengobatan, Perusahaan Jasa K3 (PJK3)
56
bidang kesehatan kerja, dan pelayanan kesehatan lainnya yang telah
memiliki perijinan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Jika pekerja
memeriksakan kesehatan secara teratur, maka dapat dilakukan penanganan
yang tepat untuk mengatasi penyakit fisik yang sedang dialaminya.
Penanganan yang tepat dan cepat dapat meredakan atau bahkan
menghilangkan penyakit fisik yang dialami pekerja shift wanita, sehingga
juga akan mengurangi gejala atau keluhan kesehatan yang dapat
mengganggu tidur.
8. Hipersomnia
Hipersomnia juga dikenal dengan istilah EDS (Excessive Daytime
Sleepiness). Hipersomnia sering diartikan sebagai rasa kantuk yang
berlebihan pada waktu yang tidak semestinya (Prasadja, 2009). Seseorang
yang mengalami hipersomnia dapat tidur pada saat menjalankan kegiatan
seperti berkendara, rapat, menonton di bioskop, dll. Hipersomnia
merupakan keadaan dimana seseorang mengantuk di siang hari pada
beberapa situasi yang bersifat subjektif (Rachmawati, 2013). Hipersomnia
berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mempertahankan keadaan
siaga selama periode terjaga (Slater dan Steier, 2012). Seseorang yang
mengalami hipersomnia membutuhkan waktu tidur yang lebih lama,
namun selalu merasa lesu dan letih sepanjang hari (Apriadji, 2007).
Hipersomnia terjadi disebabkan oleh buruknya kualitas tidur akibat
gangguan tidur yang diderita seperti insomnia, sindrom tungkai gelisah,
dan sleep apnea (Prasadja, 2009). Namun, diketahui penyebab yang paling
57
sering dari hipersomnia yaitu tidur yang tidak adekuat yang terjadi secara
kronik (Rachmawati, 2013). Tidak hanya disebabkan oleh kualitas tidur
yang buruk, hipersomnia juga dapat menyebabkan kualitas tidur yang
buruk. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan mempertahankan keadaan
siaga selama proses terjaga akan merubah pola tidur. Jika berlangsung
selama terus-menerus, perubahan pola tidur tersebut akan menimbulkan
gangguan tidur secara permanen.
Prevalensi penderita hipersomnia diperkirakan mencapai 18% (Slater
dan Steier, 2012). Kemudian, menurut Rachmawati (2013) gangguan tidur
ini merupakan salah satu gejala yang paling sering berhubungan dengan
tidur dan dialami setidaknya oleh 20% dari populasi manusia di dunia.
Jumlah tersebut akan terus bertambah seiring dengan perubahan gaya
hidup seseorang. Gaya hidup tersebut meliputi shift kerja, kualitas tidur
yang buruk, kebiasaan sebelum tidur, konsumsi kafein yang berlebihan,
dll.
Upaya yang dapat dilakukan untuk menangani hipersomnia yaitu
dengan memperbaiki pola tidur dengan tidur malam lebih awal. Hal
tersebut akan memperbaiki waktu tidur secara bertahap (Prasadja, 2009).
Selain itu, pekerja shift harus menghindari konsumsi kafein yang
berlebihan. Konsumsi kafein diketahui dapat memperburuk hipersomnia
yang dialami pekerja shift. Terlebih jika kafein dikonsumsi ketika tubuh
merasa kantuk dan sebelum tidur. Hal tersebut dikarenakan kafein akan
meningkatkan kewaspadaan dan tubuh menjadi sulit untuk memulai tidur.
58
Konsumsi kafein > 250 mg dapat menyebabkan sindrom intoksikasi
seperti gejala cemas, tegang, diuresis, takikardia, agitasi, dan insomnia
(Sumirta dan Laraswati, 2014). Hal ini disebabkan oleh kinerja kafein
yang dapat meningkatkan pengeluaran norepinefrin, epinefrin, dopamine,
dan serotonin (Sumirta dan Laraswati, 2014). Efek kafein juga diketahui
baru akan menghilang seluruhnya dalam waktu 6-8 jam setelah konsumsi
(National Heart Lung and Blood Institute, 2011). Oleh karena itu, pekerja
sebaiknya menghindari konsumsi minuman yang banyak mengandung
kafein. Kafein dapat ditemukan dalam minuman kopi atau coke, dan
sejumlah kecil cokelat dan teh (Rafknowledge, 2004).
Hipersomnia dapat terjadi pada waktu yang tidak semestinya. Bila
tidak ditangani, hipersomnia dapat sangat membahayakan keselamatan.
Seperti pada kasus kecelakaan kereta cepat Shinkansen di Osaka, Jepang
akibat masinis yang tertidur selama 8 menit dan seorang pilot penerbangan
domestik yang tertidur di cockpit (Prasadja, 2009).
a. Instrumen Pengukuran Hipersomnia
Terdapat beberapa jenis kuesioner yang digunakan untuk
mengukur status hipersomnia seseorang. Berikut adalah kelebihan dan
kekurangan dari masing-masing kuesioner hipersomnia yang ada :
Tabel 2.4. Kelebihan dan Kekurangan Instrumen Pengukuran Hipersomnia
No Kuesioner Kelebihan Kekurangan
1 The Epworth
Sleepiness Scale Mudah dalam pengisiannya.
Singkat, mudah dipahami,
telah digunakan secara luas
baik secara klinis maupun
pengaturan penelitian di
Tidak mampu mendeteksi
semua tingkatan keparahan
apnea (tidak mampu
mendeteksi dalam kategori
59
No Kuesioner Kelebihan Kekurangan
seluruh dunia (Spilsbury
dkk., 2007).
Tidak memakan waktu
untuk mengisinya (Wu dkk.,
2012).
Banyak digunakan dalam
praktek klinis dan protokol
penelitian sebagai penilaian
cepat sederhana kantuk
secara subjektif (Wu dkk.,
2012).
Pengukuran di kalangan
orang dewasa (Spilsbury
dkk., 2007).
ringan dan sedang) (Boari
dkk., 2004).
2 The Cleveland
Adolescent
Sleepiness
Questionnaire
(CASQ)
Valid dilakukan pada
kalangan remaja usia 11 –
17 tahun (Spilsbury dkk.,
2007).
Telah divalidasi di beberapa
negara.
Korelasi internal 0,89
(Spilsbury dkk., 2007).
Validitas konstruk sudah
terbukti (Spilsbury dkk.,
2007).
Pengukuran menggunakan
instrumen ini tidak dapat
dilakukan pada rentang
usia > 17 tahun.
Belum banyak digunakan
secara luas (Spilsbury
dkk., 2007).
3 The Pediatric
Daytime
Sleepiness Scale
(PDSS)
Alat ukur yang sederhana
(Spilsbury dkk., 2007).
Telah divalidasi di beberapa
negara.
Valid dilakukan pada
kalangan remaja usia 11-15
tahun (Spilsbury dkk.,
2007).
Konsistensi internal dapat
diterima yang diharapkan
memiliki hasil terkait
dengan rasa kantuk seperti
penurunan waktu tidur, nilai
buruk, moods negatif
(Spilsbury dkk., 2007).
Telah digunakan dengan
sampel remaja yang
overweight atau epilepsi
(Spilsbury dkk., 2007).
Pengukuran menggunakan
instrumen ini tidak dapat
dilakukan pada rentang
usia > 15 tahun.
Belum diuji secara khusus
dengan remaja yang
mengalami masalah tidur
yang dikenal (Spilsbury
dkk., 2007).
Beberapa poin pertanyaan
mengandung dua perilaku
terpisah, misalnya fall
asleep atau get drowsy,
yang mungkin dapat
terjadi pada tingkat yang
sangat berbeda, sehingga
membuat kesulitan untuk
menyelesaikannya
(Spilsbury dkk., 2007).
60
9. Sindrom Pramenstruasi
Setiap wanita akan mengalami menstruasi ketika sudah memasuki
masa pubertas atau kematangan secara seksual. Kematangan seksual
antara wanita satu dengan lainnya berbeda-beda yang berkisar dari 9 tahun
atau bahkan hingga 17 tahun. Siklus menstruasi wanita dikenal sebagai
irama infradian, dimana siklus ini terjadi dalam siklus yang lebih lama dari
24 jam (Potter dan Perry, 2005).
Pada beberapa wanita, sebelum memasuki siklus menstruasi dapat
mengalami gejala-gejala yang disebut dengan sindrom pramenstruasi atau
Premenstrual Syndrome (PMS). PMS adalah kumpulan gejala fisik,
psikologis, dan emosi yang terkait dengan siklus menstruasi wanita (Sarah
dan Moesijanti, 2008). Gejala-gejala yang ditimbulkan pada saat PMS
yaitu seperti sakit kepala, nyeri payudara, ketidakstabilan emosional, dan
berkurangnya konsentrasi (Prasadja, 2009). Gejala-gejala tersebut akan
dirasakan pada 7-10 hari sebelum datangnya haid dan memuncak pada saat
haid timbul (Sarah dan Moesijanti, 2008). Gejala yang ditimbulkan ketika
PMS antara satu wanita dengan wanita lainnya berbeda-beda. Namun,
pada umumnya gejala yang dialami tersebut dapat membuat wanita
mengalami gangguan tidur.
Ketika mengalami PMS, terjadi penurunan kualitas tidur pada saat
fase luteal dan awal masa folikular yang menyebabkan wanita akan
mengalami gangguan tidur berupa insomnia, hipersomnia, dan mimpi
buruk (Gracia dkk., 2011). Hal ini disebabkan oleh penurunan kadar
serotonin pada fase luteal yang terjadi bersamaan dengan penurunan kadar
61
estrogen. Hormon serotonin menyiapkan otak dan seluruh tubuh untuk
masuk ke tahap tidur dalam dengan cara mengurangi sistem aktivitas
tubuh, sehingga penurunan hormon ini akan mempengaruhi kualitas tidur
seseorang (Prasadja, 2009). Hal ini selaras dengan penelitian Bakhshani,
dkk. (2009) menyebutkan bahwa 66% responden mengalami gangguan
tidur pada masa PMS. Penelitian Gracia, dkk. (2011) juga menunjukkan
bahwa sebanyak 70% responden mengalami gangguan tidur pada masa
PMS.
Terdapat beberapa hal yang harus dihindari wanita agar dapat
mencegah atau mengurangi gejala PMS. Hal-hal yang harus dihindari
yaitu seperti stres dan konsumsi minuman berkafein. Stres diketahui dapat
memperburuk gejala PMS yang dialami oleh wanita. Ketika stres, siklus
menstruasi bisa memendek menjadi 21 hari atau biasa disebut polimenorea
(Mesarini dan Astuti, 2013). Siklus menstruasi yang pendek dapat
membuat wanita menjadi lebih sering mengalami gejala PMS. Oleh karena
itu, untuk mencegah dampak yang ditimbulkan dari stres tersebut wanita
harus menghindari stres emosional serta meningkatkan kemampuan
adaptasi dan koping terhadap stres. Dengan demikian, fikiran akan
menjadi tenang dan gejala PMS dapat dihindari.
Konsumsi minuman yang banyak mengandung kafein seperti kopi,
teh, dan minuman bersoda ketika sedang haid juga dapat mempengaruhi
gejala PMS. Hal ini dikarenakan kafein akan mempengaruhi sistem saraf
dan memperparah gejala PMS (NS, 2010). Oleh karena itu, pekerja yang
sedang menstruasi harus menghindari konsumsi kafein.
62
Upaya lainnya yang dapat dilakukan untuk mengurangi gejala PMS
yaitu dengan berolahraga. Olahraga yang dilakukan secara teratur
diketahui dapat meredakan nyeri ketika sedang haid (NS, 2010). Olahraga
dapat meredakan nyeri haid dikarenakan olahraga akan meningkatkan
produksi endorphin, dimana hormon tersebut merupakan pembunuh rasa
sakit alami tubuh (Pratiwi, 2014).
Secara teoritis, olahraga juga dapat meningkatkan tidur jika dilakukan
selama dua puluh menit per hari (Rafknowledge, 2004). Selain itu,
olahraga teratur juga dapat menghilangkan stres dan meningkatkan
kemampuan untuk tidur teratur (Pratiwi, 2014). Hal ini dikarenakan
olahraga berfungsi sebagai psychological relaxer yang mengalihkan
perhatian dari hal-hal yang membuat stres (Widyarini, 2009). Oleh karena
itu, pekerja shift wanita harus membiasakan diri untuk melakukan olahraga
dengan teratur setiap harinya untuk mencegah atau meringankan gejala
PMS yang dialami.
a. Instrumen Pengukuran Sindrom Pramenstruasi
Terdapat beberapa jenis kuesioner yang digunakan untuk
mengukur gejala sindrom pramenstruasi seseorang. Berikut adalah
kelebihan dan kekurangan dari masing-masing kuesioner sindrom
pramenstruasi yang ada :
63
Tabel 2.5. Kelebihan dan Kekurangan Instrumen Pengukuran Sindrom
Pramenstruasi
No Kuesioner Kelebihan Kekurangan
1 Short
Premenstrual
Assessment Form
(SPAF)
Mudah dalam
pengisiannya.
Memiliki jumlah
pertanyaan yang relatif
lebih sedikit.
Tidak memakan banyak
waktu untuk mengisinya.
Lebih sederhana dari
kuesioner PAF
(Anggrajani dan Muhdi,
2011).
Sudah teruji validitas dan
realibilitasnya (Anggrajani
dan Muhdi, 2011).
Sangat bermanfaat untuk
membedakan antara
kelompok PMDD dan
kelompok non PMDD
(Anggrajani dan Muhdi,
2011).
Konsistensi internal
(Cronbach Alpha) 0,91
(Anggrajani dan Muhdi,
2011).
Nilai sensitivitas 75,0%
dan spesifisitas 76,9%
(Anggrajani dan Muhdi,
2011).
Pertanyaan dalam
instrument ini tidak
selengkap PAF.
Memiliki rentang hasil
ukur yang cukup lebar,
sehingga menyebabkan
tingkat subjektivitas dalam
penentuan skor cukup
tinggi.
2 Premenstrual
Assessment Form
(PAF)
Mudah pengisiannya.
Sudah teruji validitas dan
realibilitasnya.
Memiliki pertanyaan yang
komprehensif mengenai
PMS.
Memiliki jumlah
pertanyaan yang banyak.
Membutuhkan waktu yang
lama dalam pengisiannya,
sehingga kurang cocok
digunakan untuk beberapa
kondisi klinis maupun
untuk penelitian.
64
10. Kehamilan
Pada masa kehamilan, wanita dapat mengalami gangguan tidur.
Gangguan tidur yang dialami membuat wanita hamil membutuhkan tidur
yang lebih lama atau bahkan mengalami kesulitan untuk tidur. Jika wanita
hamil mengalami penurunan durasi tidur, maka dapat membuat kondisi
tubuh menurun, kurang konsentrasi, mudah lelah, badan terasa pegal, tidak
mood bekerja, dan lebih emosional (Wahyuni dan Ni'mah, 2013).
Gangguan tidur yang dialami oleh wanita hamil dapat terjadi dimulai dari
trimester pertama hingga puncaknya pada trimester ketiga dengan
penyebab dan manifestasi yang berbeda-beda.
Pada trimester pertama, wanita hamil membutuhkan waktu tidur yang
lebih lama. Hal ini disebabkan oleh tingginya hormon progesteron yang
merangsang rasa kantuk dan memberikan efek melemaskan otot termasuk
otot kandung kemih yang menyebabkan wanita hamil dapat terganggu oleh
dorongan untuk buang air kecil di malam hari (Prasadja, 2009). Morning
sickness seperti mual dan muntah juga disebabkan oleh tingginya kadar
hormon tersebut, dan dapat terjadi di malam hari sehingga tidur menjadi
berkurang dan tidak nyenyak (Prasadja, 2009). Morning sickness tersebut
akan berkurang sampai trimester pertama berakhir (Wahyuni dan Ni'mah,
2013)
Memasuki trimester kedua, kualitas tidur pada ibu hamil akan menjadi
lebih baik. Akan tetapi, peningkatan berat badan yang cukup drastis dan
gangguan pernapasan dapat menyebabkan wanita hamil menjadi
pendengkur (sleep apnea) (Prasadja, 2009). Kemudian pada trimester
65
akhir, gangguan tidur pada wanita hamil akan mengalami peningkatan.
Menurut Wahyuni dan Ni’mah (2013), gangguan tidur ini disebabkan oleh
ketidaknyamanan seperti nyeri pinggang, banyak buang air kecil, dan
spontan terbangun ketika tidur. Selain itu, gangguan tidur juga terjadi
akibat kekhawatiran akan proses melahirkan, posisi tidur yang sulit, dan
sering buang air kecil (Prasadja, 2009). Kesulitan bernafas juga kerap
dialami oleh wanita hamil akibat janin tumbuh semakin besar sehingga
perut yang besar menekan usus ke atas hingga mendesak diafragma
(Puspita, 2014).
11. Menopause
Penuaan atau aging merupakan proses yang pasti dialami oleh setiap
manusia. Menopause merupakan salah satu proses penuaan dan
merupakan sebuah proses alami yang pasti terjadi pada setiap wanita.
Menopause didefinisikan sebagai suatu akhir proses biologis yang
menandai berakhirnya masa subur seorang wanita dan pada saat itu siklus
menstruasi telah berhenti selama 12 bulan (Sulistiyowati dan Nisa, 2014).
Definisi lain menyebutkan bahwa menopause merupakan peristiwa
fisiologis yang disebabkan oleh menuanya ovarium yang mengarah pada
penurunan produksi hormon estrogen dan progesteron (Handayani, 2014).
Ketika memasuki masa menopause, wanita akan mengalami
insomnia. Insomnia yang dialami wanita ketika memasuki masa
menopause merupakan insomnia yang terberat (Prasadja, 2009). Insomnia
terjadi akibat penurunan hormon progesteron dan serotonin yang terjadi
66
seiring dengan penurunan estrogen (Sulistiyowati dan Nisa, 2014). Selain
disebabkan oleh perubahan hormonal, insomnia juga dapat disebabkan
oleh gangguan emosi dan rasa panas (hot flushes) (Prasadja, 2009).
Gejala-gejala yang dialami wanita ketika menjelang atau memasuki
masa menopause juga dapat mempengaruhi kualitas tidur wanita. Gejala
yang biasa dialami oleh wanita menopause yaitu seperti seperti hot flashes
(rasa panas), insomnia, perubahan pada tulang, perubahan kardiovaskular,
gangguan kejiwaan, sulit tidur, keletihan, dan kekeringan vaginal dll.
(Heffner dan Schust, 2006; Muaris, 2004). Selain itu, Gunarsa (2002) juga
menyebutkan bahwa gejala-gejala yang dirasakan wanita pada masa
menjelang dan pada saat menopause yaitu sebagai berikut :
a. Berhentinya haid secara tiba-tiba dapat menimbulkan kegelisahan dan
kecemasan
b. Berkurangnya hormon estrogen mengganggu keseimbangan
fisiologis, dan berakibat pada timbulnya ledakan emosi, suasana hati
(mood), yang menyulitkan adaptasi sosial
c. Hot flushes atau perasaan panas tubuh, keringat dingin, gelisah dan
depresif
d. Menurunnya pengendalian diri dan perasaan adekuat, ketidakcocokan
terhadap diri sendiri dan orang lain.
Keseluruhan gejala tersebut akan menimbulkan ketidaknyamanan
pada penderitanya yang dapat mengganggu tidur. Namun, gejala yang
menopause tersebut dapat diatasi dengan mengatur pola makan. Salah satu
penyebab menopause yaitu adalah perubahan pola makan yang tidak sehat
67
seperti mengkonsumsi makanan cepat saji, lebih mengutamakan
kepraktisan dan kelezatan, namun tidak memperhatikan kandungan
nutrisinya (Muaris, 2004). Muaris (2004) mengungkapkan bahwa pola
makan tersebut yang kemudian merubah sistem hormon estrogen dalam
tubuh.
Pencegahan menopause dini dapat dilakukan dengan cara
menghindari makanan instan atau cepat saji. Selain itu, pekerja wanita juga
dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung
fitoestrogen. Fitoestrogen diketahui dapat menghambat terjadinya
menopause (Muaris, 2004). Makanan yang kaya akan kandungan
fitoestrogen dapat ditemukan pada apel, anggur, bawang putih, brokoli,
jagung, barley, cabe, kol, kacang kedelai, stroberi, ketimun, tomat, dan
wortel (Wirakusumah, 2003).
Selain mengatur pola makan, juga perlu dilakukan pengaturan pada
lingkungan kerja dan tempat istirahat serta lingkungan tidur. Lingkungan
kerja dan tempat istirahat serta lingkungan tidur bagi pekerja harus sejuk
dan nyaman. Exhaust dan pendingin ruangan di tempat kerja harus
dipastikan dapat berfungsi dengan baik. Selain itu, lingkungan tidur juga
harus dipastikan memiliki ventilasi dan peredaran udara yang baik.
Lingkungan yang sejuk dan nyaman tersebut dapat membantu pekerja
yang menjelang maupun sudah mengalami menopause untuk meringankan
gejala hot flashes (rasa panas) yang dialami.
68
12. Kelelahan
Kelelahan adalah kondisi melemahnya tenaga untuk melakukan suatu
kegiatan (Muizzudin, 2013). Definisi lain menyebutkan bahwa kelelahan
merupakan suatu keadaan yang menunjukkan hilangnya efisiensi dan
penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh (Chesnal dkk., 2014).
Ketika tubuh mengalami kelelahan, maka akan mengakibatkan penurunan
daya kerja dan ketahanan tubuh untuk bekerja (Basri dan Apriliani, 2014).
Kondisi tubuh yang mengalami penurunan tenaga tersebut yang kemudian
akan menyebabkan penurunan daya dan kapasitas kerja serta konsentrasi
dalam melakukan pekerjaan.
Kelelahan dapat disebabkan oleh aktivitas kerja maupun di luar
aktivitas kerja. Kelelahan menyebabkan hilangnya kemauan untuk
bekerja, yang penyebabnya adalah keadaan persarafan sentral atau kondisi
psikis-psikologis (Suma’mur, 2009). Namun, pada umumnya kelelahan
pada pekerja lebih banyak disebabkan oleh aktivitas kerja.
Kelelahan pada pekerja dapat disebabkan oleh pengaturan shift yang
terlalu panjang dan tidak tepat, intensitas dan durasi suatu pekerjaan
dilaksanakan terlalu tinggi, disain pekerjaan tidak tepat, lingkungan kerja
yang tidak nyaman, cara kerja yang tidak efektif (ergonomis), dan adanya
stres (Kodrat, 2011). Suma’mur (2009) juga menyebutkan bahwa akar
masalah kelelahan adalah monotonnya pekerjaan, intensitas dan lamanya
kerja mental dan fisik yang tidak sejalan dengan kehendak tenaga kerja
yang bersangkutan, keadaan lingkungan yang berbeda dari estimasi
69
semula, tidak jelasnya tanggung jawab, kekhawatiran yang mendalam dan
konflik batin, serta kondisi sakit yang diderita.
Dampak yang ditimbulkan dari kelelahan dapat berakibat cukup serius
terhadap pekerja. Kelelahan dapat menyebabkan kecelakaan kerja. Seperti
yang telah diketahui bahwa sebagian besar kecelakaan kerja sangat erat
kaitannya dengan kelelahan (Kodrat, 2011). Selain itu, Kodrat (2011) juga
menyebutkan bahwa kelelahan dapat mengakibatkan kesulitan konsentrasi
dalam bekerja, meningkatkan risiko kesalahan (human error),
menurunkan kualitas dan kecepatan.
Kelelahan juga dapat mempengaruhi kualitas tidur seseorang. Pada
umumnya, kelelahan dapat meningkatkan tidur seseorang jika kelelahan
yang dialami merupakan kelelahan menengah, yaitu dengan intensitas
ringan hingga sedang. Seseorang yang mengalami kelelahan menengah
maka akan memperoleh tidur yang mengistirahatkan, khususnya jika
kelelahan disebabkan oleh pekerjaan atau latihan yang menyenangkan
(Agustin, 2012). Kelelahan dapat membuat seseorang lebih cepat tidur
dikarenakan tahap tidur gelombang lambatnya (NREM) diperpendek
(Uliyah dan Hidayat, 2008).
Berbeda halnya jika seseorang mengalami kelelahan yang berlebihan
atau kelelahan berat. Kelelahan yang berlebihan diketahui dapat
menyebabkan seseorang menjadi sulit untuk memulai tidur (initial
insomnia) (Lanywati, 2001). Pekerjaan yang meletihkan dan penuh
dengan stres juga dapat menyebabkan seseorang mengalami kelelahan
70
yang berlebihan sehingga membuat pekerja tersebut menjadi sulit tidur
(Potter dan Perry, 2005).
Kelelahan yang berlebihan harus diatasi agar tidak menimbulkan
dampak terutama pada pekerja wanita. Hal ini dikarenakan ketahanan fisik
wanita yang lebih lemah dan wanita lebih mudah mengalami kelelahan
(Oginska dan Pokorskri, 2006). Kelelahan dapat diatas dengan cara
mengatur suhu ruangan agar tidak terlalu tinggi. Suhu yang terlalu tinggi
diketahui akan meningkatkan kelelahan (Suma’mur, 1999).
Pengaturan juga dapat dilakukan pada sistem shift kerja. Menurut
Grandjean (1986) dalam Nurmianto (2004), waktu pergantian shift lebih
baik dilakukan pada pukul 07.00, 15.00, dan 23.00 atau 08.00, 16.00, dan
24.00. Waktu pergantian shift ini dapat lebih memberikan waktu bagi
pekerja untuk bersiap berangkat ke tempat kerja dan untuk beristirahat.
Pekerja yang memiliki jarak antara tempat tinggal dengan tempat kerja
yang jauh lebih baik untuk tidak dipekerjakan pada sistem shift. Hal
tersebut juga dapat membantu meminimalisir kelelahan yang dapat
dialami oleh pekerja.
Kelelahan juga dapat diatasi dengan mengatur hari libur pekerja.
Menurut Suma’mur (1999), setiap bekerja pada shift siang atau malam
sebaiknya diikuti dengan paling sedikit 24 jam libur dan tiap shift malam
paling sedikit 2 hari libur, sehingga pekerja dapat mengatur kebiasaan
tidur. tidur yang cukup akan sangat berpengaruh terhadap kelelahan. Hal
ini dikarenakan pemulihan terhadap kelelahan terjadi ketika seseorang
mendapatkan istirahat yang cukup (Fajarwati dkk., 2011).
71
a. Instrumen Pengukuran Kelelahan
Terdapat beberapa jenis kuesioner yang digunakan untuk
mengukur status kelelahan seseorang. Berikut adalah kelebihan dan
kekurangan dari masing-masing kuesioner kelelahan yang ada :
Tabel 2.6. Kelebihan dan Kekurangan Instrumen Pengukuran Kelelahan
No Kuesioner Kelebihan Kekurangan
1 Subjective Self Rating
Test (SSRT) Mudah dalam
pengisiannya.
Berisikan gejala
kelelahan yang sangat
terperinci.
Lebih dapat
menggambarkan gejala
kelelahan secara
keseluruhan.
Telah dilakukan uji
validitas di berbagai
negara termasuk
Indonesia.
Memiliki pertanyaan yang
cukup banyak (30
pertanyaan), sehingga
membutuhkan waktu yang
lebih lama untuk
mengisinya.
2 Fatigue Severity Scale
(FSS) Mudah dalam
pengisiannya.
Memiliki skala ukur
dengan rentang yang
luas.
Memiliki pertanyaan
yang lebih sedikit, yaitu
9 pertanyaan.
Membutuhkan waktu
yang singkat untuk
mengisinya.
Telah diuji validitas dan
realibilitasnya.
FSS telah divalidasi
dengan konsistensi
internal yang tinggi
(Cronbach Alpha) 0,81
(Huisinga dkk., 2011).
Skala ukur tidak terperinci
sehingga subjektifitas
dalam pemilihan skala
sangat tinggi.
Kurang dapat
menggambarkan gejala
kelelahan secara detail.
3 KAUPK2 (Kuesioner
Alat Ukur Perasaan
Kelelahan Kerja)
Mudah dalam
pengisiannya.
Tidak dapat
mengklasifikasikan
72
No Kuesioner Kelebihan Kekurangan
Jumlah pertanyaan yang
relatif sedikit (17
pertanyaan).
tingkat kelelahan yang
dialami pekerja
Memiliki skala ukur ya
dan tidak, sehingga
kurang dapat mewakili
tingkat kelelahan yang
dirasakan pekerja.
4 The
Electroencephalograph Alat ukur yang bersifat
objektif.
Alat ini telah sesuai
dengan standar riset di
laboratorium
(Dirgayudha, 2014).
Kelelahan dan keadaan
mengantuk dapat dilihat
dengan menangkap
aktivitas listrik di otak
melalui penempelan
elektroda pada
permukaan kulit
(Dirgayudha, 2014).
Mahal.
Hanya dapat dilakukan
oleh ahlinya.
Membutuhkan waktu
yang lama untuk
mengukur seluruh subjek
penelitian.
73
C. Kerangka Teori
Kerangka teori pada penelitian ini yaitu sebagai berikut.
Sumber : (Azis, 2015; Rosanti, 2011; Uliyah dan Hidayat, 2008; Potter dan
Perry, 2005; dan Rafknowledge, 2004)
Bagan 2. 1. Kerangka Teori
PMS
Kehamilan
Menopause
Kelelahan
Stres
Emosional
Motivasi
Kualitas Tidur
Penurunan
Fungsi Faal
Tubuh
Hipersomnia
Irama Sirkadian
Jenis Shift
Kerja
Kebiasaan
Makan
Makanan
Asupan
Obat-Obatan
Penyakit
Fisik
Aktivitas
Fisik Penurunan
Hormon Estrogen
dan Progesteron
74
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep pada penelitian ini yaitu sebagai berikut.
Bagan 3. 1. Kerangka Konsep
Kerangka konsep pada penelitian ini menggambarkan determinan kualitas
tidur pada pekerja shift wanita. Variabel dependen pada penelitian ini yaitu
kualitas tidur, sedangkan variabel independen pada penelitian ini jenis shift
kerja, stres emosional, aktivitas fisik, kebiasaan makan, asupan obat-obatan,
penyakit fisik, hipersomnia, sindrom pramenstruasi, menopause, dan
Kualitas Tidur
Faktor Pekerjaan
- Jenis Shift Kerja
Faktor Konsumsi
- Kebiasaan Makan
- Asupan Obat-Obatan
Faktor Psikologis
- Stres Emosional
Faktor Fisiologis
- Penyakit Fisik
- Hipersomnia
- Sindrom Premenstruasi
- Menopause
- Kelelahan
Faktor Latihan Fisik
- Aktivitas Fisik
75
kelelahan. Faktor-faktor tersebut akan diteliti pada pekerja wanita yang
mengalami shift kerja.
Faktor yang tidak diteliti yaitu faktor motivasi dan kehamilan. Faktor
motivasi tidak diteliti karena terkendala dengan perizinan perusahaan. Motivasi
pekerja sangat erat kaitannya dengan aspek besaran gaji, fasilitas perusahaan,
dan kepuasan pekerja terhadap perusahaan. Aspek-aspek tersebut bersifat
rahasia, sehingga tidak dapat dijadikan variabel penelitian. Faktor kehamilan
juga tidak diteliti karena menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,
pekerja wanita yang sedang hamil tidak diperkenankan untuk bekerja pada shift
malam yang menurut dokter dapat membahayakan bagi kesehatan dan
keselamatan kandungan maupun dirinya. Selain itu, PT. Sandratex tidak
memiliki pekerja shift wanita yang sedang hamil pada saat dilakukan
penelitian.
B. Definisi Operasional
Definisi Operasional pada penelitian ini yaitu sebagai berikut.
Tabel 3.1. Definisi Operasional
Variabel Definisi
Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
1 Variabel Dependen
Kualitas Tidur Suatu keadaan
yang
menunjukkan
kedalaman tidur
serta kepuasan
responden
terhadap tidur
Kuesioner The
Pittsburgh
Sleep Quality
Index (PSQI)
(Buysse dkk.,
1989)
Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja
1. Buruk : Jika
total skor > 5
2. Baik : Jika
total skor ≤ 5
(Buysse, dkk.,
1989; Agustin,
Ordinal
76
Variabel Definisi
Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
yang
diperolehnya.
2012; Indrawati,
2012; Prasasti,
2013; dan Hanifa,
2016)
2 Variabel Independen
a Faktor Pekerjaan
Jenis Shift
Kerja
Pembagian
waktu atau
periode waktu
kerja dimana
responden
dijadualkan
melaksanakan
pekerjaan
selama 8 jam per
hari.
Kuesioner Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja
1. Shift Malam
2. Shift Siang
3. Shift Pagi
(Rosanti, 2011)
Nominal
b Faktor Psikologis
Stres
Emosional
Respon yang
ditimbulkan
sebagai akibat
dari tekanan
psikososial yang
dapat berasal
dari tempat kerja
maupun luar
tempat kerja.
Kuesioner Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja
Data berdistribusi
tidak normal
sehingga
menggunakan
median (median :
2).
1. Ya: jika total
skor ≥ nilai
median (≥ 2)
2. Tidak: jika
total skor <
nilai median
(< 2)
(Agustin, 2012)
Ordinal
c Faktor Latihan Fisik
Aktivitas Fisik Setiap gerakan
tubuh yang
membutuhkan
pengeluaran
energi dan
mencakup
seluruh gerakan
yang dilakukan
oleh tubuh.
Kuesioner
International
Physical
Activity
Questionnaire
(IPAQ)
(IPAQ, 2005)
Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja
1. Berat : jika
jumlah
aktivitas fisik
yang
dilakukan >
3000 MET-
menit/minggu
2. Rendah
Sedang : jika
jumlah
aktivitas fisik
Ordinal
77
Variabel Definisi
Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
yang
dilakukan ≤
3000 MET-
menit/minggu
d Faktor Konsumsi
Kebiasaan
Makan
Kebiasaan
responden
mengkonsumsi
makanan
sebelum tidur
setelah pulang
bekerja.
Kuesioner Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja
Data berdistribusi
tidak normal
sehingga
menggunakan
median (median :
2)
1. Tidak
Konsumsi :
jika total skor
< atau median
(< 2)
2. Konsumsi :
jika total skor
≥ nilai median
(≥ 2)
(Agustin, 2012)
Ordinal
Asupan Obat-
Obatan
Zat atau bahan
kimia baik resep
dokter maupun
bukan resep
dokter yang
dikonsumsi
responden untuk
mengobati
penyakit tertentu
yang
menyebabkan
responden lebih
mudah atau lebih
sulit tidur.
Kuesioner Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja
1. Konsumsi :
jika total skor
≥ 1
2. Tidak
Konsumsi :
jika total skor
= 0
Ordinal
e Faktor Fisiologis
Penyakit Fisik Suatu keadaan
yang
menyebabkan
gangguan pada
tubuh responden
dan
menimbulkan
Kuesioner Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja
Data berdistribusi
tidak normal
sehingga
menggunakan
median (median :
1)
Ordinal
78
Variabel Definisi
Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
keluhan
kesehatan yang
dapat
mempengaruhi
tidur responden.
1. Ada : jika total
skor ≥ nilai
median (≥ 1)
2. Tidak Ada:
jika total skor
< nilai median
(< 1)
(Agustin, 2012)
Hipersomnia Suatu keadaan
dimana
responden
mengalami rasa
kantuk yang
berlebihan di
siang hari serta
merasa lemah
dan tidak
bertenaga
sepanjang
waktu.
Kuesioner
Epworth
Sleepiness
Scale (ESS)
(Johns, 1991)
Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja
1. Ya : Jika total
skor ≥ 10
2. Tidak : jika
total skor < 10
(Johns, 1991;
Damarany, 2012;
Rachmawati,
2013; dan
Tubagus, 2013)
Ordinal
Sindrom
Pramenstruasi
Kumpulan gejala
yang dialami
responden pada
7 hari sebelum
menstruasi atau
hingga 1-2 hari
ketika
menstruasi.
Kuesioner
Shortened
Premenstrual
Assessment
Form (SPAF)
(Allen dkk.,
1991)
Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja
1. Gejala sedang
hingga gejala
berat: jika total
skor ≥ 30
2. Tidak ada
gejala hingga
gejala ringan:
jika total skor
< 30
(Allen, dkk., 1991
dan Ratikasari,
2015)
Ordinal
Menopause Suatu keadaan
dimana
responden sudah
tidak mengalami
menstruasi
selama minimal
12 bulan
terakhir.
Kuesioner Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja
1. Sudah : jika
tidak haid ≥ 12
bulan terakhir
2. Belum : jika
masih haid
atau tidak haid
< 12 bulan
terakhir
Ordinal
79
Variabel Definisi
Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
(Sulistiyowati dan
Nisa, 2014).
Kelelahan Kondisi
melemahnya
tenaga
responden yang
menyebabkan
penurunan
fungsi tubuh,
performa kerja,
kekuatan atau
ketahanan tubuh
untuk
melanjutkan
kegiatan.
Kuesioner
Subjective Self
Rating Test
(SSRT)
(RCIF, 1969
dalam Sudo
dan Ohtsuka,
2002)
Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja
Total skor Rasio
C. Hipotesis
Berdasarkan kerangka konsep penelitian, maka rumusan hipotesis dalam
penelitian ini yaitu sebagai berikut :
1. Ada hubungan antara faktor pekerjaan (jenis shift kerja) dengan kualitas
tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun 2016.
2. Ada hubungan antara faktor psikologis (stres emosional) dengan kualitas
tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun 2016.
3. Ada hubungan antara faktor latihan fisik (aktivitas fisik) dengan kualitas
tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun 2016.
4. Ada hubungan antara faktor konsumsi (kebiasaan makan dan asupan obat-
obatan) dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex
Tahun 2016.
80
5. Ada hubungan antara faktor fisiologis (penyakit fisik, hipersomnia,
sindrom pramenstruasi, menopause, dan kelelahan) dengan kualitas tidur
pada pekerja shift wanita di PT. Sandratex Tahun 2016.
81
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross
sectional deskriptif dan analitik. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan
gambaran hubungan antara variabel dependen yaitu kualitas tidur dengan
variabel independen yaitu determinan kualitas tidur. Determinan kualitas tidur
yang diteliti yaitu faktor pekerjaan (jenis shift kerja), faktor psikologis (stres
emosional), faktor latihan fisik (aktivitas fisik), faktor konsumsi (kebiasaan
makan dan asupan obat-obatan), dan faktor fisiologis (penyakit fisik,
hipersomnia, sindrom pramenstruasi, menopause, dan kelelahan).
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di bagian produksi PT. Sandratex, dimana PT.
Sandratex merupakan pabrik tekstil yang beroperasi selama 24 jam dan
menerapkan sistem shift kerja dalam proses produksinya. PT. Sandratex
berlokasi di Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Provinsi
Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni – September tahun 2016.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pekerja wanita dengan
jumlah 291 pekerja yang mendapatkan shift kerja pagi, siang, dan malam.
82
2. Sampel
Metode sampling yang digunakan adalah simple random sampling,
dimana seluruh anggota populasi memiliki peluang yang sama untuk
menjadi sampel. Kemudian, perhitungan besar sampel dilakukan dengan
menggunakan rumus sampling uji beda dua proporsi sebagai berikut
(Lameshow dkk., 1990).
𝐧 = [𝐙𝟏− ∝ 𝟐⁄ √𝟐�̅�(𝟏 − �̅�) + 𝐙𝟏−𝛃√𝐏𝟏(𝟏 − 𝐏𝟏) + 𝐏𝟐(𝟏 − 𝐏𝟐)]𝟐
(𝐏𝟏 − 𝐏𝟐)𝟐
Keterangan :
n : Besar sampel minimal
P : Rata-rata proporsi (Azis, 2015)
P1 : Proporsi kejadian kualitas tidur buruk pada pekerja dengan
aktivitas fisik tinggi
P2 : Proporsi kejadian kualitas tidur buruk pada pekerja dengan
aktivitas fisik rendah
Z1-α/2 : 1,96 (derajat kemaknaan CI = 95% dengan ⍺ = 5%)
Z1-β : 0,84 (kekuatan uji 1-β = 80%)
Sebelum menentukan besar sampel minimal, dilakukan perhitungan
besar sampel pada beberapa variabel yang diteliti. Perhitungan besar
sampel menggunakan nilai P1 dan P2 variabel independen hasil penelitian
83
sebelumnya yang memiliki hubungan dengan variabel dependen. Adapun
besar sampel minimal pada beberapa variabel yaitu sebagai berikut.
Tabel 4.1. Jumlah Sampel Tiap Variabel
Variabel Penelitian
Sebelumnya P1 P2 n (n x 2)
Jenis Shift Kerja (Zakariyati, 2013) 88,9 60,4 36 72
Stres Emosional (Febriana dan
Wahyuningsih, 2011) 64 2 8 16
Aktivitas Fisik (Azis, 2015) 76,9 53,1 62 124
Obat-Obatan (Handayani, 2012) 87,9 41,1 16 32
Penyakit Fisik (Agustin, 2012) 73,1 38,9 32 64
Hipersomnia (Gracia dkk., 2011) 33,3 3,33 25 50
Sindrom
Pramenstruasi (Gracia dkk., 2011) 70 6,67 8 16
Berdasarkan perhitungan besar sampel yang dilakukan, diketahui
bahwa besar sampel minimal yang diambil adalah 124 orang. Peneliti
mempertimbangkan faktor non respon sebesar 10%, sehingga jumlah
sampel menjadi 137 orang. Namun, setelah dilakukan penyebaran
kuesioner di lapangan, jumlah kuesioner yang berhasil terkumpul dan
dianalisis yaitu sebanyak 126 kuesioner.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner.
Kuesioner mencakup pertanyaan mengenai kualitas tidur dan determinan
kualitas tidur. Adapun penjelasan dari masing-masing kuesioner yang
digunakan yaitu sebagai berikut :
84
1. Kualitas Tidur
Kuesioner yang digunakan untuk mengetahui kualitas tidur responden
adalah kuesioner The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). Kuesioner
ini dipilih dikarenakan memiliki sejumlah kelebihan. Adapun kelebihan
kuesioner ini yaitu mudah dalam pengisiannya; waktu pengisian relatif
singkat; telah diterjemahkan ke dalam 48 bahasa; memiliki konsistensi
internal dan koefisien reliabilitas (Cronbach Alpha) atau validitas dan
realibilitas serta sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi; telah
digunakan dalam berbagai studi berbasis populasi dan klinis; serta lebih
terkait dengan penilaian gejala psikologis dan pengukuran catatan harian
tidur dibandingkan dengan ESS.
Kuesioner yang memuat pertanyaan mengenai kualitas tidur terdapat
pada bagian B nomor B1 – B9. Kuesioner PSQI terdiri dari tujuh
komponen yaitu latensi tidur, durasi tidur, kualitas tidur, efisiensi
kebiasaan tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan gangguan
fungsi tubuh di siang hari dalam satu bulan terakhir. Nomor masing –
masing komponen pertanyaan yang terdapat pada kuesioner PSQI dapat
dilihat dalam tabel sebagai berikut.
Tabel 4.2. Nomor Pertanyaan Tiap Komponen PSQI
Komponen Nomor Pertanyaan
Efisiensi kebiasaan tidur 1, 3, 4
Latensi tidur 2, 5a
Durasi tidur 4
Gangguan tidur 5b-5i
Penggunaan obat tidur 6
Gangguan fungsi tubuh 7, 8
Kualitas tidur 9
85
Masing-masing pertanyaan dikalkulasikan menggunakan skala likert
dengan skor 0 – 3. Skor 0 menunjukkan bahwa tidak adanya kebiasaan
tersebut, sedangkan skor 3 menunjukkan bahwa presentasi yang tinggi dari
kebiasaan tersebut. Skor pada komponen 1, 3, dan 6 diperoleh langsung
dari skor yang dipilih responden. Skor pada komponen 2 diperoleh dari
penjumlahan kuesioner nomor 2 dan 5a yang kemudian hasilnya akan
menentukan skor yang diperoleh. Skor pada komponen 4 diperoleh dari
lamanya waktu tidur dibagi waktu lamanya di atas tempat tidur kemudian
dikalikan 100%.
a. Jika hasilnya > 85% diberi skor 0.
b. Jika hasilnya 75-84% diberi skor 1.
c. Jika hasilnya 65-74 % diberi skor 2.
d. Jika hasilnya < 65% diberi skor 3.
Skor pada komponen 5 diperoleh dari penjumlahan kuesioner nomor
5b hingga 5i yang kemudian hasilnya akan menentukan skor yang
diperoleh. Kemudian skor pada komponen 7 diperoleh dari penjumlahan
kuesioner nomor B7 dan B8 yang kemudian hasilnya akan menentukan
skor yang diperoleh. Setelah mengetahui skor pada 7 komponen yang ada,
kemudian skor pada ketujuh komponen tersebut dijumlahkan. Skor yang
diperoleh memiliki rentang 0 – 21. Hasil data dikelompokkan ke dalam
dua kategori, yaitu :
a. Buruk : jika total skor > 5.
b. Baik : jika total skor ≤ 5.
86
2. Jenis Shift Kerja
Kuesioner berisi pertanyaan mengenai jenis shift kerja yang sedang
dijalani pekerja. Kuesioner yang memuat pertanyaan mengenai variabel
jenis shift kerja terdapat pada bagian A nomor A3. Hasil data
dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu :
a. Shift Malam.
b. Shift Siang.
c. Shift Pagi.
3. Stres Emosional
Kuesioner berisi pertanyaan mengenai tekanan mental atau psikologis
yang dapat mengganggu tidur responden. Kuesioner yang memuat
pertanyaan mengenai variabel stres emosional terdapat pada bagian C2
nomor C2a – C2c. Hasil data dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu:
a. Ya : jika total skor ≥ nilai median (median : 2).
b. Tidak : jika total skor < nilai median (median : 2).
4. Aktivitas Fisik
Kuesioner yang digunakan untuk mengetahui aktivitas fisik responden
adalah kuesioner International Physical Activity Questionnaire (IPAQ).
Kuesioner ini dipilih dikarenakan memiliki sejumlah kelebihan. Adapun
kelebihan kuesioner ini yaitu mudah dimengerti; pertanyaan sedikit,
sehingga cepat dalam pengisiannya; dapat diterapkan secara masal; telah
divalidasi di berbagai negara termasuk Indonesia; dan tingkat validitas
serta realibilitasnya cukup tinggi.
87
Kuesioner yang memuat pertanyaan mengenai variabel aktivitas fisik
terdapat pada bagian C9 nomor C9a – C9h. Kuesioner IPAQ terdiri dari
beberapa pertanyaan tentang aktivitas fisik yaitu waktu olahraga, waktu
luang, aktivitas di tempat kerja dan aktivitas kesenangan lainnnya dalam
kurun waktu satu minggu. Skor pada seluruh pertanyaan diperoleh
langsung dari jawaban responden.
Total skor diperoleh dari nilai aktivitas fisik dalam satuan METs-
menit/minggu berdasarkan penjumlahan aktivitas berjalan, aktivitas
sedang, dan aktivitas berat dalam durasi (menit sehari) dan frekuensi (hari
seminggu) (IPAQ, 2005). Nilai METs merupakan hasil kelipatan dari
Resting Metabolic Rate (RMR) dimana 1 METs adalah energi yang
dikeluarkan per menit/Kg BB orang dewasa (1 METs = 1,2 kkal/menit
aktivitas fisik dinyatakan dalam skor yaitu METs-menit sebagai jumlah
kegiatan setiap menit) (Putri, 2015). Nilai MET untuk aktivitas berjalan
adalah 3.3 METs, aktivitas sedang adalah 4.0 METs, dan aktivitas berat
adalah 8.0 METs (IPAQ, 2005).
Total METs-menit/minggu = aktivitas berjalan (METs x durasi x
frekuensi) + aktivitas sedang (METs x
durasi x frekuensi) + aktivitas berat
(METs x durasi x frekuensi).
Aktivitas fisik dapat diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yakni
aktivitas fisik rendah, sedang, dan berat.
a. Berat : jika jumlah aktivitas fisik yang dilakukan > 3000 MET-
menit/minggu.
88
b. Sedang : jika jumlah aktivitas fisik yang dilakukan > 600 MET-
menit/minggu.
c. Rendah : jika jumlah aktivitas fisik yang dilakukan < 600 MET-
menit/minggu.
Pada penelitian ini, hasil data dikelompokkan ke dalam dua kategori.
Hal ini dikarenakan terdapat distribusi angka 0 pada kategori aktivitas fisik
rendah dengan kualitas tidur yang baik, sehingga pengelompokkan data
menjadi sebagai berikut :
a. Berat : jika jumlah aktivitas fisik yang dilakukan > 3000 MET-
menit/minggu.
b. Rendah Sedang : jika jumlah aktivitas fisik yang dilakukan ≤ 3000
MET-menit/minggu.
5. Kebiasaan Makan
Kuesioner berisi pertanyaan mengenai kebiasaan konsumsi makanan
sebelum tidur setelah pulang bekerja. Kuesioner yang memuat pertanyaan
mengenai variabel kebiasaan makan terdapat pada bagian C4 nomor C4a
– C4c. Hasil data dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu :
a. Tidak Konsumsi : jika total skor < nilai median (median : 2).
b. Konsumsi : jika total skor ≥ nilai median (median : 2).
6. Asupan Obat-Obatan
Kuesioner berisi pertanyaan mengenai obat-obatan yang dikonsumsi
responden yang dapat mempengaruhi tidur. Kuesioner yang memuat
pertanyaan mengenai variabel obat-obatan terdapat pada bagian C5 nomor
89
C5a – C5b dan nomor B6. Hasil data dikelompokkan ke dalam dua
kategori, yaitu :
a. Konsumsi : jika total skor ≥ 1.
b. Tidak Konsumsi : jika total skor = 0.
7. Penyakit Fisik
Kuesioner berisi pertanyaan mengenai keluhan kesehatan yang dapat
mengganggu tidur responden. Kuesioner yang memuat pertanyaan
mengenai variabel penyakit fisik terdapat pada bagian C1 nomor C1a –
C1d. Hasil data dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu :
a. Ada : jika total skor ≥ nilai median (median : 1).
b. Tidak ada : jika total skor < nilai median (median : 1).
8. Hipersomnia
Kuesioner yang digunakan untuk mengetahui hipersomnia responden
adalah kuesioner Epworth Sleepiness Scale (ESS). Kuesioner ini dipilih
dikarenakan memiliki sejumlah kelebihan. Adapun kelebihan kuesioner
ini yaitu mudah dalam pengisiannya; singkat, mudah dipahami dan tidak
memakan waktu untuk mengisinya; biasa digunakan untuk pengukuran di
kalangan orang dewasa; banyak digunakan dalam praktek klinis dan
protokol penelitian sebagai penilaian cepat sederhana kantuk secara
subjektif; dan telah digunakan secara luas baik secara klinis maupun
pengaturan penelitian di seluruh dunia.
Kuesioner yang memuat pertanyaan mengenai variabel hipersomnia
terdapat pada bagian C6 nomor C6a – C6h. Kuesioner ESS terdiri dari 8
kegiatan atau aktivitas sehari-hari. Pada pertanyaan nomor C6g, peneliti
90
merubah pertanyaan dari yang semula “minum alkohol” menjadi “minum
kopi atau teh”. Hal ini dikarenakan peneliti menyesuaikan dengan
kebiasaan atau budaya masyarakat di Indonesia, dimana masyarakat pada
umumnya lebih sering mengkonsumsi kopi atau teh dibandingkan dengan
alkohol terutama pada waktu setelah makan siang. Selain itu, baik asupan
alkohol maupun teh dan kopi sama-sama memiliki efek menyulitkan tidur.
Konsumsi alkohol meskipun dalam jumlah sedikit dapat mengurangi mutu
dan lama total tidur REM, mengganggu tidur dalam, menjadikan tidur
terputus-putus, dan melumpuhkan otot saluran napas atas yang akan
memperparah dengkuran dan penderitaan bagi penderita apnea obstruktif
(Rafknowldge, 2004).
Masing-masing pertanyaan pada kuesioner dikalkulasikan
menggunakan skala likert dengan skor 0 – 3. (0 = tidak pernah mengantuk,
1 = sedikit mengantuk, 2 = cukup mengantuk, dan 3 = sangat mengantuk
dan jatuh tertidur). Skor seluruh pertanyaan kemudian dijumlahkan. Hasil
data dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu :
1. Ya : Jika total skor ≥ 10.
2. Tidak : jika total skor < 10.
9. Sindrom Pramenstruasi
Kuesioner yang digunakan untuk mengetahui sindrom pramenstruasi
responden adalah kuesioner Shortened Premenstrual Assessment Form
(SPAF). Kuesioner ini dipilih dikarenakan memiliki sejumlah kelebihan.
Adapun kelebihan kuesioner ini yaitu mudah dalam pengisiannya;
memiliki jumlah pertanyaan yang relatif lebih sedikit dan lebih sederhana
91
dari kuesioner PAF; tidak memakan banyak waktu untuk mengisinya;
sudah teruji dan memiliki nilai validitas, realibilitas, sensitivitas, dan
spesifisitas yang cukup tinggi; dan sangat bermanfaat untuk membedakan
antara kelompok PMDD dan kelompok non PMDD.
Kuesioner yang memuat pertanyaan mengenai variabel sindrom
pramenstruasi terdapat pada bagian C7 nomor C7a – C7j. Kuesioner SPAF
terdiri dari 10 pertanyaan terkait gejala PMS yang terdiri dari tiga sub skala
yakni nyeri, emosi, dan retensi air. Nomor masing – masing komponen
pertanyaan yang terdapat pada kuesioner SPAF dapat dilihat dalam tabel
sebagai berikut.
Tabel 4.3. Nomor Pertanyaan Kuesioner ESS
Sub Skala Nomor Pertanyaan
Nyeri 1, 6, 8
Emosi 2-5
Durasi tidur 7, 9, 10
Masing-masing pertanyaan dikalkulasikan menggunakan skala likert
dengan skor 1 – 6 (1 = tidak mengalami, 2 = sangat ringan, 3 = ringan, 4
= sedang, 5 = berat, dan 6 = ekstrim). Skor seluruh pertanyaan kemudian
dijumlahkan. Hasil data dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu :
a. Gejala sedang hingga gejala berat : jika total skor ≥ 30.
b. Tidak ada gejala hingga gejala ringan : jika total skor < 30.
10. Menopause
Kuesioner terdiri dari pertanyaan mengenai siklus haid atau
menstruasi responden. Kuesioner yang memuat pertanyaan mengenai
92
variabel menopause terdapat pada bagian C8 nomor C8a. Hasil data
dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu :
a. Sudah : jika tidak haid ≥ 12 bulan terakhir.
b. Belum : jika masih haid atau tidak haid < 12 bulan terakhir.
11. Kelelahan
Kuesioner yang digunakan untuk mengetahui kelelahan responden
adalah kuesioner Subjective Self Rating Test (SSRT) dari Industrial
Fatigue Research Committee (IFRC) Jepang. Kuesioner ini dipilih
dikarenakan memiliki sejumlah kelebihan. Adapun kelebihan kuesioner
ini yaitu mudah dalam pengisiannya; berisikan gejala kelelahan yang
sangat terperinci; lebih dapat menggambarkan gejala kelelahan secara
keseluruhan; dan telah dilakukan uji validitas di berbagai negara termasuk
Indonesia.
Kuesioner yang memuat pertanyaan mengenai variabel kelelahan
terdapat pada bagian C3 nomor C3.1 – C3.30. Kuesioner SSRT terdiri dari
30 pertanyaan terkait gejala kelelahan subjektif. Masing-masing
pertanyaan dikalkulasikan menggunakan skala likert dengan skor 0 - 3 (0
= tidak pernah, 1 = kadang-kadang, 2 = sering, 3 = sangat sering). Skor
seluruh pertanyaan kemudian dijumlahkan.
Skor kelelahan dapat dikategorikan menjadi beberapa tingkatan
kelelahan. Berikut merupakan distribusi tingkat kelelahan berdasarkan
kuesioner SSRT :
a. Kelelahan Berat : Jika total skor 91-120.
b. Kelelahan Sedang : Jika total skor 61-90.
93
c. Kelelahan Ringan : Jika total skor 31-60.
d. Tidak Lelah : Jika total skor 30.
Pada penelitian ini, data dianalisis berdasarkan total skor yang
diperoleh responden. Namun, untuk crosstab tetap menggunakan hasil
ukur sesuai dengan pengelompokkan tingkatan kelelahan.
1. Uji Validitas dan Reliabilitas
Sebelum melakukan pengumpulan data dengan menyebarkan
kuesioner kepada responden penelitian, terlebih dahulu dilakukan uji
validitas dan reliabilitas terhadap kuesioner tersebut. Uji validitas
merupakan ketepatan atau kecermatan pengukuran, dimana pertanyaan
mampu mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut
(Oktavia, 2015). Kemudian, uji reliabilitas (keandalan) merupakan ukuran
suatu kestabilan dan konsistensi responden dalam menjawab hal yang
berkaitan dengan konstruk-konstruk pertanyaan yang merupakan dimensi
suatu variabel dan disusun dalam suatu bentuk kuesioner (Gumilar, 2007).
Uji validitas dan reliabilitas dilakukan dengan menyebarkan kuesioner
ke tempat yang berbeda, namun memiliki responden dengan karakteristik
yang sama dengan responden pada penelitian ini. Peneliti melakukan uji
validitas dan reliabilitas dengan menyebarkan 30 kuesioner kepada 30
pekerja shift wanita di PT. Argopantes Tbk. Perusahaan tersebut
merupakan perusahaan tekstil yang memiliki latar belakang dan
karakteristik yang sama dengan PT. Sandratex.
Uji validitas pada variabel yang memiliki jawaban dengan
menggunakan skala likert dilakukan dengan cara membandingkan nilai r
94
hitung (r pearson) dengan nilai r tabel. Instrumen dikatakan valid jika nilai
r hitung (r pearson) ≥ nilai r tabel (Oktavia, 2015). Nilai r tabel yang
digunakan untuk sampel dengan jumlah 30 orang yaitu adalah 0,3610.
Selain itu, uji validitas pada variabel yang memiliki jawaban dengan
menggunakan skala guttman dilakukan dengan cara validitas konten.
Validitas konten dilakukan dengan melihat estimasi waktu responden
dalam mengisi kuesioner dan pemahaman responden terhadap isi
kuesioner (Di lorio, 2005). Instrumen dikatakan valid jika pekerja dapat
mengerjakan kuesioner dengan waktu yang tidak terlalu lama dan
memahami seluruh pertanyaan dalam kuesioner.
Berdasarkan hasil uji validitas, diketahui bahwa terdapat 8 pertanyaan
pada kuesioner terstandar (3 pertanyaan pada kuesioner kualitas tidur, 1
pertanyaan pada kuesioner hipersomnia, dan 4 pertanyaan pada kuesioner
kelelahan) yang memiliki nilai di bawah nilai r tabel, sehingga pertanyaan
tersebut tidak valid. Namun, pertanyaan yang tidak valid tersebut tetap
disertakan ke dalam kuesioner dikarenakan pertanyaan tersebut sangat
diperlukan untuk proses analisis. Selain iu, beberapa pekerja tidak
memahami arti kata “retensi air” yang terdapat pada kuesioner sindrom
pramenstruasi. Kemudian, peneliti menambahkan keterangan “retensi air
(penimbunan air)” agar responden dapat memahami arti kata tersebut.
Uji reliabilitas dilakukan dengan cara membandingkan nilai
Cronbach’s Alpha pada tabel Reliability Statistics. Instrumen dikatakan
reliabel jika nilai Cronbach’s Alpha ≥ 0,6 (Oktavia, 2015). Berdasarkan
hasil uji reliabilitas, diketahui bahwa seluruh variabel dalam penelitian ini
95
memiliki nilai Cronbach’s Alpha ≥ 0,6. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa seluruh variabel dalam penelitian ini reliabel.
E. Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam analisis data pada penelitian ini adalah data
primer. Data primer diperoleh secara langsung dengan memberikan kuesioner
kepada pekerja shift wanita yang berisikan variabel dependen dan independen.
F. Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul akan diolah melalui tahapan-tahapan
pengolahan data yaitu sebagai berikut :
1. Data Coding
Data coding merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
mempermudah proses pemasukan data. Data yang terkumpul akan
diklasifikasikan dan diberi kode, baik pada variabel dependen yaitu
kualitas tidur maupun pada variabel independen yaitu jenis shift kerja, stres
emosional, aktivitas fisik, kebiasaan makan, asupan obat-obatan, penyakit
fisik, hipersomnia, sindrom pramenstruasi, dan menopause. Coding tiap
variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.4. Coding pada Tiap Variabel
No. Variabel Kode
1 Kualitas Tidur a. Buruk = 1
b. Baik = 2
2 Jenis Shift Kerja c. Shift Malam = 1
d. Shift Siang = 2
e. Shift Pagi = 3
96
No. Variabel Kode
3 Stres Emosional a. Ya = 1
b. Tidak = 2
4 Aktivitas Fisik a. Berat = 1
b. Rendah Sedang = 2
5 Kebiasaan Makan a. Tidak Konsumsi = 1
b. Konsumsi = 2
6 Asupan Obat-
Obatan
a. Konsumsi = 1
b. Tidak Konsumsi = 2
7 Penyakit Fisik a. Ada = 1
b. Tidak Ada = 2
8 Hipersomnia a. Ya = 1
b. Tidak = 2
9 Sindrom
Pramenstruasi
a. Gejala sedang hingga
gejala berat = 1
b. Tidak ada gejala hingga
gejala ringan = 2
10 Menopause a. Sudah = 1
b. Belum = 2
2. Data Editing
Data editing merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memastikan
bahwa data yang ada tidak ada yang missing atau tidak diisi oleh
responden. Data yang sudah terkumpul akan dilakukan penyuntingan, jika
ditemukan terdapat data yang tidak terisi maka dapat segera diklarifikasi
kepada responden. Penyuntingan dilakukan di lapangan setelah menerima
kuesioner yang baru diisi oleh responden.
3. Data Entry
Data entry merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memasukkan
data menggunakan fasilitas analisis data. Data yang dimasukkan adalah
data pada kuesioner yang tidak ada missing satu pun. Fasilitas analisis data
yang digunakan adalah SPSS.
97
4. Data Cleaning
Data Cleaning merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memeriksa
kembali dan memastikan bahwa tidak ada kesalahan data atau data yang
tidak lengkap ketika proses entry. Setelah melakukan pembesihan data,
maka data dapat diolah dan dianalisis.
G. Analisa Data
1. Analisis Univariat
Analisis univariat merupakan analisis yang bertujuan untuk
mendeskripsikan atau menggambarkan distribusi variabel dependen dan
variabel independen dalam bentuk proporsi dan persentase. Variabel
dependen dalam penelitian ini yaitu kualitas tidur, sedangkan variabel
independen dalam penelitian ini yaitu jenis shift kerja, stres emosional,
aktivitas fisik, kebiasaan makan, asupan obat-obatan, penyakit fisik,
hipersomnia, sindrom pramenstruasi, menopause, dan kelelahan.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat merupakan analisis yang dilakukan terhadap variabel
independen yang diduga memiliki hubungan dengan variabel dependen.
Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara kualitas tidur
dengan determinan kualitas tidur pada pekerja.
Teknik analisis data yang dilakukan yaitu dengan menggunakan uji
Chi-Square dan Mann-Withney. Uji Chi-Square digunakan untuk
mengetahui hubungan atau pengaruh signifikan pada dua variabel
kategori. Uji Chi-Square pada penelitian ini digunakan pada variabel jenis
98
shift kerja, stres emosional, aktivitas fisik, kebiasaan makan, asupan obat-
obatan, penyakit fisik, hipersomnia, sindrom pramenstruasi, dan
menopause. Sementara, uji Mann-Withney digunakan untuk mengetahui
hubungan atau pengaruh signifikan pada dua variabel numerik dan
kategorik namun data tidak berdistribusi normal. Uji Mann-Withney pada
penelitian ini digunakan pada variabel kelelahan.
99
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Analisis Univariat
1. Gambaran Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di PT.
Sandratex Tahun 2016
Gambaran distribusi kualitas tidur responden dikelompokkan ke
dalam dua kategori, yaitu kualitas tidur baik dan kualitas tidur buruk.
Distribusi responden menurut kualitas tidur dapat dilihat pada tabel 5.1.
Tabel 5.1. Distribusi Kualitas Tidur Pekerja Shift Wanita di PT.
Sandratex Tahun 2016
Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)
Kualitas Tidur
Buruk 112 88,9%
Baik 14 11,1%
Jumlah 126 100%
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.1. diketahui bahwa sebagian
besar responden masuk ke dalam kategori kualitas tidur buruk, dengan
jumlah responden sebanyak 112 orang (88,9%) responden.
2. Gambaran Determinan Kualitas Tidur pada Pekerja Shift Wanita di
PT. Sandratex Tahun 2016
a. Faktor Pekerjaan
Faktor pekerjaan dalam penelitian ini meliputi jenis shift kerja.
Jenis shift kerja dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yakni shift
100
pagi, siang, dan malam. Distribusi responden menurut faktor
pekerjaan dapat dilihat pada tabel 5.2.
Tabel 5.2. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex
Tahun 2016 Berdasarkan Faktor Pekerjaan
Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)
Jenis Shift Kerja
Malam 43 34,1%
Siang 42 33,3%
Pagi 41 32,5%
Jumlah 126 100%
1) Jenis Shift Kerja
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.2. diketahui bahwa
sebagian besar responden bekerja pada shift malam, dengan
jumlah responden sebanyak 43 orang (34,1%) responden.
b. Faktor Psikologis
Faktor psikologis dalam penelitian ini meliputi stres emosional.
Stres emosional dikelompokkan ke dalam dua kategori, yakni
mengalami dan tidak mengalami stres emosional. Distribusi
responden menurut faktor psikologis dapat dilihat pada tabel 5.3.
101
Tabel 5.3. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex
Tahun 2016 Berdasarkan Faktor Psikologis
Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)
Stres Emosional
Ya 64 50,8%
Tidak 62 49,2%
Jumlah 126 100%
2) Stres Emosional
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.3. diketahui bahwa
sebagian besar responden masuk ke dalam kategori mengalami
stres emosional dengan jumlah responden sebanyak 64 orang
(50,8%) responden.
c. Faktor Latihan Fisik
Faktor latihan fisik dalam penelitian ini meliputi aktivitas fisik.
Aktivitas fisik dikelompokkan ke dalam dua kategori, yakni memiliki
aktivitas fisik rendah sedang dan berat. Distribusi responden menurut
faktor latihan fisik dapat dilihat pada tabel 5.4.
Tabel 5.4. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex
Tahun 2016 Berdasarkan Faktor Latihan Fisik
Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)
Aktivitas Fisik
Berat 102 81,0%
Rendah Sedang 24 19,0%
Jumlah 126 100%
102
2) Aktivitas Fisik
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.4. diketahui bahwa
sebagian besar responden masuk ke dalam kategori aktivitas fisik
berat dengan jumlah responden sebanyak 102 orang (81,0%)
responden.
d. Faktor Konsumsi
Faktor konsumsi dalam penelitian ini meliputi kebiasaan makan
dan asupan obat-obatan. Kebiasaan makan dan asupan obat-obatan
dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu konsumsi dan tidak
konsumsi. Distribusi responden menurut faktor konsumsi dapat dilihat
pada tabel 5.5.
Tabel 5.5. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex
Tahun 2016 Berdasarkan Faktor Konsumsi
Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)
Kebiasaan Makan
Tidak Konsumsi 26 20,6%
Konsumsi 100 79,4%
Asupan Obat-Obatan
Konsumsi 25 19,8%
Tidak Konsumsi 101 80,2%
1) Kebiasaan Makan
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.5. diketahui bahwa
sebagian besar responden masuk ke dalam kategori memiliki
kebiasaan mengkonsumsi makanan dengan jumlah responden
sebanyak 100 orang (79,4%) responden.
103
2) Asupan Obat-Obatan
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.5. diketahui bahwa
sebagian besar responden masuk ke dalam kategori tidak
mengkonsumsi obat-obatan dengan jumlah responden sebanyak
101 orang (80,2%) responden.
e. Faktor Fisiologis
Faktor fisiologis dalam penelitian ini meliputi penyakit fisik,
hipersomnia, sindrom pramenstruasi, menopause, dan kelelahan.
Penyakit fisik dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu memiliki
dan tidak memiliki penyakit fisik. Hipersomnia dikelompokkan ke
dalam dua kategori, yaitu mengalami dan tidak mengalami
hipersomnia. Sindrom pramenstruasi juga dikelompokkan ke dalam
dua kategori, yaitu sindrom pramenstruasi dengan gejala sedang
hingga gejala berat dan tidak ada gejala hingga gejala ringan.
Kemudian, menopause dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu
sudah dan belum menopause. Distribusi responden menurut faktor
fisiologis dapat dilihat pada tabel 5.6. dan 5.7.
Tabel 5.6. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex
Tahun 2016 Berdasarkan Faktor Fisiologis
Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)
Penyakit Fisik
Ada 95 75,4%
Tidak Ada 31 24,6%
Hipersomnia
Ya 35 27,8%
104
Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)
Tidak 91 72,2%
Sindrom Pramenstruasi
Gejala Sedang Hingga
Gejala Berat
29 23,0%
Tidak Ada Gejala
Hingga Gejala Ringan
97 77,0%
Menopause
Sudah 43 34,1%
Belum 83 65,9%
Variabel kelelahan merupakan variabel numerik yang memiliki
analisis data berbeda dengan faktor-faktor lainnya. Variabel kelelahan
dilihat berdasarkan total skor kelelahan responden. Distribusi
responden menurut variabel kelelahan dapat dilihat pada tabel 5.7.
Tabel 5.7. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun
2016 Berdasarkan Faktor Fisiologis (Variabel Kelelahan)
Variabel Mean SD Min Maks 95% CI P value
Kelelahan 24,01 12,371 3 – 71 21,83 – 26,19 0,045
1) Penyakit Fisik
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.6. diketahui bahwa
sebagian besar responden masuk ke dalam kategori memiliki
penyakit fisik dengan jumlah responden sebanyak 95 orang
(75,4%) responden.
2) Hipersomnia
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.6. diketahui bahwa
sebagian besar responden masuk ke dalam kategori tidak
105
mengalami hipersomnia dengan jumlah responden sebanyak 91
orang (72,2%) responden.
3) Sindrom Pramenstruasi
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.6. diketahui bahwa
sebagian besar responden masuk ke dalam kategori tidak
memiliki gejala hingga gejala ringan sindrom pramenstruasi
dengan jumlah responden sebanyak 97 orang (77,0%) responden.
4) Menopause
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.6. diketahui bahwa
sebagian besar responden masuk ke dalam kategori belum
mengalami menopause dengan jumlah responden sebanyak 83
orang (65,9%) responden.
5) Kelelahan
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.7. diketahui bahwa
rata-rata total skor kelelahan responden adalah 24,01 skor (21,83
– 26,19 skor) dengan standar deviasi 12,371 skor. Total skor
paling rendah adalah 3 skor dan paling tinggi adalah 71 skor.
Selain itu, berdasarkan uji Kolmogorov Smirnov, diketahui nilai
probabilitas sebesar 0,045 (nilai probabilitas < 0,05), yang artinya
variabel kelelahan tidak berdistribusi normal.
106
B. Analisis Bivariat
1. Hubungan antara Faktor Pekerjaan dengan Kualitas Tidur pada
Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016
Faktor pekerjaan dalam penelitian ini meliputi jenis shift kerja. Jenis
shift kerja dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yakni shift pagi, siang,
dan malam. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Chi-Square
antara faktor pekerjaan dengan kualitas tidur responden dapat dilihat pada
tabel 5.8.
Tabel 5.8. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016
Berdasarkan Faktor Pekerjaan dengan Kualitas Tidur
Variabel
Kualitas Tidur Total OR
(95% CI)
P
value Buruk Baik
n % n % n %
Jenis Shift Kerja
Malam 39 90,7% 4 9,3% 43 100% 0,738 (0,184-2,967) 0,894 Siang 37 88,1% 5 11,9% 42 100% 0,973 (0,259-3,649)
Pagi 36 87,8% 5 12,2% 41 100% 1
Jumlah 112 88,9% 14 11,1% 126 100%
a. Hubungan antara Jenis Shift Kerja dengan Kualitas Tidur
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.8. diketahui bahwa di
antara 43 orang responden yang bekerja pada shift malam, terdapat 39
orang (90,7%) responden yang memiliki kualitas tidur buruk.
Kemudian, di antara 42 orang responden yang bekerja pada shift
siang, terdapat 37 orang (88,1%) responden yang memiliki kualitas
tidur buruk, sedangkan di antara 41 orang responden yang bekerja
107
pada shift pagi, terdapat 36 orang (87,8%) responden yang memiliki
kualitas tidur buruk.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitas (P
value) sebesar 0,894, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada ⍺ 5%,
tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis shift kerja dengan
kualitas tidur responden. Diketahui nilai OR shift malam sebesar
0,738 (95% CI ; 0,184 – 2,967), yang artinya responden yang bekerja
pada shift malam dapat mencegah risiko kualitas tidur yang buruk
0,738 kali dibandingkan dengan responden yang bekerja pada shift
pagi. Kemudian, diketahui nilai OR shift siang sebesar 0,973 (95% CI
; 0,259 – 3,649), yang artinya responden bekerja pada shift siang dapat
mencegah risiko kualitas tidur yang buruk 0,973 kali dibandingkan
dengan responden yang bekerja pada shift pagi.
2. Hubungan antara Faktor Psikologis dengan Kualitas Tidur pada
Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016
Faktor psikologis dalam penelitian ini meliputi stres emosional. Stres
emosional dikelompokkan ke dalam dua kategori, yakni mengalami stres
emosional dan tidak mengalami stres emosional. Hasil analisis statistik
dengan menggunakan uji Chi-Square antara faktor psikologis dengan
kualitas tidur pada responden dapat dilihat pada tabel 5.9.
108
Tabel 5.9. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016
Berdasarkan Faktor Psikologis dengan Kualitas Tidur
Variabel
Kualitas Tidur Total OR
(95% CI)
P
value Buruk Baik
n % n % n %
Stres Emosional
Ya 58 90,6% 6 9,4% 64 100% 1,432 (0,467-4,396) 0,729
Tidak 54 87,1% 8 12,9% 62 100% 1
Jumlah 112 88,9% 14 11,1% 126 100%
a. Hubungan antara Stres Emosional dengan Kualitas Tidur
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.9. diketahui bahwa di
antara 64 orang responden yang mengalami stres emosional, terdapat
58 orang (90,6%) responden yang memiliki kualitas tidur buruk,
sedangkan di antara 62 orang responden yang tidak mengalami stres
emosional, terdapat 54 orang (87,1%) responden yang memiliki
kualitas tidur buruk.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitas (P
value) sebesar 0,729, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada ⍺ 5%,
tidak ada hubungan yang signifikan antara stres emosional dengan
kualitas tidur responden. Kemudian, diketahui nilai OR sebesar 1,432
(95% CI ; 0,467 – 4,396), yang artinya responden yang mengalami
stres emosional memiliki risiko 1,432 kali mengalami kualitas tidur
yang buruk dibandingkan dengan responden yang tidak mengalami
stres emosional.
109
3. Hubungan antara Faktor Latihan Fisik dengan Kualitas Tidur pada
Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016
Faktor latihan fisik dalam penelitian ini meliputi aktivitas fisik.
Aktivitas fisik dikelompokkan ke dalam dua kategori, yakni memiliki
aktivitas fisik rendah sedang dan berat. Hasil analisis statistik dengan
menggunakan uji Chi-Square antara faktor latihan fisik dengan kualitas
tidur pada responden dapat dilihat pada tabel 5.10.
Tabel 5.10. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016 Berdasarkan
Faktor Latihan Fisik dengan Kualitas Tidur
Variabel
Kualitas Tidur Total OR
(95% CI)
P
value Buruk Baik
n % n % n %
Aktivitas Fisik
Berat 91 89,2% 11 10,8% 102 100% 1,182 (0,303-4,613) 0,729
Rendah Sedang 21 87,5% 3 12,5% 24 100% 1
Jumlah 112 88,9% 14 11,1% 126 100%
a. Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Kualitas Tidur
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.10. diketahui bahwa di
antara 102 orang responden yang memiliki aktivitas fisik berat,
terdapat 91 orang (89,2%) responden yang memiliki kualitas tidur
buruk, sedangkan di antara 24 orang responden yang memiliki
aktivitas fisik rendah sedang, terdapat 21 orang (87,5%) responden
yang memiliki kualitas tidur buruk.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitas (P
value) sebesar 0,729, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada ⍺ 5%,
tidak ada hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan
110
kualitas tidur responden. Kemudian, diketahui nilai OR sebesar 1,182
(95% CI ; 0,303 – 4,613), yang artinya responden yang memiliki
aktivitas fisik berat memiliki risiko 1,182 kali mengalami kualitas
tidur yang buruk dibandingkan dengan responden yang memiliki
aktivitas fisik rendah sedang.
4. Hubungan antara Faktor Konsumsi dengan Kualitas Tidur pada
Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016
Faktor konsumsi dalam penelitian ini meliputi kebiasaan makan dan
asupan obat-obatan. Kebiasaan makan dan asupan obat-obatan
dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu mengkonsumsi dan tidak
mengkonsumsi. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Chi-
Square antara faktor konsumsi dengan kualitas tidur pada responden dapat
dilihat pada tabel 5.11.
Tabel 5.11. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016
Berdasarkan Faktor Konsumsi dengan Kualitas Tidur
Variabel
Kualitas Tidur Total OR
(95% CI)
P
value Buruk Baik
n % n % n %
Kebiasaan Makan
Tidak Konsumsi 24 92,3% 2 7,7% 26 100% 1,636 (0,343-7,815) 0,733
Konsumsi 88 88,0% 12 12,0% 100 100% 1
Asupan Obat-Obatan
Konsumsi 25 100% 0 ,0% 25 100% - 0,070
Tidak Konsumsi 87 86,1% 14 13,9% 101 100% 1
111
a. Hubungan antara Kebiasaan Makan dengan Kualitas Tidur
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.11. diketahui bahwa di
antara 26 orang responden yang memiliki kebiasaan tidak
mengkonsumsi makanan, terdapat 24 orang (92,3%) responden yang
memiliki kualitas tidur buruk, sedangkan di antara 100 orang
responden yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan,
terdapat 88 orang (88,0%) responden yang memiliki kualitas tidur
buruk.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitas (P
value) sebesar 0,733, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada ⍺ 5%,
tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan makan dengan
kualitas tidur responden. Kemudian, diketahui nilai OR sebesar 1,636
(95% CI ; 0,343 – 7,815), yang artinya responden yang memiliki
kebiasaan tidak mengkonsumsi makanan memiliki risiko 1,636 kali
mengalami kualitas tidur yang buruk dibandingkan dengan responden
yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan.
b. Hubungan antara Asupan Obat-Obatan dengan Kualitas Tidur
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.11. diketahui bahwa di
antara 25 orang responden yang mengkonsumsi obat-obatan,
seluruhnya (100%) memiliki kualitas tidur buruk, sedangkan di antara
101 orang responden yang tidak mengkonsumsi obat-obatan, terdapat
87 orang (86,1%) responden yang memiliki kualitas tidur buruk.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitas (P
value) sebesar 0,070, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada ⍺ 5%,
112
tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan obat-obatan dengan
kualitas tidur responden. Namun, nilai OR pada variabel ini tidak
dapat diketahui dikarenakan terdapat distribusi angka 0 pada kategori
responden yang mengkonsumsi obat-obatan dan memiliki kualitas
tidur baik.
5. Hubungan antara Faktor Fisiologis dengan Kualitas Tidur pada
Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016
Faktor fisiologis dalam penelitian ini meliputi penyakit fisik,
hipersomnia, sindrom pramenstruasi, menopause, dan kelelahan. Penyakit
fisik dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu memiliki dan tidak
memiliki penyakit fisik. Hipersomnia dikelompokkan ke dalam dua
kategori, yaitu mengalami dan tidak mengalami hipersomnia. Sindrom
pramenstruasi dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu sindrom
pramenstruasi dengan gejala sedang hingga gejala berat dan tidak ada
gejala hingga gejala ringan. Kemudian, menopause dikelompokkan ke
dalam dua kategori, yaitu sudah dan belum menopause. Hasil analisis
statistik dengan menggunakan uji Chi-Square antara faktor fisiologis
dengan kualitas tidur pada responden dapat dilihat pada tabel 5.12.
113
Tabel 5.12. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016
Berdasarkan Faktor Fisiologis dengan Kualitas Tidur
Variabel
Kualitas Tidur Total OR
(95% CI)
P
value Buruk Baik
n % n % n %
Penyakit Fisik
Ada 88 92,6% 7 7,4% 95 100% 3,667 (1,172-11,473) 0,042
Tidak 24 77,4% 7 22,6% 31 100% 1
Hipersomnia
Ya 30 85,7% 5 14,3% 35 100% 0,659 (0,204-2,123) 0,531
Tidak 82 90,1% 9 9,9% 91 100% 1
Sindrom Pramenstruasi
Gejala Sedang
Hingga Gejala
Berat
26 89,7% 3 10,3% 29 100% 1,109 (0,287-4,275) 1,000
Tidak Ada
Gejala Hingga
Gejala Ringan
86 88,7% 11 11,3% 97 100% 1
Menopause
Sudah 39 90,7% 4 9,3% 43 100% 1,336 (0,393-4,537) 0,770
Belum 73 88,0% 10 12,0% 83 100% 1
Berdasarkan hasil uji normalitas, diketahui bahwa variabel kelelahan
tidak berdistribusi normal, sehingga dilakukan uji Mann-Withney untuk
melihat hubungan antara variabel kelelahan dengan kualitas tidur. Variabel
kelelahan dilihat dari total skor kelelahan responden. Hasil analisis
statistik dengan menggunakan uji Mann-Withney antara kelelahan dengan
kualitas tidur pada responden dapat dilihat pada tabel 5.13.
Tabel 5.13. Distribusi Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun
2016 Berdasarkan Variabel Kelelahan dengan Kualitas Tidur
Kelelahan N Mean rank P value
Kualitas Tidur
Buruk 112 65,78 0,048
Baik 14 45,29
114
a. Hubungan antara Penyakit Fisik dengan Kualitas Tidur
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.12. diketahui bahwa di
antara 95 orang responden yang memiliki penyakit fisik, terdapat 88
orang (92,6%) responden yang memiliki kualitas tidur buruk,
sedangkan di antara 31 orang responden yang tidak memiliki penyakit
fisik, terdapat 24 orang (77,4%) responden yang memiliki kualitas
tidur buruk.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitas (P
value) sebesar 0,042, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada ⍺ 5%,
ada hubungan yang signifikan antara penyakit fisik dengan kualitas
tidur responden. Kemudian, diketahui nilai OR sebesar 3,667 (95% CI
; 1,172 – 11,473), yang artinya responden yang memiliki penyakit
fisik memiliki risiko 3,667 kali mengalami kualitas tidur yang buruk
dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki penyakit fisik.
b. Hubungan antara Hipersomnia dengan Kualitas Tidur
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.12. diketahui bahwa di
antara 35 orang responden yang mengalami hipersomnia, terdapat 30
orang (85,7%) responden yang memiliki kualitas tidur buruk,
sedangkan di antara 91 orang responden yang tidak mengalami
hipersomnia, terdapat 82 orang (90,1%) responden yang memiliki
kualitas tidur buruk.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitas (P
value) sebesar 0,531, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada ⍺ 5%,
tidak ada hubungan yang signifikan antara hipersomnia dengan
115
kualitas tidur responden. Kemudian, diketahui nilai OR sebesar 0,659
(95% CI ; 0,204 – 2,123), yang artinya responden yang mengalami
hipersomnia dapat mencegah risiko kualitas tidur yang buruk 0,659
kali dibandingkan dengan responden yang tidak mengalami
hipersomnia.
c. Hubungan antara Sindrom Pramenstruasi dengan Kualitas
Tidur
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.12. diketahui bahwa di
antara 29 orang responden yang mengalami gejala sedang hingga
gejala berat sindrom pramenstruasi, terdapat 26 orang (89,7%)
responden yang memiliki kualitas tidur buruk, sedangkan di antara 97
orang responden yang tidak mengalami gejala hingga gejala ringan
sindrom pramenstruasi, terdapat 86 orang (88,7%) responden yang
memiliki kualitas tidur buruk.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitas (P
value) sebesar 1,000, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada ⍺ 5%,
tidak ada hubungan yang signifikan antara sindrom pramenstruasi
dengan kualitas tidur responden. Kemudian, diketahui nilai OR
sebesar 1,109 (95% CI ; 0,287– 4,275) yang artinya responden yang
mengalami gejala sedang hingga gejala berat sindrom pramenstruasi
memiliki risiko 1,109 kali mengalami kualitas tidur yang buruk
dibandingkan dengan responden yang tidak mengalami gejala hingga
gejala ringan sindrom pramenstruasi.
116
d. Hubungan antara Menopause dengan Kualitas Tidur
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.12. diketahui bahwa di
antara 43 orang responden yang sudah menopause, terdapat 39 orang
(90,7%) responden yang memiliki kualitas tidur buruk, sedangkan di
antara 83 orang responden yang belum menopause, terdapat 73 orang
(88,0%) responden yang memiliki kualitas tidur buruk.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitas (P
value) sebesar 0,770, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada ⍺ 5%,
tidak ada hubungan yang signifikan antara menopause dengan kualitas
tidur responden. Kemudian, diketahui nilai OR sebesar 1,336 (95% CI
; 0,393 – 4,537), yang artinya responden yang sudah menopause
memiliki risiko 1,336 kali mengalami kualitas tidur yang buruk
dibandingkan dengan responden yang belum menopause.
e. Hubungan antara Kelelahan dengan Kualitas Tidur
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.13. diketahui bahwa
nilai mean rank responden yang mengalami kelelahan dan memiliki
kualitas tidur yang buruk yaitu sebesar 65,78, sedangkan responden
yang mengalami kelelahan dan memiliki kualitas tidur baik yaitu
45,29. Kemudian, diketahui berdasarkan hasil uji statistik diperoleh
nilai probabilitas (P value) sebesar 0,048 sehingga dapat disimpulkan
bahwa pada ⍺ 5%, ada hubungan yang signifikan antara kelelahan
dengan kualitas tidur responden.
117
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian
1. Belum dilakukan pengukuran gejala dengan menggunakan indikator yang
bersifat objektif melalui pemeriksaan fisik. Pengukuran variabel pada
penelitian ini lebih kepada gejala atau indikator subjektif dengan
menggunakan kuesioner. Hal ini menyebabkan masih memungkinkan
terjadinya bias karena subjektifitas responden dalam menilai gejala yang
dirasakan.
2. Distribusi data pada variabel dependen homogen, sehingga pada analisis
bivariat distribusi data juga menjadi homogen. Hal tersebut yang
kemudian membuat sebagian besar variabel independen menjadi tidak
berhubungan dengan variabel dependen.
B. Kualitas Tidur
Tidur merupakan kebutuhan yang bersifat fisiologis dan paling dasar dari
piramida kebutuhan manusia (Tarihoran dkk., 2015). Dengan kata lain, tidur
merupakan kebutuhan yang harus terpenuhi oleh setiap orang. Fisiologi tidur
dikendalikan oleh sistem Reticular Activating System (RAS) dan Bulbar
Synchronizing Region (BSR). Seseorang terbangun akibat neuron dalam sistem
RAS yang melepaskan katekolamin seperti norepinefrin dan pada saat tidur
terjadi pelepasan serum serotonin dari sel BSR (Uliyah dan Hidayat, 2008).
118
Tidur yang berkualitas sangat dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini dikarenakan
tidur memberikan efek fisiologis pada tubuh yaitu terhadap sistem saraf yang
dapat memulihkan kepekaan normal dan keseimbangan di antara berbagai
susunan saraf, serta terhadap struktur tubuh yang dapat memulihkan kesegaran
dan fungsi organ dikarenakan selama tidur terjadi penurunan aktivitas organ-
organ tubuh (Uliyah dan Hidayat, 2008). Selain itu, tidur bermanfaat untuk
memelihara otot jantung, memperbaiki proses biologis secara rutin,
menyimpan energi selama tidur, dan untuk pemulihan fungsi kognitif (Umami
dan Priyanto, 2012). Seseorang yang mendapatkan tidur yang berkualitas dapat
meningkatkan kesehatan dan pemulihan seseorang yang sakit (Potter dan
Perry, 2005). Tidur yang berkualitas juga akan berpengaruh positif terhadap
pemulihan fungsi kognitif, dimana pada tahap tidur REM terjadi perubahan
aliran darah serebral, peningkatan aktivitas kortikal, peningkatan konsumsi
oksigen, dan pelepasan epinefrin (Umami dan Priyanto, 2012).
Begitu pentingnya pemenuhan kebutuhan tidur bagi setiap orang. Oleh
karena itu, ketika pemenuhannya terganggu, maka akan menimbulkan dampak
seperti menurunnya kemampuan berpikir dan bekerja, membuat kesalahan, dan
sulit untuk mengingat sesuatu (Amran dan Handayani, 2012). Selain itu, tidur
yang tidak adekuat juga dapat berdampak pada aspek fisiologi seperti
penurunan aktivitas sehari-hari, rasa capai, lemah, proses penyembuhan
lambat, daya tahan tubuh menurun, dan ketidakstabilan tanda-tanda vital
(Nurlela dkk., 2009).
Kualitas tidur merupakan faktor dependen yang diteliti dalam penelitian
ini. Analisis kualitas tidur dilakukan dengan menggunakan kuesioner The
119
Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) yang terdiri dari tujuh komponen. Tujuh
komponen tersebut terdiri dari latensi tidur, durasi tidur, kualitas tidur, efisiensi
kebiasaan tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan gangguan fungsi
tubuh di siang hari dalam satu bulan terakhir.
Seseorang dikatakan mendapatkan tidur yang berkualitas jika
mendapatkan tidur dengan penuh ketenangan, merasa segar pada pagi hari, dan
merasa bersemangat untuk melakukan aktivitas (Craven dan Hirnle, 2000).
Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk dialami
oleh 88,9% pekerja shift wanita. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
sebagian besar pekerja shift wanita memiliki kualitas tidur yang buruk. Hal
tersebut tentu dapat menimbulkan dampak yang negatif bagi pekerja wanita
terutama jika tidak dilakukan penanggulangan atau pengendalian yang tepat.
Secara teoritis, wanita diketahui memiliki kecenderungan untuk
mengalami gangguan tidur. Wanita diketahui memiliki kecenderungan untuk
mengalami mimpi buruk, kesulitan tidur, dan sering terbangun dibandingkan
dengan pria (Sumirta dan Laraswati, 2014). Hal ini yang kemudian
menyebabkan jumlah wanita yang mengalami gangguan tidur lebih banyak dari
laki-laki. Selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Haryono, dkk. (2009)
dan Sumirta dan Laraswati (2014) yang menunjukkan bahwa terdapat
kecenderungan responden wanita memiliki prevalensi gangguan tidur yang
lebih besar dari laki-laki. Hasil pada penelitian ini juga menunjukkan hasil
yang serupa dengan teori dan hasil penelitian lainnya, dimana sebagian besar
pekerja shift wanita memiliki kualitas tidur yang buruk.
120
Lebih buruknya kualitas tidur pada wanita disebabkan oleh faktor
fisiologis maupun psikologis. Secara fisiologis, laki-laki diketahui memiliki
tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap shift kerja dibandingkan dengan
wanita (EKU Online, 2016). Hal ini dapat dikarenakan wanita yang lebih
mudah mengalami kelelahan dibandingkan dengan laki-laki (Oginska dan
Pokorskri, 2006). Ketahanan fisik laki-laki diketahui lebih kuat dibandingkan
dengan wanita. Wanita memiliki massa otot yang lebih sedikit dan kekuatan
fisik yang lebih kecil (Harrington dan Gill, 2003). Hal tersebut lah yang
kemudian membuat wanita lebih mudah mengalami kelelahan.
Perbedaan hormonal antara wanita dan laki-laki juga memberikan
pengaruh terhadap kualitas tidur, dimana hormon estrogen dan progesteron
pada wanita lebih dominan dibandingkan dengan laki-laki. Keberadaan
hormon ini sangat berpengaruh terhadap siklus tidur. Reseptor hormon
estrogen dan progesteron terletak pada bagian tersendiri di hipotalamus,
dimana posisi tersebut mempengaruhi irama sirkadian dan pola tidur secara
langsung (Prasadja, 2009).
Irama sirkadian berfungsi mengatur siklus biologi irama tidur bangun
dimana sepertiga waktu untuk tidur dan dua pertiga untuk bangun atau
beraktivitas (Saftarina dan Hasanah, 2014). Dengan demikian, irama sirkadian
yang mengalami perubahan maka akan mempengaruhi pola tidur dan dapat
menyebabkan gangguan tidur.
Keberadaan hormon estrogen dan progesteron pada wanita secara
langsung juga sangat berpengaruh pada masa Premenstrual Syndrome (PMS),
kehamilan, dan menopause. Penurunan kadar estrogen dan progesteron
121
menyebabkan wanita mengalami gangguan tidur seperti insomnia,
hipersomnia, dan mimpi buruk (Gracia dkk., 2011) dan (Sulistiyowati dan
Nisa, 2014).
Secara psikologis, juga diketahui bahwa kemampuan koping dalam
mengatasi masalah pada wanita lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki,
sehingga wanita lebih mudah mengalami kecemasan yang dapat menyebabkan
insomnia (Sumirta dan Laraswati, 2014). Permasalahan secara psikologis juga
dapat memperburuk kualitas tidur wanita. Wanita yang mengalami tekanan
secara psikologis dapat menyebabkan seseorang mengalami kesulitan tidur,
sering terbangun selama siklus tidur, atau bahkan lebih banyak tidur (Potter
dan Perry, 2005).
Berdasarkan hasil wawancara kepada pengawas dan perwakilan pekerja,
diketahui bahwa terdapat beberapa kasus kecelakaan kerja yang disebabkan
oleh rasa kantuk yang dialami pekerja. Selain itu, baik rekan kerja maupun
pengawas juga kerap kali menemukan pekerja yang tidur di saat seharusnya
mereka bekerja atau bahkan mengerjakan pekerjaanya sambil tertidur. Rasa
kantuk yang dialami pekerja ketika melakukan pekerjaan merupakan salah satu
indikasi buruknya kualitas tidur pekerja. Namun, tidak diketahui secara pasti
berapa banyak kejadian kecelakaan yang berhubungan dengan gangguan tidur
maupun jumlah pekerja yang tidur ketika bekerja dikarenakan tidak tersedianya
data.
Pekerjaan yang dilakukan dalam proses produksi perusahaan tekstil
tergolong ke dalam pekerjaan yang membutuhkan tingkat kewaspadaan yang
tinggi. Hal tersebut dikarenakan pekerja akan berhadapan langsung dengan
122
mesin yang berpotensi menyebabkan pekerja mengalami kecelakaan seperti
tergores, terpotong, tertusuk, tertarik, dsb. Pekerjaan yang dilakukan akan
sangat berbahaya jika dilakukan dalam keadaan mengantuk atau bahkan
tertidur. Rasa kantuk yang dialami akibat tidak terpenuhinya kebutuhan tidur
dapat sangat membahayakan dirinya dan dapat menyebabkan kecelakaan
serius. Rasa kantuk yang tak tertahankan tersebut juga dapat mempengaruhi
tingkat produktivitas dan profitabilitas kerja. Dengan demikian, akan
menimbulkan kerugian yang cukup besar terhadap perusahaan.
Buruknya kualitas tidur pekerja shift wanita diduga disebabkan oleh
beberapa faktor yang dapat berasal dari faktor internal maupun eksternal. Oleh
karena itu, peneliti ingin melihat beberapa variabel independen yang diduga
memiliki hubungan dengan kualitas tidur pada pekerja shift wanita di PT.
Sandratex tahun 2016. Adapun variabel independen yang diteliti hubunganya
dengan kualitas tidur yaitu faktor pekerjaan yang meliputi jenis shift kerja,
faktor psikologis yang meliputi stres emosional, faktor latihan fisik yang
meliputi aktivitas fisik, faktor konsumsi yang meliputi kebiasaan makan dan
asupan obat-obatan, dan faktor fisiologis yang meliputi penyakit fisik,
hipersomnia, sindrom pramenstruasi, menopause, dan kelelahan.
C. Determinan Kualitas Tidur
1. Hubungan antara Faktor Pekerjaan dengan Kualitas Tidur pada
Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016
Faktor pekerjaan dalam penelitian ini meliputi jenis shift kerja.
Hubungan antara faktor pekerjaan dengan kualitas tidur pekerja shift
123
wanita di bagian produksi PT. Sandratex akan dijelaskan pada pembahasan
di bawah ini.
a. Hubungan antara Jenis Shift Kerja dengan Kualitas Tidur
Jenis shift kerja merupakan salah satu faktor yang diduga
memiliki hubungan dengan kualitas tidur. Pada saat ini, penerapan
shift kerja banyak dilakukan di tempat kerja. Hal ini bertujuan untuk
mengoptimalkan produktivitas produksi. Tempat kerja yang
menerapkan sistem shift kerja yaitu seperti rumah sakit, kantor polisi,
industri transportasi, dan manufaktur (NSF, 2005). Namun, dari
berbagai industri yang ada, jenis industri yang paling banyak
menerapkan sistem shift kerja adalah industri manufaktur dan
produksi dengan persentase sebesar 83% (EKU Online, 2016).
PT. Sandratex merupakan pabrik tekstil dan turut menerapkan
sistem shift kerja dalam menjalankan kegiatan produksinya. Selain itu,
PT. Sandratex juga banyak mempekerjakan wanita pada seluruh shift
kerjanya, sehingga sesuai dengan kriteria lokasi dalam penelitian ini.
Bila dilihat dari waktunya, sistem shift kerja yang dilaksanakan
di PT. Sandratex merupakan sistem shift biasa yang terdiri dari 3 jenis
shift kerja. Jenis shift kerja yang dijalani yaitu shift pagi, siang, dan
malam. Shift pagi dimulai dari pukul 06.00 WIB hingga pukul 14.00
WIB, shift siang dimulai pukul 14.00 WIB hingga pukul 22.00 WIB,
sedangkan shift malam dimulai pukul 22.00 WIB hingga pukul 06.00
WIB. Pekerja wanita pada unit produksi dipekerjakan pada seluruh
jenis shift kerja.
124
Bila dilihat dari kecepatan rotasinya, PT. Sandratex menerapkan
rotasi lambat. PT. Sandratex melaksanakan rotasi kerja setiap dua
minggu. Pekerja shift wanita akan mengalami pergantian shift kerja
setiap dua minggu sekali. Jenis rotasi lambat sangat baik untuk
diterapkan. Hal ini dikarenakan jenis rotasi tersebut memberikan
waktu kepada pekerja untuk dapat beradaptasi dengan shift kerja baik
secara fisiologis maupun secara sosial (LaDou, 1994).
Arah rotasi yang diterapkan di PT. Sandratex adalah rotasi
mundur. Pekerja shift wanita bekerja dimulai dari shift siang, shift
pagi, dan kemudian shift malam. Arah rotasi ini merupakan arah rotasi
yang kurang baik dibandingkan dengan rotasi maju. Hal ini
dikarenakan arah rotasi ini tidak memberikan waktu tidur dan istirahat
lebih lama kepada pekerja seperti pada rotasi maju (LaDou, 1994).
Dengan demikian, pekerja tidak mendapatkan waktu istirahat yang
cukup.
Hari libur yang diterapkan di PT. Sandratex setelah bekerja shift
adalah satu hari pada setiap minggunya, baik itu pada pekerja shift
pagi, siang, maupun malam. Penerapan hari libur tersebut diketahui
kurang baik untuk diterapkan. Hari libur yang baik diterapkan pada
pekerja shift malam sedikitnya adalah 2 hari (Tayyari dan Smith,
1997). Penerapan satu hari libur setelah bekerja pada shift malam
kurang memberikan waktu bagi pekerja untuk menyesuaikan
perubahan pola tidur akibat bekerja pada shift malam. Akibatnya,
pekerja kurang mendapatkan waktu tidur atau istirahat yang cukup.
125
Kurangnya waktu tidur tentu dapat menimbulkan dampak negatif
pada tubuh. Efek yang ditimbulkan dari kurang tidur yaitu seperti
menurunnya kemampuan berpikir dan bekerja, membuat kesalahan,
dan sulit untuk mengingat sesuatu (Amran dan Handayani, 2012).
Selain itu, tidur yang tidak adekuat juga dapat berdampak pada aspek
fisiologi seperti penurunan aktivitas sehari-hari, rasa capai, lemah,
proses penyembuhan lambat, daya tahan tubuh menurun, dan
ketidakstabilan tanda-tanda vital (Nurlela dkk., 2009).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pekerja shift wanita
yang bekerja pada shift malam lebih banyak dari kedua shift lainnya,
yaitu sebanyak 34,1%. Kemudian, hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa kualitas tidur yang buruk ditemukan di seluruh jenis shift kerja.
Namun, kualitas tidur yang buruk lebih banyak dialami oleh pekerja
wanita yang bekerja pada shift malam, yaitu sebanyak 90,7%.
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang menyebutkan
bahwa dari keseluruhan dampak yang ditimbulkan dari shift malam,
gangguan tidur merupakan keluhan yang paling sering dirasakan dan
merupakan masalah utama yang berkaitan dengan shift kerja
(Handayani, 2008; Agustin, 2012). Shift malam akan merubah pola
tidur pekerja sehingga pekerja akan mengalami pergeseran waktu
tidur. Hal tersebut yang kemudian menyebabkan shift malam menjadi
masalah utama yang berkaitan dengan tidur.
Shift malam juga diketahui memberikan dampak negatif yang
lebih besar dibandingkan dengan kedua jenis shift kerja lainnya. Shift
126
malam akan berdampak pada kesehatan dan keselamatan pekerja.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecelakaan pada
shift malam lebih tinggi dibandingkan dengan kedua shift lainnya.
Kodrat (2011) juga mengungkapkan bahwa pekerja pada shift malam
memiliki tingkat kelelahan, tekanan darah sistol dan diastol, denyut
nadi, stres fisik dan stres mental lebih tinggi daripada pekerja shift
pagi.
Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara jenis shift kerja dengan kualitas tidur pekerja
shift wanita. Kemudian, hasil uji keeratan hubungan menunjukkan
bahwa pekerja wanita yang bekerja pada shift malam dapat mencegah
risiko kualitas tidur yang buruk 0,738 kali dibandingkan dengan
pekerja wanita yang bekerja pada shift pagi, sedangkan pekerja wanita
yang bekerja pada shift siang dapat mencegah risiko kualitas tidur
yang buruk 0,973 kali dibandingkan dengan pekerja wanita yang
bekerja pada shift pagi.
Hasil pada penelitian ini tidak sejalan dengan teori yang ada,
dimana secara teoritis shift kerja diketahui dapat mempengaruhi
kualitas tidur seseorang. Hal ini dikarenakan shift kerja akan
mempengaruhi irama sirkadian. Irama sirkadian adalah dasar pada
siklus tidur dan bangun harian (Murits dan Widodo, 2008).
Bermacam-macam fungsi tubuh seperti suhu tubuh, tingkat
metabolisme, detak jantung, tekanan darah, dan komposisi kimia
tertentu dalam tubuh mengalami fluktuasi ketika siklus irama
127
sirkadian berlangsung (Hidayat, 2011; Murits dan Widodo, 2008).
Ketika irama sirkadian seseorang mengalami perubahan, maka secara
otomatis juga akan mempengaruhi kualitas tidur.
Tidak berhubungannya jenis shift kerja dengan kualitas tidur
dapat disebabkan oleh distribusi data kualitas tidur yang buruk antara
pekerja yang bekerja pada shift pagi, siang, dan malam tidak berbeda
signifikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas tidur yang
buruk dialami oleh 90,7% pekerja shift malam, 88,1% pekerja shift
siang, dan 87,8% pekeja shift pagi. Hal tersebut menunjukkan bahwa
sebagian besar pekerja shift wanita, baik yang bekerja pada shift pagi,
siang, dan malam seluruhnya sama-sama memiliki kualitas tidur yang
buruk.
Perbedaan hasil penelitian ini dengan teori juga dapat disebabkan
oleh faktor lain yang lebih dominan dalam mempengaruhi kualitas
tidur yang buruk pada pekerja shift wanita. Peneliti berasumsi bahwa
faktor yang lebih dominan tersebut yaitu faktor kelelahan dan
menopause.
Secara teoritis, salah satu efek negatif yang ditimbulkan shift
kerja pada aspek fisiologis yaitu kelelahan (Saftarina dan Hasanah,
2014). Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja shift
wanita yang bekerja baik itu pada shift malam, siang, maupun pagi
sebagian besar tidak mengalami kelelahan. Adapun pekerja yang
mengalami kelelahan hanya berkisar pada kelelahan ringan hingga
sedang.
128
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 86,0% pekerja
shift malam, 71,4% pekerja shift siang, dan 53,7% pekerja shift pagi
tidak mengalami kelelahan. Kemudian, kelelahan ringan dialami oleh
14,0% pekerja shift malam, 23,8% pekerja shift siang, dan 43,9%
pekerja shift pagi. Sementara itu, kelelahan sedang hanya dialami oleh
4,8% pekerja shift siang dan 2,4% pekerja shift pagi. Tidak ada pekerja
shift wanita dalam penelitian ini yang mengalami kelelahan berat.
Hasil tersebut tidak sejalan dengan teori dimana diketahui bahwa
pekerja shift malam memiliki tingkat kelelahan lebih tinggi daripada
pekerja shift pagi (Kodrat, 2011). Tingkat kelelahan pada shift malam
lebih tinggi dikarenakan faktor faal dan metabolisme yang tidak dapat
diserasikan serta kuatnya kerja saraf parasimpatis pada malam hari
(Suma'mur, 2009).
Berdasarkan hasil studi literatur yang telah dilakukan
sebelumnya, diketahui bahwa kelelahan menengah dapat membantu
tidur sehingga pekerja akan memperoleh tidur yang mengistirahatkan
(Agustin, 2012). Kelelahan dapat membuat seseorang lebih cepat tidur
dikarenakan tahap tidur gelombang lambatnya (NREM) diperpendek
(Uliyah dan Hidayat, 2008). Berbeda halnya jika mengalami
kelelahan berat. Kerja yang meletihkan atau penuh stres dapat
menyebabkan seseorang mengalami kelelahan yang berlebihan
sehingga membuat pekerja tersebut menjadi sulit tidur (Potter dan
Perry, 2005). Meskipun bekerja secara shift, namun jika pekerja shift
129
wanita tidak mengalami kelelahan berat dan mengalami kelelahan
menengah, maka tidurnya tidak akan terganggu.
Secara teoritis, wanita memiliki kecenderungan mengalami
gangguan tidur. Hal ini disebabkan oleh penurunan hormon estrogen
dan progesteron. Reseptor hormon estrogen dan progesteron terletak
pada bagian tersendiri di hipotalamus, dimana posisi tersebut
mempengaruhi irama sirkadian dan pola tidur secara langsung
(Prasadja, 2009). Penurunan kadar estrogen dan progesteron juga
menyebabkan wanita mengalami gangguan tidur seperti insomnia,
hipersomnia, dan mimpi buruk (Gracia dkk., 2011; Sulistiyowati dan
Nisa, 2014). Insomnia yang dialami wanita ketika memasuki masa
menopause juga diketahui merupakan insomnia yang terberat
(Prasadja, 2009).
Ketika menopause juga akan muncul gejala-gejala yang dapat
mempengaruhi kualitas tidur. Gejala-gejala tersebut seperti hot
flashes (rasa panas), insomnia, perubahan pada tulang, perubahan
kardiovaskular, gangguan kejiwaan, sulit tidur, keletihan, dan
kekeringan vaginal dll. (Heffner dan Schust, 2006; Muaris, 2004). Hal
ini yang kemudian dapat membuat pekerja shift wanita secara
signifikan mengalami perubahan pola tidur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja shift
diketahui belum mengalami menopause. Diketahui sebanyak 72,1%
pekerja shift malam, 66,7% pekerja shift siang, dan 58,5% pekerja
shift pagi, belum mengalami menopause. Hal tersebut yang kemudian
130
diduga menyebabkan jenis shift kerja tidak mempengaruhi buruknya
kualitas tidur. Meskipun bekerja secara shift, namun jika pekerja shift
wanita tersebut belum mengalami menopause maka tidak memiliki
kecenderungan kualitas tidur yang buruk.
Meskipun jenis shift kerja tidak berhubungan dengan kualitas
tidur, namun penerapan shift tetap berisiko menyebabkan kualitas
tidur yang buruk dan dapat memberikan dampak negatif kepada
pekerja. Terlebih pekerja shift wanita akan mendapatkan giliran
bekerja pada shift malam yang berisiko mengubah irama sirkadian
seseorang. Melihat permasalahan tersebut, maka peneliti memberikan
saran kepada perusahaan agar melakukan pengaturan terhadap pekerja
wanita yang bekerja pada sistem shift.
Menurut Grandjean (1986) dalam Nurmianto (2004), waktu
pergantian shift lebih baik dilakukan pada pukul 07.00, 15.00, dan
23.00 atau 08.00, 16.00, dan 24.00. Waktu pergantian shift tersebut
dapat lebih memberikan waktu bagi pekerja untuk bersiap berangkat
ke tempat kerja dan untuk beristirahat. Istirahat yang cukup dapat
membantu proses pemulihan. Hal ini dikarenakan pemulihan terhadap
kelelahan terjadi ketika seseorang mendapatkan istirahat yang cukup
(Fajarwati dkk., 2011).
Selama ini, diketahui bahwa PT. Sandratex menggunakan waktu
pergantian shift pada pukul 06.00, 14.00, dan 22.00 WIB. Hal tersebut
menyebabkan pekerja tidak mendapatkan waktu tidur dan istirahat
yang optimal. Selain itu, agar waktu istirahat lebih optimal, pekerja
131
yang memiliki jarak antara tempat tinggal dengan tempat kerja yang
jauh lebih baik untuk tidak dipekerjakan pada sistem shift. Hal
tersebut akan menghindarkan pekerja dari kelelahan yang berlebihan.
Perusahaan juga perlu mengatur arah rotasi kerja menjadi rotasi
maju. Hal tersebut dikarenakan rotasi maju memberikan waktu tidur
dan istirahat lebih lama kepada pekerja (LaDou, 1994). Dengan
demikian, pekerja tidak mendapatkan waktu istirahat yang cukup.
Perusahaan juga perlu mengatur waktu libur bagi pekerja shift wanita.
Selama ini, PT. Sandratex menerapkan satu hari libur di setiap
minggunya termasuk pada pekerja shift malam. Menurut Suma’mur
(1999), setiap bekerja pada shift siang atau malam sebaiknya diikuti
dengan paling sedikit 24 jam libur dan tiap shift malam paling sedikit
2 hari libur, sehingga pekerja dapat mengatur kebiasaan tidur.
2. Hubungan antara Faktor Psikologis dengan Kualitas Tidur pada
Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016
Faktor psikologis dalam penelitian ini meliputi stres emosional.
Hubungan antara faktor psikologis dengan kualitas tidur pekerja shift
wanita di bagian produksi PT. Sandratex akan dijelaskan pada pembahasan
di bawah ini.
a. Hubungan Antara Stres Emosional dengan Kualitas Tidur
Stres emosional merupakan salah satu faktor yang diduga
memiliki hubungan dengan kualitas tidur. Stres sangat erat kaitanya
dengan seberapa besar kemampuan seseorang untuk mengatasi
132
perubahan dalam hidupnya, baik itu dengan lingkungan keluarga,
lingkungan kerja, maupun lingkungan sosialnya (Stranks, 2005).
Stresor dapat berasal dari lingkungan, pekerjaan, maupun kegiatan
sosial (Stranks, 2005). Selain itu, stresor juga dapat dikelompokkan
menjadi stresor psikososial dan fisik (Gunarsa, 2002). Keseluruhan
stresor tersebut sangat memungkinkan dialami oleh pekerja wanita.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja shift
wanita mengalami stres emosional, yaitu sebanyak 50,8%. Kemudian,
hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk banyak
dialami oleh pekerja shift wanita yang mengalami stres emosional,
yaitu sebanyak 90,6%. Berdasarkan hasil uji statistik juga diketahui
bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara stres emosional
dengan kualitas tidur. Jika dilihat dari hasil uji keeratan hubungan,
diketahui bahwa pekerja shift wanita yang mengalami stres emosional
memiliki risiko 1,432 kali mengalami kualitas tidur yang buruk
dibandingkan dengan pekerja shift wanita yang tidak mengalami stres
emosional.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa stres emosional tidak
mempengaruhi kualitas tidur. Hasil pada penelitian ini tidak sejalan
dengan teori yang ada, dimana stres emosional diketahui dapat
mempengaruhi tidur seseorang. Secara teoritis, stres dapat
mempengaruhi kualitas tidur dikarenakan stres yang dialami akan
membuat seseorang menjadi sulit atau sering terbangun dari tidur atau
bahkan lebih banyak tidur (Potter dan Perry, 2005). Seseorang yang
133
mengalami stres akan merangsang sistem saraf simpatis untuk
mengeluarkan katekolamin, glukagon, dan hormon kortisol-steroid
yang mempengaruhi SSP dalam meningkatkan rasa gelisah, nafas
cepat, hipertensi, dan ketegangan otot (Suwartika dan Cahyati, 2015).
Kecemasan, sensitif atau marah membuat mental terganggu dan
keseluruhan hal tersebut yang kemudian dapat menimbulkan
gangguan tidur yang serius (Potter dan Perry, 2005).
Wanita yang mengalami stres emosional akan memiliki gangguan
tidur yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini
dikarenakan kemampuan koping dalam mengatasi masalah pada
wanita lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, sehingga wanita
lebih mudah mengalami kecemasan yang dapat menyebabkan
insomnia (Sumirta dan Laraswati, 2014). Permasalahan psikologis
dapat memperburuk kualitas tidur wanita dikarenakan wanita juga
memiliki kecenderungan untuk mengalami mimpi buruk, kesulitan
tidur, dan sering terbangun dibandingkan dengan pria (Sumirta dan
Laraswati, 2014).
Tidak berhubungannya stres emosional dengan kualitas tidur
dapat disebabkan oleh distribusi data kualitas tidur buruk antara
pekerja shift wanita yang mengalami maupun tidak mengalami stres
emosional tidak berbeda signifikan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kualitas tidur yang buruk dialami oleh 90,6% pekerja shift
wanita yang mengalami stres emosional dan 87,1% pekerja yang tidak
mengalami stres emosional. Hal tersebut menunjukkan bahwa
134
sebagian besar pekerja shift wanita, baik yang mengalami stres
emosional maupun tidak mengalami stres emosional sama-sama
memiliki kualitas tidur yang buruk.
Perbedaan hasil penelitian ini dengan teori juga dapat disebabkan
oleh faktor lain yang lebih dominan dalam mempengaruhi kualitas
tidur yang buruk pada pekerja shift wanita. Peneliti berasumsi bahwa
faktor yang lebih dominan tersebut yaitu faktor kelelahan dan
menopause.
Salah satu stresor fisik atau penyebab stres dari faktor fisik yaitu
adalah kelelahan (Gunarsa, 2002). Namun, hasil penelitian
menunjukkan bahwa pekerja shift wanita yang mengalami stres
emosional sebagian besar tidak mengalami kelelahan. Adapun pekerja
yang mengalami kelelahan hanya berkisar pada kelelahan ringan
hingga sedang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja shift wanita yang
mengalami stres emosional, 59,4% di antaranya tidak mengalami
kelelahan. Kemudian, 35,9% mengalami kelelahan ringan dan hanya
4,7% yang mengalami kelelahan sedang. Tidak ada pekerja shift
wanita dalam penelitian ini yang mengalami kelelahan berat.
Meskipun stres emosional secara teoritis juga dapat menyebabkan
kelelahan (Kodrat, 2011).
Stres yang disertai kelelahan dapat memperburuk kualitas tidur.
Namun, jika pekerja shift wanita mengalami kelelahan ringan hingga
sedang, maka dapat membantu tidur (Agustin, 2012). Kelelahan dapat
135
membuat seseorang lebih cepat tidur dikarenakan tahap tidur
gelombang lambatnya (NREM) diperpendek (Uliyah dan Hidayat,
2008). Berbeda halnya jika pekerja shift wanita mengalami kelelahan
berat. Kelelahan berat dapat menyebabkan kelelahan yang berlebihan,
sehingga dapat menyebabkan pekerja tersebut menjadi sulit tidur
(Potter dan Perry, 2005). Dengan demikian, meskipun pekerja shift
wanita mengalami stres emosional namun jika tidak mengalami
kelelahan berat maka tidak akan mengganggu kualitas tidur.
Peneliti juga berasumsi bahwa kelelahan yang dialami pekerja
shift wanita didukung oleh faktor menopause. Ketika mengalami
menopause, wanita akan memiliki kecenderungan mengalami
gangguan tidur akibat penurunan hormon estrogen dan progesteron.
Reseptor hormon estrogen dan progesteron terletak pada bagian
tersendiri di hipotalamus, dimana posisi tersebut mempengaruhi irama
sirkadian dan pola tidur secara langsung (Prasadja, 2009). Selain itu,
penurunan kadar estrogen dan progesteron juga menyebabkan wanita
mengalami gangguan tidur seperti insomnia, hipersomnia, dan mimpi
buruk (Gracia dkk., 2011; Sulistiyowati dan Nisa, 2014). Insomnia
yang dialami wanita ketika memasuki masa menopause diketahui
merupakan insomnia yang terberat (Prasadja, 2009).
Ketika mengalami menopause, juga akan muncul gejala-gejala
yang dapat mempengaruhi kualitas tidur. Gejala-gejala tersebut
seperti hot flashes (rasa panas), insomnia, perubahan pada tulang,
perubahan kardiovaskular, gangguan kejiwaan, sulit tidur, keletihan,
136
dan kekeringan vaginal dll. (Heffner dan Schust, 2006; Muaris, 2004).
Gunarsa (2002) juga menyebutkan bahwa timbulnya ledakan emosi
dan suasana hati (mood) juga kerap muncul pada masa menjelang dan
pada saat menopause. Gangguan psikologis tersebut dapat
memperberat stres emosional yang dialami oleh pekerja shift wanita.
Keseluruhan hal tersebut yang kemudian akan membuat pekerja shift
wanita secara signifikan mengalami gangguan tidur.
Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa 64,1% pekerja shift
wanita yang mengalami stres emosional, belum mengalami
menopause. Hal ini yang kemudian diduga menyebabkan pekerja shift
wanita tidak mengalami gangguan tidur meskipun mengalami stres
emosional. Dengan kata lain, pekerja shift wanita tidak mempunyai
kecenderungan memiliki kualitas tidur yang buruk karena belum
mengalami menopause.
Perlu dilakukan upaya agar tidak terjadi peningkatan prevalensi
atau semakin memburuknya tingkat stres emosional pada pekerja shift
wanita. Terlebih wanita juga diketahui lebih mudah mengalami stres
emosional, sehingga dapat mencegah kualitas tidur yang buruk pada
pekerja shift wanita. Oleh karena itu, peneliti memberikan saran agar
pekerja menghindari stres emosional serta meningkatkan kemampuan
adaptasi dan koping terhadap stres.
Koping merupakan cara berpikir dan bereaksi yang ditujukan
untuk mengatasi beban atau transaksi yang menyakitkan (stresor)
(Tamher dan Noorkasiani, 2009). Seseorang yang melakukan koping
137
terhadap stres berarti melakukan upaya untuk mengatasi stres yang
dihadapinya. Pada umumnya, ketika mengalami tekanan, maka
seseorang akan beradaptasi atau menanggulagi stresor yang timbul
(Hidayati, 2013). Kemampuan adaptasi yang kemudian membuat
seseorang lebih kuat terhadap tekanan-tekanan yang dapat
menimbulkan stres. Adaptasi dan koping stres yang baik dapat
membuat fikiran dan perasaan menjadi tenang. Fikiran dan perasaan
yang tenang tentu akan memudahkan pekerja untuk memperoleh
istirahat yang baik.
Terdapat dua tipe coping yang dapat menurunkan stres, yakni
problem focused coping dan emotion focused coping. Pekerja shift
wanita dapat menurunkan stres dengan menerapkan kedua tipe koping
stres tersebut. Pekerja harus menghadapi dan menyelesaikan masalah
yang menyebabkan stres emosional. Selain itu, pekerja harus
menghilangkan emosi negatif dalam menyikapi masalah. Menghadapi
masalah dengan berusaha melihat sisi positif dari sebuah masalah
akan membuat fikiran menjadi tenang. Dengan demikian hal tersebut
akan menyelesaikan masalah dan mengubah situasi stres.
Peneliti juga menyarankan agar pekerja berolahraga secara
teratur. Hal ini dikarenakan olahraga berfungsi sebagai psychological
relaxer yang mengalihkan perhatian dari hal-hal yang membuat stres
(Widyarini, 2009). Selain itu, diketahui bahwa olahraga dapat
meningkatkan tidur jika dilakukan selama dua puluh menit per hari
(Rafknowledge, 2004). Pekerja juga dianjurkan untuk melakukan
138
relaksasi setiap harinya seperti misalnya meditasi, yoga, latihan
pernafasan dalam, tai chi, pemijatan, shalat, atau berdoa (dzikir), dll.
Rileksasi terbukti dapat mencegah stres. Rileksasi dapat mencegah
stres dengan cara menurunkan denyut jantung dan tekanan darah, serta
memberikan rasa tenang (Widyarini, 2009).
3. Hubungan antara Faktor Latihan Fisik dengan Kualitas Tidur pada
Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016
Faktor latihan fisik dalam penelitian ini meliputi aktivitas fisik.
Hubungan antara faktor latihan fisik dengan kualitas tidur pekerja shift
wanita di bagian produksi PT. Sandratex akan dijelaskan pada pembahasan
di bawah ini.
a. Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Kualitas Tidur
Aktivitas fisik merupakan salah satu faktor yang diduga memiliki
hubungan dengan kualitas tidur. Pada umumnya setiap hari seseorang
akan melakukan aktivitas fisik yang dapat tergolong ke dalam
aktivitas rendah, sedang, maupun berat. Aktivitas fisik mencakup
semua gerakan tubuh, olahraga, pekerjaan, rekreasi, kegiatan sehari-
hari, sampai dengan berlibur atau waktu senggang (Tandra, 2009).
Kegiatan yang termasuk dalam aktivitas fisik yaitu seperti jalan kaki,
bersepeda, berkebun, melakukan pekerjaan rumah, berlari, jogging,
dll. Ketika seseorang melakukan aktivitas fisik, maka akan
melibatkan gerakan otot tubuh dan sistem penunjangnya yang
membutuhkan sejumlah energi (Azis, 2015).
139
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden
memiliki aktivitas fisik yang berat dengan jumlah responden sebanyak
81,0%. Kemudian, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pekerja
shift wanita yang memiliki aktivitas fisik berat sebagian besar
memiliki kualitas tidur yang buruk yaitu sebanyak 89,2%. Selain itu,
diketahui bahwa pekerja shift wanita yang memiliki aktivitas fisik
berat memiliki risiko 1,182 kali mengalami kualitas tidur yang buruk
dibandingkan dengan pekerja shift wanita yang memiliki aktivitas
fisik rendah sedang.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa aktivitas fisik tidak
mempengaruhi kualitas tidur responden. Hasil pada penelitian ini
tidak sejalan dengan teori yang ada, dimana secara teoritis aktivitas
fisik dapat mempengaruhi kualitas tidur. Seseorang yang melakukan
aktivitas fisik dan kemudian mengalami kelelahan akan lebih cepat
tertidur karena tahap tidur gelombang lambat (NREM) diperpendek
(Uliyah dan Hidayat, 2008). Aktivitas fisik sedang hingga rendah akan
memudahkan seseorang untuk mendapatkan tidur yang baik.
Berbeda halnya jika seseorang melakukan aktivitas fisik berat.
Menurut Rafknowledge (2004), aktivitas fisik terutama olahraga yang
dilakukan dan menimbulkan kelelahan yang berlebihan, terlebih jika
dilakukan menjelang waktu tidur akan membuat seseorang sulit tidur
dan tetap terjaga. Aktivitas fisik berat membutuhkan pengeluaran
energi yang besar dan melibatkan kerja otot yang berlebihan.
Peningkatan suhu tubuh dan ketegangan otot membutuhkan waktu
140
beberapa jam untuk kembali ke keadaan normal, sehingga membuat
pikiran merasa tegang (Azis, 2015).
Tidak berhubungannya aktivitas fisik dengan kualitas tidur dapat
disebabkan oleh distribusi data kualitas tidur buruk antara pekerja shift
wanita yang memiliki aktivitas fisik berat maupun yang memiliki
aktivitas fisik rendah sedang tidak berbeda signifikan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk dialami oleh 89,2%
pekerja shift wanita yang memiliki aktivitas fisik berat dan 87,5%
pekerja shift wanita yang memiliki aktivitas fisik rendah sedang. Hal
tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja shift wanita, baik
yang memiliki aktivitas fisik berat maupun yang memiliki aktivitas
fisik rendah sedang sama-sama memiliki kualitas tidur yang buruk.
Perbedaan hasil penelitian ini dengan teori juga dapat disebabkan
oleh faktor lain yang lebih dominan dalam mempengaruhi kualitas
tidur yang buruk pada pekerja shift wanita. Peneliti berasumsi bahwa
faktor yang lebih dominan tersebut yaitu faktor kelelahan, kebiasaan
makan, dan menopause.
Peneliti berasumsi bahwa tidak adanya hubungan antara aktivitas
fisik dengan kualitas tidur pekerja terjadi dikarenakan aktivitas fisik
yang dilakukan pekerja tidak menyebabkan kelelahan yang
berlebihan, meskipun sebagian besar pekerja masuk ke dalam kategori
memiliki aktivitas fisik berat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebanyak 68,6% pekerja shift wanita yang memiliki aktivitas fisik
berat, tidak mengalami kelelahan. Kemudian, 30,4% mengalami
141
kelelahan ringan, dan hanya 1,0% yang mengalami kelelahan sedang.
Selain itu, diketahui bahwa tidak ada pekerja shift wanita yang
mengalami kelelahan berat.
Seseorang yang melakukan aktivitas fisik dan kemudian
mengalami kelelahan diketahui akan lebih cepat tertidur. Agustin
(2012) mengungkapkan bahwa kelelahan ringan membuat seseorang
memperoleh tidur yang mengistirahatkan. Hal ini dikarenakan
kelelahan akan mempengaruhi tahapan tidur. Seseorang yang
mengalami kelelahan maka tahap tidur gelombang lambat (NREM)
diperpendek (Uliyah dan Hidayat, 2008). Berbeda halnya dengan
kelelahan berat. Kelelahan berat merupakan kelelahan yang
berlebihan. Kelelahan yang berlebihan dapat membuat pekerja
tersebut menjadi sulit tidur (Potter dan Perry, 2005). Meskipun
memiliki aktivitas fisik yang cenderung berat, namun aktivitas fisik
yang dilakukan tidak menyebabkan kelelahan berat maka tidak
mengganggu tidurnya.
Peneliti juga berasumsi bahwa aktivitas fisik yang dijalankan
merupakan aktivitas fisik yang menyenangkan. Kelelahan menengah,
terutama akibat pekerjaan atau latihan yang menyenangkan dapat
membantu tidur (Agustin, 2012). Sebagian besar pekerja shift wanita
merupakan ibu rumah tangga, aktivitas fisik yang dilakukan selain
bekerja yaitu meliputi pekerjaan rumah tangga yang secara langsung
berinteraksi dengan anak, suami, orang tua, mertua, maupun sanak
saudara. Aktivitas tersebut dapat menjadi aktivitas fisik yang
142
menyenangkan. Dengan demikian, meskipun memiliki aktivitas fisik
berat namun pekerja shift wanita mengalami kelelahan menengah dan
kelelahan tersebut berasal dari aktivitas fisik yang menyenangkan,
maka tidak mempengaruhi buruknya kualitas tidur.
Pekerja shift wanita yang memiliki aktivitas fisik berat sebagian
besar memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan sebelum tidur.
Sebanyak 81,4% pekerja shift wanita yang memiliki aktivitas fisik
berat, memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan sebelum tidur
setelah pulang bekerja. Terpenuhinya kebutuhan asupan makanan
dapat mempercepat tidur seseorang (Uliyah dan Hidayat, 2008).
Asupan makanan yang adekuat dapat mengembalikan kalori yang
dikeluarkan ketika pekerja shift wanita melakukan aktivitas fisik.
Asupan makanan juga dapat meningkatkan kadar gula dalam darah.
Kadar gula dalam darah akan menghasilkan energi bagi keperluan
melaksanakan pekerjaan (Suma'mur, 2009). Kalori dan kadar gula
menghasilkan energi yang kemudian digunakan untuk beraktivitas
sehingga dapat mencegah kelelahan lebih lanjut. Meskipun memiliki
aktivitas fisik yang berat, namun jika terbiasa mengkonsumsi
makanan dengan asupan yang cukup maka tidak mempengaruhi
kualitas tidur yang buruk pada pekerja shift wanita.
Aktivitas fisik tidak berhubungan dengan kualitas tidur juga
diduga disebabkan oleh faktor menopause. Wanita yang memasuki
masa menopause akan memiliki kecenderungan untuk mengalami
gangguan tidur. Hal tersebut terjadi akibat penurunan hormon
143
estrogen dan progesteron. Reseptor hormon tersebut berada di
hipotalamus, sehingga mempengaruhi irama sirkadian dan pola tidur
secara langsung (Prasadja, 2009). Selain itu, penurunan kadar
estrogen dan progesteron juga menyebabkan wanita mengalami
gangguan tidur seperti insomnia, hipersomnia, dan mimpi buruk
(Gracia dkk., 2011; Sulistiyowati dan Nisa, 2014).
Ketika memasuki masa menopause, wanita juga akan mengalami
gejala-gejala menopause yang sangat mengganggu kualitas tidurnya.
Gejala-gejala tersebut seperti hot flashes (rasa panas), insomnia,
perubahan pada tulang, perubahan kardiovaskular, gangguan
kejiwaan, sulit tidur, keletihan, dan kekeringan vaginal dll. (Heffner
dan Schust, 2006; Muaris, 2004). Hal ini yang kemudian akan
membuat pekerja shift wanita secara signifikan mengalami perubahan
pola tidur. Insomnia yang dialami wanita ketika memasuki masa
menopause juga diketahui merupakan insomnia yang terberat
(Prasadja, 2009). Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebanyak 63,7% pekerja shift wanita yang memiliki aktivitas fisik
berat, belum mengalami menopause. Hal ini yang kemudian diduga
menyebabkan pekerja shift wanita tidak mengalami gangguan tidur
meskipun memiliki aktivitas fisik berat. Pekerja shift wanita tidak
mempunyai kecenderungan memiliki kualitas tidur yang buruk karena
belum mengalami menopause.
Aktivitas fisik yang berat sangat berisiko menyebabkan kelelahan
yang berlebihan. Kelelahan yang berlebihan tersebut yang kemudian
144
akan mengganggu tidur. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya agar
aktivitas fisik yang dijalani tersebut tidak menyebabkan kelelahan
berlebihan.
Agar kualitas tidur pekerja dapat ditingkatkan, maka peneliti
memberikan saran kepada pekerja agar segera beristirahat dan tidur
yang cukup setelah pulang bekerja terutama setelah bekerja pada shift
malam. Hindari melakukan aktivitas fisik lain setelah pulang bekerja.
Istirahat dan tidur yang cukup akan mengembalikan stamina tubuh ke
dalam kondisi yang optimal, karena dalam keadaan istirahat dan tidur
tubuh akan melakukan proses pemulihan (Asmadi, 2008). Dengan
demikian, ketika bangun maka tubuh akan siap untuk menjalankan
aktivitas.
Peneliti juga menyarankan agar pekerja melakukan olahraga
secara teratur. Olahraga diketahui dapat mempertinggi pengeluaran
hormon pertumbuhan nokturnal, meredakan dengkuran dan keluhan
tidur apnea obstruktif (Rafknowledge, 2004). Selain itu, dengan
berolahraga maka akan menimbulkan rasa santai dan relaks dari
ketegangan otot dan aktivasi saraf simpatis yang terjadi akibat
peningkatan kecemasan atau stres yang menyebabkan gangguan tidur
(Suastari dkk., 2014). Namun, durasi atau lama olahraga perlu
diperhatikan. Olahraga dapat meningkatkan tidur jika dilakukan
selama dua puluh menit per hari (Rafknowledge, 2004).
145
4. Hubungan antara Faktor Konsumsi dengan Kualitas Tidur pada
Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016
Faktor konsumsi dalam penelitian ini meliputi kebiasaan makan dan
asupan obat-obatan. Hubungan antara faktor konsumsi dengan kualitas
tidur pekerja shift wanita di bagian produksi PT. Sandratex akan dijelaskan
pada pembahasan di bawah ini.
a. Hubungan antara Kebiasaan Makan dengan Kualitas Tidur
Kebiasaan makan merupakan salah satu faktor yang diduga
memiliki hubungan dengan kualitas tidur. Kebiasaan makan yang
diteliti merupakan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang dilakukan
sebelum tidur setelah pulang bekerja. Makanan yang dikonsumsi
pekerja shift wanita sebelum tidur setelah pulang bekerja diketahui
dapat membantu atau bahkan mempersulit tidur. Terpenuhinya
kebutuhan asupan makanan dapat mempercepat tidur, namun jika
asupanya tidak adekuat maka dapat menyebabkan seseorang menjadi
sulit tidur (Uliyah dan Hidayat, 2008).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja shift wanita yang
memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan yaitu sebanyak 79,4%.
Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pekerja shift wanita
memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan sebelum tidur setelah
pulang bekerja. Selain itu, diketahui bahwa sebagian besar pekerja
shift wanita memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan yang
mengandung karbohidrat tinggi seperti nasi, roti gandum, ubi jalar,
talas, biskuit, sereal, mie basah, kentang, jagung, dll. sebelum tidur
146
setelah pulang bekerja. Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar
pekerja shift wanita memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan
sebelum tidur dan asupan makanan yang dikonsumsinya merupakan
asupan makanan yang adekuat.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kualitas tidur yang
buruk lebih banyak dialami oleh pekerja shift wanita yang yang
memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan dengan persentase
sebesar 88,0%. Berdasarkan hasil uji statistik juga diketahui bahwa
tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan makan dengan
kualitas tidur. Selain itu, diketahui bahwa pekerja shift wanita yang
memiliki kebiasaan tidak mengkonsumsi makanan memiliki risiko
1,636 kali mengalami kualitas tidur yang buruk dibandingkan dengan
pekerja shift wanita yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi
makanan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan makan tidak
mempengaruhi kualitas tidur. Hasil pada penelitian ini tidak sejalan
dengan teori yang ada, dimana secara teoritis kebiasaan makan dapat
mempengaruhi kualitas tidur. Menurut Uliyah dan Hidayat (2008),
terpenuhinya kebutuhan asupan makanan dapat mempercepat tidur
dan sebaliknya jika kebutuhan akan asupan makanan tidak adekuat
maka dapat menyebabkan seseorang menjadi sulit tidur. Asupan
makanan yang adekuat akan menyuplai kadar gula darah dalam tubuh.
Penurunan kadar gula darah dapat menyebabkan seseorang kesulitan
tidur di malam hari (Rafknowledge, 2004).
147
Tidak berhubungannya kebiasaan makan dengan kualitas tidur
dapat disebabkan oleh distribusi data kualitas tidur buruk antara
pekerja shift wanita yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi maupun
yang memiliki kebiasaan tidak mengkonsumsi makanan tidak berbeda
signifikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas tidur yang
buruk dialami oleh 92,3% pekerja yang memiliki kebiasaan tidak
mengkonsumsi makanan dan 88,0% pekerja yang memiliki kebiasaan
mengkonsumsi makanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian
besar pekerja shift wanita, baik yang memiliki kebiasaan
mengkonsumsi maupun tidak mengkonsumsi makanan sama-sama
memiliki kualitas tidur yang buruk.
Perbedaan hasil penelitian ini dengan teori juga dapat disebabkan
oleh faktor lain yang lebih dominan dalam mempengaruhi kualitas
tidur yang buruk pada pekerja shift wanita. Peneliti berasumsi bahwa
faktor yang lebih dominan tersebut yaitu faktor kelelahan dan jenis
shift kerja.
Pekerja shift wanita yang memiliki kebiasaan tidak
mengkonsumsi makanan, 61,5% diantaranya tidak mengalami
kelelahan. Selain itu, 30,8% lainnya mengalami kelelahan ringan dan
hanya 7,7% yang mengalami kelelahan sedang. Tidak ada pekerja
shift wanita yang mengalami kelelahan berat. Berdasarkan studi
literatur yang telah dilakukan sebelumnya, diketahui bahwa asupan
makanan dapat meningkatkan kadar gula darah. Kadar gula dalam
darah dibutuhkan pekerja sebagai bahan bakar untuk menghasilkan
148
energi bagi keperluan melaksanakan pekerjaan (Suma'mur, 2009).
Energi tersebut akan menjadi sumber tenaga untuk melakukan
aktivitas sehingga akan mencegah maupun mengurangi kelelahan
yang berlebihan.
Hasil menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja yang memiliki
kebiasaan tidak mengkonsumsi makanan tidak mengalami kelelahan
atau hanya mengalami kelelahan ringan dan sedang. Secara teoritis,
kelelahan menengah dapat membantu tidur sehingga pekerja akan
memperoleh tidur yang mengistirahatkan (Agustin, 2012). Kelelahan
dapat membuat seseorang lebih cepat tidur dikarenakan tahap tidur
gelombang lambatnya (NREM) diperpendek (Uliyah dan Hidayat,
2008). Meskipun pekerja memiliki kebiasaan tidak mengkonsumsi
makanan sebelum tidur setelah pulang bekerja, namun jika pekerja
shift wanita mengalami kelelahan ringan maka dapat membantu
tidurnya. Berbeda halnya jika pekerja shift wanita mengalami
kelelahan berat. Hal ini dikarenakan kerja yang meletihkan atau penuh
stres dapat menyebabkan seseorang mengalami kelelahan yang
berlebihan sehingga membuat pekerja tersebut menjadi sulit tidur
(Potter dan Perry, 2005). Dengan demikian, meskipun memiliki
kebiasaan tidak mengkonsumsi makanan, namun jika pekerja shift
wanita tidak mengalami kelelahan yang berlebihan maka tidak
mengganggu tidurnya.
Faktor kelelahan juga didukung oleh faktor jenis shift kerja. Shift
kerja dapat memberikan pengaruh terhadap kebiasaan mengkonsumsi
149
makan. Pekerja yang bekerja secara shift pada umumnya dapat
mengalami penurunan nafsu makan dan gangguan pencernaan
(Saftarina dan Hasanah, 2014). Jenis shift kerja yang dapat
mempengaruhi kebiasaan makan yaitu adalah shift malam. Jenis shift
kerja tersebut akan mempengaruhi kebiasaan mengkonsumsi
makanan dan menyebabkan gangguan pada pencernaan.
Pada saat malam hari, tubuh memberikan sinyal untuk segera
tidur. Pada saat yang sama pula, tubuh akan mengalami penurunan
dan perlambatan metabolisme tubuh (Prasadja, 2009). Bekerja pada
shift malam memaksa tubuh untuk meningkatkan kinerja organ
termasuk organ pencernaan untuk tetap bekerja, sedangkan secara
fisiologis pada waktu tersebut organ sudah mengalami penurunan
kinerja. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang
memiliki kebiasaan tidak mengkonsumsi makanan sebagian besar
bekerja pada shift pagi dan siang dengan persentase sebesar 34,6% dan
38,5%. Dengan demikian, meskipun tidak mengkonsumsi makanan
namun tidak bekerja pada shift malam, maka tidak terjadi perubahan
kebiasaan makan, sehingga kualitas tidur juga tidak akan terganggu.
Kebiasaan makan sangat penting untuk diperhatikan. hal ini
dikarenakan asupan makanan juga merupakan kebutuhan fisiologis
yang wajib terpenuhi setiap harinya. Agar kebiasaan makan tidak
menyebabkan kualitas tidur yang buruk pada pekerja shift wanita,
maka peneliti memberikan saran kepada perusahaan agar perusahaan
150
memberikan makanan dan minuman yang bergizi kepada pekerja
wanita terutama yang bekerja pada shift malam.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang
mengatur tentang kewajiban memberikan makanan dan minuman
yang bergizi jika mempekerjakan pekerja/buruh wanita antara pukul
23.00 sampai dengan pukul 07.00. KEP.102/MEN/VI/2004 juga
mengatur mengenai pemberian makanan dan minuman yang
sekurang-kurangnya 1.400 kalori apabila kerja lembur dilakukan
selama tiga jam atau lebih dan pemberian makan dan minum tersebut
tidak dapat digantikan dengan uang. Dengan demikian, pekerja
terjamin asupan makanan selama ia bekerja, sehingga dapat menjaga
kadar gula darah serta energi yang dibutuhkan untuk aktivitas
pekerjaan. Selain itu, perusahaan juga perlu memberikan pengetahuan
kepada pekerja mengenai asupan gizi yang baik dan sesuai dengan
kebutuhan pekerja shift wanita, agar mereka dapat mengatur pola
makan yang baik dalam kesehariannya.
b. Hubungan antara Asupan Obat-Obatan dengan Kualitas Tidur
Asupan obat-obatan merupakan salah satu faktor yang diduga
memiliki hubungan dengan kualitas tidur. Banyak obat resep atau obat
bebas yang diketahui dapat menimbulkan rasa kantuk sebagai efek
sampingnya. Obat tersebut dikonsumsi untuk mengatasi kesulitan
tidur. Selain itu, obat juga dikonsumsi dengan tujuan untuk mengobati
penyakit tertentu. Namun, diketahui bahwa terdapat beberapa obat
yang dapat menimbulkan rasa kantuk yang tidak tertahankan atau
151
bahkan kesulitan tidur. Jika obat-obatan tersebut dikonsumsi terus
menerus, tentu dapat mengubah pola tidur secara permanen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja shift wanita yang
tidak mengkonsumsi obat-obatan yaitu sebanyak 80,2%. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pekerja shift
wanita tidak mengkonsumsi obat-obatan yang mempengaruhi tidur.
Kemudian, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pekerja shift
wanita yang mengkonsumsi obat-obatan, seluruhnya (100%)
memiliki kualitas tidur yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa obat-
obatan yang dikonsumsi pekerja shift wanita menyebabkan pekerja
shift wanita mengalami kesulitan tidur atau menjadi sering
mengantuk.
Hasil analisis menunjukkan bahwa sebanyak 6,3% pekerja shift
wanita sedang mengkonsumsi obat-obatan yang memberikan efek
samping rasa kantuk dan sebanyak 1,6% lainnya sedang
mengkonsumsi obat-obatan yang memberikan efek samping kesulitan
tidur. Kemudian, diketahui bahwa sebanyak 15,9% pekerja shift
wanita mengkonsumsi obat tidur untuk membantu tidur (baik resep
mau pun dari toko). Dari 15,9% pekerja shift wanita yang
mengkonsumsi obat tidur tersebut, diketahui bahwa 9,5% di antaranya
mengkonsumsi obat tersebut 1 kali seminggu; 5,6% mengkonsumsi 2
kali seminggu; dan 0,8% mengkonsumsi lebih dari sama dengan 3 kali
seminggu.
152
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara obat-obatan dengan kualitas tidur responden.
Namun, nilai OR pada variabel ini tidak dapat diketahui dikarenakan
terdapat distribusi angka 0 pada kategori responden yang
mengkonsumsi obat-obatan dan memiliki kualitas tidur baik. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa asupan obat-obatan
mempengaruhi kualitas tidur responden.
Hasil pada penelitian ini diketahui tidak sejalan dengan teori yang
ada, dimana secara teoritis diketahui bahwa obat-obatan dapat
mempengaruhi tidur. Gangguan tidur disebabkan oleh obat-obatan
yang dapat mengurangi tidur REM dan membuat seseorang menjadi
lebih sulit tertidur (Gracia dkk., 2011). Beberapa jenis obat dapat
mengganggu fisiologi tidur, misalnya analgetika (yang mengandung
kofein), anoreksansia, glukokortikoida, agonis dopamin, beta-
blockers, dan beberapa obat psikotropik (fluoksetin, risperidon,
sindrom penarikan benzodiazepin) (Tjay dan Rahardja, 2007). Jenis
obat lain yang juga dapat mempengaruhi proses tidur yaitu jenis
diuretik yang dapat menyebabkan insomnia; antidepresan yang dapat
menekan REM; kafein yang dapat meningkatkan saraf simpatis
sehingga menyebabkan kesulitan untuk tidur; golongan beta bloker
yang dapat berefek pada timbulnya insomnia; dan golongan narkotik
yang dapat menekan REM sehingga mudah mengantuk (Uliyah dan
Hidayat, 2008).
153
Seseorang pada umumnya mengkonsumsi obat tidur untuk
membantu mempermudah tidurnya. Hal ini biasa dilakukan oleh
orang yang mengalami kesulitan tidur. Obat tidur bekerja untuk
memberikan rangsangan rasa kantuk agar yang mengkonsumsinya
dapat tertidur. Obat tidur pada umumnya menekan fase 3 dan 4 dari
SWS serta tidur REM sehingga sekresi growth hormone menurun
(Tjay dan Rahardja, 2007). Sekresi growth hormone atau hormon
pertumbuhan terjadi sewaktu tidur yaitu pada fase 3 dan 4 SWS dan
tidur REM, dimana hormon tersebut berfungsi penting sekali bagi
pertumbuhan tubuh, sintesa protein, dan stimulasi reabsorpsi asam
amino oleh jaringan (Tjay dan Rahardja, 2007).
Tidak berhubungannya asupan obat-obatan dengan kualitas tidur
dapat disebabkan oleh distribusi data kualitas tidur buruk antara
pekerja shift wanita yang mengkonsumsi maupun yang tidak
mengkonsumsi obat-obatan tidak berbeda signifikan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk dialami oleh 100%
pekerja yang mengkonsumsi obat-obatan dan 86,1% pekerja yang
tidak mengkonsumsi obat-obatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa
sebagian besar pekerja shift wanita, baik yang mengkonsumsi maupun
tidak mengkonsumsi obat-obatan sama-sama memiliki kualitas tidur
yang buruk.
Perbedaan hasil penelitian ini dengan teori juga dapat disebabkan
oleh faktor lain yang lebih dominan dalam mempengaruhi kualitas
154
tidur yang buruk pada pekerja shift wanita. Peneliti berasumsi bahwa
faktor yang lebih dominan tersebut yaitu faktor menopause.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja shift wanita yang
mengkonsumsi obat-obatan sebagian besar belum mengalami
menopause. Kencederungan akan kualitas tidur yang buruk
disebabkan oleh penurunan kadar hormon estrogen dan progesteron,
serta gangguan akibat gejala yang muncul ketika masa menopause.
Reseptor hormon estrogen dan progesteron diketahui terletak
pada bagian tersendiri di hipotalamus, dimana posisi tersebut
mempengaruhi irama sirkadian dan pola tidur secara langsung
(Prasadja, 2009). Selain itu, gangguan pola tidur seperti insomnia,
hipersomnia, dan mimpi buruk akan terjadi seiring dengan penurunan
kadar estrogen dan progesteron (Gracia dkk., 2011; Sulistiyowati dan
Nisa, 2014). Gangguan tidur yang umum terjadi ketika memasuki
masa menopause adalah insomnia. Insomnia yang dialami wanita
ketika memasuki masa menopause merupakan insomnia yang terberat
(Prasadja, 2009).
Gejala-gejala yang muncul akibat penurunan hormon juga dapat
memperburuk kualitas tidur wanita. Gejala-gejala tersebut seperti hot
flashes (rasa panas), insomnia, perubahan pada tulang, perubahan
kardiovaskular, gangguan kejiwaan, sulit tidur, keletihan, dan
kekeringan vaginal dll. (Heffner dan Schust, 2006; Muaris, 2004).
Pekerja shift wanita yang mengkonsumsi obat-obatan sebagian
besar belum mengalami menopause dengan persentase sebesar 56,0%.
155
Hal tersebut yang kemudian diduga menyebabkan tidak
berhubunganya asupan obat-obatan dengan kualitas tidur yang buruk.
Meskipun mengkonsumsi obat-obatan yang dapat mempengaruhi
kualitas tidur, namun jika pekerja shift wanita belum mengalami
menopause, maka ia tidak mengalami kualitas tidur buruk.
Obat-obatan yang memiliki efek terhadap tidur dan jika rutin
dikonsumsi oleh pekerja shift wanita tanpa dosis yang tepat maka
dapat menimbulkan permasalahan terhadap kualitas tidurnya. Oleh
karena itu, peneliti memberikan saran kepada pekerja agar tidak
mengkonsumsi obat tidur.
Menurut Colligan dan Rosa (1997), konsumsi obat tidur lebih dari
satu atau dua kali seminggu tidak dianjurkan. Hal ini dikarenakan
konsumsi obat tidur akan memberikan efek yang berlangsung lama,
dimana orang yang mengkonsumsinya akan terus merasakan kantuk
bahkan setelah terbangun dari tidur (Amran dkk., 2010). Dosis obat
tidur yang lebih besar juga akan menyebabkan kantuk, bicara
sempoyongan, dan lebih jauh lagi dapat menyebabkan koma hingga
kematian (Martono dan Joewana, 2006). Jika obat tidur dikonsumsi
terus-menerus dalam jangka waktu yang lama tentu akan merubah
pola tidur dan menimbulkan gangguan tidur permanen.
Peneliti juga memberikan saran kepada pekerja agar tidak
mengkonsumsi obat-obatan di luar resep maupun anjuran dokter.
Menurut Thay dan Rahardja (2007), efek obat antara satu orang
dengan orang lainnya berbeda dipengaruhi oleh faktor individual.
156
Faktor tersebut yang kemudian memberikan efek atau respon yang
berbeda sesuai dengan kepekaan masing-masing orang terhadap obat
tersebut. Inilah yang kemudian menyebabkan dosis obat antara satu
orang dengan orang lainnya tidak dapat memberikan efek yang sama.
Konsumsi obat dengan dosis yang besar juga diketahui akan
menyebabkan ketergantungan (Prijosaksono dan Sembel, 2002). Oleh
karena itu, konsumsi obat sesuai dengan resep dokter sangat penting
karena bertujuan agar obat memberikan efek dengan dosis yang sesuai
dan mencegah ketergantungan, mencegah peningkatan dosis serta
agar sesuainya efek obat yang ditimbulkan dengan yang diharapkan.
5. Hubungan antara Faktor Fisiologis dengan Kualitas Tidur pada
Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016
Faktor fisiologis dalam penelitian ini meliputi penyakit fisik,
hipersomnia, sindrom pramenstruasi, menopause, dan kelelahan.
Hubungan antara faktor fisiologis dengan kualitas tidur pekerja shift
wanita di bagian produksi PT. Sandratex akan dijelaskan pada pembahasan
di bawah ini.
a. Hubungan antara Penyakit Fisik dengan Kualitas Tidur
Penyakit fisik merupakan salah satu faktor yang diduga memiliki
hubungan dengan kualitas tidur. Terdapat beberapa penyakit yang
dapat meningkatkan atau bahkan mengurangi kebutuhan tidur
seseorang. Orang yang sedang sakit akan membutuhkan waktu
istirahat dan tidur yang lebih banyak dikarenakan tubuhya sedang
157
bekerja keras untuk menyediakan energi agar dapat segera pulih,
namun banyak aspek penyakit yang juga dapat membuat seseorang
menjadi sulit dalam memenuhi kebutuhan tidur dan istirahat (Nurlela
dkk., 2009).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja shift wanita yang
memiliki penyakit fisik yaitu sebanyak 75,4%. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pekerja shift wanita
memiliki penyakit fisik. Kemudian, hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk banyak dialami oleh
pekerja shift wanita yang memiliki penyakit fisik, yaitu sebanyak
92,6%. Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa ada hubungan
yang signifikan antara penyakit fisik dengan kualitas tidur. Jika dilihat
dari hasil uji keeratan hubungan, diketahui bahwa pekerja shift wanita
yang memiliki penyakit fisik memiliki risiko 3,667 kali mengalami
kualitas tidur yang buruk dibandingkan dengan pekerja shift wanita
yang tidak memiliki penyakit fisik.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penyakit fisik
mempengaruhi kualitas tidur responden. Dengan demikian, hasil pada
penelitian ini sejalan dengan teori yang ada. Secara teoritis, penyakit
fisik mempengaruhi kualitas tidur seseorang. Lanywati (2001)
menyebutkan bahwa penyakit akan mengganggu fungsi organ tubuh
dan dapat menyebabkan seseorang menjadi sulit untuk memulai tidur
(initial insomnia). Penyakit fisik pada umumnya akan menimbulkan
gangguan tidur akibat keluhan kesehatan yang ditimbulkannya.
158
Keluhan yang ditimbulkan penyakit tersebut berbeda-beda, seperti
nyeri, sesak nafas, batuk, ketidaknyamanan, mual, muntah, cemas,
depresi, dll. (Nurlela dkk., 2009; Potter dan Perry, 2005; Bukit, 2005).
Diketahui bahwa keseluruhan keluhan yang ditimbulkan tersebut
dapat mempengaruhi tidur. Keluhan tersebut dapat membuat
seseorang menjadi sulit tidur atau sering terbangun.
Pada penelitian ini diketahui terdapat beberapa gejala atau
keluhan yang mengganggu tidur pekerja shift wanita. Sebanyak 22,2%
memiliki penyakit yang membuat sangat mudah atau sulit tidur;
38,1% sulit tidur akibat merasa nyeri pada bagian tubuh tertentu;
50,0% sering terbangun di tengah malam akibat ingin buang air kecil;
dan 9,5% merasa tidak dapat bernafas dengan nyaman saat tidur.
Keluhan penyakit tersebut yang kemudian diduga menyebabkan
gangguan tidur pada pekerja shift wanita.
Rasa nyeri diketahui dapat mengganggu kualitas tidur
dikarenakan akan membuat seseorang menjadi tidak nyaman (Nurlela
dkk., 2009). Selain itu, gangguan pernafasan juga akan menyebabkan
gangguan tidur akibat perubahan irama pernafasan, dan pada
seseorang yang pilek akan mengalami kongesti nasal, drainase sinus,
dan sakit tenggorok (Potter dan Perry, 2005). Bukit (2005) juga
mengungkapkan bahwa penyebab utama gangguan tidur pada tingkat
gangguan yang tinggi adalah nyeri, sesak nafas, dan batuk. Beberapa
penyakit yang menimbulkan gangguan tidur yaitu seperti gagal
jantung, penyakit pernafasan, diabetes mellitus tipe 2, diare, infeksi
159
pernafasan, limpa, pencernaan, dispepsia, serangan angina, MCI,
kanker, dll.
Menurut Occupational Health Clinics for Ontario Workers Inc
(2005) dalam Agustin (2012), keluhan kesehatan yang biasa terjadi
pada pekerja shift ialah gangguan sistem pencernaan (nyeri peru,
konstipasi, diare, dan kehilangan nafsu makan), kelelahan, insomnia,
stres, dan gangguan pola tidur. Secara teoritis, pekerja wanita yang
bekerja pada shift malam juga berisiko mengalami penyakit kanker
payudara akibat produksi hormon melatonin yang menjadi tidak
sesuai (Agustin, 2012).
Penyakit kanker payudara memiliki gejala seperti timbul rasa
sakit atau nyeri pada payudara, benjolan yang semakin membesar,
perubahan bentuk dan pembengkakan payudara, timbul luka pada
puting, kulit payudara menjadi keriput, dan keluar cairan atau darah
dari puting (Mardiana, 2009). Gejala atau keluhan kesehatan yang
dialami tersebut yang kemudian mengganggu tidur. Namun, pada
penelitian ini tidak dikaji penyakit apa saja yang dialami pekerja shift
wanita, sehingga tidak dapat dilakukan analisis selanjutnya.
Gangguan tidur yang dialami pekerja akan semakin buruk
terlebih jika penyakit tidak ditangani dan diatasi dengan baik.
Gangguan tidur akan meningkat seiring dengan keluhan penyakit
yang semakin memburuk. Oleh karena itu, dibutuhkan penanganan
yang tepat agar dapat mencegah dan mengobati penyakit yang
dirasakan. Peneliti memberikan saran agar perusahaan melakukan
160
pemeriksaan kesehatan secara berkala kepada pekerja shift wanita,
sehingga dapat diketahui penyakit apa saja yang diderita pekerja
terutama penyakit yang dapat mengganggu pekerja shift wanita.
Dengan demikian, dapat dilakukan penanganan yang tepat terhadap
penyakit yang dirasakan. Selain itu, juga dapat ditentukan upaya
pelayanan kesehatan yang lebih komprehensif sesuai dengan penyakit
yang diderita pekerja shift wanita.
Peneliti juga memberikan saran kepada perusahaan agar
melakukan upaya pelayanan kesehatan kerja secara komprehensif. PT.
Sandratex diketahui belum melaksanakan upaya pelayanan kesehatan
kerja di perusahaan. Permenaker No. 03 tahun 1982 menyebutkan
bahwa perusahaan wajib memberikan pelayanan kesehatan kerja
kepada semua tenaga kerjanya yang meliputi upaya preventif,
promotif, kuratif, dan rehabilitatif. Kemudian, dalam
KEP.22/DJPPK/V/2008 menyebutkan bahwa perusahaan dapat
menyelenggarakan sendiri pelayanan kesehatan kerjanya dalam
bentuk klinik atau rumah sakit perusahaan, atau juga dapat
bekerjasama dengan pihak di luar perusahaan seperti rumah sakit,
puskesmas, poliklinik, balai pengobatan, Perusahaan Jasa K3 (PJK3)
bidang kesehatan kerja, dan pelayanan kesehatan lainnya yang telah
memiliki perijinan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pelaksanaan
upaya pelayanan kesehatan yang komprehensif di tempat kerja dapat
mengatasi penyakit yang dialami pekerja, sehingga dapat mencegah
161
penyakit, mengurangi gejala atau keluhan kesehatan, serta mencegah
komplikasi lebih lanjut.
b. Hubungan antara Hipersomnia dengan Kualitas Tidur
Hipersomnia merupakan salah satu faktor yang diduga memiliki
hubungan dengan kualitas tidur. Hipersomnia atau yang biasa dikenal
dengan istilah EDS (Excessive Daytime Sleepiness) merupakan
keadaan dimana seseorang mengantuk di siang hari pada beberapa
situasi yang bersifat subjektif (Rachmawati, 2013).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja shift wanita yang
tidak mengalami hipersomnia yaitu sebanyak 72,2%. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pekerja shift
wanita tidak mengalami hipersomnia. Kemudian hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk sebagian besar dialami
oleh pekerja shift wanita yang tidak mengalami hipersomnia dengan
persentase 90,1%. Berdasarkan hasil uji statistik juga diketahui bahwa
tidak ada hubungan yang signifikan antara hipersomnia dengan
kualitas tidur. Selain itu, diketahui bahwa pekerja shift wanita yang
mengalami hipersomnia dapat mencegah kualitas tidur yang buruk
sebesar 0,659 kali dibandingkan dengan pekerja shift wanita yang
tidak mengalami hipersomnia.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa hipersomnia tidak
mempengaruhi kualitas tidur pekerja shift wanita. Hasil pada
penelitian ini tidak sejalan dengan teori, dimana secara teoritis
menyebutkan bahwa gangguan tidur ini merupakan salah satu gejala
162
yang paling sering berhubungan dengan tidur (Rachmawati, 2013).
Hipersomnia membuat penderitanya tidak mampu mempertahankan
keadaan siaga selama periode terjaga (Slater dan Steier, 2012).
Meskipun penderitanya mendapatkan tidur dengan waktu tidur yang
lebih lama, namun selalu merasa lesu dan letih sepanjang hari
(Apriadji, 2007).
Menurut Prasadja (2009), hipersomnia terjadi disebabkan oleh
buruknya kualitas tidur akibat gangguan tidur yang diderita seperti
insomnia, sindrom tungkai gelisah, dan sleep apnea. Namun,
penyebab yang paling sering dari hipersomnia yaitu tidur yang tidak
adekuat yang terjadi secara kronik (Rachmawati, 2013). Selain
disebabkan oleh kualitas tidur yang buruk, hipersomnia juga dapat
menyebabkan kualitas tidur yang buruk. Hal ini dikarenakan
ketidakmampuan mempertahankan keadaan siaga selama proses
terjaga akan merubah pola tidur. Jika berlangsung terus-menerus,
maka perubahan pola tidur tersebut akan menimbulkan gangguan
tidur secara permanen.
Tidak berhubungannya hipersomnia dengan kualitas tidur dapat
disebabkan oleh distribusi data kualitas tidur buruk antara pekerja shift
wanita yang mengalami maupun tidak mengalami hipersomnia tidak
berbeda signifikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas
tidur yang buruk dialami oleh 85,7% pekerja yang mengalami
hipersomnia dan 90,1% pekerja yang tidak mengalami hipersomnia.
Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja shift wanita,
163
baik yang mengalami maupun tidak mengalami hipersomnia sama-
sama memiliki kualitas tidur yang buruk.
Perbedaan hasil penelitian ini dengan teori juga dapat disebabkan
oleh faktor lain yang lebih dominan dalam mempengaruhi kualitas
tidur yang buruk pada pekerja shift wanita. Peneliti berasumsi bahwa
faktor yang lebih dominan tersebut yaitu faktor jenis shift kerja dan
menopause.
Hipersomnia diketahui berkaitan erat dengan gaya hidup
seseorang. Gaya hidup yang dapat menyebabkan seseorang
mengalami hipersomnia salah satunya yaitu shift kerja (Prasadja,
2009). Shift kerja dapat mengubah pola tidur, sehingga tidur yang
didapatkan pekerja menjadi tidak adekuat. Shift kerja yang umumnya
berisiko menyebabkan gangguan tidur yaitu adalah shift malam.
Bekerja pada shift malam membuat pekerja mengalami pergeseran
pola tidur. Pada penderita hipersomnia, hal ini tentu dapat
menimbulkan pergeseran waktu istirahat, sehingga akan
memperburuk hipersomnia yang dialami.
Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa pekerja shift wanita
yang mengalami hipersomnia sebagian besar tidak bekerja pada shift
malam. Pekerja shift wanita yang bekerja pada shift malam dan
mengalami hipersomnia yaitu sebanyak 34,3%, sementara 40,0%
lainnya bekerja pada shift pagi dan 25,7% pada shift siang. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa pekerja shift wanita yang
mengalami hipersomnia sebagian besar tidak bekerja pada shift
164
malam yang berisiko menyebabkan gangguan tidur. Hal tersebut yang
kemudian diduga menyebabkan hipersomnia tidak mempengaruhi
kualitas tidur pekerja.
Jenis shift kerja yang dialami pekerja shift wanita juga didukung
oleh faktor menopause. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja
shift wanita yang mengalami hipersomnia sebagian besar belum
mengalami menopause dengan persentase sebesar 62,9%.
Hipersomnia diketahui erat kaitannya dengan menopause. Hal ini
dikarenakan hipersomnia dan menopause terjadi ketika wanita
mengalami penurunan kadar estrogen dan progesteron (Gracia dkk.,
2011). Dengan demikian, hipersomnia yang disertai dengan
menopause akan meningkatkan keluhan tidur akibat gejala yang
ditimbulkan dari menopause dirasakan bersamaan dengan gangguan
tidur hipersomnia.
Wanita yang sudah mengalami menopause akan memiliki
kecenderungan mengalami gangguan tidur akibat penurunan hormon
estrogen dan progesteron. Irama sirkadian dan pola tidur secara
langsung akan terpengaruh akibat posisi reseptor hormon estrogen dan
progesteron yang terletak pada bagian tersendiri di hipotalamus
(Prasadja, 2009). Selain itu, insomnia yang dialami wanita ketika
memasuki masa menopause juga diketahui merupakan insomnia yang
terberat (Prasadja, 2009).
Gangguan tidur juga akan semakin diperparah dengan munculnya
gejala-gejala menopause. Gejala-gejala tersebut seperti hot flashes
165
(rasa panas), insomnia, perubahan pada tulang, perubahan
kardiovaskular, gangguan kejiwaan, sulit tidur, keletihan, dan
kekeringan vaginal dll. (Heffner dan Schust, 2006; Muaris, 2004). Hal
ini yang kemudian membuat pekerja shift wanita secara signifikan
mengalami perubahan pola tidur. Namun, dikarenakan hasil pada
penelitian ini menunjukkan bahwa pekerja shift wanita yang
mengalami hipersomnia sebagian besar belum mengalami
menopause, maka hal ini yang kemudian diduga menyebabkan wanita
tidak memiliki kecenderungan mengalami kualitas tidur yang buruk.
Hipersomnia bersifat kronis, yang artinya membutuhkan waktu
yang lama dengan paparan determinan yang terus berulang. Perlu
dilakukan upaya agar jumlah penderitanya tidak terus mengalami
peningkatan dan agar tidak memberikan dampak terhadap buruknya
kualitas tidur pada pekerja shift wanita. Oleh karena itu, peneliti
memberikan saran kepada pekerja agar tidak mengkonsumsi kafein
pada saat tubuh merasa kantuk dan sebelum tidur.
Pada umumnya, kafein dapat ditemukan dalam minuman kopi
atau coke, dan sejumlah kecil cokelat dan teh (Rafknowledge, 2004).
Konsumsi kafein dapat meningkatkan kewaspadaan dan membuat
seseorang tetap terjaga ketika melakukan aktivitas atau pekerjaan.
Konsumsi kafein > 250 mg dapat menyebabkan sindrom intoksikasi
seperti gejala cemas, tegang, diuresis, takikardia, agitasi, dan
insomnia (Sumirta dan Laraswati, 2014). Hal ini disebabkan oleh
166
kinerja kafein yang dapat meningkatkan pengeluaran norepinefrin,
epinefrin, dopamine, dan serotonin (Sumirta dan Laraswati, 2014).
Konsumsi kafein pada saat tubuh merasa kantuk dan dikonsumsi
sebelum tidur akan meningkatkan keterjagaan dan tubuh menjadi sulit
untuk memulai tidur. Efek kafein juga diketahui baru akan
menghilang seluruhnya dalam waktu 6-8 jam setelah konsumsi
(NHLBI, 2011). Selain itu, Peneliti juga memberikan saran agar
pekerja memperbaiki pola tidur dengan tidur malam lebih awal. Hal
tersebut akan memperbaiki waktu tidur secara bertahap (Prasadja,
2009).
c. Hubungan antara Sindrom Pramenstruasi dengan Kualitas Tidur
Sindrom pramenstruasi merupakan salah satu faktor yang diduga
memiliki hubungan dengan kualitas tidur. Ketika sudah mengalami
menstruasi, beberapa wanita dapat mengalami gejala-gejala yang
muncul sebelum hingga memasuki masa menstruasi. Gejala tersebut
yang kemudian dikenal dengan sindrom pramenstruasi atau
Premenstrual Syndrome (PMS). PMS adalah kumpulan gejala fisik,
psikologis, dan emosi yang terkait dengan siklus menstruasi wanita
(Sarah dan Moesijanti, 2008).
Gejala yang ditimbulkan ketika mengalami PMS dapat
bermacam-macam. Gejala tersebut seperti sakit kepala, nyeri
payudara, ketidakstabilan emosional, dan berkurangnya konsentrasi
(Prasadja, 2009). Namun, tidak semua wanita akan mengalami gejala
PMS. Wanita yang mengalami gejala pun antara satu wanita dengan
167
wanita lainnya akan mengalami gejala yang berbeda-beda dengan
tingkat keparahan yang berbeda-beda pula.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja shift
wanita tidak memiliki gejala hingga gejala ringan PMS, dengan
jumlah pekerja sebanyak 77,0%. Kemudian, hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk sebagian besar dialami
oleh pekerja shift wanita yang tidak mengalami gejala hingga gejala
ringan PMS, yaitu sebanyak 88,7%. Hasil uji statistik juga
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara PMS
dengan kualitas tidur. Kemudian, hasil uji keeratan hubungan
menunjukkan bahwa pekerja shift wanita yang mengalami gejala
sedang hingga gejala berat dapat memiliki risiko 1,109 kali
mengalami kualitas tidur yang buruk dibandingkan dengan pekerja
shift wanita yang tidak mengalami gejala hingga gejala ringan.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa PMS tidak
mempengaruhi kualitas tidur pekerja shift wanita. Hasil pada
penelitian ini tidak sejalan dengan teori yang ada. Secara alamiah,
ketika wanita mengalami PMS maka akan terjadi penurunan kualitas
tidur pada saat fase luteal dan awal masa folikular yang menyebabkan
wanita akan mengalami gangguan tidur berupa insomnia,
hipersomnia, dan mimpi buruk (Gracia dkk., 2011). Hal ini
disebabkan oleh penurunan kadar serotonin pada fase luteal yang
terjadi bersamaan dengan penurunan kadar estrogen. Hormon
serotonin menyiapkan otak dan seluruh tubuh untuk masuk ke tahap
168
tidur dalam dengan cara mengurangi sistem aktivitas tubuh, sehingga
penurunan hormon ini akan mempengaruhi kualitas tidur seseorang
(Prasadja, 2009).
Reseptor hormon estrogen dan progesteron terletak pada bagian
tersendiri di hipotalamus, dimana posisi tersebut mempengaruhi irama
sirkadian dan pola tidur secara langsung (Prasadja, 2009). Irama
sirkadian adalah dasar pada siklus tidur dan bangun harian (Murits dan
Widodo, 2008). Ketika irama sirkadian seseorang mengalami
perubahan, maka secara otomatis juga akan mempengaruhi kualitas
tidur.
Secara teoritis, gejala yang ditimbulkan ketika PMS juga dapat
membuat wanita mengalami gangguan tidur. Hal ini dikarenakan
gejala tersebut akan membuat wanita merasakan ketidaknyamanan.
Gejala tersebut akan dirasakan pada 7-10 hari sebelum datangnya haid
dan memuncak pada saat haid timbul (Sarah dan Moesijanti, 2008).
Oleh karena itu, selama gejala tersebut muncul dengan tingkatan
sedang hingga berat, maka wanita akan mengalami gangguan tidur.
Tidak berhubungannya PMS dengan kualitas tidur dapat
disebabkan oleh distribusi data kualitas tidur yang buruk antara
pekerja shift wanita yang mengalami gejala sedang hingga gejala berat
maupun yang tidak mengalami gejala hingga gejala ringan tidak
berbeda signifikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas
tidur yang buruk dialami oleh 89,7% pekerja shift wanita yang
mengalami gejala sedang hingga gejala berat dan 88,7% pekerja shift
169
wanita yang tidak mengalami gejala hingga gejala ringan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja shift wanita, baik yang
mengalami gejala sedang hingga gejala berat maupun yang tidak
mengalami gejala hingga gejala ringan sama-sama memiliki kualitas
tidur yang buruk.
Perbedaan hasil penelitian ini dengan teori juga dapat disebabkan
oleh faktor lain yang lebih dominan dalam mempengaruhi kualitas
tidur yang buruk pada pekerja shift wanita. Peneliti berasumsi bahwa
faktor yang lebih dominan tersebut yaitu faktor kelelahan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 37,9% pekerja
yang mengalami PMS dengan gejala sedang hingga berat, tidak
mengalami kelelahan. Kemudian, sebanyak 51,7% mengalami
kelelahan ringan dan 10,3% mengalami kelelahan sedang. Tidak ada
pekerja shift wanita yang mengalami kelelahan berat.
Kelelahan diketahui dapat menyebabkan siklus menstruasi
menjadi tidak lancar (Subakti, 2007). Selain itu, kelelahan berat juga
dapat meningkatkan gejala PMS yang dialami pekerja shift wanita.
Kelelahan berat dapat merubah pola menstruasi menjadi semakin
panjang atau bahkan semakin pendek. Seringnya wanita mengalami
menstruasi dapat meningkatkan kemungkinan wanita mengalami
gejala PMS. Hal tersebut yang kemudian mengganggu tidur wanita.
Pekerjaan yang meletihkan dan penuh dengan stres juga dapat
menyebabkan seseorang mengalami kelelahan yang berlebihan
sehingga membuat pekerja tersebut menjadi sulit tidur (Potter dan
170
Perry, 2005). Tidak berhubunganya PMS dengan kualitas tidur diduga
disebabkan oleh pekerja shift wanita yang mengalami PMS dengan
gejala sedang hingga berat tidak mengalami kelelahan berat. Hal
tersebut yang kemudian membuat kualitas tidur menjadi tidak
terganggu.
Gejala PMS dapat saja muncul dan mengganggu tidur pekerja,
mengingat sebagian besar pekerja shift wanita masih mengalami
menstruasi. Oleh karena itu, peneliti memberikan saran kepada
pekerja shift wanita agar menghindari stres emosional serta
meningkatkan kemampuan adaptasi dan koping terhadap stres.
Adaptasi dan koping stres yang baik dapat membuat fikiran dan
perasaan menjadi tenang. Fikiran dan perasaan yang tenang tentu akan
memudahkan pekerja untuk memperoleh istirahat yang baik.
Terdapat dua tipe coping yang dapat menurunkan stres, yakni
problem focused coping dan emotion focused coping. Pekerja shift
wanita dapat menurunkan stres dengan menerapkan kedua tipe koping
stres tersebut. Pekerja harus menghadapi dan menyelesaikan masalah
yang menyebabkan stres emosional. Selain itu, pekerja harus
menghilangkan emosi negatif dalam menyikapi masalah. Menghadapi
masalah dengan berusaha melihat sisi positif dari sebuah masalah
akan membuat fikiran menjadi tenang. Dengan demikian, akan
menyelesaikan masalah dan mengubah situasi stres.
Peneliti juga menyarankan agar pekerja shift wanita tidak
mengkonsumsi minuman berkafein seperti kopi, teh, dan minuman
171
bersoda ketika sedang haid. Hal ini dikarenakan minuman tersebut
mempengaruhi sistem saraf dan memperparah gejala PMS (NS,
2010).
Pekerja juga disarankan untuk melakukan olahraga secara teratur.
Olahraga yang dilakukan secara teratur dapat meredakan nyeri ketika
sedang haid (NS, 2010). Hal ini dikarenakan dengan berolahraga
maka akan meningkatkan produksi endorphin yang merupakan
pembunuh rasa sakit alami tubuh (Pratiwi, 2014). Olahraga juga
diketahui berfungsi sebagai psychological relaxer yang mengalihkan
perhatian dari hal-hal yang membuat stres (Widyarini, 2009). Namun,
perlu diperhatikan durasi atau lama waktu yang dapat digunakan
untuk berolahraga. Olahraga dapat meningkatkan tidur jika dilakukan
selama dua puluh menit per hari (Rafknowledge, 2004). Oleh karena
itu, penting sekali bagi pekerja shift wanita untuk berolahraga secara
teratur setiap harinya.
d. Hubungan antara Menopause dengan Kualitas Tidur
Menopause merupakan salah satu faktor yang diduga memiliki
hubungan dengan kualitas tidur. Menopause merupakan proses
alamiah yang dialami wanita sebagai suatu akhir proses biologis yang
menandai berakhirnya masa subur seorang wanita dan pada saat itu
siklus menstruasi telah berhenti selama 12 bulan (Sulistiyowati dan
Nisa, 2014). Ketika memasuki masa menopause, maka fertilitas akan
mengalami penurunan. Fertilitas akan mengalami penurunan secara
drastis pada wanita saat memasuki usia 35 tahun dan lebih cepat lagi
172
setelah usia 40 tahun (Heffner dan Schust, 2006). Namun, pada
umumnya wanita akan mengalami menopause ketika memasuki usia
diatas 40 tahun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja shift
wanita belum mengalami menopause, yaitu sebanyak 65,9%.
Kemudian hasil hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kualitas
tidur yang buruk sebagian besar dialami oleh pekerja shift wanita yang
belum mengalami menopause, yaitu sebanyak 88,0%. Hasil uji
statistik juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara menopause dengan kualitas tidur. Kemudian, hasil uji keeratan
hubungan menunjukkan bahwa pekerja shift wanita yang sudah
mengalami menopause memiliki risiko kualitas tidur yang buruk
1,336 kali dibandingkan dengan pekerja shift wanita yang belum
mengalami menopause.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa menopause tidak
mempengaruhi kualitas tidur. Hasil pada penelitian tidak sejalan
dengan teori yang ada. Secara teoritis, diketahui bahwa menopause
dapat mempengaruhi kualitas tidur. Ketika wanita mengalami
menopause, maka akan terjadi penurunan hormon estrogen,
progesteron, dan serotonin. Penurunan hormon tersebut menyebabkan
seseorang mengalami insomnia. Insomnia yang dialami wanita ketika
memasuki masa menopause merupakan insomnia yang terberat
(Prasadja, 2009).
173
Gejala-gejala yang timbul ketika masa menjelang maupun pada
saat menopause juga diketahui memiliki pengaruh terhadap buruknya
kualitas tidur. Gejala yang biasa dialami oleh wanita menopause yaitu
seperti seperti hot flashes (rasa panas), insomnia, perubahan pada
tulang, perubahan kardiovaskular, gangguan kejiwaan, gelisah,
cemas, ledakan emosi, keringat dingin, depresif, sulit tidur, sulit
beradaptasi, keletihan, dan kekeringan vaginal dll. (Heffner dan
Schust, 2006; Muaris, 2004; Gunarsa, 2002). Keseluruhan gejala
tersebut akan menimbulkan ketidaknyamanan pada penderitanya dan
dapat mengganggu kualitas tidurnya.
Tidak berhubungannya menopause dengan kualitas tidur dapat
disebabkan oleh distribusi data kualitas tidur yang buruk antara
pekerja shift wanita yang mengalami maupun tidak mengalami
menopause tidak berbeda signifikan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kualitas tidur yang buruk dialami oleh 90,7% pekerja shift
wanita yang sudah mengalami menopause dan 88,0% pekerja shift
wanita yang belum mengalami menopause. Hal tersebut menunjukkan
bahwa sebagian besar pekerja shift wanita, baik yang mengalami
maupun tidak mengalami menopause sama-sama memiliki kualitas
tidur yang buruk.
Perbedaan hasil penelitian ini dengan teori juga dapat disebabkan
oleh faktor lain yang lebih dominan dalam mempengaruhi kualitas
tidur yang buruk pada pekerja shift wanita. Peneliti berasumsi faktor
yang lebih dominan tersebut yaitu faktor kelelahan dan hipersomnia.
174
Menopause tidak berhubunganya dengan kualitas tidur diduga
disebabkan oleh faktor kelelahan. Ketika memasuki masa menopause,
salah satu gejala yang juga ditimbulkan yaitu adalah kelelahan
(Heffner dan Schust, 2006). Kelelahan yang berlebihan (berat) atau
penuh stres dapat menyebabkan pekerja menjadi sulit tidur (Potter dan
Perry, 2005). Berbeda halnya dengan kelelahan menengah. Kelelahan
menengah diketahui membuat seseorang memperoleh tidur yang
mengistirahatkan (Agustin, 2012). Kelelahan dapat membuat
seseorang lebih cepat tidur dikarenakan tahap tidur gelombang
lambatnya (NREM) diperpendek (Uliyah dan Hidayat, 2008).
Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 79,1%
pekerja shift wanita yang sudah menopause, tidak mengalami
kelelahan. Kemudian, 16,3% lainnya mengalami kelelahan ringan dan
hanya 4,7% yang mengalami kelelahan sedang. Tidak ada pekerja
shift wanita yang mengalami kelelahan berat. Meskipun mengalami
menopause, namun jika pekerja shift wanita tidak mengalami
kelelahan maka kualitas tidurnya tidak akan terganggu.
Hipersomnia juga erat kaitanya dengan menopause. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 69,8% pekerja shift wanita
yang mengalami menopause, tidak mengalami hipersomnia.
Hipersomnia dan menopause terjadi ketika wanita mengalami
penurunan kadar estrogen dan progesteron (Gracia dkk., 2011).
Seseorang yang mengalami hipersomnia tidak mampu
mempertahankan keadaan siaga selama periode terjaga (Slater dan
175
Steier, 2012). Hipersomnia akan menyebabkan penderitanya
membutuhkan waktu tidur yang lebih lama, namun selalu merasa lesu
dan letih sepanjang hari (Apriadji, 2007). Dengan demikian, jika
pekerja shift wanita mengalami menopause disertai dengan
hipersomnia, maka akan meningkatkan keluhan tidur akibat gejala
yang ditimbulkan dari menopause dirasakan bersamaan dengan
hipersomnia.
Pada akhirnya, setiap wanita akan mengalami menopause.
Rentang usia pekerja shift wanita di PT. Sandratex juga diketahui telah
masuk ke dalam masa menjelang atau bahkan telah mengalami
menopause. Oleh karena itu, dibutuhkan penanganan yang tepat agar
gejala yang muncul tidak mempengaruhi kualitas tidur pekerja.
Peneliti memberikan saran agar perusahaan mengatur lingkungan
kerja dan tempat istirahat bagi pekerja sehingga menjadi sejuk dan
nyaman. Exhaust dan pendingin ruangan harus dipastikan dapat
berfungsi dengan baik. Dengan demikian, keluhan hot flushes (rasa
panas) dapat diminimalisir, sehingga pekerja shift wanita yang
menjelang maupun sudah mengalami menopause dapat bekerja dan
beristirahat dengan nyaman. Selain itu, pekerja juga harus
menciptakan lingkungan tidur yang sejuk dan nyaman bagi dirinya.
Pastikan lingkungan tidur memiliki ventilasi dan peredaran udara
yang baik. Hal ini juga dapat membantu meringankan gejala hot
flashes yang dialami pekerja shift wanita menjelang maupun sudah
mengalami menopause.
176
Menurut para ahli, salah satu penyebab menopause adalah
perubahan pola makan yang tidak sehat seperti mengkonsumsi
makanan cepat saji, lebih mengutamakan kepraktisan dan kelezatan,
namun tidak memperhatikan kandungan nutrisinya (Muaris, 2004).
Muaris (2004) juga mengungkapkan bahwa pola makan tersebut yang
kemudian merubah sistem hormon estrogen dalam tubuh. Oleh karena
itu, peneliti memberikan saran kepada pekerja agar merubah pola
makan dengan menghindari makanan instan atau cepat saji serta rajin
mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung fitoestrogen.
Fitoestrogen diketahui dapat menghambat terjadinya menopause
(Muaris, 2004). Makanan yang banyak mengandung fitoestrogen
dapat ditemui pada apel, anggur, bawang putih, brokoli, jagung,
barley, cabe, kol, kacang kedelai, stroberi, ketimun, tomat, dan wortel
(Wirakusumah, 2003).
e. Hubungan antara Kelelahan dengan Kualitas Tidur
Kelelahan merupakan salah satu faktor yang diduga memiliki
hubungan dengan kualitas tidur. Kelelahan merupakan kondisi
melemahnya tenaga untuk melakukan suatu kegiatan (Muizzudin,
2013). Ketika seseorang mengalami kelelahan, maka akan mengalami
kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan
tubuh (Chesnal dkk., 2014). Dengan demikian, akan mengakibatkan
penurunan daya kerja dan ketahanan tubuh untuk bekerja (Basri dan
Apriliani, 2014). Kondisi tubuh yang mengalami penurunan tenaga
177
tersebut yang kemudian akan menyebabkan penurunan daya dan
kapasitas kerja serta konsentrasi dalam melakukan pekerjaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata total skor
kelelahan pekerja shift wanita adalah 24,01 skor (21,83 – 26,19 skor)
dengan standar deviasi 12,371 skor. Total skor paling rendah yaitu 3
skor dan paling tinggi 71 skor. Hal tersebut menunjukkan bahwa
sebagian besar pekerja shift wanita mengalami kelelahan ringan. Hal
ini dikarenakan rata-rata skor kelelahan pekerja di bawah 60, dimana
cut of point seseorang mengalami kelelahan adalah jika skornya di
atas 60 skor. Selain itu, berdasarkan uji Kolmogorov Smirnov,
diketahui nilai probabilitas sebesar 0,045 (nilai probabilitas < 0,05),
artinya variabel kelelahan tidak berdistribusi normal.
Berdasarkan hasil uji statistik, diketahui nilai mean rank skor
kelelahan pekerja shift wanita yang memiliki kualitas tidur yang buruk
lebih besar daripada pekerja shift wanita yang mengalami kualitas
tidur baik. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ada hubungan
yang signifikan antara kelelahan dengan kualitas tidur. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa kelelahan mempengaruhi
kualitas tidur.
Hasil pada penelitian ini sejalan dengan teori yang ada. Kelelahan
dapat membantu tidur jika mengalami kelelahan menengah khususnya
jika kelelahan disebabkan oleh pekerjaan atau latihan yang
menyenangkan, sehingga pekerja akan memperoleh tidur yang
mengistirahatkan (Agustin, 2012). Kelelahan dapat membuat
178
seseorang lebih cepat tidur dikarenakan tahap tidur gelombang
lambatnya (NREM) diperpendek (Uliyah dan Hidayat, 2008).
Berbeda halnya jika seseorang mengalami kelelahan yang berlebihan.
Diketahui bahwa kelelahan yang berlebihan dapat menyebabkan
seseorang menjadi sulit untuk memulai tidur (initial insomnia)
(Lanywati, 2001). Pekerjaan yang meletihkan dan penuh stres juga
dapat menyebabkan seseorang mengalami kelelahan yang berlebihan
sehingga membuat pekerja tersebut menjadi sulit tidur (Potter dan
Perry, 2005). Hal tersebut tentunya akan mempengaruhi kualitas tidur
seseorang.
Meskipun mayoritas pekerja shift wanita tidak mengalami
kelelahan dan hanya beberapa yang mengalami kelelahan ringan
hingga sedang, namun jika terdapat perubahan kondisi, maka pekerja
shift wanita dapat mengalami kelelahan berat. Dengan demikian,
kelelahan dapat mempengaruhi tidur, terutama jika kelelahan yang
dialami semakin berat dan tidak diatasi.
Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa kelelahan dapat
disebabkan oleh pengaturan shift yang terlalu panjang dan tidak tepat,
intensitas dan durasi suatu pekerjaan dilaksanakan terlalu tinggi,
disain pekerjaan tidak tepat, lingkungan kerja yang tidak nyaman, cara
kerja yang tidak efektif (ergonomis), dan adanya stres (Kodrat, 2011).
Oleh karena itu, harus dilakukan penanganan yang tepat agar
kelelahan yang dirasakan pekerja tidak semakin memburuk.
179
Peneliti memberikan saran agar perusahaan memastikan exhaust
dan pendingin ruangan berfungsi dengan baik. Hal ini dikarenakan
suhu yang terlalu tinggi akan meningkatkan kelelahan (Suma’mur,
1999). Pengaturan terhadap pekerja wanita yang bekerja pada sistem
shift juga perlu diperhatikan. Menurut Grandjean (1986) dalam
Nurmianto (2004), waktu pergantian shift lebih baik dilakukan pada
pukul 07.00, 15.00, dan 23.00 atau 08.00, 16.00, dan 24.00. Waktu
pergantian shift ini dapat lebih memberikan waktu bagi pekerja untuk
bersiap berangkat ke tempat kerja dan untuk beristirahat. Selama ini,
diketahui bahwa PT. Sandratex menggunakan waktu pergantian shift
pada pukul 06.00, 14.00, dan 22.00 WIB.
Agar waktu istirahat lebih optimal, pekerja yang memiliki jarak
antara tempat tinggal dengan tempat kerja yang jauh lebih baik untuk
tidak dipekerjakan pada sistem shift (Grandjean, 1986 dalam
Nurmianto, 2004). Menurut Suma’mur (1999), setiap bekerja pada
shift siang atau malam sebaiknya juga diikuti dengan paling sedikit 24
jam libur dan tiap shift malam paling sedikit 2 hari libur, sehingga
pekerja dapat mengatur kebiasaan tidur.
Kepada pekerja, peneliti memberikan saran agar pekerja shift
wanita segera beristirahat dengan cukup setelah pulang bekerja
terutama setelah bekerja pada shift malam. Hal ini dikarenakan
pemulihan terhadap kelelahan terjadi ketika seseorang mendapatkan
istirahat yang cukup (Fajarwati dkk., 2011).
180
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja shift wanita
di PT. Sandratex memiliki kualitas tidur yang buruk. Hasil penelitian terhadap
gambaran determinan kualitas tidur pekerja shift wanita juga menunjukkan
bahwa sebagian besar pekerja bekerja pada shift malam, mengalami stres
emosional, memiliki aktivitas fisik berat, mengkonsumsi makanan, tidak
mengkonsumsi obat-obatan, memiliki penyakit fisik, tidak mengalami
hipersomnia, tidak memiliki gejala hingga gejala ringan sindrom
pramenstruasi, belum mengalami menopause, dan tidak mengalami kelelahan.
Hasil uji statistik antara variabel dependen dengan independen
menunjukkan bahwa terdapat dua variabel yang berhubungan yang signifikan
dengan kualitas tidur. Variabel tersebut yakni variabel penyakit fisik dan
kelelahan. Sementara itu, variabel lainnya yaitu jenis shift kerja, stres
emosional, aktivitas fisik, kebiasaan makan, asupan obat-obatan, hipersomnia,
sindrom pramenstruasi, dan menopause menunjukkan tidak ada hubungan
yang signifikan dengan kualitas tidur.
Tidak adanya hubungan antara variabel independen dengan variabel
dependen dapat disebabkan oleh distribusi data kualitas tidur buruk pada tiap
kategori variabel independen yang tidak berbeda signifikan. Selain itu, tidak
berhubunganya variabel independen dengan dependen juga dapat disebabkan
181
oleh faktor lain yang lebih dominan dalam mempengaruhi buruknya kualitas
tidur pada pekerja shift wanita.
B. Saran
1. Bagi PT. Sandratex
a. Melakukan pengaturan terhadap shift kerja dengan :
1) Merubah waktu pergantian shift kerja pada pukul 07.00, 15.00,
dan 23.00 WIB atau 08.00, 16.00, dan 24.00 WIB.
2) Pekerja yang memiliki jarak antara tempat tinggal dengan tempat
kerja yang jauh lebih baik untuk tidak dipekerjakan pada sistem
shift.
3) Merubah arah rotasi kerja menjadi rotasi maju.
4) Setiap bekerja pada shift siang atau malam sebaiknya diikuti
dengan paling sedikit 24 jam libur dan tiap shift malam paling
sedikit 2 hari libur.
b. Melakukan pengaturan terhadap konsumsi pekerja dengan :
1) Memberikan makanan dan minuman yang bergizi kepada pekerja
wanita yang bekerja pada shift malam. Selain itu, pemberian
makanan dan minuman sekurang-kurangnya 1.400 kalori apabila
kerja lembur dilakukan selama tiga jam atau lebih dan pemberian
makan dan minum tersebut tidak dapat digantikan dengan uang.
2) Memberikan pengetahuan kepada pekerja mengenai asupan gizi
yang baik dan sesuai dengan kebutuhan pekerja shift wanita.
c. Memastikan exhaust dan pendingin ruangan berfungsi dengan baik.
182
d. Melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala.
e. Melaksanakan upaya pelayanan kesehatan kerja secara komprehensif
di perusahaan, baik itu dengan menyelenggarakan sendiri pelayanan
kesehatan kerjanya dalam bentuk klinik atau rumah sakit perusahaan,
atau juga dapat bekerjasama dengan pihak di luar perusahaan.
2. Bagi Pekerja
a. Melakukan pengaturan terhadap konsumsi pekerja dengan :
1) Tidak mengkonsumsi minuman berkafein pada saat tubuh merasa
kantuk dan sebelum tidur.
2) Tidak mengkonsumsi minuman berkafein seperti kopi, teh, dan
minuman bersoda ketika sedang haid.
3) Tidak mengkonsumsi obat tidur.
4) Tidak mengkonsumsi obat-obatan di luar resep atau anjuran
dokter.
5) Merubah pola makan dengan menghindari makanan instan.
6) Mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung fitoestrogen.
b. Memperbaiki pola tidur dengan tidur malam lebih awal.
c. Menghindari tekanan stres sebisa mungkin dan meningkatkan
kemampuan adaptasi serta koping terhadap stres.
d. Berolahraga secara teratur dan setidaknya dilakukan selama dua puluh
menit per hari.
183
e. Melakukan relaksasi setiap harinya dengan melakukan meditasi, yoga,
latihan pernafasan dalam, tai chi, pemijatan, shalat, atau berdoa
(dzikir), dll.
f. Menciptakan lingkungan tidur yang sejuk dan nyaman dengan
memastikan lingkungan tidur memiliki ventilasi dan peredaran udara
yang baik.
g. Segera beristirahat dan tidur yang cukup setelah pulang bekerja
terutama setelah bekerja pada shift malam.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Membandingkan kualitas tidur antara pekerja wanita yang bekerja
dengan sistem shift kerja dan dengan wanita yang bekerja tidak
dengan sistem shift kerja. Dengan demikian, dapat dilihat apakah shift
kerja benar-benar memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
kualitas tidur pada pekerja wanita.
b. Mengukur variabel dengan melakukan pemeriksaan fisik agar dapat
lebih objektif dalam melihat keluhan atau gejala yang dialami
responden.
c. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi dalam
oprasional riset permasalahan kualitas tidur, terutama pada wanita.
184
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
KEP.102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur
KEP.22/DJPPK/V/2008 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pelayanan
Kesehatan Kerja
Permenaker No. 03 tahun 1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja
Agustin, D. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Tidur pada Pekerja
Shift di PT. Krakatau Tirta Industri Cilegon. Depok: FIK Universitas Indonesia.
Allen, S. S., Bride, C. M. M. dan Pirie, P. L. 1991. The Shortened Premenstrual
Assessment Form. J Reprod Med, 36, 769-72.
Amran, Y. dan Handayani, P. 2012. Hubungan Pergantian Waktu Kerja dengan
Pola Tidur Pekerja. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 6.
Amran, Y., Shofwati, I. dan Puti, N. 2010. Hubungan Penerapan Shift Kerja dengan
Kelelahan Kerja. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Anggrajani, F. dan Muhdi, N. 2011. Korelasi Faktor Risiko dengan Derajat
Keparahan Premenstrual Syndrome pada Dokter Perempuan. Surabaya: FK
Universitas Airlangga.
Apriadji, W. H. 2007. Good Mood Food, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.
Asmadi 2008. Teknik Prosedural Keperawatan : Konsep dan Aplikasi Kebutuhan
Dasar Klien, Jakarta, Salemba Medika.
Azis, A. 2015. Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kualitas Tidur Perawat di RSUD
Ungaran Kabupaten Semarang. Semarang: PSK STIKES Ngudi Waluyo.
Bakhshani, N. M., Mousavi, M. N. dan Khodabandeh, G. 2009. Prevalence and
Severity of Premenstrual Symptoms among Iranian Female University
Students. J Pak Med Assoc, 59.
Basri, S. dan Apriliani, S. 2014. Hubungan Shift Kerja dengan Tingkat Kelelahan
Operator Produksi di PT Pertamia Eksplorasi dan Produksi (EP) Kecamatan
Balongan Kabupaten Indramayu Tahun 2014. Kesehatan Masyarakat Afiasi.
Bastable, S. B. 2002. Perawat sebagai Pendidik : Prinsip-Prinsip Pengajaran dan
Pembelajaran, Jakarta, EGC.
Boari, L., Cavalcanti, C. M., Bannwart, S. R. F. D., Sofia, O. B. dan Dolci, J. E. L.
2004. Evaluation of Epworth Sleepiness Scale in Patients with Obstructive
Sleep Apnea - Hypopnea Syndrome. Revista Brasileira de
Otorrinolaringologia, 70.
BPS 2014. Kebutuhan Data Ketenagakerjaan untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Bukit, E. K. 2005. Kualitas Tidur dan Faktor-Faktor Gangguan Tidur Klien Lanjut
Usia yang Dirawat Inap di Ruang Penyakit Dalam Rumah Sakit Medan 2003.
Keperawatan Indonesia, 9, 41-47.
Buysse, D. J., Hall, M. L., Strollo, P. J., Kamarck, T. W., Owens, J., Lee, L., Reis,
S. E. dan Matthews, K. A. 2008. Relationship Between the Pittsburgh Sleep
Quality Index (PSQI), Epworth Sleepiness Scale (ESS), and
Clinical/Polysomnographic Measures in a Community Sample. Journal of
Clinical Sleep Medicine, 4.
Buysse, D. J., III, C. F. R., Monk, T. H., Berman, S. R. dan Kupfer, D. J. 1989. The
Pittsburgh Sleep Quality Index : A New Instrument for Psychiatric Practice and
Research. Psychiatry Research, 28, 193-213.
185
Chesnal, H., Rattu, A. J. M. dan Lampus, B. S. 2014. Hubungan antara Umur, Jenis
Kelamin, dan Status Gizi dengan Kelelahan Kerja pada Tenaga Kerja di Bagian
Produksi PT. Putra Karangetan Popontolen Minahasa Selatan. Manado: FKM
Universitas Sam Ratulangi.
Colligan, M. J. dan Rosa, R. R. 1997. Plain Languange About Shift Work, US,
National Institude for Occupational Safety and Health (NIOSH).
Craven, R. F. dan Hirnle, C. J. 2000. Fundamental of Nursing : Human Health and
Function, Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins.
Dariah, E. D. dan Okatiranti 2015. Hubungan Kecemasan dengan Kualitas Tidur
Lansia di Posbindu Anyelir Kecamatan Cisarua Kabuoaten Bandung Barat.
Ilmu Keperawatan, 3.
Dewi, P. 2006. Perbedaan Kelelahan Kerja pada Perawat Shift Malam di Ruang
ICU dan Ruang Arrijal di Rumah Sakit Haji Tahun 2006. Sumatera Utara:
FKM Universitas Sumatera Utara.
Dewi, S. R. 2014. Buku Ajar Keperawatan Gerontik, Yogyakarta, Deepublish.
Di lorio, C. K. 2005. Measurement in Health Behavior : Methods for Research and
Education. United States of America: Jossey Bass.
Dirgayudha, D. 2014. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kelelahan Kerja
pada Pembuat Tahu di Wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur Tahun
2014. Jakarta: FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
EKU Online. 2016. The Health Hazards of Shift Work [Online]. Richmond: Eastern
Kentucky University. Tersedia:
http://safetymanagement.eku.edu/resources/infographics/the-health-hazards-
of-shift-work/.
Epstein, L. J. dan Mardon, S. 2010. The Harvard Medical School Guide o a Good
Night's Sleep, New York, Harvard Medical School.
Fajarwati, F. D., Hidayat, R. dan Agustuna, F. 2011. Pengaturan Sistem Shift Kerja
untuk Meningkatkan Performance serta Mengurangi Keluhan Karyawan.
Tekhnologi Technoscientia, 4.
Febriana, D. dan Wahyuningsih, A. 2011. Kajian Stres Hospitalisasi terhadap
Pemenuhan Pola Tidur Anak Usia Prasekolah di Ruang Anak RS Baptis Kediri.
STIKES RS Baptis Kediri, 4.
Fink, G. 2010. Stress Consequences : Mental, Neuropsychological, and
Socioeconomic, UK, Academic Press.
Gracia, M., Wangsa, B., Agung, N. dan Sidharta, V. M. 2011. Pengaruh Sindroma
Premenstruasi terhadap Gangguan Tidur pada Mahasiswi Fakultas Kedokteran
Universitas Katolik Atma Jaya. Damianus Journal of Medicine, 10, 77-80.
Grandner, M. A., Kripke, D. F., Yoon, I.-Y. dan Youngstedt, S. D. 2006. Criterion
Validity of The Pittsburgh Sleep Quality Index : Investigation in A Non-
Clinical Sample. Sleep Biol Rhythms, 4, 129-139.
Gumilar, I. 2007. Metode Riset untuk Bisnis dan Manajemen, Bandung,
Widyatama.
Gunarsa, Y. S. D. 2002. Asas-Asas Psikologi Keluarga Idaman, Jakarta, Gunung
Mulia.
Handayani, P. 2008. Hubungan antara Penerapan Shift Kerja dengan Pola Tidur
Pekerja di Bagian Produksi PT. Enka Parahyangan Tahun 2008. Jakarta: FKIK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
186
Handayani, Y. 2014. Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Tingkat Keluhan
Klimakterium pada Wanita Usia 45-65 Tahun. Surakarta: FIK Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Harrington, J. M. dan Gill, F. S. 2003. Buku Saku Kesehatan Kerja, Jakarta, EGC.
Haryono, A., Rindiarti, A., Arianti, A., Pawitri, A., Ushuluddin, A., Setiawati, A.,
Reza, A., Wawolumaja, C. W. dan Sekartini, R. 2009. Prevalensi Gangguan
Tidur pada Remaja Usia 12-15 Tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.
Sari Pediatri, 11.
Heffner, L. J. dan Schust, D. J. 2006. At a Glance Sistem Reproduksi Edisi Kedua,
Jakarta, Erlangga.
Hidayat, A. T. 2011. Analisis Pengaruh Shift Kerja terhadap Beban Kerja pada
Pekerja di PT. Primarindo Asia Infrastructure, Tbk. Bandung: FT Universitas
Islam Bandung.
Hidayati, E. 2013. Strategi Coping Stress Perempuan dengan HIV/AIDS. 9.
Huisinga, J. M., Filipi, M., Schmid, K. K. dan Stergiou, N. 2011. Is There a
Relationship Between Fatigue Questionnaires and Gait Mechanics in Persons
with Multiple Sclerosis? Journal Articles, 103.
Indrawati, N. 2012. Perbandingan Kualitas Tidur Mahasiswa yang Mengikuti UKM
dan Tidak Mengikuti UKM pada Mahasiswa Reguler FIK UI. Depok: FIK
Universitas Indonesia.
IPAQ 2005. Guidelines for Data Processing and Analysis of the International
Physical Activity Questionnaire (IPAQ) - Short and Long Forms. USA: IPAQ.
Johns, M. W. 1991. A New Method for Measuring Daytime Sleepiness : The
Epworth Sleepiness Scale. American Sleep Disorders Association and Sleep
Research Society, 14, 540-545.
Kastler, E. C. dan Davidson, K. 2007. Evaluation of Quality of Life and Quality of
Sleep in Clinical Practice. European Association of Urology, 6, 576-584.
Kodrat, K. F. 2011. Pengaruh Shift Kerja terhadap Kelelahan Pekerja Pabrik Kelapa
Sawit di PT. X Labuhan Batu. Jurnal Teknik Industri, 12, 110-117.
Kowalski, K. C., Crocker, P. R. E. dan Donen, R. M. 2004. The Physical Activity
Questionnaire for Children (PAQ-C) and Adolescents (PAQ-A) Manual.
Canada: University of Saskatchewan.
Kuswadji, S. 1997. Pengaturan Tidur Pekerja Shift. Cermin Dunia Kedokteran.
LaDou, J. 1994. Occupational Health and Safety 2nd Edition, National Safety
Council.
Lameshow, S., Hosmer, D. W., Klar, J., Lwanga, S. K. dan Organization, W. H.
1990. Adequacy of Sample Size in Health Studies. New York: John Wiley &
Sons.
Lanywati, E. 2001. Insomnia, Yogyakarta, Penerbit Kanisius.
Maghfirah, N. 2015. 99 Fenomena Menakjubkan Dalam Al-Quran, Bandung,
Penerbit Mizania.
Mardiana, L. 2009. Kanker pada Wanita : Mencegah dan MEngobati Kanker pada
Wanita dengan Tanaman Obat, Jakarta, Penebar Swadaya.
Martono, L. H. dan Joewana, S. 2006. Pencegahan dan Penanggulangan Narkoba
Berbasis Sekolah, Jakarta, PT Balai Pustaka
Maurits, L. S. dan Widodo, I. D. 2008. Faktor dan Penjadualan Shift Kerja. Jurnal
Teknoin, 13, 11-22.
187
Mesarini, B. A. dan Astuti, V. W. 2013. Stres dan Mekanisme Koping terhadap
Gangguan Siklus Menstruasi pada Remaja Putri. Jurnal STIKES 6.
Muaris, H. 2004. Makan Sehat dan Lezat di Masa Menopause, Jakarta, PT
Gramedia Pustaka Utama.
Muftiani, I. 2012. Perbedaan Kualitas Tidur Antara Pasien Asma dan Pasien Tb
Paru. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Muizzudin, A. 2013. Hubungan antara Kelelahan Kerja dengan Produktivitas Kerja
pada Tenaga Kerja Bagian Tenun di PT. Alkatex Tegal. Semarang: FIK
Universitas Negeri Semarang.
Nashori, F. dan Diana, R. R. 2005. Perbedaan Kualitas Tidur dan Kualitas Mimpi
antara Mahasiswa Laki-Laki dan Mahasiswa Perempuan. Indonesian
Psychological Journal, 2, 77-88.
NHLBI 2011. Your Guide to Healthy Sleep, United State, U.S. Deparement of
Health and Human Services.
NS, S. 2010. Serba Serbi Kesehatan Perempuan, Jakarta, Bukune.
NSF. 2005. Strategies for Shift Worker : The Night Shift Worker and Sleep [Online].
National Sleep Foundation.
NSF. 2016. National Sleep Foundation. Tersedia:
https://sleepfoundation.org/excessivesleepiness/content/sleepiness-women
[Diakses pada 27 November 2016].
NTSB 1995. Grounding of the US Tankship Exxon Valdez on Bligh Reef, Prince
William Sound near Valdez, Alaska. Washington DC: National Transportation
Safety Board.
Nurlela, S., Saryono dan Yuniar, I. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kualitas Tidur Pasien Post Operasi Laparatomi di Ruang Rawat Inap Rumah
Sakit PKU Muhammadiyah Gombong. Ilmiah Keperawatan, 5.
Nurmianto, E. 2004. Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya, Surabaya, Guna
Widya.
Oginska, H. dan Pokorskri, J. 2006. Fatigue and Mood Correlates of Sleep Length
in Three Age-Social Groups : School Children, Students, and Employees.
Chronobiology International, 23, 1317-1328.
Oktavia, N. 2015. Sistematika Penulisan Karya Ilmiah, Yogyakarta, Deepublish.
Perumal, S. R. P., Narasimhan, M. dan Kramer, M. 2016. Sleep and Psychosomatic
Medicine, New York, CRC Press.
Potter, P. A. dan Perry, A. G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses, dan Praktik, Jakarta, EGC.
Prasadja, A. 2009. Ayo Bangun dengan Bugar karena Tidur yang Benar, Jakarta,
Hikmah.
Pratiwi, A. M. 2014. Aktivitas Olahraga dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi
pada Anggota Perempuan UKM INKAI UNS. Ners dan Kebidanan Indonesia,
2, 76-80.
Prijosaksono, A. dan Sembel, R. 2002. Control Your Life : Aplikasi Manajemen
Diri dalam Kehidupan Sehari-Hari, Jakarta, PT Elex Media Komputindo.
Puspita, E. 2014. Aktivitas Fisik dan Gaya Hidup dengan Kualitas Tidur pada Ibu
Hamil Trimester III di BPM Ny. "M". Mojokerto: Poltekes Majapahit.
Putri, H. 2015. Faktor yang Berhubungan dengan Kebugaran pada Mahasiswa
Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2015. Jakarta: FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
188
Rachmawati, D. 2013. Rerata Nilai Kualitas Hidup pada Mahasiswa PSPD FKIK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Excessive Daytime Sleepiness (EDS)
dan Tanpa EDS. Jakarta: FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Rafknowledge 2004. Insomnia dan Gangguan Tidur Lainnya, Jakarta, PT Elex
Media Komputindo.
Ratikasari, I. 2015. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015. Jakarta: FKIK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Revalicha, N. S. dan Sami'an 2013. Perbedaan Stres Kerja Ditinjau dari Shift Kerja
pada Perawat di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Jurnal Psikologi Industri dan
Organisasi, 2.
Rosanti, E. 2011. Perbedaan Tingkat Kelelahan Kerja Tenaga Kerja Wanita Antara
Shift Pagi, Shift Sore, dan Shift Malam di Bagian Winding PT. Iskandar Indah
Printing Textile Surakarta. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret.
Saftarina dan Hasanah 2014. Hubungan Shift Kerja dengan Gangguan Pola Tidur
pada Perawat Instalasi Rawat Inap di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung
2013. Medula, 2.
Sarah dan Moesijanti 2008. Hubungan Asupan Kalsium dengan Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi Remaja di Jakarta. Gizi Indon, 31, 115-122.
Siagian, H. 2014. Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kualitas Tidur Lansia di Desa
Parsuratan Kecamatan Balige. Medan: FIK Universitas Sumatera Utara.
Slater, G. dan Steier, J. 2012. Excessive Daytime Sleepiness in Sleep Disorders.
Journal of Thoracic Disease, 4.
Smyth, C. 1999. The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). New York: The
Hartford Institute for Geriatric Nursing.
Spilsbury, J. C., Drotar, D., Rosen, C. L. dan Redline, S. 2007. The Cleveland
Adolescent Sleepiness Questionnaire. Journal of Clinical Sleep Medicine, 3,
603-612.
Stranks, J. 2005. Stress at Work : Management and Prevention, Burlington,
Elsevier.
Suastari, N. M. P., Tirtayasa, P. N. B., Aryana, I. G. P. S. dan Kusumawardhani, R.
T. 2014. Hubungan antara Sikap Sleep Hygiene dengan Derajat Insomnia pada
Lansia di Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah Denpasar. Denpasar: FK
Universitas Udayana.
Subakti, Y. dan Anggraini, D. R. 2007. Ensiklopedia Calon Ibu, Jakarta,
QultumMedia.
Sudibjo, P., Arovah, N. I. dan A, R. L. 2013. Tingkat Pemahaman dan Survei Level
Aktivitas Fisik, Status Kecukupan Energi dan Status Antropometrik
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Kepelatihan Olahraga FIK UNY.
Medikora, 11.
Sudo, N. dan Ohtsuka, R. 2002. Fatigue Complaints Among Female Shift Workers
in a Computer Factory of Japan. Journal of Human Ergology, 31, 41-51.
Sulistiyowati dan Nisa, K. 2014. Perbedaan Insomnia Sebelum dan Sesudah Mandi
Air Hangat pada Wanita Menopause di Dusun Laren Desa Laren Kecamatan
Laren - Lamongan. Jurnal Surya, 3.
Suma'mur 1999. Ergonomi untuk Produktivitas Kerja, Jakarta, Haji Masagung.
189
Suma'mur 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes), Jakarta,
Sagung Seto.
Sumirta, I. N. dan Laraswati, A. I. 2014. Faktor yang Menyebabkan Gangguan
Tidur (Insomnia) pada Lansia. Denpasar: Politeknik Kesehatan Denpasar.
Suwartika, I. dan Cahyati, P. 2015. Analisis Faktor yang Berpengaruh terhadap
Kualitas Tidur Pasien Gagal Jantung di RSUD Kota Tasikmalaya. Skolastik
Keperawatan, 1.
Tamher, S. dan Noorkasiani 2009. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan
Asuhan Keperawatan, Jakarta, Salemba Medika.
Tandra, H. 2009. Osteoporosis, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.
Tarihoran, A., Muttaqin, A. dan Mulyani, Y. 2015. Hubungan Kualitas Tidur
dengan Kadar Gula Darah pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2. Jurnal
Caring, 1.
Tarwoto dan Wartonah 2010. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan,
Jakarta, Salemba Medika.
Tayyari, F. dan Smith, J. L. 1997. Occupational Ergonomic Principles and
Application, Great Britain, T J Press Ltd.
Tjay, T. H. dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting Kasiat, Penggunaan dan
Efek-Efek Sampingnya, Jakarta, PT Elex Media Komputindo.
Uliyah, M. dan Hidayat, M. A. A. 2008. Keterampilan Dasar Praktik Klinik untuk
Kebidanan, Jakarta, Salemba Medika.
Umami, R. dan Priyanto, S. 2012. Hubungan Kualitas Tidur dengan Fungsi
Kognitif dan Tekanan Darah pada Lansia di Desa Pasuruan Kecamatan
Mertoyudan Kabupaten Magelang. Magelang: FIK Universitas
Muhammadiyah Magelang.
Utami, A. Y. dan Bayhakki 2009. Perbedaan Tingkat Tolransi Perubahan Irama
Sirkadian Perawat tanpa Kerja Shift Malam dengan Dua dan Tiga Shift Malam.
Ilmu Keperawatan, 4.
Wahyuni dan Ni'mah, L. 2013. Manfaat Senam Hamil untuk Meningkatkan Durasi
Tidur Ibu Hamil. Kesehatan Masyarakat, 8, 145-152.
Widyarini, M. M. N. 2009. Kunci Pengembangan Diri, Jakarta, PT Elex Media
Komputindo.
Wildani, A. A. 2012. Gambaran Tingkat Stres Kerja pada Pegawai Dinas Kesehatan
Kota Depok. Depok: FIK Universitas Indonesia.
Wirakusumah, E. S. 2003. Tip dan Diet untuk Tetap Sehat, Cantik, dan Bahagia di
Masa Menopause, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.
Wu, S., Wang, R., Ma, X., Zhao, Y., Yan, X. dan He, J. 2012. Excessive Daytime
Sleepiness Assessed by The Epworth Sleepiness Scale and Its Association with
Health Related Quality of Lif : aPopulation - Based Study in China. BMC
Public Health, 12.
Yi, H., Shin, K. dan Shin, C. 2006. Development of the Sleep Quality Scale. Journal
of Sleep Research, 15, 309-16.
Zakariyati 2013. Hubungan Pola Shift Pagi dengan Kualitas Tidur dan Kualitas
Makan Perawat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit TK II Pelamonia
Makassar. Makassar: FK Universitas Hasanuddin.
190
LAMPIRAN
(Buysse dkk., 1989, Lameshow dkk., 1990, Allen dkk., 1991, Johns, 1991, LaDou, 1994, NTSB, 1995, Kuswadji, 1997,
Tayyari dan Smith, 1997, Allen, 1998, Smyth, 1999, Suma'mur, 1999, Craven dan Hirnle, 2000, Lanywati, 2001, Bastable,
2002, Gunarsa, 2002, Prijosaksono dan Sembel, 2002, Sudo dan Ohtsuka, 2002, Harrington dan Gill, 2003, Wirakusumah,
2003, Boari dkk., 2004, Kowalski dkk., 2004, Muaris, 2004, Nurmianto, 2004, Rafknowledge, 2004, Bukit, 2005, Di lorio,
2005, IPAQ, 2005, Nashori dan Diana, 2005, NSF, 2005, Potter dan Perry, 2005, Stranks, 2005, Dewi, 2006, Grandner dkk.,
2006, Heffner dan Schust, 2006, Martono dan Joewana, 2006, Oginska dan Pokorskri, 2006, Yi dkk., 2006, Amir, 2007,
Apriadji, 2007, Gumilar, 2007, Kastler dan Davidson, 2007, Spilsbury dkk., 2007, Subakti dan Anggraini, 2007, Tjay dan
Rahardja, 2007, Asmadi, 2008, Buysse dkk., 2008, Handayani, 2008, Maurits dan Widodo, 2008, Sarah dan Moesijanti, 2008,
Uliyah dan Hidayat, 2008, Bakhshani dkk., 2009, Haryono dkk., 2009, Mardiana, 2009, Nurlela dkk., 2009, Prasadja, 2009,
Suma'mur, 2009, Tamher dan Noorkasiani, 2009, Tandra, 2009, Utami dan Bayhakki, 2009, Widyarini, 2009, Amran dkk.,
2010, Epstein dan Mardon, 2010, Fink, 2010, NS, 2010, Tarwoto dan Wartonah, 2010, Anggrajani dan Muhdi, 2011,
Fajarwati dkk., 2011, Febriana dan Wahyuningsih, 2011, Gracia dkk., 2011, Hidayat, 2011, Huisinga dkk., 2011, Kodrat,
2011, NHLBI, 2011, Rosanti, 2011, Agustin, 2012, Amran, 2012, Amran dan Handayani, 2012, Indrawati, 2012, Slater dan
Steier, 2012, Umami dan Priyanto, 2012, Wildani, 2012, Wu dkk., 2012, Hidayati, 2013, Mesarini dan Astuti, 2013,
Muizzudin, 2013, Rachmawati, 2013, Revalicha dan Sami'an, 2013, Sudibjo dkk., 2013, Wahyuni dan Ni'mah, 2013,
Zakariyati, 2013, Andriyani, 2014, Basri dan Apriliani, 2014, BPS, 2014, Chesnal dkk., 2014, Dewi, 2014, Dirgayudha, 2014,
Hananta dkk., 2014, Handayani, 2014, Pratiwi, 2014, Puspita, 2014, Saftarina dan Hasanah, 2014, Siagian, 2014, Suastari
dkk., 2014, Sulistiyowati dan Nisa, 2014, Sumirta dan Laraswati, 2014, Azis, 2015, Dariah dan Okatiranti, 2015, Maghfirah,
2015, Oktavia, 2015, Putri, 2015, Ratikasari, 2015, Suwartika dan Cahyati, 2015, Tarihoran dkk., 2015, EKU Online, 2016,
NSF, 2016, Perumal dkk., 2016)
LAMPIRAN
1
LAMPIRAN 1
2
LAMPIRAN 2
KUESIONER
“ANALISIS DETERMINAN KUALITAS TIDUR PADA PEKERJA SHIFT
WANITA DI PT. SANDRATEX TAHUN 2016”
Assalamu’alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh.
Saya Eka Ari Nuryanti, mahasiswa Peminatan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3) Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini merupakan tugas akhir
untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.
Responden diharapkan menjawab setiap pertanyaan dengan sejujur-jujurnya.
Setiap jawaban akan dijaga kerahasiaannya dan tidak akan mempengaruhi
penilaian terhadap kinerja responden. Dengan segala kerendahan hati dimohon
agar responden bersedia menjawab seluruh pertanyaan yang ada di dalam
kuesioner ini.
Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan menjadi responden
dalam penelitian ini. Semoga Allah menjadikan sebagai amal ibadah di sisi-Nya
dan semoga Allah membalas dengan kebaikan yang banyak. Aamiin.
Wassalamu’alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh.
..................................................................................................................................
Formulir Persetujuan Menjadi Responden
Saya yang bertAnda tangan di bawah ini menyatakan bersedia secara
sukarela menjadi responden dalam penelitian yang berjudul “Analisis Determinan
Kualitas Tidur Pada Pekerja Shift Wanita di PT. Sandratex Tahun 2016” yang
dilakukan oleh Eka Ari Nuryanti, mahasiswa Peminatan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya
akan memberikan informasi dengan sebenar-benarnya dan sejujurnya. Saya sudah
mengetahui tujuan dan manfaat dari penelitian ini, serta Saya mengerti bahwa data
yang telah diberikan akan dijaga kerahasiaannya, digunakan hanya untuk
kepentingan penelitian, dan tidak akan mempengaruhi penilaian terhadap kinerja
Saya di perusahaan.
Demikian pernyataan ini saya buat tanpa tekanan dari pihak manapun.
Rempoa, Agustus 2016
Responden
_________________________
3
A. IDENTITAS RESPONDEN
No Pertanyaan Jawaban
A1 Nama
A2 Divisi/Bagian Kerja Spining 1
Wiving 2
A3 Jenis shift kerja yang sedang dijalani
saat ini
Shift Pagi 0
Shift Siang 1
Shift Malam 2
Isilah Pertanyaan di Bawah Ini Sesuai dengan yang Anda Rasakan
B. KUALITAS TIDUR
Kuesioner The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)
No Pertanyaan Jawaban
B1 Selama 1 bulan terakhir, sekitar pukul berapa biasanya Anda
tidur di malam hari?
______.______
WIB
B2 Selama 1 bulan terakhir, berapa lama (dalam menit) biasanya
Anda membutuhkan waktu untuk dapat tidur di malam hari?
____________
Menit
B3 Selama 1 bulan terakhir, sekitar pukul berapa biasanya Anda
bangun tidur di pagi hari?
______.______
WIB
B4 Selama 1 bulan terakhir, berapa jam Anda dapat tidur nyenyak
di malam hari? ____________ Jam
Isilah Pertanyaan dengan Melingkari (O), Memberi Tanda Silang (X), atau Tanda
Ceklis ( ) pada Jawaban yang Sesuai dengan yang Anda Rasakan
B5
SELAMA 1 BULAN TERAKHIR
Seberapa sering masalah-masalah di
bawah ini mengganggu Anda?
Tidak
pernah
(0)
1x
seminggu
(1)
2x
seminggu
(2)
≥ 3x
seminggu
(3)
B5a Tidak dapat tertidur dalam waktu 30 menit 0 1 2 3
B5b Terbangun di tengah malam atau pagi-
pagi sekali 0 1 2 3
B5c Terbangun karena ingin ke toilet 0 1 2 3
B5d Tidak dapat bernapas dengan leluasa 0 1 2 3
B5e Batuk atau mendengkur 0 1 2 3
B5f Merasa kedinginan di malam hari 0 1 2 3
B5g Merasa kepanasan di malam hari 0 1 2 3
B5h Mimpi buruk 0 1 2 3
B5i Merasa nyeri 0 1 2 3
B6
Selama 1 bulan terakhir, seberapa sering
Anda mengkonsumsi obat untuk
membantu Anda agar dapat tertidur (resep
atau pun dari toko obat) ?
0 1 2 3
4
B5
SELAMA 1 BULAN TERAKHIR
Seberapa sering masalah-masalah di
bawah ini mengganggu Anda?
Tidak
pernah
(0)
1x
seminggu
(1)
2x
seminggu
(2)
≥ 3x
seminggu
(3)
B7
Selama 1 bulan terakhir, seberapa sering
Anda mengantuk saat berkendaraan,
makan, atau ketika melakukan aktivitas
sosial ?
0 1 2 3
Tidak
Menjadi
Masalah
(0)
Hanya
Masalah
Kecil
(1)
Agak
Menjadi
Masalah
(2)
Masalah
Besar
(3)
B8
Selama 1 bulan terakhir, seberapa besar
Anda untuk dapat tetap bersemangat atau
antusias dalam mengerjakan sesuatu ?
0 1 2 3
Sangat
Baik
(0)
Baik
(1)
Buruk
(2)
Sangat
Buruk
(3)
B9
Selama 1 bulan terakhir, bagaimana
Anda menilai kualitas tidur Anda secara
keseluruhan ?
0 1 2 3
C. DETERMINAN KUALITAS TIDUR
C1. PENYAKIT FISIK
No Pertanyaan Ya
(0)
Tidak
(1)
C1a Apakah Anda memiliki penyakit yang membuat Anda merasa mudah
atau sulit untuk tidur? 0 1
C1b Apakah Anda mengalami kesulitan tidur karena merasa nyeri pada
bagian tubuh tertentu ? 0 1
C1c Apakah Anda sering terbangun di tengah malam karena ingin pergi ke
toilet untuk buang air kecil? 0 1
C1d Apakah Anda dapat bernapas dengan nyaman saat tidur? 0 1
C2. STRES EMOSIONAL
No Pertanyaan Ya
(0)
Tidak
(1)
C2a Apakah saat ini Anda sedang mengalami permasalahan yang cukup
mengganggu fikiran Anda? 0 1
C2b Ketika Anda memiliki permasalahan di tempat kerja, apakah Anda
mengalami sulit tidur? 0 1
C2c Ketika Anda memiliki permasalahan apakah Anda sering terbangun dari
tidur karena memikirkan permasalahan tersebut? 0 1
5
C3. KELELAHAN
Kuesioner Subjective Self Rating Test (SSRT)
No Pertanyaan Tidak
Pernah
(0)
Kadang
-
Kadang
(1)
Sering
(2)
Sangat
Sering
(3)
Apakah Anda Merasakan Hal-Hal di
Bawah ini?
C4.1 Berat di bagian kepala setelah bekerja 0 1 2 3
C3.2 Lelah pada seluruh badan setelah bekerja 0 1 2 3
C3.3 Kaki terasa berat setelah bekerja 0 1 2 3
C3.4 Menguap setelah bekerja 0 1 2 3
C3.5 Fikiran terasa kacau setelah bekerja 0 1 2 3
C3.6 Mengantuk setelah bekerja 0 1 2 3
C3.7 Ada beban pada mata setelah bekerja 0 1 2 3
C3.8 Kaku/canggung dalam bergerak setelah
bekerja 0 1 2 3
C3.9 Sempoyongan / tidak berdiri stabil setelah
bekerja 0 1 2 3
C3.10 Ada perasaan ingin berbaring setelah bekerja 0 1 2 3
C3.11 Susah berfikir setelah bekerja 0 1 2 3
C3.12 Lelah untuk berbicara setelah bekerja 0 1 2 3
C3.13 Menjadi gugup setelah bekerja 0 1 2 3
C3.14 Tidak bisa berkonsentrasi setelah bekerja shift
malam 0 1 2 3
C3.15 Tidak bisa memusatkan perhatian terhadap
sesuatu setelah bekerja 0 1 2 3
C3.16 Punya kecenderungan untuk lupa setelah
bekerja 0 1 2 3
C3.17 Kurang percaya diri setelah bekerja 0 1 2 3
C3.18 Cemas terhadap sesuatu setelah bekerja 0 1 2 3
C3.19 Tidak dapat mengontrol sikap setelah bekerja 0 1 2 3
C3.20 Tidak dapat tekun dalam pekerjaan setelah
bekerja 0 1 2 3
C3.21 Sakit dikepala 0 1 2 3
C3.22 Kaku di bagian bahu setelah bekerja 0 1 2 3
C3.23 Nyeri di punggung setelah bekerja 0 1 2 3
C3.24 Nafas terasa tertekan setelah bekerja 0 1 2 3
C3.25 Haus setelah bekerja 0 1 2 3
C3.26 Suara terasa serak setelah bekerja 0 1 2 3
C3.27 Pening setelah bekerja 0 1 2 3
C3.28 Kelopak mata terasa kejang setelah bekerja 0 1 2 3
C3.29 Anggota badan terasa bergetar (tremor)
setelah bekerja 0 1 2 3
C3.30 Merasa kurang sehat setelah bekerja 0 1 2 3
6
C4. KEBIASAAN MAKAN
No Pertanyaan Ya
(0)
Tidak
(1)
C4a Apakah Anda mengkonsumsi makanan sebelum tidur? 0 1
C4b Apakah Anda menahan lapar sebelum tidur setelah bekerja? 0 1
C4c
Apakah Anda mengkonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat
tinggi (seperti nasi, roti gandum, ubi jalar, talas, biskuit, sereal, mie
basah, kentang, jagung) sebelum tidur?
0 1
C5. OBAT-OBATAN
No Pertanyaan Ya
(0)
Tidak
(1)
C5a Apakah Anda sedang mengkonsumsi obat-obatan yang memberikan
efek samping rasa kantuk? 0 1
C5b Apakah Anda sedang mengkonsumsi obat-obatan yang memberikan
efek samping kesulitan untuk tidur? 0 1
Isilah Pertanyaan dengan Melingkari (O), Memberi Tanda Silang (X), atau Tanda Ceklis
( ) pada Jawaban yang Sesuai dengan yang Anda Rasakan DI SIANG HARI pada Tiap
Kegiatan di Bawah Ini
C6. HIPERSOMNIA
Kuesioner Epworth Sleepiness Scale (ESS)
No Kegiatan
Tidak
Pernah
Mengantuk
(0)
Sedikit
Mengantuk
(1)
Cukup
Mengantuk
(2)
Sangat
Mengantuk
dan Jatuh
Tertidur
(3)
C6a Duduk dan membaca 0 1 2 3
C6b Menonton televisi 0 1 2 3
C6c
Duduk diam di tempat umum
(misalnya bioskop atau sedang
rapat)
0 1 2 3
C6d Sebagai penumpang mobil/motor
selama satu jam tanpa istirahat 0 1 2 3
C6e
Rebahan untuk beristirahat di
siang hari ketika keadaan
memungkinkan
0 1 2 3
C6f Duduk dan berbicara dengan
seseorang 0 1 2 3
C6g Duduk tenang setelah makan siang
tanpa minum kopi atau teh 0 1 2 3
C6h
Di dalam mobil dan mobil berhenti
selama beberapa menit karena
macet
0 1 2 3
7
Isilah Pertanyaan dengan Melingkari (O) atau Memberi Tanda Silang (X) pada Jawaban
yang Sesuai dan Menggambarkan INTENSITAS GEJALA PRAMENSTRUASI PADA
SIKLUS MENSTRUASI TERAKHIR. Gejala-Gejala di bawah ini merupakan gejala yang
mungkin terjadi selama fase pramenstruasi. Fase ini dimulai sekitar 7 hari sebelum siklus
menstruasi dimulai dan berakhir hingga menstruasi dimulai.
C7. SINDROM PRAMENSTRUASI
Kuesioner Shortened Premenstrual Assessment Form (SPAF)
No. Pertanyaan Tidak
Mengalami
(1)
Sangat
Ringan
(2)
Ringan
(3)
Sedang
(4)
Berat
(5)
Ekstrim
(6)
C7a
Payudara terasa nyeri saat
ditekan atau tanpa ditekan,
terjadi pembesaran atau
pembengkakan
1 2 3 4 5 6
C7b
Merasa tidak mampu
mengatasi atau kewalahan
oleh tuntutan atau persoalan
yang biasanya dijalani
1 2 3 4 5 6
C7c Merasa di bawah tekanan
(cemas/tertekan) 1 2 3 4 5 6
C7d
Mudah tersinggung, lekas
marah yang meledak-ledak
atau berlebihan
1 2 3 4 5 6
C7e
Merasa sedih, galau, tidak
bersemangat, sensitif terhadap
penolakan meningkat, mudah
menangis
1 2 3 4 5 6
C7f
Sakit punggung dan panggul,
nyeri sendi dan otot, atau
kekakuan sendi
1 2 3 4 5 6
C7g Peningkatan berat badan 1 2 3 4 5 6
C7h Perut terasa berat, tidak
nyaman, sakit atau nyeri 1 2 3 4 5 6
C7i
Adanya edema,
pembengkakan/bengkak, atau
retensi air (penimbunan air)
pada kaki atau pergelangan
kaki
1 2 3 4 5 6
C7j Perut terasa kembung 1 2 3 4 5 6
C8. MENOPAUSE
No. Pertanyaan Ya
(0)
Tidak
(1)
C8a Apakah Anda masih mengalami haid/menstruasi selama 12 bulan
terakhir? 0 1
8
C9. AKTIVITAS FISIK
Kuesioner International Physical Activity Questionnaire (IPAQ)
Isilah pertanyaan di bawah ini sesuai dengan AKTIVITAS FISIK ANDA
SELAMA 7 HARI TERAKHIR
Aktivitas fisik berat adalah aktivitas yang menggunakan tenaga fisik kuat
sehingga nafas jauh lebih cepat dari biasanya. Seperti : jalan cepat, jogging/berlari,
bersepeda di medan berliku/tanjakan, dansa, menari, berkebun (dengan
menggunakan peralatan berat, memanjat, memotong ranting), melakukan pekerjaan
rumah tangga (memindahkan furniture, membawa belanja dan benda berat sambil
menaiki/menuruni tangga, bermain dengan anak-anak (berlari, bersepeda), senam
aerobik yang dilakukan minimal selama 10 menit.
C9a. Selama 7 hari sebelumnya, berapa hari Anda melakukan aktivitas fisik berat
seperti yang dijelaskan di atas?
______________________________ hari seminggu
Cb. Berapa lama waktu yang Anda gunakan untuk melakukan aktivitas fisik berat
tersebut dalam sehari?
_____________ jam ______________ menit sehari
Aktivitas fisik sedang adalah aktivitas yang menggunakan daya fisik yang sedang
sehingga membuat Anda bernafas agak lebih kuat dari biasanya, seperti : yoga,
senam bukan aerobik (golf, tennis, voli, bulu tangkis), berolahraga di rumah (sit up,
push up), berkebun (membersihkan rumput dan daun yang berserakan, mencangkul,
menanam), pekerjaan rumah tangga (mengepel lantai dan membersihkan rumah
dengan banyak menggunakan tangan, menjemur pakaian yang dilakukan minimal
selama 10 menit.
C9c. Selama 7 hari sebelumnya, berapa hari Anda melakukan aktivitas fisik sedang
seperti yang dijelaskan di atas?
______________________________ hari seminggu
C9d. Berapa lama waktu yang Anda gunakan untuk melakukan aktivitas fisik
sedang tersebut dalam sehari?
_____________ jam ______________ menit sehari
Berjalan kaki termasuk berjalan kaki di rumah, di tempat kerja, berjalan kaki dari
suatu tempat ke tempat lain dan berjalan kaki untuk rekreasi, berolahraga, bersenam
atau berjalan kaki pada waktu senggang yang dilakukan minimal selama 10
menit.
C9e. Selama 7 hari sebelumnya, berapa hari Anda berjalan kaki seperti yang
dijelaskan di atas?
______________________________ hari seminggu
9
C9f. Berapa lama waktu yang Anda gunakan untuk berjalan kaki tersebut dalam
sehari?
_____________ jam ______________ menit sehari
Duduk termasuk bagian dari perilaku sedetary. Waktu yang digunakan untuk
duduk pada hari kerja atau dalam rumah termasuk juga waktu duduk yang
dihabiskan di tempat kerja, si rumah, waktu mengerjakan tugas, pada waktu
senggang, mengunjungi teman-teman, membaca, atau duduk atau berbaring sambil
menonton televisi yang dilakukan minimal selama 10 menit.
C9g. Selama 7 hari sebelumnya, berapa hari Anda duduk seperti yang dijelaskan di
atas?
______________________________ hari seminggu
C9h. Berapa lama waktu yang Anda gunakan untuk duduk tersebut dalam sehari?
_____________ jam ______________ menit sehari
Modifikasi kuesioner Rosanti, 2011; Agustin, 2012; dan Sulistiyowati dan Nisa,
2014.
10
LAMPIRAN 3
Output
A. VALIDITAS DAN RELIABILITAS
1. Kualitas Tidur
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.867 13
Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted
B5a Tidak dapat tertidur dalam waktu 30 menit
7.57 26.254 .733 .844
B5b Terbangun di tengah malam atau pagi-pagi sekali
7.67 29.195 .612 .855
B5c Terbangun karena ingin ke toilet
7.73 28.616 .703 .850
B5d Tidak dapat berbapas dengan leluasa
7.67 32.299 .097 .877
B5e Batuk atau mendengkur 7.57 25.771 .752 .843
B5f Merasa kedinginan di malam hari
7.57 26.116 .751 .843
B5g Merasa kepanasan di malam hari
7.67 26.368 .793 .841
B5h Mimpi buruk 7.70 28.700 .692 .851
B5i Merasa nyeri 7.53 29.292 .511 .859
B6 Selama 1 bulan terakhir, seberapa sering Anda mengkonsumsi obat untuk memb
7.80 32.234 .019 .894
B7 Selama 1 bulan terakhir, seberapa sering Anda mengantuk saat berkendaraan,
7.63 25.620 .801 .839
B8 Selama 1 bulan terakhir, seberapa besar Anda untuk dapat tetap bersemangat
7.70 28.700 .692 .851
B9 Selama 1 bulan terakhir, bagaimana Anda menilai kualitas tidur Anda secara
7.40 33.076 -.025 .883
2. Hipersomnia
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.790 8
11
Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted
C7a Duduk dan membaca 7.83 14.213 .739 .725
C7b Menonton televisi 7.90 18.300 .251 .798
C7c Duduk diam di tempat umum (misalnya bioskop atau sedang rapat)
7.83 15.178 .579 .753
C7d Sebagai penumpang mobil/motor selama satu jam tanpa istirahat
7.23 15.151 .539 .760
C7e Rebahan untuk beristirahat di siang hari ketika keadaan memungkinkan
7.13 14.602 .506 .769
C7f Duduk dan berbicara dengan seseorang
8.17 16.420 .446 .775
C7g Duduk tenang setelah makan siang tanpa minum kopi atau teh
7.80 15.821 .466 .772
C7h Di mobil/motor dan mobil/motor berhenti selama beberapa menit karena macet
8.40 17.076 .453 .775
12
3. Sindrom Pramenstruasi
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.886 10
Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted
C8a Payudara terasa nyeri saat ditekan atau tanpa ditekan, terjadi pembesaran
18.73 58.685 .540 .881
C8b Merasa tidak mampu mengatasi atau kewalahan oleh tuntutan atau persoalan y
17.97 52.309 .812 .861
C8c Merasa di bawah tekanan (cemas/tertekan)
18.63 55.826 .553 .880
C8d Mudah tersinggung, lekas marah yang meledak-ledak atau berlebihan
18.30 56.907 .596 .877
C8e Merasa sedih, galau, tidak bersemangat, sensitif terhadap penolakan mening
18.53 56.602 .673 .873
C8f Sakit punggung dan panggul, nyeri sendi dan otot, atau kekakuan sendi
17.93 53.857 .629 .875
C8g Peningkatan berat badan
18.30 54.355 .602 .877
C8h Perut terasa berat, tidak nyaman, sakit atau nyeri
18.40 55.972 .565 .879
C8i Adanya edema, pembengkakan/bengkak, atau retensi air (penimbunan air) pada
17.90 52.852 .670 .872
C8j Perut terasa kembung 18.30 54.355 .602 .877
4. Kelelahan
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.912 30
13
Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted
C4.1 Berat di bagian kepala setelah bekerja
27.07 201.099 .558 .927
C4.2 Lelah pada seluruh badan setelah bekerja
26.63 203.482 .470 .928
C4.3 Kaki terasa berat setelah bekerja
27.10 201.610 .484 .928
C4.4 Menguap setelah bekerja 26.90 201.748 .457 .928
C4.5 Fikiran terasa kacau setelah bekerja
26.13 194.326 .596 .926
C4.6 Mengantuk setelah bekerja 26.70 195.045 .683 .925
C4.7 Ada beban pada mata setelah bekerja
26.67 188.437 .780 .923
C4.8 Kaku/canggung dalam bergerak setelah bekerja
26.47 196.120 .543 .927
C4.9 Sempoyongan / tidak berdiri stabil setelah bekerja
26.67 200.230 .473 .928
C4.10 Ada perasaan ingin berbaring setelah bekerja
26.67 193.402 .674 .925
C4.11 Susah berfikir setelah bekerja
27.23 203.426 .416 .928
C4.12 Lelah untuk berbicara setelah bekerja
27.00 200.690 .389 .929
C4.13 Menjadi gugup setelah bekerja
27.23 205.357 .291 .930
C4.14 Tidak bisa berkonsentrasi setelah bekerja shift malam
27.07 200.202 .607 .926
C4.15 Tidak bisa memusatkan perhatian terhadap sesuatu setelah bekerja
27.13 198.326 .695 .925
C4.16 Punya kecenderungan untuk lupa setelah bekerja
27.13 203.430 .421 .928
C4.17 Kurang percaya diri setelah bekerja
27.40 205.766 .337 .929
C4.18 Cemas terhadap sesuatu setelah bekerja
27.20 205.959 .285 .930
C4.19 Tidak dapat mengontrol sikap setelah bekerja
26.07 194.340 .626 .926
C4.20 Tidak dapat tekun dalam pekerjaan setelah bekerja
26.97 205.689 .241 .930
C4.21 Sakit dikepala 26.73 196.754 .565 .927
C4.22 Kaku di bagian bahu setelah bekerja
26.67 195.402 .622 .926
C4.23 Nyeri di punggung setelah bekerja
26.67 193.678 .693 .925
C4.24 Nafas terasa tertekan setelah bekerja
26.93 197.306 .489 .928
C4.25 Haus setelah bekerja 26.43 199.013 .431 .929
C4.26 Suara terasa serak setelah bekerja
26.77 189.564 .751 .924
C4.27 Pening setelah bekerja 26.67 193.333 .707 .925
14
C4.28 Kelopak mata terasa kejang setelah bekerja
26.07 194.340 .626 .926
C4.29 Anggota badan terasa bergetar (tremor) setelah bekerja
27.10 203.472 .364 .929
C4.30 Merasa kurang sehat setelah bekerja
26.80 195.890 .602 .926
B. HASIL
1. UNIVARIAT
a. Kualitas Tidur b_kualitastidur
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid buruk 112 88.9 88.9 88.9
baik 14 11.1 11.1 100.0
Total 126 100.0 100.0
b. Jenis Shift Kerja a3_jenis_shiftkerja
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid malam 43 34.1 34.1 34.1
siang 42 33.3 33.3 67.5
pagi 41 32.5 32.5 100.0
Total 126 100.0 100.0
c. Stres Emosional c2_stres_emosional
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid ya 64 50.8 50.8 50.8
tidak 62 49.2 49.2 100.0
Total 126 100.0 100.0
d. Aktivitas Fisik c9_aktivitas_fisik
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berat 102 81.0 81.0 81.0
rendah sedang 24 19.0 19.0 100.0
Total 126 100.0 100.0
15
e. Kebiasaan Makan c4_kebiasaan_makan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak konsumsi 26 20.6 20.6 20.6
Konsumsi 100 79.4 79.4 100.0
Total 126 100.0 100.0
f. Asupan Obat-Obatan c5_asupan_obat
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Konsumsi 25 19.8 19.8 19.8
tidak konsumsi 101 80.2 80.2 100.0
Total 126 100.0 100.0
g. Penyakit Fisik c1_penyakit_fisik1
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid ada 95 75.4 75.4 75.4
tidak ada 31 24.6 24.6 100.0
Total 126 100.0 100.0
h. Hipersomnia c6_hipersomia
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid ya 35 27.8 27.8 27.8
tidak 91 72.2 72.2 100.0
Total 126 100.0 100.0
i. Sindrom Pramenstruasi c7_pms
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid gejala sedang hingga gejala berat
29 23.0 23.0 23.0
tidak ada gejala hingga gejala ringan
97 77.0 77.0 100.0
Total 126 100.0 100.0
16
j. Menopause c8_menopause
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid sudah 43 34.1 34.1 34.1
belum 83 65.9 65.9 100.0
Total 126 100.0 100.0
k. Kelelahan Descriptives
Statistic Std. Error
skor_kelelahan Mean 24.01 1.102
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 21.83
Upper Bound 26.19
5% Trimmed Mean 23.40
Median 23.00
Variance 153.032
Std. Deviation 12.371
Minimum 3
Maximum 71
Range 68
Interquartile Range 16
Skewness .781 .216
Kurtosis 1.415 .428
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
skor_kelelahan .080 126 .045 .955 126 .000
a. Lilliefors Significance Correction
17
2. BIVARIAT
a. Jenis Shift Kerja Crosstab
b_kualitastidur
Total buruk baik
a3_jenis_shiftkerja malam Count 39 4 43
% within a3_jenis_shiftkerja 90.7% 9.3% 100.0%
siang Count 37 5 42
% within a3_jenis_shiftkerja 88.1% 11.9% 100.0%
pagi Count 36 5 41
% within a3_jenis_shiftkerja 87.8% 12.2% 100.0%
Total Count 112 14 126
% within a3_jenis_shiftkerja 88.9% 11.1% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square .218a 2 .897
Likelihood Ratio .224 2 .894
Linear-by-Linear Association .179 1 .672
N of Valid Cases 126
a. 3 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,56.
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95,0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a a3_jenis_shiftkerja .217 2 .897
a3_jenis_shiftkerja(1) -.303 .710 .183 1 .669 .738 .184 2.967
a3_jenis_shiftkerja(2) -.027 .674 .002 1 .968 .973 .259 3.649
Constant -1.974 .477 17.109 1 .000 .139
a. Variable(s) entered on step 1: a3_jenis_shiftkerja.
b. Stres Emosional Crosstab
b_kualitastidur
Total buruk baik
c2_stres_emosional ya Count 58 6 64
% within c2_stres_emosional 90.6% 9.4% 100.0%
tidak Count 54 8 62
% within c2_stres_emosional 87.1% 12.9% 100.0%
Total Count 112 14 126
% within c2_stres_emosional 88.9% 11.1% 100.0%
18
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .397a 1 .529
Continuity Correctionb .120 1 .729
Likelihood Ratio .398 1 .528
Fisher's Exact Test .581 .365
Linear-by-Linear Association .394 1 .530
N of Valid Casesb 126
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,89.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for c2_stres_emosional (ya / tidak)
1.432 .467 4.396
For cohort b_kualitastidur = buruk
1.041 .919 1.178
For cohort b_kualitastidur = baik
.727 .267 1.973
N of Valid Cases 126
c. Aktivitas Fisik Crosstab
b_kualitastidur
Total buruk baik
c9_aktivitas_fisik
Berat Count 91 11 102
% within c9_aktivitas_fisik 89.2% 10.8% 100.0%
rendah sedang Count 21 3 24
% within c9_aktivitas_fisik 87.5% 12.5% 100.0%
Total Count 112 14 126
% within c9_aktivitas_fisik 88.9% 11.1% 100.0%
19
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .058a 1 .810
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .056 1 .812
Fisher's Exact Test .729 .523
Linear-by-Linear Association .057 1 .811
N of Valid Casesb 126
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,67.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for c9_aktivitas_fisik (berat / rendah sedang)
1.182 .303 4.613
For cohort b_kualitastidur = buruk
1.020 .864 1.203
For cohort b_kualitastidur = baik
.863 .261 2.855
N of Valid Cases 126
d. Kebiasaan Makan
c4_kebiasaan_makan * b_kualitastidur Crosstabulation
b_kualitastidur
Total buruk baik
c4_kebiasaan_makan
tidak konsumsi Count 24 2 26
% within c4_kebiasaan_makan
92.3% 7.7% 100.0%
konsumsi Count 88 12 100
% within c4_kebiasaan_makan
88.0% 12.0% 100.0%
Total Count 112 14 126
% within c4_kebiasaan_makan
88.9% 11.1% 100.0%
20
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .388a 1 .534
Continuity Correctionb .074 1 .785
Likelihood Ratio .419 1 .518
Fisher's Exact Test .733 .414
Linear-by-Linear Association .385 1 .535
N of Valid Casesb 126
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,89.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for c4_kebiasaan_makan (tidak konsumsi / konsumsi)
1.636 .343 7.815
For cohort b_kualitastidur = buruk
1.049 .919 1.198
For cohort b_kualitastidur = baik
.641 .153 2.688
N of Valid Cases 126
e. Asupan Obat-Obatan Crosstab
b_kualitastidur
Total buruk baik
c5_asupan_obat
Konsumsi Count 25 0 25
% within c5_asupan_obat 100.0% .0% 100.0%
tidak konsumsi Count 87 14 101
% within c5_asupan_obat 86.1% 13.9% 100.0%
Total Count 112 14 126
% within c5_asupan_obat 88.9% 11.1% 100.0%
21
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 3.899a 1 .048
Continuity Correctionb 2.621 1 .105
Likelihood Ratio 6.613 1 .010
Fisher's Exact Test .070 .037
Linear-by-Linear Association 3.868 1 .049
N of Valid Casesb 126
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,78.
b. Computed only for a 2x2 table
f. Penyakit Fisik c1_penyakit_fisik1 * b_kualitastidur Crosstabulation
b_kualitastidur
Total buruk baik
c1_penyakit_fisik1 Ada Count 88 7 95
% within c1_penyakit_fisik1 92.6% 7.4% 100.0%
tidak ada Count 24 7 31
% within c1_penyakit_fisik1 77.4% 22.6% 100.0%
Total Count 112 14 126
% within c1_penyakit_fisik1 88.9% 11.1% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 5.476a 1 .019
Continuity Correctionb 4.044 1 .044
Likelihood Ratio 4.805 1 .028
Fisher's Exact Test .042 .027
Linear-by-Linear Association 5.433 1 .020
N of Valid Casesb 126
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,44.
b. Computed only for a 2x2 table
22
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for c1_penyakit_fisik1 (ada / tidak ada)
3.667 1.172 11.473
For cohort b_kualitastidur = buruk
1.196 .981 1.459
For cohort b_kualitastidur = baik
.326 .124 .857
N of Valid Cases 126
g. Hipersomnia Crosstab
b_kualitastidur
Total buruk baik
c6_hipersomia ya Count 30 5 35
% within c6_hipersomia 85.7% 14.3% 100.0%
tidak Count 82 9 91
% within c6_hipersomia 90.1% 9.9% 100.0%
Total Count 112 14 126
% within c6_hipersomia 88.9% 11.1% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .495a 1 .482
Continuity Correctionb .150 1 .699
Likelihood Ratio .473 1 .492
Fisher's Exact Test .531 .338
Linear-by-Linear Association .491 1 .484
N of Valid Casesb 126
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,89.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for c6_hipersomia (ya / tidak)
.659 .204 2.123
For cohort b_kualitastidur = buruk
.951 .818 1.107
For cohort b_kualitastidur = baik
1.444 .520 4.011
N of Valid Cases 126
23
h. Sindrom Pramenstruasi (PMS) Crosstab
b_kualitastidur
Total buruk baik
c7_pms gejala sedang hingga gejala berat
Count 26 3 29
% within c7_pms 89.7% 10.3% 100.0%
tidak ada gejala hingga gejala ringan
Count 86 11 97
% within c7_pms 88.7% 11.3% 100.0%
Total Count 112 14 126
% within c7_pms 88.9% 11.1% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .022a 1 .881
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .023 1 .880
Fisher's Exact Test 1.000 .592
Linear-by-Linear Association .022 1 .882
N of Valid Casesb 126
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,22.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for c7_pms (gejala sedang hingga gejala berat / tidak ada gejala hingga gejala ringan)
1.109 .287 4.275
For cohort b_kualitastidur = buruk
1.011 .877 1.166
For cohort b_kualitastidur = baik
.912 .273 3.051
N of Valid Cases 126
24
i. Menopause Crosstab
b_kualitastidur
Total buruk baik
c8_menopause sudah Count 39 4 43
% within c8_menopause 90.7% 9.3% 100.0%
belum Count 73 10 83
% within c8_menopause 88.0% 12.0% 100.0%
Total Count 112 14 126
% within c8_menopause 88.9% 11.1% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .216a 1 .642
Continuity Correctionb .028 1 .868
Likelihood Ratio .222 1 .638
Fisher's Exact Test .770 .444
Linear-by-Linear Association .215 1 .643
N of Valid Casesb 126
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,78.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for c8_menopause (sudah / belum)
1.336 .393 4.537
For cohort b_kualitastidur = buruk
1.031 .910 1.168
For cohort b_kualitastidur = baik
.772 .257 2.318
N of Valid Cases 126
j. Kelelahan Ranks
b_kualitastidur N Mean Rank Sum of Ranks
skor_kelelahan Buruk 112 65.78 7367.00
Baik 14 45.29 634.00
Total 126
25
Test Statisticsa
skor_kelelahan
Mann-Whitney U 529.000
Wilcoxon W 634.000
Z -1.981
Asymp. Sig. (2-tailed) .048
a. Grouping Variable: b_kualitastidur
C. CROSSTABS
1. Jenis Shift Kerja Crosstab
c3_kelelahan_kategorik
Total sedang ringan tidak lelah
a3_jenis_shiftkerja
malam Count 0 6 37 43
% within a3_jenis_shiftkerja .0% 14.0% 86.0% 100.0%
siang Count 2 10 30 42
% within a3_jenis_shiftkerja 4.8% 23.8% 71.4% 100.0%
pagi Count 1 18 22 41
% within a3_jenis_shiftkerja 2.4% 43.9% 53.7% 100.0%
Total Count 3 34 89 126
% within a3_jenis_shiftkerja 2.4% 27.0% 70.6% 100.0%
a3_jenis_shiftkerja * c8_menopause Crosstabulation
c8_menopause
Total sudah belum
a3_jenis_shiftkerja
malam Count 12 31 43
% within a3_jenis_shiftkerja 27.9% 72.1% 100.0%
siang Count 14 28 42
% within a3_jenis_shiftkerja 33.3% 66.7% 100.0%
pagi Count 17 24 41
% within a3_jenis_shiftkerja 41.5% 58.5% 100.0%
Total Count 43 83 126
% within a3_jenis_shiftkerja 34.1% 65.9% 100.0%
26
2. Stres Emosional Crosstab
c3_kelelahan_kategorik
Total sedang ringan tidak lelah
c2_stres_emosional
ya Count 3 23 38 64
% within c2_stres_emosional 4.7% 35.9% 59.4% 100.0%
tidak Count 0 11 51 62
% within c2_stres_emosional .0% 17.7% 82.3% 100.0%
Total Count 3 34 89 126
% within c2_stres_emosional 2.4% 27.0% 70.6% 100.0%
Crosstab
c8_menopause
Total sudah belum
c2_stres_emosional Ya Count 23 41 64
% within c2_stres_emosional 35.9% 64.1% 100.0%
Tidak Count 20 42 62
% within c2_stres_emosional 32.3% 67.7% 100.0%
Total Count 43 83 126
% within c2_stres_emosional 34.1% 65.9% 100.0%
3. Aktivitas Fisik Crosstab
c3_kelelahan_kategorik
Total sedang ringan tidak lelah
c9_aktivitas_fisik
berat Count 1 31 70 102
% within c9_aktivitas_fisik 1.0% 30.4% 68.6% 100.0%
rendah sedang Count 2 3 19 24
% within c9_aktivitas_fisik 8.3% 12.5% 79.2% 100.0%
Total Count 3 34 89 126
% within c9_aktivitas_fisik 2.4% 27.0% 70.6% 100.0%
Crosstab
c8_menopause
Total sudah belum
c9_aktivitas_fisik Berat Count 37 65 102
% within c9_aktivitas_fisik 36.3% 63.7% 100.0%
rendah sedang Count 6 18 24
% within c9_aktivitas_fisik 25.0% 75.0% 100.0%
Total Count 43 83 126
% within c9_aktivitas_fisik 34.1% 65.9% 100.0%
27
c9_aktivitas_fisik * c4_kebiasaan_makan Crosstabulation
c4_kebiasaan_makan
Total tidak konsumsi konsumsi
c9_aktivitas_fisik
Berat Count 19 83 102
% within c9_aktivitas_fisik 18.6% 81.4% 100.0%
rendah sedang Count 7 17 24
% within c9_aktivitas_fisik 29.2% 70.8% 100.0%
Total Count 26 100 126
% within c9_aktivitas_fisik 20.6% 79.4% 100.0%
4. Kebiasaan Makan Crosstab
c3_kelelahan_kategorik
Total sedang ringan tidak lelah
c4_kebiasaan_makan
tidak konsumsi Count 2 8 16 26
% within c4_kebiasaan_makan
7.7% 30.8% 61.5% 100.0%
Konsumsi Count 1 26 73 100
% within c4_kebiasaan_makan
1.0% 26.0% 73.0% 100.0%
Total Count 3 34 89 126
% within c4_kebiasaan_makan
2.4% 27.0% 70.6% 100.0%
Crosstab
a3_jenis_shiftkerja
Total malam siang pagi
c4_kebiasaan_makan
tidak konsumsi
Count 7 10 9 26
% within c4_kebiasaan_makan
26.9% 38.5% 34.6% 100.0%
konsumsi Count 36 32 32 100
% within c4_kebiasaan_makan
36.0% 32.0% 32.0% 100.0%
Total Count 43 42 41 126
% within c4_kebiasaan_makan
34.1% 33.3% 32.5% 100.0%
28
5. Asupan Obat-Obatan Crosstab
c8_menopause
Total sudah belum
c5_asupan_obat Konsumsi Count 11 14 25
% within c5_asupan_obat 44.0% 56.0% 100.0%
tidak konsumsi Count 32 69 101
% within c5_asupan_obat 31.7% 68.3% 100.0%
Total Count 43 83 126
% within c5_asupan_obat 34.1% 65.9% 100.0%
6. Hipersomnia Crosstab
a3_jenis_shiftkerja
Total malam siang pagi
c6_hipersomia ya Count 12 9 14 35
% within c6_hipersomia 34.3% 25.7% 40.0% 100.0%
tidak Count 31 33 27 91
% within c6_hipersomia 34.1% 36.3% 29.7% 100.0%
Total Count 43 42 41 126
% within c6_hipersomia 34.1% 33.3% 32.5% 100.0%
Crosstab
c8_menopause
Total sudah belum
c6_hipersomia ya Count 13 22 35
% within c6_hipersomia 37.1% 62.9% 100.0%
tidak Count 30 61 91
% within c6_hipersomia 33.0% 67.0% 100.0%
Total Count 43 83 126
% within c6_hipersomia 34.1% 65.9% 100.0%
7. Sindrom Pramenstruasi c7_pms * c3_kelelahan_kategorik Crosstabulation
c3_kelelahan_kategorik
Total sedang ringan tidak lelah
c7_pms gejala sedang hingga gejala berat
Count 3 15 11 29
% within c7_pms 10.3% 51.7% 37.9% 100.0%
tidak ada gejala hingga gejala ringan
Count 0 19 78 97
% within c7_pms .0% 19.6% 80.4% 100.0%
Total Count 3 34 89 126
% within c7_pms 2.4% 27.0% 70.6% 100.0%
29
8. Menopause Crosstab
c3_kelelahan_kategorik
Total sedang ringan tidak lelah
c8_menopause sudah Count 2 7 34 43
% within c8_menopause 4.7% 16.3% 79.1% 100.0%
belum Count 1 27 55 83
% within c8_menopause 1.2% 32.5% 66.3% 100.0%
Total Count 3 34 89 126
% within c8_menopause 2.4% 27.0% 70.6% 100.0%
Crosstab
c6_hipersomia
Total ya tidak
c8_menopause sudah Count 13 30 43
% within c8_menopause 30.2% 69.8% 100.0%
belum Count 22 61 83
% within c8_menopause 26.5% 73.5% 100.0%
Total Count 35 91 126
% within c8_menopause 27.8% 72.2% 100.0%
D. JAWABAN PERTANYAAN
C1A_n
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak 98 77.8 77.8 77.8
ya 28 22.2 22.2 100.0
Total 126 100.0 100.0
C1B_n
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak 78 61.9 61.9 61.9
ya 48 38.1 38.1 100.0
Total 126 100.0 100.0
C1C_n
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak 63 50.0 50.0 50.0
Ya 63 50.0 50.0 100.0
Total 126 100.0 100.0
30
C1D_n
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid ya 114 90.5 90.5 90.5
tidak 12 9.5 9.5 100.0
Total 126 100.0 100.0
c6a_rec
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak 118 93.7 93.7 93.7
ya 8 6.3 6.3 100.0
Total 126 100.0 100.0
c6b_rec
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak 124 98.4 98.4 98.4
ya 2 1.6 1.6 100.0
Total 126 100.0 100.0
b6_rec
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak 106 84.1 84.1 84.1
ya 20 15.9 15.9 100.0
Total 126 100.0 100.0
B6 Selama 1 bulan terakhir, seberapa sering Anda mengkonsumsi obat untuk
memb
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak pernah 106 84.1 84.1 84.1
1x seminggu 12 9.5 9.5 93.7
2x seminggu 7 5.6 5.6 99.2
>= 3x seminggu 1 .8 .8 100.0
Total 126 100.0 100.0