ANALISIS DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO

23
ANALISIS DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO Oleh : Golongan P2; Kelompok 1 Nurul Agustina Chandradewi F24090042 Mila Kharisma F24090043 Jian Septian F24090046 Ayu Cahyaning Wulan F24090130 Didiet Rayadi F24061503 Dosen : Ir. Sutrisno Koswara, Msc Asisten Praktikum : Dede Saputra, S.Pi, M.Si Umi Kulsum, S.TP

Transcript of ANALISIS DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO

Page 1: ANALISIS DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO

ANALISIS DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO

Oleh :

Golongan P2; Kelompok 1

Nurul Agustina Chandradewi F24090042

Mila Kharisma F24090043

Jian Septian F24090046

Ayu Cahyaning Wulan F24090130

Didiet Rayadi F24061503

Dosen : Ir. Sutrisno Koswara, Msc

Asisten Praktikum : Dede Saputra, S.Pi, M.Si

Umi Kulsum, S.TP

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR2012

Page 2: ANALISIS DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu zat gizi bahan pangan yang dikonsumsi dalam jumlah yang lebih

banyak dibandingkan komponen gizi lainnya adalah karbohidrat. Suatu bahan

makanan dikatakan memiliki nilai gizi karbohidrat yang tinggi apabila dapat diserap

dan dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi sel-sel tubuh. Pati merupakan sumber

utama karbohidrat dalam pangan yang terdiri dari fraksi amilosa dan amilopektin.

Pati adalah homopolimer glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-glikosidik. Enzim

pencernaan yang menghidrolisis pati akan memecah pati menjadi unit-unit yang

lebih kecil untuk diserap oleh sel-sel tubuh. Daya cerna pati ditentukan dengan

banyaknya pati yang dapat dihidrolisis menjadi komponen yang lebih sederhana

dalam waktu tertentu (Jacobs dan Delcour 1998).

Pati yang terdapat di pasaran tersedia dalam berbagai bentuk yang dapat dipilih

sesuai tujuan penggunaannya. Selain pati murni, terdapat juga pati hasil modifikasi

yang bertujuan untuk merubah bentuk alami pati karena memiliki keterbatasan dari

segi sifat fisik dan kimia untuk diaplikasikan pada produk pangan tertentu.

Diharapkan pati hasil modifikasi tersebut memiliki sifat yang lebih baik sesuai tujuan

modifikasinya (Liu et al. 2005). Pati resisten merupakan salah satu pati hasil

modifikasi. Salah satu contoh pati termodifikasi adalah pati tahan cerna atau pati

resisten. Prangdimurti (2007) menyatakan bahwa pati resisten adalah fraksi pati atau

produk degradasi pati yang tidak terabsorbsi dalam usus halus individu yang sehat

karena bersifat resisten terhadap perlakuan hidrolisis oleh enzim α-amilase lengkap

dan pullulanase secara in vitro. Perlakuan terhadap pati tersebut mempengaruhi sifat

daya cerna pati.

Sifat pati yang dimiliki dari setiap bahan makanan maupun hasil modifikasi

memiliki daya cerna yang berbeda-beda. Komponen lainnya yang terdapat dalam

bahan pangan, seperti zat antinutrisi, serta perlakuan yang diberikan merupakan

faktor yang dapat mempengaruhi daya cerna pati. Daya cerna pati dapat dihitung

sebagai persentase relatif terhadap pati murni (Prangdimurti 2007). Dilakukan

percobaan terhadap pati murni, tepung maizena, pati sagu, novelose, tepung jagung,

2

Page 3: ANALISIS DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO

dan tepung tapioka untuk mengetahui dan membandingkan daya cerna masing-

masing jenis tepung, serta membuktikan bahwa faktor-faktor tersebut mempengaruhi

daya cerna pati beberapa jenis tepung tersebut.

1.2 Tujuan

Mengetahui daya cerna pati masing-masing sampel, seperti tepung maizena, pati

sagu, tepung tapioka, novelose, dan tepung jagung, yang dihitung sebagai persentase

relatif terhadap pati murni. Selain itu, untuk membuktikan bahwa perlakuan

modifikasi dan komponen lain dalam bahan pangan mempengaruhi daya cerna pati

masing-masing sampel.

3

Page 4: ANALISIS DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO

2. BAHAN DAN METODE

2.1 Waktu dan Tempat

Waktu : Senin, 24 September 2012

Tempat : Laboratorium Biokimia, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB

2.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan adalah pati murni, maizena, tepung tapioka, tepung

jagung, novelose, dan pati sagu. Bahan kimia yang digunakan adalah akuades,

larutan buffer Na-fosfat 0.1 M pH 7.0, larutan enzim α amilase, pereaksi DNS

(dinitrosalisilat), dan larutan maltosa standar.

2.3 Alat

Alat-alat yang digunakan adalah pipet mohr (1ml, 5 ml, dan 10 ml), tabung

reaksi, erlemeyer, vorteks, timbangan analitik, hot plate, inkubator GFL 1083, gelas

piala, stopwatch, spektrofotometer UV-VIS dan kuvet.

2.4 Prosedur Kerja

Tahapan dalam melakukan analisis daya cerna pati secara in vitro terdiri dari,

pembuatan kurva standar dengan menggunakan larutan maltose standar untuk

mengetahui kadar maltose sampel dan analisis daya cerna pati secara in vitro yang

menggunakan metode pengukuran spektrofotometer untuk mengukur intensitas

warna yang dihasilkan akibat reaksi DNS dengan gula pereduksi. Intensitas warna

orange yang semakin tinggi mengindikasikan daya cerna pati yang tinggi.

a. Pembuatan kurva standar

4

larutan maltosa standar dengan berbagai konsentrasi 1 ml DNS

Dicampur kemudian dipanaskan 10 menit

ditambah 5 ml akuades, vorteks

diukur absorbansi pada 520 nm

Gambar 1. Pembuatan kurva standar larutan maltosa

Page 5: ANALISIS DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO

0.25 g sampeldimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup

dipanaskan dalam waterbath hingga 90 °C

didinginkan sampai 37 °C

diambil @ 1 ml dan dimasukkan ke tabung reaksi bertutup

Tabung B:ditambah 1.5 ml akuades dan 2.5 ml

bufer fosfat pH 7.0

Tabung A:ditambah 1.5 ml akuades dan

2.5 ml bufer fosfat pH 7.0

Tabung A :Ditambah 2.5 ml larutan enzim

alfa amilase

Tabung B:Ditambah 2.5 ml bufer fosfat pH 7.0

diinkubasi selama 15 menit pada 37°C

diambil 0.5 ml + 1 ml DNS

dipanaskan dalam air mendidih 10 menit

Segera didinginkan dengan air mengalir

Gambar 2. Diagram alir pengukuran daya cerna pati secara in vitro

diukur absorbansi pada λ 520 nm

Inkubasi 30 menit

ditambah 5 ml akuades, vortex

12.5 ml akuades

b. Analisis daya cerna pati in vitro

5

Page 6: ANALISIS DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO

3. DATA HASIL PERCOBAAN

Tabel 1. Data Kurva Standar Daya Cerna Pati

Konsentrasi larutan stok maltose satandar (mg/mL)

Volume larutan stok yang dipipet

Absorbansi

0,00 0,00 0,2710,10 0,30 0,3870,20 0,60 0,4830,30 0,90 0,5810,40 1,20 0,6800,50 1,50 0,810

Gambar 3. Kurva Standar Daya Cerna Pati

Tabel 2. Data Hasil Perhitungan Kadar Maltosa

SampelAbsorbansi Kadar Maltosa

Sampel Blanko sampel SampelBlanko sampel

Pati murni 1,170 0,129 0,8550 -0,1373Maizena 0,978 0,896 0,6720 0,5938Tapioca 0,677 0,131 0,3851 -0,1354Tepung jagung 0,694 0,136 0,4013 -0,1306Novelose 0,430 0,191 0,1497 -0,0782Pati sagu 1,296 0,134 0,9751 -0,1325

6

Page 7: ANALISIS DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO

Contoh perhitungan

Kadar maltose sampel maizena

y = 1.0491x + 0.2730

0.978 = 1.0491x+ 0.2730

x = 0.6720

Tabel 3. Data Hasil Perhitungan Daya Cerna Pati

SampelKadar Maltosa Daya cerna pati

(%)Sampel Blanko sampelPati murni 0,8550 -0,1373 100,00Maizena 0,6720 0,5938 7,88Tapioka 0,3851 -0,1354 52,45Tepung jagung 0,4013 -0,1306 53,60Novelose 0,1497 -0,0782 22,96Pati sagu 0,9751 -0,1325 111,62

Contoh perhitungan

Daya cerna pati maizena

Keterangan :

A = kadar maltose sampel

a = kadar maltose blanko sampel

B = kadar maltose sampel pati murni

B = kadar maltose blanko sampel pati murni

7

Page 8: ANALISIS DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO

Gambar 4. Diagram Daya Cerna Pati Sampel

8

Page 9: ANALISIS DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO

4. PEMBAHASAN

Pati adalah karbohidrat yang merupakan polimer glukosa, dan terdiri dari

amilosa dan amilopektin. Pati dapat diperoleh dari biji-bijian, umbi-umbian, sayuran,

maupun buah-buahan. Sumber alami pati antara lain adalah jagung, labu, kentang,

ubi jalar, pisang, barley, gandum, beras, sagu, amaranth, ubi kayu, ganyong, dan

sorgum (Herawati 2010). Pati juga merupakan homopolimer glukosa yang

dihubungkan oleh ikatan α-glikosidik (Sajilata 2006). Pati terdiri dari dua fraksi yang

dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarutnya merupakan amilosa, sedangkan

fraksi tidak terlarutnya merupakan amilopektin. Amilosa akan membentuk lapisan

yang transparan, yaitu larutan dengan viskositas tinggi dan berbentuk lapisan-lapisan

seperti untaian tali. Pada amilopektin cenderung tidak terjadi retrogradasi dan tidak

membentuk gel, kecuali pada konsentrasi tinggi (Woo et al. 2008). Selain

mengandung amilosa dan amilopektin, pati juga mengandung sejumlah air, lemak,

protein, dan ion mineral yang terdapat dalam matriks granula pati (Sajilata 2006).

Secara umum, pati dapat dikelompokkan menjadi pati yang dapat dicerna

dengan cepat atau rapid digestible starch (RDS) dan pati yang memiliki daya cerna

lambat atau slowly digestible starch (SDS). Contoh RDS yaitu beras dan kentang

yang telah dimasak serta beberapa sereal instan siap saji, contoh SDS adalah pati

sereal, produk pasta, dan RS, yaitu pati yang sulit dicerna di dalam usus halus (Woo

et al. 2008). Pati tahan cerna didefinisikan sebagai fraksi pati yang tahan terhadap

hidrolisis enzim pencernaan amilase dan perlakuan pulunase secara in vitro. Karena

pati banyak dijumpai dalam saluran pencernaan serta sedikit difermentasi oleh

mikroflora usus, RS sering diidentifikasi sebagai fraksi pati makanan yang sulit

dicerna di dalam usus halus sehingga memiliki fungsi untuk kesehatan. RS dapat

diklasifikasikan menjadi empat tipe, yaitu RS1, RS2, RS3, dan RS4. RS1 secara fisik

dapat diperoleh secara langsung, seperti pada biji-bijian atau leguminosa dan biji

yang tidak diproses. RS2 secara alami terdapat di dalam struktur granula, seperti

kentang yang belum dimasak, juga pada tepung pisang dan tepung jagung yang

mengandung banyak amilosa. RS3 terbentuk karena proses pengolahan dan

pendinginan, seperti pada roti, emping jagung dan kentang yang dimasak atau

didinginkan, atau retrogradasi amilosa jagung. RS4 merupakan pati hasil modifikasi

9

Page 10: ANALISIS DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO

secara kimia melalui asetilasi dan hidroksipropilasi maupun pati ikatan silang

sehingga tahan dicerna. RS1 secara fisik merupakan pati yang terperangkap di antara

matriks, protein atau dinding sel tanaman. RS2 granula pati tahan terhadap

pencernaan oleh enzim α-amilase yang terdapat dalam pankreas. RS3 merupakan pati

retrogradasi, nonanguler atau pati untuk makanan. RS4 yaitu RS yang memiliki

ikatan selain α-1,4 dan α-1,6-D-glukosidik (Shi et al. 2006).

Daya cerna pati adalah tingkat kemudahan suatu jenis pati untuk dapat

dihidrolisis oleh enzim pemecah pati menjadi unit-unit yang lebih sederhana (Nugent

2005). Beberapa faktor yang dapat menurunkan daya cerna pati, yaitu keberadaan

antinutrisis atau antiamilase (serat pangan, tannin) dan struktur kimia pati. Daya

cerna pati dihitung sebagai hasil persentase relatif terhadap pati murni (soluble

starch). Pati murni diasumsikan dapat dicerna dengan sempurna dalam saluran

pencernaan. Pati modifikasi memiliki daya cerna yang lebih rendah karena

kemungkinan mengandung pati resisten yang lebih tinggi.

Pada praktikum ini dilakukan penentuan daya cerna pati secara in vitro. Hal

ini dilakukan karena penentuan pati secara in vitro relatif lebih mudah dibandingkan

analisis secara in vivo dimana pada analisis in vivo pati biasanya sudah diubah

menjadi energi sehingga sulit untuk dianalisis daya cernanya. Sampel yang

digunakan pada praktikum ini adalah maizena, tepung jagung, tapioka, novelose, pati

sagu, dan pati murni sebagai kontrol.

Penentuan daya cerna pati secara in vitro dilakukan dengan beberapa tahap

meliputi penimbangan sampel, pemanasan awal 90 °C untuk menggelatinisasi pati,

penambahan enzim α-amilase, penginkubasian sampel pada suhu 37 °C selama 30

menit. Adanya perlakuan ini menyebabkan pati terhidrolisis oleh enzim α-amilase

menjadi unit-unit yang lebih kecil (gula sederhana). Semakin tinggi daya cerna suatu

pati berarti semakin banyak pati yang dapat dihidrolisis dalam waktu tertentu yang

ditunjukkan oleh semakin banyaknya glukosa dan maltosa yang dihasilkan. Setelah

itu, sampel direaksikan dengan larutan DNS, dipanaskan dalam air mendidih selama

10 menit, serta didinginkan dengan air mengalir. Glukosa dan maltosa dapat bereaksi

dengan pereaksi asam dinitrosalisilat, yaitu pereaksi yang digunakan pada saat

pengukuran gula pereduksi sehingga kadar keduanya dapat diukur secara

10

Page 11: ANALISIS DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO

spektrofotometri. Pengukuran absorbansi dilakukan dengan spektrofotometer pada

panjang gelombang 520nm.

Menurut Herawati (2010) hidrolisis enzim α-amilase pada amilosa melalui

dua tahap. Tahap pertama yaitu degradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa

yang terjadi secara acak. Tahap selanjutnya yaitu pembentukan glukosa dan maltosa

sebagai akhir secara tidak acak dan berjalan lebih lambat Standar dibuat

menggunakan maltosa dengan konsentrasi yang berbeda. Standar diberi perlakuan

sama seperti sampel, namun setelah pemanasan 90 oC, standar dibuat menjadi enam

konsentrasi berbeda yang kemudian kembali diberi perlakuan seperti sampel.

Berdasarkan pengukuran dengan spektrofotometer, didapat enam absorbansi yang

kemudian dibuat menjadi kurva dengan persamaan y= 1.0491x + 0.2730. Absorbansi

sampel yang telah diukur, kemudian diolah dengan rumus untuk menentukan daya

cerna pati.

Berdasarkan hasil uji in vitro terhadap daya cerna pati dari kelima sampel

serta pati murni sebagai kontrol tersebut, diketahui bahwa daya cerna pati dari yang

tertinggi hingga yang terendah secara berturut-turut adalah pati sagu (111,62%), pati

murni (100%), tepung jagung (53,60%), tapioka (52,45%), novelose (22,96%), dan

maizena (7,88%). Menurut hasil penelitian Herawati (2010), pati pada tepung

memiliki daya cerna yang lebih rendah daripada pati murni. Daya cerna pati sagu

adalah 97,4% dan pati jagung (maizena) 95,8%. Dengan demikian, daya cerna pati

sagu yang didapat dari hasil praktikum menunjukkan daya cerna yang lebih tinggi

daripada daya cerna pati murni, sedangkan hasil uji daya cerna pati maizena yang

didapat pada praktikum lebih rendah daripada literatur.

Daya cerna pati dipengaruhi oleh komposisi amilosa atau amilopektin.

Sampai saat ini masih terjadi perbedaan pendapat diantara ilmuwan mengenai

hubungan kecepatan pencernaan pati dengan kandungan amilosa-amilopektin.

Sebagian besar ilmuwan berpendapat bahwa amilosa dicerna lebih lambat

dibandingkan dengan amilopektin karena amilosa merupakan polimer dari gula

sederhana dengan rantai lurus, tidak bercabang. Rantai yang lurus ini menyusun

ikatan amilosa yang solid sehingga tidak mudah tergelatinasi. Oleh karena itu

11

Page 12: ANALISIS DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO

amilosa lebih sulit dicerna dibandingkan dengan amilopektin yang merupakan

polimer gula sederhana, bercabang dan struktur terbuka (Behall & Hallfrisch 2002).

Berdasarkan karakteristik tersebut maka pangan yang mengandung amilosa

tinggi memiliki aktivitas hipoglikemik lebih tinggi dibandingkan dengan pangan

yang mengandung amilopektin tinggi. Namun sebaliknya, berdasarkan mekanisme

hidrolisis enzimatis, amilosa dapat dihidrolisis hanya dengan satu enzim yaitu α-

amilase. Sedangkan amilopektin, karena mempunyai rantai cabang, maka pertama

kali yang dihidrolisis adalah bagian luar oleh α-amilase, kemudian dilanjutkan oleh

α-(1,6) glukosidase. Selain itu, berat molekul amilopektin lebih besar dibandingkan

dengan amilosa. Berdasarkan pertimbangan ini, maka amilopektin memerlukan

waktu yang lebih lama untuk dicerna dibandingkan dengan amilosa (Liu & Kennedy

2005).

Novelose merupakan pati jagung termodifikasi melalui proses penambahan

enzim atau mikroba penghasil enzim. Prinsip dasar penggunaan enzim untuk

produksi RS yaitu mengubah struktur pati sehingga diperoleh pati yang banyak

mengandung amilosa. Proses tersebut dapat dilakukan dengan cara mengubah

struktur amilopektin dengan glukanotransferase untuk meluruskan rantai, atau

mengubah ikatan cabang menjadi lurus seperti struktur amilosa. Fragmen amilosa

tersebut selanjutnya dapat dikristalisasi untuk digunakan sebagai RS. Enzim

berfungsi memecah rantai sehingga menjadi lebih pendek. Semakin sedikit rantai

yang berukuran panjang, daya tahan cerna pati akan meningkat. Pati jagung yang

dimodifikasi dengan glukanotransferase mengandung sedikitnya 35% derajat

polimerisasi 35 (DP35). Novelose diklaim sebagai bahan pangan untuk kesehatan

karena kaya akan sumber serat pangan serta memiliki kandungan karbohidrat cukup

rendah (nilai kalori rendah). Berdasarkan pemaparan ini, hasil uji daya cerna pati

secara in vitro terhadap Novelose seharusnya memiliki presentase terendah. Namun,

hasil praktikum menunjukkan bahwa maizena merupakan pati dengan daya cerna

terendah. Hal ini dapat kemungkinan disebabkan karena sampel maizena yang diuji

merupakan merupakan pati jagung resisten tipe 2 (RS2) yang memiliki bentuk

granula dan tahan terhadap enzim pencernaan. RS2 akan meninggalkan residu serat

dan lambat dicerna di dalam usus halus (Herawati 2010).

12

Page 13: ANALISIS DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO

Sampel tepung jagung memiliki daya cerna pati in vitro yang cukup tinggi

dan presentasenya hampir sama dengan tapioka. Hal ini kemungkinan dikarenakan

tidak terdapat modifikasi pati sehingga dapat dipecah dengan mudah oleh enzim α-

amilase. Selain itu, tepung masih mengandung komponen lain seperti protein, lemak,

dan mineral, berbeda halnya dengan pati yang telah melalui proses ekstraksi

sehingga kadar patinya dapat dioptimumkan. Berdasarkan hasil uji, tapioka dan pati

murni memiliki daya cerna yang lebih rendah daripada pati sagu. Hal ini

kemungkinan disebabkan oleh kurang sempurnanya prosedur pemanasan awal untuk

menggelatinisasi pati, sehingga fraksi amilosa dan amilopektin dalam granula pati

tidak bebas sepenuhnya. Akibatnya, hasil uji mengalami kesalahan negatif. Pada saat

praktikum, sampel pati yang digelatinisasi belum mencapai sifat translusen dimana

indeks refraksi butir-butir pati yang membengkak mendekati indeks refraksi air

(Winarno 2002). Hal ini menunjukkan bahwa proses gelatinisasi belum optimum.

13

Page 14: ANALISIS DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO

5. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil uji in vitro terhadap daya cerna pati dari kelima sampel

serta pati murni sebagai kontrol tersebut, diketahui bahwa daya cerna pati dari yang

tertinggi hingga yang terendah secara berturut-turut adalah pati sagu, pati murni,

tepung jagung, tapioka, novelose, dan maizena. Faktor yang dapat menurunkan daya

cerna pati, yaitu keberadaan antinutrisis atau antiamilase (serat pangan, tannin) dan

struktur kimia pati. Maizena merupakan pati dengan daya cerna terendah. Hal ini

kemungkinan disebabkan karena sampel maizena yang diuji merupakan merupakan

pati jagung resisten tipe 2 (RS2) yang memiliki bentuk granula dan tahan terhadap

enzim pencernaan. RS2 akan meninggalkan residu serat dan lambat dicerna di dalam

usus halus.

14

Page 15: ANALISIS DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO

6. DAFTAR PUSTAKA

Behall, K.M. and J. Hallfrisch. 2002. Plasma glucoce and insulin reduction after

consumption of bread varying in amylose content. Eur J Clin Nutr 56 (9):913-

920.

Herawati, Heny. 2010. Potensi Pengembangan Produk Pati Tahan Cerna Sebagai

Pangan Fungsional. Jurnal Litbang Petanian 30 (1) 2011. Jawa Tengah:

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.

Jacobs, H. and J.A. Delcour. 1998. Hydrothermal modifications of granular starch

with retention of the granular structure: Review. J. Agric. Food Chem. 46(8):

2895−2905.

Liu, Z., L. Peng, and J.F. Kennedy. 2005. The technology of molecular manipulation

and modification. Asisted by Microwaves as Applied to Starch Granules.

Carbohydrate Polymers, 61: 374−378.

Nugent, A.P. 2005. Health properties of resistant starch. Br. Nutr. Foundation Nutr.

Bull. 30:27–54.

Prangdimurti, E, NS Palupi, FR Zakaria. 2007. Modul E-Learning ENBP.

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan : IPB.

Sajilata MG, SS Rekha dan RK Puspha. 2006. Resistant starch-a review. J.

Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety, Vol. 5

Winarno F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Woo K., S. Bassi, C.C. Maningat, L. Zhao, Y.H. Zheng, L. Nie, M. Parker, S.

Ranjan, J. Gaul, C.T. Dohl, G.J. Stempien. 2008. Resistant starch-

hydrocolloid blends and uses thereof. US Patent 20080233260.

15