ANALISIS DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO
-
Upload
jian-septian -
Category
Documents
-
view
1.420 -
download
30
Transcript of ANALISIS DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO
ANALISIS DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO
Oleh :
Golongan P2; Kelompok 1
Nurul Agustina Chandradewi F24090042
Mila Kharisma F24090043
Jian Septian F24090046
Ayu Cahyaning Wulan F24090130
Didiet Rayadi F24061503
Dosen : Ir. Sutrisno Koswara, Msc
Asisten Praktikum : Dede Saputra, S.Pi, M.Si
Umi Kulsum, S.TP
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR2012
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu zat gizi bahan pangan yang dikonsumsi dalam jumlah yang lebih
banyak dibandingkan komponen gizi lainnya adalah karbohidrat. Suatu bahan
makanan dikatakan memiliki nilai gizi karbohidrat yang tinggi apabila dapat diserap
dan dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi sel-sel tubuh. Pati merupakan sumber
utama karbohidrat dalam pangan yang terdiri dari fraksi amilosa dan amilopektin.
Pati adalah homopolimer glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-glikosidik. Enzim
pencernaan yang menghidrolisis pati akan memecah pati menjadi unit-unit yang
lebih kecil untuk diserap oleh sel-sel tubuh. Daya cerna pati ditentukan dengan
banyaknya pati yang dapat dihidrolisis menjadi komponen yang lebih sederhana
dalam waktu tertentu (Jacobs dan Delcour 1998).
Pati yang terdapat di pasaran tersedia dalam berbagai bentuk yang dapat dipilih
sesuai tujuan penggunaannya. Selain pati murni, terdapat juga pati hasil modifikasi
yang bertujuan untuk merubah bentuk alami pati karena memiliki keterbatasan dari
segi sifat fisik dan kimia untuk diaplikasikan pada produk pangan tertentu.
Diharapkan pati hasil modifikasi tersebut memiliki sifat yang lebih baik sesuai tujuan
modifikasinya (Liu et al. 2005). Pati resisten merupakan salah satu pati hasil
modifikasi. Salah satu contoh pati termodifikasi adalah pati tahan cerna atau pati
resisten. Prangdimurti (2007) menyatakan bahwa pati resisten adalah fraksi pati atau
produk degradasi pati yang tidak terabsorbsi dalam usus halus individu yang sehat
karena bersifat resisten terhadap perlakuan hidrolisis oleh enzim α-amilase lengkap
dan pullulanase secara in vitro. Perlakuan terhadap pati tersebut mempengaruhi sifat
daya cerna pati.
Sifat pati yang dimiliki dari setiap bahan makanan maupun hasil modifikasi
memiliki daya cerna yang berbeda-beda. Komponen lainnya yang terdapat dalam
bahan pangan, seperti zat antinutrisi, serta perlakuan yang diberikan merupakan
faktor yang dapat mempengaruhi daya cerna pati. Daya cerna pati dapat dihitung
sebagai persentase relatif terhadap pati murni (Prangdimurti 2007). Dilakukan
percobaan terhadap pati murni, tepung maizena, pati sagu, novelose, tepung jagung,
2
dan tepung tapioka untuk mengetahui dan membandingkan daya cerna masing-
masing jenis tepung, serta membuktikan bahwa faktor-faktor tersebut mempengaruhi
daya cerna pati beberapa jenis tepung tersebut.
1.2 Tujuan
Mengetahui daya cerna pati masing-masing sampel, seperti tepung maizena, pati
sagu, tepung tapioka, novelose, dan tepung jagung, yang dihitung sebagai persentase
relatif terhadap pati murni. Selain itu, untuk membuktikan bahwa perlakuan
modifikasi dan komponen lain dalam bahan pangan mempengaruhi daya cerna pati
masing-masing sampel.
3
2. BAHAN DAN METODE
2.1 Waktu dan Tempat
Waktu : Senin, 24 September 2012
Tempat : Laboratorium Biokimia, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB
2.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah pati murni, maizena, tepung tapioka, tepung
jagung, novelose, dan pati sagu. Bahan kimia yang digunakan adalah akuades,
larutan buffer Na-fosfat 0.1 M pH 7.0, larutan enzim α amilase, pereaksi DNS
(dinitrosalisilat), dan larutan maltosa standar.
2.3 Alat
Alat-alat yang digunakan adalah pipet mohr (1ml, 5 ml, dan 10 ml), tabung
reaksi, erlemeyer, vorteks, timbangan analitik, hot plate, inkubator GFL 1083, gelas
piala, stopwatch, spektrofotometer UV-VIS dan kuvet.
2.4 Prosedur Kerja
Tahapan dalam melakukan analisis daya cerna pati secara in vitro terdiri dari,
pembuatan kurva standar dengan menggunakan larutan maltose standar untuk
mengetahui kadar maltose sampel dan analisis daya cerna pati secara in vitro yang
menggunakan metode pengukuran spektrofotometer untuk mengukur intensitas
warna yang dihasilkan akibat reaksi DNS dengan gula pereduksi. Intensitas warna
orange yang semakin tinggi mengindikasikan daya cerna pati yang tinggi.
a. Pembuatan kurva standar
4
larutan maltosa standar dengan berbagai konsentrasi 1 ml DNS
Dicampur kemudian dipanaskan 10 menit
ditambah 5 ml akuades, vorteks
diukur absorbansi pada 520 nm
Gambar 1. Pembuatan kurva standar larutan maltosa
0.25 g sampeldimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup
dipanaskan dalam waterbath hingga 90 °C
didinginkan sampai 37 °C
diambil @ 1 ml dan dimasukkan ke tabung reaksi bertutup
Tabung B:ditambah 1.5 ml akuades dan 2.5 ml
bufer fosfat pH 7.0
Tabung A:ditambah 1.5 ml akuades dan
2.5 ml bufer fosfat pH 7.0
Tabung A :Ditambah 2.5 ml larutan enzim
alfa amilase
Tabung B:Ditambah 2.5 ml bufer fosfat pH 7.0
diinkubasi selama 15 menit pada 37°C
diambil 0.5 ml + 1 ml DNS
dipanaskan dalam air mendidih 10 menit
Segera didinginkan dengan air mengalir
Gambar 2. Diagram alir pengukuran daya cerna pati secara in vitro
diukur absorbansi pada λ 520 nm
Inkubasi 30 menit
ditambah 5 ml akuades, vortex
12.5 ml akuades
b. Analisis daya cerna pati in vitro
5
3. DATA HASIL PERCOBAAN
Tabel 1. Data Kurva Standar Daya Cerna Pati
Konsentrasi larutan stok maltose satandar (mg/mL)
Volume larutan stok yang dipipet
Absorbansi
0,00 0,00 0,2710,10 0,30 0,3870,20 0,60 0,4830,30 0,90 0,5810,40 1,20 0,6800,50 1,50 0,810
Gambar 3. Kurva Standar Daya Cerna Pati
Tabel 2. Data Hasil Perhitungan Kadar Maltosa
SampelAbsorbansi Kadar Maltosa
Sampel Blanko sampel SampelBlanko sampel
Pati murni 1,170 0,129 0,8550 -0,1373Maizena 0,978 0,896 0,6720 0,5938Tapioca 0,677 0,131 0,3851 -0,1354Tepung jagung 0,694 0,136 0,4013 -0,1306Novelose 0,430 0,191 0,1497 -0,0782Pati sagu 1,296 0,134 0,9751 -0,1325
6
Contoh perhitungan
Kadar maltose sampel maizena
y = 1.0491x + 0.2730
0.978 = 1.0491x+ 0.2730
x = 0.6720
Tabel 3. Data Hasil Perhitungan Daya Cerna Pati
SampelKadar Maltosa Daya cerna pati
(%)Sampel Blanko sampelPati murni 0,8550 -0,1373 100,00Maizena 0,6720 0,5938 7,88Tapioka 0,3851 -0,1354 52,45Tepung jagung 0,4013 -0,1306 53,60Novelose 0,1497 -0,0782 22,96Pati sagu 0,9751 -0,1325 111,62
Contoh perhitungan
Daya cerna pati maizena
Keterangan :
A = kadar maltose sampel
a = kadar maltose blanko sampel
B = kadar maltose sampel pati murni
B = kadar maltose blanko sampel pati murni
7
Gambar 4. Diagram Daya Cerna Pati Sampel
8
4. PEMBAHASAN
Pati adalah karbohidrat yang merupakan polimer glukosa, dan terdiri dari
amilosa dan amilopektin. Pati dapat diperoleh dari biji-bijian, umbi-umbian, sayuran,
maupun buah-buahan. Sumber alami pati antara lain adalah jagung, labu, kentang,
ubi jalar, pisang, barley, gandum, beras, sagu, amaranth, ubi kayu, ganyong, dan
sorgum (Herawati 2010). Pati juga merupakan homopolimer glukosa yang
dihubungkan oleh ikatan α-glikosidik (Sajilata 2006). Pati terdiri dari dua fraksi yang
dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarutnya merupakan amilosa, sedangkan
fraksi tidak terlarutnya merupakan amilopektin. Amilosa akan membentuk lapisan
yang transparan, yaitu larutan dengan viskositas tinggi dan berbentuk lapisan-lapisan
seperti untaian tali. Pada amilopektin cenderung tidak terjadi retrogradasi dan tidak
membentuk gel, kecuali pada konsentrasi tinggi (Woo et al. 2008). Selain
mengandung amilosa dan amilopektin, pati juga mengandung sejumlah air, lemak,
protein, dan ion mineral yang terdapat dalam matriks granula pati (Sajilata 2006).
Secara umum, pati dapat dikelompokkan menjadi pati yang dapat dicerna
dengan cepat atau rapid digestible starch (RDS) dan pati yang memiliki daya cerna
lambat atau slowly digestible starch (SDS). Contoh RDS yaitu beras dan kentang
yang telah dimasak serta beberapa sereal instan siap saji, contoh SDS adalah pati
sereal, produk pasta, dan RS, yaitu pati yang sulit dicerna di dalam usus halus (Woo
et al. 2008). Pati tahan cerna didefinisikan sebagai fraksi pati yang tahan terhadap
hidrolisis enzim pencernaan amilase dan perlakuan pulunase secara in vitro. Karena
pati banyak dijumpai dalam saluran pencernaan serta sedikit difermentasi oleh
mikroflora usus, RS sering diidentifikasi sebagai fraksi pati makanan yang sulit
dicerna di dalam usus halus sehingga memiliki fungsi untuk kesehatan. RS dapat
diklasifikasikan menjadi empat tipe, yaitu RS1, RS2, RS3, dan RS4. RS1 secara fisik
dapat diperoleh secara langsung, seperti pada biji-bijian atau leguminosa dan biji
yang tidak diproses. RS2 secara alami terdapat di dalam struktur granula, seperti
kentang yang belum dimasak, juga pada tepung pisang dan tepung jagung yang
mengandung banyak amilosa. RS3 terbentuk karena proses pengolahan dan
pendinginan, seperti pada roti, emping jagung dan kentang yang dimasak atau
didinginkan, atau retrogradasi amilosa jagung. RS4 merupakan pati hasil modifikasi
9
secara kimia melalui asetilasi dan hidroksipropilasi maupun pati ikatan silang
sehingga tahan dicerna. RS1 secara fisik merupakan pati yang terperangkap di antara
matriks, protein atau dinding sel tanaman. RS2 granula pati tahan terhadap
pencernaan oleh enzim α-amilase yang terdapat dalam pankreas. RS3 merupakan pati
retrogradasi, nonanguler atau pati untuk makanan. RS4 yaitu RS yang memiliki
ikatan selain α-1,4 dan α-1,6-D-glukosidik (Shi et al. 2006).
Daya cerna pati adalah tingkat kemudahan suatu jenis pati untuk dapat
dihidrolisis oleh enzim pemecah pati menjadi unit-unit yang lebih sederhana (Nugent
2005). Beberapa faktor yang dapat menurunkan daya cerna pati, yaitu keberadaan
antinutrisis atau antiamilase (serat pangan, tannin) dan struktur kimia pati. Daya
cerna pati dihitung sebagai hasil persentase relatif terhadap pati murni (soluble
starch). Pati murni diasumsikan dapat dicerna dengan sempurna dalam saluran
pencernaan. Pati modifikasi memiliki daya cerna yang lebih rendah karena
kemungkinan mengandung pati resisten yang lebih tinggi.
Pada praktikum ini dilakukan penentuan daya cerna pati secara in vitro. Hal
ini dilakukan karena penentuan pati secara in vitro relatif lebih mudah dibandingkan
analisis secara in vivo dimana pada analisis in vivo pati biasanya sudah diubah
menjadi energi sehingga sulit untuk dianalisis daya cernanya. Sampel yang
digunakan pada praktikum ini adalah maizena, tepung jagung, tapioka, novelose, pati
sagu, dan pati murni sebagai kontrol.
Penentuan daya cerna pati secara in vitro dilakukan dengan beberapa tahap
meliputi penimbangan sampel, pemanasan awal 90 °C untuk menggelatinisasi pati,
penambahan enzim α-amilase, penginkubasian sampel pada suhu 37 °C selama 30
menit. Adanya perlakuan ini menyebabkan pati terhidrolisis oleh enzim α-amilase
menjadi unit-unit yang lebih kecil (gula sederhana). Semakin tinggi daya cerna suatu
pati berarti semakin banyak pati yang dapat dihidrolisis dalam waktu tertentu yang
ditunjukkan oleh semakin banyaknya glukosa dan maltosa yang dihasilkan. Setelah
itu, sampel direaksikan dengan larutan DNS, dipanaskan dalam air mendidih selama
10 menit, serta didinginkan dengan air mengalir. Glukosa dan maltosa dapat bereaksi
dengan pereaksi asam dinitrosalisilat, yaitu pereaksi yang digunakan pada saat
pengukuran gula pereduksi sehingga kadar keduanya dapat diukur secara
10
spektrofotometri. Pengukuran absorbansi dilakukan dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 520nm.
Menurut Herawati (2010) hidrolisis enzim α-amilase pada amilosa melalui
dua tahap. Tahap pertama yaitu degradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa
yang terjadi secara acak. Tahap selanjutnya yaitu pembentukan glukosa dan maltosa
sebagai akhir secara tidak acak dan berjalan lebih lambat Standar dibuat
menggunakan maltosa dengan konsentrasi yang berbeda. Standar diberi perlakuan
sama seperti sampel, namun setelah pemanasan 90 oC, standar dibuat menjadi enam
konsentrasi berbeda yang kemudian kembali diberi perlakuan seperti sampel.
Berdasarkan pengukuran dengan spektrofotometer, didapat enam absorbansi yang
kemudian dibuat menjadi kurva dengan persamaan y= 1.0491x + 0.2730. Absorbansi
sampel yang telah diukur, kemudian diolah dengan rumus untuk menentukan daya
cerna pati.
Berdasarkan hasil uji in vitro terhadap daya cerna pati dari kelima sampel
serta pati murni sebagai kontrol tersebut, diketahui bahwa daya cerna pati dari yang
tertinggi hingga yang terendah secara berturut-turut adalah pati sagu (111,62%), pati
murni (100%), tepung jagung (53,60%), tapioka (52,45%), novelose (22,96%), dan
maizena (7,88%). Menurut hasil penelitian Herawati (2010), pati pada tepung
memiliki daya cerna yang lebih rendah daripada pati murni. Daya cerna pati sagu
adalah 97,4% dan pati jagung (maizena) 95,8%. Dengan demikian, daya cerna pati
sagu yang didapat dari hasil praktikum menunjukkan daya cerna yang lebih tinggi
daripada daya cerna pati murni, sedangkan hasil uji daya cerna pati maizena yang
didapat pada praktikum lebih rendah daripada literatur.
Daya cerna pati dipengaruhi oleh komposisi amilosa atau amilopektin.
Sampai saat ini masih terjadi perbedaan pendapat diantara ilmuwan mengenai
hubungan kecepatan pencernaan pati dengan kandungan amilosa-amilopektin.
Sebagian besar ilmuwan berpendapat bahwa amilosa dicerna lebih lambat
dibandingkan dengan amilopektin karena amilosa merupakan polimer dari gula
sederhana dengan rantai lurus, tidak bercabang. Rantai yang lurus ini menyusun
ikatan amilosa yang solid sehingga tidak mudah tergelatinasi. Oleh karena itu
11
amilosa lebih sulit dicerna dibandingkan dengan amilopektin yang merupakan
polimer gula sederhana, bercabang dan struktur terbuka (Behall & Hallfrisch 2002).
Berdasarkan karakteristik tersebut maka pangan yang mengandung amilosa
tinggi memiliki aktivitas hipoglikemik lebih tinggi dibandingkan dengan pangan
yang mengandung amilopektin tinggi. Namun sebaliknya, berdasarkan mekanisme
hidrolisis enzimatis, amilosa dapat dihidrolisis hanya dengan satu enzim yaitu α-
amilase. Sedangkan amilopektin, karena mempunyai rantai cabang, maka pertama
kali yang dihidrolisis adalah bagian luar oleh α-amilase, kemudian dilanjutkan oleh
α-(1,6) glukosidase. Selain itu, berat molekul amilopektin lebih besar dibandingkan
dengan amilosa. Berdasarkan pertimbangan ini, maka amilopektin memerlukan
waktu yang lebih lama untuk dicerna dibandingkan dengan amilosa (Liu & Kennedy
2005).
Novelose merupakan pati jagung termodifikasi melalui proses penambahan
enzim atau mikroba penghasil enzim. Prinsip dasar penggunaan enzim untuk
produksi RS yaitu mengubah struktur pati sehingga diperoleh pati yang banyak
mengandung amilosa. Proses tersebut dapat dilakukan dengan cara mengubah
struktur amilopektin dengan glukanotransferase untuk meluruskan rantai, atau
mengubah ikatan cabang menjadi lurus seperti struktur amilosa. Fragmen amilosa
tersebut selanjutnya dapat dikristalisasi untuk digunakan sebagai RS. Enzim
berfungsi memecah rantai sehingga menjadi lebih pendek. Semakin sedikit rantai
yang berukuran panjang, daya tahan cerna pati akan meningkat. Pati jagung yang
dimodifikasi dengan glukanotransferase mengandung sedikitnya 35% derajat
polimerisasi 35 (DP35). Novelose diklaim sebagai bahan pangan untuk kesehatan
karena kaya akan sumber serat pangan serta memiliki kandungan karbohidrat cukup
rendah (nilai kalori rendah). Berdasarkan pemaparan ini, hasil uji daya cerna pati
secara in vitro terhadap Novelose seharusnya memiliki presentase terendah. Namun,
hasil praktikum menunjukkan bahwa maizena merupakan pati dengan daya cerna
terendah. Hal ini dapat kemungkinan disebabkan karena sampel maizena yang diuji
merupakan merupakan pati jagung resisten tipe 2 (RS2) yang memiliki bentuk
granula dan tahan terhadap enzim pencernaan. RS2 akan meninggalkan residu serat
dan lambat dicerna di dalam usus halus (Herawati 2010).
12
Sampel tepung jagung memiliki daya cerna pati in vitro yang cukup tinggi
dan presentasenya hampir sama dengan tapioka. Hal ini kemungkinan dikarenakan
tidak terdapat modifikasi pati sehingga dapat dipecah dengan mudah oleh enzim α-
amilase. Selain itu, tepung masih mengandung komponen lain seperti protein, lemak,
dan mineral, berbeda halnya dengan pati yang telah melalui proses ekstraksi
sehingga kadar patinya dapat dioptimumkan. Berdasarkan hasil uji, tapioka dan pati
murni memiliki daya cerna yang lebih rendah daripada pati sagu. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh kurang sempurnanya prosedur pemanasan awal untuk
menggelatinisasi pati, sehingga fraksi amilosa dan amilopektin dalam granula pati
tidak bebas sepenuhnya. Akibatnya, hasil uji mengalami kesalahan negatif. Pada saat
praktikum, sampel pati yang digelatinisasi belum mencapai sifat translusen dimana
indeks refraksi butir-butir pati yang membengkak mendekati indeks refraksi air
(Winarno 2002). Hal ini menunjukkan bahwa proses gelatinisasi belum optimum.
13
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil uji in vitro terhadap daya cerna pati dari kelima sampel
serta pati murni sebagai kontrol tersebut, diketahui bahwa daya cerna pati dari yang
tertinggi hingga yang terendah secara berturut-turut adalah pati sagu, pati murni,
tepung jagung, tapioka, novelose, dan maizena. Faktor yang dapat menurunkan daya
cerna pati, yaitu keberadaan antinutrisis atau antiamilase (serat pangan, tannin) dan
struktur kimia pati. Maizena merupakan pati dengan daya cerna terendah. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena sampel maizena yang diuji merupakan merupakan
pati jagung resisten tipe 2 (RS2) yang memiliki bentuk granula dan tahan terhadap
enzim pencernaan. RS2 akan meninggalkan residu serat dan lambat dicerna di dalam
usus halus.
14
6. DAFTAR PUSTAKA
Behall, K.M. and J. Hallfrisch. 2002. Plasma glucoce and insulin reduction after
consumption of bread varying in amylose content. Eur J Clin Nutr 56 (9):913-
920.
Herawati, Heny. 2010. Potensi Pengembangan Produk Pati Tahan Cerna Sebagai
Pangan Fungsional. Jurnal Litbang Petanian 30 (1) 2011. Jawa Tengah:
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.
Jacobs, H. and J.A. Delcour. 1998. Hydrothermal modifications of granular starch
with retention of the granular structure: Review. J. Agric. Food Chem. 46(8):
2895−2905.
Liu, Z., L. Peng, and J.F. Kennedy. 2005. The technology of molecular manipulation
and modification. Asisted by Microwaves as Applied to Starch Granules.
Carbohydrate Polymers, 61: 374−378.
Nugent, A.P. 2005. Health properties of resistant starch. Br. Nutr. Foundation Nutr.
Bull. 30:27–54.
Prangdimurti, E, NS Palupi, FR Zakaria. 2007. Modul E-Learning ENBP.
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan : IPB.
Sajilata MG, SS Rekha dan RK Puspha. 2006. Resistant starch-a review. J.
Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety, Vol. 5
Winarno F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Woo K., S. Bassi, C.C. Maningat, L. Zhao, Y.H. Zheng, L. Nie, M. Parker, S.
Ranjan, J. Gaul, C.T. Dohl, G.J. Stempien. 2008. Resistant starch-
hydrocolloid blends and uses thereof. US Patent 20080233260.
15