ANALISIS DAN PEMETAAN INDEKS KEKERINGAN METEOROLOGIS … · METEOROLOGIS MENGGUNAKAN DATA SATELIT...

74
ANALISIS DAN PEMETAAN INDEKS KEKERINGAN METEOROLOGIS MENGGUNAKAN DATA SATELIT TRMM DARI 36 TITIK STASIUN BMKG DI PULAU SUMATERA NOFRIYADI WIDODO DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Transcript of ANALISIS DAN PEMETAAN INDEKS KEKERINGAN METEOROLOGIS … · METEOROLOGIS MENGGUNAKAN DATA SATELIT...

ANALISIS DAN PEMETAAN INDEKS KEKERINGAN

METEOROLOGIS MENGGUNAKAN DATA SATELIT TRMM

DARI 36 TITIK STASIUN BMKG DI PULAU SUMATERA

NOFRIYADI WIDODO

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis dan Pemetaan

Indeks Kekeringan Meteorologis Menggunakan Data Satelit TRMM dari 36 Titik

Stasiun BMKG di Pulau Sumatera adalah benar karya saya dengan arahan dari

komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun untuk

mendapatkan gelar kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013

Nofriyadi Widodo

NIM G24090010

ABSTRAK

NOFRIYADI WIDODO. Analisis dan Pemetaan Indeks Kekeringan

Meteorologis Menggunakan Data Satelit TRMM dari 36 Titik Stasiun BMKG

di Pulau Sumatera. Dibimbing oleh HIDAYAT PAWITAN.

Kriteria kekeringan pada suatu wilayah dapat ditentukan dengan

menggunakan beberapa metode yang menghitung nilai indeks kekeringan

wilayah tersebut. SPI (Standardized Precipitation Index) merupakan salah

satu metode yang dapat digunakan untuk menghitung tingkat kekeringan

meteorologis bulanan di suatu wilayah. Curah hujan merupakan faktor utama

yang mempengaruhi kekeringan meteorologis. Satelit TRMM menyediakan

data dugaan curah hujan sehingga data tersebut dapat digunakan untuk

menghitung nilai indeks kekeringan meteorologis di suatu wilayah. Validasi

nilai curah hujan dugaan dengan nilai pengamatan menunjukkan korelasi

positif pada selang kepercayaan 95%, sehingga data TRMM dapat digunakan

untuk tujuan analisis indeks kekeringan meteorologis.Nilai indeks kekeringan

meteorologis pulau Sumatera tahun 2001 samapai 2010 berkisar antara -2,51

sampai 2,67 yang menunjukkan kriteria sangat kering sampai sangat basah.

Pemetaan indeks kekeringan bulanan menunjukkan kekeringan dominan

terjadi pada Juni dan Juli yang terjadi hampir setiap tahun kecuali tahun 2006

pada bulan Juni dan tahun 2004 bulan Juli. Indeks tersebut juga

menggambarkan wilayah yang kering pada bulan basah seperti bulan

November tahun 2001, 2004, 2006, dan 2007 serta bulan Desember tahun

2001, 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2010. Wilayah yang sering mengalami

kekeringan meteorologis dari hasil pemetaan adalah Sumatera Utara, Riau,

Sumatera Selatan, dan Lampung. Kekeringan dengan kriteria sangat kering di

Sumatera Utara terjadi pada Agustus 2004 dan September 2005, dengan

wilayah yang sering mengalami kekeringan adalah bagian selatan dan timur

Sumatera Utara. Kondisi sangat kering di Riau terjadi pada April 2005,

hampir seluruh wilayah Riau mengalami kekeringan terutama pada bulan Mei,

Juni, dan Juli bahkan kekeringan juga terjadi pada bulan Desember, Januari,

dan Maret. Kekeringan dengan kriteria sangat kering terjadi di Sumatera

Selatan pada Maret 2007 dan Desember 2008. Kekeringan di Sumatera

Selatan meliputi wilayah bagian barat, utara dan selatan dan kekeringan sering

terjadi pada bulan Mei, Juni, dan Juli. Seluruh wilayah Lampung mengalami

kekeringan dengan kriteria sangat kering pada bulan April tahun 2005 dan

bulan Mei tahun 2008 serta kekeringan sering terjadi di awal tahun pada bulan

Februari, Maret, April dan bulan Mei.

Kata kunci: Data TRMM, Kriteria kekeringan, SPI (Standardized Precipitation

Index)

ABSTRACT

NOFRIYADI WIDODO. Analysis and Mapping of Meteorological Drought

Index Based on TRMM Data Satellite from 36 Point of BMKG Station in

Sumatera. Supervised by HIDAYAT PAWITAN. Drought index criteria in a region can be determined by using a method

that calculates drought index value of the region. SPI (Standardized Precipitation

Index) is a method that can be used to calculate the level of monthly

meteorological drought in the region. Rainfall is the main factor affecting the

meteorological drought. TRMM satellite provides estimated rainfall data that can

be used to calculate the value of meteorological drought index in a region.

Validation of estimated rainfall data with observation data showed a positive

correlation at convidence interval 95%. Meteorological drought index value of

Sumatra Island in 2001 to 2010 ranged from -2.51 to 2.67 indicating the criteria

very dry to very wet. Mapping monthly drought index indicates the dominant

drought occurred in June and July which happens almost every year except in

2006 on June and 2004 on July. The index also describes dry region in wet months

such as November in 2001, 2004, 2006, and 2007 also December in 2001, 2005,

2006, 2007, 2008 and 2010. Areas that often experience drought meteorology of

the mapping are North Sumatera, Riau, South Sumatra, and Lampung. Very dry

drought criteria in North Sumatra occurred in August 2004 and September 2005,

with the region experiencing frequent droughts is part of the south and east of

North Sumatra. Very dry conditions in Riau occurred in April 2005 and almost all

regions of Riau showed drought especially in May, June, and July even drought

also occurred in December, January, and March. Very dry drought criteria

occurred in South Sumatra in March 2007 and December 2008. Drought in South

Sumatra covers an area to the west, north, and south droughts often occur in May,

June, and July. The whole area of Lampung experiencing extremely dry drought

criteria in April 2005 and 2008, drought often occurs at the beginning of the year

such as February, March, April and May.

Keywords: Drought index, SPI (Standardized Precipitation Index), TRMM

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains

pada

Mayor Meteorologi Terapan

ANALISIS DAN PEMETAAN INDEKS KEKERINGAN

METEOROLOGIS MENGGUNAKAN DATA SATELIT TRMM

DARI 36 TITIK STASIUN BMKG DI PULAU SUMATERA

NOFRIYADI WIDODO

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

Judul Skripsi: Analisis dan Pemetaan Indeks Kekeringan Meteorologis Menggunakan Data Satelit TRMM dari 36 Titik Stasiun BMKO di Pulau Sumatera.

Nama : Nofriyadi Wi dodo NIM : 024090010

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Hidayat Pawitan, MScE Pembimbing

Tanggal Lulus: 0 1 OCT 2013

Judul Skripsi : Analisis dan Pemetaan Indeks Kekeringan Meteorologis

Menggunakan Data Satelit TRMM dari 36 Titik Stasiun BMKG di

Pulau Sumatera.

Nama : Nofriyadi Widodo

NIM : G24090010

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Hidayat Pawitan, MScE

Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Rini Hidayati, MS

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 ini ialah

kekeringan, dengan judul Analisis dan Pemetaan Indeks Kekeringan Meteorologis

Menggunakan Data Satelit TRMM dari 36 Titik Stasiun BMKG di Pulau

Sumatera.

Terima kasih penulis kepada Ayah dan Ibunda tercinta, yang selalu

memberikan dukungan materi dan moral agar karya tulis ini dapat saya selesaikan,

terimakasih juga kepada kakak Febriandi dan Mihar Efendi yang telah memberi

penulis semangat dalam penyelesaian karya tulis ini. Terima kasih juga kepada

Kakek dan Nenek yang selalu memberikan dukungan kepada penulis, dan seluruh

keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Serta tidak lupa penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc.E. selaku pembimbing skripsi yang telah

memberikan arahan dan dampingan dalam penyelesain karya ilmiah ini.

2. Dr. Ir. Rini Hidayati, MS. selaku ketua departemen GFM dan seluruh dosen

yang telah memberikan ilmu selama perkuliahan.

3. Mas Azis dan staf pegawai departemen GFM atas bantuannya dalam

mengurus keperluan dan administrasi kuliah.

4. Ibu dan bapak pegawai PPMB IPB : Bu Susi, Bu Wina, Bu Lilis, Bu Ira, Bu

Esi, Pak Herman, Pak Ian, Pak Handi, Mas Komeng, dan Teh Isop, atas

pengalaman kerjanya.

5. Teman-teman laboratorium Hidrometeorologi: Noya, Santi, Risna, Eka Fay,

Risa, May, Abu, Ika, Didi, Zia, Hifdi, Ima, Dodik, Eka, dan teman-teman

GFM 46: Dissa, Wengky, Ocha, Nowa, Wayan, Rini, Dieni, Alin, Kresna,

Enda, Ika P, Hijjaz, Dunka, Ipin, Iif, Ijal, Umar, Icha, dan semua temen GFM

46 yang tidak bisa saya sebutkan semuanya.

6. Saudara-saudara di Primasista: Romi, Aisa, Erni, Mamet, Is, Enek, Ibu, Bundo,

Mami, Etek, Ni Ami, Pak Ipot, Da Akri, Da Iki, Da Aan, dan semua keluarga

di Primasista yang tidak bisa say sebutkan semuanya.

7. Teman-teman satu kontrakan : Fauzi, Apri, Robi, Rahmat, dan Sam.

8. Teman-teman, adi dan kakak di Indonesian Climate Student Forum (ICSF),

Earth Hour Bogor, dan UKF atas pengalaman organisasi yang berharga.

9. Ian Wiyana STP atas bantuan dan sarannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan memiliki nilai tambah kebaikan bagi

ilmu pengetahuan

Bogor, September 2013

Nofriyadi Widodo

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 3

Asumsi 3

TINJAUAN PUSTAKA 4

Kekeringan 4

Indeks Kekeringan 4

Standardized Precipitation Index (SPI) 5

Penginderaan Jauh 6

METODE 8

Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian 8

Bahan 8

Alat 9

Prosedur Analisis Data 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 13

Data Dugaan Curah Hujan TRMM dan Data Pengamatan 13

Nilai indeks kekeringan SPI (Standardized Precipitation Index) 16

SIMPULAN DAN SARAN 22

Simpulan 22

Saran 23

DAFTAR PUSTAKA 23

RIWAYAT HIDUP 61

DAFTAR TABEL

1 Klasifikasi nilai indeks SPI 6 2 Nilai korelasi, MAE, dan RMSE data dugaan dan data observasi

stasiun Tabing Padang 16

DAFTAR GAMBAR

1 Peta Pulau Sumatera (sumber: BAPPEDA (2013)) 3 2 Orbit dan jangkauan satelit TRMM (sumber: a) NASA 2007, b)

Sasmitro 2011) 8

3 Diagram alir penelitian 12 4 Hubungan antara sebaran data curah hujan stasiun dan TRMM

stasiun Tabing Padang 14 5 Pola curah hujan bulanan statsiun Tabing Padang 14 6 Nilai Ea (absolut error) dan Er (relative error) data curah hujan

pengamatan dan pendugaan TRMM pada stasiun Tabing, Padang 15 7 Uji konsistensi data TRMM pada stasiun Tabing, Padang 16 8 Nilai indeks kekeringan maksimum stasiun Tabing Padang 2001-

2010 17 9 Perbandingan nilai fluktuasi curah hujan dan indeks kekeringan

stasiun Tabing Padang 18 10 Peta indeks kekeringan Bulan Juni 2005 22

DAFTAR LAMPIRAN

1 Koordinat stasiun BMKG di Pulau Sumatera 25 2 Data curah hujan pengamatan stasiun Tabing Padang tahun 2001-

2010 27 3 Data pendugaan curah hujan (mm) satelit TRMM Tabing Padang

tahun 2001-2010 27 4 Uji konsistensi data pendugaan satelit TRMM 28 5 Indeks kekeringan maksimum tahun 2001-2010 32

6 Perbandingan fluktuasi curah hujan dengan indeks kekeringan tahun

2001-2010 36

7 Peta indeks kekeringan bulanan tahun 2001-2010 40

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perubahan penggunaan lahan yang tidak terkendali seperti perambahan

hutan dan penebangan liar menyebabkan hilangnya tutupan lahan hutan serta daya

dukung lingkungan menjadi lebih terbatas, sehingga sering terjadi bencana banjir

dan kekeringan. Daya dukung lingkungan yang terbatas tersebut dapat

meningkatkan kejadian banjir dan kekeringan dengan intensitas yang semakin

kuat. Secara nasional dari sektor pertanian tercatat rerata luas padi sawah yang

tergenang banjir mencapai 100 ribu ha/tahun, akibat kekeringan mencapai lebih

dari 200 ribu ha/tahun, dan kebakaran hutan lebih dari 100 ribu ha pada tahun-

tahun El Nino (Pawitan 2003). Kejadian tersebut tidak terlepas dari dampak

fenomena iklim yang terjadi di Indonesia seperti El Nino dan La Nina. Fenomena

ini terjadi tiap dua hingga tujuh tahun sekali. Menurut As-Syakur (2011) El Nino

yang pernah berlansung di Indonesia adalah tahun 2002/2003 dan 2006 sedangkan

La Nina pada tahun 2010.

Kekeringan (drought) merupakan salah satu kejadian iklim yang sering

terjadi dan dapat memberikan dampak negatif serta berpengaruh langsung

terhadap aktivitas makhluk hidup. Kekeringan merupakan suatu kejadian alam

yang sangat berpengaruh terhadap ketersediaan cadangan air dalam tanah, baik

yang diperlukan untuk kepentingan pertanian maupun untuk kebutuhan manusia.

Kekeringan juga merupakan masalah sumber daya air yang kompleks, melibatkan

banyak pihak dan membutuhkan tindakan individual atau kolektif terpadu untuk

mengamankan pasokan air.

Bencana kekeringan berlangsung dengan proses yang lambat sehingga

dikatakaan sebagai sebagai bencana merangkak (creeping disaster). Datangnya

tidak tiba-tiba seperti banjir atau gempa bumi, namun timbul secara perlahan-

lahan sehingga sangat mudah diabaikan. Awal dan akhir bencana kekeringan tidak

bisa diketahui secara pasti. Kekeringan merupakan ancaman yang paling

mengganggu sistem produksi pertanian di Indonesia terutama tanaman pangan.

Kekeringan secara sederhana merupakan suatu periode di mana terjadi

kekurangan air yang disebabkan oleh berkurangnnya curah hujan. Kurangnya

curah hujan tersebut merupakan indikasi terjadinya kekeringan meteorologis di

suatu wilayah. Usaha yang penting untuk mengantisipasi kekeringan adalah

pemahaman terhadap karakteristik iklim dan analisis sifat-sifat hujan yang dapat

menggambarkan kondisi kekeringan secara fisik disuatu lokasi. Untuk mengetahui

tingakat kekeringan meteorologis bulanan di disuatu lokasi dapat digunakan salah

satu metodete analisis indek kekeringan SPI (Standardized Precepitation Index).

Analisis indeks kekeringan digunakan untuk menunjukkan tingkat kelas

atau derajat kekeringan, dimana tingkat kekeringan suatu wilayah berbeda satu

dengan lainnya sehingga dapat diketahui tingkat atau derajat kekeringan yang

terjadi. Analisis keterkaitan antara karakter kekeringan dengan indeks adalah

upaya untuk menerjemahkan nilai-nilai dari indeks atau derajat kekeringan ke

dalam besaran fisik yang menunjukkan sifat-sifat dari parameter kekeringan yang

diolah berdasarkan data curah hujan. Delineasi wilayah rawan kekeringan adalah

tahapan menggambarkan kondisi dan sifat kekeringan di lokasi penelitian melalui

2

informasi secara spasial dalam bentuk peta sehingga dapat dilihat sebaran wilayah

yang mengalami kekeringan berdasarkan kriteria pada nilai indeks kekeringannya

(Suryanti 2008).

Perumusan Masalah

Besarnya keberagaman curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh sirkulasi

udara pada skala global maupun regional, pembentukan awan dan hujan juga

dipengaruhi oleh kondisi lokal seperti, topografi dan suhu permukaan laut

diperairan Indonesia. Pulau Sumatera secara keseluruhan memiliki karakteristik

iklim yang khas baik dalam skala regional maupun lokal. Wilayah Sumatera

memiliki barisan pegunungan yang membujur dari utara sampai selatan,

dikelilingi oleh lautan yang terdiri dari Samudera Hindia, Laut Jawa, Selat Malaka,

Selat Karimata, dan dekat dengan Laut Cina Selatan. Kondisi tersebut

memberikan pengaruh terhadap pembentukan awan dan hujan di Pulau Sumatera

selain pengaruh dari pergerakan posisi semu matahari terhadap bumi dan sirkulasi

global.

Secara umum perbedaan kondisi cuaca dan iklim yang terjadi di Pulau

Sumatera sangat dipengaruhi oleh ITCZ (Inter Tropical Convergence Zone) pada

bulan Januari sampai Maret dan Muson Asia pada bulan November sampai

Desember, serta faktor lokal lainnya (Sandy 1987). Akibatnya, daerah ini sering

mengalami anomali atau penyimpangan iklim terutama yang berhubungan dengan

gejala alam La-Nina dan El-Nino, yang dapat menyebabkan terjadinya bencana

alam seperti bencana kekeringan. Kekeringan meteorologis merupakan indikasi

awal terjadinya bencana kekeringan dengan faktor utama jumlah curah hujan yang

jatuh pada waktu tertentu. Data curah hujan dapat digunakan untuk menghitung

nilai indeks kekeringan metorologis di Pulau Sumatera menggunakan metode SPI

(Standardized Precipitation Index). Analis spasial indeks kekeringan di Pulau

Sumatera dapat digunakan sebagai salah satu upaya dalam antisipasi dan

prakiraan untuk kondisi yang akan datang, sehingga dapat diketahui pola dan

frekuensi terjadinya bencana kekeringan di Pulau Sumatera.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menghitung nilai indeks kekeringan

meteorologis bulanan Pulau Sumatera dan melakukan pemetaan nilai indeks

kekeringan meteorologis wilayah Sumatera berdasarkan nilai SPI (Standardized

Precipitation Index) tahun 2001 sampai 2010 menggunakan data satelit TRMM.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna dalam penentuan kejadian

kekeringan di Pulau Sumatera berdasarkan nilai indeks kekeringan yang

didapatkan, sehingga dapat diketahui pola dan frekuensi kejadian kekeringan

tersebut.

3

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah nilai indeks kekeringan meteorologis

Pulau Sumatera. Secara geografis Pulau Sumatera terletak antara 6018’LU-

6005’LS dan 94

008’-108

029’BT yang terdiri dari pegunungan-pengunungan dan

dikelilingi oleh lautan yang sangat berperan terhadap dinamika atmosfer di

wilayah Sumatera. Kondisi tersebut menyebabkan keadaan iklim dan cuaca di

Pulau Sumatera bervariasi menurut tempat dan waktu. Perhitungan nilai indeks

kekeringan menggunakan data estimasi curah hujan satelit TRMM 3B42 L6

tahun 2001 sampai 2010 pada 36 titik yang disesuaikan dengan koordinat stasiun

BMKG yang berada di Pulau Sumatera.

Asumsi

Penelitian ini menggunakan asumsi sebagai berikut:

1. Definisi dari kekeringan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kekurangan curah hujan yang terjadi pada semua rezim iklim di wilayah

dengan curah hujan kecil maupun besar.

2. Validasi data TRMM dari 36 titik data yang digunakan pada penelitian

ini hanya dilakukan pada satu titik stasiun saja yaitu stasiun Tabing,

Padang yang dianggap dapat mewakili karakteristik curah hujan di

stasiun lainnya.

Gambar 1 Peta Pulau Sumatera (sumber: BAPPEDA (2013))

4

TINJAUAN PUSTAKA

Kekeringan

Kekeringan merupakan kejadian iklim yang berulang dan dapat terjadi

pada semua zona iklim meskipun dengan karakteristik yang bervariasi di setiap

tempat terjadinya (Moreira et al. 2012). Kekeringan merupakan salah satu

bencana alam yang dapat mempengaruhi sektor ekonomi dan lingkungan dalam

skala yang besar (Obasi 1994). Menurut Dracup et al. (1980) definisi kekeringan

sering dikaitkan dengan sektor yang dipengaruhi oleh kekeringan tersebut,

sehingga dapat didefinisikan sebagai kekeringan meteorologi, kekeringan

hidrologi, sosial ekonomi, serta kekeringan secara pertanian.

Menurut International Glossary of Hydrology (WMO 1974) pengertian

kekeringan adalah suatu keadaan tanpa hujan berkepanjangan atau masa kering di

bawah rata-rata yang cukup lama sehingga mengakibatkan keseimbangan

hidrologi terganggu secara serius. Konsep kekeringan berangkat dari definisi yaitu

periode tanpa air hujan cukup atau suatu periode kelangkaan air. Kekeringan

dapat terjadi secara meteorologis atau klimatologis dan kekeringan dari berbagai

aspek antara lain kekeringan secara hidrologi, kekeringan secara pertanian dan

kekeringan secara sosial ekonomi (Grigg 1996).

Kekeringan meteorologi merupakan suatu masa di mana pasokan air hujan

aktual pada suatu lokasi jatuh atau turun lebih sedikit dibandingkan pasokan air

klimatologis yang sesungguhnya sesuai estimasi normal (Palmer 1965).

Kekeringan meteorologis berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal

dalam satu musim. Kekeringan hidrologis berkaitan dengan kekurangan pasokan

air permukaan dan air tanah. Kekeringan pertanian berhubungan dengan

kekurangan kandungan air di dalam tanah sehingga tidak mampu memenuhi

kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas.

Kekeringan Sosial ekonomi berkaitan dengan kondisi dimana pasokan komoditi

ekonomi kurang dari kebutuhan normal akibat kekeringan meteorologi, hidrologi,

dan pertanian. Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya kekeringan adalah

curah hujan sebagai sumber air tersedia, karakteristik tanah sebagai media

penyimpanan air, dan jenis tanaman sebagai subjek yang menggunakan air.

Indeks Kekeringan

Menurut Hounam et al. (1975) penentuan tingkat kekeringan bertujuan

untuk:

1. Mengevaluasi kecenderungan klimatologis menuju keadaan kering atau

tingkat kekeringn dari suatu wilayah.

2. Memperkirakan kebutuhan air irigasi pada suatu luasan tertentu.

3. Mengevaluasi kekeringan pada suatu tempat secara lokal.

4. Melaporkan secara berkala perkembangan kekeringan secara regional.

Indeks-indeks kekeringan diperoleh dari ribuan data curah hujan, salju,

aliran sungai dan indikator sumber lainnya. Curah hujan merupakan indeks

tunggal yang paling penting dalam menduga kekeringan tetapi jika kekeringan

5

hanya dilihat dari batasan jumlah curah hujan, batasannya sangat beragam

bergantung kepada waktu dan tempat penelitian (Ogallo dan Gbeckor-kove 1989).

Indeks kekeringan banyak macamnya, antara lain : Standardized

precipitation index (SPI), Palmer Drought Severity Index(PDSI), Crop Moisture

Index (CMI), Surface Water Supply Index (SWSI), Reclamation Drought Indeks

(RDI), dan masih banyak lagi. Indeks-indeks ini diciptakan bergantung pada

gambaran umum yang melatar belakangi daerah tersebut, pengguna, proses, input

dan hasil outputnya atau masing-masing klasifikasi. Berdasarkan deklarasi

Lincoln 2009 yang membahas mengenai indeks kekeringan dan sistem peringatan

dini kekeringan (Drought Early Warning Systems) menyatakan bahwa

Standardized Precipitation Index direkomendasikan untuk memonitoring tingkat

kekeringan meteorologis diseluruh dunia (Hayes et al. 2011).

Standardized Precipitation Index (SPI)

Metode SPI (Standardized Precipitation Index) pertama kali

dikembangkan oleh McKee tahun 1993 yang merupakan salah satu metode

perhitungan indeks kekeringan yang sering digunakan untuk mengidentifikasi

peristiwa kekeringan dan untuk mengevaluasi tingkat kekeringan berdasarkan

nilai-nilai dari klasifikasi tingkat kekeringannya (McKee et al. 1993). Menurut

Bordi et al. (2009), SPI banyak digunakan karena dapat memberikan

perbandingan yang handal dan relatif mudah digunakan pada kondisi iklim dan

tempat yang berbeda. Metode ini dapat menggambarkan dampak kekeringan baik

jangka pendek maupun jangka panjang karena menggunakan data statistik yang

konsisten.

Bersadasarkan deklarasi Lincoln Decralation on droght Indices yang

dihasilkandari Workshop on Indices and Early Warning System for Drought di

University of Nebraska-Lincoln myatakan bahwa SPI akan mencerminkan sifat

kekeringan meteorologi di Seluruh dunia. Kelebihan SPI adalah sederhana dengan

input hujan serta mampu menjelaskan kekeringan menggunkan skala waktu, dan

dapat mengidentifikasi kering dan basah dengan cara yang sama. Kelemaha SPI

adalah menggukan seri waktu variable hujan yang cukup panjang dan handal dan

hanya dapat menjelaskan kekeringan meteorologi. Skala waktu mencerminkan

kondisi propogasi air hujan menjadi siklus hidrologi seperti pada skala waktu

satubulan, tiga bulan, enam bulan sapai 12 bulan (Bokal 2011). Penelitian ini

menggunakan metode SPI pada skala waktu satu bulan.

Menurut BMKG (2013) SPI merupak indeks yang digunakan untuk

menentukan penyimpangan curah hujan terhadap normalnya, dalam satu periode

waktu yang panjang (bulanan, dua bulanan, tida bulanan dst.). Nilai SPI dihitung

menggunakan metoda statistik probalistik berdasarkan selisih antara hujan yang

sebenarnya terjadi dengan rata-rata menggunakan skala waktu tertentu, dibagi

dengan simpangan bakunya. Metode yang digunakan untuk menghilangkan faktor

musim pada deret data dengan sebaran bulanan dilakukan transformasi data

dengan mengubah data menjadi peluang kumulatif dengan jenis distribusi Gamma.

Selanjutnya diubah menjadi bentuk distribusi Normal Baku (standar) dan nilai

yang dihasilkan merupakan indeks kekeringan SPI. Derdasarkan nilai SPI tingkat

kekeringan dan kebasahan dapat dikategorikan sebagai berikut:

6

Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh merupakan ilmu, teknik dan seni untuk memperoleh

informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang

diperoleh dengan suatu alat tanpa adanya kontak langsung dengan objek, daerah,

atau fenomena yang dikaji. Pengumpulan data secara jarak jauh dapat digunakan

menggunakan berbagai sensor sehingga data dapat dianalis untuk mendapatkan

informasi tentang objek, daerah atau fenomena yang dikaji. Menurut Lillesand

dan Kiefer (1997), pengumpulan data dari jarak jauh dapat dilakukan dalam

berbagai bentuk, variasi daya, gelombang bunyi dan energi.

Penginderaan Jauh untuk Pendugaan Curah Hujan

Pendugaan curah hujan menggunakan teknik penginderaan jauh diawali oleh

satelit meteorologi pertama TIROS-1 (Television and Infraed Observation

Satellite) yang menangkap citra awan pada tahun 1960. Sasmitro (2011),

menyebutkan bahwa dalam perkembangannya terdapat empat metode dalam

pendugaan curah hujan menggunakan satelit:

1. Pendugaan curah hujan menggunakan kanal IR (Inframerah) dan VIS (Visible).

Prinsip pendugaan curah hujan dengan metode ini adalah citra yang

menangkap data emisi dari puncak awan atau didekat awan. Satelit yang

menangkap citra tersebut adalah satelit-satelit yang mempunyai orbit GEO

(Geostationary Earth Orbit).

2. Pendugaan curah hujan dengan kanal pasif gelombang mikro. Prinsip dari

metode ini adalah menangkap intensitas radiasi gelombang mikro yang

diemisikan oleh permukaan bumi, awan dan butir hujan.

3. Pendugaan curah hujan dengan kanal radar satelit. Radar satelit akan

mengeluarkan sinyal dan menangkap gelombang balik dari sinyal tersebut,

sehingga dari nilai hamburan gelombang balik tersebut dapat diketahui

karakteristik dari objek yang terkena gelombang tersebut. Satelit TRMM

(Tropical Rainfall Measuring Mission) merupakan satelit pertama yang

menggunakan radar, nilai intensitas hujan yang dihasilkan oleh oleh sensor

radar tersebut memiliki hasil yang akurat dibanding sensor lainnya.

4. Pendugaan curah menggunakan metode kombinasi kanal inframerah dan

gelombang mikro (blended techniques). Kombinasi yang digunakan adalah

Tabel 1 Klasifikasi nilai indeks SPI

Nilai SPI Kategori

≥ 2 Sangat Basah

1.50 s/d 1.99 Basah

1.00 s/d 1.49 Agak Basah

-0.99 s/d 0.99 Normal

-1.00 s/d -1.49 Agak Kering

-1.50 s/d -1.99 Kering

≤ -2 Sangat

Kering

Sumber : BMKG 2013

7

sensor gelombang mikro dan sensor inframerah yang bertujuan untuk

mendapatkan data real time.

TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission)

Satelit TRMM diluncurkan pada tanggal 27 November 1997 dengan

ketinggian awal 350 km diatas permukaan bumi dan memgelilingi daearah tropis

termasuk Jepang dan Amerika Serikat.Sejak Agustus 2001 ketinggian satelit ini

berubah menjadi 403 km di atas permukaan bumi dan mengorbit sebanyak 16 kali

setiap harinya dengan menghabiskan waktu rata-rata 92,5 menit untuk satu kali

orbit (NASA 2007). Satelit ini dilengkapi dengan lima sensor utama yaitu PR

(Precipitation Radar), TMI (TRMM Microwave Imager), VIRS (Visible Infrared

Scanner), LIS (Lightning Imaging Sensor) dan CERES (Clouds and Earth’s

Radiant Energy System), merupakan wahana yang sangat tepat digunakan untuk

studi karakteristik dan mekanisme curah hujan tropis dan prediksi curah hujan

(Suryantoro et al. 2008).

Sensor yang digunakan untuk untuk pemantauan presipitasi secara kusus

adalah sensor PR (Precipitation Radar) dan TMI (TRMM Microwave Imager).

Sensor PR merupakan radar presipitasi pertama di antariksa yang bekerja pada

frekuensi 13,8 GHz untuk mengukur distribusi presipitasi secara 3 dimensi, baik

untuk presipitasi diatas daratan maupun di atas lautan, serta untuk menentukan

kedalam lapisan presipitasi. Sensor TMI merupakan suatu multiple passive

microwave radiometer yang beroperasi pada 5 frekuensi yaitu 10,65; 19,35; 85,5

GHz polarisasi ganda dan pada 22,235 GHz polarisasi tunggal. Dari sensor

tersebut dapat diekstraksi data untuk integrated coloumn precipitation content, air

cair dalam awan, es awan, intensitas hujan, tipe hujan seperti hujan statifrom atau

hujan konvektif. Data yang dihasilkan oleh sensor satelit ini dikelola oleh GSFC

(Geoddard Space Flight Center) NASA untuk sensor PR, TMI dan VIRS,

sedangkan data dari sensor LIS dan CERES tidak dikelola oleh GSFC.

Satelit TRMM menghasilkan 3 level data hujan, level 1 merupakan data

yang masih dalam bentuk raw dan telah dikalibrasi dan dikoreksi geometrik, level

2 merupakan data yang telah memiliki gambaran parameter geofisik hujan pada

resolusi spasial yang sama akan tetapi masih dalam kondisi asli keadaan hujan

saat satelit melewati daerah yang direkam, dan level 3 merupakan data yang telah

memiliki nilai-nilai hujan, khususnya kondisi hujan bulanan yang merupakan

penggabungan dari kondisi hujan dari level 2 (Feidas 2010).

Menurut Sasmitro (2011) data-data hujan yang diperoleh dari satelit TRMM

telah banyak diaplikasikan untuk berbagai kepentingan seperti pengamatan iklim

atau cuaca, analisis iklim, analisis anomali hujan, verifikasi model iklim dan studi

hidrologi. Pendugan curah hujan dengan data satelit sangat menarik untuk

dikembangkan karena memiliki beberapa kelebihan yaitu dapat menjangkau nilai

curah hujan di daerah terpencil dan lautan serta mampu menyediakan data secara

homogen, spasial, maupun temporal.

8

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data TRMM 3B42V6 yang

merupakan data pendugaan nilai curah hujan menggunakan metode kombinasi

(Blended Techniques), yaitu TRMM TMPA (Tropical Rainfall Measuring

Mission Multi-Satellite Precipitation Analysis). Metode ini menggabungkan data

satelit TRMM dengan satelit-satelit yang membawa gelombang mikro (DMSP

dengan sensor SSm/I, Aqua dengan sensor AMSR-E dan AMSU-B), dan GEO IR

data yang telah dikalibrasi dengan data curah hujan satelit TRMM (Huffman et al

2008). Data TRMM TMPA V6 (Version 6) merupakan data turunan dari data near

real time yang kemudian dikoreksi dengan data curah hujan permukaan secara

global milik GPCC (Global Precipitation Climatology Center). Data TRMM

TMPA 3B42V6 menyediakan data pengugaan curah hujan harian dan memiliki

resolusi global (0,250 x 0,25

0).

METODE

Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian dengan wilayah kajian Pulau Sumatera terletak antara 6018’LU-

6005’LS dan 94

008’-108

029’BT dilakukan di Laboratorium Hidrometeorologi,

Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini

dilakukan pada bulan Januari sampai Bulan Juli tahun 2013.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan

observasi salah satu stasiun di Sumatera yaitu stasiun Tabing, Padang tahun 2001

sampai 2010 yang digunakan untuk mengkalibrasi data estimasi curah hujan

observasi TRMM 3B42V6 tahun 2001 sampai 2010 yang dapat diakses dari

http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.NASA/.GESDAAC/. Data satelit TRMM

a)

b)

Gambar 2 Orbit dan jangkauan satelit TRMM (sumber: a) NASA 2007, b)

Sasmitro 2011)

9

yang digunakan adalah data pendugaan nilai curah hujan TRMM 3B42V6 pada 36

titik yang koordinatnya disesuaikan dengan koordinat stasiun BMKG yang berada

di Pulau Sumatera (Lampiran 1).

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer

dengan tambahan perangkat lunak : Microsoft Office 2010, dan Surfer 9 untuk

melakukan pemetaan nilai indeks kekeringan meteorologis.

Prosedur Analisis Data

Penelitian ini dilakukan dengan dua tahapan yaitu tahap pengumpulan bahan

dan pengolahan bahan.

Pengumpulan Bahan

Data yang digunakan sebagai bahan penelitian ini adalah data curah hujan

pengamatan stasiun Tabing, Sumatera Barat tahun 2001 sampai 2010 yang

didapatkan dari BMKG Pusat dan data estimasi curah hujan observasi TRMM

tahun 2001 sampai 2010. Data TRMM yang digunakan adalah 3B42V6 yang

merupakan data curah hujan harian yang didapatkan dengan mengunduh dari

internet pada http:// iridl.ldeo.columbia.edu/ SOURCES/ .NASA/ .GES-

DAAC/ .TRMM_L3/ .TRMM_3B42/ .v6/ .daily/ .precipitation.

Pengolahan Data

Perbandingan Data Dugaan dan Data Observasi Stasiun Tabing, Padang

Data curah hujan yang dibandingkan adalah data curah hujan bulanan

pengukuran stasiun Tabing, Padang dengan data pendugaan curah hujan observasi

TRMM. Data TRMM yang diunduh adalah data dugaan curah hujan harian

kemudian diakumulasikan setiap bulan untuk mendapatkan nilai curah hujan

bulanannya. Data yang digunakan selama sepuluh tahun karena untuk analisis

ketersedian air diperlukan data yang cukup panjang dan kontinyu (Adhidarma et

al. 2004). Perbandingan data tersebut bertujuan untuk melihat baik tidaknya data

dugaan TRMM, karena data observasi merupakan data yang benar-benar diukur

dilapangan pada stasiun pengukuran curah hujan. Data TRMM yang diambil

adalah data titik yang telah disesuaikan dengan koordinat stasiun Tabing, Padang

yaitu pada koordinat 100.35 BT dan 0.88 LS. Perbandingan data hanya dilakukan

pada satu titik stasiun pengamatan karena keterbatasan data observasi stasiun.

Perbandingan data curah hujan dilakukan dengan dua metode yaitu secara visual

dan perbandingan menggunkan parameter statistika.

1. Perbandingan Data Secara Visual

Perbandingan data secara visual dilakukan dengan menampilkan curah

hujan hasil pengukuran dan data curah hujan hasil pendugaan TRMM

dalam bentuk grafik batang dan grafik scatterplot.

10

2. Perbandingan Kuliatas Data dengan Parameter Statistika

Parameter statistika yang digunakan untuk membandingkan nilai

kualitas data yang digunakan adalah Ea (Absolute Error) dan Er

(relative error), korelasi, MAE dan RMSE.

Ea (Absolute Error) dan Er (relative error)

Absolute error atau kesalahan mutlak menunjukan nilai mutlak dari selisih

antara nilai observasi stasiun dengan nilai pendugaan. Sedangkan relative error

(kesalahan relatif) merupakan perbandingan antara kesalahan mutlak dengan nilai

sebenarnya.

| |, dan

|

|

keterangan:

= Curah hujan pengamatan (mm/bulan)

= Curah hujan dugaan TRMM (mm/bulan)

Korelasi

Korelasi menunjukkan kereeratan hubungan antara data hasil dugaan dengan

data hasil pengukuran lapangan. Nilai korelasi berkisar antara (-1) sampai 1.

Korelasi dapat dihitung menggunakan persamaan:

( )

√∑

√∑ ( )

keterangan:

= Curah hujan pengamatan (mm/bulan)

= Curah hujan dugaan TRMM (mm/bulan)

MAE (Mean Absolute Error)

MAE merupakan nilai absolut galat rata-rata antara data dugaan dengan data

pengukuran. Nilai MAE dapat dihitung menggunakan persamaan berikut:

|

∑ | |

|

keterangan:

= Curah hujan pengamatan (mm/bulan)

= Curah hujan dugaan TRMM (mm/bulan)

RMSE (Root Mean Square Error)

Merupakan nilai akar kuadrat galat rata-rata dari data curah hujan dugaan

dan data pengukuran. Persamaan untuk menghitung nilai RMSE adalah sebagai

berikut :

11

√∑

keterangan:

= Curah hujan pengamatan (mm/bulan)

= Curah hujan dugaan TRMM (mm/bulan)

= Jumlah data

Perhitungan Nilai Indeks Kekeringan

Nilai indeks kekeringan yang dihitung adalah indeks kekeringan Pulau

Sumatera dengan menggunakan data curah hujan dugaan satelit TRMM pada 36

titik stasiun BMKG yang ada di Pulau Sumatera. Indeks kekeringan yang

digunakan adalah SPI (Standardized Precipitation Index) dengan menggunakan

data tahun 2001 sampai 201dengan sakal waktu satu bulan. Langkah kerja yang

dilakukan untuk mendapatkan nilai SPI adalah sebagai berikut:

1. Menghitung rata-rata curah hujan bulanan

Data pedugaan curah hujan TRMM yang didapatkan adalah nilai curah

hujan hujan harian maka data yang di dapatkan dijumlahkan setiap bulan untuk

mendapakan nilai curah hujan bulanan tahun 2001 sampai 2010. Perhitungan nilai

rata-rata curah hujan bulan ( dengan menggunakan persamaan berikut:

keterangan:

µ = Rata-rata curah hujan bulanan

X = Curah hujan bulanan (mm)

N = Jumlah hari setiap bulan

2. Uji konsistensi data

Uji konsistensi data curah hujan berfungsi untuk melihat apakah data curah

hujan yang ada konsisten atau tidak, karena data yang akan diolah terlebih dahulu

data tersebut harus konsisten. Konsistensi data dilihat dari grafik perbandingan

antara nilai rata-rata curah hujan tahunan kumulatif stasiun dengan rata-rata curah

hujan tahunan kumulatif stasiun pembanding.

3. Menghitung standar deviasi curah hujan bulanan

Standardeviasi dihitung menggunakan persamaan berikut:

√∑

keterangan :

S = Standar deviasi curah hujan bulanan

X = Rata-rata curah hujan bulanan tahun ke-i bulan ke-j

= Rata-rata curah hujan bulan ke-j

= Jumlah tahun

4. Mengklasifikasikan indeks kekeringan

Indeks kekeringan SPI dihitung menggunakan persamaan berikut:

12

Keterangan:

Indeks kekeringan

= Rata-rata hujan bulanan tahun ke-i bulan ke-j

= Rata-rata hujan bulan ke-j

S = Simapanganbaku bulan ke-j

Pemetaan Indeks Kekeringan

Nilai indeks kekeringan yang diperoleh dengan menggunakan metode SPI

kemudian dipetakan secara spasial menggunakan perangkat lunak Surfer versi 9

dengan metode kriging. Pemetaan bertujuan untuk melihat sebaran spasial indeks

kekeringan yang menunjukkan tingkat kekeringan tersebut dan mengidentifikasi

daerah yang mengalami kekeringan meteorologis.

Gambar 3 Diagram alir penelitian

13

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengolahan data penelitian terdiri dari validasi data pendugaan curah

hujan TRMM dengan data observasi stasiun di permukaan. Data yang digunakan

untuk validasi adalah data pendugaan curah hujan bulanan TRMM 3B42V6 dan

data pengamatan stasiun Tabing, Padang. Data pendugaan curah hujan TRMM

digunakan untuk menghitung nilai indeks kekeringan meteorologis menggunakan

metode SPI dengan skala waktu satu bulan. Data TRMM yang diambil adalah

data 36 titik di wilayah Sumatera yang disesuaikan dengan koordinat letak stasiun

BMKG (Lampiran 1).

Data Dugaan Curah Hujan TRMM dan Data Pengamatan

Data dugaan curah hujan TRMM yang divalidasi adalah data pada

koordinat titik 0°57′0″LU dan 100°21′11″BT (0,95°LS dan 100,35306°BT)

(Lampiran 2 dan 3) yang merupakan koordinat letak stasiun Tabing, Padang.

Validasi hanya menggunakan data observasi stasiun Tabing, Padang karena

ketersedian data observasi yang didapatkan dan asumsi bahwa semua data TRMM

yang digunakan mengikuti pola pada stasiun Tabing, Padang. Secara umum

wilayah Sumatera memiliki tipe iklim ekuatorial sehingga pada penelitian ini

validasi data hanya menggunakan satu data stasiun pengamatan dianggap

mewakili. Hasil perbandingan ini serupa sengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh peneliti sebelumnya Aldrian (2003) dan Tjasyono (2004) yang

mengelompokkan zonsi pola curah hujan di Indonesia dimana sebagian besar

wilyah pulau Sumatera termasuk kedalam pola ekuatorial.

Grafik di bawah (Gambar 4) menggambarkan pola bulanan curah hujan

pada stasiun pengamatan Tabing Padang dan nilai curah hujan dugaan TRMM.

Analisis secara umum pada nilai curah hujan di stasiun pengamatan Tabing

Padang adalah pola curah hujan ekuatorial yaitu dengan adanya dua puncak

intensitas curah hujan setiap tahunnya yang terjadi pada bulan Maret-April-Mei

(MAM) dan September-Oktober-November (SON). Pola tersebut juga

ditunjukkan oleh data dugaan TRMM. Nilai curah hujan yang terukur oleh stasiun

pengamatan secara umum lebih besar dibandingkan oleh nilai curah hujan dugaan

TRMM namun fluaktuasi nilai curah hujan dari data TRMM tidak jauh berbeda

dibandingkan dengan data stasiun, dimana nilai curah hujan maksimum pada data

TRMM juga terjadi saat nilai maksimum pada data stasiun begitu juga dengan

nilai curah hujan minimumnya.

14

Nilai koefisien determinan (R2) yang didapatkan dari perbandingan data

pengamatan dan data pendugaan curah hujan daerah Tabing, Padang adalah

0,5108 (Gambar 5). Nilai tersebut menunjukkan bahwa data curah hujan observasi

stasiun memiliki korelasi positif dengan curah hujan TRMM, dimana 51.08%

keragaman dari curah hujan observasi dapat diterangkan oleh curah hujan TRMM.

Nilai koefisien determinan tersebut cukup kuat sehingga data curah hujan TRMM

dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut pada penelitian ini. Curah hujan

TRMM dipengaruhi oleh suhu kecerahan awan yang menunjukkan semakin tinggi

suhu kecerahan awan nilai curah hujan yang dihasilakan juga semakin tinggi.

Gambar 4 Hubungan antara sebaran data curah hujan stasiun dan

TRMM stasiun Tabing Padang

Gambar 5 Pola curah hujan bulanan statsiun Tabing Padang

15

Parameter statistika yang digunakan untuk membandingkan kualitas data

pengamatan dengan data pendugaan curah hujan TRMM stasiun Tabing Padang

adalah nilai korelasi, MAE, dan RMSE. Ea (absolut error) dan Er (relative error)

dihitung untuk melihat selisih antara data pengukuran stasiun dengan data

pendugaan TRMM. Secara umum nilai pengukuran stasiun lebih besar

dibandingkan data dugaan TRMM sehinga terdapat beberapa data pada tahun

2005 dan 2006 yang memiliki selisih cukup besar. Sedangkan nilai Er yang

merupakan perbandingan kesalahan mutlak dengan data pengukuran sebenarnya

menunjukkan hasil yang sama dimana pada tahun 2005 dan 2006 terdapat selisih

yang cukup besar antara data pengukuran dengan data pendugaan (Gambar 6).

Kofiesien korelasi yang dihitung menunjukkan keeratan hubungan antar

dua data. Hubungan antara nilai curah hujan pengamatan dan nilai curah hujan

pendugaan TRMM memiliki hubungan yang signifikan dengan nilai korelasi 0.71

pada taraf nyata 5%. Nilai korelasi yang didapatkan cukup besar disebabkan nilai

dimensi waktu yang digunakan besar yaitu data curah hujan bulanan. Semakin

besar nilai dimensi suatu data memiliki variasi yang kecil sehingga korelasi yang

didapatkan semakin tinggi dan kebalikannya semakin besar variasi datanya maka

korelasi yang diadapatkan akan semakin kecil. Oleh karena itu pendugaan curah

hujan pada dimensi waktu yang besar baik digunakan seperti dasarian, bulanan,

dan tahunan.

Uji MAE dan RMSE data dugaan TRMM dengan data pengukuran

lapangan bertujuan untuk mengetahui nilai rataan dari absolut galat dan megetahui

nilai akar dari rataan kuadrat galat. Perhitungan nilai MAE dan RMSE dilakukan

pada data curah hujan bulanan. Nilai MAE yang didapatkan cukup besar karena

semakin besar dimensi waktu yang didapatkan semakin besar pula nilai MAE dan

RSME yang didapatkan. Hasil yang didapatkan analog dengan penelitian Sasmitro

(2011) dan Wibowo (2010), dimana pada penelitian Sasmitro semakin besar nilai

dimensi waktunya hasil MAE dan RMSE nya juga semakin besar, begitu juga

pada penelitian Wibowo (2010) yang menggunakan data bulanan menghasilkan

nilai MAE dan yang RMSE yang besar juga.

Gambar 6 Nilai Ea (absolut error) dan Er (relative error) data curah hujan

pengamatan dan pendugaan TRMM pada stasiun Tabing, Padang

16

Nilai indeks kekeringan SPI (Standardized Precipitation Index)

Kekeringan kerap terjadi namun sering tidak disadari kapan awal mulanya

terjadi bencana tersebut. Proses terjadinya kekeringan diawali dengan

berkurangnnya jumlah curah hujan dibawah normal pada satu musim.

Berkurangnya nilai curah hujan tersebut merupakan proses awal terjadinya

kekeringan meteorologis. Nilai curah hujan dugaan yang didapatkan dari data

satelit TRMM digunakan untuk menghitung nilai indeks kekeringan meteorologis

di Pulau Sumatera. Indeks kekeringan dihitung menggunakan metode SPI

(Standardized Precipitation Index). Bersadarkan validasi yang menggunakan data

stasiun Tabing Padang terhadap data dugaan curah hujan TRMM, diketahui

bahwa data dugaan TRMM dapat digunakan sebagai data curah hujan pada

penelitian ini.

Nilai SPI yang dihitung adalah indeks kekeringan setiap bulan dari tahun

2001 sampai 2010. Sebelum menghitung nilai indeks kekeringan dilakukan

pengujian konsistensi data curah hujan yang digunakan. Uji konsistensi data

dilakaukan dengan mebandingkan nilai curahujan kumulatif rata-rata tahunan

stasiun dengan nilai kumulatif curah hujan rata-rata tahunan stasiun pembanding.

Stasiun pembanding adalah stasiun yang berada dekat dengan stasiun yang akan

diuji konsistensi datanya. Data yang digunakan harus konsisten, sebagai contoh

perhitungan nilai konsistensi pada data stasiun Tabing, Padang seperti pada

Gambar 7, data pada stasiun Tabing Padang merupakan data yang konsisten

karena grafik perbandingan yang didapat menghasilkan garis lurus yang

menunjukkan bahwa data yang digunakan konsisten. Hasil yang sama juga

didapatkan pada 35 stasiun lainnya di Pulau sumatera (Lampiran 4).

Tabel 2 Nilai korelasi, MAE, dan RMSE data dugaan dan data observasi

stasiun Tabing Padang

Parameter

Statistika Nilai

Korelasi 0.71

MAE 115.37

RMSE 151.88

Gambar 7 Uji konsistensi data TRMM pada stasiun

Tabing, Padang

17

Nilai indeks kekeringan yang didapatkan pada semua stasiun di Pulau

Sumatera memiliki nilai yang beragam, nilai maksimum sebesar 2,67 yang

memiliki kriteria sangat basah dan nilai SPI minimum -2,51 yang memiliki

kriteria sangat kering. Indeks kekeringan dihitung setiap bulan selama 10 tahun

kemudian diambil nilai indeks kekeringan maksimumnya setiap tahun pada setiap

stasiun di Pulau Sumatera. Dari 36 titik data yang digunakan nilai indeks

kekeringan maksimum secara umum memiliki kriteria kering dan agak kering

(Lampiran 5), hanya beberapa stasiun yang memiliki nilai indeks kekeringan

sangat kering pada tahun tertentu yatu tahun 2003 di Pangkal Pinang, tahun 2004

di stasiun Sampali, Natuna, dan Tebing Tinggi, tahun 2005 di stasiun Sibolga,

Gunung Sitoli, Tanjung Pinang, Simpang Tiga, dan Kota Bumi, tahun 2006 di

stasiun Teluk Bayur, 2007 di Palembang, serta tahun 2008 di Tanjung Pandan,

Menggala, Teluk Betung, dan Kota Bumi.

Kejadian kekeringan pada kriteria sangat kering pada Pulau Sumatera

bagian utara dan tengah terjadi pada tahun 2004 dan 2005 sedangkan pada bagian

selatan terjadi pada tahun 2008 dan beberapa wilayah kepulauan di bagian timur

Pulau Sumatera mengalami kejadian sangat kering pada tahun 2004 dan 2008.

Nilai kekeringan maksimum yang didapatkan pada 36 titik stasiun dari tahun 2001

sampai 2010 terlihat bahwa kekeringan meteorologis maksimum terjadi pada

bulan yang berbeda setiap tahunnya. Contoh nilai indeks kekeringan maksimum

pada Gambar 8 di stasiun Tabing, Padang dapat diketahui bahwa kriteria

kekeringan maksimum di tempat tersebut adalah agak kering dan kering bahkan

ada yang normal. Pada gambar tersebut telihat bahwa nilai kekeringan maksimum

yang didapatkan terjadi pada bulan yang berbeda dari tahun 2001 sampai 2010.

Kekeringan terjadi pada bulan-bulan kering seperti bulan Mei, Juni, dan Juli

namun juga terdapat nilai kekeringan maksimum pada bulan-bulan basah seprti

bulan November, Desember, dan Januari.

Fluktuasi indeks kekeringan yang didapatkan dipengaruhi oleh fluktuasi

curah hujan. Hubungan antara nilai curah hujan dan indeks kekeringan (Lampiran

6) menunjukkan bahwa indeks kekeringan meteorologis yang didapatkan pada 36

stasiun sangat dipengaruhi oleh nilai curah hujan. Fluktuasi nilai indeks

Gambar 8 Nilai indeks kekeringan maksimum stasiun

Tabing Padang 2001-2010

18

kekeringan mengikuti fluktusai curah hujannya karena perhitungan nilai SPI

secara bulanan sehingga tidak ada pengaruh lag dari bulan sebelumnya. Contoh

fluktuasi curah hujan dan indeks keringan pada Gambar 9 di bawah pada stasiun

Tabing, Padang dapat diketahui bahwa fluktuasi nilai indeks kekeringan

dipengaruhi oleh fluktuasi nilai curah hujan. Secara umum indeks kekeringan

yang didapatkan tidak dipengaruhi oleh nilai curah hujan pada bulan sebelumnya

karena dari semua titik, fluktuasi nilai indeks kekeringan sangat mendekati

fluktuasi nilai curah hujannya pada bulan yang sama.

Nilai indeks kekeringan yang dipetakan adalah indeks kekeringan bulanan

setiap tahun mulai dari tahun 2001 sampai 2010 (Lampiran 7). Hasil pemetaan

diketahui bahwa pada tahun 2001 kekeringan meteorologis terjadi pada bulan

Maret , Mei, Juni, Juli, Oktober, November, dan Desember dengan daerah yang

mengalami kekeringan dibagian barat, sebagian utara dan selatan pulau Sumatera.

Kekeringan juga terlihat diwilayah pantai barat Sumatera diakhir tahun 2001 dan

berlanjut sampai tahun 2002. Tahun 2002 kekeringan meteorologis terjadi hampir

di setiap bulannya, kecuali bulan April dan November. Wilayah yang mengalami

kekeringan terluas terjadi pada bulan Oktober dimana hampir seluruh pulau

Sumatera menunjukkan indeks kekeringan dengan kriteria kering. Tahun 2003

kekeringan terjadi pada bulan Januari, Maret, Mei, Juni dan Juli pada bagian

selatan pulau Sumatera. Tahun 2004 kekeringan terjadi pada bulan Februari,

Maret, April, Mei, Juni, Juli, dan Agustus. Bulan Agustus hampir seluruh wilyah

Sumatera mengalami kekeringan. Tahun 2005 kekeringan terjadi diawal tahun,

pada bulan April seluruh pulau Sumatera mengalami kekeringan meteorologis.

Kekeringan meteorologis tahun 2006 terjadi pada pertengahan tahun mulai bulan

Juli sampai Desember terlihat bahwa semakin ke akhir tahun wilayah yang

mengalami kekeringan semakin meluas bahkan pada bulan November wilayah

Sumatera bagian tengah dan selatan mengalami kekeringan meteorologis. Tahun

2007 kekeringan terjadi sepanjang tahun dibeberapa wilayah di Pulau Sumatera

dan berlanjut sampai awal tahun 2008. Tahun 2009 kekeringan juga terjadi pada

Gambar 9 Perbandingan nilai fluktuasi curah hujan dan indeks kekeringan

stasiun Tabing Padang

19

awal tahun sedangkan pada tahun 2010 indeks kekeringan menunjukkan kondisi

basah dan kekeringan baru terjadi lagi diakhir tahun 2010 pada bulan Desember

dimana sebagian besar pantai barat Sumatera mengalami kekeringan.

Berdasarkan bulan terjadi kekeringan meteorologis (Lampiran 7), pada

bulan Januari kekeringan terjadi pada tahun 2002 pada sebagian Sumatera Utara.

Tahun 2003 kekeringan juga terlihat disebagian besar Lampung, kemudian terjadi

lagi pada tahun 2005 dengan wilayah yang cukup luas yaitu sebagian Sumatera

Utara, Riau, Jambi. Tahun 2006 kekeringan meteorologis pada bulan Januari

terlihat di Pulau Bangka dan Pulau Nias, tahun 2008 kekeringan terjadi di

bahagian timur Aceh. Sumatera Barat dan Riau bagian selatan, Jambi bagian utara

mengalami kekeringan pada tahun 2009 pada bulan Januari. Tahun 2010

kekeringan meteorologis bulan Januari terjadi di bagian selatan Bengkulu dan

Kepulauan Riau.

Bulan Februari kekeringan terjadi di wilayah Riau, Jambi dan Palembang

pada tahun 2002. Tahun 2004 kekeringan terjadi di wilayah Kepulauan Riau dan

berlanjut tahun 2005 kekeringan terjadi hampir diseluruh Aceh, Riau, dan

sebagian Sumatera Barat serta Sumatera Utara bagian selatan. Kekeringan terjadi

di wilayah Lampung bagian selatan tahun 2007 dan berlanjut tahun 2008 di

seluruh Lampung, Bengkulu, Sematera Selatan, dan Sumatera Barat bagian

selatan. Tahun 2009 kekeringan bulan Februari terlihat di wilayah Aceh bagian

utara dan Pulau Bangka.

Bulan Maret kekeringan meteorologis terjadi tahun 2001 di wilayah

Sumatera Barat dan Lampung, tahun 2002 terjadi di Kepulauan Riau, tahun 2003

kekeringan terjadi di Bengkulu, Sumatera Selatan dan Jambi. Tahun 2004

kekeringan terjadi di Bengkulu, Sumatera Selatan bagian selatan dan Lampung

bagian utara serta tahun 2005 dan 2006 kekeringan terjadi di Sumatera Utara

bagian Selatan dan Riau. Tahun 2007 wilayah yang mengalami kekeringan

meteorologis bulan Maret adalah Aceh, Jambi bagian selatan, dan sebagian besar

Sumatera Selatan. Tahun 2008 sampai 2010 tidak terdapat wilayah yang

mengalami kekeringan meteorologis.

Tahun 2001, 2002, dan 2003 pada bulan April tidak terlihat wilyah yang

mengalami kekeringan meteorologis di Pulau Sumatera. Kekeringan meteorologis

terjadi tahun 2004 di Kepulauan Riau. Tahun 2004 hampir seleuruh Pulau

Sumatera mengalami kekeringan Meteorologis hanya sebagian Sumatera Utara

dan Aceh yang tidak mengalami kekeringan meteorologis. Kekringan baru terlihat

lagi tahun 2008 di Sumatera Barat bagian selatan dan Begkulu bagian Utara.

Tahun 2009 kekeringan terjadi di wilayah Sumatera Barat dan Riau. Tahun 2010

hanya sebagian kecil Sumatera Utara bagian timur yang mengalami kekeringan

meteorologis.

Bulan Mei tahun 2001 kekeringan terjadi di Aceh bagian Barat dan

Kepulauan Riau, tahun 2002 tidak terlihat wilayah yang mengalami kekeringan.

Tahun 2003 kekeringan terjadi di wilayah Jambi bagian timur dan Sumatera

Selatan bagian utara. Kekeringan terjadi di wilayah Sumatera Utara bagian timur

tahun 2004 dan tahun 2006 kekeringan terjadi di Pulau Metawai sertasebagian

kecil pantai barat Sumatara Barat. Tahun 2008 pada bulai Mei hampir seluruh

Pulau Sumatera mengalami kekeringan meteorologis kecuali Sumatera Utara dan

Sumatera barat bagian utara. Tahun 2009 kekeringan terjadi di Sumatera Barat

dan sebagian Riau serta tahun 2010 kekeringan terjadi di pantai timur Aceh.

20

Bulan Juni 2001 kekeringan terjadi di Aceh dan 2002 kekeringan terjadi di

Pulau Nias. Tahun 2003 kekeringan terjadi di Sematera selatan, sebagian

Bengkulu dan Jambi, tahun 2004 kekeringan terjadi cukup luas meliputi Sumatera

Utara bagian selatan, seluruh Sumatera Barat, sebagian Riau, Jambi, Sumatera

Selatan, Bengkulu, dan Lampung. Tahun 2005 wilayah yang mengalami

kekeringan adalah Aceh bahagian barat, Sumatera Utara bagian timur, Riau

bagian utara serta sebagian kecil Sumatera Barat dan Jambi. Tahun 2007

kekringan terjadi di Sumatera Utara bagian timur. Tahun 2008 terjadi di Sumatera

Selatan dan Jambi bagian selatan. Tahun 2009 tidak terlihat wilayah yang

mengalami kekeringan meteorologis dan tahun 2010 hanya sebagian kecil wilayah

Sumatera Utara bagian timur yang mengalami kekeringan.

Wilayah yang mengalami kekeringan meteorologis pada bulan Juli 2001

adalah bagian selatan Riau, Jambi bagian timur, dan sebagian Sumatera Selatan.

Tahun 2002 kekeringan terjadi di Sumatera Utara dan tahun 2003 kekeringan

terjadi di Jambi bagian timur. Aceh bagian barat, Sumatera Utara bagian Selatan,

dan Riau mengalami kekeringan meteorologis tahun 2005 dan 2006. Tahun 2008

kekeringan terjadi di Lampung, Bengkulu bagian selatan dan Sumateraa Selatan

bagian selatan. Tahun 2009 kekeringan terjadi di Riau, Sumatera Utara bagian

selatan, dan Sumatera Barat bagian timur. Sumatera Utara bagian timur megalami

kekeringan meteorologis pada bulan Juli 2010.

Tahun 2001 tidak terlihat wilayah yang mengalami kekeringan meteorologis

pada bulan Agustus. Tahun 2002 kekeringan terjadi di pantai timur Riau dan

Jambi. Hampir seluruh Pulau Sumatera mengalami kekeringan meteorologis tahun

2004 kecuali sebagian Aceh, Riau, Sumatera Selatan serta Lampung dan

Bengkulu. Tahun 2006 kekeringan terjadi di seluruh Lampung dan Bengkulu,

serta Sumatera Selatan bagian selatan. Tahun 2007 kekeringan terjadi di Sumatera

Utara bagian selatan dan Sumatera Barat bagian utara. Kekeringan meteorologis

tidak telihat pada athun 2008 sampai 2010 pada bulan Agustus di Pulau Sumatera.

Bulan September 2001 tidak terlihat wilayah yang mengalami kekeringan

meteorologis sama seperti bulan Agustus 2001. Kekeringan terjadi pada tahun

2002 di bagian timur Lampung. Tahun 2003 juga tidak terlihat wilayah yang

mengalami kekeringan meteorologis dan tahun 2004 wilayah yang mengalami

kekeringan adalah Riau bagian selatan. Tahun 2005 semua wilayah Sumatera

Utara mengalami kekeringan meteorologis. Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan

bagian barat, seluruh Bengkulu dan Sumatera Barat terlihat mengalami

kekeringan meteorologis bulan September tahun 2006. Tahun 2007 dan 2008

hanya sebagian kecil pantai utara Aceh yang mengalami kekeringan. Tahun 2009

kekeringan terjadi di pantai timur Jambi dan Sumatera Selatan. Tahun 2010 tidak

terlihat ada wilayah yang mengalami kekeringan meteorologis.

Pantai barat Sumatera Barat dan Sumatera Utara mengalami kekeringan

meteorologis pada bulan Oktober 2001. Tahun 2002 Lampung, Sumatera Selatan,

Bengkulu, Riau, dan Sumatera Utara mengalami kekeringan meteorologis. Tahun

2003, 2004, dan 2005 tidak terlihat wilayah yang mengalami kekeringan

meteorologis pada bulan Oktober. Kekeringan meteorologis bulan Oktober terjadi

lagi pada tahun 2006 di bagian selatan Sumatera Barat dan Jambi, seluruh

Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Lampung. Tahun 2007

juga tidak terdapat wilayah yang mengalami kekeringan meteorologis. Tahun

21

2008, 2009, dan 2010 kekerigan terjadi di Sumatera Barat bagian Utara, Aceh

bagian barat, dan sebagian Riau bagian timur.

Bulan November kekeringan meteorologis tidak terjadi pada tahun 2002,

2003, 2005, 2008, 2009, dan 2010. Tahun 2001 kekeringan terjadi pada pantai

barat Sumatera Utara dan Pulau Nias dan tahun 2004 kekeringan terjadi di pantai

timur Sumatera Utara. Hampir seluruh Pulau Sumatera mengalami kekeringan

meteorologis tahun 2006 kecuali Sumatera Utara dan Aceh bagian barat. Tahun

2007 kekeringan menyebar di bagian selatan dan utara Pulau Sumatera.

Tahun 2001 bulan Desember kekeringan terjadi sepanjang pantai barat

Sumatera Barat dan Bengkulu serta Jambi bagian selatan. Tahun 2002 kekeringan

terjadi di Lampung. Tahun 2003 dan 2004 tidak terlihat wilayah yang mengalami

kekeringan. Tahun 2005 dan 2006 kekeringan tersebar di Kepulauan Riau,

Lampung bagian selatan, Pulau Nias, Sumatera Selatan, dan Aceh bagian utara.

Tahun 2007 dan 2008 kekeringan terjadi di Riau dan tahun 2009 tidak terlihat

wilayah yang mengalami kekeringan meteorologis. Tahun 2010 seluruh Sumatera

Barat dan Bengkulu, Jambi bagian utara, Riau bagian selatan mengalami

kekeringan meteorologis.

Kekeringan meteorologis hampir terjadi setiap tahun dan paling sering

terjadi pada bulan Juni dan Juli, dari hasil pemetaan tersebut juga terlihat bahwa

kekeringan terjadi pada bulan-bulan basah seperti bulan Oktober, November dan

Desember hal tersebut disebabkan oleh indeks kekeringan yang dihitung hanya

dipengaruhi oleh nilai curah hujan saja. Wilayah yang sering mengalami

kekeringan meteorologis adalah Riau, Sumatera Utara dan Lampung dimana

hampir setiap tahun daerah tersebut mengalami kekeringan meteorologis baik

pada bulan kering Mei, Juni, dan Juli maupun pada bulan basah November,

Desember, dan Januari. Nilai kekeringan yang didapatkan mengikuti musim

dimana pada bulan dengan curah hujan sedikit maka nilai indeks kekeringan

meteorologis yang didapatkan akan semakin kecil yang menunjukkan kriteria

kering, sedangkan hampir semua wilayah di Pulau Sumatera mengalami

kekeringan meterologis namun pada bulan yang berbeda-beda. Hal tersebut

dipengaruhi oleh penyebaran hujan tidak selalu merata setiap tempat dan waktu

sehingga mempengaruhi nilai indeks kekeringan yang didapatkan.

Salah satu contoh pemetaan indeks kekeringan di Pulau Sumatera

menggunakan skala waktu bulanan metode SPI pada bulan Juni tahun 2005

(Gambar 10). Berdasarkan peta yang ditampilkan tersebut dapat diketahui bahwa

pada bulan Juni tahun 2005 yang merupakan salah satu bulan kering, wilayah

yang mengalami kekeringan meteorologis yaitu: Aceh bagian pantai barat,

Sumatera Utara, Riau, sebagian kecil Sumatera Barat, dan Jambi. Dari peta

tersebut juga didapatkan informasi tingkat kekeringan meteorologis wilyah

tersebut mulai dari daerah yang normal (warna), kering (warna merah), dan daerah

yang memiliki kriteria basah (warna kuning).

22

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil perhitungan nilai indeks kekeringan menggunakan metode SPI

(Standardized Preciptation Index) menunjukkan tingkat kekeringan meteorologis

yang bervariasi di Pulau Sumatera dengan nilai indeks kekeringan -2.51 hingga

2.67 dengan kriteria sangat kering hingga sangat basah. Indeks kekeringan SPI

dihitung berdasarkan faktor nilai curah hujan dugaan satelit TRMM yang telah

divalidasi menggunakan data pengamatan observasi stasiun permukaan. Data

dugaan tersebut cukup baik digunakan karena hasil dari validasi menunjukkan

nilai yang baik dari uji secara visual dan uji secara stastistik antara hubungan nilai

curah hujan dugaan TRMM dengan data pengamatan stasiun.

Hasil pemetaan indeks kekeringan setiap bulannya dari tahun 2001 sampai

2010 menunjukkan sebaran kekeringan yang bervariasi setiap bulannya dimana

kekeringan dominan terjadi pada Juni dan Juli yang terjadi hampir setiap tahun

kecuali tahun 2006 pada bulan Juni dan tahun 2004 bulan Juli. Kekeringan

meteorologis juga didapatkan pada bulan basah seperti bulan November tahun

2001, 2004, 2006, dan 2007 serta bulan Desember tahun 2001, 2005, 2006, 2007,

2008 dan 2010. Tahun 2006 kekeringan terjadi pada akhir tahun yang merupakan

bulan basah pada bulan September, Oktober, dan November wilayah Sumatera

bagaian selatan dan tengah meliputi: Jambi, Bengkulu, Lampung, Sumatera

Selatan, dan Sumatera Barat mengalami kekeringan.

Wilayah yang sering mengalami kekeringan meteorologis dari hasil

pemetaan adalah Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, dan Lampung. Tahun

2001 sampai 2010 hanya tahun 2003 daerah Sumatera Utara tidak mengalami

Gambar 10 Peta indeks kekeringan Bulan Juni 2005

23

kekeringan meteorologis. Keringan dengan kriteria sangat kering terjadi tahun

2004 dan 2005 dengan wilayah yang sering mengalami kekeringan adalah bagian

selatan dan timur Sumatera Utara. Kekeringan meteorologis di Riau dan Sumatera

Selatan terjadi dari tahun 2001 sampai 2010 dengan kondisi sangat kering pada

tahun 2005 di Riau serta tahun 2007 dan 2008 di Sumatera Selatan. Hampir

seluruh wilayah Riau mengalami kekeringan terutama pada bulan Mei, Juni, dan

Juli bahkan kekeringan juga terjadi pada bulan Desember, Januari, dan Maret di

Riau. Kekeringan di Sumatera Selatan meliputi wilayah bagian barat, utara dan

selatan. Kekeringan sering terjadi pada bulan Mei, Juni, dan Juli. Kekeringan

meteorologis di Lampung tidak terjadi tahun 2009 selebihnya terjadi kekeringan

dengan kondisi sangat kering tahun 2005 dan 2008. Hampir seluruh wilayah

Lampung mengalami kekeringan dengan dimana kekeringan sering terjadi di awal

tahun pada bulan Februari, Maret, April dan Bulan Mei.

Saran

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data satelit TRMM yang

merupakan data dugaan, sehingga diperlukan validasi dengan data observasi

lapangan yang lebih banyak lagi. Perlu dilakukan pengujian terhadap kelayakan

peta yang dihasilkan terutama pada daerah yang terlalu kering atau basah yang

dapat dikaitkan dengan data lainnya. Data satelit dapat digunakan oleh instansi

atau lembaga yang berkatian sebagai pembanding data observasi yang diukur di

lapangan, dan pelengkap data di wilayah yang tidak memiliki alat ukur cuaca dan

iklim.

DAFTAR PUSTAKA

Adidharma WK, Hadihardaja IK, Legowo S. 2004. Perbandingan pemodelan

hujan-limpasan antara artificial neural network (ANN) dan NRECA. Jurnal

Teknik Sipil, 3(11): 105-115.

Aldrian E, Susanto RD. 2003. Identification of three dominant rainfall regions

within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. Int. Jour. of

Clim. 23: 1435-1452.

Asy-syakur AR. 2007. Identifikasi hubungan fluktuasi nilai SOI terhadap curah

hujan bulanan di kawasan Batukaru-Bedugul, Bali. Jurnal Bumi Lestari.

7(2):123-129.

BMKG. 2013. Analisis tingkat kekeringan. Buletin Agroklimat. Vol 02(02):1-19

Bokal S. 20I1. Standardized Precipitation Index tool for drought monitoring:

example from Slovenia. Drought Management Centre for Shoutheastern

Europe: DMCSEE.

Bordi I, Fraedrich K, Sutera A. 2009. Observed drought and wetness trends in

Europe: an update. Hydrological and Earth System Sciences 13:1519-

1530.doi:10.5194/hess-13-1519-2009.

Feidas H, Gianakos A. 2010. Identifiying precipitating clouds in Greece using

multispectral infrared Meteosat Second Generation satellite data. Theoretical

and Applied Climatology. doi:10.1007/s00704-010-0316-5.

24

Grigg, Neil S. 1996. Water Resourses Management: Principle, Regulations, and

Cases. McGraw-Hill.

Dracup JA, Lee KS, Paulson EG. 1980. On the definition of drought. Journal of

Water resourses. 16:297.

Hayes MJ, Svoboda MD, Wall N, Widhalm M. 2001. The Lincoln declaration on

drought index recommended. Bulletin of the American Meteorologist Society.

92(4): doi:10.1175/2010BAMS313.1.

Hounam CE, Burgos JJ, Kalik MS, Palmer WC, Rodda J. 1975. Drought and

agriculture. Technical Note No.138. WMO Publication No. 392, 127pp.

Lillesand dan Kiefer. 1997. Pengindreaan jauh dan interpretasi citra. Dulbahri

(penerjemah). Yogyakarta (ID). Gajah Mada University Press.

McKee TB, Doesken NJ, Kleist J. 1993. The relationship of drought frequency

and duration to time scales. Procedings of the 8th

Conference on Applied

Climatology.

Moreira EE, Mexia JT, Pareira LS. 2012. Are drought occurrence and severity

aggravating? a study on SPI drought class transitions using log-liniear models

and ANOVA-like inference. Journal of Hydrology and Earth System Sciences.

16:3011-3028.doi:10.5194/hess-16-3011-2012.

NASA. 2007. Tropical Rainfall Measuring Mission TRMM. Senior Review

Proposal. [diacu pada 25 September 2013]. Tersedia pada

http://trmm.gsfc.nasa.gov/trmm_rain/Events/TRMMSenRev2007_pub.pdf.

Ogallo LJ, Gbckor-kove N. 1989. Drought and desertification. WCAP 7

WMO/TD No. 286.

Obasi GOP. 1994. WMO’s role in the international decade for natural disaster

reduction. Bulletin of American Meteorological Society. 75:1655-1661.

Palmer W.C. 1995. Meteorological Drought. Research Paper No.45. U.S. Weather

Bureau. Washington, DC.

Pawitan H. 2003. Perubahan penggunaan lahan dan pengaruhnya terhadap

hidrologi daerah aliran sungai. Prosiding: Multifungsi pertanian dan konservasi

sumberdaya lahan: ISBN: 979-9474-34-5.

Sandy IM, 1987. Iklim Regional Indonesia. Jurusan Geografi FMIPA-UI. Depok

(ID). Universitas Indonesia

Sasmitro SD. 2011. Pendugaan curah hujan dengan data satelit geostationer

(MTSAT-IR) dan gelombang mikro imager (TRMM): studi kasus DAS

Citarum. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Suryanti I. 2008. Analisis hubungan antara sebaran kekeringan menggunakan

indeks Palmer dengan karakteristik kekeringan studi kasus: Provinsi Banten.

[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Suryantoro A, Halimurrahman, Harjana T. 2008. Aplikasi satelit Tropical Rainfall

Measuring Mission (TRMM) untuk prediksi curah hujan diwilayah Indonesia.

Paper review. Bandung (ID). LAPAN.

Tjasyono BHK. 2004. Klimatologi. Bandung (BD): Institut Teknologi Bandung.

Wibowo AR. 2010. Evaluasi curah hujan GSMaP dan TRMM TMPA dengan

curah hujan permukaan wilayah Jakarta – Bogor. [skripsi]. Bogor (ID): Institut

Pertanian Bogor.

WMO. 1974. International Glossary of Hidrology. Geneva. WMO-No.385.

25

Lampiran 1 Koordinat stasiun BMKG di Pulau Sumatera

No. Stasiun Bujur Lintang Elevasi

(m dpl)

CH

Tahunan

(mm)

1 SABANG 95.3 5.9 126 1012

2 LHOKSEMAWE 97.2 5.2 87 1128

3 BANDA ACEH 95.4 5.5 21 1879

4 MEULABOH 96.1 4.3 - 3342

5 INDRAPURI 95.3 5.3 - 1210

6 SAMPALI 98.8 3.6 - 1612

7 BELAWAN 98.7 3.8 3 2200

8 MEDAN 98.7 3.6 25 2271

9 TUNTUNGAN 98.6 3.5 - 1652

10 TEBINGTINGGI 99.1 3.4 - 2023

11 AEK GODANG 99.3 1.4 - 1450

12 SIBOLGA 98.9 1.6 3 4820

13 GUNUNG SITOLI 97.6 1.5 6 2376

14 BATAM 104.1 1.1 24 1837

15 TANJUNG BALAI

KARIMUN 103.4 1.0 - 1496

16 TANJUNGPINANG 104.5 0.9 18 2811

17 PAKANBARU 101.5 0.5 31 2499

18 TAREMPA 106.3 3.2 3 1655

26

No. Stasiun Bujur Lintang Elevasi

(m dpl)

CH

Tahunan

(mm)

19 RANAI/NATUNA 108.4 4.0 2 952

20 TELUK BAYUR 100.0 1.2 - 3499

21 PADANG/TABING 100.4 -0.9 3 3223

22

PADANG

PANJANG 101.4 0.6 - 3172

23 SICINCIN 101.4 -0.6 - 1747

24 RENGAT/JAPURA 102.3 0.5 46 1991

25 SINGKEP/DABO 104.6 -0.5 31 2274

26 JAMBI 103.7 -1.6 25 2017

27 KERINCI 101.4 -2.2 782 877

28 PALEMBANG 104.7 -2.9 10 2365

29 KENTEN 104.7 -3.0 - 1740

30

PANGKAL

PINANG 106.1 -2.2 33 1928

31

TANJUNG

PANDAN 107.8 -2.8 44 2709

32 BENGKULU 102.3 -3.9 16 3118

33 KEPAHIYANG 102.6 -3.6 - 1563

34 MENGGALA 105.2 -4.5 19 1662

35 TELUKBETUNG 105.2 -5.3 96 1528

36 KOTA BUMI 104.9 -4.9 - 1416

27

Lampiran 2 Data curah hujan pengamatan stasiun Tabing Padang tahun 2001-2010

Tahun Bulan

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

2001 238 538 245 174 182 231 386 217 249 258 309 139

2002 461 272 208 430 287 175 286 203 350 689 765 424

2003 245 369 246 557 231 121 181 464 396 478 739 501

2004 234 167 353 382 247 136 370 236 361 511 504 418

2005 428 272 310 138 275 245 369 553 689 879 417 399

2006 360 376 814 418 142 318 273 232 88 30 269 461

2007 776 289 349 413 167 394 305 176 344 579 230 591

2008 98 413 554 271 190 493 437 234 305 352 398 669

2009 272 211 236 252 150 134 436 244 320 446 562 367

2010 265 427 815 234 281 346 372 309 539 602 580 206

Sumber : BMKG 2013

Lampiran 3 Data pendugaan curah hujan (mm) satelit TRMM Tabing Padang tahun 2001-2010

Tahun Bulan

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

2001 249 489 174 357 188 163 173 144 287 91 259 186

2002 217 283 316 297 219 139 212 192 192 292 514 384

2003 291 258 488 409 192 189 163 317 258 556 482 350

2004 277 145 230 356 217 62 206 54 242 389 463 446

2005 357 166 234 163 147 140 152 344 194 552 284 281

2006 279 258 229 277 86 193 122 170 145 103 185 374

28

2007 389 229 198 275 137 246 244 120 249 358 141 353

2008 177 141 392 229 124 294 292 201 282 143 243 360

2009 207 206 242 209 102 140 163 207 222 366 450 313

2010 246 324 681 309 222 359 309 256 417 349 387 191

Sumber : http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.NASA/.GESDAAC/.

Lampiran 4 Uji konsistensi data pendugaan satelit TRMM

Sabang/Cut Bau

Lhoksemawe

Banda Aceh

Meulaboh

Indrapuri

Sampali

29

Belawan

Medan

Tuntungan

Tebing Tinggi

Aek Godang

Sibolga

Gunung Sitoli

Hang Nadim, Batam

Tanjung Balai Karimun

30

Tanjung Pinang

Simpang Tiga, Pekanbaru

Tarempa

Natuna

Teluk Bayur

Tabing, Padang

Sicincin

Padang Panjang

Rengat

31

Singkep/Dabo

Paalmerah, Jambi

Kerinci

Palembang

Kenten

Pangkal Pinang

Tanjung Pandan

Kepahiyang

Bengkulu

32

Teluk Betung

Kota Bumi

Menggala

Lampiran 5 Indeks kekeringan maksimum tahun 2001-2010

Sabang/Cut Bau

Lhoksemawe

Banda Aceh

Meulaboh

Indrapuri

Sampali

33

Belawan

Medan

Tuntungan

Tebing Tinggi

Aek Godang

Sibolga

Gunung Sitoli

Hang Nadim, Batam

Tanjung Balai Karimun

34

Tanjung Pinang

Simpang Tiga, Pekanbaru

Tarempa

Natuna

Teluk Bayur

Tabing, Padang

Sicincin

Padang Panjang

Rengat

35

Singkep/Dabo

Paalmerah, Jambi

Kerinci

Palembang

Kenten

Pangkal Pinang

Tanjung Pandan

Kepahiyang

Bengkulu

36

Teluk Betung

Kota Bumi

Menggala

Lampiran 6 Perbandingan fluktuasi curah hujan dengan indeks kekeringan tahun 2001-2010

Sabang/Cut Bau

Lhoksemawe

Banda Aceh

Meulaboh

Indrapuri

Sampali

37

Belawan

Medan

Tuntungan

Tebing Tinggi

Aek Godang

Sibolga

Gunung Sitoli

Hang Nadim, Batam

Tanjung Balai Karimun

38

Tanjung Pinang

Simpang Tiga, Pekanbaru

Tarempa

Natuna

Teluk Bayur

Tabing, Padang

Sicincin

Padang Panjang

Rengat

39

Singkep/Dabo

Paalmerah, Jambi

Kerinci

Palembang

Kenten

Pangkal Pinang

Tanjung Pandan

Kepahiyang

Bengkulu

40

Teluk Betung

Kota Bumi

Menggala

Lampiran 7 Peta indeks kekeringan bulanan tahun 2001-2010

2001

Januari

Februari

Maret

41

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

September

42

Oktober

November

Desember

2002

Januari

Februari

Maret

43

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

September

44

Oktober

November

Desember

2003

Januari

Februari

Maret

45

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

September

46

Oktober

November

Desember

2004

Januari

Februari

Maret

47

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

September

48

Oktober

November

Desember

2005

Januari

Februari

Maret

49

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

September

50

Oktober

November

Desember

2006

Januari

Februari

Maret

51

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

September

52

Oktober

November

Desember

2007

Januari

Februari

Maret

53

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

September

54

Oktober

November

Desember

2008

Januari

Februari

Maret

55

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

September

56

Oktober

November

Desember

2009

Januari

Februari

Maret

57

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

September

58

Oktober

November

Desember

2010

Januari

Februari

Maret

59

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

September

60

Oktober

November

Desember

61

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Pekan Kamis, Sumatera Barat pada tanggal 01 November 1990.

Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari Bapak Jhoni dan Rosneti. Penulis

menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 1 Tilatang Kamang pada tahun 2009

kemudian pada tahun yang sama diterima di Institut Pertanian Bogor Departemen

Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

melalui jalur USMI.

Selama kuliah, penulis aktif dalam berbagai unit kegiatan mahasiswa antara

lain: Uni Koservasi Fauna (UKF) IPB, Selain itu penulis juga pernah menjadi anggota

Himpro departemen sosial dan kewirausahaan Himpunan Mahasiswa

Agrometeorologi (Himagreto) 2011/2012. Penulis aktif dalam Organisasi non kampus

Indonesia Climate Student Forum (ICSF) sebagai Program Officer in Climate

Education for Elementary School tahun 2012/2013. Penulis juga aktif pada kegiatan

Earth Hour yang di inisisiasi oleh WWF Indonesia dan mejadi salah satu perwakilan

untuk Earth Hour Bogor tahun 2012 dan 2013. Penulis juga pernah mengikuti

program pengabdian masyarakat IPB Goes to Field (IGTF) tahun 2012 di Demak.

Penulis mengerjakan penelitian tugas akhir berjudul Analis dan Pemetaan

Indeks kekeringan Meteorologis Menggunakan Data Satelit TRMM dari 36 Titik

Stasiun BMKG di Pulau Sumatera, sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana

sains di dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M, Sc. E.