Analisa sifat fisik dan kimia tanin dari ekstrak kulit kayu leda (Eucalyptus Deglupta Blume)
-
Upload
rakhmat-awaliyan -
Category
Documents
-
view
473 -
download
0
description
Transcript of Analisa sifat fisik dan kimia tanin dari ekstrak kulit kayu leda (Eucalyptus Deglupta Blume)
ANALISA SIFAT FISIK DAN KIMIA TANIN DARI EKSTRAK KULIT KAYU
LEDA (Eucalyptus deglupta Blume.)
Oleh :
H. M. Rakhmat Awaliyan NIM : 01 26976 03005 04
FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA 2005
ANALISA SIFAT FISIK DAN KIMIA TANIN DARI EKSTRAK KULIT KAYU
LEDA (Eucalyptus deglupta Blume.)
Oleh :
H. M. Rakhmat Awaliyan NIM : 01 26976 03005 04
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan
Pada Fakultas Kehutanan
Universitas Mulawarman
FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA 2005
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Skripsi : ANALISA SIFAT FISIK DAN KIMIA TANIN DARI EKSTRAK KULIT KAYU LEDA (Eucalyptus deglupta Blume.)
Nama Mahasiswa : H. M. RAKHMAT AWALIYAN Nim : 01/26976/03005/04 Jurusan : TEKNOLOGI HASIL HUTAN
Menyetujui :
Pembimbing I
Dr. Ir. Enih Rosamah, M.Sc. NIP. 131 964 197
Pembimbing II
Ir. Edi Sukaton, M.Sc. NIP.130 869 811
Mengetahui :
Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman
Prof. Dr. Ir. H. Sipon Muladi NIP. 131 475 143
Lulus Ujian Tanggal : .......................................
iii
ABSTRAK
H. M. Rakhmat Awaliyan, Analisa Sifat Fisik dan Kimia Tanin dari
Ekstrak Kulit Kayu Leda (Eucalyptus deglupta Blume.). (Dibawah bimbingan
Enih Rosamah dan Edi Sukaton).
Dewasa ini kulit kayu yang mulanya merupakan hasil dari limbah industri
perkayuan mulai menjadi pusat perhatian. Hal ini dikarenakan kulit kayu banyak
memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan, selain jumlahnya yang kian meningkat
dan ketersediannya berkesinambungan.
Tanin merupakan salah satu potensi yang terkandung dalam kulit kayu
yang dapat diperoleh dengan cara ekstraksi. Tanin dapat digunakan untuk
berbagai keperluan seperti bahan pengawet, bahan penyamak, bahan perekat,
bahan pewarna, bahan farmasi atau bahan industri kimia lainnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan tanin yang terdapat
pada kulit kayu Eucalyptus deglupta Blume dan untuk mengetahui sifat fisik dan
kimia serta kereaktifan tanin yang dihasilkan.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Kayu, Laboratorium Industri
Hasil Hutan dan Laboratorium Teknologi Pulp dan Kertas Jurusan Teknologi
Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman dengan lama waktu
penelitian sekitar 6 bulan.
Perbedaan pelarut yang digunakan untuk mengekstrak tanin sangat
mempengaruhi rendemen dan kadar padat yang dihasilkan. Hasil Penelitian
membuktikan bahwa serbuk kulit Eucalyptus deglupta yang diekstrak dengan
iv
menggunakan pelarut air, pelarut Na2CO3 0,5%, pelarut Urea 0,5% dan pelarut
lindi hitam dimana perbandingan pelarut dan serbuk kulit 1 : 5 menghasilkan nilai
rataan rendemen bervariasi yang nilainya berturut-turut sebesar 9,650%, 16,543%,
9,675% dan 28,137% dengan nilai rataan kadar padat berturut-turut sebesar
2,975%, 5,642%, 3,399% dan 9,869%.
Hasil pengukuran bilangan stiasny untuk pelarut air, pelarut Na2CO3 0,5%,
pelarut Urea 0,5% dan pelarut lindi hitam diperoleh nilai rataan bilangan stiasny
berturut-turut sebesar 65,972%, 62,319%, 52,222% dan 34,754%, hal ini
mencerminkan tanin yang diekstrak menggunakan pelarut air merupakan yang
paling reaktif. Hal tersebut juga dapat dilihat pada kelarutan tanin untuk keempat
jenis pelarut yaitu pada tanin yang menggunakan pelarut air mengandung
polifenol sebesar 14,6% sedang pada ketiga jenis pelarut kimia mengandung tanin
terkondensasi.
Komponen tanin yang diidentifikasi dengan menggunakan kromatografi
lapisan tipis menunjukkan bahwa pada tanin Eucalyptus deglupta komponen
utamanya adalah tanin terkondensasi dimana dengan pelarut air mengandung
katekin, pelarut Na2CO3 0,5% mengandung epikatekin-4-phloroglusinol, pelarut
Urea 0,5% mengandung galokatekin sedangkan pada pelarut lindi hitam
mengandung phloroglusinol.
v
RIWAYAT HIDUP
H. M. Rakhmat Awaliyan lahir di Samarinda pada tanggal 10
April 1983, merupakan anak pertama dari tiga bersaudara
putra dari Bapak Ir. H. Sjachril Sjahibar dan Ibu Hj.
Murniah Kadir.
Jenjang pendidikan dasar dimulai pada tahun 1989 di SD
Negeri. No. 18 Samarinda dan lulus pada tahun 1995. Pada tahun yang sama
melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 1 Samarinda dan lulus
pada tahun 1998. Pendidikan menengah atas diselesaikan di SMU Negeri 1
Samarinda dan lulus pada tahun 2001.
Pendidikan tinggi dimulai pada tahun 2001 di Fakultas Kehutanan, Jurusan
Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman melalui
Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).
Pengabdian terhadap masyarakat yang merupakan realisasi Tri Dharma
Universitas Mulawarman dilaksanakan melalui Kuliah Kerja Nyata (KKN) di
Kelurahan Bantuas, Kecamatan Palaran, Kotamadya Samarinda pada tahun 2004.
Program Praktek Kerja Lapangan (PKL) sebagai aplikasi teori dari disiplin
ilmu yang ditekuni telah dilaksanakan di PT. Kayan River Indah Plywood
Samarinda pada tahun 2005.
Selama menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Kehutanan Universitas
Mulawarman pernah mengikuti kegiatan Orientasai Studi dan Pengenalan
Kampus (OSPEK) pada tahun 2001, kemudian pada tahun yang sama mengikuti
vi
kegiatan Bakti Kampus Hijau III (BAKAU III), Cipta Bakti Kampus dan
Lingkungan III (CIKAL III) dan Kajian Islam Rimbawan V (KIR V) kemudian
pada tahun 2003 menjadi panitia pelaksana kegiatan Cipta Bakti Kampus dan
Lingkungan IV (CIKAL IV).
vii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur yang sebesar-besarnya ke
hadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah–Nya sehingga Penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana kehutanan dan merupakan penutup dari seluruh rangkaian program
akademis.
Tersusunnya skripsi ini tidak lepas dari bimbingan dan bantuan baik moril
maupun material serta saran–saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih dan penghormatan sebesar–besarnya kepada :
1. Ayahanda Ir. H. Sjachril Sjahibar dan Ibunda tercinta Hj. Murniah Kadir.
Sembah sujud kepada keduanya yang tiada kenal lelah dalam memberikan
bimbingan dan do’a restu yang tulus, serta terima kasih kepada Koko dan
Dede tercinta atas dukungan dan dorongan semangat yang telah diberikan.
2. Ibu Dr. Ir. Enih Rosamah, M.Sc. dan Bapak Ir. Edi Sukaton, M.Sc. selaku
Pembimbing I dan Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan
arahan dalam pelaksanaan penelitian dan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Sipon Muladi selaku Dekan Fakultas Kehutanan
Universitas Mulawarman.
4. Ibu Ir. Sri Asih Handayani, M.P. dan Ibu Ir. Kusno Yuli Widiati, M.P.
selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas
Kehutanan dan Bapak Dr. Ir. H. Agus Sulistyo Budi selaku dosen wali.
viii
5. Ibu Harlinda Kuspradini, S.Hut, M.P., Bapak Yuliansyah, S.Hut, M.P.,
dan Bapak Dr. Rudianto Amirta, S.Hut, M.P. yang selama ini telah banyak
membantu di dalam pelaksanaan penelitian.
6. Seluruh Staf pengajar dan administrasi yang ada di Fakultas Kehutanan.
7. Rekan-rekan di Laboratorium Kimia Kayu ; Kiki, Suhendry, Veronica dan
Ari terima kasih atas segala bantuan dan kerjasamanya selama ini. Kepada
Liza, terima kasih atas dukungan dan semangat yang telah diberikan. Rekan-
rekan Angkatan ’01, terima kasih atas persahabatan dan persaudaraan yang
telah terjalin selama ini.
8. Kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah
memberikan jasa dan bantuannya kepada Penulis.
Semoga semua amal dan kebaikan yang diberikan senantiasa mendapatkan
imbalan dari Allah SWT dan semoga semua rahmat dan hidayah-Nya selalu
tercurah kepada kita semua.
Penulis pun menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak
terdapat kekurangan dan kelemahan, namun Penulis berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin ya robbal alamin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
H. M. Rakhmat Awaliyan
Kampus Gunung Kelua, Desember 2005
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................. ii
ABSTRAK ............................................................................................ iii
RIWAYAT HIDUP .............................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................... vii
DAFTAR ISI ......................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ................................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ xiii
I. PENDAHULUAN ........................................................................ 1
II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 4
A. Kulit Kayu ............................................................................ 4
B. Tanin .................................................................................... 16
C. Risalah Jenis Leda (Eucalyptus deglupta Blume.) ............... 26
III. METODE PENELITIAN ........................................................... 30
A. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................. 30
B. Bahan dan Peralatan Penelitian ............................................ 30
C. Prosedur Penelitian .............................................................. 31
D. Pengolahan Data .................................................................. 41
IV. HASIL PENELITIAN ................................................................ 42
A. Sifat Fisik Tanin ................................................................... 42
1. Warna ............................................................................. 42
x
2. pH ................................................................................... 42
3. Kadar padat & rendemen ............................................... 43
4. Waktu gelatinasi ............................................................. 44
B. Sifat Kimia Tanin ................................................................. 44
1. Bilangan Stiasny ............................................................ 45
2. Pemisahan tanin berdasarkan kelarutan ......................... 45
3. Pemisahan komponen tanin dengan kromatografi ......... 46
4. Kapasitas buffer (buffer capacity) .................................. 48
V. PEMBAHASAN .......................................................................... 49
A. Sifat Fisik Tanin ................................................................... 49
1. Warna ............................................................................. 49
2. pH ................................................................................... 50
3. Kadar padat & rendemen ............................................... 51
4. Waktu gelatinasi ............................................................. 55
B. Sifat Kimia Tanin ................................................................. 57
1. Bilangan Stiasny ............................................................ 57
2. Pemisahan tanin berdasarkan kelarutan ......................... 61
3. Pemisahan komponen tanin dengan kromatografi ......... 63
4. Kapasitas buffer (buffer capacity) .................................. 66
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 68
A. Kesimpulan .......................................................................... 68
B. Saran ..................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 71
LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................. 74
GAMBAR-GAMBAR .......................................................................... 82
xi
DAFTAR TABEL
No Tubuh Utama Halaman
1. Kandungan Tanin Terkondensasi yang Larut dalam Air dari Kulit Berbagai Pohon ................................................................................ 13
2. Kulit Kayu yang Penting Berasal dari Eropa ................................... 16
3. Nilai Rf dari TLC Satu Dimensi ....................................................... 38
4. Warna dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta ............................... 42
5. Nilai Rataan pH dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta ................ 43 6. Nilai Rataan Kadar Padat (%) dan Rendemen (%) dari Ekstrak
Kulit Eucalyptus deglupta ................................................................ 43 7. Nilai Rataan Waktu Gelatinasi dari Ekstrak Kulit Eucalyptus
deglupta ............................................................................................ 44 8. Nilai Rataan Bilangan Stiasny dari Ekstrak Kulit Eucalyptus
deglupta ............................................................................................ 45 9. Nilai Rataan Kelarutan dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta ..... 46
10. Nilai Rf dengan Eluen Asam Asetat 6% .......................................... 46
11. Nilai Rf dengan Eluen T-Butanol : Asam Asetat : Air ..................... 47
12. Nilai Rf dengan Eluen Kloroform : Asam Asetat : Air .................... 47
13. Nilai Rf dengan Eluen Metanol : Kloroform : Air ........................... 48
14. Nilai Buffer Capacity dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta ........ 48
xii
DAFTAR LAMPIRAN
No Tubuh Utama Halaman
1. Nilai Kadar Air dari Serbuk Kulit Eucalyptus deglupta .................. 74 2. Nilai pH dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta dengan Kadar
Padat Sekitar 1% .............................................................................. 75 3. Rendemen dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta ......................... 76
4. Kadar Padat dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta ....................... 77
5. Bilangan Stiasny dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta ............... 78
6. Waktu Gelatinasi dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta .............. 79
7. Kelarutan dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta ........................... 80
8. Buffer Capacity dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta ................. 81
xiii
DAFTAR GAMBAR
No Tubuh Utama Halaman
1. Flavanol, Unit Prosianidin dari Kulit Black Wattle (Acacia mearnsii) dan Asam Polifenolat dari Kulit Konifer ......................... 12
2. Komponen Fenol Tanin Terhidrolisa ............................................... 17
3. Struktur Beberapa Tanin yang Dapat Dihidrolisis ........................... 18
4. Struktur Tanin Terkondensasi .......................................................... 19
5. Kemungkinan Kombinasi Monomer Flavanoid ............................... 20
6. Pangkal Batang Eucalyptus deglupta Blume ................................... 27
7. Kulit Eucalyptus deglupta Blume .................................................... 28
8. Serbuk Kulit Kayu Eucalyptus deglupta Blume .............................. 32
9. Proses Ekstraksi Kulit Eucalyptus deglupta .................................... 33
10. pH Meter Digital .............................................................................. 35
11. Proses Pengujian Bilangan Stiasny .................................................. 36
12. Proses Pengujian Waktu Gelatinasi ................................................. 37
13. Identifikasi Tanin dengan Kromatografi Lapis Tipis ....................... 39
14. Proses Pengujian Kelarutan .............................................................. 40
15. Proses Pengukuran Buffer Capacity ................................................. 41
16. Warna Tanin 1. Air 2. Na2CO3 0,5% 3. Urea 0,5% 4. Lindi Hitam 49
17. Nilai pH dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta ............................ 50
18. Nilai Rendemen dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta ................ 52
19. Nilai Kadar Padat dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta .............. 52
20. Nilai Waktu Gelatinasi dari Ekstak Kulit Eucalyptus deglupta ....... 56
xiv
21. Bilangan Stiasny dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta ............... 58
22. Nilai Rf dengan Eluen Asam Asetat 6% .......................................... 63
23. Nilai Rf dengan Eluen T-Butanol : Asam Asetat : Air ..................... 63
24. Nilai Rf dengan Eluen Metanol : Kloroform : Air ........................... 64
25. Nilai Rf dengan Eluen Kloroform : Asam Asetat : Air .................... 64
26. Nilai Buffer Capacity dari Ekstrak Tanin ........................................ 66
27. Deretan Pepohonan Eucalyptus deglupta ........................................ 82
28. Lindi Hitam dari Hasil Pemasakan Bambu Kuning ......................... 82
29. Mesin Penyerbuk .............................................................................. 83
30. Lampu Ultra Violet .......................................................................... 83
31. Serbuk Tanin Eucalyptus deglupta .................................................. 84
32. Hasil Pengujian Waktu Gelatinasi ................................................... 84
33. Penyimpanan Tanin .......................................................................... 85
I. PENDAHULUAN
Saat ini telah banyak dibangun Hutan Tanaman Industri (HTI) yang
menanam jenis-jenis pohon cepat tumbuh (fast growing species) seperti jenis
akasia, gmelina, leda dan sengon. Jenis ini memiliki daur hidup yang cukup
pendek dimana pada umur 10-24 tahun saja sudah dapat dipanen.
Tujuan utama pembangunan Hutan Tanaman Industri adalah untuk
mendapatkan bahan baku industri perkayuan dalam waktu pendek dengan potensi
tinggi sehingga dapat memenuhi permintaan bahan baku kayu yang setiap
tahunnya semakin meningkat.
Salah satu jenis kayu yang dianjurkan pemerintah untuk ditanam dalam
pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah jenis leda (Eucalyptus
deglupta Blume.). Jenis ini memiliki prospek yang cukup baik untuk
dikembangkan dalam pembangunan HTI karena selain termasuk jenis yang cepat
tumbuh, kayunya juga mudah untuk diolah. Sehingga diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan pasar akan bahan baku kayu mebel dan plaket.
Pemanfaatan kayu Eucalyptus deglupta yang paling banyak dewasa ini adalah
untuk industri kertas.
Industri-industri pengolahan kayu seperti industri pulp dan kertas, industri
papan serat dan industri lainnya selalu menghindari adanya kulit dalam proses
produksinya. Kulit kayu memiliki kandungan ekstraktif yang relatif tinggi yang
akan menghambat proses perekatan, menimbulkan warna hitam dan menurunkan
kualitas produk. Pada industri pulp dan kertas, kulit kayu dapat menyebabkan
kualitas kertas yang dihasilkan turun. Pada industri papan serat dapat
2
menyebabkan menurunnya kualitas perekatan dan tingkat kecerahan papan serat
yang dihasilkan.
Biasanya pihak pengusaha industri perkayuan berusaha memanfaatkan
limbah kulit kayu sebagai bahan bakar bagi turbin uap yang digunakan. Seiring
dengan perkembangan teknologi, dewasa ini telah mulai ditemukan pemanfaatan
kulit kayu dalam banyak hal antara lain sebagai bahan industri, penutup
permukaan tanah, bahan penyamak, pewarna, perekat, obat-obatan, kemungkinan
digunakan sebagai sumber pakan kimia ternak dan pembuatan kompos. Kulit
kayu yang berserat, walaupun berserat pendek dan rapuh bisa dimanfaatkan untuk
pasak ubin, papan tiruan, bahan penyaring dalam pengeboran minyak, bahan
tambahan pada keramik maupun pada industri semen beton (Haygreen dan
Bowyer, 1996).
Dalam tahun-tahun terakhir kulit kayu telah beralih dengan cepat menjadi
pusat perhatian, sejumlah studi mengenai struktur dan komposisinya maupun
percobaan penggunaannya telah dilakukan. Salah satu bentuk pemanfaatan kulit
kayu ialah dengan cara memanfaatkan taninnya. Tanin merupakan salah satu
potensi yang terkandung dalam kulit kayu yang dapat diperoleh dengan cara
ekstraksi. Tanin dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti bahan
pengawet, bahan penyamak, bahan perekat, bahan pewarna, bahan farmasi atau
bahan industri kimia lainnya.
Beberapa jenis pelarut yang dapat digunakan dalam ekstraksi tanin, antara
lain : alkohol, benzen, air dan eter. Namun pada umumnya ekstraksi tanin secara
3
komersial menggunakan pelarut air, selain ekonomis rendemen tanin yang
diperoleh melalui pelarut ini cukup tinggi (Browning, 1967).
Sebagai perekat, biasanya tanin direaksikan dengan formaldehid yang
akan membentuk suatu resin yang mudah lengket.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan tanin yang
terdapat pada kulit kayu Eucalyptus deglupta Blume. dan untuk mengetahui sifat
fisik dan kimia serta kereaktifan tanin yang dihasilkan.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran
dan informasi mengenai kandungan tanin kulit kayu Eucalyptus deglupta Blume.
dan dapat dijadikan dasar dalam pemanfaatan tanin dari kulit kayu tersebut.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kulit Kayu
Kulit adalah lapisan luar kambium yang mengelilingi batang, cabang dan
akar yang jumlahnya sekitar 10-15% dari berat pohon. Kayu yang telah dikuliti
biasanya digunakan untuk pulp dan sisa kulit dapat berpengaruh buruk terhadap
kualita pulp, bahkan dalam jumlah kecil. Hasil limbah kulit biasanya dibakar
untuk memperoleh panas. Walaupun studi ekstensif telah dilakukan, hanya
sebagian kecil kulit digunakan saat sekarang sebagai bahan dasar untuk
memproduksi bahan-bahan kimia (Sjöström, 1981).
Sedangkan Fengel dan Wegener (1984) menyatakan jumlah kulit kayu
sekitar 10-20 % dari batang tergantung pada spesies, kondisi pertumbuhan pohon,
letak pada batang dan tempat tumbuh serta umur pohon. Bagian pohon yang
memiliki jumlah kulit paling tinggi adalah pada cabang sebesar 20-35 %, kulit
bagian tunggul dan akar juga lebih tinggi dari batang (Young 1971, dalam
Fengel dan Wegener, 1984).
Kulit kayu dalam proses kehidupan pohon berfungsi untuk melindungi
bagian kayu baik dari kerusakan biologis maupun mekanis dan berguna untuk
menyalurkan serta mendistribusikan cairan maupun bahan makanan atau hasil
fotosintesa dari daun ke seluruh bagian pohon (Supraptono, 1996).
Telah lama kulit dipandang sebagai limbah yang mengganggu dan dibakar
atau disimpan. Hanya kulit sejumlah kecil spesies kayu yang dimanfaatkan,
5
misalnya kulit kayu oak dan chestnut untuk diekstraksi zat penyamaknya (Fengel
dan Wegener, 1984).
1. Struktur morfologi kulit kayu
Dilihat dari struktur morfologi kulit kayu memiliki warna yang berbeda.
Kulit bagian luar misalnya berwarna hitam (seperti Diospyrus discolor), coklat
ungu (seperti Bioshofia javanica) dan kuning (seperti Pterocarpus indicus),
sedangkan warna permukaan kulit dalam terdiri atas polos, bercak-bercak,
bergaris-garis, keputih-putihan, kekuning-kuningan, kuning tua, jingga merah,
merah kecoklat-coklatan, coklat dan lain sebagainya (Bratawinata, 1987).
Penampakan (tekstur) permukaan kulit luar dibedakan antara lain : berduri,
kasar, rata, bersisik, berbisul-bisul, berparut-parut dan pecah-pecah
(Bratawinata, 1987).
Menurut Supraptono (1996), ketebalan kulit kayu berbeda menurut
tempat tumbuh dan bagian batang pohon. Pada umumnya bagian pangkal batang
mempunyai kulit kayu yang paling tebal, makin ke ujung pohon kulit kayunya
semakin tipis.
2. Struktur anatomi kulit
Kulit tersusun atas beberapa tipe sel dan strukturnya lebih kompleks bila
dibandingkan dengan kayu. Di samping variasi yang terdapat di dalam spesies
yang sama, tergantung pada faktor-faktor seperti umur dan kondisi pertumbuhan
pohon, setiap spesies ditandai oleh ciri-ciri spesifik dari struktur kulitnya
(Sjöström, 1981).
6
Kulit secara kasar dapat dibagi menjadi kulit bagian dalam yang hidup
atau floem dan kulit bagian luar yang mati atau ritidoma. Jaringan-jaringan dari
bahan kulit dibentuk baik oleh pertumbuhan primer maupun sekunder.
Pertumbuhan primer berarti produksi langsung sel-sel embrio pada titik-titik
pertumbuhan dari puncak batang dan perkembangan lebih lanjut menjadi
jaringan-jaringan primer. Epidermis, korteks, dan floem primer adalah jaringan-
jaringan primer (Sjöström, 1981).
Pembentukan jaringan-jaringan sekunder terjadi dalam dua meristem
khusus, dalam kambium vaskuler, yang menghasilkan floem sekunder, dan dalam
kambium gabus (fellogen), yang menghasilkan periderm. Dalam kulit tua
periderm yang dibentuk terakhir merupakan batas antara kulit dalam dan luar
(Sjöström, 1981).
a. Kulit dalam (inner bark)
Komponen-komponen utama kulit dalam adalah unsur-unsur tapisan, sel-
sel parenkim, dan sel-sel sklerenkim. Unsur-unsur tapisan berfungsi melakukan
transportasi cairan dan makanan. Lebih khusus dan sesuai dengan bentuk mereka
unsur-unsur tapisan dibagi menjadi sel-sel tapisan dan buluh-buluh tapisan. Tipe
yang pertama terdapat dalam gymnosperm, yang terakhir terdapat dalam
angiosperm. Unsur-unsur tapisan tersusun dalam baris-baris sel longitudinal yang
dihubungkan melalui daerah tapisan. Sel-sel tapisan relatif sempit dengan ujung-
ujung meruncing, sedangkan buluh-buluh tapisan lebih tebal dan silindris. Setelah
1-2 tahun, atau setelah waktu yang lama dalam monokotil, aktifitas unsur-unsur
7
tapisan berhenti dan mereka diganti oleh unsur-unsur yang baru (Sjöström,
1981).
Sel-sel sklerenkim berfungsi sebagai jaringan pendukung yang dapat
dilihat dalam kebanyakan spesies pohon sebagai lapisan-lapisan yang sesuai
dengan lingkaran-lingkaran tahun dalam xilem (Sjöström, 1981).
Sel parenkim mempunyai fungsi penyimpanan makanan dan terdapat di
antara unsur-unsur tapisan dalam kulit dalam (Sjöström, 1981). Fengel dan
Wegener (1984), menjelaskan bahwa sel parenkim tersusun atas untaian, atau
pita longitudinal, atau tersebar diantara sel-sel tapisan. Floem juga mengandung
parenkim jari-jari, yang strukturnya mirip dengan struktur kayu yang sesuai. Jari-
jari floem, berhubungan dengan jari-jari xilem, dan berperanan untuk
pengangkutan hasil-hasil metabolik ke arah radial
b. Kulit luar (outer bark)
Ritidoma sebagian besar merupakan jaringan mati dengan endapan-
endapan dalam sel-selnya, dan fungsinya untuk melindungi batang terhadap
serangan mikroorganisme atau lepasnya air (Fengel dan Wegener, 1984).
Menurut Sjöström (1981), kulit luar yang terutama terdiri dari periderm
atau lapisan-lapisan gabus melindungi jaringan-jaringan kayu terhadap kerusakan
mekanik dan menjaganya dari variasi suhu dan kelembaban.
Periderm pertama dalam batang biasanya muncul dari kambium gabus
pada permukaan luar kulit, baik dalam lapisan sub epidermal atau dalam
epidermis. Periderm berikutnya kemudian dibentuk dalam lapisan kulit yang lebih
dalam atau dalam jaringan kulit (Sjöström, 1981).
8
Ketebalan kulit bagian luar berkisar dari relatif tipis (1,3 - 2,5 mm) dalam
sejumlah jenis seperti Aspen sampai cukup tebal (0,3 cm atau lebih) dalam jenis
seperti Redwood dan Douglasfir. Tanpa memandang tebal kulit, kulit tidak
pernah setebal xilem dari empulur ke kambium yang ada di sebelah dalamnya.
Hal ini karena kambium vaskuler memproduksi xilem lebih banyak daripada sel-
sel floem (xilem berada pada tingkat 3-10x nya floem masing-masing untuk kayu
lunak dan kayu keras) (Haygreen dan Bowyer, 1996).
3. Susunan kimia kulit
Disamping struktur anatominya, susunan kimia kulit kayu menentukan
sifat-sifat yang penting dari segi penggunaanya. Kulit mempunyai sifat
pembengkakan yang berbeda, kurang anisotropik, memiliki koefisien perambatan
panas sedikit lebih rendah dan jauh lebih lunak dalam sifat mekanik kayu
(Sjöström, 1981).
Kekhasan kulit adalah tingginya kandungan konstituen-konstituen tertentu
(ekstraktif) yang dapat larut seperti pektin dan senyawa-senyawa fenol maupun
suberin. Kandungan mineral dalam kulit juga jauh lebih tinggi daripada dalam
kayu (Sjöström, 1981).
a. Konstituen-konstituen yang larut (ekstraktif)
Secara kasar ekstraktif-ekstraktif kulit dapat dibagi menjadi konstituen-
konstituen lipofil dan hidrofil, meskipun kelompok-kelompok ini tidak
mempunyai batas-batas yang jelas. Kandungan total kedua ekstraktif lipofil dan
hidrofil biasanya tinggi dalam kulit bila dibandingkan dalam kayu dan bervariasi
9
dalam batas-batas yang besar diantara spesies-spesies yang berbeda, sekitar 20-
40% berat kering kulit (Sjöström, 1981).
Bagian lipofil, yang dapat diekstraksi dengan pelarut-pelarut non polar
(etil eter, diklorometana, dan sebagainya) terutama terdiri atas lemak, lilin,
terpenoid dan alkohol-alkohol alifatik tinggi. Bagian hidrofil, yang dapat
diekstraksi hanya dengan air atau pelarut-pelarut organik polar (aseton, etanol,
dan sebagainya), mengandung jumlah besar konstituen-konstituen fenol. Banyak
diantara mereka, terutama tanin-tanin kondensasi (sering disebut “asam-asam
fenolat”) dapat diekstraksi hanya sebagai garam dengan larutan-larutan encer
alkali berair. Sebagai contoh, jumlah sangat besar flavonoid, yang sangat
termasuk dalam kelompok tanin-tanin kondensasi, terdapat dalam kulit Hemlock,
Oak dan Redwood. Flavonoid-flavonoid monomer, yang meliputi kuersetin dan
dehidrokuersetin (taksifolin), juga terdapat dalam kulit. Terdapat juga jumlah
kecil lignin dan stilben (misalnya piseatanol dalam kulit Spruce) (Sjöström,
1981).
b. Konstituen-konstituen yang tidak larut
Polisakarida, lignin, dan suberin merupakan konstituen dinding sel pokok
dari kulit (Sjöström, 1981).
1). Polisakarida
Serabut-serabut kulit pada dasarnya dibentuk oleh polisakarida. Selulosa
mendominasi (sekitar 30% dari berat kulit kering) di samping hemiselulosa, yang
merupakan tipe yang sama seperti dalam kayu. Arabinan yang banyak bercabang
mungkin terdapat dalam banyak kulit, dan terutama pinus. Untaian yang
10
menghubungkan unsur-unsur tapisan dikelilingi oleh polisakarida yang disebut
kalosa, yaitu (1-3-β-D-glukan) (Sjöström, 1981).
2). Lignin
Kandungan lignin sekitar 15-30% (didasarkan pada berat kulit bebas
ekstraktif) telah dilaporkan untuk kulit konifer yang berasal dari spesies-spesies
kayu yang berbeda. Studi lain menunjukkan bahwa lignin kulit dalam mirip
dengan lignin kayu, sedangkan lignin kulit luar sangat berbeda darinya
(Sjöström, 1981).
3). Suberin
Sel-sel gabus dalam kulit luar mengandung poliestolida atau suberin.
Kandungan suberin dalam lapisan luar gabus kulit oak (gabus) sangat tinggi dan
berjumlah 20-40% dalam periderm kulit birch. Panjang rantai bervariasi tetapi
suberin diperkaya dengan molekul-molekul yang mempunyai atom karbon 16 dan
18. Terdapat juga ikatan-ikatan rangkap dan gugus-gugus hidroksil yang
memungkinkan ikatan-ikatan silang ester dan eter. Lapisan luar epidermis
mengandung yang disebut kutin, yang bercabang banyak dan mempunyai struktur
yang mirip dengan suberin (Sjöström, 1981).
c. Konstituen-konstituen anorganik
Kulit mengandung 2-5% padatan anorganik dari berat kulit kering
(ditentukan sebagai abu). Logam-logam terdapat sebagai aneka ragam yang
meliputi oksalat, fosfat, silikat, dan sebagainya. Beberapa diantaranya terikat
dengan gugus gugus asam karboksilat dari bahan kulit. Kalsium dan kalium
merupakan logam-logam yang paling banyak. Kebanyakan kalsium terdapat
11
sebagai kristal-kristal kalsium oksalat tersimpan dalam sel-sel parenkim aksial.
Kulit juga mengandung unsur-unsur jejak, seperti boron, tembaga, dan mangan
(Sjöström, 1981).
4. Polifenol
Istilah polifenol mengacu pada sejumlah besar senyawa terutama yang
berasal dari turunan flavan. Polifenol yang terdapat dalam kulit diklasifikasikan
menurut berat molekulnya dan kelarutannya (Fengel dan Wegener, 1995).
Prosianidin (proantosianidin) mempunyai berat molekul paling rendah,
yaitu di- dan trimer flavanol. Senyawa-senyawa tersebut larut dalam metanol, air
panas dan etil asetat. Penyatuan oligomer-oligomer flavanol dari kulit Hemlock
(Tsuga heterophyla) dalam suasana basa menghasilkan asam protokatekuat,
katekin dan phloroglusinol. Penelitian terhadap prosianidin dari kulit pinus yang
diekstraksi dengan air (Pinus radiata, Pinus taeda, Pinus echinata) menunjukkan
bahwa unit pentahidroksiflavanol (katekin) dihubungkan dengan ikatan C4-C8 atau
C4-C6. Ekstrak dari kulit Black Wattle (Acacia mearnsii) mengandung triflavanol
yang terdiri atas katekin (I), gallokatekin (II), leukofisetinidin (III) dan
leukorobinetinidin (IV) yang terikat pada C4-C6 dan C4-C8. Struktur flavanon,
unit prosianidin dari kulit black wattle (Acacia mearnsii) dan asam polifenolat
dari kulit konifer dapat dilihat pada Gambar 1.
12
Gambar 1. Flavanol, Unit Prosianidin dari Kulit Black Wattle (Acacia
mearnsii) dan Asam Polifenolat dari Kulit Konifer (Fengel dan Wegener, 1984).
Tanin terkondensasi (flobafena) mempunyai kemiripan struktur tetapi
berat molekulnya lebih tinggi. Senyawa tersebut larut dalam air panas dan terdiri
atas senyawa dengan berat molekul berkisar antara 1000 (tetramer) sampai 3000
(undekamer). Kandungan tanin terkondensasi dalam kulit sangat bervariasi dari
5-50%. Polifenol tersebut terdiri atas katekin, gallokatekin dan flavanol lain,
terdapat juga flavanol dan kalkon (Hathway, 1962 dalam Fengel dan
Wegener, 1984). Kandungan tanin terkondensasi setiap jenis spesies berbeda,
seperti terlihat pada Tabel 1.
13
Tabel 1. Kandungan Tanin Terkondensasi yang Larut dalam Air dari Kulit Berbagai Pohon (Hathway, 1962 dalam Fengel dan Wegener, 1984 )
. Spesies Hasil (%)
Betula alba 10-15 Castanea sativa 8-14 Eucalyptus adstringens 40-54 Eucalyptus wandoo 13-15 Larix decidua 5-20 Larix leptolepis 10-25 Picea abies 5-18 Picea sitchensis 11-37 Pinus densiflora 6 Pinus nigra Var. calabrica 13-25 Pinus ponderosa 5-11 Pinus radiata 17-18 Pinus sylvestris 16 Pseudotsuga menziesii 5-25 Quercus robur 12-16 Robinia pseudoacacia 7 Sequoia sempervirens 2-8 Tsuga Canadensis 10-11 Tsuga heterophylla 15-16
Kelompok ketiga ini yang termasuk dalam polifenol adalah asam
polifenolat, yang berbeda dari kedua jenis senyawa di atas oleh kenyataan bahwa
mereka hanya dapat diekstraksi dengan 1% NaOH pada 100oC.
5. Manfaat kulit kayu
Telah lama kulit dipandang sebagai limbah yang mengganggu dan dibakar
atau disimpan (Fengel dan Wegener, 1984). Namun sekarang telah banyak
dilakukan penelitian untuk menggali potensi kulit kayu, salah satunya adalah
tanin. Senyawa tanin dapat diperoleh dengan cara mengekstraksi kayu atau kulit
14
pohon tertentu, seperti misalnya yang berasal dari Acacia sp. dan Schinopsis spp.
(Sastradimadja, 1992).
Ekstrak yang berasal dari kayu atau kulit kayu tersebut apabila direaksikan
dengan formaldehid akan membentuk resin yang tahan terhadap air dan
kelembaban. Pemanfaatan kulit kayu antara lain :
a. Sebagai bahan perekat
Kulit kayu memiliki arti penting sebagai bahan perekat. Hal ini tergantung
dari kandungan tanin terkondensasi. Sifat fenolik dari material dan reaktifitasnya
hampir menyamai fenol formaldehid dan telah dikaji sejak tahun 1940. Perekat
tanin formaldehid dapat digunakan sebagai bahan lem di dalam perekatan kayu
(Dix dan Marutzky, 1984 dalam Parastuti, 2002).
Kulit kayu sebagian besar mengandung ikatan fenol yang tahan terhadap
temperatur tinggi sampai reaksi kondensasi. Perekat dari kulit dapat dikatakan
sebagai termoseting atau seting panas dan seting dingin, bahan pengisi kertas,
sebagai lem untuk penyambung besi. Teknologi produksi untuk tanin kulit kayu
mangium sebagai perekat telah dikomersilkan sejak akhir 1960 di Australia.
Pemanfaatan tanin telah digunakan pada industri perkayuan. Perekat tanin dari
kayu mangium telah digunakan secara terus-menerus untuk kayu lapis dan papan
partikel (Santoso, 1997).
b. Sebagai bahan energi
Pemanfaatan kulit kayu sebagai bahan bakar memiliki keuntungan dari sisi
transportasi kayu. Sebagian kecil kulit kayu dapat dibuat briket dengan cara
dibuat bongkahan atau granular yang biasanya dimanfaatkan untuk penghangat
15
atau pemanas pada rumah-rumah pribadi (Voucher, 1997 dalam Parastuti,
2002).
Kadar air kulit kayu biasanya sekitar 20% per berat basah total dengan
nilai kalori 3400 kkal/kg, pada kadar air 50% nilai kalori 2000 kkal/kg.
Pemanfaatan kulit kayu yang paling utama dengan cara dibakar untuk tujuan
memperoleh energi. Pemanfaatan kulit kayu paling baik adalah dalam keadaan
kering sehingga diperoleh nilai kalori lebih besar dari 4500 kkal/kg, nilai tersebut
juga bisa lebih tinggi (Schreiber dan Kunz, 1973 dalam Okum, 1999 dalam
Parastuti, 2002).
c. Sebagai papan tiruan
Pemanfaatan kulit kayu sebagai bahan baku papan partikel, papan serat,
bahan isolasi dan papan dekoratif yang dicampur dengan serbuk gergaji telah
banyak diteliti. Hasil penelitian kulit kayu Picea abies, Pinus sylvetris dan Betula
verucosa dapat digunakan sebagai bahan tambahan pada pembuatan papan
partikel (Anderson dan Helge, 1959 dalam Browning, 1963). Hasil
penelitian papan serat yang dicampur kulit sampai 40% tidak mempengaruhi
kekuatan papan seratnya (Browning, 1963).
d. Sebagai bahan penyamak dan pewarna
Selain itu kulit kayu juga dapat digunakan sebagai bahan penyamak.
Menurut Japing (1988) kulit-kulit batang penyamak atau ekstrak-ekstrak bahan
penyamak, seterusnya didayagunakan untuk mengawetkan jala-jala ikan, layar,
pakaian, klambu-klambu untuk bedengan persemaian dan sebagainya dan untuk
mencegah pembentukan batu dalam ketel-ketel.
16
Voucher (1997) dalam Parastuti (2002), menyatakan tanin merupakan
bahan kimia yang memiliki ikatan polimer dan diperoleh dari bagian-bagian
tanaman. Tanin digunakan di dalam proses penyamakan kulit binatang. Pada
tumbuhan eksotis juga mengandung tanin sebagai bahan pewarna seperti
tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Kulit Kayu yang Penting Berasal dari Eropa
Jenis kayu Warna Aesculus hippocastanum Amelanchier ovalis Continues coggygria Juglans regia Ligustrum vulgare Populus nigra Prunus spinosa Quercus velutina Rhamnus saxatilis Rhus coriaria
merah Agak terang, kekuning-kuningan Orange Coklat seperti warna kopi Kuning Warna kuning seperti emas Warna hitam seperti garam besi Kuning muda Kuning Kuning atau merah
Sumber : Voucher (1997) dalam Parastuti (2002).
B. Tanin
1. Pengertian dan klasifikasi tanin
Senyawa yang disebut tanin lebih ditentukan oleh daya penyamaknya pada
protein daripada oleh struktur kimia pada umumnya. Namun demikian semua
tanin nabati adalah senyawa fenolat mulai dari fenol sederhana hingga sistem
flavonoid terkondensasi. Tanin dibagi menjadi tanin yang dapat dihidrolisis dan
tanin yang tidak dapat dihidrolisis atau tanin terkondensasi (flobafena) (Fengel
dan Wegener, 1984).
17
Tanin yang dapat dihidrolisis adalah ester asam galat dan dimernya (asam
digalat, asam elagat) dengan monosakarida terutama glukosa. Tanin yang dapat
dihidrolisis sering dibagi menjadi galotanin yang menghasilkan asam galat setelah
dihidrolisis, dan elagitanin yang menghasilkan asam elagat setelah dihidrolisis
(Jurd, 1962 dalam Fengel dan Wegener, 1984). Komponen fenol tanin
terhidrolisa dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Komponen Fenol Tanin Terhidrolisa.
Dibandingkan dengan tanin terkondensasi, tanin yang dapat dihidrolisis
lebih jarang terdapat dalam kayu. Disamping terdapat dalam spesies Quercus,
Castanea dan Eucalyptus tanin yang dapat dihidrolisis terdapat juga dalam spesies
Terminalia, Phyllantus dan Caesalpinia. Kebanyakan spesies kayu, terutama
kayu tropika, mengandung tanin terkondensasi (Pizzi, 1980). Studi tanin pada
sejumlah spesies Quercus (Quercus petraea, Quercus suber, Quercus ilex) dan
pada sejumlah kayu tropika menunjukkan terdapatnya tanin yang dapat
dihidrolisis (jenis asam galat) hanya pada Oak, sedangkan semua kayu lain hanya
mengandung tanin terkondensasi (Fengel dan Wegener, 1984). Struktur
beberapa tanin yang dapat dihidrolisis dapat dilihat pada Gambar 3.
18
Gambar 3. Struktur Beberapa Tanin yang Dapat Dihidrolisis
19
Tanin terkondesasi mengandung komponen antara lain katekin (flavan-3-
ol) dan leukoantosianidin (flavan-3,4-diol). Senyawa-senyawa tersebut termasuk
kelompok flavonoid, anggotanya tersebar luas dalam tumbuhan. Banyak
diantaranya juga terdapat dalam ekstrak kayu. Flavonoid dapat diturunkan dari
flavon yang diinterpretasikan sebagai 2-fenilbenzopiron. Turunannya
mengandung cincin piran terhidrat disebut flavan. Turunan-turunan lain dari
struktur flavon dasar adalah flavanon dan isoflavon (Fengel dan Wegener,
1984). Sruktur tanin terkondensasi seperti terlihat pada gambar berikut.
Gambar 4. Struktur Tanin Terkondensasi
Struktur yang mengandung cincin piron terbuka disebut kalkon dan yang
memiliki cincin furanon disebut auron. Monomer flavonoid yang terbentuk dapat
berupa kombinasi dari gugus fungsi pada cincin A yaitu phloroglusinol atau
resorsinol dan cincin B yaitu pirogalol atau katekol. Kemingkinan kombinasi
monomer flavanoid dapat dilihat pada Gambar 5.
20
Gambar 5. Kemungkinan Kombinasi Monomer Flavanoid (Hergert, 1989)
Polimer tanin terkondensasi ini secara umum terjadi berdasarkan pola
subtitusi struktur flavonoid seperti yang dikemukakan oleh Hergert (1989) :
1. Pola subtitusi flavonoid bersifat khas pada masing-masing spesies
tumbuhan.
21
2. Stereokimia dapat bervariasi pada posisi atom C2, C3, C4 dan cincin
piran.
3. Pola cincin dapat bervariasi mulai dari 1, 2 dan 3 buah gugus hidroksil.
4. Ikatan antara monomer terjadi pada atom C4 dalam cincin B dengan
atom C6 atau C8 dari cincin A.
5. Unit akhir monomer dapat pula berbeda dalam pola subtitusi atau
stereokimianya terdapat unit monomer yang lain dalam rantai polimer.
Dikatakan pula bahwa kelarutan tanin merupakan fungsi dari panjang
rantai. Rantai dengan derajat polimerisasi lebih dari 8 tidak larut dalam
air.
Sejumlah flavonoid menentukan warna masing-masing kayu sehingga
biasa digunakan sebagai pewarna alami.
2. Sifat-sifat tanin dalam tumbuhan
Sifat umum tanin tumbuh-tumbuhan tergantung pada gugusan fenolik-OH
yang terkandung dalam tanin dan sifat tersebut secara garis besar dapat diuraikan
sebagai berikut :
a. Sifat kimia tanin
- Tanin memiliki sifat umum, yaitu memiliki gugus fenol dan bersifat
koloid. Karena itu dalam air bersifat koloid dan asam lemah.
- Semua jenis tanin dapat larut dalam air. Kelarutannya besar, dan akan
betambah besar apabila dilarutkan dalam pelarut organik seperti metanol,
etanol, aseton, dan pelarut organik lainnya. Alkohol dan aseton adalah
pelarut yang baik pada suhu kamar. Campuran air dengan aseton atau
22
etanol merupakan pelarut yang efektif untuk mengekstraksi tanin. Dalam
pelarut kloroform, eter, karbon tetraklorida, tanin hanya larut sebagian
atau sedikit sekali (Browning, 1967).
- Dengan garam besi memberikan reaksi warna.
- Tanin akan terurai menjadi pirogalol, pirokatekol dan phloroglusinol bila
dipanaskan sampai suhu 210oF sampai 215oF (98,89oC-101,67oC).
- Tanin dapat dihidrolisa oleh asam, basa dan enzim (Kusmayadi, 1989).
b. Sifat fisik tanin
- Umumnya tanin mempunyai berat molekul tinggi dan cenderung mudah
dioksidasi menjadi suatu polimer. Sebagian besar tanin bentuknya amorf
dan tidak mempunyai titik leleh.
- Tanin berwarna abu-abu sampai coklat terang, tergantung dari sumber
tanin tersebut.
- Tanin berbentuk serbuk atau berlapis-lapis seperti kulit kerang, berbau
khas dan mempunyai rasa sepat (Sutigno, 1986).
- Tanin akan menjadi gelap apabila terkena cahaya langsung atau dibiarkan
di udara terbuka.
- Tanin mempunyai sifat atau daya bakteriostatik, fungistatik dan
merupakan racun.
3. Proses pemisahan tanin Browning (1967), mengemukakan bahwa proses pemisahan tanin dapat
dilakukan dengan tiga cara, yaitu : metode ALCA (American Leather Chemist`
Association), metode photometric dan metode hide powder.
23
Singaribun dan Asikin (1984) dalam Kusmayadi (1989),
menyatakan bahwa tanin dapat dipisahkan dari kayu atau kulit kayu secara
ekstraksi.
Ada tiga tahapan yang harus dilakukan dalam proses pelarutan tanin,
yaitu:
a. Pembuatan serbuk kulit.
b. Ekstraksi dengan pelarut.
c. Pemekatan larutan ekstrak.
Beberapa jenis pelarut yang dapat digunakan untuk ekstraksi tanin, antara
lain : alkohol, benzen, air dan eter. Tetapi pada umumnya ekstraksi tanin secara
komersial menggunakan pelarut air dengan hasil perolehan yang cukup tinggi dan
ekonomis.
4. Sumber tanin
Tanin merupakan salah satu produk hasil hutan yang diperoleh dari kulit
kayu. Beberapa jenis yang kulitnya dapat dijadikan sumber tanin diantaranya
adalah : Acacia decurrens, Acacia leucophrea, Pinus merkusii, Swietenia
macrophylla, Quercus spp, Adenanthera microsperma, Rhizophora spp dan
Brugueira spp (Prayitno, 1982 dalam Pari, 1990).
Kusmayadi (1989), Mengemukakan bahwa rendemen tanin babakan
Acacia decurren adalah yang paling tinggi disusul kulit Rhizophora mucronata
kemudian kulit Pinus merkusii.
Brandts (1953) dalam Sumadiwangsa dan Ando (1986),
mengemukakan bahwa kulit pohon Rhizophoraceae mengandung sekitar 40%
24
tanin. Dengan demikian di Indonesia terdapat potensi tanin per tahun sekitar 100-
300 ribu ton yang belum dimanfaatkan secara berarti.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tanin Herrick dan Bock (1958) dalam Pari (1990), Mengemukakan bahwa
dalam ekstraksi tanin ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mutu antara
lain : suhu ekstraksi, jenis pelarut yang digunakan, ukuran partikel kulit, jumlah
tahap ekstraksi, lamanya ekstraksi dan perbandingan faktor lainnya yaitu :
a. Kondisi kulit
Kulit yang segar akan menghasilkan tanin lebih baik dari kulit kering yang
telah disimpan lama. Karena pengaruh waktu dan lama penyimpanan maka tanin
akan teroksidasi sehingga ekstraknya akan berwarna lebih gelap (Browning,
1967).
Buckley (1929) dalam Kusmayadi (1989), mengemukakan bahwa
kulit kayu segar dimana kadar airnya tinggi akan mengurangi kelarutan tanin
waktu diekstrak.
b. Pengaruh air
Air yang digunakan harus murni, air yang banyak mengandung mineral
akan mempengaruhi hasil ekstraksi tanin, warna dan akan terjadi reaksi
penyabunan dengan asam tanat. Terutama tanin dari kulit mangrove akan
bereaksi sensitif sekali terhadap garam alkali yang larut dalam air.
c. Pengaruh logam besi
Sedapat mungkin logam besi tidak digunakan dalam proses ekstraksi tanin,
karena akan menghasilkan ekstrak yang berwarna hitam.
25
d. Pengaruh pemanasan
Pemanasan yang lebih lama dan temperatur tinggi akan menghasilkan
tanin yang lebih rendah, karena tanin akan dioksidasi menjadi zat yang larut.
e. Pengaruh penyimpanan ekstrak tanin
Ekstrak tanin yang telah disimpan lama akan teroksidasi oleh udara dan
menghasilkan zat yang tidak dapat larut dalam air.
6. Kegunaan tanin Sumadiwangsa dan Ando (1986), mengemukakan bahwa tanin dapat
digunakan untuk berbagai keperluan sebagai bahan penyamak, perekat, bahan
farmasi atau bahan industri kimia lainnya.
Widarmana (1987), membahas secara singkat mengenai berbagai
percobaan dalam penggunaan tanin sebagai perekat papan partikel yang dilakukan
di Indonesia, khususnya di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan di
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, yang menyimpulkan bahwa
tanin yang diperoleh dari kulit bakau (Rhizophora stylosa dan Brugueira
gymnorrhiza), Acacia decurrens dan Pinus merkusii dapat dijadikan perekat
papan partikel yang sifat fisik dan mekaniknya cukup memadai walaupun tidak
semuanya tahan air.
Menurut Macorrone (1987), Harun dan Labosky (1985) dalam Pari
(1990), tanin umumnya dipakai industri semen, keramik dan industri lainnya
yang sejenis untuk memodifikasi sifat suspensi air dari tanah liat, sedangkan tanin
hasil purifikasi dapat digunakan sebagai bahan anti rayap, jamur dan bahan
penstabil warna dalam pembuatan orange juice.
26
C. Risalah Jenis Leda (Eucalyptus deglupta Blume.)
Eucalyptus merupakan salah satu dari 90 Genera dari sekitar 300 jenis
yang ada pada Famili Myrtaceae. Sistematika Eucalyptus deglupta (Pulle, 1950
dalam Ruchaemi, 1994) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta
Co Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Myrtales Famili : Myrtaceae
Genus : Eucalyptus Spesies : Eucalyptus deglupta
Jenis Eucalyptus deglupta merupakan jenis yang tumbuh baik pada daerah
tropika dengan derajat lintang 9 Utara 11 Selatan (Turnbull, 1978 dalam
Ruchaemi, 1994).
Bratawinata (1989), menjelaskan bahwa penyebaran jenis kayu Leda
pada daerah-daerah dataran rendah, lembab dan berdrainase baik, kaya dengan
unsur-unsur hara, lempung berpasir dari sepanjang aliran sungai, keadaan
lapangan tidak terlalu bergelombang daerah-daerah vulkanik.
Kayu Leda (Eucalyptus deglupta Blume.), tumbuh secara alami di
Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Irian sampai ke Australia, pada
ketinggian 0-1000 m di atas permukaan laut, jenis ini hidup berkelompok di hutan
primer pada tanah berlumpur atau berlumpur basah, dekat sungai, di daerah
beriklim basah sampai beriklim kering (Anonim, 1980).
Tinggi pohon dapat mencapai 40 m dengan panjang batang bebas cabang
25 m, diameter 100 cm atau lebih, tidak berbanir, kulit luar berwarna coklat muda
27
sampai coklat, licin, mengelupas memanjang tidak teratur (Martawijaya, dkk.,
1981).
Kayu Eucalyptus deglupta mempunyai warna merah-hijau dengan garis-
garis putih kemerah-merahan. Kayunya mudah untuk diolah dengan kerapatan
560-800 kg/m3. Penelitian oleh PT. ITCI (1980) memperlihatkan rata-rata berat
spesifik dari provenans Pare-Pare adalah 0,70 g/cm3 (Ruchaemi, 1994).
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7 berikut.
Gambar 6. Pangkal Batang Eucalyptus deglupta Blume.
28
Gambar 7. Kulit Eucalyptus deglupta Blume.
Menurut Ruchaemi (1994), kemungkinan pemanfaatan kayu Eucalyptus
deglupta sangat banyak. Kayunya dapat digunakan untuk mebel dan kayu plaket.
Pemanfaatan yang paling banyak adalah untuk industri kertas. Berlainan dengan
kayu daun jarum, serat kayunya pendek sehingga kualitas kertasnya agak kurang
baik, namun demikian pada Eucalyptus deglupta kulitnya dapat dimanfaatkan.
Selain itu kayunya dapat pula dipergunakan untuk kayu pertukangan, bangunan
(Ghana, Philipina, Sri Langka) dan mebel.
Berat jenis kayu Leda berkisar antara 0,39-0,81 dengan rata-rata 0,57 ,
termasuk kelas kuat III (II-IV); kelas awet IV (II-V). (Martawijaya, dkk.,
1981).
29
Kayu Leda telah dicoba oleh Lembaga Penelitian Hutan Bogor, di kebun-
kebun percobaan Pasirawi dengan Pasirhantap. Tahun 1974/1975 dimulai
penanaman jenis pohon yang cepat tumbuh di Kalimantan Timur oleh PT. ITCI
antara lain; Eucalyptus deglupta Blume, Acacia mangium, Pinus sp dan
Paraseriantes falcataria. Kandungan kimia kayu Leda secara umum terdiri atas
selulosa 40-62%, hemiselulosa 12-22% dan lignin 15-22% (Hill, 1984 dalam
Noer, 1999).
Martawijaya dkk., (1981), juga mengemukakan bahwa Eucalyptus
deglupta Blume terdiri atas selulosa 51,0%, lignin 30,1%, pentosan 14,5 %, abu
1,2%, kelarutan dalam alben 6,3%, air dingin 2,2%, air panas 2,8%, dan NaOH
1% sebesar 15,1%.
Sukaton dan Muladi (1995) dalam Noer (1999), menjelaskan bahwa
kandungan komponen kimia kayu Eucalyptus deglupta Blume terdiri atas :
holoselulosa 73,35%, selulosa 53,31%, hemiselulosa 16,06%, lignin 24,17%, abu
1,24%, ekstraktif dalam air dingin 3,11%, air panas 3,71%, alben 1,21%, dan
dalam NaOH 1% sebesar 13,85%.
30
III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Industri Hasil Hutan,
Laboratorium Pulp dan Kertas dan Laboratorium Kimia Kayu Jurusan Teknologi
Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Samarinda. Lama
penelitian selama enam bulan yang meliputi satu bulan persiapan dan pembuatan
contoh uji, analisis kandungan tanin di laboratorium selama tiga bulan,
pengolahan data dan penyusunan skripsi selama dua bulan.
B. Bahan dan Peralatan Penelitian
1. Bahan penelitian
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit kayu leda
(Eucalyptus deglupta Blume.) yang diambil dari Bukit Soeharto Kilometer 38
petak milik PT. Kiani Lestari.
Bahan-bahan kimia yang digunakan antara lain : Na2CO3 0,5%, Urea
0,5%, lindi hitam, HCl, formaldehid 37%, asam asetat, adsorbent TLC selulosa,
toluen, klorofom, metanol, aseton, etil asetat, NaCl, amoniak, etanol, t-butanol,
H2SO4, NaOH, air suling.
31
2. Peralatan penelitian
Peralatan yang digunakan antara lain : mesin pembuat serbuk elektrik,
gelas beaker, gelas ukur, erlenmeyer, labu bundar, termometer, digester, kain
katun, mesin penyaring, almunium foil, water bath, pH meter digital, timbangan
digital, botol timbang, tabung reaksi, pengaduk kawat besi, oven, stop watch,
magnetic stirrer, biuret, pipet, tabung pisah, rotary vacuum evaporator, alat
refluks, kelereng, micro-haematocrit-tubes, TLC chamber, lampu UV, pompa
vacuum, alat tulis dan kalkulator.
C. Prosedur Penelitian
1. Pengambilan kulit Eucalyptus deglupta
Kulit Eucalyptus deglupta diambil langsung di lokasi dimana pohon
ditebang dengan cara dikuliti sepanjang batang pohon dan kemudian dikeringkan
dengan kadar air 10-20%.
2. Penggerindaan kulit kayu
Kulit Eucalyptus deglupta yang telah kering udara kemudian dibuat chip
dengan ukuran kecil yang selanjutnya digiling dengan mesin pembuat serbuk
elektrik sehingga menghasilkan serbuk untuk memudahkan dalam proses
ekstraksi. Serbuk yang dihasilkan jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut.
32
Gambar 8. Serbuk Kulit Kayu Eucalyptus deglupta Blume.
3. Ekstraksi kulit (Roffael dan Ayla, 1982)
Ekstraksi kulit kayu dilakukan dengan empat macam bahan pelarut
sebagai berikut :
a. Dengan air, dimana serbuk kulit kayu dan air dengan perbandingan 1 : 5
berdasarkan serbuk kulit kayu dalam keadaan kering tanur.
b. Dengan lindi hitam, dimana serbuk kulit kayu dan lindi hitam dengan
perbandingan 1: 5 berdasarkan serbuk kulit kayu dalam keadaan kering
tanur.
c. Dengan 0,5% Natrium Carbonat (Na2CO3), dimana serbuk kulit kayu dan
Natrium Carbonat dengan perbandingan 1 : 5 berdasarkan serbuk kulit
kayu dalam keadaan kering tanur.
d. Dengan 0,5% Urea (CO(NH2)2) dimana serbuk kulit kayu dan Urea
dengan perbandingan 1 : 5 berdasarkan sebuk kulit kayu dalam keadaan
kering tanur.
33
Ekstraksi menggunakan alat pemasak digester. Dimana kulit kayu dan
larutan diekstraksi pada suhu 100oC selama 1 jam. Perbandingan kulit kayu dan
larutan dijaga selalu konstan 1 : 5 selama ekstraksi. Setelah diekstraksi kemudian
hasil ekstraksi disaring dengan kain katun menggunakan mesin penyaring. Hasil
saringan tersebut akan dikeringkan dengan oven atau evaporator pada suhu 60oC
untuk mendapatkan tanin dengan konsentrasi yang dikehendaki.
Lebih jelasnya proses ekstraksi dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 9. Proses Ekstraksi Kulit Eucalyptus deglupta
34
4. Analisa ekstrak kulit a. Penentuan kadar padat dan rendemen
Untuk menentukan kadar padat, sebanyak 20 g ekstrak kulit kayu
ditempatkan pada cawan petri dan dikeringkan pada water bath. Lalu ekstrak kulit
yang telah kering ditempatkan pada oven pengering yang bersuhu 105oC hingga
beratnya konstan. Kadar padat dan rendemen kemudian dihitung dengan
menggunakan rumus berikut (Roffael dan Ayla, 1982).
Berat ekstrak kering tanur (g) Kadar padat (%) = X 100%
20 g
Total berat padat dari ekstrak kulit (g) Rendemen (%) = X 100%
Berat kulit kayu kering tanur (g)
b. Penentuan nilai pH
Sampel tanin dibuat menjadi larutan 1,0%. Nilai pH diukur dengan
menggunakan pH meter digital (seperti terlihat pada Gambar 10). Suhu
pengukuran didasarkan pada suhu larutan sampel. Pengukuran dilakukan selama
4 menit dengan 3 kali ulangan.
35
Gambar 10. pH Meter Digital
c. Penentuan bilangan stiasny
Uji ini dilakukan untuk mengetahui kereaktifan tanin. Sebanyak 50 ml
larutan ekstrak kulit kayu 1,0% dimasukkan ke dalam labu didih. Larutan
formaldehid 37% sebanyak 10 ml dan HCl pekat (11,3 N) sebanyak 5 ml
ditambahkan ke dalam larutan tanin. Kemudian campuran ini dididihkan secara
reflux selama 30 menit. Endapannya kemudian disaring menggunakan sintered
glass crucible (porosity 3), dimana sebelumnya telah dikeringkan dan ditimbang,
dan ditaruh kedalam oven pada suhu 105oC hingga beratnya konstan. Bilangan
stiasny dinyatakan sebagai persentase berat kering tanur endapan terhadap berat
kandungan padat dari ekstrak kulit kayu (Wissing, 1995 dalam Rosamah,
1997) :
Berat endapan (g) Bilangan Stiasny = X 100%
Berat ekstrak sampel (g)
36
Proses pengujian bilangan stiasny seperti terlihat pada gambar berikut.
Gambar 11. Proses Pengujian Bilangan Stiasny d. Penentuan waktu gelatinasi
Untuk menentukan waktu gelatinasi, sebanyak 10 g ekstrak kulit kayu
(40% kadar padat) ditempatkan pada tabung uji (lebar 16 mm, panjang 125 mm)
dan larutan formaldehid 37% sebanyak 5% (berdasar pada 40% larutan)
ditambahkan ke dalam ekstrak. Tabung uji kemudian ditaruh ke dalam water bath
yang bersuhu 90-92oC. Larutan kemudian diaduk dengan pengaduk kawat besi
hingga terbentuk gel. Waktu yang dibutuhkan larutan untuk menjadi gel
dinyatakan sebagai waktu gelatinasi. Prosedur ini kemudian diulangi dengan
37
menggunakan formaldehid 37% sebanyak 10% dan 15% (berdasar pada 40%
larutan) (Roffael dan Ayla, 1982).
Gambar 12. Proses Pengujian Waktu Gelatinasi
5. Pemisahan komponen tanin dengan kromatografi
Seluruh sampel tanin dibuat menjadi larutan 1,0%. Larutan yang telah
diperoleh kemudian dianalisa dengan menggunakan kromatografi lapis tipis 1-
dimensi pada plat TLC selulosa.
Larutan tanin diteteskan dengan menggunakan micropipet ke atas plat
TLC selulosa yang sebelumnya telah diberi penanda jarak tempuh, plat tersebut
kemudian dimasukkan ke dalam chamber yang berisi dengan eluen yang telah
38
dijenuhkan. Campuran pelarut yang dapat dicoba sebagai eluen ada beberapa
macam campuran, antara lain :
a. t-butanol-asam asetat-air (3:1:1)
b. Asam asetat 6%
c. Butan-2-ol-asam asetat-air (14:1:5)
d. Aseton-asam asetat (98:2)
e. Metanol-air (1:1)
f. Kloroform-asam asetat-air (50:45:5)
g. Metanol-kloroform-air (12:8:2)
h. Toulen-metanol (98:2)
Plat diangkat bila eluen telah mencapai titik penanda jarak tempuh. Nilai
Rf dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Jarak yang ditempuh spot (cm) Rf = Jarak yang ditempuh pelarut / eluen (cm)
Nilai Rf yang diperoleh selanjutnya akan disesuaikan dengan nilai standar
Rf dari komponen tanin pada tabel berikut untuk mengidentifikasi komponen-
komponen utama dari tanin tersebut :
Tabel 3. Nilai Rf dari TLC Satu Dimensi (Karchesy, 1989 dalam Rosamah, 1997)
Komponen Rf
1. Epigallocatechin
2. Epicatechin
3. Gallocatechin
4. Catechin
5. Phloroglucinol
6. Epicatechin-4-Phloroglucinol
7. Catechin-4-Phloroglucinol
8. Epigallocatechin-4-Phloroglucinol
9. Gallocatechin-4-Phloroglucinol
0,197
0,531
0,438
0,625
0,875
0,500
0,563
0,266
0,344
39
Gambar 13. Identifikasi Tanin dengan Kromatografi Lapis Tipis
6. Pemisahan tanin berdasarkan kelarutan
Sampel tanin sebanyak 2 g dilarutkan dalam 15 ml air hangat. Fraksi yang
tidak larut ditambahkan dengan garam NaCl, kemudian dilarutkan kembali dalam
10 ml etil asetat. Fraksi yang larut dalam etil asetat, kaya dengan kandungan tanin
terkondensasi, dikeringkan dan ditimbang bobotnya. Kandungan tanin
terkondensasi diperoleh dengan melakukan pembagian bobot sampel. Percobaan
ini dilakukan dengan 2 kali ulangan.
Berat fraksi terlarut dalam etil asetat (g) Kelarutan = X 100% Berat sampel awal (g)
40
Gambar 14. Proses Pengujian Kelarutan
7. Pengukuran Kapasitas Buffer (Buffer Capacity)
Sampel tanin sebanyak 20 ml dengan kadar padat sekitar 1% dimasukkan
ke dalam gelas beaker 50 ml yang berada di atas stirrer. Kemudian tanin tersebut
dititrasi dengan larutan NaOH untuk larutan tanin asam, sedangkan larutan tanin
basa dititrasi dengan larutan H2SO4 sampai pH larutan mendekati 7,0.
41
Gambar 15. Proses Pengukuran Buffer Capacity
D. Pengolahan Data
Pada penelitian ini data yang diperoleh dari hasil penelitian akan diolah
dan dilakukan analisis dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik untuk
memudahkan dalam penganalisaan.
42
IV. HASIL PENELITIAN
A. Sifat Fisika Tanin
Data penelitian sifat fisika tanin dari ekstrak kulit kayu Eucalyptus
deglupta yang meliputi warna, pH, kadar padat, rendemen dan waktu gelatinasi
yang telah dilakukan secara keseluruhan dengan berbagai bahan pelarut, yaitu :
Air, Na2CO3 0,5 %, Urea 0,5% dan lindi hitam disajikan sebagai berikut.
1. Warna
Pada masing-masing hasil ekstraksi dengan pelarut berbeda diperoleh
warna tanin yang berbeda pula. Warna tanin dari masing-masing pelarut tersaji
pada tabel berikut.
Tabel 4. Warna dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta
Medium Ekstrak Warna
Air Coklat muda Na2CO3 0,5% Coklat kehitaman
Urea 0,5% Coklat tua Lindi Hitam Hitam
2. pH
Pada masing-masing hasil ekstraksi dilakukan pengukuran pH dengan
kadar padat yang sama untuk setiap hasil ekstraksi yaitu 1,0% dimana nilai pH air
pada saat pengukuran adalah 6,9.
43
Nilai rataan pH tanin untuk masing-masing pelarut dapat dilihat pada
Tabel 5 berikut.
Tabel 5. Nilai Rataan pH dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta
Medium Ekstrak pH
Air 4,56 Na2CO3 0,5% 6,27
Urea 0,5% 7,28 Lindi Hitam 6,86
3. Kadar padat & rendemen
Nilai kadar padat berbanding lurus dengan rendemen, dikarenakan
rendemen merupakan total padatan dari ekstrak tanin yang dihasilkan. Rendemen
tertinggi diperoleh pada pemasakan dengan medium ekstrak lindi hitam dan yang
terendah pada pemasakan dengan medium ekstrak air. Nilai rataan kadar padat
dan rendemen secara lengkap tersaji pada tabel berikut.
Tabel 6. Nilai Rataan Kadar Padat (%) dan Rendemen (%) dari Ekstrak Kulit
Eucalyptus deglupta
Medium Ekstrak Kadar Padat (%) Rendemen (%)
Air 2,975 9,650 Na2CO3 0,5% 5,642 16,543
Urea 0,5% 3,399 9,675 Lindi Hitam 9,869 28,137
44
4. Waktu gelatinasi
Waktu gelatinasi adalah parameter yang digunakan untuk menduga umur
pakai dari perekat. Umur pakai (pot life) juga dipengaruhi oleh viskositas karena
viskositas yang tinggi akan mengurangi umur pakai bahan perekat. Viskositas
sendiri dipengaruhi oleh polimerisasi dan konsentrasi tanin dalam campuran
perekat.
Waktu gelatinasi yang diperoleh dari tanin (sekitar 40% kadar padat)
dengan medium ekstraksi air, Na2CO3 0,5%, Urea 0,5% dan lindi hitam, dimana
konsentrasi formaldehid sebanyak 5%, 10%, dan 15% dari kadar padat dapat
dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai Rataan Waktu Gelatinasi dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta
Waktu Gelatinasi (menit)
Formaldehid Ekstrak Air
Ekstrak Na2CO3
0,5%
Ekstrak Urea
0,5%
Ekstrak Lindi
Hitam
5% 1'33'' 0'36'' 4'25'' 23'36''
10% 1'16'' 0'30'' 4'15'' 19'39''
15% 0'34'' 0'23'' 3'30'' 17'02''
B. Sifat Kimia Tanin
Data penelitian sifat kimia tanin dari ekstrak kulit kayu Eucalyptus
deglupta yang meliputi analisa ; bilangan stiasny, pemisahan tanin berdasarkan
kelarutan, pemisahan komponen tanin dengan kromatografi, dan kapasitas buffer
yang telah dilakukan secara keseluruhan dengan berbagai bahan pelarut, yaitu :
Air, Na2CO3 0,5 %, Urea 0,5% dan lindi hitam disajikan sebagai berikut.
45
1. Bilangan stiasny
Bilangan stiasny adalah nilai yang menunjukkan kereaktifan tanin dengan
formaldehid, semakin tinggi bilangan stiasny maka semakin tinggi pula reaktifitas
tanin dengan formaldehid.
Kereaktifan tanin dengan medium ekstrak air merupakan yang paling
tinggi dibanding tanin dengan medium ekstraksi lainnya. Berturut-turut nilai
bilangan stiasny dari yang tinggi ke rendah adalah tanin dengan medium ekstraksi
air kemudian diikuti Na2CO3 0,5% , Urea 0,5% dan yang terendah tanin dengan
medium ekstraksi lindi hitam. Nilai rataan bilangan stiasny tanin dari kulit
Eucalyptus deglupta secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Nilai Rataan Bilangan Stiasny dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta
Medium Ekstrak Bilangan Stiasny (%)
Air 65,972
Na2CO3 0,5% 62,319
Urea 0,5% 52,222
Lindi Hitam 34,754
2. Pemisahan tanin berdasarkan kelarutan
Nilai kelarutan tanin menunjukkan besarnya kandungan tanin
terkondensasi yang dimiliki oleh ekstrak dengan menggunakan pelarut air, pelarut
Na2CO3 0,5% , pelarut Urea 0,5% dan pelarut lindi hitam. Tanin terkondensasi
adalah tanin yang reaktif dengan formaldehid karena memilki sifat seperti fenol.
Nilai rataan kelarutan dapat dilihat pada tabel berikut.
46
Tabel 9. Nilai Rataan Kelarutan dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta
Medium Ekstrak Kelarutan Tanin (%)
Air 14,6
Na2CO3 0,5% Menggumpal
Urea 0,5% Terlarut
Lindi Hitam Terlarut
3. Pemisahan komponen tanin dengan kromatografi
Pemisahan komponen tanin dengan kromatografi ditujukan untuk dapat
menduga komponen utama yang dimiliki tanin Eucalyptus deglupta dengan
menggunakan pelarut air, pelarut Na2CO3 0,5% , pelarut Urea 0,5% dan pelarut
lindi hitam.
Komponen ini dilihat dengan menggunakan lampu ultraviolet gelombang
pendek dalam kromatografi lapis tipis 1-dimensi dengan menggunakan fase
berjalan. Komponen-komponen tersebut dapat diduga jenisnya berdasarkan nilai
Rf yang diperoleh dalam percobaan.
Nilai Rf untuk eluen asam asetat 6% pada masing-masing tanin dapat
dilihat pada Tabel 10 berikut.
Tabel 10. Nilai Rf dengan Eluen Asam Asetat 6%
Gelombang Pendek Medium Ekstrak
Rf Warna
Air 0,700 Coklat
Na2CO3 0,5% 0,313 Coklat
Urea 0,5% 0,288 Coklat
Lindi Hitam 0,388 Coklat
47
Nilai Rf untuk eluen t-butanol : asam asetat : air dengan perbandingan 3 : 1
: 1 pada tabel berikut:
Tabel 11. Nilai Rf dengan Eluen T-Butanol : Asam Asetat : Air
Gelombang Pendek Medium Ekstrak
Rf Warna
Air 0,957 Coklat
Na2CO3 0,5% 0,500 Coklat
Urea 0,5% 0,400 Coklat
Lindi Hitam 0,800 Coklat
Nilai Rf untuk eluen kloroform : asam asetat : air dengan perbandingan 50
: 45 :5 pada Tabel 12 berikut.
Tabel 12. Nilai Rf dengan Eluen Kloroform : Asam Asetat : Air
Gelombang Pendek Medium Ekstrak
Rf Warna
Air 0,670 Coklat
Na2CO3 0,5% 0,430 Coklat
Urea 0,5% 0,400 Coklat
Lindi Hitam 0,780 Coklat
Sedangkan untuk eluen metanol : kloroform : air dengan perbandingan 12
: 8 : 2 pada tabel berikut.
48
Tabel 13. Nilai Rf dengan Eluen Metanol : Kloroform : Air
Gelombang Pendek Medium Ekstrak
Rf Warna
Air 0,740 Coklat
Na2CO3 0,5% 0,470 Coklat
Urea 0,5% 0,410 Coklat
Lindi Hitam 0,860 Coklat
4. Kapasitas buffer (buffer capacity)
Tanin yang dipoleh dengan menggunakan medium ekstrak air mempunyai
nilai pH dibawah tujuh, untuk medium ekstrak Na2CO3 0,5% dan lindi hitam juga
mempunyai nilai pH di bawah tujuh, sedangkan tanin dengan medium ekstrak
Urea 0,5% nilai pH-nya di atas tujuh.
Nilai buffer capacity yang dihasilkan oleh masing-masing tanin dapat
dilihat pada Tabel 14 berikut.
Tabel 14. Nilai Buffer Capacity dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta
Medium Ekstrak pH Buffer Capacity
Air 3,72 150 mmol NaOH/100 g tanin
Na2CO3 0,5% 5,92 21 mmol NaOH/100 g tanin
Urea 0,5% 7,42 10,75 mmol H2SO4/100 g tanin
Lindi Hitam 6,87 2,25 mmol NaOH/100 g tanin
49
V. PEMBAHASAN
A. Sifat Fisika Tanin
1. Warna
Medium ekstraksi yang berbeda menghasilkan ekstrak yang berbeda pula,
kulit Eucalyptus deglupta yang diekstrak menggunakan pelarut air memiliki
warna coklat muda, ekstrak yang menggunakan pelarut Na2CO3 0,5% berwarna
coklat kehitaman, ekstrak yang menggunakan pelarut urea 0,5% berwarna coklat
tua, sedang kulit Eucalyptus deglupta yang diekstrak menggunakan pelarut lindi
hitam memiliki warna hitam. Warna ekstrak tanin tersebut dapat dilihat pada
Gambar 16 berikut.
1 2 3 4
Gambar 16. Warna Tanin 1. Air 2. Na2CO3 0,5% 3. Urea 0,5% 4. Lindi Hitam
Perbedaan warna tanin juga dapat disebabkan oleh perbedaan spesies,
berbeda spesies berbeda pula warna tanin yang dihasilkan.
Selain itu pengaruh lama penyimpanan kulit juga mempengaruhi warna
tanin yang dihasilkan. Sejalan dengan pendapat Browning (1967) yang
50
menyatakan bahwa kondisi kulit dapat mempengaruhi tanin yang dihasilkan, kulit
yang segar akan menghasilkan tanin yang lebih baik dari kulit yang kering yang
telah lama disimpan. Karena pengaruh waktu dan lama penyimpanan maka tanin
akan teroksidasi sehingga ekstraknya berwarna lebih gelap.
Faktor lain yang menyebabkan perubahan pada warna tanin adalah logam
besi, penggunaan logam besi dalam proses ekstraksi tanin dapat menyebabkan
ekstrak yang dihasilkan berwarna hitam. Tanin juga akan menjadi gelap apabila
terkena cahaya langsung atau dibiarkan terbuka.
2. pH
Pada hasil ekstraksi dilakukan pengukuran pH dengan menggunakan pH
meter digital. Nilai pH dapat dilihat pada Gambar 17 berikut.
6,867,286,27
4,56
0,001,002,003,004,005,006,007,008,00
Air Na2CO3 0,5% CO(NH2)2 0,5% Lindi Hitam
Medium Ekstraksi
pH
Gambar 17. Nilai pH dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta
Nilai rataan pH yang diperoleh pada ekstrak dengan pelarut air sebesar
4,56 yang berarti tanin murni bersifat asam karena dengan pelarut air murni
51
menghasilkan pH dibawah 7. Hal tersebut dikarenakan gugus fenol yang
dikandungnya menyebabkan tanin dalam air bersifat asam.
Dengan pelarut kimia lainnya, pH tanin meningkat. Untuk pelarut garam
Na2CO3 0,5% nilai rataannya sebesar 6,77 , pelarut Urea 0,5% 7,28. Sehingga
hasil ini menunjukkan bahwa dengan pelarut yang mengandung garam dapat
meningkatkan pH tanin, kenaikan pH tanin ini seiring dengan peningkatan
konsentrasi garam yang digunakan untuk mengekstraknya. Sedang pada pelarut
lindi hitam nilai rataannya sebesar 6,86 , naiknya pH tanin pada pelarut lindi
hitam dikarenakan pelarut lindi hitam mengandung NaOH yang merupakan basa
kuat.
Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa perbedaan pelarut mempengaruhi
nilai pH yang dihasilkan. Sejalan dengan Suomi dan Linberg (1984), yang
menyatakan bahwa hasil ekstraksi dipengaruhi oleh pelarut yang digunakan.
3. Kadar padat & rendemen
Ekstrak yang menggunakan pelarut air dan lindi hitam setelah proses
pengeringan pada oven dan evaporator yang bersuhu 60oC memberikan hasil
ekstrak yang kental yang tidak menggumpal yang mudah untuk dilakukan proses
analisa dan pemindahan, sebaliknya ekstrak yang menggunakan pelarut Na2CO3
0,5% dan Urea 0,5% yang juga dikeringkan pada oven dan evaporator yang
bersuhu 60oC menghasilkan ekstrak yang kental dan menggumpal sehingga sukar
untuk dilakukan proses analisa dan pemindahan.
Perbedaan pelarut yang digunakan sangat mempengaruhi rendemen dan
kadar padat tanin yang dihasilkan. Hal ini dibuktikan dari bervariasinya nilai
52
rendemen dan kadar padat pada medium ekstraksi yang berbeda. Hasil ini sesuai
dengan Suomi dan Linberg (1984), yang mengemukakan bahwa hasil ekstrak
dipengaruhi oleh pelarut yang digunakan.
Hal serupa juga dikemukakan Fengel dan Wegener (1984) secara lebih
jelas, bahwa metode ekstraksi merupakan faktor yang menyebabkan variasi pada
kandungan dan komposisi zat ekstraktif.
9,650
16,543
9,675
28,137
0,000
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
Ren
dem
en (%
)
Medium Ekstraksi
Air Na2CO3 0,5% CO(NH2)2 0,5% Lindi Hitam
Gambar 18. Nilai Rendemen dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta
2,975
5,642
3,399
9,869
0,000
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
Kad
ar P
adat
(%)
Medium Ekstraksi
Air Na2CO3 0,5% CO(NH2)2 0,5% Lindi Hitam
Gambar 19. Nilai Kadar Padat dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta
53
Nilai rendemen dan kadar padat dari ekstrak kulit Eucalyptus deglupta
berturut-turut dapat dilihat pada Gambar 18 dan 19 diatas.
Pada Gambar 18 terlihat rendemen yang diperoleh pada ekstrak yang
menggunakan pelarut air merupakan yang paling rendah di antara keempat macam
pelarut yang digunakan, yaitu sebesar 9,650%. Pelarut Urea 0,5% menghasilkan
rendemen terendah kedua dengan nilai 9,675%. Sedangkan nilai rendemen pada
penggunaan pelarut Na2CO3 0,5% sebesar 16,543%, nilai ini lebih besar daripada
rendemen yang dihasilkan pelarut air dan Urea 0,5%. Nilai rendemen tertinggi
diperoleh pada penggunaan pelarut lindi hitam yaitu sebesar 28,137%. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Suomi dan Linberg (1984) yang menyatakan
rendemen yang diperoleh dari penggunaan pelarut air rendah. Sedang
penggunaan bahan kimia sebagai pelarut seperti basa dan alkali, dapat
meningkatkan rendemen ekstrak.
Tingginya nilai kadar padat dan rendemen yang diperoleh pada pemasakan
dengan pelarut lindi hitam diduga karena lindi hitam yang diperoleh pada
pemasakan Bambu Kuning dengan proses kraft tersebut sudah mengandung
sejumlah besar zat ekstraktif serta lignin dari Bambu Kuning. Zat ekstraktif serta
lignin dari Bambu Kuning tersebut bercampur dengan zat ekstraktif dari kulit
Eucalyptus deglupta sehingga meningkatkan rendemen dan kadar padat yang
dihasilkan.
Nilai rendemen yang diperoleh dari ekstrak kulit Eucalyptus deglupta
dengan penggunaan pelarut air lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil
54
penelitian Achmadi dan Darmawan (1991) untuk tanin Acacia mangium yang
diekstrak dengan penggunaan pelarut yang sama yaitu sekitar 13-22%.
Rendemen yang diperoleh pada ekstrak kulit Eucalyptus deglupta yang
menggunakan pelarut air juga memiliki nilai yang lebih rendah daripada
rendemen tanin kulit Rhizopora yang diteliti oleh Roffael dan Ayla (1982)
dengan penggunaan pelarut yang sama dimana rendemen dari kulit rhizophora
sebesar 15,6%.
Hal tersebut menunjukkan bahwa perbedaan spesies juga mempengaruhi
rendemen tanin yang dihasilkan, berbeda spesies berbeda pula kandungan
taninnya.
Perbedaan ini diduga karena jumlah sel parenkim sebagai tempat
menyimpan tanin yang terdapat pada masing-masing jenis pohon berbeda-beda.
Semakin banyak sel parenkim yang terdapat pada pohon, semakin besar pula
rendemen tanin yang dihasilkan, begitu pula sebaliknya. Sedangkan umur pohon
berbanding lurus dengan kandungan tanin pada pohon, kandungan tanin yang
terdapat pada pohon yang lebih tua lebih banyak daripada yang terdapat pada
pohon yang masih muda. Hal ini disebabkan jumlah sel parenkim yang terdapat
pada pohon yang lebih tua lebih banyak jumlahnya dibandingkan pohon yang
masih muda.
Sejalan dengan pernyataan Suharyati (1991) bahwa semakin bertambah
umur pohon maka rendemen tanin yang dihasilkan makin tinggi. Hal ini
diperkuat pula oleh pernyataan Soewandi (1974), yang menyatakan bahwa
dengan bertambahnya umur pohon maka sel-sel parenkim pada jaringan kulit
55
kayu akan selalu bertambah sehingga kandungan tanin pada kulit kayu akan selalu
meningkat mengikuti garis lurus searah pertumbuhan umur pohonnya.
Selain pengaruh perbedaan spesies dan umur pohon, rendemen tanin
dipengaruhi pula oleh letak kulit pada batang. Tanin yang terdapat pada kulit
yang terletak di pangkal batang memiliki kandungan tanin paling besar, semakin
ke ujung kandungan taninnya akan semakin turun. Hal ini dikarenakan kulit
bagian pangkal mengalami pertumbuhan lebih awal dibanding pertumbuhan kulit
batang bagian ujung, sehingga kulit bagian pangkal akan lebih banyak
mengandung sel parenkim yang merupakan penyimpan tanin. Hal tersebut
didukung Suharyati (1991), yang menyatakan bahwa kulit yang terletak pada
pangkal ke ujung batang akan menghasilkan rendemen tanin semakin rendah.
Prayitno (1982) dalam Kusmayadi (1989), memperkuat hal ini dengan
menyatakan bahwa suatu pohon, kulit bagian pangkalnya mempunyai kadar tanin
lebih tinggi daripada bagian ujungnya.
4. Waktu gelatinasi
Waktu gelatinasi merupakan salah satu penduga umur perekat atau pot
life. Waktu gelatinasi yang panjang menunjukkan umur perekat yang panjang,
begitu pula sebaliknya.
Waktu gelatinasi yang diperoleh pada ekstrak tanin yang menggunakan
pelarut lindi hitam merupakan yang paling panjang dibandingkan dengan ekstrak
tanin yang menggunakan pelarut lainnya, diikuti tanin dengan pelarut Urea 0,5%.
sedangkan tanin yang memiliki waktu gelatinasi paling singkat adalah tanin
56
dengan pelarut Na2CO3 0,5%. Berbeda tipis dengan tanin dengan pelarut air.
Jelasnya dapat dilihat pada Gambar 20 berikut.
347693
233036
210255265
1022
1416
1179
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
5% 10% 15%
Formaldehid
Wak
tu G
elat
inas
i (D
etik
)
Air Na2CO3 0,5% CO(NH2)2 Lindi Hitam
Gambar 20. Nilai Waktu Gelatinasi dari Ekstak Kulit Eucalyptus deglupta
Laju gelatinasi dipengaruhi oleh viskositas larutan ekstrak. Semakin besar
viskositas semakin singkat waktu gelatinasi yang diperoleh dan semakin kecil
viskositas semakin panjang pula waktu gelatinasi yang diperoleh. Menurut
Sujanto (1995) hal ini karena viskositas yang tinggi menyebabkan
penggumpalan yang cepat terjadi. Penggumpalan yang cepat ini menyebabkan
perekat mudah dan cepat mengeras sehingga waktu gelatinasi semakin pendek.
Viskositas sangat mempengaruhi mutu perekatan karena viskositas yang
tinggi akan mengurangi pot life bahan perekat dan viskositas yang terlalu rendah
akan menyebabkan kayu lapis kurang tahan terhadap kelembaban.
57
Viskositas sendiri dipengaruhi oleh derajat polimerisasi. Semakin besar
derajat polimerisasi semakin tinggi viscositasnya, begitu pula sebaliknya. Hal ini
diperkuat pernyataan Porter (1989) dalam Sujanto (1995) yang menyatakan
bahwa viskositas dipengaruhi oleh derajat polimerisasi, viskositas yang rendah
yang teramati pada polimer prosianidin Theobroma cacao disebabkan oleh derajat
polimerisasinya lebih kecil dibandingkan dengan derajat polimerisasi polimer
prosianidin dari Chaenomeles speciosa.
Selain itu waktu gelatinasi juga dipengaruhi oleh berat molekul pada
komponen senyawa tanin. Bobot molekul besar menyebabkan tanin memiliki
viskositas tinggi dan waktu gelatinasi yang pendek. Sejalan dengan pernyataan
Sujanto (1995) yang menyebutkan bahwa waktu gelatinasi pendek disebabkan
oleh banyaknya komponen senyawa tanin yang berbobot molekul besar.
pH sistem juga mempengaruhi waktu gelatinasi, naiknya pH tinggi
mengakibatkan waktu gelatinasi semakin pendek. Hal ini didukung pernyataan
Kreibich dan Hemingway (1985), dalam Sujanto (1995) yang menyatakan
naiknya pH akan mengakibatkan naiknya viscositas tanin.
B. Sifat Kimia Tanin
1. Bilangan Stiany
Perbedaan penggunaan pelarut dapat berpengaruh pada bilangan stiasny
atau kadar polifenolik yang dihasilkan. Pada Gambar 21 terlihat nilai bilangan
stiasny pada ekstrak menggunakan pelarut air, Na2CO3 0,5%, Urea 0,5% dan lindi
hitam berturut turut 65,972%, 62,319%, 52,222% dan 34,754%. Hal ini sesuai
58
dengan pernyataan Suomi dan Linberg (1984), yang menyatakan bahwa pelarut
dan metode ekstraksi sangat mempengaruhi rendemen dari ekstrak tanin dan
kandungan polifenolik dari ekstrak (bilangan stiasny).
65,97262,319
52,222
34,754
0,000
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
70,000
Bila
ngan
Stia
sny
(%)
Medium Ekstraksi
Air Na2CO3 0,5% CO(NH2)2 0,5% Lindi Hitam
Gambar 21. Bilangan Stiasny dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta
Bilangan stiasny yang tinggi pada ekstrak dengan pelarut air menunjukkan
bahwa ekstrak dengan pelarut air memiliki kereaktifan yang tinggi terhadap
formaldehid. Kereaktifan dengan formaldehid ini memiliki kesamaan fungsi
dengan perekat sintetik. Dalam hal ini kemampuan tanin untuk beraksi dengan
formaldehid sangat diinginkan dalam proses perekatan.
Ekstrak yang menggunakan pelarut air memiliki kadar polifenolik lebih
tinggi daripada ekstrak yang menggunakan pelarut Na2CO3 0,5%, Urea 0,5% dan
lindi hitam, hal ini menunjukkan bahwa ekstrak dengan menggunakan pelarut air
memiliki kereaktifan yang lebih tinggi daripada ekstrak dengan menggunakan
pelarut Na2CO3 0,5%, Urea 0,5% dan lindi hitam. Sejalan dengan pendapat
Achmadi dan Darmawan (1991) yang menyebutkan bahwa ekstraksi tanin
59
dengan menggunakan pelarut air memberikan hasil yang terbaik bila
dibandingkan dengan tanin yang diekstraksi dengan etanol dan natrium bisulfit.
Penggunaan pelarut kimia, seperti Na2CO3 0,5%, Urea 0,5% dan lindi
hitam menyebabkan zat ekstraktif lain maupun konstituen lain dalam kulit kayu
ikut larut. Zat-zat tersebut menghambat tanin bereaksi dengan formaldehid
sehingga bilangan stiasny yang dihasilkan rendah.
Selain itu pH juga mempengaruhi kereaktifan tanin yang dihasilkan, pH
tinggi menyebabkan bilangan stiasny yang dihasilkan rendah. Hal ini dibuktikan
dengan bilangan stiasny yang lebih rendah pada penggunaan pelarut Urea 0,5%
yang memiliki nilai pH paling tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Achmadi dan Aryetti (1993) yang menyatakan bahwa pada pH tinggi terjadi
penataulangan struktur tanin yang menurunkan reaktifitasnya.
Khusus pada pelarut lindi hitam yang memiliki bilangan stiasny paling
rendah diantara pelarut lainnya. Hal tersebut selain dikarenakan pH yang tinggi
juga dikarenakan lindi hitam yang merupakan limbah dalam pemasakan Bambu
Kuning sudah mengandung sejumlah besar lignin dan zat ekstraktif serta Na2S
dan NaOH yang merupakan basa kuat. Hal tersebut mengganggu proses
bereaksinya tanin dengan formaldehid.
Selain pengaruh penggunaan bahan pelarut, kereaktifan tanin juga
dipengaruhi oleh spesies. Bilangan stiasny dari ekstrak dengan pelarut air
nilainya lebih rendah jika dibandingkan nilai bilangan stiasny kulit Acacia
mangium pada hasil penelitian Rosamah (1997), dimana tanin Acacia mangium
yang diekstrak dengan penggunaan pelarut yang sama sebesar 76,5%. Nilai
60
bilangan stiasny tersebut juga lebih rendah dari penelitian Sujanto (1995),
dimana nilai bilangan stiasny tanin quebracho dan mimosa berturut-turut sebesar
85,3% dan 78,2%.
Hal ini didukung pernyataan Rosamah (1997) yang menyatakan bahwa
beberapa faktor yang mempengaruhi reaktifitas tanin secara keseluruhan adalah
spesies, umur pohon dan lokasinya, iklim, musim penen kulit, prosedur ekstraksi
dan usia ekstrak.
Faktor lain yang mempengaruhi bilangan stiasny adalah suhu ekstraksi dan
lamanya ekstraksi, suhu yang tinggi dapat menyebabkan tanin teroksidasi dan
menjadi senyawa yang tidak larut dalam air.
Pari (1990) mengemukakan bahwa dalam ekstraksi tanin faktor yang
mempengaruhi kualitasnya antara lain : suhu ekstraksi, jenis pelarut yang
digunakan, ukuran partikel, jumlah tahap ekstraksi, dan lamanya ekstraksi.
2. Pemisahan tanin berdasarkan kelarutan
Ekstrak tanin yang menggunakan pelarut air dapat dengan mudah larut,
begitu pula tanin yang diekstrak dengan pelarut Urea 0,5% dan lindi hitam, namun
pada kedua jenis pelarut ini tidak terjadi pemisahan. Hanya pada Urea 0,5%
terjadi sedikit perubahan kekentalan. Sedang pada ekstrak tanin yang
menggunakan pelarut Na2CO3 0,5% sangat sukar larut dan terjadi perubahan
kekentalan yang besar sehingga menyebabkan penggumpalan.
Viskositas tinggi tersebut diduga karena berat molekul yang tinggi dari
ekstrak tanin, selain adanya ikatan-ikatan hidrogen dan elektrostatis dalam
senyawa tanin. Hal ini didukung oleh pernyataan Rosamah (1997) yang
61
menyatakan bahwa beberapa faktor yang menyebabkan viscositas yang tinggi
pada larutan encer tanin terkondensasi adalah :
1. Adanya berat molekul yang tinggi dari getah hidrokoloid dari ekstrak
tanin. Tingginya viscositas sebanding dengan jumlah getah di dalam
ekstrak. Gula-gula sederhana malah dapat menurunkan viscositas dari
ekstrak tanin.
2. Adanya ikatan hidrogen dan ikatan elektrostatis antara tanin dan tanin,
antara tanin dan getah, dan antara getah dan getah. Ekstrak larutan tanin
encer bukan merupakan larutan sebenarnya, tetapi merupakan koloid
suspensi.
3. Adanya berat molekul yang tinggi dari ekstrak tanin.
Kemudian ditambahkan oleh Fengel dan Wegener (1984) bahwa
perubahan kelarutan setelah diekstraksi dengan larutan basa atau alkali
kemungkinan disebabkan oleh penyusunan kembali molekul di bawah kondisi
basa.
Prosedur yang dipakai pada pengujian kelarutan ini adalah prosedur
pemisahan polimer polifenol sehingga menghasilkan pemisahan warna pada tanin
air sebesar 14,6% dimana diduga merupakan komponen prosianidin. Pada tanin
yang diekstrak menggunakan pelarut kimia lainnya tidak ada pemisahan warna
namun hanya terlarut dimana diduga merupakan tanin terkondensasi yang
dikandungnya.
Hasil ini sesuai dengan Fengel dan Wegener, 1984 yang menyatakan
bahwa polifenol yang terdapat dalam kulit diklasifikasikan menurut berat
62
molekulnya dan kelarutannya. Prosianidin (proantosianidin) mempunyai berat
molekul paling rendah yaitu di- dan tri- flavanol. Sedang tanin terkondensasi
(flobafena) mempunyai kemiripan struktur tetapi berat molekulnya lebih tinggi
dengan berat molekul berkisar antara 1000 (tetramer) sampai 3000 (undekamer).
Kelarutan tanin di dalam air umumnya dipengaruhi oleh tingginya berat
molekul atau tingginya derajat kondensasi. Namun, selain itu ketidaklarutan dari
tanin terkondensasi juga dipengaruhi struktur hidrophobik. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Lewin dan Goldstein (1994) dalam Rosamah (1997) yang
menyatakan bahwa dalam beberapa kasus, tidak hanya perbedaan berat molekul
dan derajat kondensasi yang berpengaruh pada ketidaklarutan dari tanin
terkondensasi (flobafena) tetapi juga dipengaruhi oleh bagian dari struktur
hidrophobik.
3. Pemisahan komponen tanin dengan kromatografi
Untuk identifikasi dari komponen tanin dilakukan dengan membandingkan
nilai Rf yang diperoleh dari pemisahan titik spot pada kromatografi lapisan tipis
yang kemudian dilihat pada sinar Ultra Violet gelombang pendek.
Diduga komponen utama pada tanin yang menggunakan pelarut air adalah
katekin. Komponen utama pada tanin yang menggunakan pelarut Na2CO3 0,5%
adalah epikatekin-4-phloroglusinol. Pada tanin yang menggunakan pelarut urea
0,5% adalah galokatekin sedang komponen utama pada tanin yang menggunakan
pelarut lindi hiam adalah phloroglusinol
63
Hasil ini dapat dilihat dari empat metode yang digunakan, antara lain
kromatografi lapis tipis dengan menggunakan eluen Asam asetat 6% pada gambar
berikut.
0,700
0,3880,2880,313
0,0000,1000,2000,3000,4000,5000,6000,7000,800
Air Na2CO3 0,5% Urea 0,5% Lindi Hitam
Medium Ekstraksi
Rf
Gambar 22. Nilai Rf dengan Eluen Asam Asetat 6%
T-Butanol : asam asetat : air dengan perbandingan 3 : 1 : 1 pada gambar
berikut.
0,814 0,800
0,500
0,400
0,0000,1000,2000,3000,4000,5000,6000,7000,8000,900
Air Na2CO3 0,5% Urea 0,5% Lindi Hitam
Medium Ekstraksi
Rf
Gambar 23. Nilai Rf dengan Eluen T-Butanol : Asam Asetat : Air
Eluen metanol : kloroform : air dengan perbandingan 12 : 8 :2 pada
gambar berikut.
64
0,7400,860
0,4700,410
0,0000,1000,2000,3000,4000,5000,6000,7000,8000,9001,000
Air Na2CO3 0,5% Urea 0,5% Lindi Hitam
Medium Ekstraksi
Rf
Gambar 24. Nilai Rf dengan Eluen Metanol : Kloroform : Air
Dan Kloroform : asam asetat : air dengan perbandingan 50 : 45 : 2 pada
gambar berikut.
0,6700,780
0,430 0,400
0,0000,1000,2000,3000,4000,5000,6000,7000,8000,900
Air Na2CO3 0,5% Urea 0,5% Lindi Hitam
Medium Ekstraksi
Rf
Gambar 25. Nilai Rf dengan Eluen Kloroform : Asam Asetat : Air
Hasil dari identifikasi komponen tanin ini menunjukkan bahwa tanin
Eucalyptus deglupta yang diperoleh dengan menggunakan pelarut air, pelarut
Na2CO3 0,5%, pelarut urea 0,5% dan pelarut lindi hitam komponen utamanya
adalah tanin terkondensasi atau flobafena. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Fengel dan Wegener (1984) yang menyatakan bahwa tanin terkondensasi
65
mengandung komponen antara lain katekin (flavan-3-ol) dan leukoantosianidin
(flavan-3-4-diol) yang termasuk senyawa flavonoid.
Lebih lanjut Fengel dan Wegener (1984) menyatakan bahwa flavonoid
dapat diturunkan dari flavon yang diinterpretasikan sebagai 2-fenil benzopiron.
Monomer yang terbentuk dapat berupa kombinasi dari gugus fungsi pada cincin A
yaitu phloroglusinol atau resorsinol dan cincin B yaitu pirogalol dan katekol.
Hathway (1962) dalam Fengel dan Wegener (1984) menambahkan
bahwa kandungan tanin terkondensasi dalam kulit sangat bervariasi dari 5-50%.
Polifenol tersebut terdiri atas katekin, gallokatekin dan flavanol lain, terdapat juga
flafanon dan kalkon.
4. Kapasitas buffer (buffer capacity)
Buffer merupakan larutan penyangga yang dapat mengendalikan kondisi
pH tanin. Kapasitas buffer adalah jumlah asam atau basa yang dapat diberikan
terhadap larutan buffer tanpa mengubah nilai pHnya. Dalam penelitian ini
kapasitas buffer dinyatakan sebagai jumlah NaOH (mmol) dan H2SO4 (mmol)
yang ditambahkan ke dalam larutan sehingga pH larutan ekstrak mencapai 7.
Tanin yang menggunakan pelarut air mempunyai nilai pH 3,75, tanin yang
menggunakan pelarut Na2CO3 0,5% sebesar 5,92, pelarut urea 0,5% mempunyai
nilai pH sebesar 7,42 sedang tanin yang menggunakan pelarut lindi hitam nilai
pH-nya sebesar 6,87.
66
Lebih jelasnya nilai pH dan nilai buffer capacity untuk masing-masing
medium ekstraksi dapat dilihat pada gambar berikut.
7,425,923,72
6,870
20
40
60
80
100
120
140
160
Air Na2CO30,5%
Urea ,5% Lindi Hitam
Medium Ekstra si
150,00
21,0010,75
2,25
pH
BufferCapacity
0 k
Gambar 26. Nilai Buffer Capacity dari Ekstrak Tanin
Dari gambar terlihat bahwa semakin rendah nilai pH, maka kapasitas
buffernya semakin tinggi (untuk kondisi asam).
Pengendalian pH tanin diperlukan karena pH berpengaruh pada reaksi dan
efektifitas ekstraksi. Seperti diungkapkan Achmadi dan Aryetti (1993) bahwa
dengan adanya sifat fenolik, pH dapat mempengaruhi efektifitas ekstraksi.
pH yang terlalu rendah dikhawatirkan dapat merusak ekstrak tanin
demikian pula halnya dengan pH tanin yang terlalu tinggi, pH tanin yang terlalu
tinggi dapat menyebabkan menurunnya reaktifitas tanin akibat terjadinya
penataulangan struktur tanin. Hal ini didukung pernyataan Achmadi dan
Aryetti (1993) yang menyatakan bahwa pada pH tinggi terjadi penataulangan
struktur tanin yang menurunkan reaktifitasnya.
67
Sujanto (1995) melakukan penelitian pengaruh pH basa 8-13 dengan
satu satuan pH. Larutan NaOH 50% digunakan untuk mengendalikan kondisi pH
tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa naiknya pH perlakuan
mengakibatkan naiknya viskositas, dan naiknya pH juga menurunkan waktu
gelatinasi. Viskositas yang tinggi menyebabkan penggumpalan yang cepat
terjadi, penggumpalan yang cepat ini mengakibatkan larutan segera mengeras
sehingga waktu gelatinasi semakin pendek.
68
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil pembahasan dan analisa data pada hasil penelitian
analisa sifat fisik dan kimia tanin dari ekstrak kulit kayu Leda (Eucalyptus
deglupta Blume.) dapat ditarik beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut.
A. Kesimpulan
• Perbedaan pelarut yang digunakan untuk mengekstrak tanin berpengaruh
nyata terhadap sifak fisik dan sifat kimia tanin yang dihasilkan.
• Tanin yang dihasilkan pada pemasakan serbuk kulit Eucalyptus deglupta
dengan pelarut air dan Na2CO3 0,5% memiliki nilai pH rendah atau bersifat
asam sedangkan tanin dengan pelarut Urea 0,5% dan lindi hitam nilai pH-nya
mendekati normal.
• Rendemen tertinggi diperoleh pada pemasakan serbuk kulit Eucalyptus
deglupta dengan pelarut lindi hitam yaitu sebesar 28,137%, diikuti pelarut
Na2CO3 0,5% dengan rendemen sebesar 16,543%, Urea 0,5% dengan
rendemen sebesar 9,675% dan yang terendah pelarut air dengan rendemen
sebesar 9,650%.
• Nilai rendemen berbanding lurus dengan kadar padat dimana kadar padat
tertinggi diperoleh pada pemasakan serbuk kulit Eucalyptus deglupta dengan
pelarut lindi hitam yaitu sebesar 9,869%, diikuti pelarut Na2CO3 0,5% dengan
kadar padat sebesar 5,642%, Urea 0,5% dengan kadar padat sebesar 3,399%
dan yang terendah pelarut air dengan kadar padat sebesar 2,975%.
69
• Waktu gelatinasi terlama diperoleh pada pemasakan serbuk kulit Eucalyptus
deglupta dengan pelarut lindi hitam, diikuti pelarut Urea 0,5%, pelarut air dan
yang tercepat Na2CO3 0,5%.
• Sifat kimia dari ekstrak tanin menunjukkan bahwa tanin yang diekstrak
dengan menggunakan pelarut air lebih reaktif daripada tanin yang diekstrak
dengan menggunakan pelarut lainnya. Hasil ini dapat dilihat pada besarnya
bilangan stiasny dari ekstrak menggunakan pelarut air, Na2CO3 0,5%, Urea
0,5% dan lindi hitam berturut turut 65,972%, 62,319%, 52,222% dan
34,754%.
• Pada besarnya kelarutan tanin untuk keempat jenis pelarut yaitu tanin yang
menggunakan pelarut air mengandung polifenol prosianidin sebesar 14,6%
sedang pada ketiga jenis pelarut kimia hanya terlarut tidak ada pemisahan
warna yang diduga merupakan tanin terkondensasi.
• Komponen tanin yang diidentifikasi dengan menggunakan kromatografi
lapisan tipis, diduga bahwa tanin Eucalyptus deglupta mengandung komponen
utama tanin terkondensasi (flobafena) dimana dengan pelarut air mengandung
katekin, pelarut Na2CO3 0,5% mengandung epikatekin-4-phloroglusinol,
pelarut urea 0,5% mengandung galokatekin sedangkan pada pelarut lindi
hitam mengandung phloroglusinol.
70
B. Saran
• Perlu adanya penelitian komponen tanin dengan menggunakan metode gas
kromatografi pada tanin dari kulit kayu dengan jenis yang sama untuk
mengetahui komponen-komponen yang terdapat dalam tanin tersebut.
• Disarankan untuk mengadakan penelitian lanjutan dengan variasi bahan
pereaksi dalam pengujian bilangan stiasny dan waktu gelatinasi.
• Disarankan untuk mengadakan penelitian lanjutan dengan variasi temperatur,
waktu pemasakan dan ukuran serbuk yang berbeda pada kulit kayu dengan
jenis yang sama sehingga dapat menambah keakuratan di dalam pengambilan
kesimpulan ataupun keputusan sehubungan dengan pemanfaatan tanin dari
ekstrak kulit kayu Leda.
71
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, S.S., dan A.S. Darmawan. 1991. Tanin dari Hutan Tanaman Industri sebagai Pencampur Perekat Sintetik Fenol Formaldehide. Lembaga Penelitian IPB.
Achmadi, S.S., dan Aryetti. 1993. Keragaan Tanin Acacia mangium
Dibandingkan Tanin Mimosa sebagai Perekat Kayu Lapis. Lembaga Penelitian IPB.
Anonim.1980. Pedoman Pembuatan Tanaman. Direktorat Jendral Kehutanan.
Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi. Jakarta. Bratawinata, A.A. 1987. Dasar-dasar Dendrologi Bagian I. Laboratorium
Dendrologi dan Ekologi. Fakultas Kehutanan. Universitas Mulawarman Samarinda
Bratawinata, A.A. 1989. Beberapa Catatan dari Pohon & Tanaman Industri
Cepat Tumbuh. Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman Samarinda.
Browning, B.L. 1963. The Chemistry of Wood. Interciece Publischers. A
Division of John Wiley and Suns. New York. London. Browning, B. L. 1967. Methods of Wood Chemistry Volume 1. Interscience
Publishers A Division of John Wiky and Sons New York, London. Sidney. Fengel, D. dan Wegener, G. 1984. Kayu; Kimia, Ultrastruktur, Reaksi
(Terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Haygreen, J.G. dan J.L Bowyer. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu (Suatu
Pengantar) Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hergert, H.L. 1989. Condensed Tannin in Adhesives. In : Adhesives From
Renewable Resources (R.W. Hemingtway and A.H. Corner, ed.). Proceeding Symposium in the Cellulose , Paper, and Textile Division Program for 194th National ACS Meeting, August 30 to September 4, 1987, New orleans.
Japing, H. W. 1988. Kulit-kulit Batang Pepohonan Yang Mengandung Bahan
Penyamak di Indonesia, Khususnya di Pulau Jawa. Seri Himpunan Peninggalan Penulisan yang Berserakan. Bandung.
Kusmayadi, Y. 1989. Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Kulit Pinus
merkusii, Acacia decurrens dan Rhizophora mucronata Terhadap Kualita
72
Tanin Sebagai Bahan Penolong Papan Serat. Skripsi Fakultas Kehutanan. Bogor
Martawijaya, A., I. Kartasujana., Y. Mandang., S. Prawira., dan K. Kadir.
1981. Atlas Kayu Indonesia. Puslitbang Kehutanan. Bogor. Noor, M. 1999. Proses Pulping Campuran Jenis Kayu Leda (Eucalyptus
deglupta Blume) dan Terap (Artocarpus elasticus Relaw) serta Gmelina (Gmelina Arborea Rosb) Sebagai Bahan Baku Pulp dan Kertas dengan Metode Kraft/Sulfat. Skripsi Sarjana Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda. (Tidak Diterbitkan).
Parastuti, N. 2002. Analisa Kandungan Zat Ekstraktif Dan Abu Kulit Kayu
Mangium (Acacia mangium Willd) Berdasarkan Kelas Diameter. Universitas Mulawarman. Samarinda. (Tidak Diterbikan).
Pari, G. 1990. Beberapa Sifat Fisik dan Kimia Ekstrak Tanin. Jurnal Penelitian
Hasil Hutan Volume 6, No. 8 pp. 482-492, Bogor. Pizzi, A. 1980. Tannin- Based Adhesives. J. Macromal Sc. Rev. Macromal
Chem. And Tech. Vol I. Roffael, E., dan Ch. Ayla. 1982. Evaluation of The Possibilities of Using
Mangrove Extract as a Binding Agent in Wood-Based Panels. Technical Cooperation Between Malaysia and The Federal Republic of Germany.
Rosamah, E. 1997. The Utilzation of Tannin from Bark of Acacia mangium
Willd. as Adhesive Constituent. Thesis. Fakulty of Forestry and Ecology. Georg-August University Goettingen. Gottingen.
Rosamah, E. 2003. Einige Aspekte der Tanninverleimung. Dissertation an der
Universitat Gottingen. Cavillier Verlag. Gottingen. Ruchaemi, A. 1994. Riap Eucalyptus deglupta Setelah Penjarangan Pertama.
(Terjemahan). Mulawarman Forestry Reports No.4. Samarinda Santoso, A. 1997. Pengaruh Penambahan Tanin pada Fenol Formaldehide
Terhadap Sifatnya Sebagai Perekat Kayu Lapis. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15 (2) : 10-19.
Sastradimadja, E. 1990. Diktat Kuliah Papan Komposit Seri Papan Partikel.
Fakultas Kehutanan, Universitas mulawarman. Samarinda Sjöström, E. 1981. Wood chemistry. Fundamentals and Applications.
Academiuc Press. NY. London. Toronto.
73
Suomi, L. dan Linberg. 1984. Bark Extracts and their use in Plywood Bonding. Research Report. Technical Research Centre of Finland. Espoo. Finland.
Suharyati. 1991. Studi Pengaruh Umur Pohon, Letak Kulit pada Batang dan
Ukuran Serbuk yang Berbeda dalam Isolasi Tanin Kulit Akasia mangium. Universitas Mulawarman. Samarinda.
Sumadiwangsa, S. dan Ando, Y. 1986. Potensi Tanin dari Hutan Payau
Tarakan, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Volume 3, No. 3, pp. 25-27, Bogor.
Supraptono, B. 1996. Kadar Air Kayu Segar dan Kerapatan Dasar Bahan Baku
Kayu Pulp dari Empat Jenis Acacia dan Albizia. Rimba Kalimantan. Buletin Ilmiah Kehutanan Volume 1 No. 1 September 1996. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Samarinda.
Sutigno, P. 1986. Perekat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan Bogor.
Widarmana, S. 1987. Penelitian Pemanfaatan Tanin Sebagai Perekat Papan
Partikel. Buletin Teknologi, pp. 1-9, Bogor.
LLaammppiirraann--llaammppiirraann
74
Lampiran 1. Nilai Kadar Air dari Serbuk Kulit Eucalyptus deglupta
Rep. Kadar Air (%) Rata-rata (%)
1 2 3
13,00 13,00 13,00
13,00
75
Lampiran 2. Nilai pH dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta dengan Kadar Padat Sekitar 1%
Medium Ekstrak Rep. pH Rata-rata
Air 1 2 3
4,56 4,56 4,56
4,56
Na2CO3 0,5% 1 2 3
6,26 6,27 6,28
6,27
CO(NH2)2 0,5% 1 2 3
7,28 7,28 7,29
7,28
Lindi Hitam 1 2 3
6,85 6,90 6,84
6,86
76
Lampiran 3. Rendemen dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta
Medium Ekstrak Rep. Rendemen(%)
Rata-rata (%)
Air 1 2 3
9,730 9,539 9,681
9,650
Na2CO3 0,5% 1 2 3
15,993 15,788 17,847
16,543
CO(NH2)2 0,5% 1 2 3
9,722 9,628 9,866
9,675
Lindi Hitam 1 2 3
28,369 27,952 28,090
28,137
77
Lampiran 4. Kadar Padat dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta
Medium Ekstrak Rep. Kadar Padat(%)
Rata-rata (%)
Air 1 2 3
3,000 2,941 2,985
2,975
Na2CO3 0,5% 1 2 3
5,455 5,385 6,087
5,642
CO(NH2)2 0,5% 1 2 3
3,415 3,382 3,465
3,399
Lindi Hitam 1 2 3
9,950 9,804 9,852
9,869
78
Lampiran 5. Bilangan Stiasny dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta
Medium Ekstrak Rep. Bil. Stiasny (%)
Rata-rata (%)
Air 1 2 3
66,667 64,583 66,667
65,972
Na2CO3 0,5% 1 2 3
63,043 63,043 60,870
62,319
CO(NH2)2 0,5% 1 2 3
53,333 51,111 55,556
52,222
Lindi Hitam 1 2 3
34,046 34,046 36,170
34,754
79
Lampiran 6. Waktu Gelatinasi dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta
Waktu Gelatinasi (menit) Medium Ekstrak Rep. Formaldehid
5% Formaldehid
10% Formaldehid
15% 1 2 3
1'30'' 1'35'' 1'35''
1'10'' 1'20'' 1'17''
0'36'' 0'32'' 0'35'' Air
Rata-rata 1'33'' 1'16'' 0'34'' 1 2 3
0'36'' 0'30'' 0'42''
0'30'' 0'27'' 0'34''
0'19'' 0'23'' 0'26'' Na2CO3 0,5%
Rata-rata 0'36'' 0'30'' 0'23'' 1 2 3
4'15'' 4'32'' 4'27''
4'17'' 4'10'' 4'18''
3'10'' 3'48'' 3'32'' CO(NH2)2 0,5%
Rata-rata 4'25'' 4'15'' 3'30'' 1 2 3
24'30'' 23'00'' 23'17''
19'21'' 18'35'' 21'11''
17'20'' 17'10'' 16'38'' Lindi Hitam
Rata-rata 23'36'' 19'39'' 17'02''
80
Lampiran 7. Kelarutan dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta
Medium Ekstrak Rep. Kelarutan Tanin (%)
Rata-rata (%)
Air 1 2
14,1 15,1 14,6
Na2CO3 0,5% 1 2
Menggumpal Menggumpal Menggumpal
CO(NH2)2 0,5% 1 2
Terlarut Terlarut Terlarut
Lindi Hitam 1 2
Terlarut Terlarut Terlarut
81
Lampiran 8. Buffer Capacity dari Ekstrak Kulit Eucalyptus deglupta
Medium Ekstrak Rep. pH Buffer Capacity
1 2
3,73 3,71
150,00 mmol NaOH / 100 g tanin 150,00 mmol NaOH / 100 g tanin Air
Rata-rata 3,72 150,00 mmol NaOH / 100 g tanin 1 2
5,91 5,93
21,50 mmol NaOH / 100 g tanin 20,50 mmol NaOH / 100 g tanin Na2CO3 0,5%
Rata-rata 5,92 21,00 mmol NaOH / 100 g tanin 1 2
7,41 7,43
11,00 mmol H2SO4 / 100 g tanin 10,50 mmol H2SO4 / 100 g tanin CO(NH2)2
0,5% Rata-rata 7,42 10,75 mmol H2SO4 / 100 g tanin
1 2
6,86 6,88
2,50 mmol NaOH / 100 g tanin 2,00 mmol NaOH / 100 g tanin Lindi Hitam
Rata-rata 6,87 2,25 mmol NaOH / 100 g tanin
GGaammbbaarr--ggaammbbaarr
82
Gambar 27. Deretan Pepohonan Eucalyptus deglupta
Gambar 28. Lindi Hitam dari Hasil Pemasakan Bambu Kuning
83
Gambar 29. Mesin Penyerbuk
Gambar 30. Lampu Ultra Violet
84
Gambar 31. Serbuk Tanin Eucalyptus deglupta
Gambar 32. Hasil Pengujian Waktu Gelatinasi
85
Gambar 33. Penyimpanan Tanin