ANALISA SEDERHANA SIFAT FISIKA, BIOLOGI, DAN KIMIA TANAH MELALUI ANALISA LABORATORIUM
-
Upload
arghya-narendra-dianastya -
Category
Documents
-
view
411 -
download
1
description
Transcript of ANALISA SEDERHANA SIFAT FISIKA, BIOLOGI, DAN KIMIA TANAH MELALUI ANALISA LABORATORIUM
ANALISA SEDERHANA SIFAT FISIKA, BIOLOGI, DAN KIMIA TANAH MELALUI ANALISA LABORATORIUM
Disusun Oleh :
ARGHYA NARENDRA DIANASTYA (111510501105)
(Mahasiswa Penerima Beasiswa Unggulan S-1 PS. Agroteknologi Fakultas
Pertanian UNEJ)
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGIFAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS JEMBER
2011
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Setiap orang berkepentingan terhadap tanah. Tanah sebagai sumberdaya
alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk berbagai macam aktivitas guna
memenuhi kebutuhan hidupnya. Tanah sebagai sumberdaya yang digunakan
untuk keperluan pertanian dapat bersifat sebagai sumberdaya yang dapat pulih
(reversible) dan dapat pula sebagai sumberdaya yang dapat pulih atau habis.
Dalam usaha pertanian tanah mempunyai fungsi utama sebagai sumber
penggunaan unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman, dan
sebagai tempat tumbuh dan berpegangnya akar serta tempat penyimpan air yang
sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup tumbuhan. Pada awal budidaya
pertanian, hara yang diperlukan untuk produksi tanaman hanya mengandalkan
sumber alami dari tanah, baik yang bersumber dari bahan organik dan dari bahan
mineral tanah, tanpa adanya pasokan hara dari luar. Petani peladang berpindah
memilih tanah sebagai tempat usahanya hanya mendasarkan pada tebal tipisnya
lapisan humus dan ketersediaan airnya saja. Setelah hara setempat habis atau
produktivitasnya menurun, mereka pergi meninggalkan tempat usahanya untuk
mencari lahan yang baru yang mempunyai lapisan humus tebal yang relatif lebih
produktif, sehingga akan memberikan harapan terhadap ketersediaan hara untuk
budidaya pertanian berikutnya.
Sejak manusia melakukan pertanian menetap, mulailah petani
mengupayakan pengelolaan kesuburan tanah, yaitu dengan penambahan bahan
organik untuk memulihkan kembali status hara dalam tanah. Perkembangan
selanjutnya tidak terbatas pada penggunaan pupuk organik, namun juga dengan
penggunaan pupuk buatan. Pada tahun enampuluhan terjadilah biorevolosi di
bidang pertanian, yang dikenal sebagai revolosi hijau yang telah berhasil merubah
pola pertanian dunia secara spektakuler. Petani mulai berpaling meninggalkan
penggunaan pupuk organik, berubah ke penggunaan pupuk buatan yang
berkonsentrasi hara tinggi. Dengan revolosi hijau tersebut, produksi pangan dunia
meningkat dengan tajam, sehingga telah berhasil mengatasi kekhawatiran dunia
akan adanya krisis pangan dalam dua-tiga dasawarsa terakhir.
Peningkatan produksi pangan tersebut disebabkan pola input intensive atau
teknologi masukan tinggi yang salah satunya dicirikan dengan penggunaan
agrokimia yang berupa penggunaan pupuk buatan dan pestisida yang tinggi, dan
penggunaan varietas unggul yang dicirikan oleh umur pendek dengan hasil tinggi,
sehingga terjadi pengurasan hara dalam kurun waktu yang pendek relatif tinggi.
Akibat dari perubahan pola budidaya ini, menyebabkan kebutuhan pupuk dunia
melonjak sangat pesat dari tahun ke tahun termasuk Indonesia.
Di Indonesia, sejak tahun 1968 terjadi peningkatan kebutuhan pupuk buatan
secara tajam. Penggunaan pupuk buatan yang berkonsentrasi tinggi yang tidak
proporsional ini, akan berdampak pada penimpangan status hara dalam tanah,
sehingga akan memungkinkan terjadinya kekahatan hara lain. Di samping itu,
petani mulai banyak yang meninggalkan penggunaan pupuk organik baik yang
berupa pupuk hijau ataupun kompos, dengan anggapan penggunaan pupuk
organik kurang efektif dan efisien, karena kandungan unsur hara dalam bahan
organik yang relatif kecil dan lambat tersedia.
Akibat dari penggunaan pupuk kimia yang berlebihan tersebut, akan
berdampak pada penyusutan kandungan bahan organik tanah, bahkan banyak
tempat-tempat yang kandungan bahan organiknya sudah sampai pada tingkat
rawan. Dilaporkan, sekitar 60 persen areal sawah di Jawa kadungan bahan
organiknya kurang dari 1 persen. Sementara, sistem pertanian bisa menjadi
sustainable (berkelanjutan) jika kandungan bahan organik tanah lebih dari 2 %.
Sering kurang disadari oleh petani, bahwa walaupun peran bahan organik
terhadap suplai hara bagi tanaman kurang, namun peran bahan organik yang
paling besar dan penting adalah kaitannya dengan kesuburan fisik tanah. Apabila
tanah kandungan humusnya semakin berkurang, maka lambat laun tanah akan
menjadi keras, kompak dan bergumpal, sehingga menjadi kurang produktif .
Menyadari dampak negatif pada tanah dari pertanian yang boros energi tersebut,
maka berkembanglah pada akhir-akhir ini konsep pertanian organik, yang salah
satu langkah untuk pemeliharaan kesuburan tanahnya, adalah dengan penggunaan
kembali bahan organik. Walaupun penggunaan bahan organik sudah bukan bahan
yang baru lagi, namun mengingat betapa pentingnya bahan organik dalam
menunjang produktivitas tanaman dan sekaligus mempertahankan kondisi lahan
yang produktif dan berkelanjutan, maka pembahasan terhadap bahan organik tidak
henti-hentinya untuk dikaji.
Bahan organik tanah merupakan timbunan binatang dan jasad renik yang
sebagian telah mengalami perombakan. Bahan organik ini biasanya berwarna
cokelat dan bersifat koloid yang dikenal dengan humus. Humus terdiri dari bahan
organik halus yang berasal dari hancuran bahan organik kasar serta senyawa-
senyawa baru yang dibentuk dari hancuran bahan organik tersebut melalaui suatu
kegiatan mikroorganisme di dalam tanah. Humus merupakan senyawa yang
resisten berwarna hitam / cokelat dan mempunyai daya menahan air dan unsur
hara yang tinggi. Tanah yang mengandung banyak humus atau mengandung
banyak bahan organik adalah tanah-tanah lapisan atas atau tanah-tanah top soil.
Bahan organik tanah berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman yaitu sebagai
granulator yang berfungsi memperbaiki struktur tanah, penyediaan unsur hara dan
sebagainya. Yang mana nantinya akan mempengaruhi seberapa jauh tanaman
memberikan hasil produktifitas yang tinggi. Berdasarkan hal inilah, maka
dipandang penting untuk melaksanakan praktikum bahan organik tanah.
1.2. Tujuan
1. Mengetahui kemampuan tanah yang mengandung bahan organik dan tidak
mengandung bahan organik dalam mengikat air.
2. Menduga kemampuan kapasitas tukar kation tanah yang mengandung bahan
organik dan tidak mengandung bahan organik.
3. Mengetahui porositas tanah yang mengandung bahan organik dan tidak
mengandung bahan organik.
4. Menduga tekstur tanah yang mengandung bahan organik dan tidak
mengandung bahan organik.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Bahan organik tanah adalah bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem
yang kompleks dan dinamis, yang bersumber dari sisa tanaman atau binatang
yang terdapat didalam tanah yang terus-menerus mengalami perubahan bentuk,
karena dipengaruhi oleh faktor biologi, fisika, dan kimia. Bahan organik tanah
adalah semua jenis bahan organik yang terdapat di dalam tanah, termasuk serasah,
fraksi bahan organik ringan, biomassa mikroorganisme, bahan organik terlarut
dalam air, dan bahan organik yang stabil atau humus (Soegiman, 1990).
Secara umum fungsi bahan organik tanah adalah menyediakan tempat hidup
dan makanan bagi jasad hidup tanah, sumber cadangan makanan didalam tanah,
meningkatkan stabilitas struktur tanah, serta menyimpan air dan zat makanan.
Semua bentuk makanan (nutrisi) dalam tanah dalam bentuk terikat, sehingga
untuk mengubah menjadi bentuk tersedia maka nutrisi akan dirubah mejadi
senyawa bermuatan (ion/kation). Dengan demikian nutrisi yang mempunyai
muatan dapat diserap oleh tanaman untuk pertumbuhannya. Namun tanah yang
sedikit mengandung bahan organik maka ion-ion menjadi lebih sedikit diikat oleh
tanah, sehingga nutrisi hilang di alam (Soegiman, 1990).
Bahan organi memilki peran penting dalam menentukan kemampuan tanah
untuk mendukung tanaman,sehingga jika kadar jika kadar bahan organik tanah
menurun, kemampuan tanah dalam mendukung produktivitas juga menurun.
Menurunnya bahan organik merupakan salah ssatu bentuk kerusakan tanah yang
umum terjadi. Kerusakan tanah merupakan masalah penting bagi Negara
berkembang karena intensitasnya yang cenderung meningkat sehingga tercipta
tanah-tanah rusak yang jumlah maupun intensitasnya meningkat (Soegiman,
1990).
Kerusakan tanah secara garis besar dapat digolongkan menjadi tiga
kelompok utama, yaitu kerusakan sifat kimia, fisika dan biologi tanah. Kerusakan
biologi ditandai oleh penyusutan populasi atau berkurangnya biodiversitas
organisme tanah, dan umumnya terjadi bukan kerusakan sendiri, melainkan akibat
dari kerusakan lain (fisik dan kimia). Sebagai contoh penggunaan pupuk nitrogen
(dalam bentuk ammonium sulfat dan sulfur coated urea) yang terus menerus
selama 20 tahun dapat menyebabkan pemasaman tanah sehingga populasi cacing
tanah akan turun dengan drastic (Soegiman, 1990).
Bahan organik tanah juga mempengaruhi sifat fisik tanah, diantaranya
tekstur tanah. Ciri tanah subur antara lain tekstur dan struktur tanahnya baik, yaitu
butir tanahnya tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil; banyak mengandung air
untuk melarutkan garam-garaman. Tekstur tanah menunjukkan proporsi relative
dari ukuran partikel-partikel tanah. Rentangan ukuran partikel yang terbesar dapat
dijumpai dalam kelompok tanah lempung (clay) yang diameter partikelnya
mempunyai ukuran 0,0002 mm hingga sebesar molekul. Struktur tanah adalah
susunan butir-butir suatu tanah. Pada umumnya, komposisi tanah terdiri dari 90%
bahan mineral, 1-5% bahan organik, 0,9% udara dan air (Soegiman, 1990).
Bahan orgnik di samping berpengaruh terhadap pasokan hara tanah juga
tidak kalah pentingnya terhadap sifat fisik, biologi dan kimia tanah lainnya. Syarat
tanah sebagai media tumbuh dibutuhkan kondisi fisik dan kimia yang baik.
Keadaan fisik tanah yang baik apabila dapat menjamin pertumbuhan akar tanaman
dan mampu sebagai tempat aerasi dan lengas tanah, yang semuanya berkaitan
dengan peran bahan organik. Peran bahan organik yang paling besar terhadap sifat
fisik tanah meliputi : struktur, konsistensi, porositas, daya mengikat air, dan yang
tidak kalah penting adalah peningkatan ketahanan terhadap erosi.
Bahan organik tanah merupakan salah satu bahan pembentuk agregat tanah,
yang mempunyai peran sebagai bahan perekat antar partikel tanah untuk bersatu
menjadi agregat tanah, sehingga bahan organik penting dalam pembentukan
struktur tanah. Pengaruh pemberian bahan organik terhadap struktur tanah sangat
berkaitan dengan tekstur tanah yang diperlakukan. Pada tanah lempung yang
berat, terjadi perubahan struktur gumpal kasar dan kuat menjadi struktur yang
lebih halus tidak kasar, dengan derajat struktur sedang hingga kuat, sehingga lebih
mudah untuk diolah. Komponen organik seperti asam humat dan asam fulvat
dalam hal ini berperan sebagai sementasi pertikel lempung dengan membentuk
komplek lempung-logam-humus (Stevenson, 1982).
Pada tanah pasiran bahan organik dapat diharapkan merubah struktur tanah
dari berbutir tunggal menjadi bentuk gumpal, sehingga meningkatkan derajat
struktur dan ukuran agregat atau meningkatkan kelas struktur dari halus menjadi
sedang atau kasar (Scholes et al., 1994).
Bahkan bahan organik dapat mengubah tanah yang semula tidak berstruktur
(pejal) dapat membentuk struktur yang baik atau remah, dengan derajat struktur
yang sedang hingga kuat. Mekanisme pembentukan egregat tanah oleh adanya
peran bahan organik ini dapat digolongan dalam empat bentuk: (1) Penambahan
bahan organik dapat meningkatkan populasi mikroorganisme tanah baik jamur
dan actinomycetes. Melalui pengikatan secara fisik butir-bitir primer oleh miselia
jamur dan actinomycetes, maka akan terbentuk agregat walaupun tanpa adanya
fraksi lempung; (2) Pengikatan secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan
antara bagian–bagian positip dalam butir lempung dengan gugus negatif
(karboksil) senyawa organik yang berantai panjang (polimer); (3) Pengikatan
secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan antara bagianbagian negatif dalam
lempung dengan gugusan negatif (karboksil) senyawa organic berantai panjang
dengan perantaraan basa-basa Ca, Mg, Fe dan ikatan hidrogen; (4) Pengikatan
secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan antara bagian-bagian negative
dalam lempung dengan gugus positif (gugus amina, amida, dan amino) senyawa
organic berantai panjang (polimer) (Seta, 1987). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa asam humat lebih bertanggung jawab pada pembentukkan agregat di
regosol, yang ditunjukkan oleh meningkatnya kemantapan agregat tanah (Pertoyo,
1999).
Kandungan bahan organik yang cukup di dalam tanah dapat memperbaiki
kondisi tanah agar tidak terlalu berat dan tidak terlalu ringan dalam pengolahan
tanah. Berkaitan dengan pengolahan tanah, penambahan bahan organik akan
meningkatkan kemampuannya untuk diolah pada lengas yang rendah. Di samping
itu, penambahan bahan organik akan memperluas kisaran kadar lengas untuk
dapat diolah dengan alat-alat dengan baik, tanpa banyak mengeluarkan energi
akibat perubahan kelekatan tanah terhadap alat. Pada tanah yang bertekstur halus
(lempungan), pada saat basah mempunyai kelekatan dan keliatan yang tinggi,
sehingga sukar diolah (tanah berat), dengan tambahan bahan organik dapat
meringankan pengolahan tanah. Pada tanah ini sering terjadi retakretak yang
berbahaya bagi perkembangan akar, maka dengan tambahan bahan organik
kemudahan retak akan berkurang. Pada tanah pasiran yang semula tidak lekat,
tidak liat, pada saat basah, dan gembur pada saat lembab dan kering, dengan
tambahan bahan organik dapat menjadi agak lekat dan liat serta sedikit teguh,
sehingga mudah diolah.
Pengaruh bahan organik terhadap sifat fisika tanah yang lain adalah
terhadap peningkatan porositas tanah. Porositas tanah adalah ukuran yang
menunjukkan bagian tanah yang tidak terisi bahan padat tanah yang terisi oleh
udara dan air. Pori pori tanah dapat dibedakan menjadi pori mikro, pori meso dan
pori makro. Pori-pori mikro sering dikenal sebagai pori kapiler, pori meso dikenal
sebagai pori drainase lambat, dan pori makro merupakan pori drainase cepat
(Muhdi dan Diana S.H, 2004). Tanah pasir yang banyak mengandung pori makro
sulit menahan air, sedang tanah lempung yang banyak mengandung pori mikro
drainasenya jelek. Pori dalam tanah menentukan kandungan air dan udara dalam
tanah serta menentukan perbandingan tata udara dan tata air yang baik.
Penambahan bahan organik pada tanah kasar (berpasir), akan meningkatkan pori
yang berukuran menengah dan menurunkan pori makro. Dengan demikian akan
meningkatkan kemampuan menahan air (Stevenson, 1982).
Pada tanah halus lempungan, pemberian bahan organik akan meningkatkan
pori meso dan menurunkan pori mikro. Dengan demikian akan meningkatkan pori
yang dapat terisi udara dan menurunkan pori yang terisi air, artinya akan terjadi
perbaikan aerasi untuk tanah lempung berat. Terbukti penambahan bahan organik
(pupuk kandang) akan meningkatkan pori total tanah dan akan menurunkan berat
volume tanah (Wiskandar, 2002). Aerasi tanah sering terkait dengan pernafasan
mikroorganisme dalam tanah dan akar tanaman, karena aerasi terkait dengan O2
dalam tanah. Dengan demikian aerasi tanah akan mempengaruhi populasi
mikrobia dalam tanah. Pengaruh bahan organik terhadap peningkatan porositas
tanah di samping berkaitan dengan aerasi tanah, juga berkaitan dengan status
kadar air dalam tanah. Penambahan bahan organik akan meningkatkan
kemampuan menahan air sehingga kemampuan menyediakan air tanah untuk
pertumbuhan tanaman meningkat. Kadar air yang optimal bagi tanaman dan
kehidupan mikroorganisme adalah sekitar kapasitas lapang. Penambahan bahan
organik di tanah pasiran akan meningkatkan kadar air pada kapasitas lapang,
akibat dari meningkatnya pori yang berukuran menengah (meso) dan menurunnya
pori makro, sehingga daya menahan air meningkat, dan berdampak pada
peningkatan ketersediaan air untuk pertumbuhan tanaman (Scholes et al., 1994).
Pada tanah berlempung dengan penambahan bahan organik akan
meningkatkan infiltrasi tanah akibat dari meningkatnya pori meso tanah dan
menurunnya pori mikro. Peran bahan organik yang lain, yang mempunyai arti
praktis penting terutama pada lahan kering berlereng, adalah dampaknya terhadap
penurunan laju erosi tanah. Hal ini dapat terjadi karena akibat dari perbaikan
struktur tanah yaitu dengan semakin mantapnya agregat tanah, sehingga
menyebabkan ketahanan tanah terhadap pukulan air hujan meningkat. Di samping
itu, dengan meningkatnya kapasitas infiltrasi air akan berdampak pada aliran
permukaan dapat diperkecil. sehingga erosi dapat berkurang (Stevenson, 1982).
Pengaruh bahan organik terhadap kesuburan kimia tanah antara lain
terhadap kapasitas pertukaran kation, kapasitas pertukaran anion, pH tanah, daya
sangga tanah dan terhadap keharaan tanah. Penambahan bahan organik akan
meningkatkan muatan negative sehingga akan meningkatkan kapasitas pertukaran
kation (KPK). Bahan organik memberikan konstribusi yang nyata terhadap KPK
tanah. Sekitar 20 – 70 % kapasitas pertukaran tanah pada umumnya bersumber
pada koloid humus (contoh: Molisol), sehingga terdapat korelasi antara bahan
organik dengan KPK tanah (Stevenson, 1982).
Kapasitas pertukaran kation (KPK) menunjukkan kemampuan tanah untuk
menahan kation-kation dan mempertukarkan kation-kation tersebut termasuk
kation hara tanaman. Kapasitas pertukaran kation penting untuk kesuburan tanah.
Humus dalam tanah sebagai hasil proses dekomposisi bahan organik merupakan
sumber muatan negatif tanah, sehingga humus dianggap mempunyai susunan
koloid seperti lempung, namun humus tidak semantap koloid lempung, dia
bersifat dinamik, mudah dihancurkan dan dibentuk. Sumber utama muatan negatif
humus sebagian besar berasal dari gugus karboksil (-COOH) dan fenolik (-
OH)nya (Brady, 1990).
Muatan koloid humus bersifat berubah-ubah tergantung dari nilai pH larutan
tanah. Dalam suasana sangat masam (pH rendah), hidrogen akan terikat kuat pada
gugus aktifnya yang menyebabkan gugus aktif berubah menjadi bermuatan positip
(-COOH2+ dan –OH2
+), sehingga koloid koloid yang bermuatan negatif menjadi
rendah, akibatnya KPK turun. Sebaliknya dalam suasana alkali (pH tinggi) larutan
tanah banyak OH-, akibatnya terjadi pelepasan H+ dari gugus organik dan terjadi
peningkatan muatan negatif (-COO -, dan –O- ), sehingga KPK meningkat (Parfit,
1980).
Dilaporkan bahwa penggunaan bahan organik (kompos) memberikan
pengaruh yang lebih baik terhadap karakteristik muatan tanah masam (Ultisol)
dibanding dengan pengapuran (Sufardi et al.,1999). Fraksi organik dalam tanah
berpotensi dapat berperan untuk menurunkan kandungan pestisida secara
nonbiologis, yaitu dengan cara mengadsorbsi pestisida dalam tanah. Mekanisme
ikatan pestisida dengan bahan organik tanah dapat melalui: pertukaran ion,
protonisasi, ikatan hidrogen, gaya vander Waal’s dan ikatan koordinasi dengan
ion logam (pertukaran ligan). Tiga faktor yang menentukan adsorbsi pestisida
dengan bahan organik : (1) karakteristik fisika-kimia adsorbenya (koloid humus),
(2) sifat pestisidanya, dan (3) Sifat tanahnya, yang meliputi kandungan bahan
organik, kandungan dan jenis lempungnya, pH, kandungan kation tertukarnya,
lengas, dan temperatur tanahnya (Stevenson, 1982).
Pengaruh penambahan bahan organik terhadap pH tanah dapat
meningkatkan atau menurunkan tergantung oleh tingkat kematangan bahan
organik yang kita tambahkan dan jenis tanahnya. Penambahan bahan organik yang
belum masak (misal pupuk hijau) atau bahan organik yang masih mengalami
proses dekomposisi, biasanya akan menyebabkan penurunan pH tanah, karena
selama proses dekomposisi akan melepaskan asam-asam organik yang
menyebabkan menurunnya pH tanah. Namun apabila diberikan pada tanah yang
masam dengan kandungan Al tertukar tinggi, akan menyebabkan peningkatan pH
tanah, karena asam-asam organik hasil dekomposisi akan mengikat Al
membentuk senyawa komplek (khelat), sehingga Al-tidak terhidrolisis lagi.
Dilaporkan bahwa penamhan bahan organik pada tanah masam, antara lain
inseptisol, ultisol dan andisol mampu meningkatkan pH tanah dan mampu
menurunkan Al tertukar tanah (Nurida dkk., 2007, 2001; Cahyani., 1996; dan
Dewi, 1996).
Peningkatan pH tanah juga akan terjadi apabila bahan organik yang kita
tambahkan telah terdekomposisi lanjut (matang), karena bahan organik yang telah
termineralisasi akan melepaskan mineralnya, berupa kation-kation basa. Peran
bahan organik terhadap ketersediaan hara dalam tanah tidak terlepas dengan
proses mineralisasi yang merupakan tahap akhir dari proses perombakan bahan
organik. Dalam proses mineralisasi akan dilepas mineral-mineral hara tanaman
dengan lengkap (N, P, K, Ca, Mg dan S, serta hara mikro) dalam jumlah tidak
tentu dan relatif kecil. Hara N, P dan K merupakan hara yang relatif lebih banyak
untuk dilepas dan dapat digunakan tanaman. Bahan organik sumber nitrogen
(protein) pertama-tama akan mengalami peruraian menjadi asam-asam amino
yang dikenal dengan proses aminisasi, yang selanjutnya oleh sejumlah besar
mikrobia heterotrofik mengurai menjadi amonium yang dikenal sebagai proses
amonifikasi. Amonifikasi ini dapat berlangsung hampir pada setiap keadaan,
sehingga amonium dapat merupakan bentuk nitrogen anorganik (mineral) yang
utama dalam tanah (Tisdal dan Nelson, 1974).
Nasib dari amonium ini antara lain dapat secara langsung diserap dan
digunakan tanaman untuk pertumbuhannya, atau oleh mikroorganisme untuk
segera dioksidasi menjadi nitrat yang disebut dengan proses nitrifikasi. Nitrifikasi
adalah proses bertahap yaitu proses nitritasi yang dilakukan oleh bakteri
Nitrosomonas dengan menghasilkan nitrit, yang segera diikuti oleh proses
oksidasi berikutnya menjadi nitrat yang dilakukan oleh bakteri Nitrobacter yang
disebut dengan nitratasi. Nitrat merupakan hasil proses mineralisasi yang banyak
disukai atau diserap oleh sebagian besar tanaman budidaya. Namun nitrat ini
mudah tercuci melalui air drainase dan menguap ke atmosfer dalam bentuk gas
(pada drainase buruk dan aerasi terbatas) (Killham, 1994).
Pengaruh bahan organik terhadap ketersediaan P dapat secara langsung
melaui proses mineralisasi atau secara tidak langsung dengan membantu
pelepasan P yang terfiksasi. Stevenson (1982) menjelaskan ketersediaan P di
dalam tanah dapat ditingkatkan dengan penambahan bahan organik melalui 5 aksi
seperti di bawah ini:
(1) Melalui proses mineralisasi bahan organik terjadi pelepasan P mineral (PO43-);
(2) Melalui aksi dari asam organik atau senyawa pengkelat yang lain hasil
dekomposisi, terjadi pelepasan fosfat yang berikatan dengan Al dan Fe yang
tidak larut menjadi bentuk terlarut,
Al(Fe)(H2O)3(OH)2H2PO4 + Khelat ===> PO42-(larut) + Kompleks AL-,Fe- Khelat
(3).Bahan organik akan mengurangi jerapan fosfat karena asam humat dan asam
fulvat berfungsi melindungi sesquioksida dengan memblokir situs pertukaran;
(4).Penambahan bahan organik mampu mengaktifkan proses penguraian bahan
organik asli tanah;
(5).Membentuk kompleks fosfo-humat dan fosfo-fulvat yang dapat ditukar dan
lebih tersedia bagi tanaman, sebab fosfat yang dijerap pada bahan organik
secara lemah.
Untuk tanah-tanah berkapur (agak alkalin) yang banyak mengandung Ca
dan Mg, fosfat tinggi, karena dengan terbentuk asam karbonat akibat dari
pelepasan CO2 dalam proses dekomposisi bahan organik, mengakibatkan
kelarutan P menjadi lebih meningkat, dengan reaksi sebagai berikut :
CO2 + H2O ====== > H2CO3
H2CO3 + Ca3(PO4)2 ====== > CaCO3 + H2PO4-
Asam-asam organik hasil proses dekomposisi bahan organik juga dapat
berperan sebagai bahan pelarut batuan fosfat, sehingga fosfat terlepas dan tersedia
bagi tanaman. Hasil proses penguraian dan mineralisasi bahan organik, di
samping akan melepaskan fosfor anorganik (PO43-) juga akan melepaskan
senyawa-senyawa P-organik seperti fitine dan asam nucleic, dan diduga senyawa
P-organik ini, tanaman dapat memanfaatkannya. Proses mineralisasi bahan
organik akan berlangsung jika kandungan P bahan organik tinggi, yang sering
dinyatakan dalam nisbah C/P. Jika kandungan P bahan tinggi, atau nisbah C/P
rendah kurang dari 200, akan terjadi mineralisasi atau pelepasan P ke dalam tanah,
namun jika nisbah C/P tinggi lebih dari 300 justru akan terjadi imobilisasi P atau
kehilangan P (Stevenson, 1982).
Bahan organik di samping berperan terhadap ketersediaan N dan P, juga
berperan terhadap ketersediaan S dalam tanah. Di daerah humida, S-protein,
merupakan cadangan S terbesar untuk keperluan tanaman. Mineralisasi bahan
organik akan menghasilkan sulfida yang berasal dari senyawa protein tanaman. Di
dalam tanaman, senyawa sestein dan metionin merupakan asam amino penting
yang mengandung sulfur penyusun protein (Mengel dan Kirkby, 1987).
Protein tanaman mudah sekali dirombak oleh jasad mikro. Belerang (S)
hasil mineralisasi bahan organik, bersama dengan N, sebagian S diubah menjadi
mantap selama pembentukan humus. Di dalam bentuk mantap ini, S akan dapat
terlindung dari pembebasan cepat (Brady, 1990). Seperti halnya pada N dan P,
proses mineralisasi atau imobilisasi S ditentukan oleh nisbah C/S bahan
organiknya. Jika nisbah C/S bahan tanaman rendah yaitu kurang dari 200, maka
akan terjadi mineralisasi atau pelepasan S ke dalam tanah, sedang jika nisbah C/S
bahan tinggi yaitu lebih dari 400, maka justru akan terjadi imobilisasi atau
kehilangan S (Stevenson, 1982).
Bahan organik merupakan sumber energi bagi makro dan mikro-fauna
tanah. Penambahan bahan organik dalam tanah akan menyebabkan aktivitas dan
populasi mikrobiologi dalam tanah meningkat, terutama yang berkaitan dengan
aktivitas dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Beberapa mikroorganisme
yang beperan dalam dekomposisi bahan organik adalah fungi, bakteri dan
aktinomisetes. Di samping mikroorganisme tanah, fauna tanah juga berperan
dalam dekomposi bahan organik antara lain yang tergolong dalam protozoa,
nematoda, Collembola, dan cacing tanah. Fauna tanah ini berperan dalam proses
humifikasi dan mineralisasi atau pelepasan hara, bahkan ikut bertanggung jawab
terhadap pemeliharaan struktur tanah (Hakim dkk., 2007).
Mikro flora dan fauna tanah ini saling berinteraksi dengan kebutuhannya
akan bahan organik, kerena bahan organik menyediakan energi untuk tumbuh dan
bahan organik memberikan karbon sebagai sumber energi. Pengaruh positip yang
lain dari penambahan bahan organik adalah pengaruhnya pada pertumbuhan
tanaman. Terdapat senyawa yang mempunyai pengaruh terhadap aktivitas biologis
yang ditemukan di dalam tanah adalah senyawa perangsang tumbuh (auxin), dan
vitamin (Stevenson, 1982).
Senyawa-senyawa ini di dalam tanah berasal dari eksudat tanaman, pupuk
kandang, kompos, sisa tanaman dan juga berasal dari hasil aktivitas mikrobia
dalam tanah. Di samping itu, diindikasikan asam organik dengan berat molekul
rendah, terutama bikarbonat (seperti suksinat, ciannamat, fumarat) hasil
dekomposisi bahan organik, dalam konsentrasi rendah dapat mempunyai sifat
seperti senyawa perangsang tumbuh, sehingga berpengaruh positip terhadap
pertumbuhan tanaman.
BAB 3. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum Agroekologi acara 4 yang berjudul Menduga Kandungan Bahan
Organik Tanah dilaksanakan di Agrotechno Park Fakultas Pertanian Universitas
Jember. Waktu pelaksanaan praktikum kali ini pada hari Jum’at, 20 April 2012
pukul 13.30 WIB – 15.30 WIB.
3.2 Bahan dan Alat
3.2.1 Bahan
1. Tanah yang mengandung bahan organik
2. Pot
3. Air
4. Pupuk Urea
3.2.2 Alat
1. Alat tulis
2. Gelas ukur
3. Indikator lampu
4. Gelas
5. Pengaduk
6. Kamera
7. Pipa Paralon
8. Balon
9. Karet
10. Kantong plastik dengan panjang ± 1 m
3.3 Cara Kerja
3.3.1 Kemampuan Tanah Mengikat Air
1. Mengisi empat buah pot dengan tanah yang dicampur dengan bahan organik
dengan empat komposisi, yaitu 0%, 5%, 10%, dan 15% dari volume pot.
2. Kemudian menyiram masing-masing pot dengan air sebanyak 500 mL,
kemudian mengamati jumlah air yang menetes.
3. Di bawah masing-masing pot, menempatkan gelas plastik untuk menampung
air.
4. Waktu pengamatan tetesan air selama 3 menit.
5. Mengukur volume tetesan air dengan gelas ukur.
6. Menghitung rata-rata kecepatan perambatan air pada empat pot (atau ke empat
jenis tanah) per menit.
3.3.2 Kapasitas Tukar Kation
1. Membuat larutan yang terdiri dari air yang ditambah dengan pupuk urea
sebanyak 0, 2, 4, 6, dan 8 g per 200 mL air; dan pupuk organik cair sebanyak 0,
2, 4, 6, dan 8 mL per 200 mL air.
2. Kemudian menduga KTK larutan dengan menggunakan indikator lampu.
3. Mengulangi pengukuran setelah satu hari sampai hari ketiga.
4. Mendokumentasikan nyala lampu dengan menggunakan kamera.
3.3.3 Porositas Tanah
1. Mengisi empat buah pot dengan tanah yang dicampur dengan bahan organik
dengan empat komposisi, yaitu 0%, 5%, 10%, dan 15% dari volume pot.
2. Memasukkan ditengah-tengah pot pipa paralon.
3. Menium balon dengan ukuran (perbesaran) yang relatif sama (asumsinya
volume udara di dalam balon juga sama).
4. Menempatkan balon yang telah diisi udara pada ujung pipa paralon.
5. Melepas tali karet secara bersamaan.
6. Mengamati waktu proses kempesnya balon sampai balon terkulai.
3.3.4 Menduga Tekstur Tanah
1. Membuat media yang terdiri atas campuran tanah dengan bahan organik
dengan empat komposisi, yaitu 0%, 5%, 10%, dan 15% dari volume.
2. Memasukkan media campuran tersebut ke dalam kantong plastik dengan
panjang sekitar satu meter.
3. Mengisikan kantong plastik dengan media campuran sekitar setengah
panjangnya (0,5 m) dan kemudian mengisi kantong plastik dengan air sampai
penuh.
4. Menggantungkan pada tempatnya dan goyang-goyang kantongnya sampai
media tercampur sempurna dengan tanah.
5. Membiarkan selama kurang lebih 30 menit.
6. Mengamati bagian-bagian yang terpisah dengan cara mengukur panjang
masing-masing, kemudian menghitung presentasinya.
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel 1. Pengamatan Kecepatan Rambat Air
Ulangan
Volume Air Tetesan (mL) dari Pot ke:
Tanah
Pertanaman
Sayur
Tanah
Pertanaman
Jeruk
Tanah
Pekarangan
Tanah
Sawah
1 380 440 480 430
2 430 480 490 480
3 500 490 490 500
Jumlah 1310 1410 1460 1410
Rata-rata 436,67 470 486,67 470
Tabel 2. Pengamatan Dugaan Besarnya Kapasitas Tukar Kation Larutan
Hari
ke-
KTK Larutan UreaKTK Larutan Pupuk Organik
Cair
0 20 30 40 0 1 2 3
1 ++ ++ + - ++ +++ ++++ +++++
2 ++ +++ ++++++++
+++ +++ +++ +++++
3 ++ +++ +++++++
+++ +++ +++ +++++
Ket:
Sangat terang : +++++
Lebih terang : ++++
Terang : +++
Redup : ++
Sangat redup : +
Mati : -
Tabel 3. Pengamatan Porositas Tanah
Ulangan
Balon Kempes pada Menit ke-
Tanah
Pertanaman
Sayur
Tanah
Pertanaman
Jeruk
Tanah
PekaranganTanah Sawah
1 8,27 7,17 10,43 >30
Tabel 4. Pengamatan Tekstur Tanah
Proporsi
Struktur Tanah
Tanah
Pertanaman
Sayur
Tanah
Pertanaman
Jeruk
Tanah
PekaranganTanah Sawah
Bahan
organik (cm)0,6 0,8 1,1 0,2
4.2 Pembahasan
Kecepatan rambat air dalam masing-masing jenis tanah akan berbeda.
Sehingga, diperlukan suatu pengetahuan tentang kecepatan rambat air dalam tanah
karena berperan penting bagi ketersediaan air tanaman. Setiap jenis tanah
memiliki daya mengikat air yang berbeda. Daya mengikat air tersebut merupakan
suatu ukuran jumlah air yang dapat diikat. Karena setiap tanah memilki perbedaan
daya ikat, sehingga terdapat perbedaan pada lolosnya air. Jadi, semakin besar
volume air yang lolos, maka semakin kecil kemampuan mengikat airnya.
Kecepatan air merambat di dalam tanah akan memengaruhi kemampuan
tanah mengikat air. Kemampuan tanah dalam mengikat air dipengaruhi banyak
faktor, namun faktor terpenting ialah bahan organik serta keadaan struktur tanah
tersebut. Semakin baik keadaan struktur tanah, maka semakin baik pula
kemampuan mengikat air. Disamping itu, semakin tinggi bahan organik yang
terkandung dalam tanah, maka semakin besar kemampuan tanah mengikat air
yang mengakibatkan kecepatan rambat air di dalam tanah semakin lambat
(menurun). Oleh karena itu, kemampuan mengikat dan meloloskan air terutama
dipengaruhi oleh komposisi bahan organik dan struktur tanah.
Kandungan air tanah terkadang berlebih maupun berkurang. Hal tersebut
akan memengaruhi pertumbuhan tanaman. Tanaman akan tumbuh baik jika syarat
pertumbuhannya terpenuhi terutama air dan hara. Air dan hara berhubungan erta
dengan bahan organik. Semakin tinggi bahan organik, semakin tinggi kemampuan
menahan air serta semakin subur tanahnya. Walaupun telah banyak mengandung
bahan organik, tetapi tanah tersebut harus dilakukan pengolahan agar daya
dukungnya terhadap tanaman tinggi. Terkadang, air maupun nutrisi dapat hilang
karena mengalami pelindian / pencucian serta penguapan. Sehingga, walaupun
kandungan bahan organiknya tinggi, namun masih perlu dilakukan untuk
perbaikan.
Berdasarkan hasil praktikum, diketahui bahwa bahan organik memiliki
pengaruh terhadap kecepatan rambat air. Hal tersebut dikarenakan kandungan
bahan organik tiap jenis tanah berbeda. Tanah yang digunakan terdiri dari empat
jenis, yaitu tanah pertanaman sayur dengan pengolahan intensif (dilakukan
penambahan BO ketika diolah), tanah pertanaman jeruk dengan pengolahan
minimum hanya pada daerah pertanaman (penambahan BO sebulan sekali), tanah
pekarangan yang tanpa pengolahan, dan tanah sawah dengan pengolahan sangat
intesif (input kimia tinggi). Oleh karena tanah-tanah yang dilakukan percobaan
berbeda, maka hasil yang didapatkan juga berbeda.
Percobaan yang dilakukan pada tiap jenis tanah ialah dengan memberikan
(menyiram) tanah tersebut dengan air sebanyak 500 ml. Penyiraman yang
dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan. Tiap penyiraman diukur volume air
yang lolos (air yang tertampung pada wadah penampung). Berdasarkan data
pengamatan, ternyata keempat jenis tanah tersebut menunjukkan volume air yang
tertampung semakin banyak ketika dilakukan pengulangan. Hal tersebut
dikarenakan, setiap dilakukan pengulangan dalam menyiram tanah, terdapat
kandungan bahan organik yang ikut terbawa oleh air. Disamping itu, tanah pada
penyiraman pertama hampir jenuh air, sehingga pada penyiraman berikutnya
tanah kurang mampu mengikat air akibatnya air lebih banyak yang lolos.
Kemampuan air mengikat tanaman sangat dipengaruhi kandungan bahan organik
yang dimilikinya, semakin kecil kandungan bahan organik di dalam tanah maka
semakin kecil kemampuan tanah mengikat air, akibatnya air mudah lolos (rambat
air semakin cepat).
Tanah pertanaman sayur adalah tanah dengan pengolahan intensif karena
setiap pengolahan dilakukan penambahan bahan organik pada tanah tersebut.
Tanah pertanaman sayur selalu diolah secara kontinyu setiap minggu, sehingga
mengakibatkan rata-rata air yang lolos setelah penyiraman sebanyak 436, 67 mL.
Hasil tersebut dikarenakan tanah pertanaman sayur memiliki kandungan bahan
organik yang cukup tinggi, sehingga kecepatan rambat air kecil (air tidak mudah
lolos). Tanah-tanah yang memiliki kandungan bahan organik tinggi, biasanya
mampu mengikat atau menyerap air sampai tiga kali bobot keringnya. Berbeda
dengan ketiga tanah yang juga sebagai percobaan, tanah-tanah tersebut memiliki
kemampuan meloloskan air yang cukup tinggi, sehingga kemampuan mengikat
airnya kecil. Hal itu dikarenakan kandungan bahan organiknya juga kecil.
Tanah pertanaman jeruk adalah tanah dengan pengolahan minimum hanya
pada bagian yang akan ditanami dan pemberian bahan organik sebulan sekali.
Sehingga, dalam pengamatan diketahui rata-rata air yang lolos setelah penyiraman
sebanyak 470 mL. Rata-rata air yang lolos pada tanah pertanaman jeruk sama
dengan rata-rata air yang lolos pada tanah sawah setelah penyiraman. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa kedua tanah itu mempunyai kandungan bahan
organik yang sama atau berbeda tetapi sedikit. Namun, terdapat perbedaan
perlakuan antara tanah pertanaman jeruk dengan tanah sawah saat pengolahan.
Pengolahan tanah sawah sangat intensif karena penggunaan bahan kimia seperti
pupuk kimia dan pestisida yang cukup tinggi. Sedangkan pada tanah pertanaman
jeruk, pengolahannya sangat minimum.
Pada tanah pekarangan, rata-rata air yang lolos sebesar 486,67 mL. Hal
tersebut dikarenakan bahwa tanah pekarangan tidak pernah diolah akibatnya
kandungan bahan organiknya sangat rendah. Sehingga, kemampuan meloloskan
air sangat tinggi. Kandungan bahan organik yang sangat kecil akan berpengaruh
terhadap kemampuan tanah mengikat air. Jadi, tanah pekarangan adalah tanah
yang kemampuan mengikat airnya kecil karena kandungan bahan organiknya juga
kecil.
Selain kemampuan tanah dalam mengikat air, juga dilakukan pengamatan
tentang Kapasitas Tukar Kation (KTK). Pada pengamatan KTK, bahan yang
digunakan ialah larutan Urea dan larutan pupuk organik. Kedua bahan ini
digunakan dengan maksud mengetahui perbedaan daya hantar listrik keduanya
karena dalam pengamatan larutan dihubungkan pada lampu yang telah disediakan.
Kapasitas Tukar Kation ialah kemampuan tanah atau suatu bahan untuk
mempertukarkan kation yang dimilikinya dengan tanaman. Umumnya, tanah-
tanah subur memiliki KTK yang sangat tinggi. Sebaliknya, tanah-tanah kurang
subur, KTK yang dimilikinya rendah. Kapasitas Tukar Kation menunjukkan
besarnya kemampuan tanah dalam mempertukarkan kation. Kapasitas Tukar
Kation sangat memengaruhi pertumbuhan tanaman karena semakin tinggi KTK
tanah maka semakin baik pertumbuhan tanaman. Hal tersebut dikarenakan
tingginya KTK dipengaruhi kesuburan suatu tanah.
Daya hantar listrik berhubungan dengan Kapasitas Tukar Kation. Semakin
baik daya hantar litrik suatu larutan, maka semakin baik pula KTKnya.
Pengukuran KTK menggunakan larutan, baik larutan Urea maupun larutan pupuk
organik. Adanya larutan tersebut karena diencerkan dengan air. Hal tersebut
dikarenakan ion-ion larut dalam air dan tanpa adanya air maka tidak akan terjadi
tukar menukar kation antara tanah dengan tanaman. Tanaman menyerap hara
dalam bentuk ion-ion yang terlarut dalam air. Jadi, tanpa adanya air maka tidak
akan terjadi tukar-menukar kation.
Berdasarkan pengamatan daya hantar listrik larutan Urea, menunjukkan
bahwa semakin besar konsentrasi urea pada larutan mengakibatkan daya hantar
listriknya semakin kecil bahkan tidak mampu menghantarkan listrik. Pada
konsentrasi 0 gram, daya hantar litriknya baik yang ditunjukkan dengan lampu
menyala dengan terang. Pada konsentrasi Urea 20 gram, lampu menyala lebih
redup. Ketika konsentrasi ditambah menjadi 30 gram, ternyata lampu semakin
redup sampai akhirnya mati pada konsentrasi 40 gram. Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi konsentrasi Urea dalam air, maka semakin
kecil daya hantar listriknya akibatnya Kapasitas Tukar Kation semakin rendah.
Hal tersebut dikarenakan, Urea tidak mengion pada konsentrasi 40 gram dan
sedikit mengion pada konsentrasi 20 dan 30 gram. Kapasitas Tukar Kation sangat
dipengaruhi oleh banyaknya ion-ion yang terlarut dalam air, semakin banyak ion
terlarut maka semakin tinggi daya hantar listriknya. Akibatnya, Kapasitas Tukar
Kationnya semakin besar.
Pengamatan daya hantar listrik pada larutan pupuk organik sangat berbeda
dengan larutan Urea. Pada larutan pupuk organik diketahui bahwa konsentrasi
pupuk yang semakin tinggi menunjukkan Kapasitas Tukar Kationnya besar. Hal
tersebut dikarenakan pupuk organik akan cepat mengion dalam air. Ion-ion
terlarut akan semakin tinggi dengan bertambahnya pupuk organik yang diberikan.
Pada konsentrasi 0 mL lampu menyala redup karena daya hantar listriknya kecil.
Pada konsentari 1 mL lampu menyala terang dan setiap penambahan konsentrasi
pupuk organik, terjadi peningkatan nyala dari lampu sampai lampu tersebut
menyala sangat terang. Semakin terangnya nyala lampu dipengaruhi oleh
kandungan ion dalam larutan. Semakin tinggi ion yang terlarut (semakin besar
konsentrasi pupuk organik yang diberikan), maka daya hantar listriknya besar,
sehingga KTK yang dimiliki juga besar.
Di dalam tanah terdapat banyak proses yang terjadi selain KTK. Proses
dalam tanah yang berhubungan dengan air dan udara ialah porositas tanah.
Porositas tanah berhubungan dengan pori tanah, sehingga akan memengaruhi tata
udara dan air dalam tanah. Tanah-tanah poros biasanya memiliki ruang pori yang
baik sehingga pergerakan udara sangat mudah. Disamping itu, tanah dengan
porositas tinggi memiliki kemampuan mengikat air yang besar. Oleh karena itu,
porositas tanah dapat diartikan sebagai kemampuan tanah dalam menyerap air.
Pengetahuan tentang tinggi rendahnya porositas suatu tanah sangat berguna dalam
menentukan tanaman yang cocok ditanam pada tanah tersebut. Porositas tanah
erat kaitannya dengan kandungan bahan organik di dalam tanah. Bahan organik
mampu mengubah sifat fisik tanah terutama struktur tanah. Pemberian bahan
organik pada tanah dengan struktur liat dapat menjadikan tanah tersebut gembur.
Akibatnya, porositas dan permeabilitas tanah semakin baik, sehingga aerasi udara
meningkat yang bermanfaat untuk menghindari kejenuhan air yang menyebabkan
kebusukan akar. Pemberian bahan organik pada tanah pasiran mengakibatkan
tanah menjadi kompak (saling berikatan) karena agregasi meningkat oleh adanya
bahan organik. Disamping itu, ruang pori tanah juga meningkat, sehingga
kemampuan tanah dalam menyimpan air dan menyediakan ruang udara akan
semakin baik atau proporsional. Hal tersebut akan bermanfaat untuk
menghindarkan tekanan kekeringan pada perakaran.
Berdasarkan hasil percobaan tentang porositas tanah, diketahui bahwa
terdapat perbedaan porositas pada masing-masing tanah. Tanah-tanah yang
digunakan sama dengan tanah pada percobaan pertama tentang kemampuan tanah
mengikat air. Tanah-tanah tersebut digunakan karena memiliki kandungan bahan
organik yang berbeda. Keempat jenis tanah yang digunakan adalah tanah
pertanaman sayur (pengolahan intensif dan selalu diberikan bahan organik setiap
pengolahan), tanah pertanaman jeruk (pengolahan minimum dan pemberian bahan
organik hanya sebulan sekali), tanah pekarangan (tanpa pengolahan dan tidak
pernah dilakukan penambahan bahan organik), serta tanah sawah dengan
pengolahan sangat intesif. Pada keempat jenis tanah tersebut, dilakukan percobaan
dengan meletakkan pipa paralon di tengah tanah yang dihubungkan dengan balon
yang telah terisi udara dan ukurannya sama. Selanjutnya, balon yang telah di
ujung pipa diikat dengan karet di bagian yang menempel pada pipa dan setelah itu
diamati kecepatan balon mengempes.
Data pengamatan menunjukkan bahwa balon pada tanah pertanaman jeruk
paling cepat mengempes dengan waktu 7 menit 17 detik, kemudian balon yang
mengempes kedua ialah balon pada tanah pertanaman sayur dengan waktu 8 menit
27 detik. Selanjutnya balon yang mengempes pada urutan ketiga ialah balon pada
tanah pekarangan dengan waktu 10 menit 43 detik, dan terakhir ialah balon pada
tanah sawah dengan waktu 30 menit. Perbedaan waktu tersebut menunjukkan
perbedaan bahan organik yang terkandung dalam masing-masing tanah. Biasanya,
semakin cepat balon tersebut mengempes, maka semakin tinggi kandungan bahan
organiknya. Kandungan bahan organik yang tinggi mengakibatkan ruang pori
semakin banyak, sehingga aerasi akan brjalan dengan lancar. Berbeda dengan
tanah yang kandugan bahan organiknya sedikit yang memiliki aerasi kurang baik.
Porositas memengaruhi banyaknya ruang pori di dalam tanah akibatnya
akan memengaruhi tanah tersebut dalam mengikat air. Semakin banyak pori tanah
terutama pori mikro, maka semakin tinggi kemampuan mengikat airnya. Hal
tersebut dikarenakan pada tanah dengan kandungan bahan organik tinggi memiliki
muatan, sehingga kemampuan mengikat airnya besar.
Percobaan-percobaan yang telah dilakukan semuanya berhubungan dengan
bahan organik. Hal tersebut dikarenakan bahan organik adalah bahan penyubur
tanah karena mampu memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Bahan
organik berasal dari sisa-sisa tanaman maupun hewan yang mati. Semakin tinggi
sisa-sisa tersebut dalam tanah, maka semakin tinggi kandungan bahan organiknya.
Sisa-sisa tanaman maupun hewan tidak langsung menjadi bahan organik
melainkan measih melalui proses dekomposisi. Bahan organik yang tinggi
dikatakan mampu menyuburkan tanah karena bahan organik adalah penyedia
makanan dan tempat tinggal mikroorganisme. Mikroorganisme sangat berperan
penting bagi pertumbuhan tanaman. Hal itu karena mikroorganisme mampu
menyediakan hara bagi tanaman yang telah diubah olenhya dalam bentuk ion yang
dapat ditukarkan. Sehingga, ini berhubungan dengan kapasitas tuka kation.
Bahan organik sangat penting bagi kesuburan tanah, sehingga perlu
dilakukan upaya pengelolaan bahan organik tanah yang tepat agar tidak terjadi
degradasi bahan organik tanah. Penambahan bahan organik secara kontinyu pada
tanah merupakan suatu cara pengelolaan tanah yang mudah dan murah. Namun
kenyataannya, walaupun pemberian bahan organik pada lahan pertanian telah
banyak dilakukan, umumnya produksi tanaman masih kurang optimal. Hal
tersebut dikarenakan unsur hara yang disediakan dalam waktu pendek relatif
rendah, serta tingkat sinkronisasi antara waktu pelepasan unsur hara dari bahan
organik dengan kebutuhan tanaman akan unsur hara juga rendah. Kualitas bahan
organik sangat menentukan kecepatan proses dekomposisi dan mineralisasi bahan
organik. Semakin baik kualitas bahan oranik, maka semakin cepat proses
dekomposisi dan mineralisasi, akibatnya semakin cepat pula tanh subur. Sehingga,
hal itu akan membantu pertumbuhan tanaman semakin baik.
Komponen kualitas bahan organik yang penting meliputi nisbah C/N,
kandungan lignin, kandungan polifenol, dan kapasitas polifenol mengikat protein.
Kandungan hara N, P dan K sangat menentukan kualitas bahan organik. Nisbah
C/N dapat digunakan untuk memprediksi laju mineralisasi bahan organik. Bahan
organik akan termineralisasi jika nisbah C/N dibawah nilai kritis 25 – 30, dan jika
diatas nilai kritis akan terjadi imobilisasi N, untuk mineralisasi P nilai kritis C/P
sebesar 200-300, dan untuk mineralisasi S nilai kritis sebesar 200-400. Bahan
organik yang dijadikan pupuk organik harus memiliki nisbah C/N ratio sebesar
16-19 yang berfungsi untuk memperbaiki sifat kimia, fisika, dan biologi. Di
bawah maupun di atas nilai tersebut, bahan organik hanya berfungsi sebagai
bahan pemantap tanah.
Bahan organik dengan kandungan lignin tinggi menyebabkan kecepatan
mineralisasi N akan terhambat. Lignin adalah senyawa polimer pada jaringan
tanaman berkayu yang mengisi rongga antar sel tanaman, sehingga menyebabkan
jaringan tanaman menjadi keras dan sulit untuk dirombak oleh organisme tanah.
Perombakan lignin akan berpengaruh pada kualitas tanah dalam kaitannya dengan
susunan humus tanah. Dalam perombakan lignin, di samping jamur (fungi-
ligninolytic) juga melibatkan kerja enzim (antara lain enzim lignin peroxidase,
manganeses peroxidase, laccases dan ligninolytic). Polifenol berpengaruh
terhadap kecepatan dekomposisi bahan organik, semakin tinggi kandungan
polifenol dalam bahan organik, maka akan semakin lambat terdekomposisi dan
termineralisasi. Proses dekomposisi atau mineralisasi selain dipengaruhi oleh
kualitas bahan organiknya, juga dipengaruhi oleh frekuensi penambahan bahan
organik, ukuran partikel bahan, kekeringan, dan cara penggunaannya (dicampur
atau disebarkan di permukaan).
Bahan organik yang masih mentah dengan nisbah C/N tinggi, apabila
diberikan secara langsung ke dalam tanah akan berdampak negatip terhadap
ketersediaan hara tanah. Bahan organik langsung akan disantap oleh mikroba
untuk memperoleh energi. Populasi mikroba yang tinggi, akan memerlukan hara
untuk tumbuh dan berkembang. Hara tersebut diambil dari bahan organik dalam
tanah yang seharusnya digunakan oleh tanaman. Akibatnya hara yang ada dalam
tanah berubah menjadi tidak tersedia karena berubah menjadi senyawa organik
mikroba. Kejadian tersebut disebut sebagai immobilisasi hara. Untuk menghindari
imobilisasi hara, bahan perlu dilakukan proses pengomposan terlebih dahulu.
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Kemampuan tanah mengikat air sangat dipengaruhi oleh kandungan bahan
organik. Semakin tinggi kandungan bahan organik, maka semakin tinggi air
yang diikat, sehingga kecepatan rambat air semakin kecil.
2. Kemampuan larutan Urea dan larutan pupuk organik berbeda dalam hal DHL
yang berpengaruh terhadap KTK. Semakin tinggi konsentrasi Urea dalam
larutan maka DHLnya semakin kecil akibatnya KTKnya juga semakin kecil
dikarenakan Urea tidak mengion. Sebaliknya, semakin tinggi pupuk organik
dalam larutan, maka semakin tinggi DHLnya, akibatnya KTKnya juga semakin
tinggi.
3. Porositas tanah sangat dipengaruhi jumlah dari bahan organik. Semakin tinggi
bahan organik dalam tanah, maka semakin poros tanah tersebut. Akibatnya,
tanah memiliki ruang pori yang cukup banyak, sehingga aerasinya berjalan
baik dan kemampuan mengikat air juga baik.
4. Bahan organik sangat berpengaruh terhadap nkesuburan tanah. Semakin tinggi
bahan organik dalam tanah, mak tanah tersebut semakin subur. Bahan organik
dengan C/N ratio sebesar 16-19 disebut pupuk organik, sehingga mampu
memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi. Selain nilai itu, bahan organik
hanya sebagai bahan pemantap tanah.
5.2. Saran
Sebaiknya dalam melakukan percobaan harus benar-benar teliti. Hal itu
dikarenakan akan memengaruhi hasil. Selain itu, suatu percobaan juga
dipengaruhi oleh kemampuan dari praktikan serta bahan yang digunakan harus
baik dan sesuai kebutuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Brady, N.C. (1990) The Nature and Properties of Soil. Mac Millan Publishing Co., NewYork.
Cahyani, V.R. (1996). Pengaruh Inokulasi Mikorisa Vesikular-Arbuskular Dan perimbangan Takaran Kapur Dengan Bahan Organik Terhadap Pertumbuhan Tanaman Jagung Pada Tanah Ultisol Kentrong, Tesis. Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.
Dewi, W.S. (1996). Pengaruh Macam Bahan Organik dan Lama Prainkubasinya Terhadap Status P Tanah Andisol. Yogyakarta: MS. Thesis UGM.
Hakim, M.L. dkk. 2007. Pengaruh Tekstur Tanah Terhadap Karakteristik Unit Hidrograf dan Model Pendugaan Banjir (Studi Kasus di DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur). Tanah dan Iklim, 26 (1): 29-40.
Mengel, K. and Kirby, E.A. (1978) Principles of Plant Nutrition . International Potash Institute. Bern. Swizerland.
Muhdi dan Diana S.H. 2004. Pengaruh Penyadaran Kayu dengan Traktor Caterpillar D7G terhadap Porositas Tanah di Hutan Alam. Komunikasi Penelitian, 16 (6): 108-111.
Nurida, N.L. dkk. 2007. Perubahan Fraksi Bahan Organik Tanah Akibat Perbedaan Cara Pemberian dan Sumber Bahan Organik pada Ultisols Jasinga. Tanah dan Iklim, 26 (1): 71-84.
Partoyo, Joetono, dan Sri Hastuti. 1999. Pengaruh Polisakarida fraksi berat tanah dan asam humat pada pembentukan dan pemantapan agregat regosol. Konggres Nasional VII. HITI. Bandung.
Scholes, M.C., Swift, O.W., Heal, P.A. Sanchez, JSI., Ingram and R. Dudal, 1994. Soil Fertility research in response to demand for sustainability. In The biological managemant of tropical soil fertility (Eds Woomer, Pl. and Swift, MJ.) John Wiley & Sons. New York.
Soegiman. 1990. Ilmu Tanah. Bandung: ITB
Stevenson, F.J., Alanah Fitch. (1997) Kimia pengkomplekan ion logam dengan organik larutan tanah. In Interaksi Mineral Tanah dengan Bahan Organik Dan Mikrobia. (Eds Huang P.M. and Schnitzer, M.) ( Transl. Didiek Hadjar Goenadi), pp. 41-76. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Stevenson, F.T. (1982) Humus Chemistry. John Wiley and Sons, Newyork.
Sufardi, Djayakusuma, A.D., Suyono, T.S.Hassan, 1999. Perubahan karateristik muatan dan retensi fosfor ultisol akibat pemberian amelioran dan pupuk fosfat. Konggres Nasional VII. HITI. Bandung.
Tisdale, S.L., and Nelson, W.L. (1975) Soil Fertility and Fertilizers. Third Edition. Mac Millan Pub. Co. Inc. New York.
Wiskandar, 2002. Pemanfaatan pupuk kandang untuk memperbaiki sifat fisik tanah di lahan kritis yang telah diteras. Konggres Nasional VII.