analisa kestabilan lereng

44
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Pembahasan geologi regional terdiri dari penjelasan mengenai geomorfologi, stratigrafi, dan struktur regional. Pembahasan tersebut berdasarkan Sukamto (1982) yang melakukan pemetaan geologi Lembar Pangkajene dan Watampone bagian Barat, Sulawesi Selatan dengan sekala 1 : 250.000. 2.1.1 Geomorfologi Regional Geomorfologi regional daerah penelitian termasuk dalam wilayah Peta Geologi Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat (Sukamto, 1982), yang meliputi daerah Soppeng, Barru, Pangkajene Kepulauan, dan Pare-pare, yang termasuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Lembar peta geologi ini berbatasan dengan Peta Geologi Regional Lembar Majene & Bagian Barat Palopo (Djuri, dkk, 1998) di bagian utara, 6

description

geologi teknik

Transcript of analisa kestabilan lereng

Page 1: analisa kestabilan lereng

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional

Pembahasan geologi regional terdiri dari penjelasan mengenai geomorfologi,

stratigrafi, dan struktur regional. Pembahasan tersebut berdasarkan Sukamto (1982) yang

melakukan pemetaan geologi Lembar Pangkajene dan Watampone bagian Barat,

Sulawesi Selatan dengan sekala 1 : 250.000.

2.1.1 Geomorfologi Regional

Geomorfologi regional daerah penelitian termasuk dalam wilayah Peta

Geologi Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat (Sukamto, 1982),

yang meliputi daerah Soppeng, Barru, Pangkajene Kepulauan, dan Pare-pare,

yang termasuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Lembar peta geologi ini

berbatasan dengan Peta Geologi Regional Lembar Majene & Bagian Barat Palopo

(Djuri, dkk, 1998) di bagian utara, Lembar Ujung Pandang, Benteng, dan Sinjai

(Sukamto, 1982) di bagian selatan.

Di daerah Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat terdapat dua

merupakan perbukitan yang terpisahkan oleh lembah Sungai Walanae. Bagian

barat menempati hampir setengah luas daerah, melebar di bagian selatan (50 km)

dan menyempit di bagian utara (22 km). Gunung dengan puncak tertinggi adalah

1694 m, sedangkan ketinggian rata-ratanya 1500 m. Pembentuknya sebagian

besar batuan gunungapi, lereng barat dan di beberapa tempat pada lereng timur

6

Page 2: analisa kestabilan lereng

7

terdapat topografi kars, penceminan adanya batugamping. Di antara topografi

kras di lereng barat terdapat daerah perbukitan yang dibentuk oleh batuan Pra-

Tersier. Bagian Baratdaya pegunungan ini di baratdaya dibatasi oleh dataran

Pangkajene - Maros yang luas sebagai lanjutan dari dataran di selatannya.

Bagian selatannya selebar 20 km dan lebih tinggi, tetapi ke utara

menyempit dan merendah, dan akhirnya menunjam ke bawah batas antara

Lembah Walanae dan dataran Bone. Bagian utara pegunungan ini bertopografi

kras yang permukaannya sebagian berkerucut. Batasnya di timurlaut adalah

dataran Bone yang sangat luas, yang menempati hampir sepertiga bagian timur.

Lembah Walanae yang memisahkan kedua pegunungan tersebut di bagian

utara selebar 35 Km. tetapi di bagian selatan hanya 10 km. Di tengah tendapat

Sungai Walanae yang mengalir ke utara Bagian selatan berupa perbukitan rendah

dan di bagian utara terdapat dataran aluvium yang sangat luas mengelilingi Danau

Tempe.

2.1.2 Stratigrafi Regional

Stratigrafi daerah penelitian menurut Sukamto (1982) pada Peta Geologi

Lembar Watampone dan Pangkajene Bagian Barat yaitu sebagai berikut :

Tmcv BATUAN GUNUNGAPI FORMASI CAMBA : breksi

gunungapi, lava, konglomerat dan tufa berbutir halus hingga lapili, bersisipan

batuan sedimen laut berupa batupasir tufaan, batupasir gampingan dan

batulempung yang mengandung sisa tumbuhan. Bagian bawahnya lebih banyak

mengandung breksi gunungapi dan lava yang berkomposisi andesit dan basal;

Page 3: analisa kestabilan lereng

8

konglomerat juga berkomponen andesit dan basal dengan ukuran 3 – 50 cm; tufa

berlapis baik, terdiri tufa litik, tufa kristal dan tufa vitrik. Bagian atasnya

mengandung ignimbrit bersifat trakit dan tefrit leusit; ignimbrit berstruktur kekar

meniang, berwarna kelabu kecoklatan dan coklat tua, tefrit leusit berstruktur

aliran dengan permukaan berkerak roti, berwarna hitam.

Fosil yang dijumpai terdiri dari : Amphistegina sp., Globigerinoides,

Operculina sp., Orbulina universa D’ORBIGNY, Rotalia sp., dan Gastropoda.

Penarikan jejak belah dari contoh ignimbrit menghasilkan umur 13 ± 2 juta tahun

dan K-Ar dari contoh lava menghasilkan umur 6, 2 juta tahun (T.M. van

Leeuwen, hubungan tertulis 1978). Data paleontologi dan radiometri tersebut

menunjukkan umur Miosen Tengah sampai Miosen Akhir.

Satuan ini mempunyai tebal sekitar 2500 m dan merupakan fasies

gunungapi dan pada Formasi Camba yang berkembang baik di daerah sebelah

utaranya (Lembar Pangkajene dan Watampone bagian Barat); lapisannya

kebanyakan terlipat lemah, dengan kemiringan kurang dari 20o, menindih tak

selaras batugamping Formasi Tonasa (Temt) dan batuan yang lebih tua.

Temt FORMASI TONASA : batugamping, sebagian berlapis dan

sebagian pejal; koral, bioklastika, dan kalkarenit, dengan sisipan napal

globigerina, batugamping kaya foram besar, batugamping pasiran, setempat

dengan moluska; kebanyakan putih dan kelabu muda, sebagian kelabu tua dan

coklat. Perlapisan baik setebal antara 10 cm dan 30 cm, terlipat lemah dengan

kemiringan lapisan rata-rata kurang dari 25o.

Page 4: analisa kestabilan lereng

9

Contoh-contoh fosil dari Formasi Tonasa dalam Sukamto, 1982 adalah :

La.8, La.35, Lb.1, Lb.49, Lb.83, Lc.97, Lc.114, Td.37, Td.37, Td.161, dan

Td.167. Fosil-fosil yang dikenali termasuk : Discocyclina sp., Nummulites sp.,

Heterostegina sp., Flosculinella sp., Spiroclypeus sp., S. orbitoides

DOUVILLE, Lepidocyclina sp., L. ephippoides JONES & CHAPMAN,

Miogypsina sp., Globigerina sp., Gn. Tripartite COCH, Globoquadrina

altispira (CHUSMAN & JARVIS), Amphistegina sp., Cycloclypeus sp., dan

Operculina sp. Gabungan fosil tersebut menunjukkan umur berkisar dari Eosen

sampai Miosen Tengah (Ta-Tf), dan lingkungan pengendapan neritik dangkal

sampai dalam dan sebagian laguna.

Tem FORMASI MALAWA: batupasir, konglomerat, batulanau.

batulempung. dan napal, dengan sisipan lapisan atau lensa batubara dan

batulempung. Batupasirnya sebagian besar batupasir kuarsa, ada pula yang arkosa,

grewake. dan tufaan, umumnya berwarna kelabu muda dan coklat muda; pada

umumnya bersifat rapuh, kurang padat; konglomeratnya sebagian kompak;

batulempung. batugamping dan napal umumnya mengandung moluska yang

belum diperiksa, dan berwarna kelabu muda sampai kelabu tua; batubara berupa

lensa setebal beberapa sentimeter dan berupa lapisan sampai 1,5 m.

Penelitian palinologi terhadap sisipan batubara telah dilakukan oleh Asrar

Khan (M.E - Scrutton, Robertson

Research, hubungan tertulis, 1974) dan oleh Robert H. Tschudy (Don E.

Wolcort, USGS, hubungan tertulis, 1973). Sepuluh buah contoh dari singkapan

7

Page 5: analisa kestabilan lereng

10

B.32 (a-f) dan B.54 (a-c, dan RR.10), daerah Tanetteriaja, dan sebuah dari dekat

galian lempung di Tonasa mengandung fosil mikroflora sbb.: Acritarchs sp.,

Anacolosidites sp., Anno daceae sp. Barringtonia sp, Betulaceae pollen,

Bombacaceae sp., Compositae sp. Cyatbidites sp., Dicolpopollis cf , D. kalewesis,

D. verrucate, D. smooth, Dinoflagellates sp., Florscbuetzia trilobata, Gunnera

sp., Intratriporopollenites, Leotriletes sp., Monosulcate pollen, Monosulites sp.,

Myricaceae pollen, Olacacea sp., Palmea pollen, Psilamonoletes sp,.

Retitricolpitesantonii. Retikutcbensis (VENKATCHALA & KAR. 1968),

Sapotaceoidacpollenites sp., Sterculiaceae sp., Syncolporate pollen, Tetraporina

sp., Tricolpate pollen, Tricolpate verrucate pollen, Triporate pollen.

Verrucatosporites sp., Verrustriletesmajor. dan Verrutricolporites sp.

Berdarsarkan fosil tersebut A . Khan dan R.H. Tschudy memperkirakan umur

Paleogen dengan lingkungan paralas sampai dangkal.

Berdasarkan fosil Ostrakoda dari contoh batuan B.45/e. E. Hazel

memperkirakan, umur Eosen (DL. Wolcort. USGS, hubungan tertulis. 1973).

Fosil Ostracoda yang dikenali adalah: Bairdiiac sp,. Cytberella sp,.

Cytberelloidea sp,.1 Cytberelloidea sp.2 Cytboropteron sp.1 Cytboropteron sp.2,

Kritbinids sp,. Loxoconcba sp,. Paijenborcbella sp,. Pokornyella sp,.

Traciryleberis sp,. Dan xestoberis sp,.Tebal formasi ini tidak kurang dari 400 m;

tertindih selaras oleh batugamping Temt. dan menindih tak Selaras batuan

sedimen Kb dan batuan gunungapi Tpv.

Page 6: analisa kestabilan lereng

11

2.1.3 Struktur Regional

Batuan tua yang ada pada peta regional adalah batugamping yang berasal

dari Formasi Tonasa. Sedangkan batuan vulkanik Formasi Camba yang secara

Gambar 2.1 Peta geologi daerah penelitian diambil dari perbesaran Peta Geologi Regional Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat sekala 1 ; 250.000 (Sukamto, 1982)

Page 7: analisa kestabilan lereng

12

umur lebih tua dan Formasi Mallawa yang paling muda mengapik daerah

penelitian secara regional. Daratan yang dicirikan oleh endapan darat serta

batubara didalam formasi Mallawa, sedangkan di daerah timur berupa cekungan

laut dangkal tempat pengendapan batu-batu klastik. Bersisipan karbonat Salo

Kalupang pengendapan formasi Mallawa kemungkinan hanya berlangsung selama

awal Eosen Akhir sampai Miosen Awal. Gejala ini menandakan bahwa selama itu

terjadi paparan laut dangkal yang luas, dan berangsur-angsur menurun sejalan

dengan adanya pengendapan proses tektonik di bagian barat ini berlangsung

sampai Miosen Awal, sedangkan di bagian timur kegiatan gunung api sudah mulai

lagi selama Miosen Awal.

Akhir kegiatan miosen awal itu diikuti oleh tektonik yang menyebabkan

terjadinya permulaan terbentuk Walanae. Peristiwa ini kemungkinan besar

berlangsung sejak awal Miosen Tengah dan menurunnya terban Walanae yang

seluruhnya nampak tersingkap tidak menerus di sebelah barat.

2.2 Landasan Teori

Analisis stabilitas lereng sangat berkaitan erat dengan longsor. Proses

terjadinya sebuah longsor merupakan proses lereng dalam mengembalikan

kestabilan. Pengontrol terjadinya longsoran merupakan fenomena yang

mengkondisikan suatu lereng menjadi berpotensi bergerak, meskipun pada saat

ini lereng tersebut masih stabil

Page 8: analisa kestabilan lereng

13

2.2.1 Longsor

Longsoran adalah suatu peristiwa bergeraknya massa penyusun lereng

yaitu tanah, batuan, maupun campuran keduanya ke arah bawah atau keluar lereng

di bawah pengaruh gravitasi bumi (Varnes, 1978).

Faktor pengontrol terjadinya longsoran merupakan fenomena yang

mengkondisikan suatu lereng menjadi berpotensi bergerak, meskipun pada saat

ini lereng tersebut masih stabil (belum bergerak atau belum longsor). Lereng yang

berpotensi bergerak ini, baru akan bergerak apabila ada gangguan yang memicu

terjadinya gerakan (Karnawati 2005).

Longsoran atau gerakan tanah yang terjadi pada suatu daerah dipengaruhi

oleh banyak faktor antara lain faktor pengontrol dan faktor pemicu. Faktor

pengontrol yang mempengaruhi tanah longsor adalah gaya gravitasi, peranan air,

dan jenis material pada tanah. Ada pun faktor pemicu terjadinya gerakan tanah

berupa goncangan, perubahan kemiringan, pemotongan bagian bawah lereng

(undercutting), dan perubahan karakteristik hidrologi. Faktor dominan yang

menentukan tingkat potensi longsor di beberapa ruas jalan daerah Sulawesi

Selatan yakni topografi, kondisi geologi, drainase air, dan vegetasi zona jalan

(Lawalenna Sannang, 2006).

Azikin (2007) mengemukakan dalam penelitiannya bahwa faktor-faktor

penyebab terjadinya tanah longsor pada daerah Alejjang Barru dan sekitarnya, di

antaranya adalah faktor geomorfologi dan faktor geologi. Kondisi morfologi

daerah Alejjang dan sekitarnya adalah daerah bergelombang dengan kelerengan

yang bervariasi. Daerah ini dilewati oleh jalan poros Makassar – Watansoppeng

Page 9: analisa kestabilan lereng

14

Buludua. Jalanan yang ada di daerah tersebut memotong daerah lereng Alejjang.

Kemiringan lereng semakin terjal dimana kemiringannya ke arah badan jalan

sekitar 70 % sampai 85 %. Faktor geologi penyebab terjadinya longsor di daerah

Alejjang adalah kemiringan lapisan batuan yang relatif besar dengan nilai

kemiringan 43o, adanya kekar (joint), terjadinya pelapukan pada batugamping,

serta adanya batuan napal berselingan dengan batugamping. Selain itu, faktor lain

yang juga memicu tanah longsor pada daerah ini adalah adanya struktur berupa

sesar geser bersifat dekstral yang berarah Baratlaut – Tenggara (Djamaluddin,

2006).

2.2.2 Jenis Longsor

Menurut Naryanto (2002), jenis tanah longsor berdasarkan kecepatan

gerakannya dapat dibagi menjadi 5 (lima) jenis yaitu :

a. Aliran; longsoran bergerak serentak/mendadak dengan kecepatan tinggi.

b. Longsoran; material longsoran bergerak lamban dengan bekas longsoran

berbentuk tapal kuda.

c. Runtuhan; umumnya material longsoran baik berupa batu maupun tanah

bergerak cepat sampai sangat cepat pada suatu tebing.

d. Majemuk; longsoran yang berkembang dari runtuhan atau longsoran dan

berkembang lebih lanjut menjadi aliran.

e. Amblesan (penurunan tanah); terjadi pada penambangan bawah tanah,

penyedotan air tanah yang berlebihan, proses pengikisan tanah serta pada

daerah yang dilakukan proses pemadatan tanah.

Page 10: analisa kestabilan lereng

15

Penurunan tanah (subsidence) dapat terjadi akibat adanya konsolidasi,

yaitu penurunan permukaan tanah sehubungan dengan proses pemadatan atau

perubahan volume suatu lapisan tanah. Proses ini dapat berlangsung lebih cepat

bila terjadi pembebanan yang melebihi faktor daya dukung tanahnya atau

pengambilan air tanah yang berlebihan dan berlangsung relatif cepat.

Pengambilan air tanah yang berlebihan dapat mengakibatkan penurunan muka air

tanah (pada sistem akifer air tanah dalam) dan turunnya tekanan hidrolik,

sedangkan tekanan antar batu bertambah. Akibat beban di atasnya menurun.

Penurunan tanah pada umumnya terjadi pada daerah dataran yang dibangun oleh

batuan/tanah yang bersifat lunak.

2.2.3 Tipe Longsoran

Menurut klasifikasi Highway Reseaarch Board 1958 dan 1978 membagi tipe

longsoran menjadi enam, yaitu;

1. Longsoran Translasi

Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada

bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Longsoran Translasi (Highway Reseaarch Board 1958 dan 1978)

Page 11: analisa kestabilan lereng

16

2. Longsoran Rotasi

Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang

gelincir berbentuk cekung (Gambar 2.3).

Gambar 2.3 Longsoran Rotasi (Highway Reseaarch Board 1958 dan 1978)

3. Pergerakan Blok

Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang

gelincir berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok batu

(Gambar 2.4).

Gambar 2.4 Pergerakan Blok (Highway Reseaarch Board 1958 dan 1978)

4. Runtuhan Batu

Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain

bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang

Page 12: analisa kestabilan lereng

17

terjal hingga menggantung terutama di daerah pantai, batu-batu besar yang jatuh

dapat menyebabkan kerusakan yang parah (Gambar 2.5)

Gambar 2.5 Runtuhan Batu (Highway Reseaarch Board 1958 dan 1978)

5. Rayapan Tanah

Rayapan Tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis

tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak

dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama lonsgsor jenis rayapan ini bisa

menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah (Gambar

2.6).

Gambar 2.6 Rayapan Tanah (Highway Reseaarch Board 1958 dan 1978)

Page 13: analisa kestabilan lereng

18

6. Aliran Bahan Rombakan

Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh

air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air,

dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah dan mampu

mencapai ratusan meter jauhnya (Gambar 2.7). Di beberapa tempat bisa sampai

ribuan meter seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunung api. Aliran tanah ini

dapat menelan korban cukup banyak.

Gambar 2.7 Aliran Bahan Rombakan (Highway Reseaarch Board 1958 dan 1978)

2.2.4 Klasifikasi Gerakan Tanah

Jenis tanah longsor menurut Klasifikasi Varnes (1978) dalam Indrayana

(2011) dibagi berdasarkan mekanisme pergerakan dan tipe material yang bergerak

sebagai berikut:

Page 14: analisa kestabilan lereng

19

a. Jatuhan (falls) adalah runtuh/jatuhnya sebagian massa batuan atau tanah

penyusun lereng yang terjal, dengan sedikit atau tanpa disertai terjadinya

pergeseran antara massa yang runtuh dengan massa yang tidak runtuh.

b. Jungkiran (topples) adalah robohnya batuan yang umumnya bergerak

melalui bidang-bidang diskontinuitas (bidang-bidang yang tidak menerus)

yang sangat tegak pada lereng. Seperti halnya pada runtuhan, bidang-

bidang diskontinuitas ini berupa bidang-bidang kekar atau retakan pada

batuan.

c. Gelinciran (slide) adalah gerakan menuruni lereng oleh suatu massa tanah

dan atau batuan penyusun lereng, melalui bidang gelincir pada lereng,

atau pada bidang regangan geser yang relatif tipis. Bidang gelincir atau

bidang regangan geser ini dapat berupa bidang yang relatif lurus (translasi)

ataupun bidang lengkung ke atas (rotasi).

d. Gerak horizontal/bentang lateral (lateral spread) adalah material tanah

atau batuan yang bergerak dengan cara perpindahan translasi pada bidang

dengan kemiringan landai sampai datar, pergerakan terjadi pada lereng

atau lahan yang tersusun oleh lapisan tanah/batuan yang lunak, yang

terbebani oleh massa tanah/batuan yang berada di atasnya

e. Aliran (flows) yaitu aliran massa yang bersifat plastik atau berupa aliran

fluida kental.

Jatuhan (falls) adalah runtuhnya/jatuhnya sebagian massa batuan atau

tanah penyusun lereng yang terjal dengan sedikit atau tanpa disertai terjadinya

pergeseran antara massa yang runtuh dengan massa yang tidak runtuh. Hal ini

Page 15: analisa kestabilan lereng

20

berarti runtuhnya massa batuan atau tanah umumnya dengan cara jatuh bebas,

meloncat atau menggelinding tanpa melalui bidang gelincir. Proses terjadinya

runtuhan pada lereng dapat berlangsung sangat cepat, yaitu lebih dari 3 m/menit

(Varnes, 1978 dalam Indrayana, 2011). Penyebab terjadinya runtuhan dapat

berupa hilangnya penyangga lereng dari arah lateral, karena pemotongan lereng,

penggalian, pelapukan, erosi oleh sungai atau abrasi gelombang laut (gambar 2.8).

Gambar 2.8. Model gerakan tanah tipe jatuhan tanah (Varnes, 1978 dalam Indrayana, 2011)

Jungkiran (topples) adalah robohnya batuan yang umumnya bergerak

melalui bidang-bidang diskontinuitas (bidang-bidang yang tidak menerus) yang

sangat tegak pada lereng (gambar 2.9).

Page 16: analisa kestabilan lereng

21

Gambar 2.9 Runtuhan/robohan batuan (Varnes, 1978 dalam Indrayana, 2011)

Gelinciran (slide) adalah gerakan menuruni lereng oleh suatu massa tanah

dan atau batuan penyusun lereng melalui bidang gelincir pada lereng, atau pada

bidang regangan geser yang relatif tipis. Bidang gelincir tersebut merupakan

bidang dimana tegangan geser berkembang paling intensif. Gerakan terjadi

sebagai akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng.

Varnes, 1978 dalam Indrayana, 2011 menjelaskan bahwa pergerakan terjadi di

sepanjang bidang gelincir secara tidak serempak. Seringkali dijumpai tanda-tanda

awal gerakan berupa retakan berbentuk lengkung tapal kuda pada bagian

permukaan lereng yang mulai bergerak. Munculnya retakan ini tidak langsung

seketika diikuti oleh bergeraknya seluruh bagian bidang gelincir. Seringkali ada

jeda waktu antara terjadinya retakan awal dengan terjadinya pergerakan seluruh

bagian bidang gelincir. Jeda waktu ini dapat berkisar selama beberapa jam hingga

beberapa tahun. Bahkan dapat pula terjadi pembentukan retakan pada lereng tidak

diikuti dengan pergerakan keseluruhan bidang gelincir, tergantung pada kondisi

geologi dan hidrologi pada lereng, serta tergantung pada aktivitas pemicu gerakan.

Bidang gelincir atau bidang regangan geser ini dapat berupa bidang yang

relatif lurus (translasi) ataupun bidang lengkung ke atas (rotasi), seperti yang

terlihat pada gambar 2.10. Kedalaman bidang gelincir pada longsoran jenis

translasi umumnya lebih dangkal daripada kedalaman bidang gelincir longsoran

rotasi.

Page 17: analisa kestabilan lereng

22

Longsoran yang bergerak secara rotasi melalui bidang gelincir lengkung

disebut sebagai nendatan (Gambar 2.10a). Nendatan umumnya terjadi pada lereng

yang tersusun oleh material yang relatif homogen. Pergerakan rotasi ini

mengakibatkan terbentuknya gawir berbentuk tapal kuda di bagian lereng atas,

serta dicirikan dengan terjadinya penurunan tanah (graben) dan permukaan tanah

pada bagian atas lereng. Akibat penurunan tanah ini umumnya permukaan tanah

yang mengalami penurunan menjadi miring ke arah belakang lereng. Pergerakan

rotasi pada nendatan cenderung berakhir apabila massa yang bergerak telah

mencapai kesetimbangan, yaitu apabila posisi massa sudah bergeser di atas bidang

gelincir yang melengkung ke arah puncak lereng. Sebaliknya, longsoran translasi

dengan bidang gelincir yang miring curam (Gambar 2.110b), pergerakan massa

tanah/batuannya lebih sulit untuk dihambat.

Gambar 2.10 Model gerakan tanah tipe longsoran (a. Longsoran rotasi b. Longsoran translasi) (Varnes, 1978 dalam Indrayana, 2011)

Page 18: analisa kestabilan lereng

23

Gerak horizontal/bentang lateral (lateral spread) adalah material tanah

atau batuan yang bergerak dengan cara perpindahan translasi pada bidang dengan

kemiringan landai sampai datar. Pergerakan terjadi pada lereng atau lahan yang

tersusun oleh lapisan tanah/batuan yang lunak, yang terbebani oleh massa

tanah/batuan yang berada di atasnya (Gambar 2.11).

Gambar 2.11 Model gerakan tipe nendatan tanah (luncuran lengkung) Varnes, 1978 dalam Indrayana, 2011)

Aliran (flows) yaitu aliran massa yang bersifat plastik atau berupa aliran

fluida kental (gambar 2.11 dan 2.12). Aliran ini dapat juga terjadi pada batuan

tetapi lebih sering terjadi pada bahan rombakan yang merupakan percampuran

antara material tanah (berbutir halus) dan hancuran-hancuran batuan (berbutir

kasar).

Page 19: analisa kestabilan lereng

24

Gambar 2.12 Model gerakan kombinasi antara nendatan di lereng bagian atas kemudian berkembang menjadi aliran tanah bercampur batu pada lereng bagian tengah. (Varnes, 1978 dalam Indrayana, 2011)

Gambar 2.13 Gambaran dari debris flow (Varnes, 1978 dalam Indrayana, 2011)

Material tanah yang berbutir halus ini umumnya berukuran butir pasir

(berdiameter butir sekitar 2 mm) hingga lempung (berdiameter butir sekitar 2 mμ

atau lebih halus), sedangkan hancuran-hancuran batuan dapat berukuran kerikil

(berdiameter butir lebih kasar dari 2 mm) hingga bongkah-bongkah (berdiameter

sekitar 25 cm hingga beberapa meter. Aliran pada bahan rombakan (debris) dapat

dibedakan lagi menjadi aliran bahan rombakan (debris flow) (gambar 2.13), aliran

tanah (earth flow) apabila massa yang bergerak didominasi oleh material tanah

berukuran butir halus (terutama berukuran butir lempung) dan aliran lumpur (mud

flow) apabila massa yang bergerak jenuh air. Jenis lain dari aliran ini adalah aliran

kering yang biasa terjadi pada endapan pasir (dry flow).

Menurut Varnes, (1978 dalam Zakaria, 2009) mengklasifikasi gerakan

tanah / longsor menjadi 2 bagian yaitu berdasarkan tipe gerakan dan jenis

material.

Tabel 2.1 Klasifikasi gerakan tanah berdasarkan tipe gerakan dan jenis materialnya menurut Varnes, (1978 dalam Zakaria, 2009).

Page 20: analisa kestabilan lereng

25

Gambar 2.14 Tipe dan Jenis Tanah Longsor (Varnes, 1978 dalam Indrayana, 2011)

Page 21: analisa kestabilan lereng

26

2.2.5 Stabilitas Lereng

Suatu permukaan tanah yang miring yang membentuk sudut tertentu

terhadap bidang horisontal disebut sebagai lereng (slope). Lereng dapat terjadi

secara alamiah atau dibentuk oleh manusia dengan tujuan tertentu. Jika

permukaan membentuk suatu kemiringan maka komponen massa tanah di atas

bidang gelincir cenderung akan bergerak ke arah bawah akibat gravitasi. Jika

komponen gaya berat yang terjadi cukup besar, dapat mengakibatkan longsor pada

lereng tersebut. Kondisi ini dapat dicegah jika gaya dorong (driving force) tidak

melampaui gaya perlawanan yang berasal dari kekuatan geser tanah sepanjang

bidang longsor seperti yang diperlihatkan pada gambar 2.15

Gambar 2.15 Kelongsoran lereng (Hidayah S, 2007)

Bidang gelincir dapat terbentuk dimana saja di daerah-daerah yang

lemah.Jika longsor terjadi dimana permukaan bidang gelincir memotong lereng

pada dasar atau di atas ujung dasar dinamakan longsor lereng (slope failure)

seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.16a. Lengkung kelongsoran disebut

sebagai lingkaran ujung dasar (toe circle), jika bidang gelincir tadi melalui ujung

Page 22: analisa kestabilan lereng

27

dasar maka disebut lingkaran lereng (slope circle). Pada kondisi tertentu terjadi

kelongsoran dangkal (shallow slope failure) seperti yang ditunjukkan pada

Gambar 2.16b. Jika longsor terjadi dimana permukaan bidang gelincir berada

agak jauh di bawah ujung dasar dinamakan longsor dasar (base failure) seperti

pada Gambar 2.16c. Lengkung kelongsorannya dinamakan lingkaran titik tengah

(midpoint circle) ( Das B.M, 2002).

Proses menghitung dan membandingkan tegangan geser yang terbentuk

sepanjang permukaan longsor yang paling mungkin dengan kekuatan geser dari

tanah yang bersangkutan dinamakan dengan Analisis Stabilitas Lereng (Slope

Stability Analysis) (Das B.M, 2002).

Gambar 2.16 Bentuk-bentuk keruntuhan lereng (a) Kelongsoran lereng,(b) Kelongsoran lereng dangkal, (c) Longsor dasar (Das B.M, 2002)

Page 23: analisa kestabilan lereng

28

2.2.6 Faktor –faktor yang Berpengaruh pada Kestabilan Lereng

Proses perancangan jenjang merupakan suatu proses melakukan analisis

kestabilan untuk mengestimasi sudut jenjang yang masih dapat ditambang,

memilih kemiringan dan tinggi jenjang dengan mempertimbangkan peraturan-

peraturan yang berlaku.

Faktor-faktor yang mempengaruh terhadap kestabilan lereng batuan

antara lain:

1. Struktur batuan

Struktur batuan yang sangat mempengaruhi kemantapan lereng adalah

adanya rembesan, dan aktifitas geologi seperti patahan (terutama yang masih

aktif), rekahan dan liniasi. Struktur batuan tersebut merupakan bidang lemah dan

sekaligus sebagai tempat merembesnya air, sehingga batuan lebih mudah longsor.

2. Sifat fisik dan mekanik batuan

Menurut Turangan dan Sartje M, 2014 Sifat fisik batuan yang

mempengaruhi kemantapan lereng adalah: bobot isi, porositas, dan kandungan air,

kuat tekan, kuat tarik, kuat geser dan sudut gesek dalam batuan merupakan sifat

mekanik batuan yang berpengaruh terhadap kemantapan lereng.

a) Bobot isi batuan

Semakin besar bobot isi suatu batuan, maka gaya penggerak yang

menyebabkan longsor semakin besar juga. Dengan demikian, kemantapan lereng

tersebut semakin berkurang.

Page 24: analisa kestabilan lereng

29

b) Porositas Batuan

Batuan yang mempunyai porositas besar akan banyak menyerap air.

Dengan demikian bobot isinya menjadi lebih besar, sehingga memperkecil

kemantapan lereng. Adanya air dalam batuan juga akan menimbulkan tekanan air

pori yang memperkecil kuat geser batuan. Batuan yang mempunyai kuat geser

kecil akan lebih mudah longsor.

c) Kandungan air dalam batuan

Semakin besar kandungan air dalam batuan, maka tekanan air pori menjadi

semakin besar juga. Dengan demikian kuat geser batuan menjadi semakin kecil,

sehingga kemantapan dari suatu lereng semakin mengecil.

d) Kuat geser batuan.

Kuat geser terdiri dari kohesi (c) dan sudut gesek dalam (φ). Untuk analisis

stabilitas lereng untuk jangka panjang digunakan harga kuat geser efektif

maksimum (c’, φ’). Untuk lereng yang sudah mengalami gerakan atau material

pembentuk lereng yang mempunyai diskontinuitas tinggi digunakan harga kuat

geser sisa (cr = 0; φr).

Menurut Turangan dan Sartje M, 2014 Salah satu penerapan pengetahuan

mengenai kekuatan geser tanah/batuan adalah untuk analisis stabilitas lereng.

Keruntuhan geser pada tanah atau batuan terjadi akibat gerak relatif antarbutirnya.

Oleh sebab itu kekuatannya tergantung pada gaya yang bekerja antarbutirnya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kekuatan geser terdiri atas:

Page 25: analisa kestabilan lereng

30

Bagian yang bersifat kohesif, tergantung pada macam tanah/batuan dan

ikatan butirnya.

Bagian yang bersifat gesekan, yang sebanding dengan tegangan efektif yang

bekerja pada bidang geser.

Kuat geser batuan dapat dinyatakan sebagai berikut:

S = C’ + (τ - µ) tan φ

dimana: S = kekuatan geser

τ = tegangan total pada bidang geser

µ = tegangan air pori

C’= kohesi efektif

φ = sudut gesek dalam efektif

Gambar 2.17. Kekuatan geser tanah/batuan (Turangan dan Sartje M, 2014)

e) Kohesi

Kohesi adalah kekuatan tarik menarik antara butir sejenis pada tanah, yang

dinyatakan dalam satuan berat persatuan luas. Makin besar nilai kohesi, maka

kekuatan geser tanah akan semakin besar juga, sehingga dapat dibuat lereng

dengan kemiringan yang besar pada faktor keamanan yang sama. Harga kohesi

Page 26: analisa kestabilan lereng

31

didapat dari hasil analisis di laboratorium, yaitu pengujian geser langsung dan

pengujian triaksial.

f) Sudut gesek dalam

Sudut gesek dalam terbentuk saat pergeseran dua atau lebih partikel tanah.

Semakin besar sudut gesek dalam, maka kuat geser batuan juga semakin besar.

Dengan demikian, lereng yang disusun oleh batuan tersebut menjadi lebih mantap.

3. Kondisi hidrologi

Air tanah merupakan faktor yang penting dalam kestabilan lereng, air

tanah dapat mempengaruhi lereng dengan lima cara:

Mengurangi kekuatan

Merubah kandungan mineral melalui proses alterasi dan pelarutan

Merubah densitas

Menimbulkan tekanan air pori

Menyebabkan erosi

Muka air tanah yang ada menjadikan lereng sebagian besar basah dan

batuannya mempunyai kandungan air yang tinggi. Batuan dengan kandungan air

yang tinggi kekuatannya menjadi rendah sehingga lereng lebih mudah longsor.

Hal ini disebabkan air yang terkandung pada batuan akan menambah beban

batuan tersebut.

4. Geometri lereng

Ada tiga komponen utama dari suatu lereng tambang yaitu: konfigurasi

jenjang, sudut antar jenjang, dan sudut lereng total. Lereng yang terlalu tinggi

menjadi lebih tidak stabil sehingga cenderung mudah longsor daripada lereng

Page 27: analisa kestabilan lereng

32

yang tidak terlalu tinggi pada batuan yang sama. Makin besar kemiringan lereng

atau tingkat kecuramannya semakin besar maka semakin mungkin terjadinya

kelongsoran.

5. Gaya-gaya luar

Gaya-gaya dari luar yang dapat mempengaruhi kemantapan suatu lereng

adalah:

a. Getaran yang diakibatkan oleh gempa bumi, peledakan dan pemakaian alat-

alat mekanis berat di dekat lereng.

b. Pemotongan dasar (toe) pada lereng.

c. Penebangan pohon-pohon pelindung lereng.

2.2.7 Program Geostudio 2007 Slope/W

Geostudio 2007 adalah sebuah paket aplikasi untuk pemodelan geoteknik

dan geo-lingkungan. Software ini melingkupi SLOPE/ W.

2.3.7.1 Slope/W

Slope/W merupakan produk software yang menggunakan batas

keseimbangan untuk menghitung faktor keamanan tanah dan lereng. Menganalisa

stabilitas lereng, menggunakan batas keseimbangan, serta mempunyai

kemampuan untuk menganalisis contoh tanah yang berbeda jenis dan tipe, longsor

dan kondisi tekanan air pori dalam tanah yang berubah menggunakan bagian besar

contoh tanah. Slope/w merupakan sub program dari Geo-slope yang dapat

diintegrasikan dengan sub program lainnya, baik vadose/w, seep/w, quake/w dan

sigma/w. Parameter masukan data analisa dapat ditentukan atau secara

Page 28: analisa kestabilan lereng

33

probabilitas. Beberapa permasalahan yang dapa diselesaikan dan kemampuan dari

slope/w:

1. Menghitung faktor keamanan lereng yang bertanah heterogen di atas tanah

keras (bedrock), dengan lapisan lempung. Di ujung lereng (lembah)

merupakan genangan air, air tanah mengalir sampai ujung lereng dan

daerah retakan berkembang pada puncak akibat gaya tegangan pada

lereng.

2. Slope/w dapat menghitung faktor keamanan dari lereng dengan beban luar

dan perkuatan lereng dengan angker atau perkuatan dengan geo-textile

3. Kondisi tekanan air pori dalam tanah yang kompleks, kondisi air pori

dapat dibedakan dalam beberapa cara, dapat semudah seperti garis

piezometrik atau analisa elemen batas dari tekanan pori. Tekanan air pori

pada tiap dasar potongan lereng ditemukan dari data titik cara interpolasi

spline.

4. Menganalisa stabilitas dengan tekanan batas elemen. Memasukkan data

tekanan lereng dari analisa batas stabilitas elemen sigma/w ke slope/w

untuk mempermudah. Keuntungan lain yaitu dapat menghitung faktor

keamanan tiap potongan, sebaik perhitungan faktor keamanan seluruh

longsoran.

Pada dasarnya Slope/W terdiri dari tiga bagian pengerjaan (langkah kerja)

yaitu:

1. Define: Pendefinisian model

Mengatur batas area yang akan digunakan

Page 29: analisa kestabilan lereng

34

Mengatur skala dan satuan yang digunakan untuk mempermudah

pengerjaan

Menginput data material (data-data tanah)

Mengsketsa permasalahan (lereng) dengna menggunakan icon garis

lurus, lengkungan atau lingkaran

Menentukan bagian-bagian gambar dengan mendefinisikan kembali

setelah data terinput

2. Solve: Nilai dari hasil perhitungan, dengan menekan start pada kotak

dialog

3. Contour: memperlihatkan gambaran hasil perhitungan

Memperlihatkan sketsa hasil stabilitas tanah menggunakan metode

Bishop, ordinary dan Janbu.

Terdapat icon-icon untuk memunculkan hasil seperti potongan dengan

diagram free body dan force polygon

Memperlihatkan grafik hubungan antara jarak dan kekuatan, dan yang

lainnya.

Memperoleh data slide mass.

2.2.7.2 Parameter Tanah/Batuan

Untuk analisis stabilitas lereng program Geostudio 2007 slope/w

diperlukan parameter tanah/batuan:

a. Kuat geser

Kuat geser terdiri dari kohesi (c) dan sudut gesek dalam (φ). Kohesi

merupakan Untuk analisis stabilitas lereng untuk jangka panjang digunakan harga

Page 30: analisa kestabilan lereng

35

kuat geser efektif maksimum (c’, φ’). Untuk lereng yang sudah mengalami

gerakan atau material pembentuk lereng yang mempunyai diskontinuitas tinggi

digunakan harga kuat geser sisa (cr = 0; φ r).

b. Berat Isi

Berat isi diperlukan untuk perhitungan beban guna analisis stabilitas

lereng. Berat isi dibedakan menjadi berat isi asli, berat isi jenuh, dan berat isi

terendam air yang penggunaannya tergantung kondisi lapangan.

Salah satu penerapan pengetahuan mengenai kekuatan geser tanah/batuan

adalah untuk analisis stabilitas lereng. Keruntuhan geser pada tanah atau batuan

terjadi akibat gerak relatif antarbutirnya. Oleh sebab itu kekuatannya tergantung

pada gaya yang bekerja antarbutirnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

kekuatan geser terdiri atas:

1. Bagian yang bersifat kohesif, tergantung pada macam tanah/batuan dan ikatan

butirnya.

2. Bagian yang bersifat gesekan, yang sebanding dengan tegangan efektif yang

bekerja pada bidang geser.