Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

43
1 ANALISA KASUS KEJAHATAN BISNIS YANG DILAKUKAN OLEH KORPORASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA EKONOMI A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Perkembangan dunia usaha yang sedemikian pesat telah membuat para pelaku usaha berlomba dan bersaing dalam rangka mengembangkan usahanya masing-masing. Hal ini menimbulkan persaingan usaha yang demikian ketat, khususnya dalam pasar liberal atau pasar bebas, termasuk di Indonesia saat ini. Dalam rangka memenangkan persaingan usaha tersebut, seringkali para pelaku usaha menggunakan cara-cara dan langkah yang melanggar aturan hukum, hal inilah yang kemudian disebut dengan kejahatan di bidang bisnis atau kejahatan bisnis. Persaingan kadang merupakan hal yang ditakuti atau dibenci. Padahal selayaknya persaingan tersebut harus dipandang sebagai hal positif. Dalam teori ilmu ekonomi persaingan yang sempurna (perfect competition) adalah suatu kondisi pasar (market) yang ideal. 1 Namun, dalam kehidupan nyata sulit ditemui pasar yang didasarkan pada persaingan yang sempurna, persaingan tetap dianggap sebagai hal yang esensial dalam ekonomi pasar (Competition in the market system is very important for its effective and responsive operation).” 2 Secara konseptual, kejahatan bisnis merupakan bagian dari tindak pidana ekonomi. Dalam hal ini, para pelaku kejahatan bisnis seringkali terkait dengan korporasi, karena korporasi merupakan salah satu subjek utama pelaku bisnis atau usaha. Dengan demikian sebuah kejahatan korporasi merupakan bagian dari kejahatan bisnis, akan tetapi sebuah kejahatan bisnis belum tentu merupakan kejahatan korporasi. Pernyataan tersebut sangat terkait erat dengan subjek pelaku kejahatan bisnis dan pertanggungjawaban pidananya. Kedudukan korporasi dalam sebuah kejahatan bisnis dapat berupa pelaku dapat juga sebagai korban. Dalam hal korporasi berkedudukan sebagai pelaku dan dapat dikenakan pertanggung jawaban pidana inilah yang kemudian kita kenal dengan istilah kejahatan korporasi. Kejahatan Korporasi (Corporate Crime) merupakan bagian dari White Collar Crime dan selalu merupakan kejahatan yang sangat mengganggu masyarakat, bahkan negara dalam artian yang sangat kompleks, sehingga dalam pendekatan mikro kejahatan korporasi ini merupakan bagian dari tindak pidana di bidang ekonomi. 3 1 Paul A. Samuelson, Economic An Introductory Analysis, Mc Graw-Hill Book Company,USA, 1984, hal. 36. 2 Hoon Hian Teck et.al, Economics: Theory an Aplication, Singapore, Mc Hill Book Co, Singapore, 1998, hal.14. 3 Indriyanto Seno Adji, Tindak Pidana Ekonomi, Bisnis dan Korpusi Perbankan, Modul Kuliah Kejahatan Bisnis, Tanpa Tahun, hal. 4

Transcript of Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

Page 1: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

1

ANALISA KASUS KEJAHATAN BISNIS YANG DILAKUKAN OLEH KORPORASI DALAM

PERSPEKTIF HUKUM PIDANA EKONOMI

A. Pendahuluan

1. Latar Belakang

Perkembangan dunia usaha yang sedemikian pesat telah membuat para pelaku usaha

berlomba dan bersaing dalam rangka mengembangkan usahanya masing-masing. Hal ini

menimbulkan persaingan usaha yang demikian ketat, khususnya dalam pasar liberal atau

pasar bebas, termasuk di Indonesia saat ini. Dalam rangka memenangkan persaingan

usaha tersebut, seringkali para pelaku usaha menggunakan cara-cara dan langkah yang

melanggar aturan hukum, hal inilah yang kemudian disebut dengan kejahatan di bidang

bisnis atau kejahatan bisnis. Persaingan kadang merupakan hal yang ditakuti atau dibenci.

Padahal selayaknya persaingan tersebut harus dipandang sebagai hal positif. Dalam teori

ilmu ekonomi persaingan yang sempurna (perfect competition) adalah suatu kondisi pasar

(market) yang ideal.1 Namun, dalam kehidupan nyata sulit ditemui pasar yang didasarkan

pada persaingan yang sempurna, persaingan tetap dianggap sebagai hal yang esensial

dalam ekonomi pasar (Competition in the market system is very important for its effective

and responsive operation).”2

Secara konseptual, kejahatan bisnis merupakan bagian dari tindak pidana ekonomi.

Dalam hal ini, para pelaku kejahatan bisnis seringkali terkait dengan korporasi, karena

korporasi merupakan salah satu subjek utama pelaku bisnis atau usaha. Dengan demikian

sebuah kejahatan korporasi merupakan bagian dari kejahatan bisnis, akan tetapi sebuah

kejahatan bisnis belum tentu merupakan kejahatan korporasi. Pernyataan tersebut sangat

terkait erat dengan subjek pelaku kejahatan bisnis dan pertanggungjawaban pidananya.

Kedudukan korporasi dalam sebuah kejahatan bisnis dapat berupa pelaku dapat juga

sebagai korban. Dalam hal korporasi berkedudukan sebagai pelaku dan dapat dikenakan

pertanggung jawaban pidana inilah yang kemudian kita kenal dengan istilah kejahatan

korporasi.

Kejahatan Korporasi (Corporate Crime) merupakan bagian dari White Collar Crime dan

selalu merupakan kejahatan yang sangat mengganggu masyarakat, bahkan negara dalam

artian yang sangat kompleks, sehingga dalam pendekatan mikro kejahatan korporasi ini

merupakan bagian dari tindak pidana di bidang ekonomi.3

1 Paul A. Samuelson, Economic An Introductory Analysis, Mc Graw-Hill Book Company,USA,

1984, hal. 36. 2 Hoon Hian Teck et.al, Economics: Theory an Aplication, Singapore, Mc Hill Book Co,

Singapore, 1998, hal.14. 3 Indriyanto Seno Adji, Tindak Pidana Ekonomi, Bisnis dan Korpusi Perbankan, Modul Kuliah

Kejahatan Bisnis, Tanpa Tahun, hal. 4

Page 2: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

2

Dalam prakteknya, menentukan korporasi sebagai subjek hukum pidana sangat sulit,

dan masih menjadi perdebatan karena di dalam KUHP sendiri tidak dikenal korporasi

sebagai subjek hukum pidana. Meskipun demikian, sebagai sebuah tindak pidana khusus,

dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia, telah diakui bahwa korporasi

merupakan salah satu subjek hukum pidana, seperti dalam Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2004 tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dalam perspektif kejahatan bisnis, kedudukan dan pertanggung jawaban pidana

korporasi sebagai pelaku kejahatan bisnis, secara komprehensif dapat dijelaskan dan

dianalisa melalui hukum pidana ekonomi, hal ini mengingat bahwa kejahatan bisnis

merupakan bagian dari tindak pidana ekonomi. Tindak Pidana Ekonomi dalam arti luas

menurut Mardjono Reksodiputro adalah pelanggaran yang diancam dengan sanksi pidana

dan peraturan-peraturan di bidang keuangan, perdagangan dan perindustrian yang

kesemuanya diarahkan pada bidang bisnis terutama Big Scale Business.4

Berdasarkan definisi secara luas terhadap tindak pidana ekonomi tersebut, maka

dapat dikatakan bahwa segala bentuk kejahatan bisnis merupakan sub-kategori dari tindak

pidana ekonomi, oleh karena itu penjelasan dan analisa kedudukan serta pertanggung

jawaban pidananya, dalam kaitannya dengan korporasi sebagai subjek hukum pidana,

paling komprehensif dijelaskan dan dianalisa melalui perspektif hukum pidana ekonomi.

Penjelasan dan analisa dengan menggunakan persepektif kejahatan bisnis dan tindak

pidana ekonomi akan dipaparkan dalam analisa beberapa kasus kejahatan bisnis yang

melibatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana, pada bagia selanjutnya dari tulisan ini.

2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah

sebagai berikut:

1) Bagaimana kedudukan korporasi dalam sebuah kejahatan bisnis berdasarkan

perspektif Hukum Pidana Ekonomi?

2) Bagaimana pertanggung jawaban pidana korporasi dalam sebuah kejahatan bisnis

dalam perspektif Hukum Pidana Ekonomi?

B. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Ekonomi

Hukum pidana ekonomi adalah bagian dari hukum pidana yang mempunyai ciri

tersendiri yaitu sifat ekonomisnya. Banyak para praktisi dan akademisi memberikan definisi

4 Ibid, hlm.vii

Page 3: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

3

tentang apa itu tindak pidana ekonomi,5 namun, secara umum, tindak pidana ekonomi dibagi

menjadi dua pengertian: pengertian dalam arti sempit dan arti luas. Terlepas dari

perbedaannya, kedua pengertian itu mempunyai persamaan yaitu keduanya mempunyai

motif ekonomi dan/atau mempunyai pengaruh negatif terhadap kegiatan perekonomian dan

keuangan negara serta dunia usaha.6

Secara umum dapat dikatakan bahwa tindak pidana ekonomi adalah tindakan-tindakan

di bidang ekonomi yang dilarang dan dapat dipidana baik dalam arti sempit maupun dalam

arti luas.7

Tindak pidana di bidang perekonomian dalam arti sempit adalah seluruh tindakan yang

tercantum Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan

Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Tindak pidana jenis ini disebut sempit karena secara

substansial memuat sebagian kecil dari kegiatan ekonomi secara menyeluruh. Undang-

Undang Darurat ini mulai berlaku pada tanggal 13 Mei tahun 1955 karena keadaan yang

mendesak yang diakibatkan oleh kesulitan ekonomi pada saat itu. Undang-undang ini

dikeluarkan dengan harapan dapat mencegah terjadinya kerugian negara pada saat itu.

Menurut Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955, yang dimaksud dengan tindak

pidana ekonomi adalah:

1) Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Pasal 1 sub 1e:

a. pelanggaran di bidang devisa;

b. pelanggaran terhadap prosedur impor, ekspor/penyelundupan;

c. pelanggaran izin;

d. pelanggaran ketentuan barang-barang yang diawasi.

2) Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Pasal 1 sub 2e:

a. Pasal 26, dengan sengaja tidak memenuhi tuntutan pegawai pengusut

berdasarkan suatu ketentuan dalam undang-undang;

b. Pasal 32, dengan sengaja berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang

bertentangan dengan:

suatu hukuman tambahan sebagai tercantum dalam pasal 7 sub s, b, dan c;

suatu tindakan tata tertib sebagai tercantum dalam pasal 8;

suatu peraturan termaksud dalam pasal 10;

5 Kartin S. Hulukati, Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Ekonomi Dengan Undang-undang No.

7/DRT/1955, Universitas Diponegoro, 2003, hal. 41 & 42. 6 Andi Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi, Pradnya Paramita, 1993, hal. 12. 7 Para ahli menggunakan istilah lain seperti kejahatan bisnis, kejahatan kontemporer, kejahatan

kerah putih. Diskusi mengenai masing-masing istilah dapat dilihat di: Romli Atmasasmita, Hukum Kejahatan Bisnis: Teori & Praktik di Era Globalisasi, Jakarta: Prenadamedia Group, 2014, hal. 43-48; Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan; Kumpulan Karang Buku Kesatu, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, 1994, hal. 1 & 2.

Page 4: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

4

suatu tindakan tata tertib sementara atau menghindari hukuman tambahan

atau tindakan tata tertib sementara seperti tersebut diatas.

c. Pasal 33, dengan sengaja baik sendiri maupun perantara orang lain menarik

bagian-bagian kekayaan untuk dihindarkan dari: tagihan-tagihan, pelaksanaan

suatu hukuman atau tindakan tata tertib sementara, yang dijatuhkan

berdasarkan undang-undang.

3) Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Pasal 1 sub 3e: Pelanggaran sesuatu

ketentuan dalam undang-undang lain dan berdasarkan undang-undang lain.

Undang-Undang Darurat No. 7 tahun 1955 dalam perkembangannya telah mengalami

perubahan dan penambahan.8 Namun Undang-Undang Darurat ini tidak pernah dicabut

walaupun sudah lama mandul dan tidak diterapkan.9 Hal ini tidak terlepas dari tujuan

pembuat undang-undang yang menyatakan bahwa tindak pidana ekonomi hanya memiliki

sifat temporer atau sementara, artinya undang-undang tersebut hanya difungsikan pada saat

negara dalam keadaan kesulitan ekonomi dan sampai keadaan ekonomi pulih kembali.

Tindak pidana ekonomi dalam arti luas adalah semua tindak pidana di luar Undang-

Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang pengusutan, penuntutan, dan peradilan tindak

pidana ekonomi. Hal ini mencakup pelbagai tindak pidana di bidang perekonomian yang

diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya seperti Undang-Undang tentang

Korupsi, Undang-Undang tentang Perbankan, Undang-Undang Persaingan Perusahaan,

Undang-Undang tentang Asuransi, Undang-Undang tentang Merek, Undang-Undang

tentang Paten, Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup dan lain-lain. Banyak diantara itu

undang-undang tersebut bersifat administratif artinya mengatur hal-hal yang bersifat

administratif tetapi disertai dengan sanksi pidana. Namun, ada juga undang-undang yang

khusus mengatur tindak pidana tertentu seperti Undang-undang tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

American Bar Association memberikan batasan mengenai economic crime:10 “any

nonvio. lent, illegal activity which principally involved deceit, m,isrepresentation,

concealment, manipulation, breach of trust, subterfuge, or illegal circumvention” (setiap

tindakan ilegal tanpa kekerasan, terutama menyangkut penipuan, perwakilan tidak sah,

penimbunan, manipulasi, pelanggaran kontrak, tindakan curang).

8 Undang-undang ini telah dirubah dengan Undang-undang No. 8 tahun 1958, LN. 1958-156

dan Perpu LB. 1960 No. 13, Perpu L. 1960 No. 74, Perpu LN 1960 No. 118, Perpu LN. 1962 No. 142, Perpu LN 1962 No. 43; UU LN 1964 No. 101; UU LN No. 42, Perpu LN 1962 No. 43 UU LN. 1964 No. 101, UU LN 1964 No. 131, Perpu No. 15 tahun 1962, UU No. 11 tahun 1965. Diskusi lebih lanjut dapat dilihat di: Hulukati, Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Ekonomi Dengan Undang-undang No. 7/DRT/1955, hal. 45.

9 Undang-Undang ini masih digunakan sebagai dasar hukum dalam kasus pidana No. 87/Pid.B/2014/PN.Kds.

10 Dalam Frank E. Hagan, Introduction to Criminology (Theories, Methods, and Criminal Behavior), Nelson-Hall, Chicago, 1989, hal. 101.

Page 5: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

5

Clarke (1990) telah mempergunakan istilah, Business Crimes. Kedalam istilah ini

termasuk tindak pidana yang berkaitan dengan dan terjadi di dalam kegiatan perdagangan,

keuangan (termasuk kegiatan di dalam pasar bursa), perbankan dan kegiatan perpajakan.

Bahkan tindak pidana yang berkaitan dengan masalah perburuhan dan tenaga kerja. Clarke

telah memperluas pengertian Business crime yaitu suatu kegiatan yang (selalu) memiliki

konotasi legitimate business dan tidak identik sama sekali dengan kegiatan suatu sindikat

kriminal. Dengan demikian Clarke membedakan secara tegas kegiatan yang

termasuk business crime disatu pihak dengan kegiatan yang dilakukan oleh suatu sindikat

kriminal yang juga bergerak di dalam kegiatan perdagangan. Bahkan Clarke telah

mengungkapkan dan menyebutkan dua wajah khas dan suatu business crime, yaitu:

pertama, suatu keadaan legitimatif untuk melaksanakan kegiatannya yang bersifat

eksploiatif, dan kedua, suatu akibat khas ialah, sifat kontestabilitas dan kegiatannya dalam

arti kegiatan yang dipandang ilegal menurut undang-undang masih dapat “diperdebatkan”

oleh para pelakunya.11

Selanjutnya, Clarke menguraikan beberapa karakteristik dari tindak pidana ekonomi,

yaitu sebagai berikut:12

1) Privacy

2) Lack of public Order Violation

3) Internal Detection and Control

4) The Limited Role of the Law

5) The Ambiguity of Business Crime

6) Business Offences as Politics

7) Sanctions

8) Consumerism and Business Accountability

9) Private Interest versus the Public Good

2. Korporasi

Korporasi juga disebut dalam bidang hukum perdata sebagai badan hukum atau

rechtspersoon. Secara etimologis kata korporasi (Belanda: corporatie, Inggris: corporation,

Jerman: corporation) berasal dari kata “corporatio” dalam bahasa latin. Seperti kata-kata

lainnya yang berakhiran dengan “tio” maka korporasi sebagai kata benda (substantium),

berasal dari kata kerja “corporare”. Corporare berasal dari kata corpus yang berarti

memberikan badan atau membadankan.Dengan demikian, corporatio adalah hasil dari

pekerjaan yang membadankan, atau dengan kata lain, badan yang dijadikan orang, badan

11 Clarke, Michael, Business Crime: Its Nature and Control, Polity Press, 1990, hal. 18-19. 12 Ibid, hal. 32.

Page 6: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

6

yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia yang

terjadi menurut alam.13

Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli Hukum Pidana untuk

menyebut apa yang dalam bidang hukum lain, khususnya Hukum Perdata, sebagai badan

hukum atau dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation.14 Menurut

terminologi Hukum Pidana, bahwa “korporasi adalah badan atau usaha yang mempunyai

identitas sendiri, kekayaan sendiri terpisah dari kekayaan anggota.”15

Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan pengertian korporasi sebagai badan hukum,

yaitu:16

an entity (ussualy business) having authority under law to act a single person distinct from the shareholder who own it and having rights to issue stock and exist indefinitely, a group or succession of person esthabilished in accordance with legal rules into a legal or justice person that’s the legal personality distinct from the natural persons who make it up exist indefinetly apart from them, and has the legal that’s constitution gives it.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Korporasi adalah:17

1) Badan usaha yang sah; badan hukum;

2) Perusahaan atau badan usaha yang sangat besar atau beberapa perusahaan

yang dikelola dan dijalankan sebagai suatu perusahaan besar.

Berbicara mengenai pengertian korporasi, para sarjana memberikan pengertian yang

berbeda, menurut Utrecht korporasi adalah “suatu gabungan orang yang dalam pergaulan

hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri suatu personifikasi.

Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban

sendiri terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing.”18

Satjipto Rahardjo, menyatakan:19 “Korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan

hukum.Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan

kedalamnya hukum memasukan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai

kepribadian.Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum kecuali penciptaannya,

kematiannya juga ditentukan oleh hukum”.

Pengertian badan hukum itu sendiri, sebenarnya terjadi sebagai akibat dari

perkembangan masyarakat menuju modernisasi. Dahulu di alam yang masih primitif ataupun

didalam kehidupan yang masih sederhana, kegiatan-kegiatan usaha dijalankan secara

13 Ali Chidir, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 1999, hlm. 66. 14 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan

Korporasi, PT.Sofmedia, Jakarta, 2010, hal. 11. 15 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hal. 34. 16 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 2. 17 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, hlm. 596 18 Dalam Chidir Ali, Op.Cit, hal. 64. 19 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni 1986, hal., 110.

Page 7: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

7

perorangan. Perkembangannya, tumbuh kebutuhan untuk menjalankan usaha secara

bekerja sama dengan beberapa orang yang mungkin atas dasar pertimbangan agar dapat

menghimpun modal yang lebih berhasil daripada dilaksanakan sendiri. Beranjak dari itu

kemudian timbul keinginan untuk membuat suatu wadah seperti badan hukum agar

kepentingan-kepentingan masing-masing lebih mudah dijalankan dan untuk membagi resiko

yang mungkin timbul dari bentuk kerjasama yang dijalankan.20

Adapun yang menjadi ciri-ciri sebuah badan hukum/korporasi adalah:21

1) Memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang lain – orang yang

menjalankan kegiatan dari badan-badan hukum tersebut;

2) Memiliki hak-hak dan kewajiban yang terpisah dari hak dan kewajiban orang-

orang yang menjalankan kegiatan badan hukum tersebut;

3) Memiliki tujuan tertentu;

4) Berkesinambungan (memiliki kontinuitas) dalam arti keberadaannya tidak terikat

pada orang-orang tertentu, karena hak dan kewajibannya tetap tetap ada

meskipun orang yang menjalankannya berganti.

Ronald A. Anderson et. al., menggolongkan korporasi berdasarkan hubungannya

dengan publik, sumber kekuasaan dan sifat aktivitas dari korporasi itu sendiri. Dari

penggolongan tersebut maka dalam negara Anglo Saxon, jenisjenis korporasi dapat

diklasifikasikan sebagai berikut:22

1) Korporasi Publik, adalah sebuah korporasi yang didirikan oleh pemerintah yang

mempunyai tujuan untuk memenuhi tugas administrasi di bidang urusan publik,

contohnya pemerintahan Kabupaten atau Kota;

2) Korporasi Privat, yaitu korporasi yang didirikan untuk kepentingan pribadi yang

dapat bergerak di bidang industri dan perdagangan, contohnya PT. Garuda Tbk;

3) Korporasi Publik Quasi, atau yang lebih dikenal dengan korporasi yang melayani

kepentingan umum (public service), contohnya PT. Kereta Api Indonesia,

Perusahaan Air Minum dan Perusahaan Listrik Negara.

Memperhatikan penggolongan korporasi di negara Anglo Saxon tersebut di atas, maka

di Indonesia, penggolongan badan hukum dilihat dari jenisnya dapat dibedakan menjadi dua

yakni badan hukum publik dan badan hukum privat. Badan hukum publik misalnya Negara

Republik Indonesia, Pemerintah Kota/Kabupaten dan sebagainya, sedangkan badan hukum

privat misalnya Perseroan Terbatas, Yayasan dan lain sebagainya. Kriteria untuk

20 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.Cit., hal., 13. 21 Mochtar Kusumaadmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan

Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 2000, hal. 81. 22 Dalam Dwidja Prayitno Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi di Indonesia, Penerbit CV. Utomo, Bandung, 2004, hal. 14-15

Page 8: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

8

menentukan suatu badan hukum dikatakan badan hukum publik atau badan hukum privat

ada dua yaitu:23

1) Dilihat dari pengelolaannya, badan hukum publik didirikan oleh

Pemerintah/Negara, sedangkan badan hukum privat didirikan orang-

perseorangan;

2) Dilihat dari kepentingannya, pada prinsipnya didirikannya badan hukum tersebut

apakah bertujuan untuk kepentingan umum atau tidak; artinya jika lapangan

pekerjaannya bertujuan untuk kepentingan umum, maka badan hukum tersebut

merupakan badan hukum publik, akan tetapi jika tujuannya untuk kepentingan

perseorangan maka badan hukum itu merupakan badan hukum privat.

3. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Pertanggungjawaban pidana, dalam istilah asing disebut juga Torekenbaardheid atau

criminal responsibility, yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk

menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu

tindak pidana yang terjadi atau tidak. Pertanggungjawaban pidana itu adalah diteruskannya

celaan objektif yang ada pada tindak pidana.24

Terdapat dua pandangan tentang pertanggungjawaban pidana, yaitu pandangan

monistis dan pandangan dualistis. Pandangan monistis atau monisme dikemukakan antara

lain oleh Simon. Menurut aliran monisme, unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur

perbuatan yang lazim disebut unsur objektif, maupun unsur pembuat yang lazim dinamakan

unsur subjektif. Oleh karena itu, dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuatnya, maka

dapat disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan

pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa kalau terjadi strafbaar feit, maka pasti

pelakunya dapat dipidana.25

Penganut pandangan monistis tentang strafbaar feit atau criminal act berpendapat,

bahwa unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut pembuat delik meliputi:26

1) Kemampuan bertanggungjawab;

2) Kesalahan dalam arti luas, sengaja dan/atau kealpaan;

3) Tidak ada alasan pemaaf.

Disisi lain, dalam pandangan dualistis, untuk adanya Strafvoraussetzungen (syarat-

syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat) diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya

23 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.Cit., hal. 14. 24 Ibid, hal. 34. 25 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Cet. Ke-1, Jakarta :

Kencana Prenada Media Group, 2010, hal. 63. 26 Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 44-45

Page 9: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

9

strafbare handlung (perbuatan pidana), lalu setelah itu dibuktikan schuld atau kesalahan

subjektif.27

Dalam Hukum Pidana konsep liability atau “pertanggungjawaban” merupakan konsep

sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal

dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea ini dilandaskan pada konsepsi bahwa suatu

perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Disini

berlaku apa yang disebut asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (keine strafe ohne schuld

atau geen straf zonder schuld atau nullapoena sine culpa). Dalam Hukum Pidana Inggris

asas ini dikenal dalam bahasa Latin yang berbunyi “actus non facit reum misi mens sit rea”

(an act does not make a person guilty, unless the mind is guilty).28

Terkait dengan kesalahan tersebut, terdapat beberapa pengertian kesalahan menurut

beberapa ahli yaitu sebagai berikut:29

1) Mazger mengatakan: “Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar

untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat pidana.

2) Simons mengartikan kesalahan itu sebagai pengertian yang “social-ethisch”, dan

mengatakan antara lain: “sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam Hukum

Pidana ia berupa keadaan psikis (jiwa) dari si pembuat, dan hubungannya

terhadap perbuatannya dan di dalam arti bahwa berdasarkan psikis (jiwa) itu

perbuatannya dicelakan kepada si pembuat.

3) Van Hamel mengatakan bahwa “kesalahan dalam suatu delik merupakan

pengertian psikologis, perhubungan antara keadaan jiwa si pembuat dan

terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah

pertanggungjawaban dalam hukum (schuld is de verantwoordelijkheidrechtens)”.

4) Pompe mengatakan antara lain: “pada pelanggaran norma yang dilakukan karena

kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Yang

bersifat melawan hukum adalah perbuatannya. Segi dalamnya yang bertalian

dengan kehendak si pembuat adalah kesalahan. Kesalahan ini dapat dilihat dari

dua sudutmenurut akibatnya ia adalah hal yang dapat dicelakan (verwijtbaarheid)

dan menurut hakikatnya ia adalah hal yang dapat dihindarkannya

(vermijdbaarheid) perbuatan melawan hukum”.

Dari pendapat-pendapat diatas, dapat dikatakan bahwa kesalahan itu mengandung

unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana.Pencelaan disini

bukan pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang

27 Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 66 28 Moejiatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1987, hal. 153. 29 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986, hal. 88-89

Page 10: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

10

berlaku. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sudarto bahwa untuk adanya kesalahan maka

harus ada pencelaan ethics, betapa pun kecilnya.30

Sehubungan dengan kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai pelaku tindak

pidana, timbul pertanyaan kriteria apa yang digunakan untuk menentukan kemampuan

bertanggung jawab korporasi sebagai subjek Hukum Pidana mengingat bahwa korporasi

tidak mempunyai sifat kejiawaan sebagaimana halnya dengan manusia alamiah.

Menurut Rolling, sebagaimana yang dikutip oleh Mahmud Mulyadi, badan hukum

dapat diperlakukan sebagai pelaku tindak pidana, bilamana perbuatan yang terlarang yang

pertanggungjawabannya dibebankan kepada badan hukum (korporasi) dilakukan dalam

rangka tugas dan pencapaian tujuan-tujuan badan hukum tersebut. Menurutnya kriteria ini

didasarkan pada delik fungsional. Sehubungan dengan hal tersebut, yang dimaksud dengan

delik fungsional adalah delik-delik yang berasal dari ruang lingkup atau suasana sosial

ekonomi dimana dicantumkan syarat-syarat bagaimana aktivitas sosial atau ekonomi

tertentu harus dilaksanakan dan terarah atau ditujukan pada kelompok-kelompok

fungsionaris tertentu.31

Mencermati ajaran atau konsep pelaku fungsional, yakni perbuatan fisik seseorang

yang sebenarnya telah menghasilkan perbuatan fungsional lainnya, maka kemampuan

bertanggung jawab masih berlaku dalam mempertanggungjawabkan korporasi dalam

Hukum Pidana. Korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan dan dalam pencapaian tujuan

korporasi tersebut selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia alamiah. Dengan demikian

kemampuan bertanggung jawab oleh orang-orang yang berbuat untuk dan atas nama

korporasi dapat dialihkan menjadi kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai subjek

tindak pidana. Diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana oleh beberapa peraturan

perUndang-undangan diluar KUHP termasuk didalam Rancangan KUHP menunjukkan

bahwa terjadi perluasan mengenai siapa yang dikatakan sebagai pelaku tindak pidana,

dimana suatu badan hukum (korporasi) apabila dituntut telah melakukan tindak pidana baik

dilakukan dengan kesengajaan atau kealpaan.32

Membicarakan korporasi sebagai pelaku tindak pidana, Mardjono Reksodiputro,

sebagaimna yang dikutip Mahmud Mulyadi, menyatakan bahwa cara berpikir dalam hukum

perdata dapat diambil alih ke dalam hukum pidana. Sebelumnya dalam hukum perdata

terdapat perbedaan pendapat apakah suatu badan hukum dapat melakukan perbuatan

melawan hukum (onrechtmatigedaad). Namun melalui asas kepatutan dan keadilan sebagai

dasar utama, maka Ilmu Hukum Perdata menerima suatu badan hukum dapat dianggap

30 Ibid, hal. 89. 31 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.Cit., hlm. 46 32 Ibid, hal. 47.

Page 11: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

11

bersalah yang merupakan perbuatan yang melawan hukum, lebih-lebih dalam lalu lintas

perekonomian.33

Ajaran ini mendasarkan pada pemikiran bahwa apa yang dilakukan oleh pengurus

harus dapat dipertanggungjawabkan kepada badan hukum, karena pengurus dalam

bertindak tidak melakukannya atas hak atau kewenanngannya sendiri, tetapi melainkan atas

hak atau kewenangan badan hukum yang bersangkutan. Dengan demikian bahwa badan

hukum juga tidak dapat melepaskan diri dari kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) yang

dilakukan oleh pengurusnya. Cara berpikir dalam Hukum Perdata ini dapat diambil alih ke

dalam Hukum Pidana.34

C. Pembahasan

1. Analisa Kasus Korupsi PT. Aditya Rezki Abadi (Putusan Nomor:

53/Pid.Sus/2012/PN.Makassar)

a. Resume Putusan

1) Terdakwa

Dalam kasus ini, yang menjadi terdakwa adalah sebagai berikut:

Nama Lengkap : Muhammad Jasmin Dawi bin Semi;

Tempat Lahir : Soppeng;

Umur/Tanggal Lahir : 37 tahun/ 27 Desember 1972;

Jenis Kelamin : Laki-laki;

Kebangsaan : Indonesia;

Tempat Tinggal : Perum Pesona Taman Dahlia Blok a/14,

RT/RW 01/01, Kelurahan Mattoangin,

Kecamatan Mariso Kota Makassar;

Agama : Islam

Pekerjaan : Wiraswasta

Jabatan : Direktur Utama PT. Aditya Rezki Abadi

Makassar.

2) Kasus Posisi

Bahwa Terdakwa Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur PT.ARA, Pada

tahun 2005 telah mengajukan permohonan pembiayaan multiguna kendaraan bermotor

kepada PT.BTN (persero) Cabang Syariah Makassar, sehubungan dengan adanya produk

pembiayaan kendaraan bermotor yang dalam pelaksanaannya berpedoman pada Surat

Edaran Direksi PT.BTN (Persero) Nomor : 6/DIR/DSYA/2005 tanggal 05 April 2005 tentang

33 Ibid, hal. 48. 34 Ibid.

Page 12: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

12

Petunjuk Pelaksanaan Pembiayaan Multiguna BTN Syariah dan Standar Operating Prosedur

Pembiayaan Multiguna BTN Syariah (SOP).

Bahwa untuk mengajukan permohonan pembiayaan kendaraan bermotor pada

PT.BTN (Persero) Cabang Syariah Makassar, pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2008

Terdakwa Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur PT.ARA, memerintahkan

Syarifuddin Ashari selaku Manajer Operasional PT.ARA dan saksi Andi Basri Esa selaku

Manajer Marketing PT.ARA, mencari pihak lain yaitu orang perorangan yang bersedia

membantu PT.ARA untuk menjadi pihak yang seolah-olah sebagai calon nasabah yang

hendak mengajukan pembiayaan mobil, selanjutnya Syarifuddin Ashari melaksanakan

perintah terdakwa Muhammad Jusmin Dawi Bin Semi dengan cara meminjam identitas calon

nasabah berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Surat Nikah dan Pas

foto dengan imbalan per-orang Rp.700.000,- (tujuh ratus ribu rupiah) sampai dengan

Rp.1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) untuk diajukan ke PT.BTN (Persero) Cabang

Syariah Makassar bersama dengan identitas calon nasabah tersebut, PT.ARA juga

melampirkan dokumen yang seolah- olah isinya benar.

Bahwa keseluruhan dokumen yang diajukan oleh PT.ARA ke PT.BTN (Persero)

Cabang Syariah Makassar sejumlah 785 (tujuh ratus delapan puluh lima) calon nasabah,

harus dilakukan verifikasi oleh bagian Financing Service Officer (FSO) yaitu saksi Yahya

Hidayat dan saksi Muh. Afif walaupun pada kenyatannya tugas tersebut diambil alih oleh

Muh. Nasir, SE atas sepengetahuan Abdurrachman Salama (Almarhum) selaku Kepala PT.

BTN (Persero) Cabang Syariah Makassar, sehingga seluruh dokumen yang diajukan oleh

Terdakwa Muhammad Jusmin Dawi bin Semi, diloloskan seolah-olah telah dilakukan

verifikasi.

Perbuatan Terdakwa Muhammad Jusmin Dawi bin Semi dan Syarifuddin Ashari

bersama-sama dengan Abrurachman Salama (Almarhum) dan Muh. Nasir tersebut

bertentangan dengan Standard Operating Procedures (SOP) Surat Edaran Direksi PT. Bank

Tabungan Negara BTN (Persero) Nomor : 6/DIR/DSYA/2005 tanggal 5 April 2005, yaitu

aplikasi dan persyaratan calon nasabah harus melalui tahapan verifikasi, wawancara, dan

pengecekan setempat seharusnya dilakukan oleh Finance Service Officer.

Bahwa dari 785 (tujuh ratus delapan puluh lima) calon nasabah yang diajukan oleh

terdakwa Muhammad Jusmin Dawi bin Semi dengan pokok pinjaman sebesar

Rp.72.049.787.175.00 (Tujuh puluh dua miliar empat puluh sembilan juta tujuh ratus delapan

puluh tujuh ribu seratus tujuh puluh lima rupiah) ternyata diantaranya terdapat 493 (empat

ratus sembilan puluh tiga) orang adalah calon nasabah fiktif, karena selain dokumen

tersebut di atas, masih terdapat dokumen lain yang dijadikan jaminan ke Bank sebagai

syarat pencairan dana pembiayaan saja, padahal diketahui dokumen tersebut tidak sesuai

dengan kenyataannya.

Page 13: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

13

Bahwa Terdakwa Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur PT.ARA

bertanggungjawab penuh atas pembayaran pembiayaan angsuran nasabah tersebut mulai

dari awal sampai dengan pembayaran pelunasan, kenyataannya angsuran yang telah

disetor melalui PT.ARA, oleh Terdakwa Muhammad Jusmin Dawi bin Semi tidak disetor ke

PT. BTN (Persero) Cabang Syariah Makassar melainkan digunakan untuk keperluan

Terdakwa Muhammad Jusmin Dawi bin Semi sendiri sehingga atas perbuatan Terdakwa

Muhammad Jusmin Dawi bin Semi dan Syarifuddin Ashari bersama-sama dengan

Abdurachman Salama (almarhum) dan Muh.Nasir telah memperkaya diri sendiri atau orang

lain.

Bahwa perbuatan Terdakwa Muhammad Jusmin Dawi bin Semi dan Syarifuddin Ashari

bersama- sama dengan Abdurachman Salama (almarhum) dan Muh. Nasir, yang dilakukan

secara terus menerus sejak Tahun 2005-2008 sehingga akibat dari perbuatan tersebut

menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp.44.199.462.000,00 (Empat puluh

empat miliar seratus sembilan puluh sembilan juta empat ratus enam puluh dua ribu rupiah)

sesuai Laporan Hasil Audit Investigatif yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan

dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan Nomor : LHAI-

1372/PW21/5/2009 tanggal 1 Desember 2009.

3) Dakwaan

1) Dakwaan Primair: Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun

1999 jo. Undang- undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP;

2) Dakwaan Subsidair : Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999

jo. Undang- undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

4) Putusan

1) Menyatakan Terdakwa Muhammad Jusmin Dawi bin Semi terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara

bersama- sama dan berlanjut;

2) Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa dengan pidana penjara

selama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda sebesar Rp.300.000.000 (tiga ratus

juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka

akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan;

Page 14: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

14

3) Menjatuhkan pula pidana agar Terdakwa membayar uang pengganti kerugian

keuangan negara sebesar Rp.44.199.462.000,00 (Empat puluh empat miliar

seratus sembilan puluh sembilan juta empat ratus enam puluh dua ribu rupiah)

dengan ketentuan jika terpidana tidak membayar uang pengganti tersebut paling

lama 1 (satu) bulan sesudah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka

harta benda milik terpidana akan disita dan dilelang untuk membayar uang

pengganti tersebut dan dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang

mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara

selama 2 (dua) tahun.

4) Menetapkan masa tahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan

seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, kecuali waktu selama terdakwa dirawat

inap di rumah sakit luar rumah tahanan negara yang tidak ikut dikurangkan;

5) Menetapkan barang bukti yang terdiri atas :....................... DIKEMBALIKAN

KEPADA BTN SYARIAH KCS MAKASSAR;

6) Membebankan untuk membayar biaya perkara kepada Terdakwa sebesar

Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah).

b. Analisa

Dalam sudut pandang tindak pidana ekonomi, terdapat sebuah karakter baru tindak

pidana ekonomi yang berkembang pesat di abad-20. Karakteristik ini diketemukan ketika

aparatur penegak hukum di negara maju, bertekad dan telah melaksanakan tindakan

pencegahan dan penanggulangan atas tindak pidana ini. Dalam praktik ternyata cara-cara

non-litigasi yang biasa dikenal dengan negosiasi atau cooperation (Braithwaite, 1936) telah

mengalami perkembangan yang menyimpang dan tujuan semula dilakukannya upaya

pengendalian.35

Penyimpangan ini dikenal sebagai tndakan kolusi atau collussion sehingga

persoalannya bukanlah terletak pada kerjasama (cooperation) itu sendiri melainkan

terletak pada: bagaimana suatu “cooperation” berubah atau bergeser menjadi suatu

“collusion”. Bahkan menurut Van den Heuvel, yang (bersifat) kriminal itu bukanlah organisasi

atau industrinya melainkan, “the interplay between public and private enterprises that can be

criminogenic, with share responsibility”.36

Dalam kasus ini, penyimpangan kerjasama menjadi kolusi terwujud dalam

pemufakatan jahat yang dilakukan oleh Terdakwa selaku Direktur Utama PT. ARA bersama

dengan Abdurrachman Salama (Almarhum) selaku Kepala PT. BTN (Persero) Cabang

35 GraboskY, Peter dan Barithwate, John., Of Manners Gentie : Enforcment Strategies of

Australian Bussines Agencies. Oxford Unive Press, 1986, hal. 129. 36 Van den Heuvel dalam Ibid.

Page 15: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

15

Syariah Makassar, untuk melakukan manipulasi pengajuan pembiayaan kredit kendaraan

bermotor sebagai kegiatan usaha yang dilakukan oleh PT. ARA.

Kedudukan Terdakwa selaku Direktur Utama PT. ARA yang menggunakan PT. ARA

selaku perusahaan yang berbadan hukum (korporasi) untuk melakukan tindak pidana

korupsi, menunjukan bahwa dalam kasus ini korporasi dapat juga dianggap sebagai subjek

pelaku tindak pidana korupsi yang didakwakan kepada Terdakwa. Berdasarkan pasal 20

ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jika tindak pidana korupsi dilakukan

oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana terhadap

korporasi bersifat kumulatif-alternatif yang berarti bahwa pertanggungjawaban pidana dapat

diberlakukan kepada : 1) pengurus ; 2) korporasi ; atau 3) pengurus dan korporasi.

Sedangkan, Muladi dan Dwidja Priyatno menggolongkan beberapa model

pertanggungjawaban pidana korporasi, yakni:37

1) Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab;

2) Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab; dan

3) Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai bertanggungjawab.

Jika mengacu kepada rangkaian peristiwa dalam kasus ini, serta berdasarkan kepada

putusan Nomor 53/Pid.Sus/2012/PN.Makassar dapat diketahui bahwa model

pertanggungjawaban pidana korporasi yang diterapkan adalah Korporasi sebagai pembuat

dan pengurus yang bertanggungjawab yakni dalam hal ini korporasi PT. Aditya Rezki Abadi

Makassar “mungkin” yang berbuat namun Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur

Utama PT.Aditya Rezki Abadi Makassar yang bertanggungjawab.

Muladi dan Dwidja Priyatno mengemukakan bahwa dalam hal korporasi sebagai

pembuat dan pengurus bertanggungjawab, maka ditegaskan bahwa korporasi ‘mungkin’

sebagai pembuat. Pengurus ditunjuk sebagai yang bertanggungjawab; yang dipandang

dilakukan oleh korporasi adalah perbuatan yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi

menurut wewenang berdasarkan anggaran dasarnya. Sifat dari perbuatan yang menjadikan

tindak pidana itu adalah onpersoonlijk, yakni orang yang memimpin korporasi

bertanggungjawab pidana, terlepas dari pengetahuannya tentang perbuatan tersebut.38

Namun, berdasarkan analisa lebih lanjut terhadap perkara ini, penulis beranggapan

bahwa model pertanggungjawaban pidana yang lebih tepat diterapkan adalah model

pertanggungjawaban pidana korporasi dan pengurus sebagai penanggungjawab, sehingga

yang patut menjadi Terdakwa dalam perkara ini adalah korporasi dan pengurus yakni PT.

Aditya Rezki Abadi Makassar (PT.ARA) dan Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku

Direktur Utama PT. ARA. Pemikiran ini berdasarkan kepada Pasal 20 ayat (2) UU

37 Muladi dan Dwidja Priyatno, Op. Cit, hal. 83 38 Ibid, hal. 86.

Page 16: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

16

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur bahwa tindak pidana korupsi

dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut:

1) Dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun

berdasarkan hubungan lain;

Dalam perkara aquo, Muhammad Jusmin Dawi bin Semi melakukan

perbuatan melawan hukum berdasarkan hubungan kerja dan hubungan lain

dimana tindak pidana korupsi tersebut dilakukan secara bersama- sama

antara Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur Utama PT. ARA ,

Syarifuddin Ashari selaku Manager Operasional PT. ARA, Abdurrahman

Salama (Almarhum) selaku Kepala Cabang PT. BTN (Persero) Cabang

Syariah Makassar dan Muh. Nasir selaku Penyelia Operasional PT.BTN

(Persero) Cabang Syariah Makassar.

Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur Utama PT. ARA bertindak

untuk dan atas nama PT. ARA melakukan perjanjian kerja sama pengadaan

kendaraan bermotor antara PT. BTN (Persero) Cabang Syariah Makassar

dengan PT. ARA No. 05/PKS/KCSMKSNI/2005 tanggal 29 Juni 2005 dan No.

257 tanggal 28 Februari 2006 yang merupakan tindak lanjut dari surat edaran

direksi BTN Syariah No. 6/DIR/DSYA/2005 tanggal 5 April 2005 tentang

petunjuk pelaksanaan pembiayaan Multiguna BTN Syariah dan Standar

Operating Procedures pembiayaan Multiguna BTN Syariah (SOP).

Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur Utama PT. ARA secara

bersama- sama dengan Syarifuddin Ashari selaku Manager Operasional

PT.ARA, Abdurrachman Salama (Almarhum) selaku Kepala Cabang PT.BTN

(Persero) Cabang Syariah Makassar dan Muh. Nasir selaku Penyelia

Operasional PT.BTN (Persero) Cabang Syariah Makassar, berdasarkan

hubungan kerja telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan

melanggar prinsip kehati-hatian yang diatur dalam pasal 8 ayat (1) dan Pasal

29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.

2) Bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun secara

bersama-sama.

Muhammad Jusmin Dawi bin Semi berdasarkan tugas dan wewenang dalam

korporasi serta bertindak untuk dan atas nama PT. ARA berdasarkan anggaran

dasar, telah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama- sama dengan

Syarifuddin Ashari selaku Manager Operasional PT. ARA dan telah

memerintahkan Manager Marketing Andi Basri, Manager Keuangan beserta para

staf dan staf lepas untuk mencari nasabah fiktif terkait dengan perjanjian kerja

Page 17: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

17

sama pengadaan kendaraan bermotor pembiayaan multiguna PT. BTN (Persero)

Cabang Syariah Makassar.

Fakta-fakta hukum tersebut telah menunjukan bahwa unsur-unsur yang diperlukan

dalam Pasal 20 ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah terpenuhi.

Sehingga berdasarkan teori fungsional dan agregat maka actus reus dan mens rea dari

beberapa personel fungsional digabungkan sebagai actus reus dan mens rea korporasi.

Disamping itu, menurut Sutan Remy Sjahdeini yang mengemukakan ajaran gabungan

untuk pertanggungjawaban pidana korporasi dalam bukunya serta dalam kesaksiannya

sebagai ahli pada perkara putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm yang dijadikan

pertimbangan hakim dalam membebankan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam

kasus tersebut, Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan bahwa terdapat unsur dan syarat

untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, yakni:39

(1) Tindak pidana tersebut (baik dalam bentuk commission maupun ommission)

dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi yang di dalam struktur

organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi;

Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan pengertian directing mind dari korporasi

adalah personel yang memiliki posisi sebagai penentu kebijakan korporasi atau

memiliki kewenangan sah untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang

mengikat korporasi tanpa harus mendapatkan persetujuan dari atasannya.40

Perbuatan tersebut dilakukan oleh Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku

Direktur Utama PT. ARA yang dapat diidentifikasikan sebagai directing mind dari

PT. ARA yang memiliki kewenangan sah untuk melakukan atau tidak melakukan

perbuatan yang mengikat korporasi tanpa harus mendapat persetujuan dari

atasannya berdasarkan kewenangan yang telah diberikan dalam anggaran dasar

korporasi.

(2) Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi;

Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, PT. ARA bergerak di berbagai

bidang usaha salah satunya adalah usaha penjualan kendaraan bermotor yang

lebih dikenal dengan Showroom. PT. ARA adalah korporasi yang melakukan

perjanjian kerjasama pengadaan kendaraan bermotor dengan PT. BTN (Persero)

Cabang Syariah Makassar pada tahun 2005 hingga tahun 2008, dimana PT. ARA

sebagai penyedia kendaraan bermotor dan PT. BTN (Persero) Cabang Syariah

Makassar sebagai penyedia dana (pembiayaan).

39 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, 2006,

hal. 118-124. 40 Ibid.

Page 18: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

18

Seluruh rangkaian perbuatan Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur

Utama PT. ARA bersama- sama dengan Syarifuddin Ashari selaku Manager

Operasional PT. ARA dalam perkara ini adalah berkaitan dengan Permohonan

serta perjanjian kerjasama yang dilakukan antara PT. ARA dan PT. BTN (Persero)

Cabang Syariah Makassar. Bahwa dalam permohonan, penandatanganan, serta

pelaksanaan perjanjian kerjasama serta SOP tersebut dilakukan oleh Muhammad

Jusmin Dawi bin Semi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi dalam

kedudukannya sebagai direktur utama PT. ARA.

Dengan demikian, pengajuan nasabah fiktif serta tidak disetornya BPKB dan faktur

tersebut juga dilakukan oleh Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur

Utama PT. ARA dalam kedudukannya sebagai directing mind korporasi bersama-

sama dengan Syarifuddin Ashari selaku Manager Operasional PT. ARA dan

memerintahkan Manager Marketing berserta staffnya tersebut, pada dasarnya juga

dilakukan berdasarkan ruang lingkup serta maksud dan tujuan korporasi dalam

melaksanakan perjanjian kerjasama pengadaan kendaraan bermotor dan

pemenuhan SOP pembiayaan multiguna PT. BTN (Persero) cabang Syariah

Makassar.

(3) Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah dalam

rangka tugasnya dalam korporasi;

Analisis terhadap unsur dan syarat ketiga ini hampir mirip dengan analisis pada

unsur dan syarat pertama. Pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada

korporasi bilamana tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah

pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi. Maka berkaitan dengan

unsur dan syarat ketiga ini, Terdakwa bertindak selaku Direktur Utama PT. ARA

dalam rangka tugasnya dalam korporasi yakni sebagai pengambil kebijakan

(directing mind) dari korporasi sesuai dengan anggaran dasar, dimana Terdakwa

mempunyai kedudukan yang menentukan sehingga bisa dianggap sebagai

korporasinya itu sendiri.

(4) Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi

korporasi;

Sutan Remy Sjahdeini menegaskan bahwa unsur dan syarat ini mengandung

pengertian bahwa pertanggungjawaban atas dilakukannya tindak pidana tersebut

menjadi pertanggungjawaban korporasi hanya apabila personel yang melakukan

perbuatan tersebut sejak semula memiliki tujuan atau maksud agar tindak pidana

Page 19: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

19

tersebut memberikan manfaat bagi korporasi baik secara finansial maupun non-

finansial.41

Sedangkan menurut Hasbullah F. Sjawie, pengertian dengan maksud untuk

memberikan manfaat bagi korporasi, bukan berarti bahwa dalam hal ini pelaku

lahiriah yang melakukan perbuatan pidana tidak boleh memperoleh keuntungan

secara langsung dari perbuatannya. Sepanjang yang dilakukannya untuk

kepentingan dan memberikan manfaat bagi korporasi, maka meskipun dalam

melakukan tindak pidana tersebut pelaku juga memperoleh keuntungan pribadi,

akan tetapi tetap saja korporasi yang bersangkutan harus bertanggungjawab

secara pidana.42

Perbuatan Terdakwa Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur Utama

PT. ARA yang dilakukan secara melawan hukum menunjukkan bahwa perbuatan

Terdakwa telah memberikan manfaat baik secara finansial maupun non-finansial

kepada Korporasi. Hal ini dibuktikan dari alat bukti surat daftar kendaraan PT.

ARA tahun 2005 s/d tahun 2009 yang menunjukkan terdapat 9 (sembilan) unit

mobil nasabah yang sesuai identitas yang terdapat pada BTN Syariah namun

kenyataannya kendaraan yang dimaksud dikuasi oleh PT. ARA. Selain itu,

pencairan dana sebesar Rp.72.049.787.175,00 (tujuh puluh dua milyar empat

puluh sembilan juta tujuh ratus delapan puluh tujuh ribu seratus tujuh puluh lima

rupiah) untuk fasilitas pembiayaan multiguna 785 orang nasabah dilakukan

melalui Rekening Bank PT.ARA yang ada pada Bank BTN Syariah Cabang

Makassar, dimana Muhammad Jusmin Dawi bin Semi bertindak selaku Direktur

Utama PT. ARA pada kenyataannya memiliki kemampuan dan kapabilitas untuk

mengakses/melakukan transaksi perbankan dengan menggunakan nomor

rekening PT. ARA yang berada di BTN Kantor Cabang Syariah Makassar tersebut

dan selanjutnya menggunakan dana yang tertampung di dalam rekening PT. ARA

tersebut untuk membiayai kegiatan operasional dari PT. ARA.

(5) Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf

untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana;

Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, Terdakwa Muhammad Jusmin

Dawi bin Semi yang diidentifikasi sebagai directing mind dari PT. ARA tidak

memiliki alasan pembenar dan alasan pemaaf untuk dibebaskan dari

pertanggungjawaban pidana. Sehingga tidak adanya alasan pembenar dan alasan

pemaaf juga dapat diterapkan terhadap korporasi.

41 Ibid, hal. 120-121. 42 Hasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Tindak Pidana Korupsi,

2015, hal. 195.

Page 20: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

20

(6) Bagi tindak pidana yang mengharuskan adanya unsur perbuatan (actus reus) dan

unsur kesalahan (mens rea), kedua unsur tersebut tidak harus terdapat pada satu

orang saja;

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, orang yang melakukan Actus reus tidak perlu

harus memiliki sendiri mens rea yang menjadi dasar bagi tujuan dilakukannya

actus reus tersebut, asalkan dalam hal orang itu melakukan actus reus yang

dimaksud adalah menjalankan perintah atau suruhan orang lain yang memiliki

sikap kalbu yang menghendaki dilakukannya mens rea tersebut oleh orang yang

disuruh. Dengan gabungan antara actus reus yang dilakukan oleh pelaku yang

tidak memiliki mens rea dan mens rea yang dimiliki oleh orang yang

memerintahkan atau menyuruh actus reus itu dilakukan, maka secara gabungan

(agregasi) terpenuhilah unsur actus reus dan mens rea. Korporasi tetap harus

bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan karena terpenuhi syarat

adanya mens rea dan actus reus meskipun sebagai hasil agregasi (gabungan)

dari beberapa orang.43

Berdasarkan pertimbangan hakim terhadap unsur pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP

pada perkara aquo, menyatakan bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap

di persidangan, telah tampak adanya hubungan kerjasama yang dilakukan oleh

dua orang atau lebih yang telah mengakibatkan kerugian keuangan negara yang

tidak akan terjadi apabila tidak ada kerjasama Terdakwa Muhammad Jusmin Dawi

bin Semi selaku Direktur utama PT. ARA dan Abdurrachman Salama (Almarhum)

selaku Kepala Cabang BTN Syariah, sesuai perjanjian kerjasama Nomor:

05/PKS/KCS.MKSNI/2005 sebagai sarananya dengan adanya kerjasama

melaksanakan rencana mereka dan kerjasama itu telah demikian lengkap dan

sempurna. Terdakwa Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur Utama

PT. ARA sesuai keterangannya di hadapan persidangan menerangkan bahwa

dirinya memiliki saham sebesar 70% pada perusahaan PT. ARA, dimana dalam

kegiatan perusahaan tersebut dibantu oleh seorang Direktur Operasional yaitu

Syarifuddin Ashari, Manager Marketing Andi Basri serta Manager Keuangan yang

dibantu oleh beberapa staf dan staf lepas.

Dengan demikian, adanya mens rea serta actus reus dari Muhammad Jusmin

Dawi bin Semi selaku Direktur Utama PT. ARA yang merupakan “directing mind”

dari korporasi tersebut, serta beberapa Manager, staf dan staf lepas PT. ARA

yang melakukan perbuatan turut serta melakukan, maka secara gabungan

43 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hal. 121-122

Page 21: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

21

(agregasi) terpenuhilah unsur actus reus dan mens rea dari korporasi sehingga

dapat dibebani pertanggungjawaban pidana.

Meskipun pemidanaan dalam perkara Nomor 53/Pid.Sus/2012/PN.Makassar sudah

sesuai dengan teori tujuan pemidanaan serta memenuhi prinsip pengembalian kerugian

keuangan negara, namun pembebanan pertanggungjawaban pidana serta pemidanaan

tetap harus dilakukan terhadap korporasi sesuai dengan analisis penulis pada pembahasan

sebelumnya. Hal ini disebabkan karena tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam lingkup

korporasi adalah extraordinary crime yang membutuhkan extra ordinary measures. Sehingga

pembebanan pertanggungjawaban hanya kepada pengurus dirasa belum cukup dalam

memberikan efek jera kepada korporasi begitupun dalam mencegah kejahatan korporasi

lainnya.

Muladi dan Dwidja Priyatno menyatakan bahwa di berbagai negara menganut

“bipunishment provisions” dalam menuntut dan memidana korporasi. Bipunishment

Provisions ini berarti bahwa baik pelaku (pengurus) maupun korporasi itu sendiri dapat

dijadikan subjek pemidanaan.44 Sementara itu, yang menjadi persoalan adalah tidak semua

jenis sanksi pidana yang diatur dalam pasal 10 KUHP dapat diberlakukan kepada korporasi

sebagaimana halnya manusia alamiah (naturaljik persoon), seperti pidana mati, pidana

penjara, dan pidana kurungan. Hamzah Hatrik menyatakan bahwa jika korporasi menjadi

subjek hukum pidana, maka sanksi pidana yang dapat dijatuhkan bukan pidana penjara

melainkan pidana denda atau ganti kerugian beserta pidana tambahan yang lain.45

Ketentuan pemidanaan korporasi dalam tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 20

ayat (7) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa pidana pokok

yang dapat dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum

pidana ditambah 1/3.

Sehingga, jika korporasi dalam kasus ini dapat dibebankan pertanggungjawaban

pidana sebagaimana analisis yang dilakukan oleh Penulis pada pembahasan sebelumnya,

maka korporasi dapat diberikan sanksi pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana

denda ditambah 1/3. Namun, berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat (7) UU Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi tersebut masih terdapat permasalahan dalam hal pidana denda yang

dijatuhkan kepada korporasi, karena jika korporasi tidak dapat membayar denda sesuai

sanksi pidana yang dijatuhkan, maka pidana denda terhadap korporasi tersebut tidak dapat

disertai dengan pidana kurungan pengganti sesuai dengan pasal 10 angka (3) KUHP yakni

pidana kurungan. Karena, pidana kurungan adalah pidana badan yang tidak mungkin

diterapkan kepada korporasi.

44 Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit., Hal. 143 45 Hamzah Hatrik dalam Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2002, hal. 37.

Page 22: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

22

Meskipun demikian, dimungkinkan pula penjatuhan pidana tambahan terhadap

korporasi sesuai dengan ketentuan pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi yakni:

(1) Selain pidana tambahan sebagaimana yang dimaksud dalam Kitab- undang- undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah : a. Perampasan benda bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau

barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau diperoleh dari tindak pidana korupsi termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula barang yang menggantikan barang-barang tersebut;

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak- hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Dengan demikian, jika model pertanggungjawaban pidana korporasi yang diterapkan

adalah pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada pengurus dan korporasi, apabila

pemidanaan yang diberikan kepada pengurus adalah pembayaran uang pengganti sebesar

yang diperoleh oleh pengurus, maka korporasi akan dibebankan pidana tambahan

pembayaran uang pengganti sebesar yang diperoleh oleh korporasi diluar dari yang

diperoleh oleh pengurus sehingga akan saling menutupi kerugian keuangan negara dan

tujuan pengembalian kerugian keuangan negara akan tercapai

Dalam perkara aquo, tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Terdakwa Muhammad

Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur utama PT. ARA yang merupakan directing mind dari

korporasi menyebabkan korporasi memperoleh penambahan harta kekayaan yakni terdapat

9 (sembilan) unit mobil yang seharusnya diberikan kepada nasabah fiktif, berada dalam

penguasaan PT. ARA selaku perusahaan yang mengadakan kendaraan bermotor tersebut.

Sehingga, jika pertanggungjawaban pidana juga dibebankan kepada korporasi dalam

hal ini PT. ARA, maka sanksi pidana pokok yang dapat diterapkan adalah pidana denda

ditambah 1/3 dan dapat pula dilterapkan pidana tambahan berdasarkan pasal 18 UU

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni Perampasan 9 (sembilan) unit mobil tersebut.

Penjatuhan sanksi pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian korporasi

juga dimungkinkan dapat diterapkan.

Page 23: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

23

2. Kasus Korupsi Pendistribusian Minyak Goreng Bulog yang Melibatkan Koperasi

Distribusi Indonesia (KDI) (Putusan Mahkamah Agung Nomor No. 1384

K/Pid/2005)

a. Resume Putusan

1) Tentang Terdakwa

Dalam putusan ini, yang menjadi Terdakwa adalah sebagai berikut:

Nama : Drs. H.A.M. Nurdin Halid;

Tempat Lahir : Bone;

Umur/Tanggal Lahir : 46 tahun/17 November 1958;

Jenis Kelamin : Laki-Laki;

Kebangsaan : Indonesia;

Tempat Tinggal : Bukit Raflesia Blok 2/10, Cibubur, Jawa

Barat ;

Jln. Tanjung Barat Persada

Rt.002/05,Kelurahan Tanjung Barat,

Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan ;

Agama : Islam;

Pekerjaan : Ketua Umum Koperasi Distribusi Indonesia

(KDI).

2) Kasus Posisi

Pada tanggal 25 Agustus 1998, bertempat di Kantor Koperasi Distribusi Indonesia

Terdakwa telah menandatangani Surat Keputusan Pengurus KDI Nomor : 001/KDI/SK-

Pengurus/VIII/1998 tentang Pengangkatan Direktur Utama KDI yaitu Sdr. Fauzan Mansur

(almarhum) untuk melaksanakan usaha KDI dan mengantisipasi pengalihan peranan Badan

Urusan Logistik (Bulog) kepada KDI.

Untuk membahas pengalihan pendistribusian minyak goreng dari Bulog ke KDI, maka

pada tanggal 2 September 1998 Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri

(Menko Ekuin) melaksanakan Rapat Koordinasi Terbatas Bidang Ekonomi Keuangan

Industri yang dipimpin oleh Menko Ekuin dan dihadiri antara lain Menteri Koperasi

Pengusaha Kecil dan Menengah, Menteri Perindustrian dan Perdagangan

(Menperrindag)/Kepala Badan Urusan Logistik, Asisten IV Menko Ekuin, Dirjen Perdagangan

Dalam Negeri Departeman Perindustrian dan Perdagangan serta Dirjen Pembinaan

Pengusaha Kecil Departeman Koperasi.

Untuk menindaklanjuti Rakortas Ekuin tersebut, telah ditandatangani Perjanjian

Kerjasama antara Badan Urusan Logistik yang diwakili oleh Ir. H. Mulyono, MBA dengan

Koperasi Distribusi Indonesia yang diwakili oleh Fauzan Mansur (almarhum) Nomor:

Page 24: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

24

PKK.977A/09/1998 tanggal 17 September 1998 tentang Penyediaan dana guna pengadaan

minyak goreng bagi Koperasi Distribusi Indonesia dan Perjanjian Pengalihan Distribusi

Minyak Goreng No.PKK-977B/09/1998 tanggal 17 September 1998 kemudian di addendum

dengan perjanjian No.PKK-1130/10/1998 tanggal 30 Oktober 1998.

Seharusnya sesuai dengan ketentuan hasil Keputusan Rapat Koordinasi Terbatas

Bidang Ekuin tanggal 2 September 1998 antara lain diputuskan hasil penjualan minyak

goreng masuk rekening KDI dan dibayarkan ke Bulog paling lambat satu minggu kemudian

dan sesuai ketentuan Pasal 2 Perjanjian Kerjasama antara Bulog dengan KDI Nomor

PKK.977A/09/1998 tanggal 17 September 1998.

Namun kenyataannya ketentuan-ketentuan tersebut tidak dilaksanakan Terdakwa,

karena sampai dengan tanggal 31 Desember 1998, KDI tidak menyetorkan uang hasil

penjualan minyak goreng sejumlah Rp.169.710.699.839,- (seratus enam puluh sembilan

milyar tujuh ratus sepuluh juta enam ratus sembilan puluh sembilan ribu delapan ratus tiga

puluh sembilan rupiah).

Seharusnya sampai dengan tanggal 31 Desember 1998 jumlah hasil penjualan minyak

goreng oleh KDI sejumlah Rp.299.016.245.070,- (dua ratus sembilan puluh sembilan milyar

enam belas juta dua ratus empat puluh lima ribu tujuh puluh rupiah), sedangkan yang harus

disetor KDI kepada Bulog sejumlah Rp.284.485.176.490,- (dua ratus delapan puluh empat

milyar empat ratus delapan puluh lima juta seratus tujuh puluh enam ribu empat ratus

sembilan puluh rupiah) namun sampai dengan tanggal 12 November 1998 KDI hanya

menyetor ke Bulog dana hasil penjualan minyak goreng sejumlah Rp.114.774.476.651

(seratus empat belas milyar tujuh ratus tujuh puluh empat juta empat ratus tujuh puluh enam

ribu enam ratus lima puluh satu rupiah) sehingga jumlah hasil penjualan minyak goreng yang

tidak disetor ke Bulog sejumlah Rp.169.710.699.839,- (seratus enam puluh sembilan milyar

tujuh ratus sepuluh juta enam ratus sembilan puluh sembilan ribu delapan ratus tiga puluh

sembilan rupiah).

Seharusnya sesuai dengan ketentuan hasil Keputusan Rapat Koordinasi Terbatas

Bidang Ekuin tanggal 2 September 1998 dan sesuai ketentuan Pasal 2 Perjanjian

Kerjasama antara Bulog dengan KDI Nomor: PKK.977A/09/1998 tanggal 17 September

1998, uang hasil penjualan minyak goreng sejumlah Rp.169.710.699.839,- (seratus enam

puluh sembilan milyar tujuh ratus sepuluh juta enam ratus sembilan puluh sembilan ribu

delapan ratus tiga puluh sembilan rupiah) harus disetor oleh KDI ke rekening Bulog di Bank

Bukopin, akan tetapi Terdakwa telah mengambil kebijakan untuk tidak menyetor ke Bulog

sebagaimana kebijakan yang diambil Terdakwa selaku Ketua Umum KDI dalam Rapat

Pengurus, Pengawas dan Direksi KDI tanggal 24 Desember 1998 bertempat di Graha Induk

KUD Jl. Warung Buncit Raya No.18-20 Jakarta Selatan, dihadiri oleh Pengurus (Drs. H.A.M.

Nurdin Halid, Dewi Motik Pramono, Y.W. Kussoy, Husin Tanjung, D.P. Budiarthi Najib),

Page 25: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

25

Pengawas (Bambang Murdjiono, Soekijatno, Amedio Mishar) dan Direksi (John Ramses,

Sigit Pramono, Joko Urip Santoso, dan Fauzan Mansur alm.) yang antara lain sesuai

Notulen Rapat butir 4 “Ketua Umum mengambil langkah kebijaksanaan agar Direksi KDI

tidak lagi melakukan penyetoran dana hasil penjualan minyak goreng kepada Bulog,

sedangkan terhadap stok minyak goreng ex Bulog yang masih bisa dijual segera bisa dijual,

sehingga uangnya bisa digunakan untuk modal kerja KDI”.

Bahwa uang hasil penjualan minyak goreng sejumlah Rp.169.710.699.839,- (seratus

enam puluh sembilan milyar tujuh ratus sepuluh juta enam ratus sembilan puluh sembilan

ribu delapan ratus tiga puluh sembilan rupiah) yang tidak disetor ke Bulog telah

dipergunakan Terdakwa dan pengurus lainnya yaitu Dewi Motik Pramono, Y.W. Kussoy,

D.P. Budiarthi Najib, Husin Tanjung, dan Amedio Mishar serta Direksi KDI secara

menyimpang dari penggunaannya, yaitu telah dipergunakan untuk didepositokan pada

rekening KDI, dipergunakan untuk pembelian gula pasir, disimpan pada simpanan berjangka

atas nama KDI di INKUD.

3) Dakwaan

a) Primair: Bahwa ia Terdakwa Drs. H.A.M. NURDIN HALID baik selaku pribadi

ataupun selaku Pengurus/Ketua Umum Koperasi Distribusi Indonesia (KDI) telah

melakukan atau menyuruh melakukan dengan pengurus KDI lainnya yaitu : 1.

DEWI MOTIK PRAMONO, 2. Y.W. KUSSOY, 3. HUSIN TANJUNG, 4. D.P.

BUDIARTHI NAJIB dan Direksi KDI yaitu : 5. SIGIT PRAMONO, 6. AMEDIO

MISHAR, 7. JOHN RAMSES, 8. JOKO URIP SANTOSO, 9. IRSAN AMIR (nomor :

1 sampai dengan 9 masing-masing dalam perkara terpisah) dan FAUZAN MANSUR

(almarhum) pada sekitar bulan September 1998 sampai dengan bulan Agustus

1999 atau setidak-tidaknya pada waktu lain antara tahun 1998 sampai dengan

tanggal 15 Agustus 1999, bertempat di Kantor Bulog Jl. Gatot Surbroto, Jakarta

Selatan atau di Kantor Koperasi Distribusi Indonesia (KDI) Jl. Warung Buncit No.18-

20 Pejaten, Jakarta Selatan atau setidak-tidaknya pada tempat lain dalam daerah

hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, atau setidak-tidaknya Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan berwenang memeriksa dan mengadili telah melakukan beberapa

perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa, sehingga harus dipandang

sebagai satu perbuatan berlanjut, secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan yang secara langsung

atau tidak langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara

atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan

keuangan Negara atau perekonomian Negara. Perbuatan Terdakwa melanggar

Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-Undang No.3 Tahun 1971

Page 26: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

26

jo Pasal 43 A Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun

2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

b) Subsidair: Bahwa ia Terdakwa Drs. H.A.M. NURDIN HALID baik selaku pribadi

ataupun selaku Pengurus/Ketua Umum Koperasi Distribusi Indonesia (KDI) yang

diangkat berdasarkan Rapat Pembentukan KDI tanggal 12 Agustus 1998 telah

melakukan atau turut melakukan atau menyuruh melakukan dengan Pengurus KDI

lainnya yaitu : 1. DEWI MOTIK PRAMONO, 2.Y.W. KUSSOY, 3.HUSIN TANJUNG,

4. D.P. BUDIARTHI NAJIB dan Direksi KDI yaitu : 5. SIGIT PRAMONO, 6. AMEDIO

MISHAR, 7. JOHN RAMSES, 8. JOKO URIP SANTOSO, 9. IRSAN AMIR (nomor :

1 sampai dengan 9 masing-masing dalam perkara terpisah) dan FAUZAN MANSUR

(almarhum) pada sekitar bulan September 1998 sampai dengan bulan Agustus

1999 atau setidak-tidaknya pada waktu lain antara tahun 1998 sampai dengan

tanggal 15 Agustus 1999, bertempat di Kantor Bulog Jl. Gatot Subroto Jakarta

Selatan atau di Kantor Koperasi Distribusi Indonesia (KDI) Jl. Warung Buncit No.18-

20 Pejaten, Jakarta Selatan atau setidak-tidaknya pada tempat lain dalam daerah

hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, atau setidak-tidaknya Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan berwenang memeriksa dan mengadili telah melakukan beberapa

perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa, sehingga harus dipandang

sebagai satu perbuatan berlanjut, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau

orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau

sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secara langsung

atau tidak langsung merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

Perbuatan Terdakwa melanggar Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c

Undang-Undang No.3 Tahun 1971 jo Pasal 43 A Undang-Undang No.31 Tahun

1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64

ayat (1) KUHP.

4) Putusan

Dalam kasus ini, Majelis Hakim Mahkamah Agung memutuskan mengadili atas

permohonan kasasi Penuntut Umum sebagai berikut:

a) Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: JAKSA/PENUNTUT

UMUM pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tersebut;

b) Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor

2111/Pid.B/2004/PN.Jkt.Sel tanggal 16 Juni 2005.

Selanjutnya mengadili terdakwa:

Page 27: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

27

a) Menyatakan Terdakwa Drs. H.A.M. NURDIN HALID terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Korupsi”;

b) Menghukum Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2

(dua) tahun;

c) Menghukum Terdakwa dengan pidana denda sejumlah Rp.30.000.000,- (tiga

puluh juta rupiah), subsidair 6 (enam) bulan kurungan;

d) Menetapkan barang bukti berupa Foto copy yang dilegalisir dokumen-dokumen

yang disita dan dijadikan barang bukti sebagaimana tersebut dalam Daftar Barang

Bukti tetap dilampirkan dalam berkas perkara;

e) Membebankan kepada Terdakwa membayar biaya perkara dalam semua tingkat

peradilan, yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus

rupiah).

b. Analisa

Kasus korupsi pendistribusian minyak goreng yang melibatkan KDI sebagai badan

hukum yang berbentuk koperasi, pada dasarnya hampir sama dengan contoh kasus

sebelumnya, hanya saja dalam kasus KDI ini, tidak terjadi pemufakatan jahat diantara KDI

selaku pengguna dana dan pihak yang bertanggung jawab mendistribusikan minyak goreng

dengan Bulog selaku penyedia dana pengadaan minyak goreng bagi KDI. Pemufakatan

jahat terjadi di internal KDI yaitu dijajaran pengurus KDI berdasarkan arahan dan ketetapan

dari Terdakwa selaku Ketua Umum KDI.

Terdakwa selaku Ketua Umum KDI tersebut bersama-sama dengan pengurus KDI

lainnya (berkas perkara terpisah) yang melakukan tindak pidana korupsi, menunjukan bahwa

KDI sebagai korporasi juga dapat menjadi subjek hukum yang dapat dikenakan pertanggung

jawaban pidana. Berdasarkan pasal 20 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

jika tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan

penjatuhan pidana terhadap korporasi bersifat kumulatif-alternatif yang berarti bahwa

pertanggungjawaban pidana dapat diberlakukan kepada : 1) pengurus ; 2) korporasi ; atau

3) pengurus dan korporasi.

Tindakan Terdakwa bersama dengan jajaran pengurus KDI, melalui Rapat Pengurus,

Pengawas dan Direksi KDI tanggal 24 Desember 1998 yang mengambil kebijakan: “Ketua

Umum mengambil langkah kebijaksanaan agar Direksi KDI tidak lagi melakukan penyetoran

dana hasil penjualan minyak goreng kepada Bulog, sedangkan terhadap stok minyak goreng

Page 28: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

28

ex Bulog yang masih bisa dijual segera bisa dijual, sehingga uangnya bisa digunakan untuk

modal kerja KDI”; dalam hal ini merupakan kebijakan yang menjadi pokok perkara dalam

kasus ini, dimana melalui kebijakan tersebut akhirnya KDI tidak menyetorkan dana hasil

penjualan minyak goreng kepada Bulog yang merupakan kewajiban KDI, dapat dipandang

sebagai kebijakan yang melawan hukum.

Terkait dengan hal tersebut, mengutip pendapat saksi ahli yang dihadirkan dalam

persidangan Tingkat I di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Shaleh Thaher, SH, MCD,

“kebijakan tersebut adalah menjadi kebijakan organisasi dalam hal ini KDI, bukan dipandang

sebagai kebijakan Terdakwa”. Oleh karena itu, pada dasarnya dalam kasus ini korporasi

bersama-sama dengan Terdakwa dan jajaran pengurus lainnya yang terlibat dalam

pengambilan keputusan tersbeut, merupakan subjek hukum yang dapat dikenakan

pertanggung jawaban pidana.

Jika diuraikan lebih lanjut, berdasarkan kepada Pasal 20 ayat (2) UU Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi yang mengatur bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi

apabila tindak pidana tersebut:

1) Dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun

berdasarkan hubungan lain;

Dalam perkara aquo Terdakwa selaku Ketua Umum KDI dalam Rapat Pengurus,

Pengawas dan Direksi KDI tanggal 24 Desember 1998 bertempat di Graha Induk

KUD Jl. Warung Buncit Raya No.18-20 Jakarta Selatan, dihadiri oleh Pengurus

(Drs. H.A.M. Nurdin Halid, Dewi Motik Pramono, Y.W. Kussoy, Husin Tanjung,

D.P. Budiarthi Najib), Pengawas (Bambang Murdjiono, Soekijatno, Amedio

Mishar) dan Direksi (John Ramses, Sigit Pramono, Joko Urip Santoso, dan

Fauzan Mansur alm.) yang antara lain sesuai Notulen Rapat butir 4 “Ketua Umum

mengambil langkah kebijaksanaan agar Direksi KDI tidak lagi melakukan

penyetoran dana hasil penjualan minyak goreng kepada Bulog, sedangkan

terhadap stok minyak goreng ex Bulog yang masih bisa dijual segera bisa dijual,

sehingga uangnya bisa digunakan untuk modal kerja KDI”.

2) Bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun secara

bersama-sama.

Bahwa uang hasil penjualan minyak goreng sejumlah Rp.169.710.699.839,-

(seratus enam puluh sembilan milyar tujuh ratus sepuluh juta enam ratus

sembilan puluh sembilan ribu delapan ratus tiga puluh sembilan rupiah) yang

tidak disetor ke Bulog telah dipergunakan Terdakwa dan pengurus lainnya

yaitu Dewi Motik Pramono, Y.W. Kussoy, D.P. Budiarthi Najib, Husin Tanjung,

dan Amedio Mishar serta Direksi KDI secara menyimpang dari

penggunaannya, yaitu telah dipergunakan untuk didepositokan pada rekening

Page 29: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

29

KDI, dipergunakan untuk pembelian gula pasir, disimpan pada simpanan

berjangka atas nama KDI di INKUD.

Terdakwa selaku Ketua Umum KDI bersama pengurus lainnya sebagaimana

tersebut di atas telah menandatangani Surat Kuasa tanggal 7 Desember 1998

untuk membuka rekening di Bank Nusa Nasional cabang Kemang Jakarta

Selatan, selanjutnya rekening tersebut digunakan oleh Direksi KDI Fauzan

Mansur (almarhum) dan Irsan Amir untuk mentransfer dana hasil penjualan

minyak goreng sejumlah Rp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) pada

tanggal 3 Juni 1999 dari rekening operasional KDI di Bank Bukopin MT.

Haryono, selanjutnya dana di Bank Nusa Nasional tersebut didepositokan

sejumlah Rp.6.000.000.000,- (enam milyar rupiah) dan pada saat jatuh tempo

Direksi KDI Fauzan Mansur (almarhum) dan Irsan Amir meminta Pimpinan

Bank Nusa Nasional dengan Surat No.2085/Direk-KDI/VI/1999 tanggal 28

Juni 1999 untuk mencairkan pokok (Rp.6.000.000.000,-) di transfer ke

rekening Standard Chartered Bank Cabang Jakarta Treasury Division Att.

Bapak Hendi/Indra IBG, sedangkan bunga ditransfer ke rekening

No.101.1082.013 atas nama KDI bunga Deposito pada Bank Bukopin MT.

Haryono Jakarta.

Mengacu kepada fakta-fakta hukum tersebut, maka unsur-unsur yang diperlukan

dalam Pasal 20 ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di atas telah terpenuhi.

Fak-fakta hukum tersebut juga dapat memenuhi unsur-unsur yang ada dalam ketentuan

Pasal 15 ayat (2) UU Tindak Pidana Ekonomi yang menyatakan:

“Suatu tindak pidana ekonomi dilakukan juga oleh suatu atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang, atau suatu yayasan, jika tindakan dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu tidak peduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri melakukan tindak pidana ekonomi itu atau pada mereka bersama-sama ada anasir-anasir tindak pidana tersebut.”

Dalam pasal tersebut, terdapat batasan atau ukuran kapan suatu korporasi dalam

dikenakan pertanggungjawaban pidana, yakni suatu perbuatan yang dilakukan 1)

berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain; 2) berdasarkan bertindak dalam

lingkungan badan hukum.

Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan bahwa sistem pertanggungjawaban pidana

dimana pengurus dan korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang

Page 30: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

30

harus memikul pertanggungjawaban pidana merupakan sistem pertanggung jawaban pidana

korporasi yang sangat pantas diberlakukan. Terdapat beberapa alasan, yaitu:46

1) Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka

menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian karena

pengurus dalam melakukan perbuatannya itu adalah untuk dan atas nama

korporasi serta dimaksudkan untuk memberikan keuntungan atau

menghindarkan/mengurangi kerugian finansial bagi korporasi;

2) Apabila yang dibebani pertanggungjawaban pidana hanya korporai sedangkan

pengurus tidak harus memikul tanggung jawabn, maka sistem ini akan dapat

memungkinkan pengurus berlindung di balik punggung korporasi dan akan

berdalih bahwa perbuatannya bukan merupakan perbuatan pribadi dan bukan

untuk kepentingan pribadi, tetapi perbuatannya dilakukan untuk dan atas nama

korporasi dan untuk kepentingan korporasi;

3) Pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi hanya mungkin dilakukan

secara vikarius, atau bukan langsung (doctrine of vicarious liability). Menurut

ajaran ini, untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada

korporasi harus terlebih dahulu dapat membuktikan bahwa tindak pidana tersebut

benar dilakukan oleh pengurus dan pengurus benar bersalah, kemudian jika

terbutkti barulah pertanggungjawaban pidana itu dapat dibebankan secara vikarius

kepada korporasi. Hal ini dapat menimbulkan kemungkinan lain bahwa manusia

pelakunya (pengurus korporasi) yang harus memikul pertanggungjawaban pidana

sedangkan korporasinya bebas (tidak harus bertanggungjawab).

Dalam hal pemidanaan yang dijatuhkan kepada Terdakwa selaku Ketua Umum KDI,

penulis berpandangan bahwa pidana yang dibebankan kepada Terdakwa baik itu

berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan maupun putusan Mahkamah

Agung RI, belum memenuhi tujuan pemidanaan dalam hal pengembalian kerugian negara.

Denda yang dibebankan kepada Terdakwa sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah)

sangat jauh dari kerugian yang dialami negara yaitu sebesar Rp.169.710.699.839,- (seratus

enam puluh sembilan milyar tujuh ratus sepuluh juta enam ratus sembilan puluh sembilan

ribu delapan ratus tiga puluh sembilan rupiah). Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

maupun Putusan Mahkamah Agung RI juga tidak menyatakan adanya penyitaan terhadap

aset-aset KDI, baik dalam bentuk barang maupun uang (deposito) dalam rangka

mengembalikan kerugian negara tersebut.

Oleh karena itu, dalam rangka mengembalikan kerugian negara akibat kasus ini,

sangatlah diperlukan untuk menjatuhkan pemidanaan terhadap korporasi, dalam hal ini

46 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 62

Page 31: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

31

adalah KDI. Menurut Tim Pengkaji Bidang Hukum Pidana Badan Pembinaan Hukum

Nasional dalam Laporan Hasil Pengkajian Bidang Hukum Pidana Tahun 1980/1981

menyatakan dasar pertimbangan pemidanaan korporasi ialah:47

“jika dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represi, terhadap delik- delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi, atau bahwa keuntungan yang didapat diterima korporasi karena delik itu cukup besar atau kerugian yang ditimbulkan dalam masyarakat atau saingan-saingannya sangat berarti”.

Mengacu kepada UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimungkinkan pula

penjatuhan pidana tambahan terhadap korporasi sesuai dengan ketentuan pasal 18 ayat (1)

dan ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni:

(2) Selain pidana tambahan sebagaimana yang dimaksud dalam Kitab- undang- undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah : e. Perampasan benda bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau

barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau diperoleh dari tindak pidana korupsi termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula barang yang menggantikan barang-barang tersebut;

f. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

g. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;

h. Pencabutan seluruh atau sebagian hak- hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

(3) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Dengan demikian, jika model pertanggungjawaban pidana korporasi yang diterapkan

adalah pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada pengurus dan korporasi, apabila

pemidanaan yang diberikan kepada pengurus adalah pembayaran uang pengganti sebesar

yang diperoleh oleh pengurus, maka korporasi akan dibebankan pidana tambahan

pembayaran uang pengganti sebesar yang diperoleh oleh korporasi diluar dari yang

diperoleh oleh pengurus sehingga akan saling menutupi kerugian keuangan negara dan

tujuan pengembalian kerugian keuangan negara akan tercapai.

47 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Himpunan Laporan Hasil Pengkajian Bidang Hukum

Pidana Tahun 1980/1981, BPHN, Jakarta, 1985, hlm. 36 yang dikutip dalam Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit, hlm. 146.

Page 32: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

32

3. Kasus Korupsi PT. Giri Jaladhi Wana (PT. GJW) dalam Pembangunan Pasar Induk

Antasari di Banjarmasin Kalimantan Selatan (Putusan MA

No:936.K/Pid.Sus/2009.MA)

a) Resume Putusan

1) Terdakwa

Terdakwa dalam kasus ini adalah korporasi yaitu PT. Giri Jaladhi Wana (PT. GJW)

yang berkedudukan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

2) Kasus Posisi

Bahwa dalam melaksanakan pekerjaan pembangunan Pasar Sentra Antasari

Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana bekerjasama dengan PT. UE Sentosa sebagai

kontraktor pelaksana dengan surat perjanjian kerja No. 094/GJW/SPB/II/01 tanggal 1

Pebruari 2001 antara Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana dengan PT. UE Sentosa yang di

tanda tangani oleh ST. Widagdo selaku Dirut PT. Giri Jaladhi Wana dan Dominic Tan

selaku Presiden Direktur PT. UE Sentosa dengan nilai Rp.137.824.690.000,-(seratus

tiga puluh tujuh milyard delapan ratus dua puluh empat juta enam ratus sembilan puluh

ribu rupiah), dengan sistem PT UE Sentosa melaksanakan pembangunan dan

membiayai pelaksanaan pembangunan tersebut dimana setiap kemajuan fisik proyek

sudah mencapai 30% maka Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana akan membayarnya.

Bahwa Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana dalam melaksanakan Pembangunan dan

Pengelolaan Pasar Induk Sentra Antasari telah melakukan perbuatan melawan hukum

dengan melakukan penyimpangan-penyimpangan sebagai berikut:

Dalam Pasal 3 Perjanjian kerjasama Nomor 664/I/548/Prog ; Nomor

003/GJW/VII/1998 tanggal 14 Juli 1998 tentang kontrak bagi tempat usaha yang

diijinkan Pemerintah Kota Banjarmasin dalam rangka pembangunan Pasar Induk

Antasari Kotamadya Banjarmasin dan addendumnya menyatakan PT. Giri Jaladhi

Wana berkewajiban membangun Pasar Induk Antasari dan fasilitas penunjangnya

hanya sejumlah 5.145 unit tetapi Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana secara

melawan hukum yaitu tanpa persetujuan DPRD Kota Banjarmasin telah

membangun 6.045 unit terdiri dari toko, kios, los, lapak dan warung, sehingga

terjadi penambahan 900 unit bangunan. Penambahan 900 unit tersebut di jual

dengan harga sebesar Rp. 16.691.713.166.- (enam belas milyar enam ratus

sembilan puluh satu juta tujuh ratus tiga belas ribu seratus enam puluh enam

rupiah), dan hasil penjualan tersebut tidak disetorkan ke kas daerah Kota

Banjarmasin.

Page 33: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

33

Berdasarkan Addendum Perjanjian Kerja sama Nomor 664/ I/548 /Prog ; Nomor

003/GJW/VII/1998, tanggal 15 Agustus 2000 Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana

mempunyai kewajiban kepada Pemerintah Kota Banjarmasin untuk membayar

retribusi sebesar Rp.500.000.000,- (limaratus juta rupiah); membayar penggantian

uang sewa Rp.2.500.000.000.- (Dua milyar lima ratus juta rupiah) dan membayar

pelunasan kredit Inpres Pasar Antasari Rp.3.750.000.000.- ( tiga milyar tujuh ratus

lima puluh juta rupiah), jumlah keseluruhan yang harus dibayar

Rp.6.750.000.000.- (enam milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah), tetapi

Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana hanya membayar sebesar Rp.1.000.000 .000.-,

(satu milyar rupiah), sehingga masih terdapat kekurangan sebesar

Rp. 5.750.000 .000.- (lima milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) yang

seharusnya disetor ke kas Pemerintah Kota Banjarmasin, namun Terdakwa PT.

Giri Jaladhi Wana sengaja tidak membayar uang tersebut dimana Terdakwa PT.

Giri Jaladhi Wana melalui ST.Widagdo memberikan keterangan yang tidak benar

dengan menyatakan kepada Pemerintah Kota Banjarmasin seolah-olah

pembangunan Pasar Sentra Antasari belum selesai, padahal sesuai keterangan Ir.

Wahid Udin, MBA. Projek Manajer Pembangunan Pasar Sentra Antasari dan

laporancomplet i on report PT. Satya Graha Tara (Konsultan Pengawas Proyek

Antasari yang diminta Bank Mandiri),melaporkan per September 2004

pembangunan Pasar Sentra Antasari selesai 100% dan per Oktober 2004

mempunyai surplus Rp. 64.579.000.000.- (enam puluh empat milyar lima ratus

tujuh puluh sembilan juta rupiah ) dari hasil penjualan toko, kios dan los sertawaru.

Selain telah mendapatkan surplus Rp. 64.579.000.000,-(enam puluh empat milyar

lima ratus tujuh puluh sembilan juta rupiah), Terdakwa PT.\Giri Jaladhi Wana

dengan menggunakan asset Pemerintah Kota Banjarmasinberupa tanah dan

bangunan pasar tersebut untuk jaminan mendapatkan Kredit Modal Kerja (KMK)

dari Bank Mandiri sebesar Rp.100.000.000.000.- (seratus milyar rupiah) dengan

agunan seluruh bangunan Pasar Sentra Antasari milik Pemerintah Kota

Banjarmasin, namun meskipun sudah mendapatkan uang sebesar

Rp.164.579.000.000,- (seratus enam puluh empat milyar lima ratus tujuh puluh

sembilan juta rupiah) yang terdiri dari uang Rp.64.579.000.000,- (enam puluh

empat milyar lima ratus tujuh puluh sembilan juta rupiah) dan

Rp.100.000.000.000,-, (seratus milyar rupiah) ternyata Terdakwa PT. Giri Jaladhi

Wana tidak membayar sebesar Rp. 5.750.000.000.- (lima milyar tujuh ratus lima

puluh juta rupiah).

Page 34: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

34

Bahwa pembangunan Pasar Induk Sentra Antasari yang seharusnya selesai pada

bulan Desember 2002 namun prestasi fisiknya atau proyeknya sampai dengan bulan

Agustus 2002 baru mencapai 36% dan hutang Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana kepada

kontraktor pelaksana yaitu PT. UE Sentosa yang belum dibayar telah mencapai Rp.

24.000.000.000,- (dua puluh empat milyar rupiah), sehingga pihak kontraktor mendesak

kepada Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana untuk segera menyelesaikan hutangnya. Di sisi lain

pihak Pemerintah Kota Banjarmasin selaku pemilik proyek meminta Terdakwa PT. Giri

Jaladhi Wana segera menyelesaikan proyek pembangunan Pasar Induk Sentra Antasari

tersebut karena pusat perbelanjaan tersebut merupakan proyek strategis yang memiliki

dampak sosial tinggi.

3) Dakwaan

a. Primair: Bahwa Terdakwa PT.Giri Jaladhi Wana (PT. GJW) selaku korporasi dalam

kerjasama kontrak bagi tempat usaha untuk pembangunan Pasar induk Antasari

berdasarkan surat perjanjian kerjasama Nomor 664/I/548/Prog;

Nomor003/GJW/VII/1998tanggal14 Juli 1998 antara Walikota madya Banjarmasin

(pihak ke satu) dengan Terdakwa PT. Giri jaladhi Wana (pihak kedua), pada waktu

antara tahun 1998 sampai dengan tahun 2008 bertempat diKantor Walikota

Banjarmasin Jalan RE Martadinata No.1 Banjarmasin dan diPasar Sentra Antasari

jalan Pangeran Antasari Banjarmasin atau setidak tidaknya disuatu tempat dalam

daerah hukum Pengadilan Negeri Banjarrnasin, telah melakukan beberapa

perbuatan yang masing-masing merupakan kejahatan yang ada hubungannya

sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut

secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang

lain atau suatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Banjarrnasin, telah

melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan kejahatan yang

ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu

perbuatan berlanjut secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara. Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam

Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 jo. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang

Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 64

ayat (1) KUHPidana.

b. Subsidair: Bahwa Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana (PT. GJW) selaku korporasi

dalam kerjasama kontrak bagi tempat usaha untuk pembangunan Pasar Induk

Page 35: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

35

Antasari berdasarkan surat perjanjian kerjasama Nomor : 664/I/548/Prog; Nomor

003/GJW/VII/1998 tanggal 14 Juli 1998 antara Walikotamadya Banjarmasin (pihak

kesatu) dengan Terdakwa PT. Girijaladhi Wana (pihak kedua), pada waktu antara

tahun 1998 sampai dengan tahun 2008, bertempat di Kantor Walikota Banjarmasin

Jalan RE Martadinata No.1 Banjarmasin dan di Pasar Sentra Antasari jalan

Pangeran Antasari Banjarmasin atau setidak tidaknya di suatu tempat dalam

daerah hukum Pengadilan Negeri Banjarrnasin, telah melakukan beberapa

perbuatan yang masing-masing merupakan kejahatan yang ada

hubungannyasedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan

berlanjut secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri

atau orang lain atau suatu korporasiyang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara. Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 jo.

Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan di tambah dengan Undang-undang

Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 64 ayat (1)

KUHPidana.

4) Putusan

a) Menyatakan Terdakwa PT.Giri Jaladhi Wana tersebut diatas telah terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “KORUPSI SECARA

BERLANJUT”

b) Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana dengan pidana denda

sebesar Rp.1.317.782 .129,- (satu milyar tiga ratus tujuh belas juta tujuh ratus

delapan puluh dua ribu seratus dua puluh sembilan Rupiah).

c) Menjatuhkan pidana tambahan berupa Penutupan Sementara PT.GIRI JALADHI

WANA selama 6 (enam) bulan.

b) Analisa

Dalam kasus ini, PT. GJW sebagai sebuah korporasi menjadi subjek hukum pelaku

tindak pidana. Hal ini didasarkan kepada ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang

No. 31 Tahun 1999 mengatur secara tegas mengenai unsur-unsur pidana dari tindak pidana

korupsi dimaksud. Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, menyatakan sebagai

berikut:

“Setiap orang yang secara melawan Hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonoman negara.”

Page 36: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

36

Selanjutnya dalam Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999, menyatakan :

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

Mengacu kepada unsur-unsur dalam ketentuan Pasal 2 UU Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi diatas, maka fakta-fakta dalam persidangan yang dapat memenuhi unsur-

unsur dalam ketentuan pasal tersebut adalah sebagai berikut:

1) Setiap orang;

Pengertian “setiap orang” sebagaimana ketentuan pasal 1 angka 3 Undang-

Undang Nomor 31Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang

Tindak Pidana Korupsi adalah perorangan termasuk Korporasi, orang perorangan

adalah orang secara individu yang dalam KUHP di rumuskan dengan kata “barang

siapa‟, sedangkan Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang

terorganisasi baik berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum;

Sebagaimana pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.

Undang-UndangNomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi yaitu

dalam hal tindak pidana Korupsi di lakukan oleh atau atas nama suatu Korporasi

maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap Korporasi dan

atau Pengurusnya.

Terdakwa PT Giri Jaladhi Wana merupakan badan hukum, maka terdakwa dapat

dikategorikan sebagai korporasi menurut Undang-Undang RI No.31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah

dengan Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi

berdasarkan pertimbangan tersebut unsur pertama “setiap orang“ telah terpenuhi.

2) Secara melawan hukum;

Dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, telah terbukti benar bahwa

seluruh rangkaian perbuatan terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana dalam perkara ini

adalah berkaitan dengan pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama Nomor

664/I/548/Prog-Nomor 003/GJW/VI I/1998 tentang Kontrak Bagi Tempat Usaha

Dalam Rangka Pembangunan Pasar Induk Antasari Kota Banjarmasin dan surat

Walikota Banjarmasin Nomor 500/259/Ekobang/2004 tanggal 30 Mei 2004 tentang

Penunjukan Pengelolaan Sementara Sentra Antasari kepada terdakwa.

Dalam penandatanganan maupun pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama Nomor

664/ I / 548 /Prog -Nomor 003/GJW/VII/1998 tentang Kontrak Bagi Tempat Usaha

Dalam Rangka Pembangunan Pasar Induk Antasari Kota Banjarmasin dan surat

Page 37: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

37

Walikota Banjarmasin Nomor 500/259/Ekobang/2004 tanggal 30 Mei 2004 tentang

Penunjukan Pengelolaan Sementara Sentra Antasari kepada terdakwa tersebut

terdakwa telah diwakili oleh STEVANUS WIDAGDO bin SURAJI

SASTRODIWIRYO Direktur Utama PT. GIRI JALADHI WANA (PT. GJW) dan Drs.

TJIPTOMO selaku Direktur PT. GIRI JALADHI WANA (PT. GJW), dalam

kedudukannya sebagai direktur utama dan sebagai direktur tersebut keduanya

adalah directing mind pada PT. GIRI JALADHI WANA (PT. GJW).

Demikian juga dalam upaya untuk mendapatkan kucuran dana Kredit Modal Kerja

dari PT. Bank Mandiri, Tbk. yang diajukan oleh terdakwa. Dalam hal ini terdakwa

telah diwakili oleh STEVANUS WIDAGDO bin SURAJI SASTRODIWIRYO

Direktur Utama PT. GIRI JALADHI WANA (PT. GJW) dan Drs. TJIPTOMO selaku

Direktur PT. GIRI JALADHI WANA (PT. GJW), dalam kedudukannya sebagai

direktur utama dan sebagai direktur tersebut keduanya adalah directing mind pada

PT. GIRI JALADHI WANA (PT. GJW).

Sesuai anggaran dasar perusahaan PT. GIRI JALADHI WANA (PT. GJW)

bergerak bidang usaha : Perdagangan, Industri, Agrobisnis, Pengadaan Barang,

Jasa, Transportas, Pembangunan, Design Interior, maka Perjanjian Kerja Sama

Nomor664/I/548/Prog-Nomor 003/GJW/VII/1998 tentang Kontrak Bagi Tempat

Usaha Dalam Rangka Pembangunan Pasar Induk Antasari Kota Banjarmain dan

surat Walikota Banjarmasin Nomor 500/259/Ekobang/2004 tanggal 30 Mei 2004

tentang Penunjukan Pengelolaan Sementara Sentra Antasari kepada terdakwa

serta upaya terdakwa untuk mendapatkan kucuran dana Kredit Modal Kerja dari

PT. Bank Mandiri, Tbk., adalah masih dalam ruang lingkup bidang usaha terdakwa

tersebut;Bahwa benar atas kejadian tersebut STEVANUS WIDAGDO bin SURAJI

SASTRODIWIRYO selaku Direktur Utama PT. GIRI JALADHI WANA (PT. GJW)

telah dipidana berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin No. 908/Pid

.B/2008/PN.Bjm tanggal 18 Desember 2008 jo. Putusan Pengadilan Tinggi

Kalimantan Selatan No. 02/PID/SUS/2009/PT.Bjm. tanggal 25 Februari 2009 jo.

Putusan MahkamahAgung RI Nomor 936 K/Pid .Sus /2009 tangga l 25 Mei 2009.

Dari uraian diatas jelas bahwa Stepanus Widagdo selaku pengurus PT.Giri Jaladhi

Wana yang mewakili terdakwa PT Giri Jaladhi Wana adalah seseorang yang

memiliki posisi Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana yang melakukan perbuatan

tersebut dalam rangka maksud dan tujuan korporasi dan dengan maksud

memberikan manfaat atau keuntungan bagi korporasi dan perbuatan perbuatan

terdakwa tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan “melawan hukum”

(wederechtelijke) formil dan oleh karenanya maka unsur kedua “secara melawan

hukum“ telah terpenuhi.

Page 38: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

38

3) Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi;

Berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, khususnya

menyangkut adanya aliran dana dalam pelaksanaan Kontrak Bagi Tempat Usaha

Dalam Rangka Pembangunan Pasar Induk Antasari Kota Banjarmasin yang

menggunakan dana kucuran Kredit Modal Kerja dari PT.Bank Mandiri, Tbk. yang

diajukan oleh terdakwa PT Giri Jaladhi Wana dan penunjukkan terdakwa PT Giri

Jaladhi Wana untuk mengelola Pasar Sentra Antasari, telah dapat disimpulkan

adanya penambahan kekayaan terdakwa, pihak-pihak yang terlibat di dalamnya

maupun orang lain (Hasil Audit Kantor Akuntan Publik Paul Hadiwinata, Hidajat &

Rekan No.A/251/PC/D/03tanggal 26 September 2003) perihal laporan hasil

pemeriksaan penerimaan dan penggunaan dana PT. Giri Jaladhi Wana (terdakwa)

untuk periode 1 Januari 2000 s.d. 30 Juni 2003 terdapat penggunaan dana yang

berasal dari kredit PT.Bank Mandiri, Tbk. telah dipergunakan untuk kepentingan

lain dari terdakwa selain untuk pembiayaan pembangunan Pasar Sentra Antasari

sebesar Rp. 39.179.924.284,00 (Tiga puluh sembilan milyar seratus tujuh puluh

sembilan juta sembilan ratus dua puluh empat ribu dua ratus delapan puluh empat

Rupiah).

Bahwa demikian pula perbuatan terdakwa yang sejak ditunjuk untuk mengelola

Pasar Sentra Antasari berdasarkan Surat Walikota Nomor500/259/Ekobang/2004

tanggal 30 Mei 2004 s.d Desember 2007 sengaja tidak membayar uang

pengelolaan Pasar Sentra Antasari kepada kas daerah Pemerintah Kota

Banjarmasin dan memberikan keterangan yang tidak benar dengan mengatakan

kepada Pemerintah Kota Banjarmasin bahwa seolah-olah pengelolaan merugi,

padahal sesuai laporan keuangan pengelolaan pasar Sentra Antasari Banjarmasin

periode Juli 2004 s/d Desember 2007 terkumpul dana sebesar Rp.7.650.143,645,-

(Tujuh milyar enam ratus limapuluh juta seratus empat puluh tiga ribu enam ratus

empat puluh lima rupiah) dan sebelum pengelolaan Pasar Sentra Antasari

tersebut dilakukan oleh terdakwa PT Giri Jaladhi Wana dan pada saat itu masih

berbentuk pasar tradisional pemerintah Kota Banjarmasin menerima hasil retribusi

pasar lebih kurang Rp 800.000.000,- (Delapan ratus juta rupiah) setiap tahunnya,

sehingga oleh karenanya perbuatan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana tersebut telah

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Berdasarkan

pertimbangan tersebut unsur ketiga “melakukan perbuatan memperkaya diri

sendiri, orang lain dan suatu korporasi” telah terpenuhi.

4) Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

Page 39: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

39

Bahwa terdakwa PT Giri Jaladhi Wana juga tidak membayar retribusi, penggantian

uang sewa dan pelunasan Kredit Inpres Pasar Antasari sebagaimana telah

diperjanjikan, yang seluruhnya adalah sebesar Rp.5.750.000.000 ,00 (Lima milyar

tujuh ratus lima puluh juta Rupiah).

Bahwa terdakwa sejak ditunjuk untuk mengelola Pasar Sentra Antasari

berdasarkan Surat Walikota Nomor 500/259/Ekobang/2004 tanggal 30 Mei 2004

s.d. Desember 2007 sengaja tidak membayar uang pengelolaan Pasar Sentra

Antasari kepada kas daerah Pemerintah Kota Banjarmasin dan ST. Widagdo

memberikan keterangan yang tidak benar dengan mengatakan kepada

Pemerintah Kota Banjarmasin seolah-olah pengelolaan itu merugi, padahal sesuai

laporan keuangan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Banjarmasin dari periode

Juli 2004 s.d. Desember 2007 terkumpul dana sebesar Rp. 7.650.143 .645,00

(Tujuh milyar enam ratus lima puluh juta seratus empat puluh tiga ribu enam ratus

empat puluh lima Rupiah).

Bahwa akibat perbuatan Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana tersebut telah

merugikan keuangan Negara cq. Pemerintah Kota Banjarmasin sebesar

Rp.7.332.361.516,- (Tujuh milyar tiga ratus tiga puluh dua juta tiga ratus enam

puluh satu ribu lima ratus enam belas Rupiah) berdasarkan perhitungan BPKP

Perwakilan Provinsi Kalimantan Selatan No.S-1911/PW.16/5/2008 tanggal 19 Mei

2008 dan PT. Bank Mandiri, Tbk. sebesar Rp.199.536.064.675,65 (Seratus

sembilan puluh sembilan milyar Iima ratus tiga puluh enam juta enam puluh empat

ribu enam ratus tujuh puluh lima koma enam puluh lima Rupiah) atau setidak-

tidaknya sekitar jumlah tersebut.

Bahwa dalam hal ini selain telah nyata-nyata merugikan keuangan Negara, karena

perbuatan terdakwa tersebut berkaitan dengan pembangunan dan pengelolaan

sebuah pasar, dan dengan terungkapnya kasus ini kondisi Pasar Sentra Antasari

sekarang ini menjadi tidak jelas lagi, siapa pengelolanya, maka perbuatan

terdakwa juga berpotensi merugikan Perekonomian Negara. Berdasarkan

pertimbangan tersebut unsur keempat “dapat merugikan keuangan Negara dan

Perekonomian Negara” telah terpenuhi.

5) Unsur perbuatan berlanjut.

Untuk adanya perbuatan berlanjut dipersyaratkan harus timbul dari satu niat atau

kehendak dan perbuatan tersebut harus sejenis dan rentang waktunya tidak boleh

terlalu lama, Dari fakta hukum yang terungkap di persidangan, telah terbukti,

bahwa penyimpangan yang dilakukan terdakwa dalam perkara ini berlangsung

dari tahun 1998 hingga perkara ini diajukan ke persidangan, adalah dalam

rangkaian kontrak bagi tempat usaha dalam rangka pembangunan pasar induk

Page 40: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

40

Antasari Kotamadya Banjarmasin dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari.

Berdasarkan pertimbangan tersebut perbuatan terdakwa dapat dikategorikan

sebagai “perbuatan berlanjut”.

Putusan Hakim dalam menetapkan pidana bagi Terdakwa dilakukan dengan

memperhatikan asas “lex specialis derogat lex generalis”. Majelis Hakim berpendapat,

bahwa penuntut umum telah berhasil membuktikan dakwaannya dan Majelis Hakim juga

berpendapat bahwa tidak ada diperoleh suatu hal-hal apapun ataupun keadaan-keadaan

yang dapat dijadikan alasan pembenar maupun alasan pemaaf atas perbuatan terdakwa,

oleh karenanya terdakwa dinyatakan bersalah dan harus pula dijatuhi Hukuman yang

setimpal dengan kesalahannya berdasarkan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 jo. Pasal 20

Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Terkait dengan hal ini, jenis pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa, yaitu pidana

denda serta pidana tambahan sudah sesuai secara teori maupun berdasarkan ketentuan

hukum yang digunakan. Meskipun demikian, dalam pandangan penulis, jumlah denda yang

dibebankan kepada Terdakwa masih cukup kecil jika dibandingkan dengan kerugian yang

dialami oleh negara. Seharusnya dalam rangka mengganti kerugian negara, Hakim juga

dapat menjatuhkan pidana tambahan sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf b UU

Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan: “Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya

sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.”

Penjatuhan pidana tambahan tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pidana

tambahan lainnya yang sudah dijatuhkan Hakim, yaitu penutupan sementara PT. GJW.

Dengan demikian upaya untuk mengganti kerugian negara dapat terpenuhi.

D. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dan analisa kasus di atas, maka dapat disimpulkan

beberapa hal sebagai berikut:

1) Bahwa tindak pidana korupsi yang melibatkan korporasi sebagai subjek hukum

serta pihak-pihak yang ada didalamnya dan memiliki hubungan kerja sama dengan

korporasi tersebut, merupakan salah satu bagian dari tindak pidana ekonomi atau

kejahatan bisnis;

2) Kedudukan hukum korporasi dalam tindak pidana ekonomi, khususnya dalam

kasus korupsi, adalah subjek hukum yang dapat dikenakan pertanggung jawaban

pidana;

Page 41: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

41

3) Bentuk pertanggungjawaban pidana yang dapat dibebankan kepada korporasi

dalam kasus-kasus korupsi sebagai bagian dari tindak pidana ekonomi adalah

pidana denda dan pidana tambahan yang meliputi perampasan aset-aset korporasi

yang digunakan untuk atau diperoleh dari tindak pidana korupsi, pembayaran uang

pengganti sebesar harta benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi,

penutupan sebagian atau seluruh perusahaan, dan pencabutan seluruh atau

sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan

tertentu.

Page 42: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

42

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Ali Chidir, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 1999.

Andi Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi, Pradnya Paramita, 1993.

Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2008.

Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

Clarke, Michael, Business Crime: Its Nature and Control, Polity Press, 1990.

Dwidja Prayitno Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

di Indonesia, Penerbit CV. Utomo, Bandung, 2004.

Frank E. Hagan, Introduction to Criminology (Theories, Methods, and Criminal Behavior),

Nelson-Hall, Chicago, 1989.

GraboskY, Peter dan Barithwate, John., Of Manners Gentie : Enforcment Strategies of

Australian Bussines Agencies. Oxford Unive Press, 1986.

Hasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Tindak Pidana Korupsi,

2015.

Hoon Hian Teck et.al, Economics: Theory an Aplication, Singapore, Mc Hill Book Co,

Singapore, 1998.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2001.

Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan

Korporasi, PT.Sofmedia, Jakarta, 2010.

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.

Mochtar Kusumaadmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan

Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 2000.

Moejiatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1987.

Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Cet. Ke-1, Jakarta :

Kencana Prenada Media Group, 2010.

Paul A. Samuelson, Economic An Introductory Analysis, Mc Graw-Hill Book Company,USA,

1984.

Romli Atmasasmita, Hukum Kejahatan Bisnis: Teori & Praktik di Era Globalisasi, Jakarta:

Prenadamedia Group, 2014.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni 1986.

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986.

Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, 2006.

Page 43: Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis

43

Makalah, Jurnal, dan Karya Ilmiah:

Indriyanto Seno Adji, Tindak Pidana Ekonomi, Bisnis dan Korpusi Perbankan, Modul Kuliah

Kejahatan Bisnis, Tanpa Tahun.

Kartin S. Hulukati, Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Ekonomi Dengan Undang-undang

No. 7/DRT/1955, Universitas Diponegoro, 2003.

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan

Tindak Pidana Ekonomi.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31

tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Putusan Pengadilan:

Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 53/Pid.Sus/2012/PN.Makassar.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor No. 1384 K/Pid/2005.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 936.K/Pid.Sus/2009.MA.