Anak Manusia Korban Politik

download Anak Manusia Korban Politik

of 121

Transcript of Anak Manusia Korban Politik

  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    1/121

    1

    Anak Manusia Korban Politik

    Muhammad Dafiq Saib, St. Lembang Alam

  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    2/121

    2

    (1) Kawan LamaWednesday, 03 September 2008

    Marwan. Nama itu akhirnya muncul dari balik otak kecilku. Sudah berbulan-bulan aku mencoba

    mengingatnya. Nama pria di toko buku di komplek pertokoan Pasar Senen. Secara tidak sengajaaku bersirobok pandang dengannya kira-kira tiga bulan yang lalu. Alam bawah sadarku

    mengatakan bahwa aku kenal dengan orang ini. Dia duduk di belakang meja kasir ketika itu.

    Ketika aku membayar harga beberapa buah buku yang aku beli, dia mengembalikan uangkembalian tanpa berbicara banyak selain ucapan pendek terima kasih. Karena di belakangku ada

    antrian pembeli yang juga akan membayar belanjaan mereka. Aku memutar otak mengingat-

    ingat sepanjang perjalanan pulang. Ah, aku yakin aku kenal orang itu. Tapi siapa?

    Sampai malam hari aku mencoba mencari di antara ratusan bahkan ribuan memori dalam otakku.

    Tetap tak ketemu.

    Hampir dua bulan kemudian aku mampir lagi ke toko itu. Dia masih disitu, duduk di bangkukasir. Aku sudah membulatkan tekad ingin bertanya kepadanya di saat membayar nanti. Tapi

    tidak jadi. Karena pembeli yang membayar di depanku, yang rupanya kenalannya, berbicaradalam bahasa Jawa kepadanya. Dan dia berbicara dalam bahasa Jawa yang cukup medok

    melayani pembeli di depanku itu. Ah, aku tidak kenal orang Jawa yang bertampang seperti dia.

    Jadi aku tidak jadi bertanya dan berusaha melupakannya. Berarti dia mirip dengan seseorangyang pernah aku kenal. Meski siapa orang yang mirip dia itu tetap tidak muncul di otakku. Aku

    berusaha melupakannya.

    Sebulan kemudian aku kembali lagi berbelanja buku di toko itu. Kali ini berdua dengan istriku.

    Kami memilih buku-buku agama sesuai selera dan kebutuhan kami di toko yang luas itu. Agak

    sepi ketika kami mendekat ke meja kasir untuk membayar buku-buku belanjaan kami. Dari jauhdia tersenyum memandangku. Aku yakin dia mulai mengenalku sesudah aku beberapa kalimampir berbelanja di toko ini. Ketika kami telah berhadap-hadapan dia menyapaku ramah dan

    aku benar-benar kaget.

    Ternyata kau tetap kutu buku Safri, ujarnya.

    Aku melotot memandangnya. Dia mengenalku. Berarti orang ini memang seseorang yang aku

    kenal. Tapi belum juga keluar namanya dari dalam otakku. Siapa gerangan dia?

    Pelupa benar kamu. Tidak ingat lagi kamu denganku. Bagaimana kabar si Rosmiar? tanyanya

    tersenyum.

    Kau....kau.... si Marwan? spontan nama itu keluar akhirnya, begitu dia menyebut si Rosmiar.

    Kami bersalaman.

    Jadi kau si Marwan? Masya Allah.... Pecah kepalaku mengingat-ingat namamu sejak berbulan

    yang lalu. Sejak pertama kali melihatmu disini, aku yakin bahwa aku mengenalmu. Tapi siapa

  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    3/121

    3

    dan entah dimana kita pernah bertemu lupa aku. Hilang sama sekali dari ingatanku, aku lega

    setelah kepenasarananku baru saja lepas sumbatnya.

    Mungkin karena janggutku ini. Tentu ini orang rumahmu ya ? Kami ini dulu sekelas, ibu. Di

    SMP di Bukit Tinggi, tahun 66, 42 tahun yang lalu, Marwan menyalami dan menyapa istriku.

    Jadi kau mengenalku sejak aku pertama kali masuk ke toko ini ? tanyaku penasaran.

    Ya, sejak pertama kali kau datang berbelanja dan membayar harga bukumu disini. Seingatku itusekitar tiga bulan yang lalu, jawabnya.

    Kenapa kau diam saja ketika itu ?

    He..he..he.., akupun mula-mula ragu-ragu. Tapi ketika kau datang lagi dan aku melihat goretan

    luka kecil di pelipismu ini, aku sudah yakin kau si Safri. Ketika itu aku ingin menyapamu, tapikelihatannya kau terburu-buru.

    Goretan luka kecil di pelipisku yang dia maksud memang sangat istimewa. Karena itu terjadiketika kami berkelahi suatu hari ketika itu. Tinjunya yang memakai cincin besi mampir di

    pelipisku dan meninggalkan luka. Aku mengamuk sesudah itu dan menyerangnya membabi buta

    dan dia akhirnya mengaku kalah.

    Sudah lama kau disini?

    Ini tokomu? tanyaku.

    Ya, ini tokoku. Sudah dua puluh tahun lebih, jawabnya.

    Alhamdulillah. Cukup maju kelihatannya.

    Ya, seperti yang kau lihat. Begini adanya, jawabnya.

    Dimana kau tinggal? Sudah berapa orang anak? tanyaku dengan pertanyaan klise.

    Aku tinggal di Pondok Kopi. Anak bertiga, masih kecil-kecil. Ada yang masih di kelas satu SD.Kau sendiri? Orang mana ibu ini? Berapa orang pula anak? dia balas bertanya.

    Kami tinggal di Pondok Kelapa. Tidak terlalu jauh rupanya tempat tinggal kita. D ia ini orang

    Solok. Anak kami berempat. Yang sulung sudah tamat dari kedokteran UI dan yang paling kecilkelas tiga SMA, jawabku.

    Berapa tahun sejak kita tamat di SMP? 42 tahun ya? Huh, cepatnya waktu berlalu. Sekarang kita

    sudah menjelang tua. Ya, bagaimana kabar si Rosmiar? Masih adakah kau berjumpa

    dengannya? ujarnya.

  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    4/121

    4

    Si Rosmiar pomlemu dulu itu? Tidak pernah aku dengar beritanya. Entah dimana dia sekarang.

    Kok bukannya kamu yang lebih tahu dimana keberadaannya ?

    He..he..he.. Dia bukan pomleku. Aku memang tertarik dengannya ketika itu. Ah, kemana

    melanturnya cerita kita ini. Maaf, ibu, Marwan menoleh kepada istriku.

    Panggil saja saya Desi, jawab istriku. Teruskanlah bernostalgia. Sesudah sekian lama berpisah

    tentu memang banyak cerita lama yang terlupakan dan sekarang muncul kembali, istriku

    menjawab bijak.

    Kami dulu sekelas. Sama-sama main voli, sama-sama ikut pramuka, pergi jambore ke SawahLunto. Pernah berkelahi, bertinju. Huh, gara-gara anak gadis teman sekolah kala itu. Dan setamat

    SMP kami sama-sama kehilangan kontak, Marwan meneruskan cerita.

    Ya, kami pernah berkelahi. Tapi bukan memperebutkan anak gadis untuk jadi pomle. SiMarwan salah sangka ketika itu, merasa aku mempengaruhi si Rosmiar agar menolak cintanya.

    Padahal aku tidak ada urusan tentang itu. Rosmiar adalah adik kelas kami teman sekampungku,aku meneruskan sedikit ceritanya, untuk sedikit lebih memperjelas cerita nostalgia itu bagiistriku.

    Bagaimana kalau aku ajak kalian berdua makan siang, biar kita bisa berbincang-bincang lebihlama? Kita makan nasi Kapau di lantai bawah, ajak Marwan mengalih pembicaraan.

    Wah, kami memang berniat akan singgah di kedai nasi Kapau itu pula. Tapi sesudah shalat

    zuhur. Aku tidak akan menolak tawaranmu, jawabku.

    Cocok sekali kalau begitu. Sepuluh menit lagi masuk waktu zuhur. Kita shalat di mesjid di atas.

    Sesudah shalat kita pergi makan. Baik, kita sambung cerita sambil menunggu waktu. Dimanakau bekerja? tanyanya.

    Aku sudah pensiun. Baru saja pensiun dari sebuah perusahaan perminyakan asing. Sekarang

    menikmati masa-masa santai. Sampai bosan, nanti kalau perlu dicari lagi kerja, jawabku.

    Hebat, kau. Dimana terakhir kau bersekolah dulu ? tanyanya.

    Di ITB. Dan sejak lulus dari sana aku bekerja di beberapa perusahaan. Di perusahaan terakhir

    sejak lima belas tahun terakhir, jawabku.

    Aku ingat kau dulu selalu juara kelas dan kesayangan guru-guru, tambahnya.

    Dan kau? Dari SMP kita dulu itu kemana kau melanjutkan sekolah ? tanyaku.

    Ke SMA di Surabaya. Ikut dengan pak etekku. Aku di Surabaya sampai pertengahan tahun tujuh

    puluhan. Sempat pula aku mencoba jadi orang kantoran beberapa tahun. Tapi akhirnya ternyata

    urusan dagang yang lebih cocok untukku, jawabnya.

  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    5/121

    5

    Sering kau pulang ke kampung kita? tanyaku pula.

    Ada jugalah. Bila-bila perlu. Kau sendiri bagaimana ? Tentu lebih sering agaknya ya, karena siDesi kan orang awak juga, dia bertanya dan menebak.

    Aku juga pulang kampung bila-bila perlu. Kadang-kadang sekali setahun, kadang-kadang sekalidua tahun. Oh, ya. Kau sendiri, orang mana orang rumah ? tanyaku.

    Sekarang orang Sunda, jawabnya.

    Hei, apa katamu? Sekarang? Berarti dulu ada bukan yang sekarang ? tanyaku menyelidik.

    Ada. Panjanglah ceritanya. Yang pasti bukan si Rosmiar...he..he..he, jawabnya terkekeh.

    Dan anak-anak yang kau katakan tadi? Dari istri yang dulu berapa orang? tanyaku pula.

    Banyak betul selidikmu. Baiklah, yang pertama itu tidak beranak. Kami bercerai. Aku lamamenduda sesudah itu, ada sekitar lima tahun. Baru menikah lagi dengan yang sekarang. Denganyang ini dapat tiga orang anak, jawabnya.

    Anak buah Marwan sudah mulai menutup toko buku itu. Rupanya hari Minggu begini merekahanya buka setengah hari. Kami segera menuju ke mesjid di lantai atas untuk shalat.

    Ternyata cukup ramai jamaah mesjid di komplek pasar ini. Berbaur antara para pedagang danpengunjung yang datang berbelanja. Sesudah shalat sunat qabliyah, dan iqamat

    dikumandangkan, Marwan maju menjadi imam shalat. Rupanya dia memang orang yang

    disegani disini dan dia pula yang dijadikan imam shalat rawatib, seperti yang diceritakannya

    kepadaku kemudian.

    Seselesai shalat dan shalat sunat, kami masih menunggu dulu sebentar karena ada beberapaorang yang datang berunding dengan Marwan. Kedengaran mereka membahas rencana

    mengumpulkan sumbangan untuk korban bencana alam. Barulah sesudah itu kami pergi makan

    siang di kedai nasi Kapau.

    Sambil makan kami sambung lagi obrolan. Marwan yang asyik betul bercerita.

    Kami ini dulu berteman sangat baik, Desi. Safri ini orang pintar, aku senang berteman

    dengannya. Kami pemain voli, pemain sepak bola. Aku pandai bergitar dan Safri pandai

    menyanyi. Ada acara di kelas kami waktu itu yang kami sebut main presiden-presidenan. Mainoper-operan angka. Setiap kami mempunyai nomor urut dalam angka-angka. Permainan itudipimpin ketua kelas yang disebut presiden. Dia yang mengawali memanggilkan angka.

    Misalnya presiden tujuh. Si nomor tujuh harus mengoper ke angka yang ada kelipatan tujuh,

    misalnya dia oper , tujuh empat belas. Si empat belas boleh mengoper ke angka berapa 14 itubisa dibagi atau dikalikan. Siapa yang lupa dengan angkanya, atau tidak bisa melanjutkan

    angkanya kena hukum, harus menyanyi ke depan kelas. Si Safri jarang kena hukum. Tapi kalau

    dia lagi ingin menyanyi, ketika dipanggil nomornya sengaja disalah-salahkannya. Misalnya dia

  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    6/121

    6

    angka lima, lalu disebutnya lima tujuh belas. Berarti dia keliru karena angka tujuh belas tidak

    ada hubungan dengan angka lima. Diapun dihukum dan maju ke depan. Lagunya Anak Salido

    atau Lintuah. Aku yang mengiringi dengan gitar. Suaranya merdu mendayu. Kalau si Safrimenyanyi, anak dari kelas lain yang tidak ada gurunya pasti datang mengintip. Terutama anak-

    anak perempuan, Marwan bercerita panjang.

    Ah, masih ingat saja kau cerita jaman dulu itu. Mana pula ada anak-anak perempuan datang

    menonton. Nanti cemburu pula istriku, jawabku bercanda.

    Tapi kenapa sampai pernah berkelahi, kalau begitu? tanya istriku.

    Begini ceritanya. Aku jatuh hati kepada si Rosmiar yang dari tadi kami sebut -sebut namanya,

    maklumlah, kan lagi masa pancaroba ketika itu. Tapi si Rosmiar rupanya tidak suka denganku,

    meskipun dia itu jinak-jinak merpati. Sebenarnya, kalaupun kami berpomle-pomlean ketika itu,

    belumlah ada diantara kami yang berani berbuat apa-apa. Paling-paling disamping bersurat-suratan, sedikit berbincang di saat keluar bermain. Aku beberapa kali menulis surat untuknya,

    pernah dibalasnya sekali dan sesudah itu tidak pernah lagi. Kalau aku ingin mengajaknyaberbincang-bincang ketika keluar bermain dia selalu menghindar. Aku akhirnya agak mengkal

    dan aku katakan bahwa dia sombong dan mati kerancakan. Diapun marah. Entah dari manadatang ceritanya aku dengar dia pernah mengatakan, aku tidak mau dengan si Marwan, anak

    orang PKI itu, begitu katanya. Aku datangi dia, kali ini untuk marah -marah. Aku tanya, apa

    benar dia mengatakan seperti itu. Malah dia berbalik dan mengatakan, semua orang tahu kalau daMarwan anak orang PKI, aku tahu, da Safri tahu, semua orang tahu, katanya. Jadi si Safri yang

    mengatakan padamu bahwa aku anak orang PKI, aku desak dia. Ya, da Safri juga tahu, katanya.

    Aku datangi Safri dengan perasaan marah. Aku langsung bercarut kepadanya, memarahinya

    karena merasa cintaku ditolak si Rosmiar karena si Safri ikut merendahkan diriku dimatanya.

    Safri membantah bahwa dia pernah mengatakan hal itu, tapi aku tidak percaya dan terusmendesak, bukankah begitu Safri? ujar Marwan bersemangat.

    Aku yang sedang menikmati gulai tunjang mengangguk mengiyakan.

    Aku masih marah-marah dan menantangnya berkelahi. Kalau kau benar-benar jantan, kita

    selesaikan urusan ini dengan bertinju, desakku. Safri masih menghindar dan mengatakan, diatidak pernah mengatakan yang aku tuduhkan. Dia tidak ada urusan soal aku jatuh hati kepada si

    Rosmiar, karena si Rosmiar bukanlah pomlenya, katanya. Tapi karena aku desak-desak juga

    berkelahi, entah setan dari mana yang merasuki aku ketika itu, akhirnya dia naik pasang pula dan

    menerima tantanganku.

    Safri adalah yang dituakan dari kampungnya, dan aku adalah yang dituakan pula dari

    kampungku. Sebelum kami berkelahi, para ketua setiap kampung (murid sekolah SMP berasaldari banyak kampung di sekitar sekolah itu, dan kami datang kesekolah berkafilah-kafilah)

    diberitahu untuk jadi saksi, agar perkelahian ini tidak berubah menjadi perkelahian massal antar

    kampung. Sehabis jam pelajaran, siang hari itu kami berkumpul di sawah yang agak jauh darisekolah.

  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    7/121

    7

    Dan kami berkelahi secara jantan. Bertinju dengan aturan main yang disepakati ketua-ketua

    kafilah, yaitu tidak boleh main keroyokan, tidak menggunakan alat alias dengan tangan terbuka.

    Aku sehari-hari memakai sebuah cincin besi putih. Sebenarnya kalau Safri menghendaki, diaboleh memprotes agar aku melepas cincin itu, tapi dia tidak melakukannya.

    Dalam perkelahian itu, tinjuku mengenai pelipis Safri sehingga berdarah. Darah mengucur darikeningnya. Tapi karena berdarah itu kekuatan aslinya keluar. Aku diserangnya habis-habisan.

    Dan ketika itu timbul rasa bersalahku, karena sudah melukainya. Konsentrasi berkelahiku buyar.

    Dan aku akhirnya dikalahkannya, Marwan mengakhiri cerita panjangnya.

    Semua yang diceritakannya benar dan aku tidak membantahnya sedikitpun.

    Terus bagaimana? tanya istriku masih penasaran.

    Ketika aku tidak memberikan perlawanan lagi, selain menahan serangan dan tinjunya, Safriberhenti menyerangku. Kami dipisahkan oleh ketua-ketua kafilah. Luka Safri diobatinya dengan

    daun ubi kayu yang dikunyahnya sendiri. Aku menyalaminya dan minta maaf kepadanya.Beberapa hari kami saling diam sesudah itu tapi kemudian berbaik kembali.

    Seru juga ceritanya. Anaklaki-laki nggak dulu nggak sekarang rupanya memang hobi berantam.

    Dan si Rosmiar tidak tahu?

    Tentu saja dia tahu. Dan aku rasa dia sebenarnya juga kenai hati kepadamu, bukankah begituSafri ? tanya Marwan.

    Entahlah. Tapi memang banyak yang kenai hati kepadaku ketika itu he..he..he.., jawabku

    sekenanya.

    Rupanya play boy juga beliau ini kala itu, ya da Marwan ? tanya istriku tersipu.

    Dia memang bintang. Benar itu. Pintar, atletis, biduan, Marwan memuji-muji.

    Jadi banyak pomle dong uda ketika itu, lanjut istriku.

    Kalau yang dimaksud berpomle adalah berbincang-bincang, ngobrol-ngobrol, memang banyakpomle uda. Anak-anak perempuan itu selalu mati kerancakan kalau sudah dekat uda, jawabku

    GR.

    Kalau yang benar-benar pomle? desak istriku. Entah kenapa bersemangat benar dia bertanya.

    Kalau yang benar-benar pomle uda ganti-ganti saja, he..he..he... Pekan ini si Zuniar, pekan

    depan si Ernawati, si Astuti dan seterusnya, jawabku.

    Dan yang dia sebut itu bintang-bintang semua, Marwan menambahbumbu.

    Iyalah. Bintang untuk bintang ha..ha..ha, jawabku.

  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    8/121

    8

    Panjang cerita kami siang itu. Cerita yang mengalir begitu saja. Marwan yang membayarkan

    makan siang kami karena dia merasa jadi tuan rumah.

    Marwan, datanglah ke rumah kami kapan saja. Kenalkan pulalah istrimu kepada kami. Kita

    sambung cerita masa remaja kita disana, ajakku sebelum kami berpisah. Aku berikan nomor

    telepon dan alamat lengkap rumah kami kepadanya.

    Insya Allah. Ingin juga aku berbagi cerita yang lain denganmu. Sebenarnya banyak cerita yang

    ingin aku sampaikan kepadamu. Sekedar untuk melepaskan isi hati. Akan aku cari nanti alamatrumah kalian ini. Dan akan aku telepon sebelum kami datang nanti, jawabnya.

    Kami berpisah siang itu. Masih sempat Marwan mengingatkan. Ceritakanlah apa saja tentang

    aku yang kau ketahui kepada Desi. Engkau tidak bergunjing untuk itu. Mudah-mudahan ada

    maknanya cerita itu baginya, ujarnya sebelum kami berpisah.

    (2) Nostalgia Masa RemajaSunday, 14 September 2008

    Dalam perjalanan pulang aku bercerita panjang kepada istriku. Menyambung yang sudahdiceritakan Marwan sebelumnya. Istriku senang pula mendengar cerita pengalaman remajaku itu.

    Kami dulu bersekolah di SMP kecamatan. Murid-murid sekolah itu berasal dari berbagai

    kampung di sekitarnya. Kami datang ke sekolah berombongan-rombongan, berkafilah-kafilah.Ada kampung yang ramai anggota rombongannya tapi ada juga yang sedikit, terdiri dari

    beberapa orang saja. Rombongan dari kampung kami agak lumayan banyak, mungkin sekitar

    tiga puluhan orang untuk semua tingkatan kelas. Dari setiap kafilah pasti ada yang dituakan atau

    yang jadi pemimpin, biasanya murid kelas tiga dan ini berganti setiap tahun sebab yang lebihsenior berangkat meninggalkan sekolah. Murid sekolah itu lumayan banyak. Masing-masing

    kelas dibagi menjadi lima ruangan, dari kelasasampai kelas E.

    Pergaulan di sekolah itu cukup menyenangkan. Kami punya banyak sekali kawan. Meski kami

    adalah anak-anak orang kampung tapi kami juga tidak kalah aksi. Di sekolah kami mempunyai

    banyak kegiatan baik olah raga maupun kesenian. Tentu saja ada pula kegiatan pramuka. Kamilatihan pramuka sekali seminggu, tiap hari Sabtu sore. Itu adalah arena kumpul-kumpul dan

    bersenang-senang, tempat kami belajar menjadi lebih dewasa. Pada saat acara kegiatan pramuka,

    disamping latihan bermacam-macam keterampilan, kami juga latihan bernyanyi-nyanyi, bermain

    gitar. Ujung-ujungnya kegiatan pramuka jadi arena tempat saling jatuh hati. Mulailah ada yangberpomle-pomlean. Biasanya kalau sudah begitu diikuti dengan bersurat-suratan.

    Kami pernah ikut jambore pramuka se Sumatera Barat di Sawah Lunto. Tentu saja tidak semuaanggota pramuka ikut. Yang ikut adalah anggota-anggota pilihan. Aku dan Marwan ikut dalam

    rombongan itu. Kami berkemah di Muaro Kalaban dekat kota Sawah Lunto selama lima hari

    ketika itu. Banyak kenangan waktu kami ikut berjambore ini. Aku tidak akan pernah lupa ketikaregu kami jadi juara waktu diadakan acara penjelajahan malam yang diikuti oleh puluhan

    perwakilan berbagai sekolah. Karena kami umumnya anak-anak kampung, kami lebih berani

    http://void%280%29/http://void%280%29/http://void%280%29/http://void%280%29/http://void%280%29/
  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    9/121

    9

    dalam berjalan di tengah gelapnya suasana kampung di sekitar arena perkemahan yang waktu itu

    tidak ada penerangan listrik. Bahkan ada diantara rombongan kami yang diam-diam justru

    menakut-nakuti anak-anak dari rombongan lain ketika mereka melalui tempat-tempat gelap.Lawan-lawan kami yang kebanyakan berasal dari sekolah-sekolah di kota, yang sudah

    dimanjakan lampu listrik umumnya sangat ketakutan. Dan kami juga juara paduan suara. Dan

    disanapun aku jadi bintang karena aku adalah ketua grup paduan suara rombongan kami.

    Marwan dan aku juga pemain bola kaki sekolah. Pernah kami bertanding ke sekolah lain yang

    berakhir dengan kericuhan. Kami menang dalam pertandingan itu. Pemain lawan mulai bermain

    kasar. Kaki Marwan diserimpet hingga dia jatuh terjungkal. Dia tidak segera membalas. Padasaat lain terjadi perebutan bola. Marwan yang berada dekat anak yang menyerimpetnya tadi,

    dalam duel perebutan bola dengan indah menyikut kepala anak itu. Dalam permainan bola hal itu

    bisa terlihat sebagai ketidak sengajaan. Tapi rupanya anak itu tidak mau menerima. Marwan

    dikejarnya dan langsung dipukulnya. Marwan tentu saja melawan dan terjadi perkelahian singkatyang segera dilerai wasit.

    Seusai pertandingan, dan ketika akan berangkat pulang, kami sudah dikepung oleh murid-muridsekolah itu yang badannya besar-besar. Kami ada sekitar dua puluhan orang sedang mereka yang

    datang pada saat itu sedikit lebih banyak. Anak yang tadi berkelahi dengan Marwan langsungmendekatinya sambil bercarut dan mengajak berkelahi. Dia memegang sebuah tongkat kayu.Aku yang berada di samping anak itu, merampas kayu yang dipegangnya sambil mengatakan

    kalau mau berkelahi silahkan pakai tangan kosong. Temannya yang lain langsung menerjangku

    dan kami langsung terlibat dalam perkelahian. Kamipun akhirnya terlibat dalam tawuran massal.Berdebuk-debuk bunyi tinju dan sepakan kaki. Kami yang dua puluh orang kompak dalam

    perkelahian itu saling melindungi dan saling menyerang. Ada sekitar lima menit lamanya ketika

    akhirnya guru-guru sekolah itu datang melerai. Guru-guru itu bertanya apa yang terjadi dan

    kenapa kami berkelahi. Aku menjelaskan bahwa kami tiba-tiba diserang dan kami melawan. Pakguru itu menanyai murid-muridnya kenapa mereka menyerang pemain tamu. Kalau kalah main

    bola ya kalah saja, kenapa mesti berkelahi, katanya. Pemain lawan itu tidak ada yang bisa

    memberikan jawaban kenapa mereka menyerang kami. Untunglah guru mereka cukup adil dan

    menyalahkan murid-muridnya karena berkelahi dengan tamu. Kami disuruh pulang dan murid-murid sekolah itu diancam kalau masih berkelahi lagi akan dihukum di sekolah.

    Ketika aku baru duduk dikelas tiga, terjadi peristiwa pemberontakan PKI di bulan Septembertahun 1965. Meski hampir tidak ada dampak langsung dari peristiwa berdarah itu di daerah kami,

    ada juga pengaruhnya kepada kami. Kami ikut-ikutan jadi anggota Kesatuan Aksi Pemuda

    Pelajar Indonesia. Dan kami disuruh guru untuk bertugas ronda malam menjaga sekolah secara

    bergiliran. Hal yang tentu saja tidak akan kami tolak. Pada awal-awalnya ada bapak guru ataupegawai Tata Usaha yang ikut ronda bersama kami. Suasana masih lumayan tertib, meski sudah

    ada yang berani merokok saat jaga malam itu. Tentu saja ketika pak guru sedang tidak dekat

    kami. Setelah beberapa minggu, tidak ada lagi guru yang menemani. Kami jadi bebas danleluasa. Acara ronda malam itu sedikit demi sedikit berubah menjadi pusat latihan jadi preman

    kecil-kecilan. Kami belajar main kartu koa sesama murid. Ada juga akhir-akhirnya yang benar-

    benar terlibat dalam perjudian kecil-kecilan. Sampai suatu hari pak kepala sekolah yang entahdapat laporan dari siapa menemukan kartu koa yang kami sembunyikan. Dan beliau juga

    menemukan banyak bekas sundutan api rokok di dinding ruangan posko ronda, bekas tempat

  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    10/121

    10

    mematikan api rokok. Kami, ketua-ketua kelas dikumpulkan dan dimarahi. Dan sejak itu ronda

    malam tidak diadakan lagi. Karena sebenarnya memang tidak ada gunanya.

    Tapi di kampung masing-masing kami masih melanjutkan kegiatan ronda malam di hari Sabtu

    sore. Tentu saja dengan kegiatan yang mirip. Bergerombol-gerombol hilir mudik dalam

    kampung bersenjatakan pentungan kayu dan berbekal lampu senter. Kalau sudah capek merondakami berkumpul untuk ngobrol. Lama kelamaan ada yang mengajak main kartu koa pula. Kami

    mulai pandai merokok dan main kartu serta bahampok kecil-kecilan.

    Istriku mendengar cerita panjang lebar itu dengan penuh perhatian sepanjang perjalanan kami

    menuju rumah. Dia menyoalku dengan pertanyaan-pertanyaan.

    Dan uda jadi ikut-ikutan pandai main kartu dan merokok kala itu? tanyanya.

    Ya, bagaimana tidak. Karena baik di sekolah maupun di kampung, uda ketika itu senang

    bergaul. Dan pergaulan kami memang seperti itu. Semua yang biasa bergaul pasti kena imbas.Tapi tidak lama sesudah itu, ke kampung kami datang beberapa orang anggota Pelajar IslamIndonesia, disingkat PII, dari Bukit Tinggi. Mereka ingin merekrut anak-anak muda di kampung

    kami menjadi anggota. Dan bagi yang berminat diharuskan menjalani masa pelatihan selama

    seminggu, jawabku.

    Aku termasuk yang berminat mengikuti pelatihan PII itu. Kami jalani masa pelatihan itu di saat

    libur sekolah, bertempat di ruangan sekolah dasar di kampung kami. Isinya adalah latihanberorganisasi secara islami. Kami diajar dan dilatih bagaimana cara berdiskusi, berdebat,

    berpidato bahkan berkhutbah. Tentu saja acara latihan itu sangat menarik bagiku. Programnya

    sangat intensif dan dilaksanakan sejak dari pagi, siang, malam, bahkan sampai tengah malam.

    Para pelatih itu pintar-pintar membawa acara, sehingga kami senang dan betah berada dalamacara itu. Sayang waktunya singkat untuk mempelajari materi latihan yang cukup banyak. Tapi

    paling tidak kepada kami sudah diajarkan dasar-dasar pengetahuan untuk berorganisasi dalam

    PII.

    Dan sesudah itu akupun menjadi anggota PII. Jadi anggota PII ini berhasil menetralisir latihan

    kepremanan yang didapatkan selama mengikuti acara ronda malam.

    Di kampung aku memang aktif kemana-mana. Termasuk di mesjid tentu saja. Apa lagi sejak jadi

    anggota PII. Kami menjadi anak-anak muda yang alim.

    Tahun 66 itu terjadi pergeseran tahun ajaran. Karena di kota-kota besar kegiatan sekolah banyak

    terganggu oleh kegiatan-kegiatan di luar sekolah, untuk berdemo. Masa belajar yang tadinya

    berakhir di bulan Julli di geser ke bulan Desember. Itu terjadi di seluruh Indonesia. Tanggal 1Agustus seharusnya kami sudah duduk di bangku SMA tapi karena penundaan masa tahun ajaran

    kami masih tetap saja di SMP. Kami tidak terlalu perduli dengan hal itu. Dan kami tetap berada

    dalam kesibukan rutin sekolah baik yang perlu maupun yang tidak perlu. Kami tetap mengikutilatihan-latihan olah raga dan kegiatan pramuka seperti biasa.

    http://void%280%29/
  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    11/121

    11

    Tapi, ngomong-ngomong. Apa benar uda ikut mengatakan bahwa da Marwan itu anak orang

    PKI? Apa benar dia anak orang PKI? tanya istriku.

    Sesudah peristiwa Gestapu, memang banyak orang curiga kepada orang-orang yang dikenal

    sebagai anggota PKI. Sebelum peristiwa itupun sebenarnya kami mendengar siapa yang anggota

    PKI siapa yang bersimpati kepada PKI. Bahkan di antara guru kami ada yang terang-teranganmengaku sebagai anggota PKI. Kami tidak mengerti apa-apa dan tidak perduli dengan semua itu.

    Dan dari mulut ke mulut memang kami dengar bahwa ayah si Marwan anggota PKI. Ketika

    kemudian PKI diketahui sebagai dalang peristiwa Gestapu, banyak orang yang tadinya mengakuPKI itu menghilang, bersembunyi entah kemana. Termasuk guru kami itu. Orang jadi takut

    diketahui sebagai anggota PKI. Dan Marwan pasti terhina ketika kePKIan ayahnya disebut-

    sebut, aku mencoba menjelaskan.

    Dan benarkah uda menghalangi si Rosmiar jadi pomle da Marwan karena itu ?

    Jelas tidak. Uda tidak ada urusan dengan itu. Dan Marwan adalah teman baik uda. Seperti yang

    diceritakannya tadi, kami sebenarnya adalah sahabat baik. Dan uda tidak kenal siapa ayahnya,bagaimana mungkin uda akan menjelek-jelek orang yang tidak dikenal. Entah kenapa si Rosmiar

    menyebut pula nama uda ketika dia menolak si Marwan yang jatuh hati kepadanya. Dan entahkenapa Marwan mengajak uda berkelahi gara-gara itu.

    Dan sejak berkelahi tidak lagi jadi sahabat karib?

    Hanya untuk sementara waktu sesudah itu. Tapi lama kelamaan kami berbaik lagi. Bahkansesudah kami berkelahi massal sesudah main bola, kami jadi bersahabat baik lagi. Dia sangat

    menghargai pembelaan uda kepadanya ketika berkelahi massal itu.

    Dan pergi jambore pramuka juga sesudah perkelahian?

    Uda lupa. Mungkin sebelum kami berkelahi. Ya, benar sebelum berkelahi. Karena sejakjambore itu dia mulai jatuh hati kepada si Rosmiar yang juga ikut dalam rombongan.

    Murid wanita juga ikut berjambore?

    Ya, ada rombongan murid laki-laki dan ada rombongan murid wanita. Kemah kami tidak

    berdekatan. Terpisah sejauh lima ratus meter di sebuah lapangan yang luas dekat sungai. Ketikajambore justru tidak ada waktu untuk berdekatan dengan murid wanita. Masing-masing kami

    sibuk dalam aneka perlombaan. Kami bersama-sama satu rombongan besar dalam perjalanan

    ketika berangkat dan pulang. Waktu itu kami naik keretapi ke Sawah Lunto.

    Dan selama dalam perjalanan itu anggota rombongan berpomle-pomlean?

    Ya lebih kurang begitulah. Sekedar untuk bernyanyi-nyanyi bersama dalam perjalanan.

    Bergurau dan bercanda. Tapi tidak bisa kami berbuat yang aneh-aneh karena disamping ada

    guru-guru yang mengawasi di dalam kereta juga ada penumpang lain. Lagi pula apa yang dapat

    dilakukan anak-anak kecil bercelana pendek berpacaran ketika itu.

    http://void%280%29/
  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    12/121

    12

    Apakah da Marwan juga ikut jadi anggota PII?

    Ya, dia ikut. Karena di kampungnya juga ada acara yang sama. Waktu kami ngobrol di sekolah,dan uda katakan bahwa uda akan ikut latihan untuk menjadi anggota PII, banyak teman-teman

    yang juga ingin ikut, termasuk Marwan. Kala itu anggota senior PII memang datang ke

    kampung-kampung untuk merekrut anggota baru. Entah kenapa mereka tidak datang ke sekolahsaja.

    Dan di sekolah tidak ada kegiatan PIIatas nama sekolah?

    Tidak ada. Dan rasanya tidak boleh. Yang boleh hanya mendirikan sekeretariat KAPPI. Tapi

    KAPPI itu juga kalah pamor di sekolah kami. Seingat uda hanya sekali kami ikut dalam aksidemo mengatas namakan KAPPI, ketika seorang anak STM mati tertembak di Bukit Tinggi. Di

    sekolah kami lebih senang menggunakan identitas sebagai murid SMP kami saja.

    Apakah ketika itu uda dan teman-teman uda sudah mengerti politik?

    Jelas belum. Kami tidak tahu apa itu politik. Di sekolah guru mengajarkan kami tentang apayang sedang terjadi di kancah politik ketika itu. Tapi kami hanya mengerti begitu-begitu saja dan

    tidak ada yang benar-benar tertarik.

    Apakah uda aktif pula di PII di luar kampung?

    Tidak. Hanya di kampung saja. Setelah seminggu latihan itu kami tidak pernah lagi bertemu

    dengan para pelatih dari Bukit Tinggi itu. Sesudah latihan kami diberi kartu anggota dan lencana

    PII dari logam untuk disematkan di kopiah atau jaket. Kami tidak punya kopiah dan jaket, jadi

    lencana itu untuk sementara kami sematkan di baju. Hanya beberapa hari dan sesudah itu kami

    sudah lupa.

    Jadi tidak banyak manfaatnya pelatihan seminggu itu kalau begitu?

    Tidak banyak, tapi ada. Paling tidak seperti uda katakan tadi menetralisir kami dari menjadi

    preman kampung. Kami tetap bergaul dengan preman kampung, yang suka merokok, sukaberhampok. Tapi kami tidak ikut-ikutan merokok dan berhampok lagi sejak kami jadi anggota

    PII itu.

    Akhirnya kan selesai juga masa sekolah uda di SMP. Bagaimana lagi seterusnya pergaulan

    dengan teman-teman SMP itu?

    Ketika kami tamat dari SMP keadaan huru hara sudah semakin reda. Tahun 67 uda masuk SMA

    di Bukit Tinggi. Banyak juga muridnya yang dari SMP kami. Tapi disana gabungannya jadi lebih

    besar karena SMA itu menerima murid dari banyak SMP yang lain. Marwan sudah menghilangentah kemana. Ada juga uda dengar kabar selentingan bahwa dia dibawa saudara ayahnya ke

    Jawa. Kami tidak ada kontak sama sekali lagi sejak itu.

    Sampai hari ini?

    http://void%280%29/
  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    13/121

    13

    Ya, sampai hari ini.

    Ketika tamat dari SMP tidak adakah acara perpisahan? Tidak adakah saling memberitahukemana akan melanjutkan sekolah?

    Tentu saja ada. Tapi acara yang lebih banyak hura-huranya. Kami dalam keadaan gembirakarena sudah lulus ujian dan akan melanjutkan sekolah ke sekolah berikutnya. Acara perpisahan

    itu diisi dengan berbagai acara nyanyi-nyanyi, ada deklamasi, ada pementasan drama juga oleh

    adik kelas kami. Wakil kami berpidato mengucapkan kata berpisahan. Kesempatan untukmengeluarkan uneg-uneg tentang perlakuan guru-guru yang suka marah-marah.

    Uda tetap jadi penyanyi di saat perpisahan itu.

    Sudah barang tentu. Marwan yang mengiringi dengan gitar seperti biasa. Nyanyi bertambuh-

    tambuh karena setiap kali selesai sebuah lagu, teman-teman itu berteriak-teriak mintakditeruskan. Pokoknya heboh dan ramai.

    Siapa yang berpidato mewakili anak kelas tiga untuk menyampaikan kata perpisahan? Udajuga?

    Bukan. Ada teman lain. Lupa pula uda namanya. Anaknya memang pintar berpidato. Sepertiorang besar penampilannya. Dan mantap kata-katanya.

    Da Marwan tidak pamit mau melanjutkan sekolah kemana? Dia tidak pamit mau ke Surabaya?

    Seingat uda tidak. Kami merasa bahwa semua kami yang lulus pasti akan melanjutkan sekolah

    ke Bukit Tinggi. Baik ke SMA. Ke STM atau ke SMEA. Tapi tidak ada yang saling bertanya

    persisnya mau masuk sekolah mana. Mungkin semua menganggap nanti akan ketahuan juga kesekolah mana masing-masing melanjutkan.

    Dan selama beberapa kali berjumpa di toko tadi uda tidak bisa mengingat dia. Berubah

    benarkah wajahnya?

    Ya iyalah. Dulu mana ada dia berjenggot dan berkumis seperti itu. Tapi garis wajahnya itu yang

    tetap uda ingat samar-samar sebagai orang yang pernah uda kenal.

    Tak terasa kami sudah sampai di rumah. Perbincangan nostalgia masa SMP ku itu sementara

    berhenti sampai disana.

    (3) Kunjungan Keluarga Marwan

    Saturday, 27 September 2008

    Beberapa minggu berlalu. Aku sudah hampir melupakan pertemuan tak terduga dengan Marwan.Suatu siang dia menelpon dan mengatakan dia ingin berkunjung bersama keluarganya ke rumah

    kami. Aku mempersilakannya untuk datang kapan saja dia mau. Akhirnya dia sepakat akan

  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    14/121

    14

    datang pada hari libur 1 Muharam. Tokonya akan ditutupnya hari itu. Kami sepakat mengundang

    mereka sekeluarga untuk makan siang di rumah.

    Istriku sibuk menyiapkan makanan sejak pagi untuk menjamunya. Mereka datang sekitar jam

    sebelas. Istrinya berjilbab dan terlihat masih muda. Mereka membawa dua orang anak, yang

    tengah, berumur 12 tahun dan yang kecil yang berumur tujuh tahun. Anak-anak itu diajak mainoleh anak bungsu kami, main game di komputer di kamarnya. Istri Marwan, namanya Kokom,

    cepat akrab dengan istriku. Dia minta ijin untuk ikut membantu istriku di dapur. Istriku

    sebenarnya sudah hampir siap dengan urusan masakannya.

    Tinggallah kami berdua di ruang tamu. Obrolan kami tentu saja kembali ke cerita jaman SMP

    yang penuh dengan bunga-bunga kenangan itu.

    Kau masih ingat nama yang menyampaikan pidato ketika acara perpisahan? tanyaku.

    Ya, aku masih ingat. Sebentar........ Dia itu anak kelas tiga C. Si Fakhri, jawab Marwan.

    Benar si Fakhri. Anak yang ikut main voli dengan kita, aku menambahkan.

    Kenapa ? tanya Marwan.

    Tidak apa-apa. Pulang dari pertemuan kita waktu itu aku bercerita panjang kepada Desi tentang

    kenangan masa SMP kita. Diantaranya aku bercerita tentang acara perpisahan, tentang temanyang berpidato, tapi aku lupa namanya.

    Benar, dia ikut tim bola voli kalau kita ada pertandingan dengan sekolah lain. Tapi dia tidak ikutmain bola, Marwan menambahkan.

    Seringkah kau bertemu dengan teman-teman kita yang lain? tanyaku.

    Cukup sering. Umumnya yang datang ke toko membeli buku. Ada yang aku lupa namanya, tapiaku yakin bahwa itu teman SMP. Misalnya si Bahder. Kau ingat tidak, Bahder teman kita main

    bola dan ikut ke jambore?

    Ya, tentu saja aku ingat. Satu-satunya yang agak parah setelah kita berkelahi massal sesudah

    pertandingan bola di Atas Ngarai. Mukanya lebam ketika itu, aku menjelaskan.

    Berkelahi massal yang mana maksudmu?

    Berkelahi massal ketika kau akan dipukul pakai kayu sesudah kita menang pertandingan. Kitasemuanya langsung ikut dalam adu jotos. Aku yang mula-mula diserang sesudah aku merebut

    kayu yang dibawa anak yang akan memukulmu itu. Temannya tanpa ba bi bu langsung maju

    menerjangku. Sesudah itu terjadi perang tanding. Lawan kita lebih banyak. Kebetulan si Bahderitu berdiri agak terpisah. Dia dikerubut tiga orang lawan sehingga dia agak kewalahan. Aku

    melihat itu dan berusaha mendekatinya. Sempat aku terjang seorang dari tiga penyerangnya.

    Kami berkelahi dua lawan empat, dan akhirnya si Mansur juga ikut bergabung. Jadinya kita tiga

  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    15/121

    15

    lawan lima. Pada saat itu guru-guru mereka datang melerai, aku menjelaskan secara rinci.

    Benar sekali. Masih ingat kau sampai bagian yang sekecil-kecilnya. Dan si Bahder itu wajahnyaberubah sekarang. Bercambang lebat. Tapi aku masih ingat dia itu teman kita. Sebaliknya dia

    juga lupa. Aku langsung menyapanya, aku lupa namamu, tapi aku yakin kita satu SMP dulu di

    Bukit Tinggi. Dia memelototi aku. Akupun lupa, katanya. Kamu siapa? Aku Bahder, dia bilang.Dan bercerita panjang pulalah kami waktu itu.

    Kapan kau bertemu dengannya?

    Mungkin setahun yang lalu. Dia bekerja dan tinggal di Medan. Waktu itu dia kebetulan

    berjalan-jalan ke Jakarta dan berbelanja di toko kami. Kau sendiri? Tidak adakah kau berjumpadengan teman-teman kita?

    Ada beberapa orang, bahkan ada yang sama-sama di tempatku bekerja. Kau ingat si Indra?Yang pintar melukis, anak kelas tiga D kalau tidak salah. Dia sama sekantor denganku. Sudah

    lebih dulu dia pensiun. Ada lagi si Yasri teman sekampungmu yang bekerja di Pertamina.

    Ya, aku ingat si Indra. Yasri masih sering datang ke toko untuk ngobrol. Dia pernah bercerita

    tentang kau.

    Siapa lagi, ya ? Si Faisal yang juga pandai main gitar. Si Idrus si perokok, dia bekerja di

    pertambangan batu bara. Si Fahmi, yang kita gelari si Kilat, juara lari. Kami bertemu di

    Bandung. Dia jadi guru di sana.

    Ya, si Fahmi. Kesayangan pak Abrar guru olah raga kita. Yang katanya mau disiapkan akan

    dikirim ke PON, entah PON ke berapa waktu itu.

    Kau menyebut pak Abrar. Beliau ini pernah marah besar waktu aku tidak mau ikut pertandingan

    voli karena aku sedang bisulan. Dia tidak percaya. Dia pikir aku sedang berganyi karena nilaiolah ragaku dikasihnya enam dalam rapor dan aku protes. Katanya itu salah tulis, tapi dia tidak

    mau mengoreksinya. Aku memang kesal, tapi tidaklah aku berganyi tidak mau ikut pertandingan

    voli gara-gara itu.

    Lalu bagaimana? Kau perlihatkan bisulmu itu kepadanya?

    Aku bilang, kalau bapak mau biar saya perlihatkan bisul di bawah pusar saya ini. Dia bilang,

    alasan saja kamu. Lagi pula kalaupun bisul di bawah pusar apa hubungannya dengan main voli.

    Aku malas menjawab dan aku diam saja. Tapi tetap aku tidak ikut bertanding. Bisul ini nyerisekali kalau tersinggung sedikit saja. Mana mungkin aku bisa melompat-lompat main voli.

    Pak Abrar itu sebenarnya sangat baik.

    Betul. Kwartal berikutnya nilai olah ragaku dikasih angka sembilan. Sempat pula dia bilang, ini

    untuk membayar salah angka sebelumnya he..he..he..

  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    16/121

    16

    Dan kau ingat ibu Fauziah? Guru aljabar yang sangat disiplin ? Beliau sudah meninggal enam

    bulan yang lalu di Padang. Beliau sakit kanker getah bening.

    Inna lillahi wa inna ilaihi raajiuun. Tentu saja aku ingat. Ibu Fauziah yang sangat baik

    kepadaku. Dari siapa kau dapat kabar beliau meninggal?

    Dari Syamsinar, teman sekelas kita. Dia ini kan sekampung dengan ibu Fauziah. Dan dia tinggal

    berdekatan denganku di Pondok Kopi.

    Si Syamsinar? Ya aku ingat dia. Kalau berjumpa lagi tolong sampaikan salamku kepadanya.

    Aku heran tidak ada teman-teman wanita satu orangpun yang pernah berjumpa denganku. Entahpada kemana mereka.

    Oh ya...., aku pernah berjumpa dengan Astuti, salah satu pomle kau dulu. Di Pasar Senen ketika

    dia sedang berbelanja. Masih cantik meski sudah jadi nenek. Jadi nenek betulan. Dia waktu ituberjalan dengan anak dan cucunya. Aku yang lebih dulu mengenalinya. Aku pura-pura bertanya,

    Rangkayo dimana kita pernah bertemu dulu, ya. Dia melotot memandangku dan langsung ingat.Ini si Marwan, ya? Si pemain gitar? Dan dia bercarut. Masih saja latah seperti dulu meski sudahnenek-nenek.

    Desi dan Kokom datang menemani kami ngobrol. Makanan sudah siap rupanya. Desimenanyakan apakah kami akan makan sekarang atau akan pergi shalat zuhur dulu. Marwanmengusulkan sebaiknya shalat zuhur dulu saja. Akupun setuju. Kebetulan sudah hampir masuk

    waktu zuhur.

    Kami berdua pergi ke mesjid untuk shalat berjamaah. Mesjid itu tidak jauh dari rumah kami.

    Cukup ramai jamaah mesjid ini. Kau selalu shalat berjamaah di mesjid? tanya Marwan ketikakami menuju ke rumah sesudah shalat.

    Kalau aku tidak sakit, insya Allah selalu, jawabku.

    Syukurlah. Hanya amal shalih yang jadi milik kita. Yang lain hanya perhiasan hidup dunia,katanya bijak.

    Aku perhatikan Marwan memang lebih shalih. Dari cara berpakaiannya, dari tindak tanduknya.Toko bukunya khusus menjual buku-buku Islam. Istrinyapun lebih taat kelihatan dengan jilbab

    panjang menutupi tubuhnya. Aku kagum melihatnya.

    Tahun berapa kau naik haji ? tanyaku. Aku yakin dia pasti sudah haji.

    Tahun 1990. Ketika terjadi peristiwa terowongan Mina. Kau sendiri? Tentu kau juga sudah haji,bukan? dia balik bertanya.

    Dua tahun sesudah itu, jawabku.

  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    17/121

    17

    Syukurlah, kalau begitu. Mudah-mudahan sudah sempurna keislaman kita. Sudah kita tunaikan

    kelima rukun Islam.

    Kami sampai di rumah dan langsung menuju ke meja makan. Wah, ramai sekali meja makan,

    karena istri Marwan ternyata juga membawa oleh-oleh. Pepes ikan mas ala Cianjur.

    Wah serba ikan ni, makanan kita, komentarku.

    Ya, rupanya Kokom membawa ikan pepes pula. Saya juga sudah menyiapkan gurami bakarini, kata istriku.

    Bagus serba ikan. Insya Allah bebas kolesterol, tambah Marwan.

    Kami mulai makan. Serba enak semua. Pepes ikan itu sangat menyelera. Marwan sebaliknya

    sangat menikmati gurami bakar. Kami makan bertambuh-tambuh.

    Ada lagi kenanganku tentang ikan, Marwan mulai bercerita lagi sambil kami makan.

    Kenangan apa itu? tanya istriku.

    Waktu kami pergi berjambore. Safri sempat-sempatnya berbekal pancing. Puluhan buah pancing

    bertangkai pendek. Iya, kan Saf? katanya.

    Benar sekali. Aku sempat menganak di sungai Lasi dekat kita berkemah itu, jawabku.

    Menganak? Apa itu maksudnya? tanya Desi pula.

    Menahankan puluhan pancing sore-sore di sungai dan diambil pagi-pagi. Kami mendapatkanikan besar-besar. Kami makan besar dengan ikan setiap hari, aku menjelaskan.

    Hebat sekali idenya. Tapi bagaimana dengan umpannya? Apakah dibawa dari rumah juga?

    Tidak. Umpannya cacing yang kami cari di sana, jawabku.

    Sempat-sempatnya mencari cacing?

    Ternyata perkara gampang bagi seorang Safri. Dia membalikkan batu-batu besar di pematang di

    tepi sungai. Dia dapatkan cacing gemuk-gemuk. Hari pertama kita disana, sore hari aku lihat

    Safri membawa bungkusan kertas koran menuju sungai yang ternyata berisi pancing. Aku ikutidia dan aku bantu memasangkan cacing ke pancing. Kami menancapkan tangkai pancing pendek

    itu di tebing sungai. Pagi-pagi waktu kawan-kawan kami sibuk di sungai, kami mandi di sungaiLasi yang airnya jernih itu, kami terlebih dahulu memeriksa pancing-pancing yang diletakkan

    sore kemaren. Bukan main, hari pertama itu dari dua puluh lima buah pancing kami dapat

    sebelas ekor ikan besar-besar. Ada ikan lele dan entah ikan apa lagi namanya.

    Ikan garing, aku menjelaskan.

  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    18/121

    18

    Dan ikannya diapakan? tanya Kokom.

    Hari pertama dan kedua kami goreng. Hari ketiga, minyak goreng kami sudah habis. Lalu kamibakar. Wah, lebih sedap pula lagi. Dan bau ikan bakar terbang kemana-mana. Heboh teman-

    teman di kemah sebelah menyebelah kami, jawabku.

    Waktu membakar ikan itu pak Sofyan, guru pelatih datang dan ikut makan dengan kami. Dia

    bercerita kepada guru-guru yang lain. Kau dapat surat permintaan sumbangan ikan dari kemah si

    Astuti melalui pak Sofyan. Ingat ? tanya Marwan.

    Ya, aku ingat. Tapi tidak dapat kita kirim, jawabku.

    Kenapa? tanya Desi.

    Karena hari kelima, hari terakhir kami disana, gagal panen, jawabku.

    Lho, gagal panen bagaimana? tanyanya pula.

    Pagi-pagi waktu kami mau mengambil hasil pancingan hari itu, yang diikuti oleh makin ramaisaja teman-teman, yang ikut senang melihat hasil tangkapan ikan, kami dapati pancing itu sudah

    tidak ada. Rupanya sudah ada yang duluan mengambilnya. Kami curiga, jangan-jangan teman-

    teman sesama pramuka yang mengambil. Dan kalau memang ulah mereka tentu mudah bagi

    kami melacaknya nanti. Tapi Marwan melihat serombongan anak muda di sisi sungai sebelahsana, tertawa-tawa melihat ke arah kami. Seorang diantaranya menjinjing ikan yang entah berapa

    ekor.

    Siapa mereka? Orang kampung sana? tanya Desi.

    Ya. Orang kampung sana. Sempat juga mereka bilang, entah mencemooh atau bagaimana, yangini untuk kami ya? katanya ketawa-ketawa, aku menjelaskan.

    Tidak dikejar? tanya Kokom.

    Marwan mengusul agar kami kejar ke seberang. Tapi saya larang. Percuma saja. Pasti mereka

    akan lari dan itu di kampung mereka, jawabku.

    Nggak jadi makan ikan hari itu, Marwan menambahkan.

    Teman papa, pramuka yang lain nggak ada yang meniru memancing seperti itu? tanya anakkuFaisal.

    Ada. Sesudah hari ketiga. Mereka minta ijin pergi membeli pancing ke Silungkang. Dan sore

    hari keempat itu mereka ikut-ikutan menaruh pancing di sungai. Paginya tidak ada ada satupun

    dapat, jawabku.

    Lho? Kenapa? tanya Desi pula.

    http://void%280%29/
  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    19/121

    19

    Mereka tidak tahu caranya. Hanya asal tiru saja. Tali pancing mereka terlalu pendek. Mudah

    ikan melepaskan diri dengan menarik tali pancing itu kuat-kuat. Banyak pancing yang hilang

    karena putus. Jadi hasilnya nol besar, jawabku.

    Ilmu menganak itu aku terapkan pula di kampung sepulang dari sana. Biasanya hari Sabtu sore.

    Cuma ikan di kampung kita tidak sebesar ikan di sungai Lasi itu, kata Marwan.

    Sungai Lasi itu sungai besar. Banyak ikannya. Cuma aku heran, sepertinya jarang penduduk

    disana menangkap ikan di sungai itu, aku menjelaskan.

    Mungkin sesudah peristiwa itu, anak-anak yang mencuri ikan pagi itu jadi tahu bagaimanacaranya menganak, ungkap Desi.

    Entahlah. Mungkin juga, jawabku.

    Kami sudah selesai makan. Desi dibantu Kokom mengangkat piring-piring kotor ke belakang.

    Sebenarnya, ada cerita lain yang ingin kuceritakan kepadamu, kata Marwan waktu kami tinggalberdua.

    Ceritakanlah. Cerita apa?

    Sebuah cerita panjang. Dan ini akan memakan banyak waktu. Sebenarnya tidak ada lagiperlunya untuk diceritakan. Tapi entah kenapa. Aku ingin berbagi cerita ini dengan seseorang

    yang aku kenal dan terpercaya.

    Wah. Cerita apa itu? tanyaku pula.

    Cerita disekitar diriku. Kau mau mendengarkannya? tanya Marwan.

    Aku mengernyitkan kening.

    Boleh-boleh saja, silahkanlah, usulku.

    Kalau kau memang mau mendengarkan, menjadi pendengar yang baik, aku ada usulan lain

    terlebih dulu, katanya.

    Maksudmu ?

    Biar aku antarkan istri dan anak-anakku dulu pulang dan setelah itu aku kembali lagi kesini.Anak-anakku harus belajar sore ini, tambahnya.

    Oh begitu. Ya, nggak apa-apa juga. Aku siap mendengar ceritamu, jawabku.

    Mereka pamit. Aku memberi tahu Desi bahwa Marwan akan pulang sebentar mengantarkeluarganya dan dia kembali lagi sesudah itu.

  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    20/121

  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    21/121

    21

    Tidak macet di jalan? tanyaku.

    Tidak. Dan ternyata rumahku dekat saja dari sini. Coba kita bertemu sejak lama, sudah lamapula aku sering main kesini.

    Dimana rumahmu di Pondok Kopi itu tepatnya? tanyaku.

    Di samping Rumah Sakit Islam, jawabnya

    Oh iya. Itu sangat dekat dari sini.

    Komplek perumahan disini bagus. Tertata rapi dan tidak bising. Kalau tempatku dekat dengan

    jalan raya. Kadang-kadang agak bising. Kadang-kadang ramai dengan suara ambulans keluar

    dari rumah sakit.

    Tapi kau kan sehari-hari tidak di rumah. Sampai jam berapa biasanya di toko?

    Benar sih. Aku di toko sampai sekitar jam empat. Aku selalu berusaha sudah sampai di rumah

    sebelum maghrib.

    Kalau benar-benar tertarik, kau pindah saja kesini. Masih banyak tanah kosong di sekitar sini,

    kataku.

    He..he..he.. iya juga. Boleh juga ide itu aku pikirkan. Dan mesjidpun dekat dari sini. Aku betah

    di tempat yang sekarang karena mesjidnya juga dekat. Rumah itu harus dekat dari mesjid. Mudah

    kita pergi shalat berjamaah.

    Kami masih berbincang hilir mudik beberapa saat lagi. Aku jadi tidak sabar untuk mendengarcerita yang akan disampaikannya. Dan segera mengingatkannya.

    Baik. Ngomong-ngomong apa cerita yang akan kau sampaikan ? tanyaku.

    Ya. Cerita lama. Mudah-mudahan kau sabar dan mau mendengarnya. Cerita ini hanya sekedar

    untuk mengeluarkan keprihatinan yang tersimpan lama dalam dadaku dan tidak bisa kuceritakankepada siapapun.

    Maksudnya? Jadi istri kaupun tidak tahu? tanyaku.

    Belum tahu. Belum tahu seperti yang akan kuceritakan kepadamu.

    Baik. Mulailah. Tapi sebentar. Kalau nanti istriku sebentar-sebentar muncul disini, apakah dia

    boleh mendengarkan?

    Boleh saja. Ini bukan cerita rahasia. Bukan sesuatu yang kusembunyikan. Meski tidak mungkin

    kuceritakan ke sembarang orang, jawabnya.

  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    22/121

    22

    Baik kalau begitu. Mulailah.

    Kau ingat kenapa kita berkelahi? tanyanya.

    Aku mengernyitkan kening dan terdiam. Kenapa kami dulu berkelahi? Bukankah waktu itu dia

    menuduhku mempengaruhi Rosmiar agak tidak mau menerima ungkapan cintanya. Jadi agaknyacerita ini akan ada kait berkait denganku? Tanyaku dalam hati.

    Seingatku, kau menuduhku menghalangi Rosmiar untuk jadi pomlemu. Bukankah begitu?

    tanyaku.

    Bukan sekadar itu. Aku menuduhmu bahwa kau mengatakan sesuatu tentang ayahku,

    jawabnya.

    Kau menuduhku, bahwa aku mengatakan sesuatu tentang ayahmu? Ah, nggak. Tentang apa?Seingatku kau marah-marah karena Rosmiar menolakmu jadi pomlemu. Bukan begitu?

    Bukan. Rosmiar mengatakan bahwa dia tidak mau denganku karena aku anak orang PKI.

    Bahwa semua orang tahu bahwa aku anak orang PKI. Dan dia juga menyebut bahwa kau jugatahu bahwa aku anak orang PKI.

    Aku malahan tidak ingat itu. Lalu kenapa?

    Sebenarnya aku memang adalah anak orang PKI, katanya. Aku kembali terdiam. Apamaksudnya?

    Maksudmu?

    Maksudku, aku benar-benar anak seorang PKI. Ayahku PKI. Ayahku anggota partai terlarang

    itu. Lagi-lagi aku terdiam.

    Inilah yang ingin kuceritakan. Bahwa aku mendapat pengalaman istimewa karena ayahku PKI

    itu. Entah dari mana cerita ini akan aku mulai. Ringkasannya dululah biar kau punya bayangan.

    Ayahku dulu seorang pegawai kantor pos. Awalnya ayahku bukanlah orang yang menyenangipolitik. Justru ibuku yang lebih aktif dalam hal-hal politik. Ibuku aktif di Aisyiah dan jadi

    anggota Masyumi. Waktu terjadi peristiwa Gestapu, pamor PKI hancur. Orang-orang PKI

    menghilang atau dihilangkan. Tapi ayahku sendiri selamat. Beliau hanya berhenti atau disuruh

    menghilang saja oleh atasannya di kantor. Beliau tinggal saja di rumah dan kembali sakit-sakitan. Ayahku memang agak penyakitan. Sampai beliau menemui ajalnya lima tahun kemudian

    di tahun 70.

    Marwan menarik nafas. Aku memandangnya dengan mata tak berkedip. Aku tidak bisa

    bersuara.

    Ayahku menitipkan aku kepada adik beliau, pak etekku yang merantau di Surabaya. Itulah

    sebabnya aku melanjutkan sekolah kesana. Tamat SMA aku masuk ITS, jurusan mesin. Tahun

  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    23/121

    23

    77 aku tamat dari ITS. Agak terlambat karena aku menyambil membantu pak etekku berdagang.

    Setelah tamat aku mulai bekerja. Akupun dulu bekerja di perminyakan seperti kau. Sejak awal

    tahun 78. Tahun 79 aku menikah. Dengan orang Maninjau. Sayang kami tidak dikaruniai anak.Tahun 83 terjadilah huru hara. Seorang karyawan lapangan, yang adalah teman kita juga,

    sekampung dengan ayahku pindah ke kantor pusat di Jakarta. Baru beberapa hari saja, dia

    mengingatkan aku agar segera minta berhenti saja. Aku tentu saja kaget. Ada apa, tanyakukepadanya.

    Kau sebaiknya minta berhenti saja baik-baik dan segeralah menghilang, katanya. Aku kembali

    bertanya, kenapa. Waktu itu, kalau kau masih ingat, sangat gencar diadakan screening. Kau pastijuga pernah mengalami. Akupun menjalaninya. Memang setiap kali ditanya tentang orang tua,

    apakah terlibat dengan partai terlarang, aku sudah barang tentu menyembunyikan dan

    mengatakan tidak. Nah, inilah yang diungkitnya waktu dia datang berbicara empat mata

    denganku. Katanya, pada kesempatan screening berikutnya, kalau dia ditanya tentang aku danayahku, sebagai teman sekampung, dia pasti akan mengatakan yang sebenarnya.

    Marwan kembali berhenti sejenak dan memandang ke arahku. Mungkin ingin meyakinkandirinya bahwa aku mau mendengar ceritanya itu. Padahal aku sedang mendengarkan dengan

    penuh perhatian.

    Terus bagaimana ? tanyaku pendek.

    Mula-mula aku menganggap ucapannya hanya main-main. Mana mungkin dia akan

    menggulingkan periuk nasiku dengan cara seperti itu. Tapi dia sangat serius. Dia berulang-ulang

    mengingatkanku. Aku mulai agak penasaran dan mengingatkan bahwa bukankah tidak ada

    untungnya baginya membuka cerita itu. Tapi dia tetap bersikeras. Katanya kalau didiamkan,termasuk dia pasti akan celaka suatu hari nanti. Dan dia tidak mau mengambil resiko itu.

    Ringkas cerita, nanti akan aku jelaskan lebih rinci kalau kau tertarik, karena aku menolakmengundurkan diri, dia benar-benar melaporkan kepada petugas screening itu bahwa aku adalah

    anak orang PKI. Aku hampir diseret kepengadilan karena dianggap telah menipu dengan

    menyembunyikan kebenaran. Untung tidak jadi. Hanya dipecat dengan tidak hormat dariperusahaan tempatku bekerja. Dan tambahan atau bonusnya sesudah itu, beberapa bulan

    kemudian istriku minta cerai. Dia pergi meninggalkanku.

    Itulah kesimpulan dari cerita itu. Tentu ada rinciannya. Tapi aku hanya akan menceritakan kalau

    kau berminat mendengarkannya lebih jauh, Marwan mengakhiri ceritanya sementara.

    Aku terperangah mendengarnya. Aku tahu cerita screening. Akupun berkali-kali melaluinya.

    Menjawab pertanyaan yang memang kadang-kadang menggiring dan menjurus. Yang kalau

    salah-salah jawab bisa menimbulkan masalah. Tapi karena aku memang tidak punya masalah

    tidak pernah aku mendapat kesulitan apa-apa. Aku juga mengenal teman sekantor dulu yang jugadiberhentikan karena terindikasi terlibat. Bahkan ada yang cucu dari orang PKI juga

    diberhentikan. Gara-gara dia cucu seorang anggota PKI. Aturan bersih lingkungan di jaman Orde

    Baru itu memang sangat susah dimengerti.

  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    24/121

    24

    Aku prihatin mendengar ceritamu, kataku setelah kami sama-sama hening beberapa saat.

    Aku bukan minta simpati. Toh ini cerita lama. Sudah dua puluh tahun lebih yang lalu, kataMarwan.

    Teman yang melaporkan itu, kau bilang teman kita. Maksudmu teman satu SMP?

    Ya, tapi dibawah kita dua tahun. Mungkin kau tidak mengenalnya. Dia sekampung dengan

    ayahku. Masih sekampunglah denganku.

    Apakah kalian punya masalah di kampung? Kenapa dia sebegitu teganya melakukan itu

    kepadamu?

    Aku tidak yakin bahwa ada masalah. Tapi mungkin dari pihak orang itu seperti ada masalah.

    Lain lagilah ceritanya, kata Marwan.

    Aku jadi penasaran. Apa sebenarnya yang terjadi? Marwan memandang ke depan denganpandangan setengah kosong. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Kami kembali sama-sama

    terdiam.

    Maaf, tapi....... Sebenarnya ayahmu itu benar-benar PKI nggak sih ? Kau bilang beliau bukan

    orang politikpada dasarnya, aku bertanya memecah kesunyian.

    Panjang lagi ceritanya itu, jawabnya.

    Cobalah ceritakan sedikit! kataku.

    Pada awalnya ayahku tidak pernah tertarik dengan politik. Tapi tidak pula terlalu alergi denganpolitik. Ayah menerima bahwa ibu adalah aktifis Masyumi. Seingatku tidak pernah ada masalah.

    Sampai suatu hari, saudara kembar ayah di bunuh tentara PRRI. Ayah dan pak tangah itu sangatdekat satu sama lain. Ibaratnya kalau yang satu disakiti yang lain benar-benar merasa pula

    kesakitan. Nah, sesudah saudara kembar beliau itu terbunuh, ayah jadi agak labil. Beliau marah

    dan benci kepada PRRI, meski yang berbuat itu mungkin hanya oknum saja di kalangan PRRI.

    Dalam suasana labil itu, ayah didekati atau entah bagaimanalah ceritanya, oleh seseorang yanglebih tua dari ayah. Datuk Rajo Bamegomego gelar beliau, orang sekampung dengan ayah.

    Beliau ini seorang PKI sejak lama. Pelan-pelan, ayah mulai tertarik dan ikut partai komunis itu.

    Dan ayahmu aktif di partai itu? aku menyela.

    Kalau menurut pendapatku beliau hanya ikut-ikutan. Karena di partai itu sepertinya dipupuk

    rasa kebencian kepada PRRI. Kepada Masyumi dan sebagainya.

    Nah, bagaimana dengan ibumu. Kan ibumu justru orang Masyumi?

    Disana aku yakin bahwa ayah hanya sekadar ikut-ikutan. Beliau bercerita di rumah, bahwa

    inyiak Datuk Rajo Bamegomego berkali-kali menyuruh beliau menceraikan saja ibuku.

    http://void%280%29/
  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    25/121

    25

    Kenyataannya beliau tidak pernah melakukannya. Dan kadang-kadang di rumah, keluar juga dari

    mulut beliau tentang ketidakberesan partai komunis itu.

    Misalnya?

    Kau ingat tidak? Waktu itu di kampung kita diperintahkan menggali lubang perlindungan disetiap pekarangan rumah? Di tahun-tahun 1964?

    Ya, aku ingat. Di kampung kami juga ada perintah itu. Aku masih ingat letak lubangperlindungan itu di samping rumah kami. Dalamnya kira-kira satu meter, lebar enam puluh senti

    meter dan harus dibuat cukup untuk tempat semua penghuni rumah. Katanya waktu itu untuk

    tempat berlindung seandainya rumah kita diserang tentara Inggeris, waktu kita sedangmengganyang Malaysia, jawabku.

    Ayahku bercerita, dalam rapat disebutkan bahwa lubang itu sebenarnya adalah untuk jadikuburan penghuni rumah. Siapa saja yang jadi musuh revolusi akan dibunuh, dan mayatnya

    tinggal dimasukkan ke dalam lubang yang sudah disiapkan itu. Biar tidak mencurigakan,perintah membuat lubang diberikan kepada setiap warga.

    Oh ya? Mengerikan sekali. Tapi untunglah, seingatku tidak ada berita ada musuh revolusi yang

    dibunuh dan dikuburkan ke lubang perlindungan itu. Dan ayahmu bercerita seperti itu di rumah,maksudnya untuk apa?

    Untuk menunjukkan bahwa beliau tidak setuju dengan pemikiran itu. Tapi beliau tidak bisamembantahnya di dalam rapat, lalu mengeluarkan ceritanya kepada ibuku di rumah.

    Tadi kau bilang, awalnya karena saudara kembar ayahmu dibunuh PRRI sehingga beliau

    akhirnya ikut-ikutan bersimpati dengan PKI. Memangnya kenapa saudara ayahmu itu dibunuh?

    Begini lagi ceritanya, Marwan melanjutkan lagi cerita itu.

    (5) Saudara Kembar

    Thursday, 20 November 2008

    Sumatera Tengah di tahun 1958 adalah negeri yang bergolak. Sekelompok besar masyarakat didaerah itu menentang pemerintah pusat Republik Indonesia dan memproklamirkan perang.Perlawanan dibawah panji Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia disingkat PRRI

    menentang negara Republik Indonesia. Di Sumatera Barat sebahagian sangat besar penduduk

    mendukung PRRI dan ikut berpartisipasi baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

    Hampir semua pegawai negeri, bahkan saudagar dan petani melibatkan diri, mengangkat senjatabergabung dengan PRRI.

    Tentara APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) didatangkan ke Sumatera Tengah untuk

    memerangi PRRI. Orang-orang PRRI itu, entah karena pertimbangan apa, mengundurkan diri ke

  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    26/121

    26

    hutan. Namun sebagian besar pula, setelah beberapa bulan perang berkecamuk, tidak sanggup

    bertahan, lalu kembali. Istilahnya kembali ke pangkuan ibu pertiwi.

    ***

    Syamsuddin dan Burhanuddin adalah dua saudara kembar. Yang sehati lahir dan batin. Salingmengasihi, saling merindukan kalau dipisahkan. Begitu sejak masa kanak-kanak, begitu juga

    sampai mereka dewasa bahkan sampai mereka sudah berumah tangga, beranak pinak.

    Syamsuddin bekerja sebagai pegawai negeri. Pegawai kantor pos. Diawalinya sebagai petugas

    pengantar surat dengan sepeda dan terakhir sebagai pegawai kantoran di Bukit Tinggi.

    Syamsuddin sedikit lemah secara fisik, sering sakit. Orang kampung menyebutnya sakit jariah,dokter menyebut asma. Waktu dia bekerja sebagai pengantar surat dari kantor pos, kalau cuaca

    baik dia cukup sehat. Tapi kalau cuaca buruk di musim penghujan dia sering jatuh sakit. Sakit

    jariah atau sesak nafas. Atas pertimbangan itu akhirnya dia segera dipindahkan bekerja ke

    kantor.

    Burhanuddin kebalikannya adalah seorang yang sangat kuat secara fisik. Dia jadi pedagang

    tembakau di Paya Kumbuh. Usahanya lumayan maju. Tembakau yang dikumpulkannya dikirimke Medan. Kalau sehabis musim panen tembakau, tiap hari oto prah mengangkut tembakau

    dagangannya ke sana.

    Ketika perang PRRI meletus, Burhanuddin ikut mendaftar untuk jadi pejuang PRRI. Sebenarnya

    Syamsuddin juga ikut-ikutan mendaftar. Tapi karena pertimbangan kesehatan hanya

    Burhanuddin yang diterima.

    Ditinggalkannya usaha dagangnya yang sedang maju-majunya. Karena semangat

    kesetiakawanan. Karena hampir semua orang laki-laki yang berumur di antara 18 tahun sampai45 tahun di kampungnya ikut keluar, begitu istilahnya. Artinya ikut ambil bagian dalam perangsebagai tentara PRRI.

    Meskipun dia tidak punya latar belakang militer sedikitpun. Belum pernah dia memegang

    senjata. Tapi, sekali lagi karena semangat yang sangat menggebu, yakin bahwa mereka harus

    berjuang, menegor pemerintah pusat yang menurut keyakinan mereka telah berlaku tidak adilkepada daerah, Burhanuddin ikut berpartisipasi tanpa ada keraguan.

    Burhanuddin menjadi anggota kompi Kapten Udin Kulabu. Nama komandan itu sebenarnya

    Hasanuddin, seorang tentara asli berpangkat kapten, dan lebih dikenal sebagai Kapten UdinKulabu. Lebih dari separuh anak buahnya adalah tentara asli sedangkan yang lainnya adalah

    tentara karbitan. Dalam kelompok yang terakhir ini termasuk Burhanuddin. Tapi di dalam

    pasukan tersebut tidak ada perbedaan. Semua sama-sama memegang senjata api. Burhanuddinberlatih secara kilat menggunakan senjata api, yang ternyata memang tidak terlalu susah. Dia

    bangga dan senang ikut ambil bagian di dalam kompi yang beranggotakan 120 orang tentara di

    bawah Kapten Udin Kulabu. Markas mereka di kaki gunung Marapi, tapi kadang-kadang merekaberpatroli sampai ke daerah Kamang di utara.

    http://void%280%29/
  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    27/121

    27

    Sebagai saudagar, Burhanuddin adalah orang berduit. Ketika ikut berangkat berperang

    dibawanya bekal, empat buah rupiah emas. Siapa tahu ada juga gunanya nanti. Menyimpan

    empat buah rupiah emas yang digulung dengan sapu tangan di dalam kantong rahasia celananya,lama kelamaan diketahui oleh teman-teman satu kompi. Mula-mula hal itu diketahui oleh teman

    yang selalu bersama-sama, karena dia selalu menarik perhatian ketika berganti pakaian. Dia

    selalu bertingkah berhati-hati sekali. Sehingga temannya bertanya, ada apa sebenarnya. Sekalidua kali dijawab tidak ada apa-apa, malah semakin menarik perhatian temannya itu yang lalumengajak teman lain memperhatikan. Pada suatu kali dia dijebak oleh teman-temannya itu.

    Celana yang selalu ditaruh dan dijaganya hati-hati kalau dia mandi atau berganti pakaian mereka

    ambil secara paksa. Dan terpaksalah dia menceritakan dengan sesungguhnya apa yangdisimpannya dalam celana itu.

    Kabar bahwa dia menyimpan empat buah rupiah emas segera sampai ke telinga komandannya,kapten Udin Kulabu. Dia dipanggil dan dimintai konfirmasi. Burhanuddin menjelaskan bahwa

    memang dia punya empat rupiah emas. Kapten Udin Kulabu menasihati agar uang itu

    dipinjamkan kepadanya saja. Menyimpan uang emas itu sendiri beresiko menjadi incaran orang-

    orang yang berniat jahat, begitu kata komandan. Dia akan menjualnya dan uangnya akandibagikan kepada semua anak buah. Nanti kalau perang sudah usai, Kapten Udin Kulabu pribadi

    yang akan menggantinya, atau paling tidak yang akan mengusahakan mencari gantinya.

    Burhanuddin tidak bisa menolak dan keempat rupiah emas itu diserahkannya. Penyerahan itu

    dilakukan dengan disaksikan beberapa orang. Dan Kapten Udin menandatangani surat tanda

    terima yang juga ditandatangani dua orang dari saksi yang hadir.

    Baru beberapa bulan sejak pecah perang terdengar desas desus bahwa Kapten Udin berencana

    mau menyerah. Dikatakan bahwa dia sedang melakukan kontak dengan fihak APRI. Entahkarena apa. Sebelum berita desas desus itu diketahui seluruh anak buahnya, terjadi peristiwa

    aneh ketika mereka kembali dari sebuah patroli di daerah Kamang. Tidak terdengar suara mobil

    konvoi tentara APRI, tiba-tiba sebagian anggota pasukan itu sudah terkepung di dekat Bukit

    Kalung. Termasuk ke dalam rombongan yang terkepung itu Kapten Udin Kulabu sendiri dengan40 orang anak buahnya. Tidak ada tembak menembak. Sementara anggota rombongan yang lain

    masih berada agak jauh di belakang. Barulah tiba-tiba terdengar suara deruman lima buah truk

    tentara yang rupanya sebelum itu disembunyikan dan sengaja dimatikan mesinnya. Anak buahUdin Kulabu yang tertinggal berusaha menghindar begitu mendengar suara derum mobil. Kapten

    Udin Kulabu dan keempat puluh anak buah yang ikut bersamanya diangkut dengan truk tentara

    itu.

    Beredar lagi berita bahwa Kapten Udin menyerah dengan membayar upeti kepada komandan

    tentara APRI dengan 4 rupiah emas yang didapatnya dari Burhanuddin. Ini untuk melicinkan

    jalan baginya agar dianggap bahwa dia bukan menyerah tapi kembali ke pangkuan ibu pertiwi.Dengan demikian dia tidak ditawan dan karir tentaranya dapat dipertahankan. Konon begitu

    kesepakatan sebelum dia menyerahkan diri.

    Menyerahnya Kapten Udin Kulabu dengan cara seperti itu, menimbulkan rasa sakit hati yang

    mendalam di kalangan sebagian anak buahnya yang tertinggal. Mereka merasa benar-benar

    dikhianati. Sisa pasukan yang berjumlah sekitar 80 orang itu sekarang dipimpin oleh Pembantu

  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    28/121

    28

    Letnan Satu Sulaiman. Burhanuddin termasuk di dalam kelompok yang masih tinggal ini.

    Burhanuddinpun sangat kecewa dengan terjadinya peristiwa itu. Bertambah rasa kesalnya bukankarena kehilangan empat buah rupiah emas, tapi karena merasa dia punya andil untuk

    memuluskan rencana belot Kapten Udin Kulabu. Semangat untuk meneruskan perjuangan ini

    jadi jauh berkurang.

    Dalam kegalauannya, Burhanuddin jadi sangat rindu kepada saudara kembarnya Syamsuddin

    yang sudah berbulan-bulan ditinggalkannya di kampung. Hal ini sering diceritakannya kepadateman dekatnya di pasukan, Sersan Husin. Sersan ini selalu mendengar keluhan Burhanuddin

    tentang kerinduannya yang sangat kepada saudaranya itu. Dia selalu dihibur dan kadang-kadang

    diolok-olok agar sebagai tentara jangan cengeng. Tidak banyak orang yang bisa memahami,

    betapa dekatnya hati dua saudara kembar seperti ini dan betapa beratnya terasa bagi merekaperpisahan itu. Memang sulit bagi orang lain membayangkan hal itu.

    Hari-hari berjalan seperti biasa. Khawatir mereka akan diserang oleh tentara APRI di markas

    yang lama, sesudah Udin Kulabu menyerah, Letnan Sulaiman memindahkan tempat bertahanmereka ke daerah Kamang dan kemudian ke daerah Pasaman.

    Pasaman adalah daerah yang banyak berawa-rawa. Daerah yang rawan dengan nyamuk malaria.

    Mungkin karena masih dalam keadaan jiwa terpukul, fisiknya berubah menjadi lemah,

    Burhanuddin terserang demam malaria. Panasnya tinggi dan seringkali dalam demamnya diamengigau. Igauannya selalu tentang penyesalan dan kerinduannya kepada Syamsuddin. Berhari-

    hari dia sakit demam panas seperti itu.

    Komandan baru Letnan Sulaiman sangat prihatin melihat kondisi Burhanuddin. Disamping

    karena sakitnya itu menjadi beban kepada anggota pasukan yang lain. Dia memutuskan untuk

    menyerahkan Burhanuddin melalui wali nagari di Bonjol, tempat yang terdekat waktu itu.

    Lepas tengah malam pada suatu malam dia diantar ke rumah wali nagari itu dengan ditandu.

    Masih dalam keadaan demam panas dan banyak mengigau. Di rumah wali nagari itu dia dirawat.

    Alhamdulillah setelah beberapa hari penyakitnya mulai sembuh. Oleh wali nagari kehadirannyadilaporkan kepada komandan APRI disana. Dia dijemput setelah dia sembuh dan dibawa ke

    Bukit Tinggi. Di markas APRI di Bukit Tinggi dia diinterogasi. Dia mengaku terus terang bahwa

    dia anggota PRRI, anak buah Kapten Udin Kulabu. Dalam keadaan sakit dan tidak sadar diaditinggalkan teman-temannya dan waktu sadar dia sudah berada di rumah wali nagari di Bonjol.

    Cerita itu dipercayai komandan tentara, karena cocok dengan laporan wali nagari bahwa dia

    ditemukan di tepi hutan dalam keadaan sakit dan tidak sadarkan diri. Anehnya dia tidak

    dipertemukan dengan Kapten Udin Kulabu. Entah dimana keberadaan mantan komandannya itu.Setelah ditahan selama sebulan dia dibebaskan. Burhanuddin sangat gembira.

    Di kampung didapatinya saudaranya Syamsuddin dalam keadaan sakit pula. Tetapi begitu diadatang, aneh sekali, sakit Syamsuddin berangsur-angsur sembuh.

    Dimulainyalah kehidupan baru di kampung. Sebahagian besar kampung dan nagari sudah

    berada dibawah kontrol tentara APRI. Tentara PRRI makin menghindar ke hutan-hutan. Dengan

  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    29/121

    29

    kondisi seperti itu, Burhanuddin kembali menggeluti usaha lamanya, berdagang tembakau di

    Paya Kumbuh.

    Semua berjalan lancar-lancar saja. Meskipun pada awalnya perdagangannya sangat mundur

    dibandingkan dengan sebelum pecah perang, tapi sedikit demi sedikit geliatnya terasa makin

    membaik. Burhanuddin tetap tinggal di kampung dan mengurus perdagangannya bolak balik darikampung ke Paya Kumbuh. Ada terbersit di hatinya untuk pindah menetap di Paya Kumbuh

    sementara, tapi selalu saja ditunda-tundanya. Rasanya belum habis rasa rindu kepada keluarga

    dan saudara kembarnya sesudah berpisah sekitar tujuh bulan.

    Lalu terjadilah mala petaka itu. Pada suatu malam, lewat tengah malam pintu rumahnya diketok

    orang dan namanya dipanggil. Suara yang memanggil itu dikenalnya. Itu adalah suara seorangtemannya di pasukan. Burhanuddin tidak berprasangka apa-apa. Dia bangun dan membukakan

    pintu. Empat orang tentara PRRI, teman-temannya sepasukan tempohari masuk secara kasar.

    Burhanuddin mempersilahkan orang-orang itu duduk. Mereka terlihat sangat kasar, tidak sama

    seperti waktu dulu ketika masih sama-sama di hutan. Yang satu bercarut-carut di tengah malambuta itu mengatakan bahwa Burhanuddin pengkhianat. Istrinya yang terbangun dan ikut keluar

    mendengar suara ribut-ribut, didorong tentara itu agar kembali masuk kamar. Istrinya sangatketakutan dan mendengar saja dari dalam kamar apa yang terjadi diluar. Tentara yang satu orang

    masih saja bercarut-carut dan menuduh. Burhanuddin kaget mendengar tuduhan seperti itu. Dia

    masih mencoba membantah dengan mengatakan bahwa dia telah ditinggalkan ketika dia dalamkeadaan sakit di tengah hutan. Jadi bukan dia yang berkhianat. Keempat orang itu memaksa dia

    agar sekarang ikut lagi ke hutan bersama mereka.

    Anehnya lagi keempat orang itu memaksa, kalau tidak mau ikut mereka, maka mereka minta

    bayaran 4 rupiah emas. Burhanuddin menangkap gelagat tidak benar. Timbul keberaniannya.

    Keempat orang tentara itu dilawannya dalam pertengkaran itu.

    Ini tidak benar. Ini bukannya kalian ingin menjemputku kembali ke pasukan tapi kalian ingin

    merampokku. Aku tidak punya rupiah emas di rumah ini. Kalaupun aku punya aku tidak akanmau menyerahkannya kepada kalian, katanya dengan penuh keberanian.

    Kalau begitu kau harus ikut kami ke pasukan! bentak yang satu.

    Aku tidak keberatan untuk kembali ke pasukan, tapi jangan begini caranya, jawab Burhanuddin

    tegas.

    Kubunuh kau pengkhianat! hardik yang paling sangar sambil menodongkan senjatanya.

    Temannya masih berusaha menahan si sangar itu.

    Kau tidak bisa membunuhku. Aku tidak keberatan untuk kembali ke pasukan kalau ini perintahkomandan. Tapi tidak dengan cara seperti ini. Kalau kalian berniat baik, aku tunggu kalian besok

    malam. Bawakan surat perintah komandan. Aku akan ikut kembali ke pasukan. Tapi kalau tidak

    ada surat, aku tidak mau ikut, kata Burhanuddin tegas.

  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    30/121

    30

    Benar-benar akan kubunuh kau! bentak si sangar kembali

    Mungkin karena mendengar suara ribut-ribut tengah malam itu, petugas ronda kampung yangposnya berjarak 30 meter saja dari rumah Burhanuddin, membunyikan tong-tong tanda bahaya.

    Tentara PRRI itu mungkin panik mendengar suara tong-tong itu. Mereka segera bersiap untuk

    lari keluar. Si sangar masih sempat menarik pelatuk senjatanya yang sudah terarah ke kepalaBurhanuddin. Senjata itu menyalak dan Burhanuddin tersungkur rebah ke lantai bersimbah

    darah. Keempat tentara PRRI itu menghambur ke dalam gelap. Istri Burhanuddin menghambur

    keluar dari kamarnya dan menjerit histeris ketika dilihatnya Burhanuddin sedang dalam sakratulmaut. Beberapa menit kemudian dia menghembuskan nafasnya yang terakhir.

    Hebohlah suasana malam itu. Dan lebih heboh lagi pada pagi harinya. Tentara APRI datangmenyelidik dan menginterogasi istri Burhanuddin tentang ciri-ciri tentara PRRI yang datang tadi

    malam. Istri Burhanuddin yang masih sangat terpukul menjelaskan apa yang dialaminya dan

    suaminya tadi malam.

    Jenazah Burhanuddin dimakamkan pagi hari itu. Yang paling terpukul dengan peristiwa ituadalah saudara kembarnya Syamsuddin. Dia pingsan berkali-kali mendengar berita kejadian itu.

    Dan akhirnya dia kembali jatuh sakit.

    *****

    (6) Syamsuddin Yang MalangWednesday, 03 December 2008

    Kampung berduka dengan kematian Burhanuddin. Masyarakat kampung sangat terpukul dengan

    peristiwa itu, apalagi dengan cara yang tidak disangka-sangka. Tentara PRRI ditembak tentara

    PRRI. Sudah banyak jatuh korban selama perang ini di kampung mereka, tapi sebelum inikebanyakan adalah warga penduduk yang ditembak tentara APRI, baik yang dicurigai sebagai

    orang PRRI, ataupun yang salah tembak karena lari ketakutan waktu tentara APRI masuk

    kampung, terutama anak-anak muda umur belasan tahun. Tapi kali ini, kematian Burhanuddin,seorang anggota PRRI yang pulang karena sakit dan dibunuh oleh sesama tentara PRRI.

    Benarkah karena dia dianggap berkhianat?

    Kenapa Burhanuddin dianggap pengkhianat? Benarkah dia pengkhianat? Padahal dia

    ditinggalkan atas perintah komandannya karena sakit malaria berat waktu itu di Bonjol. Bukandia yang minta ditinggalkan.

    Cerita yang diceritakannya kepada istri dan saudara kembarnya Syamsuddin, tentangkomandannya Kapten Udin Kulabu menyerah, atau lebih tepat berkhianat, mulai dibicarakan

    orang kampung. Karena istri Burhanuddin menceritakannya kepada saudara-saudaranya. Dan

    sesudah itu cerita itu jadi omongan semua orang. Dengan sendirinya simpati orang kampungmulai berkurang kepada PRRI. Perjuangan PRRI dan cara PRRI berjuang sangat jauh dari yang

    digembar-gemborkan selama ini.

  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    31/121

    31

    Tentu saja ikut beredar cerita empat rupiah emas yang digondol komandan khianat itu. Dan

    malam terbunuhnya Burhanuddin, tentara-tentara pembunuh itu juga berupaya meminta empat

    rupiah emas, seperti yang diceritakan istri Burhanuddin. Hal ini tentu saja menambah buruk citraPRRI yang sudah mulai pudar. Kok seperti ini cara berjuang PRRI menuntut keadilan? Kok

    seperti itu moral tentara PRRI? Meskipun sebahagian masyarakat masih ada yang bisa

    melihatnya sedikit lebih jernih. Orang yang datang malam-malam itu bukan tentara PRRI, tapilebih pantas disebut perampok.

    Ada sekelompok kecil orang yang ikut mencibir di kampung dengan peristiwa terbunuhnyaBurhanuddin. Bukan mencibirkan Burhanuddin, tapi mengejek PRRI. Orang-orang yang selama

    ini memang tidak pernah bersimpati kepada PRRI. Kelompok yang terdiri hanya dari beberapa

    orang itu dipimpin oleh seorang pemuka adat. Gelarnya Datuk Rajo Bamegomego. Datuk Rajo

    Bamegomego seorang komunis, seorang PKI tulen. Bencinya kepada perjuangan PRRI selamaini, yang dipelopori oleh orang-orang yang berseberangan secara politik dengan PKI, naik

    sampai ke ubun-ubun. Tapi selama ini kebencian itu hanya disimpan di dalam hati saja, karena

    bagian terbesar penduduk justru sangat pro PRRI. Tidak mungkin dia melawan arus.

    Setelah perang kelihatannya tidak terlalu memihak kepada PRRI, Datuk Rajo Bamegomego

    mulai berani menyuarakan isi hatinya. Mula-mula dengan pelan-pelan. Tapi lama kelamaan diasemakin berani. Orang-orang PRRI yang dipimpin orang-orang Masyumi itu adalah orang-orangyang kontra revolusi, begitu katanya. Pengacau yang menyusahkan rakyat. Cobalah lihat, mereka

    umumkan perang. Siapa yang menderita akibat perang? Tidak lain adalah rakyat. Maka rakyat

    harus bangkit. Harus melawan. Orang-orang kontra revolusi itu harus dihancurkan, harusdibasmi sampai ke akar-akarnya. Rakyat harus bahu membahu menghancurkan kekuatan

    pemberontak yang kontra revolusi itu.

    Cerita seperti ini dihembuskannya dimana-mana. Kalau dulu secara bisik-bisik, sekarang dia

    berani berkoar-koar di lepau kopi. Mari, ikutilah kami. Ikut PKI untuk mengenyahkan

    pemberontak-pemberontak itu. Begitu dia sering berkampanye.

    Satu dua orang mulai tertarik mendengarkan ajakan Datuk Rajo Bamegomego. Kalau dilihat

    sepintas semua yang disampaikannya benar belaka. Sebelum perang PRRI ini kehidupanmasyarakat di kampung-kampung aman-aman saja. Rakyat hidup dalam semangat gotong

    royong yang tinggi. Tapi setelah perang, mula-mula semua orang ikut berperang. Lalu lari masuk

    hutan. Sebagian ada yang kembali karena tidak tahan lalu langsung kabur ke rantau. Sementara

    yang tinggal di kampung tidak pula merasa aman. Siang takut kepada tentara APRI, malam takutkepada tentara PRRI. Akibatnya tatanan masyarakat jadi centang perenang.

    ***

    Lama Syamsuddin terkapar sakit sesudah kematian Burhanuddin. Pada hari Burhanuddindikuburkan dia berkali-kali pingsan. Sepertinya ruhnya ikut dibawa pergi saudara kembarnya itu.

    Belum lepas habis rindunya sesudah berpisah sekian lama, tiba-tiba sekarang saudaranya itu

    seperti direnggutkan dari sisinya. Ketika Burhanuddin muncul di kampung, senang hatinya,

  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    32/121

    32

    langsung sehat badannya. Lama kedua saudara itu bercengkerama seperti anak-anak kecil,

    bercerita, tertawa-tawa, berjalan ke hilir ke mudik di tengah kampung.

    Untunglah istrinya sangat telaten merawat. Dan selalu berusaha memberinya semangat untuk

    tegar dalam menjalani kehidupan. Bagaimanapun juga sudah seperti itu ketentuan Allah Sang

    Maha Pencipta, tidak mungkin dirubah lagi. Burhanuddin tidak mungkin akan hidup kembali.

    Istri yang setia itu berusaha keras mencarikan obat untuknya. Dia berkeyakinan, sakit suaminya

    kali ini lebih banyak disebabkan faktor kejiwaan. Karena saking dekatnya hubungan merekasebagai saudara kembar.

    Alhamdulillah, lama kelamaan penyakit Syamsuddin mulai sembuh. Sedikit demi sedikit diamulai bisa kembali beraktifitas. Bisa pergi sembahyang jumat dan duduk ke lepau.

    ***

    Di sebuah lepau kopi di kampung itu sering terjadi debat politik ala kampung. Yang palinggarang dalam berdebat adalah Datuk Rajo Bamegomego. Hampir pada setiap kesempatan engku

    Datuk ini berkampanye tentang partainya PKI. Tentang revolusi. Tentang pentingnya arti

    kekuatan segenap rakyat, termasuk buruh dan tani dalam mengawasi negeri ini. Sayangnya pula,tidak banyak yang sanggup mematahkan kaji orang tua ini. Ada yang segan karena dia iniseorang penghulu. Ada yang memang tidak tahu apa-apa sehingga segala yang keluar dari mulut

    engku Datuk indah saja terdengarnya. Kalaupun ada yang menggerutu tidak setuju hampir tidak

    pernah berani mematahkan pendapatnya.

    Syamsuddin sering mendengar ceramah Datuk Rajo Bamegomego di lepau itu. Ikut terbakar

    emosinya. Timbul simpatinya kepada engku Datuk itu. Lama-kelamaan simpati itupun semakinterbaca oleh engku Datuk. Jadilah dia ditawari ikut barisannya, ikut masuk partainya, PKI.

    Syamsuddin tidak serta merta menerima. Sempat juga dia berdiskusi dengan istrinya di rumah.

    Istrinya melarangnya ikut partai merah itu. Ketika dia bertanya apa alasannya, istrinya hanyamengatakan bahwa dia merasa partai komunis itu berbahaya. Kalau hanya perasaan tentulah

    tidak boleh dijadikan alasan, begitu jawabnya. Istrinya mengingatkan lagi bahwa orang-orang

    PKI itu atheis. Mereka tidak percaya dengan Tuhan. Syamsuddin kembali mematahkan, biarlahdia jadi komunis yang perkecualian, karena dia adalah orang yang tetap memelihara

    sembahyang. Dia tetap percaya dengan Allah Tuhan Yang Maha Kuasa.

    Akhirnya diapun masuk menjadi anggota PKI. Resmi dan diberi kartu anggota PKI. Senang hatiDatuk Rajo Bamegomego, karena dia salah satu orang berpendidikan yang berhasil direkrutnya.

    Seorang pegawai kantor, meski dia hanya tamat sekolah desa di jaman Belanda.

    Syamsuddin selalu diajaknya ikut kalau dia pergi rapat ke Bukit Tinggi atau ke Padang.

    Syamsuddin selalu diindoktrinasi, agar menjadi kader yang benar-benar militan. Tidak boleh

    melempem, tidak boleh loyo dan lemah, jangan hanya jadi kader sontoloyo, begitu selalu pesanengku Datuk kepadanya.

  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    33/121

    33

    Perang PRRI akhirnya selesai. Orang-orang PRRI akhirnya menerima untuk kembali ke

    pangkuan Ibu Pertiwi meski pada hakekatnya mereka sudah dikalahkan. Para pemimpinnya

    ditahan pemerintah, tapi tentara biasa umumnya dimaafkan dan dibolehkan kembali kemasyarakat. Tapi luka akibat perang itu tertoreh sangat dalam. Sebahagian besar orang laki-laki

    yang tadinya ikut berperang, berhamburan ke rantau. Malu untuk tetap tinggal di kampung.

    Yang ikut menang adalah PKI. Partai itu semakin lantang saja suaranya. Memaki ke kiri dan kekanan, memusuhi setiap yang mereka anggap sebagai musuh revolusi. Yang dituduh sebagai

    antek-antek kapitalis dan kolonialis. Di kampung-kampung, laki-laki sudah banyak yang pergi

    merantau. Yang tinggal umumnya hanyalah petani, dan banyak di antaranya yang masih butahuruf. Ada petani yang tidak bersekolah itu yang mau diajak masuk partai komunis dengan

    diiming-imingi cangkul dan sabit. Walaupun tidak banyak.

    Syamsuddin selalu dibawa Datuk Rajo Bamegomego mengunjungi orang-orang kampung yang

    petani itu. Di hadapan mereka biasanya engku Datuk berpidato berapi-api. Pidato itu sering kali

    tidak terlalu jelas ujung pangkalnya, tapi secara sederhana isinya adalah ajakan, mari ikut

    dengan kami, mari ikut masuk PKI, kita hancurkan musuh revolusi.

    Sebenarnya engku Datuk seringkali dibuat jengkel oleh Syamsuddin karena tidak menurut semuaperintahnya. Ada dua perintah engku Datuk yang tetap dilanggarnya. Pertama perintah

    meninggalkan sembahyang. Mulai dengan cara halus, dengan mengatakan mengerjakan

    sembahyang itu nanti saja kalau perjuangan sudah selesai. Dengan cara setengah kasar, dengan

    mencemeeh apa gunanya sembahyang yang membuang-buang waktu, tidak ada manfaatnya.Sampai dengan cara kasar, dengan mengatakan Syamsuddin bodoh, mau tunggang tunggik

    menghadap yang sudah pasti tidak ada.

    Hal kedua yang tidak kunjung dikerjakan Syamsuddin adalah menceraikan istrinya yang anggota

    Masyumi itu.

    Kamu harus menceraikan istrimu yang musuh dalam selimut itu Marajo, ujar Datuk Rajo

    Bamegomego pada suatu kesempatan.

    Gelar Syamsuddin adalah Sutan Marajo.

    Musuh bagaimana engku Datuk? Dia taat dan patuh kepada saya. Apa alasan saya

    menceraikannya?

    Kamu jangan jadi komunis sontoloyo. Masak kamu tidak melihat orang seperti istrimu itumusuh? Dia orang Masyumi. Masyumi itu partainya para pemberontak. Masak kamu tidak

    faham?

    Di rumah dia tidak sejahat itu engku. Baju saya dicucikannya, makanan saya dimasakkannya,

    anak-anak saya diurusnya, bagaimana mungkin saya akan menceraikannya?

    Kau betul-betul bodoh. Kalau itukan memang sudah menjadi tugas istri. Ceraikan dia, cari istri

    yang lain, yang sefaham dengan perjuangan kita. Kalau kau dapat istri baru, maka tugas istrimu

  • 7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik

    34/121

    34

    itu nantipun akan seperti itu juga. Mencucikan bajumu, memasakkan nasi untukmu, engku

    Datuk bertambah marah.

    Tapi diakan ibu anak-anak saya. Masakan harus beributiri pula anak-anak saya?

    Hei Marajo teleng!. Orang komunis sejati itu merah darahnya, merah tulangnya, merah hatinya,merah segala-galanya. Jangankan menceraikan istri, kalau diharuskan oleh perjuangan, kalau

    memang terbukti istri itu musuh, seorang komunis sejati tidak akan ragu-ragu membantai

    istrinya. Jangankan istri, orang tuanyapun bila perlu sanggup dia membantai. Jelas olehmu?Camkan itu! Kalau kau tidak mau menjadi kader yang militan kau akan digilas roda revolusi.

    Hati-hati kau! Aku sudah berkali-kali mengalangkan leherku membela kau di hadapan kamerad

    lain di Padang. Gara-gara sembahyang kau. Sembahyang yang jelas tidak ada gunanya itu.Pekerjaan orang sakit jiwa yang percaya takhayul. Percaya sesuatu yang tidak ada. Kamerad

    yang lain sudah ingin agar kau keluar saja. Kau diselesaikan saja. Kau hanya akan menjadi

    penyakit di dalam tubuh partai. Aku masih kasihan kepadamu. Makanya aku kalangkan marihku

    membelamu. Kau tak kunjung faham-faham juga.

    Syamsuddin diam saja. Dalam hatinya sedikitpun tidak ada niatnya untuk menceraikan istrinya.

    Partai ini sepertinya makin kelihatan tidak sendereh. Tapi sayang dia sudah berada di dalam.Biarlah, selama kemarahan Datuk Rajo Bamegomego baru sampai sejauh itu masih bisa

    ditahankannya. Biarpun dia bercarut-carut bungkang sekalipun. Tapi kalau sudah mengancam-

    ancam mungkin dia harus berpikir lebih jauh. Dia tidak yakin engku Datuk akan berbuat lebihjahat kepadanya. Paling tidak belum sekarang ini. Karena selama ini dia masih sangat

    dibutuhkan. Sekurang-kurangnya, kalau ada urusan rapat ke Padang selalu dia yang membayar

    karcis oto.

    Jadi dia aman-aman saja. Kalau engku Datuk kembali heboh, kapanpun, cukuplah dia

    mengorbankan telinganya saja. Didengar dengan telinga kanan, dikeluarkan kembali lewattelinga kiri.

    Di rumah segala cerita ganjil-ganjil yang didapatnya dari lingkungan partai diceritakannyakepada istrinya. Istrinya menasihatinya supaya segera sajalah keluar dari partai itu. Partai yang

    terlalu kasar sepak terjangnya dan sangat menghina akidah. S