anafilaksis penyakit dalam

20
ANAFILAKSIS Gatot Soegiarto, Putu Gede Konthen, Chairul Effendi, Ari Baskoro DEFINISI Reaksi alergi sistemik dapat terjadi akibat berbagai macam bahan yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Reaksi tersebut dapat timbul dengan begitu cepat tanpa tanda-tanda peringatan sebelumnya dan merupakan salah satu kondisi gawat darurat medic. Anafilaksís adalah reaksi sistemik tipe segera yang dimediasi oleh interaksi antara alergen dengan IgE yang terikat pada permukaan sel mast atau basofil. Interaksi tersebut mencetuskan pelepasan beberapa jenis mediator yang menimbulkan berbagai manifestasi kiinis, meliputi gejala kulit (urtikana, angioedema, kemerahan pada kulit wajah, pruritus generalisata); gejala pemapasan (takipnea, suara parau, edema laring, bronkospasme, sesak napas); gejala kardiovaskuler (takikardia, bipotensi, angina, aritmia); gejala gastrointestinal (disfagia, rasa panas di ulu hati, kram perut, hiperperistaltik, diare, muai dan muntah); dan gejala-gejala lain (konjungtivitis, rinitis, nyeri kepala, pusing, kontraksi uterus, kejang, dan lain—lain). Reaksi anafilaktoid secara klinis sulit dibedakan dan anafilaksis, namun mekanismenya tidak melibatkan IgE. Sindroma klinis ini terjadi sebagai akibat paparan terhadap

description

anafilaksis

Transcript of anafilaksis penyakit dalam

ANAFILAKSISGatot Soegiarto, Putu Gede Konthen, Chairul Effendi, Ari Baskoro

DEFINISIReaksi alergi sistemik dapat terjadi akibat berbagai macam bahan yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Reaksi tersebut dapat timbul dengan begitu cepat tanpa tanda-tanda peringatan sebelumnya dan merupakan salah satu kondisi gawat darurat medic.Anafilakss adalah reaksi sistemik tipe segera yang dimediasi oleh interaksi antara alergen dengan IgE yang terikat pada permukaan sel mast atau basofil. Interaksi tersebut mencetuskan pelepasan beberapa jenis mediator yang menimbulkan berbagai manifestasi kiinis, meliputi gejala kulit (urtikana, angioedema, kemerahan pada kulit wajah, pruritus generalisata); gejala pemapasan (takipnea, suara parau, edema laring, bronkospasme, sesak napas); gejala kardiovaskuler (takikardia, bipotensi, angina, aritmia); gejala gastrointestinal (disfagia, rasa panas di ulu hati, kram perut, hiperperistaltik, diare, muai dan muntah); dan gejala-gejala lain (konjungtivitis, rinitis, nyeri kepala, pusing, kontraksi uterus, kejang, dan lainlain).Reaksi anafilaktoid secara klinis sulit dibedakan dan anafilaksis, namun mekanismenya tidak melibatkan IgE. Sindroma klinis ini terjadi sebagai akibat paparan terhadap suatu zat yang dapat secara langsung (nonimunologis) merangsang sel mast dan basofil untuk mengeluarkan mediatornya.EPIDEMIOLOGIKejadian anafilaksis sering kali tidak dilaporkan, karenanya insidens yang tercatat (mobiditas dan mortalitas) mungkin lebih rendah dari kenyataan yang terjadi. Diperkirakan dalam 1 tahun anafilaksis fatal terjadi pada 154 di antara 1 juta penderita rawat inap di seluruh dunia. Di Amerika Serikat risiko seseorang untuk mengalami anafilaksis adalah 1-3%. Berdasarkan ekstrapolasi data-data di Amerika Serikat, dan 280 juta penduduknya diperkirakan kejadian anafilaksis adalah 84.000 kasus per tahun dengan angka kematian sebesar 1%.Alergi makanan, terutama terhadap kacang tanah dan kacang polong, merupakan penyebab utama anafilaksis (sepertiga dan jumlah kasus secara keseluruhan) disusul oleh alergi terhadap antibiotika laktam. Penyebab utama reaksi anafilaktoid adalah media kontras radio grafis.FAKTOR PREDISPOSISIBeberapa faktor diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis: Sifat alergen. Beberapa zat tertentu lebih sering menyebabkan anafilaksis (obat golongan Penisilin, pelemas otot, media kontras radio grafis, aspirin, lateks, kacangkacangan, kerang) Jalur pemberian obat. Pemberian obat secara parenteral lebih cenderung menimbulkan anafilaksis dibandingkan pemberian per oral, namun anafilaksis dapat terjadi melalui berbagai jalur pemberian. Riwayat atopi. Adanya riwayat atopi meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis (misalnya terhadap lateks, media kontras radio grafis, dan anafilaksis setelah latihan fisik). Sebagian besar penderita anafilaksis idiopatik memiliki riwayat atopi. Basofil pada pendenta topik lebih reaktifdan lebih mudah mengalami degranulasi dibandingkan penderita nonatopik. Kesinambungan (constantcy) paparan alergen. Pemakaian obat yang sering terputus dapat meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis. Sebagian besar penderita yang alergi terhadapat insulin tidak mengalami anafilaksis, kecuali jika pemberian insulin tersebut terputus dan diberikan kembali setelah beberapa waktu. Pemberian imunoterapi berupa injeksi ekstrak alergen pada penderita yang penyakit alerginya sedang tidak terkendali. Injeksi ekstrak allergen pada penderita asma yang belum terkendali akan meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis.

ETIOLOGIPenyebab anafilaksis paling sering adalah allergen makanan, obatobatan, sengatan serangga, dan media kontras radio grafis. Daftar bahan-bahan yang sering menyebabkan menyebabkan anafilaksis atau reaksi a1erg sistemik tipe segera lainnya dapat dilihat pada Tabel 1.Anafilaksis dapat terjadi melalui berbagai jalur paparan alergen termasuk melalui oral, topikal, perkutan, subkutan, intramuskuler, intravenous, maupun endotrakeal. Paparan melalui oral lebihjarang menimbulkan anafilaksis dibanding parenteral dengan gejala yang lebih ringan.

MEKANISME IMUNOPATOLOGISBeberapa mekanisme (imunologis maupun nonirnunologis) memungkinkan zat asing untuk mernicu timbulnya reaksi sistemik tipe segera (lihat Tabel 1).1. Proses yang dimediasi oleh gEKarena mekanismenya dimediasi oleh IgE, maka harus ada fase sensitisasi imunologis sebelum anafilaksis timbul. Karena itu reaksi ini tidak terjadi pada paparan pertama terhadap suatu zat tertentu. Antibodi IgE yang terbentuk dapat berinteraksi secara langsung dengan protein asing yang imunogenik, atau berinteraksi dengan hapten yang tenkat secara kovalen dengan suatu molekul makro (carrier).2. Aktivasi sistem komplernenReaksi terhadap darah atau komponen darah diduga terjadi melalui pembentukan kompleks imun yang diikuti oleh aktivasi system komplemen. Kompleks antara IgG atau 1gM dan protein asing mengaktif kan komplemen, menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a, yang pada gilirannya memicu pelepasan histamin.3. Degranulasi sel mast secara langsungBeberapa jenis obat dapat secara langsung mengaktif kan sel mast dan memicu degranulasi, antara lain opiat dan beberapajenis pelemas otot. Reaksi sistemik dapat langsung terjadi pada paparan pertama karena tidak diperlukan fase sensitisasi. 4. Abnormalitas metabolisme asam arakidonat Reaksi sistemik terhadap aspirin dan OAINS terjadi sekitar 1% dalam populasi. Kemungkinan terjadinya anafilaksis tergantung dan potensi masing-masing obat dalam menghambat sintesis prostaglandin.5. Tidak diketahuiTidak ada mekanisme pasti yang dapat dipakai untuk menjelaskan beberapa jenis anafilaksis, misalnya anafilaksis idiopatik atau anafilaksis yang terjadi setelah latihan fisik.

MEDIATOR BIOKIMIAWI ANAFILAKSISMediator biokimiawi dan zat-zat kemotaktik yang dilepaskan saat degranulasi sel mast dan basophil meliputi mediator-mediator yang sudah terbentuk sebelumnya seperti bistamin, triptase, kimase, heparin, histamine releasing factor, dan sitokinsitokin lainnya; serta mediatormediator yang barn terbentuk, seperti prostaglandin 2 (PGD2), leukotrien B4 (LTB4), platelet-activating factor, dan leukotrien sisteinil LTC4, LTD4, LTE4. Eosinofil memiliki peran ganda dalam anafilaksis, sebagai proinflamasi (melalui pelepasan protein granula sitotoksik) atau antiinflamasi (melalui metabolisme mediator vasoaktif).

HistaminHistamin bekerja melalui ikatan dengan reseptor H1 dan H2. Rangsangan pada reseptor H1 akan menimbulkan efek pruritus, peningkatan produksi lendir mukosa hidung, akikardia, dan bronkospasme sedangkan nyeri kepala, kemerahan pada wajah, dan hipotensi disebabkan oleh rangsangan pada reseptor H1 dan H2. Kadar histamin dalam plasma berkorelasi dengan derajat keparahan manifestasi kardiopulmoner atau gastrointestinal.

Triptase Triptase adalah satu-satunya protein yang terkonsentrasi secara selektifdalam granula sekretorik sel mast. Kadar dalam plasma selama terjadinya degranulasi sel mast berkorelasi dengan derajat keparahan kiinis anafilaksis.

Nitric Oxide dan Mediator Inflamasi Lainnya Ikatan antara histamin dan reseptor H1 pada saat anafilaksis juga merangsang sel endotel untuk mengubah asam amino L-arginin menjadi nitric oxide (NO), suatu vasodilator yang kuat. NO mengaktif kan guanilat sikiase menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan produksi siklik guanosin monofosfat (cGMP). Secara fisiologis NO ikut menentukan tonus vaskuler dan tekanan darah regional. Peningkatan NO sebenarnya dimaksudkan untuk mengurangi manifestasi kiinis anafilaksis seperti ronkospasme atau depresi miokard, namun secara tidak langsung ikut berperan pada tirnbulnya vasodilatasi yang terjadi selama anafilaksis. Metabolit asam arakidonat meliputi hasilhasil metabolisme melalui jalur lipo-oksigenase dan siklooksigenase. LTB4 merupakan zat kemotaktik yang mampu mengerahkan sel-sel radang lain untuk ikut berperan dalam anafilaksis atau reaksi anafilaktoid. Efek yang ditimbulkan oleh leukotrien sisteinil sama dengan efek kerja histamin dan triptase antara lain berupa bronkospasme, hipotensi, dan eritema.Selama episode anafilaksis terjadi aktivasi komplemen, kaskade pembekuan darah, dan system kontak kallikren-kinin, yang secara bersama-sama berperan memperpanjang dan meningkatkan proses inflamasi yang terjadi. Penurunan kadar C3 dan C4, serta peningkatan C3a dapat diamati selama anafilaksis. Terjadi penurunan kadar faktor V, faktor VIII, dan fibrinogen. Penurunan kadar kininogen berat molekul tinggi dan pembentukan kallikrein-C1 serta penghambat kompleks faktor XIIa-C1 menunjukkanadanya aktivasi sistem kontak. Aktivasi kallikrein tidak saja merangsang pembentukan bradikinin, tetapi juga mengaktif kan faktor XII. Faktor XII dapat mempengaruhi pembekuan darah melalui pembentukan plasmin. Plasmin juga memiliki kemampuan untuk rnengaktif kan sistem komplemen.

MANIFESTASI KLINIS Manifestasi anafilaksis bervariasi dalam hal awal mula timbulnya gejala maupun perjalanan klinisnya. Reaksi dapat timbul dalam beberapa menit hingga beberapa jam setelah paparan terhadap suatu alergen. Anafilaksis fse lambat, atau disebutjuga reaksi bifasik, bisa saja muncul 812 jam setelah reaksi awal. Walaupun mendapatkan pengobatan yang agresif reaksi anafilaksis dapat terus berlangsung hingga 532 jam. Semakin cepat awal timbulnya gejala, biasanya semakin parah anafilaksis yang terjadi. Kulit, konjungtiva, saluran pemapasan atas dan bawah, system kardiovaskuler, dan gastrointestinal sering kali terlibat secara tersendiri maupun bersamasama. Kematian dapat terjadi hanya dalam beberapa menit.

KulitRasa kesemutan dan panas di kulit sering kali merupakan gejala awal yang timbul pada anafilaksis, Diikuti dengan kemerahan pada kulit (flushing), pruritus, urtikaria, dengan atau tanpa angioedema. Gejala kulit timbul pada 70% reaksi sistemik generalisata. Pada anafilaksis yang ringan gejala kulit mungkin merupakan satu.-satunya manifestasi yang timbul.

Saluran NapasGejala akut dapat berupa keluamya cairan dalam rongga hidung (rhinorrhea), hidung buntu, bersin-bersin, rasa gatal pada hidung, terutama pada niereka yang menderita rinitis alergika. Angioedema meliputipembengkakan pada uvula, lidah, faring atau laring,yang disertai suara parau atau hilangnya suara, stridor, sesak napas, atau bahkan henri napas. Keterlibatan saluran napas bagian bawah umumnya berupa bronkospasme dan edema saluran napas, yang menimbulkan sesak napas, mengi (wheezing), dan perasaan dada terhimpit. Pada penderita asma gejala-gejala saluran napas tersebut sangat menonjol.

Kardiovaskuler Aritmia dapat dijumpai selama anafilaksis yaitu berupa gangguan irama atrium maupun ventrikel. Dapat dijumpai iskemia miokard, palpitasi, dizziness, atau nyeri dada. Hipotensi merupakan gejala yang paling mengkhawatirkan pada anafilaksis, bervariasi mulai dan yang ringan (rasa melayang) hingga yang berat (disertai penurunan kesadaran dan kegagalan kardiovaskuler atau syok).

GastrointestinalGejala gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang kadang dijumpai perdarahan rektal yang terjadi akibat iskemia atau infark usus.

Susunan Saraf PusatDisonientasi, pingsan, kejang, dan penurunan kesadaran dapat terjadi akibat penurunan perfusi serebral atau efek toksik langsung mediator yang dilepaskan selama anafilaksis.

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDINGDiagnosis anafilaksis biasanya tidak sulit, ditegakkan tenutama berdasarkan gejala klinis yang didapatkan pada penderita dan responsnya terhadap pengobatan yang diberikan. Bila gejala yang muncul hanya sebagian dan terbatas, atau bila hubungan antara gej ala kiinis dan dugaan bahan penyebabnya tidak begitu jelas, maka perlu dipertimbangkan beberana diagnosis banding dan beberapa pemeriksaan laboratorium penunjang.Bila gejala syok terjadi mendadak tanpa disertai urtikaria atau angioedema maka perlu dipertimbangkan kemungkinan adanya infark miokard, aritmia atau tipe syok lainnya kardiogenik, perdarahan, atau septik), reaksi vasovagal, reaksi terhadap insulin, emboli paru, atau reaksi histeris. Reaksi vasovagal umumnya terjadi setelah f lebotomi, injeksi, atau rangsangan nyeri yang hebat. Penderita tampak pucat, lemah, berkeringat dingin, muai-muai, dan hipotensi. Manifestasi kulit dan pernapasan biasanya tidak dijumpai. Pada reaksi vasovagal didapatkan bradikardia, sementara pada anafiiaksis justru didapatkan takikardia. Gejala dengan cepat membaik seteiah penderita dibaringkan dengan posisi tungkai yang dielevasi. Angioedema herediter harus dipertimbangkan bila didapatkan penderita dengan edema iaring disertai nyeri abdomen. Awal mula penyakit biasanya lebih lambat dan tidak disertai gejaia urtikaria atau hipotensi. Didapatkan riwayat adanya anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama. Penderita infark miokard datang dengan keluhan sesak napas disertai tanda dan gejala hipotensi serta rasa nyeri di daerah dada. Gejala kulit dan pernapasan atas tidak dijumpai. Pemeriksaan elektrokardiogram dan kadar CKMB (crea tine kinase myocardial-bound) dapat membantu menegakkan diagnosis. Hipoglikemia akibat pemberian insulin ditandai dengan kelemahan, pucat, keringat dingin, dan penurunan kesadaran. Gejala kulit dan pernapasan tidak dijumpai, sedangkan tekanan darah biasanya tidak terpengaruh. Penderita emboli paru datang dengan gejala sesak napas akut dan hipotensi berat. Gejala kulit maupun pemapasan tidak dijumpai. Sering kali dijumpai tanda adanya trombosis vena profundus pada tungkai. Analisis gas darah dan pemeriksaan CT scan paru dapat membantu diagnosis. Sindroma Munchausen ditandai dengan episode anafilaksis berulang akibat paparan berulang terhadap suatu alergen (makanan atau obat) yang memang disengaja untuk menarik perhatian. Evaluasi psikiatrik dan psikoterapi selayaknya dilaksanakan untuk penderita seperti ini.

Pada penderita reaksi histeris tidak dijumpai adanya tandatanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Penderita kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Pemeriksaan tanda vital dengan saksama akan dapat membedakan kelainan ini dengan anafilaksis.Pemeriksaan laboratorium kadang-kadang diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Kadar triptase serum meningkat pada penderita anafilaksis dan mastositosis sistemik. Kadar puncak dicapai pada 12 jam setelah gejala awal muncul.dan bertahan hingga 524 jam. Waktu optimal untuk pemeriksaan kadar triptase serum adalah dalam 6jam setelah awal mula gejala. Pengukuran kadar histamin dalarn plasma tidak banyak membantu karena mediator ini memiliki waktu paruh yang sangat pendek (hanya sekitar 2 menit). Sebaliknya kadar histarnin dan metabohtnya dalam urine meningkat selama beberapa jam dan dapat secara akurat diukur dalam urine tampung 24 jam.

PENGOBATANPengobatan terhadap anafilaksis seyogianya mengikuti prinsipprinsip resusitasi gawat darurat (Tabel 2). Langkah yang cepat dan tepat sangat menentukan hasil akhir pengobatan. Semakin lama pengobatan awal tertunda, semakin besar angka kematian. Bebaskan jalan napas dan pertahankan sirkulasi darah yang adekuat. Langkah pertama yang harus segera dilakukan adalah pembenan Epinefrmn (adrenalin) dalam larutan 1:1000 secara intramuskuler di daerah otot deltoid atau paha sebelah luar (otot vastus lateralis) dengan dosis 0,3 niL (0,01 mL/kg BB). Dosis tersebut dapat diulang tiap 15-20 menit bila diperlukan. Pendenta yang mendapat terapi penyekat sering kali resisten terhadap Epinefrin sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi. Bila anafilaksis disebabkan oleh sengatan binatang atau suntikan obat di daerah ekstremitas, perlu dipasang torniket di sebelah proksimal sengatan atau suntikan. Torniket ini perlu dilepaskan selama 12 menit setiap 10 menit. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik secara cepat dan menyeluruh untuk menentukan organ sasaran yang terkena, agar pengobatan yang sesuai dapat segera diberikan.

SyokTujuan tatalaksana syok anafilaktik adalah sama dengan jenis syok lainnya yaitu untuk mempertahan kan sirkulasi darah dan pertukaran udara yang adekuat. Penderita dibaringkan dalam posisi Trendelenber dengan tungkai yang dielevasi. Setelah pemberian Epinefrin 1:1000 intramuskuler dengan dosis 0,3-0,5 mL (0,01 mL/kgBB) pada lengan atas (deltoid) atau paha lateral (vastus lateralis), selanjutnya segera dipasang 2 jalur infus dengan cairan larutan garam fisiologis tetesan cepat (guyur). Berikan sebanyak 1 L tiap 1530 menit sementara tanda vital dan produksi urine dipantau. Kadang-kadang diperlukan cairan sebanyak 6 L atau lebih dalam waktu 12 jam. Bila perlu dapat dipasang kateter vena sentral untuk rnemantau kecukupan cairan. Obat vasopressor seperti Dopamin dapat dipertmbangkan bila pemberian cairan tidak mengatasi syoknya. Penderita penyakit jantung memerlukan dosis Epinefrin yang lebih rendah (0,1-0,2 mL) yang dapat diulang tiap 10menit. Efek pemberian Epinefrmn meliputi relaksasi otot polos bronkus, peningkatan tonus otot polos vaskuler, dan mengurangi pelepasan mediator oleh sel mast. Obstruksi Bronkus Epinefrin sangat efektifdan bekerja cepat untuk mengatasi bronkospasme. Bila gej ala tidak teratasi dapat diberikan nebulisasi bronkodilator adrenegik (Salbutamol atau Terbutalin sulfat). Metilprednisolon 125 mg dapat diberikan. tiap 4-&jam pada.pendeta dengan gejala yang berat atau yang tidak responsive terhadap Epinefrin. Oksigen dapat diberikan melaluikanula hidung atau masker bila PaCO2 < 55 mmHg. Bila PaCO2 > 65 mmHg penderita mengalami gagal napas dan memerlukan intubasi serta bantuan napas mekanis.

Edema LaringPenderita dengan obstruksi laring biasanya menunjukkan gejala stridor. Pemasangan pipa endotrakeal mungkin mengalami kesulitan akibat athnva edema laring. Pada kondisi demikian perlu sezera dilakukan pungsi membrana krikotiroid nggunakanjarum pendek no. 14G atau 16G. Bila r:sedur trakeostorni dilakukan di luar rumah sakit, zaa metode krikotirotornj lebih disukai. Bila :Jakukan di rumah sakit maka metode bedah akeostorni lebih aisukai. Urtikaria, Angioedema, dan Gejala GastrointestinalGejalagejala ini tidak mengancam jiwa dan basanva memberikan respons terhadap pemberian .rntibistamin. Jika gejalanya ringan cukup diberikan indbistamin oral. Bila gejala cukup berat dapat berikan Dipenhidramin intramuskuler atau rravena dengan dosis 50 mg (1-2 mg/kgBB). Dapat pula diberikan Ranitidin 50 mg atau Cimetidin 300 intravena. Dosis antihistamin diulang tiap 6jam :ama 48 jam untuk mengurangi risiko kambuhnya Kortikosteroid tidak banyak membanqi pada tata iksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada ksi sedang hingga berat untuk memperpendek eisode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Metiiprednisolon 125 mg intravena dapat diberikan s.ia 4-6 jam.

PENCEGAHANPencegahan terhadap episode anafilaksis berikurnya merupakan saiah satu kunci tata laksana panjang. Sebelum memberikan obat kepada seorang penderita, dokter harus mencatat secara teliti d.anva riwayat atopi, riwayat alergi obat sebelumnya, -nic obat yang menimbulkan reaksi alergi, manifestasi Zergi yang terjadi, jenis obat yang sedang thpergunakan oleh penderita saat ini. Pada penderita yang memiliki riwayat alergi, mbenan obat hams akukan secara hati-hati. Jika memungkinkan lebihbaik obat diberikan secara oral daripada secara parenteral.Pada penderita yang baru saja dirawat di rumah sakit akibat reaksi alergi obat/anafilaksis harus dilakukan pemantauan (follow-up) saksama secara berkala. Berikan surat keterangan yang menyatakan bahwa penderita alergi terhadap obat disertai daftar obat penyebabnya. Di luar negen tersedia kit injeksi Epinefrin (Epipen) yang dapatdipergunakan sendiri oleh penderita setelah mendapatkan latihan dan petunjuk dokter tentang cara dan kapan alat tersebut digunakan.Hindari uji paparan alergen yang mengandung makanan dan obat-obatan, atau memberian vaksin imunoterapi. Tes diagnostik dan pengobatan semacam itu seyogyanya hanya dilakukan oleh dokter ahli dibidang alergi imunologi. Pada penderita yang sensitive terhadap media kontras radiografis diperlukan langkah-langkah profilaksis dan pemilihan media kontras radiografis dengan osmolalitas rendah.

DAFTAR PUSTAKA1. Bock SA, Munoz.-Furlong A, Sampson HA, 2001. Fatalities Due to Anaphylactic Reactions to Foods. J Allergy Clin Imtnunol 107: 1913.2. Ewan PW, 1998. Anaphylaxis. BM] 316: 14425. 3. Greenberger PA. Anaphylaxis, 2002. In: Adelman DC, Casale TB, Corren J, eds. Manual ofAllergy and Immunology, 4th ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins 1992007.4. Kemp SF, 2001. Current Concepts in Pathophysiology, Diagnosis, and Management of Anaphylaxis. Immunol Allergy Clin North Am 21: 611 34 .5. Kemp -SF, Lockey RF, 2002. Anaphylaxis: A Review of Causes and Mechanisms.JAllergy Clin Immunol 110: 3418.6. Lin PY, Schwartz LB, Curry A, et al., 2000. Histamine and Tryptase Levels in Patients with Acute Allergic Reactions: An Emergency Department-based Study.JAllergy Clin Inimunol 106: 6571.\7. McGrath KG. Anaphylaxis, 1997. In: Patterson R, Grammer LC, Greenberger PA, eds. Allergic disease: diagnosis and management, 5th ed. Philadelphia: Lippincott-Raven Publishers 4:39-458. 8. Neugut AI, Ghatak AT, Miller RL, 2001. Anaphylaxis in the United States: an Investigation Into its Epidemiology. Arch Intern Med 161: 1521. 9. Simons FER, Gu XC, Simons KJ, 2001. Epinephrine Absorption in Adults: Intramuscular Versus Subcutaneous Injection. J Allergy Clin Inununol 108: 8713.10. Sicherer SH, 2003. Advances in Anaphylaxis and Hypersensitivity Reaction to Foods, Drugs, and Insect Venom.JAllercy Clin Irnrnunol ill: S829-S834.