amoniak

11
Sehari, 3 Perempuan Alami Kekerasan di Lampung RADAR L AMPUNG - RABU, 8 JANUARI 2014 BANDARLAMPUNG    Angka kekerasan terhadap perempuan di Provinsi Lampung ternyata masih cukup tinggi. Berdasarkan data Lembaga Advokasi Perempuan Damar, selama 2013 terjadi sebanyak 902 kasus. Artinya, setiap hari terjadi hampir tiga kasus kekerasan terhadap perempuan di provinsi ini. Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Perempuan Damar Sely Fitriani, kondisi ini disebabkan oleh banyak faktor. Di antaranya adalah budaya masyarakat yang lebih memberi kekuasaan kepada kaum pria. Kemudian adanya aturan yang tak tertulis di masyarakat yang menganggap wanita sebagai objek, sedangkan laki-laki sebagai subjek. ’’Faktor lainnya adalah interpretasi agama yang bias dan kadang diamini seketika oleh masyarakat. Faktor yang paling penting adalah sikap negara lewat kebijakan yang tidak adil dan masih melihat gender, seperti pembangunan yang ada tidak ramah untuk perempuan,” katanya saat merilis data kekerasan terhadap perempuan di kantor setempat kemarin. Dijelaskan, dari hasil pendataan yang dilakukan Damar, kasus kekerasan yang diketahui  publik merupakan yang tertinggi terjadi di Lampung. Jumlahnya mencapai 656 kasus. Sementara sisanya 246 kasus tergolong kekerasan privat atau tidak diketahui masyarakat (selengkapnya lihat grafis). ’’Jika berdasarkan kategori usia korban, 437 kasus (48,5%) dialami anak -anak. Kerentanan ini terjadi karena anak-anak dianggap sebagai pihak yang tidak berani melakukan serangan atau perlawanan saat mengalami kekerasan dan juga belum memiliki nalar yang cukup atas  peristiwa yang terjadi. Kerentanan terhadap anak juga sering kali terjadi karena orang tua yang kurang waspada terhadap lingkungan sosialnya dan adanya pembiaran ketika terjadi  perubahan pada perilaku anak-anak,” paparnya. Sementara untuk kategori usia pelaku berbanding terbalik dengan korban. Dari 902 pelaku kekerasan terhadap perempuan, hanya ada 38 orang yang usianya masih tergolong anak-anak. Selebihnya, yaitu 864 pelaku, berusia di atas 18 tahun atau dewasa. ’’Angka ini menunjukkan  bahwa kekerasan terhadap perempuan cenderung dilakukan oleh laki- laki dewasa,” ungkapnya. Kemudian ditilik dari lokasi terjadi kekerasan, Kota Bandarlampung menjadi yang terbanyak dengan 373 kasus diikuti oleh Kabupaten Lampung Selatan dengan 104 kasus. ’’Sebanyak 41,35 persen tindak kekerasan terhadap perempuan terjadi di Kota Bandarlampung karena secara logis daerah perkotaan tinggi angka kriminalitasnya. Hal ini juga didukung mudahnya memperoleh data di Bandarlampung, masyarakatnya lebih terbuka, dan berani mengungkap kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di sekitarnya atau yang menimpa dirinya,” katanya.

description

add

Transcript of amoniak

Sehari, 3 Perempuan Alami Kekerasan di LampungRADAR LAMPUNG - RABU, 8 JANUARI 2014 BANDARLAMPUNG Angka kekerasan terhadap perempuan di Provinsi Lampung ternyata masih cukup tinggi. Berdasarkan data Lembaga Advokasi Perempuan Damar, selama 2013 terjadi sebanyak 902 kasus. Artinya, setiap hari terjadi hampir tiga kasus kekerasan terhadap perempuan di provinsi ini.Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Perempuan Damar Sely Fitriani, kondisi ini disebabkan oleh banyak faktor. Di antaranya adalah budaya masyarakat yang lebih memberi kekuasaan kepada kaum pria. Kemudian adanya aturan yang tak tertulis di masyarakat yang menganggap wanita sebagai objek, sedangkan laki-laki sebagai subjek.Faktor lainnya adalah interpretasi agama yang bias dan kadang diamini seketika oleh masyarakat. Faktor yang paling penting adalah sikap negara lewat kebijakan yang tidak adil dan masih melihat gender, seperti pembangunan yang ada tidak ramah untuk perempuan, katanya saat merilis data kekerasan terhadap perempuan di kantor setempat kemarin.Dijelaskan, dari hasil pendataan yang dilakukan Damar, kasus kekerasan yang diketahui publik merupakan yang tertinggi terjadi di Lampung. Jumlahnya mencapai 656 kasus. Sementara sisanya 246 kasus tergolong kekerasan privat atau tidak diketahui masyarakat (selengkapnya lihat grafis).Jika berdasarkan kategori usia korban, 437 kasus (48,5%) dialami anak-anak. Kerentanan ini terjadi karena anak-anak dianggap sebagai pihak yang tidak berani melakukan serangan atau perlawanan saat mengalami kekerasan dan juga belum memiliki nalar yang cukup atas peristiwa yang terjadi. Kerentanan terhadap anak juga sering kali terjadi karena orang tua yang kurang waspada terhadap lingkungan sosialnya dan adanya pembiaran ketika terjadi perubahan pada perilaku anak-anak, paparnya.Sementara untuk kategori usia pelaku berbanding terbalik dengan korban. Dari 902 pelaku kekerasan terhadap perempuan, hanya ada 38 orang yang usianya masih tergolong anak-anak. Selebihnya, yaitu 864 pelaku, berusia di atas 18 tahun atau dewasa. Angka ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan cenderung dilakukan oleh laki-laki dewasa, ungkapnya. Kemudian ditilik dari lokasi terjadi kekerasan, Kota Bandarlampung menjadi yang terbanyak dengan 373 kasus diikuti oleh Kabupaten Lampung Selatan dengan 104 kasus. Sebanyak 41,35 persen tindak kekerasan terhadap perempuan terjadi di Kota Bandarlampung karena secara logis daerah perkotaan tinggi angka kriminalitasnya. Hal ini juga didukung mudahnya memperoleh data di Bandarlampung, masyarakatnya lebih terbuka, dan berani mengungkap kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di sekitarnya atau yang menimpa dirinya, katanya.

Khusus kasus yang ditangani Damar, pada tahun ini jumlahnya meningkat cukup signifikan. Jika pada 2010 Damar hanya mampu menangani 37 kasus, pada tahun ini meningkat menjadi 61 kasus. Kalau pada 2012, kami menangani 37 kasus. Sedangkan pada 2011, kami menangani 42 kasus, ungkapnya.Penanganan kasus, lanjut Selly, meliputi legitasi, nonlegitasi, layanan shelter dan perlindungan sementara, serta pendampingan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Dirinya berharap kebutuhan penanganan yang mumpuni terhadap kasus kekerasan tidak dapat ditunda lagi. Faktanya, upaya untuk menangani kekerasan seksual secara komprehensif masih tertatih. Salah satu masalah utama adalah belum adanya payung hukum yang memadai. Sampai hari ini, perbaikan hukum pidana dan hukum acara pidana berjalan pelan. Bahkan seolah kehilangan arah, sesalnya, seraya berharap layanan bagi perempuan yang kini masih sangat terbatas dapat lebih dibuka. (why/p2/c2/fik)Sumber : http://www.radarlampung.co.id/read/bandarlampung/66298-sehari-3-perempuan-alami-kekerasan-di-lampung

Diskriminasi Pelayanan Rumah Sakit Written byEli Kamilah Minggu,25 February 2013 | 14:06IlustrasiBeberapa hari lalu bayi Upik bin Ali Zuar meninggal karena terlambat mendapatkan pelayanan medis. Orangtua Upik Ali Zuar mengatakan, bayinya tak mendapatkan layanan inkubator usai lahir. Padahal bayinya lahir di usia enam bulan kehamilan. Protes Ali justru berimbas agar dirinya keluar dari ruang persalinan. Ali kaget setelah kembali ke ruang persalinan dan mendapati bayinya telah terbungkus kain kafan lengkap denga surat kematian dari RS Bersalin Kartini di Jakarta Selatan.

Belum hilang kaget dari RS Bersalin, di rumahnya keluarga kembali terkejut saat membuka kafan bayi Upik yang masih bernafas. Keluarga pun kembali ke RS untuk memberitahukan kondisi Upik. Tapi, pihak RSBersalin Kartini lambat merespon keluhan orangtua Upik. Dan Upik pun meninggal.

Serupa Upik, Zara Naven, bayi berusia 3 bulan dengan kelainan jantung ini meninggal di RS Harapan Kita. RS diduga lamban menangani bayi Zara asal Depok ini lantaran kurangnya biaya Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Seperti biasa, tudingan itu dibantah Rumah Sakit Jantung Harapan Kita.Kementerian Kesehatan sendiri mengklaim sudah jauh memikirkan bagaimana implemantasi UU tentang rumah sakit. Salah satunya mengenai hak pasien, di antaranya, memperoleh layanan yang manusiawi, adil dan tanpa diskriminasi.Wakil Menteri Kesehatan, Ali Ghufron Mukti mengatakan, selain dalam UU tentang kesehatan, pasal 1 dan 2, diterangkan jelas, bahwa dalam keadaaan darurat, pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan, bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecatatan terlebih dahulu. Sementara dalam pasal dua, disebutkan dalam keadaan darurat, baik fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta, di larang menolak pasien dan meminta uang muka.

Namun, menurut Ali Ghufron, dalam pelaksanaannya banyak factor yang mempengaruhi tidak teraplikasinya isi UU tersebut. Seperti kasus kurangnya fasilitas kesehatan rumah sakit Karena memang banyak factor, bisa dari pemda, rumah sakit sendiri dan pasien.kata Ali.Ali menyatakan, yang terpenting yang bakal dilakukan kemenkes adalah penegakan bagaimana pelayanan dan pelaksanaan sesuai UU. Sementara soal sanki, menjadi hal kedua. Ini lantaran, kewenangan sanki berada diotoritas lembaga lain.

Kebjikan UU Rumah Sakit dan UU Kesehatan Tumpul

Aktivis LSM Mayarakat Miskin Kota, Edi Saidi menilai apa yang terjadi di lapangan berbeda jauh dengan amanat UU rumah sakit dan kesehatan. Pasalnya, aplikasi kedua UU tersebut masih tumpul, baik dari segi pelaksanaannya dan pelanggaran hukum dari UU tersebut. Edi menambahkan, beberapa kasus seperti kurangnya fasilitas pelayanan kesehatan di rumah sakit, sehingga pasien di tolak, merupakan satu dari pelayanan kesehatan yang buruk. Ini artinya kata Edi, pasien tak tertangani dan tak tertampung oleh rumah sakit.

Kasus seperti kartu Jakarta Sehat misalnya. Banyak masyarakat menyambut baik adanya kartu jaminan tersebut. Namun, pemerintah pun tak mengimbangi dengan layanan kesehatan yang diberikan pada warga miskin, termasuk di antaranya pelayanan tenaga medis dan fasilitas rumah sakit. Saat ini memang kata Edi, penggantian biaya rumah sakit untuk orang miskin, sudah ditanggung pemerintah, di rumah sakit milik pemerintah sendiri, maupun beberapa rumah sakit swasta yang menjadi rujukan.

Seringkali pelayanan masyarakat kelas tiga tak mendapatkan pelayanan kesehatan yang sebagaimana mestinya, meskipun ditanggung pemerintah. Bahkan kata Edi, prosedur rawat inap bagi pasien kelas tiga sering berbelit-belit.Pengalaman Asep di Garut, Jawa Barat, lebih memprihatinkan. Asep merasa ditelantarkan, pasalnya selama empat hari, istrinya yang sudah melahirkan dibiarkan begitu saja. Resep mahal yang ditebus Asep untuk bayinya pun, ternyata tidak dipakai sama sekali. Asep sendiri merasa terganggu, dengan pelayanan rumah sakit di daerahnya yang dinilai buruk.

Negara harusnya menjamin pelayanan rumah sakit yang layak dan baik, dengan kualitas yang sama, baik masyarakat miskin, tengah maupun yang kaya. Edi menyarankan, jika rumah sakit menolak dengan alasan tidak ada kamar, masyarakat di minta memeriksa kembali kebenaran hal tersebut. Jika pun memang benar, ada baiknya masyarakat meminta kelas dua atau sesuai kebutuhan. Yang terpenting kata Edi, pasien mendapatkan perawatan terlebih dahulu. Soal biaya, tidak mampunya pasien bisa mengadukan hal tersebut ke pemerintah atau dinas kesehatan setempat.

Publik harus tahu dengan kondisi pasien. Keluarga pasien juga perlu tahu haknya, termasuk hak dilayani dengan layak. Kata Edi Saidi.Sumber : http://www.portalkbr.com/berita/perbincangan/2474016_4215.html

Rieke: Hentikan Komersialisasi di Rumah Sakit!

Anggota Komisi IX DPR, Rieke Diah Pitaloka, terus memperjuangkan RUU BPJS agar rakyat Indonesia, tanpa terkecuali, mendapat pelayanan kesehatan secara maksimal (sumber: Antara)RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus segera disahkan agar tak ada lagi diskriminasi pasien miskin yang dilakukan oleh rumah sakit.

Anggota Komisi IX DPR, Rieke Diah Pitaloka sangat menyesalkan sikap pihak RSU Mitra Anugrah Lestari (MAL), Bandung, Jawa Barat, yang telah menelantarkan Nizsa Ismail (8 bulan) yang didiagnosa menderita infeksi lambung.

Akibat penanganan yang lambat dan berbelit-belit, bayi berjenis kelamin perempuan itu akhirnya meninggal pada Sabtu (22/10) pukul 11.00 WIB.

"Kasus ini seringkali terjadi di rumah sakit swasta dan pemerintah. Ini jelas melanggar UU karena rumah sakit telah membeda-bedakan dalam memberikan pelayanan. Karenanya RS itu harus diberi sanksi ," tandas Rieke yang dihubungiberitasatumelalui telepon genggamnya.

Sayangnya, lanjut Rieke, DPR tak bisa memberi sanksi kecuali hanya bisa mendesak pemerintah untuk segera menindaklanjuti kasus tersebut.

Beranjak dari kenyataan itulah, ia makin bersemangat untuk terus memperjuangkan Rancangan Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS) agar segera disahkan. "Bila tak segera disahkan, itu berarti pemerintah SBY-Boediono jelas-jelas telah melakukan pelanggaran," kecam Rieke.

Ia menilai sangat penting RUU BPJS segera disahkan agar rakyat Indonesia -- tanpa terkecuali -- bisa mendapat 5 jaminan yaitu, jaminan kesehatan, kecelakaan, jaminan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan kematian.

"Paling tidak, dapat jaminan kesehatanlah. Agar rakyat Indonesia dijamin kesehatannya dari Sabang sampai Merauke. Jadi tak ada lagi kasus penolakan dan penelantaran pasien dari keluarga miskin yang dilakukan rumah sakit," tandas perempuan yang tengah hamil 7 bulan ini.

Sistemnya Harus DiubahLebih dari itu, Rieke menambahkan, jika RUU BPJS telah disahkan, maka badan hukum BPJS tidak lagi dipegang BUMN, melainkan nirlaba.

"Lembaga yang mengatur pembiayaan pengobatan seperti Taspen, Jamsostek, Asabri dan Askes hingga kini kan bentuknya masih PT (BUMN), jadi orientasinya masih komersial (mencari keuntungan)," katanya.

Makanya tak heran, lanjut Rieke, banyak kasus penyelewengan dana dari lembaga itu. Nah, kondisi inilah yang menjadi alasan mengapa lembaga (badan) yang mengatur, mengelola dan melayani pembiayan pelayanan kesehatan tersebut harus diubah menjadi badan penyelenggara yang nonprofit.

"BUMN kan mencari keuntungan untuk pemerintah. Padahal BPJS bukan badan untuk mencari profit. Beda dengan nirlaba yang dananya dikembalikan untuk rakyat," tandasnya lagi.

Masalah pelayanan kesehatan di Indonesia, diakui Rieke, merupakan masalah yang amat memrihatinkan. Mengapa? Sebab hampir setiap hari ada pengaduan rakyat yang ditolak rumah sakit karena miskin atau tidak ada biaya.

Padahal seharusnya rumah sakit, terlebih rumah sakit pemerintah tidak boleh membeda-bedakan kelas pelayanan kesehatannya berdasarkan kondisi sosial dan ekonomi pasiennya.

"Dalam kenyataannya kan banyak rumah sakit pemerintah yang menyediakan kamar VIP dan VVIP. Seharusnya pembagian ruang berdasarkan jenis penyakitnya, bukan berdasarkan sosial ekonominya," tegas pemeran Oneg dalam SitkomBajaj Bajuriini.

Sedangkan untuk rumah sakit swasta, Rieke berpendapat, meski ada pembagian kelas sesuai kondisi ekonomi dan sosial, tapi dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien harus tetap sama.

"Seharusnya tidak ada pembedaan perlakuan terhadap pasien kaya atau miskin. Semua harus diberi pelayanan kesehatan yang sama-sama maksimal," imbuhnya.

Agar seluruh rakyat Indonesia bisa menikmati pelayanan kesehatan dengan baik, maka kata Rieke, yang harus diubah adalah sistemnya. Dan sekarang semua tergantungpolitical willdari pemerintah. Mau benar-benar serius melindungi rakyatnya atau tidak? Kita tunggu saja!http://www.beritasatu.com/nasional/14592-rieke-hentikan-komersialisasi-di-rumah-sakit.html

Ditolak Rumah Sakit, Pasien Miskin MeninggalRabu, 22 Desember 2010 21:13 wib | Ibnu Saechu - Koran SISumber : http://news.okezone.com/read/2010/12/22/340/406274/ditolak-rumah-sakit-pasen-miskin-meninggal

CIREBON- Akibat ditolak pihak rumah sakit dan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Cirebon, saat mengajukan surat keterangan miskin (SKTM), Tati Nurhayati, seorang pasien miskin akhirnya menghembuskan napas terakhir.Informasi yang berhasil dihimpun, warga Jalan Pamitran Kota Cirebon ini, masuk ke RSUD Gunungjati Minggu 12 Desember lalu. Karena tergolong pasien tidak mampu, pasien yang diagnosa menderita Suspect Hyperthyroid ini selanjutnya mengajukan SKTM.

Karena dianggap tidak masuk kategori program live saving, pengajuan pasien keluarga miskin ini juga ditolak pihak Dinas Kesehatan. Setelah mendapat kepastian ditolak, pihak keluarga langsung menghubungi Kepala Dinas Kesehatan Kota Cirebon, dr Kaptiningsih.

"Namun Kadinkes juga menolak dengan alasan sama, yakni tidak masuk program," kata Agus Amino, keluarga pasien, Rabu (22/12/2010).

Dikatakannya, Kadinkes Kota Cirebon, dr Kapti malah menyarankan agar pasien tidak perlu mendapat perawatan inap, tapi cukup dengan berobat jalan. Namun, selang beberapa jam kemudian, pasien meninggal dunia.

Agus Amino, yang juga aktivis warung diskusi kebangsaan ini menyayangkan meninggalnya pasien gakin akibat penolakan baik dari pihak rumah sakit maupun Dinkes.

"Selama ini alasan live saving sering digunakan menjadi alat penjegal pasien gakin. Padahal adanya live saving jelas berarti untuk menyelematkan hidup," tegas Agus.

Dikatakan, istilah live saving dalam dunia kesehatan atau kedokteran digunakan sebagai upaya penyelematan hidup dan yang lebih mengetahui kriteria live saving adalah dokter dengan diagnosa sementara maupun tetap.

"Selama ini Live saving malah sering kali dijadikan alat agar pasien gakin tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan di RSUD Gunungjati karena dinkes menolak memberikan rekomendasi fasilitas SKTM bagi pasien gakin yang akan berobat. Padahal selama ini sudah ada rujukan dari Puskesmas," kata Agus.

Agus yang juga kader PDIP Kota Cirebon tersebut menyesalkan kurangnya koordinasi antara pihak RSUD Gunungjati dengan Dinkes. Terlebih hal ini menyangkut keselamatan jiwa pasien.Berdasarkan catatan okezone, ada beberapa kasus serupa yang pernah terjadi. Tak hanya di ibu Kota Negara saja, tapi kasus penolakan rumah Sakit juga terjadi di seluruh Indonesia.Berikut deretan kasus penolakan warga oleh RS:

15 Oktober 2011, Suryani (44), penderita kanker getah bening ditolak Rumah Sakit Dharmais, Jakarta Barat. Alasannya, Suryani hanya memiliki Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).

22 November 2011, Nur Islamiyah, seorang warga miskin pengguna program Jaminan Persalinan (Jampersal), warga Desa Bakung, RT 03 RW 05, Kecamatan Udanawu, Kabupaten Blitar ditolak petugas Rumah Sakit Umum Mardi Waluyo, Blitar. Pihak rumah sakit beralasan tidak ada dokter jaga.

16 Juli 2012, Andika Pratama, bocah berusia 1,5 tahun yang menderita tumor ganas pada bagian pangkal hidung ditolak rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo. Pihak RS Wahidin Sudirohusodo beralasan, kartu kepemilikan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) Andika berasal dari Kota Palu, Sulawesi Tengah. Sedangkan RS Wahidin berada di Sulawesi Selatan.

6 Agustus 2012, seorang ibu melahirkan di teras rumahnya karena dtolak oleh Rumah Sakit Umum Nagan Raya, Aceh. Alasannya, pihak rumah sakit tidak memiliki obat dan dokter. Akhirnya bayi tersebut meninggal karena tidak mendapat pertolongan medis.

10 November 2012, Iwan Rudiawan (42 thn), warga Hang Lekir II, Gang Buntu RT.10/RW.06 kelurahan Gunung, Kebayoran Baru Jakarta Selatan tidak bisa merawat, putrinya Dinda Anisa. Rumah sakit Fatmawati menolak merawat Dinda. Alasannya, Dinda tidak memenuhi kategori rawat inap, dan disarankan hanya berobat jalan.

7 Januari 2013, Afiyah putri Ratih Mustikowati, Warga Kelurahan Gadang, Kota Malang ditolak Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Malang. Awalnya, Afiyah lahir secara normal, pada 8 September 2012. Lantas, dua bulan kemudian kepala Afiyah membesar dan pandangan mata tak fokus. Setelah berobat di puskesmas, Afiyah didiagnosa menderita hydrocephalus, selanjutnya dirujuk ke RSSA Malang, dan ditolak.

14 Januari 2013, Masanih (44), seorang ibu rumah tangga warga RT 03 RW 10 Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur yang menderita infeksi lambung ditolak oleh Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasar Rebo. Dirinya ditolak pihak rumah sakit dengan alasan ruang rawat pasien semua penuh, baik ruang kelas II maupun kelas III.

19 Januari 2013, Ruslan, Bocah tanpa anus di Kampung Melayu, Jakarta Timur, dua kali ditolak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Meski berbekal kartu Jamkesmas, pihak rumah sakit menolak dengan alasan alat medis yang rusak.

Berprofesi Sopir Angkut, Hanna Ditolak Berobat di RSSenin, 18 Februari 2008 18:05 wib | Yuni Herlina Sinambela - OkezoneSumber : http://news.okezone.com/read/2008/02/18/1/84605/berprofesi-sopir-angkut-hanna-ditolak-berobat-di-rs

JAKARTA- Moh Hana (37), seorang warga Tegal Alur, Jakarta Barat, Minggu (17/2) kemarin mengalami kejadian tragis. Dia mendapat perlakuan yang tidak semestinya terjadi, yakni ditolak oleh sejumlah rumah sakit di Jakarta saat hendak berobat.

Penolakan yang dialaminya mempunyai alasan yang nyaris sama, yakni tidak tersedianya sejumlah kamar kosong untuk perawatan dirinya.

Kejadian berawal, Minggu (17/2) lalu sekira pukul 17.00 WIB. Saat itu, Moh Hana dilarikan ke RS Cengkareng dan ditangani di instalasi gawat darurat. Namun, saat akan dimasukkan ke rawat inap, RS tersebut menolak dengan alasan kamar penuh.

Akhirnya, Hana dibawa ke RS lain. Namun, sama halnya dengan RS Cengkareng, sejumlah RS di Jakarta juga menolak dengan alasan sama. Kisah sedih Hana ini disaksikan oleh dua orang aktivis LSM Perkumpulan Hijau, Jamal dan Anto. Keduanya prihatin melihat kejadian yang menimpa warga miskin ini.

"RS Cengkareng telah memberikan keterangan yang tidak jujur," ujar Jamal kepada okezone, Senin (18/2/2008).

Dikatakan Jamal, dirinya melihat sacara langsung proses sulitnya warga miskin mendapat perawatan rumah sakit ini. "Mereka itu bohong, kata mereka sudah tidak ada kamar kosong, khususnya kelas 3. Padahal, sebagai warga miskin pun patut untuk menerima hak yang sama dalam pengobatan," ujar Jamal.

Informasi terakhir yang didapat oleh Okezone, Jamal berniat melakukan pengaduan ke Menkes terkait kasus yang menimpa Moh Hana. Saat ini, pasien telah mendapat tindakan medis oleh tim dokter dari Rumah Sakit Atmajaya, Jakarta Selatan. Pasien Moh Hana terindikasi terkena penyakit DBD.