Amenorea Primer

30
Amenorea Primer Sebelum membahas tentang amenorea primer berkaitan dengan jenis,patofisiologi, dan penatalaksanaannya, terlebih dahulu dibahas tentang bagaimana evaluasi amenorea itu sendiri sehingga didapatkan kelainan yang mengarah pada diagnosis amenorea primer. Evaluasi Amenorea Gejala amenorea dijumpai pada penyakit-penyakit atau gangguan- gangguan yang bermacam macam. Untuk menegakkan diagnosis yang tepat berdasarkan etiologi, tidak jarang diperlukan pemeriksaan- pemeriksaan yang beraneka ragam, rumit, dan mahal. Tidak semua fasilitas kesehatan mampu melaksanakan semua pemeriksaan, dan hal itu tidak selalu perlu. Ada jenis-jenis amenorea yang memerlukan pemeriksaan lengkap, akan tetapi ada juga yang dapat ditetapkan diagnosisnya dengan pemeriksaan sederhana. Anamnesis yang baik dan lengkap sangat penting. Pertama, harus diketahui apakah amenorea itu primer atau sekunder. Selanjutnya, perlu diketahui apakah ada hubungan antara amenorea dan faktor- faktor yang dapat menimbulkan gangguan emosinal, apakah penderita mengidap penyakit akut atau menahun; apakah ada gejala-gejala penyakit metabolik dan lain-lain. Sesudah anamnesis, perlu dilakukan pemeriksaan umum yang seksama; keadaan tubuh penderita tidak jarang memberi petunjuk-petunjuk yang berharga. Apakah penderita pendek atau tinggi, apakah berat badan sesuai dengan tingginya, apakah ciri-ciri kelamin sekunder

Transcript of Amenorea Primer

Page 1: Amenorea Primer

Amenorea Primer

Sebelum membahas tentang amenorea primer berkaitan dengan jenis,patofisiologi, dan

penatalaksanaannya, terlebih dahulu dibahas tentang bagaimana evaluasi amenorea itu sendiri

sehingga didapatkan kelainan yang mengarah pada diagnosis amenorea primer.

Evaluasi Amenorea

Gejala amenorea dijumpai pada penyakit-penyakit atau gangguan-gangguan yang bermacam

macam. Untuk menegakkan diagnosis yang tepat berdasarkan etiologi, tidak jarang diperlukan

pemeriksaan-pemeriksaan yang beraneka ragam, rumit, dan mahal. Tidak semua fasilitas

kesehatan mampu melaksanakan semua pemeriksaan, dan hal itu tidak selalu perlu. Ada jenis-

jenis amenorea yang memerlukan pemeriksaan lengkap, akan tetapi ada juga yang dapat

ditetapkan diagnosisnya dengan pemeriksaan sederhana.

Anamnesis yang baik dan lengkap sangat penting. Pertama, harus diketahui apakah amenorea itu

primer atau sekunder. Selanjutnya, perlu diketahui apakah ada hubungan antara amenorea dan

faktor-faktor yang dapat menimbulkan gangguan emosinal, apakah penderita mengidap penyakit

akut atau menahun; apakah ada gejala-gejala penyakit metabolik dan lain-lain.

Sesudah anamnesis, perlu dilakukan pemeriksaan umum yang seksama; keadaan tubuh penderita

tidak jarang memberi petunjuk-petunjuk yang berharga. Apakah penderita pendek atau tinggi,

apakah berat badan sesuai dengan tingginya, apakah ciri-ciri kelamin sekunder berkembang

dengan baik atau tidak, apakah ada tanda hirsutisme; semua ini penting untuk pembuatan

diagnosis.

Pada pemeriksaan ginekologik umumnya dapat diketahui adanya berbagai jenis ginatresis,

adanya aplasia vaginae, keadaan klitoris, aplasia uteri, adanya tumor, ovarium dan sebagainya.

Dengan anamnesis, pemeriksaan umum, dan pemeriksaan ginekologik, banyak kasus amenorea

dapat diketahui sebabnya. Apabila pemeriksaan klinik tidak memberi gambaran yang jelas

mengenai sebab amenorea, maka dapat dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan lanjutan.

Dalam menangani kasus-kasus amenorea haruslah teliti dalam memilih informasi yang

diperlukan. Meskipun data tambahan tersedia pada waktu tersebut, dijabarkan dari latar

belakang, pengujian fisik dan evaluasi kelenjar endokrin lainnya seperti tiroid dan adrenalin, hal-

hal tersebut semestinya tidak digunakan untuk diagnosis sampai keseluruhan rangkanya lengkap.

Page 2: Amenorea Primer

Pengalaman telah menunjukkan diagnosis yang prematur seringkali terjadi bias, meskipun

kadang-kadang bisa tepat. Oleh karena itu perlu dilakukan investigasi dengan langkah-langkah

sebagai berikut:

1. Langkah awal dalam kerangka evaluasi penderita amenorea, dimulai dari pengukuran

hormon thyroid stimulating hormones (TSH), kadar prolaktin, dan tes provokasi

progesteron. Langkah awal untuk pasien galaktorea, tanpa melupakan riwayat

menstruasi, juga harus diperiksa TSH dan pengukuran prolaktin serta perlu ditambahkan

pemeriksaan rontgen dari sisi lateral pada sella tursika. Hanya sedikit penderita dengan

amenorea dan atau galaktorea menderita hipotiroid yang tidak tampak secara klinis.

Walaupun kelihatannya berlebihan melakukan pemeriksaan kadar TSH untuk penderita

yang hanya memberikan hasil yang kurang berarti, karena pengobatan untuk hipotiroid

sangat mudah dan diperoleh hasil yang cepat dari siklus menstruasi. Jika terdapat

galaktorea, pengukuran TSH dianjurkan.

Rangsangan yang konstan hormon RH dari hipotalamus akan menyebabkan hipertrofi

atau hiperplasia dari hipofisis. Pemeriksaan rontgen menggambarkan tumor dapat dilihat

(kelainan, ekspansi, atau erosi dari sella tursika). Penderita dengan hipotiroid primer

dan hiperprolaktinemia dapat muncul dengan amenorea primer maupun amenorea

sekunder.

Tujuan dari uji progesteron adalah untuk menilai kadar estrogen endogen dan

kompetensi dari saluran genitalia. Uji progesteron yang dilakukan oleh Davajan dkk

adalah dengan menyuntikkan 100 mg progesteron dalam larutan minyak atau

medroksiprogesteron asetat (provera) 30 mg peroral selama tiga hari. Respon pemberian

progesteron dinilai 2–14 hari setelah pemberian hormon tersebut dan diukur kadar LH

serum. Speroff melakukan uji progesteron dalam dua pilihan yaitu: pemberian

progesteron secara parenteral dalam larutan minyak (200 mg) atau secara oral dengan

medroksiprogesteron asetat 10 mg setiap hari selama lima hari.

Dalam 2–7 hari setelah pemberian progesteron, pasien kemungkinan terjadi perdarahan.

Hal ini berarti bahwa sistem saluran pengeluaran berada dalam batas normal dan adanya

uterus yang endometriumnya reaktif terhadap estrogen endogen. Dari hasil tersebut dapat

ditetapkan adanya estrogen, fungsi yang minimal pada ovarium, hipofisis, dan sistem

Page 3: Amenorea Primer

syaraf pusat. Dengan tidak adanya galaktorea, dengan kadar prolaktin yang normal, dan

kadar TSH yang normal, evaluasi selanjutnya tidak diperlukan.

Terdapat dua situasi yang terjadi bersamaan dengan respon yang negatif walaupun

terdapat estrogen endogen yang cukup. Pada kedua situasi, endometrium mengalami

reaksi desidua, tetapi kemudian tidak terjadi pelepasan mengikuti penghentian secara

tiba-tiba dari pemberian progesteron eksogen. Kondisi yang pertama terdapat reaksi

desidua dari endometrium sebagai respon adanya kadar androgen yang tinggi. Pada

keadaan kedua merupakan keadaan klinik yang tidak biasa, endometrium mengalami

reaksi desidua oleh karena kadar progesteron yang tinggi yang berhubungan dengan

kekurangan enzim adrenal spesifik.

Tanpa adanya galaktorea dan jika level serum prolaktin normal (kurang dari 20 pg/ml),

evaluasi lanjutan untuk tumor hipofisis tidak perlu. Jika prolaktin meningkat, evaluasi

dari sella tursika sangat diperlukan. Dalam kerangka ini, pernyataan berikut dapat

dijadikan petunjuk praktis klinik: pendarahan positif membutuhkan pengobatan

progesteron, dan tanpa adanya galaktorea serta kadar prolaktin yang normal dapat

dijadikan petunjuk bahwa kita dapat mengabaikan adanya tumor hipofisis.

Kenaikan sekresi prolaktin menambah perhatian kita pada keadaan kelenjar hipofisis.

Untuk menjadi pertimbangan, perlu disampaikan bahwa terdapat laporan kasus dengan

sekresi ektopik dari lapisan hipofisis pada faring, karsinoma bronkus, karsinoma sel-sel

renal, gonadoblastoma, pada seorang wanita dengan amenorea dan hiperprolaktinemia

serta ditemukan juga adanya prolaktinoma pada dinding kista dermoid ovarium.

2. Jika rangkaian pengobatan progesteron tidak memberikan hasil seperti pada langkah di

atas, apalagi sistem organ target tidak operatif atau perkembangan estrogen dari

endometrium tidak terjadi. Langkah 2 didesain untuk membuat klarifikasi terhadap

situasi ini. Pemberian estrogen oral, estrogen dapat merangsang secara aktif baik secara

kwantitatif maupun durasinya untuk perkembangan endometrium dan pendarahan yang

aktif dari uterus pada sistem pengeluaran yang ada. Dosis yang sesuai adalah 1,25 mg

estrogen konjugasi setiap hari selama 21 hari. Tambahan lanjutannya adalah progesteron

Page 4: Amenorea Primer

yang aktif secara oral (medroksiprogesteron asetat 10 mg setiap hari selama 5 hari

terakhir) diperlukan untuk menghasilkan menstruasi.

Sebagai hasil dari test farmakologis langkah 2, apakah pada penderita dengan amenorea

tersebut terjadi perdarahan atau tidak. Jika tidak terjadi, diagnosis dari kerusakan pada

kompartemen I (endometrium, aliran pengeluaran) bisa ditegakkan. Jika pendarahan

terjadi, bisa diasumsikan bahwa kompartemen I mempunyai kemampuan fungsional yang

normal jika mendapat rangsangan esterogen.

Dari sudut pandang praktis, pada pasien dengan alat genitalia interna dan eksterna yang

normal dapat ditetapkan dengan pengujian pada panggul, dan tanpa adanya latar belakang

infeksi atau trauma (seperti kuretase), serta tidak didapatkannya ketidaknormalan dari

aliran pengeluaran yang tidak sewajarnya. Masalah aliran pengeluaran termasuk

kerusakan endometrium, secara umum sebagai akibat dari kuretase yang berlebihan atau

akibat dari infeksi, atau akibat amenorea primer dari diskontinuitas atau abnormalitas

pada duktus Mulleri.

3. Pasien amenorea tidak sanggup menyediakan rangsangan estrogen yang memadai. Untuk

memproduksi estrogen, ovarium memiliki folikel yang normal dan hormon hipofisis yang

cukup untuk merangsang organ yang diperlukan. Langkah 3 dirancang untuk menentukan

apakah 2 komponen yang penting (gonadotropin atau aktifitas folikel) berfungsi secara

wajar atau tidak.

Langkah ini mengikutsertakan pengujian tingkat gonadotropin pada pasien. Karena

langkah 2 mengikutsertakan pemberian estrogen eksogen, kadar gonadotropin endogen

mungkin tidak nyata. Sebab itu, penundaan selama 2 minggu setelah langkah 2 mesti

dilakukan sebelum melaksanakan langkah 3, pengujian gonadotropin.

Langkah 3 dirancang untuk menentukan apakah kekurangan estrogen menyebabkan

kesalahan pada folikel (kompartemen II) atau pada sistem aksis syaraf pusat-hipofisis

(kompartemen III dan IV). Hasil pengujian gonadotropin pada wanita amenorea yang

tidak mengalami pendarahan setelah pemberian pemicu progestagen akan menghasilkan

kadar gonadotropin abnormal yang tinggi, abnormal yang rendah, atau pada kadar yang

normal.

Page 5: Amenorea Primer

Prinsip dasar fisiologi fungsi menstruasi memungkinkan dibuatnya suatu sistem yang

memisahkan dalam beberapa kompartemen dimana menstruasi yang normal tergantung.

Hal ini berguna untuk memakai evaluasi diagnostik yang memilah penyebab amenorea

dalam 4 kompartemen, yaitu:

Kompartemen I : kelainan terletak pada organ target uterus atau outflow tract

Kompartemen II : kelainan pada ovarium.

Kompartemen III : kelainan pada pituitri anterior

Kompartemen IV : kelainan pada sistem syaraf pusat (hipotalamus).

Patofisiologi gangguan pada masing-masing kompartemen :

a. Gangguan Kompartemen I

Anomaly Ductus Mulleri

Pada keadaan amenorea primer, diskontinuitas oleh gangguan/kelainan segmental dari

tubulus Mulleri harus disingkirkan. Observasi langsung dapat menentukan ada tidaknya

himen imperforata, obliterasi orifisium vaginae dan adanya diskontinuitas kanalis

vaginalis. Keadaan lain yang jarang ditemukan, yaitu terdapat uterus tetapi tanpa

terbentuknya kavum uteri, atau terdapat kavum uteri tetapi endometriumnya kurang

secara kongenital. Kecuali pada kelainan kongenital yang disebutkan terakhir, problem

klinik amenorea yang didasarkan pada adanya obstruksi menimbulkan adanya keluhan

nyeri yang disertai distensi dari hematokolpos, hematometra, atau hematoperitoneum.

Penanganan yang dapat dilakukan dengan insisi dan drainage. Bahkan pada keadaan yang

disertai komplikasi, perbaikan kontinuitas duktus Mulleri biasanya dapat dicapai dengan

pembedahan. Sayangnya dapat terjadi konsekuensi dari tindakan ekstirpasi operatif

terhadap massa yang nyeri di atas berupa kerusakan/trauma pada kandung kencing,

ureter, dan rektum.

Merupakan suatu keuntungan bila mengetahui jenis kelainan sebelum koreksi bedah

dilakukan. Magnetic resonance imaging (MRI) dapat dilakukan untuk mengetahui

abnormalitas anatomik yang akurat. Diagnosis preoperatif akan memudahkan rencana dan

pelaksanaan terapi bedah.

Agenesis Ductus Mulleri

Page 6: Amenorea Primer

Terhambatnya perkembangan duktus Mulleri (Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser

syndrome) merupakan diagnosis pada individu dengan keluhan amenorea primer dan

tidak terbentuknya vagina. Kelainan ini relatif sering sebagai penyebab amenorea primer,

lebih sering dari pada insensitifitas androgen kongenital dan lebih jarang dibandingkan

disgenesis gonad. Pada penderita sindroma ini tidak ada vagina atau adanya vagina yang

hipoplasi. Uterus dapat saja normal, tetapi tidak mempunyai saluran penghubung dengan

introitus, atau dapat juga uterusnya rudimenter, bikornu. Jika terdapat partial endometrial

cavity, penderita dapat mengeluh adanya nyeri abdomen yang siklik. Karena adanya

kemiripan dengan beberapa tipe pseudohermafroditism pria, diperlukan pemeriksaan

untuk menunjukkan kariotipe yang normal perempuan. Fungsi ovarium normal dan dapat

dilihat dari suhu basal tubuh atau kadar progesteron perifer. Pertumbuhan dan

perkembangan penderita normal.

Bila dari pemeriksaan didapatkan adanya struktur uterus, pemeriksaan ultrasonografi

dapat dilakukan menentukan ukuran dan simetris tidaknya struktur uterus tersebut. Bila

gambaran anatomis sebagai hasil USG tidak jelas, merupakan indikasi untuk dilakukan

pemeriksaan MRI. Pemeriksaan laparoskopi pelvis tidak diperlukan. Pemeriksaan MRI

lebih akurat dibandingkan pemeriksaan USG dan lebih murah serta tidak invasif bila

dibandingkan laparoskopi. Ekstirpasi sisa duktus Mulleri tidak diperlukan kecuali kalau

menimbulkan masalah seperti berkembangnya uterine fibroid, hematometra,

endometriosis, atau herniasi simptomatis ke dalam kanalis inguinalis.

Karena berbagai kesulitan dan komplikasi yang terjadi pada pembedahan, maka bila

memungkinkan Speroff dkk lebih memilih alternatif untuk melakukan konstruksi bedah

dengan membuat vagina artifisial. Sebaliknya, Speroff menganjurkan penggunaan

dilatasi yang progresif seperti yang mula-mula diperkenalkan oleh Frank dan kemudian

oleh Wabrek dkk. Mula-mula ke arah posterior vagina, dan kemudian setelah 2 minggu

diubah ke arah atas dari aksis vagina, tekanan dengan dilator vagina dilakukan selama 20

menit setiap hari. Dengan menggunakan dilator yang ditingkatkan makin besar, vagina

yang fungsional dapat terbentuk kurang lebih dalam 6-12 minggu. Terapi operatif

ditujukan bagi penderita yang tidak dapat dilakukan penanganan dengan metode Frank,

atau gagal, atau bila terdapat uterus yang terbentuk baik dan fertilitas masih mungkin

untuk dipertahankan. Penderita seperti ini dapat diidentifikasi dengan adanya simptom

Page 7: Amenorea Primer

retained menstruation. Ada juga yang merekomendasikan untuk melakukan laparotomi

inisial yang gunanya untuk mengevaluasi kanalis servikalis; jika serviks atresia, uterus

harus diangkat.

Penderita dengan septum vagina transversalis, dimana terjadi kegagalan kanalisasi

sepertiga distal vagina, biasanya disertai gejala obstruksi dan frekuensi urin. Septum

transversalis dapat dibedakan dari himen imperforata dengan kurang-nya distensi

introitus pada manuver Valsava.

Pada kategori kelainan ini, obstruksi traktus genitalis bagian distal merupakan satu-

satunya kondisi yang dapat dipandang sebagai keadaan emergensi. Keterlambatan dalam

terapi bedah dapat menyebabkan terjadi infertilitas sebagai akibat perubahan peradangan

dan endometriosis. Pembedahan definitif harus dilakukan sesegera mungkin. Diagnostik

dengan aspirasi menggunakan jarum tidak boleh dilakukan karena dapat menyebabkan

hematokolpos berubah menjadi pyokolpos

Feminisasi Testikuler

Insensitifitas androgen komplit (sindroma feminisasi testikuler) merupakan diagnosis

yang paling mungkin bilamana terjadi kanalis vaginalis yang buntu dan uterus tidak ada.

Kelainan ini merupakan penyebab amenorea primer yang ketiga setelah disgenesis gonad

dan agenesis mullerian. Penderita dengan feminisasi testikuler merupakan

pseudohermafrodit pria. Kata pria disini, didasarkan pada gonad yang dimiliki

penderita; jadi individu ini memiliki testes dan kariotipe XY. Pseudohermafrodit artinya

bahwa alat genitalnya berlawanan dengan jenis gonad-nya; jadi, individu tersebut secara

fenotif wanita tetapi dengan tidak ada atau sangat kurangnya rambut kemaluan dan

ketiak.

Pseudohermafrodit pria adalah genetik dan gonad yang dimilikinya pria dengan

kegagalan virilisasi. Kegagalan dalam perkembangan pria dapat meliputi suatu spektrum

dengan bentuk insensitifitas androgen yang inkomplit. Transmisi kelainan ini melalui X-

linked recessive gene yang bertanggung-jawab terhadap reseptor androgen intraseluler.

Diagnosis klinik harus dipertimbangkan pada keadaan berikut:

Page 8: Amenorea Primer

o anak perempuan dengan hernia inguinal karena testes seringkali mengalami parsial

descensus

o penderita dengan amenorea primer dan tidak ada uterus

o penderita tanpa bulu-bulu di tubuh.

Penderita kelihatan normal pada saat lahir kecuali mungkin adanya hernia inguinal, dan

penderita tidak dibawa ke dokter sampai usia pubertas. Pertumbuhan dan perkembangan

normal. Payudara abnormal dimana didapatkan jaringan kelenjar tidak cukup, puting susu

kecil, dan areola mammae pucat. Lebih dari 50% dengan hernia inguinalis, labia minora

biasanya kurang berkembang, dan blind vagina kurang dalam daripada normal. Tuba

fallopi yang rudimenter terdiri dari jaringan fibromuskuler kadang kala dengan hanya

selapis epitel.

Karena penderita ini sudah merasakan dirinya sebagai seorang wanita, maka kadang-

kadang tidak perlu dilakukan tindakan apa-apa. Testis yang berada intraabdominal perlu

dilakukan tindakan pengangkatan karena 10% dari kasus dengan testis intraabdominal

dapat menjadi ganas. Bila telah diputuskan untuk mengangkat testis, maka perlu

diberikan pengobatan substitusi hormone.

b. Gangguan Kompartemen II

Sindrom Turner

Pada tahun 1938 Turner mengemukakan 7 kasus yang dijumpai dengan sindroma yang

terdiri atas trias yang klasik, yaitu infantilisme, webbed neck, dan kubitus valgus.

Penderita-penderita ini memiliki genitalia eksterna wanita dengan klitoris agak membesar

pada beberapa kasus, sehingga mereka dibesarkan sebagai wanita.

Fenotipe pada umumnya ialah sebagai wanita, sedang kromatin seks negatif. Pola

kromosom pada kebanyakan mereka adalah 45-XO; pada sebagian dalam bentuk mosaik

45-XO/46-XX. Angka kejadian adalah satu di antara 10.000 kelahiran bayi wanita.

Kelenjar kelamin tidak ada, atau hanya berupa jaringan parut mesenkhim (streak gonads),

dan saluran Muller berkembang dengan adanya uterus, tuba, dan vagina, akan tetapi lebih

kecil dari biasa, berhubung tidak adanya pengaruh dari estrogen.

Selain tanda-tanda trias yang tersebut diatas, pada sindroma Turner dapat dijumpai tubuh

yang pendek tidak lebih dari 150 cm, dada berbentuk perisai dengan puting susu jauh ke

Page 9: Amenorea Primer

lateral, payudara tidak berkembang, rambut ketiak dan pubis sedikit atau tidak ada,

amenorea, koarktasi atau stenosis aortae, batas rambut belakang yang rendah, ruas tulang

tangan dan kaki pendek, osteoporosis, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran,

anomali ginjal (hanya satu ginjal), dan sebagainya. Pada pemeriksaan hormonal

ditemukan kadar hormon gonadotropin (FSH) meninggi, estrogen hampir tidak ada,

sedang 17-kortikosteroid terdapat dalam batas-batas normal atau rendah.

Diagnosis dapat dengan mudah ditegakkan pada kasus-kasus yang klasik berhubung

dengan gejala-gejala klinik dan tidak adanya kromatin seks. Pada kasus-kasus yang

meragukan, perlu diperhatikan dua tanda klinik yang penting yang dapat dipakai sebagai

pegangan untuk menduga sindrom Turner, yaitu tubuh yang pendek yang disertai dengan

pertumbuhan tanda-tanda seks sekunder yang sangat minimal atau tidak ada sama sekali.

Pengobatan terhadap penderita sindroma Turner adalah pengobatan substitusi yang

bertujuan untuk:

merangsang pertumbuhan ciri-ciri seks sekunder, terutama pertumbuhan payudara

menimbulkan perdarahan siklis yang menyerupai haid jika uterus sudah berkembang

mencapai kehidupan yang normal sebagai istri walaupun tidak mungkin untuk

mendapat keturunan

alasan psikologis, untuk tidak merasa rendah diri sebagai wanita.

Hormon yang diberikan adalah estrogen dalam kombinasi dengan progestagen secara

siklis sampai masa menopause atau pascamenopause. Berhubung dengan kemungkinan

bahwa pemberian estrogen mengakibatkan penutupan garis epifisis secara prematur

sehingga menghalangi pertumbuhan tubuh, terapi ditunda sampai penutupan garis epifisis

sudah terjadi.

Disgenesis Gonad XY

Penderita berfenotip wanita dengan kariotipe XY dengan sistem Mulleri yang teraba,

kadar testoteron wanita normal dan kurangnya perkembangan seksual dikenal sebagai

sindroma Swyer. Terdapat vagina, uterus, dan tuba falopii, tetapi pada usia pubertas

gagal terjadi perkembangan mammae dan amenorea primer. Gonad hampir seluruhnya

berupa berkas-berkas tak berdiferensiasi kendati pun terdapat kromosom Y yang secara

sitogenetik normal. Pada kasus ini, gonad primitif gagal berdiferensiasi dan tak dapat

Page 10: Amenorea Primer

melaksanakan fungsi-fungsi testis, termasuk supremasi duktus Mulleri. Sel-sel hillus

dalam gonad mungkin mampu memproduksi sejumlah androgen; maka dapat terjadi

sedikit virilisasi, seperti pembesaran klitoris pada usia pubertas. Pertumbuhan normal;

tidak terdapat cacat penyerta. Transformasi tumor pada gonadal ridge dapat terjadi pada

berbagai usia, ekstirpasi gonadal streaks harus dilakukan segera setelah diagnosis dibuat,

tanpa memandang usia.

Agenesis Gonadal

Tidak terjadi komplikasi klinis yang terjadi bersama kegagalan gonad pada keadaan

agenesis ini. Keadaan ini disebut juga sindroma agenesis gonad XY atau sindroma

regresi testis embrionik. Pada sindroma yang langka ini, genitalis eksterna sedikit

meragukan, namun hampir menyerupai bentuk wanita. Ditemukan hipoplasia labia,

derajat tertentu fusi labioskrotum, penis kecil mirip klitoris, dan muara uretra pada

perineum. Uterus, jaringan gonad, dan vagina tidak ditemukan. Pada usia pubertas tidak

terjadi perkembangan seksual, dan kadar gonadotropin meningkat. Umumnya penderita

diasuh sebagai wanita. Dalam kondisi ini, jaringan testis dianggap telah aktif selama

kehidupan janin sehingga mampu menghambat perkembangan duktus mulleri, tetapi

fungsi sel leydig minimal. Tanpa informasi yang tepat, hanya dapat diperkirakan saja apa

yang menjadi penyebab tidak terjadinya perkembangan gonad tersebut. Jadi harus diduga

bahwa virus dan metabolik yang berpengaruh pada awal kehamilan. Meskipun demikian

hasil akhirnya berupa hipergonadotropik hipogonadism yang tidak dapat diperbaiki

kembali. Bila fungsi gonad tidak ada, perkembangan adalah wanita.

Pengangkatan gonadal streaks dengan pembedahan diperlukan untuk menghindari

kemungkinan terjadi neoplasia.

Sindroma Ovarium Resisten

Salah satu keadaan yang menarik dari faktor ovarium yang menimbulkan gangguan haid

ialah sindroma ovarium resisten gonadotropin, yang dikenal pula dengan istilah sindroma

ovarium insensitive atau ovarium hiposensitif gonadotropin. Penyebab yang pasti dari

kelainan ini belum seluruhnya terungkap. Kini yang banyak diperbincangkan adalah

Page 11: Amenorea Primer

adanya gangguan pembentukan reseptor-reseptor gonadotropin di ovarium akibat proses

autoimun.

Dugaan ke arah diagnosis dari sindroma ovarium resisten gonadotropin ditegakkan baik

secara klinis mau pun secara laboratoris dan histopatologis. Secara klinis kelainan ini

ditandai dengan sindroma yang terdiri dari gangguan haid berupa oligomenorea sampai

amenorea, sedangkan secara laboratoris dijumpai hipergonadotropin dan hipoestrogen.

Secara histologis pada kelainan ini masih dijumpai struktur jaringan ovarium yang

normal dengan folikel primordial yang masih utuh.

Jarang terjadi penderita amenorea disertai peningkatan kadar gonadotropin walaupun

terdapat folikel-folikel ovarium normal dan tidak ada bukti penyakit autoimun.

Laparotomi diperlukan untuk sampai pada diagnosis yang benar dengan menghasilkan

evaluasi histologis ovarium yang adequat. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan adanya

folikel-folikel tetapi tidak adanya infiltrasi limfositik dengan penyakit autoimun. Karena

kelainan ini jarang dan kesempatannya sangat kecil untuk dapat hamil bahkan dengan

pemberian gonadotropik eksogen dosis tinggi, Speroff berpendapat bahwa tidak ada

manfaat untuk melakukan laparotomi untuk biopsi ovarium pada setiap penderita

amenorea, gonadotropin tinggi, dan normal kariotipe.

Karena penyebab yang pasti dari penyakit ini belum diketahui, maka pengobatannya lebih

bersifat simptomatis. Banyak peneliti menganjurkan pemberian substitusi siklik estrogen

dan progesteron.

Prematur Ovarian Failure

Keadaan ini seringkali terjadi, yaitu berupa habisnya folikel ovarium yang terjadi lebih

awal dari semestinya. Sekitar 1% wanita akan mengalami kegagalan ovarium sebelum

usia 40 tahun, dan pada wanita dengan amenorea primer, frekuensi berkisar antara

10%-28%. Etiologi POF tidak diketahui pada kebanyakan kasus. Kemungkinan

merupakan akibat kelainan genetik dengan peningkatan laju hilangnya folikel. Seringkali,

kelainan kromosom seks yang spesifik dapat diidentifikasi. Kelainan yang paling sering

adalah 45-X dan 47-XXY diikuti oleh mosaicism dan kelainan struktur kromosom seks

yang spesifik. Akselerasi atresia paling sering karena 46-X (sindroma Turner). POF dapat

Page 12: Amenorea Primer

disebabkan suatu proses autoimun, atau mungkin destruksi folikel oleh infeksi seperti

oofritis mumps, atau irradiasi maupun kemoterapi.

Masalah yang timbul dapat terjadi pada berbagai usia tergantung pada jumlah folikel

yang tersisa. Jika hilangnya folikel berlangsung cepat, akan terjadi amenorea primer dan

terhambatnya perkembangan seksual. Jika hilangnya folikel terjadi selama atau setelah

pubertas, kemudian berlanjut sampai dewasa, perkembangan fenotipe dan onset

terjadinya amenorea sekunder akan sesuai.

Mengingat meningkatnya jumlah kasus yang dilaporkan dimana terjadi mulai laginya

fungsi yang normal, tidak dapat dipastikan bahwa penderita-penderita ini akan steril

selamanya. Di sisi lain, laparotomi dan biopsi ovarium “full thickness” tidak diperlukan

pada semua pasien ini. Sperrof berpendapat bahwa pendekatan yang minimal, dengan

“survey” untuk penyakit autoimun (meskipun diakui bahwa tidak ada metode klinik yang

dapat mendiagnosis secara akurat autoimmune ovarium failure) dan penilaian aktivitas

ovarium-pituitary sudah mencukupi.

c. Gangguan Kompartemen III

Gangguan Hipofisis Anterior

Adanya gangguan pada aksis hipotalamus-hipofisis pertama kali fokus kita harus tertuju

pada adanya masalah tumor hipofisis. Dengan munculnya amenorea, penderita dengan

perkembangan tumor hipofisis yang perlahan dapat muncul beberapa tahun sebelum

tumor menjadi besar dan dapat dideteksi secara radiologis. Untungnya, tumor maligna

tidak terlalu banyak dijumpai. Sampai dengan tahun 1989 tidak lebih dari 40 kasus yang

dilaporkan di literatur internasional. Tetapi tumor jinak dapat menimbulkan problem

sebab dapat berkembang dan terjadi pendesakan ruangan maupun jaringan lain, tumor

akan tumbuh ke atas, akan menekan chiasma nervi optici yang menyebabkan

hemianopsia bitemporalis. Dengan ukuran tumor yang kecil, kelainan visual kadang sulit

dideteksi.

Tidak semua massa intrasellar adalah neoplasma. Gumma, tuberkuloma, dan deposit

lemak telah dilaporkan dan menyebabkan penekanan dan menyebabkan amenorea

hipogonadotropin. Lesi pada daerah sekitar sella tursika seperti aneurisma arteri karotis,

obstruksi aquaeduktus Sylvii dapat juga menyebabkan amenorea.

Page 13: Amenorea Primer

Amenorea Galaktorea

Wanita dengan hiperprolaktinemia secara khas muncul dengan galaktorea dan berbagai

keadaan gangguan menstruasi mulai dari menstruasi yang normal sampai amenorea yang

diikuti dengan infertilitas. Gangguan yang terlihat mungkin berkaitan dengan

hiperprolaktinemia ketika adenoma hipofisis yang menekan nervus optikus, traktus

nervus optikus, chiasma nervi optici atau nervus kranialis yang lain. Pada pengamatan

secara radiografi terhadap kelenjar hipofisis pada wanita dengan hiperprolaktinemia

mungkin didapatkan makroadenoma, mikroadenoma, atau tidak didapatkan adenoma.

Meskipun untuk memiliki kadar prolaktin yang tingggi, ukuran dari adenoma tidak

berhubungan secara linier dengan kadar prolaktin.

Prolaktin merupakan polipeptida yang terdiri atas 200 asam dengan berat molekul antara

19.000 – 22.000 Dalton. Prolaktin dihasilkan oleh sel-sel laktotrof yang terletak di dalam

bagian distal lobus anterior kelenjar hipofisis. Hiperprolaktinemia adalah suatu gejala

yang merupakan hasil dari suatu spektrum yang luas dari kelebihan produksi laktotrof

dari prolaktin dengan keadaan mulai dari ukuran hipofisis yang normal sampai perubahan

adenomatosa dengan pembesaran hipofisis. Follow up jangka panjang pada wanita

hiperprolaktinemia yang tidak diobati menunjukkan bahwa wanita dengan adenoma atau

tanpa adenoma hipofisis biasanya tidak menunjukkan perkembangan dari penyakit

sebagai hasil yang nyata dari adanya pengamatan secara radiologis.

Wanita dengan amenorea anovulatoar yang disebabkan oleh perubahan fungsional dari

hipotalamus mungkin masuk pada kelompok I (insufisiensi hipotalamus-hipofisis) atau

grup II (disfungsi hipotalamus-hipofisis) dari klasifikasi amenorea yang dikeluarkan oleh

WHO. Penderita-penderita ini memiliki beberapa macam gangguan hipotalamus-

hipofisis, tetapi mereka berada dalam prolaktin plasma yang normal. Biasanya, beberapa

wanita dengan bermacam gangguan diberikan klomifen sitrat untuk merangsang ovulasi,

termasuk pada penderita dengan kadar prolaktin yang normal. Bagaimanapun juga,

beberapa dari mereka tidak ada respon pada klomifen sitrat.

Bromokriptin diketahui dapat digunakan untuk mengembalikan siklus ovulasi dan

fertilitas pada beberapa penderita dengan anovulasi hipotalamus, termasuk bila mereka

memiliki prolaktin darah yang normal. Di lain pihak, bromokriptin dan klomifen sitrat

Page 14: Amenorea Primer

dapat secara sinergi sebagai induksi ovulasi, kemungkinan karena memiliki tempat kerja

yang berlainan.

Akhir-akhir ini dapat dipastikan, bahwa dari hipofisis bagian depan terdapat hormon

pelepas tirotropin (TRH) yang mengeluarkan tidak hanya tirotropin, melainkan juga

hormon pertumbuhan (GH) dan prolaktin. Karena arti fisiologik hubungan fungsional

antara kedua sistem tersebut sangat kecil, maka dapat disimpulkan bahwa tripeptida TRH

sesungguhnya bukanlah PRF (prolactine releasing factor). Yang mempunyai arti lebih

besar dari TRH atau PRF dalam pengaturan prolaktin adalah faktor penghambat prolaktin

(prolactine inhibiting factor, PIF), yang susunan kimianya juga belum dapat dibuktikan

sampai sekarang. Dibawah pengaruh meningkatnya steroid seks dalam serum, maka

pengeluaran PIF dari hipotalamus akan ditekan. Peristiwa ini akan mengakibatkan

meningkatnya sekresi prolaktin.

Peningkatan kadar prolaktin serum yang ringan mungkin disebabkan oleh beberapa

faktor, termasuk diantaranya pemberian estrogen dan fenotiazin, respon dari stress,

makanan (khususnya makanan yang banyak mengandung asam amino), hipotiroid primer,

tumor-tumor hipotalamus-hipofisis. Adenoma hipofisis yang memproduksi prolaktin

umumnya muncul yang tandai dengan peningkatan kadar prolaktin (sering > 100 ng/mL).

Tumor-tumor hipotalamus dan makroadenoma dapat menekan batang hipofisis,

menghambat transport dari dopamin dan faktor-faktor hipotalamus-hipofisis, dengan hasil

hiperprolaktinemia dan berbagai tingkat hipopituitarism. Penderita dengan

hiperprolaktinemia ringan harus dilakukan eksplorasi tentang riwayat dan dilakukan

pemeriksaan untuk menentukan keadaan hipofisis, hipersekresi hipofisis, atau efek dari

penekanan massa. Suatu program istirahat yang berulang, kadar prolaktin puasa, yang

tetap pada peningkatan yang ringan. Khususnya bila dikombinasikan dengan pembesaran

hipofisis, perlu dilakukan pemeriksaan radiologis pada sella tursika.

Deteksi secara radiologis dari adenoma hipofisis membutuhkan investigasi untuk

menentukan apakah benar keadaan tersebut merupakan hipersekresi hormon hipofisis,

atau bukan sekresi hormon-hormon hipofisis. Pada keadaan makroadenoma, harus

dipikirkan tentang kemungkinan adanya hipopituitarisme sekunder parsial atau komplit

yang menekan kelenjar jaringan hipofisis atau batang hipofisis. Adenoma nonsekresi

mencakup 25%-30% dari adenoma hipofisis. Dari hasil pengukuran gonadotropin terlihat

Page 15: Amenorea Primer

bahwa 80%-90% adenoma hipofisis nonsekresi adalah adenoma gonadotrofin. Adenoma-

adenoma ini sering sulit untuk mendiagnosisnya sebab kekurangan tanda fenotip dari

keadaan klinik, yang biasa digunakan untuk membedakan adenoma-adenoma hipofisis

sekretoris. Adenoma hipofisis non sekresi biasanya muncul dengan manifestasi klinis

yang berhubungan dengan efek adanya massa seperti nyeri kepala, gangguan visus, dan

hipopituitarisma.

Diagnosis banding dari lesi yang luas pada area sella tursika termasuk diantaranya adalah

makroadenoma hipofisis, kraniofaringioma, meningioma, dan proses inflamasi seperti

sarkoid, kista arakhnoid, dan penyakit metastase. Peningkatan kadar FSH, LH, α subunit,

subunit β LH dalam sirkulasi menunjukkan adanya suatu adenoma gonadotropin.

Peningkatan basal FSH, LH, subunit α, dan β LH telah terdeteksi pada lebih dari 40%

penderita dengan nonsekresi, adenoma hipofisis yang memproduksi gonadotropin. Pada

wanita dan laki-laki, 50% - 60% dari adenoma gonadotropin nonsekresi akan

menghasilkan FSH, LH, subunit α, atau subunit β LH dalam respon pada test terhadap

thyrotropin-releasing hormon. Hal ini menunjukkan bahwa sel-sel pada adenoma

gonadotropin memiliki sejumlah reseptor TRH, meskipun pada sel gonadotropin normal

tidak dijumpai adanya reseptor tersebut.

Pengobatan dari makroadenoma gonadotropin utamanya adalah pembedahan, secara

primer dengan melalui transfenoid. Pengobatan secara radiasi mungkin merupakan suatu

hal penting pada penderita dengan residu penyakit yang signifikan atau pertumbuhan

tumor yang rekuren. Pengobatan dengan medikamentosa dengan bromokriptin saat ini

merupakan teknik pengobatan yang penting meskipun mekanisme kerjanya masih belum

terinvestigasi secara lengkap dan mengkin di masa yang akan datang lebih bisa

dijelaskan.

Upaya pengobatan yang diberikan untuk menurunkan kadar prolaktin yang tinggi adalah

bromokriptin. Bromokriptin merupakan kelompok ergolin yaitu alkaloid ergot yang

bersifat dopaminergik. Bromokriptin merangsang reseptor dopaminergik. Obat

mempengaruhi susunan syaraf pusat, kardiovaskular, poros hipotalamus-hipofisis dan

saluran cerna. Bromokriptin menekan sekresi prolaktin yang berlebihan yang terjadi pada

tumor hipofisis. Dosis obat sangat tergantung dari kadar prolaktin yang ditemukan pada

Page 16: Amenorea Primer

saat itu. Kadar prolaktin 25–40 ng/ml, cukup ½ tablet bromokriptin/hari. Kadar prolaktin

mencapai 50 ng/ml, bromokriptin diberikan 2x1 tablet/hari. Efek samping yang paling

sering dijumpai adalah gangguan gastrointestinal (mual) serta hipotensi (pusing).

Setiap pemberian bromokriptin perlu dilakukan pengawasan yang baik. Perlu dicegah

pemberian dosis yang berlebihan. Tanda-tanda terjadinya penekanan sekresi prolaktin

yang berlebihan adalah: kadar prolaktin 2 ng/ml, fase sekresi memendek akibat

insufisiensi korpus luteum, diameter folikel kecil.

Pada setiap hiperprolaktinemia harus terlebih dahulu diketahui apakah peningkatan

tersebut akibat tumor hipofisis atau karena penyebab lain. Untuk membedakan dapat

digunakan uji provokasi. Kadang-kadang adanya mikroadenoma tidak dapat diketahui

secara radiologik, tetapi dengan uji provokasi mikroadenoma ini mudah diketahui.

Uji dengan TRH, dimana TRH diberikan intravena dengan dosis 100–500 μg. setelah

pemberian ini terjadi peningkatan prolaktin yang mencapai maksimum antara 15–25

menit. Pada wanita yang tidak menderita prolaktinoma terjadi peningkatan 4–14 kali dari

harga normal, sedangkan wanita dengan prolaktinoma pemberian TRH tidak

menunjukkan perubahan kadar PRL.

d. Gangguan Kompartemen IV

Biasanya masuk dalam kategori amenorea sekunder, dalam hal ini terkait dengan

amenorea yang disebabkan oleh :

o Kehilangan berat badan, anoreksia, bulimia

Obesitas dapat diasosiasikan dengan amenorea, tetapi amenorea pada penderita

dengan obesitas biasanya berhubungan dengan anovulasi, dan keadaan

hipogonadotropin tidak dapat diketahui meskipun penderita juga didapatkan

gangguan emosional yang berat. Sebaliknya pengurangan berat badan secara

mendadak, dengan berbagai macam cara, dapat menyebabkan terjadinya keadaan

hipogonadotropin. Diagnosis dari keadaan amenorea hipotalamus ini juga merupakan

hasil dari disingkirkannya adanya tumor hipofisis.

Anoreksia nervosa terjadi kebanyakan pada wanita muda terutama wanita dari kelas

menengah ke atas di bawah umur 25 tahun, tetapi sekarang terjadi juga pada berbagai

tingkat sosial ekonomi. Beberapa kondisi yang bisa menegakkan diagnosis anoreksia

Page 17: Amenorea Primer

nervosa adalah: umur berkisar antara 10-30 tahun, kehilangan berat badan 25%

atau 15% di bawah berat normal, adanya episode makan berlebihan (bulimia),

overaktif, baradikardi, amenorea, tidak ditemukan kelainan medis, tidak ditemukan

gangguan psikiatri. Karakteristik lain diantaranya: konstipasi, tekanan darah yang

rendah, hiperkarotenemia, diabetes insipidus.

Membuka tabir secara hati-hati adanya hubungan antara amenorea dengan berat

badan yang rendah kadang merupakan rangsangan terhadap penderita untuk kembali

ke berat badan normal dan fungsi menstruasi yang normal. Adakalanya hal ini bila

perlu untuk melihat penderita secara lebih sering dan perlu pemberian program diet

tinggi kalori (minimal 2600 kalori) dengan memberikan kebiasaan makan yang

benar. Bila perbaikannya berlangsung sangat lambat, terapi hormon perlu dipikirkan.

Beberapa penderita memerlukan intervensi dari ahli jiwa.

o Latihan dan amenorea (exercise and amenorrhea)

Pada abad ke-20, telah ada suatu kewaspadaan bahwa para atlit wanita, dan wanita

yang memerlukan suatu latihan keras seperti penari balet, tari modern, didapatkan

insidens yang signifikan adanya gangguan menstruasi sampai adanya amenorea,

keadaan ini disebut supresi hipotalamus. Dua pertiga pelari memiliki fase luteal,

yang pendek sehingga terjadi anovulasi. Bila latihan keras tersebut dimulai sebelum

menars, menars mungkin akan terlambat sampai lebih kurang 3 tahun, dan kejadian

menstruasi yang tidak teratur akan menjadi lebih tinggi.

Kemunculan amenorea ini disebabkan oleh 2 sebab yaitu suatu kadar kritis dari

lemak tubuh dan efek dari stress itu sendiri. Para atlit wanita yang senantiasa ikut

kompetisi/perlombaan memiliki 50% kadar lemak lebih sedikit dibanding dengan

atlit yang bukan kompetitor. Pengurangan lemak tubuh tidak harus mengurangi berat

badan, sebab lemak dikonversi menjadi massa otot. Pengamatan secara kritis

didapatkan bahwa tidak ada hubungan sebab akibat dari lemak tubuh dan gangguan

menstruasi tetapi hanya satu korelasi saja.

Prognosis dari para atlit wanita mungkin baik. Hanya tingkat reversibilitasnya tidak

diketahui dengan pasti, meskipun beberapa penelitian menunjukkan mengindikasikan

bahwa sebagian besar atlit wanita akan mengalami ovulasi kembali bila stress dan

Page 18: Amenorea Primer

latihan mulai bisa dibatasi. Namun demikian sebagian atlit tidak menginginkan untuk

menghentikan untuk menghentikan latihan kerasnya. Pemberian terapi hormonal bisa

dipertimbangkan pada wanita dengan hipoestrogen guna menjaga agar tidak terjadi

perubahan pada tulang dan kardiovaskuler.

o Amenorea dan anosmia, Sindroma Kallmann

Suatu kondisi yang jarang pada wanita, yaitu ditandai oleh adanya sindroma

hipogonadotropik-hipogonadism kongenital yang berhubungan dengan anosmia atau

hiposmia, dikenal sebagai sindroma Kallmann. Untuk mempermudah mengingat

gambaran gejalanya sering disebut juga sebagai sindroma amenorea dan anosmia.

Pada wanita, gejala yang muncul berupa amenorea primer, perkembangan seksual

infantil, kadar gonadotropin rendah, kariotipe wanita normal, dan ketidakmampuan

untuk mempersepsi aroma. Seringkali penderita tidak menyadari adanya gangguan

penciuman tersebut. Gonad mampu untuk memberikan respon terhadap

gonadotropin; dengan demikian induksi ovulasi dengan gonadotropin eksogen bisa

berhasil.

Sindroma Kallmann mempunyai kaitan dengan defek anatomi yang spesifik.

Pemeriksaan MRI (seperti juga pemeriksaan postmortem) memperlihatkan bahwa

terdapat hipoplasia atau tidak ada sulkus olfaktorius di rhinencephalon. Defek ini

mengakibatkan kegagalan olfactory axonal dan GnRH neuronal bermigrasi dari

placode olfaktorius di hidung. Sel-sel yang memproduksi GnRH berasal dari area

olfaktorius dan bermigrasi selama embriogenesis sepanjang nervus kranialis yang

menghubungkan hidung dan forebrain. Terjadinya sindroma ini sebagai akibat

mutasi yang melibatkan gen tunggal pada lengan pendek kromosom X yang berisi

kode pembentukan protein yang mengatur fungsi yang diperlukan untuk migrasi

neuronal.

DWI PUTRI MIFTAHULHUDA

H1A008017

Sumber

Page 19: Amenorea Primer

Wiknjosastro, H dkk. 2005. Ilmu Bedah Kebidanan edisi 5. Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo.

Budi, R. 2005. Amenorrhea Primer. Available at 22 Maret 2011 in http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14620/1/09E00837.pdf