AMELIA FITRIANI.pdf

126
Penerapan The Policy of Peace and Prosperity Korea Selatan Terhadap Korea Utara di Bawah Pemerintahan Roh Moo-hyun Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Amelia Fitriani 108083000057 PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013

Transcript of AMELIA FITRIANI.pdf

Page 1: AMELIA FITRIANI.pdf

Penerapan The Policy of Peace and Prosperity Korea Selatan Terhadap Korea

Utara di Bawah Pemerintahan Roh Moo-hyun

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Amelia Fitriani

108083000057

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2013

Page 2: AMELIA FITRIANI.pdf

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Skripsi yaag be{udul:

PENERAPA}i TI{E POLICY OF PEACE AI{D PROSPERITY KOREA SELATAN

TERII{DAI' KOREA UTARA DI BAWAH PEMERINTAIIAN ROH [email protected]

l' Merupakan tarya asli saya yang diajukacr rmtuk memenshi sala6 satu persyaratan

memperoleh gelar stuata I di universitas Istam Negeri (uF,D syarif Hidayatullatr

Jat€rta-

2' Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisaa id telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuaa yaag berlaku di universitas Islam Negeri {uff{) syarif Hidaiatulla}r

Jal(arta

3' Jika di kemudiaa hari t€rbutti bahwa karya ini bukan hasil karya salra atau merupakan

lusil jiplaka; dari karya oraog lairro maka saya bersedia menedma saaksi yang

berlaku di universitas Islam Negeri (urND syarifHidayatullah Jakarta.

AmeliaFitriani

Jakarta, September 20I 3

'.. . - : - . -:a:--.-::.--- ::- ::t,

Page 3: AMELIA FITRIANI.pdf

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:

Nama : AmeliaFitriani

NIM : 108083000057

Program Studi : Hubungan Internasional

Tehh menyel penulisao slaispi dengan judul:

Penerapan The Policy o{Peace and ProsperigrKorea Selatan Terhadap Korea Utara di

Bawah Pemerintahan Roh Moo-hyun

dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.

Jakarta 3 September 2013

Menyetujui

Pembimbing,

Page 4: AMELIA FITRIANI.pdf

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

SKRIPSI

PENERAPAN TT{E POUCY OF PEACE AND PROSPERITY KOREA SELATAN

TERHADAP KOREA UTARA DI BAWAH PEMERINTAHAN ROH MOO HYI''N

oleh

Amelia Fitriani108083000057

telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di fakultas Ilmu Sosial dan llmu

Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullatr, Jakarta pada tanggal 25

Septcmber 2013. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

smjana sosial (s.sos) pda Program studi Hubungan Internasional'

Kil<v RizLv. M.SiNrP. I 973032 I 20080 I I 002

Penguji II,

WDr. Pribadi Su$ono Bpdi Satari.M^{

Ditoima dan dinptakan memenuhi sprat kelulumn pada tanggal 25 September 2013

Ketua Program Studi Hubungan [nternasional

FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Kikv Rizkv. M.SiMP. 1973032 I 200801 1002

Penguji I,

Dr. Pribadi Sutiono

Ketua,

Page 5: AMELIA FITRIANI.pdf

v

ABSTRAK

Nama : Amelia Fitriani

NIM : 108083000057

Penerapan The Policy of Peace and Prosperity Korea Selatan Terhadap Korea Utara

di Bawah Pemerintahan Roh Moo-hyun

Skripsi ini melakukan analisa mengenai penerapan the Policy of Peace and

Prosperity yang merupakan kebijakan resmi Korea Selatan terhadap Korea Utara di

bawah pemerintahan Roh Moo-hyun (2003-2008). Tujuan penelitian ini adalah untuk

menganalisa bagaimana kebijakan tersebut diterapkan, serta instrumen apa saja yang

digunakan dalam penerapannya. Penulis menggunakan metode analisis kualitatif yang

bersifat deskriptif analitis dalam melakukan penelitian ini. Dalam temuan penulis, the

Policy of Peace and Prosperity mampu meningkatkan partisipasi aktif Korea Utara

dalam berbagai instrumen yang digunakan, seperti dalam kerjasama ekonomi melalui

Kaesong Industrial Complex dan proyek wisata Gunung Kumgang. Selain itu,

kebijakan itu juga mampu melibatkan Korea Utara melalui program pertemuan

kembali keluarga yang terpisah. Korea Selatan dan Korea Utara juga secara bersama-

sama terlibat dalam Pembicaraan Enam Pihak (Six Party Talks) bersama dengan

Amerika Serikat, Rusia, Cina, dan Jepang untuk membahas masalah Semenanjung

Korea.

Akan tetapi, kebijakan Roh Moo-hyun mendapat hambatan eksternal, terutama

dari Amerika Serikat yang sejak dipimpin oleh pemerintahan George W Bush

melakukan perubahan dalam kebijakannya terhadap Korea Utara. Perubahan sikap

Amerika Serikat yang cenderung keras terhadap Korea Utara kemudian memicu pada

gagalnya penerapan Agreed Framework 1994. Kegagalan Agreed Framework 1994

turut membawa perubahan sikap Korea Utara menjadi lebih agresif dengan menarik

diri dari NPT dan menghidupkan kembali reaktor nuklirnya sebagai respon terhadap

Amerika Serikat. Sikap Korea Utara yang cenderung lebih agresif tersebut kemudian

mempengaruhi penerapan the Policy of Peace and Prosperity.

Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimana penerapan the Policy of Peace

and Prosperity diterapkan kepada Korea Utara, penulis menggunakan teori kebijakan

luar negeri, konsep diplomasi, dan bantuan luar negeri.

Keyword: the Policy of Peace and prosperity, Diplomasi, Roh Moo-hyun

Page 6: AMELIA FITRIANI.pdf

vi

KATA PENGANTAR

Sujud sukur atas rahmat Allah SWT yang telah memberikan penulis

kesempatan, kekuatan, kesadaran serta kesabaran untuk bisa menyelesaikan

penulisan skripsi yang berjudul „Penerapan The Policy of Peace and Prosperity

Korea Selatan Terhadap Korea Utara di Bawah Pemerintahan Roh Moo-hyun‟

demi penyelesaian pendidikan tingkat tinggi ini.

Selama proses pengerjaan skripsi, penulis banyak menghadapi kendala dan

juga rintangan. Namun di saat yang bersamaan, penulis mendapat bantuan serta

dukungan dari berbagai pihak. Tanpa bantuan dan jasa dari pihak-pihak tersebut,

penulis tidak akan mampu bertahan sejauh ini dalam proses pendidikan maupun

dalam pengerjaan skripsi ini. Sehingga, dalam lembaran ini, penulis ingin

setidaknya menuliskan dan mencurahkan rasa terimakasih kepada mereka, agar

jasanya dapat penulis kenang seumur hidup.

Dengan segenap rasa hormat dan kerendahan hati, penulis mengucapkan

terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ayahanda penulis, Drs. H. Supiyanto yang selalu bersedia memeras

keringat dan memutar otaknya demi memperjuangkan pendidikan

penulis dan ketiga adik penulis. Terimakasih, Pah atas perjuangan-

perjuangan Papa yang tidak kenal lelah. Terimakasih atas setiap tetes

keringat yang telah Papa keluarkan untuk membuat keluarga dan anak-

anaknya hidup layak dan mendapatkan pendidikan terbaik. Papa

adalah ayah terbaik.

Page 7: AMELIA FITRIANI.pdf

vii

2. Ibunda penulis, Hj. Ikrolilah yang tidak pernah berhenti melafadzkan

ayat-ayat suci dan menyebut nama penulis serta ketiga adik penulis

dalam setiap munajatnya. Terimakasih, Mah atas pengorban-

pengorbanan Mama. Terimakasih atas setiap tetes air mata yang telah

Mama keluarkan dalam menangani kenakalan anak-anaknya dan

kesabaran Mama dalam membimbing kami ke jalan yang lurus. Mama

adalah ibu terbaik.

3. Bapak Teguh Santosa selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang

dengan sabar membimbing dan memberikan arahan berharga kepada

penulis mengenai penyusunan skripsi serta wawasan lainnya.

Terimakasih, Pak, atas berbagai kesempatan berharga yang telah

Bapak berikan. Saya tidak akan menyia-nyiakan dan akan berusaha

lakukan yang terbaik dalam menjalankan kesempatan-kesempatan

tersebut.

4. Bapak Armein Daulay selaku dosen pembimbing akademik penulis

yang selalu membimbing, memberikan nasehat berharga, serta

memberikan informasi-informasi penting kepada penulis sejak pertama

menduduki bangku kuliah. Terimakasih, Pak, Saya memang bukan

mahasiswi yang pintar, tapi Insyaallah saya bisa menyerap dan

mengamalkan hal-hal positif yang telah bapak contohkan.

5. Adik-adik penulis, M. Fajar Sidiq, Anisa Nurul Hidayah, dan M.

Syahrul Fallah yang selalu kompak dan selalu membuat penulis dapat

tersenyum bahagia, di masa-masa sulit sekalipun. Terimakasih banyak

ya dek, Kakak sayang kalian.

Page 8: AMELIA FITRIANI.pdf

viii

6. Moh. Hasyim yang selalu bersedia memapah serta menuntun penulis,

agar bisa berdiri dan berjalan dengan kaki sendiri, sekalipun penulis

sering terjatuh. Terimakasih, karena tetap mau bertahan menjadi

embun di pintu senja.

7. Dosen-dosen, khususnya di jurusan HI yang telah banyak memberikan

penulis pelajaran berharga. Terutama kepada Ibu Muti, Ibu Rara, Ibu

Eva, Ibu Dina, Pak Kiki, Pak Adian, Pak Agus, dan Pak Afri, yang

telah menginspirasi penulis secara pribadi, dan merupakan dosen-

dosen terbaik yang dapat membimbing mahasiswanya dengan ramah,

sabar, dan tepat. Terimakasih banyak Bapak, Ibu. Saya memang tidak

pintar, tapi saya akan berusaha amalkan ilmu yang telah kalian

berikan.

8. Om Amet yang telah membelikan penulis buku „Sunshine Policy‟ dan

rela mengantarkannya ditengah hujan. Terimakasih banyak Om atas

keihlasannya.

9. Sahabat-sahabat tercinta, Nur Aini „bebey‟, Uwe, Bunda Rahma, Haqi

Zou, dan Atho yang memberikan motivasi kepada penulis untuk segera

menyelesaikan pengerjaan skripsi dengan selalu bertanya “kapan

lulus?” Terimakasih, kalian sahabat yang terbaik yang pernah penulis

miliki.

10. Sahabat-sahabat seperjuangan, terutama di kelas HI B angkatan 2008,

Neti, Rina, Fitri, Mida, Fili, Ika, Naila, Hanifah, Aya, dan Ahla yang

sering penulis mintai bantuannya. Juga Waldi dan Uli, teman

seperjuangan dalam pengerjaan skripsi. Serta teman-teman HI

Page 9: AMELIA FITRIANI.pdf

ix

angkatan 2008 lainnya, terimakasih atas kenangan yang telah sama-

sama kita buat bersama.

11. Seluruh staf akademik di jurusan HI UIN yang telah banyak membantu

penulis dalam pengurusan administrasi serta dokumen-dokumen

lainnya. Terutama untuk Pak Jajang yang selalu ramah menyapa dan

sigap melayani kebutuhan akademik para mahasiswa FISIP secara

umum, dan penulis secara khusus. Terimakasih banyak, Pak.

12. Profesor Chung-in Moon serta Seung-chan Boo yang juga secara

langsung dan tidak langsung telah membantu penulis dalam pengerjaan

skripsi ini. 감사합니다.

Penulis juga menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya

kepada semua pihak yang telah membantu penulis secara langsung maupun tidak

langsung, yang telah memberikan dukungan moril maupun materil. Penulis

meminta maaf yang sebesar-besarnya karena tidak mampu menyebutkan satu per

satu dalam lembaran ini. Namun penulis menghargai dukungan tersebut dan

mengucapkan terimakasih banyak.

Jakarta, September 2013

Penulis

Page 10: AMELIA FITRIANI.pdf

x

DAFTAR ISI

ABSTRAK ................................................................................................ v

KATA PENGANTAR ............................................................................... vi

DAFTAR ISI .............................................................................................. x

DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xii

DAFTAR TABEL .................................................................................... xiii

DAFTAR SINGKATAN .......................................................................... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1

B. Pernyataan Penelitian ........................................................ 9

C. Kerangka Teori ................................................................. 9

1. Kebijakan Luar Negeri .............................................. 9

2. Diplomasi ................................................................... 11

3. Bantuan Luar Negeri ................................................... 14

D. Metode Penelitian ............................................................. 17

E. Sistematika Penulisan ....................................................... 19

BAB II KEBIJAKAN KOREA SELATAN TERHADAP KOREA

UTARA SEBELUM PEMERINTAHAN ROH MOO-HYUN

A. Sejarah Konflik Semenanjung Korea ............................... 21

1. Kronologi Pendudukan Jepang di Korea ................... 21

2. Akhir Perang Dunia ke-2 dan Pembagian Dua Korea

.................................................................................... 24

Page 11: AMELIA FITRIANI.pdf

xi

3. Perang Korea (1950-1953) ......................................... 26

B. Kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara sebelum

Pemerintahan Roh Moo-hyun

1. Kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara di Bawah

Pemerintahan Militer (1948-1992) ............................ 29

2. Kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara di Bawah

Pemerintahan Sipil (1992-2002) ............................... 37

BAB III THE POLICY OF PEACE AND PROSPERITY

A. Prinsip dan Tujuan .......................................................... 43

B. Instrumen dalam the Policy of Peace and Prosperity ...... 48

1. Diplomasi .................................................................. 48

2. Pemberian Bantuan ................................................... 58

C. Six-Party Talks ................................................................. 59

1. Agreed Framework dan Nuklir Korea Utara ............. 60

2. Pembentukan dan Tujuan Six Party Taks ................. 63

3. Pelaksanaan Six Party Talks Periode 2003-2007 ...... 65

4. Second Korean Summit ............................................ 67

BAB IV PENERAPAN THE POLICY OF PEACE AND PROSPERITY

A. Penerapan the Policy of Peace and Prosperity di Masa

Pemerintahan Roh Moo-hyun .......................................... 68

B. Instrumen dalam the Policy of Peace and Prosperity ....... 70

Page 12: AMELIA FITRIANI.pdf

xii

BAB V KESIMPULAN

Kesimpulan ...................................................................... 82

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 13: AMELIA FITRIANI.pdf

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1 Peta Korea .................................................................... 22

Gambar III.2 Bagan Tujuan dari Particopatery Government ............. 46

Gambar III.3 Peta Kaesong ............................................................. 50

Page 14: AMELIA FITRIANI.pdf

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel. II. A. 1 Implementation Strategy by Stages

for Establishment of a Peace Regime

on the Korean Peninsula .......................................... 45

Tabel. III.B.1 Key Statistics

for the Kaesong Industrial Complex ....................... 51

Tabel. III.B.2 Production by Category

in the Kaesong Industrial Complex ......................... 52

Tabel. III.B.3 Number of South Korean Tourist

Visiting Mount Kumgang ........................................ 54

Tabel. III.B.4 Number of Families

Involves in Face to Face Family Reunions

and Video Conference (1985, 2000-2007) .............. 56

Tabel. III.B.5 South Korea’s Humanitarian Aid

to North Korea (in US$ million) ............................. 58

Page 15: AMELIA FITRIANI.pdf

xiv

DAFTAR SINGKATAN

APPC Asia-Pacific Peace Committee

DK Dewan Keamanan

DPRK Democratic People Republik Korea

IAEA International Atonomic Energy Agency

KIC Kaesong Indusrial Complex

NPT Nuclear Non-Poliferation Treaty

PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa

ROK Republic of Korea

USAMGIK United States Army Military Government in Korea

Page 16: AMELIA FITRIANI.pdf

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Wawancara Dengan Seung-chan Boo .............................. xvi

Lampiran II Agreed Framework of 21 October 1994 ......................... xxiii

Lampiran III Six Party Talks ................................................................ xxvii

Page 17: AMELIA FITRIANI.pdf

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semenanjung Korea merupakan dataran yang membentang sepanjang 1.100

kilometer dari arah utara ke selatan. Pada tahun 1910, Korea dijajah oleh Jepang dan

merdeka pada akhir Perang Dunia kedua, yakni tahun 1945. (Pelayanan Kebudayaan,

2008: 14). Sekalipun akhir Perang Dunia kedua membawa pembebasan secara

nasional bagi penjajahan Jepang, namun hal tersebut tidak serta membawa jaminan

atas otonomi dan kemerdekaan penuh di Korea. Adanya kekuasaan politik antara

Amerika Serikat dan Uni Soviet menyebabkan terjadinya pembagian dua Korea

sepanjang garis 38 derajat lintang utara yang memperdalam konfrontasi ideologi

maupun militer antara Korea Utara dan Korea Selatan. Adanya intervensi serta

pembagian nasional turut mengarahkan dua Korea kepada dua jalur perkembangan

yang berbeda, baik dalam hal perkembangan politik, ekonomi, sosial-budaya,

maupun militer. Korea Selatan menerapkan prinsip demokrasi ala barat (western-

style democracy) dan kapitalisme. Sementara, Korea Utara melakukan proses

Sovietisasi (a process of Sovietization) dimana kediktatoran proletariat dan

sosialisme menjadi prinsip yang diterapkan pada tata perpolitikan dan

perekonomiannya. (Soong dan Moon, 2001: 9).

Dalam skripsi ini, penulis menempatkan kebijakan Korea Selatan terhadap

Korea Utara di bawah pemerintahan Roh Moo-hyun (2003-2008) sebagai tema serta

pembahasan utama. Konsep kebijakan tersebut lebih dikenal dengan nama the Policy

of Peace and Prosperity.

Page 18: AMELIA FITRIANI.pdf

2

The Policy of Peace and Prosperity merupakan kebijakan resmi Korea

Selatan terhadap Korea Utara yang secara resmi dideklarasikan oleh Presiden Roh

Moo-hyun (2003-2008). Pada pidato perdananya (25 Februari 2003), Roh Moo-hyun

mendeklarasikan bahwa ia melanjutkan Sunshine Policy terhadap Korea Utara yang

diterapkan oleh pemerintahan sebelumnya, yakni pemerintahan Presiden Kim Dae-

jung. (Kim, 2006: 37). Pemerintah Roh melanjutkan kebijakan tersebut dengan

modifikasi dan penamaan baru melalui konsep Kebijakan Perdamaian dan

Kesejahteraan (Policy of Peace and Prosperity). (Do-Hyeong, 2004: 97).

Sunshine Policy (햇볕정책) atau Kebijakan Sinar Matahari merupakan bentuk

kebijakan pemerintah Korea Selatan dalam upaya memperbaiki hubungannya dengan

Korea Utara yang digagas oleh Presiden Kim Dae-jung (1998-2003). Kebijakan ini

didasarkan pada tiga prinsip utama berdasarkan pidato pelantikan Kim Dae-jung

pada tahun 1998 (dikutip dari Moon, 2012: 21). Pertama, prinsip non-toleransi

terhadap segala bentuk ancaman militer maupun provokasi bersenjata oleh Korea

Utara. Kedua, prinsip unifikasi dua Korea tanpa menggunakan ancaman ataupun

kekerasan. Ketiga, prinsip mendorong peningkatan pertukaran serta kerjasama antara

Korea Selatan-Korea Utara melalui pemberlakukan kembali perjanjian rekonsiliasi

tahun 1991. (Moon, 2012: 21). Perjanjian rekonsiliasi atau Treaty of Reconciliation

and Nonaggression, merupakan perjanjian yang ditandatangani oleh Korea Selatan

dan Korea Utara pada tanggal 13 Desember 1991. Pada perjanjian itu, Seoul dan

Pyongyang sepakat untuk menghentikan hubungan permusuhan dan bekerja sama

dalam bidang keamanan. (Moon, 2000: 6).

Page 19: AMELIA FITRIANI.pdf

3

Istilah Sunshine Policy (dalam Haggars dan Noland, 2008: 111) diambil dari

dongeng Korea mengenai angin dan matahari. Dalam dongeng diceritakan tentang

matahari dan angin yang bersaing untuk melihat siapa yang mampu membuat

seorang pejalan kaki melepaskan jas yang sedang dikenakannya. Ketika angin gagal

melakukannya walaupun sudah berhembus keras, matahari menggunakan

kehangatannya untuk membuat pejalan kaki itu melepaskan jasnya. Kim Dae-jung

berpendapat bahwa sinar matahari akan lebih dapat memberikan dampak efektif

dibandingkan dengan kekuatan angin dalam mempengaruhi Korea Utara untuk tidak

lagi mengisolasi diri dan tidak lagi bersikap konfrontatif.

Presiden Kim membentuk Sunshine Policy dengan tujuan utamanya yaitu

membangun perdamaian bersama untuk mengendurkan tensi politik maupun militer

dalam hubungan antara Korea Selatan dan Korea Utara. (Kyung-suk, 2002: 3-4).

Untuk mengaplikasikan kebijakannya tersebut, pemerintah Kim menggunakan

instrumen kebijakan antara lain adalah dengan melakukan pemisahan politik dari

ekonomi (separation of politics from economics) yang berarti mendorong

pertukaran dan kerjasama di bidang ekonomi tanpa menghubungkannya dengan

masalah atau situasi politik maupun militer yang terjadi. Serta mengijinkan

perusahaan-perusahaan perorangan atau swasta untuk menanamkan modal di Korea

utara dalam sektor-sektor industri. Selain itu, instrumen lain yang digunakan adalah

memberikan subsidi gandum, penyediaan reaktor air ringan, pertemuan kembali

keluarga yang terpisah, serta pertukaran sosial-budaya. Namun seiring berjalannya

waktu, pendekatan dan pemulihan kembali hubungan diplomatik antara Korea utara

dengan negara-negara Barat menjadi salah satu prioritas utama. Karena hal tersebut

Page 20: AMELIA FITRIANI.pdf

4

akan membantu Korea Utara keluar dari isolasi negara-negara Barat. (Yoo, 2004:

110).

Menurut data yang dikutip dari artikel Chae Kyung-suk berjudulThe Future of

the Sunshine Policy: Strategic for Survival. (2002: 7-8), salah satu bentuk

implementasi dari instrumen-instrumen kebijakannya tersebut adalah seperti pada

tahun 1998, Korea Selatan memberikan total 11 juta dolar jagung (30.000 ton) dan

tepung (10.000 ton) dalam bantuan ke Utara yang disalurkan melalui Program

Pangan Dunia (World Food Programme/WFP). Selain itu, Sejak 1999, Korea

Selatan juga membantu menyelesaikan akar penyebab permasalahan ketersedian

pangan di Korea Utara dengan mengirimkan pupuk. Kemudian pada tahun 1999,

Korea Selatan menghabiskan 46.2 juta won untuk mengirim 155 ribu ton pupuk

kepada Korea Utara. Penyediaan pupuk ini dilakukan kembali pada tahun 2001,

ketika Korea Selatan menyediakan 200.00 ton pupuk untuk Korea Utara. Selain itu,

Korea Selatan juga memberikan 500 dollar obat-obatan melalui Organisasi

Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) untuk program pemberantasan

penyakit di Korea Utara. Selain itu juga, pada Mei 2001, Korea Selatan mengirim

obat-obatan, peralatan pengendali hama, vaksin imunisasi dan produk perawatan

medis lainnya kepada Korea Utara.

Atas bantuan-bantuan yang telah diberikan tersebut, Korea Selatan menerapkan

karakteristik kebijakan yang bersifat timbal balik serta fleksibel terhadap Utara

Korea (apolicy of flexible reciprocity towards North Korea). Timbal balik berarti

bahwa kebijakan Korea Selatan yang salah satunya adalah memberikan bantuan

kepada Korea Utara hanya perlu dibalas dengan menjaga dan memperbaiki

Page 21: AMELIA FITRIANI.pdf

5

hubungan antar-Korea dan tidak dengan diberi balasan atau ganti yang setara (dalam

arti bentuk dan jumlah bantuan yang telah diberikan). (Govindasamy, 2012: 5).

Hasil penerapan Sunshine Policy yang dilakukan oleh pemerintah Kim Dae-

jung membawa kemajuan bagi hubungan dua Korea. Pencapaian-pencapaian penting

yang berhasil direalisasikan antara lain adalah pada 1998, Kim Dae-jung berhasil

melancarkan proyek bersama antar Korea yakni proyek pariwisata dan turisme

Gunung Kumgang dan proyek komplek industri Kaesong di Korea Utara. Selain itu

juga, pada Juni 2000, ia berhasil melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi Korea

(Korean Summit) yang dilakukan oleh presiden Kim Dae-jung dan pemimpin Korea

Utara, Kim Jong-il. (Moon, 2000: 4).

Penerapan Sunshine Policy dibawah pemerintahan Kim Dae-jung dilanjutkan

oleh pemerintahan selanjutnya, yakni Roh Moo-hyun. Pemerintahan

Rohmemodifikasi namanya menjadi ‘the Policy of Peace and Prosperity’. Kebijakan

pemerintah Roh Moo-hyun tersebut, oleh para ahli/cendikiawan dalam tulisan baik

berupa buku, jurnal, maupun artikel secara garis besar dikategorikan sebagai

Sunshine Policy (karena melanjutkan kebijakan pemerintah terdahulu: Kim Dae-

jung). Sebagai contoh: (1) dalam buku yang ditulis oleh profesor ilmu politik di

Yonsei University,South Korea,berjudul „The Sunshine Policy: In Defense of

Engagement as a Path to Peace in Korea‟ yang diterbitkan oleh Yonsei University

Press pada tahun 2012, ia menuliskan pada halaman kata pengantarnya (preface)

halaman ix bahwa “The Sunshine Policy, the theme of this book, was introduced by

the late president Kim Dae-jung with the vision of attaining a lasting peace on the

Korean Peninsula ... This Policy was continued, both in spirit and letter, by his

successor, President Roh Moo-hyun, under the rubric of the Peace and Prosperity

Page 22: AMELIA FITRIANI.pdf

6

Policy.”; (2) Kang In-duk, Menteri Unifikasi Korea Selatan periode 2001-2002,

menulis dalam artikel yang berjudul „Toward Peace and Prosperity: The New

Government’s North Korea Policy’ yang diterbitkan dalam jurnal East Asian

Review, Vol. 15, No. 1, Spring 2003 menuliskan bahwa “In his inaugural address,

Roh outlined his new Peace andProsperity Policy which will maintain the general

framework of theSunshine Policy while aiming at a more widespread

nationalconsensus and bipartisan cooperation, two areas that the

previousadministration neglected.” (halaman 3-4); (3) Hong Nack Kim menulis

artikel dalam International Journal of Korean Studies Vol. XII, No. 1Fall/Winter

2008 halaman 3 berjudul The Lee Myung-Bak Government’s North Korea PolicyAnd

the Prospects for Inter-Korean Relationsbahwa ‘For ten years, from February 1998

to February 2008, under the two left-leaning governments, South Korea pursued the

so-called "Sunshine Policy" of engagement toward North Korea. This policy was

initially advocated by former President Kim Dae-Jung from 1998 to 2003 and

retained by his successor, Roh Moo-Hyun, as the policy of "Peace and Prosperity"

from 2003 to February 2008.‟

Akan tetapi, Sunshine Policy yang dijalankan oleh pemerintahan Roh Moo-

hyun memiliki beberapa modifikasi atau penambahan prinsip/konsep kebijakan,

sehingga lebih spesifik dikenal dengan istilah The Policy of Peace and Prosperity.

Perbedaan tersebut antara lain adalah, Kim Dae-jung dalam melaksanakan

kebijakannya melakukan pemisahan antara ekonomi dan Politik. Tetapi Roh Moo-

hyun mencoba meletakkan kebijakan antar Korea, kebijakan regional, serta aliansi

Korea Selatan-Amerika Serikat ke dalam satu rumusan kebijakan. (Kim, 2005: 14).

Oleh karena itu, dalam tulisan ini, penulis menggunakan istilah the Policy of Peace

Page 23: AMELIA FITRIANI.pdf

7

and Prosperity yang juga merupakan istilah umumuntuk merujuk secara spesifik

pada kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara di bawah pemerintahan Roh

Moo-hyun.

Pemerintah Roh dalam menjalankan kebijakannya berada pada kondisi

internasional yang berbeda dari pemerintah sebelumnnya.Roh Moo-hyun mewarisi

peluang sekaligus tantangan dari penerapan kebijakan tersebut.Ia memiliki

keuntungan karena sudah ada bentuk dasar atau bentuk nyata, hasil dari „warisan‟

pemerintah sebelumnya atas Sunshine Policy. Misalnya, proyek pariwisata Mt.

Kumgang yang mulai dijalankan sejak tahun 1998 dan Korean Summit bersejarah

yang terjadi pada tahun 2000. Terkait hal tersebut, pemerintah Roh mendapat

keuntungan, yakni dapat melanjutkan dan mengembangkan program yang sudah

dicapai oleh pemerintahan sebelumnya demi melancarkan tujuan kebijakannya

terhadap Korea Utara. (Do-Hyeong, 2004: 97).

Namun disamping itu, pemerintah Roh Moo-hyun juga menghadapi

tantangan dalam menjalankan kebijakannya tersebut. Salah satu tantangan yang

dihadapi oleh Sunshine Policydatang dari Amerika Serikat. Selama masa

pemerintahan Kim Dae-jung, Presiden Amerika Serikat yang pada saat itu adalah

Bill Clinton (1993-2001), turut berperan aktif dalam mendukung kebijakan

pemerintah Korea Selatan terhadap Korea Utara. Bill Clinton turut terlibat dengan

Korea Utara serta membuat terobosan dalam hubungan Amerika Serikat-Korea

Utara, salah satunya adalah dengan dilakukanya kunjungan Madeleine Albright

(menteri luar negeri Amerika Serikat pada masa Bill Clinton) ke Pyongyang pada

Oktober 2000. Sementara itu, berbeda dengan masa pemerintahan Bill Clinton, pada

masa pemerintahan George W. Bush yang secara resmi diawali pada tahun 2001

Page 24: AMELIA FITRIANI.pdf

8

menerapkan kebijakan keras (hardline policy) terhadap Korea Utara yang dikenal

dengan istilah informal ‘Anything but Clinton’ (ABC). (Moon, 2012: 79). Hal

tersebut menunjukkan adanya perubahan sikap dari Amerika Serikat yang pada masa

Bill Clinton sebelumnya mendukung kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara

dengan soft diplomacy yang dilakukannya, berubah dengan hardline policy yang

diterapkan oleh Presiden George W. Bush.

Salah satu hardline policy yang dilakukan oleh presiden Bush adalah ketika

ia menyebut Korea Utara sebagai salah satu poros setan (exis of evil) tahun 2002

pasca peristiwa 9/11. Lim Dong-woon, salah satu perancang utama Sunshine Policy

(dikutip dari Moon, 2012: 79) secara terbuka menyalahkan presiden Bush dan

pemikiran neo-konservatifnya atas perubahan yang terjadi di Korea. Ia juga

menyatakan bahwa sebutan „poros setan‟ yang disebutkan oleh presiden Bush

terhadap Korea Utara serta sikap presiden Bush yang menunjukkan keinginannya

untuk menghancurkan rezim Korea Utara melalui serangan pre-emptive membuat

kejutan bagi masyarakat Korea Selatan.

Disamping itu, tantangan lain yang juga dihadapi oleh pemerintah Roh Moo-

hyun adalah sikap dari Korea Utara yang pada bulan Januari 2003 menarik diri dari

Non-Proliferation Treaty (NPT) dan membuang peralatan pemantauan milik

International Atomic Energy Agency (IAEA) di reaktor nuklir di Yongbon. Setelah

itu, Korea Utara kembali menghidupkan reaktor nuklirnya tersebut. (Kim, 2005: 13).

Hal tersebut menunjukkan bahwa Korea Utara kembali bersikap agresif kepada

dunia internasional dengan mengoperasikan reaktor nuklirnya. Hal tersebut menjadi

tantangan tersendiri bagi pemerintah Roh Moo-hyun, yang pada saat itu baru

Page 25: AMELIA FITRIANI.pdf

9

memulai masa jabatannya, dalam mengaplikasikan kebijakannya yang melanjutkan

prinsip-prinsip dari kebijkan terdahulu.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam penulisan skripsi ini penulis

mengambil judul Penerapan „The Policy of Peace and Prosperity Korea Selatan

Terhadap Korea Utara di Bawah Pemerintahan Roh Moo-hyun‟

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, maka pertanyaan penlitian yang diajukan

oleh peneliti adalah :

Bagaimana Penerapan the Policy of Peace and Prosperity sebagai kebijakan

luar negeri Korea Selatan terhadap Korea Utara selama pemerintahan Roh

Moo-hyun?

C. Kerangka Teori

C.1 Kebijakan Luar Negeri

Setiap negara memiliki kepentingan serta tujuan nasional yang ingin dicapai

dengan melakukan interaksi dengan negara ataupun aktor lain dalam politik

internasional. Rumusan kepentingan nasional serta tujuan bersama suatu negara

diformulasikan ke dalam kebijakan luar negeri.Setiap negara dan setiap periode

pemerintahan negara memiliki rumusan kebijakan luar negeri yang berbeda,

tergantung pada situasi ataupun kondisi domestik maupun internasional yang sedang

terjadi.

Page 26: AMELIA FITRIANI.pdf

10

Kebijakan Luar negeri menurut Rosenau (1974) merupakan tindakan otoritatif

yang diambil oleh pemerintah baik untuk menjaga aspek yang diinginkannya dari

lingkungan internasional, maupun mengubah aspek yang tidak diinginkan.

Kebijakan luar negeri dibuat bedasarkan kalkulasi dan orientasi atas tujuan yang

akan dicapai. Bentuk kebijakan luar negeri dapat berupa hubungan diplomatik,

mengeluarkan doktrin, membuat aliansi, mencanangkan tujuan jangka panjang

maupun jangka pendek. (Hara, 2011: 13).

Selain itu, kebijakan luar negeri dapat dikatakan sebagai strategi atau rencana

tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara

lain atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan

nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional. Untuk

memenuhi kepentingan nasionalnya itu, Negara-negara maupun aktor dari Negara

tersebut melakukan berbagai macam kerjasama diantaranya adalah kerjasama

bilateral, trilateral, regional, dan multilateral. (Perwita dan Yani, 2005: 49)

Dengan kata lain. Kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana

tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan Negara dalam menghadapi

Negara lain atau aktor politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk

mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan

nasional.

Dalam proses kebijakan luar negeri suatu Negara, ada dua tahap utama yang

dilaluinya, yakni: proses pembuatan kebijakan dan proses implementasi

(pelaksanaan) dari kebijakan tersebut. Dalam pandangan sederhana, pembuatan

kebijakan luar negeri merupakan urusan ekslusif pemerintah.Sehingga, kebijakan

Page 27: AMELIA FITRIANI.pdf

11

luar negeri merupakan pencapaian kepentingan nasional suatu Negara yang

prosesnya dirumuskan, diawasi, dan dikontrol oleh pemerintah.Setelah membuat

keputusan kunci, mereka kemudian menyerahkannya kepada Departemen Luar

Negeri untuk diimplementasikan.(Baylisdan Smith, 2005: 396).

Kebijakan luar negeri menurut Aleksius Jemadu (2008: 61) merupakan

instrumen kebijakan yang dimiliki oleh pemerintah suatu negara berdaulat untuk

menjalin hubungan dengan aktor-aktor lain dalam politik dunia demi mencapai

tujuan nasionalnya.

Sementara itu, menurut Howard Lentner (dalam Jemadu, 2008: 65) kebijakan

luar negeri harus mencakup tiga elemen dasar dari setiap kebijakan, yaitu:penentuan

tujuan yang hendak dicapai (selection of objectives), pengerahan sumberdaya atau

instrumen untuk mencapai tujuan tersebut (mobilization of means) dan pelaksaan

(implementation) dari kebijakan yang terdiri dari rangkaian tindakan dengan secara

aktual menggunakan sumberdaya yang sudah ditetapkan.

C.2 Diplomasi

Menurut buku John Baylis dan Steve Smith (2005: 396-397)., diplomasi dalam

hubungan internasional merupakan salah satu dari serangkaian instrumen (one of a

set of instruments) yang mengimplemantasikan dan merealisasikan keputusan-

keputusan yang telah diambil pemerintah (melalui Departemen Luar Negeri).

Diplomasi sebagai kegiatan pemerintah tidak hanya merujuk pada instrumen

kebijakan tertentu, tapi juga untuk seluruh proses permbuatan kebijakan dan

pelaksanaanya.

Page 28: AMELIA FITRIANI.pdf

12

Disamping itu, diplomasi juga merupakan istilah yang dapat memiliki makna

berbeda, tergantung pada pengguna dan penggunaanya.Diplomasi dapat dibagi

menjadi dua perspektif dalam konteks politik dunia (world politic), yakni perspektif

makro, dan perspektif mikro.(Baylisdan Smith, 2005: 398).

Dalam perspektif makro politik dunia, diplomasi mengacu pada proses

komunikasi yang merupakan pusat kerja dari sistem global. Jika politik dunia

ditandai hanya dengan ketegangan antara konflik dan kerjasama, diplomasi bersama

dengan perang (diplomacy together with war), dapat dikatakan mewakili lembaga

yang menentukan. Jika konfik dan kerjasama ditempatkan pada dua ujung sebuah

spektrum, diplomasi dapat diletakan pada kerjasama dan mewakili bentuk interaksi

yang fokus pada resolusi konflik dengan melalui dialog dan negosiasi. Diplomasi

secara fundamental berkaitan dengan upaya untuk menciptakan stabilitas dan

ketertiban dalam sistem global, keberadaanya diperkuat untuk mencegah konflik

agar tidak berujung dengan perang.

Semantara, dalam perspektif mikro erat kaitannya dengan aktor internasional

seperti negara.Pemahaman tentang diplomasi memberikan wawasan ke dalam

mengungkapkan perilaku para aktor itu sendiri dalam sistem global. Dari perspektif

ini, diplomasi dapat diidentifikasi sebagai instrumen kebijakan daripada sebuah

proses global. Semua aktor memiliki tujuan akhir sesuai dengan bagaimana perilaku

kebijakan luar negeri mereka diarahkan. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut,

aktor membutuhkan „sarana‟ atau lebih sering disebut dengan istilah „instrumen‟.

Diplomasi menyediakan salah satu instrumen yang digunakan oleh aktor

internasional untuk mengimplementasikan kebijakan luar negerinya. Diplomasi

Page 29: AMELIA FITRIANI.pdf

13

dapat digunakan secara langsung (diplomasi murni/pure diplomacy) dengan pihak

lain atau sebagai sarana berkomunikasi atau menggunakan acaman dari instrumen

lain (diplomasi campuran/mixed diplomacy). (Baylisdan Smith, 2005: 388-389).

Persuasi atau diplomasi murni (pure diplomacy) dapat dikatakan cukup untuk

memperoleh kebijakan suatu negara di luar negeri. Namun, diplomasi juga terhubung

dengan instrumen kebijakan lainnya untuk menghasilkan apa yang disebut dengan

diplomasi campuran (mixed diplomacy). Dari sini, diplomasi menjadi jalur

komunikasi apakah ancaman atau instrumen lainnya yang akan diterapkan kepada

pihak lain. Sikap persuasif dalam diplomasi lebih sering berhasil jika negara

menerapkan konsep „sticks’and/or ‘carrots’. (Baylis& Smith, 2005: 398).

Diplomasi dalam konteks kebijakan luar negeri mengacu pada penggunaan

diplomasi sebagai instrumen kebijakan yang memiliki peluang lebih besar karena

memiliki hubungan dengan instrumen lain, seperti kekuatan ekonomi atau militer

untuk memungkinkan aktor internasional dapat mencapai tujuan kebijakannya.

Semua aktor memiliki tujuan, dan ke arah mana perilaku kebijakan luar negeri

mereka tergantung pada tujuanya masing-masing. (Baylis& Smith, 2005: 398-399).

Terdapat tiga jenis instrumen kebijakan yang dapat digunakan dalam

berbagai cara, baik sebagai manfaat potensial atau sebagai hukuman dalam upaya

perilaku pihak lain, seperti yang dikutip dalam Baylis& Smith(2005: 398), yakni :

1. Angkatan militer sebagai instrumen kebijakan dapat digunakan sebagai

ancaman atau dikerahkan sebagai „otot‟ dalam negosiasi. Diplomasi dan

kekuatan militer, sering digunakan secara bersamaan dan dianggap

Page 30: AMELIA FITRIANI.pdf

14

sebagai instrumen kebijakan luar negeri secara tradisional. Hal tersebut

menyebabkan Negara-negara berkembang berupaya mencari instrumen

lain sebagai alternatif untuk memperkuat posisi mereka dalam negosiasi.

2. Instrumen kedua adalah penggunaan langkah-langkah

ekonomi.Diplomasi menggunakan instrumen-instrumen ekonomi

bukanlah hal yang baru dalam hubungan internasional.Penggunaan

instrumen ekonomi dalam diplomasi baik berupa perdagangan maupun

bantuan luar negeri juga dapat digunakan sebagai „stick‟ maupun „carrot‟

bagi negara lain yang dituju.

3. Instrumen ketiga adalah dengan menargetkan pemerintah secara

langsung, atau disebut juga dengan subversi. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia (2008: 1346) subversi merupakan gerakan, usaha, atau

rencana menjatuhkan kekuasaan yang sah dengan menggunakan cara di

luar undang-undang. Berbeda dengan instrumen-instrumen sebelumnya,

karena instrumen ini difokuskan pada upaya mendukung kelompok-

kelompok tertentu dalam negara lain dengan tujuan merusak atau

menggulingkan pemerintahan negara tersebut. Instrumen subversi

mencakup berbagai teknik, termasuk propaganda, kegiatan intelejen, dan

membantu kelompok pemberontak.

C.3 Bantuan Luar Negeri

Bantuan luar negeri merupakan salah satu instrumen kebijakan yang sering

digunakan dalam hubungan luar negeri. Secara umum, bantuan luar negeri dapat

Page 31: AMELIA FITRIANI.pdf

15

didefinisikan sebagai transfer sumber daya dari satu pemerintahan ke pemerintah lain

yang dapat berbentuk barang atau dana. (Perwitadan Yani, 2005: 81).

Parson dan Payasilian (dalamPerwitadan Yani, 2005: 81- 82)mengajukan

empat teori mengenai batuan luar negeri, yaitu :

1. Aliran realis menyatakan bahwa tujuan utama dari bantuan luar negeri adalah

bukan untuk menunjukkan idealisme abstrak aspirasi kemanusiaan tetapi

untuk proyeksi ‘power’ secara nasional. Bantuan luar negeri merupakan

komponen penting bagi kebijakan keamanan internasional.

2. Teori ketergantungan (dependensia) menyatakan bahwa bantuan luar negeri

digunakan oleh negara kaya untuk mempengaruhi hubungan domestik dan

luar negeri negara penerima bantuan, merangkul elit politik lokal di negara

penerima bantuan untuk tujuan komersil dan keamanan nasional. Kemudian,

melalui jaringan internasional, keuangan internasional dan struktur produksi,

bantuan luar negeri ditujukan untuk mengeksploitasi sumber daya alam

negara penerima bantuan. Sehingga para penganut teori dependensia

menganggap bawa bantuan luar negeri dapat digunakan sebagai sebuah

instrumen untuk perlindungan dan ekspansi negara kayak ke miskin, sebuah

sistem untuk mengekalkan ketergantungan.

3. Aliran moralis/idealis menyatakan bahwa bantuan luar negeri secara esensial

merupakan gerakan kemanusiaan yang menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan

internasional. Menurut aliran idealis, negara yang lebih kaya memiliki

tanggung jawab moral untuk mempererat kerjasama Utara-Selatan yang lebih

besar dan merespon kebutuhan pembangunan ekonomi dan sosial di Selatan.

Maka itu, moralis berpendapat bahwa bantuan luar negeri mendorong

Page 32: AMELIA FITRIANI.pdf

16

dukungan yang saling menguntungkan (mutual supportive) dan hubungan

menguntungkan sejalan dengan pembangunan ekonomi dan hak asasi

manusia, hukum, dan ketertiban internasional.

4. Teori bureaucratic incrementalist menyatakan bahwa bantuan luar negeri

sebagai kebijakan publik, produk dari politik domestik yang melibatkan opini

publik, kelompok kepentingan, dan institusi pemerintah yang secara langsung

terlibat dalam proses pembuatan kebijakan yang mempromosikan

kepentingan nasional melalui agenda politik. Teori ini juga menyatakan

bahwa tujuan yang dikejar negara donor dalam lingkup kepentingan ekonomi

politik internasonal, antara lain adalah kombinasi tujuan kemanusiaan,

geopolitik, ideologi, kepentingan komersil, masalah lingkungan, dan berbagai

faktor dalam politik domestik.

Bantuan luar negeri umumnya tidak ditujukkan untuk kepentingan politik jangka

pendek melainkan untuk prinsip-prinsip kemanusiaan atau pembangunan ekonomi

jangka panjang.Dalam jangka panjang, bantuan luar negeri dimaksudkan untuk

membantu menjamin beberapa tujuan politik negara donor yang tidak dapat dicapai

hanya dengan melalui diplomasi, propaganda, atau kebijakan publik. (Perwitadan

Yani, 2005: 82).

Aliran modal dari luar negeri yang tergolong sebagai bantuan luar negeri dapat

berupa pemberian (grant) dan pinjaman luar negeri (loan) yang diberikan oleh

negara-negara donor atau badan-badan internasional yang khusus dibentuk untuk

memberikan pinjaman luar negeri, seperti Bank Dunia (World Bank), Bank

Pembangunan Asia (Asian Development Bank), Dana Moneter Internasional

(International Monetary Fund), dan Sebagainya. (Perwita dan Yani, 2005: 83).

Page 33: AMELIA FITRIANI.pdf

17

Holsti (dikutip dari Perwita dan Yani, 2005: 81) membagi program bantuan luar

negeri ke dalam empat jenis, yaitu :

1. Bantuan militer

2. Bantuan teknik

3. Grant dan program komoditi impor

4. Pijaman pembangunan

D. Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini menggunakan metode analisis

kualitatif yang bersifat deskriptif analitis.Penelitian kualitatif merupakan penelitian

yang menafsirkan suatu penelitian seperti asumsi/dugaan, nilai, dan pendapat dari

peneliti sehingga menjadi jelas dalam hasil akhir suatu penelitian. (Creswell,1994:

147).Sehingga, penulis melakukan analisa atas data-data kualitatif dengan

menggunakan teori serta kerangka pemikiran agar dapat mengelaborasi

permasalahan tersebut secara lebih jelas.

Dalam proses pengumpulan data penelitian, menurut Creswell(1994: 148),

terdapat tiga langkah dalam mengumpulkan data penelitian. Pertama, adanya

pengaturan tentang pembatasan dalam pembahasan suatu masalah penelitian.Kedua,

mengumpulkan informasi dengan melakukan pengamatan, wawancara, pengumpulan

dokumen-dokumen dan bahan visual.Ketiga, membuat suatu protokol untuk

mencatat atau merekam setiap informasi.

Page 34: AMELIA FITRIANI.pdf

18

Oleh karena itu, penulis memberikan batasan masalah pada kebijakan luar negeri

yang diterapkan oleh Korea Selatan terhadap Korea Utara dibawah pemerintahan

Roh Moo-hyun, tepatnya pada periode 2003-2008, yakni ketika presiden Roh Moo-

hyun secara resmi dilantik menjadi presiden Korea Selatan (25 Februari 2003)

hingga akhir masa jabatannya (24 Februari 2008). Masalah utama yang dikaji adalah

kebijakan luar negeri Korea Selatan terhadap Korea Utara dalam kerangka dan

penerapan konsepthe Policy of Peace and Prosperity.Penelitian ini juga berupaya

menganalisa bagaimana kebijakan tersebut diterapakan terhadap Korea Utara.

Terkait teknik pengumpulan data, penulis menggunakan kajian literatur serta

studi pustaka terhadap data-data dengan menggunakan sumber baik berupa jurnal,

buku, artikel, hasil penelitian, serta dokumen-dokumen lainnya.Selain itu juga,

penulis menghimpun data kuantitatif yang sesuai dengan pembahasan dan dapat

mendukung argumen/penulisan skripsi ini.

Selain itu, dalam pengumpulan data, penulis juga melakukan internet research

atau penggunaan data-data yang diperoleh dari situs (website) internet.Namun

penulis hanya menggunakan data dari situs yang dianggap relevan dan otoritatif

sesuai dengan data yang dibutuhkan.Data yang diperoleh melalui internet research

ini bersifat sebagai data tambahan/pendukung.

Page 35: AMELIA FITRIANI.pdf

19

E. Sistematika Penulisan

Bab 1 Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

B. Pertanyaan Penelitian

C. Kerangka Teori

D. Metode Penelitian

E. Sistematika Penulisan

Bab 2 Kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara sebelum

Pemerintahan Roh Moo Hyun

A. Sejarah Konflik Semenanjung Korea

A.1. Kronologi Pendudukan Jepang di Korea

A.2. Akhir Perang Dunia ke-2 dan Pembagian dua Korea

A.3. Perang Korea (1950-1953)

B. Kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara sebelum pemerintahan

Roh Moo-hyun

B.1. Kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara di Bawah

Pemerintahan Militer (1948-1992)

B.2. Kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara di Bawah

Pemerintahan Sipil (1992-2002)

Page 36: AMELIA FITRIANI.pdf

20

Bab 3 The Policy of Peace and Prosperity

A. Prinsip dan Tujuan

B. Instrumen dalam the Policy of Peace and Prosperity

B.1. Diplomasi

B.2. Pemberian Bantuan

C. Six-Party Talks

Bab 4 Pencapaian Penerapan The Policy of Peace and Prosperity

A. Pencapaian The Policy of Peace and Prosperity

B. Instrumen dalam the Policy of Peace and Prosperity

Bab 5 Kesimpulan

Daftar Pustaka

Page 37: AMELIA FITRIANI.pdf

21

Bab II

KEBIJAKAN KOREA SELATAN TERHADAP KOREA UTARA

SEBELUM PEMERINTAHAN ROH MOO-HYUN

A. Sejarah Konflik Semenanjung Korea

Dalam bab ini, penulis memaparkan mengenai letak geografis Korea, sejarah

Korea, dan pemerintahan Korea sejak masa kepemimpinan Syngman Rhee hingga

masa pemerintahan Kim Dae-jung. Penulis juga mengambil contoh kebijakan-

kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara pada masa pemerintahan pertama di

Korea Selatan, Rhe Syngman hingga masa pemerintahan Kim Dae-jung.

1. Kronologi Pendudukan Jepang di Korea

Korea terletak di ujung timur benua Asia, terdiri dari semenanjung Korea dan

3,305 pulau disekitarnya. Wilayah Korea secara keseluruhan meliputi luas 220.000

kilometer persegi, sementara luas Korea Selatan adalah 98.000 kilometer persegi,

sisanya adalah milik Korea Utara. Wilayah Korea pada bagian utara berbatasan

dengan Sungai Yalu dan Tumen. Sementara bagian timur dan barat dikelilingi oleh

perbatasan laut. (Hoom dan Moon, 2001: 11).

Page 38: AMELIA FITRIANI.pdf

22

Gambar II.1. Peta Korea

Sumber: Oberdorfer, Don. 2001. The Two Koreas: A Contemporary History.

USA: Basic Books 2001, hal x

Menurut Soong Hoom Kil dan Chung-in Moon (2001: 11), karena letak

geografisnya, semenanjung Korea secara tradisional menjadi jembatan penghubung

antara benua Asia (Cina) di Utara dengan wilayah Jepang di Selatan. Selama abad

kesembilanbelas, Jepang dan kekuatan Barat melihat Korea sebagai batu loncatan

dimana mereka dapat meproyeksikan kekuatan dan pengaruhnya ke Manchuria.

Page 39: AMELIA FITRIANI.pdf

23

Sementara itu, China dan Rusia menggunakan Korea sebagai batu loncatan untuk

memperluas wilayah kekuasaan mereka ke pasifik utara.

Karena letaknya yang strategis itulah, Jepang menduduki Korea pada tahun

1910 (Lew, 2000:23). Jepang secara efektif menduduki Korea melalui Perjanjian

Aneksasi Jepang-Korea. Selama penjajahan, sekalipun Jepang membangun jalan dan

jaringan komunikasi modern, namun kehidupan rakyat Korea kritis. Hal itu

dikarenakan sistem kerja paksa yang diberlakukan oleh Jepang. Selain itu juga,

ekspor tanaman Korea ke Jepang menyebabkan kekurangan pangan terjadi di Korea.

(news.bbc.co.uk diakses pada tanggal 25 Maret 2013). Jepang melakukan eksploitasi

ekonomi terhadap Korea dengan memanfaatkan makanan, ternak, dan logam dari

Korea untuk tujuan perang dan pertahanan Jepang. (Cahyo. 2012: 76).

Dari sisi kebudayaan, Jepang juga melakukan asimilasi kebudayaan di Korea.

Jepang pada tahun 1937 melarang penggunaan bahasa Korea, dan pengajaran sejarah

dan budaya Korea di sekolah. Jepang juga menerapkan larangan penggunaan nama

Korea. (news.bbc.co.uk diakses pada tanggal 25 Maret 2013).

Menurut Lew (2000: 23), terdapat tiga fase kepemimpinan Jepang di Korea.

Jepang memerintah Korea melalui Gubernur Jendral yang biasanya adalah seorang

militer Angkatan Darat atau Angkatan Laut dari Jepang. Selama tahap pertama

pendudukan Jepang (1910-1919), masyarakat Korea dikendalikan oleh sistem yang

merampas kebebasan dasar masyarakat sipil Korea. Adanya kontrol sosial yang ketat

akhirnya menghasilkan gerakan berupa demonstrasi nasional pada tanggal 1 Maret

1919 disebut sebagai Gerakan Pertama Maret (the March First Movement).

Page 40: AMELIA FITRIANI.pdf

24

Demonstrasi tersebut memaksa Jepang untuk melonggarkan konstruksi peraturan

mereka konstriksi pada masyarakat Korea.

Pada fase kedua pemerintahan kolonial (1919-1932), Pemerintah Jenderal

memberikan kebebasan berekspresi dan berkumpul bagi masyarakat Korea. Pada

awal 1920-an, misalnya, tiga surat kabar Korea diterbitkan dalam bahasa asli Korea.

Selain itu, pada tahun 1927, terbentuk partai politik Korea yang terdiri dari partai

nasionalis sayap kanan dan sayap kiri, Sin'ganhoe (masyarakat Korea baru). (Lew,

2000: 23).

Fase ketiga dari pemerintahan Jepang (1932-1945) kembali memberlakukan

aturan keras ke masyarakat Korea, dengan cara mengeksploitasi tenaga serta sumber

daya yang dimiliki masyarakat Korea untuk mendukung upaya Jepang menyarang ke

Manchuria (1932), Cina daratan (setelah 1937), dan Pasifik (setelah tahun 1941).

Masyarakat Korea dipaksa untuk berhenti menggunakan bahasa mereka sendiri dan

diwajibkan mengadopsi nama Jepang serta beribadah di kuil Shinto. (Lew, 2000:

23).

2. Akhir Perang Dunia ke-2 dan Pembagian dua Korea

Memasuki akhir Perang Dunia II, negara-negara sekutu melakukan

pertemuan untuk membahas masalah Asia, termasuk permasalahan Korea di Kairo,

Mesir. Pertemuan ini menghasilkan Konferensi Kairo (Cairo Conference) pada

Desember 1943. Konferensi Kairo merupakan konferensi yang berlangsung dari

tanggal 23-26 November dan 3-7 Desember 1943. Dalam Deklarasi Kairo, yang

dikeluarkan pada 1 Desember 1943 oleh Presiden Amerika Serikat, Franklin Delano

Roosevelt, Perdana Menteri Inggris Winston Churchill dan Presiden Cina Chiang

Page 41: AMELIA FITRIANI.pdf

25

Kai-shek, ketiga pemimpin Sekutu, untuk mengantisipasi kekalahan Jepang, berjanji

untuk memberikan kemerdekaan kepada orang-orang Korea ‘pada waktunya’.

Marsekal Stalin menunjukkan dukungannya terhadap deklarasi ini pada Juli 1945

ketika ia menandatangani Deklarasi Potsdam. (Lew, 2000: 24).

Menurut Fact File situs berita BBC (diakses pada 25 Juni 2012), dalam

konferensi ini juga, sekutu memutuskan untuk melucuti Jepang di semua daerah

yang telah diperoleh sejak awal Perang Dunia I (1914), Amerika Serikat, Cina, dan

Inggris telah sepakat di Kairo bahwa Korea akan diizinkan untuk menjadi bebas dan

merdeka pada waktunya setelah kemenangan Sekutu. Uni Soviet juga menyetujui

prinsip yang sama dalam deklarasi perang melawan Jepang.

Pada tanggal 8 Agustus 1945, selama hari-hari terakhir Perang Dunia II, Uni

Soviet menyatakan perang terhadap Jepang dengan meluncurkan invasi Manchuria

dan Korea. Pada saat itu, Jepang telah habis oleh perang berlarut-larut melawan

Amerika Serikat dan Sekutu. Peristiwa penjatuhan bom atom di Hiroshima dan

Nagasaki pada tanggal 6 dan juga 9 Agustus telah membuat pemerintah Jepang

berupaya mencari cara untuk mengakhiri perang. Hingga akhirnya pada tanggal 15

Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Sejak kemunduran

Jepang, Uni Soviet mendaratkan pasukannya di Korea dari arah utara. Hal tersebut

juga diikuti oleh Amerika Serikat yang mendaratkan pasukannya dari arah selatan

sebagai upaya untuk mencegah salah satu pihak menguasai seluruh Semenanjung

Korea. (Henneka. 2006: 21).

Ketika perang berakhir dengan menyerahnya Jepang pada 15 Agustus 1945,

rakyat Korea menerima berita pembebasan mereka dengan kegembiraan sekaligus

Page 42: AMELIA FITRIANI.pdf

26

kecemasan. Rakyat Korea gembira bahwa mereka dibebaskan dari penindasan

Jepang tetapi cemas karena negara mereka harus dibagi sepanjang garis 38 derajat

Lintang Utara (38th

parallel) menjadi dua zona pendudukan militer. Garis 38 derajat

Lintang Utara dipelopori oleh para pembuat kebijakan AS di Washington sepanjang

malam 10-11 Agustus yang diklaim sebagai cara terbaik untuk mencegah Uni Soviet

menempati seluruh semenanjung Korea. (Lew, 2000: 24).

Presiden Harry S. Truman menjamin dan membuat perjanjian dengan

Marsekal Joseph Stalin untuk menghormati garis 38 derajat Lintang Utara pada 16

Agustus tanpa harus berkonsultasi dengan Korea. Di bawah garis 38 derajat Lintang

Utara, Korea bagian selatan diduduki oleh angkatan bersenjata Amerika Serikat pada

bulan September, satu bulan setelah militer Soviet mulai menempati bagian utara.

Pasukan pendudukan AS menyelenggarakan pemerintahan militer sementara di

Korea bagian selatan dengan nama Pemerintah Militer Amerika Serikat di Korea

(United States Army Military Government in Korea/USAMGIK) di Seoul dan

memerintah Korea Selatan selama tiga tahun dengan dukungan dari Partai Demokrat

Korea. (Lew, 2000: 24).

Hingga kemudian, pada 15 Agustus 1948, Korea Selatan yang didukung oleh

Amerika Serikat memerdekakan diri sebagai sebuah negara dengan nama resmi

Republic of Korea (ROK) dan diakui oleh PBB sebagai pemerintahan yang sah.

Sementara itu, Uni Soviet juga mendukung berdirinya pemerintahan di Pyongyang

dan menghasilkan kemerdekaan Korea Utara dengan nama resmi Democratic People

Republik Korea (DPRK) pada 9 September 1948. (Yukhoon, 2007: 83).

3. Perang Korea (1950-1953)

Page 43: AMELIA FITRIANI.pdf

27

Pasca berdiri sebagai dua negara yang memiliki kedaulatannya masing-

masing, hubungan Korea Selatan dengan Korea Utara diliputi konfrontasi dan

ketegangan militer yang merupakan upaya untuk menyatukan kembali kedua Korea.

Konfrontasi milite pasca kemerdekaan menemukan titik puncak ketika pecahnya

Perang Korea pada tanggal 25 Juni 1950. Ketika itu pasukan Korea Utara secara

tiba-tiba menyerang Korea Selatan pada pagi hari dan melintasi perbatasan garis 38

derajat Lintang Utara, yang merupakan garis batas antara wilayah Korea Utara

dengan Korea Selatan. Penyerangan tersebut didukung oleh rezim Kim Il Sung yang

juga mendapat dukungan dari Uni Soviet dan Cina. (Yukhoon, 2007: 84).

Penyerangan inilah yang disebut sebagai awal dari Perang Korea. Perang Korea

berlangsung dari 25 Juni 1950 hingga 27 Juli 1953. Perang ini disebut juga sebagai

proxy war (perang yang dimandatkan) antara Amerika Serikat dan sekutunya dari

Blok Barat dengan Republik Rakyat Cina (RRC) dan Uni Soviet dari Blok Timur.

(Cahyo, 2012: 175-176)

Beberapa jam pasca penyerangan, Dewan Keamanan PBB dengan suara bulat

mengecam invasi Korea Utara terhadap Korea Selatan melalui Resolusi Dewan

Keamanan (DK) PBB. PBB pun kemudian menerbitkan resolusi 83 yang

merekomendasikan negara anggota untuk memberikan bantuan militer ke Korea

Selatan pada 27 Juni 1950. Hal ini membuat wakil menteri luar negeri Uni Soviet

menilai Amerika memulai intervensi bersenjata atas nama Korea Selatan. (Cahyo,

2012: 177).

Korea Utara kemudian mengajukan perundingan gencatan senjata pada 10

Juli 1951 di Kaesong, wilayah Korea Utara bagian selatan. Negosiasi gencatan

senjata pun berlanjut dua tahun kemudian di Panmunjon (perbatasan kedua Korea).

Page 44: AMELIA FITRIANI.pdf

28

Akhirnya, pada 27 Juli 1953, AS, RRC, dan Korea Utara menandatangani

persetujuan gencatan senjata. Presien Korea Selatan, Syngman Rhee menolak

menandatangani namun berjanji menghormati kesepakatan gencatan senjata tersebut.

Walaupun begitu, secara resmi, perang ini belum berakhir. (Cahyo, 2012: 177-178).

B. Kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara sebelum Pemerintahan

Roh Moo-hyun

Pasca berdiri sebagai sebuah negara yang berdaulat, Korea Selatan telah

mengalami masa krisis dari segi tatanan konstitusional dan ketidakstabilan politik.

Sejak 1948 yang merupakan tahun kelahiran konstitusi Korea, sampai 1987, tidak

kurang dari enam republik didirikan di Korea. Selama jangka waktu tiga puluh

sembilan tahun, konstitusi direvisi sembilan kali, dan Korea dipimpin oleh presiden

dengan latar belakang militer selama periode 1961-1992. Baru kemudian pada tahun

1993, Korea dipimpin oleh pemerintahan demokratis di bawah pimpinan sipil, yakni

pada masa pemerintahan Kim Young Sam yang mulai menjabat secara resmi pada 23

Februari 1993. (Hoom dan Moon, 2001: 33).

Republik pertama di bawah Presiden Syngman Rhee, didirkan pada tahun 1948,

dan runtuh pada 19 April 1960 oleh revolusi Mahasiswa. Runtuhnya Syngman Rhee

melahirkan republik kedua di bawah Perdana Menteri Chang Myon. Republik kedua

(1960-1961) tidak berlangsung lama, namun, berakhir dengan kudeta militer oleh

Park Chung Hee pada tanggal 16 Mei 1961. Park Chung Hee kemudian muncul

sebagai pemimpin republik ketiga (1961-1973) dan republik keempat (1973-1979).

Kemudian republik kelima (1980-1988) dan keenam dipimpin oleh Chun Doo Hwan

dan Roh Tae Woo. (Hoom dan Moon, 2001: 34).

Page 45: AMELIA FITRIANI.pdf

29

Baik di bawah kepemimpinan militer maupun sipil, kebijakan reunifikasi

Korea Selatan terhadap Korea Utara sejak berdirinya Republik Korea pada tahun

1948, mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk meredam potensi konflik terutama

dalam bidang militer dengan Korea Utara yang diharapkan dapat menyatukan

kembali Korea(reunifikasi) sebagai tujuan jangka panjang. Hanya saja, instrumen

yang digunakan oleh setiap pemerintahan Korea Selatan untuk mencapai tujuan itu

berbeda satu sama lain. Pilihan instrumen yang digunakan itu terkat dengan sifat

dasar masig-masing pemerintahan. (Yoon dan Mas’oed.2004: 31).

B.1. Kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara di Bawah

Pemerintahan Militer (1948-1992)

1. Masa pemerintahan Syngman Rhee/ 이승만 (26 Maret 1875 - 19 Juli 1960)

Presiden pertama Korea Selatan yang juga merupakan salah satu tokoh

perintis kemerdekaan Korea Selatan ialah Syngman Rhee (1948-1960). Dalam

kepemimpinannya di awal kemerdekaan, Syngman Rhee mengusung kebijakan

resmi pemerintahannya dengan nama march north for unification, yang secara jelas

menerapkan kebijakan unifikasi dengan kekuatan bersenjata dan menolak untuk

hidup berdampingan dengan damai besama Korea Utara. (Cha, 2011: 6).

Dalam usaha mewujudkan reunifikasi Korea, pemerintahan Presiden Rhee

Syngman mempertahakan sifat permusuhan yang tidak dapat didamaikan terhadap

Korea Utara dan berusaha mencapai reunifkasi melalui penaklukan terhadap

komunisme Korea Utara. Kebijakan reunifikasi Presiden Rhee Syngman itu terkait

dengan dua faktor, yaitu rasa antisipasi dan tidak percaya terhadap komunisme serta

Page 46: AMELIA FITRIANI.pdf

30

klaim Korea Selatan untuk menjadi satu-satunya pemerintahan yang sah di

Semenanjung Korea. Klaim ini didasarkan pada Resolusi Dewan Umum PBB, No.

195 (III) tahun 1948 dan tetap dipertahankan oleh pemerintahan-pemerintahan Korea

Selatan selanjutnya. Resolusi ini menyatakan bahwa pemerintahan Republik Korea

adalah pemerintahan Semenanjung yang sah karena dibentuk melalui pemilu yang

sah dan wilayah Republik Korea didiami oleh sebagian besar rakyat Korea. (Yoon

dan Mas’oed,2004: 31-32).

Instrumen utama yang digunakan oleh Presiden Rhee untuk mencapai tujuan

politiknya adalah diplomasi, terutama dengan negara sekutu. Ia mengandalkan

kekuatan Amerika Serikat untuk mendapatkan dan mempertahankan kemerdekaan

Korea Selatan dan untuk menyatukan kembali dua Korea. Presiden Rhee adalah

seorang internasionalis yang mengeluarkan kebijakanya didasarkan pada

kepentingan internal Korea Selatan, karenanya, ia menggunakan kekuatan asing

(negara lain) untuk kepentingan bangsanya. (Han, 2001: 110).

Dalam pemerintahannya, Presiden Rhee mendesak komandan pasukan

Amerika Serikat bahwa Amerika Serikat yang menjaga keamanan di Korea Selatan

untuk memanfaatkan monopoli nuklirnya dalam memaksa Soviet untuk menarik diri

dari Semenanjung Korea. Ketika Amerika Serikat memasuki negosiasi gencatan

senjata (pasca perang Korea), Presiden Rhee dengan terbuka menentang penghentian

permusuhan. Rhee menuntut agar Eisenhower (Presiden Amerika Serikat saat itu)

untuk menarik pasukan Amerika Serikat dari Semenanjung jika gencatan senjata itu

akan ditandatangani, dan juga gertak bahwa Korea Selatan lebih memilih bertarung

sendirian melawan Korea Utara, Cina, dan Soviet daripada memilih gencatan

senjata. (Cha, 2011: 6).

Page 47: AMELIA FITRIANI.pdf

31

Selain itu, Presiden Rhee melakukan tindakan destruktif yang sengaja

dirancang untuk menyalakan kembali permusuhan dengan Korea Utara. Salah satu

tindakan Prsiden Rhee yang provokatif terjadi pada bulan Juni 1953 ketika ia secara

sepihak mengumumkan adanya 25.000 tawanan perang Korea yang ditawan di

Selatan. Tindakan ini merupakan salah satu upaya yang disengaja untuk melemahkan

negosiasi gencatan senjata, yakni dengan cara melakukan repatriasi/pengembalian

tawanan perang ke negeri asalnya. Repatisi tersebut merupakan titik utama negosiasi.

(Cha, 2011: 6). Pada Akhirnya, Perjanjian Gencatan senjata antara Korea Utara dan

Korea Selatan terjadi. Namun presiden Rhee menolak untuk menandatangani

perjanjian, ia berjanji untuk menghormati perjanjian gencatan senjata tersebut.

Kontribusi Presiden Rhee terhadap sejarah politik Korea salah satunya adalah

kemampuanya melindungi negaranya dari ancaman komunis selama masa awal

kemerdekaan. Sementara itu, ideologi politik yang ia terapkan selama masa

pemerintahanya adalah ideologi anti-Jepang dananti-komunis. (Han, 2001: 109).

Pemerintahan Presiden Rhee berakhir pada April 1960, ketika ia digulingkan oleh

aksi pemberontakan mahasiswa.

2. Masa Perdana Menteri Chang Myon/ 장면 (1960-1961)

Pasca pemberontakan mahasiswa di Korea Selatan yang menggulingkan

Presiden Rhee Syngman, pemerintah peraihan Korea dipimpin oleh Ho Chong/ 허정

yang memegang kekuasaan Korea Selatan selama tiga bulan. Di bawah

pemerintahannya, Korea Selatan mulai bersedia untuk memperlunak sikapnya

mengenai reunifikasi Korea. Meskipun di sisi lain, Ho Chong tetap mempertahankan

Page 48: AMELIA FITRIANI.pdf

32

dua kunci utama politik luar negerinya, yakni berusaha memperbaiki hubungan

Korea Selatan dengan Jepang dan negara-negara non-blok, dan bersedia melakukan

usaha-usaha untuk mengakhiri pemisahan Semenanjung Korea sesuai dengan

prinsip-prinsp resolusi PBB. (Yoon dan Mas’oed, 2004: 34).

Pemerintahan peralihan Ho Chong kemudian digantikan oleh kepemimpinan

Perdana Menteri Chang Myon yang melanjutkan kebjakan Ho Chong tersebut. Dua

hal yang jelas berbeda dari politik luar negeri yang dijalankan oleh Presiden Rhee

dan Perdana Menteri Chang Myon adalah bahwa Chang secara eksplisit menyatakan

Korea Selatan tidak akan menggunakan kekuatan militer untuk mencapai reunifikasi

dan mengembangkan sikap fleksibel teradap negara-negara non-blok. (Yoon dan

Mas’oed, 2004: 34). Chang Myon hanya memimpin selama delapan bulan sebagai

Perdana Menteri sebelum akhirnya mundur akibat kudeta militer yang dilakukan

oleh Jendral Park Chung Hee pada bulan Mei 1961. (Han, 2001: 108).

3. Masa pemerintahan Park Chung-hee/ 박정희 (1963-1979),

Setelah kudeta yang dilakukannya, Jendral Park Chung-hee muncul sebagai

Presiden. Presiden Park mengkonsentrasikan semua kekuatan sosial, politik, dan

ekonomi Korea Selatan di bawah komandonya. Sebagai mantan militer, Presiden

Park tertarik untuk menciptakan stabilitas, membangun perekonomian, dan

memperkuat pertahanan nasional. Ia tidak mengenal prinsip-prinsip demokrasi atau

cara hidup demokrasi. Menurutnya, cara demokrasi tidak hanya akan membawa

kemajuan ekonomi yang lamban tetapi juga pemisahan sosial dan memperlemah

pertahanan nasional. Baginya yang berlaku adalah demokrasi ‘terbatas’, membatasi

kebebasan sipil, kebebasan bicara dan pers. Ia sangat dekat dengan birokratisme dan

Page 49: AMELIA FITRIANI.pdf

33

kepemimpinan militer ala Jepang pada periode Meiji, yang di bawah kepemimpinan

militer yang kuat mendorong modernisasi ekonomi dan pembangunan militer

melalui ideologi Yishin atau revitalisasi. (Nahm, 1993: 196).

Park Chung-hee membuat pemerintahannya bertumpu pada kekuatan yang

berasal dari militer, birokrat, dan teknokrat. Oleh karena itu rezim Korea Selatan di

bawah Park Chung-hee disebut Rezim Otoriter Birokratis.Presiden Park termasuk

salah seorang peletak dasar strong military-dominated government di Asia. Dalam

rangka memenuhi tuntutan untuk mengatasi kebutuhan ekonomi yang mendasar dan

mendesak, pemerintahan militer di bawah Park Chung-hee mengambil beberapa

langkah penting. Pertama, membuka hubungan diplomasi dengan Jepang untuk

mengundang arus perdagangan dan bantuan ekonomi dari negara tersebut. Kedua,

mengambil sikap mengalah terhadap tekanan-tekanan dari Amerika Serikat

(terutama untuk mendapatkan dukungan politik dan pengakuannya) serta menerima

saran dari kelompok teknokrat untuk menggalakkan usaha-usaha ekspor, terutama

ekspor hasil-hasil industri manufaktur. (Jakti, 1995: 114).

Sementara, terkait kebijakan reunifikasi dengan Korea Utara, Pemerintahan

Park Chung-hee mendasarkanya pada tiga hal, yaitu:

1. Anti komunisme sebagai tujuan nasional terpenting dan terus memperkuat

rasa anti komunisme tersebut,

2. Menghormati piagam PBB, melaksanakan perjajian-perjanjian inernasional,

dan memperkuat ikatan dengan Amerika Serikat dan negara-negara bebas

lainnya,

Page 50: AMELIA FITRIANI.pdf

34

3. Menggunakan seluruh tenaga untuk membangun kekuatan yang

memungkinkan untuk melawan komunisme demi tercapainya unifikasi

nasional. (Yoon dan Mas’oed.2004: 35).

Ketiga hal tersebut merupakan kelanjutan dari kebijakan luar negeri

pemerintahan sebelumya. Hal yang membedakan kebijakan presiden Park dengan

kebijkan pemerintaan sebeumnya adalah, strategi reunifikasi yang digunakan oleh

Presiden Park menekankan pada pentingnya pelaksanaan pembangunan kekuatan

nasional sebagai langkah pendahulan atas hal-hal yang perlu dilakukan untuk

mencapai reunifikasi. (Yoon dan Mas’oed.2004: 35).

Selain itu, menurut Yoon dan Mas’oed (2004: 35), salah satu hal penting yang

tercakup dalam politik luar negeri Presiden Park adalah apa yang disebut sebagai

good will diplomacy yang diterapkan terhadap negara-negara non-blok dengan

tujuan untuk meningkatkan pemahaman negara-negara tersebut terhadap

permasalahan Semenanjung Korea.

Di samping kemajuan politik, Presiden Park juga memberikan perhatian pada

perkembangan perekonomian Korea Selatan. Laju perekonomian Korea Selatan

terus ditingkatkan melalui pembangunan ekonomi. Selain itu, peningkatan hubungan

dengan Amerika Serikat juga dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan bantuan

ekonomi dan militer. (Yoon dan Mas’oed.2004: 197). Pemerintahan Park mengejar

laju industrialisasi yang mampu mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama

tahun 1960-an dan 1970-an, yang sering dijuluki sebagai ‘Keajaiban Sungai

Hangang”. Tapi di sisi lain, kekuasaannya itu sejalan dengan pembatasan yang ketat

Page 51: AMELIA FITRIANI.pdf

35

terhadap hak-hak politik dan kebebasan sipil rakyat. (Pelayanan Kebudayaan, 2008:

27).

Menurut Ki-shik S.J Han (2001: 117), Pemerintahan Park Chung-hee yang

dijalankan selama delapan belas tahun adalah pemerintahan yang sukses dalam hal

pertahanan nasional, kesejahteraan ekonomi, dan perkembangan national pride.

Presiden Park tewas pada penembakan yang terjadi pada Oktober 1979.

4. Masa pemerintahan Chun Doo-hwan/전두환 (1980-1988)

Setelah pembunuhan Presiden Park, Korea Selatan mengalami periode

transisi di bawah darurat perang. Perdana menteri, Choi Kyu-hah/최규하 (1979-1980)

dilantik sebagai Presiden sementara dan mengundurkan diri pada 1980. (Pelayanan

Kebudayaan, 2008: 27).

Setelah mundurnya Choi Kyu-hah, Chun Doo-hwan/전두환 (1980-1988),

Kepala Pertahanan Komando Korea Selatan mengambil alih kekuasaan. Menurut Ki-

shik S.J. Han (2001: 126) terdapat kontribusi yang diberikan oleh pemerintah

Presiden Chun, antara lain adalah: pertama, kekacauan politik setelah pembunuhan

Presiden Park berhasil diredam dan stabilitas politik Korea Selatan kembali terjaga.

Kedua, perdagangan Korea Selatan pada saat itu berhasil mencatat surplus untuk

pertama kalinya dalam sejarah Korea, ia memegang periode pertumbuhan ekonomi

yang berkelanjutan dengan melengkapi dan mendorong kemajuan industri Korea

yang telah diawali sejak masa pemerintahan Presiden Park. Ketiga, Presiden Chun

mampu memperluas diplomasi Korea Selatan serta meningkatkan hubungan dengan

Negara lain. Salah satunya dapat dilihat dari keberhasilan Korea Selatan menjadi

Page 52: AMELIA FITRIANI.pdf

36

tuan rumah Asian Games 1986 dan Olimpiade ke-24 pada tahun 1988. Presiden

Chun mundur setelah tujuh tahun masa jabatannya dan melakukan transisi kekuasaan

secara damai dan tanpa kudeta.

4. Masa pemerintahan Roh Tae-woo/노태우 (1988-1993)

Kekuatan ekonomi Korea Selatan semakin berkembang pada tahun 1980-an,

dan hal tersebut muncul sebagai salah satu instrumen diplomatik dalam kebijakan

terhadap Korea Utara yang dikenal dengan istilah Nordpolitik dari pemerintahan

Presiden Roh Tae Woo. Kebijakan di masa pemerintahan Roh Tae Woo berfokus

pada pendekatan Korea Selatan dengan sekutu komunis Korea Utara agar mau

membuka hubungan dalam bidang ekonomi dan politik. Nordpolitik berhasil

membangun hubungan antara Korea Selatan dan negara-negara komunis di Eropa

Timur, termasuk Uni Soviet yang pada akhirnya mengakui Korea Selatan pada tahun

1990. Sementara itu untuk Korea Utara, Presiden Roh mengajukan visi antar-Korea

berupa kerjasama yang merupakan langkah menuju unifikasi menjadi Masyarakat

Nasional Korea (Korean National Community). (Armstrong, 2005: 6).

Usulan Utama Korea Selatan terhadap Korea Utara terkait unifikasi, yang

diusulkan Roh adalah adalah konfederasi/negara perserikatan dari dua sistem politik

yang ada di Semenanjung Korea, pertama kali dijelaskan pada tahun 1980. Korea

Utara telah menunjukan fleksibilitasnya dalam menjalankan usulan Presiden Roh

untuk konfederasi dan bersedia untuk melihat konfederasi bukan sebagai tujuan akhir

penyatuan (unifikasi) tetapi merupakan institusi transisi/peralihan dalam upaya

pemersatuan dua ‘pemerintah daerah’ (Korea Utara dan Korea Selatan). (Armstrong,

2005: 7).

Page 53: AMELIA FITRIANI.pdf

37

B.2. Kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara di Bawah

Pemerintahan Sipil (1992-2002)

1.Masa pemerintahan Kim Young-sam/김영삼 (1993-1998)

Setalah Uni Soviet dan blok Eropa Timur runtuh pada akhir tahun 80-an

sampai awal tahun 90-an, sikap Korea Utara jauh lebih keras daripada masa-masa

sebelumnya di mana Korea Utara masih mendapatkan bantuan dan dukungan besar

dari masyarakat sosialis internasional. Menyadari kedaan Korea Utara khususnya

keadaan perekonomian nasionalnya yang semakin memburuk, pemerintah Kim

Young Sam mencoba mendekati Korea Utara seperti halnya Jerman Barat terhadap

Jerman Timur. Namun usaha pemerintahan Kim Young Sam itu justru mengarahkan

Korea Utara menuju ke arah yang lebih keras lagi, memperkuat kekuatan militer

sambil mengembangkan kekuatan senjata modern. (Yoon dan Mas’oed, 2010: 167).

2. Masa pemerintahan Kim Dae-jung/김대중 (1998-2003)

Pemerintah Kim Dae-jung diresmikan pada Februari 1998 ditandai dengan

peralihan kekuasaan politik secara damai yang terjadi pertama kali di Korea Selatan.

Pada awal kepemimpinannya, pemerintahan Kim Dae-jung meluncurkan

kebijakannya yang diberi nama ‘Sunshine Policy’, atau kebijakan untuk melakukan

kerjasama, mengendurkan ketegangan militer, melakukan pertukaran dan kerjasama,

serta membangun perdamaian dengan membangun kepercayaan bersama dengan

Korea Utara. (Moon, 2012: 1). Kebijakan pemerintah Kim Dae-jung terhadap Korea

Utara secara resmi bernama the Policy of Reconciliation and Co-operation, tapi

Page 54: AMELIA FITRIANI.pdf

38

presiden Kim secara pribadi lebih suka menggunakan Sunshine Policy. (Moon, 2012:

17).

Kebijakan ini didasarkan pada tiga prinsip utama berdasarkan pidato pelantikan

Kim Dae-jung pada tahun 1998. Pertama, prinsip non-toleransi terhadap segala

bentuk ancaman militer maupun provokasi bersenjata oleh Korea Utara. Kedua,

prinsip unifikasi dua Korea tanpa menggunakan ancaman ataupun kekerasan. Ketiga,

prinsip mendorong peningkatan pertukaran serta kerjasama antara Korea Selatan-

Korea Utara melalui pemberlakukan kembali perjanjian rekonsiliasi tahun 1991.

(Moon,2012: 21). Perjanjian rekonsiliasi atau Treaty of Reconciliation and

Nonaggression, merupakan perjanjian yang ditandatangani oleh Korea Selatan dan

Korea Utara pada tanggal 13 Desember 1991. Pada perjanjian itu, Seoul dan

Pyongyang sepakat untuk menghentikan hubungan permusuhan dan bekerja sama

dalam bidang keamanan. (Moon, 2000: 6).

Melalui kebijakannya, pemerintahan presiden Kim Dae-jung menekankan

pentingnya keadaan kebersamaan, perdamaian, dan peningkatan kerjasama dengan

Korea Utara daripada masa pemerintahan sebelumnya. Melalui kebijakannya,

pemerintah Kim Dae Jung memilih kebijakan penyatuan Korea secara de facto

melalui lebih banyak kontak dan kerjasama antara Utara dan Selatan daripada

penyatuan sistem dan hukum (de jure). (Yoon dan Mas’oed, 2004: 41).

Menurut Geetha Govindasamy (2012: 2), reunifikasi kedua Korea merupakan

tujuan akhir Kim Dae-jung. Namun ia mengerti bahwa reunifikasi sulit direalisaikan

tanpa mengakhiri kebijakan ala Perang Dingin yang diadaptasi oleh pemerintahan

sebelumnya. Kim percaya bahwa kebijakan bermusuhan dan blokade hanya

Page 55: AMELIA FITRIANI.pdf

39

memperburuk situasi dan mengintensifkan kemungkinan konfrontasi militer antara

kedua Korea. Sebagai alternatif, Kim Dae-jung merancang formula unifikasi tiga

tahap yang mencakup ko-eksistensi damai, pertukaran damai antar-Korea dan

unifikasi damai.

Hal tersebut senada dengan apa yang dituliskan oleh Chung-in Moon (2012:

22), bahwa Presiden Kim merumuskan konsep perdamaian ke dalam tiga prinsip

utama, yakni: hidup berdampingan secara damai/peaceful co-existence

(pembangunan perdamaian dengan mengakhiri hubungan permusuhan, perungan

penggunaan senjata, dan pengawasan bersama serta membangun rezim keamanan

dan kerjasama multilateral); pertukaran perdamaian/peaceful exchange (restorasi

identitas nasional bersama melalui interaksi politik, ekonomi, sosial, budaya, dan

kemanusiaan, serta perluasan kepentingan bersama melalui peningkatan

pertukaran/kerjasama dalam bidang ekonomi ekonomi); dan unifikasi damai/

peaceful unification (peningkatan unifikasi dan penolakan terhadap unifikasi dengan

kekuatan militer maupun tindak manipulasi). Sunshine policy dapat dilihat sebagai

bentuk dari tiga prinsip perdamaian tersebut.

Semua kebijakan, baik kebijakan publik, domestik, maupun luar negeri

merupakan instrumen yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu.Tujuan

tersebut menjadi dasar perumusan kebijakan dan pengarah kebijakan. Menurut

Chung-In Moon (2012: 21-25), dasar perumusan. Sunshine policy ditujuan untuk

mencapai lima tujuan besar, yakni:

Tujuan pertama adalah penolakan mutlak dari setiap perang atau konflik

militer besar di semenanjung Korea. Presiden Kim berulang kali menyatakan bahwa

Page 56: AMELIA FITRIANI.pdf

40

tidak ada yang bisa membenarkan perang dan bahwa hal itu harus dicegah dengan

biaya apapun. Perang bisa membawa sebuah unifikasi nasional, tetapi penyatuan

dicapai melalui cara-cara kekerasan kemungkinan akan menelurkan benih kebencian

dan menetaskan divisi nasional lainnya.

Tujuan kedua adalah untuk memperoleh unifikasi secara de facto. Sunshine

Policy mengasumsikan bahwa de jure atau unifikasi kelembagan melalui

musyawarah dan referendum nasional akan memakan waktu lebih lama. Menyadari

kendala yang realistis, pemerintah Kim Dae-jung bertujuan untuk menciptakan tahap

awal unifikasi (quasi-unification) untuk mengaktifkan pertukaran pekerja, barang,

dan jasa demi mewujudkan pembangunan kepercayaan bersama dan pengawasan

senjata secara bersama-sama.

Tujuan ketiga yang mendasari Sunshine Policy adalah keyakinan Kim Dae-

jung bahwa kebijakan keterlibatan dan akomodasi (policy of engagement and

accommodation) bisa membawa perubahan di Korea Utara, dan bahwa transformasi

menjadi keadaan normal bisa menawarkan momentum menentukan bagi ko-

eksistensi damai di semenanjung Korea.

Tujuan keempat adalah sentralitas Korea Selatan dalam mengelola masalah

Korea dan lingkungan keamanan eksternal.Sunshine Policy mengakui pentingnya

Amerika Serikat, Rusia, Cina, dan Jepang dalam mempengaruhi masa depan

semenanjung Korea, namun membantah determinisme tradisional dalam menilai

keseimbangan kekuasaan ini atau tingkat pengaruh mereka.

Tujuan terakhir adalah Kim Dae Jung mencoba untuk mencapai konsensus

dalam negeri dan dukungan politik bipartisan dalam melaksanakan Sunshine Policy.

Page 57: AMELIA FITRIANI.pdf

41

Presiden Kim menyadari bahwa di bawah sebuah pemerintahan yang demokratis,

tidak mudah untuk membangun dukungan politik bipartisan untuk kebijakan apapun,

baik itu asing maupun domestik. Namun, Presiden Kim percaya bahwa sejauh

kebijakan terhadap Korea Utara dan unifikasi nasional yang bersangkutan dapat

membentuk konsensus dalam negeri, memenangkan dukungan bipartisan bukan

merupakan hal yang mustahil. (Moon, 2012: 21-25)

Selain itu, ciri lain kebijakan pemerintah Kim Dae-jung adalah membangun

kebijakan yang bersifat timbal balik (reciprocity) dan fleksibel terhadap Korea

Utara. Timbal balik berarti bahwa kebijakan Korea Selatan yang salah satunya

adalah memberikan bantuan kepada Korea Utara tidak perlu diberi balasan atau

ganti yang setara (dalam arti bentuk dan jumlah bantuan yang telah diberikan),

namun Korea Utara hanya perlu meningkatkan hubungan baik dengan Korea

Selatan. Selain itu, sekalipun nuklir Korea Utara telah diakui sebagai salah satu

masalah utama, namun secara resmi, hal tersebut dipisahkan dari kebutuhan untuk

memperbaiki hubungan antar-Korea. Pemerintah Kim tidak memprioritaskan

kebijakannya pada masalah senjata nuklir Korea Utara. Sebaliknya, pemerintah Kim

menekankan kebijakannya pada kebutuhan ekonomi dan kemanusiaan Korea Utara.

(Govindasamy, 2012: 5).

Hasil penerapan Sunshine Policy yang dilakukan oleh pemerintah Kim Dae-

jung membawa kemajuan bagi hubungan dua Korea. Pencapaian-pencapaian penting

yang berhasil direalisasikan antara lain adalah pada 1998, Kim Dae-jung berhasil

melancarkan proyek bersama antar Korea yakni proyek pariwisata dan turisme

Gunung Kumgang dan proyek Komplek Industri Kaesong di Korea Utara. Selain itu

Page 58: AMELIA FITRIANI.pdf

42

juga, pada Juni 2000, ia berhasil melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi Korea

(Korean Summit) yang dilakukan oleh presiden Kim Dae-jung dan pemimpin Korea

Utara, Kim Jong-il. (Moon, 2000: 4).

Page 59: AMELIA FITRIANI.pdf

43

BAB III

THE POLICY OF PEACE AND PROSPERITY

A. Prinsip dan Tujuan

Roh Moo-hyun secara resmi menjadi presiden Korea Selatan setelah dilantik

pada tanggal 25 Februari 2003. Dalam pidato pelantikannya, Presiden Roh Moo-

hyun menyatakan keinginannya untuk mempertahankan kebijakan Korea Selatan

terhadap Korea Utara yang diterapkan oleh pendahulunya, yakni Kim Dae-jung, dan

juga untuk memperluas cakupan dan konten dari Sunshine Policy tersebut dalam

rangka membangun sebuah ‘struktur perdamaian’ pada semenanjung Korea.

Kebijakan tersebut diberi nama the Policy of Peace and Prosperity. (Kim, 2006:

37). Pemerintahan Roh Moo-hyun dikenal juga dengan nama Participatory

Government. (The Ministry of National Defense of the ROK, 2003: 34).

The Policy of Peace and Prosperity didasarkan pada empat prinsip dasar,

yakni: (1) menggunakan dialog sebagai sarana untuk menyelesaikan semua masalah

yang tertunda; (2) membangun rasa saling percaya dan menjaga hubungan timbal

balik (upholding reciprocity); (3) mempromosikan kerjasama internasional pada

prinsip-prinsip partisipasi langsung dan timbal-balik; dan (4) meningkatkan

transparansi, memperluas partisipasi warga, dan mengamankan dukungan bipartisan

(bipartisan support). (In-duk, 2003: 5-6).

Menurut Ko Jae-nam (2004: 7) prinsip pertama dari kebijakan Roh Moo-

hyun, yakni menyelesaikan masalah melalui dialog, muncul karena adanya

kemungkinan untuk timbulnya konflik bersenjata di Semenanjung Korea yang

Page 60: AMELIA FITRIANI.pdf

44

diakibatkan oleh ketidakstabilan rezim militer di Korea Utara dan juga gencatan

senjata yang masih belum usai antara dua Korea. Maka dari itu, diperlukan

penyelesaian secara damai melalui dialog.

Prinsip kedua adalah membangun kepercayaan satu sama lain antara dua

Korea. Hal tersebut dilakukan supaya meningkatkan hubungan dan mendorong

kerjasama yang saling menyehatkan/menguntungkan (healthy mutual cooperation)

dengan Korea Utara dan negara-negara di sekitarnya. (Jae-nam, 2004: 7).

Prinsip ketiga adalah meningkatkan kerjasama internasional berdasarkan

prinsip ‘parties directly concerned’, yakni pembagunan rezim perdamaian di

semenanjung Korea serta menciptakan komunitas ekonomi Utara-Selatan (South-

North Korea economic community), atas dasar ini, Korea Utara akan secara alami

bekerjasama dengan komunitas internasional dan berkontribusi bagi perdamaian dan

kemakmuran di kawasan Asia Timur. Prinsip terakhir adalah adanya perluasan

partisipasi masyarakat. Dalam proses melaksanakan the Policy of Peace and

Prosperity, Korea menjamin transparansi eksternal dalam proses pembuatan

kebijakan. (Jae-nam, 2004: 7).

Menurut white paper the Ministry of National Defense of the Republic of

Korea (2003: 32), dalam jangka pendek prinsip-prinsip tersebut digunakan sebagai

pedoman dalam bekerjasama dengan negara tetangga untuk membawa resolusi

perdamaian pada pemasalahan nuklir Korea Utara. Atas dasar itu, tujuan jangka

menengah adalah meningkatkan kerjasama substantif, mewujudkan kepercayaan

militer antara dua Korea dan membangun rezim perdamaian di Semenanjung Korea

dengan mendukung normalisasi hubungan antara Korea Utara dengan Amerika

Page 61: AMELIA FITRIANI.pdf

45

Serikat dan Jepang. Hal tersebut menjadi permulaan dari tujuan jangka panjang,

yakni untuk membentuk kemakmuran umum/bersama, membangun dasar untuk

reunifikasi dan membangun semenanjung Korea sebagai pusat ekonomi Asia Timur.

Dalam mengaplikasikan kebijakannya tersebut, pemerintah Roh Moo-hyun

memiliki tiga tahap pembangunan, yakni; pada tahap pertama, Korea Selatan

berusaha memfasilitasi perdamaian di semenanjung Korea. Pada tahap kedua, Korea

Selatan berupaya untuk mengembangkan lebih lanjut kerjasama antar-Korea sebagai

dasar dari rezim perdamaian. Pada tahap ketiga, adalah meluncurkan sebuah rezim

perdamaian di Korea. (Kim, 2006: 37). Tiga tahapan tersebut secara lebih detil

ditampilkan dalam bagan di bawah ini.

Tabel II. A. 1 Implementation Strategy by Stages for Establishment of a Peace

Regime on the Korean Peninsula

Stage 1: Resolution of the North Korean Nuclear Issues and Promotion of Peace

Endeavor to create a breakthrough for a peaceful resolution of the North Korean nuclear

issue

Continue to promote reconciliation and cooperation between South and North Korea and

regularize inter-Korean military talks

Provide a foundation for the firm establishment of peace through inter-Korean summits

and other forums

Create an environment for peace and cooperation in Northeast Asia on the basis of

strengthened diplomatic capabilities

Reach an agreement on the peaceful resolution of the North Korean nuclear issue and

missile issues

Stage 2: Expansion of Inter-Korean Cooperation and Laying the Foundation for a Durable Peace

Regime on the Korean Peninsula

Undertake concrete measures for the implementation of matters agreed upon for the

resolution of the North Korean nuclear and missile issues

Deepen substantive cooperation and promote military confidence-building measures

between the South and the North

Propose and promote an initiative for a forum for peace and cooperation in Northeast

Asia

Page 62: AMELIA FITRIANI.pdf

46

Sumber :Ministry of Unification, Policy of Peace and Prosperity of the Participatory Government,

(March 2004), hal. 1 dalam Jae-nam, Ko. The Policy of Peace and Prosperity and South Korea-

Russia Cooperation.East Asian Review.Vol.16, No. 3, Auntum 2004 hal. 6

Menurut white paper the Ministry of National Defense of the Republic of Korea

(2003: 34), tujuan dari participatory government yang dipimpin oleh Roh Moo-hyun

adalah untuk mendapatkan hal-hal berikut, yakni: demokrasi dengan masyarakat/

democracy with the people, pembangunan masyarakat yang seimbang/a society of

balanced development, and era perdamaian dan kesejahteraan di Asia Timur/era of

peace and prosperity in northeast Asia. Tujuan-tujuan tersebut tergambar dalam

bagan di bawah ini.

Gambar III. 2 Bagan Tujuan dari Participatory Government

Sumber: The ministry of National Defense of the republic of Korea. 2003. Participatory Government

Defense Policy, hal. 34

Stage 3: Conclusion of an Inter-Korean Peace Agreement and Creation of a Durable Peace

Regime

Conclude a South-North Korea peace agreement and secure guarantees for it

Take the various necessary steps following the transition to a peace regime

Promote the formation of an inter-Korean economic community and the reinforcement of

operational arms control

Establish a forum for peace and cooperation in Northeast Asia

Page 63: AMELIA FITRIANI.pdf

47

The Policy of Peace and Prosperity secara umum bertujuan untuk

membangun perdamaian dan kemakmuran di Timur Laut Asia berdasarkan pada

penyelesaian secara damai terhadap permasalahan Korea Utara dan membangun

komunitas ekonomi antar Korea (inter-Korean economic community). Kebijakan

tersebut merupakan strategi pembangunan nasional yang meliputi permasalahan

reunifikasi, kebijakan luar negeri, dan keamanan. Sehingga, bukan hanya

menekankan pada pengembangan sektor ekonomi, tapi juga sektor militer dan

keamanan. Sehingga, dengan kata lain, kebijakan tersebut melakukan pendekatan

keseimbangan antara perdamaian dan kesejahteraan. (The Ministry of National

Defense of the ROK, 2003: 31-32).

Dengan demikian, target utama dari The Policy of Peace and Prosperity

pertama adalah untuk mempromosikan perdamaian di Semenanjung Korea, yang

berarti secara damai menyelesaikan dan menekan isu nuklir Korea Utara, sementara

pada saat yang sama, mengatasi konflik antara Utara-Selatan yang masih

berlangsung. Atas dasar ini, tujuan berikutnya adalah untuk mendirikan sebuah rezim

perdamaian di Semenanjung Korea dengan meningkatkan kerjasama dan

membangun kepercayaan militer antara dua Korea. Tujuan kedua adalah membentuk

kesejahteraan bersama. Jika integrasi ekonomi Korea Selatan dan Korea Utara

direalisasikan, maka akan membuka kemungkinan bahwa perekonomian

semenanjung Korea akan dapat bersatu. Kebijakan pemerintah Roh Moo-hyun

adalah visi untuk meletakkan dasar bagi unifikasi damai, serta sebagai dasar untuk

mengembangkan pusat ekonomi Asia Timur Laut dengan membawa perdamaian ke

semenanjung Korea dan berusaha mencapai kesejahteraan bersama kedua Korea.

(Jae-nam, 2004: 5).

Page 64: AMELIA FITRIANI.pdf

48

B. Instrumen dalam the Policy of Peace and Prosperity

Negara sebagai aktor internasional dalam melakukan interaksi dengan sesama

negara maupun sistem global, memiliki tujuan akhir sesuai dengan bagaimana

perilaku kebijakan luar negeri mereka diarahkan. Untuk mencapai tujuan tersebut,

negara membutuhkan sarana atau dalam istilah hubungan internasional dikenal

dengan istilah instrumen. Dalam the Policy of Peace and Prosperity yang diterapkan

oleh Korea Selatan terhadap Korea Utara juga menggunakan beberapa instrumen

yang digunakan untuk mencapai tujuan Korea Selatan melalui kebijakan tersebut.

Instrumen-instrumen yang digunakan antara lain ialah diplomasi, pemberian

bantuan, dan kerjasama.

1. Diplomasi

Diplomasi dalam konteks kebijakan luar negeri menurut John Baylis dan

Steve Smith (2005: 398) mengacu pada penggunaan diplomasi sebagai instrumen

kebijakan yang memiliki peluang lebih besar karena memiliki hubungan dengan

instrumen lain, seperti kekuatan ekonomi atau militer untuk memungkinkan aktor

internasional dapat mencapai tujuan kebijakannya. Dalam The Policy of Peace and

Prosperity sebagai kebijakan luar negeri Korea Selatan terhadap Korea Utara,

diplomasi yang digunakan antara lain mencakup dua hal, yakni diplomasi ekonomi

dan perdagangan serta diplomasi sosial-budaya.

a. Diplomasi Ekonomi dan Perdagangan (Economic and Trade

Diplomacy)

Page 65: AMELIA FITRIANI.pdf

49

Pemerintah Roh Moo-hyun berupaya meningkatkan hubungan kerjasama

ekonomi melalui penerapan kebijakannya dengan tujuan untuk memicu partisipasi

aktif Korea Utara. Dengan demikian, akan tercipta hubungan timbal-balik yang

saling menguntungkan antar-Korea. Hal tersebut akan mempermudah proses

pencapaian tujuan dari kebijakan Roh Moo-hyun.

Pemerintah Roh percaya bahwa peningkatan dalam rekonsiliasi dan

kerjasama antara Korea Selatan dan Korea Utara penting untuk mengurangi

ketegangan di Semenanjung Korea dan untuk penyelesaian akhir dari masalah nuklir.

Sehingga, pemerintahan Roh berupaya untuk meningkatkan kerjasama ekonomi

antar Korea dengan mendukung proyek kerjasama ekonomi utama, yakni

pembangunan Kaesong Industrial Complex (KIC) serta pengembangan lanjutan dari

Mount Kumgang Torism Zone. (Kim, 2006: 38-39).

1. Kaesong Industrial Complex (KIC)

Komplek Industri Kaesong/Kaesong Industrial Complex (KIC) dihasilkan

dari inisiatif yang dipimpin oleh Hyundai Group (prusahaan swasta Korea Selatan)

pada awal tahun 1998 yang bertepatan dengan Sunshine Policy yang sedang

diterapkan oleh pemerintah terhadap Korea Selatan. KIC terletak sekitar 106 km

sebelah tenggara dari Pyongyang dan 43 km sebelah utara dari Seoul, tepat di

seberang Zona Demiliterisasi (DMZ) di Korea Utara. Tujuan pembangunan KIC

adalah mengembangkan komplek industri yang mampu menampung perusahaan

Korea Selatan untuk menghasilkan produk dan menggunakan tenaga kerja Korea

Utara. Disamping itu juga adalah untuk memberikan peluang bagi Korea Utara untuk

Page 66: AMELIA FITRIANI.pdf

50

meliberalisasi dan reformasi ekonomi, dan meredakan ketegangan di DMZ. (Manyin

dan Nanto, 2011: 5).

Gambar III.3. Peta Kaesong

Sumber:Manyin, Mark E. and Dick KNanto. The Kaesong North-South Korean Industrial Complex.

2011. USA: Congressional Research Service. Hal, 2.

Setelah berbagai perbedaan pendapat pada permasalahan seperti upah pekerja

Korea Utara dan harga lahan, kedua Korea akhirnya mampu memutuskan

kesepakatan secara resmi pada April 2004 (pada masa pemerintahan Roh Moo-hyun

di Korea Selatan) ketika Hyundai Group (dari Korea Selatan) dan Komite

Perdamaian Asia Pasifik (Asia-Pacific Peace Committee/APPC) dari Korea Utara

membentuk kesepakatan pembangunan KIC tersebut. (Kim, 2006: 41).

Meskipun diawali sebagai komplek perusahaan swasta, namun pemerintah

Korea Selatan turut terlibat dalam proyek tersebut dengan cara memberikan intensif

tertentu kepada perusahaan Korea Selatan yang beroperasi di Kaesong. Disamping

Page 67: AMELIA FITRIANI.pdf

51

itu, KIC juga memiliki beberapa keistimewaan lainnya seperti: zona bebas bea, tidak

ada pembatasan pada penggunaan mata uang asing atau kartu kredit, tidak

membutuhkan visa untuk keluar-masuk area, hak kepemilikan poperti dijamin oleh

pemerintah, serta pelanggaran hukum yang dilakukan oleh warga Korea Selatan di

KIC tidak akan diadili di Korea Utara, melainkan di Korea Selatan sesuai dengan

undang-undang yang berlaku di Korea Selatan. (Manyin dan Nanto, 2011: 5-6).

Terkait perkembangan KIC di masa pemerintahan Roh Moo-hyun dapat

dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel. III.B.1 Key Statistics for the Kaesong Industrial Complex

End 2005 End 2006 End 2007

No. of South Korean Manufacturing Firms

11 15 65

Approx. No. of North Korean Workers

6,000 11,000 23,000

Approx. No. of South Korean Workers

n.a 700 800

Annual Production Value

$15 mil. $74 mil. $185 mil.

Exports to 3rd Countries (i.e., not South Korea)

– $20 mil. $40 mil.

Sumber: South Korean Ministry of Unification documents, dalam Manyin, Mark E. and Dick K

Nanto. The Kaesong North-South Korean Industrial Complex. 2011. USA: Congressional Research

Service. Hal, 1

Dari tabel tersebut, dijelaskan bahwa perusahaan swasta Korea Selatan yang

beroperasi di KIC mengalami peningkatan sejak tahun pertama produksi (2005).

Dari semula 11 perusahaan, kemudian meningkat menjadi 15 perusahan pada tahun

2006, dan meningkat drastik pada tahun 2007 menjadi 65 perusahaan. Peningkatan

jumlah perusahaan yang beroperasi di KIC sejalan dengan penyerapan tenaga kerja.

Jumlah tenaga kerja Korea Utara di KIC meningkat sejak tahun 2005 yang berjumlah

Page 68: AMELIA FITRIANI.pdf

52

6.000 orang, menjadi 11.000 orang pada tahun 2006, dan 23.000 orang pada tahun

2007. Jumlah tenaga kerja Korea Utara yang bekerja di KIC jumlahnya lebih dari

sepuluh kali lipat dari pekerja Korea Selatan. Pada tahun 2006, tenaga kerja Korea

Selatan hanya berjumlah 700 orang, dan hanya bertambah 100 orang pada tahun

berikutnya.

Dengan jumlah perusahaan dan pekerja di KIC tersebut, nilai produksi

tahunan yang diterima mencapai $15 juta pada tahun awal produksi, kemudian

meningkat menjadi $74 juta pada tahun 2006, dan $185 juta pada tahun berikutnya.

Sedangkan total ekspor ke negara di luar Korea Selatan adalah sebesar $20 juta pada

tahun 2006, dan $40 juta pada tahun 2007.

Sejak beroperasi pada tahun 2005, jumlah produksi pada perusahaan-

perusahaan yang beroperasi di KIC tersebut mengalami peningkatan, Hal tersebut

tergambar lebih jelas dalam tabel di bawah ini.

Tabel. III.B.2 Production by Category in the Kaesong Industrial Complex

(US $1,000)

Textiles and Clothing

Chemical Products

Metals and Machinery

Electric and Electronic Products

Total

2005

6,780 1,768 5,250 1,108 14,906

2006

27,793 10,900 20,853 14,191 73,737

2007

85,543 18,262 41,947 39,027 184,779

Sumber: ROK, Ministry of Unification documents, dalam Manyin, Mark E. and Dick K Nanto. The

Kaesong North-South Korean Industrial Complex. 2011. USA: Congressional Research Service.

Hal,8

Page 69: AMELIA FITRIANI.pdf

53

Menurut tabel diatas, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di KIC hingga

tahun 2007 antara lain bergerak di bidang tekstik dan pakaian, produk kimia, logam

dan mesin, serta produk listrik dan elektronik. Jenis produk yang lebih banyak

menghasilkan keuntungan dibanding jenis produk lainnya yang diproduksi di KIC

adalah produksi tektil dan pakaian. Pada tahun 2005, jumlahnya mencapai $6,7 juta.

Kemudian mengalami peningkatan lebih dari empat kali lipat pada tahun berikutnya

yang mencapai $27,7 juta, dan $85,5 juta pada tahun 2007.

Menurut Mark E Manyin dan Dick K Nanto (2011:8), semua produk yang

dibuat di KIC yang dikirim ke Korea Selatan untuk dijual di sana atau untuk ekspor.

Negara tujuan ekspor antara lain adalah Uni Eropa, Rusia, dan China.

2. Mountain Kumgang Tourism zone

Menurut situs The National Committee on North Korea advances (ncnk.org

diakses pada 20 Juli 2013), dijelaskan bahwa proyek pariwisata Gunung Kumgang

(Mt. Kumgang tourism zone) pertama kali juga digagas oleh Hyundai Grup pada

masa pemerintahan Kim Dae-jung. Pada tanggal 29 Oktober 1998, Hyundai Grup

dan Korea Utara Komite Perdamaian Asia-Pasifik (Asia-Pacific Peace Committee)

menandatangani perjanjian proyek pariwisata Gunung Kumgang. Kapal pesiar

pertama berangkat ke Gunung Kumgang pada 18 November 1998.

Kemudian di masa pemerintahan Roh Moo-hyun, Hyundai Grup

mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk merevitalisasi proyek pariwisata

Gunung Kumgang tersebut. Setelah debutnya pada tahun 1998, proyek pariwisata

Gunung Kumgang mengalami stagnansi karena adanya penurunan permintaan dan

popularitas program tur. Namun proyek pariwisata gunung Kumgang tersebut

Page 70: AMELIA FITRIANI.pdf

54

menunjukan tanda-tanda revitalisasi setelah Korea Utara setuju untuk menerima

permintaan Korea Selatan untuk membuat program tur darat ke Gunung Kumgang

yang dilakukan pada bulan September 2003. Ketersediaan transportasi darat dari

Korea Selatan ke gunung Kumgang menghidupkan kembali popularitas proyek

pariwisata gunung Kumgang dan membuatnya layak secara finansial. (Kim, 2006:

40).

Tabel III.B.3 Number of South Korean Tourists Visiting Mount

Kumgang

Year Number of Tourists By ship By bus/private car

1998 10,554 10,554 -

1999 148,074 148,074 -

2000 213,009 213,009 -

2001 57,879 57,879 -

2002 84,727 84,727 -

2003 74,334 39,902 34,432

2004 268,420 449 267,971

2005 298,247 - 298,247

2006 243,446 - 243,446

2007 345,006 - 345,006

2008 62,405 - 62,405

Total 1,797,101 554,594 1,242,507

Sumber: Ministry of Unification, 2011 Ministry of Unification, Basic facts about inter-Korean

relations: Humanitarian Cooperation (2011), dalam Govindasamy, Geetha. Kim Dae Jung and The

Sunshine Policy : An Appealing Policy Option for Inter-Korean Relations. Sarjana.Vol. 27. No. 1,

June 2012. Hal, 6

Page 71: AMELIA FITRIANI.pdf

55

Dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa jumlah warga Korea Selatan yang

mengunjungi Gunung Kumgang antara tahun 1998 hingga 2002 (ketika masa

pemerintahan Kim Dae-jung) terbesar terjadi pada tahun 2000, yakni sebanyak

213,009 orang pengunjung. Kunjungan yang dilakukan pun hanya terbatas melalui

jalur air (dengan kapal laut). Namun adanya pembangunan transportasi darat ke

Gunung Kumgang di masa pemerintahan Roh Moo-hyun, membuat jumlah

pengunjung Gunung Kumgang meningkat. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun

2007, yakni sebanyak 345,006. .Adanya akses darat menuju gunung Kumgang

membuat akses laut kurang diminati (pada tahun 2004, hanya terdapar 449

pengunjung yang menggunakan akses laut), sehingga membuat akses laut menuju

Gunung Kumgang tidak lagi digunakan sejak tahun 2005.

b. Socio-cultural Diplomacy

Selain melalui kerjasama ekonomi dan perdagangan, the Policy of Peace and

Prosperity juga diarahkan untuk meningkatkan hubungan baik dengan Korea Utara

melalui diplomasi sosial dan budaya. Salah satunya adalah melalui pertemuan

keluarga yang terpisah.

1. Pertemuan Keluarga yang Terpisah

Adanya pembagian Korea menjadi dua wilayah negara yang berbeda pasca

Perang Dunia II bukan hanya memisahkan kedua wilayah, yang semula satu, secara

teritori dan politik, tapi juga turut memisahkan banyak warga Korea itu sendiri.

Sejak pembagian Korea menjadi dua wilayah negara, banyak keluarga yang harus

terpisah ke dua negara yang berbeda. Hal tersebut melatarbelakangi pemerintah

Page 72: AMELIA FITRIANI.pdf

56

Korea Selatan untuk melakukan pertemuan keluarga yang terpisah antara warga

Korea Selatan dan Korea Utara. Menurut Geetha Govindasamy (2012: 8), pertemuan

keluarga yang terpisah pertama kali dilakukan pada tahun 1985. Kemudian

pertemuan tersebut dilakukan kembali pasca terjadinya Korean Summit pada tahun

2000 (pada masa pemerintahan Kim Dae-jung), dan terus dilanjutkan pada

pemerintahan Roh Moo-hyun.

Pertemuan kembali keluarga yang terpisah tersebut dilakukan melalui dua

metode, yakni tatap muka dan konferensi melalui video. Pertemuan ini biasanya

diadakan di markas Palang Merah Korea Selatan (South Korean Red Cross

headquarters), daerah wisata Gunung Kumgang atau pusat reuni (reunion centers) di

Korea Utara. (Govindasamy, 2012: 8). Jumlah keluarga yang dapat kembali

dipertemukan sejak tahun 1985 dan 2000-2007 dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel III.B.4 Number of families involved in face to face family reunions and

video conferences (1985, 2000-2007)

Method of

Reunion

Families from South

Korea

Families from North

Korea

Total

Face to face 1.683 1.695 3.378

Video conferences 279 278 557

Total 1.962 1.973 3.935

Sumber : Ministry of Unification, Basic facts about inter-Korean relations: Humanitarian

Cooperation (2011), dalam Govindasamy, Geetha. Kim Dae Jung and The Sunshine Policy :

An Appealing Policy Option for Inter-Korean Relations. Sarjana.Vol. 27. No. 1, June 2012.

Hal, 8

Page 73: AMELIA FITRIANI.pdf

57

Dalam tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa jumlah keluarga yang berhasil

ditemukan melalui metode tatap muka (baik keluarga dari Korea Selatan maupun

Korea Utara) jumlahnya adalah 3.378 keluarga. Sementara itu, jumlah keluarga yang

berhasil dipertemukan kembali melalui metode konferensi video jauh lebih sedikit,

yaitu 557 keluarga. Dengan demikian, jumlah keseluruhan keluarga yang dapat

dipertemukan kembali sepanjang tahun 1985, 2000-2007 adalah 3.935 keluarga.

2. Pawai Bersama pada Olimpiade

Pasca Korean Summit tahun 2000, dunia internasional memberikan pengakan

terhadap pentingnya pertemuan untuk merundingkan perdamaian di semenanjung

Korea. Hal tersebut dimunculkan dalam bentuk penghargaan berupa Peace Prize

Nobel yang diberikan kepada Kim Dae-jung pada tahun yang sama. Sementara itu, di

dalam negeri Korea Selatan, menurut Geetha Govindasamy (2012: 9), Korean

Summit membawa kesadaran bagi masyarakat bahwa mereka berbagi kebangsaan,

etnis, bahasa, dan budaya yang sama dengan Korea Utara. Hal tersebut salah satunya

memunculkan gerakan simbolik dalam bidang olahraga. Tiga bulan setelah Korean

Summit berlangsung, para atlet dan pejabat Korea Utara melakukan pawai bersama

dengan para atlet dan pejabat Korea Selatan pada upacara pembukaan Olimpiade

Sydney tahun 2000. Gerakan simbolik tersebut tidak hanya menunjukkan

kekerabatan, namun juga meredam persepsi Korea Utara sebagai ancaman. Pawai

bersama yang dilakukan oleh para atlet dan pejabat Korea Utara dengan korea

Selatan juga kembali terjadi pada Olimpiade Musim Panas tahun 2004 di Athena dan

Olimpiade Musim Dingin tahun 2006 di Turin, ketika masa pemerintahan Roh Moo-

hyun di Korea Selatan.

Page 74: AMELIA FITRIANI.pdf

58

2. Pemberian Bantuan

Sejak tahun 1995, yakni masa pemerintahan Kim Young Sam, pemerintah

Korea Selatan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) telah mengirimkan

beberapa bantuan kepada Korea Utara dalam bentuk sumbangan, makanan dan

pupuk. Kemudian pada masa Kim Dae-jung, hingga Roh Moo-hyun, jumlah total

bantuan yang diberikan oleh pemerintah Korea Selatan terhadap Korea Utara

mengalami peningkatan. (Govindasamy, 2012: 7-8). Hal tersebut dapat dilihat lebih

jelas dalam tabel di bawah ini.

Tabel III.B.5 South Korea’s Humanitarian Aid to North Korea (in US$

million)

Sector Kim Young Sam

1993-1998

Kim Dae Jung

1998-2003

Roh Moo Hyun

2003-2008

Total

Government 26,172 49,977 140,253 216,402

Private 2,236 19,125 43,246 64,607

Total 28,408 69,102 183,500 281,010

Sumber : Ministry of Unification, Basic facts about inter-Korean relations: Humanitarian

Cooperation (2011), dalam Govindasamy, Geetha. Kim Dae Jung and The Sunshine Policy :

An Appealing Policy Option for Inter-Korean Relations. Sarjana.Vol. 27. No. 1, June 2012.

Hal, 8.

Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa bantuan kemanusiaan yang

diberikan oleh Korea Selatan terhadap Korea Utara sejak masa pemerintahan Kim

Young Sam dilakukan melalui sektor pemerintahan maupun swata/LSM. Jumlah

bantuan kemanusaiaan baik yang diberikan melalui pemerintah maupun swasta

mengalami peningkatan drastis pada masa pemerintahan Roh Moo-hyun, yakni dari

Page 75: AMELIA FITRIANI.pdf

59

$28,408 pada masa pemerintahan Kim Yong Sam dan $69,102 pada masa

pemerintahan Kim Dae Jung, menjadi $183,500 pada masa pemerintahan Roh Moo

Hyun. Dari total tersebut, sumber bantuan terbesar berasal dari pemerintah, yakni

sebesar $140,253.

Menurut Govindasamy (2012: 7-8), pemberian bantuan yang diberikan

tersebut merupakan salah satu intrumen dalam the Policy of Peace and Prosperity.

Sementara itu, menurut Hong Nack, Kim (2006: 38-39) peningkatan pemberian

bantaun ekonomi dan kemanusiaan yang dilakukan Korea Selatan terhadap Korea

Utara dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi ketegangan pada Semenanjung

Korea.

C. Six-Party Talks

Pembicaraan Enam Pihak atau Six-Party Talks merupakan salah satu

instrumen yang juga dimanfaatkan oleh pemerintah Roh Moo-hyun dalan

menerapkan kebijakannya. Munculnya Six-Party Talks tidak dapat dipisahkan oleh

latar belakang pembentukannya. Six-Party Talks hadir setelah berbagai rangkaian

kejadian terjadi dalam dinamika hubungan Korea Utara dan Amerika Serikat

terutama mengenai keberlangsungan Agreed Framework 1994 pasca pergantian

kepemimpinan di Amerika Serikat pada tahun 2001 yang turut membawa perubahan

bagi kebijakan terhadap Korea Utara. Hubungan Korea Utara-Amerika Serikat

tersebut juga turut menyeret kepentingan Korea Selatan, sebagai negara tetangga,

untuk terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, penulis memulai pembahas mengenai

Six-Party Talks sejak pembentukan Agreed Framework 1994.

Page 76: AMELIA FITRIANI.pdf

60

1. Agreed Framework 1994 dan Nuklir Korea Utara

Pada tanggal 23 September hingga 21 Oktober 1994 berlangsung

perbincangan antara Korea Utara dengan Amerika Serikat di Jenewa, Swiss

membahas mengenai masalah nuklir di Semenanjung Korea. Perbincangan tersebut

menghasilkan kesepakatan bersama yang lebih dikenal dengan Agreed Framework

1994.

Menurut data yang dipublikasikan di situs resmi International Atonomic

Energy Agency (IAEA), dalam Agreed Framework 1994 tersebut disepakati bahwa

Korea Utara akan membekukan program pengembangan nuklir miliknya serta

mengijinkan pihak IAEA untuk melakukan pemantauan rutin di Korea Utara.

Sebagai gantinya, Amerika Serikat akan mengirimkan bantuan antara lain berupa

pembangunan reaktor air ringan di Korea Utara yang dijadwalkan selesai pada tahun

2003. Selain itu Amerika juga akan mengirimkan bantuan berupa bahan bakar

minyak ke Korea Utara untuk penghangat di musim dingin dan juga untuk

pembangkit tenaga listrik. Dalam perjanjian disebutkan bahwa sekitar 500.000 ton

bahan bakar minyak dikirimkan oleh Amerika Serikat ke Korea Utara setiap

tahunnya.

Selain itu, dalam Agreed Framework 1994 juga disepakati mengenai

peningkatan kerjasama antara Korea Utara dan Amerika Serikat. Kedua belah pihak

sepakat bahwa mereka akan melakukan upaya normalisasi hubungan politik dan

ekonomi, menciptakan perdamaian dan keamanan di Semenanjung Korea, serta

memperkuat rezim internasional terhadap non-poliferasi nuklir. (Isi Agreed

Framework 1994 selengkapnya terdapat pada lampiran II).

Page 77: AMELIA FITRIANI.pdf

61

Penerapan Agreed Framework 1994 tersebut kemudian mengalami jalan

buntu ketika Amerika Serikat mengalami pergantian kepemimpinan, dari Presiden

Bill Clinton ke Presiden George W Bush pada tahun 2001.

Menurut situs Center for Nonproliferation Studies (CNS, 2012: 6) yang

diakses pada tanggal 29 Agustus 2013 (terdapat pada lampiran III), pergantian

kepemimpinan Amerika Serikat tersebut membawa kekhawatiran bagi Korea Utara

akan perubahan kebijakan Amerika Serikat terdahulu. Pada awal kepemimpinanya,

Presiden Bush sempat melakukan kajian komprehensif terhadap kebijakanya ke

Korea Utara. Kemudian pada 13 Juni 2001, Amerika Serikat memutuskan untuk

melanjutkan kembali perundingan dalam kerangka Agreed Framework 1994 dengan

Korea Utara setelah melakukan pertemuan dengan utusan Korea Utara untuk PBB di

New York.

Namun kebijakan Amerika Serikat tersebut tidak berlangsung lama. Sikap

Presiden Bush berubah terhadap Korea Utara setelah terjadi peristiwa 9/11 pada

akhir tahun 2001 di Amerika Serikat. Menyusul kejadian tersebut, dalam pidato

resmi Presiden Bush pada 29 Januari 2002, Amerika Serikat secara sepihak

menyebut bahwa Korea Utara merupakan poros setan (Axis of Evil), bersama

dengan Iran dan Irak yang menurut klaim Amerika Serikat merupakan negara-negara

yang terdindikasi memiliki senjata nuklir berbahaya. (CNS, 2012: 5-6).

Tudingan negatif yang dinyatakan sepihak oleh Amerika Serikat terhadap

Korea Utara membawa keresahan bagi Korea Selatan, karena mengancam

keberlangsungan Agreed Framework 1994 yang dapat membawa peluang ancaman

bagi perdamaian di Semenanjung Korea.

Page 78: AMELIA FITRIANI.pdf

62

Oleh karena itu, Korea Selatan yang pada saat itu masih berada di bawah

pemerintahan Kim Dae-jung melakukan berbagai upaya untuk membahas

kemungkinan dimulainya kembali perundingan Amerika Serikat dengan Korea

Utara. Menurut Center for Nonproliferation Studies (2012: 6), Pembantu Presiden,

Lim Dong Won melakukan pertemuan dengan pejabat Korea Utara termasuk

Pemimpin, Kim Jong-il yang kemudian setuju untuk melakukan pertemuan dengan

Diplomat Amerika Serikat Jack Pritchard. Namun pertemuan tersebut tidak

menghasilkan kesepakatan. Pasalnya Korea Utara menuntut agar Amerika Serikat

merampungkan pembangunan Reaktor Air Ringan yang berdasarkan pada Agreed

Framework 1994 dijadwalkan rampung pada tahun 2003. Namun Amerika Serikat

menuntut bahwa pembangunan Reaktor Air Ringan tersebut akan dilakukan setelah

tim IAEA selesai melakukan pemeriksaan persenjataan Nuklir di Korea Utara yang

akan memakan waktu selama 3-4 tahun. Korea Utara menolak usulan tersebut.

Kemudian, Amerika Serikat melakukan kunjungan lanjutan ke Korea Utara

pada 3-5 Oktober 2002. Pasca kunjungan tersebut, Asisten Menteri James A. Kelly

dan delegasinya mengklaim bahwa Korea Utara tengah menjalankan program

pengayaan uraniumnya. Klaim tersebut mendapatkan sambutan negatif dari Korea

Utara yang pada akhir Oktober menonaktifkan dan melarang dilanjutkannya inspeksi

IAEA.

Atas tindakan Korea Utara tersebut, Presiden Bush merespon dengan

pernyataanya pada 14 November 2002 yang menyatakan bahwa pengiriman kapal

bermuatan bahan bakar minyak bagi Korea Utara (seperti ketentuan yang tertulis

dalam Agreed Framework 1994) yang dilakukan pada tahun itu merupakan

pengiriman terakhir jika Korea Utara tidak menghentikan program nuklirnya.

Page 79: AMELIA FITRIANI.pdf

63

Klaim, tudingan, dan ancaman sepihak yang dilancarkan Amerika Serikat

tersebut membuat Korea Utara meningkatkan kewaspadaanya serta sikap agresifnya.

Sebagai respon atas pernyataan Presiden Bush, Korea Utara mengusir inspektur

IAEA dan membuka kembali fasilitas nuklir miliknya pada akhir tahun 2002. (CNS,

2012: 6).

Kemudian pada 10 Januari 2003, Korea Utara mengundurkan diri dari

keanggotaanya di Nuclear Non-Poliferation Treaty (NPT) dan kembali mengaktifkan

reactor nuklirnya di Yongbon dengan tujuan untuk memproduksi listrik (yang

sebelumnya mengandalkan bantuan minyak mentah Amerika Serikat untuk

pembangkit listrik). Meskipun Korea Utara menjamin penggunaan reaktor nuklirnya

untuk program damai, namun IAEA tetap melaporkan kasus tersebut sebagai

ancaman ke Dewan Keamanan PBB pada 12 Februari 2003. (CNS, 2012: 5).

Pada bulan yang sama, Amerika Serikat dengan segera merespon sikap Korea

Utara dengan mengumumkan bahwa pihaknya akan melakukan latihan militer

bersama pada bulan Maret dengan Korea Selatan (yang pada saat itu tengah

melakukan selebrasi atas dilantiknaya presiden baru Korea Selatan, Roh Moo-hyun).

Masa awal pemerintahan Roh Moo-hyun pun disambut dengan peluncuran misil

Korea Utara pada 24 Februari dan 10 Maret 2003, sebagai bentuk reaksi atas sikap

Amerika Serikat. (CNS, 2012: 5).

2. Pembentukan dan Tujuan Six Party Talks

Pasca peluncuran misil yang dilakukannya, menurut Center for

Nonproliferation Studies (2012: 5), Korea Utara pada 12 April 2003 secara resmi

mengindikasikan keinginannya untuk membuka kembali pembicaraan multilateral.

Page 80: AMELIA FITRIANI.pdf

64

Cina kemudian menjadi penengah serta tuan rumah atas Pertemua Tiga Pihak

(Three-Party Talks) antara Amerika Serikat, Korea Utara dan Cina. Namun tidak ada

kesepakatan yang dihasilkan dari perundingan tersebut.

Perundingan kembali dilakukan, namun dengan melibatkan tiga pihak lain,

yakni Rusia, Jepang dan Korea Selatan. Perundingan tersebut kemudian dikenal

dengan istilah Six Party-Talks.

Secara ringkas, menurut Pang Zhongying (2009:4), Profesor hubungan

internasional di Renmin University of China, Six Party talks dapat dipahami sebagai

berikut:

a. Sebuah proses menanggapi dan mengelola krisis nuklir atau isu nuklir Korea

Utara

b. Sebuah cara diplomatik untuk mencapai penyelesaian damai masalah nuklir

c. Sebuah proses membangun saling kepercayaan dan keyakinan

d. Sebuah proses negosiasi yang memakan waktu dengan kemajuan bertahap

e. Eksplorasi mekanisme keamanan multilateral untuk kerjasama keamanan

regional.

Sementara itu, secara garis besar, tujuan utama yang ingin dicapai dari

terbentuknya Six Party Talks adalah:

a. Menyelesaikan denuklirisasi semenanjung Korea

b. Secara resmi mengakhiri Perang Korea dengan perjanjian damai

Page 81: AMELIA FITRIANI.pdf

65

c. Membangun sebuah mekanisme regional (di luar Asia Timur Laut) untuk

memelihara perdamaian, stabilitas dan kemakmuran di abad ke-21.

(Zhongying, 2009:4)

3. Pelaksanaan Six Party Talks Periode 2003-2007

Menurut Center for Nonproliferation Studies (2012: 5), Six Party Talks pada

putaran pertama (27-29 Agustus 2003), putaran kedua (25-28 Februari 2004), dan

putaran ketiga (23-26 Juni 2004) belum menunjukan hasil maupun keputusan jelas

mengenai permasalahan nuklir di Semenanjung Korea.

Six Party Talks baru menemukan pergerakan yang jelas pada putaran

keempat. Putaran keempat Six Party Talks dilakukan dalam dua tahap, yakni dari 27

Juli-7 Agustus 2005 yang tidak menemukan kesepakatan yang jelas dan tahap kedua

yang dilakukan pada 13-19 September 2005 yang menghasilkan ‘pernyataan prinsip’

yang ditandatangani oleh Korea Utara. Pernyataan prinsip tersebut salah satunya

adalah menuntut Korea Utara untuk meninggalkan kembali program nuklirnya dan

kembali bergabung dengan NPT. Dengan demikian, Amerika Serikat akan

melanjutkan pembangunan reaktor air ringan.

Namun penerapan ‘pernyataan prinsip’ tersebut ditunda akibat sikap Amerika

Serikat yang secara sepihak membekukan aset Korea Utara di Banco Delta Asia

karena diklaim terlibat dalam pencucian uang terkait masalah nuklir Korea Utara.

Tindakan tersebut kembali memicu respon negatif dari Korea Utara dengan menolak

untuk kembali kepada perundingan dan memulai kembali pembangunan reaktor

nuklir miliknya. (CNS, 2012: 5).

Page 82: AMELIA FITRIANI.pdf

66

Six Party Talks mengalami stagnansi yang kemudian disusul dengan tindakan

Korea Utara yang melakukan tes pertama atas perangkat nuklir miliknya pada 9

Oktober 2006. Namun kemudian dengan bantuan negosiasi Cina, Korea Utara

kembali dalam Six Party Talks pada Novenber (tahap pertama) dan Desember (tahap

kedua) 2006. Di mana para pihak menegaskan kembali pernyataan prinsip (yang

pernah dibahas pada tahun 2005) yang kemudian dibahas lebih lanjut pada

pertemuan tahap ketiga pada tahun 2007.

Pada tahap ketiga perundingan pada 13 Februari 2007, Korea Utara

menyepakati ‘rencana aksi’ yang didasarkan pada pernyataan prinsip tahun 2005.

Berdasarkan kesepakatan itu, Korea Utara akan menutup fasilitas nuklirnya di

Yongbyon dalam waktu 60 hari dengan imbalan sebanyak 50.000 ton bantuan bahan

bakar. Selanjutnya, sesuai dengan tahap kedua Rencana Aksi, yang lain 950.000 ton

bahan bakar minyak akan disampaikan bersama dengan bantuan ekonomi, energi,

dan kemanusiaan lainnya jika Korea Utara menonaktifkan program senjata

nuklirnya.

Kemudian pada tanggal 19 Maret 2007 aset Korea Utara di Banco Delta Asia

dirilis dan kembali dapat dicairkan. Kemudian pada tanggal 14 Juli, IAEA

menegaskan penutupan fasilitas nuklir Yongbyon di Korea Utara. Pada bulan

Oktober 2007, Six Party Talks sepakat untuk Rencana Aksi tahap kedua yang

menyerukan Korea Utara untuk menonaktifkan fasilitas nuklir utamanya di

Yongbyon dan selanjutnya menyerahkan deklarasi penuh bahwa Korea Utara telah

menonaktifkan seluruh program nuklirnya pada 31 Desember 2007.

Page 83: AMELIA FITRIANI.pdf

67

4. Second Korean Summit

Menurut situs Global Asia yang penulis akses pada 2 Agustus 2013, Korean

Summit kedua dilakukan pada tanggal 2-4 Oktober 2007. Roh Moo-hyun

mendatangi Korea Utara melalui jalan darat. Dalam Korea Summit tersebut

kedua Korea menandatangani 45 kesepakatan mengenai penyelesaian

permasalahan Semenanjung Korea, terutama dalam hal perdamaian,

rekonsiliansi dan kesejahteraan bersama, serta pertukaran dan unifikasi

bersama.

Page 84: AMELIA FITRIANI.pdf

68

BAB IV

PENERAPAN THE POLICY OF PEACE AND PROSPERITY

Dalam bab ini, penulis melakukan analisa serta mengelaborasi mengenai

penerapan dari the Policy of Peace and Prosperity yang dijalani oleh pemerintah Roh

Moo-hyun. Pembahasan dalam bab ini adalah terkait instrumen kebijakan luar negeri

yang digunakan. Penulis melakukan analisa terhadap penerapan kebijakan Roh Moo-

hyun dengan menggunakan tiga konsep teori utama yang telah dibahas pada bab pertama,

yakni kebijakan luar negeri, diplomasi, dan bantuan luar negeri.

A. Penerapan the Policy of Peace and Prosperity di Masa Pemerintahan Roh Moo-

hyun

Kebijakan luar negeri menurut Howard Lentner (dalam Jemadu, 2008: 65) harus

mencakup tiga elemen dasar, yaitu: penentuan tujuan yang hendak dicapai, pengerahan

sumber daya atau instrumen untuk mencapai tujuan tersebut, dan pelaksaan dari

kebijakan yang terdiri dari rangkaian tindakan dengan secara aktual menggunakan

sumber daya yang sudah ditetapkan.

The Policy of Peace and Prosperity sebagai kebijakan luar negeri yang resmi

dijalankan oleh pemerintahan Korea Selatan terhadap Korea Utara juga mencakup ketiga

elemen yang dikonsepkan oleh Howard Lenter tersebut. Elemen pertama adalah

penentuan tujuan yang hendak dicapai. Menurut white paper dari the Policy of Peace and

Page 85: AMELIA FITRIANI.pdf

69

Prosperity (dalam The Ministry of National Defense of the Republic of Korea, 2003: 31-

32) tujuan kebijakan tersebut secara umum yakni untuk membangun perdamaian dan

kemakmuran di Timur Laut Asia berdasarkan pada penyelesaian secara damai terhadap

permasalahan Korea Utara dan membangun komunitas ekonomi antar Korea. Dengan

kata lain, tujuan yang ingin dicapai bukan hanya dalam sektor ekonomi, tapi juga dalam

sektor militer/keamanan. Kebijakan tersebut menekankan pada pendekatan keseimbangan

antara perdamaian dan kesejahteraan.

Elemen kedua dalam kebijakan luar negeri adalah pengerahan sumber daya atau

instrumen untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam menjalankan kebijakannya, pemerintah

Roh Moo-hyun mendasarkan kebijakannya pada visi yang ditujukan untuk membentuk

Semenanjung Korea yang damai dan sejahtera. Kebijakanya tersebut meliputi kerjasama

politik, ekonomi dan keamanan antara Korea Selatan dan Korea Utara. (Kim, 2006: 37).

Elemen terakhir dalam kebijakan luar negeri yang dikonsepkan oleh Howard

Lentner adalah pelaksaan dari kebijakan yang terdiri dari rangkaian tindakan dengan

secara aktual menggunakan sumber daya yang sudah ditetapkan. Dalam pelaksanaanya,

the Policy of Peace and Prosperity mengikuti empat prinsip dasar yang telah diulas

dalam bab sebelumnya, yakni: menggunakan dialog sebagai sarana untuk menyelesaikan

semua masalah yang tertunda, membangun rasa saling percaya dan menjaga hubungan

timbal-balik, mempromosikan kerjasama internasional pada prinsip-prinsip partisipasi

langsung dan timbal-balik, serta meningkatkan transparansi, memperluas partisipasi

warga, dan mengamankan dukungan bipartisan. (In-duk, 2003: 5-6). Sementara itu dalam

Page 86: AMELIA FITRIANI.pdf

70

pelaksannya, the Policy of Peace and Prosperity menggunakan instrumen kebijakan

sebagai sarana untuk mencapai tujuan nasionalnya.

B. Instrumen dalam The Policy of Peace and Prosperity

Berdasarkan empat prinsip utama dari the policy of peace and prosperity,

pemerintah Roh Moo-hyun menekankan penggunaan diplomasi sebagai instrumen utama

yang digunakan dalam penerapan kebijakannya. Diplomasi dalam konteks kebijakan luar

negeri menurut John Baylis dan Steve Smith (2005: 398-399) mengacu pada penggunaan

diplomasi sebagai instrumen kebijakan yang memiliki peluang lebih besar karena

memiliki hubungan dengan instrumen lainya, seperti kekuatan ekonomi atau militer

untuk memungkinkan aktor internasional dapat mencapai tujuan kebijakannya. Secara

garis besar, terdapat tiga jenis instrumen kebijakan yang digunakan dalam kebijakan luar

negeri, yakni penggunaan angkatan militer, penggunaan langkah-langkah ekonomi, dan

subversi.

Pemerintah Roh Moo-hyun dalam kebijakannya cenderung menerapkan

instrument kedua dari tiga jenis instrumen yang dikonsepkan tersebut, yakni penggunaan

langkah-langkah ekonomi. Dalam penerapan kebijakannya, ia meningkatkan kerjasama

ekonomi, maupun pemberian bantuan terhadap Korea Utara. Perningkatan hubungan

ekonomi antara Korea Selatan dengan Korea Utara dilakukan bukan hanya untuk

mengurangi permasalahan ekonomi di Korea Utara, tapi juga untuk memoderatori

perubahan perilaku dan kebijakan Korea Utara terhadap dunia internasional. Upaya

peningkatan kerjasama ekonomi tersebut antara lain dilakukan melalui pembangunan

Kaesong Industrial Complex (KIC) dan melanjutkan pengenbangan Gunung Kumgang.

Page 87: AMELIA FITRIANI.pdf

71

Melalui KIC, pemerintah Roh Moo-hyun terlibat salah satunya melalui pemberian

bantuan/insentif kepada perusahaan-perusahaan swata Korea Selatan yang beroperasi di

Kaesong yang bertujuan untuk merangsang para pemilik modal agar mau menanamkan

modalnya di KIC, dengan demikian maka akan turut mengembangkan KIC. Pemberian

insentif terhadap perusahaan Korea Selatan di KIC dilakukan dengan menggunakan

anggaran negara. Proyek KIC tersebut menunjukkan hasil seperti ketika pada tahun 2007,

sebanyak 65 perusahaan swasta milik Korea Selatan beroperasi di Kaesong dengan

mempekerjakan sebanyak 23,000 pekerja Korea Utara dan menghasilkan keuntungan

$185 juta dalam satu tahun.

KIC merupakan perusahaan bersama antara Korea Utara dengan Korea Selatan.

Menurut analisa penulis, KIC merupakan elemen yang mampu menjadi penengah dari

kedua Korea melalui pendekatan ekonomi dan perdagangan. KIC di satu sisi memberikan

keuntungan bagi Korea Selatan karena dengan memberikan modal serta teknologinya ke

KIC, perusahaan-perusahaan Korea Selatan dapat menekan biaya produksi seperti upah

pekerja dan sewa lahan. Di sisi lain, Korea Utara juga mendapatkan nilai ekonomis,

karena dengan beroperasinya KIC, tenaga kerja Korea Utara dapat terserap dan menekan

angka pengangguran di Korea Utara.Seperti yang dapat dilihat pada tabel III.B.1

(Halaman 53), bahwa jumlah tenaga kerja yang lebih banyak mengoperasikan persahaan-

perusahaan di KIC adalah berasal dari Korea Utara. Seperti data pada tahun 2007 yang

menyebutkan bahwa jumlah pekerja Korea Utara yang bekerja di KIC berjumlah 23,000

pekerja. Jumlah yang lebih besar daripada pekerja dari Korea Selatan yang hanya

berjumlah 800 pekerja.

Page 88: AMELIA FITRIANI.pdf

72

Akan tetapi, menurut penulis, KIC pada masa pemerintahan Roh Moo-hyun

belum memiliki dasar hukum atau upaya membentuk dasar hukum yang kuat. Sehingga

pasca pemerintahannya, proses produksi di KIC terganggu dengan hubungan Korea

Selatan-Korea Utara yang belum stabil. Sehingga ketika terjadi ketegangan terutama

dalam hal militer atau senjata nuklir, perusahaan-perusahaan di KIC bisa tiba-tiba

dibekukan untuk beroperasi. Sehingga hal tersebut mengganggu produksi barang yang

juga berpengaruh pada kepercayaan pihak lain terhadap produksi barang dari KIC yang

dapat berhenti setiap saat. Upaya membentuk dasar hukum yang kuat di KIC muncul

baru-baru ini (September 2013) dimana Korea Selatan dan Korea Utara melakukan

perjanjian pembukaan kembali KIC (setelah ditutup sejak Maret 2013) dan sepakat untuk

melakukan upaya menarik invenstor asing untuk menanam modal di KIC. Bagi Korea

Selatan, upaya tersebut penting dilakukan agar memberkuat dasar hukum KIC, sehingga

Korea Utara tidak lagi dapat membekukan KIC secara sepihak.

Selain KIC, pemerintah Roh juga melakukan upaya revitalisasi Gunung Kumgang

yang terletak di Korea Utara, dan berbatasan langsung dengan Korea Selatan. Revitalisasi

yang dilakukan oleh pemerintah Roh Moo-hyun antara lain adalah dengan menyediakan

akses transportasi melalui jalan darat, dan menghapus jalur laut yang selama ini biasa

digunakan oleh warga Korea Selatan untuk menuju ke Gununng Kumgang. Revitalisasi

ini, menurut penulis, merupakan salah satu gerakan simbolis dari Korea Selatan untuk

melakukan pendekatan terhadap Korea Utara. Gunung Gumgang secara geografis berada

di perbatasan yang langsung dapat terhubung ke wilayah Korea Selatan. Disamping itu,

Gunung Kumgang juga merupakan salah satu tempat dilakukannya pertemuan kembali

keluarga yang terpisah, yang merupakan program antara Korea Selatan dengan Korea

Page 89: AMELIA FITRIANI.pdf

73

Utara. Dengan demikian, adanya revitalisasi di Gunung Kumgang yang didukukung

pemerintahan Roh Moo-hyun merupakan simbol dari adanya keinginan dari Korea

Selatan untuk mempererat kembali hubungan kekeluargaanya dengan Korea Utara.

Revitalisasi Gunung Kumgang tersebut menurut penulis, memberikan dampak

positif bagi kedua belah pihak. Karena Korea Utara dapat terbantu dengan

meningkatkanya nilai jual Gunung Kumgang dapat menarik wisatawan (terutama yang

berasal dari Korea Selatan) untuk berkunjung. Peningkatan pengunjung tersebut dapat

merangsang pembangunan perekonomian masyarakat Korea Utara di sekitar Gunung

Kumgang dengan menyediakan fasilitas-fasilitas yang dapat pendukung bagi wisatawan.

Sementara itu, bagi Korea Selatan, Gunung Kumgang dapat menjadi lokasi wisata

alternatif.

Disamping diplomasi yang dilakukan melalui ekonomi, pemerintah Roh Moo-

hyun juga menerapak diplomasi sosial kebudayaan. Salah satunya adalah dengan

melanjutkan program pemerintah sebelumnya, yakni melakukan pertemuan kembali

keluarga yang terpisah. Hal tersebut, menurut pendapat penulis, selain ditujukan untuk

mempererat kembali jalinan keluarga yang sempat terpisah karena pembagian nasional

Korea, juga dimaksudkan untuk mempererat hubungan baik dengan Korea Utara melalui

tindakan kemanusiaan. Selain itu juga, pertemuan keluarga yang terpisah ditujukan untuk

memunculkan citra positif Korea Selatan bagi Korea Utara.

Dengan adanya program pertemuan kembali keluarga yang terpisah, menurut

penulis, Korea Selatan berupaya melakukan pendekatan secara kekeluargaan dengan

menunjukkan identitas mereka. Identitas yang penulis maksudkan disini adalah hubungan

Page 90: AMELIA FITRIANI.pdf

74

Korea Utara dengan Korea selatan yang merujuk pada sejarah merupakan sebuah wilayah

yang satu, tempat dimana satu ‘keluarga’ dulu bersatu. Namun karena adanya pembagian

kedua Korea tersebut, maka keluarga yang satu itupun harus terpisah. Sehingga program

pertemuan kembali keluarga yang terpisah ini, menurut penulis, merupakan pendekatan

historis yang berupa mengingatkan kembali baik kepada Korea Utara maupun dunia

internasional, bahwa kedua Korea berasal dari satu keluarga yang sama.

Selain melalui pertemuan kembali keluarga yang terpisah, indikasi penerapan

kebijakan pemerintah Roh Moo-hyun juga dapat dilihat melalui gerakan simbolik berupa

pawai yang dilakukan bersama ketika Olimpiade 2004 dan 2006. Menurut pedapat

penulis, gerakan simbolik berupa pawai bersama yang dilakukan kedua Korea

menunjukkan upaya kedua Korea yang pada saat itu sama-sama terlibat dalam olimpiade,

bahwa antara kedua Korea memiliki semangat persatuan kembali yang ditunjukkan

kepada dunia internasional melalui olimpiade dengan cara melakukan pawai bersama,

seolah mereka merupakan satu bangsa.

Selain kerjasama ekonomi, Pemerintah Roh Moo-hyun juga meningkatkan

bantuan ekonomi dan kemanusiaan terhadap Korea Utara sebagai instrumen penggerak

kebijakannya. Menurut Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani (2005:

81), bantuan luar negeri merupakan salah satu instrumen kebijakan yang sering

digunakan dalam hubungan luar negeri. Secara umum, bantuan luar negeri dapat

didefinisikan sebagai transfer sumber daya dari satu pemerintahan ke pemerintah lain

yang dapat berbentuk barang atau dana.

Page 91: AMELIA FITRIANI.pdf

75

Berdasarkan teori ketergantungan (dependensia) yang dikonsepkan oleh Pearson,

Fredick S, dan Simon Payaslian (dalam Perwita dan Yani, 2005: 81- 82) menyatakan

bahwa bantuan luar negeri digunakan oleh negara kaya untuk mempengaruhi hubungan

domestik dan luar negeri negara penerima bantuan, merangkul elit politik lokal di negara

penerima bantuan untuk tujuan komersil dan keamanan nasional. Pemerintah Roh Moo-

hyun meningkatkan pemberian bantuan ekonomi dan kemanusiaan terhadap Korea Utara

dengan tujuan untuk mengikatkan hubungan baik dengan Korea Utara dan secara

persuasif berupaya mengubah sikap agresif Korea Utara terkait isu nuklir dan keamanan

Semenanjung Korea.

Fakta yang penulis temukan dalam penelitian ini adalah bahwa pemberian

bantuan yang dilakukan oleh pemerintah Korea Selatan kepada Korea Utara mengalami

peningkatan pada masa pemerintahan Roh Moo-hyun. Program pemberian bantuan

kepada Korea Utara untuk tujuan kemanusiaan sebenarnya sudah mulai dilakukan sejak

masa pemerintahan Kim Young Sam, kemudian dilanjutkan pada masa pemerintahan

Kim Dae-jung dan Roh Moo-hyun.

Bantuan yang diberikan kepada Korea Selatan berasal dari sektor swata maupun

pemerintahan. Namun sumber bantuan terbesar berasal dari pemerintah. Jumlah bantuan

yang diberikan oleh Pemerintah Roh Moo-hyun meningkat signifikan, sejak semula

$28,408 pada masa pemerintahan Kim Yong Sam dan $69,102 pada masa pemerintahan

Kim Dae Jung, menjadi $183,500 pada masa pemerintahan Roh Moo Hyun. Dari total

tersebut, sumber bantuan terbesar berasal dari pemerintah, yakni sebesar $140,253.

Page 92: AMELIA FITRIANI.pdf

76

Govindasamy (2012: 7-8) menyebutkan bahwa pemberian bantuan yang diberikan

tersebut merupakan salah satu intrumen dalam the Policy of Peace and Prosperity.

Namun penulis berpendapat bahwa pemberian bantuan tersebut tidak efektif untuk

mencapai tujuan-tujuan dari the Policy of Peace and Prosperity meningkatkan

kepercayaan antar Korea, meningkatkan hubungan baik, serta meredam tensi politik-

militer antara kedua Korea. Hal tersebut dikarenakan pemberian bantuan yang dilakukan

bersifat fleksibel. Fleksibel dalam arti bahwa bantuan yang diberikan kepada Korea Utara

tidak perlu dibalas setara (dalam nominal), namun hanya perlu dibalas dengan menjaga

dan memperbaiki hubungan antar-Korea. (Govindasamy, 2012: 5).

Dengan penerapan seperti itu, menurut penulis, Korea Selatan seolah memberikan

bantuan kemanusiaan dengan nominal yang besar kepada Korea Utara secara ‘cuma-

cuma’, karena Korea Utara tidak membalasnya dengan memperbaiki hubungan antar-

Korea. Hal tersebut ditunjukkan seperti misalnya dengan adanya krisis nuklir kedua pada

tahun 2006. Dengan kata lain, pemberian bantuan tersebut tidak memberikan keuntungan

yang signifikan bagi Korea Selatan. Berbeda dengan kebijakan lainnya seperti

mendorong pembangunan KIC dan revitalisasi Gunung Kumgang. Dalam kebijakan

tersebut, Korea Selatan turut bekerjasama dengan Korea utara dalam

mengembangkannya. Sehingga terjadi perputaran ekonomi yang pada akhirnya

memberikan timbal-balik secara ekonomis bagi kedua Korea.

Namun di sisi lain, penulis menilai bahwa sikap agresif yang ditunjukkan oleh

Korea Utara dengan melakukan aktivitas produksi dan percobaan senjata nuklirnya bukan

semerta-merta untuk mengancam korea Selatan, melainkan sebuah bentuk respon

Page 93: AMELIA FITRIANI.pdf

77

terhadap tindakan sepihak Amerika Serikat. Hubungan Korea Utara-Amerika Serikat

mulai menunjukkan potensi ketegangan sejak awal terpilihnya George W Bush menjadi

pengganti Bill Clinton pada tahun 2001. Presiden Bush sempat ragu untuk melanjutkan

penerapan Agreed Framework 1994 dengan Korea Utara, sehingga ia dan

pemerintahannya sempat melakukan kajian komprehensif tentang kebijakannya terhadap

Korea Utara. Hingga pada 13 Juni 2001, Presiden Bush mengeluarkan pernyataan resmi

untuk melanjutkan Agreed Framework 1994 terhadap Korea Utara.

Namun kebijakan tersebut tidak berlangsung lama, karena Presiden Bush secara

sepihak menuding Korea Utara sebagai Axis of Evil pada pidato resmi tanggal 29 Januari

2002, karena menilai bahwa Korea Utara terindikasi memiliki senjata pemusnah massal.

Lebih lanjut Presiden Bush juga mengeluarkan pernyataan pada 14 November 2002

bahwa pengiriman kapal bantuan berisi bahan bakar minyak mentah dari Amerika Serikat

ke Korea Utara yang sebenarnya sudah tercantum dalam Agreed Framework 2014, akan

menjadi pengiriman terakhir jika Korea Utara tidak menghentikan produksi nuklirnya.

Korea Utara yang telah memenuhi aturan Agreed Framewok 1994 dengan

membekukan produksi reaktor nuklir serta mengijinkan adanya inspeksi rutin tim IAEA,

menyambut negatif tudingan sepihak yang dilontarkan Amerika Serikat. Sebagai respon

atas tudingan Amerika Serikat, pada akhir tahun 2002, Korea Utara mengusir tim

inspeksi IAEA dan membuang peralatan pengawasan milik IAEA.

Lebih lanjut, dengan adanya ancaman Amerika Serikat mengenai penghentian

bantuan bahan bakar minyak, Korea Utara kembali membuka fasilitas nuklirnya pada

akhir tahun 2002 dengan tujuan untuk pembangkit tenaga listrik, dan bukan membuat

Page 94: AMELIA FITRIANI.pdf

78

senjata nuklir. Karena bantuan minyak mentah dari Amerika Serikat setiap tahunya sejak

pemberlakuan Agreed Framework 1994, digunakan oleh Korea Utara untuk energi

pembangkit tenaga listrik dan digunakan juga sebagai penghangat bagi masyarakat Korea

di musim dingin. Sehingga ketika Amerika Serikat menghentikan bantuan minyak, Korea

Utara membutuhkan energi lain untuk memenuhi kebutuhannya tersebut.

Disamping itu, keluarnya Korea Utara dari keanggotaanya di NPT yang dilakukan

jelang pelantikan Roh Moo-hyun juga merupakan bentuk protes Korea Utara terhadap

sikap Amerika Serikat. Dengan keluarnya Korea Utara dari NPT membuat tidak adanya

jaminan mengenai keamanan nuklir di Semenanjung Korea. Hal tersebut turut berdampak

pada penerapan the Policy of Peace and Prosperity yang dijalankan oleh Roh Moo-hyun.

Sehingga, penulis sependapat dengan pernyataan Lim Dong-woon, salah satu

perancang utama Sunshine Policy (dikutip dari Moon, 2012: 79) yang secara terbuka

menyalahkan Presiden Bush dan pemikiran neo-konservatifnya atas perubahan yang

terjadi di Korea. Ia juga menyatakan bahwa sebutan Axis of Evil yang ditujukan oleh

Presiden Bush terhadap Korea Utara serta sikap Presiden Bush yang menunjukkan

keinginannya untuk menghancurkan rezim Korea Utara melalui serangan pre-emptive

yang juga membuat kejutan bagi masyarakat Korea Selatan.

Karena dengan ketegangan yang terjadi di Semenanjung Korea, Roh Moo-hyun

sulit untuk menerapkan prinsip kebijakannya, terutama untuk meningkatkan kepercayaan

antara kedua Korea.

Page 95: AMELIA FITRIANI.pdf

79

Namun dalam menghadapi sikap Korea Utara, Presiden Roh Moo-hyun tetap

menjalankan prinsip-prinsip kebijakannya. Seung-chan Boo yang merupakan research

fellow di Kim Dae-Jung Presidential Library, Yonsei University Korea Selatan

menyatakan bahwa Presiden Roh tetap menjalankan berbagai kerjasama dengan korea

Utara, termasuk juga mengirimkan bantuan (wawancara melalui surat elektronik (email)

pada 29 Mei 2013 terdapat pada lampiran I). Roh Moo-hyun juga terlibat aktif dengan

Korea Utara dalam melakukan dialog, termasuk di dalam Six Party Talks. Hal tersebut

sejalan dengan prinsip the Policy of Peace and Prosperity yang mengutamakan dialog

untuk mencari jalan keluar permasalahan nuklir di Semenanjung Korea.

Seung-chan Boo menyatakan bahwa pemerintahan Roh Moo-hyun menjalankan

the policy of peace and prosperity terhadap Korea Utara dengan menekankan pada

ketidaksetujuan atas senjata nuklir Korea Utara, resolusi damai atas masalah nuklir Korea

Utara, serta peran aktif dari pemerintah Korea Selatan. Pemerintah Roh Moo-hyun

memanfaatkan jalur dialog dalam penerapan kebijakannya tersebut, baik dialog bilateral

(the South-North dialogue) maupun dialog multilateral (Six-Party Talks).

Menurut Penulis, hubungan antar-Korea mencakup berbagai isu baik politik,

ekonomi, dan keamanan. Presiden Roh Moo-hyun menyadari kebutuhan peningkatan

akan isu-isu tersebut terhadap Korea Utara. Oleh karena itu, ia melakukan pendekatan

kembali antara dua Korea bergantung tidak hanya pada konteks politik dan ekonomi, tapi

juga pada kenyataan pada politik internasional dalam menerapkan kebijakannya. Prinsip-

prinsip kebijakannya menurut penulis mampu mengeliminir penggunaan nuklir di

Page 96: AMELIA FITRIANI.pdf

80

Semenanjung Korea. Karena Roh Moo-hyun menggunakan cara-cara damai tanpa

konfrontasi senjata maupun militer.

Namun upaya Roh Moo-hyun tersebut terhambat dengan sikap Amerika Serikat

yang dipimpin oleh George W Bush. Presiden Bush kerap memberlakukan kebijakan-

kebijakan maupun klaim sepihak terhadap Korea Utara yang memicu timbulnya

ketegangan di Semenanjung. Sehingga Roh Moo-hyun mengalami kesulitan dalam

mencapai tujuannya seperti mencari resolusi damai terhadap nuklir Korea Utara serta

membangun kepercayaan militer antara kedua belah pihak.

Roh Moo-hyun memiliki tiga tahap pembangunan hubungan dengan Korea Utara

berdasarkan kerangka kebijakannya. Menurut penulis, Roh Moo-hyun bisa dikatakan

behasil membangun dua tahap pertama, yakni melakukan upaya perdamaian dan

mengembangkan kerjasama ekonomi kedua belah pihak. Namun Roh Moo-hyun

kesulitan dalam menjalankan tahap ketiga, yakni meluncurkan rezim perdamaian di

Semenanjung Korea. Pasalnya, Roh Moo-hyun tidak berhasil mencari penyelesaian atas

perjanjian gencatan senjata tahun 1953 dan menggantinya dengan perjanjian damai.

Dengan demikian, Korea Selatan dan korea Utara secara resmi masih berada dalam

keadaan konflik.

Menurut Seung-chan Boo, isu antar Korea dapat dianalisa melalui berbagai

perspektif termasuk ideologi, politik, ekonomi dan kekuatan militer. Permasalahan utama

antara kedua Korea terletak pada perbedaan metodologi untuk membangun sistem

perdamaian di Semenanjung Korea.

Page 97: AMELIA FITRIANI.pdf

81

Pasca perjanjian gencatan senjata, Korea Selatan dan Korea Utara menfokuskan

legitimasi keamanan pada masing-masing pemerintahan dan inisiatif dalam konteks

keamanan.

Seung Chan-boo menilai bahwafaktor utama yang juga menjadi penghambat atas

perdamaian sepenuhnya di Semenanjung Korea adalah karena kedua Korea memiliki cara

pandang yang berbeda mengenai penyelesaian masalah di Semenanjung Korea. Seung

Chan-boo menggambarkan perbedaan metodologi tersebut.

Bagi Korea Selatan terutama pada masa pemerintahan Kim Dae-jung dan Roh

Moo-hyun, tahapan penyelesaian permasalahan semenanjung Korea adalah sebagai

berikut: ‘maintaining cease-fire’ → ’enlarging exchange and cooperation’ → ’confidence

building measures’ → ’signing peace agreement’ → ’US troop withdrawal’ → ‘building

permanent peace’.

Sementara itu, bagi Korea Utara, tahapan penyelesaian masalah Semenanjung

Korea adalah sebagai berikut: ‘abrogating cease-fire agreement’ → ‘signing North-US

peace agreement’ → ‘US troop withdrawal’ → ‘building permanent peace’.

Perbedaan cara pandang tersebut itulah yang juga menjadi penghambat dan alasan

mengapa kebijakan Roh Moo-hyun tidak sepenuhnya dpaat mencapai tujuan yang

diharapkan.

Page 98: AMELIA FITRIANI.pdf

82

BAB V

KESIMPULAN

The Policy of Peace and Prosperity yang diterapkan melalui beberapa

prinsip seperti menyelesaikan masalah melalui dialog, membangun kepercayaan satu

sama lain antara dua Korea, dan meningkatkan kerjasama internasional, dan yakni

pembagunan rezim perdamaian di Semenanjung Korea merupakan kebijakan yang

menyadari bahwa permasalahan Semenanjung Korea mencakup berbagai isu termasuk

ekonomi, politik dan keamanan. Roh Moo-hyun berhasil merangkumnya dalam

rumusan kebijakannya tersebut.

Penerapan kebijakan Roh Moo-hyun melalui instrumen kerjasama ekonomi

seperti melalui KIC dan Gunung Kumgang merupakan langkah yang tepat dan efektif.

Pasalnya, dalam kerjasama ekonomi tersebut, sekalipun belum memiliki landasan

yang sempurna, namun dapat mengikutsertakan Korea Utara untuk berperan dan

berpartisipasi di dalamnya. Selain itu, kerjasama ekonomi juga membawa keuntungan

secara ekonomis bagi kedua belah pihak.

Instrumen kebijakan yang diterapkan melalui program pertemuan kembali

keluarga terpisah dan berbagai gerakan simbolik cukup memberikan pengaruh bagi

pencitraan hubungan baik kedua Korea di mata internasional. Hal tersebut membawa

serta kesadaran nasional mengenai kesamaan identitas kedua Korea yang semula

berasal dari ‘satu keluarga’.

Namun penerapan kebijakan melalui pemberian bantuan kemanusiaan

merupakan instrumen yang kurang efektif untuk diterapkan. Pasalnya tidak ada aturan

Page 99: AMELIA FITRIANI.pdf

83

yang jelas mengenai mekanisme timbal balik yang diterapkan oleh Korea Selatan.

Sehingga anggaran pemerintah yang merupakan sumber pendaan terbesar bagi

pemberian bantuan tersebut, tidak membawa perubahan yang cukup signifikan bagi

perbaikan hubungan kedua Korea. Akan lebih efektif jika anggaran tersebut

dialokasikan pada peningkatan pembangunan kerjasama ekonomi antara kedua Korea,

sehingga dapat menghasilkan keuntungan ekonomi lebih besar bagi kedua belah pihak

yang kemudian dapat berujung pada saling hubungan ketergantungan dalam bidang

ekonomi. Dengan meningkatnya hubungan saling ketergantungan ekonomi tersebut di

sisi lain akan mampu mengeliminasi potensi konflik dan penggunaan senjata di

Semenanjung Korea.

Akan tetapi, kebijakan pemberian bantuan tersebut juga patut diapresiasi

sebagai bentuk konsistensi Roh Moo-hyun dalam menjalankan kebijakan yang telah

dirumuskannya. Roh Moo-hyun bertahan dengan kebijakannya, sekalipun dalam

keadaan yang tidak menguntungkan bagi Korea Selatan.

Selain itu, kebijakan Roh Moo-hyun yang dilakukan dengan keterlibatannya di

Six Party Talks menunjukkan bahwa ia menerapkan prinsip kebijakannya dengan

baik, yakni melalui jalur dialog. Akan tetapi, Six Party Talks yang dijalankan pada

masa pemerintahan Roh Moo-hyun tidak menunjukkan perkembangan yang

signifikan dan berpengaruh bagi perbaikan hubungan kedua Korea.

Penerapan kebijakan Roh Moo-hyun tidak terlepas dari pengaruh faktor

eksternal. Dalam hal ini, Amerika Serikat ditempatkan pada posisi yang berpengaruh

dalam keberlangsungan hubungan Korea Selatan dan Korea Utara.

Page 100: AMELIA FITRIANI.pdf

84

Memburuknya hubungan Korea Utara dengan Amerika Serikat yang

disebabkan oleh kebijakan serta berbagai tudingan sepihak yang dilontarkan oleh

Korea Utara. Dengan demikian, Amerika Serikat turut menjadi penyebab atas kurang

sempurnanya pencapaian yang diraih dari penerapan the Policy of Peace and

Prosperity. Disamping itu, Korea Selatan dan Korea Utara memiliki pandangan serta

metodologi yang berbeda mengenai tahapan menuju penyelesaian masalah

Semenanjung Korea. Hal tersebut dapat juga dikatakan sebagai salah satu penghambat

proses perdamaian seutuhnya di Semenanjung Korea.

Page 101: AMELIA FITRIANI.pdf

xvi

Daftar Pustaka

1. Buku

Banyu Perwita, Anak Agung & Yanyan Mochamad Yani, 2005.

Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya

Baylis, John and Steve Smith. 2005. The Globalization of World Politics.

United States : Oxford University Press

Cahyo, Agus N. 2012. Perang-Perang Paling Fenomenal, Dari

KlasikSampai Modern. Yogyakarta: Bukubiru

Eby Hara Abubakar. 2011. Analisis Politik Luar Negeri. Bandung:

Nuansa.

Han, Ki-shik S.J. 2001. Understanding Korean Politics. USA: State

University of New York Press

Jakti, Kuntjoro. 1995. Ekonomi Politik Internasional di Asia Pasifik.

Jakarta: Erlangga

Jemadu, Aleksius. 2008. Politik Global dalam Teori & Praktik.

Yogyakarta: Graha Ilmu.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat. 2008. Departemen

Pendidikan Nasional

Lew, Young Ick. 2000. Brief History of Korea; A Bird's Eye View. New

York: The Korea Society

Page 102: AMELIA FITRIANI.pdf

xvii

Moon, Chung-In. 2012. The Sunshine Policy; In Defense of Engagement

as a Path to Peace in Korea. ROK: Yonsei University Press

Nahm, Andrew C. 1993. Introduction to Korean History and Culture,.

Seoul: Hollym International

Oberdorfer, Don. 2001. The Two Koreas: A Contemporary History. USA:

Basic Books

Pelayanan Kebudayaan dan Informasi Korea. 2008. Fakta-Fakta Tentang

Korea. Seoul, Republik Korea

Soong Hoom dan Chung-in Moon. 2001. Understanding Korean Politics;

an Introduction. USA: State University of New York Press

Yoon, Yung Seung dan MohtarMas’oed. 2004. Politik Luar Negeri

Korea Selatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Yukhoon, Kim. 2007. Korean History for International Citizens. Seoul:

Northeast Asia Foundation

Zhongying, Pang. 2009. The Six-Party Progress, Regional Security

Mechanism, and China-US Cooperation: Toward a Regional Security

Mechanism for a New Northeast Asia?. USA: The Brookings Institution

2. Jurnal

Armstrong, Charles K. Inter-Korean Relations in Historical Perspective.

Vol. 14, No. 2, 2005

Page 103: AMELIA FITRIANI.pdf

xviii

Cha, Victor D, Rhee-straint: The Origins of the U.S.-ROK Alliance.

International Journal of Korean Studies Vol. XV, No. 1, 2011

Moon, Chung-in. The Sunshine Policy and the Korean Summit:

Assessment and Prospects. East Asia Review, Vol. 12, No. 4, Winter 2000

Creswell, J.W. Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches.

London: SAGE Publications, 1994

Do-Hyeogn Cha.Challenges and Opportunities: The Participatory

Government’s Policy Toward North Korea. East Asian Review. Vol. 16,

No. 2. Summer 2004

Govindasamy, Geetha. Kim Dae Jung and The Sunshine Policy: An

Appealing Policy Option for Inter-Korean Relations. Sarjana. Vol. 27. No.

1, June 2012

Henneka, Andreas. Reflections on Korean history and Its Impacts on the

US-North Korean Conflict. ISYP Journal on Science and World Affairs,

Vol. 2, No. 1, 2006

Haggars Stephan dan Marcus Noland. North Korea in 2007 Shuffling in

from the Cold. Asian Survey, Vol. XLVIII, No. 1, January/February 2008

Hosup Kim, Masyuki Tadokor dan Brian Bridges. Managing Another

North Korea Crisis: South Korean, Japanese, and US Approaches. Asian

Perspective, the Institute for Far Eastern Studies: Kyungnam University,

Seoul, Korea. Vol. 27 no. 3, 2003

In-duk, Kang. Toward Peace and Prosperity: The New Government’s

North Korea Policy. East Asia Review, Vol. 15, No. 1, Spring 2003

Page 104: AMELIA FITRIANI.pdf

xix

Jae-nam, Ko. The Policy of Peace and Prosperity and South Korea-Russia

Cooperation. East Asian Review.Vol. 16, No. 3, Auntum 2004

Kim Choong Nam. The Roh Moo Hyun Government’s Policy Toward

North Korea. International Journal of Korean Studies, Vol. IX,

Fall/Winter, No. 2005

Kim, Hong Nack. South-North Korean Relations Under The Roh Moo-

Hyun Government. International Journal of Korean Studies., Vol. X,

No.1, 2006

Kim, Hong Nack. The Lee Myung-Bak Government’s North Korea Policy

And the Prospects for Inter-Korean Relations. International Journal of

Korean Studies. Vol. XII, No.1

Kyung-suk, Chae. The Future of the Sunshine Policy: Strategic for

Survival. East Asian Review, Vol. 14, No. 4, Winter 2002

Manyin, Mark E. and Nanto, Dick K. The Kaesong North-South Korean

Industrial Complex. USA: Congressional Research Service, 2011

Yoo, Chanyul. South Korea’s Sunshine Policy Revisited. Korean Social

Science Journal, XXXI No. 2. 2004

3. Dokumen elektronik

The ministry of National Defense of the Republic of Korea. 2003.

“Participatory Government Defense Policy” diunduh 27 April 2013

(merln.ndu.edu/whitepapers/SouthKorea2003main_eng.pdf )

Page 105: AMELIA FITRIANI.pdf

xx

Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes

Six Party Talks. Diunduh 29 Agustus 2013, Center for Nonproliferation

Studies

(cns.miis.edu/inventory/pdfs/6ptalks.pdf)

Agreed Framework of 21 October 1994

(www.iaea.org/Publications/Documents/Infcircs/.../infcirc457.pdf)

4. Internet

http://news.bbc.co.uk/2/hi/7317086.stm diakses pada 25 Juni 2012

http://www.koreafocus.or.kr diakses pada 25 Februari 2013

http://www.ncnk.org/resources/briefing-papers/all-briefing-papers/mt.-

kumgang-and-inter-korean-relations diakses pada 20 Juli 2013

http://globalasia.org/articles/issue4/iss4_8.html diakses pada 2 Agustus

2013

Page 106: AMELIA FITRIANI.pdf

xxi

Lampiran I

Narasumber : Seung-chan Boo

Jabatan : Research Fellow with Kim Dae-Jung Presidential Library & Museum

in Yonsei University

Waktu Wawancara : 29 Mei 2013

Keterangan : Wawancara dilakukan melalui surat elektronik (email). Penulis

terlebih dahulu menghubungi profesor ilmu politik Yonsei University,

Chung-in Moon dengan alamat email [email protected] untuk

mengajukan wawancara dan kemudian disetujui oleh Profesor Chung-

in Moon. Namun karena kesibukannya, wawancara dialihkan oleh

Profesor Chung-in Moon ke Seung-chan Boo dengan alamat email

[email protected].

HASIL WAWANCARA

1. Q: In continuing the policy of his predecessor (Sunshine Policy under Kim Dae-jung

administration), would you please tell me, what are the barriers and the challenging

that faced by the Roh Moo-hyun administration at the beginning of his reign? Is the

changing of international condition, such as the aggressiveness of US government

policy toward DPRK under President George W. Bush influenced the application of

that policy?

A: The impediments Roh Moo-hyun administration faced can be divided into national

and international factors. Nationally Roh administration faced South-South conflict

that was triggered by Kim-Dae-jung administration‟s Sunshine Policy and the

controversy over compensation of the inter-Korean summit and over-policization of

policy toward North Korea. Internationally, motive for continuing Sunshine Policy

was considerably weakened as President Bush indicated North Korea as „a rogue

state‟, „an axis of evil‟ along with Iraq and Iran. Especially on October 2002 the

Page 107: AMELIA FITRIANI.pdf

xxii

second nuclear crisis broke out, on December of the same year North Korea

demanded monitoring system on Yongbyon facilities be removed and on January

2003 unilaterally declared withdrawal from NPT. These all contributed to unfolding

worst conditions for US-north Korea relationships as well as inter-Korean

relationships.

2. Q: In addition to diplomacy, foreign aid, and cooperation, what are the instrument

used by the Roh Moo-hyun‟s administration in implementing the Policy of Peace and

Prosperity? How those instruments applied in inter-Korean relations?

A: Roh Administration, in carrying policy of peace and prosperity toward North,

emphasized disapproval of North Korean nuclear arms, peaceful resolution of nuclear

issues and an active role of South Korean Government. Roh Administration made use

of both bilateral (the South-North dialogue) and multilateral (six-party talks)

diplomatic channels. Also, while participating in United Nations Security Council

Resolution on North Korea, Roh Administration tried to solve nuclear issues

peacefully through dialogue.

3. Q: Generally, I am curious, actually how did ROK Society„s response to President

Roh Moo-hyun‟s policy toward DPRK compared to the Kim Dae-jung‟s policy at that

time?

A: Roh Administration faced poor conditions for policy toward North Korea as did

Kim Dae-jung administration. Both of them saw ideological conflicts within Korea

and rampant discords. Conservative civil society and political powers disparaged

Page 108: AMELIA FITRIANI.pdf

xxiii

economic exchange and humanitarian assistance for North as “giving too much”.

Especially Roh Administration had to suffer more criticism and distrust than Kim

Administration did as concerns for the first nuclear test and North Korea‟s human

rights issues rose.

4. Q: How did the Roh Moo-hyun‟s administration respond -through the Policy of Peace

and Prosperity- in the face of DPRK‟s aggressiveness through DPRK‟s nuclear crisis

in 2003 & 2006?

A: Roh Administration, through three inter-Korean ministerial-level talks in 2003,

urged North Korea to engage in dialogues, emphasizing the necessity of multi-lateral

talks to solve nuclear issues. This contributed to Beijing trialogue in April 2003, the

first Six-Party Talks in August 2003 and the second six-party talk in February 2004 to

be held. In May 2003 Roh Administration, thorough Korea-US summit, drew

consensus of solving North Korean nuclear issues with USA and paralleling inter-

Korean relations. In the third Six-Party Talk in June 2004, South Korea demanded

North Korea dismantle all the nuclear programs transparently and thoroughly under

international verification. USA and Japan joined South Korea, demanding transparent

and thorough dismantling nuclear weapons program.

North Korean nuclear test of 9th

October, 2006 greatly aggravated

circumstances inside Korean Peninsula. South Korean government made it clear that

it will never put up with any nuclear test and that it will respect United

Nations Security Council Resolution 1718. Yet, after the nuclear test, South Korean

government endeavored continuously to effectively solve nuclear problems by

reopening Six-Party Talks and contacting with members of Six-Party Talks. Later in

Page 109: AMELIA FITRIANI.pdf

xxiv

February 2007 members of Six-Party Talks drew 2.13 nuclear agreements as initial

actions for fulfilling September agreement.

5. Q: In the application of the policy, Roh Moo-hyun sought to put the inter-Korean

policy, regional policy, and ROK-US alliances in „one basket‟. How did these

policies influence the relationship between two Korea, especially during the period of

2003 to 2008?

A: Roh Administration‟s 5-year-policies toward North Korea greatly contributed to

peace in Korean Peninsula. Even in the time of the second nuclear crisis, Roh

Administration proceeded with the policy of peace and prosperity, regularizing inter-

Korean talks and advancing inter-Korean exchange and cooperation, which finally led

to the second inter-Korean summit.

Particularly nongovernmental interchange and economic cooperation saw

active advancement, establishing foundations for institutionalization of separated

families. In 2003 temporary rail links on the east and west were constructed and in

2004 passing through land route kicked into high gear. Inter-Korean economic

cooperation steadily expanded with Kaesong Industrial Complex and tours to Mount

Kumgang.

Roh Administration, regarding security concerns such as US troop reduction

and withdrawl, saw condition changes which necessitated alliance reestablishment

from a new perspective. Roh Administration put forth a new perspective in regard to

alliance reestablishment: cooperative self-reliant defense that emphasized Korean

military capabilities and power restoration along with national defense reorganization.

This was in search for relieving the reduction of the US Forces in Korea, national

Page 110: AMELIA FITRIANI.pdf

xxv

security vacuum and anxiety that were likely to follow Global Defense Posture

Review and wartime operational control transfer. Under these difficulties, despite

both domestic and international controversies, Roh Administration sent troops to Iraq

for political considerations for US-Korean alliance and national interests from

participating in the restoration project.

6. Q: In addition to Second Korean Summit, Mt. Kumgang tourism project, and

development of Kaesong Industrial Complex, what the achievement of the Roh Moo-

hyun‟s policy? How did they influence the reunification progress of two Korea?

A: First, deciding to regularly hold the South-North dialogues such as high-level

talks, inter-Korean military talks and the South-North Red Cross talks, motives for

inter-Korean relationships development were made possible even in the face of

Korean Peninsula crisis.

Second, humanitarian assistance for North Korea was expanded. Humanitarian

assistance for North Korea included policies for improving quality of life in

agriculture, health and medical treatment and vulnerable social group, helping North

Korean defectors settle down and improving North Koreans‟ human rights.

Third, separated families faced improvements both in quality and quantity.

Interchange between private sectors as well as government made active progress.

7. Q: How did the role of Six Party Talks in advance of the Policy of Peace and

Prosperity‟s implementation?

Page 111: AMELIA FITRIANI.pdf

xxvi

A: China introduced itself as a mediator after the second nuclear issue and the Three

Party Talks between South Korea, North Korea and the USA were held in Beijing,

April 2003. The talks, however, produced no fruits other than confirming each other‟s

intentions. Three Party Talks turned to Six-Party Talks including North Korea, South

Korea and four surrounding powerful nations. These nations tried to solve problems

by discussing and consulting with each other. Accordingly, starting with the first Six-

Party Salks, six times of six party talks were held in times of Roh Government. The

fourth six party talks produced 9.19 joint declarations with 6 provisions including

principle of denuclearization of the Korean peninsula which provided a fundamental

base for solving North Korean nuclear issues. In 2007 2.13 nuclear agreements

provided a clue for solving North Korean nuclear issues.

8. Q: Refer to your point of view, what are your criticism to the ROK‟s policy toward

the DPRK, both in the Kim Dae-jung and the Roh Moo-hun‟s administrations? And

how do you respond about the Sunshine Policy (and also the Policy of Peace and

Prosperity) that in some writings questionable on effectiveness and even blamed for a

failed policy?

A: President Roh Moo-hyun, tried to carry forward the engagement policy towards

North Korea in the midst of citizens‟ agreements and participations. However,

challenged by the conservatives which resulted in South-South conflicts, the policy

met with serious difficulties. The conservatives argued that, as North Korea tried

developing nuclear weapons for their own safety and thus threatening the peace of

Korean peninsula, the engagement policy showed its limitations in persuading North

Korea which enlarged controversy over “giving too much”. Also, they criticized that

Page 112: AMELIA FITRIANI.pdf

xxvii

as humanitarian assistance was intermittently suspended, North Koreans‟ food

shortage and financial difficulties were enlarged and made North Korea continue

military adventurism.

9. Q: In your opinion, what are, actually, the main problems between two Korea,

looking back from the history and the current issue? Why it seemed so hard to make a

„peace‟ in the Peninsula? What are the constraints? What it takes to make Korean

Unification become real?

A: While inter-Korean issues can be analyzed from a variety of perspectives including

ideology, politics, economy and military powers, the core to the issue lies in the

difference of methodology for peace system of Korean peninsula. After the cease-fire

agreement, North and South Korea have focused on securing legitimacy of each

government and taking the initiative in terms of power. While Kim and Roh

government brought in stages of „maintaining cease-fire‟ → ‟enlarging exchange and

cooperation‟ → ‟confidence building measures‟ → ‟signing peace agreement‟ → ‟US

troop withdrawal‟ → „building permanent peace‟, North Korea insisted in stages of

„abrogating cease-fire agreement‟ → „signing North-US peace agreement‟ → „US

troop withdrawal‟ → „building permanent peace‟. The difference found in this term

cannot be narrowed down unless nuclear issues are solved. The perceived gap, yet,

drew the fruits for reaching for the nexus however insignificant. Inter-Korean

relationships faced the worst as events like North Korea's attack on the Cheonan and

Yeonpyeong Island, missile and long-range rocket launches and the second, third

nuclear tests broke out. Therefore, taking a lesson from Kim and Roh‟s policies

Page 113: AMELIA FITRIANI.pdf

xxviii

toward North, strong response to North Korea‟s provocations and continued exchange

and cooperation are necessary for peace to settle in Korean peninsula. Of course,

governmental endeavors to solve South-South conflicts should precede to carry those

policies.

10. Q: On last wednesday (10/04/13), I attend to the festival of Kim Il Sung flower in

Jakarta, Indonesia. I met DPRK‟s ambassador for Indonesia, Ri Jong Ryul. Related to

ROK-DPRK‟s issue, he said that, "We (DPRK) actually want peace, we do not want

war. But we are also not afraid of war”. Refer to his statement, I can conclude that

actually, in DPRK‟s point of view, they want to make a peace in Peninsula. Then, I

am curious about your opinion, how does the ROK‟s point of view toward making

peace with DPRK? Are they „feel‟ the same?

A: South Korea and North Korea both agree to establish a peace regime on the

Korean Peninsula. However, due to different political systems and national power

gap, they are of different opinions in terms of approach. As Lee Myung-bak

government‟s policies showed, North Korea, due to these recent circumstances, is

threatened of reunification through absorption. Hence, Korean government should

help North Korea to relieve the anxiety and enter into reform an open-door policy.

Only in that way is easier the peace establishment. There is no discussion over peace

regime on the Korean Peninsula at present. North and South are making a trial of

strength and burning energy out. Other than multi-lateral talks like Six Party Talks,

resolution of nuclear issues is hard to find. Korean government should not be too

subordinate to North Korean nuclear issues, but continue private humanitarian

Page 114: AMELIA FITRIANI.pdf

xxix

assistance to build inter-Korean trust and endeavor to build structural basis for inter-

Korean exchange and cooperation.

Q: Question/pertanyaan | A: Answer/jawaban

Page 115: AMELIA FITRIANI.pdf

INFINFCIRC/457 2 November 1994

International Atomic Energy Agency

INFORMATION CIRCULAR

GENERAL Distr.

Original: ENGLISH

AGREED FRAMEWORK OF 21 OCTOBER 1994

BETWEEN THE UNITED STATES OF AMERCIA

AND THE DEMOCRATIC PEOPLE’S REPUBLIC OF KOREA

The attached text of the Agreed Framework between the United States of America

and the Democratic People’s Republic of Korea, signed in Geneva on 21 October 1994, is

being circulated to all Member States of the Agency at the request of the Resident

Representative of the United States of America.

94-04871

Page 116: AMELIA FITRIANI.pdf

INFCIRC/457 Attachment

A G R E E D F R A M E W O R K B E T W E E N T H E U N I T E D S T A T E S O F A M E R I C A A N D

T H E D E M O C R A T I C P E O P LE ' S R E P U B L I C O F K O R E A

G E N E V A , O C T O B E R 2 1 , 1 9 9 4

D e l e g a t i o n s o f t h e G o v e r n m e n t s o f t h e U n i t e d S t a t e s o f A m e r i c a ( U . S . ) a n d t h e D e m o c r a t i c P e o p l e ' s R e p u b l i c o f K o r e a ( D P R K ) h e l d t a l k s i n G e n e v a f r o m S e p t e m b e r 2 3 t o O c t o b e r 2 1 , 1 9 9 4 , t o n e g o t i a t e a n o v e r a l l r e s o l u t i o n o f t h e n u c l e a r i s s u e o n t h e K o r e a n P e n i n s u l a .

B o t h s i d e s r e a f f i r m e d t h e i m p o r t a n c e o f a t t a i n i n g t h e o b j e c t i v e s c o n t a i n e d i n t h e A u g u s t 1 2 , 1 9 9 4 a g r e e d s t a t e m e n t b e t w e e n t h e U . S . a n d t h e D P R K a n d u p h o l d i n g t h e p r i n c i p l e s o f t h e J u n e 1 1 , 1 9 9 3 j o i n t s t a t e m e n t o f t h e U . S . a n d t h e D P R K t o a c h i e v e p e a c e a n d s e c u r i t y o n a n u c l e a r - f r e e K o r e a n P e n i n s u l a . T h e U . S . a n d D P R K d e c i d e d t o t a k e t h e f o l l o w i n g a c t i o n s f o r t h e r e s o l u t i o n o f t h e n u c l e a r i s s u e : I . B o t h s i d e s w i l l c o o p e r a t e t o r e p l a c e t h e D P R K ' s g r a p h i t e - m o d e r a t e d r e a c t o r s a n d r e l a t e d f a c i l i t i e s w i t h l i g h t - w a t e r r e a c t o r ( L W R ) p o w e r p l a n t s . 1 ) I n a c c o r d a n c e w i t h t h e O c t o b e r 2 0 , 1 9 9 4 l e t t e r o f a s s u r a n c e f r o m t h e U . S . P r e s i d e n t , t h e U . S . w i l l u n d e r t a k e t o m a k e a r r a n g e m e n t s f o r t h e p r o v i s i o n t o t h e D P R K o f a L W R p r o j e c t w i t h a t o t a l g e n e r a t i n g c a p a c i t y o f a p p r o x i m a t e l y 2 , 0 0 0 M W ( E ) b y a t a r g e t d a t e o f 2 0 0 3 . - - T h e U . S . w i l l o r g a n i z e u n d e r i t s l e a d e r s h i p a n i n t e r n a t i o n a l c o n s o r t i u m t o f i n a n c e a n d s u p p l y t h e L W R p r o j e c t t o b e p r o v i d e d t o t h e D P R K . T h e U . S . , r e p r e s e n t i n g t h e i n t e r n a t i o n a l c o n s o r t i u m , w i l l s e r v e a s t h e p r i n c i p a l p o i n t o f c o n t a c t w i t h t h e D P R K f o r t h e L W R p r o j e c t . - - T h e U . S . , r e p r e s e n t i n g t h e c o n s o r t i u m , w i l l m a k e b e s t e f f o r t s t o s e c u r e t h e c o n c l u s i o n o f a s u p p l y c o n t r a c t w i t h t h e D P R K w i t h i n s i x m o n t h s o f t h e d a t e o f t h i s d o c u m e n t f o r t h e p r o v i s i o n o f t h e L W R p r o j e c t . C o n t r a c t t a l k s w i l l b e g i n a s s o o n a s p o s s i b l e a f t e r t h e d a t e o f t h i s d o c u m e n t . - - A s n e c e s s a r y , t h e U . S . a n d t h e D P R K w i l l c o n c l u d e a b i l a t e r a l a g r e e m e n t f o r c o o p e r a t i o n i n t h e f i e l d o f p e a c e f u l u s e s o f n u c l e a r e n e r g y .

Page 117: AMELIA FITRIANI.pdf

- 2 -

2 ) I n a c c o r d a n c e w i t h t h e O c t o b e r 2 0 , 1 99 4 l e t t e r o f a s s u r a n c e f r o m t h e U . S . P r e s i d e n t , t h e U . S . , r e p r e s e n t i n g t h e c o n s o r t i u m , w i l l m a k e a r r a n g e m e n t s t o o f f s e t t h e e n e r g y f o r e g o n e d u e t o t h e f r e e z e o f t h e D P R K ' s g r a p h i t e - m o d e r a t e d r e a c t o r s a n d r e l a t e d f a c i l i t i e s , p e n d i n g c o m p l e t i o n o f t h e f i r s t L W R u n i t . - - A l t e r n a t i v e e n e r g y w i l l b e p r o v i d e d i n t h e f o r m o f h e a v y o i l f o r h e a t i n g a n d e l e c t r i c i t y p r o d u c t i o n . - - D e l i v e r i e s o f h e a v y o i l w i l l b e g i n w i t h i n t h r e e m o n t h s o f t h e d a t e o f t h i s d o c u m e n t a n d w i l l r e a c h a r a t e o f 5 0 0 , 0 0 0 t o n s a n n u a l l y , i n a c c o r d a n c e w i t h a n a g r e e d s c h e d u l e o f d e l i v e r i e s . 3 ) U p o n r e c e i p t o f U . S . a s s u r a n c e s f o r t h e p r o v i s i o n o f L W R ' s a n d f o r a r r a n g e m e n t s f o r i n t e r i m e n e r g y a l t e r n a t i v e s , t h e D P R K w i l l f r e e z e i t s g r a p h i t e - m o d e r a t e d r e a c t o r s a n d r e l a t e d f a c i l i t i e s a n d w i l l e v e n t u a l l y d i s m a n t l e t h e s e r e a c t o r s a n d r e l a t e d f a c i l i t i e s . - - T h e f r e e z e o n t h e D P R K ' s g r a p h i t e - m o d e r a t e d r e a c t o r s a n d r e l a t e d f a c i l i t i e s w i l l b e f u l l y i m p l e m e n t e d w i t h i n o n e m o n t h o f t h e d a t e o f t h is d o c u m e n t . D u r i n g t h i s o n e - m o n t h p e r i o d , a n d t h r o u g h o u t t h e f r e e z e , t h e I n t e r n a t i o n a l A t o m i c E n e r g y A g e n c y ( I A E A ) w i l l b e a l l o w e d t o m o n i t o r t h i s f r e e z e , a n d t h e D P R K w i l l p r o v i d e f u l l c o o p e r a t i o n t o t h e I A E A f o r t h i s p u r p o s e . - - D i s m a n t l e m e n t o f t h e D P R K ' s g r a p h i t e - m o d e r a t e d r e a c t o r s a n d r e l a t e d f a c i l i t i e s w i l l b e c o m p l e t e d w h e n t h e L W R p r o j e c t i s c o m p l e t e d . - - T h e U . S . a n d D P R K w i l l c o o p e r a t e i n f i n d i n g a m e t h o d t o s t o r e s a f e l y t h e s p e n t f u e l f r o m t h e 5 M W ( E ) e x p e r i m e n t a l r e a c t o r d u r i n g t h e c o n s t r u c t i o n o f t h e L W R p r o j e c t , a n d t o d i s p o s e o f t h e f u e l i n a s a f e m a n n e r t h a t d o e s n o t i n v o l v e r e p r o c e s s i n g i n t h e D P R K .

Page 118: AMELIA FITRIANI.pdf

- 3 -

4 ) A s s o o n a s p o s s i b l e a f t e r t h e d a t e o f t h i s d o c u m e n t , U . S . a n d D P R K e x p e r t s w i l l h o l d t w o s e t s o f e x p e r t s t a l k s . - - A t o n e s e t o f t a l k s , e x p e r t s w i l l d i s c u s s i s s u e s r e l a t e d t o a l t e r n a t i v e e n e r g y a n d t h e r e p l a c e m e n t o f t h e g r a p h i t e - m o d e r a t e d r e a c t o r p r o g r a m w i t h t h e L W R p r o j e c t . - - A t t h e o t h e r s e t o f t a l k s , e x p e r t s w i l l d i s c u s s s p e c i f i c a r r a n g e m e n t s f o r s p e n t f u e l s t o r a g e a n d u l t i m a t e d i s p o s i t i o n . I I . T h e t w o s i d e s w i l l m o v e t o w a r d f u l l n o r m a l i z a t i o n o f

p o l i t i c a l a n d e c o n o m i c r e l a t i o n s .

1 ) W i t h i n t h r e e m o n t h s o f t h e d a t e o f t h i s d o c u m e n t , b o t h s id e s w i l l r e d u c e b a r r i e r s t o t r a d e a n d i n v e s t m e n t , i n c l u d i n g r e s t r i c t i o n s o n t e l e c o m m u n i c a t i o n s s e r v i c e s a n d f i n a n c i a l t r a n s a c t i o n s . 2 ) E a c h s i d e w i l l o p e n a l i a i s o n o f f i c e i n t h e o t h e r ' s c a p i t a l f o l l o w i n g r e s o l u t i o n o f c o n s u l a r a n d o t h e r t e c h n ic a l i s s u e s t h r o u g h e x p e r t l e v e l d i s c u s s i o n s . 3 ) A s p r o g r e s s i s m a d e o n i s s u e s o f c o n c e r n t o e a c h s i d e , t h e U . S . a n d D P R K w i l l u p g r a d e b i l a t e r a l r e l a t i o n s t o t h e a m b a s s a d o r i a l l e v e l . I I I . B o t h s i d e s w i l l w o r k t o g e t h e r f o r p e a c e a n d s e c u r i t y o n a n u c le a r - f r e e K o r e a n P e n i n s u l a . 1 ) T h e U . S . w i l l p r o v i d e f o r m a l a s s u r a n c e s t o t h e D P R K , a g a i n s t t h e t h r e a t o r u s e o f n u c l e a r w e a p o n s b y t h e U . S . 2 ) T h e D P R K w i l l c o n s i s t e n t l y t a k e s t e p s t o i m p l e m e n t t h e N o r t h- S o u t h J o i n t D e c l a r a t i o n o n t h e D e n u c l e a r i z a t i o n o f t h e K o r e a n P e n i n s u l a . 3 ) T h e D P R K w i l l e n g a g e i n N o r t h- S o u t h d i a l o g u e , a s t h i s a g r e e d f r a m e w o r k w i l l h e l p c r e a t e a n a t m o s p h e r e t h a t p r o m o t e s s u c h d i a l o g u e .

Page 119: AMELIA FITRIANI.pdf

- 4 -

I V . B o t h s i d e s w i l l w o r k t o g e t h e r t o s t r e n g t h e n t h e i n t e r n a t i o n a l n u c l e a r n o n- p r o l i f e r a t i o n r e g i m e . 1 ) T h e D P R K w i l l r e m a i n a p a r t y t o t h e T r e a t y o n t h e N o n- P r o l i f e r a t i o n o f N u c l e a r W e a p o n s ( N P T ) a n d w i l l a l l o w i m p l e m e n t a t i o n o f i t s S a f e g u a r d s A g r e e m e n t u n d e r t h e T r e a t y . 2 ) U p o n c o n c l u s i o n o f t h e s u p p l y c o n t r a c t f o r t he p r o v i s i o n o f t h e L W R p r o j e c t , a d h o c a n d r o u t i n e i n s p e c t i o n s w i l l r e s u m e u n d e r t h e D P R K ' s S a f e g u a r d s A g r e e m e n t w i t h t h e I A E A w i t h r e s p e c t t o t h e f a c i l i t i e s n o t s u b j e c t t o t h e f r e e z e . P e n d i n g c o n c l u s i o n o f t h e s u p p l y c o n t r a c t , i n s p e c t i o n s r e q u i r e d b y t h e I A E A f o r t h e c o n t i n u i t y o f s a f e g u a r d s w i l l c o n t i n u e a t t h e f a c i l i t i e s n o t s u b j e c t t o t h e f r e e z e . 3 ) W h e n a s i g n i f i c a n t p o r t i o n o f t h e L W R p r o j e c t i s c o m p l e t e d , b u t b e f o r e d e l i v e r y o f k e y n u c l e a r c o m p o n e n t s , t h e D P R K w i l l c o m e i n t o f u l l c o m p l i a n c e w i t h i t s S a f e g u a r d s A g r e e m e n t w i t h t h e I A E A ( I N F C I R C / 4 0 3 ) , i n c l u d i n g t a k i n g a l l s t e p s t h a t m a y b e d e e m e d n e c e s s a r y b y t h e I A E A , f o l l o w i n g c o n s u l t a t i o n s w i t h t h e A g e n c y w i t h r e g a r d t o v e r i f y i n g t h e a c c u r a c y a n d c o m p l e t e n e s s o f t h e D P R K ' s i n i t i a l r e p o r t o n a l l n u c l e a r m a t e r i a l i n t h e D P R K . _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ K a n g S o k J u R o b e r t L . G a l l u c c i H e a d o f t h e D e l e g a t i o n H e a d o f t h e D e l e g a t i o n o f t h e D e m o c r a t i c o f U n i t e d S t a t e s o f A m e r i c a , P e o p l e ' s R e p u b l i c o f A m b a s s a d o r a t L a r g e o f t h e K o r e a , F i r s t V i c e - M i n i s t e r U n i t e d S t a t e s o f A m e r i c a o f F o r e i g n A f f a i r s o f t h e D e m o c r a t i c P e o p l e ' s R e p u b l i c o f K o r e a

baben
Page 120: AMELIA FITRIANI.pdf

SIX-PARTY TALKS

Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes

Center for Nonproliferation Studies

Last updated: 05/24/2012

SP-1

SIX-PARTY TALKS

Initiated: 27 August 2003

Participants: China, Democratic People’s Republic

of Korea (DPRK), Japan, Russian Federation,

Republic of Korea (ROK), and the United States.

Background:

The goal of the Six-Party Talks is to identify a course

of action to bring security and stability to the Korean

Peninsula. The main issue that the talks address is the

DPRK’s nuclear weapons program. The Six-Party

Talks began in 2003, shortly after the DPRK

announced its intention to withdraw from the Treaty

on the Non-proliferation of Nuclear Weapons (NPT).

The United States requested the participation of

China, Japan, South Korea, and Russia due to the

DPRK’s breaches of the bilateral Agreed Framework

of 1994. Talks have taken place in Beijing, China.

Participants:

China: China, the DPRK’s main trading partner, has

provided Pyongyang with an enormous amount of

humanitarian and energy assistance. Because of this

relationship, China plays a vital role in acting as a

mediator for the Six-Party Talks. China has an

interest in preserving stability in the DPRK due to the

large number of refugees it would receive if tensions

rose. Regional stability is also needed to ensure

China’s continued economic growth.

DPRK: The leadership of the DPRK has made it

clear that it believes its nuclear weapons program

provides vital national security benefits. Energy

production is also one of the primary concerns of the

DPRK leadership. The DPRK economy is weak, and

the nation has suffered multiple famines in recent

years that have killed large numbers of its citizens.

Within the Six-Party Talks, the leaders of the DPRK

seek to gain security, energy, and economic benefits.

Japan: Japan believes that the DPRK’s nuclear

weapons program directly threatens its national

security. Besides seeking the denuclearization of the

Korean Peninsula, Japan wishes to address other

issues in the Six-Party Talks, such as the abduction of

Japanese citizens by the DPRK government.

Russian Federation: Russia exerts less influence on

the DPRK than China, as Russian trade with the

DPRK has hit historic lows in recent years. Due to a

shared border, Russia is also concerned about the

flow of refugees that would occur in the event of a

conflict. Russia wishes to see the DPRK’s nuclear

weapons program dismantled in order to prevent the

proliferation of nuclear materials and technology to

both state and non-state actors.

Republic of Korea: In 1953 the United States,

China, and the DPRK reached an armistice that ended

the fighting of the Korean War. This agreement was

not signed by South Korean President Syngman

Rhee; therefore, the two Koreas technically remain at

war. South Korea is interested in seeing the DPRK

dismantle its nuclear weapons program as it poses a

direct security threat to peace and security on the

Korean Peninsula. Due to a change in policy towards

the DPRK that occurred in the late 1990’s with the

Sunshine Policy, which aimed at promoting

reunification, another one of South Korea’s main

goals within the Six-Party Talks is to create a

political atmosphere in which reunification of the two

nations can be achieved.

United States: The United States wishes to see the

DPRK nuclear weapons program dismantled in order

to prevent the proliferation of nuclear technology and

materials to both state and non-state actors. The

United States is committed to defend South Korea in

accordance with the Mutual Security Agreement

signed in 1953. The United States has approximately

37,000 troops stationed in South Korea.

Developments:

For related information, see sections on Joint

Declaration of South and North Korea, KEDO, and

IAEA

2012: On 23 February, talks between the United

States and North Korea resumed in Beijing. The

DPRK agreed to halt their nuclear tests, long-range

missile launches and enrichment activities at

Yongbyon nuclear complex. In addition, they

promised to allow IAEA inspectors to monitor the

moratorium on uranium enrichment at the complex.

In return, the United States pledged to resume

Page 121: AMELIA FITRIANI.pdf

SIX-PARTY TALKS

Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes

Center for Nonproliferation Studies

Last updated: 05/24/2012

SP-2

240,000 metric-tons of food aid. The agreement was

known informally as the “Leap –day agreement.”

In commemoration of the late president Kim Il-

Sung’s 100th birthday, North Korea launched the

Kwangmyongsong-3 satellite on April 6, which failed

to reach orbit. The United States and South Korea

viewed the act as a test of missile technology and

suspended food aid to the DPRK. The United States

has since been meeting with other Six-Party members

including ROK and Japan individually regarding a

peaceful solution to the issue.

On May 3 during the first preparatory meeting for the

2015 NPT Review Conference in Vienna, the five

permanent members of the UN Security Council

issued a joint statement strongly urging the DPRK to

“fulfill its commitments under the 2005 Joint

Statement of the Six-Party Talks, and to fully comply

with the obligations under UN Security Council

Resolutions 1718 and 1874, including abandoning all

its nuclear weapons and existing nuclear programs

and immediately ceasing all related activities.”

On May 22, North Korea vowed to move ahead with

its nuclear program and take “self-defense” measures

to protect itself from U.S. hostility regarding its

satellite launch in April. There is concern among the

Six-Party members that a nuclear test could follow

shortly, as it has in the case of past rocket/satellite

launches. In response, U.S. Special Envoy Glyn

Davies emphasized the need for sanctions against the

DPRK during meetings with Chinese officials in

Beijing. Despite statements by North Korea that it

does not intend to test a nuclear device, satellite

images indicate construction at rocket launch sites is

progressing rapidly.

2011: Despite threats from North Korea, the United

States and South Korea started their annual joint

military exercises on February 28. The exercises,

designed to test force preparedness for a conflict with

North Korea, were described by both parties as

“defensive in nature” but were viewed by the DPRK

as acts of aggression. They will continue through 30

April.

On March 15, North Korea indicated to Russia its

willingness to return to the Six-Party Talks if they

were resumed unconditionally. Russia responded the

next day indicating its readiness to restart the Six-

Party Talks.

Also on March 15 the G8 Foreign Ministers

condemned DPRK’s continued violation of UN

Security Council Resolutions 1718 and 1874

following DPRK’s disclosure of uranium enrichment

activities.

On 17 March, South Korea rejected North Korean

proposals to return to the Six-Party Talks to discuss

its uranium enrichment capabilities. The South

Korean Foreign Minister Kim Sung-hwan said that

the DPRK must show its commitment to

disarmament not just in words but also in action,

demanding disarmament steps taken by the DPRK

before resuming negotiations.

On July 22, nuclear negotiators from South Korea

and the DPRK met on the sidelines of the ASEAN

Regional Forum in Bali. The meeting represented the

first direct engagement between the two countries

since 2008. After the meeting, both sides confirmed

that they were prepared to undertake efforts to restart

Six-Party Talks.

U.S. Secretary of State Hillary Clinton, who attended

the ASEAN Regional Forum, declared that the

United States was encouraged by the dialogue

between the North and South, but that the DPRK

must undergo a “change in behavior” before talks can

be resumed. Clinton then met with Japanese Foreign

Minister Takeaki Matsumoto and South Korean

Foreign Minister Kim Sung-hwan. Following the

meeting, they issued a trilateral statement declaring

that talks between the two Koreas must be “a

sustained process” and that Six-Party dialogue would

not resume until the DPRK displayed a “sincere

effort” to reconcile with South Korea. On the last day

of the Bali forum, Clinton invited Kim Kye Gwan,

North Korea’s vice foreign minister and former chief

nuclear envoy, to New York for “exploratory” talks

on the resumption of Six-Party dialogue.

On July 28 and 29, the U.S. Special Envoy to North

Korea, Stephen Bosworth, met with North Korean

First Vice Minister Kim Kye Gwan in New York to

discuss the possibility of a resumption of Six-Party

Talks. Following their meetings, Kim stated, “I am

satisfied with talks this time,” and expressed North

Korea’s intention to continue dialogue in the future.

Kim specifically called for “more bilateral” talks to

precede a resumption of Six-Party negotiations. On

August 10, South Korea's top security advisor, Chun

Young-woo, arrived in the United States for three

days of meetings with top U.S. officials to discuss

recent developments surrounding the possible

resumption of Six-Party Talks.

On August 24, Kim Jong-Il met with Russian

President Dimitry Medvedev to discuss the possible

resumption of Six-Party Talks. The North Korean

leader declared that he would be willing to return to

talks without preconditions and to negotiate a

moratorium on the production and testing of nuclear

weapons once the talks had resumed. Kim Jong-Il

Page 122: AMELIA FITRIANI.pdf

SIX-PARTY TALKS

Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes

Center for Nonproliferation Studies

Last updated: 05/24/2012

SP-3

and Medvedev also discussed a range of joint energy

and infrastructure projects, and Russia pledged to

provide the DPRK with 50,000 tons of wheat.

South Korea and the United States responded

skeptically to Kim Jong-Il’s statements, and both

called for the DPRK to take meaningful, tangible

steps toward denuclearization before Six-Party talks

could resume.

On September 27, DPRK Deputy Foreign Minister

Pak Kil Yon stated at the United Nations, that the

DPRK was ready for an ‘unconditional resumption’

of Six-Party Talks. Pak Kil Yon also called for

mechanisms that will make Security Council

Resolutions related to peace and security (i.e.

sanctions and use of force), subject to United Nations

General Assembly approval.

On 19 December, North Korea announced that Kim

Jong-Il died.

2010: On 11 January, DPRK Foreign Minister Paek

Nam Sun stated that the formation of a peace treaty

with the United States was a precondition for his

country’s return to the Six-Party Talks.

On 4 February, Kurt Campbell, U.S. Assistant

Secretary of State for East Asian and Pacific Affairs

responded by announcing that United States would

continue to hold the DPRK’s return to the Six-Party

Talks as an essential precondition to discussing a

peace treaty or lifting any sanctions imposed by the

United Nations.

On 26 March, a South Korean warship, the Cheonan,

sank after coming into contact with a torpedo, killing

46 soldiers. In May, South Korea formally accused

DPRK of launching a torpedo against its warship, but

North Korea denied having any involvement in the

explosion. South Korean officials stated they would

not resume Six-Party Talks until the Cheonan

incident was resolved and an official policy response

from North Korea was given.

On 22 April, Russian Foreign Minister Sergei Lavrov

called for a reconvening of Six-Party Talks, after

DPRK announced it would not eliminate its nuclear

weapons program, but instead wanted to work with

“other nuclear weapons states” in their

nonproliferation efforts.

On 27 August, North Korea’s Kim Jong-Il met with

Chinese President Hu Jintao in an attempt by China

to re-engage North Korea in Six-Party Talks. During

the meeting Kim Jong-Il expressed hope for “the

early resumption of the talks.”

On November 8, IAEA Director General Yukiya

Amano called on Six-Party countries to resume talks

“at an appropriate time.” However, South Korean

military exercises near a disputed sea border

prompted DPRK to shell South Korean Yeonpyeong

Island on November 23. Artillery fire was exchanged

amidst international fears of further attacks and

military escalation.

On November 28, China called for emergency talks

with the Six-Party nations in an attempt to ease

tensions on the Korean peninsula and strengthen

communication among the Six-Party members.

Although China stated that emergency consultations

do not mean a resumption of Six-Party Talks, the

idea was negatively received by South Korea, Japan,

and the United States who felt the timing was not

right for talks and that DPRK needed to fulfill its

disarmament obligations before Six-Party talks could

resume.

In that same month, North Korea unveiled its secret

2,000 centrifuge uranium enrichment facility at the

Yongbyon complex. North Korea stated that the

facility would produce LEU for a light-water reactor

under construction in the same complex. However,

the plant can also be converted to produce HEU for

nuclear weapons.

After returning from an unofficial visit to North

Korea on December 20, New Mexico Governor Bill

Richardson announced that DPRK agreed to allow

IAEA inspectors into its enrichment facility to verify

that it is not producing HEU. Both the United States

and South Korea expressed skepticism about the

offer, while China called on North Korea to follow

through and accept an inspection.

In his annual New Years message, South Korea

President Lee Myung-bak called for a revival of Six-

Party Talks with North Korea in an attempt to ease

tensions on the peninsula and reopen diplomatic

channels.

2009: On April 5, 2009, the DPRK attempted to

place a satellite into orbit with a 3-stage Taepodong-2

missile. The DPRK attempted unsuccessfully to

launch the same missile in 2006. During the 2009

test, stage one of the missile fell into the Sea of Japan

while the remaining stages along with the payload

landed in the Pacific Ocean. This missile test was

widely condemned by the international community

and was recognized as a violation of United Nations

Resolutions 1695 and 1718.

On 13 April, members of the United Nations Security

Council unanimously adopted a presidential

statement condemning the rocket launch as a

Page 123: AMELIA FITRIANI.pdf

SIX-PARTY TALKS

Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes

Center for Nonproliferation Studies

Last updated: 05/24/2012

SP-4

violation of United Nations Security Council

Resolution 1718. The statement demanded that the

DPRK not conduct any additional launches. It also

established a committee to determine whether an

adjustment of sanctions would be possible. This

statement was drafted after the permanent members

of the Security Council failed to agree on a new

resolution that included sanctions.

In response to the Security Council statement, on

April 14, the DPRK announced its withdrawal from

the Six-Party Talks and its intention to restore the

nuclear facilities that had been shut down under the

disablement process. On the same day, the DPRK’s

state-run Korean Central News Agency reported:

“The DPRK threatened to conduct a nuclear test and

more ballistic missile tests if the United Nations

Security Council does not apologize to the DPRK

and withdraw its condemnation of Pyongyang’s

rocket launch earlier this month.”

On May 25, the DPRK conducted an underground

nuclear test about 70 kilometers northwest of

Kimchaek, the site of the 2006 underground nuclear

test. The international community, including all five

permanent members of the United Nations Security

Council, strongly condemned this act.

On June 12, the United Nations Security Council

unanimously adopted Resolution 1874. This

resolution imposed further economic and commercial

sanctions on the DPRK and authorized UN Member

States to interdict and search DPRK vessels for

prohibited cargo. The resolution also called upon the

DPRK to retract its announced withdrawal from the

NPT and return to the Six-Party Talks.

In September, DPRK leader Kim Jong-Il was quoted

by China’s Xinhua news agency as saying that he

would be open to bilateral talks with the United

States in order to resolve relevant issues.

In October, Chinese Prime Minister Wen Jiabao

visited the DPRK and met with Kim Jong-Il.

Afterwards, the Prime Minister announced that the

DPRK was ready to return to the Six-Party Talks. He

also made it clear that DPRK participation in the

talks would be dependant on whether progress was

made in the bilateral negotiations with the United

States. At the time of this announcement, the South

Korean news agency Yonhap reported that the DPRK

had nearly completed the restoration of its main

nuclear facility in Yongbyon.

In December, U.S. special representative to North

Korea Stephen Bosworth met with DPRK officials in

Pyongyang. The talks did not produce any concrete

commitments, though Bosworth reported that he had

reached a common understanding with his

counterparts that the DPRK needed to reaffirm its

2005 commitment to abandon nuclear weapons in

return for economic aid.

2008: In May 2008, the DPRK provided the United

States with the documents that outlined its nuclear

program. A month later they released a declaration of

all nuclear activities to all members of the Six-Party

Talks. The United States reported having found

traces of highly enriched uranium on the documents,

which was problematic since the DPRK denied

having an active uranium enrichment program. The

United States also felt that the DPRK documents

were insufficient because they did not give an

account of proliferation actions with other countries

such as Libya and did not contain the exact number

of nuclear weapons that the DPRK had produced.

While behind schedule, disablement of Yongbyon

was reported to be nearing completion and the DPRK

submitted its long-overdue nuclear declaration on

June 26. The following day, in an effort to

demonstrate its commitment to the denuclearization

process, the DPRK destroyed the cooling tower of its

5 Mw(e) experimental reactor at Yongbyon. The Six-

Party Talks resumed negotiations to map out a

verification plan.

In October, the DPRK agreed to a number of

verification measures, and the United States removed

it from their list of State Sponsors of Terrorism.

In November, the DPRK prevented environmental

samples from being taken from its main nuclear

complex. These samples would have been used to

verify the DPRK’s account of past nuclear activities.

2007: On February 13, the DPRK agreed to an

“Action Plan” based on the 2005 Statement of

Principles. Under the deal, the DPRK would shut

down its nuclear facilities at Yongbyon within 60

days in exchange for 50,000 tons of heavy-fuel aid.

Separate bilateral talks with the United States and

Japan would also begin in order to normalize

relations. Furthermore, in accordance with the Action

Plan’s second phase, another 950,000 tons of heavy

fuel oil would be delivered along with other

humanitarian, economic, and energy aid if the DPRK

disabled its nuclear weapons program entirely.

On 19 March, DPRK assets in Banco Delta Asia

were released and on July 14, the IAEA confirmed

the shutdown of Yongbyon nuclear facilities. In

October 2007, the six parties agreed to a Second-

Phase Action Plan which called for the DPRK to

disable its key nuclear facilities at Yongbyon and

Page 124: AMELIA FITRIANI.pdf

SIX-PARTY TALKS

Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes

Center for Nonproliferation Studies

Last updated: 05/24/2012

SP-5

furthermore to submit a full declaration of its entire

nuclear program by December 31, 2007.

2006: As a result of failed talks, North Korea tested

seven missiles including several long-range missiles

in July and announced plans to test a nuclear device.

On 9 October 2006, the DPRK tested its first nuclear

device at 10:35am (local time) at Mount Mant’ap

near P’unggye-ri, Kilchu-kun, North Hamgyong

Province. The yield from the test appeared to be less

than 1 kiloton; the DPRK reportedly was expecting at

least a 4 kiloton yield, possibly indicating that the

nuclear program still had a number of technical

hurdles to overcome before it could deploy a usable

warhead. In reaction to the test, the UN Security

Council passed Resolution 1718 placing sanctions on

the DPRK.

With Beijing’s behind the scenes negotiations, the

DPRK returned to the Six-Party Talks in from

November (phase 1) and December 2006 (phase 2)

in which the parties reaffirm the September 19, 2005

Joint Statement. The talks would continue into a third

phase in 2007.

2005: On 10 February, the DPRK announced that it

had manufactured nuclear weapons and was

suspending talks for an indefinite period.

In April, the ROK claimed the North has shut down

its reactor to extract fissile material for nuclear

weapons. On May 1, the DPRK partook in another

missile test.

A fourth round of Six-Party Talks took place in two

phases: from July 27 to August 7 and from

September 13 to 19. The first phase of the Fourth

Round of Six-Party Talks was largely unsuccessful in

that no agreements could be made, thus they were

recessed until September’s second phase.

On 19 September, the DPRK’s delegation to the Six-

Party Talks signed a “Statement of Principles”

whereby Pyongyang agreed to abandon all nuclear

programs and return to the NPT and restore IAEA

safeguards in exchange for a U.S.-provided light-

water reactor. Implementation was delayed because

the DPRK and the United States had desired that the

other side fulfill its obligations under the agreement

first.

Despite the “Statement of Principles,” the Six-Party

Talks process was put on hold for over a year. A key

issue holding back the talks was a disagreement over

financial sanctions placed by the United States on

businesses working with the DPRK. In September

2005, Washington froze the assets of Macao-based

Banco Delta Asia. The reasons for this action was

controversial, with the United States claiming that the

bank was involved in money laundering unrelated to

the nuclear issue, while experts claimed it was to gain

negotiating leverage over the DPRK nuclear weapons

program. As a result, North Korea refused to return to

talks and sought to resume building its own nuclear

reactor in light of U.S. refusal to implement the

Agreed Framework.

2004: In January, U.S. nuclear scientist Dr. Siegfried

Hecker was allowed unofficial access to the

Yongbyon nuclear facilities. Although he did not find

enought evidence to prove they had a weapons

program, he did discern they “most likely” have the

ability to produce plutonium.

The Second Round of Six-Party Talks resumed from

February 25-28. While mostly inconclusive, the

participants did express their commitment to a

nuclear-weapon-free Korean Peninsula and their

willingness to coexist peacefully. All parties agreed

to coordinate steps to address the nuclear and related

concerns and to hold a third round of talks.

The Third Round of Six-Party Talks took place June

23-26 in Beijing where parties stressed the need for

“words for words” and “actions for actions” and

reaffirmed their commitments to the denuclearization

of the Korean Peninsula. They agreed, in principle, to

a fourth round of talks to be held in September 2004.

2003: On 10 January, DPRK announced its

withdrawal from NPT.

On 5 February, North Korean officials declared they

had reactivated the Yongbyon nuclear reactor to

produce electricity “at the present stage.” Despite the

DPRK’s reassurances of the peaceful nature of

program, the IAEA referred the case to the UN

Security Council on February 12.

On February 17, the U.S. and the ROK announce

they will hold joint military exercises in March,

which the DPRK responds to with a missile launch

on February 24 and a second on March 10.

On April 12, North Korean officials indicated interest

in returning to multilateral talks. China hosts trilateral

talks between the U.S. and DPRK in Beijing at the

end of April.

No agreement was made between the parties during

the first round of Six-Party Talks held from August

27-29, but all participants expressed a willingness to

continue talks at a future date.

2002: On January 29 during his State of the Union

address, U.S. President George W. Bush referred to

Page 125: AMELIA FITRIANI.pdf

SIX-PARTY TALKS

Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes

Center for Nonproliferation Studies

Last updated: 05/24/2012

SP-6

North Korea as a member of the “axis of evil” due to

their suspected nuclear weapons program.

Through April, U.S. and South Korean officials

attended several meetings to discuss the possible

resumption of U.S. negotiations with North Korea to

reinvigorate the 1994 Agreed Framework. South

Korean presidential aide Lim Dong Won met with

North Korean officials, including leader Kim Jong-Il,

who agreed to receive U.S. diplomat Jack Pritchard

to discuss restarting U.S.-North Korean negotiations

on the Agreed Framework. At issue were the IAEA

inspections of North Korea’s nuclear facilities, called

for in the 1994 agreement when a “significant

portion” of the new reactors was completed. U.S.

officials said the inspections could take three to four

years to conduct, making their early commencement

necessary to avoid interruption or delay in U.S. aid

for building the two LWRs intended to supply

electricity to North Korea. North Korean officials,

however, were reluctant to allow the inspections in

the wake of U.S. President Bush’s January “axis of

evil” speech, and due to concerns that the United

States would renege on its pledge to help the country

complete the LWRs.

During a visit to the DPRK from October 3-5, U.S.

Assistant Secretary James A. Kelly and his

delegation advised the North Koreans that the United

States had recently acquired information indicating

that North Korea had a program to enrich uranium for

nuclear weapons in violation of the Agreed

Framework and other agreements. On October 16,

U.S. officials claimed that North Korea

acknowledged they had such a program; however,

there is still much conflict over the interpretation of

North Korean statements if they really “admitted”

possession or asserted their “right” to possession. The

following day, Kim Jong-Il stated he would allow

inspections of decommissioned nuclear facilities.

On November 14, U.S. President George W. Bush

declared that November oil shipments to North Korea

would be the last if the North did not agree to put a

halt to its weapons programs.

On December 12, the DPRK threatened to reactivate

nuclear facilities for energy generation as a

consequence of the Americans’ decision to halt oil

shipments Finally, North Korea expelled IAEA

inspectors and stated plans to reopen its reprocessing

facilities.

2001: On February 22, North Korea threatened to

abandon its participation in the Agreed Framework if

the Bush administration followed a “different” North

Korea policy from that of the Clinton administration.

North Korea also accused the United States of not

sincerely implementing the Agreed Framework and

emphasized that, should the United States continue to

delay implementation, it would not be bound to the

agreement any longer. The United States stated in

response that it was willing to continue dialogue with

the DPRK on security issues and that it would honor

the Agreed Framework.

On 6 March, U.S. Secretary of State Colin Powell

announced that the United States planned to engage

with North Korea and pick up where President

Clinton had left off. The administration noted some

“promising elements” that had been left on the table.

President Bush further noted that he was looking

forward, at some point in the future, to having a

dialogue with the DPRK. However, such dialogue

would require complete verification of the terms of a

potential agreement. The DPRK called the new U.S.

policy hostile.

On 6 June, the United States announced its

determination to resume “serious discussions” on a

“broad agenda” with the DPRK, i.e., comprehensive

negotiations, including “improved implementation of

the Agreed Framework, verifiable missile ban and

North Korean conventional forces on the peninsula.”

Some experts interpreted the new comprehensive

approach as linkage between progress on nuclear

issues with missile, and conventional issues in

dealing with North Korea. The DPRK refused to

resume talks with the United States on such a

comprehensive basis, accusing the Bush

administration of committing to a policy of isolation

and suppression of North Korea. The DPRK stated

that instead of holding comprehensive discussions,

bilateral talks should focus on compensating the

DPRK for the loss of electricity due to delays in the

construction of the Light Water Reactor (LWR)

under the Agreed Framework and warned that the

accord was in danger of collapse. The Bush

administration stated that it was committed to the

Agreed Framework; however, construction of the

LWR, required by the accord, had not yet begun.

However, on 7 June, President Bush announced that

his administration would not immediately resume

negotiations with the DPRK, he expressed concerns

about the ability to verify any agreement with a

closed society like North Korea. U.S. officials stated

that the administration was conducting a

comprehensive review of U.S. policy towards the

DPRK.

US Congressional Republican leaders urged the

administration to reconsider the terms of the Agreed

Framework by abandoning the LWR project in favor

Page 126: AMELIA FITRIANI.pdf

SIX-PARTY TALKS

Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes

Center for Nonproliferation Studies

Last updated: 05/24/2012

SP-7

of conventional power plants to meet North Korea’s

civilian energy needs. They called into question

Pyongyang's “track record” and said that North

Korea's regime could hardly be trusted with LWR

technology or fissile material.

On 13 June, U.S. special envoy Jack Pritchard met

North Korea’s UN envoy in New York, beginning a

dialogue between the Bush administration and the

government in Pyongyang. This meeting was

followed by the U.S. administration’s decision to

resume negotiations with North Korea after a three-

month review.