AMDAL PRINT
-
Upload
ivro-vauryn-anggadhika -
Category
Documents
-
view
264 -
download
7
Transcript of AMDAL PRINT
MAKALAH AMDAL
Disusun untuk Memenuhi Tugas AMDAL
Disusun Oleh :
1. Nur Hawi (0610923046)2. Hafid Mufaridona (0610923030)3. Ivro Vauryn A. (0810920041)4. Ramadona Apriyanto (0810923071)
JURUSAN KIMIAFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYAMALANG
2010
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari sering ditemukan berbagai masalah, mulai dari
masalah sosial dan ekonomi seperti: masalah dalam keluarga, lingkungan tetangga atau
masyarakat, masalah pengangguran, kemiskinan, kesehatan dan sebagainya. Selain itu, ada
juga masalah yang bersifat fisik yang merupakan lingkungan hidup manusia. Masalah-
masalah yang berhubungan dengan lingkungan fisik ini antara lain adalah pencemaran
lingkungan dengan segala dampak yang ditimbulkannya.
Pada saat ini pencemaran berlangsung di mana-mana dengan laju begitu cepat
yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Kecenderungan pencemaran akhir-akhir ini mengarah
kepada dua hal, yaitu: (1) Ke arah pembuangan senyawa-senyawa kimia tertentu yang
semakin meningkat, terutama pembakaran minyak bumi yang secara nyata sudah merubah
sistem alami pada skala global. (2) Ke arah meningkatnya penggunaan Bahan Berbahaya
Beracun (B3) oleh berbagai kegiatan industri dengan pembuangan limbahnya ke lingkungan.
Akibatnya timbul masalah-masalah yang bersifat global antara lain: pemanasan global dan
deforestation. Berbagai solusi telah ditawarkan untuk menanggulangi kedua masalah ini
dengan melakukan penjualan karbon, pembangunan berkelanjutan dan mencapai tujuan
pembangunan millenium dengan tetap berbasis pada Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun
1999.
1.2. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan pemanasan global dan dampaknya bagi lingkungan?
b. Apa yang dimaksud dengan carbon trading?
c. Apa yang dimaksud dengan deforestation dan penyebab terjadinya deforestation?
d. Apa yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan dan tolak ukur pembangunan
berkelanjutan?
e. Apa yang dimaksud dengan tujuan pembangunan millenium dan apa saja tujuan
pembangunan millenium?
f. Apa tujuan pembelajaran AMDAL berdasarkan Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1999?
1.3. Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian pemanasan global dan dampaknya bagi lingkungan.
b. Untuk mengetahui pengertian carbon trading.
c. Untuk mengetahui pengertian deforestation dan penyebab terjadinya deforestation.
d. Untuk mengetahui pengertian pembangunan berkelanjutan dan tolak ukur pembangunan
berkelanjutan.
e. Untuk mengetahui pengertian tujuan pembangunan millenium.
f. Untuk mengetahui tujuan pembelajaran AMDAL berdasarkan Peraturan Pemerintah No.32
Tahun 1999.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pemanasan Global
2.1.1. Definisi Pemanasan Global
Atmosfer bumi tidak pernah bebas dari perubahan. Komposisi, suhu, dan
kemampuan membersihkan diri selalu bervariasi sejak planet bumi ini terbentuk. Dengan
makin meningkatnya jumlah penduduk yang disertai dengan meningkatnya kegiatan manusia
terutama dalam bidang transportasi, maka pakar-pakar atmosfer dunia memprediksi akan
terjadi kenaikan suhu di seluruh permukaan bumi yang dikenal dengan pemanasan global.
Pemanasan global adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer,
laut dan daratan bumi. Pada saat ini bumi menghadapi pemanasan yang cepat. Menurut para
ahli meteorologi, selama seratus tahun terakhir, rata-rata temperatur ini telah meningkat dari
15oC menjadi 15.6oC. Hasil pengukuran yang lebih akurat oleh stasiun meteorologi dan juga
data pengukuran satelit sejak tahun 1957, menunjukkan bahwa sepuluh tahun terhangat
terjadi setelah tahun 1980, tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990. Secara kuantitatif
nilai perubahan temperatur rata-rata bumi ini kecil tetapi dampaknya sangat luar biasa
terhadap lingkungan.
Penyebab utama pemanasan global adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti
batu bara, minyak bumi dan gas alam, yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya
seperti metana, chlor, belerang dan lain sebagainya. Pelepasan gas-gas tersebut telah
menyebabkan munculnya fenomena yang disebut dengan Efek Rumah Kaca (Green House
Effect).
2.1.2. Efek Rumah Kaca
Lapisan atmosfir terdiri dari berturut-turut: troposfir, stratosfir, mesosfir dan
termosfer. Lapisan terbawah (troposfir) adalah yang yang terpenting dalam kasus efek rumah
kaca. Sekitar 35% dari radiasi matahari tidak sampai ke permukaan bumi. Hampir seluruh
radiasi yang bergelombang pendek (sinar alpha, beta dan ultraviolet) diserap oleh tiga lapisan
teratas. Yang lainnya dihamburkan dan dipantulkan kembali ke ruang angkasa oleh molekul
gas, awan dan partikel. Sisanya yang 65% masuk ke dalam troposfir. Di dalam troposfirini,
14 % diserap oleh uap air, debu, dan gas-gas tertentu sehingga hanya sekitar 51% yang
sampai ke permukaan bumi. Dari 51% ini, 37% merupakan radiasi langsung dan 14% radiasi
difus yang telah mengalami penghamburan dalam lapisan troposfir oleh molekul gas dan
partikel debu. Radiasi yang diterima bumi, sebagian diserap sebagian dipantulkan. Radiasi
yang diserap dipancarkan kembali dalam bentuk sinar inframerah.
Sinar inframerah yang dipantulkan bumi kemudian diserap oleh molekul gas yang
antara lain berupa uap air atau H2O, CO2, metan (CH4), dan ozon (O3). Sinar panas
inframerah ini terperangkap dalam lapisan troposfir dan oleh karenanya suhu udara di
troposfir dan permukaan bumi menjadi naik.
Dalam keadaan normal efek rumah kaca dibutuhkan. Dengan adanya efek rumah
kaca, perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi tidak jauh berbeda. Artinya pada
waktu malam, suhu rata-rata di permukaan bumi yang tidak terkena energi matahari akan
sangat rendah bila tidak ada efek rumah kaca.
Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbondioksida
(CO2) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh
kenaikan pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batu bara dan bahan bakar organik
lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk mengabsorbsinya.
Selain gas CO2, yang dapat menimbulkan efek rumah kaca adalah sulfur dioksida
(SO2), nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) serta beberapa senyawa
organik seperti gas metana (CH4) dan khloro fluoro karbon (CFC). Gas-gas tersebut
memegang peranan penting dalam meningkatkan efek rumah kaca.
Gas rumah kaca merupakan gas-gas yang ada di atmosfer yang menyebabkan
efek rumah kaca. Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami di lingkungan, tetapi
dapat juga timbul akibat aktifitas manusia.Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air
yang mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau dan sungai. Karbondioksida
(CO2) yang timbul dari berbagai proses alami seperti: letusan vulkanik, pernafasan hewan dan
manusia (yang menghirup oksigen dan menghembuskan karbondioksida), dan pembakaran
material organik (seperti tumbuhan). Karbondioksida dapat berkurang karena terserap oleh
lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis yang akan memecah
karbondioksida. Uap air adalah gas rumah kaca yang timbul secara alami dan
bertanggungjawab terhadap sebagian besar dari efek rumah kaca. Konsentrasi uap air
berfluktuasi secara regional, dan aktifitas manusia tidak secara langsung mempengaruhi
konsentrasi uap air kecuali pada skala lokal. Dalam model iklim, meningkatnya temperatur
atmosfer yang disebabkan efek rumah kaca akibat gas-gas antropogenik akan menyebabkan
meningkatnya kandungan uap air di troposfer, dengan kelembapan relatif yang agak konstan.
Meningkatnya konsentrasi uap air mengakibatkan meningkatnya efek rumah kaca yang
mengakibatkan meningkatnya temperatur dan kembali semakin meningkatkan jumlah uap air
di atmosfer. Keadaan ini terus berkelanjutan sampai mencapai titik ekuilibrium
(kesetimbangan). Oleh karena itu, uap air berperan sebagai umpan balik positif terhadap aksi
yang dilakukan manusia yang melepaskan gas-gas rumah kaca seperti CO2.
Berikut ini akan dijelaskan tentang gas-gas yang dapat menyebeabkan terjadinya
Efek Rumah Kaca:
a. Karbondioksida (CO2)
Manusia telah meningkatkan jumlah karbondioksida yang dilepas ke atmosfer
ketika mereka membakar bahan bakar fosil, limbah padat, dan kayu untuk menghangatkan
bangunan, menggerakkan kendaraan dan menghasilkan listrik. Pada saat yang sama, jumlah
pepohonan yang mampu menyerap karbondioksida semakin berkurang akibat perambahan
hutan untuk diambil kayunya maupun untuk perluasan lahan pertanian. Walaupun lautan dan
proses alam lainnya mampu mengurangi karbondioksida di atmosfer, aktifitas manusia yang
melepaskan karbondioksida ke udara jauh lebih cepat dari kemampuan alam untuk
menguranginya.
Pada tahun 1750, terdapat 281 molekul karbondioksida pada satu juta molekul
udara (281 ppm). Pada Januari 2007, konsentrasi karbondioksida telah mencapai 383 ppm
(peningkatan 36 persen). Jika prediksi saat ini benar, pada tahun 2100, karbondioksida akan
mencapai konsentrasi 540 hingga 970 ppm. Estimasi yang lebih tinggi malah memperkirakan
bahwa konsentrasinya akan meningkat tiga kali lipat bila dibandingkan masa sebelum
revolusi industri.
b. Metana (CH4)
Metana yang merupakan komponen utama gas alam juga termasuk gas rumah
kaca. Ia merupakan insulator yang efektif, mampu menangkap panas 20 kali lebih banyak
bila dibandingkan karbondioksida. Metana dilepaskan selama produksi dan transportasi batu
bara, gas alam, dan minyak bumi. Metana juga dihasilkan dari pembusukan limbah organik di
tempat pembuangan sampah (landfill), bahkan dapat keluarkan oleh hewan-hewan tertentu,
terutama sapi, sebagai produk samping dari pencernaan. Sejak permulaan revolusi industri
pada pertengahan 1700- an, jumlah metana di atmosfer telah meningkat satu setengah kali
lipat.
c. Nitrogen Oksida (NO)
Nitrogen oksida adalah gas insulator panas yang sangat kuat. Ia dihasilkan
terutama dari pembakaran bahan bakar fosil dan oleh lahan pertanian. Nitrogen oksida dapat
menangkap panas 300 kali lebih besar dari karbondioksida. Konsentrasi gas ini telah
meningkat 16 persen bila dibandingkan masa pre-industri.
d. Gas lainnya
Gas rumah kaca lainnya dihasilkan dari berbagai proses manufaktur. Campuran
berflourinasi dihasilkan dari peleburan alumunium. Hidrofluorokarbon (HCFC-22) terbentuk
selama manufaktur berbagai produk, termasuk busa untuk insulasi, perabotan (furniture), dan
tempat duduk di kendaraan. Lemari pendingin di beberapa negara berkembang masih
menggunakan klorofluorokarbon (CFC) sebagai media pendingin yang selain mampu
menahan panas atmosfer juga mengurangi lapisan ozon (lapisan yang melindungi Bumi dari
radiasi ultraviolet). Selama masa abad ke-20, gas-gas ini telah terakumulasi di atmosfer,
tetapi sejak 1995, untuk mengikuti peraturan yang ditetapkan dalam Protokol Montreal
tentang Substansi-substansi yang Menipiskan Lapisan Ozon, konsentrasi gas-gas ini mulai
makin sedikit dilepas ke udara. Para ilmuan telah lama mengkhawatirkan tentang gas-gas
yang dihasilkan dari proses manufaktur akan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.
Pada tahun 2000, para ilmuan mengidentifikasi bahan baru yang meningkat secara substansial
di atmosfer. Bahan tersebut adalah trifluorometil sulfur pentafluorida. Konsentrasi gas ini di
atmosfer meningkat dengan sangat cepat, yang walaupun masih tergolong langka di atmosfer
tetapi gas ini mampu menangkap panas jauh lebih besar dari gas-gas rumah kaca yang telah
dikenal sebelumnya. Hingga saat ini sumber industri penghasil gas ini masih belum
teridentifikasi.
2.1.3. Dampak Pemanasan Global
Pemanasan global mengakibatkan mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub
yang dapat menimbulkan naiknya permukaan air laut yang dapat mengancam pemukiman
pinggir pantai. Naiknya permukaan laut juga membawa implikasi lain seperti erosi wilayah
pesisir, kerusakan hutan bakau dan terumbu karang, naiknya salinitas di wilayah Estuaria dan
wilayah pesisir lainnya, perubahan lokasi sedimentasi, berkurangnya intensitas cahaya di
dasar laut serta naiknya tinggi gelombang. Akibat perubahan iklim global, keseimbangan
biologis di laut akan mengalami perubahan yang dapat meningkatkan jumlah ganggang di
lautan. Beberapa jenis ganggang ini diketahui mengeluarkan racun yang membahayakan
kehidupan laut dan dapat meracuni manusia yang memakan ikan dan hasil laut lainnya.
Efek rumah kaca telah meningkatkan suhu bumi rata-rata 1-5°C. Bila
kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang akan menyebabkan
peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5°C sekitar tahun 2030. Dengan meningkatnya
konsentrasi gas CO2 di atmosfer, maka akan semakin banyak gelombang panas yang
dipantulkan dari permukaan bumi diserap atmosfer. Hal ini akan mengakibatkan suhu
permukaan bumi menjadi meningkat. Bumi secara konstan menerima energi, kebanyakan dari
sinar matahari tetapi sebagian juga diperoleh dari bumi itu sendiri, yakni melalui energi yang
dibebaskan dari proses radioaktif.
Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit
yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga
dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan
cuaca yang ekstrim dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara
dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir,
badai) dan kematian akibat trauma.
2.1.4. Upaya Penanggulangan Pemanasan Global
Untuk mengatasi efek rumah kaca, beberapa hal yang harus dilakukan adalah:
a. Melakukan penghematan energi
b. Menguburkan sisa-sisa pembakaran di bawah tanah atau mengembalikannya ke ladang
minyak atau tambang batu bara atau bahkan dibuang ke dasar laut untuk menangkap
karbon dioksida yang dikeluarkan
c. Mengemas CO2 dengan cara menguburkan gas sisa-sisa pembakaran dan mengalirkan CO2
serta memompakannya ke bawah laut di kedalaman 1000 m di bawah dasar laut
d. Menjaga kelestarian hutan
e. Mengubah pola makan menjadi vegetarian, karena daging sapi dan hewan ternak lainnya
penyumbang gas CO2 terbesar
f. Berupaya untuk mencari alternatif bahan bakar lain yang lebih efisien dan ramah
lingkungan.
2.2. Carbon Trading
Emisi karbon adalah hasil pembuangan atau sisa dari aktivitas makhluk hidup.
Secara awam dapat kita lihat pada diri kita, bahwa kita bernafas menghirup oksigen (O2) dan
mengeluarkan karbondioksida (CO2). Emisi karbon disebabkan karena adanya pembakaran
energi fosil, hasil pembakaran akan diserap atmosfir. Penyerapan atmosfir itulah yang
menyebabkan pemanasan global.
Perdagangan karbon atau carbon trading atau lebih umum dikenal dengan
emission trading merupakan istilah yang diterapkan dalam perdagangan sertifikat yang
mencerminkan berbagai cara untuk mengurangi emisi karbon sesuai dengan target yang
dicantumkan dalam sertifikat. Para partisipan dalam perdagangan karbon membeli dan
menjual komitmen kontrak (contractual commietments) atau sertifikat yang mencerminkan
jumlah tertentu emisi karbon (carbon-related emission) yang dapat dikurangi.
Perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk membantu
membatasi peningkatan CO2 di atmosfer. Pasar perdagangan karbon sedang mengalami
perkembangan yang membuat pembeli dan penjual kredit karbon sejajar dalam peraturan
perdangangan yang sudah distandardisasi.
Pembeli adalah pemilik industri yang menghasilkan CO2 ke atmosfer memiliki
ketertarikan atau diwajibkan oleh hukum untuk menyeimbangkan emisi yang mereka
keluarkan melalui mekanisme sekuestrasi karbon. Fasilitas pembangkit tenaga bisa termasuk
ke dalam industri ini. Pemilik yang mengelola hutan atau lahan pertanian bisa menjual kredit
karbon berdasarkan akumulasi karbon yang terkandung dalam pepohonan di hutan mereka.
Atau bisa juga pengelola industri yang mengurangi emisi karbon mereka menjual emisi
mereka yang telah dikurangi kepada emitor lain.
Protokol Kyoto menawarkan tiga mekanisme fleksibel untuk membantu Negara
negara industry menekan laju emisi karbon yaitu (Napitu, 2007) :
1. Implementasi bersama (join implementation)
2. Perdagangan Karbon Internasional (International Carbon Trading)
3. Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism)
Jadi, perdagangan karbon dalam program kehutanan adalah menjual kemampuan pohon
untuk menyerap sejumlah karbon yang dikandung di atmosfer agar disimpan didalam
biomasa pohon untuk waktu yang ditentukan (20 tahun dengan 2 kali perpanjangan atau satu
periode selama 30 tahun saja) sesuai dengan definisi hutan yang telah disepakati di
Marrakech dan definisi kelayakan lahan untuk kegiatan aforestasi dan reforestasi MPB yang
telah disepakati di Kyoto. Aforestasi adalah konversi lahan menjadi hutan pada lahan yang
bukan hutan sejak 50 tahun terakhir. Melalui penanaman, pembenihan dan atau penggunaan
sumber benih yang dilakukan oleh manusia. Reforestasi adalah konversi lahan bukan hutan
menjadi hutan melalui penanaman, pembenihan dan atau penggunaan sumber benih alami
yang dilakukan oleh manusia. Dimana sebelumnya kawasan itu hutan, namun dirubah
fungsinya menjadi lahan bukan hutan.
Banyak pihak yang beranggapan bahwa melakukan mitigasi secara permanen
melalui penghematan pemanfaatan bahan bakar fosil, teknologi bersih, dan penggunaan
energi terbarukan, lebih penting daripada melalui carbon sink. Hal ini dikarenakan hutan
hanya menyimpan karbon untuk waktu yang terbatas (stock). Ketika terjadi penebangan
hutan, kebakaran atau perubahan tata guna lahan, karbon tersebut akan dilepaskan kembali ke
atmosfer (Rusmantoro, 2003).
Carbon sink adalah istilah yang kerap digunakan di bidang perubahan iklim.
Istilah ini berkaitan dengan fungsi hutan sebagai penyerap (sink) dan penyimpan (reservoir)
karbon. Emisi karbon ini umumnya dihasilkan dari kegiatan pembakaran bahan bakar fosil
pada sektor industri, transportasi dan rumah tangga.
Hutan Pinus di Indonesia sebagai salah satu hutan tanaman yang memiliki nilai
ekonomi strategis dan persebarannya yang cukup luas saat ini diandalkan sebagai penghasil
produk hasil hutan non kayu melalui produksi getahnya. Nilai ekonomi hutan Pinus dianggap
masih rendah apabila hanya dihitung dari nilai getah dan kayunya saja, sudah saatnya
dilakukan upaya penghitungan manfaat hutan sebagai penyedia jasa lingkungan yang
diharapkan mampu memberikan nilai ekonomi lebih tinggi dengan mengetahui berbagai
kemampuannya dalam menyediakan sumberdaya air, penyerap karbon, penghasil oksigen,
jasa wisata alam, satwa, biodiversitas dan sebagainya.
2.3. Deforestasi
Deforestasi (deforestation) merupakan suatu kondisi saat tingkat luas area hutan
yang menunjukkan penurunan secara kualitas dan kuantitas. Deforestasi di Indonesia
sebagian besar merupakan akibat dari suatu sistem politik dan ekonomi yang korup, yang
menganggap sumber daya alam, khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan yang dapat
dieksploitasi untuk kepentingan politik dan keuntungan pribadi.
2.3.1. Faktor-faktor penyebab Deforestasi
a. Perkebunan
Lonjakan pembangunan perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit,
merupakan penyebab lain dari deforestasi. Hampir 7 juta ha hutan sudah disetujui untuk
dikonversi menjadi perkebunan sampai akhir tahun 1997 dan hutan ini hampir dapat
dipastikan telah ditebang habis. Tetapi lahan yang benar-benar dikonversi menjadi
perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1985 hanya 2,6 juta ha, sementara perkebunan baru
untuk tanaman keras lainnya kemungkinan luasnya mencapai 1-1,5 juta ha. Sisanya seluas 3
juta ha lahan yang sebelumnya hutan sekarang dalam keadaan terlantar. Banyak perusahaan
yang sama, yang mengoperasikan konsesi HPH, juga memiliki perkebunan dan hubungan
yang korup berkembang, dimana para pengusaha mengajukan permohonan izin membangun
perkebunan, menebang habis hutan dan menggunakan kayu yang dihasilkan utamanya untuk
pembuatan pulp, kemudian pindah lagi, sementara lahan yang sudah dibuka ditelantarkan.
b. Hak Penguasaan Hutan
Lebih dari setengah kawasan hutan Indonesia dialokasikan untuk produksi kayu
berdasarkan sistem tebang pilih. Kurangnya pengawasan dan akuntabilitas perusahaan berarti
pengawasan terhadap pengelolaan hutan sangat lemah dan, lama kelamaan, banyak hutan
produksi yang telah dieksploitasi secara berlebihan. Areal konsesi HPH yang mengalami
degradasi memudahkan penurunan kualitasnya menjadi di bawah batas ambang produktivitas,
yang memungkinkan para pengusaha perkebunan untuk mengajukan permohonan izin
konversi hutan. Jika permohonan ini disetujui, maka hutan tersebut akan ditebang habis dan
diubah menjadi hutan tanaman industri atau perkebunan.
c. Hutan Tanaman Industri
Hutan tanaman industri telah dipromosikan secara besar-besaran dan diberi
subsidi sebagai suatu cara untuk menyediakan pasokan kayu bagi industri pulp yang
berkembang pesat di Indonesia, tetapi cara ini mendatangkan tekanan terhadap hutan alam.
Hampir 9 juta ha lahan, sebagian besar adalah hutan alam, telah dialokasikan untuk
pembangunan hutan tanaman industri. Lahan ini kemungkinan telah ditebang habis atau
dalam waktu dekat akan ditebang habis. Namun hanya sekitar 2 juta ha yang telah ditanami,
sedangkan sisanya seluas 7 juta ha menjadi lahan terbuka yang terlantar dan tidak produktif.
Fenomena hutan tanaman industri dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Metode pembagian konsesi memberi pemegang konsesi lahan yang terlalu besar.
Akibatnya pemegang konsesi tertentu kurang mempunyai insentif untuk mencegah
perambahan oleh petani kecil, atau tidak mampu menghentikan perambahan yang
demikian. Thiele (1994) mengatakan bahwa biaya konsesi (concession fees) yang
rendah mendorong pemegang konsesi untuk menguasai areal yang luas sekali, lebih
untuk tujuan asuransi atau spekulasi daripada untuk memanen kayu. Ia menambahkan
ini bukan hanya menyiratkan bahwa sumberdaya milik rakyat dibiarkan menganggur,
tetapi juga mendorong para peladang berpindah untuk melakukan deforestasi, karena
para pemegang konsesi kurang mempunyai insentif untuk mengawasi perambahan
apabila mereka memiliki kelebihan lahan. Sebagai informasi tambahan, royalti
konsesi hutan di Indonesia didasarkan pada volume kayu yang dihasilkan, bukan pada
luasnya areal HPH, sehingga mendorong penguasaan areal konsesi yang kelewat luas.
2) Kebijakan-kebijakan tertentu mendorong perilaku mencari rente ekonomi (rent-
seeking behavior) dan akibatnya mengurangi insentif untuk pengelolaan jangka
panjang. Besarnya pembayaran royalti kepada pemerintah rendah, yang berarti para
pemegang konsesi dapat menikmati bagian yang besar dari potensi keuntungan areal
konsesinya. Menurut Thiele (1994) potensi tinggi untuk mendapatkan keuntungan
yang lebih, mendorong kegiatan mencari rente ekonomi (rent-seeking activities)
dalam perolehan areal konsesi, sehingga pelaksanaan persetujuan konsesi terancam
untuk dilanggar. Gabungan antara royalti yang rendah dan batas masa konsesi 20
tahun mendorong pembalakan kembali sebelum waktunya, dimana pemegang konsesi
masuk kembali kedalam lokasi mereka setelah penebangan pertama (untuk
melakukan penebangan yang kedua atau selanjutnya), sebelum HPH nya jatuh tempo,
sehingga merusak tegakan-tegakan yang belum siap panen. Pada tahun 1990 survei-
survei menemukan bahwa di areal konsesi di mana telah dilakukan pembalakan,
tegakan tinggal yang rusak mencapai 40%, sehingga sangat menurunkan nilainya dan
mengurangi insentif untuk melindunginya dari perambahan dan kebakaran hutan.
3) Kurangnya dukungan untuk perlindungan hutan di tingkat propinsi. Pemerintah daerah
tingkat propinsi menerima sebagian kecil dari royalti pengusahaan hutan yang dikutip
oleh pemerintah, yang seperti telah dikemukakan diatas, sudah cukup rendah. World
Bank (1995) menerangkan bahwa pemerintah daerah tingkat propinsi dengan tutupan
hutan yang luas mungkin terdorong untuk mengubah hutannya menjadi bentuk
tataguna lahan lain, yang menghasilkan pemasukan daerah yang lebih besar, atau yang
paling sedikit dapat merupakan sumber penghasilan bagi masyarakat yang tinggal di
sekitar hutan, supaya mereka tidak menjadi beban bagi sumberdaya propinsi tersebut.
d. llegal Logging
Illegal logging adalah merupakan praktek langsung pada penebangan pohon di
kawasan hutan negara secara illegal. Dilihat dari jenis kegiatannya, ruang lingkup illegal
logging terdiri dari :
1) Rencana penebangan, meliputi semua atau sebagian kegiatan dari pembukaan akses
ke dalam hutan negara, membawa alat-alat sarana dan prasarana untuk melakukan
penebangan pohon dengan tujuan eksploitasi kayu secara illegal.
2) Penebangan pohon dalam makna sesunguhnya untuk tujuan eksploitasi kayu secara
illegal. Produksi kayu yang berasal dari konsesi HPH, hutan tanaman industri dan
konversi hutan secara keseluruhan menyediakan kurang dari setengah bahan baku
kayu yang diperlukan oleh industri pengolahan kayu di Indonesia. Kayu yang diimpor
relatif kecil, dan kekurangannya dipenuhi dari pembalakan ilegal. Pencurian kayu
dalam skala yang sangat besar dan yang terorganisasi sekarang merajalela di
Indonesia; setiap tahun antara 50-70% pasokan kayu untuk industri hasil hutan
ditebang secara ilegal.
e. Kebakaran Hutan
Pembakaran secara sengaja oleh pemilik perkebunan skala besar untuk membuka
lahan, dan oleh masyarakat lokal untuk memprotes perkebunan atau kegiatan operasi HPH
mengakibatkan kebakaran besar yang tidak terkendali, yang luas dan intensitasnya belum
pernah terjadi sebelumnya. Pada kondisi alami, lahan gambut tidak mudah terbakar karena
sifatnya yang menyerupai spons, yakni menyerap dan menahan air secara maksimal sehingga
pada musim hujan dan musim kemarau tidak ada perbedaan kondisi yang ekstrim. Namun,
apabila kondisi lahan gambut tersebut sudah mulai tergangggu akibatnya adanya konversi
lahan atau pembuatan kanal, maka keseimbangan ekologisnya akan terganggu. Pada musim
kemarau, lahan gambut akan sangat kering sampai kedalaman tertentu dan mudah terbakar.
Gambut mengandung bahan bakar (sisa tumbuhan) sampai di bawah permukaan, sehingga api
di lahan gambut menjalar di bawah permukaan tanah secara lambat dan dan sulit dideteksi,
dan menimbulkan asap tebal. Api di lahan gambut sulit dipadamkan sehingga bisa
berlangsung lama (berbulan-bulan) dan baru bisa mati total setelah adanya hujan yang
intensif.
2.4. Sustainable Development (Pembangunan Berkelanjutan)
Sustainable development atau Pembangunan berkelanjutan pertama kali
diperkenalkan saat KTT Bumi di Rio De Jainero tahun 1992 dimana rencana tindakannya
disebut Agenda 21 yang berisi kesepakatan untuk memperhatikan pembangunan bidang
sosial, lingkungan dan ekonomi dalam merencanakan suatu kebijakan yang akan diambil.
Sepuluh tahun kemudian saat KTT di Johannesburg ditegaskan kembali untuk menjalankan
prinsip Rio dan Agenda 21.
Brundtlan commission mendefinisikan Sustainable Development / Pembangunan
Berkelanjutan adalah pembangunan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masa kini
tanpa mengganggu generasi masa yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan mereka.
Dengan kata lain, pembangunan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dan
meningkatkan kualitas hidup. Pembangunan harus efisien dan bertanggung jawab atas
lingkungan dalam memanfaatkan sumber daya terbatas termasuk Sumber Daya Alam (SDA),
Sumber Daya Manusia (SDM) dan Ekonomi. Indikator pembangunan berkelanjutan meliputi:
indeks pembangunan manusia, indeks ketahanan lingkungan dan indikator kemajuan ekologi.
Tujuan dari pembangunan berkelanjutan adalah :
a. Meningkatkan kesejahteraan manusa dan meningkatkan kualitas hidup
b. Adanya kesinambungan antara SDA, industri, masyarakat dan pekerja
c. Perlindungan antara ekosistem dan kesehatan
Dalam mencapai tujuannya, maka strategi yang dilakukan antara lain:
a. Pengentasan kemiskinan
b. Pemberantasan penyakit
c. Pemberantasan buta huruf
d. Perubahan pola konsumsi
e. Penghentian kerusakan ekosistem
Pembangunan tentunya memiliki landasan tertentu agar mencapai kebutuhan
yang diinginkan. Oleh karena itu, penting disusun acuan utama yang dapat mengatur
perjalanan pembangun agar tidak dapat menyalahi aturan dengan memberikan dampak yang
kurang baik disamping menghasilkan pembangunan tertentu. Tiga pilar pembangunan
berkelanjutan diantaranya:
a. Tahap pertama: dasar pertimbangannya hanya pada keseimbangan ekologi
b. Tahap kedua: dasar pertimbangannya harus telah memasukkan pula aspek keadilan sosial.
c. Tahap ketiga: semestinya dasar pertimbangan dalam pembangunan mencakup pula aspek
aspirasi politis dan sosial budaya dari masyarakat setempat.
Berikut adalah gambaran secara umum tiga tahapan pilar pembengunan
berkelanjutan:
Budimanta (2005) mengajukan lima tolak ukur pembangunan berkelanjutan
secara sederhana yang dapat digunakan baik untuk pemerintah pusat maupun di daerah untuk
menilai keberhasilan seorang Kepala Pemerintahan dalam pelaksanaan proses pembangunan
berkelanjutan. Kelima tolak ukur itu meliputi:
a. Tolak ukur pro lingkungan hidup (pro-environment)
Tolak ukur pro lingkungan hidup dapat diukur dengan berbagai indikator. Salah
satunya adalah indeks kesesuaian, seperti misalnya nisbah luas hutan terhadap luas wilayah
(semakin berkurang atau tidak), nisbah debit air sungai dalam musim hujan terhadap musim
kemarau, kualitas udara, dan sebagainya. Berbagai bentuk pencemaran lingkungan dapat
menjadi indikator yang mengukur keberpihakan pemerintah terhadap lingkungan. Terkait
dengan tolak ukur pro lingkungan ini, Syahputra (2007) mengajukan beberapa hal yang dapat
menjadi rambu-rambu dalam pengelolaan lingkungan yang dapat dijadikan indikator, yaitu:
1) Menempatkan suatu kegiatan dan proyek pembangunan pada lokasi secara benar
menurut kaidah ekologi.
2) Pemanfaatan sumberdaya terbarukan (renewable resources) tidak boleh melebihi
potensi lestarinya serta upaya mencari pengganti bagi sumberdaya takterbarukan
(nonrenewable resources).
3) Pembuangan limbah industri maupun rumah tangga tidak boleh melebihi kapasitas
asimilasi pencemaran.
4) Perubahan fungsi ekologis tidak boleh melebihi kapasitas daya dukung lingkungan
(carrying capacity).
b. Tolak ukur pro rakyat miskin (pro-poor)
Tolak ukur pro rakyat miskin (pro-poor) bukan berarti anti orang kaya. Yang
dimaksud pro rakyat miskin dalam hal ini memberikan perhatian pada rakyat miskin yang
memerlukan perhatian khusus karena tak terurus pendidikannya, berpenghasilan rendah,
tingkat kesehatannya juga rendah serta tidak memiliki modal usaha sehingga daya saingnya
juga rendah.
c.Tolak ukur pro kesetaraan jender/pro-perempuan (pro-women)
Tolak ukur pro kesetaraan jender/pro-perempuan (pro-women), dimaksudkan
untuk lebih banyak membuka kesempatan pada kaum perempuan untuk terlibat dalam arus
utama pembangunan. Tolak ukur pro pada kesempatan hidup atau kesempatan kerja (pro-
livelihood opportunities).
d. Tolak ukur pro dengan bentuk negara kesatuan RI
Tolak ukur pro dengan bentuk negara kesatuan RI merupakan suatu keharusan,
karena pembangunan berkelanjutan yang dimaksud adalah untuk bangsa Indonesia yang
berada dalam kesatuan NKRI.
e. Tolak ukur anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
Tolak ukur anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dapat dilihat dari berbagai
kasus yang dapat diselesaikan serta berbagai hal lain yang terkait dengan gerakan anti KKN
yang digunakan di daerah bersangkutan. Buah pemikiran pakar lingkungan ini sejalan dengan
buah pemikiran beberapa konseptor pembangunan berkelanjutan yang dirangkum oleh
Gondokusumo (2005), dimana disebutkan syarat-syarat yang perlu dipenuhi untuk
tercapainya proses pembangunan berkelanjutan. Syarat-syarat tersebut secara umum terbagi
dalam 3 indikator utama, yaitu:
1) Pro Ekonomi Kesejahteraan, maksudnya adalah pertumbuhan ekonomi ditujukan
untuk kesejahteraan semua anggota masyarakat, dapat dicapai melalui teknologi
inovatif yang berdampak minimum terhadap lingkungan.
2) Pro Lingkungan Berkelanjutan, maksudnya etika lingkungan non antroposentris yang
menjadi pedoman hidup masyarakat, sehingga mereka selalu mengupayakan
kelestarian dan keseimbangan lingkungan, konservasi sumberdaya alam vital, dan
mengutamakan peningkatan kualitas hidup non material.
3) Pro Keadilan Sosial, maksudnya adalah keadilan dan kesetaraan akses terhadap
sumberdaya alam dan pelayanan publik, menghargai diversitas budaya dan
kesetaraan jender
Budimanta (2005) menyatakan, untuk suatu proses pembangunan berkelanjutan,
maka perlu diperhatikan hal hal sebagai berikut:
1) Cara berpikir yang integratif. Dalam konteks ini, pembangunan haruslah melihat
keterkaitan fungsional dari kompleksitas antara sistem alam, sistem sosial dan
manusia di dalam merencanakan, mengorganisasikan maupun melaksanakan
pembangunan tersebut.
2) Pembangunan berkelanjutan harus dilihat dalam perspektif jangka panjang. Hingga
saat ini yang banyak mendominasi pemikiran para pengambil keputusan dalam
pembangunan adalah kerangka pikir jangka pendek, yang ingin cepat mendapatkan
hasil dari proses pembangunan yang dilaksanakan. Kondisi ini sering kali membuat
keputusan yang tidak memperhitungkan akibat dan implikasi pada jangka panjang,
seperti misalnya potensi kerusakan hutan yang telah mencapai 3,5 juta Ha/tahun,
banjir yang semakin sering melanda dan dampaknya yang semakin luas, krisis energi
(karena saat ini kita telah menjadi nett importir minyak tanpa pernah melakukan
langkah diversifikasi yang maksimal ketika masih dalam kondisi surplus energi),
moda transportasi yang tidak berkembang, kemiskinan yang sulit untuk diturunkan,
dan seterusnya.
3) Mempertimbangkan keanekaragaman hayati, untuk memastikan bahwa sumberdaya
alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa mendatang. Yang
tak kalah pentingnya adalah juga pengakuan dan perawatan keanekaragaman budaya
yang akan mendorong perlakukan yang merata terhadap berbagai tradisi masyarakat
sehingga dapat lebih dimengerti oleh masyarakat.
4) Distribusi keadilan sosial ekonomi. Dalam konteks ini dapat dikatakan pembangunan
berkelanjutan menjamin adanya pemerataan dan keadilan social yang ditandai dengan
meratanya sumber daya lahan dan faktor produksi yang lain, lebih meratanya akses
peran dan kesempatan kepada setiap warga masyarakat, serta lebih adilnya distribusi
kesejahteraan melalui pemerataan ekonomi.
Pada sustainable development terdapat 4 pilar yaitu :
a. Pilar ekonomi
1) Memaksimalkan kesejahteraan penduduk.
2) Memastikan semua sumber daya digunakan secara efisien.
3) Mengidentifikasi biaya-biaya yang timbul terkait masalah lingkungan dan sosial.
4) Mempertahankan dan meningkatkan kemampuan usaha perusahaan.
b. Pilar sosial
1) Memastikan distribusi yang adil terhadap semua ‘cost and benefits’ usaha
pertambangan.
2) Menghormati hak-hak dasar manusia seperti kebebasan sipil, politik, ekonomi, dan
hak hidup aman.
3) Memastikan setelah habisnya sumber daya alam tidak mengurangi kesempatan
generasi berikutnya untuk hidup secara layak.
c. Pilar lingkungan
1) Mengutamakan pemeliharaan lingkungan, termasuk perbaikan lingkungan yang telah
rusak.
2) Meminimalkan limbah dan kerusakan lingkungan dalam setiap tahapan operasi.
3) Beroperasi dalam batas kemampuan ekologis dan melindungi aset alam yang kritis.
d. Pilar pemerintahan
1) Mendukung penegakan demokrasi termasuk pelibatan semua pihak dalam proses
pengambilan keputusan.
2) Mendukung iklim usaha bebas dalam sebuah sistem yang transparan dan adil.
3) Menghindarkan konsentrasi kekuasaan melalui mekanisme “checks and balances”.
4) Memastikan transparansi dengan membuka akses informasi kepada semua pemangku
kepentingan.
5) Menerapkan akuntabilitas dalam setiap pengambilan keputusan dan aksi yang
didasarkan pada analisis menyeluruh.
6) Mendorong kerja sama untuk membangun kepercayaan serta kesadara mencapai
tujuan bersama.
7) Memastikan setiap keputusan dibuat dalam lingkup dan tingkatan yang sesuai.
2.5. Tujuan Pembangunan Millennium atau Millenium Development Goals (MDG)
Millenium Development Goals (MDG’s) atau tujuan pembangunan millennium
adalah upaya untuk memenuhi hak-hak dasar kebutuhan manusia melalui komitmen bersama
antara 189 negara anggota PBB untuk melaksanakan 8 (delapan) tujuan pembangunan, yaitu
menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk semua,
mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian
anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit
menular lainnya, kelestarian lingkungan hidup, serta membangun kemitraan global dalam
pembangunan (Mima, 2009).
Kesepakatan tentang tujuan pembangunan milenium (millenium development
goals atau MDGs) yang ditandatangani oleh lebih dari 147 kepala negara dan secara aklamasi
disetujui oleh 189 negara anggota Dewan Musyawarah PBB (UN General Assembly)
merupakan komitmen setiap negara untuk mewujudkannya. Kesepakatan tersebut tertuang
dalam delapan tujuan yang terkait dengan kemiskinan/kelaparan, pendidikan, kesetaraan
gender, kesehatan, dan lingkungan hidup. Berbeda dengan banyak kesepakatan global
lainnya, kesepakatan ini menelurkan suatu target kuantitatif yang diukur dengan banyak
indikator yang dianggap relevan.
2.5.1. Sasaran Pembangunan Milenium Indonesia
Setiap negara yang berkomitmen dan menandatangani perjanjian diharapkan
membuat laporan MDGs. Pemerintah Indonesia melaksanakannya dibawah koordinasi
Bappenas dibantu dengan Kelompok Kerja PBB dan telah menyelesaikan laporan MDG
pertamanya yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris untuk menunjukkan rasa kepemilikan pemerintah Indonesia atas laporan
tersebut. Laporan Sasaran Pembangunan Milenium ini menjabarkan upaya awal pemerintah
untuk menginventarisasi situasi pembangunan manusia yang terkait dengan pencapaian
sasaran MDGs, mengukur, dan menganalisa kemajuan seiring dengan upaya menjadikan
pencapaian-pencapaian ini menjadi kenyataan, sekaligus mengidenifikasi dan meninjau
kembali kebijakan-kebijakan dan program-program pemerintah yang dibutuhkan untuk
memenuhi sasaran-sasaran ini. Dengan tujuan utama mengurangi jumlah orang dengan
pendapatan dibawah upah minimum regional antara tahun 1990 dan 2015, Laporan ini
menunjukkan bahwa Indonesia berada dalam jalur untuk mencapai tujuan tersebut. Namun,
pencapaiannya lintas provinsi tidak seimbang (Anonimous, 2010).
MDGs telah menjadi referensi penting pembangunan di Indonesia, mulai dari
tahap perencanaan seperti yang tercantum pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) hingga pelaksanaannya. Walaupun mengalamai kendala, namun pemerintah
memiliki komitmen untuk mencapai sasaran-sasaran ini dan dibutuhkan kerja keras serta
kerjasama dengan seluruh pihak, termasuk masyarakat madani, pihak swasta, dan lembaga
donor. Pencapaian MDGs di Indonesia akan dijadikan dasar untuk perjanjian kerjasama dan
implementasinya di masa depan. Hal ini termasuk kampanye untuk perjanjian tukar guling
hutang untuk negara berkembang sejalan dengan Deklarasi Jakarta mengenai MDGs di
daerah Asia dan Pasifik (Anonimous, 2010).
2.5.2. Delapan Tujuan Pembangunan Millennium
a. Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan
Target:
1) Menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah garis
kemiskinan ($1 per hari) menjadi setengahnya antara tahun 1990-2015
2) Menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya
antara tahun 1990-2015
Ukuran Garis Kemiskinan Nasional adalah jumlah rupiah yang diperlukan oleh
setiap individu untuk makanan setara 2.100 kilo kalori per orang/hari dan untuk memenuhi
kebutuhan nonmakanan berupa perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan
aneka barang/jasa lainnya. Biaya untuk membeli 2.100 kilo kalori/hari disebut sebagai Garis
Kemiskinan Makanan, sedangkan biaya untuk membayar kebutuhan minimum non-makanan
disebut sebagai Garis Kemiskinan Non-Makanan. Mereka yang pengeluarannya lebih rendah
dari garis kemiskinan disebut sebagai penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan atau
penduduk miskin (Bappenas, 2004).
Standar kemiskinan yang digunakan BPS bersifat dinamis, disesuaikan dengan
perubahan/pergeseran pola konsumsi agar realistis. Proporsi penduduk di bawah garis
kemiskinan pada 1996 memiliki dua angka untuk menunjukkan berbedanya kriteria yang
digunakan, yaitu standar 1996 dan standar 1998 (BPS, Statistik Indonesia 2002). Perubahan
standar terjadi bukan hanya karena pergeseran pola konsumsi tetapi juga karena perluasan
cakupan komoditas yang diperhitungkan dalam kebutuhan minimum, antara lain karena
adanya kewajiban belajar sembilan tahun (Bappenas, 2004).
Masalah kemiskinan di Indonesia bukan hanya jumlahnya yang besar tetapi juga
disparitas yang tinggi antar wilayah, provinsi, ataupun kabupaten dan kota, dan kemiskinan
transien yang serius, yaitu sejumlah besar penduduk akan tergolong miskin bila terjadi
sesuatu perubahan keadaan atau kebijakan (Bappenas, 2004).
b. Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua
Target:
1) Memastikan bahwa setiap anak , baik laki-laki dan perempuan mendapatkan dan
menyelesaikan tahap pendidikan dasar standar nasional.
2) Meningkatkan pembangunan suatu bangsa diperlukan critical mass di bidang
pendidikan.
Hal ini membutuhkan adanya persentase penduduk dengan tingkat pendidikan
yang memadai untuk mendukung pembangunan ekonomi dan sosial yang cepat. Program
pendidikan dasar sembilan tahun merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mewujudkan
critical mass itu dan membekali anak didik dengan ketrampilan dan pengetahuan dasar: untuk
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, untuk bekal menjalani kehidupan dalam
masyarakat, untuk membuat pilihan-pilihan dan memanfaatkan produk-produk berteknologi
tinggi, untuk mengadakan interaksi dan kompetisi antar warga masyarakat, kelompok, dan
antar bangsa. Pendidikan dasar dapat diartikan sebagai pendidikan sekolah dasar (SD) 6
tahun atau dapat juga pendidikan yang wajib (9 tahun). Mengingat bahwa sudah lebih dari 10
yang silam Indonesia mencanangkan program wajib belajar 9 tahun (Surbakti dkk, 2009).
c. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan
Target: Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada
tahun 2005 dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015.
Kaum perempuan seringkali kurang mendapatkan kesempatan yang cukup untuk
berkiprah dalam kehidupan sosial bila dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini terjadi karena
masih lekatnya ketidakadilan gender dalam masyarakat yang berwujud dalam marginalisasi
atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan yang bersifat menyepelekan
(tidak penting) kepada kaum perempuan, bahkan kekerasan (violence) termasuk dalam hal
bekerja atau justru beban kerja yang lebih panjang atau lebih banyak (double burden). Bentuk
ketidakadilan gender ini tidak dapat dipisah-pisahkan karena saling terkait dan berhubungan,
serta saling mempengaruhi. MDGs hanya akan tercapai apabila ada peran dari kaum
perempuan baik secara individual maupun kelompok. Untuk itu, transformasi dalam
memperkuat posisi dan peran perempuan di berbagai bidang jelas menjadi sebuah kebutuhan.
Kebutuhan bukan hanya bagi orang-orang yang peduli terhadap perkembangan demokrasi,
melainkan lebih dari itu, sebagai modal utama dalam mensejahterakan kehidupan berbangsa
dan bernegara. (Depag, 2009).
d. Menurunkan Angka Kematian Anak
Target : Menurunkan angka kematian balita sebesar dua pertiganya, antara 1990 dan 2015.
Penyebab utama kematian pada bayi seperti radang paru-paru, diare, malaria dan
campak, termasuk penyakit yang mudah dicegah dengan pelayanan kesehatan dan berbagai
intervensi yang terbukti efektif seperti terapi rehidrasi. Tingkat kematian akibat campak,
terutama pada belita, berkurang dari 757,000 pada tahun 2000 menjadi 242,000 di tahun 2006
(Moon, 2008).
e. Meningkatkan Kesehatan Ibu
Target: Menurunkan angka kematian ibu sebesar ¾ nya pada 1990-2015.
Indonesia mengalami berbaikan pada angka persalinan yang ditolong tenaga
kesehatan terlatih. Persentase perbaikan adalah dari 66.21 persen di tahun 2000 menjadi
73.83 persen di tahun 2006. Provinsi Sulawesi Selatan secara umum mengalami kenaikan
dalam hal cakupan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan terlatih. Dari wanita yang
mempunyai anak usia satu tahun (12-23 bulan) persentase persalinan yang ditolong tenaga
kesehatan terlatih naik dari 56.21 persen menjadi 64.72 persen (Surbakti dkk, 2009)
f. Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya
Target: Mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunnya jumlah kasus baru
pada tahun 2015.
Persentase pemakaian kondom pada PUS menunjukkan bahwa secara nasional
Indonesia mengalami kenaikan sedikit. Prevalensi pemakaian kondom adalah 0.42 persen di
tahun 2000 naik menjadi 0.50 persen di tahun 2005. Kondisi ini tidak dapat dicerminkan oleh
wilayah studi lainnya baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten. Hal ini menunjukkan
bahwa kelangkaan kasus pemakaian kondom yang tidak diikuti dengan ukuran sampel yang
besar menyebabkan hasil Kor Susenas kurang cermat dan dapat menyesatkan(Surbakti dkk,
2009).
g. Memastikan Keberlanjutan Lingkungan Hidup
Target:
1) Mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dalam kebijakan
setiap negara dan program serta mengurangi hilangnya sumber daya lingkungan
2) Pada tahun 2015 mendatang diharapkan mengurangi setengah dari jumlah orang yang
tidak memiliki akses air minum yang sehat
3) Pada tahun 2020 mendatang diharapkan dapat mencapai pengembangan yang
signifikan dalam kehidupan untuk sedikitnya 100 juta orang yang tinggal di daerah
kumuh
Target yang hendak dicapai tahun 2015 adalah pengurangan proporsi penduduk
tanpa akses air bersih sampai separo proporsi tahun 1990. Data proporsi rumah tangga tanpa
air bersih tahun 1990 (36.70 persen) diperoleh dari extrapolasi angka proporsi tahun 1992 dan
1995 dari Sumantri, dkk (2000). Pengurangan proporsi yang ditargetkan adalah setengahnya
atau18.35 persen, sehingga pada tahun 2015 persentase rumah tangga yang mempunyai akses
pada air bersih ditargetkan 81.65 persen.
h. Mengembangkan kerjasama global untuk pembangunan.
Target:
1) Mengembangkan lebih jauh lagi perdagangan terbuka dan sistem keuangan yang
berdasarkan aturan, dapat diterka dan tidak ada diskriminasi. Termasuk komitmen
terhadap pemerintahan yang baik, pembangungan dan pengurangan tingkat
kemiskinan secara nasional dan internasional.
2) Membantu kebutuhan-kebutuhan khusus negara-negara kurang berkembang, dan
kebutuhan khusus dari negara-negara terpencil dan kepulauan-kepulauan kecil. Ini
termasuk pembebasan-tarif dan -kuota untuk ekspor mereka; meningkatkan
pembebasan hutang untuk negara miskin yang berhutang besar; pembatalan hutang
bilateral resmi; dan menambah bantuan pembangunan resmi untuk negara yang
berkomitmen untuk mengurangi kemiskinan.
3) Secara komprehensif mengusahakan persetujuan mengenai masalah utang negara-
negara berkembang.
4) Menghadapi secara komprehensif dengan negara berkembang dengan masalah hutang
melalui pertimbangan nasional dan internasional untuk membuat hutang lebih dapat
ditanggung dalam jangka panjang.
5) Mengembangkan usaha produktif yang layak dijalankan untuk kaum muda.
6) Dalam kerja sama dengan pihak "pharmaceutical", menyediakan akses obat penting
yang terjangkau dalam negara berkembang.
7) Dalam kerjasama dengan pihak swasta, membangun adanya penyerapan keuntungan
dari teknologi-teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi.
2.6. Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah kajian mengenai
dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan
hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan di Indonesia. AMDAL ini dibuat saat perencanaan suatu proyek yang
diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Yang
dimaksud lingkungan hidup di sini adalah aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial-
budaya, dan kesehatan masyarakat. Dasar hukum AMDAL adalah Peraturan Pemerintah No.
27 Tahun 1999 tentang "Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup".
Dokumen AMDAL terdiri dari :
a. Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)
b. Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
c. Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
d. Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)
AMDAL digunakan untuk:
a. Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah
b. Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari
rencana usaha dan/atau kegiatan
c. Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan/atau
kegiatan
d. Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup
e. Memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana
usaha dan atau kegiatan
Salah satu pihak yang terlibat dalam proses AMDAL adalah Komisi Penilai
AMDAL. Komisi Penilai AMDAL adalah komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL
Pemrakarsa, orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha
dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan, dan masyarakat yang berkepentingan, masyarakat
yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL. Dalam
pelaksanaannya, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:
a. Penentuan kriteria wajib AMDAL
Saat ini, Indonesia menggunakan/menerapkan penapisan 1 langkah dengan menggunakan
daftar kegiatan wajib AMDAL (one step scoping by pre request list). Daftar kegiatan wajib
AMDAL dapat dilihat di Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun
2006
b. Apabila kegiatan tidak tercantum dalam peraturan tersebut, maka wajib menyusun UKL-
UPL, sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 Tahun 2002
c. Penyusunan AMDAL menggunakan Pedoman Penyusunan AMDAL sesuai dengan
Permen LH NO. 08/2006
d. Kewenangan Penilaian didasarkan oleh Permen LH no. 05/2008.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pemanasan global adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer,
laut dan daratan bumi. Pemanasan global mengakibatkan mencairnya gunung-gunung es di
daerah kutub yang dapat menimbulkan naiknya permukaan air laut yang dapat mengancam
pemukiman pinggir pantai. Selain itu, pemanasan global dapat meningkatkan suhu
permukaan bumi serta munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat
stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga
akan muncul kelaparan dan malnutrisi.
Perdagangan karbon atau carbon trading adalah perdagangan sertifikat yang
mencerminkan berbagai cara untuk mengurangi emisi karbon sesuai dengan target yang
dicantumkan dalam sertifikat.
Deforestasi (deforestation) merupakan suatu kondisi saat tingkat luas area hutan
yang menunjukkan penurunan secara kualitas dan kuantitas yang disebabkan oleh lonjaknya
pembangunan perkebunan, Hak Penguasaan Hutan, Hutan Tanaman Industri, illegal loging,
dan kebakaran hutan.
Pembangunan Berkelanjutan adalah pembangunan yang dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengganggu generasi masa yang akan datang dalam
memenuhi kebutuhan mereka. Terdapat lima tolak ukur dalam pembangunan berkelanjutan,
yaitu tolak ukur pro lingkungan hidup (pro-environment), tolak ukur pro rakyat miskin (pro-
poor), tolak ukur pro kesetaraan jender/pro-perempuan (pro-women), tolak ukur pro dengan
bentuk negara kesatuan RI, dan tolak ukur anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Millenium Development Goals (MDGs) atau tujuan pembangunan millennium
adalah upaya untuk memenuhi hak-hak dasar kebutuhan manusia melalui komitmen bersama
untuk melaksanakan 8 (delapan) tujuan pembangunan, yaitu menanggulangi kemiskinan dan
kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan gender dan
pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu,
memerangi penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, kelestarian
lingkungan hidup, serta membangun kemitraan global dalam pembangunan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999, AMDAL digunakan
untuk bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah, membantu proses pengambilan
keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan,
memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup, dan memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu
rencana usaha dan atau kegiatan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2010 , Milenium di Beberapa Daerah di Indonesia www.depag.go.id diakses tanggal 22 Desember 2010.
Bappenas, 2004, Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals), Bappenas, Jakarta.
Budimanta, A, 2005, Memberlanjutkan Pembangunan di Perkotaan melalui Pembangunan Berkelanjutan dalam Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21.
Mima , 2009, Dukungan Provinsi Jawa Tengah Dalam Upaya Penanggulangan Kemiskinan.
Moon, Ban KI, 2008, Laporan Tujuan Pembangunan Millinium, United Nation.Rusmantoro, W., 2003. Hutan Sebagai Penyerap Karbon, Artikel Internet dalam
Spektrum Online.Surbakti, Soedarti., Satriana,Yasmuarto dan Amiek,C., 2009, Pencapaian Tujuan
Pembangunan. Budihardjo, E, 2005, Konflik Tata Ruang dan Pluralisme Budaya dalam Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21.
Sutisna, N., 2006, Enam Tolok Ukur Pembangunan Berkelanjutan, TEMPO Interaktif.Zulkifli, 2009, Peranan Sumber Daya Alam, Pembangunan Berkelanjutan Dan
Tantangan Masa Depan, Universitas Sumatera Utara.