Amalgamasi
-
Upload
trio-saputra -
Category
Documents
-
view
240 -
download
6
Transcript of Amalgamasi
AMALGAMASI
IRFAN
(DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI)
Desentralisasi sebagai asal muasal pemerintahan daerah lahir karena unsur sentralisasi
DESENTRALISASI MELAHIRKAN OTONOMI DAERAH, YAITU OTONOMI YANG DIMILIKI OLEH DAERAH OTONOM (MASYARAKAT HUKUM). SEHINGGA DESENTRALISASI
MENGAKIBATKAN PULA ADANYA PROSESPEMBENTUKAN DAERAH OTONOM YANG SERINGKALI DISEBUT-SEBUT DENGAN
ISTILAH PEMEKARAN DAERAH
Djoko Harmantyo (2007) Jurnal Makara UI---pakar geografi UIBerdasarkan Studi yang dilakukan
disimpulkan:Jumlah ideal daerah otonom di Indonesia
adalah 460 kabupaten dan kota dalam 46 propinsi, jumlah potensi konflik keruangan dan jumlah kerjasama antar daerah otonom minimal sebanyak 2760 jenis.
lanjutan
Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa semakin banyak pemekaran DAERAH, semakin banyak potensi konflik ke-ruang-an karena jumlah garis batas antar wilayah sebagai sumber konflik jumlahnya semakin banyak.
lanjutan
Saat ini jumlah daerah otonom sudah mendekati angka 500 kabupaten/kota.
Karakteristik wilayah Indonesia memiliki dua jenis garis batas yaitu batas darat dan batas laut. Garis batas darat lebih potensial untuk terjadinya konflik keruangan;
Di samping faktor jumlah penduduk dan luas wilayah, garis batas wilayah merupakan faktor penting sebagai pertimbangan dalam penyempurnaan instrumen dan persyaratan pemekaran daerah terutama dalam mengantisipasi timbulnya konflik keruangan.
Wahyudi dan Berindra: 2010
Saat ini Indonesia memiliki 524 daerah otonom, terdiri atas 33 provinsi, 398 kabupaten, 93 kota.
Selama 1999-2009, terbentuk 205 daerah otonom baru dari berbagai tingkatan, atau bertambah lebih dari 63 persen dibandingkan dengan jumlah daerah otonom di akhir masa Orde Baru.
PEMBAHASAN DUA HAL YAKNI MENGENAI PEMEKARAN DAN
PENGGABUNGAN DAERAH DALAM KONSEP AKADEMIK, DIKENAL
DENGAN ‘AMALGAMASI’
AF LEEMANS (1970)
“THE PRINCIPLE REASON FOR THIS PLEA WAS THE SCALE ENLARGEMENT RESULTING FROM BETTER COMMUNICATIONS, GREATER SOCIAL MOBILITY AND THE TECHNOLOGICAL DEVELOPMENTS.
SECONDLY, AUGMENTATION OF LOCAL GOVERNMENT TASKS, WHETHER ON THE COMMUNES OWN INITIATIVE OR AS A RESULT OF DELEGATION BY HIGHER AUTHORITIES, AFFECTED THE ADEQUACY OF LOCAL GOVERNMENT UNITS”.
SEBALIKNYA ADA JUGA GEJALA PEMEKARAN DAN PENGGABUNGAN DAERAH YANG TERJADI DI BEBERAPA NEGARA, KARENA ALASAN-ALASAN BERIKUT:
INSUFFICIENT TO ALLOW EFFETIVE DISCHARGE OF TASKS OR SERVICES
THE FINANCIAL RESOURCES OF MINI-COMMUNES ARE USUALLY INSUFFICIENT,
PROPER TRAINING AND SKILL TO SMALL COMMUNE STAFF
THE INCREASING OF COMPLEXITY OF PUBLIC AFFAIRS
THE GROWTH OF POPULATION AND EXPANSION OF ECONOMICS AND SOCIAL ACTIVITIES
SCARCE RESOURCES SOIL AS EFFECTIVELY AS POSSIBLE
OPTIMAL AREA FOR PROVIDING CERTAIN PUBLIC SERVICES
JENIS-JENIS AMALGAMASI
“THE TERM ‘AMALGAMATION’, IN THE BROAD CONNOTATION ADOPTED HERE, COMPRISES THREE SUB-TYPES, AN ANALYSIS OF WHICH BRINGS FORTH A NUMBER OF CHARACTERISTIC FEATURES” :
(1) ANNEXATION(2) MERGER(3) REDIVISION OF AREA
ANEKSASI
PELEBURAN DUA DAERAH OTONOM TANPA MENIMBULKAN DAERAH OTONOM BARU, ATAU ADANYA SEBAGIAN WILAYAH DARI SALAH SATU DAERAH OTONOM YANG DILEBURKAN KE DALAM DAERAH OTONOM LAINNYA.
BISA JUGA PELEBURAN SEBAGIAN WILAYAH DARI UNIT TERITORIAL DI DALAM DAERAH OTONOM KE DALAM UNIT YANG LAINNYA DALAM DAERAH OTONOM YANG SAMA.
KATA KUNCI: SEBAGIAN WILAYAH.
MERGER
MELEBURNYA DUA ATAU LEBIH DAERAH OTONOM YANG MENIMBULKAN DAERAH OTONOM BARU YANG MERUPAKAN PERCAMPURAN DARI DUA ATAU LEBIH DAERAH OTONOM YANG BERSANGKUTAN.
BISA SAJA MERGER ANTAR UNIT TERITORIAL DI DALAM SEBUAH DAERAH OTONOM.
KATA KUNCI: PELEBURAN
“REASON FOR MERGER”
THE LACK OF ECONOMIC GROWTH CAN INCREASE OR EVEN DECLINE OF THE POPULATION AS A RESULT OF MIGRATION TO URBAN CENTRES, MADE PHYSICAL EXTENSION OF THE TERRITORY OF SUCH RURAL COMMUNES UNNECESSARY.
THE TASKS OF RURAL GOVERNMENTS DID NOT UNDERGO THE SPECTACULAR INCREASE OF THEIR MAJOR COUNTERPARTS”.
REDIVISON OF AN AREA
PEMBAGIAN ULANG BATAS-BATAS WILAYAH UNIT-UNIT TERITORIAL DARI SEBUAH DAERAH OTONOM.
BISA JUGA PENARIKAN GARIS BATAS BARU DALAM SEBUAH DAERAH OTONOM YANG MENYANGKUT UNIT TERITORIAL DI DALAM WILAYAHNYA TANPA MENAMBAH LUAS DAERAH OTONOM TERSEBUT.
lanjutan
PERSOALANNYA JIKA YANG DILAKUKAN PENARIKAN GARIS BATAS BARU ADALAH DAERAH OTONOM YANG MERUPAKAN DAERAH OTONOM TINGKAT ATAS ATAU PERTAMA DI MANA DI DALAMNYA TERDAPAT DAERAH OTONOM YANG LEBIH KECIL.
JIKA INI YANG DILAKUKAN, BISA TERJADI MERGER ATAU ANEKSASI DARI ANTAR UNIT DAERAH OTONOM YANG LEBIH KECIL TADI.
KETIGA JENIS AMALGAMASI SERINGKALI TERJADI TUMPANG TINDIH, SEHINGGA TIDAK MURNI SECARA EKSTRIM HANYA SALAH SATU YANG TERJADI.TIPOLOGI:Aneksasi tanpa redivisiAneksasi dengan redivsi atau sebaliknyaMerger dengan redivisi atau sebaliknyaMerger tanpa redivisi
LANJUTAN
Merger dan aneksasi dapat menimbulkan redivisi dapat pula tidak menimbulkan. Contoh Dua kabupaten merger, masing-masing memiliki 10 Kecamatan. Dikatakan merger tanpa redivisi, jika hasilnya menjadi 20 Kecamatan tanpa mengubah batas. Bisa saja redivisi terjadi pada level kelurahannya setelah terjadi merger. Jika bertambah atau berkurang jumlah kecamatannya maka terjadi redivisi.
Satu Kabupaten dengan 10 kecamatan menganeksasi kabupaten di sekitarnya, katakanlah sebanyak 2 kecamatan. Jika hasilnya menjadi 12 kecamatan maka terjadi aneksasi tanpa redivisi dengan catatan tanpa mengubah batas.
Umumnya merger dan aneksasi disertai redivisi kewilayahan.
LANJUTAN
Redivisi kewilayahan tergantung satuan pandang yang kita pakai. Jika lingkup Provinsi, maka redivisi terjadi antar Kabupaten dan atau Kota. Jika Kabupaten atau Kota maka redivisi terjadi antar Kecamatan.
Pembentukan daerah otonom yang umumnya dibahas adalah redivisi pada level Provinsi untuk penambahan Kabupaten dan Kota Baru atau redivisi pada level Nasional untuk penambahan Provinsi.
Pertimbangan AmalgamasiPendapat Talizuduhu Ndraha (2007) misalnya
mengatakan pembentukan daerah otonom merupakan persoalan hubungan kemanusiaan dengan negara.
Sehingga dalam berotonomi, ketidakmampuan atau melemahnya daerah otonom akibat kecilnya resourcess haruslah dikelola dengan baik terutama oleh Pemerintah sebagai elemen penyelenggara desentralisasi (pembentukan daerah otonom).
Tanggungjawab pemerintah harus besar dalam memandirikan daerah dan memajukannya pula.
LANJUTAN
Alan Norton (1994) menyebutnya sebagai upaya penataan organisasi dan batas daerah yang memiliki dua pertimbangan:
(a) efektivitas demokrasi;
(b) jaminan skala ekonomi Daerah.
Lanjutan
Smith (1985) menyebutkan sebagai berikut:
“The choice for delimiting governmental areas will depend upon both the form of decentralization chosen (political or bureaucratic) and the functions to be performed by sub-national institutions. At the level of local government, prominence may be given to the definition of communities. Social geography rather than government function then creates political boundaries, though it may be necessary to define a hierarchy of communities corresponding to the different scale of operations demanded by different devolved functions. Hence, the efficiency principle by means of which areas defined according to assumptions about scale of operations necessary for optimum performance. A third principle is managerial, when areas are defined according to the management structure of decentralized organization. A fourth principle of delimitation is technical, where the optimum area for a government function is determined by the landscape or economy: watersheds, climate, soil conditions, topography, and location of natural resources and the distribution of industry. Finally, there is the social principle, when areas define themselves regardless of administrative rationality.”
lanjutan
Meligrana dan Razin (2004) menyebutkan beberapa pertimbangan restrukturisasi batas daerah terdiri dari dua kelompok isu: (a) isu administrasi yang ingin meraih nilai-nilai: (1) efisiensi, (2) efektivitas; dan (3) pemerataan; dan (b) isu politik yang berupaya untuk mewujudkan demokrasi dan otonomi daerah.
Hoessein (1993) merujuk pendapat Schnur (1969) yang diikuti oleh Leach et al (1996) dan Smith (1985) sebagai Catchment Area yakni luas wilayah yang optimal bagi layanan, pembangunan, penarikan sumberdaya, partisipasi dan kontrol baik masyarakat maupun birokrasi.
AspekEkonomi-geografis:Kegiatan Ekonomi di Daerah, Keadaan geografi permukaan Daerah, penggalian sumber-sumber penerimaan pajak Daerah baik yang potensiil maupun yang riil.
AspekEkonomi-geografis:Kegiatan Ekonomi di Daerah, Keadaan geografi permukaan Daerah, penggalian sumber-sumber penerimaan pajak Daerah baik yang potensiil maupun yang riil.
Aspek sosio-administratif:Kohesi masyarakat, fungsi birokrasi dan efisiensi administrasi
Aspek sosio-administratif:Kohesi masyarakat, fungsi birokrasi dan efisiensi administrasi
Kontinum:Catchment Area & Dis-catchment area
THE LIANG GIE: 1968
Ada 3 kelompok faktor dalam pembentukan daerah otonom:
1. faktot-faktor objektif: (a) daerah: luasnya, keadaan geografinya; wilayah eksisting; tatakelola pemerintahannya eksisting; perhubungan dalam daerah dan atar daerah; (b) Penduduk; © ekonomi; (d) keuangan.
2. Fakta-fakta subjektif: sejarah, norma-norma hukum dan budaya yang berkembang.
3. Fakta-fakta psikologis: situasi politik, dukungan dan lain-lain.
Lanjutan
Menurut Maryanov ada 4 faktor: pertama, faktor sosial dan fisik.
Kedua, faktor teknis. Faktor ini terdiri dari aspek-aspek: (1) sumberdaya manusia; (2) keuangan; dan, (3) peralatan yang dibutuhkan untuk menjalankan pemerintahan daerah.
Faktor ketiga, keinginan masyarakat untuk membentuk pemerintahan daerah.
Faktor keempat, adalah perkembangan sejarah. Sejarah yang terjadi di Indonesia menempatkan pembedaan yang kontras antara Jawa dan Luar Jawa. Oleh sebab itu, Pemerintah Hindia Belanda pada saat itu memperlakukan pembedaan fungsionalisasi pemerintahan daerah di Indonesia.
Implikasi teritorial Nasional
Pembentukan daerah otonom (wilayah pemerintahan daerah) baru dalam wilayah Negara tanpa menambah luasan wilayah negara, mempersempit luas daerah otonom tertentu atau sebagian.
Implikasinya dengan demikian pertama-tama adalah sumberdaya yang terserap atau terbagi ke daerah-daerah baru. Pada level nasional juga makin kecilnya share kue pembangunan antar daerah otonom yang sudah ada. Jadi, yang terpenting adalah keseimbangan di sini.
DISADVANTAGES AND RESISTANCE TO AMALGAMATION
RESISTANCE TO CHANGE MASA LALU/ SEJARAH PEMBENTUKAN
DAERAH OTONOMDAMAGE TO THE SOCIAL COMMUNITYKULTUR SOSIAL DAN KEYAKINAN MASYARAKAT
SERINGKALI TERABAIKAN DIMINISHING INFLUENCE OF INDIVIDUAL CITIZEN:
JARAK ANTARA PEMEIRNTAH DAN WARGA SEMAKIN JAUH. RASIO KEPENDUDUKAN MAKIN RENDAH. MENURUNKAN REPRESENTATIVITAS TERHADAP WARGA
RESISTANCE BY ELECTED OFFICIALS MENURUNNYA DUKUNGAN WARGA
FINANCIAL DISADVANTAGES MORE EXPENSESINCONVENIENCE TO THE CITIZENS
PENDEKATAN DALAM AMALGAMASI:PIECEMEAL OR LARGE-SCALE AMALGAMATIONVOLUNTARY-COMPULSORY AMALGAMATION
PRIORITY OBJECTIVES OF AMALGAMATION IF EMPHASIS IS PLACED ON LOCAL DEMOCRACY
AND LARGE-SCALE PARTICIPATION, AS WELL AS ON THE VALUE OF THE SOCIAL COMMUNITY, THIS RESULTS IN THE PREFERENCE FOR FAIRLY SMALL COMMUNES OR THE CREATION OF SUB-COMMUNAL UNITS;
IF EMPHASIS IS PLACED ON OVERALL EFFICIENCY, FINANCIAL STRENGTH AND SOCIAL AND ECONOMIC DEVELOPMENT, THE PREFERENCE TENDS TO BE FOR LARGER UNITS OF LOCAL GOVERNMENT;
IF PRINCIPAL ATTENTION IS GIVEN TO CATCHMENT AREA OF ESSENTIAL SERVICES, THE SIZE OF THE UNIT WILL DEPEND ON THOSE SERVICES WHICH ARE CONSIDERED DETERMINANT.
ISU-ISU
FIRST ISSUE: HOMOGENEITY VS HETEROGENEITY
SECOND ISSUE: SIMILAR ECONOMIC AND SOCIAL INTEREST OR DIFFERING ECONOMIC AND SOCIAL INTEREST
HOMOGENEITY HELPS TO PRESERVE THE CHARACTER OF LOCAL COMMUNITIES BY REDUCING THE IMPACT OF OUTSIDE INFLUENCE
HOMOGENEITY OF THE POPULATION WILL REDUCE CHANCES OF CONFLICT IN THE LOCAL BODIES AND THUS FACILITATE DECISION MAKING
PENDEKATAN DALAM AMALGAMASI:1. PIECEMEAL OR LARGE-SCALE AMALGAMATION2. VOLUNTARY-COMPULSORY AMALGAMATION
Amalgamasi di Jepang
Amalgamations are not solely a phenomenon of the west, nor of contemporary Japan. Even though the decentralization reform officially started in the nineties, local amalgamation has been occurred in Japan before that. As Mabuchi points out (2001; see also Nakanishi 2002), there have been two significant periods of amalgamation in Japan’s modern history.
lanjutan
From 1883 to 1898, the number of municipalities decreased from 71,497 to 14,289 as a direct result of municipal amalgamation, justified under the reasoning of increasing the scale and relevance of the resulting respective autonomous governing bodies. The first is called Meiji Amalgamation. The second drastic change took place from 1950 to 1960. During this period, the total number of municipalities decreased from 10,443 to 3,526.
LANDASAN NORMATIVE
PP 78 tahun 2007 mengenai pembentukan daerah otonom baru disebutkan tata cara atau mekanismenya dan syarat-syarat pembentukannya. Judul peraturan pemerintahnya secara lengkap adalah: “Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.”
LANJUTAN
Dari judul tersebut yang terjadi hanya menyangkut pemekaran dan pembentukan Daerah, sedangkan penghapusan dan penggabungan daerah belum pernah terjadi.
Sedikit berbeda dari PP sebelumnya (PP 129 tahun 2000), hal-hal yang prinsipil dalam PP tersebut adalah menyangkut: (a) pembentukan daerah; yang menyangkut berbagai faktor dan keriteria lolos (b) tata cara pembentukan daerah; (c) penghapusan dan penggabungan daerah; (d) tata cara penghapusan dan penggabungan daerah; dan (e) pendanaan.
LANJUTAN
Sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004, terdapat 3 syarat pembentukan daerah: (1) syarat administratif; (2) syarat fisik, dan (3) syarat teknis.
Syarat teknis, meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan daerah.
.
ADMINISTRATIF
TEKNIS
FISIK KEWILAYAHAN
SYARAT-SYARAT PEMBENTUKAN
DAERAHPasal 5 Ayat (1)
SYARAT ADMINISTRATIF
A. PEMBENTUKAN PROVINSI Pasal 5 Ayat (2)
1. ASPIRASI MASYARAKAT.2. KEP. DPRD KABUPATEN/KOTA & PERSETUJUAN BUPATI/WALIKOTA MASING-MASING YG AKAN MJD CAKUPAN PROV3. KEP. DPRD PROV/INDUK. 4. REKOMENDASI GUBERNUR/INDUK.5. REKOMENDASI MENTERI DALAM NEGERI
1. ASPIRASI MASYARAKAT.2. KEPUTUSAN DPRD KABUPATEN/KOTA.3. PERSETUJUAN BUPATI/WALIKOTA.4. KEPUTUSAN DPRD Kabupaten/KotaINDUK. 5. REKOMENDASI Bupati/ Walikota INDUK.6. REKOMENDASI MENTERI DALAM NEGERI
B. PEMBENTUKAN KABUPATEN/KOTAPasal 5 Ayat (3)
SYARAT TEKNISPasal 5 Ayat (4)
FAKTOR DASARPEMBENTUKAN DAERAH
1. KEMAMPUAN EKONOMI.2. POTENSI DAERAH.3. SOSIAL BUDAYA.4. SOSIAL POLITIK.5. KEPENDUDUKAN.6. LUAS DAERAH.7. PERTAHANAN.8. KEAMANAN. dan9. FAKTOR LAIN YANG MEMUNGKINKAN TERSELENGGARANYA OTDA (KEMAMPUAN KEUANGAN,TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT, RENTANG KENDALI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH)
SYARAT FISIKPasal 5 Ayat (5)
KOTA
PROVINSI
KABUPATEN
PALING SEDIKIT 4 KECAMATANSARANA DAN PRASARANA PEMERINTAHAN
PALING SEDIKIT 5 KECAMATANLOKASI CALON IBUKOTASARANA DAN PRASARANA PEMERINTAHAN
PALING SEDIKIT 5 KABUPATEN/KOTALOKASI CALON IBUKOTASARANA DAN PRASARANA PEMERINTAHAN
PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DAERAH
Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain, apabila tidak mampu menyelenggarakan Otda {Pasal 6 Ayat (1)} dan dilakukan setelah proses evaluasi {6 Ayat (2)}
Penghapusan dan penggabungan daerah ditetapkan dengan UU {7 Ayat (1)}
Perubahan batas daerah, perubahan nama daerah, pemberian nama bagian rupa bumi, serta perubahan nama , atau pemindahan ibu kota yang tidak mengakibatkan penghapusan suatu daerah ditetapkan dengan PP {7 Ayat (2)}
Perubahan dimaksud dilakukan atas usul dan persetujuan daerah ybs. {Pasal 7 Ayat(3)}
Tata cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah {Pasal 8}
LANJUTAN
Faktor-faktor tersebut dinilai lebih menekankan segi kuantitatif dan kurang menghiraukan kualitatifnya.
Tidak ada atau sangat sedikit kriteria yang memperhitungkan adanya keterkaitan elemen nasional di daerah. Lebih banyak menghitung animo desentralisasi (penyerahan wewenang) dan pembentukan daerah otonom baru katimbang bagaimana kaitan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada fungsi pelayanan kepada masyarakat sesungguhnya.
Apakah pemekaran daerah harus didahului bahwa kinerja daerah yang bersangkutan harus bagus sejak awal? Atau paling tidak menyangkut potensi daerahnya?
Begitupun sebaliknya apakah penggabungan daerah harus didahului oleh fakta penilaian kinerja yang buruk?
Wahyudi dan Berindra: 2010
Evaluasi kinerja pemerintahan daerah yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) pada 2008 menunjukkan, dari 148 daerah otonom baru yang dimekarkan antara 1999-2007, sebanyak 49 daerah berkinerja pemerintahan tinggi dan 28 daerah berkinerja rendah. Sisanya, sebanyak 71 daerah, tak bisa dievaluasi karena tidak menyampaikan laporan kinerja pemerintahan.
Hasil evaluasi daerah oleh Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal menunjukkan ada 34 daerah yang menjadi tertinggal atau miskin setelah dimekarkan.
lanjutan
Meski hasil evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah menunjukkan hasil yang kurang baik, usulan pemekaran daerah tetap mengalir dan diakomodasi Kemdagri, DPR, dan DPD. Hingga akhir Desember lalu, tercatat 112 usulan daerah otonom baru yang diajukan ke Kemdagri. Jika ditambah dengan usulan yang masuk melalui DPR dan DPD, jumlahnya dipastikan membengkak sebab banyak usulan pemekaran daerah diajukan melalui DPR karena lebih mudah.
lanjutan
Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Tri Ratnawati, mengingatkan, pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk menindak dan membubarkan daerah otonom yang tidak memiliki kinerja baik. Tindakan tegas itu diperlukan bagi daerah otonom yang tidak bisa mewujudkan peningkatan kualitas layanan publik, kesejahteraan masyarakat, dan demokrasi lokal.
Sebaiknya berbagai elemen memahami pemekaran adalah alat untuk mencapai tujuan pengembangan daerah yang lebih luas bukan kepentingan kelompok.
Dengan demikian, kita harus menanamkan nilai-nilai kepada semua pihak bahwa “siap mekar, berarti juga siap gabung”. Tidak selamanya daerah otonom baru harus dipertahankan, jika evaluasi menunjukkan kinerja yang buruk, maka harus siap digabung (dihapus) kembali.
Penutup