'Alayers', Generasi Progresif Dan Revolusioner

8
1 ALAYERS: GENERASI PROGRESIF DAN REVOLUSIONER [?] Wahyu Budi Nugroho “Alay gaya kayak artis, sok selebritis, norak-norak abis…” (Lolita, Alay [Anak Layangan]) Pendahuluan “Progresif dan revolusioner!”. Itulah dua kata yang kerap digunakan presiden pertama kita, Soekarno, guna merepresentasikan suatu perubahan secara cepat dan mendasar ke arah yang lebih baik. 1 Tak pelak, beberapa dekade pasca sepeninggal beliau, bangsa Indonesia mengalami perubahan yang cepat dan mendasar dalam berbagai lini kehidupan, sedari sosial, politik, ekonomi, hingga budaya. Syarat diakui memang, penilaian akan baik- buruk serangkaian bentuk perubahan tersebut bersifat diskursif. Artinya, berkelindan dengan ideologi maupun sudut pandang pihak-pihak yang berkepentingan dengannya. Satu di antara bentuk perubahan tersebut yang agaknya kuat-mengemuka dalam beberapa tahun terakhir ini adalah penggunaan budaya alayoleh mereka yang kerap dicap sebagai “generasi alay” atau alayers „anak-anak alay‟. Diakui atau tidak, budaya alay telah memiliki momentum tersendiri dalam sejarah perkembangan budaya bangsa ini. Ia merupakan fakta budaya sekaligus fakta sosial yang tak dapat dihindari, disembunyikan, alih- alih ditiadakan mengingat telah menjadi bagian dari perjalanan masyarakat kita, utamanya generasi muda. Lebih jauh, tulisan ini berupaya mengambil posisi yang tegas di tengah pro-kontra yang terjadi antara sebagian pihak yang menerima budaya alay vis-à-vis sebagian lain yang menolaknya. Keyakinan penulis akan budaya sebagai perihal yang lumer dan dinamis, berimplikasi pada sebentuk premis bahwa budaya alay pun syarat dihargai dan diberikan tempat tersendiri dalam khasanah kebudayaan bangsa. Di samping memang, besarnya potensi-agensi yang dibawa budaya alay sebagai peretas dikotomi budaya tinggidengan Tulisan ini didedikasikan spesial untuk “Priyono Nyoto”, pemuda asal Blitar yang “membombardir” YouTube dengan puluhan video upload-annya. 1 Lebih jauh lihat Ir. Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi Djilid II, Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta, 1965.

Transcript of 'Alayers', Generasi Progresif Dan Revolusioner

Page 1: 'Alayers', Generasi Progresif Dan Revolusioner

1

“ALAYERS”: GENERASI PROGRESIF DAN REVOLUSIONER [?]

Wahyu Budi Nugroho

“Alay gaya kayak artis, sok selebritis, norak-norak abis…”

(Lolita, Alay [Anak Layangan])

Pendahuluan

“Progresif dan revolusioner!”. Itulah dua kata yang kerap digunakan presiden

pertama kita, Soekarno, guna merepresentasikan suatu perubahan secara cepat dan mendasar

ke arah yang lebih baik.1 Tak pelak, beberapa dekade pasca sepeninggal beliau, bangsa

Indonesia mengalami perubahan yang cepat dan mendasar dalam berbagai lini kehidupan,

sedari sosial, politik, ekonomi, hingga budaya. Syarat diakui memang, penilaian akan baik-

buruk serangkaian bentuk perubahan tersebut bersifat diskursif. Artinya, berkelindan dengan

ideologi maupun sudut pandang pihak-pihak yang berkepentingan dengannya.

Satu di antara bentuk perubahan tersebut yang agaknya kuat-mengemuka dalam

beberapa tahun terakhir ini adalah penggunaan “budaya alay” oleh mereka yang kerap dicap

sebagai “generasi alay” atau alayers „anak-anak alay‟. Diakui atau tidak, budaya alay telah

memiliki momentum tersendiri dalam sejarah perkembangan budaya bangsa ini. Ia

merupakan fakta budaya sekaligus fakta sosial yang tak dapat dihindari, disembunyikan, alih-

alih ditiadakan mengingat telah menjadi bagian dari perjalanan masyarakat kita, utamanya

generasi muda.

Lebih jauh, tulisan ini berupaya mengambil posisi yang tegas di tengah pro-kontra

yang terjadi antara sebagian pihak yang menerima budaya alay vis-à-vis sebagian lain yang

menolaknya. Keyakinan penulis akan budaya sebagai perihal yang lumer dan dinamis,

berimplikasi pada sebentuk premis bahwa budaya alay pun syarat dihargai dan diberikan

tempat tersendiri dalam khasanah kebudayaan bangsa. Di samping memang, besarnya

potensi-agensi yang dibawa budaya alay sebagai peretas dikotomi “budaya tinggi” dengan

Tulisan ini didedikasikan spesial untuk “Priyono Nyoto”, pemuda asal Blitar yang “membombardir”

YouTube dengan puluhan video upload-annya. 1 Lebih jauh lihat Ir. Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi Djilid II, Panitia Penerbit Di Bawah Bendera

Revolusi, Jakarta, 1965.

Page 2: 'Alayers', Generasi Progresif Dan Revolusioner

2

“budaya rendah”. Pun, peluluhlantah konservatisme budaya yang dikukuhkan berikut

dikristalkan golongan tua yang nyatanya sekedar berdampak pada terhelatnya “pendangkalan

budaya”.

Menyoal Definisi “Alay”

Tak dapat dipungkiri, hingga kini istilah formal mengenai “alay” belumlah ditemui.

Terminus terkait urung terkategori Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai salah satu

kosakata yang diakui dan digunakan dalam keseharian hidup masyarakat Indonesia. Namun

demikian, berdasarkan informasi yang dihimpun melalui berbagai sumber, setidaknya

terdapat dua pengertian mengenai alay. Pertama, alay merupakan singkatan dari “anak

layangan”, menunjuk pada anak yang bergaya kampungan atau berpenampilan norak. Kedua,

alay sebagai singkatan dari “anak lebay”. Istilah lebay sendiri berarti “berlebihan”. Dengan

demikian, alay sebagai “anak lebay” menunjuk pada sikap, gaya atau penampilan anak-anak

muda yang berlebihan—guna menarik perhatian pihak lain.2

Sejauh ini, budaya alay termanifestasikan dalam tiga bentuk; gaya berpenampilan,

gaya berbicara, serta gaya penulisan. Umumnya, penampilan alay ditunjukkan dengan gaya

rambut emo—terkadang berpadu dengan “topi kipas”, kacamata besar, pakaian t-shirt junkies,

boxer yang sengaja ditampakkan keluar, celana pensil, serta sandal converse atau sepatu

model evans. Hanya saja, berbagai aksesoris yang dikenakan para alayers terkadang tampak

sebagai “barang imitasi”—sangat mencolok bahkan. Kuat dugaan, hal tersebut merupakan

kompensasi tak terbelinya barang asli dengan harga selangit.

Di sisi lain, gaya berbicara alay tampak dengan tinggi-rendah intonasi suara yang

dibuat-buat, berikut penggunaan serangkaian kata atau kalimat yang sengaja diplesetkan.

Gaya berbicara “Fitri Tropika”, artis kenamaan ibu kota, kiranya menjadi contoh apik

bagaimana gaya berbicara alay dipraktekkan.3 Sedang, penggunaan kata atau kalimat yang

diplesetkan dalam gaya berbicara alay agaknya sebagaimana kerap kita dengar akhir-akhir

ini: kalimat “ah, masa sih?” menjadi “amacacih?”; kata “serius” menjadi “ciyus”; serta

kalimat “demi apa?” menjadi “miyapah?”.4

Terakhir, manifestasi budaya alay dalam bentuk tulisan. Bisa jadi hal terkait

merupakan perwujudan budaya alay yang paling populer. Gaya penulisan alay ditandai

dengan bentuk tulisan yang memadukan huruf besar dengan huruf kecil, angka, bahkan juga

2 Terdapat pula dalam lagu Alay (Anak Layangan), dipopulerkan oleh Lolita. 3 Youtube, Prime Time Show: De Rahma Bolos Sekolah, http://www.youtube.com/watch?v=FRNUFesnRno

(16-11-2012). 4 Iklan provider XL yang dibintangi Omesh.

Page 3: 'Alayers', Generasi Progresif Dan Revolusioner

3

beragam simbol tanda baca. Sering pula, huruf-huruf pada suatu kata disubstitusikan dengan

huruf lain yang cukup mirip. Sebagai misal, kata yang sejatinya “facebook” menjadi

“f4c3bv9h”. Dalam kata tersebut, huruf “u” tergantikan dengan “v”. Contoh lain adalah kata

“aku” yang kemudian menjadi “aq”. Gaya penulisan alay tak memiliki struktur baku, yang

dengan demikian menuntut “kreativitas tingkat tinggi” baik bagi pembuat maupun

penafsirnya. Kata “aku” dalam bahasa alay misalnya, dapat dituliskan dengan beragam cara

seperti; “aq”, “q”, atau “aQu”.

Tak begitu jelas sejak kapan budaya alay menyerua ke permukaan. Namun seingat

penulis, antara tahun 2005-2006 telah banyak anak muda yang menggunakan gaya penulisan

alay. Hanya saja, istilah alay belum ditemui kala itu, sedang mereka yang menulis dengan

gaya tersebut kerap menuai predikat sebagai “anak funky”. Di satu sisi, tak dapat dipungkiri

pula bahwa perkembangan media jejaring sosial dunia maya turut andil dalam menumbuh-

kembangkan budaya alay di kalangan generasi muda tanah air. Diawali dengan friendster,

kemudian facebook, hingga yang termutakhir: twitter.

Budaya Alay Patut Dihargai dan Diapresiasi5

Sebagaimana subjudul di atas—Budaya Alay Patut Dihargai dan Diapresiasi—

kiranya penulis tergabung dalam barisan mereka-yang menyarankan perlunya budaya alay,

khususnya yang mewujud dalam bentuk aksara atau tulisan, diberikan tempat tersendiri

dalam khasanah kebudayaan bangsa. Meskipun memang, banyak pihak menolak gagasan

tersebut dengan alasan; berlebihan, tak jelas, berikut merusak EYD (Ejaan Yang

Disempurnakan) dalam bahasa Indonesia. Serangkaian alasan tersebut memang tak

sepenuhnya salah. Namun, menjadi perihal yang tak bijak pula bila menjadikannya tameng

guna mengeliminasi budaya alay dari wacana kebudayaan kontemporer. Mengapa? Pertama,

alay merupakan budaya yang murni-lahir dari kreativitas anak bangsa, yang dengan demikian

syarat dihargai dan diapresiasi keberadaannya.

Kedua, alasan kemajuan budaya. Apabila kita cermati, faktual tren budaya yang telah

lama berkembang di negara tetangga, Malaysia, adalah budaya “kreolisasi bahasa”.

Kreolisasi bahasa menunjuk pada penyesuaian antara penulisan aksara dengan pengucapan

lidah masyarakat Malaysia terhadap kata-kata asing. Sebagai misal, penulisan kata

“facebook” melalui proses kreolisasi bahasa akan berubah menjadi “fesbuk”, atau kata

5 Sebagian diambil dari tulisan penulis—dengan berbagai penyesuaian. Wahyu Budi Nugroho, Budaya Alay

Patut Dihargai dan Diapresiasi?, http://otomotif.news.viva.co.id/news/read/263007-budaya-alay-patut-dihargai-dan-diapresiasi- (dimuat pada 10-11-2011).

Page 4: 'Alayers', Generasi Progresif Dan Revolusioner

4

“snack” yang kemudian menjadi “snek”. Nyatanya, pemerintah Malaysia tak ambil pusing

dengan hal tersebut, dan hingga kini bahasa kreol telah digunakan secara luas.

Ketiga, terkait tuduhan bahwa bahasa alay bakal merusak EYD. Memang, apabila

bahasa alay ditempatkan sebagai perkembangan lanjutan dari bahasa Indonesia, maka ia

sudah pasti “memporak-porandakan” struktur bahasa yang telah mapan, namun sebaliknya

jika bahasa alay ditempatkan sebagai “percabangan kreatif” dari bahasa Indonesia.

Penempatan tersebut menunjuk pada posisinya sebagai bahasa alternatif yang dapat

digunakan selain bahasa Indonesia, tentunya berdasarkan konteks yang melingkupinya.6

Apabila dapat terwujud, bukankah hal tersebut justru menambah wawasan kebahasaan kita?.

Dengan demikian, tak ada alasan bagi para penentang gaya bahasa alay untuk

memberangusnya dari wacana kebudayaan kontemporer tanah air.

Terkait budaya penampilan alay, jika kita amati sejauh ini, generasi muda tanah air

cenderung “latah” terhadap beragam budaya penampilan yang datang dari luar. Gaya

berpenampilan ala punk, gothic, harajuku, atau K-Pop misalnya. Pertanyaannya, mengapa

serangkaian budaya tersebut dapat mendunia? Hal ini tak lain dikarenakan sebagian besar

pemuda asal negara-negara tersebut menghargai dan mengapresiasi kreasi budaya

generasinya. Pun, sesungguhnya tak menutup kemungkinan pula bagi budaya alay untuk

mendunia mengingat turut ditemuinya beragam “ritual” di dalamnya.

Meminjam analisis Hebdige mengenai “ritual” dalam budaya subkultur anak muda,7

layaknya punk dengan ritual rambut lancip-tegak, atau gothic dengan penampilan serba

hitam, kiranya begitu pula budaya alay dengan rambut emo, t-shirt junkies, boxer yang

sengaja ditampakkan, berikut celana pensil yang dikenakan—belum lagi ditambah dengan

gaya berbicara dan gaya penulisan alay. Dapatlah ditilik bahwa budaya alay justru memiliki

ritual yang jauh lebih lengkap ketimbang budaya-budaya asing di atas. Dalam pengkajian

Hebdige, semakin banyak unsur ritual dalam suatu budaya, maka semakin berpotensi pulalah

budaya tersebut berpengaruh secara luas.8 Dengan demikian, tinggal menanti iktikad-baik

generasi muda tanah air saja untuk menjadikan budaya alay mendunia: mendukung atau

menolaknya.

6 Digunakan dalam pergaulan atau forum-forum informal misalkan. 7 Chris Barker, Cultural Studies, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2009, h. 346-347. 8 Ibid., h. 347.

Page 5: 'Alayers', Generasi Progresif Dan Revolusioner

5

Meretas “Budaya Tinggi” dan “Budaya Rendah”

Munculnya dikotomi antara “budaya tinggi” dan “budaya rendah” tak terlepas dari

konstruksi permainan modal sosial, ekonomi, budaya dan modal simbol entitas individu atau

kolektif dalam perspektif habitus-Bourdieu.9 Sebagai misal, kalangan intelektual dengan

modal budaya berupa tingkat pendidikan yang tinggi secara tak sengaja gemar menikmati

musik Jazz, lambat-laun hal tersebut dapat melahirkan persepsi bahwa Jazz adalah musik

kaum terpelajar. Sebaliknya, kalangan kelas bawah yang gemar mendengarkan musik

dangdut, lambat-laun dapat memunculkan anggapan dangdut sebagai musik kaum kelas

bawah. Cara kerja persepsi-persepsi tersebut tak ubahnya seperti “streotipe”. Hal inilah yang

kemudian melahirkan “distingsi” atau jarak sosial antara satu individu/kolektif dengan

individu/kolektif lainnya. Implikasi yang ditimbulkannya pun jelas, lahirnya dikotomi antara

budaya tinggi dengan budaya rendah, berikut penciptaan segregasi sosial secara tak kasat

mata.

Meskipun pada mulanya budaya alay di-stereotip-kan sebagai budaya rendah yang

kental-melekat pada anak-anak berpenampilan norak lagi kampungan, nyatanya berbagai

korporasi kenamaan tanah air—provider telekomunikasi terutama—tak ragu memanfaatkan

budaya alay guna memasarkan beragam jenis layanan terbarunya. Hal tersebut ditambah

dengan tampilnya artis-artis papan atas di setiap iklan yang mereka buat. Secara tak langsung,

fenomena terkait menunjukkan betapa budaya alay telah melampaui diskursus ihwal tinggi-

rendah suatu budaya, ia telah diakui oleh semua kalangan dan seluruh lapisan masyarakat.

Peluluhlantah Hagemoni dan Konservatisme Budaya

Terus menggelinding dan digunakannya budaya alay hingga detik ini, sesungguhnya

menandai kemandirian budaya generasi muda tanah air. Sudah tentu, kita patut berbangga

hati atasnya. Ini artinya, generasi muda tanah air tak sekedar membebek pada budaya asing

yang tak jelas asal-usulnya. Meskipun memang, masih ditemui beberapa unsur budaya Barat

di dalamnya, seperti; boxer, celana pensil, atau sepatu model evans, namun hal tersebut

menemui bentuknya sebagai “hibridasi budaya” dalam perspektif cultural studies, yakni

sebentuk persilangan budaya yang nantinya menghasilkan ragam kebudayaan tersendiri—

terlebih berpadu dengan gaya berbicara dan penulisan alay yang lahir melalui kreativitas anak

9 Pierre Bourdieu, Arena Reproduksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2010,

h. 318.

Page 6: 'Alayers', Generasi Progresif Dan Revolusioner

6

bangsa.10

Hal ini layaknya K-Pop atau harajuku yang sedikit-banyak masih mengandung

unsur budaya Barat.

Pada ranah berlainan, cukup banyak pula para “moralis muda” penentang bahasa alay

bersenjatakan sejarah Sumpah Pemuda-1928: “Ngaku pemuda Indonesia, tapi nggak

berbahasa satu: bahasa Indonesia. Malu-maluin!”, demikian ungkap salah satu di

antaranya.11

Dan seyogyanya, pelontar pernyataan tersebut mengganti ejaan kalimatnya

menjadi: “Ngakoe pemoeda Indonesia, tapi nggak berbahasa satoe: bahasa Indonesia.

Maloe-maloein!”, struktur bahasa ketika didengungkannya Sumpah Pemuda.

Perihal tersirat yang hendak disampaikan melalui pernyataan di atas adalah,

kenyataannya bahasa Indonesia yang kini kita gunakan telah jauh berbeda dari bahasa

Indonesia kala Sumpah Pemuda didengungkan—sejak pertama kalinya EYD diperkenalkan

pada tahun 1972, kemudian diperbaruhi kembali pada tahun 1986.12

Disadari atau tidak, hal

tersebut menunjukkan inisiatif dan keberanian generasi pasca-Orde Lama untuk merubah

tatanan budaya berbahasa yang telah mapan, meskipun memang, generasi yang dimaksud

adalah mereka yang berlegitimasi (duduk dalam pemerintahan). Namun demikian, masihkah

relevan berbicara legitimasi di era serba-pembatasan peran negara dewasa ini?—implikasi-

ikutan dari arus globalisasi.13

Di sisi lain, menyeruanya budaya alay ke permukaan menunjukkan daya dobrak

generasi alay terhadap hagemoni yang mengkungkung kreativitas. Bagi Gramsci, esensi dari

hagemoni adalah bercokolnya beragam konsensus rumusan generasi terdahulu.14

Pertanyaannya, mengapa hingga kini kita syarat menggunakannya? Bukankah generasi lalu

telah tergantikan dengan generasi sekarang, pun dengan masa yang telah berganti? Tegas dan

jelasnya, mengapa saat ini juga kita tak membuat konsensus baru berdasarkan situasi dan

kondisi aktual yang tengah dihadapi bersama?.

10 Ziauddin Sardar & Borin Van Loon, Cultural Studies for Beginners, Mizan, Bandung, 2001, h. 165. 11 Komentar Frank Kaisar Gumilang dalam akun facebook “Persatuan Anak Alay Seluruh Indonesia”,

http://www.facebook.com/pages/PERSATUAN-ANAK-ALAY-SELURUH-INDONESIA-PAASI/241228090131 (16-11-2012).

12 Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2000.

13 Ziauddin Sardar & Borin Van Loon, op. cit., h. 162. 14 Adhe (Ed.), Belok Kiri Jalan Terus, Alinea, Yogyakarta, 2005, h. 60.

Page 7: 'Alayers', Generasi Progresif Dan Revolusioner

7

Kesimpulan dan Penutup

Melalui berbagai uraian singkat di atas, kiranya dapatlah disimpulkan bahwa generasi

alay selaku pencetus budaya alay merupakan generasi yang progresif lagi revolusioner. Hal

tersebut setidaknya didasarkan pada serangkaian kenyataan sebagai berikut. Pertama,

generasi alay mampu menciptakan ragam budaya baru bagi para pemuda tanah air yang

selama ini cenderung mengekor pada beragam bentuk kebudayaan asing. Kedua, budaya alay

yang mereka cetuskan faktual mampu meretas dikotomi antara budaya tinggi dengan budaya

rendah, hal ini ditunjukkan dengan mulai diakui dan digunakannya budaya alay oleh seluruh

lapisan masyarakat. Ketiga, disadari atau tidak, melalui budaya cetusannya, generasi alay

menunjukkan kapasitasnya dalam mendobrak hagemoni berikut konservatisme budaya di

negeri ini. Pada akhirnya, sekedar menjadi keputusan generasi muda tanah air untuk

menjadikan budaya alay mendunia, atau sekedar menjadikannya “cetar-membahana” di tanah

air.

*****

Page 8: 'Alayers', Generasi Progresif Dan Revolusioner

8

Referensi

Buku:

Adhe (Ed.). 2005. Belok Kiri Jalan Terus. Yogyakarta: Alinea.

Barker, Chris. 2009. Cultural Studies. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Bourdieu, Pierre. 2010. Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya.

Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Ir. Soekarno. 1965. Di Bawah Bendera Revolusi Djilid II. Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah

Bendera Revolusi.

Sardar, Ziauddin & Borin Van Loon. 2001. Cultural Studies for Beginner. Bandung: Mizan.

Internet:

Facebook “Persatuan Anak Alay Seluruh Indonesia” (PAASI).

http://www.facebook.com/pages/PERSATUAN-ANAK-ALAY-SELURUH-

INDONESIA-PAASI/241228090131 (16-11-2012).

Youtube, Prime Time Show: De Rahma Bolos Sekolah,

http://www.youtube.com/watch?v=FRNUFesnRno (16-11-2012).

Nugroho, Wahyu Budi. 2011. Budaya Alay Patut Dihargai dan Diapresiasi?.

http://otomotif.news.viva.co.id/news/read/263007-budaya-alay-patut-dihargai-dan-

diapresiasi- (16-11-2012).

Lain-lain:

Iklan provider XL dibintangi Omesh.

Lagu Alay (Anak Layangan), dipopulerkan oleh Lolita.

Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia. 2000. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia

yang Disempurnakan. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.