Alat Bukti

7
Apa Perbedaan Alat Bukti dengan Barang Bukti? A. Alat Bukti Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian (Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, hal. 19). Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. B. Barang Bukti Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang tidak menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu: a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c. benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana; d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan, Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, hal. 14). Selain itu di dalam Hetterziene in Landcsh Regerment (”HIR”) juga terdapat perihal barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu di-beslag di antaranya: a. Barang-barang yang menjadi sasaran tindak pidana (corpora delicti) b. Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana (corpora delicti) c. Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana (instrumenta delicti) d. Barang-barang yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk memberatkan atau meringankan kesalahan terdakwa (corpora delicti)

description

Perbedaan Alat Bukti dan Barang Bukti

Transcript of Alat Bukti

Page 1: Alat Bukti

Apa Perbedaan Alat Bukti dengan Barang Bukti?

A. Alat Bukti

Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian (Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, hal. 19). Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.

B. Barang Bukti

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang tidak menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu:

a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;

b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;

c. benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;

d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;

e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan,

Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, hal. 14).

Selain itu di dalam Hetterziene in Landcsh Regerment (”HIR”) juga terdapat perihal barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu di-beslag di antaranya:

a. Barang-barang yang menjadi sasaran tindak pidana (corpora delicti)

b. Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana (corpora delicti)

c. Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana (instrumenta delicti)

d. Barang-barang yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk memberatkan atau meringankan kesalahan terdakwa (corpora delicti)

Selain dari pengertian-pengertian yang disebutkan oleh kitab undang-undang di atas, pengertian mengenai barang bukti juga dikemukakan dengan doktrin oleh beberapa Sarjana Hukum. Prof. Andi Hamzah mengatakan, barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik (Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, hal. 254). Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti :

a. Merupakan objek materiil

b. Berbicara untuk diri sendiri

c. Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya

Page 2: Alat Bukti

d. Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa

Menurut Martiman Prodjohamidjojo, barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan. Dalam Pasal 181 KUHAP majelis hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenali barang bukti terebut. Jika dianggap perlu, hakim sidang memperlihatkan barang bukti tersebut. Ansori Hasibuan berpendapat barang bukti ialah barang yang digunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu delik atau sebagai hasil suatu delik, disita oleh penyidik untuk digunakan sebagai barang bukti pengadilan.

Jadi, dari pendapat beberapa Sarjana Hukum di atas dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan barang bukti adalah :

a. Barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana

b. Barang yang dipergunakan untuk membantu melakukan suatu tindak pidana

c. Benda yang menjadi tujuan dari dilakukannya suatu tindak pidana

d. Benda yang dihasilkan dari suatu tindak pidana

e. Benda tersebut dapat memberikan suatu keterangan bagi penyelidikan tindak pidana tersebut, baik berupa gambar ataupun berupa rekaman suara

f. Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu perkara pidana. Tetapi kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara pidana, karena ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti, seperti tindak pidana penghinaan secara lisan (Pasal 310 ayat [1] KUHP) (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti, hal.19).

Bila kita bandingkan dengan sistem Common Law seperti di Amerika Serikat, alat-alat bukti tersebut sangat berbeda. Dalam Criminal Procedure Law Amerika Serikat, yang disebut forms of evidence atau alat bukti adalah: real evidence, documentary evidence, testimonial evidence dan judicial notice (Andi Hamzah). Dalam sistem Common Law ini, real evidence (barang bukti) merupakan alat bukti yang paling bernilai. Padahal real evidence atau barang bukti ini tidak termasuk alat bukti menurut hukum acara pidana kita.

Bila memperhatikan keterangan di atas, tidak terlihat adanya hubungan antara barang bukti dengan alat bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa, kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Jadi, dapat kita simpulkan bahwa fungsi barang bukti dalam sidang pengadilan adalah sebagai berikut:

1. Menguatkan kedudukan alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat [1] KUHAP);

2. Mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang yang ditangani;

3. Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah maka barang bukti tersebut dapat menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan JPU.

Dalam sebuah acara diskusi yang diselenggarakan oleh hukum online, seorang jaksa dari kejaksaan agung yang pada saat itu bersama saya sebagai pembicara, menjelaskan perbedaan mendasar dari alat bukti dan barang bukti. Penjelasannya begitu sederhana, sehingga saya dengan mudah mengingatnya sampai sekarang. Beliau mengatakan, “alat bukti ialah sesuatu yang jika dihadirkan ke hadapan hakim dapat bercerita sendiri, sedangkan barang bukti belum bisa bercerita sendiri.”Karena barang bukti belum bisa “bercerita” sendiri, maka yang dapat menceritakan keterkaitan barang tersebut dengan perkara yang disidangkan adalah terdakwa, saksi, atau ahli. Keterangan terdakwa, saksi, dan ahli itulah yang kelak akan menjadi alat bukti, yang dapat dipergunakan oleh hakim sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan.

Page 3: Alat Bukti

Untuk membantu anda yang tidak mendalami ilmu hukum untuk memahami konsep penting tersebut, berikut saya berikan contoh mudahnya. Anggap saja kasusnya pembunuhan. A menusuk B dengan pisau, sehingga B mati karena kehabisan darah. Pisau tersebut adalah barang bukti. Menunjukkan saja pisau itu ke hadapan hakim tidak akan membuat hakim memperoleh informasi mengenai peran A dalam kasus pembunuhan itu, karena sebagai benda mati hakim tentu saja tidak bisa menanyai si pisau di sidangnya. Oleh karena itu, sebelum ditunjukkan di saat persidangan, penyidik akan membawa pisau itu ke seorang ahli. Sang ahli akan menjelaskan apakah sidik jari dalam pisau itu adalah sidik jari A dan apakah darah di pisau itu adalah darah B. Pendapat sang ahli yang dibuat secara tertulis, kelak dapat dihadirkan ke persidangan sebagai alat bukti: SURAT. Setelah dibawa pada ahli, penyidik akan mencari keterangan atau mengklarifikasi pisau tersebut dari tersangka dan saksi, misalnya dengan menanyakan: apakah tersangka/saksi pernah melihat pisau tersebut, apakah tersangka memegang pisau tersebut saat terjadinya pembunuhan B, apakah tersangka menggunakan pisau tersebut untuk menusuk B, dlsb. Jawaban dari tersangka dan saksi akan dicatat dalam sebuah Berkas Acara Pemeriksaan (BAP). Kelak BAP tersebut dapat dihadirkan ke persidangan sebagai alat bukti: SURAT. Dalam persidangan nanti, keterangan terdakwa, saksi, dan ahli, masing-masing akan bernilai sebagai alat bukti: KETERANGAN TERDAKWA, KETERANGAN SAKSI, DAN KETERANGAN AHLI. Berdasarkan keterangan terdakwa, saksi, atau ahli itulah hakim dapat menarik alat bukti: PETUNJUK. Pada akhir persidangan, SURAT, KETERANGAN TERDAKWA, KETERANGAN SAKSI, KETERANGAN AHLI, dan PETUNJUK itulah yang dapat menjadi landasan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan.

Seorang dokter tidak hanya bertugas dalam hal kesehatan, namun seorang dokter juga dapat berperan sebagai saksi ahli dalam suatu penegakan keadilan. Ilmu kedoktran forensik, merupakan cabang ilmu kedokteran yang berperan untuk penegakan keadilan. Terkadang seorang dokter akan dimintai keterangannya sebagai saksi ahli oleh penyidik jika diperlukan. Hal ini jelas disebutkan pada pasal 133 KUHAP ayat (1) yang berbunyi “Dalam hal peyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya”. Pasal 133 KUHAP tersebut yang kemudian diperjelas oleh KUHAP pasal 6 ayat (1) jo PP 27 tahun 1983 pasal 2 ayat (1) mengenai penyidik yang berhak untuk meminta visum. Pada pasal tersebut disebutkan bahwa “Pejabat Polisi Negara RI yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang dengan pangkat serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua. Penyidik pembantu berpangkat serendah-rendahnya Sersan Dua.” Masih dalam PP yang sama, diikatakan juga “bila penyidik tersebut adalah pegawai negeri sipil, maka kepangkatannya adalah serendah-rendahnya golongan II/b untuk penyidik, dan II/a untuk penyidik pembantu”.

Dari penjelasan pasal tesebut, jelas sudah pengertian penyidik yang berwenang untuk meminta Surat Permintaan Visum (SPV). Namun, jika terjadi keadaan khusus, dimana tidak terdapat penyidik yang dimaksud untuk meminta SPV, maka penyidik lainpun memiliki wewenang untuk meminta dilakukannya visum. Penyidik lai tersebut dijelaskan pada PP 27 tahun 1983 pasal 2 ayat (2) yang berbunyi “Bila di suatu Kepolisian Sektor tidak ada pejabat penyidik seperti diatas, maka Kepala Kepolisian Sektor yang berpangkat bintara dibawah Pembantu Letnan Dua dikategorikan pula sebagai penyidik karena jabatannya.”

Dalam tugasnya nanti, seorang dokter yang diminta untuk membuat Visum et Repertum wajib untuk menyanggupinya. Seorang dokter yang diminta, tidak punya hak untuk melakukan penolakan jika memang diminta oleh penyidik. Hal ini jelas tertulis pada pasal179 KUHAP ayat (1) yang menyatakan, “Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan”. Keterangan ahli yang diberikan oleh dokter, harus dibuat secara tertulis. Hal ini jelas dijelaskan dalam pasal 184 KUHAP. Keterangan ahli yang dibuat secara tertulis inilah yang kemudian dapat berperan sebagai alat bukti yang seperti yang dijelaskan di pasal 133 KUHAP ayat (2), “permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat atau pemeriksaan bedah mayat”.

Menurut jenisnya, visum et repertum dibagi menjadi empat jenis, yaitu :

Page 4: Alat Bukti

Visum et repertum perlukaan

Visum et repertum kejahatan susila

Visum et repertum jenazah

Visum et repertum psikiatrik

Visum et repertum yang dibuat oleh seorang ahli dalam bidang kedokteran ( dalam hal ini dokter) kemudian dapat menjadi suatu alat bukti yang sah pada saat di pengadilan. Hal ini serupa dengan yang dijelaskan pada pasal 184 KUHAP mengenenai alat bukti yang sah. Pada pasal tersebut terdapat beberapa barang yang dapat dijadikan alat bukti yang sah, yaitu :

Keterangan saksi

Keterangan ahli

Surat

Petunjuk

Keterangan terdakwa

Untuk dapat membuat Visum et repertum, seorang dokter harus menunggu surat permintaan visum yang dibuat oleh pihak penyidik. Di dalam surat tersebut harus jelas tertulis mengenai pemeriksaan yang akan dilakukan (pasal 133 KUHAP). Jika ternyata pemeriksaan bedah mayat (autopsi) perlu dilakukan, maka pihak penyidik wajib untuk memberitahukan keluarga pasien terlebih dahulu mengenai tindakan tersebut. Autopsi baru dapat dilakukan jika keluarga korban sudah tidak keberatan atau jika minimal dua hari tidak ada tanggapan dari keluarga korban (pasal 134 KUHAP). Pada kasus-kasus lama, namun harus dilakukan pemeriksaan autopsi, maka penggalian kubur guna autopsi juga dapat dilakukan (pasal 135 KUHAP) .

Dalam penulisan Visum et repertum, dianjurkan untuk dibuat menggunakan mesin ketik. Penulisan dilakukan pada sebuah kertas putih kosong yang harus disertakan dengan adanya kop surat yang berasal dari institusi yang mengeluarkan VER tersebut. Menggunakan singkatan, bahasa asing termasuk bahasa medis tidak dianjurkan dalam pembuatan visum. Jika terpaksa menggunakan bahasa asing, maka keterangan jelas menggunakan bahasa Indonesia harus disertakan.

Jika dalam penulisan visum tidak berakhir pada tepi kanan format, maka penggunaan garis pada akhir kalimat hingga ke batas ujung kanan format harus dilakukan. Foto dapat diberikan dalam bentuk lampiran jika ternyata dibutuhkan untuk memperjelas suatu VER. Dalam penulisan VER, ada 5 bagian yang harus selalu disertakan, yaitu :

Kata Pro Justisia : diletekan di bagian kanan atas yang menjelaskan bahwa visum yang dibuat adalah untuk tujan peradilan. Visum et repertum tidak memerlukam materai untuk menjadikannya alat bukti yang sah.

Pendahuluan : dalam pendahuluan terdapat keterangan seperti nama pembuat VER, institusi kesehatan, instansi penyidik lengkap dengan permintaan dan tanggal surat permintaan. Selain itu, tempat, waktu dilakukannya pemeriksaan juga harus ditulis. Jangan lupa pula sertakan identitas korban.

Pemberitaan : menjelaskan mengenai hasil pemeriksaan yang dilakukan, baik pemeriksaan luar maupun pemeriksaan dalam.

Kesimpulan : berisi tentang pendapat dokter berdasarkan tentang keilmuannya yang meliputi tentang jenis perlukaan, jenis kekerasan, zat penyebab, derajat luka dan penyebab kematian

Penutup : pada bagian ini berisi kalimat baku yang selalu digunakan untuk menutup suatu visum, yaitu “ Demikianlah visum et repertum ini saya buat dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan saya dan dengan mengingat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Page 5: Alat Bukti

Visum et repertum disingkat VeR adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter dalam ilmu kedokteran forensik [1] (Lihat: Patologi forensik) atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan pro yustisia.

Dalam KUHAP pasal 186 dan 187. (adopsi: Ordonansi tahun 1937 nomor 350 pasal 1)

Pasal 186: Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

Pasal 187(c): Surat keterangan dari seorang ahli yang dimuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.

Kedua pasal tersebut termasuk dalam alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP.

Melalui pendekatan yuridis visum et repertum di dalam Undang-Undang No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana, menunjukkan terdapat masalah mendasar yaitu kedudukan visum et repertum masuk dalam alat bukti keterangan ahli atau alat bukti surat yang kedua alat bukti ini sah menurut hukum sesuai pasal 184 KUHAP. Berikut analisis yuridis peraturan perundang-undangan pidana di indonesia :

Pasal 179 KUHAP

1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.

2) Semua ketentuan tersebut diatas untuk saksi berlaku juga bagi saksi yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenar-benarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.

Pasal 180 KUHAP

1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.

2) Dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukum terhadap hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim memerintahkan agar hal itu dilakukan penelitian ulang.

3) Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2)

4) Penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh instansi semula dengan komposisi personil yang berbeda dan instansi lain yang mempunyai wewenang untuk itu.

Pasal 184 KUHAP ayat 1 huruf b

1) Alat bukti yang sah ialah :

Keterangan saksi

Keterangan ahli

Surat

Petunjuk

Keterangan terdakwa

Pasal 186 KUHAP

Keterangan ahli sidang pengadilan ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

Pasal 187 KUHAP

Surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:

Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

Page 6: Alat Bukti

Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu keadaan;

Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;

Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Berdasarkan analisis yuridis peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia tersebut maka kedudukan visum et repertum kendatipun isinya berupa keterangan ahli yang diberikan dibawah sumpah dan diluar persidangan pengadilan, dan kualifikasinya termasuk sebagai alat bukti surat dan bukan alat bukti keterangan ahli[7].

Akan tetapi apabila visum et repertum dihubungkan dengan Pasal 1 stb. 1937 No. 350 dapat juga dianggap sebagai keterangan ahli dan keterangan ahli merupakan alat bukti yang sah dalam pasal 184 KUHAP.