Alasan Merusak Lingkungan

23
Alasan Merusak Lingkungan, Bupati Tolak Investor Tambang Emas Penambangan emas tidak memberikan kontribusi yang berarti bagi warga dan daerah, sebaliknya hanya menguntungkan investor. Wajo – Sulsel : Trauma dengan pengrusakan lingkungan hidup, Bupati Wajo, Andi Burhanuddin Unru, terpaksa menolak semua investor yang akan melakukan eksplorasi tambang emas. Penolakan untuk mengola tambang emas tersebut adalah harga mati, tapi bagi tambang lain, mantan Sekkab Wajo ini mempersilahkan investor untuk melakukan investasi di bumi kain sutra ini. Bupati beralasan, dengan terbukanya tambang emas tersebut, akan merusak lingkungan hidup disekitarnya. Ironsnya, Bupati menganggap, beberapa kejadian, didaeah lain, penambangan emas tidak memberikan kontribusi terhadap warga sekitar, justru sebaliknya akan membawa petakan bagi warga dan lingkungan. Selain itu, diakui Bupati, penambangan semisal emas, selain mendatangkan kerugian, baik masyarakat maupun lingkungan hidup, juga tidak memberikan kontribusi yang berarti bagi daerah, sebaliknya hanya menguntungkan investor. Selain menyatakan menolak kehadiran investor tambang emas, Andi Burhanuddin Unru juga telah melakukan koordinasi dengan para Bupati yang daerahnya memiliki sumber daya alam khususnya pertambangan, agar juga menolak kehadiran investor untuk melakukan ekplorasi tambang di daerah bersangkutan.

Transcript of Alasan Merusak Lingkungan

Page 1: Alasan Merusak Lingkungan

Alasan Merusak Lingkungan, Bupati Tolak Investor Tambang Emas

Penambangan emas tidak memberikan kontribusi yang berarti bagi warga dan daerah, sebaliknya hanya menguntungkan investor.

Wajo – Sulsel : Trauma dengan pengrusakan lingkungan hidup, Bupati Wajo, Andi Burhanuddin Unru, terpaksa menolak semua investor yang akan melakukan eksplorasi tambang emas.

Penolakan untuk mengola tambang emas tersebut adalah harga mati, tapi bagi tambang lain, mantan Sekkab Wajo ini mempersilahkan investor untuk melakukan investasi di bumi kain sutra ini.

Bupati beralasan, dengan terbukanya tambang emas tersebut, akan merusak lingkungan hidup disekitarnya. Ironsnya, Bupati menganggap, beberapa kejadian, didaeah lain, penambangan emas tidak memberikan kontribusi terhadap warga sekitar, justru sebaliknya akan membawa petakan bagi warga dan lingkungan.

Selain itu, diakui Bupati, penambangan semisal emas, selain mendatangkan kerugian, baik masyarakat maupun lingkungan hidup, juga tidak memberikan kontribusi yang berarti bagi daerah, sebaliknya hanya menguntungkan investor.

Selain menyatakan menolak kehadiran investor tambang emas, Andi Burhanuddin Unru juga telah melakukan koordinasi dengan para Bupati yang daerahnya memiliki sumber daya alam khususnya pertambangan, agar juga menolak kehadiran investor untuk melakukan ekplorasi tambang di daerah bersangkutan.

Salah satunya adalah Kabupaten Sidrap yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Wajo. Bupati Wajo mengakui sudah melakukan koordinasi dengan Bupati Sidrap, Rusdi Masse, agar tidak melakukan eksplorasi tambang di daerah berbatasan langsung dengan Kabupaten Wajo. Menurut Bupati Wajo, jika daerah tambang itu dikelola, akan bertampak juga terhadap masyarakat dan lingkungan yang nota bene imbasnya akan dirasakan masyarakat Wajo yang berada di daerah perbatasan tersebut. (sulhayat).

Page 2: Alasan Merusak Lingkungan

Mendesak, Profetisme Lingkungan NTT Oleh: Steph Tupeng Witin

Penulis, alumnus Magister Teologi Kontekstual STFK Ledalero, Mahasiswa Magister Komunikasi (Jurnalistik) IISIP Jakarta Tiga perempuan kakak beradik: Agnes Natun (39), Yustina Natun (28) dan Filomena Natun (41), warga Letkase, Desa Persiapan Nian Timur, Kecamatan Miomafo Tengah, TTU, meregang nyawa di lobang tambang mangan, Sabtu (18/9). Menurut catatan media, jumlah korban rakyat kecil yang meninggal tertimbun longsor mangan di Timor 2009-2010, sebanyak 18 orang. Belum lagi kerusakan alam yang memilukan akibat pertambangan mangan serampangan di Pulau Timor, Torong Besi dan Serise (Manggarai).

Saya tidak percaya bahwa Gubernur Frans Lebu Raya, Wagub Esthon Foenay dan para bupati se-NTT yang membaca berita ini tersedak nuraninya. Di depan tragedi kemanusiaan ini, masih pantaskah Pemprov NTT bicara tentang perlunya pertambangan di NTT? Apakah pemerintah masih punya hati untuk NTT ketika masalah pertambangan yang terkait dengan ancaman kelestarian lingkungan, hilangnya masa depan generasi dan persoalan kemanusiaan, direduksi begitu sederhana dengan masalah tapal batas seperti yang dipidatokan Gubernur Lebu Raya saat pelantikan Bupati Sumba Timur beberapa waktu lalu?

Apakah pantas para intelektual NTT terus berdebat tentang perlunya pertambangan ketika realitas dan tragedi kemanusiaan begitu telanjang di depan mata? Tegakah kita yang masih hidup, dengan berlindung di balik kekuasaan politik lalu bertopeng sejuta argumen klasik kedaluwarsa “peningkatan PAD, kesejahteraan rakyat” hanya untuk terus menambah panjang daftar tumbal rakyat kecil yang tertindih longsoran tambang?

Terkait ini, pernyataan Kepala Bidang Pertambangan dan Energi NTT, Gili Yoseph bahwa penolakan tambang di Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat, Lembata dan Wanggameti, Sumba Timur memperburuk citra NTT di mata pengusaha, sungguh sebuah ironi (Kompas, 31/8/2010). Ini ungkapan ketidakberdayaan dan ketidakmampuan pemerintah dalam mengeksplorasi dan memberdayakan aneka potensi NTT lainnya sekaligus ungkapan “serah diri” pada investor tambang.

Ternyata, orang kampung yang menolak tambang jauh lebih cerdas karena mereka tahu alasan penolakan sementara pemerintah lebih senang dan sibuk memuji-muji investor pertambangan yang datang untuk merusak lingkungan NTT.

Bila pemerintah-Gubernur hingga bupati se-NTT-sejenak “berwisataria” ke lokasi tambang Torong Besi dan Serise (Manggarai) dan Timor, maka bisa disaksikan kerusakan alam sangat memprihatinkan. Perusahaan-perusahan tambang tidak sanggup mengembalikan kedigdayaan lingkungan yang hancur. Terbayang beban masa depan yang mesti dipikul generasi mendatang.

Mungkinkah sebuah masa depan bisa dihadirkan di tengah bentangan kehancuran alam yang masif? Benarkah anggapan bahwa lingkungan/alam memiliki kekuatan untuk memulihkan dirinya sendiri

Page 3: Alasan Merusak Lingkungan

sementara hingga detik ini kerusakan itu tidak berubah sejengkal pun? Fakta kehancuran lingkungan inilah yang menjadi pemicu gerakan penolakan tambang di Republik ini. Apakah kita masih dipaksa untuk percaya pada anjuran agar pasrah pada kekuatan alam yang bisa memulihkan dirinya sendiri di tengah kehancuran? Menunggu datangnya kekuatan alam yang bisa memulihkan dirinya sendiri ibarat menunggu terbitnya matahari di ufuk Barat.

Maka, diskusi tentang pertambangan di NTT mesti menyentuh substansi kemanusiaan ini, bukan sekedar demokrasi berpendapat, apalagi hanya sekedar membangun diskusi persuasif tanpa sebuah basis argumen kemanusiaan yang kokoh.

Kepedulian kita mestinya tidak terhenti pada keprihatinan semata. Kita perlu tindakan konkret. Tuntutan ini lebih didesakkan kepada pemerintah yang menjadi penentu izin kebijakan dan pengontrol aktivitas pertambangan. Mengapa publik menuntut pertanggungjawaban moral politik pemerintah? Pertama, berdasarkan catatan media, kehancuran lingkungan akibat pertambangan dan pembalakan liar terjadi hampir di seluruh Indonesia yaitu Kalimantan, Bangka Belitung (Babel), Sulawesi, Papua, Manggarai, (Flores) dan Timor di NTT.

WALHI mencatat, kerusakan lingkungan di Indonesia semakin hari semakin memprihatinkan. Bahkan telah membahayakan hidup dan kehidupan setiap makhluk di dalam dan sekitarnya. Efek sosial lain adalah konflik horizontal, hancurnya sistem lokal, epidemi sosial (frustrasi sosial akibat perampasan tanah dan sumber daya tanpa kompensasi) dan gejala ecocide (the killing of an ecosystem-termasuk pembuat kebijakan dan mengkonsumsinya secara masif), perubahan biologis (akibat pencemaran bahan kimia beracun yang mengakibatkan kontaminasi pada tubuh manusia), penurunan kualitas hidup, munculnya penyakit sosial dan kriminalitas, kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan struktural serta palanggaran HAM (Komnas HAM (2005): 210).

Kedua, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) telah mengatur perihal kepedulian sosial industri pertambangan Indonesia. Tambang tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi dan teknologi tetapi juga sosial, politik, budaya dan lingkungan hidup.

Pasal 95 UU Minerba menyebutkan, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat.

Perusahaan-perusahaan tambang dituntut menjalankan aktivitasnya berdasarkan prinsip-prinsip good corporate governance dan transparan menuju terwujudnya sustainable development di lokasi tambang serta mendorong terealisasinya millennium development goal yaitu terciptanya hidup yang sejahtera dan berkeadilan. Pasal 108 UU Minerba juga menegaskan, pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat yang dikonsultasikan dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Perusahaan tambang melakukan reklamasi dan rehabilitasi

Page 4: Alasan Merusak Lingkungan

lahan serta membahasakan kepedulian sosial itu melalui pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.

Apakah kewajiban profetik (Latin: prophet: nabi) ini nyata di lokasi tambang? Kasus pertambangan di Kalimantan, Bangka Belitung, Papua dan Manggarai membuktikan: realitas di lapangan tidak seindah huruf-huruf tercetak di atas kertas. Penipuan, kebohongan dan praktik kotor lainnya menempatkan rakyat pada posisi sangat marginal. Siapa yang mesti bertanggungjawab? Pasti saling lempar tanggungjawab. Ini lagu lama dalam narasi pertambangan.

Tanggungjawab ProfetisRepublik ini sesungguhnya butuh sebuah gerakan kenabian (profetisme) untuk memulihkan lingkungan. Profetisme ini dituntut “lebih” dari beberapa elemen bangsa yang berperan dalam kebijakan. Pertama, pemerintah, khususnya Departemen Kehutanan, para gubernur dan bupati, dituntut untuk bersikap tegas sesuai hukum.

Semua pihak mesti bertanggungjawab atas policy yang telah diambil dalam pemberian izin usaha pertambangan. Pemerintah mesti “menekan” perusahaan tambang agar bertanggungjawab atas fakta kerusakan lingkungan dan kehancuran sosial di lokasi pertambangan. UU Minerba tahun 2009 merupakan landasan untuk menguji kepastian tanggungjawab perusahaan-perusahaan tambang, realitas kehancuran lingkungan dan berbagai dampak sosial. Bisakah pemerintah NTT bersikap tegas?

Rasanya mustahil di tengah gelora semangat tak kunjung padam untuk mendatangkan investor pertambangan ke NTT. Apalagi dalam kasus Wanggameti, Pemprov NTT malah sibuk mengurus tapal batas biar tambang emas itu cepat terealisasi, barangkali demi eksisnya filosofi pembangunan “Anggur Merah.”

Kedua, lembaga legislatif bisa menggunakan kewenangannnya untuk mengurai benang kusut kasus tambang yang menumbalkan rakyat kecil dan merusak lingkungan. Hal ini akan menjadi ruang bagi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan proses pemberian izin, argumen yuridis-formal, pertimbangan kontekstual serta pelaksanaan fungsi kontrol atas kebijakan itu di lapangan.

Ruang konstitusional ini juga akan menjadi momen bagi investor untuk memaparkan proses pengurusan izin kuasa pertambangan, praktek penambangan dan tanggungjawab sosial sebagaimana yang diamanatkan UU Minerba 2009 yang akan dibandingkan dengan kesaksian rakyat korban yang mengalami secara langsung dampak kebijakan pertambangan, baik dari sisi lingkungan, sosial, budaya, kekerasan dan pelanggaran HAM.

Bisakah DPRD kabupaten dan provinsi NTT melaksanakan amanah rakyat ini? Rasanya agak mustahil ketika para wakil kita-DPRD, DPR dan DPD-ini lebih sibuk berdiam diri di kursinya, sibuk mengemis tambahan uang, memperindah ruang kerja, studi banding sana sini, sambil menonton “film” rakyat kecil berjatuhan ke lobang tambang.

Page 5: Alasan Merusak Lingkungan

Ketiga, kerusakan lingkungan merupakan isu global yang aktual. Isu ini mestinya menjadi kepedulian partai-partai politik di negeri ini. Kita bisa belajar itu dari Partai Hijau “Die Gruen” di Jerman yang sejak 1980 mengangkat tema lingkungan hidup sebagai fokus perjuangan politik. Pada masa kepemimpinan Kanselir Gerhard Schroeder (1998-2005), Partai Hijau merupakan partner dari Partai Sosial Demokrat.

Partai ini memperjuangkan politik lingkungan hidup dengan sasaran keberlanjutan sosial, ekologis, ekonomi dan terlibat dalam gerakan lingkungan hidup dengan sasaran menciptakan sebuah masa depan yang hijau (Die Zukunft ist Gruen). Bisakah partai politik kita mengusung tema ini? Rasanya lebih mudah, instan dan pragmatis membagi raskin dan menggelar “serangan fajar” ketika rakyat bersiap menuju kamar pemilu.

Keempat, publik mengharapkan suara kritis profetis dari agama-agama di Indonesia, khususnya di NTT. Tanggungjawab moral ini terasa mendesak ketika lingkungan semakin hancur. Agama-agama berperan dalam membangun “rumah” hidup bersama yang menyejukkan.

Pembelaan agama-agama terhadap keutuhan lingkungan merupakan bagian dari profetisme publik yang tidak sebatas dinanti tetapi dituntut. Sikap diam agama-agama merupakan bagian dari jejaring kebisuan yang menyetujui penghancuran alam. Jika agama-agama membisu atau bersekutu dengan pengusaha tambang maka sesungguhnya kita tengah menunggu jatuhnya lebih banyak umat kita ke lobang tambang. Lalu pemimpin agama datang mendoakan mereka. Mestinya, pemimpin agama malu dan meminta ampun kepada para korban karena dia lalai dan gagal mencegah mereka menjadi tumbal (inti profetisme).

Membaca Penolakan Warga Atas Rencana Penambangan Emas di Kabupaten Lembata – NTT

Sebagai Wujud Akal Sehat Rakyat dalam Membela Kehidupan

dan Pembangunan Berkelanjutan di Kabupaten Lembata Oleh:

Justice, Peace, and Integrity of Creation Ordo Fratrum Minorum (JPIC – OFM) Indonesia

Sekretariat JPIC – OFM Jl. Letjend Soeprapto No. 80 Galur – Tanah Tinggi Jakarta Pusat 10540

Telp/Fax. 021- 428 03 546, email: [email protected]

Page 6: Alasan Merusak Lingkungan

“.... Tambang mau jadi atau tidak jadi bagi saya tidak masalah,

saya tetap hidup dengan gaji saya sebagai PNS...... Saya bilang kepada Piet Toda (kepala Bappeda Kabupaten Lembata),

jangan lagi memberikan pembangunan ke Leragere......” (Drs. Gervasius Pati, Kabag Keuangan Setda Kabupaten Lembata)

“Bapak bilang, tambang jadi atau tidak jadi bapak mereka tetap makan dari gaji PNS,

saya ingin katakan kami petani tetap makan setiap hari dari keringat kami sendiri.

Bapak bilang, Bapak akan hentikan pembangunan di Leragere. Ya, bagi kami tidak masalah. Hentikan saja.

Tetapi Bapak ingat, biar pembangunan dihentikan kami masyarakat akan tetap hidup.

Asal kami tidak diganggu saja dengan tambang, kami pasti tetap hidup.” (Frans Nuarani, warga desa Lewoeleng, Leragere)

“Tanpa tambang kami tetap hidup. Tanaman niaga kemiri sudah menghidupi kami selama sejarah hidup kami. Banyak orang kami menjadi orang besar yang sekarang duduk di Lewoleba

dan provinsi adalah kemiri yang membiayai sekolah mereka. Jangan sampai ada tambang kehidupan kami punah, tanaman niaga akan hilang dari tanah Leragere ini. Karena itu, kami

pertahankan. Orang Leragere tidak akan menjual tanah sedikitpun.” (Yosef Magun, warga Leragere)

2

Page 7: Alasan Merusak Lingkungan

Pengantar Laporan ini ditulis berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan tim JPIC di kabupaten Lembata pada 25 Juni 2007 sampai dengan 11 Juli 2007. Investigasi berlangsung atas permintaan masyarakat Lembata yang tergabung dalam Forum Komunikasi Tambang Lembata (FKTL) dan dilakukan dengan beberapa pendekatan, di antaranya: (1) wawancara dengan para pejabat pemerintah dan DPRD; (2) wawancara dengan tokoh adat dan tokoh masyarakat, termasuk para pastor setempat dan pejabat gereja yang selama ini telah terlibat dalam pendampingan masyarakat yang resah oleh rencana penambangan yang akan berlangsung di wilayah mereka; (3) wawancara dengan para warga di wilayah bakal tambang; (4) wawancara dengan warga di wilayah bekas tambang; (4) diskusi terbatas bersama warga di wilayah-wilayah bakal tambang dan di wilayah bekas tambang; (5) pengamatan lapangan disertai dengan dokumentasi foto dan film di wilayah bakal tambang dan wilayah bekas tambang; (6) analisa data sekunder yang didapatkan selama pengumpulan data di lapangan, baik yang diperoleh dari media massa, dari sumber resmi pemerintah, NGO, maupun sumber lain. Penulisan laporan investigasi ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara lebih utuh tentang persoalan pertambangan di kabupaten Lembata. Selama ini berbagai pihak di Lembata, khususnya masyarakat, mendapatkan informasi perihal tambang dari media massa, dari sosialisasi pertambangan yang disampaikan pemerintah, dari pihak perusahaan tambang, atau dari sumber lain. Informasi-informasi tersebut pada umumnya masih sepotong-sepotong. Belum ada informasi yang mencakup dan menyatukan informasi dari berbagai pihak yang bisa digunakan masyarakat untuk melihat persoalan pertambangan secara lebih detil dan utuh. Masyarakat menjadi tujuan pertama dan utama dibuatnya laporan ini. Sebab masyarakat adalah pihak pertama yang terkena dan akan menanggung seluruh dampak hadirnya pertambangan di wilayah Lembata dan karenanya merekalah yang paling berkepentingan terhadap persoalan tambang. Dengan memandang masyarakat sebagai pihak yang paling berkepentingan terhadap persoalan tambang, maka laporan ini ditulis dengan memposisikan kepentingan masyarakat sebagai fokus analisis. Seluruh informasi yang diperoleh tim selama proses investigasi dipaparkan dan dinilai berdasarkan sudut pandang “kepentingan masyarakat” luas. Sebab kepentingan masyarakat luas itulah hakekat dan sekaligus indikator keberhasilan pembangunan. Akhir kata, semoga laporan investigasi yang tidak terlepas dari kelemahan dan keterbatasan ini dapat bermanfaat, bukan hanya bagi masyarakat yang sering dinilai bodoh saat mereka berani berkata TIDAK, tetapi juga bagi berbagai pihak lainnya yang keputusan dan suaranya turut andil dalam menentukan hidup matinya masyarakat. Jakarta, Agustus 2007 Tim Investigasi JPIC 3

Page 8: Alasan Merusak Lingkungan

I. Kabupaten Lembata Selayang Pandang Kabupaten Hasil Pemekaran. Kabupaten Lembata merupakan salah satu Kabupaten di Nusa Tenggara Timur sebagai hasil pemekaran Kabupaten Flores Timur. Kabupaten ini berdiri pada 15 Oktober 19991 berdasarkan UU Nomor 52 tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Lembata. Hal ini sebagai tanggapan atas hasil aspirasi masyarakat yang berkembang sejak tahun 1954, yang selanjutnya secara formal tertuang dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Flores Timur tanggal 26 April Nomor 02/DPRD/II/1999 tentang persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Flores Timur atas Usul Pembentukan Kabupaten Lembata (bdk. Penjelasan atas UU RI No. 52 Tahun 1999). Ibukota Kabupaten Lembata berkedudukan di Lewoleba (pasal 7, UU RI No. 52 tahun 1999). Berdasarkan UU No. 52 tahun 1999, wilayah Kabupaten Lembata berasal dari sebagian wilayah kabupaten Flores Timur yang terdiri atas delapan kecamatan, yakni Kec. Bayusari, Kec. Omesuri, Kec. Lebatukan, Kec. Ile Ape, Kec. Nubatukan, Kec. Atadei, Kec. Nagawatun dan Kec. Wulandoni, dengan luas wilayah keseluruhan mencapai 126.638 hektar. Dengan luasan tersebut, data BPS tahun 2004 menyebutkan, jumlah penduduk kabupaten Lembata ada 98.114 jiwa. Secara geografis, Kabupaten Lembata mempunyai batas wilayah: sebelah utara dengan Laut Flores, sebelah timur dengan Selat Alor, sebelah selatan dengan Laut Sawu, dan sebelah barat dengan Selat Boleng dan Selat Lamakera. Kabupaten ini terletak di Pulau Lembata atau sering disebut sebagai Pulau Lomblen, sebuah pulau terbesar dalam gugusan Kepulauan Solor. Panjangnya mencapai 80 km dari Barat Daya ke Timur Laut dengan lebar mencapai 30 km dari Barat ke Timur. Pulau yang berada pada ketinggian 1553 m di atas permukaan laut ini merupakan daerah yang kaya akan sumber alam, baik di darat maupun di laut.

Daerah Kering dan Gersang. Seperti kebanyakan daerah di daratan NTT, Lembata tergolong daerah kering dan gersang, dengan curah hujan kurang dari 60 mm per bulan. Sistem perladangan tebas-bakar dan berpindah-pindah, ditambah lagi kebakaran yang sering melanda sepanjang musim kemarau merupakan salah satu penyebab Lembata menjadi kering dan gersang. Pulau dalam kepungan garis pantai sepanjang 300 km itu, di bagian selatannya rata-rata merupakan daerah pegunungan terjal dan gundul. Kawasan berdataran rendah di bagian utara, sebagian besar masih telantar akibat kesulitan air.

Meskipun dalam kondisi kering dan gersang, pertanian tetap menjadi tumpuan kegiatan ekonomi kabupaten ini dari tahun ke tahun. Tahun 2000, misalnya, dari nilai total kegiatan ekonomi Kab. Lembata sebesar yang setara dengan Rp 88,7 miliar, pertanian menyumbang hingga 64 persen.2

Dalam hal pertanian, produktivitas menjadi kendala. Produksi hasil pertanian belum mampu mencukupi kebutuhan lokal. Beruntung bahwa masyarakat Lembata bisa melakukan substitusi. Mereka lebih memilih jagung daipada 1 Kompas 19-06-2000. 2 Aritasius Sugiya, Litbang Kompas, Selasa, 21 Mei 2002 4

Page 9: Alasan Merusak Lingkungan

beras sebagai makanan pokok, karena relatif mudah dan cepat dipanen. Selain produksi bahan pangan, jambu mete dan kelapa merupakan produk utama dan dari produksi jambu mete dan kelapa itu dapat bergulir modal mencapai 5 miliar. Hasil ini mampu mendukung kehidupan masyarakat setempat. Sebagai daerah kering, persoalan pangan dan problem ikutannya hanyalah satu sisi tentang pergulatan pembangunan di Lembata. Pendapatan per kapita yang sebesar Rp 1,6 juta dan pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp 5 miliar (tahun 2004) menjadikan Lembata sebagai salah satu kabupaten yang masih terbelakang. Sebagian besar penduduk Lembata hidup di bawah garis kemiskinan. Ini terjadi, selain sebagai daerah kering dengan potensi sumberdaya alamnya yang belum banyak dikembangkan, Lembata juga merupakan daerah rawan benacana karena letaknya yang berada di atas lempeng bumi yang senantiasa bergerak. Posisi kabupaten ini juga berada dalam lingkaran sabuk api (ring of fire) dengan gung-gunung api aktif, baik di darat maupun di laut. Perekonomian Didominasi Sektor Pertanian. Ke depan, perekonomian Lembata masih akan didoominasi sektor pertanian yang akan didukung oleh sektor peternakan dan perikanan. Ternak sapi, kambing, dan babi masih potensial untuk dikembangkan mengingat masih luasnya padang rumput. Kondisi seperti ini merata dihampir di seluruh kecamatan. Selain ternak, perikanan juga menyimpan banyak potensi, mengingat 73 persen wilayah Lembata adalah perairan. Sumber daya ini belum banyak dikembangkan. Potensi sumber daya laut dapat menjadi unggulan daerah apabila dikelola dan dikembangkan dengan optimal. Seperti halnya daerah lain di provinsi NTT, kabupaten Lembagata juga dikenal dengan kerajinan tenun ikat. Kerajinan ini juga menjadi salah satu potensi perekonomian di kabupaten ini yang belum banyak dikembangkan, selain perikanan dan peternakan. Di bidang pertanian sebenarnya masih ada potensi yang belum dikembangkan. Salah satunya adalah lahan kebun seluas 53.438,57 hektar yang sebenarnya masih bisa dimanfaatkan untuk jambu mete, kakao, dan cengkeh. Di luar sektor pertanian dan peternakan, wilayah ini memiliki potensi kelautan yang luar biasa. Luas wilayah laut 3.393.395 kilometer persegi dan panjang garis pantai 492,80 kilometer belum menjadi kekuatan ekonomi masyarakat karena minimnya infrastruktur. Inilah ironi pembangunan di Lembata. Setelah lima tahun di era otonomi daerah, kabupaten ini masih juga terbelenggu banyak persoalan krusial. Selain persoalan rawan pangan, Lembata juga terisolasi dari daerah lain karena minimnya jaringan, sarana dan prasarana transportasi. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, sangat menyadari jika infrastruktur merupakan salah satu kata kunci percepatan pembangunan ekonomi. Akan tetapi, kesadaran tersebut tidak diimplementasikan secara optimal di NTT. Akibatnya wilayah ini menghadapi ketertinggalan karena tidak mampu memanfaatkan sumber daya alam

Minimnya Infrastruktur. Meski tergolong daerah yang kaya akan sumberdaya alam, namun sampai saat ini masyarakat di kabupaten Lembata masih dihadapkan pada masalah minimnya infrastruktur. Sebagai kabupaten baru, Lembata hingga kini belum memiliki jalan negara. Menurut catatan, Lembata kini baru memiliki jaringan jalan

5 1 Rubrik Opini yang ditulis oleh Yoseph Ali, Tabloid Nurani edisi 3/Minggu II April 2007

sepanjang 1.017 km. Rinciannya, jalan propinsi 52 km, jalan kabupaten 325 km dan ditambah jalan kecamatan/desa dan lainnya 640 km. Sebagian kecil antaranya sudah beraspal, namun sudah terkelupas dan hancur.

Selain jaringan jalan yang tidak memadai, pemandangan umum yang mencolok di kabupaten ini adalah kondisi sarana transportasi darat yang rusak. Belum lagi angkutan umum yang terbatas. Kondisi seperti ini menyebabkan hasil pertanian dari desa-desa sulit untuk dibawa keluar. Selain

Page 10: Alasan Merusak Lingkungan

transportasi, permasalahan lain yang menjadi kendala bagi pengembangan Kabupaten Lembata adalah ketersediaan listrik yang bisa diakses dengan mudah oleh masyarakat. Baru tiga kecamatan, yaitu Ile Ape, Lebatukan, Nubatukan, yang sudah menikmati listrik selama 24 jam. Padahal, potensi sumber panas bumi di Kecamatan Atadei sangat menjanjikan. Sayang potensi ini belum dikembangkan. Tradisi Perburuan Ikan Paus. Di wilayah Pantai Selatan Lembata, terutama di Kampung Lamalera, telah lama dikenal masyarakat nasional dan internasional dengan tradisi perburuan ikan paus. Perairan Lamalera dan Lamakera merupakan daerah tempat hidup ikan paus. Pada musim dingin di perairan pasifik atau perairan lainnya, rombongan besar ikan paus akan mengungsi ke daerah selat sekitar Lamalera dan Lamakera. Pada saat inilah masyarakat mulai berburu ikan paus. Perburuan ikan paus ini diawali dengan upacara adat. Potensi Tambang. Potensi pertambangan di Lembata sebenarnya sudah dikenali sejak jaman nenek moyang beberapa suku di Pulau Lembata. Dalam bahasa lokal Lembaga dikatakan Ihin weren laba lodan, yang menyatakan tentang adanya kandungan emas di dalam tanah. Tradisi dan istilah inilah yang secara turun temurun diyakini bahwa emas adalah bagian dari “Ibu Bumi” yang diwariskan kepada mereka, namun tidak boleh dibongkar. Sebab tradisi menyakini bahwa membongkar emas berarti menelanjangi “Ibu Bumi”. Pulau Lembata yang luasnya 126,638 hektar itu kaya akan bahan galian tambang. Berbagai penyelidikan menemukan bahwa dalam perut bumi Lembata terkandung sejumlah bahan tambang, antara lain: bahan untuk keramik terdapat di Nagawutung, Omesuri dan Buyasuri; besi dan pasir besi di Lebatukan, Buyasuri dan Namaweka; minyak tanah di Nagawutung; gas alam di Atadei; dan batu barit di Atanila.1

6

Page 11: Alasan Merusak Lingkungan

II. Sejarah dan Kronologi Kasus Penambangan di Kabupaten Lembata

2.1. Posisi Rencana Penambangan dalam Program Strategis Pembangunan Daerah Dengan visi dasar “Terwujudnya masyarakat Lembata yang maju, sejahtera, mandiri dan berdaya saing pada tahun 2011”, Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Lembaga menetapkan lima program strategis pembangunan tahun 2006-2001, yaitu:

1. Peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) 2. Pemberdayaan masyarakat dan desa serta pengembangan potensi ekonomi daerah. 3. Percepatan pembangunan infrastruktur yang memadai dan berkelanjutan. 4. Peningkatan kemampuan keuangan daerah dan investasi daerah 5. Membangun birokrasi yang profesional berbasis kinerja.

Kelima program strategis tersebut didasarkan pada permasalahan pembangunan daerah dan kondisi kemampuan otonomi daerah Kabupaten Lembata, yang mencakup:

1. Kualitas Sumber Daya Manusia yang masih rendah. Hal ini tercermin dari data tingkat pendidikan aparatur daerah yang didominasi oleh lulusan SLTA sebesar 58,91 %. Itu berarti, aparatur daerah dipenuhi oleh lulusan SLTA, sejumlah 1.569 dari total 2.663 PNS Daerah (tidak termasuk instansi vertikal). Hal ini juga berpengaruh besar pada optimalisasi pengelolaan pemerintahan yang bersih dan efisien dalam pelayanan publik.

2. Pertumbuhan ekonomi masih rendah. Persoalan ini berpengaruhi pada rendahnya PDRB, PAD dan kontribusi sektor-sektor pendukung peningkatan PAD. Kondisi ekonomi daerah seperti ini mencerminkan rendahnya kemampuan keuangan daerah, sehingga pembangunan sarana-prasarana vital bagi kehidupan masyarakat belum terwujud secara optimal. Pembangunan sarana-prasarana dasar dan pendukung seperti, jalan, air bersih, listrik dan telekomunikasi sangat terbatas dan belum menjangkau keseluruhan masyarakat, yang sebagian besar tergolong penduduk miskin. Lemahnya pembangunan infrastruktur berakibat juga pada lemahnya daya dukung untuk pengembangan potensi ekonomi lokal, yang masih didominasi sector primer. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani.

3. Kemampuan Pemerintah Daerah dalam mengelolah Pembangunan daerah belum optimal. Kondisi ini amat berpengaruh pada kinerja pelayanan publik, penciptaan birokrasi yang bersih dan efisien, kemampuan membangun hubungan-hubungan yang sinergi antara pemerintah, dunia usaha (investor lokal, regional dan internasional) dan masyarakat dalam gerak pembangunan. De fakto, aparatur daerah didominasi oleh lulusan SLTA tentu saja ada pengaruhnya pada kompetensi pengelolaan pembangunan yang belum optimal.

Berdasarkan pertimbangan otonomi daerah yang diatur dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan visi pembangunan daerah, pemerintah daerah yang dipimpin Drs. Andreas Duli Manuk memilih sektor pertambangan sebagai realisasi dari program strategis pembangunan ke IV, yaitu percepatan peningkatan kemampuan keuangan

7 3 Kebijakan dan Strategi Pembangunan Pertambangan di Kabupaten Lembata, Materi Sosialisasi Tahap II Rencana Pembangunan Industri Pertambangan Terpadu, Pemerintah Kabupaten Lembata, 2007

daerah dan kemampuan investasi daerah, khususnya melalui cara: 1) peningkatan promosi dan kerjasama investasi, dan 2) pengembangan kemitraan yang sinergis antara pemerintah daerah dan dunia usaha/swasta.

2.2. Sejarah Pengembangan Pertambangan Penyelidikan terhadap potensi Lembaga Kegiatan Keterangan

Page 12: Alasan Merusak Lingkungan

pertambangan di kabupaten Lembata telah dilakukan oleh pemerintah dan swasta sejak tahun 1924 dan terus berlangsung sampai sekarang. Penyelidikan-penyelidikan tersebut menyimpulkan bahwa di Kabupaten Lembata terdapat potensi bahan galian A, B, dan C. Berikut adalah gambaran tentang sejarah penambangan di Kabupaten Lembata.3 Tahun 1925 H. Erhat Survey geologis dan

pertambangan di Pulau Flores dan Lomblen

1940 H. Brower Penelitian geologi dan petrologi batuan alkalidi Pulau Adonara, Lomblen dan Batu Tara

1970 PT. Walls Mining Eksplorasi logam dasar 1978 Direktorat Geologi Penelitian geokimia secara

regional di Pulau Sumba, Flores, Alor, Lomblen dan Pantar

PT. Sumber Alam Lembata Eksplorasi logam dasar dan bahan galian industri, yakni barit di daerah Atanila

PT. Baroid Indonesia Eksplorasi terhadap endapan barit di daerah Balauring dan Wai Pue

1985-1999 PT. Nusa Lontar Mining

Eksplorasi secara regional dan pengeboran di beberapa daerah endapan emas dan ikutannya

Dilanjutkan oleh CSR Ltd

1997 Direktorat Sumberdaya Mineral

Penyelidikan pendahuluan terhadap mineral dan ikutannya di Pulau Flores, Alor, Lembata, Pantar, Adonara, Solor dan Timur

2001 PT. Permata Lembatama Simpati

Mendapatkan ijin Kuasa Pertambangan Eksplorasi terhadap emas logam lainnya di Kecamatan Buyasuri dan Lebatukan berdasarkan Keputusan Bupati Lembata No.

Kegiatan tidak dilanjutkan dan masa laku ijin telah berakhir

Page 13: Alasan Merusak Lingkungan

63/2001 2002 CV. Patria Jasa Penyelidikan Semimikro di

Kecamatan Buyasuri, Kecamatan Omesuri dan Kecamatan Lebatukan

nal Lembata. E-mail:[email protected]

Thursday, March 27, 2008

Walhi Jatim Tolak Tambang Emas Banyuwangi Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur menolak keras rencana penambangan emas di kawasan Hutan Lindung Gunung Tumpangpitu (HLGTP) Desa Sumberagung Kecamatan Pesanggaran Banyuwangi.

Alasannya, rencana penambangan emas itu sangat berpotensi menimbulkan bencana ekologis dan sosial. Dismaping itu, Walhi Jatim juga melihat indikasi penambangan itu nanti akan merambah wilayah konservasi yang dikelola oleh Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) yang berdekatan dengan kawasan Gunung Tumpangpitu.

Apalagi, dalam catatan Walhi Jatim, PT. Indo Multi Cipta (IMC) yang menjadi investor dalam penambangan itu merupakan perusahaan emas yang bernaung di bawah bendera salah satu pemegang 20 % saham PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) pimpinan Yusuf Merukh yang pernah gagal melakukan eksplorasi emas di kawasan TNMB di Jember tahun 2000 silam.

"Kami mengutuk rencana eksplorasi itu. Dan bila pemkab Banyuwangi serta investor tetap melanjutkan, kami akan melakukan perlawanan," kata Dewan Pakar Departemen Walhi Institute-Jawa Timur, M.Lukman Hakim di kampus Universitas Jember (Unej), Rabu (26/03).

Lukman menambahkan, hasil sementara kajian dan investigasi yang telah dilakukan Walhi Jatim baru-baru ini menyimpulkan setidaknya ada empat (4) alasan penolakan itu. Pertama, soal rencana pembuangan limbah. PT. Indo Multi Niaga (IMN) yang menjadi investor dalam eksplorasi itu mengungkapkan akan menerapkan sistem STD ((Submarine Tailing Disposal-STD) dalam pengolahan limbahnya. Rencana STD juga dapat dilihat pada Amdal yang telah dibuat PT. IMN di mana block tailing direncanakan dibangun ditengah laut yang berdekatan dengan pulau merah yang kini menjadi salah satu andalan pariwisata Banyuwangi.

Pembuangan limbah model ini dipastikan akan menghancurkan beberapa jenis vegetasi laut di perairan itu. Pembuangan tailing dengan model STD ( ke laut) tidak saja akan mengancam ratusan nelayan pancer, akan tetapi ribuan nelayan mulai dari Pancer, Rajegwesi, Grajakan, Muncar, Puger, bahkan

Page 14: Alasan Merusak Lingkungan

Sendang Biru dipastiakan akan terancamlimbah Tailing. Sebab arus dari pancer akan mengarah ke tempat-tempat itu. Puluhan perusahaan pengalengan ikan yang ada di Muncar juga terancam oleh ontaminasi limbah tailing.

"Kalaupun limbah emas itu dibuang di darat, model under ground mining sebagaimana yang kerap ditegaskan oleh Bapedalda Banyuwangi tidak ada garansi untuk tidak mengalir kelaut apalagi dimusim hujan mengingat blok Tumpang Pitu tersebut berdempetan dengan laut,'katanya.

Kedua, daya rusak ekologi akibat eksplorasi itu. Dalam jangka panjang separoh dari kawasan Banyuwangi diprediksi akan terancam krisis air yang sekaligus berdampak pada hancurnya kedaulatan pangan sektor pertanian seperti; padi, jagung, jeruk, dan palawija.

Padahal daerah ini merupakan salah satu lumbung padi Jawa Timur yang menyumbangkan 10 % dari total produksi. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jawa Timur menyebutkan bahwa HLGTP merupakan kawasan potensi air bawah tanah kategori sangat tinggi atau setara dengan 30 liter perdetik. Sementara Desa Pesanggaran, desa Sumber Agung yang juga masuk kapling rencana tambang emas Blok Tumpang Pitu, adalah kawasan potensi air bawah tanah kategori sedang atau 15-20 liter perdetik.

Begitu pula Cagar Alam Watangan Puger, Cagar Alam Curah Manis Sempolan, dan Hutan Lindung Baban Silosanen yang terancam bahaya yang sama dari renteten penambangan emas di Blok Tumpang Pitu.

Alasan ketiga dan keempat adalah bahaya konflik sosial dan kemiskinan di kalangan warga sekitar lokasi penambangan itu. Walhi Jatim, kata Lukman, melihat rencana penambangan emas itu mengarah pada dimungkinkannya terjadi konflik sosial pertambangan. Disamping itu, Pelanggaran Ham, intimidasi, kekerasan dan pembunuhan yang kerap terjadi di banyak pertambangan di Indonesia dikhawatirkan akan terjadi di Banyuwangi. "Buktinya, sekarang muncul penolakan dari nelayan pantai pancer terkait keberadaan perusahaan emas di dusun Pancer Sumber Agung Pesanggaran Banyuwangi. (Mahbub)

Kompak Tolak Tambang Emas08 Aug 2010

Indo Pos Opini

MADINA-Sedikitnya 500 warga dari 7 desa di Kecamatan Nagajuang, Kabupaten Mandailing Natal (Madina) bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Provinsi Sumatra Utara (Sumut), menolak keberadaan PT SM. Sebab, PT SM yang berada di sekitar wilayah tempat tinggal mereka dinilai merugikan dan tidak membawa manfaat.

Hal ini disampaikan warga dalam musyawarah antar desa se-Kecamatan Nagajuang dengan pengurus Walhi Sumut, di Desa Sayur Matua, belum lama ini.

Page 15: Alasan Merusak Lingkungan

Dalam musyawarah tersebut, pengurus Walhi Provinsi Sumut melalui divisi Investigasi, Sigid, menjelaskan, Walhi mendukung aksi penolakan warga Kecamatan Nagajuang terhadap keberadaan PT SM.

Hal ini dibuktikan dengan memperjuangkan aspirasi warga yang menolak operasi tambangemas oleh PT SM di wilayah Sihayo, hingga ke pusat. Sigid menambahkan, sejauh ini belum ada satupun tambang di Indonesia yang betul-betul menyejahterakan masyarakat, bahkan yang ada sebaliknya, yakni menyengsarakan rakyat. "Kami siap berjuang bersama rakyat Madina terutama yang ada di sekitar pertambangan PT SM," sebutnya.

Dalam waktu dekat, sambung Sigid, pihaknya akan berangkat ke Jakarta untuk menemui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Darwin Saleh dan menemui Presiden RI, SBY untuk menyampaikan aspirasi masyarakat Nagajuang. Lebih lanjut Sigid mengatakan, berdasarkan kajian yang dilakukan ada beberapa hal negatif yang timbul bila PT SM memasuki masa eksploitasi atau produksi. Diantaranya, gempa atau bencana alam.

Bahkan untuk sumber mata air bisa membahayakan warga. Jangankan air dipakai untuk bertani atau sebagainya untuk hidup saja nanti akan susah karena emas yang diperoleh bakal dicuci menggunakan air di sekitar lingkungan warga. Hal senada dikatakan oleh Tokoh Masyarakat Madina, Oslan Simangunsong (52) didampingi beberapa Kepala Desa Sayur Matua, Mayamsir Nainggolan, menambahkan, sejak PT SM beroperasi tahun 1998 lalu atau sekitar 12 tahun, belum ada manfaat yang dirasakan oleh masyarakat, bahkan yang ada hanya keresahan.

Sementara itu, pihak PT SM yang dikonfirmasi melalui bagian Humas, Wayan, mengaku, selama ini PT SM telah menyuplai masyarakat sekitar pertambangan, baik di Kecamatan Nagajuang maupun di Siabu. Terhitung sejak awal tahun 2010 PT SM sudahmengeluarkan kewajiban berupa social responsibility atau tanggung jawab sosial, seperti telah memberikan sarana air bersih dan genset ke desa-desa di sekitar pertambangan.

"PT SM adalah perusahaan kontrak karya yang memeroleh izin dari pemerintah pusat. Jadi dalam hal ini kami sendiri memiliki beberapa kewajiban dan harus mematuhi itu dan selama ini kami belum ada melanggar peraturan dan kewajiban yang diberikan kepada perusahaan, seperti detround dan royalti berupa kewajiban yang harus kami penuhi," terang Wayan.

Wayan menegaskan, hingga saat ini PT SM masih pada tahap eksplorasi dan menuju studi amdal, atau dengan kata lain belum memasuki tahap eksploitasi atau produksi. "Saat ini PT SM belum melakukan rekonstruksi dan produksi," pungkasn