ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

29
ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

Transcript of ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

Page 1: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

Page 2: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

Buletin Alam Sumateradipublikasikan oleh KKI WARSI

Susunan Redaksi

Penanggung Jawab:Diki KurniawanEditor:SukmareniReporter:Staf KKI WarsiWeb Master:Askarinta AdiDistribusi:Aswandi Chaniago

Komunitas KonservasiIndonesia - WARSIAlamat :Jl. Inu Kertapati No.12Kel. Pematang SulurKecamatan Telanai PuraKota Jambi. 36124PO BOX 117 JbiTel: (0741) 66695Fax : (0741) 670509E-mail : [email protected]://www.warsi.or.idhttp://alamsumatera.org.

Dari Editor

Foto Cover :Ladang Suku Talang Mamak /dok. KKI WARSI

Desain dan Cetak:[email protected]

Daftar Isi / penulis

SALAM RIMBA • Mengembalikan Tanaman Khas Gambut / Elviza Diana..........................................................................................4INTRODUKSI• Menyibak Suku Talang Mamak / Sukmareni......................................................................................................…....5LAPORAN UTAMA• Rimba dan Perladangan Talang Mamak / Surana..................................................................................................11• Memperjuangkan Pengakuan Kawasan Hidup Talang Mamak / Sukmareni............................................................14• Menggagas Pendidikan Untuk Talang Mamak / Sukmareni & Helen Silalahi.........................................................17• Layanan Kesehatan Dusun Datai / Sukmareni & Kristiawan....................................................................................20FOKUS• Sumbar Terdepan Mengembangkan PHBM / Elviza Diana & Sukmareni..................................................................22• Hak Pengelolaan Hutan Sebagai Bentuk Mitigasi Bencana Ekologi / Elviza Diana & Sukmareni............................25• Perangkat Nagari Curhat Pengelolaan Hutan / Riche Rahmat Dewita & Sukmareni................................................28WAWANCARA• Bisnis Sosial adalah Kapitalis yang Memihak Orang Miskin/ Herma Yulis.................................................................30DARI HULU KE HILIR• Pengakuan Terhadap MHA Serampas / Herma Yulis...............................................................................................32• Sudahkah Anda Mengasuh Pohon? / Herma Yulis..................................................................................................35SUARA RIMBA• Panen Raya Orang Rimba Jalan Lintas Dalam Lingkaran Konflik Tenurial / Kristiawan..........................................37• Potret Pendidikan Kelompok Pendi / Kristiawan.....................................................................................................39AKTUAL• Penemuan Penyakit Infeksi Pada Orang Rimba / Kristiawan..................................................................................40• Mengunjungi Galeri Kerajinan Merangin / Elviza Diana...............................................................…...….........….......44MATAHATI• Bertemu di Forum Sekolah Adat / Elviza Diana.......................................................................................................46• Tertatih Menggapai Mimpi / Elviza Diana.................................................................................................................47SELINGAN• Mengenal Tradisi Nyanyian Orang Rimba / Yunus..................................................................................................48KAJIAN• Menyelamatkan Hutan dengan Skema PHBM / Fredi Yusuf...................................................................................50

Edisi Alam Sumatera kali ini, kami mengupas kehidupan Talang Mamak yang pedalaman Indragiri yang sebagian masuk ke dalam kawasan Taman Nasi-

onal Bukit Tigapuluh. Talang Mamak hidup dengan mengumpulkan hasil hutan sekaligus berladang. Ritual dan budaya yang di wariskan nenek moyang masih di pakai Komunitas ini sampai sekarang. Hanya saja, Talang Mamak sudah seharusnya juga menjadi perhatian para pihak, pengakuan kawasan hidup, pendidikan yang layak dan layanan kesehat-an merupakan kebutuhan mendasar Talang Mamak. Akses yang jauh dan luma-yan sulit selama ini selalu menjadi kendala untuk jangkauan layanan pemerintah pada Orang Rimba. Namun demikian, pada dasarnya akses dan jangkauan ini bisa diatasi kalau ada itikad baik dari pengelola negara. Menempatkan tenaga pendidik dan tenaga pengajar yang memadai, sudah dianggap merupakan lang-kah pemerintah dalam menjadikan Talang Mamak sebagai bagian dari masyara-kat Indonesia. Dalam edisi ini, kami juga mengulas lebih jauh tentang pengembangan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Sumatera Barat. Dengan target 500.000 ha perhutanan sosial, masyarakat di berbagai nagari terus berseman-gat untuk mendapatkan hak kelola hutan, dengan skema hutan nagari ataupun hutan kemasyarakatan. Bahkan dalam pertemuan antar kelompok pengelola ter-jalin komunikasi untuk saling menguatkan dan berbagi pengalaman baik dalam pengusulan pengelolaan maupun dalam menghadapi hambatan dan rintangan dalam mengelola kawasan hutan. Tidak hanya itu, dalam Alam Sumatera edisi ini kami juga menyajikan aneka laporan dari lapangan. Semoga persembahan kami berkenan di hati pembaca setia sekalian. Kritik dan saran membangun untuk perbaikan Alam Sumatera ke depan tetap kami nantikan.

Salam Lestari

4

5

11141720

222528

30

3235

3739

4044

4647

48

50

Page 3: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

SALAM RIMBA54

Menyibak Suku Talang Mamak

INTRODUKSI

ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2015

Banyak legenda atau mitologi spititual budaya yang tersebar terkait dengan asal usul Talang Mamak. Ada versi legenda pertama yang mengisahkan

Talang Mamak merupakan keturunan Nabi Adam ke tiga, yang berasal dari kayangan turun ke bumi, tepat-nya di Sungai Limau dan menetap di Sungai Tunu. Hal ini terlihat dari ungkapan “Kandal tanah Makkah, mera-pung di Sungai Limau, menjeram di Sungai Tunu”. Ma-nusia pertama yang diturunkan di daerah ini bernama Datuk Patih. Cerita itu diperkuat bukti berupa tapak kaki

manusia di daerah Sungai Tunu, Kecamatan Rakit Ku-lim, Indragiri Hulu. Jejak itu diyakini sebagai tapak kaki tokoh masyarakat adat Talang Mamak. Ada juga versi cerita lainnya yang berkembang di masyarakat Talang Mamak bahwa mereka merupakan keturunan dari kerajaan Pagaruyung. Konon, Datuk Patih Nan Sebatang turun dari Pagaruyung menyusuri sungai nan Tiga Laras yaitu Sungai Tenang, yang seka-rang disebut dengan Sungai Batang Hari, Sungai Keruh yang sekarang dinamakan Sungai Kuantan/Indragiri

Talang Mamak secara umum adalah salah satu etnis yang kehidupannya tergantung pada sum-ber daya hutan yang dahulunya hidup dari dengan cara berburu dan meramu, serta mengolah sumber daya alam untuk dikonsumsi secara ego-keluarga maupun kommunal. Secara garis besar, Talang Mamak menyebar di sekitar Bukit Tigapuluh, yang secara administrasi berada di empat kecamatan yaitu Batang Gansal, Kelayang, dan Rengat Barat, Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau. Satu kelompok berada di Dusun Simarantihan, Desa Suo-suo, Kecamatan Batang Sumai, Kabupaten Tebo Propinsi Jambi.

5

Mengembalikan Tanaman Khas Gambut

Masyarakat Desa Sungai Beras, Kecamatan Mendahara Ulu Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang sudah sejak dua tahun lalu mem-

peroleh SK Penetapan Hutan Desa di Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh mulai menanami areal kelolanya. Areal Hutan Desa seluas 2.200 hektar tersebut terlihat mulai menghijau. Bagian gundul di tepi hutan mulai di-tumbuhi pucuk-pucuk daun jelutung rawa (DyeraLowii Hook F). Jelutung rawa ini di Hutan Desa Sungai Beras mulai di tanam sejak 2014, oleh Kelompok Pengelola Hutan Desa Sungai Beras. Bibit jelutung didapatkan dari bantuan dari BPDAS Batanghari. Inisiatif penanaman jelutung tersebut sebagai lang-kah dalam mengembalikan tutupan lahan dan masyara-kat dapat memperoleh manfaat dari hasil hutan bukan kayu dengan memanfaatkan getah jelutung. Sistem pertanian di lahan gambut menerapkan prinsip penge-lolaan air. Pengelolaan air rawa gambut bertujuan un-tuk menghindari banjir atau genangan air yang berlebi-han di musim penghujan, dan juga untuk menghindari kekeringan di musim kemarau. Tidak seperti tanaman perkebunan pada umumnya, jelutung rawa merupakan jenis alami yang tumbuh di rawa gambut, dan secara alami sudah beradaptasi hidup di tanah gambut yang tergenang. Sebagai tanam asli yang tumbuh di tanah rawa gambut, pohon jelutung rawa memiliki toleransi yang cukup tinggi terhadap banjir dan muka air tanah yang tinggi. Secara tradisional pengelolaan air gambut dilakukan dengan pembuatan parit utama dan anak parit (parit cacing). Pembuatan parit (sebagai saluran air primer menuju sungai) dan anak parit (atau parit cacing) meru-pakan praktik yang umum dilakukan oleh masyarakat di Jambi. Anak parit dibangun sebagai batas kebun dengan kebun tetangga, dan bertujuan untuk mengu-rangi tinggi muka air tanah di dalam kebun. Anak parit dibuat dengan cara menggali gambut dengan lebar 30-40 cm, dengan kedalaman tidak lebih dari 50 cm. Jika kedalaman parit lebih dari 50 cm, air gambut akan cepat mengalir keluar (menuju parit induk atau sungai), se-

hingga air gambut cepat menyusut. Tanaman jelutung rawa merupakan tanaman yang bersahabat dengan keunikan karakteristik gambut, sehingga tidak memer-lukan perlakuan khusus dalam pembudidayaannya. Menanam jelutung rawa sebagai tanaman lokal meru-pakan inisiatif dalam pemulihan kawasan gambut. Sifat tanah gambut sendiri sebagai penyumbang terhadap ancaman kebakaran hutan diantaranya adalah sifat irre-verisibledrying atau sifat tanah gambut yang tidak dapat kembali setelah terbakar. Sifat ini menyebabkan gam-but dalam keadaan kering pada waktu musim kering/kemarau panjang bercerai berai dan tidak dapat kem-bali ke kondisi semula (kompak) walau gambut tersebut dibasahi. Sifat lain dari tanah gambut adalah kerapa-tan timbunannya (bulkdensity) yang rendah. Sehingga kekuatan menahan bahan fisiknya rendah. Ini menye-babkan hutan rawa gambut yang mengalami kerusakan akibat eksploitasi berlebihan mempunyai tegakan ting-gal mudah roboh dan lama kelamaan akan mati. Se-hingga kondisi ini menjadi tambahan bahan bakar apa-bila terjadi bencana kebakaran lahan. Tidak hanya itu, tingginya kandungan karbon dan besarnya jumlah karbon yang dilepaskan pada saat terjadinya kebakaran, membuat lahan gambut menjadi salah satu ekosistem yang rawan terhadap bencana kebakaran. Lahan gambut yang sudah terbakar meng-hasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar. Selain itu, jika terjadi kebakaran di lahan gam-but sangat sulit untuk dipadamkan dan apinya akan merambat di bawah permukaan sehingga kebakaran la-han bisa meluas dan sulit dikendalikan. Pengembalian fungsi gambut dengan menanam tanaman-tanaman lo-kal dan endemik menjadi sebuah langkah dalam upaya penyelamatan gambut. Pengelolaan gambut lestari dan berkelanjutan namun juga bernilai ekonomi akan men-jadi kenyataan. Pemerintah harus mulai menggandeng masyarakat untuk mengelola gambut dengan cara-cara tradisional. Hentikan eksploitasi dan pembukaan baru di lahan gambut, agar gambut tak lagi menjadi hamparan yang menuai bencana.(Elviza Diana)

Foto dokumentasi tahun 1999 anak-anak Suku Talang Mamak di Dusun Tuo Datai yang masuk di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh. (foto: Aulia Erlangga)

Page 4: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

INTRODUKSIINTRODUKSI76

dan Sungai Deras yang sekarang disebut dengan Sun-gai Kampar. Di setiap sungai ini ia membuat pemuki-man. Di Sungai Batang Hari ia membuat 3 kampung yaitu Dusun Tua, Tanjung Bunga dan Pasir Mayang. Sementara di Sungai Kuantan ia membuat 3 kampung juga yaitu Inuman Negeri Tua, Cerenti Tanah Kerajaan dan Pangian Tepian Raja. Di Sungai Kampar ia juga membuat 3 kampung yaitu Kuok, Bangkinang dan Air Tiris. Di Sungai Kuantan di Kuala Sungai Limau, Da-tuk Patih bertemu dengan paman beliau yang bergelar Datuk Bandara Jati. Datuk Patih memiliki 3 orang anak yaitu Sibesi, Kelopak dan Bunga. Mereka ini diberi ge-

lar Patih nan bertiga. Setelah mereka dewasa maka Da-tuk Patih memberi mereka wilayah untuk mereka tinggal dan hidup. Sibesi di wilayah yang diberikan kepadanya, dibuatnya parit. Karena itulah namanya sampai seka-rang dikenal dengan Talang Parit. Kelopak di tanah yang diberikan kepadanya dibuatnya perigi (sumur), itu-lah asal mula Talang Perigi. Sementara bunga diberikan wilayah di Sungai Lakat Kecik, Lakat Gadang dan Sim-pang Kuning Air Hitam. Bunga ini dibekali 3 biji durian oleh Datuk Patih. Tiga biji durian ini ditanamnya secara berjajar. Karena itulah wilayah ini dinamakan Talang Du-rian Cacar yang berasal dari kata durian berjajar. Ketiga

tanda ini baik parit, perigi dan durian berjajar ini masih ada hingga kini. Menurut versi lain juga, Talang Mamak berasal dari Pagaruyung, konon suku Talang Mamak ini suku yang terdesak dalam konflik adat dan agama di Pagaruyung dan sering disebut konflik ini dengan perang “Padri”. Karena terdesak maka mereka pindah ke Indragiri Hulu, Riau. Untuk eksistensi secara politik dan sosial ada Seloko adat yang menghubungkan Talang mamak dengan Kerajaan Pagaruyuang dan Indragiri. Dalam pepatah adat Talang Mamak terdapat seloko “Sem-bilan batang Gangsal, sepuluh jan denalah, denalah

pasak melintang; Sembilan batin Cinako, Sepuluh Jan Anak Talang, Anak Talang tagas binting aduan; beserta ranting cawang, berinduk ke Tigabalai, beribu ke Paga-ruyung, berbapa ke Indragiri, beraja ke Sultan Rengat. Bilangan adat ini secara politik bermakna bahwa Ta-lang Mamak sebagai suku minoritas dipedalaman, perlu mendapat perlindungan dari kekuasaan besar di sekel-ilingnya demi keamanan mereka dari berbagai anca-man sekeliling. Tetapi Rengat menjadi yang terpen-ting, karena akses sungai akan bermuara ke Indragiri/Ren-gat. Jadi pertukaran barang harus melalui Rengat.Hing-ga sekarang sebagian besar kelompok Talang Mamak masih melakukan tradisi mengilir yaitu acara menyem-bah atau berkunjung ke raja atau datok di Rengat pada bulan haji dan hari raya. Ritual ini berkaitan de-ngan warisan sistem Kerajaan Indragiri dan pengakuan Ta-lang Mamak sebagai bagian dari kerajaan ini. Bagi se-bagian kelompok ada anggapan jika tradisi tersebut di-langgar akan dimakan sumpah “ke atas ndak bepucuk, ke bawah ndak beurat, ditengah dilarik kumbang” yang bisa diartikan hidup tidak lagi bisa berkembang dan bahkan menjadi sia-sia. Secara antropologi, Talang Mamak tergolong Proto Melayu yang diri Suku Tuha yang diartikan sebagai suku yang pertama datang ke wilayah ini. Hingga kini, Talang Mamak sebagian masih eksis dengan kesukuan mereka dan masih menganut kepercayaan Langkah Lama, yaitu kepercayaan yang diwariskan nenek mo-yang. Komunitas Orang Talang Mamak menunjukkan identitas diri sebagai bagian dari Langkah Lama secara jelas seperti ada yang berambut panjang, pakai sorban/ songkok, dan gigi begarang (hitam kerena menginang). Mereka masih melakukan upacara-upacara adat mulai dari melahirkan dengan bantuan dukun bayi, timbang bayi, sunat, upacara perkawinan (gawai), berobat dan berdukun, beranggul (tradisi menghibur orang yang berkemalangan) dan upacara batambak (menghormati roh yang meninggal dan memperbaiki kuburannya un-tuk peningkatan status sosial). Masyarakat adat Talang Mamak yakin akan adanya Tuhan dan Nabi Muhammad atau juga mereka menye-but “islam langkah lama” dan sebagian kecil Katolik, khususnya penduduk Siambul dan Talang Lakat. Me-reka menyebut dirinya sendiri sebagai orang “langkah lama”, yang artinya orang adat. Mereka membedakan diri dengan suku Melayu berdasarkan agama. Jika seorang Talang Mamak telah memeluk Islam, identi-tasnya berubah menjadi Melayu. Namun sebagian lain, Talang Mamak umumnya memiliki kepercayaan yang mereka sebut dengan Islam Langkah Lama, dan seperti ciri khas masyarakat adat, dalam masyarakat Talang Mamak juga berkembang mitos – mitos yang mereka percayai secara turun temurun. Uniknya mitos – mitos ini menjadi sumber pengetahuan, nilai, norma dan etika bagi mereka dalam kehidupan sehari – hari. Dalam kesehariannya mereka selalu merujuk ke apa yang telah diwariskan oleh leluhur mereka. Warisan –

Pemukiman Talang Mamak di Dusun Lemang dilihat dari udara. (foto: Andi Irawan/Dok KKI WARSI)

Page 5: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

INTRODUKSIINTRODUKSI96

warisan dari leluhur yang mereka sebut sebagai aturan adat ini yang mengatur semua lini kehidupan mereka mulai dari pesta kawin, menanam padi, membuka la-han, upacara kematian, memilih bibit, sampai menentu-kan hari baik untuk beraktivitas. Mereka memiliki berbagai kesenian yang dipertun-jukkan pada pesta atau gawai dan dilakukan pada saat upacara seperti pencak silat yang diiringi dengan gen-dang, main gambus, tari balai terbang, tari bulian dan main ketebung. Berbagai penyakit dapat disembuhkan dengan upacara-upacara tradisional yang selalu di-hubungkan dengan alam gaib dengan bantuan dukun. Pun demikian dengan banyak atraksi budaya Talang Mamak yang kini mulai tergerus budaya baru yang datang. Tidak bisa dipungkiri budaya baru yang datang lebih dianggap modern sehingga banyak anggota ko-munitas terutama generasi muda, mulai meninggalkan tradisi-tradisi nenek moyang. Tradisi Beginggung yaitu meniupkan sebilah alat tiup yang terbuat dari pelepah batang enau atau aren (arenga pinnata suku Arecace-ae). Beginggung, merupakan kesenian yang memperli-hatkan kemahiran mengatur napas, dan meniupkannya pada pelepah enau sehingga menghasilkan nada-nada yang enak didengar. Dari nada-nada ini, mengisyarat-kan perasaan sang peniup. Namun kini tradisi ini se-bagian besar anak muda terutama pada pemukiman Talang Mamak yang sudah banyak bersinggungan de-ngan komunitas lain, mulai ditinggalkan.

Pesebaran Talang Mamak

Ketika melakukan penelusuran Sungai Gansal di In-dragiri Hulu Riau akan ditemui pemukiman-pemukiman Talang Mamak. Komunitas Talang Mamak hidup di

anak-anak sungai yang semuanya bermuara ke Batang Gansal. Jalur sungai masih merupakan sarana trans-portasi utama untuk menemui komunitas ini. Berdasar-kan survei yang dilakukan WARSI tahun 2015, Talang Mamak di DAS Batang Gansal tersebar menjadi sem-bilan kelompok. Penyebutan masing-masing kelompok ini disesuaikan dengan nama anak sungai kelompok Orang Talang Mamak tersebut mendirikan pemukiman. Pemukiman Talang Mamak di sepanjang Gansal ini ma-suk ke dalam kawasan Taman Nasional Bukit Tigapu-luh. Penamaan Bukit Tigapuluh dan Batang Gansal, ko-non juga berasal dari Datuk Patih. Ceritanya bermula ke-tika Datuk Patih berjalan menelusuri hutan dari Batang Hari. Dalam Perjalanannya dia menelusuri bukit-bukit dengan mendaki 15 bukit dan menuruni bukit sejumlah 15. Maka dari situlah awal mula menamai bukit terse-but menjadi Bukit Tigapuluh. Kemudian ketika sampai di sebuah tepian sungai ia mendirikan bangsal (camp untuk menginap). Maka aliran sungai tersebut ia namai Batang Gansal (yang bersal dari nama bansal) karena wilayah tersebut merupakan bansal Datuk Patih. Ke-tika Datuk patih berjalan menemukan seorang muncak (tetua adat) di wilayah tersebut sedang duduk di bawah pohon langsat, maka Datuk Patih memanggil muncak tersebut dengan memberikan gelar Pemuncak Rantau Langsat. Hingga kini pemukiman Talang Mamak terse-bar di aliran Batang Gansal ini. Wilayah paling Hulu di tempati oleh Talang Mamak yang bermukim di Datai. Datai merupakan kelompok Talang Mamak yang cukup besar dibandingkan dae-rah lain, yaitu sekitar 78 KK saat ini. Orang Talang Ma-mak di Datai menjadi bagian dari Desa Rantau Lang-sat. Wilayah Datai sampai saat ini masih di huni oleh

suku Talang Mamak dengan adat dan kepercayaan le-luhur mereka. Datai dapat melalui darat dari simpang Pendowo Desa Keritang, dengan jarak sekitar 23 Km dengan jalur darat. Beban maksimal yang bisa dibawa berdasarkan pengalaman komunitas dengan menggu-nakan sepeda motor adalah sekitar 200 Kg. Datai juga bisa diakses dengan jalur sungai dari Desa Lemang yang bisa ditempuh dengan selama satu sampai dua hari ke wilayah hulu, dengan menggunakan kapal tem-pek bermotor, sampan, atau jalan kaki. Namun peng-gunaan kapal sangat tergantung dengan ketinggian muka air sungai. Kala sungai dangkal sulit sekali meng-gunakan perahu, maka pilihannya menggunakan sam-pan yang tentu waktu tempuhnya akan semakin lama. Saat ini akses jalan kaki sudah lama tidak digunakan lagi dalam beberapa tahun ini. Berikutnya adalah kelompok Talang Mamak Suit yang dihuni oleh 14 KK. Wilayah Suit juga masih dihuni oleh suku Talang Mamak dengan adat dan kepercayaan leluhur mereka. Akses menuju Suit dari Datai maupun sebaliknya hanya menggunakan jalur sungai sekitar 8-9

jam dengan menggunakan sampan atau rakit bambu yang terbuat dari bahan bambu manyan. Sedangkan dari Suit ke Sadan atau sebaliknya dapat diakses de-ngan jalan kaki. Akses darat jalan kaki dari Lemang Ke Suit sekitar 9 Jam. Kelompok Berikutnya adalah Sadan yang di huni oleh 15 KK, kelompok Berikutnya adalah Talang Mamak Air Bomban yang dihuni juga 22 KK. Berikutnya Talang Mamak Tanjung Lintang dengan 7 KK, Kuala Minasih 5 KK, Balam 3 KK, Nunusan 12 KK, Pengayoan 12 KK, Siamang 18 KK. Untuk wilayah Sadan sampai Nunusan dan Lemang, masyarakatnya sudah beragama Islam dan menyebut dirinya saat ini sebagai suku Melayu Tua. Sementara itu wilayah Pen-gayoan hingga Siamang sudah beragama Katolik yang menginduk ke Air Molek. Hal ini juga yang menambah daya tarik kesukuan yang hidup berdampingan dalam tiga identitas yang berbeda. Berikutnya, Orang Talang Mamak di Desa Durian Cacar Talang Perigi. Talang Ma-mak di kawasan ini cukup dikenal publik terutama ketika dipimpin oleh Patih Laman. Sedangkan di Simarantihan Desa Suo-Suo Tebo terdapat 43 KK. (Sukmareni)

Kondisi keseharian perem-puan Talang Mamak. (foto Gabriel Sinaga/Dok KKI WARSI)

Berburu dengan peralatan tombak masih dilakukan komunitas Talang Mamak. (foto

Gabriel Sinaga/Dok KKI WARSI)

Page 6: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

1110LAPORAN UTAMALAPORAN UTAMA

Secara turun temurun, Talang Mamak memanfaatkan sumber daya hutan untuk kelangsungan hidup mereka. Mengumpulkan hasil hutan dan perladangan telah memberi penghidupan untuk Talang Mamak sejak dahulu. Pada awalnya masyarakat Talang Mamak tidak memakai termi-nologi hutan untuk menyebut kawasan yang ditumbuhi pohon lebat. Mereka biasa menyebut hutan dengan Rimba. Rimba adalah hutan yang belum pernah ditebang. Konsep rimba menurut masyarakat Talang Mamak merupakan hamparan wilayah yang luas dengan kondisi permukaan tanah (topografi) berupa renah (datar), lereng dan pematang (hamparan perbukitan) serta ter-dapat aliran sungai di dalamnya.

Rimba dan Perladangan Talang Mamak

Rimba terdiri dari banyak pepohonan (vegetasi berkayu) dengan diameter pohon bervariasi dan dapat mencapai 50 cm lebih serta tumbuh-

tumbuhan lainnya (heterogen), di dalamnya terdapat berbagai jenis binatang (satwa) dan hasil hutan lainnya (hasil hutan bukan kayu/HHBK). Masyarakat Talang Mamak juga mengakui bahwa Rimba bukan hanya ter-diri dari vegetasi berkayu dan beragam satwa. Dalam ranah mitologi mereka, rimba juga merupakan tempat tinggal orang bunyian dan roh nenek moyang mereka. Berpijak dari hal di atas, masyarakat Talang Mamak mengenal ada dua kategori rimba. Yaitu rimba yang ti-dak bisa dibuka dan rimba yang bisa dibuka untuk are-al bukaan perladangan baru. Rimba yang tidak bisa dibuka terdiri dari dari 2 jenis, yaitu rimba bunian yaitu kawasan yang posisinya berada di pinggir sungai dan rimba keramat yang posisinya berada di daerah pema-tang dan bukit. Bagi Talang Mamak Datai misalnya, rimba keramat di Datai terdiri dari Bukit Langkup dan Bukit Mayang Mangurai di hulu Lakai. Sementara un-tuk Rimba Bunian terdapat di Sungai Kuning, Sungai Sembelinang, daerah Lakai, Sungai Lahum dan Sungai Kelelat. Untuk kawasan hutan yang belum pernah ditebang kayunya adalah milik bersama, sementara untuk hutan yang sudah pernah ditebang kayunya dan di dalamnya sudah terdapat tanaman penanda berupa tanaman buah-buahan, maka hutan itu milik personal.

Perladangan (ladang intinya berarti menanam padi)

Talang Mamak sejak dahulu juga sudah mengenal sistem pertanian sederhana. Di beberapa bagian ba-gian kawasan memang ada peruntukan sebagai ladang. Ladang adalah hutan dengan luasan tertentu baik yang berada pada daerah renah dan lereng serta sepadan sungai yang vegetasi kayunya sudah berkurang. Per-ladangan ini, ditanami padi dan tanaman pertanian lain-nya seperti karet. Untuk menjamin keberlangsungan dan ketersediaan unsur hara sistem pertanian yang dilakukan Talang Ma-mak tidak mengenal pertanian intensif. Setelah sekali panen, ladang akan ditinggalkan atau diberakan untuk beberapa saat sehingga tutupan menjadi sesap. Ada-kalanya ladang ini dibiarkan dalam waktu yang lama sehingga tanaman yang didalamnya tumbuh dengan rapat. Dalam istilah Talang mamak di namakan be-lukar kerimban. Yaitu belukar tua yang berumur lebih dari 10 tahun. Kerimban ditandai dengan komposisi dan struktur vegetasi yang cukup tinggi. Tingkat Ker-apatan vegetasi cukup tinggi dengan diameter berkisar antara 20 hingga mencapai 50 cm. Jika dilihat dari struktur dan komposisi vegetasinya dan kanopi hutan-nya yang bertaut, belukar kerimban lebih mirip dengan hutan sekunder muda (low sekendary forest). Jika tetap dibiarkan dan tanpa ada penebangan dan pembukaan terhadap belukar kerimban, maka suksesi alami akan

dapat membawanya sampai kepada fase menjadi hutan sekunder (secondary forest). Di dalam Belukar Kerimban, masih terdapat beber-apa jenis tanaman buah-buahan seperti durian, duku, langsat, salak hutan dan bedaro sebagai bukti kepe-milikan dari orang yang pertama membuka hutan ini. Tanaman-tanaman tersebut tetap menjadi milik orang pertama yang membuka hutan, namun orang lain tetap boleh dikelola oleh siapapun tetapi dengan syarat tidak boleh menebang tanaman tanda kepemilikan tersebut. Namun dalam kenyataannya, masyarakat Datai lebih memilih untuk membuka rimba untuk perladangan me-reka dibandingkan membuka belukar kerimban, karena itu ada hak kepemilikannya. Biasanya yang membuka belukar kerimban ini adalah anak cucu yang masih ada hubungan kekeluargaan dengan pembuka pertama . Jika memperhatikan alur perubahan fungsi kawasan pada pola perladangan Orang Talang Mamak, secara al-ami lahan akan dapat melakukan suksesi (re-forestasi) menjadi hutan kembali. Begitupun untuk aspek kesu-buran tanah. Hutan yang telah dibuka menjadi ladang, setelah dibiarkan kosong beberapa tahun (periode bera) akan mengalami suksesi menjadi belukar bahkan belukar kerimban. Sebagai petani tradisional yang tidak mengenal pola pemupukan kimiawi, proses suksesi ini akan membantu memulihkan keseburan tanah hingga lahan tersebut bisa untuk ditanami kembali. Dalam pengelolaan lahan Talang Mamak juga ter-dapat istilah rimpahan yang artinya pertanian yang tidak menanam padi, tetapi mengolah lahan pertanian untuk ditanam tanaman kebutuhan sehari-hari. Adapun jenis tanaman utama rimpahan antara lain ; cabe, jagung, ubi, sayur-mayur, tembakau. Namun kini, kegiatan rim-pahan sudah tidak banyak lagi dilakukan. Penyebabnya anggota keluarga yang tidak cukup untuk menjaga dari hama, cuaca buruk yang menyebabkan gagal panen, dan tersedianya bahan konsumsi yang bisa dibeli lewat jasa pedagang warung di dusun. Sistem ukuran mini-mal dalam mengolah lahan rimpahan pada kebiasaan komunitas dengan istilah ukuran 1 piring/sebuju hektar atau dengan kisaran ± ¼ Ha dari 1 Ha. Orang Talang Mamak merupakan tipe peladang tradisional dengan pola perladangan berpindah. Bi-asanya satu siklus berladang mereka selama 5 tahun. Penjelasan tipe peladang tradisional dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Orang Talang Mamak menentukan kawasan rim-ba yang dapat dibuka untuk lokasi perladangan mereka. Mereka tidak berani untuk membuka rimba bunian dan rimba keramat. (2) Pembukaan kawasan rimba untuk pertama kali dilakukan oleh pemilik pertama. Setelah itu bisanya warga yang lain ikut membantu dalam proses pene-bangan/penumbangan pohon dan menebas. Tradisi gotong royong masih cukup kuat di antara Orang Ta-lang Mamak, biasanya warga lain ikut membantu dalam proses persiapan ladang. Tradisi ini dinamakan beso-

Perladangan Talang Mamak yang di-tanami dengan aneka tanaman untuk memenuhi kebutuhan pangan. (foto: Surana/dok. KKI WARSI)

Page 7: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

13LAPORAN UTAMALAPORAN UTAMA

12

lang menumbang, besolang menebas dan pelarian. (3) Pohon-pohon yang telah ditumbang setelah kering baru dibakar. Fase berikutnya adalah penana-man padi ladang. Untuk penanaman padi pertama ini peran dukun padi sangat penting. Dukun padi akan melakukan beberapa ritual pada lahan bekas tebangan yang telah dibakar dan pada bibit padi yang akan dita-nam. Setelah prosesi ritual selesai, dukun padi akan menaburkan bibit padi untuk pertama kali dan baru dii-kuti oleh pemilik ladang (tuan ladang) kemudian oleh warga lain secara gotong royong. (4) Umur padi ladang yang ditanam tersebut berkisar 6 bulan. Terlihat pola pembagian kerja yang jelas antara laki-laki dan perempuan dalam mengelola ladang padi ini. Pada awalnya proses penyiapan ladang merupakan tanggung jawab kaum laki-laki hingga beso-lang manugal padi. Sementara setelah padi tertanam semua, kaum perempuan lebih berperan untuk merawat tanaman padi tersebut. Selain itu kaum perempuan juga biasa menanami tanaman pertanian lainnya di se-la-sela padi ladang mereka seperti ubi kayu, ubi rambat (ketelo), labu, mentimun, cabe dan bawang. (5) Sementara menunggu masa panen tiba, kaum laki-laki biasa melakukan aktifitas lain yaitu masuk ke hutan untuk mencari hasil hutan bukan kayu (besiap)

berupa jernang, kelukup, buah semangkok, rotan, manau, getah kemenyan dan kayu untuk kayu ramuan untuk pondok atau rumah mereka. Dari pengamatan ini terlihat bahwa bagi masyarkat Dusun Datai, berladang padi adalah hal utama untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sehari-hari, sementara aktifitas besiap hanya kegiatan sampingan yang juga bernilai ekonomi sambil menunggu masa panen padi tiba. (6) Orang Talang Mamak juga menggunakan sistem perladangan berpindah. Mereka dapat melaku-kan perluasan ladang dengan istilah menyurung lahan (penyurungan). Penyurungan ini bisa dilakukan ke arah depan ataupun ke arah belakang, namun tidak bisa ka sisi kanan. Hanya diperbolehkan ke sisi kiri ladang de-ngan istilah tebar jalo kiri. Dalam perladangannya, sebagian Talang Mamak menggunakan siklus 5 tahunan. Namun ada pola lain yang digunakan, setelah siklus berladang 5 tahun sele-sai tuan ladang tidak kembali ke ladang tahun pertama, tetapi mereka membuka rimba baru. Hal ini dapat dipa-hami karena ketersediaan rimba yang bisa dibuka ma-sih cukup. Penggunaan sistem ladang berpindah oleh Orang Talang Mamak dengan pola rotasi 5 tahunan ini dapat dipahami dalam konteks sebagai berikut:

1. Sebagai Peladang tradisional, Orang Talang Ma-mak tidak mengenal pemakaian dan penggunaan pu-puk, baik berupa pupuk kimia maupun pupuk organik. Mereka hanya mengandalkan kesuburan alami tanah. Lahan yang telah ditanam dan diolah selama satu tahun kemudian akan ditinggalkan untuk pindah ke ladang yang baru dan seterusnya hingga siklus 1 daur ber-ladang 5 tahunan selesai. 2. Ladang yang ditinggalkan ini kemudian secara alami akan mengalami suksesi menjadi sesap dan belu-kar. Suksesi lahan ini secara ekologis juga akan memu-lihkan kesuburan alami tanah sehingga setelah masa satu daur berladang lewat, tuan ladang dapat kembali ke lahan pertama begitupun seterusnya. 3. Orang Talang Mamak juga mengenal istilah Pung-kang Bebalik. Yaitu tidak boleh melakukan penyuru-ngan ke arah kanan. Hal ini dipahami karena lokasi sebelah kanan diperuntukkan untuk cadangan ladang

warga lainnya. Selain itu jika tuan ladang mengolah ladang pada tahun ke empat, dia tidak bisa balik ke be-lakang untuk mengolah ladang tahun ke tiga. Tetapi dia harus melakukan penyurungan kembali untuk membu-ka ladang tahun ke lima. Jika hal ini dia lakukan maka dia akan kena pungkang bebalik, dimana hal ini tidak diperbolehkan secara adat dan efeknya si tuan ladang dan tanamannya akan terkena penyakit. (Surana)

Padi ladang diolah sendiri untuk pemenuhan kebutuhan keluar-ga. Padi di jemur dan digiling sendiri untuk memperoleh beras. (kiri) Tanaman padi ladang sebagai sumber pangan Talang Ma-mak. (foto kanan: Surana/dok. KKI WARSI)

Page 8: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

1514LAPORAN UTAMALAPORAN UTAMA

Memperjuangkan Pengakuan Kawasan Hidup Talang Mamak

Hal ini jugalah yang menjadi persoalan Talang Mamak, konsesi dan peruntukan lahan yang di-tentukan pemerintah juga mengusik ketenangan

komunitas yang sudah ratusan tahun hidup bersama dengan hutannya. Perusahaan-perusahaan logging yang mengunduli hutan, kemudian hadirnya perusa-haan sawit menjadi ancaman kehidupan masyarakat Talang Mamak. Bahkan Patih Laman satu dari pimpinan Talang Ma-mak yang berada di Durian Cacar, sangat kecewa den-gan pemerintah yang tidak berperan aktif melindungi kawasan hidup Talang Mamak dari perubahan. Patih Laman yang merupakan tokoh adat Talang mamak yang disegani pernah menerima penghargaan Kalpa-taru dari Presiden Megawati pada tahun 2003, karena keberhasilannya menjaga hutan Adat Talang Mamak.

Namun berganti tahun, di kawasan hutan adat Ta-lang Mamak itu hadir perkebunan sawit dan pemukiman. Akibatnya hutan adat menyusut drastis, protes-protes yang disampaikan Patih Laman dan kelompoknya tidak mampu membendung perubahan kawasan hutan adat mereka. Puncaknya Patih Laman mengembalikan Kal-pataru yang diperolehnya kepada Presiden. Perjuangan Patih Laman merupakan bagian dari perjuangan Talang Mamak untuk mendapatkan pen-gakuan kawasan hidup. Bagi Talang Mamak yang be-rada di sepanjang aliran Sungai Gansal lain lagi per-soalannya. Kawasan hidup mereka ditetapkan oleh pemerintah Menjadi Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Taman Nasional Bukit Tigapuluh seluas 127,698 hek-tar ditetapkan menteri kehutanan pada 5 Oktober 1995 melalui KepMenHut No. 539/Kpts-II/1995. Selanjutnya, setelah dilakukan penataan batas hingga temu gelang maka luas nya menjadi 144.223 ha dan ditetapkan den-gan SK Menhut No. 607/Kpts-II/2002 tanggal 21 Juni 2002. Untuk wilayah Jambi seluas 33.000 hektar se- dangkan wilayah Riau seluas 111.223 hektar. Taman Nasional Bukit Tigapuluh merupakan ka-wasan perbukitan di tengah-tengah hamparan dataran rendah bagian Timur Sumatera, dan mempunyai po-tensi keanekaragaman jenis tumbuhan/satwa endemik yang bernilai cukup tinggi. Tipe ekosistem penyusun hutan Taman Nasional Bukit Tigapuluh adalah hutan dataran rendah, hutan pamah dan hutan dataran tinggi dengan jenis floranya seperti jelutung (Dyera costulata), getah merah (Palaquium spp.), pulai (Alstonia schol-aris), kempas (Koompassia excelsa), rumbai (Shorea spp.), cendawan muka rimau/raflesia (Rafflesia has-seltii), jernang atau palem darah naga (Daemonorops draco), dan berbagai jenis rotan. Taman Nasional Bukit

Mendiami suatu kawasan secara ratusan tahun secara turun temurun belum berarti kepastian pengelolaan kawasan tersebut terja-min. Persoalan ini jamak di hadapi oleh komu-nitas adat yang tinggal di pedalaman, terma-suk Komunitas Talang Mamak yang hidup di Indragiri Hulu Riau dan Tebo Jambi. Masyara-kat yang hidup dengan sistem peladangan di bagian pedalaman merasakan bagaimana hutan yang menjadi sandaran hidup mereka tidak bisa secara penuh dan utuh mengklaim sebagai wilayah penghidupan mereka dan dikelola secara berdasarkan kearifan yang mereka miliki.

Perladangan Talang Mamak. (foto kiri: Surana/dok. KKI WARSI) Dalam istilah Talang Mamak ada hutan ada yang boleh di buka untuk ladang namun juga hutan yang dipertahankan karena diyakini sebagai tempat tinggal arwah nenek moyang. (foto: Aulia Erlangga)

Page 9: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

1716LAPORAN UTAMALAPORAN UTAMA

Tigapuluh memiliki 59 jenis mamalia, 6 jenis primata, 151 jenis burung, 18 jenis kelelawar, dan berbagai jenis kupu-kupu. Disamping merupakan habitat harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), tapir (Tapirus indicus), ung-ko (Hylobates agilis), beruang madu (Helarctos ma-layanus malayanus), sempidan biru (Lophura ignita), kuau (Argusianus argus argus) dan lain-lain; juga se-bagai perlindungan hidro-orologis Daerah Aliran Sungai Kuantan Indragiri. Semula kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh merupakan hutan lindung dan hutan produksi terbatas. Meskipun demikian, kondisi hutan taman nasional terse-but relatif masih alami. Dalam pengelolaan kawasan di-lakukan oleh Balai TNBT. Masalahnya dalam pengelolaan taman ini, hak-hak masyarakat Talang Mamak masih belum sepenuhnya diakui. Terutama Talang mamak yang hidup di sepan-jang aliran Sungai Gansal. Hubungan Talang Mamak dengan pengelola taman boleh di bilang bisa hangat dingin dan kadang juga bisa menimbulkan ketegangan. Ada pemahaman yang masih belum sejalan dan sangat perlu ada kesepahaman bersama untuk adanya pen-gakuan hak wilayah hidup Talang Mamak dan meng-hadirkan pengelolaan taman yang kolaborasi dengan masyarakat Talang Mamak. Apalagi ancaman terhadap kawasan hutan yang berada di sekitar pemukiman Ta-lang Mamak juga tidak lepas dari ancaman para pihak yang melakukan upaya-upaya pencurian kayu oleh pi-hak luar. Kerusakan hutan yang terjadi tentu juga akan berpengaruh buruk pada kehidupan masyarakat ini, sehingga ke depannya, sangat penting adanya penge-lolaan yang berkelanjutan dan melibatkan masyarakat. Tidak hanya itu, Talang Mamak yang sudah turun tem-urun di wilayah itu, kadang kala juga merasa kurang aman dan nyaman ketika mereka mengelola ladang. Ada komunikasi yang tersumbat dan kurangnya pema-haman pengelola kawasan pada pengakuan hak-hak

kelola masyarakat yang menyebabkan adanya rasa tidak aman dan nyaman masyarakat ketika mengelola kawasan hidup mereka. Pemerintah selaku pemangku pengelolaan sebena-rnya sudah ada upaya-upaya untuk pengakuan hak-hak kelola masyarakat yang sudah hidup dalam kawasan hutan. Dalam UU kehutanan ada pengakuan hak ke-lola masyarakat, namun mensyaratkan harus ada peng-akuan masyarakat adat. Pengakuan masyarakat adat membutuhkan waktu dan pendampingan karena mem-butuhkan persyaratan dan verifikasi yang lumayan rumit jika dilakukan langsung oleh masyarakat. Akibatnya akan membutuhkan waktu lama untuk pengakuan hak kelola masyarakat. Dalam Sk bersama menteri Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala Badan Pertanah-an Nasional nomor 79 tahun 2014 tentang tata cara pe-nyelesaian penguasaan tanah yang berada dalam ka-wasan hutan, bisa dipakai untuk penyelesaian masalah ini. Dalam aturan bersama ini, peluang masyarakat adat dan masyarakat lokal untuk mengklaim kawasan hidupnya menjadi lebih terbuka. Tentu yang paling utama adalah keterbukaan dan dukungan dari pengelola yang ditugaskan negara di kawasan tersebut. Demikian juga dengan Talang Ma-mak yang masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh, pemangku kawasan sudah waktunya untuk mengakui keberadaan komunitas ini dan ke de-pannya bisa melakukan pengelolaan kolaborasi dan sa-ling menguntungkan. Pengakuan hak Talang Mamak di kawasan itu menjadi sangat penting, untuk meminimal-kan konflik lahan di masa depan, sekaligus memberikan rasa aman bagi masyarakat yang hidup di wilayah itu. (Sukmareni)

Menggagas Pendidikan Untuk Talang Mamak

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No-mor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional Bab 1 Pasal 1 disebutkan bahwa pendi-

dikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewu-judkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, ma-syarakat, bangsa, dan negara. Meskipun sudah ada jaminan dalam UUD 45 dan UU namun dalam pelaksanaannya, masih banyak anak bangsa yang kesulitan mengakses pendidikan yang la-yak dan sesuai dengan kultur budaya mereka. Terma-suk untuk anak-anak pedalaman yang hidup di dalam dan sekitar hutan.

Orang Talang Mamak adalah salah satu suku atau masyarakat yang terpencil, hidup berkelompok di dalam hutan. Sehingga untuk mendapatkan akses pendidi-kan secara formal sulit mereka dapatkan. Pemerintah pernah membangun sekolah di kawasan hutan tempat mereka tinggal, tetapi sekolah tersebut terlalu jauh un-tuk di akses dengan berjalan kaki setiap hari dari dalam hutan. Hingga pada akhirnya tidak ada anak-anak dari Orang Talang Mamak yang bersekolah. Hingga lebih 75 tahun Indonesia Merdeka, pendidi-kan yang berkelanjutan dan mampu menjadi penopang generasi muda untuk kehidupan yang lebih baik, belum terlalu dirasakan oleh anak-anak Talang Mamak. Ke-terbatasan akses dan sarana dan prasarana menjadi faktor utama rendahnya pendidikan anak-anak Talang Mamak.

Hidup di pedalaman dengan akses yang cukup sulit, turut menjadi kendala anak-anak Talang Mamak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Meski UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1 secara tegas menyebutkan tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.

Ekosistem Bukit Tigapuluh yang mem-berikan perlindungan hidup untuk Talang

Mamak. (foto: Aulia Erlangga)

Anak-anak Talang Mamak tetap semangat untuk bersekolah meski atap pondok yang menjadi tempat mereka belajar banyak yang bocor. (foto: Surana/dok. KKI WARSI)

Page 10: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

1918LAPORAN UTAMALAPORAN UTAMA

Pernah ada sekolah yang dibangun khusus untuk masyarakat Talang mamak, dengan sistem kelas jauh. Sekolah dibangun di Datai, sedangkan sekolah in-duknya SD 004 yang berada di Dusun Lemang Desa Rantau Langsat, seharian berperahu dari Datai. Se-belumnya sentuhan pendidikan di Datai berawal pada tahun 2003 yang difasilitasi oleh PKHS (Penyelamatan dan Konservasi Harimau Sumatera). PKHS adalah salah satu LSM Murni. PKHS di bentuk oleh BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam). Adapun ke-giatan utama PKHS adalah penyelamatan harimau di Bukit Barisan. Kegiatan belajar dan mengajar diadakan di balai pertemuan rakyat yang ada di Datai. Pada saat itu pengajar disediakan oleh PKHS. Kegiatan belajar di-lakukan seminggu dalam sebulan. Pada tahun 2004 PKHS dengan bantuan masyara-kat membangun tempat belajar dengan material dinding bambu, beratap lipai dan beralaskan tanah. Masyarakat saat itu menyebut bangunan tersebut dengan sebutan “Rumah Sekolah Tanah”. Tenaga pengajar disediakan oleh PKHS. Aktivitas belajar dilakukan ketika pengajar datang. Adapun cara yang digunakan untuk mengum-pulkan masyarakat tentunya dari mulut ke mulut. Pada tahun 2005 PKHS dan UPTD (Unit Pelaksa-na Teknis Dinas) pendidikan Kabupaten Indragiri hulu membangun sekolah di Datai yang dinamakan Sekolah Dasar Swasta Marginal (SDS Marginal). Pada saat itu aktivitas belajar sudah aktif dan diikuti oleh kurang lebih 60 orang. Sekolah Marginal hanya menyediakan tingka-tan kelas 1 sampai kelas 5 saja. Untuk melanjut ke ke-las 6 harus dilanjutkan ke sekolah induk 004 yang ada di Lemang. Tenaga pengajar disediakan oleh PKHS dan UPTD. Dengan alokasi waktu mengajar masing-masing setengah bulan. Adapun materi pelajaran disediakan oleh UPTD yang sesuai dengan kurikulum belajar yang berlaku di Indonesia. Meskipun sudah ada kesepaka-tan antara PKHS dan UPTD dalam hal alokasi waktu mengajar, tetapi kegiatan mengajar tetap tidak berlang-sung setiap hari. Hal itu dikarenakan tenaga pengajar tidak hadir setiap hari. Menurut pengakuan warga keti-dakhadiran pengajar tidak dikonfirmasikan sama warga. Hal itu sering membuat anak-anak hanya bermain ke sekolah tanpa ada mendapat materi pelajaran. Akibat keadaan tersebut masyarakat mengkritik ketidakhadi-ran pengajar. Hasil kritikan tersebut PKHS terpikir untuk memperdayakan salah satu mantan siswa yang sudah fasih baca hitung untuk mengajar. PKHS pun membuat kontrak kerja dari tahun 2010-2015. Pada bulan April 2015 penyediaan layanan pendi-dikan dari PKHS berhenti. Aktivitas mengajar hanya dilanjutkan oleh UPTD saja. Guru yang dari sekolah in-duk Lemang memilih salah satu mantan siswa sebagai pengajar dengan gaji Rp 300.000/bulan. Adapun alasan pengajar yang disediakan oleh UPTD memilih mantan siswa untuk mengajar karena alasan waktu perjalanan dan biaya perjalanan. Lama perjalanan yang di tempuh dari Dusun Lemang menuju Datai dengan mengguna-

kan wahana rakit bisa mencapai 2 hari sedangkan wa-hana motor berkisar 4-5 jam dengan biaya yang relatif-besar. Dari proses pengamatan langsung terhadap proses belajar mengajar bagi Orang Talang Mamak di bebe-rapa sekolah marginal mulai dari Dusun Bengayoan – Siamang, Dusun Nunusan, Dusun Sadan dan Dusun Tuo Datai dapat diidentifikasi berbagai permasalahan pendidikan sebagai berikut: (1) lokasi pemukiman Orang Talang Mamak di sepanjang aliran Sungai Batang Gansal merupakan kawasan konservasi berupa Taman Nasional Bukit 30 (TNBT). Status sebagai Taman Nasional, dengan pen-gelolaannya konservatif dan protektif mengakibatkan upaya dan distribusi pembangunan ke lokasi tersebut menjadi dibatasi. Sehingga pembangunan sarana pen-didikan seperti gedung sekolah masih sangat tidak opti-mal. (2) Akses untuk menuju lokasi Orang Talang Ma-mak yang berada di dalam rimba kawasan TNBT sangat sulit dicapai dengan medan bertopografi berbukit dan bergelombang. Sulitnya untuk mencapai lokasi juga membuat distribusi untuk menopang aktivitas dan fasili-tas pendidikan menjadi terkendala. (3) Rendahnya motivasi guru dan tenaga pengajar. Lokasi mengajar yang sangat jauh dengan akses untuk mencapainya yang juga relatif sulit membuat guru dan tenaga pengajar bagi anak-anak peserta didik Orang Talang Mamak memiliki motivasi untuk mengajar yang relatif rendah. (4) Distribusi dan alokasi guru dan tenaga penga-jar dari SD 004 Desa Rantau Langsat sebagai Seko-lah Induk masih sangat kurang. Hingga saat ini baru 2 orang guru yang dialokasikan untuk mengajar di Seko-lah Dasar Marginal di Dusun Nunusan.(5) Bagi siswa yang kelas 6, mereka mengalami kesuli-tan untuk menginduk ke SD 004 di Desa Rantau Lang-sat untuk ujian akhir. Kemudian mereka juga meng-alami kesulitan ketika harus melanjutkan jenjang pen-didikan berikutnya karena harus berpisah dari keluarga mereka yang aksesnya sangat sulit untuk dijangkau.

Tawaran Solusi

Setelah melakukan kajian tentang pendidikan dan pola hidup masyarakat di Datai, masyarakat di Datai merupakan Komunitas Adat yang masih memegang adat istiadat dan kearifan lokal. KKI WARSI menyim-pulkan bahwa pendidikan yang cocok untuk masyara-kat Talang Mamak adalah dengan Pendidikan Layanan Khusus atau PLK sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia no 72 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan La-yanan Khusus. Anak-anak pedalaman yang jauh de-ngan sarana pendidikan umum, diatur menurut permen ini, penyelenggaraan PLK dapat dilaksanakan secara terintegrasi antar jenjang pendidikan dan/atau antar je-

nis pendidikan. Dengan bercermin pada kondisi lapan-gan dan juga melihat aturan yang tersedia sangat perlu untuk mengadvokasikan pendidikan yang layak untuk anak-anak Talang Mamak. WARSI dalam kaitan dengan pengembangan pen-didikan di Talang Mamak akan fokus ada penyeleng-garaan pendidikan sekaligus melakukan advokasi ke pemerintah di semua level untuk menyediakan tenaga pengajar yang memiliki kompetensi yang sesuai. Berdasarkan pengalaman WARSI dalam mengem-bankan pendidikan bagi anak-anak rimba di pedalaman Jambi, jarak dan kondisi geografis tidak memudarkan harapan anak untuk memperoleh pendidikan yang la-yak. Yang diperlukan adalah jaminan dari pemerintah

untuk menjalankan pendidikan yang sesuai dan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Di Orang Rimba, WARSI yang sebelumnya mengembang-kan pendidikan alternatif dengan mengajarkan baca tu-lis dan hitung pada tahap awal, di jenjang selanjutnya adalah melakukan pendampingan dan advokasi untuk pendidikan yang diakui dalam sistem pendidikan nasi-onal. Hal ini mampu dilakukan dengan adanya anak-anak rimba yang hingga kini duduk di bangku SD, SMP, SMA bahkan sempat ada yang menuntut ilmu di Pergu-ruan tinggi. Tekad yang kuat dan dukungan kerja sama semua pihak mampu mewujudkan keadilan pendidikan untuk semua generasi penerus bangsa. (Helen Silala-hi/Sukmareni)

Tanpa bangku anak-anak Talang Mamak tetap tekun mengikuti pelajaran di sekolah mereka. (foto: Surana/dok. KKI WARSI)

Page 11: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

2120

Layanan Kesehatan Dusun Datai LAPORAN UTAMALAPORAN UTAMA

Rimba dengan sumber dayanya merupakan anugerah yang tak terhingga bagi kehidupan suku-suku pedalaman, termasuk Talang Mamak.

Akses yang jauh dan cukup sulit menjadikan masyara-kat bertahan dengan pengobatan yang diwariskan ne-nek moyang. Berbagai aktivitas sosial seperti aktivitas pembukaan ladang, penananam padi dan pengobatan penyakit masih melibatkan seorang dukun. Orang Ta-lang Mamak membedakan penyebutan dukun sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Beberapa sebutan dukun yang ada di Dusun Datai antara lain: dukun kan-dung yang membantu persalinan, dukun potong untuk sunat, dukun padi, dukun hantu untuk acara kematian dan dukun isap untuk menyembuhkan penyakit. Ses-eorang yang mendapat gelar dukun biasanya didapat-kan dari keturunan maupun penunjukan dari roh nenek moyang. Khususnya dukun penyembuh penyakit dalam ritual pengobatannya akan mengkombinasikan obat-obatan tradisional dan ritual upacara adat yang disebut Kementan (sama halnya Bebalai pada Orang Rimba). Ritual digelar dengan memunculkan permainan (ritual dan prosesi) serta seni budaya Talang Mamak yang dikenal dengan Begawai. Ritual Begawai ada bermacam-macam, ada begawai yang digunakan un-tuk merayakan atau menyemarakkan upacara-upacara adat perkawinan, upacara Kementan (pengobatan), juga begawai untuk mengungkapkan rasa syukur atas keberuntungan, serta rasa hormat kepada leluhur me-reka. Ada pula begawai untuk mengekspresikan ke-sedihan atas malapetaka yang menimpa. Begawai juga digelar jika terjadi perbuatan melanggar adat yang dikenal dengan betimbang adat, membuang sumbang, mematikan tanah, mengamankan binatang buas yang mengamuk dan mengangkat dukun kementan yang baru. Bagi masyarakat Talang Mamak, Kementan dipimpin seorang dukun besar yang disebut dengan istilah Du-kun Tuha atau Dukun Kementan. Ia memimpin acara Kementan satu malam suntuk hingga pagi hari, setelah sebelumnya dilakukan berbagai persiapan, di anta-ranya persiapan Kementan sendiri, karena diyakini se-lama ritual berlangsung sang dukun akan dimasuki roh nenek moyang, persiapan bahan dan alat yang akan digunakan serta persiapan tempat dilangsungkannya Kementan. Termasuk persiapan bahan paling pertama yaitu : Jeruk Limau Mentimun, bunga abang merah dan kuning, daun obat yang dibutuhkan serta air penga-sih. Tidak ketinggalan alat musik yang akan digunakan yaitu ketebung, gong, gendang dan kentinjung. Dalam ritual Kementan ini, akan menjadi perantara antara du-nia atas yang diyakini diisi oleh dewa dan roh-roh nenek moyang dengan dunia bawah yang merupakan kehidu-pan manusia.

Orang Talang Mamak Dusun Datai mempercayai bahwa semua penyakit yang dialami oleh masyarakat akibat dari perilaku mereka yang tidak menghormati roh nenek moyang. Bentuk pelanggaran yang dapat menyebabkan penyakit selalu dikaitkan dengan adat istiadat leluhur mereka. Selain itu mereka juga mem-percayai bahwa penyakit merupakan kiriman dari orang lain yang tidak senang dengan perilaku kita. Adanya pe-nyakit akibat dari kemarahan roh nenek moyang mau-pun kiriman dari seseorang dapat dihilangkan dengan upacara kementan. Ritual kementan ini dipimpin oleh seorang dukun pengobatan dengan mengundang selu-ruh masyarakat yang ada di dusun terutama keluarga yang anggotanya menderita penyakit. Dalam ritual ke-mentan ini seorang dukun pengobatan akan kemasukan roh nenek moyang. Saat sang dukun telah kemasukan roh nenek moyang, dukun akan menjelaskan penyebab penyakit dan tindakan untuk menghilangkan penyakit tersebut. Untuk pengobatan Talang Mamak juga memanfaat-kan tetumbuhan di sekitar mereka. Berdasarkan studi yang dilakukan WARSI dan LIPI tahun 1998 lalu yang melakukan pengkajian tanaman obat Talang Mamak diketahui terdapat sekitar 110 jenis tumbuhan obat un-tuk mengobati 56 jenis penyakit serta terdapat 22 jenis cendawan obat. Tumbuhan obat ini ditemui dalam hutan yang ada di sekitar kehidupan Talang Mamak. Tumbuhan yang memiliki nilai obat ini diantaranya daun jambu, keduduk dan pucuk mambuk, kulit mahang, sa-mak besai, kulit melabai, akar urut dan akar kalakatai yang digunakan untuk mengobati diare. Ada juga pucuk pandan yang dicampur nanas dan daun rumput api yang digunakan untuk mengobati sakit perut. Sedangkan un-tuk mengobati demam digunakan daun kapas hantu, bidara putih dan urat limau mentimun. Untuk mengobati batuk digunakan getah pohon Sadapan Batuk, Batang Bomban, akar sibelacuk dan air dari pohon garu yang tumbuh di hutan-hutan sekitar Talang Mamak. Selain itu, masih banyak lagi tetumbuhan yang dimanfaatkan untuk pengobatan.

Pusat Layanan Kesehatan Publik

Dusun Datai merupakan kawasan pemukiman ma-syarakat Talang Mamak di jantung Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Dusun ini menginduk ke Desa Rantau Langsat, Kecamatan Siberida Kabupaten In-dragiri Hulu. Di dusun populasi mereka saat ini sekitar 78 KK. Akses ke lokasi pusat pemukiman pemukiman di Dusun Datai dapat ditempuh melalui jalan darat seki-tar 3 jam menggunakan sepeda motor dari Kecamatan Keritang dan jalur sungai Gansal selama 2 hari. Untuk dapat menempuh jalan darat dibutuhkan keahlian khu-

sus, karena jalan yang tersedia masih sangat minim, berupa jalan tanah dan juga ada menyeberang sungai, melewati jalan setapak naik turun bukit yang licin. Dari kajian dan pendampingan kesehatan yang dilaku-kan WARSI di Datai telah ditemukan beberapa penyakit Orang Talang Mamak yang nampak dari gejala klinis-nya. Penyakit batuk, diare, mual muntah, demam, perut buncit merupakan penyakit yang sering ditemukan diko-munitas. Meskipun penyakit tersebut umum ditemukan pada masyarakat, penyakit demam dan mual muntah dapat menjadi penyebab kematian di masyarakat Du-sun Datai. Angka kelahiran Orang Talang Mamak sangat tinggi, jumlah anak yang mereka miliki antara 3 sampai 6 anak. Namun angka kematian di mereka juga berimbang teru-tama pada usia balita. Usia harapan hidup Orang Talang Mamak dusun Datai sekitar 55 tahun. Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya Orang Talang Mamak yang berusia di atas 55 tahun. Sampai saat ini, masyarakat di Datai belum pernah mendapat layanan imunisasi. Tingginya interaksi mereka dengan masyarakat luar memungkin-kan masuknya berbagai penyakit yang dapat berdam-pak pada kesehatan masyarakat di Datai.

Sejauh ini layanan kesehatan dari pemerintah belum menyentuh masyarakat Talang Mamak di Dusun Datai.Akses yang sulit menyebabkan minimnya layanan ke-sehatan bagi masyarakat di Datai. Kebutuhan layanan kesehatan dari pemerintah untuk mengurangi angka kelahiran dan kematian menjadi sangat penting bagi masyarakat di Datai. Beberapa tahun terakhir atensi masyarakat Datai untuk mengakses layanan rawat inap sudah mulai me-ningkat. Sayangnya perilaku ini hanya dilakukan oleh beberapa orang yang sudah menerima pengobatan modern sekaligus bersumber daya. Sebagian besar masyarakat di Datai sudah mulai menerima pengobatan dari luar mereka, sayangnya banyak dari mereka tidak mempunyai biaya untuk mengakses layanan tersebut. Pemerintah seharusnya menyediakan tenaga kesehat-an di Dusun Datai sekaligus melakukan pendidikan ke-sehatan sebagai usaha pencegahan penyakit di komu-nitas. Menyediakan layanan asuransi kesehatan juga menjadi sangat penting untuk meringankan biaya untuk mengakses layanan pengobatan lanjutan di Puskesmas dan rumah sakit. (Kristiawan/Sukmareni/dari ber-bagai sumber)

Fasilitator Kesehatan WARSI mengunjungi komunitas Talang Mamak untuk memberikan pengobatan dasar pada Talang Mamak. (foto: Surana/dok. KKI WARSI)

Page 12: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

2322

Sumbar Terdepan Mengembangkan PHBM

SUMATERA BARAT sebagai salah satu provinsi yang sudah sejak lima tahun lalu melibat-kan masyarakat dalam posisi yang penting dalam pengelolaan hutan. Masyarakat dengan kearifannya telah menunjukan bahwa keterkaitan masyarakat terhadap hutan telah mam-pu mendukung kelestariannya, perlindungan dari bencana dan sekaligus untuk pemenuhan sumber-sumber kehidupan.

Komitmen pemerintah propinsi Sumatera barat untuk menjadikan Pe-ngelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) sebagai basis utama dalam pengelolaan kehutanan dimulai dengan memasukkan kedalam

Rencana Pembangunan Jangka Menengah, menetapkan alokasi wilayah untuk kejelasan target sebanyak 500.000 hektar, memperkuat struktur untuk kepas-tian layanan terhadap masyarakat dan menyusun Peta Jalan (Road Map) untuk kepastian langkah dan strategi pengembangan PHBM. Dalam perkembanganya berbagai Skema PHBM telah mampu dijalan bersama pemerintah daerah dan masyarakat pada kabupaten dan kota di Sumatera Barat. Berdasarkan pengalaman dalam membuat model Skema PHBM dalam ben-tuk Hutan Desa / Hutan Nagari di Sumatera Barat dan di Jambi telah mem-pengaruhi birokrasi di daerah untuk menjadikan PHBM sebagai basis pem-bangunan kehutanan. Propinsi Sumatera Barat mulai memperkuat mekanisme pelayanan pemerintah kepada masyarakat untuk fasilitasi proses perizinan dan pengembangan usaha dengan membentuk Kelompok Kerja Perhutanan Sosial ( POKJA PS ) pada tahun 2012. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat Hendri Oktavia menyebut-kan hingga saat ini sudah ada 11 hutan nagari dan 13 kelompok Hutan Kema-syarakatan dengan total luasan mencapai 36.886 hektar. “Saat ini sudah ada 11 Hutan Nagari yang terbagi di empat Kabupaten yaitu Solok, Solok Selatan, Padang Pariaman dan Sijunjung dengan total luasan mencapai 32.788 hektar dan ada 13 kelompok pengelola Hutan Kemasyarakatan yang tersebar di dua kabupaten yaitu Pasaman dan Pasaman Barat dengan total luasan 4.098 hek-tar,” jelasnya. Dengan komitmen seluas 500 ribu hektar tersebut, tentu Sumatera Barat harus diperhitungkan untuk mewujudkan target seluas 12,7 juta hektar untuk skema PHBM yang digadang-gadang pemerintah hingga 2019. Target tersebut dialokasikan dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Kemitraan, Hutan Adat dan Hutan Tanaman Rakyat. Target 12,7 Juta Hektar untuk Pen-gelolaan Hutan Berbasis Masyarakat merupakan peluang dan tantangan besar bagi berbagai pihak, hal ini disampaikan oleh Wiratno Direktur Bina Perhuta-nan Sosial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Ini bukan cuma kerja Kementerian LHK tapi bicara tentang pengelolaan hutan tentu saja kerja kolektif. Kita optimis ini bisa dicapai dengan dukungan semua pihak. Jangan bicara soal angka, tapi kita perlu bekerja bersama-sama dengan melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat juga tentunya,” jelasnya dalam Workshop Refleksi Impelementasi PHBM di Sumatera Barat, baru-baru ini. Berdasarkan pengalaman pemerintah periode sebelumnya, yang sempat menargetkan seluas 2,5 juta hektar untuk skema PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) di seluruh Indonesia. Namun kenyataannya, sampai akhir periode pemerintahan hanya mencapai angka 896.048 Ha, yang terdiri dari

Potensi kayu di Hutan Nagari. Sumbar menargetkan akan mengelola 500 ribu ha kawasan hutan dengan skema Perhuta-nan Sosial. (foto: Heriyadi/dok. KKI WARSI)

Page 13: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

2524

328.024 Ha hutan kemasyarakatan, 318.024 Ha hutan desa dan 250.000 Ha hutan tanaman rakyat. Jumlah ini memperlihatkan bahwa dengan angka 36 persen dari seluruh target yang ingin dilakukan pemerintah dalam pengembangan skema, tentu saja pemerintah harus le-bih banyak lagi belajar. Terkait dengan ini, sejak 2012 lalu Sumatera Barat su-dah memiliki Road Map (peta jalan) pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang ditargetkan Pemprov Sumbar seluas 500.00 ha sampai tahun 2017 nanti. Hanya saja dalam tahap implementasinya, masih berjalan lambat. Hingga akhir 2015 lalu, target ini baru tercapai sekitar 20 persen, untuk itulah pada 2016 ini dilakukan berbagai upaya untuk percepatan pencapaian target ini. Target-nya paling sedikit pada 2016 ini ada 200.000 ha kawasan hutan yang direkognisi oleh pemerintah yang pengelo-laannya dilakukan oleh masyarakat. Manajer Advokasi dan Kebijakan KKI WARSI, Rainal Daus menyebutkan Sumbar memiliki pengalaman dalam mendorong, menyiapkan kebijakan serta memfasilitasi PHBM bersama-sama dengan masyarakat. Ini tentu saja bisa menjadi masukan bagi pemerintah pusat dalam melakukan perbaikan kebijakan terkait dengan Pengelo-laan Hutan Berbasis Masyarakat (community base forest management) atau Perhutanan Sosial ( Social Forestry ) dalam rangka mendukung terwujudnya target 12,7 hek-tar yang telah ditetapkan secara nasional.Perbaikan pelayanan birokrasi dan dukungan kebijakan tidak serta merta membuat skema PHBM dapat dikem-

bangkan bersama masyarakat. Pemerintah terdekat den-gan masyarakat seperti pemerintah kabupaten memiliki pemahaman yang berbeda dalam memaknai PHBM bagi masyarakat sehingga beberapa inisiatif PHBM yang dido-rong menjadi tidak tepat sasaran, selain itu kebanyakan KPH sebagai unit manajemen baru dalam pengelolaan hutan di tingkat tapak belum mengakomodir pengem-bangan skema PHBM dalam perencanaan pengelolaan. “Tantangan berbeda keterbatasan personel yang mema-hami skema PHBM di daerah menyebabkan informasi dan layanan fasilitasi kepada masyarakat sangat lam-bat sehingga banyak masyarakat yang memiliki potensi tetapi tidak mendapatkan informasi dan layanan dalam pengembangan PHBM di di desa mereka,” jelasnya. Tidak hanya terkait perbaikan regulasi, banyak per-soalan lain yang juga menghambat dalam proses peng-usulan skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Proses tata batas yang berbelit juga membuat sejumlah usulan akhirnya tergantung. Selain itu masih lambannya respon kementerian terhadap usulan yang ada. “Di-harapkan ada delegasi ke BIPHUT/Bidang Planologi di provinsi agar proses fasilitasi HN,HKM, HTR bisa ber-jalan dengan lancer. Target 500.000 Ha (Provinsi) dan Nasional 12,7 juta Ha dapat dicapai apabila ada sinergi anggaran, kebijakan dan penyederhanaan birokrasi per-izinan Dan perlu juga meningkatkan derajat kebijakan-nya PHBM bisa berupa Inpres atau Perpres,”katanya. (Elviza Diana/Sukmareni)

Hak Pengelolaan Hutan Sebagai Bentuk Mitigasi Bencana Ekologi

Masyarakat Sumatera Barat terus berpacu untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan. Saat ini, di 10 kabupaten

dengan 42 nagari seluas 144.732 ha tengah bersiap untuk mengajukan hak pengelolaan hutan berbasis ma-syarakat kepada menteri Lingkungan Hidup dan Kehuta-nan dengan skema Hutan Nagari dan Hutan kemasyara-katan. April, usulan pengelolaan hutan berbasis masyarakat disampaikan ke menteri Lingkungan Hidup dan Kehu-tanan. Melalui pendampingan yang intensif dan juga du-kungan dari pemerintah serta para pihak, usulan hutan nagari dan hutan kemasyarakatan ini, jika dapat tere-alisasi akan menjadi salah satu jawaban atas persoalan pengelolaan sumber daya hutan yang tengah berlang-sung di Sumatera Barat. Bencana banjir dan longsor yang melanda sebagian Sumatera Barat belakangan ini menjadi peringatan bagi kita semua untuk mengevaluasi pengelolaan sumber daya alam yang sudah berjalan selama ini. Pengelolaan

sumber daya alam yang berbasiskan eksploitasi sumber daya alam khususnya hutan sudah harus dihentikan, saat-nya kita mengintensifkan dan mengembangkan pengelo-laan hutan yang memperhatikan keberlanjutan dan kele-stariannya yaitu pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Pengelolaan sumber daya hutan yang melibatkan ma-syarakat sudah terbukti ampuh mengatasi persoalan ekologi dan ekonomi di tengah masyarakat. Masyarakat dengan kearifan yang dimiliki sangat mampu mengelola sumber daya alam mereka dengan baik, ini yang menjadi kunci penting untuk pengelolaan sumber daya hutan Su-matera Barat ke depan. Sejak beberapa tahun belakangan Sumatera Barat di tataran konsep sudah cukup matang untuk meren-canakan pengelolaan hutan berkelanjutan. Hal ini terli-hat dari sejak di tetapkannya Sumbar sebagai Provinsi ke 10 untuk daerah percontohan (pilot project) program Reducing Emissions from Deforestation and Degrada-tion (REDD) Plus. Kegiatannya berupa pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM). Tujuannya dalam

Dengan kearifan lokalnya masyarakat memanfaatkan alamnya untuk mendukung kehidupannya. (foto: Heriyadi/dok. KKI WARSI)

Banjir dan longsor akibat salah kelola hutan, harus segera dipulihkan.

(foto: Rhainal/dok. KKI WARSI)

Page 14: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

2726

rangka menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi kawasan hutan, melakukan konservasi stok dan pening-katan serapan karbon hutan, serta menjadi praktek pen-gelolaan hutan dengan lestari. WARSI yang juga tergabung dalam Kelompok Kerja (Pokja) Pengembangan Perhutanan Sosial melalui Pen-gelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) di Sumbar bersama Dinas Kehutanan Propinsi, Unit Pelaksana Tek-nis Kementerian Kehutanan dalam hal ini BP DAS secara bersama-sama terus mengoptimalkan upaya-upaya yang terintegrasi dan masif dengan melibatkan peran serta para pihak dalam rangka perluasan skema HKm dan Hu-tan Nagari di Sumatera Barat. Pengembangan PHBM menjadi instrumen penting promosi pengelolaan hutan bersama masyarakat sesuai dengan kearifan lokal yang telah berkembang di ma-syarakat dan nagari. Oleh karena itu, tujuan pengem-bangan PHBM di Sumatera Barat adalah untuk mewu-judkan pembangunan hutan dan kehutanan yang arif dan bijaksana melalui optimalisasi peran aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan dengan basis kearifan lokal di tingkat nagari menuju hutan lestari masyarakat sejahtera, sekaligus meminimalkan dampak buruk bencana ekologi akibat salah kelola sumber daya.

Membumikan Skema PHBM di Ranah Minang

Berdasarkan hasil analisis Tim GIS KKI WARSI , didapat-kan hasil desa dan nagari yang memiliki kawasan hutan termasuk juga perkiraan luasan kawasan hutan yang masuk wilayah setiap nagari dan desa. Data potensi kawasan hutan berdasarkan nagari dan kecamatan di-jadikan rujukan utama untuk melakukan survey ke la-pangan. Survey dan komunikasi awal ke desa dan nagari dilakukan untuk melihat dan mendapatkan data terkait : a). Sejarah dan peristiwa penting dalam nagari dan desa, b). Kecenderungan dan Perubahan, c). Ketergantungan dan interaksi masyarakat terhadap hutan, d). Komitmen Masyarakat jika skema PHBM diimplementasikan, d). Analisis Kelembagaan dalam Nagari dan Desa, e). Data monografi dan demografi nagari / Desa. Kajian Awal dilakukan pada tahun lalu dengan mem-bagi lima tim untuk wilayah Kabupaten Agam dan Pasa-man, Kabupaten Lima Puluh Kota dan Tanah Datar, Ka-bupaten Sijunjung dan Dharmasraya, Kabupaten Padang Pariaman dan Pesisir Selatan, dan Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Sosialisasi Skema PHBM dilakukan untuk memberi-kan informasi kepada masyarakat terkait dengan ten-tang Skema PHBM ( bagaimana PHBM, Apa PHBM dan manfaat serta tanggung jawab dalam pengelolaan Skema PHBM). Sosialisasi dilakukan pada nagari yang telah me-

nyepakati untuk dilakukan pertemuan nagari. Sosialisasi dilakukan melalui diskusi informal dengan individu dan kelompok masyarakat sebelum dilakukan pertemuan formal di masing-masing nagari. selama persiapan per-temuan formal di nagari dan desa fasilitator melakukan diskusi dengan stakeholder kunci terkait substansi dan termasuk juga mendiskusikan pihak-pihak yang terlibat dalam pertemuan nagari, selain tokoh masyarakat dan pemerintah nagari juga didorong keterlibatan Niniek mamak , tokoh adat, pemuda , bundo kanduang, PKK dan masyarakat yang memiliki lahan kelola pada ka-wasan hutan. Selama November dan Desember tahun lalu sosia-lisasi informal telah dilakukan pada 46 nagari dan desa di Sumatera Barat dan Jambi, diskusi informal sangat penting dilakukan untuk memberikan keyakinan dan pemahaman kepada masyarakat dan tokoh adat terkait dengan peluang dan manfaat Skema PHBM. Selain itu diskusi informal juga digunakan untuk mendorong ma-syarakat mengemukakan pendapat pada pertemuan besar di nagari dan desa sehingga mereka terlibat aktif dalam proses keputusan tentang skema PHBM. Semen-tara pertemuan formal telah dilaksanakan di Nagari Tan-jung Bonai Aur, Nagari Kamang Mudiak, Nagari Batipuah Baruah dan Nagari Sumpu Kudus. Pertemuan Nagari untuk mendiskusikan Skema PHBM dimulai dengan penjelasan maksud dan tujuan diadakannya pertemuan, kemudian tim menyampaikan hasil kajian awal dan penjelasan tentang skema PHBM kepada masyarakat, setelah itu dilanjutkan dengan dis-kusi bersama sehingga semua informasi dapat dipahami bersama oleh masyarakat yang terlibat. Pada akhir wak-tu dialokasikan sesi untuk menyusun rencana tindak lan-jut bersama yang akan dilakukan ke depan. Proses per-temuan formal didorong melibatkan pemerintah daerah kabupaten (Dinas Kehutanan dan Penyuluh) sehingga proses dan agenda ke depan dapat disinergikan dengan perencanaan kegiatan pemerintah daerah.WARSI menargetkan dalam waktu satu tahun 58 nagari dan desa di Propinsi Sumatera dan Jambi mendapat-kan legalitas pengelolaan kawasan hutan melalui skema PHBM. Strategi proyek dalam mencapai target adalah : 1). melakukan pengorganisasian masyarakat untuk memastikan bahwa masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengelolaan Hutan Desa dan Hutan Kemasyara-katan (Skema PHBM ) mendapatkan informasi secara jelas sehingga dapat mengambil keputusan dalam ke-sepakatan-kesepakatan di setiap proses. 2). Mendorong komitmen pemerintah daerah kabupaten dan propinsi untuk mendayagunakan struktur pelayanan terhadap masyarakat dalam proses legalisasi setiap usulan skema PHBM, 3) memaksimalkan koordinasi dengan Kemen-

trian LHK dalam mengawal usulan skema PHBM yang disampaikan oleh masyarakat dan pemerintah daerah, 4) mendorong berjalanya komunikasi dan koordinasi antara masyarakat, pemerintah daerah kabupaten dan propinsi serta Kementrian LHK untuk percepatan pros-es perizinan skema PHBM. Pengembangan PHBM menjadi instrumen penting promosi pengelolaan hutan bersama masyarakat sesuai dengan kearifan lokal yang telah berkembang di ma-syarakat dan nagari. Oleh karena itu, tujuan pengem-bangan PHBM di Sumatera Barat adalah untuk mewu-judkan pembangunan hutan dan kehutanan yang arif dan bijaksana melalui optimalisasi peran aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan dengan basis kearifan lokal di tingkat nagari menuju hutan lestari masyarakat sejahtera, sekaligus meminimalkan dampak buruk bencana ekologi akibat salah kelola sumber daya. Untuk diketahui Sumbar memiliki luas wilayah + 4.229.730 hektar yang terdiri dari kawasan hutan + 2.343.300 hektar (55,40%), hutan suaka alam seluas + 769.471 hektar, hutan lindung (HL) sekitar 792.048 hek-tar, hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas + 233.155 hektar, Hutan Produksi (HP) seluas + 360.367 hektar, Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas + 161.655 hek-tar, dan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas + 1.628.444 hektar. Luasnya wilayah sumbar dan peran serta masyarakat mengelola hutannya, merupakan salah satu langkah miti-gasi terhadap berbagai ancaman bencana ekologis yang terjadi di Sumatera Barat belakangan ini. (Sukmareni/Elviza Diana)

Pengelolaan sumber daya alam yang lestari dan berkelanjutan untuk kehidupan yang lebih baik. (foto: Heriyadi/dok. KKI WARSI)

Page 15: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

2928

Pemanfaatan Inderaja Untuk Menghitung Luas KebakaranPerangkat Nagari Curhat

Pengelolaan Hutan

Semangat untuk mengusulkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan skema hutan nagari terus meningkat. WARSI yang selama ini sudah

melakukan pendampingan masyarakat untuk pengem-bangan PHBM ini, terus berkomitmen menfasilitasi masyarakat untuk mendapatkan legalitas pengelolaan hutan bagi masyarakat. Setelah dilakukan pertemuan di 43 Nagari pada 10 Kabupaten di Sumatera Barat semua Nagari bersepakat untuk mengusulkan Skema PHBM kepada Pemerintah. Rangkaian kegiatan telah dilakukan di setiap nagari seperti, menyiapkan surat kesepakatan, Pemetaan partisipatif wilayah usulan dan mulai menyiap-kan dokumen lengkap usulan skema PHBM. Untuk memperlancar pengusulan dan mendukung pengelolaan hutan berbasis masyarakat nagari ini, maka akhir maret WARSI menggelar kegiatan saling belajar masyarakat nagari ke lokasi Hutan Nagari Sungai Bu-luah yang telah melakukan pengelolaan hutan Nagari se-jak Tahun 2012. Kegiatan dikemas dalam bentuk fokus group diskusi (FGD). Dalam diskusi yang berlangsung selama dua hari, ma-syarakat menyampaikan curahan hati terkait berbagai persoalan pengelolaan hutan yang berlangsung disekitar mereka. Illegal logging, pengelolaan hutan yang melibat-kan masyarakat dan cara mendapatkan legalitas untuk mengelola hutan merupakan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari peserta. Riche Rahma Dewita yang menjadi nara sumber di acara tersebut menyebutkan bahwa pengelolaan hutan berbasis masyarakat meru-pakan cara untuk mengatasi persoalan yang timbul. Ke-tika pengelolaan hutan oleh masyarakat dilegalisasi oleh pemerintah, maka akan mampu mengatasi persoalan il-legal longging di wilayah itu. Ketika izin sudah di dapat-kan berdasarkan pengalama di berbagai daerah yang sudah memiliki legalitas pengelolaan, menjaga hutan menjadi lebih ringan. Pun demikian memiliki legalitas dari pemerintah akan menjadi tantangan utama masyarakat. Legalitas ini akan memakan waktu yang cukup panjang dan di masyarakat sendiri harus ada ada keseriusan pengusulan dan pro-gram kerja pengelolaan nantinya.

Selain itu, persoalan yang mengemuka adalah adanya tata batas antar nagari yang masih tumpang tindih, jika dilakukan pengusulan hak kelola hutan tentu persoalan ini akan menimbulkan polemik dengan nagari tetangga. Menyikapi ini, yang perlu dilakukan adalah duduk ber-sama antar nagari dan kemudian melakukan pemetaan bersama. Selama ini sering ada klaim tumpang tindih na-mun pemetaan yang partisipatif dan melibatkan banyak pihak masih jarang dilakukan. Dengan adanya sekam PHBM, persoalan tata batas antar nagari diharapkan juga bisa diselesaikan dan diakui oleh instansi yang ber-wenang. Kegiatan FGD ini dihadiri oleh peserta yang terdiri dari 10 Kabupaten yang ada di Provinsi Sumatera Barat yaitu Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Solok, Kabu-paten Dharmasraya, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Pasaman Timur, Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten 50 Kota, Kabupaten Padang Pariaman dan Pesisir Selatan. Masing-masing kabupaten terdapat enam nagari dampingan. Tiap nagari diwakili oleh dua orang namun ada juga nagari yang mengirim utusan lebih banyak sehingga peserta mencapai 110 orang. Lapisan masyarakat yang datang terdiri dari Wali Nagari, Tokoh Masyarakat, Niniek Mamak, Bundo Kanduang dan juga masyarakat yang memiliki kegiatan di sekitar kawasan hutan lindung. Kegiatan ini dibuka Wali Nagari Sungai Buluah. Ke-giatan ini dilakukan untuk meningkatkan kapasitas pe-ngetahuan masyarakat terhadap skema PHBM. Sehing-ga, diharapkan nantinya dapat di realisasikan di Nagari mereka masing-masing sehingga proses pengusulan skema PHBM ini dapat dengan cepat terlaksana. Kegiatan yang ini berlangsung akrab dan meriah. Para peserta diinapkan di rumah-rumah penduduk Sungai Bu-luh. Perkembangan PHBM, proses pengusulan dan juga pemanfaatan kawasan ketika sudah mendapat izin juga di bahas sampai tuntas dalam acara ini. Pada kegiatan ini, juga ditegaskan bahwa Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat yang mana adalah bagian dari mengemba-likan hak masyarakat nagari atas tanah ulayat mereka se-hingga dapat dikelola oleh anak kamanakan yang ada di nagari tersebut. (Riche Rahma Dewita/Sukmareni)

Fokus Group Diskusi yang berlangsung di Nagari Sungai Buluah, diikuti oleh Kelompok Pengelola Hutan Nagari dan Kemasyarakatan di Provinsi Sumbar. (foto: Riche Rahma Dewita/dok. KKI WARSI)

Page 16: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

WAWANCARA3130

Kelompok masyarakat pengelola hutan desa, hu-tan nagari dan hutan adat memiliki potensi sum-ber daya alam yang sangat besar. Mulai dari

peluang mengelola hasil hutan bukan kayu (HHBK), pe-manfaatan biogas, maupun pengembangan komoditas tanaman bertingkat. Namun selama ini potensi tersebut belum terkelola dengan baik sehingga belum berperan maksimal untuk mengangkat derajat perekonomian mereka. Bisnis sosial barangkali adalah jawaban untuk mengatasi semua itu. Sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Yunus, pencetus bisnis sosial di Bangla-desh, bahwa kita dapat memandang bisnis sosial se-bagai bisnis tidak egois yang bertujuan mengakhiri se-buah masalah sosial. Bisnis sosial adalah sebuah cara baru untuk mengemas keberadaan kita dan menawar-kan kesempatan untuk merancang ulang kehidupan kita sekaligus menyempurnakan planet yang kita huni. Dengan kata lain, bisnis sosial ini adalah kapitalis yang memihak orang miskin. Jika konsep bisnis sosial ini bisa diterapkan de-ngan baik, kelompok masyarakat marjinal yang tinggal di sekitar kawasan hutan dan selama ini masih tersisih akan mampu bangkit dan bersaing di kancah perekono-mian. Terobosan berupa bisnis sosial akan membuka peluang baru untuk memperbaiki taraf hidup mereka. Hal itu juga diyakini oleh Budi Isman, selaku praktisi bis-nis sosial yang belakangan getol membina masyarakat di sejumlah daerah untuk mengembangkan bisnis so-sial. Berikut petikan wawancara Alam Sumatera terkait peluang pengembangan bisnis sosial dengan pendekar bisnis yang sudah melanglang buana di pelataran peru-sahaan nasional dan perusahaan multinasional.

Selama ini KKI WARSI sudah mengembangkan hutan desa, hutan adat, dan hutan nagari. Di situ ada potensi besar yang belum tergarap dengan maksimal. Bagaimana Bapak melihat peluang dan potensi pemberdayaan masyarakat jika dikaitkan dengan pengembangan bisnis sosial? Potensi itu semuanya ada. Cuma bagaimana memetakan potensi itu dan menyesuaikan dengan kebutuhan pasar. Potensi tak akan bisa terealisasi kalau kebutuhan pasarnya tidak dipenuhi. Karena pada umumnya, hanya bisa berhasil suatu produk atau pasar kalau memang dibutuhkan oleh pasar. Jangan sampai kita membuat sesuatu yang kebetulan karena ada sumber daya alamnya saja di situ, padahal sebe-tulnya itu tidak dibutuhkan oleh pasar.Berarti langkah awalnya kita harus melakukan sur-vey pasar dan melakukan pemetaan pasar? Langkah awalnya bagi saya adalah memetakan po-

tensi yang ada di daerah dan kemudian baru petakan pasar. Coba lihat potensi ini dengan pasar, ada yang cocok atau tidak? Kalau ada yang cocok, itulah yang akan jadi perioritas utama untuk dikembangkan.

Jadi tidak semua potensi yang ada kita ambil? Tidak mungkin. Anda mencoba membuat semuanya akhirnya tidak ada yang jadi. Pilih salah satu saja. Misalnya di Kerinci. Teh kan sudah dikembangkan oleh PT PN. Di sini juga ada kayu manis dan kopi. Jadi ada tiga produk. Kalau saya jadi pemerintah kerinci tiga itu yang akan saya kembangkan. Kayu manis, teh dan kopi. Selama ini saya sudah mengembangkan usaha bisnis sosial di 20 kota. Di Jambi kami sudah 2 tahun mengembangkannya. Dilihat dari visi dan misinya, WARSI sejalan dengan visi yang saya bangun selama ini. Pertimbangan kami ialah bagaimana membuat NGO membuat program self suistanable. Ini merupa-kan model bisnis dan pemberdayaan.

Di WARSI yang bisa dikembangkan ada kopi, coklat, kayu manis, dan bambu. Dari beberapa po-tensi tersebut kira-kira apa peluang yang menarik untuk dipromosikan? Menurut pandangan saya WARSI banyak sekali potensi yang bisa dikembangkan. Baiknya kita iden-tifikasi dulu produk mana yang bisa dikembangkan. Kopi bisa. Bagi saya itu sangat menarik. Kayu manis

juga sama. Sebetulnya kerajinan kalau ada yang unik juga menarik bagi saya. Kerajinan bisa. Kita ada mbah google. Masuk aja desain apa gitu. Ubah sedikit-se-dikit. Karena desain itu yang mahal, yang dibeli orang dibandingkan bahan. Yang kita kalah selalu dari luar adalah desain. Dia beli bahan mentah diolah dikirim lagi. Kemudian harganya jadi mahal. Jadi zaman seka-rang tidak ada yang sulit.. Makanya teknologi harus masuk dalam skema pemberdayaan.

Kalau sudah dipetakan dan ketemu suatu produk yang akan kita jual. Langkah selanjutnya apa? Langkah berikutnya tentukan market. Baru setelah itu pengembangan produk namanya. Pengembangan produk itu mulai dari membuat kisahnya. Misalnya, produknya sendiri apa? Kalau memilih kopi. kopi apa? Setelah itu baru menentukan nama yang akan digu-nakan. Brandnya seperti apa. Itulah yang namanya melakukan pengembangan produk dan pengembang-an marketing. Intinya adalah brand yang dibangun itu harus bisa mengangkat daerah itu sendiiri. Kita sebetulnya mau mengangkat nama daerah. Kalau satu produk sudah bisa naik, maka yang lainnya akan mengikuti. Ini semacam di depannya lah. Kalau mau dicoba semuanya tidak mungkin. Jadi harus pilih satu-satu.

WAWANCARA

Berarti peluang pengembangan bisnis sosial ini masih sangat besar ya, pak? Sangat besar. Dan dalam setiap produk semuanya harus ada reasonnya. Misalnya, kenapa saya pakai ba-hasa Inggris. Itu semua ada alasannya. Setiap kata itu harus bisa bernilai. Kenapa warnanya begini, kenapa kata-katanya seperti itu. Jadi setiap katanya bisa berni-lai gitu.

Misalnya kita sudah ketemu produk yang akan kita promosikan. Bagaimana caranya untuk melawan kompetitor yang sudah ada duluan? Pertama kita harus memilik yang namanya differ-ence. Perbedaan. Kalau produk tak ada perbedaan dia akan menjadi komoditas. Kalau jadi komoditas maka yang paling murah yang akan dicari.

Berarti kita tidak melulu menjual produk? Nggak. Tidak ada. Contoh saja, coca cola. Apakah tidak ada minuman yang lebih enak? Pasti ada, tapi kenapa selama 130 tahun coca cola bisa menjadi yang nomor satu dicari orang. Misalnya baju kaos. Bahan sama, semuanya sama. Hanya gara-gara satunya di sablon harganya bisa jadi beda.

Tapi biasanya ketika masyarakat mau mengem-bangkan usaha seringkali terkendala dengan peng-urusan izin. Bagaimana cara mensiasati itu, Pak? Makanya tugas kita semuanya menjadi advoca-tor untuk kegiatan itu. WARSI pun bisa mengatasi kesulitan mereka dengan mempresure pemda. Kayak Ridwan Kamil, dia kasih izin gratis. Sekarang ini para bupati sedang berlomba ingin mencitrakan diri. Kes-empatan itu harus dimanfaatkan. Sekarang ini zaman-nya orang diadvokasi. Lembaga seperti WARSI bisa menjadi presure group untuk mengadvokasi masyara-kat. Kalau pihak swasta kan mereka curiga. Kalau saya biasanya ngancamnya pakai media sosial saja. Harus-nya itu tidak menjadi penghalang asalkan kita pandai dalam melobi.

Sebenarnya apa sih kekuatan bisnis sosial itu? Kekuatannya adalah misi dan modal bisnis profe-sional. Tanpa uang ini gak akan jalan. Binis sosial ha-rus sustanable. Masak kita mau minta terus. The future is social busines bagi saya. Bagi saya suatu saat dunia ini cuma satu, yaitu bisnis sosial. Yang tadi itu, kapitalis itu, semua akan berakhir di bisnis sosial. Karena profit tanpa sosial tidak akan jalan dan sosial tanpa profit juga tidak akan jalan. Keduanya harus bisa beriringan. Bagi saya bisnis sosial ini akan menjadi bisnis masa depan. Saya percaya itu! (Herma Yulis)

Bisnis Sosial adalah Kapitalis yang Memihak Orang Miskin

Yenni Azmaiyanti/dok. KKI WARSI

Produk produk kerajinan hasil kreatifitas masyarakat yang mempunyai nilai ekonomis sebagai alternatif tambahan penghasilan keluarga. (dok. KKI WARSI)

Page 17: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

3332

Serampas adalah nama komunitas masyarakat adat yang tinggal di lima desa sekitar kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), tepatnya

di Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Profesor Dominik Bonatz dari Universitas Free Berlin dan beberapa peneliti yang melakukan peng-galian benda-benda arkeologis di sekitar Renah Kemu-mu menyebutkan bahwa desa-desa di Serampas telah dihuni oleh manusia sejak lama. Diperkirakan antara abad ke-11 dan abad ke-13 masehi, Orang Serampas sudah mendiami wilayah ini. Nenek moyang mereka yang paling dikenal adalah Nenek Sigindo Balak (di-makamkan di Tanjung Kasri) dan Nenek Tigo Silo (di-makamkan di Renah Kemumu). Masyarakat Serampas telah mendiami kawasan tersebut jauh sebelum wilayah itu ditetapkan sebagai taman nasional oleh pemerintah. Hal itu diperkuat oleh piagam-piagam yang dikeluarkan Sultan Jambi sebagai bentuk pengakuan atas wilayah adat Serampas. Semen-tara kawasan TNKS baru ditetapkan berdasarkan Surat

Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982.Saat ini masyarakat Serampas tinggal di desa Renah Alai, Rantau Kermas, Lubuk Mentilin, Tanjung Kasri, dan Renah Kemumu. Tiga desa yang pertama lokasi-nya terdapat di pinggiran TNKS. Sementara dua desa terakhir terletak di dalam kawasan TNKS. Dulunya Se-rampas hanya terdiri atas tiga desa saja, yaitu Renah Alai, Tanjung Kasri, dan Renah Kemumu. Tambahan dua desa yang baru (Lubuk Mentilin dan Rantau Ker-mas) berasal dari desa Renah Alai yang belakangan berkembang menjadi tiga desa otonom yang terpisah (Bambang Hariadi:2013). Sebelum adanya Undang-undang Pemerintahan Desa (UU No. 5/1979), desa yang dihuni Orang Seram-pas tergabung dalam sebuah ikatan yang disebut marga Serampas. Daerah ini lama terisolir dari pusat kota ka-bupaten. Akses jalan mulai lancar baru beberapa tahun terakhir. Akses menuju Desa Renah Alai adalah yang paling dekat jika dijangkau dari Kota Bangko, ibukota Kabupaten Merangin. Dari Bangko menuju desa Renah

Alai hanya berjarak 97 kilometer. Sementara jarak yang memisahkan antara satu desa dengan desa lainnya di Serampas berkisar hanya antara 5 hingga 15 kilometer.Secara geografis wilayah adat Serampas berupa per-bukitan dan memiliki kontur yang relatif curam serta ter-letak pada ketinggian 600-1300 mdpl. Dengan kondisi ini mata pencarian mayoritas masyarakatnya adalah bercocok tanam. Baik dengan cara berkebun, ber-ladang, dan bersawah. Pada mulanya hasil ladang han-ya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mere-ka saja. Namun, setelah masyarakat mengenal adanya mata uang, mereka pun mulai memperjualbelikan hasil ladang dan kebun ke daerah sekitar.

Praktik Pengelolaan Lahan

Dalam melakukan praktik pengelolaan lahan, Orang Serampas mengenal istilah “tanah ajum tanah arah”. Ini adalah konsep unik namun memiliki nilai kearifan lokal yang amat luhur. Mereka meyakini bahwa tanah meru-pakan warisan dari nenek moyang yang harus dijaga dan dilestarikan. Sistem pengelolaan lahan seperti ini adalah gambaran bagaimana mereka menjaga kekom-pakan dalam menjalankan roda kehidupan bermasyara-kat. Depati sebagai pemimpin adat Serampas memi-liki peran penting dalam mengatur masyarakat untuk menguasai lahan sesuai dengan kebutuhan. Dengan konsep ini tidak ada monopoli kepemilikan lahan bagi Orang Serampas. Pembagian lahan dengan sistem ini mencakup dae-rah mana yang diperbolehkan dijadikan lahan untuk berladang dan lahan untuk mendirikan rumah. Tanah ajum berarti tanah yang diperbolehkan dibuka untuk areal pemukiman penduduk. Sementara tanah arah di-artikan sebagai lahan yang diperbolehkan dibuka seb-agai tempat berkebun dan berladang. Adapun kriteria lahan untuk berkebun dan berladang adalah yang be-rada di daerah datar dan berada tidak berada jauh dari aliran sungai. Tanah dengan kondisi basah untuk areal persawahan sementara tanah kering untuk berladang. Semua itu diatur dengan baik oleh depati di Serampas.Orang Serampas hanya diberi kesempatan memiliki la-han sekitar 2 hektar dalam setahun. Syaratnya, lahan itu harus ditanami. Jika selama satu tahun itu lahan ti-dak ditanami maka akan dikenakan denda adat. Akan tetapi, bagi orang yang mampu menggarap lebih ba-nyak juga diberi batasan, maksimal hanya diberikan se-luas 4 hektar. Kearifan lokal yang dipertahankan Orang Serampas sangat khas dan unik. Selain menerapkan sistem pe-ngelolaan lahan berupa tanah ajum tanah arah, Orang Serampas juga dilarang keras menebang kayu di hulu sungai dan di lembah yang curam. Hal itu diyakini bisa mengakibatkan bencana alam. Selain itu, mereka juga tidak dibenarkan menjual lahan kepada orang dari luar Serampas. Apabila itu terjadi, maka orang yang menjual maupun yang membeli akan diusir dari Serampas. Se-

DARI HULU KE HILIR32

mentara tanah yang diperjualbelikan akan diambil alih oleh desa atau anak negeri.

Perda Pengakuan dan Perlindungan MHA Serampas

SELAMA ini keberadaan Taman Nasional di daerah Serampas seringkali mendapat kritikan dari penduduk setempat. Hal itu sangat beralasan, karena sebelum TNKS ada mereka sudah lebih dulu tinggal di sana. Guna melestarikan keberlangsungan komunitas ini be-serta kearifan lokalnya, terutama kearifan lokal dalam menjaga hutan, diperlukan payung hukum yang jelas dalam bentuk peraturan daerah (Perda). Menyadari pentingnya hal itu, masyarakat Seram-pas bersama KKI WARSI berupaya mendorong DPRD Kabupaten Merangin membuat Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Inisiatif tentang pengakuan dan perlin-dungan masyarakat hukum adat Serampas. Pen-gajuan ranperda ini juga relevan dengan implementasi putusan MK 35 terkait hutan adat dan peraturan perun-dang-undangan terkait dengan pengakuan dan perlin-dungan masyarakat hukum adat. Adapun substansi dari ranperda ini bersifat deklaratif, mengakui, dan memberi-kan perlindungan terhadap keberadaan dan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat Serampas yang se-lama ini terabaikan. Dengan adanya Perda ini hak-hak hukum adat masyarakat Serampas dapat dipulihkan dan menjadi pintu masuk untuk melakukan pemberda-yaan dan pembangunan di wilayah adat Serampas. Setelah melewati proses panjang, ranperda ini ak-hirnya disahkan menjadi Peraturan Daerah (Perda) Ka-bupaten Merangin dalam rapat paripurna yang digelar Selasa, 16 Februari 2016. Dari 6 fraksi di DPRD Kabu-paten Merangin, semuanya sepakat menyetujui penge-sahan ranperda inisiatif ini menjadi Perda Kabupaten Merangin. Perda ini merupakan payung hukum bagi masyarakat Serampas dalam mengelola dan melestari-kan kearifan lokalnya, terutama dalam menjaga hutan adat dengan arif dan berkelanjutan. Sudirman, Ketua panitia khusus (pansus) 3 DPRD yang menangani pembuatan ranperda inisiatif DPRD Merangin mengatakan, pengajuan ranperda ini memi-liki dasar hukum yang kuat dan jelas. Dalam hal ini, sudah ada kajian akademis terkait masyarakat Seram-pas. Meski di sini khusus tentang Perda Masyarakat Serampas, namun kelak di kemudian hari tidak menu-tup kemungkinan bagi masyarakat adat lainnya untuk mengajukan Perda serupa jika persyaratan yang dimi-liki sudah terpenuhi. Sebagai anggota DPRD Merangin, ia mengaku sangat mendukung pengesahan ranperda tersebut oleh pemerintah Kabupaten Merangin. “Perda ini muncul dari masyarakat Serampas, kami dari DPRD hanya mendorong. Ini bagi kami DPRD menjadi pilot projek untuk pembuatan perda masyara-kat adat ke depannya,” katanya. Menurut dia, pembuatan Perda tersebut cukup me-makan waktu bagi DPRD. Pihaknya bahkan sudah

Pengakuan Terhadap MHA Serampas

Desa Rantau Kermas yang masuk dalam Merga Serampas. Untuk menguatkan hak kelola masyarakat, DPRD Merangin mengesahkan Peraturan Daerah Tentang Masyarakat Hukum Adat Serampas. (foto: dok. KKI WARSI)

Page 18: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

34DARI HULU KE HILIR

35

melakukan studi banding hingga ke Ammatoa, Sulawesi Selatan. Selain itu, sebelum disahkan perda itu sudah melibatkan banyak pihak. “ Untuk ituk Pansus 3 minta dukungan semua pihak untuk mendukung Perda ini demi kelangsungan dan keselamatan hutan dan masyarakat addat di Kabupaten Merangin,” ungkap Sudirman. Manager Program Pengelolaan Hutan Berbasis Ma-syarakat (PHBM) KKI WARSI Adi Junedi mengatakan, pengesahan Perda ini menjadi langkah awal dan pintu masuk bagi masyarakat Serampas menuju kedaulatan pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan ni-lai, norma, dan pranata adat yang berlaku di wilayah Serampas yang tidak terlepas dari koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam bingkai Re-publik Indonesia. Perda ini akan menjadi amunisi bagi masyarakat hukum adat Serampas untuk melindungi hutan adat yang ada di wilayah mereka. Baik perlindun-gan dari masyarakat luar maupun kebijakan yang dinilai merusak lingkungan. “WARSI memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada DPRD Merangin dan panitia khusus (Pansus) 3 yang telah bekerja keras mendiskusikan, membahas, mengkonsultasikan dan mengesahkan Perda ini,” kata Adi Junedi.

Program pohon asuh yang dikelola kelompok pe-ngelola hutan adat (KPHA) Desa Rantau Kermas di Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin,

patut diapresiasi. Upaya menjaga lingkungan melalui program pohon asuh ini terbukti bisa mendukung pem-bangunan desa dan kegiatan masyarakat setempat. Hingga awal April 2016, sudah tercatat sebanyak 144 pohon dari berbagai jenis yang telah diadopsi. Namun demikian, masih terbuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin berpartisipasi dalam mendukung program ini. Sebab, saat ini masih tersedia sekitar 550 pohon yang belum diadopsi. Dengan mengadopsi satu pohon saja, berarti telah mendukung upaya penyelamatan lingkungan dari ke-hancuran. Itu pun bisa dilakukan tanpa harus mengham-burkan banyak biaya. Biaya untuk berpartisipasi dalam program pengasuhan pohon ini sangat terjangkau. Agar bisa mengasuh sebatang pohon pihak pengelola hanya mengenakan biaya sebesar Rp 200 ribu yang akan ber-

laku untuk masa selama satu tahun. Setelah itu bisa di-perpanjang kembali di tahun berikutnya. Untuk mendaftarkan diri sebagai calon pengasuh pohon juga tak perlu melewati birokasi yang berbelit. Pendaftaran bisa dilakukan dengan mengunjungi web-site www.pohonasuh.org. Di sini calon pengasuh bisa melihat langsung data-data pohon yang akan diasuh. Mulai dari data jenis pohon, ukuran diameter, koor-dinat hingga foto pohon yang ingin diadopsi. Begitu bergabung sebagai pangasuh pohon, masing-masing orang akan menerima sertifikat sebagai bukti telah melakukan pengasuhan pohon. Selain itu pengasuh juga akan mendapatkan informasi pohon miliknya dari pihak pengelola yang dilakukan setiap enam bulan sekali.

Sudahkah Anda Mengasuh Pohon? Sebelum disahkan menjadi Perda, ranperda inisiatif DPRD Merangin ini sudah melewati proses panjang. KKI WARSI sudah melakukan kajian untuk mengetahui apakah mereka berbentuk paguyuban (sistem kekera-batan) yang jelas, memiliki wilayah adat yang jelas, me-miliki kelembagaan adat, serta memiliki pranata adat. Setelah dinyatakan terpenuhi hasil kajian itu kemudian dikonsultasikan di Bappeda Merangin dengan melibat-kan para pihak seperti DPRD, Pemda, LSM, dan ma-syarakat. Aspirasi ini kemudian ditangkap dan dijadikan Perda Inisiatif oleh DPRD Kabupaten Merangin. Pun-cak dari perjuangan itu adalah pengesahan Perda yang digelar dalam rapat paripurna DPRD Kabupaten Mera-ngin. “Harapan ke depan, dengan adanya Perda ini akan bisa jadi landasan hukum bagi Menteri LHK untuk mene-tapkan status hutan adat Serampas. Sehingga menjadi media resolusi konflik antara Masyarakat Hukum Adat Serampas dengan pengelolaan TNKS,” ungkapnya.Pengesahan Perda ini disambut dengan gembira oleh para tokoh masyarakat Serampas yang hadir dalam rapat paripurna DPRD Merangin. Bagi mereka ini adalah langkah maju dalam rangka mengelola dan memper-tahankan wilayah adat mereka agar bisa dilestarikan hingga masa yang akan datang. Dia berani memberi jaminan bahwa masyarakat Serampas tidak akan me-nyalahgunakan Perda tersebut. Sebab ia yakin, me-reka akan mampu menjaga hutan yang ada di sekitar mereka dengan baik. “Kami mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Anggota DPRD dan Pemda Merangin yang telah menetapkan dan mengesahkan Perda ini. Kita tidak bisa memberi apa-apa untuk mem-balas kebaikan mereka,” kata Ketua Forum Masyarakat Adat Serampas Ishak. Dengan disahkannya Perda ini masyarakat Seram-pas ke depan memiliki payung hukum dalam menge-lola hutan adat mereka. “Kami sangat yakin, dan kami berjanji akan bisa menjaga hutan ini. Karena selama ini kami sudah membuktikan bisa menjaga hutan melalui aturan adat yang berlaku,” ujarnya. Sementara Bupati Merangin Al Haris mengatakan, pihaknya melihat perlu menetapkan Perda itu karena selama ini masyarakat Serampas sudah terbukti mam-pu mengelola lahan dalam bentuk penggunaan tanah ajun dan tanah arah. Ini adalah bentuk pengelolaan ta-nah di Serampas yang dilakukan secara komunal. De-ngan adanya perda itu, kata dia, diharapkan masyarakat Serampas tidak termarginalkan dalam pembangunan.”Dengan adanya pengakuan formal terhadap masyara-kat hukum adat Serampas, diharapkan dapat mening-katkan kesejahteraan bagi masyarakat Serampas. Karena perda tujuannya untuk mengatur dan menertib-kan masyarakat. Di Perda ini ada semacam kesempatan kepada masyarakat untuk meningkatkan perekonomian lebih leluasa. Karena selama ini mereka ragu bertindak dan ragu berbuat,” kata Al Haris. (Herma Yulis)

Masyarakat Rantau Kermas menjemur biji kopi sebagai salah satu andalan pendapatan masyarakat. (foto: Haryadi/dok. KKI WARSI)

Kelompok Pengelola Hutan Adat memasangkan tanda pohon yang sudah diadopsi. Di Hutan Adat Rantau Kermas

sejak dua tahun lalu mengembangkan program pengasu-han pohon. (foto: Elviza Diana/dok. KKI WARSI)

Page 19: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

SUARA RIMBADARI HULU KE HILIR36 37

Pohon yang diasuh ini berada di dalam dalam ka-wasan hutan adat Desa Rantau Kermas yang mereka jaga dengan baik. Jenis pohonnya pun beragam. Ber-dasarkan hasil survey yang dilakukan KKI WARSI ber-sama masyarakat Desa Rantau Kermas terhadap 890 individu berukuran up, diketahui bahwa ada sebanyak 118 jenis pohon berdasarkan nama lokal dari 33 famili, 6 di antaranya belum teridentifikasi. Sedangkan jenis pohon terbanyak yang ada di hutan adat Rantau Ker-mas terdiri dari jenis pohon nulan, lingkat, kayu bawa-ng, (medang jangat, medang giring, medang udang, medang padi), marapang,(surian, surian ambar, surian basah), (marpak, melero, beko), sentul, marauba, dan meran. Fasilitator Desa Rantau Kermas Wawan Junianto mengatakan, keuntungan yang didapat dari kegiatan pengasuhan pohon ini sebagian digunakan untuk pem-biayaan kegiatan pengelolaan hutan adat dan sebagian lagi untuk pembangunan sarana umum di desa Rantau Kermas. Misalnya, untuk pembiayaan pembangunan ja-lan dan biaya perbaikan tempat ibadah. Selain itu, dana yang diperoleh dari donasi pohon asuh ini juga digu-nakan untuk membiayai kegiatan kenduri adat, kegiatan olahraga kelompok pemuda, serta membiayai opera-sional pengelola hutan adat Desa Rantau Kermas.Untuk mengetahui bagaimana kondisi pohon asuh tersebut pihak pengelola secara rutin melakukan pe-mantauan dan pengawasan di hutan adat. Sehingga kondisi pohon asuh akan tetap bisa terpantau yang kemudian akan diinformasikan kepada para pengasuh pohon. “Dalam waktu dekat ini kita kembali akan melakukan tagging pohon di kawasan hutan adat,” kata Wawan.Sementara dalam hal pelaporan penggunaan dana juga dilakukan dengan transparan. Setiap selesai menggge-lar kegiatan, pihak pengelola hutan adat Rantau Kermas selalu membuat laporan tertulis yang kemudian ditem-pelkan di papan informasi desa. Laporan itu dilengkapi dengan rincian penggunaan keuangan kelompok. De-ngan demikian, semua masyarakat bisa mengetahui dan mengawal penggunaan dana agar tidak disalah gunakan. Perlu diketahui, bahwa Desa Rantau Kermas bera-da di daerah yang potensial terkena bencana ekologi. Desa ini berada di antara perbukitan curam yang bisa longsor jika hutan-hutannya tidak dirawat dengan baik. Menyadari hal itu, Rantau Kermas sebagai desa pe-nyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) beru-saha melakukan upaya penyelamatan kawasan hutan di sekitar permukiman mereka. Masyarakat membutuh-kan hutan tersebut untuk kelancaran pengairan sawah dan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro, yang menjadi sumber energi bagi lebih dari 103 KK penduduk desa. Masyarakat berinisiatif melindungi hutan di sekitar desa yang berada di kawasan Areal Penggunaan Lain

Inovasi dalam bertahan hidup juga dilakukan Orang Rimba. Kelompok Pendi salah satunya. Orang Rim-ba yang berada di Desa Pulau Lintang Kecamatan

Batin VIII Sarolangun, mulai mengkombinasikan pola hidup tradisional meramu dan berburu dengan pengelo-laan lahan. Belum lama ini, kelompok Pendi melakukan panen raya padi ladang—jenis padi yang dalam budi-dayanya tidak membutuhkan air tergenang. Awalnya kelompok Pendi berencana untuk melaku-kan peremajaan kebun karet mereka yang sudah kurang produktif. Menjelang lahan siap untuk dilakukan pena-naman karet, kelompok ini mencoba menanam padi ladang yang umumnya berumur 6 bulan siap panen. Pasca musim kemarau yang melanda, pada Oktober sampai November 2015 dengan keyakinan kuat kelom-pok ini menyebar benih, meski waktu itu musim kema-rau belumlah berlalu. Keyakinan anggota kelompok Pendi akhirnya membuahkan hasil. Pada akhir Maret 2016 kelompok ini sudah bisa pemanenan padi mereka yang berbuah lebat. Menurut Pendi dan Husein yang sedang menyele-saikan pemanenan padi, hasil padi pada tahun ini sa-

ngat memuaskan dibandingkan tahun-tahun sebelum-nya. Rata-rata hasil penanaman padi dengan luasan 1 ha mereka mendapatkan hasil sebanyak 60 s/d 70 ka-rung/ha. Hasil ini menurut Pendi mencukupi kebutuhan makan kelompok mereka selama 5 s/d 6 bulan. Untuk mencukupi kebutuhan pokok mereka ketika padi sudah mulai berkurang, kelompok Pendi juga memanfatkan ubi kayu sebagai sumber karbohidrat. Peralatan pemanenan padi kelompok Pendi meng-gunakan alat yang mereka ciptakan sediri. Alat peman-enan padi terbuat dari kayu kombinasi bambu kecil dan pisau yang dikenal masyarakat umum dengan sebutan ani-ani. Pengetahuan membuat alat ini didapatkan dari Orang Melayu yang ada di sekitar mereka. Sedangkan untuk memisahkan bulir padi pada tangkainya, para perempuan menggilas tumpukan tangkai padi dengan kaki telanjang sampai terpisah antara tangkai dengan bulir padinya. Setelah bulir padi terpisah dari tangkain-ya, bulir padi akan di jemur menjadi kering kemudian dimasukkan ke dalam karung untuk disimpan sebagai cadangan makanan mereka. Ketika mereka membutuh-kan beras, kelompok Pendi membawa ke tempat peng-

Panen Raya Orang Rimba Jalan Lintas Dalam Lingkaran Konflik Tenurial

(APL) dengan skema hutan adat. Penetapan hutan adat disahkan melalui Peraturan Desa (Perdes) Desa Rantau Kermas Nomor 01/Kades/RK/3/2000. Dalam perdes itu juga ditetapkan kelompok pengelola hutan adat, sistem pengelolaan, dan pemanfaatan hutan adat. Perdes yang ditetapkan pada 16 April 2000 tersebut hingga kini masih berlaku di tengah masyarakat Desa Rantau Kermas. Untuk menguatkan legalitasnya, pada 2013 ma-syarakat Desa Rantau Kermas mengajukan usulan penetapan areal kelola hutan adat seluas 128 hektar kepada Bupati Kabupaten Merangin. Lokasi yang diu-sulkan merupakan kawasan hutan utuh di luar TNKS. Perjalanan untuk bisa mendapatkan SK itu cukup pan-jang. Setelah sekitar dua tahun berselang sejak usulan dimasukkan, barulah legalitas yang diharapkan ma-syarakat berhasil dikantongi. Legalitas pengelolaan hu-tan adat tersebut tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Bupati Merangin Nomor 146/Disbunhut/2015 tentang Penetapan Sebagian Areal Hutan di Desa Rantau Ker-mas, Kecamatan Jangkat, Seluas ± 130 Hektar sebagai Hutan Adat Desa Rantau Kermas. Dengan kata lain, program pohon asuh ini sebena-rnya merupakan reward yang diberikan masyarakat luas yang ingin berkontribusi terhadap persoalan ling-kungan kepada masyarakat pengelola hutan adat di Desa Rantau Kermas. Adapun caranya sudah melalui mekanisme yang telah disepakati masyarakat dan ke-lompok pengelola hutan adat setempat. Kegiatan ini di samping merupakan terobosan baru dalam pemeli-haraan kawasan hutan, ternyata juga menjadi peluang menarik bagi kemaslahatan dan peningkatan ekonomi masyarakat desa. Sebagai upaya untuk mengenalkan program po-hon asuh kepada masyarakat luas, pengelola juga aktif mengikuti event-event dengan menyebarkan brosur dan informasi seputar pohon asuh. Pada tanggal 1-4 Febru-ari 2016 lalu, dilakukan promosi pohon asuh di arena Festival Iklim yang digelar Kementerian Lingkung-an Hidup dan Kehutanan bekerjasama dengan pemer-intah Kerajaan Swedia dan UNDP Indonesia di Jakarta Convention Center (JJC). Selama festival berlangsung, kegiatan promosi po-hon asuh berhasil menarik perhatian para pengunjung. Tak cuma sekedar melihat dan bertanya seputar apa itu pohon asuh, sebagian pengunjung malah tanpa ragu langsung memutuskan mengadopsi pohon saat itu juga. Mereka sangat berminat begitu mendapatkan informasi pohon asuh, sehingga langsung mendaftar dan bayar di tempat. Total tercatat sebanyak 24 pohon yang diadopsi selama ajang festival berlangsung. Nah, bagaimana dengan anda? Sudahkah anda menjadi pengasuh pohon? Jika belum, Anda masih belum terlambat. Buruan daftarkan diri Anda dan ber-gabung dengan teman-teman pengasuh pohon lainnya. Selamat mengasuh pohon! (Herma Yulis)

Hasil panen padi Orang Rimba Kelompok Pendi. (foto: Kristiawan/dok. KKI WARSI)

Page 20: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

3938SUARA RIMBA

3938

gilingan padi yang ada di Desa Pulau Lintang. Kelompok Pendi berjumlah 17 KK. Saat ini kelom-pok sedang mencoba menetap dalam satu lokasi seluas 14 ha yang mereka klaim sebagai lahan mereka. Se-cara administrasi kawasan Orang Rimba ini masuk ke desa Pulau Lintang Kecamatan Bathin VIII, Sarolangun. Lokasi mereka hanya berjarak 10 menit berkendara dari desa atau 30 menit berjalan kaki. Untuk menuju lokasi Pendi dapat ditempuh melalui jalan setapak yang telah dilakukan pengerasan dan sebagian lagi berupa jalan tanah selebar 1 meter. Pada tahun ini, kelompok Pendi di Pulau Lintang dan Kelompok Sukur di Pemtang kulim akan mendapat ban-tuan perumahan dari kementrian sosial sebanyak 40 rumah. Selain mendapat bantuan rumah mereka juga akan mendapatkan bantuan jatah hidup selama 1,5 ta-hun. Sayangnya perkembangan di lapangan program perumahan yang direncanakan belum ada perkem-bangan di lapangan, belum ada pembangunan yang dilakukan. Belum dimulainya aktivitas pembangunan di kelompok Pendi ada kaitannya dengan lahan seluas 14 ha kelompok Pendi masih bersengketa dengan salah satu penduduk dari Desa Tanjung Kecamatan Batin VIII. Proses mediasi yang dibantu oleh Kades Pulau Lintang belum membuahkan hasil. Sengketa lahan ini sudah terjadi sejak tahun 1998. Keinginan kelompok Pendi untuk menetap di lokasi mereka sangat tinggi. Mereka mengklaim lokasi ini se-bagai tumpah darah kelahiran mereka. Menurut Pendi sebagai ketua kelompok, lahan nenek moyang mereka sudah banyak yang diambil oleh oknum warga desa ke-tika mereka berpindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain. Untuk mempertahankan lokasi mereka saat ini, kelompok Pendi sudah memulai membangun fasilitas tempat ibadah dan rumah permanen. Adanya keingi-nan pembangunan perumahan dari pemerintah secara tidak langsung akan membantu melegitimasikan lahan tersebut menjadi lahan pemukiman Orang Rimba. Un-tuk itu kehadiran otoritas pemerintah untuk membantu menyelesaikan konflik lahan ini dapat membantu me-nyelamatkan minimal 17 kk Orang Rimba yang sedang berusaha lepas dari belenggu kemiskinan sumber hidup dan penghidupannya. Pendi merupakan gambaran Orang Rimba yang bertahan dan berjuang di tengah perubahan sumber daya yang berlangsung di sekitar mereka. Orang Rim-ba yang hidup terpencar dalam kelompok-kelompok ke-cil di sepanjang Jalan Lintas Sumatra khususnya yang berada di Kabupaten Sarolangun sebagian besar masih berburu dan meramu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hanya sebagian kecil saja yang mencoba mengkombinasikan berburu dengan pengolahan lahan untuk bertahan hidup. Hal ini disebabkan karena belum ada transfer ilmu pengetahuan bertani yang mema-dai dan yang paling krusial adalah ketersediaan lahan untuk Orang Rimba yang tidak memadai. Hasil kajian yang dilakukan oleh KKI- Warsi pada tahun 2013 seki-

Potret Pendidikan Kelompok Pendi

Sejak 3 tahun terakhir anak-anak kelompok Pendi mulai menempuh pendidikan Formal. Saat ini ter-dapat 21 anak usia sekolah telah terdaftar di SD

89/VII Pulau Lintang. Anak-anak yang sudah bersekolah di SD tersebut terdiri dari 13 di kelas 1, 8 anak di kelas 2 dan 1 anak di kelas 3. Untuk dapat mengikuti proses belajar, anak-anak yang bersekolah harus rela berjalan selama 30 menit melewati jalan tanah yang becek dan berlumpur. Seringkali anak-anak ini harus membawa pakaian rangkap untuk mensiasati jalan yang dapat membuat baju mereka tidak bersih ketika di sekolah. Mereka menyadari ketika baju mereka terdapat lum-pur yang menempel, teman bermain di sekolah akan menjauhi mereka. Bahkan tidak sedikit guru yang terus mengingatkan untuk terus menjaga kebersihan baju mereka ketika mengikuti proses belajar di sekolah.Menurut Ibrani salah satu anak yang saat ini duduk di kelas 2, dia sangat senang bisa bersekolah karena mendapatkan banyak teman dari desa. Dia juga me-nyatakan bahwa penerimaan anak-anak yang lain sa-

ngat baik. Anak-anak ini sangat menikmati masa-masa sekolah mereka. Meski juga ada kekhawatiran orang tua mereka bisa berpindah lokasi hidup sebagai mana tradisi Orang Rimba. Menurut keterangan Ibrani, ke-inginan untuk bersekolah seperti anak-anak desa sudah sangat lama. Namun dengan kondisi orang tua yang masih berpindah-pindah keinginan bersekolah Ibrani menjadi tertunda. Ibrani merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, anak dari Suarni bagian anggota kelompok Pendi. Dari ketiga anak Suarni hanya Ibrani dan Tina yang berse-mangat bersekolah di sekolah formal. Meskipun Ibrani dan Tina tinggal di rumah panggung berukuran 2 X 3 me-ter beratap plastik dan berdinding kulit kayu kombinasi anyaman bambu, tidak mengurangi minat untuk tetap bersekolah. Sumber mata pencaharian utama keluarga Suarni berburu babi. Tidak jarang keluarga ini harus makan sehari sekali ketika Suarni tidak mendapatkan babi selama 3 hari berturut-turut. Suarni sebagai kepala keluarga mempunyai keinginan yang sangat kuat untuk tetap menyekolahkan anak mereka meskipun saat ini hidup dalam kekurangan. Melihat fenomena sosial salah satu anggota kelom-pok Pendi, kelompok ini sudah mempunyai keinginan kuat untuk keluar dari kemiskinan yang membelenggu mereka. Kesadaran pendidikan menjadi pemutus ke-miskinan sudah mereka sadari dengan pengertian yang sangat sederhana. Mereka berharap dengan berseko-lah, mereka dapat mempelajari banyak hal untuk bersa-ing dengan masyarakat pada umumnya. Meskipun de-ngan segala keterbatasan yang ada di sekeliling me-reka, kelompok ini secara swadaya memperjuangkan sumber penghidupan dan masa depan mereka. Dalam kurun waktu 3 tahun belakangan ini, kelom-pok Pendi membuat kesepakatan di internal mereka untuk mencoba menetap di sekitar Desa Pulau Lintang. Adanya kesepakatan yang dibangun dalam internal kelompok Pendi, peluang anak Orang Rimba seperti Ibarani untuk bersekolah formal semakin meningkat. Tugas dari pemerintah yang segera harus dilakukan untuk membantu Orang Rimba seperti kelompok Pen-di adalah membantu menyediakan sumber hidup dan penghidupan yang berkelanjutan. Sejauh ini anak-anak sekolah kelompok Pendi be-lum mendapatkan beasiswa dari sekolah maupun dari pihak manapun. Secara mandiri mereka mengeluarkan sebagian pendapatan mereka untuk investasi pendidi-kan anak-anak mereka. Pada jangka pendek ini, Pendi sangat mengharapkan bantuan dalam bentuk apapun yang dapat mendukung anak-anak mereka terus ber-sekolah di sekolah formal. Pendi sendiri menyadari bahwa seberapapun bantuan yang diberikan oleh para pihak akan sangat membantu mereka melawan ke-miskinan yang menyelimuti anggota kelompok mereka. (Kristiawan)

tar 50 % Orang Rimba Jalan Lintas Sumatra Kabupaten Sarolangun tidak mempunyai lahan pertanian. Untuk yang sudah punya lahan pun jumlahnya tidak luas. Komoditi utama yang ditemukan dalam lahan per-tanian Orang Rimba adalah karet alam yang dikom-binasikan dengan tanaman buah-buahan. Terpuruknya harga karet dalam 3 tahun belakangan ini, sangat ber-dampak signifikan pada pendapatan ekonomi Orang Rimba yang mulai beralih ke intensifikasi pertanian. Pendi, salah satu pimpinan Orang Rimba di Sarolangun bersama kelompok kecilnya melakukan peremajaan karet alam tua yang sudah tidak berproduktif lagi, serta menama padi untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Kelompok Pendi mempunyai hubungan kekerabatan dengan kelompok Tumino di Tanjung Kecamatan Batin VIII dan Kelompok Sukur yang saat ini berada di Pema-tang Kulim Kecamatan Pauh. Migrasi antar kelompok dari Pulau Lintang, kelompok Tanjung maupun kelom-pok Pematang Kulim sering terjadi. Anggota kelompok migrasi biasanya dilakukan oleh keluarga yang tidak mempunyai kebun sebagai sumber mata pencaharian mereka. Sumber ekonomi utama anggota Kelompok Pendi adalah berburu babi. Lokasi perburuan mereka berada di sekitar Kecamatan Sarolangun, Singkut, Pauh dan terkadang sampai ke Kecamatan Batin XXIV. Untuk setiap hasil perburuan babi mereka, seorang penampung yang tersebar di sekitar Sarolangun, Sing-kut menghargai babi Rp 4.500 s/d Rp 5.500 per kilo-gram. Harga ini dapat naik turun sesuai jumlah stok daging yang ada di penampung. Rata-rata pendapatan mereka dari berburu babi antara 350 ribu sampai 500 ribu setiap minggunya. Hasil ini sangat tergantung ke-cakapan mereka untuk mencari lokasi berburuan. Ha-sil buruan yang tidak menentu sebanyak 5 kk anggota kelompok Pendi telah melakukan peremajaan karet tua seluas 4 ha yang juga ditanam padi dan memberikan hasil yang cukup baik. (Kristiawan)

Perempuan rimba kelompok Pendi sedang menuai padi dari ladang mereka. (foto kiri: Kristiawan/dok. KKI WARSI) . Anak Rimba dari Kelompok Pendi berjalan kaki melewati jalanan berlumpur sebelum menjangkau sekolah di desa Pulau Lintang. (foto atas: Kristiawan/dok. KKI WARSI)

Page 21: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

AKTUAL4140

Penemuan Penyakit Infeksi Pada Orang Rimba

41

Selama proses pendampingan dan fasilitasi ke- sehatan Orang Rimba WARSI mencatat beber-apa penyakit endemik yang menyebabkan ke-

matian Orang Rimba. Penyakit yang menjadi penyebab kematian tertinggi di Orang Rimba antara lain penyakit ISPA (pertussis), Hepatitis dan Malaria. Ketiga penyakit ini hampir merata ditemukan di kelompok Orang Rimba. Bahkan penyakit Hepatitis menjadi penyakit yang semakin banyak diderita oleh Orang Rimba. Berdasar-kan pengamatan di lapangan 4 Orang Rimba mening-gal selama 4 tahun terakhir akibat hepatitis akut. Juga terdapat kejadian luar biasa terjadi kematian 4 balita pada 2010 dan 7 balita 2013 dalam waktu kurang dari sebulan. Masalah kurang gizi sampai pada kondisi gizi buruk juga ditemukan dan menyebabkan 13 kematian Orang Rimba pada Desember 2014 sampai Februari 2015. Kondisi ini memperlihatkan adanya persoalan dengan kesehatan Orang Rimba.

Gb 1. Grafik Sampel Orang Rimba berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin

JUMLAH ORANG RIMBA YANG DIPERIKSATOTAL : 538 orang

LAKI LAKI : 276 orang (47%)PEREMPUAN : 307 orang (53%)

Untuk mendapatkan data pasti penyebab kesakitan Orang Rimba, WARSI menggandeng lembaga biologi molekuler Eijkman untuk melakukan penelitian penya-kit infeksi dan kerentanan penyakit pada Orang Rimba. Lembaga ini merupakan lembaga penelitian yang be-berapa di antaranya konsen pada penyakit infeksi sep-erti hepatitis, malaria, dengue dan penelitian kelainan genetika. Pada bulan Desember 2015 rencana telah dilaksanakan oleh WARSI bersama Eijkman. Sasaran kelompok Orang Rimba yang menjadi sampel penelitian ini adalah Orang Rimba yang berada di dalam Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) yang berjumlah 1.657 jiwa. Secara administratif berada di Kabupaten Sarolan-gun, Batanghari dan Tebo. Dalam proses pengambilan sampel darah oleh petu-gas, terdapat beberapa penolakan di beberapa ang-gota kelompok Orang Rimba. Penolakan ini disebabkan belum adanya pengalaman Orang Rimba melakukan

Gb 2. Grafik Prevalensi Lokasi Berdasar Lokasi Orang Rimba

Pengambilan sampel darah Orang Rimba di Mekekal. Kegiatan ini dilakukan untuk

mengetahui kerentanan Orang Rimba pada penyakit menular. (foto: Rahmad Hidayat/

dok. KKI WARSI)

Page 22: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

AKTUALAKTUAL4342

pemeriksaan darah di Puskesmas maupun rumah sakit. Beberapa Orang Rimba juga menyatakan ketakutan apabila pengambilan sampel darah tersebut dapat ber-dampak buruk pada kehidupan mereka. Namun dengan pendekatan yang telah dibangun WARSI selama 18 tahun sebanyak 583 jiwa bersedia mengikuti pemerik-saan penyakit melalui pengambilan sampel darah. Dari hasil pemeriksaan darah yang dilalukan di laboratorium Eijkman sebesar 33.9 % Orang Rimba menderita penyakit Hepatitis B. Hasil pemeriksaan ini menunjukkan empat dari 10 Orang Rimba mengidap penyakit yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B. Mani-fentasi klinis penyakit hepatitis ini dapat menyebabkan peradangan hati akut atau menahun yang dapat berlan-jut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Hasil penelitian ini juga bisa diartikan lebih dari sepertiga populasi orang Rimba mengidap penyakit hepatitis B. Pada pemeriksaan mikroskopis penyakit malaria ditemukan 1.8% dan pemeriksaan malaria secara molekuler 24.26%. Artinya terdapat dua dari 100 Orang Rimba menderita penyakit malaria mikroskopis dan 25 dari 100 Orang Rimba menderita malaria molekuler. Hasil studi malaria pada Orang Rimba juga sangat tinggi jika dibandingkan dengan data umum prevalensi malaria di Provinsi Jambi yang hanya 0,84 persen 1000 penduduk, artinya kurang dari 1 orang per seribu pen-duduk Jambi yang terkena malaria. Sementara pada Orang Rimba berdasarkan hasil studi ini menunjukkan 250 per seribu Orang Rimba terkena malaria. Hasil penelitian ini menunjukkan ke gawatan dan keseriusan penanganan kesehatan Orang Rimba. Ha-sil penelitian penyakit infeksi pada Orang Rimba di ka-

wasan TNBD, ancaman hilangnya suku Orang Rimba akibat dari penyakit mematikan semakin tinggi. Se-bagai langkah awal WARSI perlu melakukan itervensi untuk meningkatkan derajat kesehatan Orang Rimba. Beberapa internvensi yang akan dilakukan oleh WARSI antara lain:

Jangka Pendek Bersama Puskesmas dekat lokasi Orang Rimba

melakukan imuniasi bagi Orang Rimba (dewasa dan anak-anak) yang belum terinfeksi penyakit hepatitis

Memberikan pendampingan pengobatan penyakit hepatitis ke layanan kesehatan yang disediakan oleh pemeritah

Mendorong Puskesmas untuk menambah jadwal kunjungan ke komunitas Orang Rimba

Menjaring tenaga kesehatan sukarela (dokter, per-awat, bidan) yang bersedia melakukan kunjungan dan pengobatan penyakit ke lokasi Orang Rimba

Meningkatkan penyuluhan perilaku hidup sehat dan pembagian kelambu bagi Orang Rimba

Jangka Panjang Mendorong Dinas Kesehatan Kabupaten, Dinas

Kesehatan Provinsi dan Kementrian kesehatan untuk melakukan pemeriksaan penyakit infeksi Orang Rimba secara menyeluruh.

Mendorong disediakan satu tim tenaga kesehatan (dokter, perawat dan bidan) yang ditugaskan untuk menjangkau lokasi kelompok Orang Rimba

Menyiapkan anak didik Orang Rimba untuk dapat menjadi tenaga kesehatan bagi komunitas. (Kris-tiawan)

Gb 4. Grafik infeksi Parasit Penyakit Malaria dan wilayah Administrasi Kabupaten

Gb3. Grafik prevalensi penyakit malaria dan lokasi kelompok Orang Rimba

Page 23: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

4544AKTUALAKTUAL

Mengunjungi Galeri Kerajinan Merangin

Beragam hasil kerajinan terbuat dari anyaman bambu, pandan dan rotan tersusun apik di rak-rak dan meja etalase. Ratna, perempuan pengrajin

asal Desa Beringin Tinggi Kecamatan Jangkat Timur Kabupaten Merangin terlihat sibuk dengan anyaman tas pandannya yang setengah rampung. Jemarinya dengan lincah mengatur anyaman tersebut agar susunan warna dan motifnya terlihat cantik. Hasil kerajinan masyara-kat Merangin ini, kini bisa dijumpai di Galeri Kerajinan Merangin, yang terletak di sebuah rumah di jalan lintas Bangko kilometer 1. Galeri khusus menampung semua kerajinan masyarakat berbahan hasil hutan bukan kayu. Dimotori Dinas Koperasi, Industri dan Perdagangan Merangin bekerja sama dengan KKI WARSI, galeri ini merupakan bentuk pemberdayaan masyarakat berba-sis ekonomi lokal. Diharapkan dengan adanya galeri kerajinan ini mampu menampung hasil-hasil kerajinan masyarakat sehingga menambah pendapatan keluarga. Tidak hanya berorientasi pada peningkatan pendapatan keluarga, kehadiran galeri ini akan memunculkan usaha kecil industri kreatif. Hesnidar Haris, selaku Ketua Dewan Kerajinan Na-

sional Daerah Kabupaten Merangin menyebutkan bah-wa menumbuhkan mental pengembangan industri kre-atif ini tidak hanya berpatokan pada produksi dan kuali-tas hasil produksi pengrajin saja. “Kita harus melakukan aksi terlebih dahulu, seperti dengan menyediakan galeri ini yang nantinya menjadi wadah dan harapan bagi para pengrajin dan pelaku industri kecil menengah yang ada di Merangin. Jangan menunggu pengrajin dapat meng-hasilkan produk yang bersaing. Namun yang terpenting kita mampu membuat para pengrajin ini semangat un-tuk mengembangkan produk mereka,” jelasnya ketika meresmikan galeri beberapa waktu lalu. Istri orang nomor satu di Kabupaten Merangin ini juga menambahkan semua pejabat tidak hanya dinas terkait harus mendukung keberadaan para pengrajin ini dengan menggunakan produk-produk lokal. “Bangga dengan produk lokal ini akan mendukung tumbuh dan berkembangnya industri-industri kecil dan menengah. Bahkan kalau bisa para pejabat ini menjadi ikon untuk hasil-hasil kerajinan dari masyarakat lokal,” katanya sembari menunjukkan beberapa aksesoris berbahan dasar batu sungkai yang dikenakannya.

Nilai tambah dari HHBK

Menganyam merupakan tradisi yang diturunkan dari satu generasi ke generasi yang lain. Dahulu rata-rata perempuan di desa-desa yang tersebar di bagian hulu Kabupaten Merangin memiliki kemampuan men-ganyam. Perempuan yang sudah beranjak dewasa memang dituntut dapat menganyam sebelum menikah. Meskipun hanya membuat sebuah kipas, ataupun tikar. “Dari dulu kami sudah terbiasa menganyam tikar, tapi sekarang kami sudah bisa membuat tas pilin, dompet dan sandal”, ungkap Ratna. Hanya saja kini minat untuk mempelajari keter-ampilan menganyam sudah mulai memudar. Kemajuan teknologi dengan menghasilkan tikar-tikar plastik yang murah dan menarik mengganti tikar anyaman, mem-buat anyaman jarang disentuh lagi. Padahal sebena-rnya, jika kerajinan ini dikemas dengan nilai adat dan budaya masyarakat masih akan mampu bersaing. “Kami berharap dengan adanya pelatihan menganyam ini anak-anak muda di kampung kami bisa menganyam lagi. Jadi kalau kami yang tuo-tuo ini dak ado lagi bisa mereka yang melanjutkan tradisi menganyam ini”, kat-anya.

Melihat kondisi ini KKI WARSI mulai menghidupkan kembali tradisi menganyam di tengah-tengah masyara-kat. Caranya dengan memberikan pelatihan pada ma-syarakat. “Setidaknya kita sudah melakukan pelatihan menganyam ini di Kabupaten Merangin ada beberapa desa, di antaranya di Renah Alai, Rantau Kermas, Batang Kibul, Guguk dan Beringin Tinggi. Sementara di Kabupaten Bungo, ada di Desa Senamat Ulu, Sungai Mengkuang dan Lubuk Beringin,” sebut Ridwan Firdaus selaku Spesialis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) KKI Warsi. Pemilihan desa-desa tersebut lebih diutamakan ter-kait dengan ketersediaan bahan baku yang memang banyak terdapat di daerah tersebut. Pelatihan mengan-yam ini juga dikatakan Ridwan Firdaus sebagai upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber Hasil Hutan Bukan Kayu yang saat ini masih rendah dilaku-kan masyarakat. “Pelatihan kerajinan ini sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam mengelola sumber-sumber hasil hutan non kayu. Di-harapkan ini dapat berkembang menjadi sebuah usaha industri kerajinan. Minimal produk-produknya dapat menjadi souvenir”, jelasnya. (Elviza Diana)

Page 24: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

MATAHATIMATAHATI4746 4746

nya pembicara dari berbagai macam profesi juga se-bagai salah satu strategi untuk mengenalkan banyak cita-cita yang bisa diraih anak-anak tersebut melalui pendidikan. Salah satu pembicara dalam pertemuan pelajar sekolah adat dokter Ria mengatakan bahwa semua anak berhak mewujudkan mimpinya, tak peduli darima-na dia berasal, adat-istiadat, tingkat perekonomiannya dan sekolah yang dia ikuti. “ Anak-anak ini memiliki kes-empatan yang sama untuk meraih cita-citanya, dan kita harus meningkatkan rasa percaya dirinya agar mereka tidak minder dan bersemangat meraih apa yang mereka cita-citakan,” ujarnya. Selain memberikan motivasi dokter Ria juga meng-ingatkan anak-anak tersebut akan pentingnya hidup se-hat dan menghentikan kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok bagi Orang Rimba sudah diturunkan sejak ja-man leluhur mereka. Merokok adalah bagian yang tak terlepas dari kehidupan sehari-hari mereka. Tak ada ba-tasan umur yang pasti untuk anak-anak diperbolehkan merokok, jika sudah bisa menghasilkan pendapatan sendiri dengan berburu dan mengumpulkan hasil hutan, mereka sudah boleh merokok. Dulunya, merokok hanya dengan tembakau berbalut daun lipai, tapi kini hadirnya rokok-rokok yang dijual di pasaran membuat merokok menjadi mudah didapat dan dibeli anak-anak tersebut. “Merokok bagi anak tentu saja akan berakibat buruk bagi kesehatan dan perkembangan tubuh mereka. Apa-lagi anak-anak dalam masa perkembangan, rokok akan menghambat itu. Anak akan tumbuh dan berkembang dengan tidak sempurna, belum lagi efek bagi paru-paru dan jantungnya,” tambah dr Ria. (Elviza Diana)

Bertemu di Forum Sekolah Adat

Suara raungan mesin speedboat terdengar keras, ujung perahu bermesin ini membelah derasnya

arus Sungai Gansal. Matahari baru saja merangkak naik, Nadia, Eki dan didampingi fasilitator KKI WARSI menyusuri Sungai Gansal dari Dusun Sadan menu-ju Dusun Lemang. Senyum bahagia terlukis di raut wajah Nadia (13), anak perempuan dari Suku Talang Mamak ini baru pertama kali meninggalkan dusunnya untuk sebuah perjalanan yang jauh. Seumur hidupnya Nadia baru berkunjung ke Desa Lemang, itu menjadi tempat paling jauh yang pernah didatanginya. Pagi ini Nadia akan berangkat menuju Jambi, sungguh peng-alaman yang luar biasa baginya. Setelah melalui proses pendekatan yang cukup alot untuk mendapat-kan izin dari orang tuanya, Nadia akhirnya bisa be-rangkat. Fasilitator WARSI menyebutkan bahwa be-pergian jauh bagi perempuan Suku Talang Mamak menjadi hal yang belum lumrah. Nadia dipilih karena dia memang memiliki keinginan yang cukup kuat un-tuk sekolah, dan dia juga anak yang cerdas. Melalui pendekatan dan pengertian kepada kedua orang tu-anya akhirnya mereka mengizinkan Nadia berangkat ke Jambi. Perjalanan selama lima jam di atas speedboat di-lalui dengan riang, setibanya di Desa Lemang mereka melanjutkan perjalanan darat dengan menggunakan mobil memakan waktu hampir lima jam tiba di Kota Jambi. Nadia dan Eki akan mengikuti Temu Pelajar Sekolah Adat yang dilaksanakan KKI WARSI. Acara ini akan mempertemukan anak-anak dari tiga komu-nitas adat Orang Rimba, Batin Sembilan dan Talang Mamak. Pertemuan ini menjadi ajang menumbuhkan keakraban diantara sesama murid sekolah adat. Theo Lubis, Fasilitator Pendidikan KKI WARSI menyebut-kan ajang temu pelajar sekolah adat ini baru pertama kali dilakukan dan diharapkan akan terjalin keakraban dan terpenting menumbuhkan semangat mengam-bangkan diri bagi anak-anak tersebut. “Di forum ini anak-anak yang sudah mengenyam pendidikan dari tiga komunitas bertemu dan kita berharap kegiatan ini bisa menumbuh kembangkan kesadaran akan pen-tingnya pendidikan, tidak hanya sekedar baca tulis hitung saja akan tetapi pendidikan secara luas,” ka-tanya. Diadakan Temu Pelajar Sekolah Adat ini juga ba-gian dari membangun semangat rasa kebersamaan dan semangat saling mendukung dari sesama ang-gota komunitas masyarakat marginal. Rasa kebersa-maan ini disebutkan Theo mampu melahirkan seman-gat dan motivasi agar anak-anak ini memiliki mimpi buah dari pendidikan yang dia peroleh. Dihadirkan-

Besigar, anak Orang Rimba ini sudah dua tahun mengikuti pendidikan di Pondok Pesantren Al-

Ikhlas Kota Bangko kabupaten Merangin. Meski baru menjadi mualaf, Besigar tetap yakin akan melanjutkan pendidikan menengah pertama sederajat ke pondok pesantren. Awalnya Besigar merasa berat untuk mengi-kuti kegiatan belajar mengajar di pondok pesantren ini. Namun demikian, Besigar dan tak mudah putus asa. Ke-tika teman-temannya yang lain menikmati segala aktivi-tas bermain seusai sekolah. Besigar mengikuti kegiatan tambahan belajar mengaji. Shasa, Koordinator Fasili-tator Pendidikan menyebutkan keinginan Besigar untuk menjadi ustadz telah mendorongnya untuk mengikuti pelajaran di pondok pesantren ini. “ Besigar itu awalnya memang dua kali berkunjung ke pondok pesantren Al-Ikhlas itu. Dia belum menjadi mualaf waktu itu, kunjun-gannya kedua kali dia menetapkan diri menjadi mualaf dan mendaftarkan diri langsung ke sana. Butuh penye-suaian yang cukup berat, namun keinginannya untuk belajar yang kuat sehingga Besigar mampu mengikuti pelajaran dengan baik,” jelasnya. Saat ini Besigar sudah duduk di kelas dua Madrasah Tsanawiyah, tahun depan merupakan tahun yang me-nentukan untuk kelulusannya. Besigar optimis bisa lulus dan mendapatkan nilai yang baik. “ Mudah-mudahan saya bisa lulus dengan nilai yang baik. Saya berusaha untuk bisa mendapatkan nilai yang baik, belajar tamba-han dengan guru dan juga mengulang-ulang lagi pela-jaran yang didapat,” katanya. Selama dia bersekolah di Pondok Pesantren, Besi-gar jarang sekali bisa pulang ke Rimba. Jadwal belajar yang ketat, menyebabkan dia hanya pada libur semes-ter atau ada keperluan mendadak saja dia pulang ke rimba. Selama bersekolah di Pondok Pesantren, biaya makan bulanan, uang sekolah dan segala peralatan

sekolah dibantu WARSI. Dukungan dari orangtuanya yang dikenal dengan Meratai juga sangat kuat untuk menyekolahkan Besigar. Meratai, Wakil Kelompok Temenggung Grip bahkan pernah langsung membayar-kan uang sekolah anaknya membayarkannya. Meski sebenarnya Meratai merupakan Orang Rimba yang hidup di Pisang Kerayak, sebuah lokasi yang berada di jantung Taman Nasional Bukit Duabelas dan paling jarang dikunjungi orang luar. Dalam keluarganya, Besi-gar satu-satunya yang bersekolah. Meratai, dalam kehidupannya masih tertutup de-ngan dunia luar dan belum menerima pendidikan. Na-mun keinginan kuat dan semangat Besigar telah mem-buat Meratai mau mendukung Besigar untuk belajar. Semangat besigar untuk sekolah dan melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Bahkan meski baru ta-hun kedua di pesantren, Besigar berniat untuk mengi-kuti ujian nasional tingkat SLTP. Besigar, ada tiga anak Orang Rimba lagi yang bersekolah di SMP Satu Atap SPI Desa Bukit Suban yaitu Perbal, Budi dan Bejunjung mengikuti ujian nasional. “Pelaksanaan ujian nasional akan diadakan di SMP 12 Satu Atap Sarolangun, Desa Pematang kabau. Un-tuk tingkat Sekolah Dasar, biasanya kami mendampingi untuk menjadi penerjemah membantu anak-anak ini mengerti dan paham yang akan dilakukan. Sementara tingkat SMP, kita tidak mendampingi lagi. Namun, karena kemampuan anak-anak rimba ini juga berbeda dengan siswa lainnya, biasanya pihak sekolah dan Dinas juga memberikan perlakuan khusus dan ikut mendampingi,” jelasnya. Jarak yang cukup jauh antara tempat ujian dan lo-kasi tempat tinggal masing-masing anak, WARSI me-nyiapkan tempat inggal dan semua keperluan mereka di kantor lapangan. “ Seperti di tahun yang lalu, anak-anak yang mengikuti ujian tinggal di kantor lapangan kita. Dan segala keperluannya kita akan urus,” tambahnya.Masih minimnya angka anak-anak rimba yang mengi-kuti sekolah formal dikarenakan bermacam kendala. Mulai dari belum adanya dukungan penuh dari orang tua dan sekolah belum menjadi sebuah kebutuhan bagi mereka di Rimba. Terkadang, pendidikan harus tergan-jal dengan urusan-urusan mencari kebutuhan hidup dan keinginan untuk menikah di usia yang masih terbilang muda. (Elviza Diana)

Tertatih Menggapai Mimpi

Pertemuan anak-anak sekolah adat untuk memperkuat sema-ngat anak-anak untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik. (foto: Elviza Diana/dok. KKI WARSI)

Anak-anak rimba yang menempuh pendidikan formal, dengan halangan dan rintangan yang lumayan berat mereka yang tetap semangat untuk melanjutkan seko-lahnya. (foto: dok. KKI WARSI)

Page 25: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

SELINGAN SELINGAN4948

Orang Rimba memiliki tradisi dan budaya untuk menunjang kehidupan mereka. Sebagai ko-munitas yang menganut sistem semi nomadik,

kegiatan kesenian Orang Rimba juga mendukung pola kehidupan ini ditandai dengan kesederhanaan tradisi yang mereka miliki. Kesederahanaan ini lebih diartikan sebagai minimalnya alat-alat pendukung berkesenian Orang Rimba dan ini sebagai bentuk untuk kemudahan Orang Rimba malakukan tradisi berpindah tempat hidup atau melangun. Dalam tradisi Orang Rimba kesenian lebih banyak dengan menggunakan bunyi-bunyian dari suara se-bagai bentuk berbagai ekspresi, kesedihan, kegem-biraan bahkan kasmaran. Nyaris tidak ada alat musik atau instrumen lain yang digunakan dalam tradisi ini. Salah satu tradisi Orang Rimba dalam ritual perkawi-nan asalah Belalak gendang yaitu nyanyian pengiring tarian bagi Orang Rimba dalam acara Bebalai. Bebalai merupakan acara peresmian dalam tradisi pernikahan bagi orang rimba dalam bentuk kegiatan penyembahan kepada para Dewa dan para leluhur. Acara ini selalu di-meriahkan dengan hiburan belalak gendang. Kegiatan ini dulu berlangsung selama tujuh malam berturut-turut tanpa ada kegiatan rutinitas pada siang harinya. Nyanyian Belalak Gendang dilantunkan oleh dukun Orang Rimba yang mengiringi perempuan yang menari, yang disaksikan oleh anggota kelompok Orang Rimba yang melangsungkan pesta pernikahan. Lirik yang dilantukan pada kegiatan belalak gendang adalah sebagai berikut:

E... lalak gendang betih kecik memunting...A...dik a lalak gendang ini tando mainan...Ba...lai a lalak gendang tekang teku sepinggang...Nga...gho a lalak gendang ka melebun punco so...Li...ndang a lalak gendang ini tando mainan...Ba...lai a lalak gendang ka meletik jaghi...Ya...loi a lalak gendang sembak la loyang mandi di...Ya...mbun a lalak gendang sembak kalik di tunda i...Ya...nged a lalak gendang sembak ke mo...Le...bud punco selendang ini tando mainan...

Karena ada pergeseran budaya yang terjadi bagi orang rimba, kegiatan ini tidak selalu dihadirkan saat salah satu anggota dari kelompok Orang Rimba ada yang menikah. Menurut Mangku Basemen, tetua Orang Rimba TNBD kehidupan yang semakin sulit juga ber-dampak kepada tradisi-tradisi Orang Rimba. Begitu juga halnya dengan Bebalai yang tidak se-lalu dihadirkan saat salah seorang anggota kami meni-kah dan mengambil inisiatif untuk menjalankan tradisi ini dengan cara menikah dulu, peresmian atau bebalai

nya bisa menyusul dalam jangka waktu sanggup untuk menebus balai yang dibuat. Tradisi lain lainnya dalam bentuk nyanyian adalah bededikighun atau lebih sering terdengar nama berd-edekiron. Bededikighun merupakan salah satu bentuk nyanyian orang rimba untuk mengenang kisah-kisah dari para leluhur mereka. Kisah ini dinyanyikan dengan memakai bahasa nenek puyang mereka yang cukup sulit untuk dimengerti saat sekarang ini, hanya dapat dimengerti oleh para gheghayo (tetua) dalam kelompok orang rimba tersebut. Ada beberapa macam dedekiron diantaranya Dekigh Merajuk. Dekigh merajuk ini bertujuan mengenang pe-rubahan budaya karena pengaruh budaya luar yang mempengaruhi pola kehidupan orang rimba dulunya. Isi dikigh merajuk adalah sebagai berikut:

Le elih…elih… buang kami la to buang…He… la helang jedi to olah helang…Pancil he… umat to o…pancil…Sesuai kami di dengan bah…nyak dengan…Banyak mengenang la mo dah lagi lamo… e…Ibo la hati i oabo…o…hatiibo…Lah tu meniti air la mato…Mengenang tinggal ta akan tinggal…Le elih…elih…Taka po mengenang kami memencil duduk memencilHe…buang surang to o… buang…Pencil he urang to o… banci…

Berikutnya adalah dekigh membujuk, biasanya identik dengan merayu wanita supaya mau menjadi pendamping hidup yang dilantunkan oleh seorang laki-laki orang rimba kepada seorang perempuan yang disu-kainya. Kalimat yang dilantunkan dalam dekigh membu-juk addalah sebagai berikut:

Le elih…elih…La jangan mikul la pikul di anak mato…Menonton kami he… la helang kami to o…Urang tau banci apolagi dek manonton kami…De do to kisah di dalam banyak…he…Agu hung a…banyak la mengeletik di…Hujung jari kami… menyambut dendang hambo…Salih ndak… menonton alur he… Di timpukui…

Berikutnya ada dedekiron menyelukosi. Dekiron ini untuk mengungkapkan penyesalan karena perempuan menolak laki-laki, namun di kemudian ternyata si laki-laki bisa hidup lebih mapan. Dekigh menyelukosi yang isinya sebagai berikut:

Le elih…elih…Memecat silo kalau dak tingga lalui…Ditimpo halui…Tinggala amed tinggal la nyao…he…La tamokon kami… kilat he…Menghumbak a…kilat…Lah timad timad a la kalo kami he…Kuping memasang kuping… Jauh kudari jauh…Kalau la idak e…tasimpan kami he…Au la pauwak a risau la ai…kan to kali ghayo…Kalo kami duduk memencil …apokoh bilo ditimpo alui…Akan menyangkut …iman la kaidak…

Balasan tersebut tidak hanya melalui menyelukosi tapi juga berupa pantun yang dibalas oleh siperempuan yaitu:

Lain la nian be sama kiniBatunai batang bungo la baru ba bungoLain la nian kini lamun la sanak kiniBatua la badan guno la baru la paguno

Mengenal Tradisi Nyanyian Orang Rimba

Rimbun kurapo kayu la di jambiLa ngado sarimbun tungkal kayu la di tungkalRindu ku rapo pergi la ngadik la nan pergiNgado serindu tinggal kami nge tinggal

Dan menyeluko untuk induk bepak si perempuan:

Perahu singapur begendeng la di nguluPerahu la budak di jambi laju la di jambiLa jadi singapu yo dik lagu lama pu putihLayu selamat linjang lama la numpang melinjang

Perahu singapur laju la ke jambiPerahu la budak tidak labuh la bapak tidakLa gadi singapu yo dik lagu lama pu putihNumpang la ngadik linjang la kito la ma linang. (Yunus)

Mangku Basemen, salah satu tungganai Orang Rimba. Foto Heriyadi/Dok KKI WARSI

Page 26: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

5150KAJIAN KAJIAN

Menyelamatkan Hutan dengan Skema PHBM

Tulisan ini merupakan kajian singkat akan peran skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyara-kat (PHBM) dalam menekan laju deforestasi di

Propinsi Jambi dan Sumatera Barat. Sekaligus menghi-tung jumlah reduksi emisi karbon yang dihasilkan oleh skema PHBM tersebut. Kajian dilakukan terhadap 36 site PHBM damping-an KKI Warsi dengan luas total 62,837 hektar. Skema PHBM yang dipilih adalah Hutan Adat (HA), Hutan Desa (HD) dan Hutan Lindung Desa (HLD), karena meru-pakan skema PHBM dengan pengelolaan hutan alam. Sedangkan tahun perhitungan dilakukan antara tahun 2013 dan 2015, dimana dalam dua tahun tersebut KKI Warsi melakukan program, “Building REDD+ from the bottom up: Civil society as agent of change for a trans-formative and sustainable REDD+”.

Perubahan tutupan hutan

Hutan Adat (HA), Hutan Desa (HD) dan Hutan Lin-dung Desa (HLD), pada tahun 2013 kondisinya tidak 100% merupakan tutupan hutan alam. Dari 36 site ka-jian, tutupan hutan alam masing-masing PHBM berkisar antara 44% hingga 100%, dengan rata-rata tutupan hu-tan alam 83%, atau 55,909 hektar dari 62,837 hektar luas PHBM. Angka tersebut secara detil dapat dilihat pada tabel 1.

Berdasarkan kajian yang dilakukan WWF, dalam tahun 1995-2009 Pulau Sumatera kehilangan tutupan hutan sebesar 12.5 juta, dimana pada luas tutupan hu-tan tahun 1985 adalah 25.3 juta hektar sedangkan pada tahun 2009 hanya tersisa 12.8 juta hektar. Jika dirata-rata Pulau Sumatera kehilangan hutan sebesar lebih dari 500 ribu hektar per tahun atau 2.1%. Dalam kajian ini angka 2.1% per tahun dijadikan baseline data trend kehilangan hutan (deforestasi) yang mungkin terjadi di area PHBM. Berdasarkan interpretasi citra landsat tahun 2013 luas tutupan hutan di area PHBM adalah 55,909 hektar. Jika mengacu pada trend deforestasi sumatera 2.1% pertahun, maka di area PHBM seharusnya terjadi de-forestasi sebesar 2,324 hektar. Namun secara factual melalui skema PHBM deforestasi yang terjadi pada ta-hun 2015 hanya 825 hektar. Dengan kata lain skema PHBM mampu menyelamatkan hutan sebesar 1,499

hektar dalam 2 tahun, atau menekan laju deforestasi sebesar 65% per tahu. Angka tersebut secara detil dapat dilihat pada tabel 2.

Dari table 2 terlihat bahwa secara factual dalam ta-hun 2013-2015 rata-rata deforestasi adalah nol atau mampu menekan laju defostasi 100%. Namun ada juga area PHBM yang kehilangan hutan hingga 700 hektar, atau kemampuan menekan laju deforestasi minus hing-ga 281%. Umumnya deforestasi dengan jumlah besar tersebut terjadi di daerah gambut yang mudah terba-kar, dan terjadi kebakaran hebat di tahun 2015 lalu. Ini tentunya harus menjadi perhatian kita bersama untuk mengatasinya. Secara umum, table 2 pada kolom terakhir (% hutan terselamatkan) menunjukan kemampuan skema PHBM dalam menekan laju deforestasi. Angka 100% menju-kan bahwa hutan 100% bisa diselamatkan, kurang dari 100% berarti masih terjadi deforestasi, dan yang me-narik ada angka lebih dari 100% yang berarti skema PHBM mulai mampu menambah luas tutupan hutan.

Reduksi emisi karbon

Berdasarkan hasil kajian KKI Warsi yang dilakukan di Kesatuan Hutan Desa Landscape Bujang Raba Ka-bupaten Bungo Propinsi Jambi, jumlah karbon stok di hutan alam rata adalah 287 ton C/ha atau 1,316 ton CO2eq/ha. Angka tersebut dihasilkan hanya dari satu komponen karbon yakni tegakan pohon. Dari hasil analisa perubahan tutupan hutan tahun 2013-2015, trend deforestasi sumatera (2.1% pertahun), ser-ta jumlah rata-rata karbon stok hutan alam, kita dapat menghitung besaran emisi serta reduksi emisi karbon yang dihasilkan melalui skema PHBM. Hasil perhitung-an tersebut bisa dilihat pada tabel 3.

Dari table 3 kita bisa melihat bahwa trend emisi kar-bon yang seharus terjadi adalah sebesar 3,057,775 ton CO2eq, namun secara factual emisi yang terjadi hanya 1,085,111 ton CO2eq, dengan kata lain skema PHBM mampu menekan atau menghasilkan reduksi emisi kar-bon sebesar 1,972,664 ton CO2eq. Dari 36 site PHBM hanya 4 site masih menjadi penyumbang emisi karbon, 35 site mampu menekan emisi hingga angka 0 (nol), dan 1 site justru mampu menghasilkan serapan karbon.

Page 27: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

52 53KAJIAN KAJIAN

Gambar 1. Perubahan tutupan lahan di areal PHBM Propinsi Jambi tahun 2013-2015

Page 28: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016 ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

KAJIAN KAJIAN54 55

Penutup

Dari hasil kajian yang dilakukan terhadap skema PHBM di 36 site yang didampingi KKI Warsi, dalam tahun 2013-2015 skema PHBM mampu menekan laju emisi/deforestasi sebesar 65% per tahun. Persentasi tersebut setara dengan penyelamatan hutan selama 2 tahun sebesar 1,499 hektar atau reduksi emisi karbon sebesar 1,972,664 ton CO2eq. Yang menarik adalah dari 36 site PHBM hanya 4 site masih menjadi penyum-bang emisi karbon, 35 site mampu menekan emisi hing-ga angka 0 (nol), dan 1 site justru mampu menghasilkan serapan karbon. (Fredi Yusuf)

Referensi

Peta areal PHBM site dampingan KKI Warsi; Data base KKI Warsi

Forest cover; Landsat image analysis 2013 dan 2015 Carbon stock (1,316 ton CO2eq per hectares); PDD

The Bujang Raba PES Project 2015 Baseline Deforestation, Sumatera deforestation

1985-2009 (2.1% per year); Jajang Jamaludin. Going After the Big 14. Tempo Magazine. 22 April 2012. http://www.mongabay.co.id/tag/penebangan-liar/

Gambar 1. Perubahan tutupan lahan di areal PHBM Propinsi Sumatera Barat tahun 2013-2015

Page 29: ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016

ALAM SUMATERA, edisi MEI 2016