AL GHAZALI DAN FILSAFAT.docx
-
Upload
naufal-ilma-ssos-msi -
Category
Documents
-
view
157 -
download
0
Transcript of AL GHAZALI DAN FILSAFAT.docx
![Page 1: AL GHAZALI DAN FILSAFAT.docx](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082320/55cf99ac550346d0339e9679/html5/thumbnails/1.jpg)
AL-GHAZALI DAN FILSAFAT
Tahafut al - Falasifah
Paling tidak dua pertanyaan dapat diajukan untuk memulai kajian kitab Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filosof)
karya Imam al-Ghazali; 1. Apakah benar serangan al-Ghazali, seperti tertera dalam kitab Tahafut al-Falasifah, telah
membuat filsafat dan pemikiran rasional serta ilmu pengetahuan kemudian tidak berkembang di dunia Islam? 2.
Bagaimana sebenarnya sikap al-Ghazali terhadap filsafat?
Untuk mencari jawaban dua masalah tersebut terlebih dahulu dikaji apa sesungguhnya yang mendorong al-Ghazali
mempelajari filsafat dan kemudian menulis bukunya: Maqashid al-Falasifah dan Tahafut al-Falasifah. Juga dari kitabkitabnya,
terutama Tahafut al-Falasifah yang sedang dikaji ini, dapat diketahui inti kritik al-Ghazali terhadap para filosof.
Dari situ selanjutnya dapat diketahui secara induktif apakah betul bahwa filsafat tidak berkembang lagi di dunia Islam
setelah ada kritik keras al-Ghazali terhadap para filosof itu?
Seperti diketahui, sebelum melakukan kritiknya terhadap filsafat, al-Ghazali terlebih dahulu mempelajari filsafat (baca:
filsafat Yunani) secara khusus. Hasilnya, dia mengelompokkan filsafat Yunani menjadi tiga aliran, yaitu: 1) Dahriyyun
(mirip aliran materialisme), 2) Thabi’iyyun (mirip aliran naturalis), 3) Ilahiyyun (nirip aliran Deisme). Menurut al-
Ghazali, yang pertama, Dahriyyun, mengingkari keterciptaan alam. Alam senantiasa ada dengan dirinya sendiri, tak ada
yang menciptakan. Binatang tercipta dari sperma (nutfah) dan nutfah tercipta dari bintang, begitu seterusnya. Aliran ini
disebut oleh al-Ghazali sebagai kaum Zindik (Zanadiqah).
Aliran yang kedua, yaitu Thabi’iyyun, aliran yang banyak meneliti dan mengagumi ciptaan Tuhan, mengakui
adanya Tuhan tetapi justru mereka berkesimpulan “tidak mungkin yang telah tiada kembali”. Menurutnya,
![Page 2: AL GHAZALI DAN FILSAFAT.docx](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082320/55cf99ac550346d0339e9679/html5/thumbnails/2.jpg)
jiwa itu akan mati dan tidak akan kembali. Karena itu aliran ini mengingkari adanya akhirat, pahala-surga, siksa-neraka,
kiamat dan hisab. Menurut al-Ghazali, meskipun aliran ini meng-imani Tuhan dan sifat-sifat-Nya, tetapi juga temasuk
Zanadiqah karena mengingkari hari akhir yang juga menjadi pangkal iman.
Aliran yang ketiga, Ilahiyyun, ialah kelompok yang datang paling kemudian diantara para filosof Yunani. Tokoh-tokohnya
adalah Socrates, Plato (murid Socrates) dan Aristoteles (murid Plato). Menurut al-Ghazali, Aristoteles-lah yang berhasil
menyusuan logika (manthiq) dan ilmu pengetahuan. Tetapi masih terdapat beberapa hal dari produk pemikirannya yang
wajib dikafirkan sebagaimana wajib mengkafirkan pemikiran bid’ah dari para filosof Islam pengikutnya seperti
Ibnu Sina dan al-Farabi.
Menurut al-Ghazali, pemikiran filsafat Yunani seperti filsafat Socrates, Plato, dan Aristoteles, bahkan juga filsafat Ibnu
Sina dan al-Farabi tidak sesuai dengan yang dicarinya, bahkan kacau (tahafut). Malahan ada yang bertentangan dengan
ajaran agama, hal yang membuat al-Ghazali mengkafirkan sebagian pemikiran mereka itu.
Seperti tertulis dalam kitab Tahafut al-Falasifah, kritik al-Ghazali terhadap para filosof itu terdapat dalam dua puluh (20)
masalah yaitu: kelompok Pendapat para Filosof berisi tentang: 1. Alam qadim (tidak bermula); 2. Alama kekal (tidak
berakhir); 3. Tuhan tidak mempunyai sifat; 4. Tuhan tidak diberi sifat al-jins (jenis) dan al-fashl (diferensia); 5. Tuhan
tidak punya mahiyah (hakekat); 6. Tuhan tidak mengetahui juz`iyyat (perincian yang ada di alam); 7. Planet-planet
adalah binatang yang bergerak dengan kemauan; 8. Jiwa-jiwa planet mengetahui juz`iyyat; 9. Hukum alam tak berubah;
10. Jiwa manusia adalah substansi yang berdiri sendiri, bukan tubuh dan bukan ‘ardh (accident); 11. Mustahilnya
kehancuran jiwa manusia; 12. Tidak adanya pembangkitan jasmani; 13. Gerak planet-planet punya tujuan.
![Page 3: AL GHAZALI DAN FILSAFAT.docx](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082320/55cf99ac550346d0339e9679/html5/thumbnails/3.jpg)
Kelompok kedua adalah kelompok Ketidaksanggupan Para Filosof membuktikan hal-hal berikut: 14. Bahwa Tuhan
adalah pencipta alam dan alam adalah ciptaan Tuhan; 15. Adanya Tuhan; 16. Mustahilnya ada dua Tuhan; 17. Bahwa
Tuhan bukanlah tubuh; 18. Bahwa Tuhan mengetahui wujud lain; 19. Bahwa Tuhan mengetahui esensinya; 20. Alam
yang qadim mempunyai pencipta.
Menurut al-Ghazali, dari dua puluh masalah tersebut, tiga di antaranya membawa kekufuran, sedang yang lain dekat
dengan pendapat Muktazilah. (lihat: al-Munqidz min adh-Dhalal, hal. 15-16). Dan Muktazilah, kata al-Ghazali di tempat
lain, karena mempunyai pendapat demikian tidak mesti dikafirkan.
Al-Ghazali dan Kebenaran
Secara naluri, semenjak muda usia al-Ghazali telah terbiasa melakukan refleksi untuk mencari dan menemukan
kebenaran. Ia tidak begitu saja bertaklid kepada pendapat-pendapat yang dikatakan orang benar. Ada empat kelompok
aliran dalam Islam yang menjadikan sasaran kritik al-Ghazali dalam upayanya mencari dan menemukan kebenaran,
yaitu, pertama, kelompok teolog Islam, yang dikatakan sebagai kelompok intelektual dan pemikir. Kedua, kelompok
Bathiniyyah atau Ta’limiyyah, sebuah aliran dalam Syi’ah Isma’iliyyah yang selalu bergantung
kepada Imam al-Muntazhar dan mendapat pengajaran dari padanya secara ghaib. Ketiga, kelompok filosof, yang
dikatakan sebagai ahli logika dan mengutamakan akal. Keempat, kelompok ahli tasawuf, yang dikatakan sebagai
kalangan elitis Tuhan (khawwash al-hadrah).
Melihat bahwa semuanya sama-sama sedang menempuh jalan mencari kebenaran hakiki dan belum menemukannya, al-
Pondok Pesantren
http://www.pondokpesantren.net/ponpren Powered by Joomla! Generated: 11 March, 2013, 01:18
![Page 4: AL GHAZALI DAN FILSAFAT.docx](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082320/55cf99ac550346d0339e9679/html5/thumbnails/4.jpg)
Ghazali pernah selama dua bulan mengalami penyakit syak (keraguan). Tetapi dia tetap meneruskan pencariannya
setelah sembuh dari penyakitnya.
Sementara ahli menyatakan bahwa syak yang dialami al-Ghazali adalah syak dalam pengertian skeptik-metodik. Hampir
sama dengan teori Francis Bacon (1561-1626) yang menyatakan; ada dua syarat untuk memperoleh kebenaran
obyektif. Pertama; selalu menggunakan induksi, dan kedua; selalu menghindari “idola’ (ide yang
berprasangka) sebelum mengambil kesimpulan, yaitu dengan menguji teori yang berkembang sebelumnya dengan
menaruh keraguan. Maka, al-Ghazali menyelidiki secara mendalam keempat aliran tersebut sampai secara induktif
dapat menyimpulkan kebenaran hakiki.
Menurut al-Ghazali, kebenaran hakiki ialah pengetahuan yang diyakini betul kebenarannya tanpa sedikit pun keraguan.
Kata-nya: “Jika ku ketahui sepuluh adalah lebih banyak dari tiga dan orang yang mengatakan sebaliknya dengan
bukti seajaib tongkat yang dapat dirubah menjadi ular dan itu memang terjadi dan kusaksikan sendiri, hal itu tak akan
membuat aku ragu terhadap pengetahuan bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga; aku hanya akan merasa kagum
terhadap kemampuan orang tersebut. Sekali-kali hal itu tidak akan membuat aku ragu tehadap pengetahuanku”
(al-Ghazali, al-Munqidz min adh-Dhalal, hal. 4-5). Dengan kata lain, di samping mengandung pengertian tentang
keyakinan, al-Ghazali di pihak lain, membenarkan pengetahuan yang tidak empirik, yaitu pengetahuan yang didasarkan
pada intuisi, yang dimulai dengan kekaguman dan keraguan (skeptik-metodik).
Pokok Perdebatan al-Ghazali
Dasar pengetahuan terakhir inilah yang senantiasa mendorong al-Ghazali tidak dapat menerima kebenaran yang dibawa
![Page 5: AL GHAZALI DAN FILSAFAT.docx](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082320/55cf99ac550346d0339e9679/html5/thumbnails/5.jpg)
akal, karena akal hanyalah alat bantu untuk mencari kebenaran hakiki. Meski pun al-Ghazali sendiri juga berdalil dengan
akal ketika menilai kekacauan pemikiran filosof, termasuk filosof muslim. Banyak cacatan menarik dari doktor Suliaman
Dunya dalam mengedit kitab Tahafut al-Falasifah atau pun dalam mengedit kitab Tahafut al-Tahafut karya Ibnu Rusyd.
(Baca pengantar-pengantar dua kitab tersebut dalam beberapa edisinya, terutama edisi keempat untuk “Tahafut
al-Falasifah”).
Berikut ini percikan filsafat al-Ghazali dalam menolak pendapat filosof tentang bebarapa masalah. Pertama; masalah
qadim-nya alam, bahwa tercipta dengan tidak bermula, tidak pernah tidak ada di masa lampau. Bagi al-Ghazali yang
qadim hanyalah Tuhan. Selain Tuhan haruslah hadits (baru). Karena bila ada yang qadim selain Tuhan, dapat
menimbulkan paham:
1. Banyaknya yang qadim atau banyaknya Tuhan; ini syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan; atau
2. Ateisme; alam yang qadim tidak perlu kepada pencipta.
Memang, antara kaum teolog dan filosof terdapat perbedaan tentang arti al-ihdats dan qadim. Bagi kaum teolog al-ihdats
mengandung arti menciptakan dari “tiada" (creatio ex nihilo), sedang bagi kaum filosof berarti menciptakan dari
“ada”. Kata Ibnu Rusyd, ‘adam (tiada) tidak akan bisa berubah menjadi wujud (ada). Yang terjadi
adalah “wujud’ berubah menjadi “wujud” dalam bentuk lain. Oleh karena itu, materi asal,
yang dari padanya alam disusun, mesti qadim. Dan materi pertama yang qadim ini berasal dari Tuhan melalui al-faidh
(pancaran). Tetapi menurut al-Ghazali, penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya Pencipta. Oleh sebeb itu,
alam pasti “baru” (hadits) dan diciptakan dari “tiada”. (al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, hal. 9
![Page 6: AL GHAZALI DAN FILSAFAT.docx](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082320/55cf99ac550346d0339e9679/html5/thumbnails/6.jpg)
dan seterusnya).
Dalam pemikiran al-Ghazali, sewaktu Tuhan menciptakan alam, yang ada hanyalah Tuhan. Disinilah Sulaiman Dunya
mencacat al-Ghazali sebagai baina al-falasifah wa al-mutakallimin, karena secara substansial al-Ghazali berfikir sebagai
teolog, tetapi secara instrumental berfikir sebagai filosof. Tetapi, karena itu juga, di lain pihak justru al-Ghazali dinilai
“kacau” cara berfikirnya oleh Ibn Rusyd (Tahafut al-Tahafut). Apalagi tampak jelas kekacauan al-Ghazali
itu, kata Ibnu Rusyd, ketika berbicara tentang kebangkitan jasmani yang terlihat paradoksal antara al-Ghazali sebagai
teolog dan filosof dan sebagai sufi.
Kedua, mengenai Tuhan tidak mengetahui juz`iyyat. Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa pertentangan antara al-Ghazali dan
para filosof tentang hal ini timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Jelas bahwa
kekhususan (juz`iyyat) diketahui manusia melalui panca indera, sedangkan keumuman (kulliyah) melalui akal. (Baca Ibnu
Rusyd, Tahafut al-Tahafut, ed. Sulaiman Dunya, Cairo, Dar al-Maarif, 1964, hal. 711). Penjelasan Ibnu Rusyd
selanjutnya: Tuhan bersifat immateri yang karenanya tidak terdapat panca indera bagi Tuhan untuk pengetahuan
juz`iyyat. Selanjutnya, pengetahuan Tuhan bersifat qadim, sedang pengetahuan manusia bersifat baru. Pengetahuan
Tuhan adalah sebab, sedang pengetahuan manusia tentang kekhususan adalah akibat. Kaum filosof, kata Ibnu Rusyd,
tidak mengatakan bahwa pengetahuan Tuhan tentang alam bersifat juz`i atau pun kulli. (Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut,
hal. 702-703). Begitulah tanggapan Ibnu Rusyd untuk menanggapi pendapat al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah itu.
Ketiga, tentang kebangkitan jasmani. Kritik al-Ghazali bahwa para filosof tidak percaya adanya kebangkitan jasmani,
menurut Ibnu Rusyd salah sasaran. Yang benar, kata Ibnu Rusyd, bahwa para filosof tidak menyebut-nyebut hal itu. Ada
![Page 7: AL GHAZALI DAN FILSAFAT.docx](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082320/55cf99ac550346d0339e9679/html5/thumbnails/7.jpg)
tulisan mereka yang menjelaskan tidak adanya kebangkitan jasmani dan ada pula yang sebaliknya. (Ibnu Rusyd,
Tahafut al-Tahafut, hal. 873-874).
Pondok Pesantren
http://www.pondokpesantren.net/ponpren Powered by Joomla! Generated: 11 March, 2013, 01:18
Di pihak lain, Ibnu Rusyd menuduh bahwa apa yang ditulis al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah bertentangan dengan
apa yang ditulisnya mengenai tasawwuf. Dalam buku pertama (hal. 28, dst) semua orang Islam menyakini kebangkitan
jasmani. Sedang dalam buku kedua ia mengatakan, pendapat kaum sufi yang ada nanti ialah kebangkitan rohani dan
bukan kebangkitan jasmani tidak dapat dikafirkan (Baca Ibnu Rusyd, Fash al-Maqal, hal. 16-17). Padahal al-Ghazali
mendasarkan pengkafirannya kepada ijma’ ulama.
Tiga pemikiran itulah yang menjadi bahasan utama al-Ghazali dalam kitabnya Tahfut al-Falasifah, dan selanjutnya ia
mengkafirkan para filosof lantaran pendapat mereka tentang tiga hal tersebut berbeda dengan pemikirannya. Tindakan
pengkafiran inilah yang dianggap mempengaruhi dan membuat orang Islam enggan bahkan takut mempelajari filsafat,
dus menjadi biang kemunduran pemikiran di kalangan umat Islam.
Catatan Penting
Tentu tidak bisa begitu saja membenarkan tuduhan demikian. Dengan menyimak secara seksama Tahafut al-Falasifah
akan dapat terlihat bahwa tidak ada pertentangan yang mendasar atau prinsipil antara al-Ghazali dan para filosof,
melainkan hanyalah beda interprestasi tentang ajaran-ajaran dasar Islam, bukan karena diterima atau ditolaknya ajaranajaran
dasar itu sendiri. Jadi hanyalah perbedaan ijtihad yang tidak membawa kekafiran. Karena itu Ibnu Rusyd sendiri
menyatakan, pengkafiran al-Ghazali terhadap Ibnu Sina dan al-Farabi bukan pengkafiran absolut karena dalam al-
Tafriqah, al-Ghazali menegaskan bahwa pengkafiran atas dasar ijma’ tidak bersifat mutlak.
![Page 8: AL GHAZALI DAN FILSAFAT.docx](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082320/55cf99ac550346d0339e9679/html5/thumbnails/8.jpg)
Begitu pula sejarah membuktikan bahwa memang di kalangan Islam Sunni bagian Timur yang berpusat di Baghdad,
filsafat sesudah al-Ghazali tidak berkembang. Tetapi di dunia Islam bagian Barat yang berpusat di Cordova, filsafat justru
berkembang baik dan melahirkan tokoh-tokoh seperti Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, dan Ibnu Rusyd.
Jadi, jelaslah sudah tidak berkembangnya filsafat di abad ke-XIII bukan tanggung jawab kitab Tahafut al-Falasifah.
Apalagi menurut komentar Sulaiman Dunya dalam mengedit Tahafut al-Falasifah, kitab itu lebih filosofis dan rasional dari
pada pemikiran para filosof yang diserangnya. Artinya, kitab itu justru menghidupkan filsafat di dunia Islam.
Kalau begitu, andaikata benar bahwa filsafat tidak berkembang di dunia Islam khususnya di dunia Islam Sunni, maka
sebabnya harus dicari di luar kitab Tahafut al-Falasifah. Lebih-lebih kitab ini hampir tak terbaca oleh mayoritas umat
Islam Sunni, termasuk Indonesia, misalnya. Mungkin sebab itu terletak pada tasawwuf yang menurut pemikiran al-
Ghazali adalah jalan yang sebetulnya untuk mencari kebenaran hakiki dengan mengutamakan daya rasa (intuisi) dan
meremehkan akal. Kitab tasawwuf al-Ghazali Ihya` Ulumuddin yang sangat populer justru sangat besar pengaruhnya
terutama di dunia Islam Sunni.
Hal yang juga “membebaskan” kitab Tahafut al-Falasifah adalah karena kitab ini, seperti dikatakan DR.
Sulaiman Dunya—dengan mengutip pendapat Aristoteles bahwa orang yang mengingkari metafisika adalah
berfilsafat metafisis—adalah kitab filsafat juga, setidaknya falsafi al-maudhu’i (bertema filsafat) kalau bukan
falsafi al-ghayah (bertujuan filsafat). Di samping itu al-Ghazali dalam kitab itu bersikap sangat hati-hati untuk
menggambarkan pemikiran para filossof yang hendak dikritiknya (Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, hal. 24-25). Bila kitab
itu dibaca dan dipelajari, justru dapat membangkitkan gairah untuk mempelajari filsafat dan berfilsafat (berfikir logis,
![Page 9: AL GHAZALI DAN FILSAFAT.docx](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082320/55cf99ac550346d0339e9679/html5/thumbnails/9.jpg)
filosofis dan kritis) dalam memahami agama. Maka, sudah saatnya kitab itu dibaca dan dipelajari dengan baik di
lembaga pendidikan-pendidikan Islam, seperti pesantren sehingga menghasilkan intelektual yang produktif dan tidak
konsumtif, di samping untuk mengimbangi pemahaman tasawwuf al-Ghazali, sehingga melahirkan pemahaman yang
utuh terhadap pemikiran dan karya-karya al-Ghazali. Semoga. (nia)
Tentang Kitab;
Judul
: Tahafut al-Falasifah Penulis : Imam al-Ghazali Editor : DR. Sulaiman Dunya Penerbit
: Mesir - Dar al-Ma’arif Cetakan : IV Tebal : 345 halaman
Pondok Pesantren
http://www.pondokpesantren.net/ponpren Powered by Joomla! Generated: 11 March, 2013, 01:18