akuakultur berkelanjutan

21
AKUAKULTUR BERKELANJUTAN (Tugas Mata Kuliah Akuakultur Berkelanjutan) Oleh : M. Nurul Fajri 1214111044

description

The Sustainable Aquaculture

Transcript of akuakultur berkelanjutan

Page 1: akuakultur berkelanjutan

AKUAKULTUR BERKELANJUTAN(Tugas Mata Kuliah Akuakultur Berkelanjutan)

Oleh :M. Nurul Fajri

1214111044

JURUSAN BUDIDAYA PERAIRANFAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG2015

Page 2: akuakultur berkelanjutan

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

DAFTAR GAMBAR............................................................................................iii

I. PENDAHULUAN...............................................................................................1

1.1. Latar Belakang........................................................................................................1

1.2. Tujuan.....................................................................................................................2

II. PEMBAHASAN................................................................................................3

2.1. Daya Dukung Lingkungan......................................................................................3

2.1.1. Definisi.............................................................................................................3

2.1.2. Faktor Penentu.................................................................................................3

2.1.3. Analisis.............................................................................................................4

2.2. Dampak Negatif Akuakultur Terhadap Lingkungan................................................5

2.2.1. Limbah Nitrogen..............................................................................................5

2.2.2. Limbah H2S......................................................................................................6

2.2.3. Permasalahan Tepung Ikan dalam Pakan.........................................................6

2.2.4. Dampak Lingkungan Lain................................................................................6

2.2.5. Dampak Sosial.................................................................................................7

2.3. Hubungan Akuakultur dan Iklim.............................................................................7

2.3.1 Akuakultur Tropis.............................................................................................8

2.3.2 Akuakultur Sub-Tropis......................................................................................8

2.4 Model Integrated Multitrophic Aquaculture (IMTA)...............................................8

III. KESIMPULAN..............................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA

ii

Page 3: akuakultur berkelanjutan

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Sketsa Sistem Integrated Multi-Trophic Aquaculture (IMTA).............9

iii

Page 4: akuakultur berkelanjutan

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki tradisi panjang mengenai akuakultur,

terutama akuakultur perairan tawar dan payau. Perkembangan akuakultur di

sekitar tahun 80-an masih bersifat minim teknologi dan lebih berorientasi pada

perluasan lahan budidaya atau sistem ekstensif. Pengembangan marikultur mulai

dilakukan dengan peningkatan produksi jenis-jenis udang dan ikan laut akibat

dilarangnya penggunaan trawl sebagai alat tangkap oleh pemerintah sekitar tahun

1980-1981. Posisi geografik yang strategis dan luasnya perairan antar pulau

membuat Indonesia menjadi salah satu negara dengan potensi prospek akuakultur

terbesar di dunia (Yusuf, 1995).

Akuakultur merupakan suatu kegiatan produksi biota akuatik yang bertujuan

untuk tujuan komersial. Aktivitas akuakultur dapat meliputi pembenihan,

pendederan, pembesaran, pemanenan, handling dan transportasi, serta pengolahan

dan pemasaran. Usaha di bidang akuakultur sangat menjanjikan dan memiliki

potensi yang besar untuk dijadikan suatu usaha bertingkat industri (Ahmed &

Lorica, 2002). Akuakultur saat ini merupakan salah satu sistem pangan yang

sangat pesat pertumbuhannya di dunia. Pada tahun 1997, produksi berbagai

macam organisme akuakultur telah dibudidayakan di dunia seperti ikan, udang,

dan moluska mencapai 24,4 juta ton (Naylor, et al., 2000).

Peningkatan produksi dalam akuakultur yang terus berkembang menyebabkan

terjadinya ekspansi lahan tanah dan air yang semakin meluas. Penggunaan

teknologi dan intensifitas tinggi pada budidaya ikan dan udang menyebabkan

peningkatan input air, pakan, pupuk, dan bahan-bahan kimia lainnya. Akibatnya,

akuakultur kini dianggap berpotensi besar menjadi polutan bagi lingkungan

perairan serta menyebabkan degradasi pada lahan basah (Anthony & Philip,

1

Page 5: akuakultur berkelanjutan

2006). Oleh karena itu, perlu dilakukan analisa lebih mendalam mengenai dampak

lingkungan yang diberikan sektor akuakultur, serta menemukan solusi untuk

menangani berbagai permasalahan tersebut sebagai bagian dari mendukung

terlaksananya akuakultur yang berkelanjutan.

1.2. Tujuan

Adapun tujuan dari ulasan ini adalah mempelajari efek lingkungan dari aktivitas

akuakultur dan menangani permasalahan lingkungan tersebut untuk terciptanya

akuakultur berkelanjutan.

2

Page 6: akuakultur berkelanjutan

II. PEMBAHASAN

2.1. Daya Dukung Lingkungan

2.1.1. Definisi

Berdasarkan UU no. 23 tahun 1997, pengertian (Konsep) daya dukung lingkungan

hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan

manusia dan makhluk hidup lain. Daya dukung lingkungan merupakan batas

teratas dari pertumbuhan suatu populasi saat jumlah populasi tidak dapat

didukung lagi oleh sarana, sumber daya dan lingkungan yang ada (Mahmudi,

2005).

2.1.2. Faktor Penentu

Daya dukung lingkungan berkelanjutan ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu

faktor biofisik dan faktor sosial budaya. Kedua kelompok faktor ini saling

mempengaruhi satu sama lain :

a) Faktor biofisik : yaitu faktor yang bersifat kesesuaian lahan suatu aktivitas

pembangunan terhadap faktor lingkungan. Faktor ini menilai apakah aktivitas

akuakultur sesuai dilakukan di tempat tersebut atau tidak. Hal ini lebih

banyak berorientasi pada keadaan fisik suatu tempat, misalnya suhu udara,

pH air, ketinggian tanah, kemiringan tanah, kepadatan substrat, kekuatan arus

air, kekuatan daya tampung lingkungan, keberadaan hewan pengganggu,

ketersediaan sumber energi, dan berbagai faktor biofisik lainnya (Mahmudi,

2005).

b) Faktor sosial budaya : yaitu faktor yang menilai apakah suatu aktivitas

pembangunan dapat diterima oleh masyarakat atau tidak. Faktor ini

mempunyai peranan yang sangat penting, bahkan menentukan dalam daya

dukung yang berkelanjutan. Pada akhirnya, manusia yang menentukan

apakah pembangunan akan berjalan terus atau terhenti. Penerimaan

3

Page 7: akuakultur berkelanjutan

masyarakat terhadap suatu aktivitas pembangunan berpengaruh terhadap

keberlanjutan aktivitas tersebut. Aktivitas yang merugikan justru akan

menimbulkan keresahan bagi orang-orang sekitar yang merasa terganggu

akibat aktivitas tersebut, misalnya limbah hasil akuakultur yang menimbulkan

pencemaran udara (Putri, Priadi, & Sriati, 2014).

Faktor-faktor yang dapat menentukan daya dukung lingkungan dalam kondisi

baik atau tidak antara lain, adalah ketersedian bahan baku dan energi, akumulasi

limbah dari aktivitas produksi (termasuk manajemen limbahnya) dan tentu

interaksi antar makhluk hidup yang ada di dalam lingkungan. Dengan kata lain

daya dukung harus mampu mencakup daya dukung lingkungan fisik, biologi dan

persepsi atau psikologis (Sachoemar, 2006). 

2.1.3. Analisis

Tahapan analisis daya dukung sebenarnya sangat fleksibel dan dinamis, artinya

langkah yang dapat ditempuh untuk menganalisis daya dukung sangat beragam

dan tidak ada yang tetap (Arifin, Bohari, & Arlyza, 2014). Menurut Tri Supratno

(2006) tingkat kesesuaian lahan budidaya ikan dibagi menjadi empat kelas, yaitu :

a. Sangat Sesuai (S1) : Daerah yang sangat potensial dan tidak mempunyai faktor

penghambat untuk pengembangannya.

b. Sesuai (S2) : Daerah yang cukup potensial karena memenuhi persyaratan

minimal untuk pengembangan budidaya.

c. Sesuai Bersyarat (S3) :Daerah kurang potensial yang memerlukan perlakuan

khusus untuk meningkatkan kemampuannya dalam pemanfaatan lahan.

d. Tidak Sesuai (N) :Daerah tidak potensial yang tidak dapat dikembangkan

karena terlalu banyak penghambat.

Tingkat kesesuaian lahan ini membutuhkan nilai (value) untuk keperluan analisis.

Dalam hal ini dapat kita misalkan sebagai berikut: S1: 10, S2: 6, S3: 3, dan N: 0.

Penganalisisan kesesuaian lahan dapat menggunakan rumus:

TKL= Σ(S1 + S2 + S3)

Σparameter yang diukur

4

Page 8: akuakultur berkelanjutan

Ket: TKL= Tingkat Kelayakan Lahan

S1: 10; S2: 6,; S3: 3; dan N: 0.

Hasil dari perhitungan dijadikan persentase berdasarkan nilai kesesuaian yang

dimisalkan di atas. Indikator penilaian adalah sebagai berikut:

S1= 80-100 %; S2= 60-79 %; S3= 40-59 %; N= <40 %

Nilai di atas dapat disesuaikan kembali dengan situasi, sehingga nilai tersebut

bukanlah sebuah patokan yang pasti (Supratno, 2006).

2.2. Dampak Negatif Akuakultur Terhadap Lingkungan

2.2.1. Limbah Nitrogen

Pemanfaatan perairan danau/waduk untuk kegiatan budidaya ikan di KJA telah

memberikan dampak positif yaitu terciptanya sumber pertumbuhan ekonomi yang

dapat meningkatkan kesejahteraan dari pelaku usaha budidaya serta penduduk

sekitar danau secara berkelanjutan. Sifat perairan danau yang masih dianggap

sebagai common property dan open access menyebabkan pertumbuhan KJA di

berbagai tempat berkembang sangat pesat dan cenderung tidak terkontrol dan tak

terkendali (Ahmed & Lorica, 2002). Maraknya keramba apung juga menghasilkan

permasalahan tersendiri bagi lingkungan yaitu akan menghasilkan sejumlah

limbah organik (terutama yang mengandung unsur nitrogen dan fosfor) yang besar

akibat pemberian pakan yang tidak efektif dan efisien sehingga terjadi sisa pakan

yang menumpuk di dasar perairan (Anthony & Philip, 2006).

Pada saat jumlahnya melampaui batas tertentu, limbah tersebut akan

menyebabkan penurunan kualitas perairan yang pada akhirnya mempengaruhi

hewan yang dipelihara. Sisa pakan dan metabolisme dari aktifitas pemeliharaan

ikan dalam KJA serta limbah domestik yang berasal dari kegiatan pertanian

maupun dari limbah rumah tangga menjadi penyebab utama menurunnya fungsi

ekosistem danau yang berakhir pada terjadinya pencemaran danau, mulai dari

eutrofikasi yang menyebabkan ledakan (blooming) fitoplankton dan gulma air

seperti enceng gondok (Eichornia crassipes), upwelling dan lain-lain yang yang

dapat mengakibatkan organisme perairan (terutama ikan-ikan budidaya) serta

5

Page 9: akuakultur berkelanjutan

diakhiri dengan makin menebalnya lapisan anaerobik di badan air danau (FAO,

2015).

2.2.2. Limbah H2S

Pada bagian dasar perairan darat dan pantai dimana dekomposisi bahan organik

yang mengandung sulfur (Biasanya bersifat dekomposisi anaerobik), kadar

hidrogen sulfida (H2S) dapat sangat tinggi. Gas H2S akan lebih tinggi pada

perairan yang terkontaminasi kotoran dan polutan. Gas ini dapat dideteksi

keberadaannya dengan karakteristiknya yang bau dan sering berasosiasi dengan

lumpur hitam dalam kondisi anoksik. Gas ini sangat toksik bagi ikan, sehingga

pelaku akuakultur harus mengatasi sumber permasalahannya yaitu akumulasi

kotoran. Akumulasi gas H2S umumnya terjadi pada kolam yang berdasar tanah,

seperti tambak udang (Anthony & Philip, 2006).

2.2.3. Permasalahan Tepung Ikan dalam Pakan

Pesatnya perkembangan akuakultur membuat munculnya sebuah isu penting yang

perlu dibahas, yaitu ‘Fish Meal Issue’ atau isu tepung ikan. Beberapa kegiatan

akuakultur yang populer antara lain budidaya udang dan salmon merupakan

contoh kegiatan akuakultur yang banyak membutuhkan tepung ikan dalam pakan

dalam jumlah yang banyak. Sumber tepung ikan ini tiada lain merupakan hasil

dari tangkapan ikan di alam. Produksi tepung ikan dunia yang saat ini digunakan

oleh industri akuakultur telah mencapai 35% dan diperkirakan terus meningkat

pengunaannya (FAO(2), 2015).

Pakan telah menjadi tantangan utama dalam akuakultur mengingat sumber protein

dalam pakan saat ini masih bergantung pada tepung ikan. Untuk mengurangi

tekanan terhadap sumberdaya ikan laut (sebagai sumber tepung ikan), perlu untuk

ditelaah kembali mengenai alternatif sumber protein baru dalam pakan yang tidak

bersinggungan dengan kebutuhan manusia (Cho & Bureau, 2001).

2.2.4. Dampak Lingkungan Lain

Limbah lain adalah bahan-bahan kimia (antibiotik, desinfektan dll. yang

digunakan usaha akuakultur). Situasi terkini memang banyak usaha budidaya

6

Page 10: akuakultur berkelanjutan

yang telah mengurangi efluen dengan sistem resirkulasi atau manajemen pakan

yang lebih baik. Pengunaan bahan-bahan kimia pun tidak sebanyak 10 tahun silam

mengingat berkembangnya teknologi akuakultur (FAO, 2015).

Penyakit ikan merupakan isu yang penting mengingat kompleksnya permasalahan

penyakit. Penyakit atau pathogen ikan dapat berpindah dari ikan budidaya ke ikan

di alam maupun sebaliknya. Pathogen pun kini menyebar dikarenakan translokasi

ikan akibat akuakultur, perdagangan dsb. Penyakit ikan pun menjadi lebih

berbahaya arena pengaruh obat-obatan. Introduksi spesies ikan eksotik juga

bagian dari lingkaran permasalahan dalam bidang akuakultur karena spesies yang

feral (kabur) ke perairan bisa saja menjadi masalah pelik dan mengganggu

keseimbangan ekosistem (Yusuf, 1995).

2.2.5. Dampak Sosial

Perikanan budidaya yang diusahakan masyarakat pada suatu wilayah tentu akan

disertai pengaruh terhadap lingkungan sekitar dan kondisi sosial ekonomi

masyarakat. Pada satu sisi, adanya usaha perikanan pada suatu wilayah akan

menjadi sumber pendapatan tambahan serta membuka lapangan pekerjaan baru

bagi masyarakat, namun di sisi lain usaha perikanan dapat mempengaruhi keadaan

lingkungan sekitar yang dahulu seimbang menjadi terganggu akibat dari beberapa

proses budidaya itu sendiri. kerusakan lingkungan akibat masuknya usaha

budidaya perikanan darat umumnya diawali oleh pembukaan lahan yang

diperuntukkan untuk usaha budidaya yang tidak memperhatikan aspek lingkungan

sekitar serta rangkaian proses budidaya yang dilakukan tidak tepat sehingga

mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan sekitar. Hal ini dapat

mempengaruhi penerimaan masyarakat terhadap usaha tersebut sehingga usaha

akuakultur tidak akan berjalan dengan baik dan berkelanjutan (Putri, Priadi, &

Sriati, 2014).

2.3. Hubungan Akuakultur dan Iklim

Sejumlah spesies akuakultur dibudidayakan sesuai dengan iklim dari wilayah

tersebut. Terdapat organisme yang hanya dapat atau lebih utama dibudidayakan di

musim-musim tertentu, seperti salmon, rumput laut, dan udang kuruma. Hal

7

Page 11: akuakultur berkelanjutan

tersebut menunjukkan bahwa aktivitas akuakultur berhubungan erat dengan iklim

wilayahnya. Pada umumnya, hal ini dipengaruhi oleh fluktuasi suhu yang terjadi.

Adapun iklim dunia terbagi menjadi dua, yaitu iklim tropis dan iklim sub tropis.

2.3.1 Akuakultur Tropis

Akuakultur di wilayah beriklim tropis biasanya paling banyak dilakukan di dunia.

Iklim tropis dengan fluktuasi suhu yang cenderung tidak tinggi dan lebih stabil

membuat organisme lebih mudah dibudidayakan tanpa harus takut adanya efek

negatif dari cuaca (Iwama, 1991). Selain faktor suhu, lamanya cahaya matahari

bersinar per hari dalam setahun selalu sama dan tidak memiliki perbedaan yang

signifikan (12 jam). Mayoritas spesies akuakultur dapat dibudidayakan di iklim

tropis, baik ikan air tawar, payau, maupun laut. Namun, pemanasan global saat ini

mulai mempengaruhi iklim tropis dunia. Terjadinya perubahan iklim baik secara

nasional maupun global (La Nina dan El Nino) sangat mempengaruhi pola

budidaya, terutama komoditas rumput laut seperti Kappaphycus alvarezii

(Radiarta, Erlania, & Rusman, 2013).

2.3.2 Akuakultur Sub-Tropis

Sejumlah negara maju di wilayah sub tropis mulai melakukan akrivitas akuakultur

beberapa spesies ikan perairan dingin dan hangat, seperti tuna, salmon, flounder,

dan sea bream (Satoshi, 1988). Budidaya ikan-ikan tersebut biasanya dilakukan

didalam ruangan yang telah memiliki rekayasa teknologi yang mumpuni. Iklim

sub tropis terkenal dengan fluktuasi suhunya yang beragam tiap tahun, sehingga

sangat jarang suatu organisme dibudidayakan dalam satu periode penuh di

lingkungan terbuka (Petrell & Alie, 1996).

2.4 Model Integrated Multitrophic Aquaculture (IMTA)

IMTA (Integrated Multi Trophic Aquaculture) adalah suatu metode untuk

mengoptimalkan hasil perikanan melalui pemanfaatan sistem budidaya dengan

pendekatan alamiah ekosistem laut sehingga mengopimalkan hasil, efesiensi

pakan dan diversifikasi produk (Váradi, 2012). IMTA adalah salah satu bentuk

dari budidaya  laut dengan memanfaatkan penyediaan pelayanan ekosistem oleh

8

Page 12: akuakultur berkelanjutan

organisme trofik rendah (seperti kerang dan rumput laut) yang disesuaikan

sebagai mitigasi terhadap limbah dari organisme tingkat trofik tinggi

(seperti  ikan) IMTA diterapkan sebagai solusi terhadap mitigasi limbah yang

dikeluarkan dalam marikultur dan peningkatan efesiensi dari pakan sehingga tidak

mencemari lingkungan (Wibisono, 2011).

Penerapan IMTA di Indonesia memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan,

mengingat areal budidaya yang masih sangat luas untuk dimanfaatkan serta jenis

organisme ekosistem skala kecil sangat banyak dan beragam Pengembangan

IMTA dapat dilaksanakan pada daerah budidaya laut yang memanfaatkan

karamba jaring apung dan karamba jaring tancap. Salah satu tempat yang telah

menerapkannya dan terbukti berhasil adalah Bali terutama pada bagian teluk yang

memiliki arus yang tenang dan sesuai untuk budiddaya KJA. Sistem IMTA

yang  diterapkan  di Bali menggunkan  ikan,  rumput  laut,  oyster  pada  budidaya

KJA dan memberikan hasil baik serta optimalisasi dalam pemanfaatan pakan

(Váradi, 2012).

Gambar 1. Sketsa Sistem Integrated Multi-Trophic Aquaculture (IMTA) (Váradi,

2012)

Keunggulan IMTA di antaranya dapat mereduksi limbah yang dihasilkan dari

budidaya laut, efisiensi pakan, ramah lingkungan, serta mampu mengoptimalkan

diversifikasi perikanan dalam waktu yang sama. Budidaya ini sudah berjalan di

negara-negara seperti Kanada dan Cina. Penerimaan masyarakat umum dan

industri terhadap penerapan IMTA pada budidaya salmon Atlantik lebih besar

9

Page 13: akuakultur berkelanjutan

daripada budidaya salmon monokultur, masing-masing sekitar 90% dan 89%

sedangkan untuk monokultur hanya sekitar 60% untuk kedua pihak (Petrell &

Alie, 1996).

10

Page 14: akuakultur berkelanjutan

III. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari ulasan pustaka ini adalah berikut :

Akuakultur merupakan kegiatan yang memiliki efek terhadap lingkungan, seperti

penyumbang limbah nitrogen, H2S, dan limbah lain. Hal tersebut harus ditangani

dengan sistem akuakultur yang baik yang berorientasi pada teknologi sehingga

dapat meminimalisir efek negatif yang ditimbulkan.

11

Page 15: akuakultur berkelanjutan

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, M., & Lorica, M. (2002). Improving developing country food security through aquaculture development—lessons from Asia. Food Policy , 27, 125-141.

Anthony, S., & Philip, R. (2006). Bioremediation in Shrimp Culture Systems. WorldFish Center Quarterly , 29 (3), 62-66.

Arifin, T., Bohari, R., & Arlyza, I. (2014). Analisis kesesuaian ruang berbasis budidaya laut di pulau-pulau kecil Makassar : Aplikasi sistem informasi geografis. Forum Geografi , 28 (1), 91-102.

Cho, C., & Bureau, D. (2001). A review of diet formulation strategies and feeding systems to reduce excretory and feed wastes in aquaculture. Aquaculture Research , 32, 349-360.

FAO. (2015, 10 10). Waste management of fish and fish products. Retrieved 11 16, 2015, from Food and Agriculture Organization of the United Nations: http://www.fao.org/fishery/topic/12326/en

FAO(2). (2015). Fish Meal. Retrieved 11 16, 2015, from FAO Corporate Document Repository: http://www.fao.org/wairdocs/tan/x5926e/x5926e01.htm

Iwama, G. (1991). Interaction between aquaculture and the environment. Critical Reviews in Environmental Control , 21 (2), 177-216.

Mahmudi, M. (2005). Produktivitas Perairan. Malang: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya.

Naylor, R., Goldburg, R., Primavera, J., N.Kautsky, Beveridge, M., Clay, J. (2000). Effects of Aquaculture in world fish supplies. Nature , 405, 1017-1024.

Petrell, R., & Alie, S. (1996). Integrated cultivation of salmonids and seaweeds in open sistems. Hydrobiologia , 398, 469-472.

Putri, T., Priadi, D., & Sriati. (2014). Dampak usaha perikanan budidaya terhadap kondisi lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat pada lahan pasang surut Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia , 2 (1), 43-54.

Page 16: akuakultur berkelanjutan

Radiarta, I., Erlania, & Rusman. (2013). Pengaruh iklim terhadap musim tanam rumput laut Kappaphycus alvarezii di Teluk Gerupuk Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. J. Ris. Akuakultur , 8 (3), 453-464.

Sachoemar, S. (2006). Analisis daya dukung lingkungan perairan marikultur Batam Estet (BME) Batam. Jurnal Hidrosfir , 1 (2), 52-60.

Satoshi, M. (1988). Aquaculture development in Japan. Aquaculture development in Southeast Asia , 1, 39-71.

Supratno, T. (2006). Evaluasi Lahan Tambak Pesisir Jepara Untuk Pemanfaatan Budidaya Ikan Kerapu. Semarang: Universitas Diponegoro.

Váradi, L. (2012). Newly discovered form of aquaculture: Integrated Multitrophic Aquaculture (IMTA). NACEE Workshop on some specific issues of freshwater aquaculture (pp. 1-20). Rétimajor: Hungarian Aquaculture Association.

Wibisono, R. (2011). Aplikasi IMTA. Bogor: Institur Pertanian Bogor.

Yusuf, D. (1995). Aquaculture in Indonesia. Proceedings of the Seminar-Workshop on Aquaculture Development in Southeast Asia, Iloilo City, Philippines, 26-28 July, 1994 (pp. 109-115). Ilolio City: The Philippines.