Aku, Humor, Dan Takdir

20
Aku, Humor, Takdir: Representasi ’65-66 Dalam Komik Indonesia GOOODIT: lalu, gimana proses kerja yang lo lewati dalam membuat Novel Grafis Djinah 1965 ini? Evans.poton: nah, waktu itu, gua dibantu ama tmn anak FFTV - penyutradaraan buat milih cerita. lebih ke pemilihan alternatif untuk garap sebuah novel grafis.. Evans.poton: lebih ke mpet si gua, ke Gramedia, komiknya manga.. Evans.poton: kaga ada komik indonesianyahh Evans.poton: pengennya si bikin sebuah novelgrafis yg indonesia banget, dr segi look, cerita ama karakter.. Evans.poton: sempet kepikiran buat ngangkat almarhum Munir, cuma gua sempet konsultasi ama seorang aktivis feminis, yg dulu kerabat dekatnya alm. munir, dan si doy tau alternatif cerita yg pengen gua angkat itu ttg keterlibatan Gerwani di G3os Evans.poton: dia lebih tertarik, karena biar anak muda ga ngelupain sejarah juga si.. Evans.poton: *ingt pidato bung karno.. Jas merah.. tp skrg mah udah jadi Jas Kidding hahahaaha Evans.poton: dari situ gua memantapkan diri buat nge garap novel grafis ttg perjuangan hidup Ibu SudjinahImaji tentang malam 30 September 1965 serta efeknya berupa tragedi pembantaian kaum kiri yang berlangsung selama kurun waktu 1965-1966 mungkin tidak terlalu menarik perhatian para komikus Indonesia kontemporer. Dari sedikit karya sekuensial (baca: komik) yang membangun fondasi cerita-visualnya berdasarkan tragedi tersebut, sebuah “novel grafis” berjudul Djinah 1965 karya Evans Poton layak didaulat sebagai satu entitas langka yang berusaha memberi citra pada sejarah kelam berpuluh-puluh tahun lalu dengan tujuan supaya ‘anak muda tidak melupakan[nya]’. Adapun sejarah yang Evans Poton ingin mengajak kita untuk melupakannya berhubungan erat dengan kejadian historis, yakni dibantainya orang-orang “kiri” maupun mereka yang dianggap berafiliasi atau bersimpati kepada orang-orang tersebut. Sebagai gambaran kecil, Sarwo Edhi Wibowo yang memimpin pasukan RPKAD di tahun 1965-1966 mengaku telah membantai tiga juta orang komunis. Dan mereka yang tidak mengalami pembunuhan dan pembantaian – seperti sastrawan Pramoedya Ananta Toer, misalnya – menghadapi hukuman penjara tanpa pengadilan. Saya menduga inilah yang dimaksudkan oleh Poton sebagai ‘sejarah yang tidak boleh dilupakan’. Meski demikian, orang hendaknya tidak melupakan satu hal lagi: bahwa Evans Poton bukanlah satu-satunya orang yang berusaha menggambarkan tragedi tersebut. Ada beberapa komikus lain yang

Transcript of Aku, Humor, Dan Takdir

  • Aku, Humor, Takdir:

    Representasi 65-66 Dalam Komik Indonesia

    GOOODIT: lalu, gimana proses kerja yang lo lewati dalam membuat Novel

    Grafis Djinah 1965 ini?

    Evans.poton: nah, waktu itu, gua dibantu ama tmn anak FFTV -

    penyutradaraan buat milih cerita. lebih ke pemilihan alternatif untuk

    garap sebuah novel grafis..

    Evans.poton: lebih ke mpet si gua, ke Gramedia, komiknya manga..

    Evans.poton: kaga ada komik indonesianyahh

    Evans.poton: pengennya si bikin sebuah novelgrafis yg indonesia banget,

    dr segi look, cerita ama karakter..

    Evans.poton: sempet kepikiran buat ngangkat almarhum Munir, cuma gua

    sempet konsultasi ama seorang aktivis feminis, yg dulu kerabat dekatnya

    alm. munir, dan si doy tau alternatif cerita yg pengen gua angkat itu

    ttg keterlibatan Gerwani di G3os

    Evans.poton: dia lebih tertarik, karena biar anak muda ga ngelupain

    sejarah juga si..

    Evans.poton: *ingt pidato bung karno.. Jas merah.. tp skrg mah udah jadi

    Jas Kidding hahahaaha

    Evans.poton: dari situ gua memantapkan diri buat nge garap novel grafis

    ttg perjuangan hidup Ibu Sudjinah

    Imaji tentang malam 30 September 1965 serta efeknya berupa tragedi

    pembantaian kaum kiri yang berlangsung selama kurun waktu 1965-1966

    mungkin tidak terlalu menarik perhatian para komikus Indonesia

    kontemporer. Dari sedikit karya sekuensial (baca: komik) yang

    membangun fondasi cerita-visualnya berdasarkan tragedi tersebut,

    sebuah novel grafis berjudul Djinah 1965 karya Evans Poton layak

    didaulat sebagai satu entitas langka yang berusaha memberi citra pada

    sejarah kelam berpuluh-puluh tahun lalu dengan tujuan supaya anak

    muda tidak melupakan[nya].

    Adapun sejarah yang Evans Poton ingin mengajak kita untuk

    melupakannya berhubungan erat dengan kejadian historis, yakni

    dibantainya orang-orang kiri maupun mereka yang dianggap berafiliasi

    atau bersimpati kepada orang-orang tersebut. Sebagai gambaran kecil,

    Sarwo Edhi Wibowo yang memimpin pasukan RPKAD di tahun 1965-1966

    mengaku telah membantai tiga juta orang komunis. Dan mereka yang tidak

    mengalami pembunuhan dan pembantaian seperti sastrawan Pramoedya

    Ananta Toer, misalnya menghadapi hukuman penjara tanpa pengadilan.

    Saya menduga inilah yang dimaksudkan oleh Poton sebagai sejarah yang

    tidak boleh dilupakan.

    Meski demikian, orang hendaknya tidak melupakan satu hal lagi:

    bahwa Evans Poton bukanlah satu-satunya orang yang berusaha

    menggambarkan tragedi tersebut. Ada beberapa komikus lain yang

  • berusaha untuk tidak hanya menggambarkan tragedi pembantaian dan

    efeknya bagi para korban, melainkan juga apa yang terjadi di malam 30

    September 1965. Di antara sekian karya komik dalam jumlah minim yang

    berusaha menggambarkan sejarah Indonesia modern sepanjang tahun 1965-

    1966, esei ini akan berusaha menelisik tiga karya komik Indonesia yang

    berfokus pada isu-isu yang disebut di atas. Mereka adalah Djinah 1965

    (Evans), Cinta Itu Buta (Gerdi WK), serta Gerakan 30 September:

    Tragedi Itu (Eko S Bimantara).

    Ketiganya menarik untuk disimak, sebab secara sintagmatik mereka

    membangun sebuah petanda (walau petanda itu bisa jadi bukan lantaran

    concern utama dari ketiga kreator itu adalah isu-isu di seputar

    tragedi pembantaian 1965-1966): bahwa di tengah isu tentang

    kebangkitan komik Indonesia, keindonesiaan dalam komik, dan hak-hak

    intelektual komikus di tengah rezim perdagangan bebas AFTA, masih ada

    beberapa komikus yang mau menggarap isu yang barangkali tidak menarik

    baik secara komersil maupun secara industri. Walau klaim saya ini

    masih perlu dibuktikan di tempat lain, namun ketiga judul yang saya

    sebut di atas jelas membuat tema komik Indonesia menjadi lebih meluas

    dan beragam.

    Namun ada yang lebih penting dari itu. Ketiga judul di atas

    berbicara sekaligus mengangkat salah satu tragedi dalam sejarah

    Indonesia modern. Dalam kondisi di mana tidak banyak karya komik yang

    mengangkat tema G30S maupun akibat yang muncul setelahnya (pembantaian

    dan penangkapan orang komunis maupun mereka yang dituduh demikian, di

    sepanjang 1965-1966), perkaranya kemudian bukan cuma soal bagaimana

    sejarah direpresentasikan lewat medium yang memiliki kekhasan bentuk

    seperti komik (lewat ruang serta temporalitasnya yang khusus), tetapi

    juga menyentuh soal etika.Dengan mengangkat soal etika, saya tidak

    hendak mengarahkan tujuan esei ini ke wilayah di mana ia berperan

    sebagai penjaga moral, namun dari sana kita bisa melakukan ziarah

    dengan memfokuskan diri pada soal sejauh mana sejumlah pertimbangan

    kultural digunakan untuk merepresentasikan tragedi 1965-1966 secara

    sekuensial.

    Pertimbangan kultural seperti yang saya sebut di atas menjadi

    penting jika kita terlebih dulu memperhatikan fakta bahwa korban

    pembantaian sampai sekarang belum mendapat keadilan dari negara. Jika

    benar ketiga judul komik yang menjadi corpus pada esei ini bermaksud

    supaya anak muda tidak melupakan sejarah, sekaligus memberi

    pencerahan atas apa yang sebenarnya terjadi pada malam 30 September

    1965, maka pilihan-pilihan etis macam apa yang digunakan untuk

    menggambarkannya. Selanjutnya, apakah pilihan etis itu bermaksud untuk

  • berpihak kepada kemanusiaan para korban, atau ada kemungkinan lain

    yang diambil masing-masing komikus?

    Lucunya 30 September 1965

    Gerakan 30 September: Tragedi Itu merupakan sebuah komik pendek karya

    Eko S Bimantara yang sempat dipamerkan di ajang Indonesia And The

    World 1959-1969: A Critical Decade di Goethe Institute, Jakarta, pada

    2011 silam. Karya tersebut di bagian pembukanya mengajak orang untuk

    memahami apa yang terjadi pada 48 jam ini tak bisa tidak, adalah

    syarat utama untuk bisa berdamai dengan masa lalu. Lewat kata-kata

    penuh pengharapan, kiranya sudah jelas Eko mau mengajak penikmat

    komiknya kemana: dia bermaksud untuk mengajak orang memahami apa yang

    terjadi pada malam 30 September 1965. Dengan ajakan awal yang

    mengesankan bahwa Eko akan membahas sebuah tema dengan cara seserius

    mungkin (paling tidak demikian waktu awal mula saya membayangkannya),

    karyanya justru menyodorkan hal sebaliknya: lucu, main-main, sama

    sekali tidak serius.

    Tentang tidak serius dan main-main kiranya bisa dilihat dari

    bagaimana Eko memperlakukan subjek/karakter yang hidup dalam panil

    demi panil yang dibentuk olehnya. Ambilah contoh pada karakter Aidit,

    misalnya. Eko memperlakukan Aidit dengan cara yang menyenangkan.

    Visualisasi karakter yang sederhana, namun terdistorsi pada bagian

    mata, Aidit ditampakkan bukan sebagai tokoh revolusioner, melainkan

    tokoh yang sama sekali tidak berwibawa. Lima panil minus detil visual

    yang rinci pada halaman tiga (lihat gambar satu) memperlihatkan

    ketidaktahuan Aidit tentang rencana penculikan para dewan jendral.

    Kondisi riil menjelang penculikan yang setidaknya dalam bayangan

    saya seharusnya tegang, berubah menjadi sebuah situasi lucu.

  • Gambar 1

    Dalam nafas kelucuan yang sama, pertemuan antara Omar Dani dan

    Sjam, serta satu karakter lagi yang tidak disebutkan namanya, Eko

    menggiring persepsi pembaca ke wilayah di mana malam pemberontakan 30

    September tampak sebagai sebuah lelucon ketimbang sebuah gerakan

    revolusi yang serius (lihat gambar dua).

  • Gambar 2

    Dari contoh adegan seorang Aidit yang digiring ke rumah Sersan

    Suwadi sampai berkumpulnya Omar Dani dan Sjam dalam satu halaman,

    sejarah malam 30 September 1965 yang digambarkan Eko tidak menjadi

    sesuatu yang menakutkan. Sepintas Eko tampak main-main dan tidak

    serius dalam mengkarakterisasikan tokoh-tokoh di balik gerakan 30

    September. Meski begitu, di sinilah kemudian orang bisa melihat sikap

    seorang Eko dalam menghadapi sejarah yang dalam narasi resmi dibikin

    menjadi horor dan menakutkan.

    Narasi yang ditawarkan oleh Eko setidaknya berbeda dengan

    gambaran resmi yang diceritakan oleh rezim Orde Baru lewat film

    Pengkhianatan G30/PKI, misalnya. Jika film tersebut benar-benar horor,

    sekaligus menggambarkan betapa kotor dan bengisnya PKI, Eko memilih

    untuk meniadakan gambaran semacam itu. Mengapa Eko memilih untuk

    menarasikan sejarah dengan cara yang lucu dan menyenangkan? Apakah ini

    berarti Eko berusaha memutus mata rantai wacana resmi Orde Baru yang

    mengajarkan PKI adalah biangnya kekejaman di malam itu, dan oleh

    karenanya mereka perlu digambarkan dengan cara yang menakutkan lewat

    artefak populer seperti film G30S/PKI? Saya tidak punya jawaban pasti

    mengapa Eko memilih pilihan yang kontradiktif dengan narasi resmi Orde

    Baru. Meski begitu, empat panil pada halaman terakhir (gambar tiga)

    kiranya sedikit memberi petunjuk tentang keputusannya tersebut. Eko

  • menunjukkan kepada pembacanya ihwal dirinya yang lebih suka

    menarasikan G30S dengan cara selucu mungkin. Sebabnya sederhana: dia

    lebih suka kelucuan dibandingkan horor.

    Gambar 3

    Meski Tragedi Itu bukanlah sebuah karya komik yang menyajikan

    panil dengan kedalaman/detil ruang dan proporsi subjek/objek yang

    tinggi, namun pembaca menemukan sesuatu yang menarik darinya.

    Ketertarikan saya muncul justru lewat bagaimana panil dan gambaran

    karakter ditata sedemikian rupa hingga memunculkan rasa lucu lagi

    menyenangkan. Pilihan dan keyakinan Eko atas bentuk humor untuk

    karyanya itu, dalam derajat tertentu, juga menciptakan jarak dengan

    narasi resmi Orde Baru tentang malam G30S. Eko mengingat malam G30S

    bukan sebagai momen di mana kekejaman PKI, pengkhianatan terstruktur

    dan terencana dengan baik, menjadi sejumlah nilai utama yang

    disodorkan dan terus menerus disiarkan sepanjang Orde Baru berkuasa.

    Sebaliknya, Eko menarasikan malam G30S sebagai malam yang kacau

    sekaligus kocak. Jadi walau terkesan main-main lewat Tragedi Itu, Eko

    sebetulnya menyodorkan pilihan yang sangat politis, yang sekaligus

    mengajak pembacanya untuk merenungkan setidaknya mempertimbangkan

    ingatan tentang kebenaran malam G30S yang disiarkan Orde Baru.

  • Narasi Korban Dalam Dua Komik

    Berbeda dengan Tragedi Itu, Cinta Itu Buta (Gerdi WK) dan Djinah 1965

    (Evans Poton) menarasikan akibat wacana pemersetanan terhadap orang-

    orang yang dituduh sebagai antek PKI lewat sudut pandang korban.

    Saya akan memulainya dari Djinah 1965 terlebih dahulu.

    Narasi yang diceritakan oleh Poton lewat karya komiknya itu

    berpusat pada kehidupan empat orang tokoh, Sudjinah, Sulami, Sri

    Ambar, dan Suharti, paska malam 30 September. Berbeda dengan karya Eko

    yang menawarkan elemen-elemen visual yang menyenangkan guna

    mendeskripsikan malam sejarah tersebut, serta membangunnya dari sumber

    tertulis yang dirangkum oleh Tempo Institute, Poton melakukan hal yang

    lebih jauh lagi: ia menarasikan akibat yang muncul setelah G30S. Poton

    tidak hanya membangun narasi dengan cara membaca sumber-sumber

    tertulis, namun juga melakukan wawancara lisan dengan penyintas. Kerja

    pengkaryaan yang dilakukan oleh Poton agak di luar kebiasaan, sebab

    dia mewawancarai narasumber layaknya seorang sejarawan lisan menggali

    potongan ingatan yang tersisa dari seorang subjek. Namun hendaknya

    Poton tidak dianggap sebagai seorang sejarawan, meski apa yang dia

    kerjakan mirip dengan itu; lebih jauh lagi, apa yang dilakukan Poton

    rasanya juga tidak bisa diklaim sebagai karya seorang sejarawan yang

    mempelajari memori seseorang.

    Meski narasi Djinah 1965 dibangun lewat empat orang karakter,

    adalah Sudjinah yang mendapat porsi lebih banyak dibandingkan ketiga

    temannya. Ia adalah karakter yang ditonjolkan dalam panil demi panil,

    dan Evans menghadirkan sosok Sudjinah tidak hanya lewat penggambaran

    fisiknya, namun melalui caption yang berisi monolog-monolog batin sang

    protagonis. Dalam semesta Djinah 1965, caption memainkan fungsi

    sentralnya sebagai narator sejarah yang menceritakan detil-detil

    tentang apa yang terjadi setelah malam 30 September. Sama seperti

    Sjam, Aidit, Omar Dani, dan beberapa tokoh lain - yang dialihrupakan

    menjadi karakter menyenangkan dalam Tragedi Itu, Sudjinah juga adalah

    karakter yang dibangun berdasarkan tokoh nyata. Menurut Poton,

    Sudjinah adalah aktivis Gerwani yang pernah bekerja di Sekretariat

    Gabungan Wanita Internasional (GWDS) di Berlin, Jerman, serta pernah

    mendapat tugas-tugas ke Paris, Austria, Finlandia, Denmark, Swedia,

    dan negara-negara lain (lihat Djinah 1965 hal. 97).

    Bab pertama dari Djinah 1965 yang diberi judul 1 Oktober 1965

    menggambarkan situasi tegang yang terjadi di markas Gerwani di

    Matraman pada pagi hari tanggal tersebut. Ketegangan mau tidak mau

    muncul dalam benak para anggota Gerwani yang berkumpul di sana, sebab

  • mereka tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi pada dini hari

    sebelumnya ketika pembunuhan terhadap enam jenderal terjadi. Panil

    demi panil terus bergulir, dan pada bab kedua berjudul Dalam

    Pengejaran, Poton mendeskripsikan teror yang merebak di seluruh

    negeri, di mana para aktivis yang berafiliasi dengan komunis diburu.

    Dalam situasi chaos, mau tidak mau Sudjinah juga ikut terseret dalam

    huru-hara.

    Karena situasi sudah tidak mendukung bagi para aktivis kiri,

    Sudjinah kemudian harus meninggalkan Jakarta. Bersembunyi. Kisah

    Sudjinah yang kini menjadi pelarian politik, serta narasi mengenai

    pembunuhan massal terhadap aktivis komunis dinarasikan lewat bab

    ketiga berjudul Pesakitan Politik. Bab keempat, Gerakan Bawah

    Tanah, menarasikan gerakan bawah tanah bernama Pendukung Komando

    Presiden Soekarno (PKPS), yang dibangun oleh Sudjinah bersama dengan

    dua orang kawannya, yakni Sulami dan Sri Ambar. PKPS dalam narasi

    Djinah 1965 diceritakan sebagai organisasi yang dibentuk guna melawan

    narasi resmi yang pada waktu itu telah menetapkan tuduhan kepada

    Partai Komunis Indonesia sebagai dalang G30S.

    Korban pembantaian dalam perspektif Djinah 65 betul-betul

    ditempatkan dalam posisi terhina, sementara mereka yang melakukan

    pembunuhan terhadap orang yang dianggap antek komunis

    direpresentasikan secara metaforik dengan meminjam imaji tentang setan

    buas yang tega menghabisi bangsa sendiri (gambar empat). Agaknya

    bukan tanpa alasan jika Poton memilih untuk membangun narasinya dengan

    bentuk visual di mana bentuk selalu terikat ke dalam forma shading

    yang pekat. Perpindahan sudut gambar dari panil-ke-panil yang selalu

    menonjolkan kepekatan bayangan, pada gilirannya membuat rona cahaya

    yang jatuh ke atas permukaan objek dan membentuk proporsi bayangan

    yang terlihat terdistorsi secara berlebihan (exaggerated).

    Guratan/arsiran kasar yang kerap ditambahkan ke dalam visualisasi

    tubuh karakter serta objek-objek yang berdiri di sekitarnya makin

    menonjolkan suasana seram dan gawat pada sebuah periode sejarah.

    Dari sana saya memahami pilihan Poton untuk membentuk suasana

    sejarah dalam komiknya. Dengan cara mendistorsi objek/subjek visual di

    setiap panil menggunakan shading yang berlebihan, Evans Poton bukan

    ingin menggambarkan keindahan detil maupun impresi pada keduanya,

    melainkan ia menggunakan bayangan untuk merepresentasikan sejarah yang

    penuh teror. Pendek kata, saya justru melihat kentalnya shading (perlu

    disebut juga di sini: blok-blok hitam serta arsiran yang pekat sebagai

    unsur visual yang juga ditonjolkan Poton) dalam Djinah 1965 sebagai

    unsur yang menguatkan teror.

  • Gambar 4

    Berbicara tentang teror, tentu akan selalu ada dua pihak. Di

    satu sisi ada pihak yang meneror serta di sisi lain ada pihak yang

    terteror. Dalam gradasi macam itu, amat wajar bila kemudian muncul dua

    oposisi biner yang saling berdiri dalam satu halaman, melalui panil-

    demi-panil, di mana masing-masing pihak selalu meminta perhatian. Yang

    satu adalah jahat seutuhnya, sementara yang lain adalah pihak

    murni tidak bersalah. Gambar lima menunjukkan lebih banyak kepada

    kita ihwal oposisi biner seperti yang telah saya sebut di atas.

  • Gambar 5

    Kita telah melihat visualisasi yang merepresentasikan bagaimana

    malam setelah 30 September menjadi teror bagi Sudjinah sendiri. Dan

    karena Djinah 1965 menekankan pusat penokohan pada Sudjinah dengan

    Gwrwani yang juga adalah pihak yang berkali-kali disebut di dalamnya,

    penikmat komik tersebut tidak bisa mengabaikan forma caption dengan

    teks yang mengudara di dalamnya. Dari halaman ke halaman, orang juga

    bisa menemukan forma caption yang sebetulnya menyediakan ruang bagi

    pembaca untuk berimajinasi, namun kekuatannya terampas oleh ilustrasi

    yang mensketsakan monolog batin lewat sejumlah caption yang tersedia.

    Terlepas dari ketidakbebasan teks caption (karena pada akhirnya ia

    tergantung pada ilustrasi untuk membangun suasana), teks yang mengada

    (suara narator itu sendiri) selalu berusaha untuk memberikan

    pembelaan, bahwa kaum kiri dalam sejarah Indonesia bukanlah pihak yang

    pantas untuk dipersetankan, oleh karena merekalah yang berusaha

    memberi pencerahan pada bangsa ini. Pendek kata, kaum kiri adalah

  • kumpulan manusia-manusia suci nan heroik. Untuk lebih jelasnya kita

    mesti melihat tiga kumpulan gambar di bawah ini.

    Gambar 6

    Ketika narator menggugat atas dasar apa mereka dengan

    bengisnya bertindak demikian , pembelaan diri kemudian mengental.

    Sudjinah menggugat: mana mungkin Gerwani terlibat dalam aksi di

    Lobang Buaya itu??? Organisasi kami berjuang memberantas buta huruf

    bagi perempuan demi masa depan mereka organisasi kami mendirikan

    taman kanak-kanak gratis bagi rakyat melalui TK Melati di tiap tempat

    Itu semua kami lakukan untuk rakyat, karena kami bagian dari mereka

    untuk melanjutkan Api Perjuangan Ibu Kartini lantas kenapa malah

    kami yang dituduh melakukan tarian porno di lobang buaya melalui

    Tarian Harum Bunga?. KENAPA???

    Evans Poton dalam karyanya itu dengan tegas menempatkan Sudjinah

    sebagai korban dalam dongeng sejarah yang bersembunyi di balik ketiak

    penguasa, dan tunduk di bawah acungan senjata (Djinah 1965, hlm. 3).

    Akan tetapi sangat sedikit informasi visual yang menerangkan kepada

    kita tentang apa persisnya korban itu. Bagaimana Sudjinah ditempatkan

    secara sah sebagai korban. Dalam sebuah halaman, misalnya, Sudjinah

    diceritakan didatangi seorang tentara yang mencari senjata yang

    mungkin disembunyikan olehnya dan kawan-kawannya. Setelah serangkaian

    tanya-jawab ditambah bantahan dari Sudjinah, di mana kemudian

    Sudjinah diajak oleh teman-temannya untuk tidak mempedulikan ocehan

    tentara itu, halaman tersebut kehilangan momen(gambar tujuh). Sudjinah

  • dibiarkan berlalu begitu saja, dibiarkan oleh tentara, tanpa

    sedikitpun dicitrakan sebagai korban.Di hadapan tentara ia masih mampu

    beragumen sekaligus menyangkal kepemilikan senjata oleh Gerwani,

    sebuah kemewahan individual yang kiranya sulit dibayangkan terjadi

    pada masa itu.

    Gambar 7

    Kesan utama yang saya peroleh melalui karakter Sudjinah adalah

    penempatan subjek yang masih memiliki kekuatan untuk berdiri sebagai

    aku, alih-alih sebagai korban yang nelangsa dan tunduk di bawah

    acungan senjata. Ini terutama terlihat lewat sejumlah panil dalam dua

    halaman yang menarasikan pelarian Sudjinah. Dalam pelarian, dalam

    keadaan masygul, ia sempat bermonolog lewat caption, menyebut dirinya

    sebagai seorang ..yang terjebak dalam jasad seorang gadis yang tengah

    menghindari kejaran agar tidak tunduk di bawah acungan sejata .

    Dalam pelarian Sudjinah masih sempat merutuki mereka yang memburunya.

    Dan dalam irama panil dalam halaman yang sama pula, ia masih pula

  • sempat memikirkan nasib generasi penerus bangsa nantinya. Gambar

    delapan akan memperlihatkan lebih banyak tentang ke-aku-an Sudjinah di

    tengah pelarian.

    Gambar 8

    Dalam irama visual yang merepresentasikan teror, caption

    berfungsi sebagai penegas diri, sekaligus sebagai sebuah senjata untuk

    menggugat tuduhan pihak peneror. Dalam ruang penuh dikotomi biner, di

    mana Djinah sekarang di hadapan saya mampu berbicara sekeras-kerasnya

    kepada saya lewat caption dalam panil-demi-panil sembari menyebut

    sederet prestasi Gerwani bagi rakyat, rasanya tidak salah jika komik

    tersebut dianggap sebagai ruang di mana karakter-penutur mampu berbagi

    sejarah kekerasan yang dilihat sekaligus dialaminya, dengan cara

    sebebas mungkin. Karya Evans Poton menurut saya menjadi saluran di

    mana sang pengarang/komikus mengabdi dengan penuh ketaatan terhadap

    kedirian Djinah, serta cerita-ceritanya tentang pembantaian dan

    tentang Gerwani itu sendiri. Lebih-lebih lewat caption, Djinah berbagi

    memori, nilai serta emosi melalui kehidupan lampaunya melalui teks,

    yang turut mensakralkan kehidupannya sebagai mantan anggota Gerwani.

    Sebagai karya visual penuh dengan teks pembelaan diri, Djinah 1965 mau

  • tidak mau membangkitkan empati orang yang menikmatinya sebuah

    perasaan yang juga saya alami.

    Cerita mengenai Sudjinah, yang hidup-hidupnya setelah malam 30

    September 1965 berisi momen-momen di mana ia harus melarikan diri dari

    kejaran tentara, berpindah dari tempat satu ke tempat lain, adalah

    narasi tentang bagaimana dia menggugat mereka yang memburunya. Dibaca

    secara psikoanalisis, bingkai narasi sejarah yang disodorkan lewat

    Djinah 1965 penuh dengan rekonstruksi penemuan self dalam hubungannya

    dengan Other (mereka yang memburu Sudjinah). Dengan kata lain, self

    (kedirian Djinah) dibentuk lewat komik tersebut dengan terlebih dulu

    membenturkan realitas karakter utama (sebagai anggota Gerwani) dengan

    realitas lain yang ingin melenyapkan dirinya sebagai subjek. Meski

    demikian, dalam posisi di mana saya bukanlah orang yang berbicara

    langsung dengan subjek dan tahu apa sebenarnya pandangan dogmatisnya,

    saya tidak berpretensi untuk mengidentifikasi diri sepenuhnya dengan

    penderitaan korban.

    Alih-alih melakukan hal tersebut, kita mesti memahami usaha Poton

    dalam menarasikan kisah Sudjinah melalui karyanya itu. Ia melakukannya

    dengan cara merentangkan jarak ekstrim antara Sudjinah sebagai korban,

    dengan negara sebagai pihak yang sepenuhnya bersalah atas

    penderitaannya. Di sinilah kutub ekstrim terbentuk dan keutuhan

    Sudjinah sebagai subjek terbentuk. Kemudian menjadi menarik untuk

    meminjam ujaran John Rossa dan Ayu Ratih: [] sang aku terbentuk

    oleh hubungannya dengan norma-norma sosial dan dengan orang lain, sang

    aku harus menyadari bahwa ia sendiri tidak dapat dipahami ketika

    menceritakan sejarah kehidupannya, ketika tercapai keutuhan yang

    bersifat sementara itu. Ujaran Rossa dan Ratih yang dipakai untuk

    mendiskusikan ihwal Sejarah Lisan Di Indonesia Dan Kajian

    Subjektivitas itu mau saya gunakan untuk menolong mendiskusikan

    Djinah 1965.

    Saya sebagai penikmat cerita tidak akan pernah bisa memahami

    Sudjinah sepenuhnya, sebab lewat Djinah 1965 ia sudah

    direpresentasikan secara satu dimensi sebagai subjek heroik, yang

    menggugat kekuasaan yang melabeli dirinya sebagai pengkhianat bangsa

    dan negara. Ingatan Sudjinah yang dihantarkan lewat Djinah 1965

    menunjukkan imaji tentang yang benar ada maupun yang dibayangkan ada,

    dan ini semua ditujukan kepada penerima cerita. Djinah 1965 adalah

    karya yang berusaha menarasikan testimoni penyintas (Sudjinah) serta

    saksi mata kedua (Evans Poton) yang menarasikan cerita saksi pertama.

    Melalui representasi atas tragedi pembantaian 1965-1966, tangan Poton

    sebagai komikus meminjam konsep Hillary Chute mencitrakan

  • hubungan [antara] suara pribadi dari saksi utama dan penerjemahnya,

    suara saksi kedua. Dalam bingkai yang campur baur, kita sebagai

    pembaca tentu tidak akan mampu membedakan mana cerita yang benar ada

    maupun yang dibayangkan ada. Akan tetapi penting untuk dicatat bahwa

    Poton menurut saya tidak berusaha untuk menyodorkan fakta sejarah yang

    sahih dan yang bisa dipertanggung-jawabkan secara metodologis. Alih-

    alih menganggapnya seperti itu, Djinah 1965 mungkin akan lebih tepat

    untuk dinilai sebagai karya yang berusaha memaknai tuturan-tuturan

    Sudjinah sebagai protagonis utama dan yang hidup sebagai penyintas.

    Dalam Djinah 1965 lah Sudjinah bisa hidup dan menarasikan ingatannya

    lewat tangan Poton, dengan cara menonjolkan ke-aku-annya secara

    mutlak. Ini kemudian mengantarkan kita ke soal lain: jika dimensi

    heroik dan ke-aku-an ditonjolkan secara mutlak di Djinah 1965,

    masihkah ada peluang untuk menikmati tawaran ide lain di seputar

    sejarah 1965-1966?

    Cinta Itu Buta merupakan sebuah komik di mana cerita tentang

    kehidupan penyintas tragedi pembantaian hanyalah satu bagian dari enam

    fragmen cerita dalam komik tersebut, yang semuanya berpusat pada tema

    cinta yang humanis. Pada bab mengenai korban pembantaian yang

    ditempatkan pada fragmen terakhir dari keseluruhan struktur Cinta Itu

    Buta, Gerdi terlihat berusaha membangun narasinya dengan fondasi

    serupa seperti apa yang telah dilakukan Poton melalui Djinah 1965: dia

    memulai rangkaian kisah dari periode setelah G30S. Walau ada kesamaan

    momen yang diambil keduanya, kita bisa melihat perbedaan mendasar.

    Jika Djinah 1965 menampilkan sosok heroik seorang mantan anggota

    Gerwani, Cinta Itu Buta karya Gerdi WK menghantarkan pandangan berbeda

    tentang bagaimana seorang penyintas dan keluarganya harus menjalani

    kehidupan paska pembantaian 1965-1966.

    Tersebutlah sebuah keluarga, yang masing-masing anggotanya tidak

    diberi nama oleh komikusnya. Seorang ayah dan ibu, dengan tujuh orang

    anak. Ayah seorang Pegawai Negeri Sipil, sedangkan ibu adalah ibu

    rumah tangga biasa. Panil demi panil mengalir, bercerita lancar

    tentang sang ayah yang kemudian diciduk tentara tanpa alasan. Walau

    Gerdi tidak menyajikan informasi cukup mengenai siapa sebenarnya sang

    ayah hingga dia harus ditahan tentara, namun kiranya kita bisa menduga

    bahwa sang ayah berhubungan dengan PKI. Keluarga tersebut kemudian

    kehilangan pegangan nafkah setelah ayah mereka ditahan. Kehidupan yang

    kacau dan serba kekurangan, juga stigma PKI yang melekat pada anak-

    anak keluarga tersebut, menjadi bumbu kisah tersendiri yang makin

    mendekatkan satu fragmen dalam Cinta Itu Buta ke babakan periode

    sejarah 1965-1966. Melalui narasi yang disampaikan melalui sang

  • bungsu, Gerdi WK menyodorkan sebuah karya dalam bentuk komik yang

    berusaha menunjukkan kepada kita tentang bagaimana sebuah keluarga

    menyikapi tragedi yang menimpa mereka.

    Setelah 13 tahun ditahan tanpa pengadilan, sang ayah akhirnya

    kembali ke tengah keluarganya dengan perasaan limbung. Melalui si

    bungsu yang bertindak sebagai narator, penikmat fragmen diperlihatkan

    adegan dalam satu splash page tanpa panil (gambar sembilan), di mana

    sang ayah menangis dan minta maaf karena telah menelantarkan anak-

    anaknyatelah menurunkan stigma negatif kepada kami sebagai anak ex

    tapol yang harus melewati masa kecil yang pahit, masa remaja yang

    tidak indah, dan masa depan yang jelas (Cinta Itu Buta, Hlm. 98).

    Dalam kondisi sesal, bungsu sebagai narator masih melakukan gugatan

    kecil dengan berkata kalau pun sekarang kami bisa hidup lumayan, ini

    berkat perjuangan yang extra keras usaha di atas penderitaan yang

    tidak seharusnya.. (Cinta Itu Buta, Hlm. 98).

    Gambar 9

  • Dibandingkan Djinah 1965 yang menonjolkan ke-aku-an

    protagonisnya, fragmen dalam Cinta Itu Buta lebih menekankan narasi

    pada bentuk melodrama. Pilihan Gerdi atas bentuk melodrama menjadi

    masuk akal bila orang memperhatikan bagaimana psikologi karakter

    direka sedemikian guna mendorong orang untuk merasakan emosi sebuah

    keluarga penyintas, melalui seorang ayah yang merasa menyesal karena

    telah menelantarkan keluarganya. Artinya, sang ayah justru tidak

    menyalahkan orang lain (baca: tentara) yang menjadi penyebab

    kemalangan diri dan keluarganya. Agoni yang tumbuh di dalam kedirian

    sang ayah pada dasarnya tumbuh dari rasa sesal.Kepada kita seolah-olah

    diperlihatkan: bukan tentara atau negara yang menjadi penyebab utama

    rasa sesal, melainkan keputusan dirinya di masa lalu (bergabung dengan

    PKI) yang dirasa menjadi sebab utama disorientasi eksistensial yang

    dialami keluarganya itu.

    Perkara disorientasi eksistensial sangat terasa bila kita

    menyimak bagaimana hidup ketujuh anak yang ditinggal ayahnya yang

    dipenjara (gambar sepuluh). Dalam tiga halaman di mana garis panil

    tidak dibentuk guna membedakan satu sudut cerita dengan sudut lain,

    serta ruang ilustrasi yang merampas kekuatan imajinatif narasi bungsu

    yang hadir dalam bentuk teks, tergambar bagaimana kehidupan tujuh anak

    itu, yang rata-rata mengalami kesulitan hidup karena karena stigma

    melekat pada kedirian mereka.

    Gambar 10

    Namun di tengah kondisi serba sulit pun, sang bungsu hanya bisa

    merutuki nasib keluarganya dan juga nasib keluarga-keluarga yang lain,

    yang sama seperti mereka. Frustrasi karena keadaan, si bungsu

  • bertanya: lalu berapa juta lagi anak anak-anak ex tapol lain yang

    mengalami trauma dan hidupnya gagal? Berhadapan dengan pertanyaan

    yang jelas bukan untuk dijawab, seorang gadis yang tampaknya adalah

    pacar si bungsu mengeluarkan kata-kata bijak yang menjadi pamungkas

    untuk meredakan rasa frustrasi si bungsu: Itulah takdir, massemua

    yang sudah terjadi adalah takdirkehendak Tuhan. (gambar sebelas).

    Sepintas kita ditunjukkan perihal tarik-menarik antara sikap menerima

    tragedi itu apa adanya, dan gugatan atas nasib yang seharusnya tidak

    dialami oleh keluarga si bungsu. Dalam sayup-sayup ambivalensi sikap

    macam itu, pembaca bisa terombang-ambing juga: antara menerima karya

    Gerdi WK itu sebagai entitas murni yang tidak berusaha mengeraskan

    sikap memberontak kepada negara, atau justru membacanya sebagai karya

    yang menggugat secara politis hak-hak penyintas akan keadilan.

    Gambar 11

  • Akan tetapi dalam dua kutub yang saling tarik-menarik, satu

    fragmen narasi tentang akibat pembantaian 1965-1966 dalam Cinta Itu

    Buta justru lebih banyak menonjolkan sikap pasrah. Ketimbang

    menyalahkan pihak lain, karakter yang hidup di dalam komik tersebut

    memilih untuk menyelesaikan perasaan limbung dengan menyebut bahwa

    semua yang terjadi adalah takdir. Pada akhirnya, kedirian yang

    dibentuk dari stigma diperlakukan sebagai sesuatu yang diterima begitu

    saja. Karena stigma menjadi bagian dari takdir, atau dipandang sebagai

    konsekuensi yang muncul akibat tindakan di masa lalu, maka tidak ada

    sedikit pun gugatan kepada liyan (siapapun itu) yang sebetulnya

    membuat stigma PKI/jahat menjadi memungkinkan untuk mengada. Stigma

    PKI, dengan demikian, seolah-olah menjadi sebuah tanda yang natural

    dan mesti diterima keluarga yang naas itu.

    Agaknya tepat bila kita menerjemahkan sikap Gerdi yang berusaha

    menaturalisasi nasib penyintas (yang menghidupkan komiknya) dengan

    meminjam istilah nrimo. Franz Magnis-Suseno menerjemahkan nrimo

    sebagai sikap menerima segala apa yang mendatangi kita, tanpa protes

    dan pemberontakan. Dibaca dengan cara demikian, karya Gerdi WK bisa

    dibilang mencerminkan sebuah sikap untuk menerima apapun kondisi diri,

    dan siap untuk menanggung nasib yang buruk.Dengan cara demikian,

    malapetaka diharapkan bisa kehilangan rasa sengsaranya.

    Penutup: Etika Mengingat

    Dalam interseksi yang menunjukkan perbedaan pandangan serta cara

    memaknai tragedi 1965-1966, satu hal yang perlu digaris-bawahi adalah

    bahwa ketiganya sama-sama ingin keluar dari arus ingatan resmi

    bentukan Orde Baru. Eko Bimantara melakukannya dengan cara menonjolkan

    bentuk humor lewat Tragedi Itu, sementara Gerdi WK dan Evans Poton

    berangkat dari perspektif suara korban yang sampai sekarang belum

    mendapat keadilan memadai dari negara. Dinilai dalam bingkai etis,

    ketiganya memang telah menyodorkan satu sisi sejarah yang sengaja

    dilupakan oleh rezim Orde Baru.

    Baik Tragedi Itu, Djinah 1965,dan satu fragmen dalam Cinta Itu

    Buta menyodorkan sebuah konten tema keindonesiaan-dalam-komik yang

    merujuk bukan pada ambisi untuk menyajikan fakta sejarah yang teruji,

    melainkan pada kepedulian etis. Maksudnya, mereka berangkat dari

    persoalan yang sangat relevan oleh karena belum selesai sampai

    sekarang. Meminjam ujaran Budiawan, di sinilah terbuka peluang bagi

    eskalasi wacana, yang mendorong terbentuknya pengetahuan-pengetahuan

    baru, yang akan memunculkan rezim-rezim kebenaran baru.

  • Bacaan

    Budiawan. 2014. Trauma Dalam Kompleksitas Hubungan Antara Ingatan

    Personal Dan Sejarah Nasional. Dalam Sejarah Sebagai Humaniora.

    Yogyakarta: Ombak.

    Chute, Hillary. 2009. History And Graphic Representation In Maus.

    Dalam Jeet Heer & Kent Worcester. A Comics Studies Reader. USA:

    University Press of Mississippi.

    Magnis-Suseno, Franz. 1984. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia.

    Rossa, John & Ayu Ratih. 2008. Sejarah Lisan Di Indonesia Dan Kajian

    Subjektivitas. Dalam Henk Schulte Nordholt, et.al (ed). Perspektif

    Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan

    KITLV-Jakarta.