Aktivitas Kitooligomer Hasil Reaksi Enzimatik terhadap ... · Witarto M. Eng, sebagai anggota...
Transcript of Aktivitas Kitooligomer Hasil Reaksi Enzimatik terhadap ... · Witarto M. Eng, sebagai anggota...
AKTIVITAS KITOOLIGOMER HASIL REAKSI ENZIMATIK TERHADAP
PROLIFERASI SEL LIMFOSIT DAN SEL KANKER
SRI WAHYUNI
SEKOLAH PASCASARJANA. INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2006
ii
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul
Aktivitas Kitooligomer Hasil Reaksi Enzimatik terhadap Proliferasi Sel Limfosit dan Sel Kanker
merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi manapun. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Februari 2006
Sri Wahyuni. F261020041/IPN
iii
ABSTRACT
SRI WAHYUNI. Activity of Chitooligomers Produced by Enzymatic Hydrolysis Upon Proliferation of Lymphocyte and Cancer cells. Under Direction of MAGGY T. SUHARTONO, FRANSISKA R. ZAKARIA, DAHRUL SYAH, and ARIEF BUDI WITARTO.
Local chitin waste from crab industries can be used as a source for
production of chitooligomers which has important biological activity. The aims of this research were to evaluate activities chitooligomers produced by enzymatic hydrolysis upon proliferation of lymphocyte and cancer cells. The chitosanase enzyme was obtained from thermophilic bacterium Bacillus licheniformis MB2 isolated from Tompaso Manado. The medium for producing the enzyme contained 1% colloidal chitosan and the enzyme was harvested after seven days of incubation at 55oC, The free cell supernatant were heated at 60 oC for 20 minutes. The heat stable protein enzyme was coagulated with 80% saturated ammonium sulphate and purified using hydrophobic interaction chromatography with butyl sepharose gel. The enzyme of 0.005, 0.0085, 0.10 dan 0,17 IU/mg chitosan were use on 1% soluble chitosan substrate with 85 and 90 % degree deacetylation to produce chitooligomers through incubation at one and three hours. The reaction products were analyzed and fractionated using HPLC. The effect of chitooligomers hidrolysate on normal cells and cancer cells was evaluated using lymphocyte cells previously isolated from human blood and cancer cells line : KR4 (lymphablastoid B), K-562 (chronic myelogenous leukimia), HeLa (epythel carcinoma cervix), and A549 (lung carcinoma ). The inhibition of cancer cells proliferation was visualized by spectrophotometer after addition of MTT reagent. At concentration of 17 ìg/ml the chitooligomers inhibited the cancer cells KR4 by 12.27%, K562 by 20.58%, HeLa by 31.72%, and A549 by 22.70%. In general, hidrolysate and fractionated chitooligomers (trimer to hexamer) showed better anticancer activity than 2-Bromo deoxy uridine used as positive control at similiar concentration. The inhibition 60% of lymphocyte cells was found when treated with chitooligomers hidrolysate from chitosan with 70% degree deacetylation. Fractionated chitooligomers (trimer to hexamer) 20% inhibited the lymphocytes. However, chitooligomers hidrolysate from chitosan with 85 and 90% degree deacetylation enhanced lymphocyte proliferation about 184.54%. K562, HeLa and A549 cancer cells treated with chitooligomers appeared to undergo apoptosis by 35%, 27%, and 8% respectively as shown by fluorescent microscopy. Disrupted membrane was found on cells treated with chitooligomers as observed by scanning electron mycroscope.
iv
AKTIVITAS KITOOLIGOMER HASIL REAKSI ENZIMATIK TERHADAP PROLIFERASI SEL LIMFOSIT DAN SEL KANKER
SRI WAHYUNI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi : Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
v
Judul Disertasi : Aktivitas Kitooligomer Hasil Reaksi Enzimatik terhadap Proliferasi Sel Limfosit dan Sel Kanker Nama : Sri Wahyuni NIM : F261020041 Program Studi : Ilmu Pangan
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria,M.Sc
Anggota Anggota Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Dr. Arief B. Witarto, M. Eng
Mengetahui, 2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana, Ilmu Pangan Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, M.S Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc Tanggal ujian : 8 Februari 2006 Tanggal lulus :
vi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Raha, Sulawesi Tenggara pada tanggal 30 Mei 1968
sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan H. Sudarman dan Hj.
Nurul Ichsan. Penulis menikah dengan Dr. Ir. Andi Khaeruni R., M.Si pada
tanggal 24 Juli 1996 dan telah dikaruniai seorang putra Andi Muhammad
Hibatullah Ramadhan lahir tanggal 8 Januari 1998.
Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan di SDN 1 Bau-Bau, Buton tahun
1981, Sekolah Menengah Pertama diselesaikan di SMPN 1 Kendari tahun 1984
dan Sekolah Menengah Atas diselesaikan di SMAN 1 Kendari tahun 1987.
Pendidikan sarjana di tempuh di Jurusan Pendidikan Kimia, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Ujung
Pandang dan lulus tahun 1992. Pada tahun 1995 penulis memperoleh beasiswa
Asian Development Bank (ADB) kerjasama dengan Universitas Haluoleo dari
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia untuk mengikuti pendidikan
Program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan, Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun 1999. Pada tahun 2002
penulis mendapat Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia untuk melanjutkan Program Doktor
pada Program Studi dan Sekolah Pascasarjana yang sama. Sejak tahun 1993
hingga sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar di Program Studi
Pendidikan Kimia Jurusan MIPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Haluoleo Kendari.
Bidang kajian yang penulis tekuni selama mengikuti pendidikan doktor
adalah bidang enzimologi dan imunologi. Berkaitan dengan topik penelitian
disertasi tersebut di atas, penulis telah mempresentasikan hasil penelitian ini
pada seminar nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) di
Jakarta pada tanggal 26 Desember 2004 dan seminar nasional Perhimpunan
Alumni dari Jepang (PERSADA) di Bogor pada tanggal 23 Agustus 2005, serta
seminar lokal pada pusat penelitian bioteknologi Departemen Kelautan dan
Perikanan Jakarta pada tanggal 12 Desember 2005.
Beberapa bagian dari disertasi ini dalam tahap publikasi ke dalam jurnal
ilmiah nasional (Buletin Teknologi Industri Pangan) dan dalam tahap persiapan
publikasi internasional (Carbohidrate Research Journal).
vii
PRAKATA
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi rahmat dan berkah-Nya
sehingga penulisan disertasi yang berjudul “Aktivitas Kitooligomer Hasil Reaksi
Enzimatik terhadap Proliferasi Sel limfosit dan Sel Kanker” dapat diselesaikan.
Disertasi ini dibuat sebagai salah satu syarat mahasiswa pascasarjana program
S3 untuk meraih gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Banyak pengalaman dan ide yang penulis peroleh sejak penyusunan
proposal, pelaksanaan penelitian, hingga penulisan disertasi ini. Oleh karena itu
melalui kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada berbagai
pihak atas bantuan intelektual dan teknisinya dalam penelitian ini. Ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada :
1. Tim komisi pembimbing yang terdiri dari : (1) Ibu Prof Dr. Ir. Maggy T.
Suhartono sebagai ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberikan
perhatian, bantuan, dan meluangkan waktu untuk membimbing, berdiskusi
dan mendanai sebagian besar biaya penelitian ini. (2) Ibu Prof. Dr. Ir.
Fransiska Zakaria,MSc sebagai anggota komisi pembimbing yang telah
banyak meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan saran dan
koreksi yang sangat berarti serta banyak memberikan bantuan bahan-bahan
penelitian kultur sel kepada penulis. (3) Bapak Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc
sebagai anggota komisi pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu
di sela-sela kesibukan beliau sebagai ketua departemen ITP untuk
memberikan saran dan bimbingan kepada penulis. (4) Bapak Dr. Arief Budi
Witarto M.Eng, sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktu untuk diskusi dan telah memberi tambahan informasi
serta menyediakan bahan untuk pengujian apoptosis. Peran semua komisi
pembimbing sungguh sangat berarti sehingga penelitian ini dapat berjalan
dengan lancar dan dapat diselesaikan dengan tepat waktu.
2. Bapak Drh. Bambang Pontjo Priosuryanto, PhD dan Bapak Dr. Ir. Hari Eko
Irianto, Dipl. Tech., APU yang telah meluangkan waktu dan berkenan menjadi
penguji luar pada ujian terbuka, serta Prof. Dr. Drh. Dondin sayuthi atas
segala saran yang sangat berarti sewaktu menjadi penguji luar pada ujian
tertutup.
viii
3. Bapak Prof Dr. Ir. Made Astawan, MS. Terimakasih atas segala bimbingan
dan kebaikan bapak dari ketika membantu penulis menyelesaikan S2 sampai
penulis menjalani dan menyelesaikan pendidikan S3.
4. Bapak Prof Dr. Ir. Antonius Suwanto, M.Sc sekeluarga dan Bapak Dr. Ir. Budi
Tjahjono, M.Agr sekeluarga yang telah banyak memberikan bantuan,
perhatian dan rasa kekeluargaan yang erat kepada penulis sekeluarga
selama menempuh pendidikan S2 dan S3.
5. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB atas pembiayaan penelitian ini
melalui program Research Grant Hibah Kompetisi B tahun 2004.
6. Ibu Dra. Hilda Suwigno; bapak Drh. Bambang Pontjo Priosuryanto, PhD;
bapak dr.Bambang Wispriyono, PhD; Bapak Drh. Ketut Mudite, MSV; Ibu Dr.
Drh. Retno Soedjono dan Ibu Dr. Drh. Ita Djuwita, M.Phil, penulis
menghaturkan terimakasih yang sangat dalam atas segala keramahan dan
kerjasama yang telah dijalin baik dalam bentuk bantuan sarana dan
pengetahuan teknis pengujian kultur sel yang sangat penting bagi
terlaksananya penelitian ini.
7. Para sahabat di lab MB : Ibu Ika, Sherli, Meidina, Ibu Nita, Ibu Eko, Pak Aris,
dan bu Tati terimakasih atas bantuan keterampilan dasar dalam penelitian
enzim. Juga kepada tim seperjuangan menyelesaikan penelitian program B,
yaitu Yamin atas sumbangan darahnya, Emma Rochima, Yanti, bu Eni, serta
Pudin dan Nopi, terimakasih atas bantuan yang tak kenal lelah dalam
mengejar target program B. Begitupula kepada Rudi, Siti, Agnes, Lukie,
Prasna, Eni Palupi, Boby, mba Bemby, Ibu Sri Rahayu dan mba Rika,
terimakasih atas segala dorongan semangat dan saran yang sangat
membantu terutama di saat-saat akhir menjelang ujian tertutup dan terbuka.
8. Para sahabatku di IPN, Ibu Asriani, Ibu Diana, Ibu Endang Prangdimurti, Ibu
Dede R. Adawiah, Ibu Sri Widowati, mba Rifda, mba Susi, mba Yuspi, mba
Romsyah, Ibu Suliantari, Risma, Sista, Ria, Sevelin, dan Tahrir serta teman-
teman yang tak sempat penulis sebutkan namanya satu persatu, Terimakasih
atas persahabatan yang indah semasa menjadi mahasiswa IPN.
9. Kolega kerja dan teknisi laboratorium yang tidak dapat penulis sebutkan satu-
persatu, baik yang berada di lab PAU Biotek, FKH (lab Imunologi, Patologi,
Embriologi dan lab Terpadu), maupun pada program studi Ilmu Pangan serta
ix
Departeman Ilmu dan Teknologi Pangan, penulis mengucapkan terimakasih
atas persahabatan dan kerjasama yang telah terjalin dengan baik.
10. Ibu Sri, Ibu Ros, Pak Takdir, dan teman-teman lain yang tak sempat penulis
sebut satu persatu yang telah bersama saling membantu selama penelitian di
lab FKH.
11. Teman-teman Sekolah Pascasarjana asal Sultra dan Sulsel penulis
mengucapkan terimakasih atas bantuan dan kerjasama selama di Bogor.
Begitu juga kepada teman seperjuangan saya Dr. Ir Gusti ayu kade Sutariati,
terimakasih atas segala kerjasama selama kurang lebih 3,5 tahun bersama-
sama berjuang menjalani pendidikan S3 dengan segala suka dan duka.
12. Pengelola Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional atas pemberian
beasiswa kepada penulis untuk menjalani pendidikan S3.
13. Dekan FKIP Unhalu dan Rektor Universitas Haluoleo Kendari, atas izin yang
diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan S3 di program studi
Ilmu Pangan SPs IPB.
14. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf pegawai Pascasarjana IPB,
Ketua PS Ilmu Pangan IPB atas perkenaan menerima dan membantu penulis
selama menjalani pendidikan S3 di IPB.
15. Dosen-dosen IPB, terutama pada program studi Ilmu Pangan, Terimakasih
atas sumbangan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi penulis.
16. Khusus kepada Ayahanda H. Sudarman dan Ibunda Hj. Nurul Ichsan, penulis
mengucapkan banyak terima kasih atas asuhan, didikan dan doanya serta
bantuan moril dan materil sehingga menghasilkan dukungan yang luar biasa
bagi penulis dalam menempuh pendidikan doktor ini.
17. Pamanda Ir. Nasser Iskandar sekeluarga dan pamanda Drs. Abdul Rahim
sekeluarga, terimakasih atas segala perhatian, bantuan, dan kerelaan selalu
menerima penulis sekeluarga dengan baik. Begitu juga kepada keluarga
Besar penulis di Jakarta, makassar, Rappang, Kendari dan Bau-bau, penulis
mengucapkan terimakasih atas segala bantuan dan dukungan kepada
penulis selama menempuh pendidikan dari S1 sampai S3.
18. Keluarga besar bapak Andi Ramli (alm), Ibu mertua Istambol dan Andi
Makkulawu, para kakak ipar dan kakak-adik, penulis berterimakasih atas doa
dan dukungannya selama penulis mengikuti pendidikan di IPB ini.
x
19. Suami tercinta Dr. Ir. Andi Khaeruni, M.Si dan ananda tercinta Andi
Muhammad Hibatullah Ramadhan, yang telah banyak berkorban, membantu,
dan dengan setia mendampingi dengan penuh pengertian selama penulis
mengikuti program S3 ini.
Akhirnya semua budi baik yang diberikan kepada penulis semoga diterima
dan dibalas berlipat ganda oleh Allah SWT. Tak lupa permohonan maaf bila
penulis melakukan kesalahan baik yang disengaja maupun tidak. Semoga
disertasi ini bermanfaat bagi khasanah ilmu pengetahuan. Amin.
Bogor, Februari 2006 Penulis
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL………………………………………………………...….......... xiii DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………......... xiv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvii PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....……...………………………………………...................... 1 B. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 3 C. Hipotesis Penelitian.............................................…............................. ..... 3 TINJAUAN PUSTAKA
A. Kitosan, Senyawa-senyawa kitooligomer, dan Kitosanase.....…....…..... 4 1. Kitosan dan aplikasinya ........................................................................ 4 2. Kitosanase dan mikrob penghasil kitosanase....................................... 8 B. Bahan Pangan sebagai Immunoenhancer dan anti kanker....................... 10 C. Limfosit dalam Sistem Imun ........................................................……….. 12 1. Sel Limfosit ....... .................................................................................... 13 2. Pengujian Proliferasi Limfosit ................................................................ 15 3. Mitogen Sebagai Senyawa Pemacu Proliferasi Sel Limfosit ............... 17 D. Kultur Sel ................................................................................................... 18 E. Siklus Sel. .................................................................................................. 20 E. Kanker dan Mekanismenya........................................................................ 21 F. Mekanisme Anti Kanker.............................................................................. 23 1. Mekanisme anti kanker beberapa senyawa alami dan sintesis ........... 23 2. Apoptosis ............................................................................................... 25 3. Anti Protease ..................................................................................... .... 26
BAHAN DAN METODE
A. Tempat dan Waktu Penelitian........................………………………............. 28 B. Bahan dan Alat Penelitian ........……..……...…………………………........... 28 C. Diagram Alir Penelitian ............................................................................... 29 D. Metode Penelitian .........…………………………......……………………..... 31 HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Produksi Senyawa-senyawa Kitooligomer Secara enzimatik ..................... 44 B. Fraksinasi Hidrolisat Senyawa-senyawa Kitooligomer............................... 51 C. Aktivitas Senyawa-senyawa Kitooligomer terhadap Proliferasi Sel Limfosit .................................................................................... .................. 54 D. Aplikasi Senyawa-senyawa kitooligomer terhadap Proliferasi Sel Kanker ....................................................................................... ................. 64 E. Mekanisme Penghambatan Proliferasi sel kanker oleh Senyawa-senyawa Kitooligomer............................................................................................... 78 1. Mekanisme apoptosis dan Kerusakan Membran................................................................................................. 78 2. Telaah potensi senyawa-senyawa kitooligomer sebagai inhibitor protease ................................................................................... ............. 86
xii
Halaman F. Kaitan Beberapa Aktivitas Biologi dari Hidrolisat Senyawa-senyawa Kitooligomer................................................................................................. 89 SIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 94 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 96 LAMPIRAN ..................................................................................................... 107
xiii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman 1 Beberapa penelitian produksi senyawa-senyawa kitooligosakarida ... 7 2 Karakteristik enzim kitosanase dari Bacillus licheniformis MB2 .......... 9 3 Beberapa karakteristik biokimia kitosanase ....................................... 10 4 Nilai normal elemen-elemen selular pada darah manusia ................. 13 5 Aktivitas beberapa preparat enzim .................................................... 43 6 Konsentrasi enzim dari beberapa hidrolisat ....................................... 54 7 Aktivitas senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat terhadap proliferasi sel limfosit.. ...................................................................... 56 8 Aktivitas hasil fraksinasi senyawa-senyawa kitooligomer terhadap proliferasi sel limfosit ..................................................................... ..... 60 9 Pengaruh inkubasi bersama hidrolisat kitooligomer dan mitogen terhadap proliferasi limfosit ................................................................ 62 10 Beberapa hasil penelitian proliferasi sel limfosit .................................. 63 11 Hasil pengujian kebocoran membran sel.............................................. 82
xiv
DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman
1 Jalur degradasi kitin ............................................................... ....... 5
2 Struktur molekul kitin dan kitosan........................... ......................... 5
3 Mekanisme reaksi MTT menjadi MTT formazam .......................... 16
4 Siklus sel ........................................................................................ 20
5 Diagram alir proses produksi senyawa-senyawa kitooligomer ..... 30
6 Diagram alir aplikasi dan telaah mekanisme anti kanker senyawa-senyawa kitooligomer ................................................... 31
7 Hidrolisis kitosan tanpa enzim ....................................................... 45 8 Hidrolisis kitosan dengan konsentrasi enzim dan derajat deasetilasi (DD) kitosan yang berbeda........................................................ ..... 45 9 Hidrolisis preparat enzim FBS 0.0085 dengan kitosan yang berbeda derajat deasetilasi (DD) .................................................................. 46
10. Hidrolisis preparat enzim murni dengan kitosan yang berbeda derajat deasetilasi (DD)................................................................... 47 11 Hidrolisis preparat enzim dengan perbedaan konsentrasi kitosan 1% dan 0.5% ..................................................................................... 47 12 konsentrasi glukosamin berbagai hidrolisat enzimatik ...................... 48 13 Hasil pemurnian enzim kitosanase menggunakan kromatografi kolom interaksi hidrofobik (HIC) ........................................................ 50 14 Hasil deteksi kemurnian enzim menggunakan silver staining ........... 51 15 Komposisi senyawa-senyawa kitooligomer hasil reaksi preparat FBS 0.0085 DD 85 1j dan 3j ................................................ ............. 52 16 Komposisi senyawa-senyawa kitooligomer berbagai hidrolisat dengan konsentrasi enzim 0.0085, 0.10, dan 0.17 unit/mg kitosan .............................................................................. 52 17 Komposisi dan konsentrasi senyawa-senyawa kitooligomer dalam berbagai hidrolisat ........................................................................... 53 18 Hasil pemilihan konsentrasi hidrolisat .............................................. 55 19 Profil sel limfosit pada pembesaran dengan dengan inverted microscope 200 kali ........................................................... 59
xv
Nomor Halaman 20 Pengujian konsentrasi efektif untuk uji penghambatan proliferasi ..... 66 21 Pengaruh pemberian senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat terhadap penghambatan proliferasi sel KR-4 ................. 66 22 Profil sel KR-4 hasil perbesaran dengan lensa obyektif inverted microscope sebesar 200 kal i............................................. 67 23 Aktivitas senyawa-senyawa kitooligomer hasil fraksinasi sebagai penghambat proliferasi sel K562 ..................................................... 68 24 Aktivitas senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat sebagai penghambat proliferasi sel K562 .................................................... 69 25 Profil sel K562 hasil perbesaran lensa obyektif inverted microscope sebesar 100 kali................................................ 71 26 Aktivitas senyawa-senyawa kitooligomer hasil fraksinasi sebagai penghambat proliferasi sel HeLa ...................................................... 72 27 Aktivitas senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat enzimatik pada penghambatan proliferasi sel HeLa ......................................... 73 28 Profil sel HeLa hasil perbesaran lensa obyektif inverted microscope sebesar 100 kali............................................... 74 29 Aktivitas senyawa-senyawa kitooligomer hasil fraksinasi sebagai penghambat proliferasi sel A549 ...................................................... 75 30 Aktivitas senyawa-senyawa kitooligomer hidrolisat dan senyawa pembanding pada penghambatan proliferasi sel A549 .................... 76 31 Profil sel A549 hasil perbesaran lensa obyektif inverted microscope sebesar 100 kali................................................. 77 32 Foto mikroskop elektron dari sel yang mengalami kondensasi kromatin .......................................................................... 80 33 Membran sel dengan reseptor karbohidrat pada permukaan sel dan hipotesis pengikatan glikoprotein dengan senyawa kitooligomer ............................................................................................................ 81 34 Hasil visualisasi kerusakan membran sel dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) (Pembesaran 15.000 X)…………………………... 83
xvi
Nomor Halaman 35 Jumlah (%) sel apoptosis .................................................................. 84 36 Apoptosis sel K562 ........................................................................... 85 37 Apoptosis sel HeLa ............................................................................ 85 38 Apoptosis sel A549 ............................................................................ 85 39 Kemampuan senyawa-senyawa kitooligomer dalam menghambat aktivitas enzim tripsin pada substrat kolagen (inkubasi 24 jam) ..... 87 40 Kemampuan kitooligomer dalam hidrolisat enzimatik terhadap penghambatan aktivitas (inhibitor) enzim serin protease ................. 88 41 Kemampuan kitooligomer dalam hidrolisat enzimatik terhadap aktivitas anti proliferasi sel KR4........................................ 89 42 Kemampuan kitooligomer dalam hidrolisat enzimatik terhadap Aktivitas anti proliferasi sel K562....................................................... 90 43 Kemampuan kitooligomer dalam hidrolisat reaksi enzimatik terhadap aktivitas anti proliferasi sel HeLa ..................................................... 90 44 Kemampuan kitooligomer dalam hidrolisat enzimatik terhadap proliferasi sel limfosit ......................................................... 91 45 Hubungan antara kemampuan hidrolisat kitooligomer
pada penghambatan proliferasi sel kanker dengan aktivitas inhibitor protease ................................................................................ 92
46 Kromatogram HPLC hasil analisis dan fraksinasi kitooligomer ......... 109
xvii
DAFTAR LAM PIRAN Nomor Halaman 1. Inform concern dari responden ................................................. 107 2. Konsentrasi preparat hasil reaksi enzimatik ................................. 108 3. Kromatogram HPLC senyawa-senyawa kitooligomer .................. 109 4. Kurva standar dalam perhitungan konsentrasi .............................. 110
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak komponen bioaktif pangan saat ini diketahui mempunyai efek positif
terhadap kesehatan, oleh karena itu penggunaan pangan yang diketahui mengandung
senyawa bioaktif atau pangan fungsional merupakan hal yang sangat bermanfaat.
Pangan yang kita konsumsi sehari-hari pada kenyataannya mengandung ribuan
senyawa bioaktif, banyak diantaranya yang memiliki cukup potensi untuk
meningkatkan kesehatan, contohnya adalah sulphoraphane, kurkumin, likopen, dan
polifenol dalam teh yang merupakan agen chemopreventive yang telah terbukti (Elliot
dan Ong 2002). Saat ini penggunaan pangan fungsional untuk kesehatan telah
berkembang pesat, salah satu faktor pendukungnya adalah keinginan banyak orang
untuk meningkatkan kesehatan dengan cara yang alami. Hal tersebut dilatarbelakangi
oleh berbagai efek samping yang merugikan dari konsumsi obat-obatan kimiawi yang
telah banyak terbukti, sehingga timbul keinginan untuk menggunakan bahan-bahan
dari alam untuk meningkatkan kesehatan. Selain faktor tersebut, konsumsi makanan
yang tidak seimbang juga telah terbukti menjadi kunci dari faktor eksternal yang
berpengaruh pada kejadian penyakit-penyakit kronis, termasuk terjadinya penyakit-
penyakit kanker. Upaya pencegahan terhadap berbagai jenis penyakit termasuk
penyakit kanker secara dini melalui pangan yang sehat meningkatkan konsumsi
komponen bioaktif sebagai pangan fungsional. Disamping itu penggunaan komponen
bioaktif dari bahan-bahan alami dengan tujuan untuk pengobatan penyakit dalam
bentuk nutraceuticals kini sudah banyak dijumpai, termasuk senyawa-senyawa
kitooligomer yang berasal dari degradasi limbah bahan berkitin saat ini mulai
digunakan sebagai bahan nutraceuticals. Senyawa kitooligomer ini telah menarik
perhatian industri karena berbagai manfaatnya untuk pangan dan medis, sehingga
memiliki nilai ekonomis cukup baik untuk dikembangkan saat ini, dengan harga jual di
pasaran internasional yang telah mencapai US$ 60.000 per ton (Sandford 2003).
Banyak penelitian telah membuktikan bahwa senyawa-senyawa kitooligomer
yang berasal dari limbah berkitin memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai
material anti kanker, antara lain senyawa heksa N-asetil kitoheksaose dan
kitoheksaose yang berasal dari degradasi kitin. Senyawa-senyawa kitooligomer yang
berasal dari degradasi kitosan telah dilaporkan memiliki pengaruh menghambat
pertumbuhan dan proliferasi sel tumor. Oleh sebab itu kajian dalam penelitian ini
2
dipandang sangat penting dilakukan untuk usaha peningkatan nilai tambah limbah
berkitin melalui usaha produksi senyawa bioaktif kitooligomer yang dapat diaplikasikan
sebagai pangan fungsional dan nutraceutical.
Limbah berkitin di Indonesia pada tahun 2002 dihasilkan sekitar 112.208 ton
(Anonim 2004). Limbah ini belum termanfaatkan secara baik dan berdaya guna,
bahkan sebagian besar merupakan buangan yang juga turut mencemari lingkungan.
Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai usaha penggalian potensi lokal untuk
memanfaatkan limbah berkitin menjadi bahan yang bermanfaat, antara lain
mengolahnya menjadi kitosan dan oligomernya. Saat ini produk kitosan dan
oligomernya telah banyak dijual dalam bentuk kapsul nutraceutical dan pharmaceutical
dengan berbagai merek dagang yang umumnya berasal dari Korea dan Jepang.
Senyawa-senyawa kitooligomer dapat diproduksi secara enzimatik dari senyawa
kitin dengan menggunakan enzim kitinase, kitin deasetilase dan kitosanase. Kitin
deasetilase memodifikasi kitin menjadi kitosan. Kitosanase menguraikan kitosan
menjadi senyawa-senyawa kitooligomer. Proses pengubahan kitin menjadi turunan
oligosakarida secara kimiawi oleh asam cenderung dihindari karena proses ini tidak
dapat dikontrol dan menghasilkan lebih banyak monomer D-glukosamin dan lebih
sedikit oligomer, sedangkan yang memiliki aktivitas biologi penting adalah senyawa
oligomernya. Hidrolisis kitosan secara enzimatis adalah cara yang lebih baik untuk
mendapatkan senyawa-senyawa kitooligomer dengan derajat polimerisasi yang lebih
tinggi. Ukuran molekul produk akhir hidrolisis sangat penting diperhatikan karena sifat
fungsional bergantung pada berat molekulnya.
Penggunaan enzim sebagai biokatalis dalam industri obat-obatan, kosmetika,
dan bioteknologi menjadi pilihan yang terbaik saat ini, karena bersifat ramah
lingkungan, prosesnya mudah dikendalikan, dan produk akhirnya seragam.
Penggunaan enzim termostabil dalam penelitian ini dimaksudkan karena sifat stabilitas
enzim terhadap proses panas, sebab sifat enzim yang stabil pada kondisi panas
diminati oleh kalangan industri karena memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi, antara
lain reaksi dapat berlangsung pada suhu tinggi sehingga mengurangi kontaminasi
bakteri mesofil dan laju reaksi lebih cepat sehingga mengurangi biaya produksi. Selain
itu enzim termostabil dari mikroba termofil lebih tahan terhadap berbagai senyawa atau
keadaan penyebab denaturasi sehingga dapat lebih tahan disimpan. Sifat stabil yang
dimiliki enzim termofil menekan peluang kehilangan aktivitas selama produksi dan
penyimpanan, serta memudahkan para teknolog dalam menangani proses produksi
3
dan pemurniannya (Suhartono 1994). Indonesia merupakan negara yang kaya
diversitas sehingga peluang menemukan mikroba termofil penghasil enzim yang unik
cukup realistik. Salah satu mikrob termofilik penghasil enzim kitosanase dari Indonesia
yang telah berhasil dipilah dari sumber air panas di Tompaso Sulawesi Utara adalah
Bacillus licheniformis MB2. Diharapkan enzim dari mikroba ini dapat bermanfaat bagi
proses industri dan bioteknologi, salah satunya adalah dapat digunakan untuk
memproduksi senyawa bioaktif kitooligomer yang memiliki banyak manfaat.
Berdasar latar belakang tersebut, maka dalam penelitian ini dilakukan kajian
produksi senyawa kitooligomer yang bersifat bioaktif dengan menggunakan enzim
kitosanase yang dihasilkan oleh isolat Bacillus licheniformis MB2 yang telah
dikarakterisasi sebelumnya secara menyeluruh oleh Chasanah (2004). Bakteri tersebut
diketahui menghasilkan kitosanase pada pH optimum 6-7, stabil terhadap kisaran pH
4 – 6.8, tahan panas (suhu optimum 70oC) dan tahan senyawa denaturan ( terutama
guanidin dan urea). Selanjutnya penelitian ini ditujukan untuk menghasilkan senyawa-
senyawa kitooligomer yang memiliki aktivitas biologis sebagai anti kanker, sehingga
senyawa-senyawa kitooligomer dapat dijadikan material anti kanker bagi pengobatan
penyakit kanker di masa datang.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengaplikasi enzim kitosanase termostabil dari
Bacillus licheniformis MB2 untuk memproduksi senyawa-senyawa kitooligomer yang
memiliki aktivitas biologi khususnya terhadap sel limfosit dan sel kanker (2)
Menganalisis potensi anti kanker dari senyawa-senyawa kitooligomer.
C. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Enzim kitosanase dari Bacillus licheniformis MB2 dapat digunakan untuk
memproduksi senyawa-senyawa kitooligomer yang memiliki aktivitas biologi
terhadap sel limfosit dan sel kanker.
2. Senyawa-senyawa kitooligomer mampu menghambat proliferasi sel kanker
melalui mekanisme kerusakan membran, apoptosis, dan kemungkinan sebagai
inhibitor enzim serin protease.
TINJAUAN PUSTAKA A. KITOSAN, KITOOLIGOMER DAN KITOSANASE
1. Kitosan dan Aplikasinya.
Kitosan adalah biopolimer yang tersusun atas D-glukosamin dengan ikatan
glikosidik â 1�4 yang dapat dihasilkan dari kitin, yaitu polimer linier â (1�4)-2-
asetamido-2-deoxy-D-glukosa (N-asetilglukosamin). Kitin adalah komponen
utama pada kulit kepiting dan udang atau kelompok kerang-kerangan (crustacea)
(Goosen et al. 1997). Sebagian besar kitosan untuk penggunaan komersial dan
penelitian diproduksi dari deasetilasi kitin yang berasal dari kulit udang dan
kepiting, limbah utama pada industri pengolahan shellfish. Secara alami kitosan
dapat dihasilkan dari fungi golongan zygomycetes (Miyoshi et al. 1992). Kitosan
adalah polimer alami, sehingga tidak bersifat toksik, tidak larut dalam air yang
bersifat basa tetapi larut baik dalam pelarut asam di bawah pH 6. Aplikasi polimer
kitosan tidak sebanyak bentuk kitooligomernya, hal ini disebabkan karena kitosan
memiliki berat molekul yang besar dan viskositas yang tinggi.
Untuk memperoleh kitosan dari kitin dapat dilakukan secara kimia dan
enzimatis. Kedua reaksi tersebut bertujuan untuk menghilangkan gugus asetil
yang terdapat pada kitin. Reaksi enzimatis menggunakan enzim kitin deasetilase,
sedangkan untuk memperoleh kitosan secara kimia dari kitin dapat melalui
kombinasi perlakuan panas (60 oC – 140 oC) dan larutan alkali (larutan NaOH
30% – 50%). Derajat deasetilasi kitosan biasanya berada antara 70% - 90%
tergantung metoda yang digunakan (Goosen et al. 1997). Derajat deasetilasi
dipengaruhi oleh konsentrasi basa, temperatur dan rasio kitin terlarut, derajat
deasetilasi akan meningkat dengan meningkatnya temperatur atau konsentrasi
NaOH (Chang et al. 1997). Proses deasetilasi secara termokimia tersebut dalam
banyak hal tidak menguntungkan karena tidak ramah lingkungan, prosesnya
tidak mudah dikendalikan, dan kitosan yang dihasilkan memiliki berat molekul
dan derajat deasetilasi yang tidak seragam (Chang et al. 1997; Tsigos et al.
2000). Proses deasetilasi yang menggunakan kombinasi perlakuan secara
kimiawi dan enzimatis seperti yang telah dilakukan oleh Rochima (2005)
merupakan alternatif proses yang lebih baik. Jalur degradatif kitin menjadi kitosan
dapat dilihat pada Gambar 1, sedangkan struktur molekul kitin dan kitosan dapat
dilihat pada Gambar 2.
5
Kitin deasetilase (EC 3.5.1.4)
Kitin Kitosan Kitinase
(E.C 3.2.1.14) Lysozyme Kitosanase (E.C 3.2.1.17) (EC
3.2.1.132) Kitin oligosakarida Kitosan oligosakarida
N-acetil-β-D- glukosamidase D-glukosamidase (EC 3.2.1.30) N-Asetil – D- Glukosamin D-Glukosamin
Gambar 1 Jalur degradasi kitin (Goosen 1997)
Gambar 2 Struktur molekul kitin dan kitosan (Li et al. 1997)
Proses pengubahan kitin menjadi turunan oligosakarida secara kimiawi
oleh asam cenderung dihindari karena proses ini tidak dapat dikontrol,
menghasilkan lebih banyak monomer D-glukosamin dan lebih sedikit
kitooligomer, padahal, yang memiliki aktivitas biologi penting adalah senyawa-
senyawa kitooligomernya (Kolodziesjka et al. 2000, Curroto & Aros 1993).
Hidrolisis kitosan secara enzimatis adalah cara yang lebih baik untuk
mendapatkan senyawa-senyawa kitooligomer dengan derajat polimerisasi yang
6
lebih rendah, karena sifat fungsional bergantung pada berat molekulnya (Suzuki
1996, Kolodziejska et al. 2000).
Banyak studi yang telah dilakukan mengenai penggunaan enzim untuk
mendegradasi kitosan. Aiba (1993,1994) menghidrolisis kitosan menggunakan
enzim kitinase dan lisozim. Pantaleone et al. (1992) dan Brine et al. (1992)
melaporkan penggunaan enzim glikanase, protease, lipase, dan tannase yang
berasal dari bakteri, fungi, mamalia, dan tanaman untuk menghidrolisis kitosan.
Muzarelli et al. (1995a, 1995b) telah menggunakan enzim papain dan lipase
untuk depolimerisasi kitosan. Guo dan Hung (2002) melaporkan penggunaan
enzim selulase untuk memperoleh senyawa-senyawa kitooligosakarida dari
kitosan. Berbagai proses tersebut dikembangkan untuk menghasilkan proses
hidrolisis yang efisien terhadap kitosan, akan tetapi penggunaan enzim-enzim
tersebut membutuhkan konsentrasi yang relatif tinggi, sedangkan kitosanase
menunjukkan aktivitas yang cukup baik pada konsentrasi yang kecil (Jeon dan
Kim 2000).
Telah banyak dilaporkan adanya sifat fisiologis penting senyawa-senyawa
kitooligomer hasil degradasi kitin dan kitosan, yang memiliki daya antibakteri,
antijamur, antitumor, penurun kolesterol, penurun tekanan darah tinggi, dan
kemampuannya dalam meningkatkan daya imunologis (Dalwoo 2004, Muzarelli
1996, Shahidi et al.1999, Suzuki et al. 1986, Suzuki 1996). Dalam bidang
farmasi, kitooligomer mampu menurunkan kolesterol. Aktivitas hipokolesterolemik
kitooligomer kemungkinan disebabkan karena penghambatan pembentukan
micelle yang mengandung kolesterol, asam lemak dan monogliserida, sehingga
berperan aktif sebagai anti kolesterol (Goosen 1997, Dodane dan Vilivalam
1998). Cui dan Mumper (2001) meneliti tentang penggunaan kitosan dan
oligomernya untuk berkompleks dengan CMC (Carboxyl Methyl Cellulose) guna
membentuk kationik nano patrikel yang stabil untuk keperluan imunisasi genetik.
Kemampuan kitosan dan senyawa-senyawa kitooligomer sebagai antimikroba
telah diujikan pada organisme penghasil spora pada media laboratorium dan
makanan, ternyata Kitooligomer yang lebih pendek lebih efektif berperan
sebagai antimikroba daripada yang berantai panjang (Shahidi et al. 1999 ;
Rhoades dan Roller 2000 ; Meidina 2005 ).
Pada Tabel 1 disajikan informasi penelitian yang telah dilakukan untuk
memperoleh senyawa-senyawa kitooligomer yang berasal dari kitin dan kitosan
7
Tabel 1 Beberapa penelitian produksi senyawa-senyawa kitooligomer
No
Enzim Sumber Aktivitas Metode Substrat & konsentrasi
Hasil Referensi
1. Kitosanase Bacillus pumilus BN-262 (45oC)
5,10,15 dan 25 U/g Chit
UFmembran reaktor
Kitosan terlarut 1% (DD 89%)
Trimer - Heksamer
Jeon & Kim 2000
2. Kitosanase Bacillus sp BN-262 (50oC)
1g/100ml (13% prot)
Imobilisasi pada suport gel agar
Kitosan terlarut 0,5% (DD 100%)
Pentamer & Heksamer
Ichikawa et al. 2002
3. Kitinase Streptomyces cursanovii (37oC)
0,38U/ml Imobilisasi pada macroporous cross linked chitin
Kitin koloidal 1% (DD 85%)
Dimer - Nanomer
Ilyina et al. 2000
4. Lisozim & lateks pepaya
Degradasi re -dox H2O2 & Fe(III)
Kitosan hidrokhlorida 1% (DD 15,6%)
Rhoades & Roller 2000
5. Kitosanase Bacillus sp Strain CK4 (60oC)
0,1mg/ ml Purifikasi dengan DEAE Toyopear l650-M
Kitosan koloidal l% (DD 100%)
Monomer - Heksamer
Yoon et al. 2001
6. Kitosanase Bacillus sp Strain KCTC 0377BP (40oC)
2-8 U/g Inkubasi enzim dan substrat selama 24 jam. (Direct enzymatic reaction)
Kitosan terlarut 20 - 40 mg/ml (DD 39, 50 dan 72 %)
Trimer - Heptamer
Yeon et al. 2004
Senyawa-senyawa kitooligomer dilaporkan memiliki aktivitas anti kanker,
laporan ini antara lain dikemukakan oleh Yeon (2004) bahwa heksa N-asetil
kitoheksaose dan kitoheksaose memiliki pengaruh penghambat pertumbuhan
dari sel tumor Meth A-solid. Semenuk et al. (2001) melaporkan aktivitas
kitooligomer sebagai anti tumor melalui kemampuan senyawa kitooligomer
bertindak sebagai ligan bagi reseptor sel natural killer yang mengakibatkan
aktivasi selular sistim imun sehingga kitooligomer tersebut dapat berfungsi
sebagai anti tumor. Pae et al. (2001) melaporkan terjadinya penghambatan pada
sel promyelocytic leukemia (HL-60) oleh water-soluble chitosan oligomer
(WSCO). Shen (2002) juga melaporkan kitosan larut air (WSC) secara signifikan
menghambat proliferasi sel kanker ASG. Guo & Hung (2002) melaporkan
senyawa kitooligosakarida yang dihasilkan dari enzim selulase memiliki pengaruh
pada fungsi sistim imun seperti mempengaruhi proliferasi sel makrofag dan
hibridoma HB4C5 secara in vitro. Sedangkan secara in vivo terbukti
meningkatkan kandungan IgG dan IgM dalam serum darah mencit yang diinjeksi
dengan N- asetil kitoheksaose.
8
2. Kitosanase dan Mikroba Penghasil Kitosanase
Kitosanase (EC 3.2.1.132) merupakan enzim yang menghidrolisis ikatan
glikosidik kitosan untuk menghasilkan kitooligomer (kitooligosakarida). Kitosan (
â-(1�4)-N-glukosamin) merupakan turunan dari kitin yang diperoleh melalui
deasetilasi sempurna atau sebagian. Menurut Fukamizo dan Brzezinski (1997),
kitosanase adalah enzim yang menghidrolisis kitosan, memotong pada ikatan â-
1,4-glikosidik kecuali ikatan GlcNAc-GlcNAc. Kitosanase dibagi menjadi tiga klas
berdasarkan spesifik pemotongannya yaitu klas 1, enzim memotong pada ikatan
GlcN-GlcN dan GlcNAc-GlcN; klas 2, enzim yang memotong hanya pada ikatan
GlcN-GlcN; klas 3, enzim yang memotong pada ikatan GlcN-GlcN dan GlcN-
GlcNAc (Saito et al. 1999; Fukamizo dan Brzezinski 1997). Pada Tabel 2
disajikan beberapa karakteristik enzim kitosanase dari berbagai sumber.
Berdasarkan homologi sekuen asam amino, Yoon et al. (2000)
mengkategorikan kitosanase ke dalam empat kelompok, kelompok I
berhubungan erat dengan kitosanase dari B. circulans, B.ehemensis, dan
Burkholderia gladioli (similaritas sekitar 81-84%). Kelompok II termasuk
Amycolaptosis sp., Nocardioides sp. N 106, Streptomyces sp. N 174 (similaritas
sekitar 73-76%). Bacillus sp. CK4 dan Bacillus subtilis termasuk dalam golongan
kelompok III dengan similaritas sekitar 76.6%. Sedangkan Sphingobacterium dan
Matsuebacter digolongkan ke dalam kelompok IV dengan similaritas sekitar 75%.
Carbohydrate Active Enzyme (CAZY) mengklasifikasi kitosanase pada 3 (tiga)
kelompok, yaitu family 46, 75 dan 80. Sebagian besar hasil studi kitosanase yang
terdapat pada bakteri termasuk dalam anggota glikosida hidrolase family 46,
dimana kitosanase dari fungi patogen tanaman seperti Fusarium solani
diklasifikasi sebagai glikosida hidrolase family 75. Chitosanotabidus dan
Sphingobacterium multivorum termasuk golongan glikosida hidrolase family 80
(Park et al. 1999). Diantara kitosanase yang telah diteliti tersebut hanya
glikosida hidrolase family 46 yang telah ditentukan struktur tiga dimensinya dan
hanya dua struktur kristal kitosanase, yaitu dari Streptomyces sp. N174 dan
Bacillus circulans yang telah dipublikasi (Saito et al. 1999). Glu-22 dan Asp-40
merupakan residu asam amino yang penting pada sisi katalitiknya (Fukamizo dan
Brzezinski 1997) dimana residu triptofan berperan penting untuk kestabilan
protein enzim kitosanase (Honda et al. 1999). Hasil studi lain terhadap identifikasi
residu asam amino untuk aktivitas katalitik kitosanase termostabil dari Bacillus
9
sp. CK4 menunjukkan bahwa Glu-50 tidak mutlak esensial untuk aktivitas
katalitik, tetapi mungkin memiliki peranan penting untuk menjaga struktur sisi
katalitik kitosanase (Yoon et al. 2001).
Berbagai pertimbangan penggunaan mikroba sebagai sumber enzim
kitosanase antara lain adalah mikroba dapat tumbuh relatif cepat, bahan baku
relatif murah, mudah diisolasi, dan terbuka peluang untuk meningkatkan mutu
enzim melalui rekayasa genetika (Madigan et al. 2000). Informasi tentang
mikroba penghasil enzim kitosanase telah dilaporkan oleh beberapa peneliti,
antara lain kitosanase dari Bacillus sp P1-7S dilaporkan oleh Seino et al. (1991),
Matsuebacter chitosanotabidus 3001 oleh Park et al . (1999), Bacillus sp strain
CK4 oleh Yoon et al. (2001), Burkholderia gladioli strain CHB101 oleh Shimosaka
et al. (2000), Streptomyces N174 oleh Somashekar dan Joseph (1996).
Kitosanase yang berasal dari fungi dilaporkan oleh Shimosaka et al. (1993) yang
mengisolasi kitosanase dari Fusarium solani f.sp. dan phaseoli, Cheng dan Li
(2000) mengisolasi kitosanase dari Aspergillus Y2K. Kitosanase yang berasal
dari tanaman Cucumis sativus, Citrus sinensis, dan Barley telah dilaporkan oleh
Somashekar dan Joseph (1996).
Karakteristik enzim kitosanase yang berasal dari Bacillus licheniformis MB2
disajikan dalam Tabel 2. Beberapa karakteristik enzim kitosanase yang berasal
dari berbagai sumber disajikan pada Tabel 3.
Tabel 2 Karateristik enzim kitosanase dari Bacillus licheniformis MB2 a)
No. Parameter Karakteristik 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Suhu optimum pH optimum Buffer optimum Berat Molekul Aktivator Spesifitas substrat Tahan terhadap jenis denaturan
70oC 6.0 -7.0 Buffer phosphat 0.05 M pH 6 75 kDa Mn Kitosan terlarut Guanidin dan urea
a) Chasanah 2004
10
Tabel 3 Beberapa karakteristik biokimia kitosanase
Mikroorganisme Berat Molekul (kDa)
pH Optimum
Suhu Optimum
(oC)
Inhibitor substrat Produk Referensi
Matsuebacter chitosanotabidus 3001 Paenibacillusfukuinensis D2 B. circulans MH-K1 Bacillus sp CK-4 Aspergillus Y2K Acinetobacter sp CHB101 Fusarium solani f.sp phaseoli.
34
86.51
27
29
25
37 & 30
36
4.0
-
6.5
6.5
6.6
5 – 9
5.6
30 – 40
-
50
60
65 – 70
40
40
Ag2+
-
Hg2+, Zn +, pCMB, Cu2+
Cu2+
Hg2+,Cd2= - - -
Kitosan DD 100%, CMC Kitosan dengan DD tinggi Kitosan dengan DD tinggi Kitosan dengan DD tinggi Kitosan dengan DD tinggi Kitosan dengan DD tinggi Kitosan dengan DD tinggi
(GlcN)2-6
(GlcN)2-7
(GlcN)4
(GlcN)4
(GlcN)3-5
(GlcN)3-5
(GlcN)3-5
Park et al. 1999
Kimoto et al. 2002
Yabuki et al. 1988
Yoon et al. 2000
Cheng dan Li (2000)
Shimosaka et al. 1995
Shimosaka et al. 1993
B. BAHAN PANGAN SEBAGAI IMMUNOENHANCER DAN ANTIKANKER
Penelitian untuk menunjukkan potensi bahan pangan tertentu yang memiliki
aktivitas terhadap proliferasi sel limfosit dan antiproliferasi terhadap sel kanker
telah banyak dilakukan. Buah-buahan, sayuran dan biji-bijian merupakan sumber
dari produk samping metabolisme senyawa mevalonat yang bersifat
antikarsinogenik (Elson dan Yu 1994). Beberapa jenis bahan pangan lain yang
juga mengandung senyawa antikarsinogenik adalah: bawang, kol, kedelai,
wortel, seledri, bawang bombay, teh hijau, citrus (orange, lemon, grapefruit),
beras pecah kulit dan gandum utuh (Caragay 1992). Menurut Waladkhani dan
Clemens (1998) sayuran, buah-buahan dan biji -bijian mengandung beragam
senyawa fitokimia yang berpotensi sebagai senyawa antikarsinogenik yaitu:
karotenoid, klorofil, flavonoid, indol, komponen polifenol, inhibitor protease,
sulfida, dan terpen. Laporan tersebut didukung oleh hasil penelitian Zakaria et al.
(2000) yang melaporkan bahwa konsumsi sayur dan buah yang mengandung
vitamin C dan vitamin E dapat meningkatkan kemampuan proliferasi sel limfosit
11
dan meningkatkan aktivitas sitotoksik dari sel NK. Selanjutnya Ogata et al.
(2000), melaporkan senyawa turunan asam nikotinat dan nikotinamida yaitu
niasin (jenis vitamin larut air) ditemukan tidak membunuh sel limfosit, tetapi dapat
menginduksi apoptosis pada sel K562.
Kelompok solanase (tomat, kentang, terung dan cabai) dan rempah-rempah
(jahe, cengkeh, kunyit) juga merupakan kelompok bahan pangan yang
mempunyai sifat anti karsinogenik. Menurut Yuana (1998), rempah-rempah
seperti jahe, lempuyang, kencur dan pasak bumi mempunyai komponen-
komponen yang dapat memberikan efek penghambatan terhadap sel kanker
K562. Agustinisari (1998) melaporkan bahwa ekstrak air dan etanol jahe segar
dapat menekan proliferasi sel leukimia (K562) secara in vitro. Ekstrak air dan
etanol dari bawang putih dari hasil penelitian Lastari (1997) dapat menekan
proliferasi sel-sel K562 secara in vitro dan menaikkan aktivitas sel NK manusia.
Rusmarilin (2003) juga melaporkan aktivitas anti kanker dari ekstrak lengkuas
lokal (Alpinia galanga (L) Sw) pada galur sel kanker manusia dan mencit.
Senyawa turunan flavonoid yang terkandung dalam bahan pangan antara
lain quersetin memperlihatkan kemampuan menghambat proliferasi sel leukimia
dan sel ovari manusia secara in vitro (Zakaria et al. 1997). Iwashita et al. (2000)
juga melaporkan aktivitas senyawa isoliquiritigenin dan butein turunan dari
flavonoid mampu menghambat pertumbuhan sel dan menginduksi terjadinya
apoptosis pada sel-sel B16 Melanoma 4A5. Damayanti (2002) melaporkan
senyawa antioksidan dari bekatul padi (Oryza sativa ) mampu menekan proliferasi
sel kanker KR4 sebesar 30 %, K562 sebesar 12%, dan melanoma sebesar 23%.
Beberapa ekstrak tanaman juga dilaporkan memiliki kemampuan
memperbaiki sistem imun dan bersifat anti kanker, antara lain hasil penelitian dari
Konishi et al. (1985) dan Noda et al . (1996) yang melaporkan aktivitas anti tumor
dari chlorella vulgari. Senyawa fenol glikosida, neohankosida C, yang diisolasi
dari tanaman Cynanhum hancockianum diketahui bersifat anti tumor dan
mempunyai aktivitas imunomodulator (Konda et al. 1997). Eksktrak tanaman
Uncaria tomentosa dilaporkan tidak bersifat toksik (Maria et al; 1997),
menginduksi proliferasi limfosit (Wurm et al . 1998) dan mampu menghambat
proliferasi serta menginduksi apoptosis sel-sel leukimia K562 dan HL-60 (Sheng
et al. 1998). Meiyanto et al (2003) juga melaporkan ekstrak etanol daun dan kulit
batang tanaman cangkring (Erythrina Fusca Lour) dapat menghambat proliferasi
12
sel HeLa. Ananta (2000) melaporkan ekstrak cincau hijau (Cyclea barbata L.
Miers) mampu menghambat proliferasi sel K562 sebesar 70% dan sel HeLa
sebesar 30%. Puspaningrum (2003) melaporkan ekstrak air kayu secang
(Caesalpinia sappan Linn) mampu memproliferasi sel limfosit limfa tikus dan
menekan proliferasi sel K562 secara in vitro sebesar 20.8%.
Senyawa-senyawa anti kanker ternyata tidak hanya berasal dari daratan,
Aoki et al. (2004) melaporkan aktivitas anti kanker dari smenospongine yaitu
senyawa aminokuinon seskuiterpen yang diisolasi dari spong laut terhadap sel
kanker K562 (chronic myelogenous leukemia) pada konsentrasi 3 – 15 µM.
Senyawa kitin dan turunannya yang berasal dari hewan laut udang dan kepiting
ternyata juga dilaporkan memiliki aktivitas anti kanker, laporan ini antara lain
dikemukakan oleh Yeon (2004) bahwa heksa N-asetil kitoheksaose dan
kitoheksaose memiliki pengaruh penghambat pertumbuhan dari sel tumor Meth
A-solid. Semenuk et al. (2001) melaporkan aktivitas kitooligomer sebagai anti
tumor. Pae et al. (2001) melaporkan terjadinya induksi granulositik pada sel
promyelocytic leukemia (HL-60) oleh water-soluble chitosan oligomer (WSCO).
Shen (2002) juga melaporkan kitosan larut air (WSC) secara signifikan
menghambat proliferasi sel kanker ASG.
B. LIMFOSIT DALAM SISTEM IMUN
Limfosit adalah sel darah putih (leukosit) yang mampu menghasilkan
respon imun spesifik terhadap berbagai jenis antigen yang berbeda. Limfosit
(leukosit) berukuran kecil, berbentuk bulat (diameter 7-15 µm), dan banyak
terdapat pada organ limfoid seperti seperti limpa, kelenjar limfe dan timus.
Terdapat dua kelas leukosit yaitu, yang mengandung granula dalam
sitoplasmanya (granulosit) dan agranulosit yang tidak mengandung granula
(Ganong 1990). Limfosit merupakan sel kunci dalam proses respons imun
spesifik, mengenali antigen melalui reseptor antigen dan mampu
membedakannya dari komponen tubuhnya sendiri (Kuby 1992).
Darah adalah suspensi yang terdiri dari elemen-elemen atau sel-sel , dan
plasma yaitu larutan yang mengandung berbagai molekul organik dan an
organik. Ada tiga grup sel darah, yaitu sel darah merah (RBC) atau eritrosit, sel
darah putih (WBC) atau leukosit yang terdapat kurang dari 1% volume total
darah, dan butir pembeku (platelets) atau trombosit. Komposisi dan nilai normal
masing-masing elemen seluler pada darah manusia disajikan pada Tabel 4.
13
Tabel 4 Nilai normal elemen-elemen selular pada darah manusiaa)
Elemen-elemen seluler
Rata-rata sel/ml
Kisaran normal Persen dari leukosit total
A.Leukosit 9000 4000 - 11000 - -Granulosit :
Neutrofil Eusinofil Basofil
5400 275 35
3000-6000 150-300
0-100
50-70 1-4 0,4
-Agranulosit Limfosit Monosit
2750 540
1500-4000 300-600
20-40 2-8
B.Eritrosit Laki-laki Wanita
5,4 x 10 6 4,8 x 10 6
C.Platelets 300000 2-5 x 105 a) Ganong (1990)
Sistem imun merupakan sistem interaktif kompleks dari beragam jenis sel
imunokompeten yang bekerjasama dalam proses identifikasi dan eliminasi
mikroorganisme patogen dan zat-zat berbahaya lainnya yang masuk ke dalam
tubuh. Sistem imun dibedakan dalam dua kelas yaitu sistem imun non spesifik
dan spesifik. Respon imun non spesifik timbul sebagai reaksi terhadap
mikroorganisme patogen dan zat asing lainnya melalui fagositosis dan monosit
(makrofag), barier kimia melalui sekresi internal dan eksternal, lisozim dalam
mukus jaringan, air mata, laktoperoksidase dalam saliva, protein darah,
interferon, sistem kinin dan komplemen, dan sel Natural Killer (NK) (Parslow
1997). Sistem imun spesifik meliputi sistem imun seluler dan humoral. Sistem
imun seluler memberikan pertahanan terhadap serangan mikroorganisme intra
dan ekstraseluler melalui sekresi limfokin seperti interferon dan interleukin.
Sedangkan sistem imun humoral memberi pertahanan melalui produksi antibodi
terhadap antigen spesifik (Roitt dan Delves 2001).
1. Sel Limfosit
Sel limfosit terdiri dari 2 tipe sel yang mampu membuat kekebalan yaitu sel
limfosit T, yang berfungsi dalam imunitas seluler, dan sel limfosit B yang
berfungsi dalam imunitas humoral (Bellanti 1993). Sel limfosit B berasal dari
sumsum tulang belakang dan berdiferensiasi dalam jaringan ekivalen bursa.
Jumlah sel limfosit B dalam keadaan normal berkisar antara 10 - 15%. Setiap sel
14
B memiliki 105 B Cell Receptor (BCR), dan setiap BCR memiliki dua situs
pengikatan antigen yang identik. Antigen yang umum bagi sel B adalah protein
dengan struktur tiga dimensi. BCR dan antibodi mengikat antigen dalam bentuk
aslinya. Hal ini membedakan sel B dengan sel T, yang mengikat antigen yang
sudah terproses dalam sel (Kresno 1996).
Sel limfosit dapat mengenali suatu antigen secara spesifik dan menerima
sinyal untuk berproliferasi. Setelah berikatan dengan antigen, limfosit B akan
mengalami proses perkembangan melalui 2 jalur, yaitu (a) berdiferensiasi
menjadi sel plasma yang menghasilkan imunoglobulin, dan (b) membelah lalu
kembali dalam keadaan istirahat sebagai sel limfosit B memori. Sel limfosit
mampu berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sebuah klon yang terdiri dari
sel-sel efektor dengan spesifisitas antigen yang sama (Decker 2001).
Sel T merupakan bagian dari sel limfosit yang sebagian besar terdapat
dalam sirkulasi darah, yaitu sebanyak 65-85% (Kresno 1996). Sel T terdiri dari
tiga subset yaitu sel Tc atau sel T sitotoksik, sel Th atau sel T helper, dan sel Ts
atau sel T supressor (Roitt dan Delves 2001). Sel Tc berfungsi untuk membunuh
sel-sel yang terinfeksi patogen intraselular, dan sel Th berperan dalam stimulasi
sintesis antibodi dan aktivasi makrofag dengan cara mensekresikan molekul
sinyal yang disebut sitokin. Sel Ts mampu menekan aktivitas sel imun. Sel T
memiliki molekul T Cell Antigen Receptor (TCR) yang dapat mengenali epitop
suatu antigen melalui kerjasama dengan molekul protein permukaan pada
Antigen Presenting Cells (APC). Sel T teraktivasi oleh antigen spesifik sehingga
terstimulasi untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel T memori dan
berbagai sel T efektor yang mensekresi berbagai limfokin. Limfokin tersebut
berpengaruh pada aktivasi sel B, Tc, dan sel-sel fagositik,sel NK dan sel lain
yang terlibat dalam sistim imun (Roitt dan Delves 2001).
Sel natural killer (sel NK) adalah sel limfosit granular yang berukuran besar.
Pada manusia normal, sel NK terdapat dalam jumlah 5-15% dari jumlah limfosit
darah (Kresno 1996). Sel ini merupakan garis depan pertahanan tubuh terhadap
sel yang terinfeksi virus dan sel tumor. Sel NK memiliki reseptor yang
menyerupai lektin, yaitu reseptor yang dapat berikatan dengan senyawa
karbohidrat pada sel sasaran sehingga menghasilkan pengiriman sinyal pada sel
NK untuk membunuh sel tersebut. Populasi sel (sel NK) dapat membunuh sel
sasaran secara spontan tanpa sensitisasi terlebih dahulu. Menurut Roitts dan
15
Delves (2001), ketika sel terinfeksi virus atau berubah bentuk menjadi sel yang
termutasi, molekul permukaannya berubah. Perubahan ini dikenali oleh sel NK,
lalu sel NK membunuh sel tersebut. Sel NK secara fenotip berbeda dengan sel
limfosit T maupun sel limfosit B, yaitu tidak memiliki CD3/TCR maupun sIg
(surface immunoglobulin). Sel ini memiliki petanda CD56 dan CD16. Sel yang
terinfeksi virus menghasilkan interferon yang dapat memberi isyarat ke sel pada
jaringan yang berdekatan. Sel NK diduga dapat mengenali sel tumor atau sel
yang terinfeksi virus karena sel sasaran tersebut mengekspresikan molekul
glikoprotein pada permukaan sel yang membedakannya dari sel normal.
Glikoprotein tersebut kemudian bertindak sebagai lektin yang dapat mengikat sel
NK melalui reseptor yang terdapat pada permukaan sel NK sehingga terjadi
ransangan (Kresno 1996). Sitolisis terhadap sel tumor dapat terjadi karena
dilepaskannya faktor sitotoksik (perforin) yang berasal dari granula dalam sel NK.
Disamping itu di dalam granula juga terdapat zat yang tahan terhadap faktor
sitotoksik, yaitu kondroitin sulfat A, yang melindungi sel NK terhadap autolisis
oleh substansinya sendiri (Kresno 1996).
2. Pengujian Proliferasi Limfosit
Proliferasi merupakan fungsi biologis mendasar pada sel limfosit, yaitu
meliputi proses diferensiasi dan pembelahan sel. Aktivitas proliferasi limfosit
merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengukur status
imunitas karena proses proliferasi menunjukkan kemampuan dasar dari sistem
imun (Roit dan Delves 2001). Limfosit merupakan sel tunggal yang bertahan baik
saat dikultur dalam media sintetik lengkap. Respon proliferatif kultur limfosit
dalam media sintetik dapat digunakan untuk menggambarkan fungsi limfosit dan
status imun individu (Tejasari 2000). Zakaria et al . (1992) menyatakan bahwa
kemampuan limfosit untuk berproliferasi atau membentuk klon menunjukkan
secara tidak langsung kemampuan respon imunologik atau tingkat kekebalan.
Pengujian terhadap kemampuan fungsional limfosit dapat dilihat dari
kemampuan memberikan respon terhadap mitogen (proliferasi sel), kemampuan
membentuk imunoglobulin atau limfokin, dan kemampuan sitotoksisitas sel NK (
Tejasari 2000). Uji proliferasi limfosit dapat dilakukan melalui pengukuran
kemampuan sel limfosit yang ditumbuhkan dalam kultur sel jangka pendek yang
mengalami proliferasi klonal ketika dirangsang secara in vitro oleh antigen atau
mitogen (Valentine dan Lederman 2000). Bila sel dikultur dengan senyawa
16
mitogen, maka limfosit akan berproliferasi secara tidak spesifik. Begitupula, bila
limfosit dikultur dengan antigen spesifik maka limfosit akan berproliferasi secara
spesifik.
Metode yang lebih sederhana untuk penghitungan jumlah sel yang
berproliferasi adalah metode pewarnaan MTT (3-(4,5-Dimethyl-2-thiazolyl)-2,5-
diphenyl-2H-tetrazolium bromide). Prinsip metode MTT adalah konversi MTT
menjadi senyawa formazan yang berwarna ungu oleh aktivitas enzim suksinat
dehidrogenase dari mitokondria sel hidup (Kubota et al. 2003). Reaksi yang
terjadi digambarkan dalam Gambar 3. Jumlah senyawa formazan yang terbentuk
adalah proporsional dengan jumlah sel limfosit yang hidup. Selain dengan
metode MTT, perhitungan sel dapat dilakukan dengan metode pewarna trifan
biru, yang hanya dapat mewarnai jika membran sel telah rusak, sehingga dapat
digunakan untuk membedakan sel hidup dan mati atau rusak. Sel yang hidup
tidak akan berwarna dan berbentuk bulat, sedangkan sel mati akan berwarna
biru dan mengkerut (Bird dan Forrester 1981).
Gambar 3 Mekanisme reaksi MTT menjadi MTT formazan (Kubota et al. 2003)
Beberapa senyawa yang telah diketahui mampu meningkatkan proliferasi
sel limfosit adalah : vitamin C dan E (Budiharto, 1997), ekstrak bawang putih
(Lastari, 1998), ekstrak jahe (Zakaria et al., 1999), ekstrak tanaman cincau hijau
(Pandoyo, 2000) ekstrak air kayu secang (Caesalpinia sappan Linn)
(Puspaningrum 2003), teh daun dan serbuk gel cincau (Cyclea) (Setiawati 2003),
bunga kumis kucing (Orthosimphon stamineus benth) dan bunga knop
(Gomphrena globosa L.) (Aquarini 2005), dan kitooligomer kitin (Hertriyani 2005).
Senyawa-senyawa tersebut bekerja melalui mekanisme menginduksi proliferasi
sel limfosit.
17
3. Mitogen sebagai Senyawa Pemacu Proliferasi Se l Limfosit
Mitogen adalah sumber ligan polipeptida yang dapat berikatan dengan
reseptor yang terdapat pada permukaan sel. Beberapa mitogen merupakan
faktor pertumbuhan yang mengaktivasi tirosin kinase. Aktivasi tersebut diawali
oleh mitogen yang mengakibatkan adanya urut-urutan sinyal yang berpengaruh
terhadap berbagai faktor transkripsi dan berpengaruh terhadap aktivitas gen di
dalam sel (Decker 2001).
Beberapa molekul pada patogen mampu berikatan dengan molekul
permukaan limfosit yang bukan merupakan reseptor antigen. Jika pengikatan ini
mampu menginduksi limfosit untuk membelah (mitosis), maka molekul tersebut
disebut mitogen. Mitogen menginduksi proliferasi limfosit pada frekuensi tinggi
tanpa memerlukan adanya spesifisitas antigen, disebut dengan aktivasi
poliklonal. Beberapa mitogen hanya mampu menginduksi proliferasi sel B,
beberapa hanya berpengaruh pada sel T, dan ada juga yang mampu
menginduksi keduanya. Beberapa mitogen disebut antigen T-independen, karena
mampu menginduksi sel B untuk mensekresi antibodi tanpa ada bantuan dari sel
Th (Decker 2001).
Lektin pada umumnya adalah mitogen yang merupakan protein yang
berikatan dengan senyawa karbohidrat. Concanavalin A (Con A) dan
fitohemaglutinin (PHA) mempunyai struktur tetramer dengan setiap monomernya
memiliki satu situs pengikat karbohidrat, sehingga dapat mengikat glikoprotein
pada permukaan sel. Pokeweed (PWM) berasal dari tumbuhan pokeweed
(Phytolacca americana). PWM mampu berikatan dengan di-N-asetyl kitobiose
dan mampu menginduksi baik sel B dan sel T (Kuby 1992). Lektin Con A adalah
mitogen asal legum yang bersifat sebagai imunomodulator karena dapat
meransang proliferasi limfosit. Menurut Kresno (1996) sebanyak 50-60% sel
limfosit T mampu memberikan respon terhadap stimulasi dengan mitogen PHA
dan Con A. Lipopolisakarida (LPS) juga mampu berfungsi sebagai mitogen,
tetapi pengaruhnya hanya pada sel B (Kuby 1992). Respon terhadap mitogen
tersebut dianggap menyerupai respon limfosit terhadap antigen, sehingga uji
transformasi dengan ransangan mitogen tersebut banyak dipakai untuk menguji
fungsi limfosit. Stimulasi limfosit dengan antigen maupun mitogen mengakibatkan
berbagai reaksi biokimia di dalam sel, diantaranya fosforilasi nukleoprotein,
18
pembentukan DNA dan RNA, peningkatan metabolisme lemak dan lain-lain
(Letwin dan Quimby 1987).
Lektin fitohemaglutinin (PHA) adalah protein non enzimatik, berikatan
dengan karbohidrat secara reversibel. Fungsi biologis dari lektin adalah
kemampuan mengenal dan berikatan dengan struktur karbohidrat spesifik,
khususnya berikatan dengan oligosakarida. Lektin dapat berikatan dengan
berbagai sel yang memiliki molekul permukaan berupa glikoprotein atau
glikolipid. Beberapa gugus spesifik lektin telah diidentifikasi seperti mannose,
galaktosa, N-asetilglukosamin, N-asetil galaktosamin, L-fruktosa, dan asam N-
asetilneraminik. Sub unit lektin saling berhubungan satu dengan yang lain melalui
ikatan non kovalen atau ikatan-ikatan disulfida. Beberapa lektin membutuhkan
kation divalen seperti kalsium, magnesium dan mangan untuk berikatan dengan
karbohidrat. Lektin terdiri dari enam famili yang telah dikenal yaitu : lektin legum,
lektin sereal, lektin jenis P, C, S dan pentraxis (Letwin dan Quimby 1987).
D. KULTUR SEL
Kultur sel secara in vitro merupakan suatu cara untuk mengembangbiakkan
atau menumbuhkan sel di luar tubuh hewan atau manusia. Lingkungan atau
bahan makanan untuk pertumbuhan sel secara in vitro diusahakan menyerupai
keadaan sel secara in vivo. Oleh karena itu, diperlukan suatu media
pertumbuhan yang berisi asam-asam amino, vitamin, mineral, garam-garam
anorganik, glukosa dan serum. Peranan serum dalam medium biakan sangat
penting yaitu sebagai nutrien untuk pertumbuhan sel serta fungsinya dalam
pelekatan sel. Serum memberikan hormon-hormon penting, faktor penempel sel
ke matriks tempat sel tumbuh, protein, lipid serta mineral-mineral yang diperlukan
sebagian besar jenis sel untuk tumbuh dan berkembang (Freshney 1994). Sel
yang dikultur dapat berupa suatu galur sel, yaitu populasi sel yang berasal dari
suatu sumber jaringan tertentu yang mengalami pengkulturan lebih lanjut, hingga
mencapai sub kultur.
Ada dua jenis kultur galur sel kanker yaitu kultur yang melekat membentuk
selapis (monolayer) di atas substrat padat, atau sebagai suspensi di media
kultur. Kedua jenis sel ini mempunyai sifat yang berbeda, dimana sel suspensi
tidak memerlukan support atau bahan pembantu untuk menempel, sebaliknya sel
selapis memerlukan support. Sel suspensi biasanya dari hemopoetik, sel darah
19
atau sel dari tumor malignant, sedangkan sel monolayer biasanya untuk sel-sel
yang berasal dari jaringan (Freshney 1994).
Kultur galur sel kanker yang berasal dari manusia, seperti kultur galur KR-4
(lymphablastoid B) dan sel K562 (chronic myelogenous leukemia) merupakan
jenis sel suspensi, sel HeLa (epithel carcinoma cervix) dan sel A549 (Lung
carcinoma) merupakan jenis sel selapis (jaringan), dapat digunakan untuk
menguji kemampuan bioaktivitas suatu senyawa sebagai anti kanker terhadap
galur-galur sel kanker tersebut. Galur sel dapat dibentuk dari kultur sel langsung
(primer) yang kemudian dikultur kembali (sub kultur). Sel yang dikultur ini
dipelihara terus menerus sampai immortal (tidak bisa mati). Pembentukan sub
kultur dapat menghasilkan sel-sel yang homogen dan tidak memiliki sifat-sifat
diferensiasi. Menurut Freshney (1994) galur sel yang dihasilkan dari kultur sel
primer akan mengalami perubahan antara lain : morfologi (sel lebih kecil, lebih
bulat, kurang erat melekat, perbandingan inti dan sitoplasma lebih besar), cepat
tumbuh karena waktu yang diperlukan untuk tumbuh menjadi lebih pendek,
ketergantungan terhadap serum berkurang, dan mampu berproliferasi. Berikut ini
beberapa deskripsi dari galur sel lestari yang digunakan dalam berbagai
penelitian :
a). Sel K562 (ATCC CCL 243)
Berasal dari dari sel leukimia myelogenous. Memiliki morfologi seperti
limfoblast, sel ini diisolasi oleh Lozzio dan Lozzio dari efusi pleural wanita
berumur 53 tahun yang menderita leukimi a myelogenous kronik, sel ini memiliki
sifat sangat sensitif terharap pengujian sel natural killer, mengepresikan enzim
metabolik xenobiotik, dan tidak berdiferensiasi.
b). KR 4 (ATCC CRL 8658)
Sel KR 4 berasal dari sel lymphoblastoid B manusia (GM 1500 6TG A11;
menghasilkan IgG). Sel ini diperoleh dengan membuat sel tersebut mutagen
dengan perlakuan iradiasi ã tingkat rendah dan diseleksi dengan resistensi
terhadap tioguanin (Kozbor et al.1982).
c). A549 (ATCC CCL 185)
Sel ini berasal dari sel karsinoma paru pria kaukasian berumur 58 tahun
dengan morfologi menyerupai epitelial, sel ini diisolasi dari jaringan tumor
karsinoma manusia. Sel ini memiliki sifat dapat memproduksi lesitin dan
mengepresikan enzim metabolik xenobiotik.
20
d). HeLa (ATCC CCL 2.2)
Berasal dari kata Henrietta Lacks, yang berasal dari tumor serviks rahim
Helen Lane atau Helen Larson wanita berumur 30 tahun, dengan morfologi
menyerupai epitelial.
E. SIKLUS SEL
Siklus sel adalah perkembangan perubahan selular yang teratur sampai
memasuki tahap pembelahan sel. Bagian yang penting dari siklus sel adalah
enzim cyclin-dependent kinases (Cdk). Ketika Cdk ini diaktifkan maka sel
berpindah fase dari satu fase ke berikutnya dalam siklus sel (G1 ke S atau G2 ke
M) (Schwartz 2005). Siklus sel normal dikendalikan oleh protein siklin, protein
siklin ini adalah kinase yang bekerja mengkatalisis transfer gugus fosfat dari
ATP kepada protein target. Aktivasi kebalikannnya atau defosforilasi protein
dilakukan oleh enzim fosfatase. Proses fosforilasi dan defosforilasi merupakan
mekanisme umum untuk mengatur aktivitas protein. Mekanisme inilah yang
digunakan berulang kali untuk mengatur siklus sel (Becker et al. 2000). Cdk
dalam siklus sel berperan penting dalam mengontrol siklus sel. Perubahan dalam
pengontrolan terhadap proses siklus sel ditemukan pada mayoritas kanker
ganas, oleh karena itu Cdk menjadi target yang menjanjikan untuk terapi anti
kanker (Pennati 2005). Tahapan siklus sel ditampilkan pada Gambar 4 berikut :
Gambar 4 Siklus sel (Becker 2000)
Permulaan Siklus
Pembesaran sel & pembentukan protein baru
Titik pemotongan : Sel menentukan kapan saat menyelesaikan siklusnya.
Replikasi sel
Sel menyiapkan diri untuk membelah
Sel membelah (mitosis)
21
Ketika sel distimulasi untuk tumbuh, mereka meninggalkan keadaan
diamnya (resting state) dan memasuki satu fase siklus sel yang disebut fase G1
(fase sintesis komponen seluler). Sel berada dalam fase ini kurang lebih 8 jam.
Setelah itu, sel memasuki fase S (fase sintesis DNA), di dalam fase ini replikasi
DNA dimulai dan terus berlangsung sampai terbentuk dua DNA baru. Sintesis
DNA berlangsung lebih kurang 6 jam. Fase selanjutnya adalah fase G2 yang
berlangsung selama 4-5 jam. Fase ini merupakan fase persiapan sebelum sel
membelah. Periode pembelahan disebut fase M atau mitosis, yang berlangsung
selama 1-5 jam dan menghasilkan dua sel baru. Sel-sel kanker pada umumnya
tumbuh secara eksponensial lebih cepat dari sel normal (Slingerland dan
Tannock 1998).
F. KANKER DAN MEKANISMENYA
Kanker merupakan penyakit yang berawal dari kerusakan materi genetika
atau DNA sel. Satu sel yang mengalami kerusakan genetika sudah cukup untuk
menghasilkan jaringan kanker atau neoplasma, sehingga kanker disebut juga
penyakit seluler. Perubahan pada materi genetika atau disebut juga mutasi gen
dapat terjadi melalui berbagai mekanisme. Pertama disebabkan oleh kesalahan
replikasi yang terjadi pada saat sel-sel yang aus digantikan oleh sel-sel baru.
Pada saat pergantian satu sel, terjadi kopi DNA baru yang melibatkan 6 x 109
pasangan basa, yang memberikan peluang kesalahan replikasi. Penyebab kedua
adalah mutasi pada galur sel yang mengalami kesalahan genetika yang
diturunkan dari gen orang tua, sehingga menghasilkan gen yang termutasi.
Mekanisme kerusakan materi genetika sel yang ketiga disebabkan oleh adanya
faktor dari luar, atau faktor eksternal yang dapat mengubah struktur DNA, yaitu
virus, infeksi berkelanjutan, polusi udara, radiasi dan bahan-bahan kimia asing
yang tidak diperlukan oleh tubuh (Zakaria 2001). Beberapa karsinogen kimia,
radiasi, virus dan hormon menginduksi terjadinya kanker, karena faktor-faktor
tersebut dapat menyebabkan perubahan struktur DNA atau mutasi gen yang
dapat menghasilkan sel kanker (Dalimartha 1999).
Kanker dapat terjadi karena mutasi pada gen spesifik molekul DNA yang
disebut sebagai onkogen. Onkogen terdiri atas dua grup yaitu gen yang
mengontrol pertumbuhan dan gen yang menekan pertumbuhan tumor. Grup
yang pertama bekerja untuk mengontrol pembelahan sel (perkembangan sel),
yang kedua mempunyai kemampuan untuk menghentikan sel-sel kanker. Kanker
22
terjadi ketika kedua jenis gen di atas mengalami mutasi dan tidak berfungsi
dengan benar (Michael dan Doherty 2005). Mekanisme yang mengatur
pertumbuhan, differensiasi dan kematian sel adalah fosforilasi protein. Proses
fosforilasi protein diatur oleh golongan enzim kinase. Mutasi pada kinase yang
disandikan dalam onkogen antara lain dapat menyebabkan terjadinya
pembelahan sel lebih cepat. Kinase dan fosfatase merupakan menjadi senyawa
yang penting pada jalur metabolisme. Perubahan aktivitas enzim kinase yang
tidak terkontrol berperan penting pada terbentuknya tumor (Michael dan Doherty
2005).
Setiap sel tumor dilengkapi dengan molekul permukaan yang aktif,
berfungsi antara lain sebagai reseptor berbagai ligan, misalnya reseptor faktor
pertumbuhan, reseptor sitokin, dan molekul adhesi sel (Zeromski 2002). Hasil
interaksi ligan dan reseptor tersebut menghasilkan perubahan pada pertumbuhan
sel tumor dan penyebarannya. Reseptor ini bertindak sebagai komponen kimia
yang diketahui sebagai faktor pertumbuhan dan keberadaannya menyebabkan
pembelahan sel. Gen yang termutasi akan menghasilkan banyak reseptor-
reseptor pada membran sel yang menyebabkan faktor pertumbuhan semakin
banyak, kondisi tersebut dapat menyebabkan terjadinya pembelahan sel lebih
cepat (Zeromski 2002).
Menurut Miller (2005), tahap-tahap penting pembentukan sel kanker adalah
: a) inisiasi, yaitu terjadinya perubahan pada DNA atau mutasi gen yang
sebabkan oleh berbagai faktor, b) promosi yang meliputi perkembangan sel dan
perubahan menjadi sel tumor premalignant, c) progresi dan invasi (penyusupan
ke jaringan sekitar), d) metastasis yaitu penyebaran melalui pembuluh darah dan
pembuluh getah bening. Tahap penyebaran sel kanker dimulai ketika sel -sel
individu dari lokasi asal memi sah dan memasuki aliran darah untuk menemukan
tempat baru untuk berkembang di dalam tubuh.
Zeromski (2002) mengemukakan bahwa pertumbuhan yang malignant
ditentukan oleh enam perubahan dalam fisiologi sel yang perkembangannya
menghasilkan perubahan genotip sel, antara lain: a) sel kekurangan sinyal-sinyal
untuk mengontrol pertumbuhan, b) sel tidak sensitif terhadap sinyal-sinyal
penghambatan pertumbuhan, c) sel menghindari program kematian sel
(apoptosis), d) potensi replikasi yang tidak terbatas, e) angiogenesis yang
berkesinambungan, dan f) invasi jaringan dan metastasis.
23
Pada sel normal, sel hanya akan membelah diri bila tubuh
membutuhkannya, seperti mengganti sel-sel yang rusak atau mati. Sebaliknya
sel kanker akan membelah diri meskipun tidak dibutuhkan sehingga terjadi
kelebihan sel-sel baru. Kanker dapat tumbuh di semua jaringan tubuh, seperti
kulit, sel hati, sel darah, sel otak, sel lambung, sel usus, sel paru, sel saluran
kencing, dan berbagai macam sel tubuh lainnya. Jenis kanker yang berbeda
memiliki perbedaan bagian tubuh yang ditempati, tergantung tempat yang
memiliki afinitas baik untuk ditempati. Oleh karena itu, dikenal bermacam-macam
jenis sel kanker menurut sel atau jaringan asalnya. Secara umum kanker
menyebabkan lemahnya tubuh karena nutrisi yang tersedia digunakan sel kanker
untuk bermetastase. Secara spesifik, kanker dapat menyebabkan antara lain : a)
malnutrisi, karena monopoli neoplasma terhadap zat gizi tertentu, b) kehilangan
darah akibat erosi epitel atau permukaan-pemukaan lain sehingga terjadi
pendarahan, c) nekrosis jaringan akibat defisiensi gizi, rusaknya organ dan
inflamasi d) penyerangan tumor pada organ vital sehingga menurunkan
fungsinya, e) gangguan saluran organ vital disertai menurunnya fungsi organ
atau terjadinya infeksi, f) efek toksik, terutama pada sistem syaraf pusat atau
periferal, g) efek sekresi, baik hormon yang sesuai maupun tidak (Braustein
1987).
G. MEKANISME ANTI KANKER
1. Beberapa Mekanisme Anti Kanker Senyawa Alami dan Sintesis
Beberapa mekanisme anti kanker dari bahan-bahan alami telah di laporkan
oleh banyak peneliti. Berbagai mekanisme yang berbeda dari beberapa jenis sel
kanker yang diteliti diuraikan berikut ini. Shunji et al. (2004) melaporkan
mekanisme anti kanker dari senyawa smenospongin yang berasal dari spong laut
terhadap sel K562. Hasil analisis terhadap siklus sel menunjukkan pemberian
smenospongin selama 24 jam mampu menghambat fase G1 pada siklus sel,
smenospongin juga ditemukan dapat menghambat fosforilasi substrat tirosin
kinase.
Park et al. (2004) melaporkan mekanisme anti kanker dari komponen
kitosan larut air (WSCO) selama 6 dan 8 hari terhadap sel HL-60 yang
menunjukkan terjadinya apoptosis pada sel HL-60 yang diuji dengan metode
elektroforesis gel agarosa. Hasil pengukuran dengan flow cytometry terhadap sel
24
dalam beberapa tahap siklus sel menunjukkan adanya peningkatan proporsi
tahap G(0)/G(1). Hasil flow cytometry juga menunjukkan telah terjadi differensiasi
sel HL-60 menjadi sel serupa granulosit. Shen (2002) juga melakukan analisis
flow cytometry untuk mengetahui persentasi fase S pada siklus sel yang sangat
direduksi ketika sel sel kanker ASG diberikan kitosan larut air (WSC). Hasil
penelitian ini juga menemukan protein pengatur metastasis (MMP-2 dan MMP-9)
dapat dihambat pada sel-sel kanker ASG yang diberikan WSC.
Makkar (2002) melaporkan mekanisme anti kanker dari pektin sitrus
termodifikasi (MCP), yang merupakan jenis serat berkarbohidrat larut air yang
berasal dari buah sitrus. MCP ini spesifik menghambat protein galektin-3 yang
berikatan dengan karbohidrat pada pertumbuhan tumor dan proses metastasis
secara in vivo. Pengujian dilakukan pada uji penghambatan pembentukan
pembuluh kapiler oleh human umbilical vein endothelial cells (HUVECs) di dalam
Matrigel. Mekanisme anti kanker ditunjukkan dengan penghambatan terhadap
karbohidrat yang memediasi pertumbuhan tumor, menghambat angiogenesis dan
metastasis secara in vivo.
Quersetin merupakan jenis senyawa flavonoid yang banyak ditemukan
pada buah-buahan dan sayuran. Hasil penelitian Yoshida et al. (2005)
menemukan bahwa quersetin memiliki aktivitas anti tumor terhadap sel HeLa.
Fenomena anti tumor dilaporkan terjadi secara apoptosis pada sel hela yang
dikultur bersama senyawa quersetin.
Pathya et al. (2004) melaporkan aktivitas anti tumor dari senyawa allisin
yang terdapat pada bawang putih. Allisin ditemukan menginduksi aktivasi sinyal
ekstraselular terhadap enzim kinase pada sel-sel mononuklir sehingga dapat
mengaktivasi dan memperkuat sistim imun. Arditti et al. (2005) juga melaporkan
aktivitas allisin sebagai anti kanker terhadap sel B chronic lymphocytic leukemia
dengan mekanisme apoptosis.
Obat-obatan anti inflamasi non steroidal yang berkerja sebagai inhibitor
siklooksigenase-2 (COX-2) cukup menjanjikan untuk digunakan sebagai obat anti
kanker di masa depan, karena berdasarkan studi epidemiologi dan klinis terbukti
dapat menstimulasi terjadinya apoptosis pada berbagai galur sel kanker dan
menghambat terjadinya proses angiogenesis. Mekanisme kerja yang ditunjukkan
tersebut membantu menekan pertumbuhan tumor dan proses transformasi tumor
malignan (Thun et al . 2002).
25
2. Apoptosis
Apoptosis adalah kematian sel terprogram, yaitu terjadinya kematian sel
secara terorganisir. Beberapa ciri morfologi sel yang mengalami apoptosis antara
lain mengalami lisut, kondensasi kromatin, dan fragmentasi DNA (Tyler et al.
1995). Proses apoptosis sel menunjukkan peristiwa degradasi kromatin menjadi
fragmen-fragmen kecil yang terdiri atas beberapa pasang DNA. Fragmentasi
DNA terjadi sebelum lisis dan diduga akibat endonuklease dalam nukleus sel
sendiri, sehingga serupa dengan proses bunuh diri (Tyler et al. 1995). Apoptosis
sangat berbeda dengan nekrosis jaringan yang disebabkan oleh adanya luka
yang akut. Tahap yang dibutuhkan untuk apoptosis adalah : a) kondensasi inti sel
dan pecah menjadi potongan-potongan, b) kondensasi dan fragmentasi
sitoplasma menjadi membran yang mengikat badan apoptotik, dan c) pemecahan
kromosom menjadi fragmen yang mengandung sejumlah nukleosom (Tyler et
al.1995).
Secara alamiah sel mengalami apoptosis dengan tujuan untuk : a)
memperbaiki organisme selama perkembangan embrio, b) metamorfosis dan
atrophy jaringan, c) mengatur jumlah total sel, d) pertahanan dan mengeliminir
sel yang tidak diinginkan atau berbahaya, misalnya sel-sel tumor, sel yang
terinfeksi virus, atau sel-sel karena penyakit autoimun (Jakubowski 2000, Reed
1999). Apoptosis memerlukan sinyal-sinyal untuk menginduksi proses apoptosis.
Sinyal-sinyal tersebut dapat berupa sinyal ekstraseluler seperti: hormon, sinyal
faktor pertumbuhan, dan kontak antara sel. Sinyal juga dapat berupa sinyal
intraseluler, yaitu : infeksi virus dan kerusakan oksidatif dari radikal bebas
(Bannerji et al. 2003).
Sel kanker dapat mengalami apoptosis melalui interaksi pada permukaan
selnya dengan sel-sel imun. Salah satu tugas sel imun adalah menghancurkan
sel yang berubah misalnya karena terinfeksi virus atau menjadi sel tumor.
Aktivasi limfosit seperti Sel T sitotoksik atau Natural killer (NK) mengakibatkan
sel-sel tersebut dapat mengenali sel targetnya dan membunuh sel-sel tersebut
dengan beberapa cara, termasuk apoptosis. Sel NK dapat berikatan dengan sel
target (misalnya sel yang terinfeksi virus) dan mensekresi perforin ke dalam
membran sel target. Protein-protein yang dilepaskan oleh sel NK dapat
memasuki sel target melalui pori-pori dan memulai apoptosis. (Jakubowski
2000). Tahap akhir apoptosis adalah penangkapan sel yang telah terfragmentasi
26
oleh sel-sel fagositik seperti makrofag (Bannerji 2003, Jakubowski 2000, Reed
1999).
3. Anti Protease
Protease memiliki banyak fungsi menguntungkan yang menunjukkan peran
sangat esensial untuk kehidupan, tetapi protease yang tak terkontrol dapat
berbahaya. Inhibitor protease di alam memiliki banyak bentuk, mereka tersebar
luas di benih tanaman, umumnya pada legum. Inhibitor protease di benih
bertindak sebagai penghambat sistim percernaan serangga. Beberapa bakteri
memproduksi anti protease untuk membantu mereka agar mampu bertahan pada
saluran pencernaan seperti ecotin pada Escherichia coli yang efektif bertahan
terhadap berbagai protease pankreas. Inhibitor protease juga memiliki nilai nutrisi
seperti Bowman-Birk inhibitor (BBI) dari kedelai yang juga memiliki peranan
dalam pencegahan tumourigenesis (Dowall 2003). Menurut Wan et al. (1999)
penghambatan protease dari BBI dapat terjadi melalui mekanisme pencegahan
ekspresi protein neu dari sel yang premalignan dan malignan. Pencegahan
ekspresi ini disebabkan terjadinya proses pemecahan protein neu yang
ekspresikan oleh sel malignan pada permukaan selnya
Serin protease adalah enzim pendegradasi protein yang dihasilkan oleh
sel-sel tumor untuk menembusi matriks ekstraselular, sehingga berperan
membantu membebaskan sel-sel tumor dari lokasi asalnya. Adanya beberapa
studi tentang senyawa anti serin protease yang bertindak sebagai anti kanker
telah dilakukan oleh Buamah dan Sidlen (1985) yang meneliti tentang
konsentrasi protease yang meningkat pada pasien penderita kanker pankreas.
Menurut Curacyte (2003) telah ditemukan inhibitor bagi matriptase yang
merupakan mediator penting untuk mendegradasi matriks ekstraseluler dan
proses ini berperan penting selama terjadinya proses metastasis. Menghambat
matriptase yang diproduksi oleh sel-sel tumor dapat mencegah metastasis tumor
dan perluasan pertumbuhan sel-sel tumor di tempat lainnya. Oberst et al. (2002)
melaporkan matriptase yaitu jenis enzim golongan serin protease transmembran
yang terdapat pada permukaan sel-sel tumor ovarian epitelial, matriptase ini
menghidrolisis dan mengaktivasi protein yang berhubungan dengan
perkembangan kanker ovarian oleh karena itu matriptase memiliki potensi untuk
digunakan sebagai target terapi kanker ovarian.
27
Adanya pelepasan tripsin ditemukan dalam berbagai tumor seperti ovarian
dan colorectal carcinomas. Oleh karena itu tripsin diduga memiliki peranan pada
pembentukan tumor atau proses metastasis, karena tripsin nampaknya penting
bagi sel kanker untuk menginvasi jaringan normal, memasuki pembuluh darah
dan saluran limfatik (De Fea 2001). Proses tersebut merupakan tahap kritis pada
tahap metastasis sel kanker.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada beberapa laboratorium, yaitu :
laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia pada Pusat Penelitian Ilmu Hayati dan
Bioteknologi Institut Pertanian Bogor, laboratorium Imunologi, Kultur jaringan,
Embriologi, Histologi serta laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor. Penelitian penunjang dilaksanakan pada laboratorium
Kimia Balai pasca panen Balitbio Bogor dan laboratorium Material Sains FMIPA
Universitas Indonesia. Penelitian ini berlangsung mulai bulan Juni 2004 sampai
dengan Juli 2005.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Kitosan dengan derajat
deasetilasi 85% (DD85) diperoleh dari Sigma Chemical Co.(C3646-25G
014K0674). Kitosan tersebut berasal dari kulit udang. Kitosan dengan derajat
deasetilasi 70% (DD70), dalam bentuk terlarut (1%), merupakan produk hasil
penelitian Rochima (2005). Kitosan dengan derajat deasetilasi 90% dan 100%
(DD90 dan DD 100), dalam bentuk terlarut (1%) diperoleh dari Seikagaku
Co.(Tokyo, Jepang).
Isolat bakteri Bacillus licheniformis (MB2) yang berasal dari sumber air
panas di Tompaso (Manado) Sulawesi Utara, telah dipilah sebagai penghasil
enzim kitosanase ekstraseluler merupakan koleksi dari Laboratorium Mikrobiologi
dan Biokimia Pusat Penelitian Ilmu Hayati dan Bioteknologi Institut Pertanian
Bogor.
Presipitasi enzim dilakukan menggunakan amonium sulfat teknis.
Pemurnian enzim kolom kromatografi hidrofobik dilakukan menggunakan matriks
Butyl Sepharose 4-Fast Flow yang diperoleh dari Sigma Chemical Co.
Oligomer kitosan (D-glukosamin, dimer sampai heksamer) yang digunakan
sebagai standar dalam analisis dan fraksinasi HPLC diperoleh dari Seikagaku
Co.(Tokyo, Jepang). Identifikasi komponen kitooligomer dilakukan menggunakan
HPLC dengan detektor UV model 440 dual lamdha.
Pengujian immunoenhancer secara in vitro menggunakan kultur sel limfosit
yang diisolasi dari darah responden laki-laki yang sehat. Galur sel kanker uji
29
yang digunakan adalah : KR4 (lymphablastoid B) yang merupakan koleksi US
NAMRU 2, K562 (chronic myelogenous leukimia), HeLa (epytheloid carcinoma
cervix) dan galur sel A549 (lung carcinoma) yang merupakan koleksi
laboratorium Kultur Jaringan FKH IPB.
Media untuk bakteri diperoleh dari Oxoid. Ltd. Media RPMI 1640 untuk
kultur sel limfosit diperoleh dari Sigma Chemical Co dan Dulbecco’s modified
eagle’s medium (DMEM) untuk medium kultur sel kanker diperoleh dari Gibco
Ltd. HEPES, penicillin, streptomycin, MTT and Fetal bovine serum (FBS)
diperoleh dari Sigma Chemical Co. Mitogen Concanavalin A dan Pokeweed
diperoleh dari Sigma Chemical Co.
Sentrifus sel menggunakan alat sentrifus jenis swing dengan tipe CR412
dari Jouan. Perhitungan jumlah sel dengan metode trifan biru menggunakan
mikroskop dari Zeiss ID03 (Germany) dengan pembesaran 100 kali. Pengamatan
dan foto sel menggunakan inverted microscope tipe 1X70 dari Olympus dengan
pembesaran lensa obyektif 100 kali. Pembacaan absorbansi jumlah sel
menggunakan alat Microplate reader Benchmark dari Bio-Rad. Pengamatan
Scanning electron Microscope (SEM) menggunakan alat JSM-531OLV dari
JEOL.
Fluorochrome-bis-benzimide trihydrochloride (Hoechst 33342) yang
digunakan sebagai pewarna fluoresens untuk pengujian apoptosis sel diperoleh
dari Biomedical Inc (Ohio). Pengamatan dan foto apoptosis menggunakan
mikroskop fluoresens Nikon Eclipse E600 (Japan) dengan pembesaran lensa
obyektif 400 kali.
Substrat kolagen dan enzim tripsin (EC 3.4.21.4) yang berasal dari
pankreas sapi, digunakan untuk pengujian aktivitas enzim protease yang
diperoleh dari Sigma Chemical Co.
C. Diagram Alir Penelitian
Alur penelitian yang telah dilakukan digambarkan secara skema dalam
diagram alir 1 dan 2 berikut ini :
30
Gambar 5. Diagram alir proses produksi senyawa-senyawa kitooligomer
Hidrolisat Fbsp 1& 3 jam Preparat FbsMn 0.0085 IU/mg
Tepung kitin(Rajungan)
Proses deasetilase (NaOH)
Penambahan NaCl
Kitosan koloidal
Produksi enzim
Enzim kasar
B. licheniformis MB2
Pemanasan 60oC, 20 menit
Presipitasi Amonium sulfat 80% Jenuh
Pemurnian dgn kolom hidrofobik (HLC)
Analisis aktivitas dan kadar protein enzim
Hidrolisat : AS 0.005; 0.0085;
0.10 & 0.17
Deteksi kemurnian, (SDS PAGE & silver staining)
Pengumpulan fraksi enzim hasil pemurnian
Preparat enzim murni 0.0085 IU/mg kitosan
Kitosan terlarut 1%
Senyawa-senyawa kitooligomer
31
Gambar 6. Diagram alir aplikasi dan telaah mekanisme anti kanker senyawa-senyawa kitooligomer
D. Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 4 (empat) bagian utama yaitu :
1. Kajian Produksi senyawa-senyawa kitooligomer yang bersifat bioaktif secara
enzimatik, pada kegiatan ini dilakukan produksi enzim kitosanase, dilanjutkan
dengan studi kondisi produksi senyawa-senyawa kitooligomer dengan
menggunakan metode inkubasi langsung enzim dan substrat. Preparat enzim
kasar, pekatan amonium sulfat dan enzim murni, masing-masing pada
berbagai konsentrasi enzim, derajat deasetilasi substrat dan waktu inkubasi
digunakan sebagai preparat enzim dalam produksi senyawa-senyawa
kitooligomer.
2. Fraksinasi senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat hasil reaksi
enzimatik dengan tujuan untuk memperoleh fraksi-fraksi kitooligomer tertentu
(monomer sampai heksamer).
Kerusakan membran
Pengujian Proliferasi Sel kanker
Pengujian Proliferasi Sel Limfosit
Pengujian potensi anti kanker
Inhibitor protease Apoptosis
Senyawa-senyawa Kitooligomer
Fraksinasi
Mono - Heksamer
Kandungan protein dan asam nukleat supernatan sel
SEM Mikroskop fluorosens (Hoechts staining)
Penghambatan Aktivitas Serin Protease
32
3. Kajian aktivitas senyawa-senyawa kitooligomer terhadap proliferasi sel limfosit
dan sel kanker, melalui pengujian aktivitas proliferasi limfosit dan proliferasi
sel-sel kanker secara in vitro.
4. Kajian potensi anti kanker melalui :
a. Analisis terjadinya kematian sel akibat apoptosis dengan metode -
pewarnaan sel dengan agen fluorosens (Hoechts staining).
b. Analisis kerusakan membran sel melalui pengukuran konsentrasi protein
(absorbansi 280 nm) dan asam nukleat (absorbansi 260 nm) pada
supernatan kultur sel, kemudian konfirmasi dengan pengamatan Scanning
Electron Mycroscop (SEM).
c. Analisis aktivitas penghambatan enzim serin protease (inhibitor serin
protease)
1. Produksi Enzim Kitosanase
Enzim kitosanase dihasilkan melalui beberapa tahap yang meliputi :
pembuatan tepung kitosan dari tepung kitin, pembuatan kitosan koloidal sebagai
substrat, persiapan media, persiapan isolat B. Licheniformis yang digunakan
sebagai starter, dan produksi enzim pada kondisi optimumnya. Enzim fraksi
supernatan bebas sel diproses lebih lanjut dengan pemanasan pada 60 oC
selama 20 menit. Enzim fraksi amonium sulfat diperoleh melalui proses
pengendapan menggunakan garam amonium sulfat dengan konsentrasi 80%
jenuh, sedangkan enzim murni dihasilkan melalui kolom kromatografi interaksi
hidrofobik.
Pembuatan Tepung Kitosan dari Tepung Kitin. Pembuatan tepung
kitosan dilakukan secara kimia (Kolodziejska et al. 2000). Tepung kitin sebanyak
10 g dicampurkan dengan 100 ml larutan NaOH 50%, lalu dipanaskan 100oC
selama 60 menit. Setelah itu dilakukan pencucian dengan air sampai mencapai
pH netral. Pengeringan dilakukan menggunakan oven suhu 60oC selama 48 jam
sehingga diperoleh tepung kitosan.
Pembuatan Kitosan Koloidal. Tepung kitosan dicampurkan dengan 20
kali volume HCl pekat, dilarutkan dan disimpan selama semalam pada suhu
dingin. Air dingin sebanyak 10 kali berat kitosan ditambahkan dan difiltrasi
dengan glass wool, setelah itu ditambahkan NaOH 12 N dan ditepatkan pHnya
sampai 7.0. Kemudian disentrifus 7000 rpm selama 20 menit, ditambahkan air
33
dingin, disentrifus kembali pada 7000 rpm selama 20 menit. Koloidal kitosan
yang diperoleh disimpan pada suhu dingin (Arnold dan Solomon 1986).
Produksi Enzim Fraksi Supernatan Bebas Sel (Fbs). Isolat bakteri
Bacillus licheniformis MB2 ditumbuhkan pada media cair yang mengandung
kitosan terlarut 1%, MgSO4 0.5%, KH2PO4 0.3%, K2HPO4 0.7%, yeast extract
0.25%, dan casitone 0.25%. Biakan diinkubasi pada inkubator berpenggoyang
(120 rpm) suhu 55oC selama tujuh hari (Chasanah 2004). Biakan disentrifugasi
dingin pada kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit. Supernatan mengandung
enzim ekstrak kasar dipisahkan dari endapannya untuk digunakan dalam tahap
selanjutya.
Produksi Enzim Fraksi Amonium Sulfat (AS 80). Enzim fraksi amonium
sulfat 80% jenuh diperoleh dengan menambahkan garam amonium sulfat teknis
sebanyak 561 g ke dalam 1 liter enzim supernatan bebas sel sedikit demi sedikit
sambil dilakukan pengadukan secara perlahan. Homogenat disimpan selama
semalam dalam ruang berpendingin dengan suhu 4oC, kemudian disentrifus
dingin (4oC) 10.000 rpm selama 15 menit. Bagian supernatan dibuang
sedangkan endapan diambil dan dilarutkan ke dalam bufer fosfat 0.5 M (pH 6.0)
sebanyak 10 ml yang dinyatakan sebagai pekatan enzim fraksi amonium sulfat.
Produksi Fraksi Enzim Murni (EM). Enzim murni dihasilkan dengan teknik
kromatografi kolom hidrofobik (Chasanah 2004). Proses pemurnian di awali
dengan pemberian amonium sulfat 30% pada supernatan bebas sel. 75 ml
supernatan tersebut dimasukkan pada kolom hidrofobik bermatriks butil separose
yang sebelumnya telah di-ekuilibrasi dengan bufer fosfat 0.05 M (pH 6.0) yang
juga mengandung amonium sulfat 30% (bufer A). Elusi dilakukan menggunakan
bufer fosfat 0.05 M (pH 6.0), yang ditempatkan dalam bejana berhubungan, yang
masing-masing tabungnya berisi bufer fosfat dengan konsentrasi amonium sulfat
15 dan 0%, dengan laju alir 2 ml/jam. Volume fraksi yang ditampung masing-
masing sebanyak 3 ml. Selanjutnya dilakukan pengukuran kadar protein pada
panjang gelombang 280 nm dan aktivitas kitosanase pada panjang gelombang
420 nm pada tiap fraksi. Penggunaan SDS-PAGE dengan pewarnaan perak
dilakukan untuk mendeteksi kemurnian enzim. Fraksi dengan posisi pita yang
sama kemudian dikumpulkan dan digunakan untuk produksi senyawa-senyawa
kitooligomer.
34
Pengukuran Aktivitas Kitosanase. Aktivitas kitosanase diuji dengan
metode Yoon et al. (2000) yang dimodifikasi. Kitosan koloidal 1%, bufer fosfat
0.05 M (pH 6.0), dan larutan enzim kitosanase (filtrat bebas sel) masing-masing
sebanyak 100 ìl diinkubasi pada suhu 55oC selama 30 menit. Reaksi dihentikan
dengan inkubasi pada suhu -10oC selama 15 menit. Jumlah gula reduksi
ditentukan dengan metode Schales dengan glukosamin sebagai standar (Uchida
dan Ohtakara 1998). Sebanyak 200 ìl campuran reaksi ditambahkan 1 ml
pereaksi Schales dan 800 ìl akuades, Setelah ditutup dengan aluminium foil,
tabung yang berisi campuran reaksi dipanaskan pada 100oC selama 15 menit,
disentrifus pada 3000 x g selama 10 menit. Absorbansi supernatan dibaca
dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm. Blanko berisi
pereaksi Schales dan akuades sebagai pengganti larutan sampel.
Satu unit aktivitas kitosanase didefinisikan sebagai jumlah enzim yang
menghasilkan 1 ìmol glukosamin per menit. Penentuan konsentrasi glukosamin
sampel berdasarkan kurva standar glukosamin. Nilai konsentrasi glukosamin
(ìg/ml) dalam sampel dimasukkan ke dalam rumus untuk menghitung aktivitas
enzim seperti di berikut ini :
Aktivitas A B 1 *konsentrasi 1 Enzim = x x x glukosamin x (U/ml) B C waktu inkubasi (ìg/ml) BM glukosamin
Keterangan :
A = Volume awal enzim, substrat dan bufer yang direaksikan (ìl)
B = Volume reaksi yang diambil untuk diukur jumlah glukosamin (ìl)
C = Volume enzim yang digunakan dalam pengujian aktivitas enzim (ìl)
Waktu inkubasi = 30 menit
Berat molekul (BM) Glukosamin = 215.6 g/mol
*Konsentrasi glukosamin yang dimasukkan ke dalam rumus adalah konsentrasi
glukosamin sampel dikurangi konsentrasi glukosamin kontrol dan blanko.
Pengukuran Kadar Protein. Kadar Protein dalam sampel enzim dianalisis
berdasarkan metode Bradford (1976) menggunakan Bovine serum albumin
(BSA) pada kisaran konsentrasi 0 – 100 ìg/ml sebagai standar protein.
Campuran reaksi mengandung 0.1 ml sampel, 1 ml akuades dan 1 ml pereaksi
Bradford. Setelah campuran reaksi dihomogenkan, absorbansi dibaca pada
35
panjang gelombang 595 nm. Blanko berisi pereaksi Bradford dan akuades
sebagai pengganti larutan sampel.
Elektroforesis dan Pewarnaan Perak. Elektroforesis dan pewarnaan
perak dilakukan untuk mendeteksi kemurnian enzim yang paling tinggi dari fraksi
hasil kolom kromatografi hidrofobik. Elektroforesis menggunakan gel
poliakrilamida-sodium dodesil sulfat (SDS-PAGE), dengan konsentrasi gel
pemisah poliakrilamida 10% dan gel penahan poliakrilamida 4% (Bollag dan
Edelstein 1991). Sampel fraksi-fraksi hasil pemurnian enzim sejumlah 20 ìl
terlebih dahulu diinkubasi selama 5 menit pada temperatur 55oC dalam bufer
sampel (5 ìl bufer sampel tanpa â-mercaptoetanol). Selanjutnya dilakukan
Loading sampel pada tiap sumur gel, kemudian proses elektroforesis dilakukan
dengan kondisi tegangan listrik 100 Volt dan arus sebesar 100 mili Amper.
Setelah selesai, gel difiksasi dengan larutan fiksasi (metanol 25% dan asam
asetat 12%) selama semalam. Perendaman gel selanjutnya diganti dengan
larutan etanol 50%, 30%, 30% masing-masing selama 20 menit. Selanjutnya
perendaman diganti dengan larutan enhancer (0.1 gram Na2S2O3 dalam 500 ml
akuabides) selama satu menit. Setelah gel dicuci dengan akuabides sebanyak
tiga kali masing-masing selama 20 detik, gel diwarnai dengan larutan perak nitrat
(HgNO3 dalam formaldehid) yang dilakukan selama 30 menit. Terakhir larutan
perendam gel diganti dengan larutan Na2CO3 dalam formaldehid selama 10
menit. Kemudian dilakukan penghentian reaksi dengan larutan fiksasi (Bollag dan
Edelstein 1991).
2. Produksi Senyawa-senyawa Kitooligomer
Senyawa-senyawa kitooligomer diproduksi dari kitosan terlarut 1% DD70%,
DD85%, dan DD90% yang dipersiapkan sebagai berikut : Kitosan sebanyak 0.5
gram ditambahkan asam asetat 1M sebanyak 4.5 ml, lalu disuspensikan dalam
20 ml air bebas ion dan diaduk sampai homogen selama tiga jam. Larutan
ditambahkan sodium asetat 0.05 M sampai mencapai pH 6.0 kemudian
ditepatkan volumenya menjadi 50 ml dengan bufer asetat 0.05 M (pH 6.0) (Yoon
et al. 2000).
Berbagai preparat enzim yang digunakan yaitu : preparat enzim kasar,
berasal dari hasil pemanasan supernatan bebas sel pada suhu 60oC selama 20
menit, konsentrasi enzim yang digunakan adalah 0.0085 Unit per miligram
36
kitosan, preparat amonium sulfat (hasil pemekatan enzim dengan amonium sulfat
80% jenuh) menggunakan konsentrasi enzim sebesar 0.005, 0.0085, 0.10, dan
0.17 Unit per miligram kitosan. Preparat enzim murni dari hasil pemurnian
dengan kolom kromatografi hidrofobik menggunakan konsentrasi enzim sebesar
0.0085 Unit per miligram kitosan.
Reaksi hidrolisis enzim dengan substrat dilakukan pada suhu 700C (suhu
optimum enzim) selama 1, 2, dan 3 jam. Reaksi enzimatik dihentikan dengan
cara pendidihan selama 10 menit. Setelah itu hidrolisat kitooligomer disentrifus
dan dipekatkan sampai setengah volume awal. Sampel senyawa-senyawa
kitooligomer yang akan diuji aktivitas proliferasi sel limfosit dan anti proliferasi sel
kanker kemudian diencerkan dan disterilisasi dingin dengan filter membran
ukuran 0.2 mikron.
3. Identifikasi dan Fraksinasi Komponen Kitooligomer
Produk hasil hidrolisis berbagai preparat enzim dan substrat diidentifikasi
pada tahap awal berdasarkan konsentrasi glukosamin yang dihasilkan. Tahap
selanjutnya dilakukan identifikasi dengan alat HPLC (High Performance Liquid
Cromatography). Sampel senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat
sebelum dianalisis dengan HPLC terlebih dahulu disentrifus untuk
menghilangkan pengotor-pengotor yang dapat mempengaruhi pembacaan alat
HPLC.
Identifikasi dan fraksinasi dengan HPLC menggunakan kolom karbohidrat
(Waters) sebagai fase diam, dan pelarut asetonitril 60% dalam air sebagai fase
gerak. Deteksi dilakukan berdasarkan waktu retensi, dengan detektor UV model
440 dual lamdha. menggunakan volume injeksi sampel sebanyak 20 ìl dan laju
alir 1ml/menit. Sebagai standar digunakan senyawa kitooligomer campuran dari
Seikagaku Japan, dengan unit monomer sampai heksamer pada konsentrasi 25
mg/ml. (Jeon dan Kim 2000; Chasanah 2004).
4. Pengujian Aktivitas Senyawa-senyawa Kitooligomer terhadap Proliferasi Sel Limfosit
a. Persiapan Media Kultur Sel dan Sampel Hidrolisat Kitooligomer
Media untuk kultur dan pemeliharaan sel menggunakan RPMI-1640 bubuk
sebanyak 10.4 gram dan dilarutkan dalam air deionisasi sampai volume 1(satu)
liter. Kemudian ditambahkan NaHCO 3 2 gram, Glutamin 2 mM sebanyak 10 ml
37
dan antibiotik penisilin-streptomisin 0.2%, kemudian dilakukan sterilisasi dingin
dengan membran steril berukuran 0,22 ìm. Jika digunakan sebagai media
pertumbuhan, komposisi medium ditambahkan 10% FBS steril (Zakaria 1997).
Persiapan sampel dilakukan untuk menguji aktivitas proliferasi sel limfosit
oleh senyawa-senyawa kitooligomer, yaitu terlebih dahulu ditetapkan besarnya
konsentrasi hidrolisat senyawa-senyawa kitooligomer yang akan digunakan. Dari
hasil pengujian pendahuluan terhadap aktivitas proliferasi sel limfosit, diperoleh
konsentrasi yang cukup baik pada nilai 17 ìg/ml kultur, sehingga semua sampel
diuji pada besaran nilai konsentrasi yang sama yaitu 17 ìg/ml kultur. Sampel-
sampel yang digunakan adalah beberapa hidrolisat enzimatik yang berasal dari
reaksi dengan berbagai konsentrasi enzim per miligram kitosan, senyawa-
senyawa kitooligomer murni, kitosan (DD 70%, 85%, 90% dan 100%)
glukosamin, enzim, mitogen Concanavalin A dan Pokeweed, dan senyawa 2-
Bromo deoksi uridin.
b. Isolasi sel limfosit
Limfosit manusia diisolasi dari darah perifer dengan sentrifugasi
berdasarkan perbedaan densitas larutan ficoll-hypaque sebesar 1.77 ± 0.001
g/ml. Pertama dilakukan pemisahan komponen seluler dengan sentrifugasi
sampel darah dalam vacutainer pada 514 x g selama 10 menit dengan
menggunakan sentrifus dengan rotor swing. Bagian darah yang lebih berat (sel
darah merah) berada di bagian bawah, sedangkan plasma darah terpisah di
bagian atas. Lapisan buffycoat yang sebagian besar berisi sel limfosit diambil lalu
ditambahkan medium basal. Pada tahap pemisahan selanjutnya suspensi limfosit
dalam medium basal dilewatkan pada larutan ficoll-hypaque secara perlahan
sehingga terbentuk dua lapisan yang tidak bercampur. Kemudian tabung
disentrifus lagi selama 30 menit pada 1430 x g. Sel limfosit, monosit dan platelet
berada sebagai lapisan di atas permukaan ficoll dan tidak menembus ke bawah.
Sedangkan granulosit dan sel darah merah terpisah di dasar tabung sentrifus.
Lapisan atas yang berisi sel limfosit, monosit dan platelet dicuci 2 (dua) kali
dengan media basal dan disentrifugasi pada 228 x g selama 10 menit,
supernatan di buang dan pelet dicuci serta disentrifus sekali lagi pada 228 x g
selama 10 menit, sehingga limfosit (dalam presipitat) terpisah dari platelet,
monosit, dan ficoll (dalam supernatan). Pelet sel yang diperoleh langsung
ditambah medium pertumbuhan dan dihomogenkan, kemudian dilakukan
38
perhitungan jumlah sel dengan menggunakan pewarna trifan biru dengan
perbandingan 1: 1 (10 ìl suspensi sel ditambah dengan 10 ì l pewarna trifan
biru). Setelah didiamkan selama 1 menit jumlah sel yang hidup dan mati dihitung
dengan menggunakan hemasitometer pada perbesaran mikroskop sebesar 100
kali. Perhitungan jumlah sel dengan menggunakan pewarna trifan biru
dimaksudkan untuk menentukan viabilitas sel yang akan diuji, yaitu sebelum
dilakukan pengujian sel harus dalam kondisi hidup sebesar 95%. Berdasarkan
hasil perhitungan jumlah sel menggunakan hemasitometer, maka dapat
ditetapkan jumlah sel dalam setiap ml suspensi sebagai berikut :
N = V/4 x F x 104 sel/ml N = Jumlah sel/ml V/4 = rata-rata jumlah sel terhitung dari empat bidang pandang F = Faktor pengenceran = 2 104 = 1 ml perkapasitas hemasitometer, yaitu 10 4 ml. (Palmer et al. 1978, Tejasari 2000).
Suspensi sel (1 x 106 sel/ml) dimasukkan ke dalam sumur-sumur microplate
sebanyak 80 ìl tiap sumur. Suspensi sel dalam media mengandung serum janin
sapi (Fetal Bovine Serum (FBS)) 10%. Hidrolisat yang mengandung senyawa-
senyawa kitooligomer dengan konsentrasi 85 µg/ml ditambahkan dalam sumur
sebanyak 20 ìl, mitogen concanavalin A (Con A) dan pokeweed dengan
konsentrasi masing-masing sebesar 50 µg/ml digunakan sebagai sampel
pembanding masing-masing ditambahkan ke dalam sumur sebanyak 20 ìl,
kecuali jika perlakuan menggunakan campuran senyawa-senyawa kitooligomer
(dalam hidrolisat hasil reaksi enzimatik) dan mitogen maka jumlah mitogen dan
sampel kitooligomer yang digunakan sebanyak 10 ìl. Jumlah total volume dalam
tiap sumur sebanyak 100 ìl. Kultur diinkubasi pada inkubator dengan kondisi 5%
CO2, 37oC, dan RH 90% selama 3 (tiga) hari.
Setelah masa inkubasi berakhir dilakukan pengujian dengan metode MTT,
yaitu ditambahkan 10 ìl larutan pereaksi garam tetrazolium (MTT) 5 mg/ml pada
tiap sumur microplate, selanjutnya diinkubasi selama 4 (empat) jam. Sebelum
pembacaan dengan alat microplate reader pada panjang gelombang 570 nm,
dilakukan pelarutan senyawa formazam yang terbentuk dengan larutan
isopropanol pada tiap sumur sebanyak 100 ìl.
39
5. Pemeliharaan kultur sel kanker (Ananta 2000).
Sel Suspensi : Sel KR-4 dan K562 dalam keadaan beku yang tersimpan di
dalam tangki berisi nitrogen cair setelah dikeluarkan, mengalami proses thawing,
terlebih dahulu, yaitu ampul berisi sel diinkubasi pada suhu 37oC atau digengam
dengan tangan sampai isi ampul mencair. Ampul selanjutnya disentrifugasi pada
228 x g selama 10 menit, supernatan dibuang dan pelet ditambah medium basal,
kemudian disentrifugasi kembali pada 228 x g selama 5 menit, supaya bahan-
bahan pengawet sel dan sel yang telah mati dapat dihilangkan dari kultur sel.
Pelet sel kemudian ditambahkan media pertumbuhan dan dihomogenisasi,
selanjutnya suspensi sel dipindahkan ke dalam flask dengan media pertumbuhan
5 ml, lalu diinkubasi pada inkubator dengan 5% CO 2 pada suhu 37oC.
Pemeliharaan sel dilakukan dengan pergantian atau pencucian media setiap 3
(tiga) hari sekali atau bila suspensi telah berubah warna dari merah menjadi
kuning yang menandakan telah terjadi penurunan pH karena kegiatan
metabolisme dari sel, untuk kultur digunakan sel yang sedang berada dalam fase
logaritmik pada kurva pertumbuhan.
Sel Selapis (monolayer) : Pemeliharaan sel selapis (HeLa dan A549)
sama dengan sel suspensi, hanya dalam pencucian atau pergantian media di
dalam flask diperlukan larutan enzim tripsin 0.02% di dalam 0.5% EDTA-PBS,
untuk pengangkatan sel yang melekat pada dinding flask. Media yang akan
diganti mula-mula di buang semua sehingga hanya tersisa sel yang melekat di
dinding flask, kemudian ditambahkan larutan tripsin sebanyak 500 µl (untuk
volume kultur 5 ml) dan diinkubasi pada inkubator selama 8 (delapan) menit. Sel
yang menempel akan terlepas, kemudian ditambahkan PBS secukupnya
sebelum suspensi sel dipindahkan ke dalam tabung sentrifus dan dilakukan
prosedur pencucian sel seperti yang telah dilakukan pada sel suspensi
6. Pengujian Aktivitas Anti Proliferasi Sel Kanker
Media Sel Kanker. Media DMEM/F 12 (Dulbecco’s Modified Eagle
Medium) bubuk sebanyak 10 gram dimasukkan ke dalam botol steril yang berisi
900 ml aquabides steril dan dihomogenisasi dengan stirer tanpa pemanasan.
Selanjutnya ditambahkan 12 gram NaHCO3, antibiotik penisilin-streptomisin
0,2%, dihomogenisasi kembali dan ditambahkan akuabides sampai larutan
media menjadi 1000 ml. Media disaring menggunakan kertas saring steril ukuran
40
0,22 ìm secara aseptik dan hasil penyaringan dimasukkan dalam botol steril dan
disimpan dalam lemari es pada suhu 2 – 8oC sampai digunakan kembali. Apabila
akan digunakan sebagai media tumbuh media DMEM/F12 ditambahkan 10%
FBS (Fetal Bovine Serum) (Rusmarilin 2003).
Suspensi sel (1 x 10 5 sel/ml) dimasukkan ke dalam sumur-sumur microplate
sebanyak 180 ì l tiap sumur. Hidrolisat yang mengandung senyawa-senyawa
kitooligomer dengan konsentrasi sebesar 170 µg/ml ditambahkan dalam sumur
sebanyak 20 ìl. Penggunaan kontrol positif anti kanker senyawa 2-Bromo 2-
deoksi uridin dengan konsentrasi 170 µg/ml sebanyak 20 ìl. Jumlah total volume
dalam tiap sumur sebanyak 200 ìl. Kultur diinkubasi pada inkubator dengan
kondisi 5% CO2, 37oC, dan RH 90% selama 4 (empat) hari.
Setelah masa inkubasi berakhir dilakukan pengujian dengan metode MTT,
seperti pada pengujian MTT dengan sel limfosit
7. Pengolahan Data
Data absorbansi perlakuan (masing-masing menggunakan ulangan
sebanyak 3 kali), dihitung dan dikonversi ke rumus :
- Untuk % aktivitas proliferasi sel limfosit :
% Proliferasi = (Absorbansi sampel /Abs Kontrol) x 100%
- Untuk % penghambatan proliferasi sel kanker :
(1- (Absorbansi sampel/absorbansi kontrol)) x 100%
* absorbansi kontrol adalah absorbasi pengujian yang hanya berisi suspensi sel
dan media (Damayanti 2002).
8. Pengujian Mekanisme Antiproliferasi Sel Kanker oleh Senyawa-senyawa Kitooligomer
a. Pengujian Apoptosis dengan Metode Hoechts Staining
Pengujian perubahan inti sel akibat apoptosis dilakukan dengan prinsip
terikatnya DNA sel dengan fluorochrome-bis-benzimide trihydrochloride (Hoechst
33342). Setelah dilakukan pemberian bahan uji selama semalam pada kultur sel,
pelet sel yang diperoleh dari hasil sentrifugasi selama 10 menit pada 228 x g,
kemudian difiksasi pada temperatur 37oC selama 30 menit dengan larutan
formalin 3.7% dalam PBS. Pelet sel kemudian dicuci dengan PBS dan diwarnai
dengan Hoechst dye 24 ìg/ml selama semalam pada 4oC. 20 ìl suspensi sel
tersebut ditempatkan pada cover glass kemudian diamati dan difoto
41
menggunakan mikroskop fluorosens untuk melihat degradasi kromatin dari sel
yang mengalami apoptosis (Wispriono et al; 2002).
b. Pengujian Kebocoran Membran
Kultur sel sebanyak 2 ml dengan konsentrasi sel 1 x 106 sel/ml dalam
wadah cawan petri steril berdiameter 2 cm, diinkubasi pada inkubator CO2
selama 24 jam dengan bahan uji hidrolisat yang mengandung senyawa-senyawa
kitooligomer dengan konsentrasi 17 µg/ml kultur. Setelah masa inkubasi selesai,
sel disentrifugasi pada 228 x g selama 5 (lima) menit, supernatan dibuang dan
ditambahkan PBS (phosphate buffer saline), sentrifus d ilakukan lagi pada kondisi
yang sama, pelet yang diperoleh dipreparasi dengan fiksasi menggunakan
glutaraldehid selama 1.5 jam, pencucian dengan asam tanik dan PBS masing-
masing selama 20 menit. Dilanjutkan dengan fiksasi dengan osmium selama dua
jam, pencucian dengan akuabides selama 10 menit, dehidrasi alkohol bertingkat
selama 10 menit, dan terakhir pencucian dengan t-butanol selama 10 menit.
Suspensi sel kemudian diteteskan pada membran steril. Terakhir dilakukan
coating pada membran tersebut dengan logam emas sebelum dianalisis dengan
alat SEM.
Supernatan sel dari PBS diukur dengan spektro UV pada panjang
gelombang 280 nm untuk mendeteksi konsentrasi protein supernatan sel dan
panjang gelombang 260 nm untuk mendeteksi adanya asam nukleat pada
supernatan sel. Konsentrasi protein dan asam nukleat pada supernatan kultur sel
yang diberi bahan uji dibandingkan dengan konsentrasi protein dan asam nukleat
pada supernatan kultur sel yang tidak diberi bahan uji. Konsentrasi protein dan
asam nukleat yang lebih tinggi pada supernatan kultur yang diberi bahan uji
dapat memprediksi terjadinya kebocoran membran sel (Bunduki et al. 1995).
Fenomena kebocoran membran sel dapat menjadi petunjuk mekanisme
terjadinya kematian sel.
c. Pengujian Aktivitas Serin Protease (Bergmeyer 1983)
Pengujian ini merupakan model pengujian penghambatan aktivitas enzim
tripsin, yaitu suatu golongan enzim serin protease. Enzim tripsin yang digunakan
adalah enzim tripsin murni yang berasal dari pankreas sapi (EC 3.4.21.4
(Sigma)). Sebelum dilakukan pengujian aktivitas protease, enzim tripsin terlebih
dahulu diinkubasi dengan hidrolisat senyawa-senyawa kitooligomer pada suhu
37oC selama 15 menit. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan enzim
42
tripsin berinteraksi dengan hidrolisat senyawa-senyawa kitooligomer yang
ditambahkan.
Prosedur Bergmeyer yang dimodifikasi untuk menguji aktivitas serin
protease dilakukan sebagai berikut : Ke dalam 250 µl substrat larutan kolagen
0.5% dan 250 µl bufer fosfat 0,05 M pH 8, ditambahkan 50 µl larutan enzim
tripsin (untuk campuran reaksi blanko ditambahkan 50 µl air sedangkan untuk
campuran reaksi standar ditambahkan 50 µl larutan glisin 5 mM) dan diinkubasi
pada suhu 37oC selama 10 menit. Reaksi dihentikan dengan penambahkan 500
µl larutan tri kloro asam asetat 0.1 M, selanjutnya untuk campuran reaksi blanko
dan standar ditambahkan 50 µl larutan enzim tripsin sedangkan untuk campuran
reaksi enzim ditambahkan 50 µl air, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan
1500 x g selama 10 menit. Sebanyak 375 µl supernatan ditambahkan ke dalam
1250 µl Na 2CO3 dalam tabung reaksi . Selanjutnya absorbansi diukur pada
spektro UV dengan panjang gelombang 280 nm. Satu unit enzim protese tripsin
didefinisikan sebagai jumlah enzim yang mampu menghasilkan satu µmol produk
glisin. Aktivitas enzim dihitung berdasarkan persamaan berikut :
Asampel – Ablanko Faktor pengenceran Aktivitas protease (U/ml) = ------------------------ x ------------------------- Astandar – Ablanko Waktu
Aktivitas penghambatan protease dapat diketahui dengan
membandingkan aktivitas enzim protease tanpa hidrolisat dan aktivitas enzim
protease dengan pemberian hidrolisat yang mengandung senyawa-senyawa
kitooligomer.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PRODUKSI SENYAWA-SENYAWA KITOOLIGOMER SECARA ENZIMATIK
Senyawa-senyawa kitooligomer merupakan hasil hidrolisis substrat kitosan
menggunakan enzim kitosanase yang dihasilkan dari fermentasi kultur Bacillus
licheniformis MB2 pada media thermus cair yang mengandung koloidal kitosan
1% (Chasanah 2004). Berdasarkan pengujian kemampuan hidrolisis beberapa
preparat enzim kitosanase terhadap kitosan terlarut 1%, diperoleh beberapa
preparat enzim yang potensial untuk digunakan dalam memproduksi senyawa-
senyawa kitooligomer. Aktivitas beberapa peparat enzim disajikan dalam Tabel 5.
Berdasarkan aktivitas tersebut, dibuat konsentrasi enzim yang digunakan untuk
memproduksi senyawa-senyawa kitooligomer sebesar 0.005, 0.0085, 0.10 dan
0.17 Unit per miligram kitosan. Pemilihan besarnya konsentrasi enzim
berdasarkan perkiraan kemampuan enzim dalam menghasilkan produk reaksi
senyawa-senyawa kitooligomer dalam besaran unit tertentu yang telah
dilaporkan sebelumnya oleh Jeon dan Kim (2000).
Tabel 5 Aktivitas beberapa preparat enzim
Reaksi Aktivitas (U/ml)
Protein (mg/ml)
Aktivitas Spesifik (U/mg)
Yield (%)
FBS campuran FBS + Mn FBSp FBSp + Mn FBS + As30% FBS +AS 30% + Mn FBSp + As30% FBSp + AS30 + Mn AS 80 Enzim murni gabungan
0.025 0.034 0.042 0.030 0.021 0.027 0.018 0.026 0.927 0.052
0.309 0.311 0.309 0.326 0.343 0.336 0.339 0.398 0.250 0.033
0.081 0.108 0.136 0.092 0.062 0.079 0.054 0.066 3.696 1.573
100.00 100.65 100.00 105.50 111.00 108.74 109.71 128.80 80.91 10.68
Keterangan : FBS = Filtrat bebas sel FBSp = Filtrat bebas sel yang dipanaskan selama 20 menit 60 oC. FBS + Mn = Filtrat bebas sel yang ditambah katalisator MnCl 2 10 mM. AS30 = Enzim hasil pekatan Amonium sulfat 30% AS80 = Enzim hasil pekatan Amonium sulfat 80% dengan pengenceran 30 kali. Enzim murni = Enzim hasil pemurnian menggunakan kolom kromatografi hidrofobik
Berdasarkan hasil pada Tabel 5, enzim fraksi supernatan bebas sel yang
diproses lebih lanjut dengan pemanasan pada 60 oC selama 20 menit (FBSp)
44
mengalami peningkatan aktivitas dari 0.0025 IU/ml menjadi 0.0042 IU/ml, hasil
tersebut sesuai dengan hasil penelitian pandahuluan bahwa enzim dengan
perlakuan tersebut mengalami peningkatan aktivitas. Peningkatan aktivitas dapat
terjadi karena proses pemanasan pada 60oC selama 20 menit telah membuat
protein-protein yang tidak tahan panas terdenaturasi dan terpisah dari protein
enzim yang tahan panas. Akibat perlakuan tersebut keberadaan protein-protein
lain yang dapat mengganggu aktivitas enzim kitosanase dalam mendegradasi
substrat dapat dikurangi, sehingga enzim kitosanase dalam preparat FBSp
mengalami peningkatan aktivitas.
Preparat enzim murni gabungan dalam Tabel 5 nampak memiliki
persentasi yield dan aktivitas spesifik yang lebih kecil daripada preparat AS 80,
sebaiknya hasil tersebut memiliki nilai persentasi yield yang rendah tetapi
aktivitas spesifik yang lebih tinggi dari preparat enzim AS80. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh belum optimalnya proses pemurnian yang dilakukan, antara lain
terjadi kehilangan protein enzim kitosanase dalam proses pemurnian, sehingga
diperoleh aktivitas spesifik yang lebih kecil pada preparat enzim murni
dibandingkan dengan preparat enzim hasil pemekatan dengan garam amonium
sulfat (AS 80). Kemungkinan lainnya adalah enzim kitosanase mengalami
penurunan aktivitas selama penyimpanan pada 4oC. Data presentasi yield enzim
diperoleh dengan cara membandingkan kadar protein FBS campuran dan kadar
protein preparat enzim murni serta membandingkan kadar protein FBS campuran
dan kadar protein preparat AS80.
Berdasarkan identifikasi dengan senyawa-senyawa kitooligomer standar,
hasil reaksi berbagai preparat enzim dalam Tabel 5 dengan substrat kitosan 1%,
menghasilkan senyawa-senyawa kitooligomer yang berukuran mono sampai
heksamer. Untuk memantau produk reaksi berbagai preparat enzim tersebut
pada berbagai parameter nilai konsentrasi enzim, derajat deasetilasi substrat,
konsentrasi substrat dan berbagai waktu inkubasi enzim dan substrat, sebagai
tahap awal dilakukan pengukuran konsentrasi glukosamin yang dapat
memprediksi laju terbentuknya senyawa-senyawa kitooligomer dari berbagai
reaksi yang dilakukan. Berbagai pola produksi glukosamin tersebut disajikan
pada beberapa grafik berikut :
45
Gambar 7 Hidrolisis kitosan tanpa enzim
Gambar 7 di atas memperlihatkan grafik pengaruh kondisi reaksi (suhu
70oC) terhadap substrat kitosan tanpa pemberian enzim. Kitosan dapat
terhidrolisis pada suhu 70oC setelah 1 (satu) jam inkubasi, dengan konsentrasi
glukosamin hasil hidrolisis mencapai sekitar 6 µg/ml. Gambar 8 sampai 12
memperlihatkan substrat kitosan yang diberi enzim kitosanase dari B.
Licheniformis MB2, ternyata memperlihatkan pola peningkatan produksi
glukosamin tujuh kali lebih tinggi daripada hasil hidrolisis tanpa adanya enzim
pada Gambar 7.
Grafik pada Gambar 8 memperlihatkan glukosamin akan diproduksi lebih
banyak pada preparat enzim yang menggunakan unit enzim per miligram kitosan
(konsentrasi enzim) yang lebih besar daripada preparat enzim dengan unit per
miligram kitosan yang lebih kecil dalam waktu inkubasi yang sama.
Gambar 8 Hidrólisis preparat enzim AS 0.0085 pada kitosan 1% dengan
Perbedaan konsentrasi enzim
012
34567
1 3 6 12 24
Lama inkubasi (jam)
ug/m
l glu
kosa
min
Kitosan
0
10
20
30
40
50
1 2 3 12
Lama inkubasi (jam)
ug/m
l Glu
kosa
min AS 0.0085 DD85
AS 0.17 DD85
46
Gambar 9 dan 10 berikut memberikan gambaran reaksi enzim dan substrat
dengan derajat deasetilasi yang lebih tinggi (90% dan 85%) dalam menghasilkan
produk glukosamin yang lebih tinggi daripada substrat yang memiliki derajat
deasetilasi lebih rendah yaitu 70%, hal ini disebabkan oleh kemudahan kerja
enzim untuk menghidrolisis substrat kitosan dengan kandungan gugus asetil
yang rendah daripada kandungan gugus asetil yang tinggi. Kemampuan hidrolisis
enzim kitosanase yang spesifik terhadap ikatan GlcNAc-NGlc atau NGlc-GlcNAc
dan ikatan NGlc-NGlc dalam polimer kitosan hanya memungkinkan enzim dapat
menghidrolisis substrat kitosan secara maksimum pada kitosan yang memiliki
derajat deasetilasi tinggi (kandungan gugus asetil yang rendah). Oleh karena itu
dihasilkan jumlah produk glukosamin yang lebih tinggi pada substrat dengan
derajat deasetilasi 90% dan 85% daripada substrat dengan derajat deasetilasi
70%. Hasil hidrolisis substrat dengan derajat deasetilasi rendah (substrat banyak
mengandung gugus asetil) menghasilkan produk N asetil glukosamin lebih tinggi
daripada glukosamin, tetapi produk tersebut tidak terukur pada metode yang
digunakan dalam penelitian ini.
Gambar 9 Hidrólisis preparat enzim FBS 0.0085 dengan kitosan yang berbeda derajat deasetilasi (DD)
272829303132333435363738
1 j 3 j 6 j
Waktu inkubasi (jam)
ug/m
l Glu
kosa
min
FBS 0.0085 DD85
FBS 0.0085 DD70
47
Gambar 10 Hidrólisis preparat enzim murni dengan kitosan yang berbeda derajat deasetilasi (DD)
Gambar 11 memperlihatkan reaksi enzimatik dengan konsentrasi enzim
dalam unit permiligram kitosan yang sama, tetapi menggunakan konsentrasi
substrat yang berbeda (1% dan 0.5%), menghasilkan pola produksi glukosamin
yang berbeda. Reaksi dengan substrat kitosan berkonsentrasi 1% menghasilkan
jumlah glukosamin yang lebih tinggi daripada reaksi dengan konsentrasi substrat
lebih rendah (0.5%) pada lama inkubasi 1 sampai 9 jam, setelah 12 jam terlihat
konsentrasi glukosamin hampir sama.
Gambar 11 Hidrólisis preparat enzim AS 0.0085 DD85 dengan konsentrasi kitosan 1% dan 0.5%.
Gambar 12 memberikan gambaran perbedaan jumlah produksi glukosamin
dari berbagai preparat enzim dengan konsentrasi enzim yang sama (0.0085 unit
permiligram kitosan) dan konsentrasi substrat yang sama (1%). Dari histogram
tersebut nampak produksi glukosamin tertinggi selama 1 (satu), 3 (tiga) dan 6
0
10
20
30
40
50
1 3 6 9
Lama inkubasi (jam)
ug/m
l glu
kosa
min
EM 0.0085 DD70
EM 0.0085 DD85
EM 0.0085 DD90
0
10
20
30
40
50
1 3 6 9 12 24
Waktu inkubasi (jam)
ug/m
l Glu
kosa
min
0.50%1%
48
(enam) jam terdapat pada preparat enzim kasar (FBS dan FBSMn). Preparat
hasil pemekatan dengan garam amonium sulfat (AS80) dan preparat enzim hasil
pemurnian dengan kolom kromatografi hidrofobik memperlihatkan produksi
glukosamin yang lebih rendah. Tetapi, kedua preparat enzim hasil pemurnian
tersebut memperlihatkan pola kenaikan produksi glukosamin yang lebih baik,
sehingga dapat diprediksi bahwa apabila produksi monomer glukosamin tidak
terlalu tinggi, maka hasil hidrolisis enzim yang lebih banyak adalah senyawa-
senyawa kitooligomer. Hal ini dimungkinkan karena preparat enzim hasil
pemekatan dengan garam amonium sulfat (AS) dan preparat enzim hasil
pemurnian dengan kolom kromatografi hidrofobik (EM) merupakan enzim dengan
taraf kemurnian enzim yang lebih tinggi daripada preparat enzim kasar. Hal ini
disebabkan oleh telah terpisahkannya komponen protein yang lain selain protein
enzim kitosanase oleh proses pengendapan protein enzim dan pemurnian
protein enzim kitosanase. Oleh karena itu enzim kitosanase dalam preparat
enzim AS dan EM mampu bekerja lebih spesifik dan maksimal dalam
menghidrolisis kitosan, sehingga menghasilkan lebih banyak senyawa-senyawa
kitooligomer daripada monomer glukosamin.
Keterangan :
FBS 0.0085 = Filtrat bebas sel yang dipanaskan selama 20 menit 60oC.
FBSMn = Filtrat bebas sel yang ditambah katalisator MnCl2 10 mM. AS 30% 0.0085 = Enzim hasil pekatan Amonium sulfat 30%. AS 80% 0.0085 = Enzim hasil pekatan Amonium sulfat 80% dengan pengenceran 30 kali. EM 0.0085 = Enzim hasil pemurnian menggunakan kolom kromatografi hidrofobik. 1j,3j dan 6j = Lama inkubasi enzim dan substrat pada produksi kitooligomer .
Gambar 12 Konsentrasi glukosamin berbagai hidrolisat enzimatik
0
10
2030
40
50
FBS0.0085DD85
FBSMn AS 30%0.0085
AS 80%0.0085
EM 0.0085
Jenis hidrolisat enzim
ug/m
l Glu
kosa
min
1j 3 j 6
49
Dari grafik-grafik produksi glukosamin di atas diperoleh informasi bahwa
enzim kitosanase dapat menghidrolisis substrat kitosan dengan kecepatan yang
berbeda-beda, tergantung pada konsentrasi enzim, derajat deasetilasi substrat
dan konsentrasi substrat yang digunakan. Yaitu bahwa penggunaan konsentrasi
enzim (unit/mg kitosan) yang lebih tinggi pada batas konsentrasi tertentu akan
cenderung menghasilkan jumlah glukosamin yang lebih tinggi dengan waktu
inkubasi yang dibutuhkan lebih cepat daripada menggunakan konsentrasi enzim
yang lebih rendah, hal ini sesuai dengan prinsip pola kinetika reaksi dari
Michaelis Menten, yaitu penggunaan konsentrasi enzim atau substrat akan
meningkat pada batas tertentu sebelum mencapai taraf jenuh, setelah taraf
tersebut produk reaksi menurun jumlahnya. Penggunaan substrat dengan derajat
deasetilasi yang lebih tinggi akan menghasilkan konsentrasi glukosamin yang
lebih tinggi dengan waktu yang lebih cepat dibanding jika menggunakan substrat
dengan derajat deasetilasi yang lebih rendah. Begitupula penggunaan
konsentrasi substrat yang lebih tinggi (dalam batas tertentu) akan menghasilkan
jumlah glukosamin lebih tinggi dengan waktu inkubasi yang lebih cepat dibanding
menggunakan substrat dengan konsentrasi lebih kecil.
Berdasarkan hasil analisis produksi glukosamin yang telah dijelaskan,
maka untuk keperluan pengujian aktivitas proliferasi sel limfosit dan sel kanker,
digunakan senyawa-senyawa kitooligomer yang diproduksi selama 1 (satu) dan 3
(tiga) jam masing-masing untuk preparat FBS 0.0085 DD85, FBSMn 0.0085
DD85, AS 0.005 DD85, AS 0.0085 DD85, AS 0.10 DD85 dan AS 0.17 DD85,
sedangkan untuk preparat enzim murni digunakan senyawa-senyawa
kitooligomer yang diproduksi selama 6 dan 9 jam. Semua pengujian sampel
menggunakan jumlah konsentrasi yang sama, jadi yang akan dilihat
pengaruhnya adalah komposisi dari senyawa-senyawa kitooligomer dalam
hidrolisat reaksi enzimatik terhadap proliferasi sel limfosit dan proliferasi sel
kanker.
Untuk keperluan produksi kitooligomer yang berasal dari enzim hasil
pemurnian, dilakukan pemurnian enzim kitosanase menggunakan filtrat bebas
sel yang sebelumnya telah diberi garam amonium sulfat 30% jenuh, metode
purifikasi enzim dilakukan dengan kromatografi kolom jenis HIC (Hidrophobic
Interaction Chromatography) dengan menggunakan matriks butil separose
sebagai fase diam dan bufer amonium sulfat sebagai fase gerak (Gambar 13).
50
Pemilihan metode purifikasi enzim pada jenis kromatografi kolom HIC
dengan menggunakan matriks butil separose tersebut berdasarkan hasil
penelitian Chasanah (2004), yang memperoleh hasil pemurnian terbaik untuk
enzim kitosanase dari kultur Bacillus licheniformis MB2 dengan menggunakan
metode purifikasi tersebut. Pemilihan metode HIC berdasarkan pada prinsip
kondisi enzim termostabil yang memiliki komposisi asam amino hidrofobik pada
permukaan strukturnya, sehingga membentuk hidrofobisitas permukaan (Vielle
dan Zeikus 2001). Metode HIC berdasarkan pada interaksi hidrofobik diantara
gugus non ionik yang berikatan dengan matriks yang inert dan gugus non ionik
protein yang dipisahkan (Roe 1993). Pengkondisian enzim terlebih dahulu
dengan garam amonium sulfat dimaksudkan untuk menguatkan interaksi
hidrofobik antara enzim dengan matriks butil separose dengan cara
mengeluarkan air dari gugus hidrofobik enzim. Pengikatan protein yang kuat
pada matriks dan kehilangan minimal protein enzim diperoleh pada konsentrasi
30% garam amonium sulfat (Chasanah 2004). Gugus non ionik (hidrofobik)
protein enzim dapat dilepaskan dari matriks dengan penambahan garam
amonium sulfat, untuk elusi protein target digunakan gradien 10% - 0% garam
amonium sulfat jenuh dalam bufer fosfat (Gambar 13).
Gambar 13 Hasil pemurnian enzim kitosanase menggunakan kromatografi kolom interaksi hidrofobik (HIC).
0.000
0.050
0.100
0.150
0.200
0.250
0.300
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37
Ka
da
r P
rote
in (
A-2
80
nm
)
0
2
4
6
8
10
12
Ak
tiv
ita
s E
nzi
m
aktivitas enzim Protein 280 nm gradien amonium sulfat
33 34 35
51
Fraksi protein enzim yang diperoleh dari hasil pemurnian dengan kolom
interaksi hidrofobik selanjutnya dilakukan elektroforesis SDS PAGE dengan
pewarnaan silver staining untuk mendeteksi fraksi-fraksi hasil kolom yang
memiliki tingkat kemurnian paling tinggi. Hasil Elektroforesis dengan pewarnaan
silver staining (Gambar 14), menunjukkan ada tiga pita tunggal yang terdeteksi,
yaitu pita dari fraksi 33, 34, dan 35 yang memiliki berat molekul 75 kilo dalton,
berat molekul enzim tersebut sesuai dengan hasil identifikasi berat molekul
enzim kitosanase murni yang diperoleh oleh Chasanah (2004). Fraksi-fraksi
tersebut memiliki aktivitas terhadap substrat 1% kitosan DD 85% masing-masing
sebesar 0.082; 0.101 dan 0.087 IU/ml. Berdasarkan deteksi kemurnian
enzim, maka fraksi 33, 34, dan 35 tersebut diambil dan dicampurkan, kemudian
diukur aktivitas hasil pencampuran fraksi-fraksi tersebut sebagai dasar untuk
digunakan dalam reaksi produksi senyawa-senyawa kitooligomer dengan
konsentrasi enzim yang dituju sebesar 0.0085 unit permiligram kitosan.
Gambar 14 Hasil deteksi kemurnian enzim menggunakan silver staining
B. FRAKSINASI HIDROLISAT SENYAWA-SENYAWA KITOOLIGOMER.
Senyawa-senyawa kitooligomer yang dihasilkan dari berbagai reaksi
preparat enzim dan substrat dipantau dengan menganalisis komposisi dan
konsentrasi senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat yang berukuran
berukuran mono sampai heksamer dengan menggunakan teknik kromatografi
dengan alat HPLC (Gambar 15 dan 16).
Hasil pengamatan pada Gambar 15 dan 16 tersebut memperlihatkan tidak
ada pengaruh yang cukup signifikan dari besarnya konsentrasi enzim terhadap
komposisi senyawa-senyawa kitooligomer yang dihasilkan, yaitu semua hidrolisat
yang berasal dari berbagai konsentrasi enzim ternyata menghasilkan produk
Marker 33 34 35
75 KDa 94
67
43 30 20,11 14,4
52
senyawa kitooligomer monomer (glukosamin) sampai tetramer yang tinggi dan
produk senyawa kitooligomer pentamer dan heksamer yang rendah. Produk
senyawa kitooligomer heptamer dan oktamer kemungkinan juga dihasilkan dari
hasil reaksi enzimatik yang dilakukan, namun karena keterbatasan senyawa
standar maka senyawa-senyawa tersebut tidak dapat diidentifikasi.
Keterangan : FBS 0.0085 1j DD85 = hasil reaksi enzim (Filtrat bebas sel yang dipanaskan selama 20 menit 60oC) dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85, selama 1 jam. FBS 0.0085 1j DD85 = hasil reaksi enzim (Filtrat bebas sel yang dipanaskan selama 20 menit 60oC) dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85, selama 3 jam.
Gambar 15 Komposisi senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat FBS
0.0085 DD 85 1 jam dan 3 jam dengan substrat kitosan.
Keterangan : AS 0.0085 3j DD85 = Hasil reaksi enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85, 3 jam AS 0.10 3j DD85 = Hasil reaksi enzim hasil pekatan amonium su lfat dengan konsentrasi 0.10 U/mg kitosan DD85, 3 jam. AS 0.17 3j DD85 = hasil reaksi enzim dengan konsentrasi 0.17 U/mg kitosan DD85, 3 jam
Gambar 16 Komposisi senyawa-senyawa kitooligomer berbagai hidrolisat
dengan konsentrasi enzim 0.0085, 0.10 dan 0.17 Unit/mg kitosan.
0
2
4
6
8
10
12
monomer dimer trimer tetramer pentamer heksamer
unit senyawa kitooligomer
mg
/ml
FBS 0.0085 1j DD85
FBS 0.0085 3j DD85
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.54
monomer dimer trimer tetramer pentamer heksamer
Jenis Oligomer
mg
/ml
AS 0,0085 3j DD85
AS 0.10 3j DD85
AS 0.17 3j DD85
53
Berdasarkan hasil pengujian beberapa hidrolisat yang memiliki hasil uji
proliferasi sel limfosit dan anti proliferasi sel kanker cukup baik, dilakukan analisis
komposisi dan fraksinasi senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat-
hidrolisat tersebut. Perhitungan konsentrasi senyawa-senyawa kitooligomer pada
masing-masing hidrolisat setelah dianalisis dengan HPLC disajikan pada Gambar
17.
Keterangan : FBS 0.0085 1j DD85 = hasil reaksi enzim (Filtrat bebas sel yang dipanaskan selama 20 menit 60oC) dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85 selama 1jam. FBS 0.0085 3j DD85 = hasil reaksi enzim (Filtrat bebas sel yang dipanaskan selama 20 menit 60oC) dengan konsentras0.0085 U/mg kitosan DD85 selama 3 jam. EM 0.0085 6j DD90 = Hasil reaksi enzim murni dengan konsentras 0.0085 U/mg kitosan DD90, selama 6 jam EM 0.0085 9j DD90 = Hasil reaksi enzim murni dengan konsentras 0.0085 U/mg kitosan DD 90, selama 9 jam AS 0.10 3j DD85 = Hasil reaksi enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan konsentras 0.10 U/mg kitosan DD85, 3 jam. Std = Standar senyawa-senyawa kitooligomer dari Seikagaku, Jepang.
Gambar 17 Komposisi dan konsentrasi senyawa-senyawa kitooligomer
dalam berbagai hidrolisat
Hasil analisis komposisi senyawa-senyawa kitooligomer dari beberapa
hidrolisat pada Gambar 17 menunjukkan bahwa hidrolisat enzim murni (6 dan 9
jam) memiliki komposisi monomer sampai heksamer yang tinggi daripada
hidrolisat AS 0.10 3j DD85, FBS 0.0085 1j DD85, dan FBS 0.0085 3j DD85.
Komposisi dan konsentrasi senyawa–senyawa kitooligomer yang berbeda-beda
dapat menjawab terjadinya perbedaan respon uji hayati berbagai hidrolisat pada
pengujian proliferasi terhadap kultur sel limfosit dan sel kanker. Hasil ini diperkuat
oleh Tokoro et al. (1986); Kobayashi et al. (1990); dan Suzuki et al . (1992) yang
melaporkan senyawa-senyawa kitooligomer yang berasal dari kitin memiliki
0
5
10
15
20
25
30
monomer dimer trimer tetramer pentamer heksamer
Unit senyawa kitooligomer
Kon
sent
rasi
(mg/
ml)
std oligomerEM 0.0085 6j DD85EM 0.0085 9j DD85AS 0.10 3j DD85FBS 0.0085 1j DD85FBS 0.0085 3j DD85
54
aktivitas immunoenhancing atau anti kanker terbaik adalah senyawa kitooligomer
dengan unit heksamer.
C. AKTIVITAS SENYAWA-SENYAWA KITOOLIGOMER TERHADAP PROLIFERASI SEL LIMFOSIT
Sel limfosit darah merupakan jenis sel yang tersuspensi dalam darah,
mudah diisolasi dan merupakan jenis sel yang sangat sensitif (Kresno 1996),
Oleh karena itu pengujian aktivitas komponen bioaktif secara in vitro dapat
dilakukan untuk menguji sifat sitotoksik suatu komponen bioaktif terhadap sel
limfosit. Hipotesis tentang pengaruh sitotoksik komponen uji terhadap sel limfosit
dapat diberlakukan juga untuk sel normal, sehingga apabila komponen bioaktif
yang diberikan ternyata tidak membunuh sel limfosit, dapat disimpulkan bahwa
komponen tersebut juga tidak bersifat sitotoksik bagi sel normal. Jika hal ini
tercapai, maka bahan bioaktif yang memiliki sifat tersebut merupakan bahan
yang potensial untuk dikembangkan sebagai obat kemoterapi bagi penyakit
kanker, karena selama ini obat kemoterapi biasanya tidak hanya membunuh sel
kanker tetapi juga membunuh sel normal (Meiyanto et al. 2003).
Hidrolisat enzimatik yang mengandung campuran enzim dan senyawa-
senyawa kitooligomer (Tabel 6) digunakan untuk menguji aktivitas proliferasi
terhadap sel limfosit dan sel kanker.
Tabel 6 Konsentrasi enzim dari beberapa hidrolisat No. Hidrolisat Konsentrasi
(Unit/mg kitosan) 1. FBS 0.0085 2. FBSMn 0.0085 3. AS 0.005 0.005 4. AS 0.0085 0.0085 5. AS 0.10 0.10 6. AS 0.17 0.17 7. EM 0.0085 0.0085
Keterangan : FBS = Filtrat bebas sel yang dipanaskan selama 20 menit 60oC, konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan FBSMn = Fltrat bebas sel yang ditambah katalisator MnCl 2 10 mM, konsentrasi 0.0085 unit/mg kitosan. AS 0.005 = Enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.005 unit/mg kitosan AS 0.0085 = Enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.0085 unit/mg kitosan. AS 0.10 = Enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.10 unit/mg kitosan AS 0.17 = Enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.17 unit/mg kitosan EM 0.0085 = Enzim murni dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan
Beberapa hidrolisat pada tahap awal dilakukan skrining pada beberapa
tingkat pengenceran (Gambar 18), untuk melihat aktivitas proliferasi terhadap sel
limfosit.
55
a.
b.
c.
d.
Gambar 18. Hasil pemilihan konsentrasi hidrolisat a) FBS 0.0085 3j DD85, b) EM 0.0085 6j DD90, c) AS 0.0085 3j DD85, dan d) AS 0.10 3j DD85 terhadap proliferasi sel limfosit
Hasil skrining terhadap hidrolisat dengan berbagai seri pengenceran
menunjukkan hidrolisat-hidrolisat dengan konsentrasi kitosan (DD 85%) pada 85
ì g/ml larutan atau 17 ìg/ml kultur ternyata telah menunjukkan adanya respon
0
20
40
60
80
100
120
140
160
10 17 25
Konsentrasi (ug/ml kultur)
% p
rolif
era
si
FBS 0.0085 3jDD85
FBS 0.0085 3jDD70
020406080
100120140160180
10 17 25Konsentrasi (ug/ml kultur)
% P
rolif
eras
i
EM 0.0085 6j DD90
020406080
100120140160180
10 17 25
Konsentrasi (ug/ml) kultur
% P
rolif
eras
i
AS 0.10 3j DD85
0
50
100
150
200
10 17 25
Konsentrasi (ug/ml) kultur
% P
rolif
eras
i
AS 0.0085 3j DD85
AS 0.0085 3j DD70
56
aktivitas proliferasi yang cukup baik terhadap sel limfosit dibanding penggunaan
hidrolisat berkonsentrasi lebih tinggi atau lebih rendah.
Tabel 7 Aktivitas senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat terhadap proliferasi sel limfosit
% Proliferasi Hidrolisat dan konsentrasi enzim
(IU/mg kitosan)
Konsentrasi hidrolisat
(µg/ml kultur)
DD substrat (%DD)
Hidrolisat 1j
Hidrolisat 3j
AS 0.005 FBS 0.0085 FBSMn 0.0085 EM* 0.0085 AS 0.0085 AS 0.10 AS 0.17
17 17
17
17
17
17
17
85 70 85 70 85 70 85 90 70 85 90 70 85 90 70 85
- -
288.06 48.14 247.56 79.31 123.48 230.79 45.92 130.79 118.43 31.84 181.88 122.33 46.51
155.10
66.70 138.01 123.09 154.54 70.69
- -
184.54 162.47 169.00 132.03
96.04 144.23 118.99 100.25 142.52
Kontrol Con A PWM
- 17 17
100.00 184.47 205.27
Glukosamin Kitosan DD70 Kitosan DD 85 Kitosan DD 90 Kitosan DD 100
17 17 17 17 17
113.87 106.31 107.23 98.70 105.82
Enzim kitosanase Bromo deoksi -uridin
-
17
78.30
71.31 *Enzim murni inkubasi 6 jam berada pada kolom 1 jam, inkubasi 9 jam berada pada kolom 3 jam . Keterangan : FBS 0.0085 = filtrat bebas sel yang dipanaskan selama 20 menit 60oC, FBSMn = filtrat bebas sel yang ditambah katalisator MnCl2 10 mM, AS 0.005 = enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.005 unit/mg kitosan DD85 AS 0.0085 = enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.0085 unit/mg kitosan DD85 AS 0.10 = enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.10 unit/mg kitosan DD 85 As 0.17 = enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.17 unit/mg kitosan DD 85 EM 0.0085 = Hasil pemurnian pemurnian dengan unit 0.0085 U/mg kitosan DD90.
57
Con A = Mitogen Concanavalin A PWM = Mitogen Pokeweed Bromo deoksi uridin = Senyawa anti kanker komersial (Sigma). Kontrol = medium dan suspensi sel.
Menelaah hasil pengujian proliferasi sel limfosit pada Tabel 7, terlihat
berbagai hidrolisat enzim, substrat kitosan dengan berbagai derajat deasetilasi
(%DD), preparat enzim, senyawa anti kanker 2 - Bromo deoksi uridin (BrDu ) dan
mitogen Con A serta PWM memberikan respon % proliferasi limfosit yang
berbeda dengan kontrol, dimana preparat enzim dan senyawa anti kanker BrDu
ternyata tidak memacu proliferasi sel limfosit bahkan bersifat sitotoksik atau
membunuh sel limfosit. Fenomena respon sitotoksik ini juga ditemukan pada
beberapa hidrolisat dan umumnya respon ini ditemui pada hidrolisat yang
menggunakan substrat kitosan DD 70%, yaitu sebanyak (5 lima) buah hidrolisat
yang berasal dari inkubasi dengan substrat kitosan selama 1 (satu) jam dan 1
(satu) buah hidrolisat yang berasal dari inkubasi dengan substrat kitosan selama
3 (tiga) jam, fenomena sitotoksik dari hidrolisat yang menggunakan substrat
kitosan DD85 hanya ditemukan sebanyak 2 (dua) buah hidrolisat. Jumlah
perbandingan hidrolisat yang bersifat sitotoksik dibanding hidrolisat yang tidak
bersifat sitotoksik terhadap sel limfosit adalah 5 : 9 pada hidrolisat yang
dihasilkan selama 1 (satu) jam, dan 3 : 11 untuk hidrolisat yang dihasilkan
selama 3 (tiga) jam. Hasil perbandingan tersebut mencerminkan bahwa hidrolisat
yang diproduksi selama 3 (tiga) jam nampaknya lebih baik menstimulasi
proliferasi sel limfosit daripada hidrolisat yang diproduksi selama 1 (satu) jam, hal
ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan komposisi senyawa kitooligomer
mono sampai trimer yang lebih banyak daripada kandungan senyawa
kitooligomer tetra sampai heksamer pada hidrolisat yang diproduksi selama 3
(tiga) jam. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hidrolisat yang bersifat tidak
sitotoksik masih lebih besar jumlahnya dibanding hidrolisat yang bersifat
sitotoksik. Pengaruh hidrolisat yang bersifat sitotoksik didominasi oleh hidrolisat
yang menggunakan substrat kitosan DD 70%, tetapi kitosan DD 70% sendiri
beserta kitosan dengan derajat deasetilasi 85%, 90% dan 100% tidak bersifat
sitotoksik dan tidak menstimulasi proliferasi terhadap sel limfosit. Hal ini berarti
bahwa kitooligomer yang dihasilkan dari reaksi yang menggunakan substrat
kitosan DD 70% bersifat sitotoksik terhadap sel limfosit, karena hasil ini nampak
cukup berbeda dengan pengaruh senyawa-senyawa kitooligomer dalam
hidrolisat yang menggunakan derajat deasetilasi substrat DD 85% dan 90%
58
yang sebagian besar tidak memberi respon sitotoksik terhadap sel limfosit.
Kemungkinan sifat sitotoksik dari senyawa-senyawa kitooligomer yang berasal
dari degradasi kitosan DD70% disebabkan oleh konsentrasi senyawa-senyawa
kitooligomer bergugus asetil yang lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa-
senyawa kitooligomer bergugus asetil lebih rendah yang terdapat pada senyawa-
senyawa kitooligomer dalam hidrolisat yang menggunakan kitosan dengan
derajat deasetilasi lebih tinggi. Hipotesis ini terjawab dengan melihat kemampuan
stimulasi proliferasi oleh senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat FBS
0.0085 1j DD85 (hasil reaksi preparat enzim dari filtrat bebas sel yang telah
dipanaskan selama 20 menit 60 oC dengan substrat kitosan DD 85% selama 1
jam) memiliki % proliferasi sebesar 288.06%, hasil ini merupakan % proliferasi
sel limfosit yang tertinggi. Hasil ini memberi implikasi bahwa telah terjadi
peningkatan jumlah sel sebesar 2.88 kali dari jumlah sel awal 1 x 106 sel/ml.
Senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat FBSMn 0.0085 1j DD85 dan
hidrolisat EM 0.0085 6j DD90 dan EM 0.0085 9j DD90 masing-masing juga
menunjukkan kemampuan stimulasi proliferasi yang cukup tinggi dibandingkan
hidrolisat lainnya yaitu berturut-turut sebesar 247.56%, 230.79% dan 184.54%.
Tingginya proliferasi limfosit yang dihasilkan merupakan indikasi kemampuan
imunitas sel (Zakaria et al. 1997). Hipotesis terjadinya stimulasi proliferasi ini
dapat terjawab dengan membandingkan respon stimulasi proliferasi terhadap
hidrolisat yang mengandung campuran enzim dan senyawa-senyawa
kitooligomer dan respon sitotoksik terhadap senyawa kitooligomer murni yang
telah difraksinasi (Tabel 8). Fenomena berbeda yang ditemukan pada hidrolisat
yang tidak difraksinasi menunjukkan kemungkinan enzim kitosanase yang
berada dalam hidrolisat masih aktif dan bersifat bifungsional yaitu disamping
memiliki kemampuan mendegradasi kitosan menjadi unit-unit senyawa
kitooligomer juga memiliki kemampuan transglikosilasi, yaitu aktivitas untuk
menggabungkan kembali senyawa-senyawa kitooligomer yang telah dihidrolisis
oleh enzim kitosanase sehingga membentuk kembali polimer kitosan yang tidak
bersifat sitotoksik terhadap sel limfosit. Fenomena tersebut dimungkinkan karena
telah ditemukannya jenis enzim kitosanase bifungsional yang memiliki aktivitas
transglikosilasi tersebut. Hasil penelitian tentang enzim kitosanase dengan
aktivitas bifungsional saat ini masih sangat terbatas. Sifat bifungsional kitosanase
telah dilaporkan antara lain oleh Reyes dan Corona (1997) dan Tanabe et al.
59
(2003). Keberadaan enzim kitinase bifungsional juga telah dilaporkan oleh Wang
dan chan (1997) dan Xia et al. (2001).
Untuk memperjelas profil sel limfosit dari hasil aktivitas stimulasi proliferasi
sel limfosit oleh senyawa-senyawa kitooligomer campuran dalam hidrolisat EM
0.0085 6j DD 90 dibandingkan dengan aktivitas sitotoksik dari senyawa-senyawa
kitooligomer campuran dalam hidrolisat AS 0.0085 1j DD 70 serta kontrol
proliferasi limfosit diperlihatkan pada Gambar 19.
(a)
(b) (c)
Keterangan : (a) Profil sel tanpa sampel setelah inkubasi 3 hari. (b) Profil kultur sel limfosit yang mengalami pengaruh sitotoksik dari hidrolisat AS
0.0085 1j DD 70. (c) Profil kultur sel limfosit yang mengalami stimulasi proliferasi dari hidrolisat EM
0.0085 6j DD 90. Gambar 19 Profil sel limfosit pada pembesaran dengan inverted microscope 200 kali
60
Tabel 8 Aktivitas hasil fraksinasi senyawa-senyawa kitooligomer terhadap proliferasi sel limfosit
Sampel/ hidrolisat
Unit molekul Kitooligomer
Konsentrasi kitooligomer
(µg/ml kultur)
% Proliferasi
Kontrol Standar FBS 0.0085 1j DD85 FBS 0.0085 3j DD85 EM 0.0085 6j DD90 EM 0.0085 9j DD90 AS 0.10 3j DD85
- Trimer Tetramer Pentamer Heksamer Trimer Tetramer Pentamer Heksamer Trimer Tetramer Pentamer Heksamer Trimer Tetramer Pentamer Heksamer Trimer Tetramer Pentamer Heksamer Trimer Tetramer Pentamer Heksamer
17 17 17 17
17 17 17 17
17 17 17 17
17 17 17 17
17 17 17 17
17 17 17 17
100.00
69.11 70.61 78.87 84.24
98.85 140.50 120.71 140.07
79.17 81.64 72.87 73.87
66.73 70.31 69.62 80.93
69.78 72.97 73.83 74.52
72.48 72.82 72.63 71.83
Keterangan : FBS 0.0085 1j DD85 = Hasil reaksi enzim (Filtrat bebas sel yang dipanaskan selama 20 menit 60oC) dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85 selama 1 jam. FBS 0.0085 3j DD85 = Hasil reaksi enzim (Filtrat bebas sel yang dipanaskan selama 20 menit 60oC) dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85 selama 3 jam. EM 0.0085 6j DD90 = Hasil reaksi enzim murni dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD 90, 6 jam EM 0.0085 9j DD90 = Hasil reaksi enzim murni dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD 90, 9 jam AS 0.0085 1j DD85 = hasil reaksi enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85, 1 jam AS 0.10 3j DD85 = Hasil reaksi enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.10 U/mg kitosan DD85, 3 jam. Br-dU = 2-Bromo deoksi uridin (senyawa anti kanker komersial, Sigma) Standar = Senyawa-senyawa kitooligomer murni dari Seikagaku Corp,Jepang.
61
Hasil pengujian proliferasi limfosit dengan menggunakan sampel senyawa-
senyawa kitooligomer yang telah difraksinasi menjadi unit trimer - heksamer pada
Tabel 8, menunjukkan bahwa senyawa-senyawa kitooligomer hasil fraksinasi
umumnya tidak dapat memacu proliferasi lebih baik daripada kontrol, Berarti
dapat disimpulkan bahwa senyawa-senyawa kitooligomer murni ternyata bersifat
sitotoksik terhadap sel limfosit. Fenomena ini dapat terjadi berdasarkan dugaan
bahwa senyawa-senyawa kitooligomer hasil fraksinasi merupakan komponen
tunggal yang murni, sehingga tidak lagi mengandung enzim kitosanase
bifungsional yang kemungkinan memiliki aktivitas transglikosilasi (Reyes dan
Corona (1997) dan Tanabe et al. (2003)), yaitu mampu merepolimerisasi kembali
senyawa-senyawa kitooligomer menjadi polimer kitosan yang tidak bersifat
sitotoksik.
Kemampuan senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat menstimulasi
proliferasi limfosit didukung oleh hasil penelitian Hertriyani (2005) yang
menemukan aktivitas proliferasi sel limfosit tertinggi terdapat pada hidrolisat yang
memiliki komposisi heksamer paling tinggi. Hasil ini didukung pula oleh laporan
Tokoro et al. (1986); Kobayashi et al. (1990); dan Suzuki et al. (1992) yang
melaporkan aktivitas immunoenhancing atau anti kanker terbaik adalah senyawa
kitooligosakarida dengan unit heksamer. Wu dan Tsai (2004) melaporkan
hidrolisat kitin yang mengandung kitooligomer dengan derajat polimerisasi 1-6
mampu menginduksi proliferasi dan sekresi IgM dari sel hibridoma manusia
HB4C5 secara in vitro, sedangkan secara in vivo hidrolisat ini mampu
meningkatkan sekresi IgG dan IgM.
Pada Tabel 9 diperlihatkan pengaruh inkubasi bersama antara senyawa-
senyawa kitooligomer hasil reaksi enzimatik dan mitogen pada kultur sel limfosit.
Secara umum terlihat pengaruh yang sinergis dari hasil pencampuran senyawa-
senyawa kitooligomer dalam hidrolisat, yaitu terjadi peningkatan % proliferasi sel
limfosit yang lebih tinggi bila dibandingkan pemb erian mitogen Concanavalin A
dan Pokeweed masing-masing secara tunggal. Mitogen adalah agen yang
mampu menginduksi pembelahan sel baik sel T maupun sel B dalam persentase
yang tinggi, aktivasi mitogen adalah tidak spesifik. Mitogen biasa dikenal sebagai
aktivator poliklonal karena dapat mengaktivasi banyak klon sel T atau sel B tanpa
tergantung pada spesifitas antigennya.
62
Tabel 9 Pengaruh inkubasi bersama hidrolisat kitooligomer dan mitogen terhadap proliferasi sel limfosit
% Stimulasi proliferasi Hidrolisat Mitogen Con A Mitogen PKW
FBS 0.0085 1j DD85 FBSMn 0.0085 1j DD85 AS 0.0085 D85 1j DD85 AS 0.10 1j DD85 AS 0.17 1j DD85 EM 0.0085 1j DD85 Con A PKW
215.90 198.57 207.12 268.43 218.96 116.39 184.48
-
263.90 196.56 308.26 267.14 318.77
- -
205.26
Menurut Herscowitz (1993) mitogen atau antigen tidak spesifik seperti Con
A dan PWM mempunyai daya mengaktifkan sejumlah besar limfosit-limfosit
tanpa memandang reaktifitas antigenik sel-sel yang bersangkutan. Hal ini terjadi
karena adanya gangguan pada membran yang diransang oleh ikatan silang
makromolekul permukaan tertentu yang meransang limfosit untuk membelah.
Mitogen PWM dapat mengaktifkan sel T dan sel B mencit dan manusia. Mitogen
Con A dapat meransang terjadinya transformasi blast subpopulasi sel limfosit T
(Bellanti, 1993). Transformasi blast atau perubahan menjadi blast adalah
sederetan peristiwa dimana sel-sel bertambah besar, nukleus membesar,
retikulum endoplasmik menjadi kasar dan tubulus mikro menjadi jelas, kecepatan
sintesis DNA bertambah dan terjadi mitosis.
Mekanisme umum terjadinya proses proliferasi dapat diduga berdasarkan
terikatnya polimer kitosan rantai pendek pada reseptor permukaan sel T dan sel
B. Pengikatan antigen pada reseptor permukaan sel T bersama interleukin 1(IL-
1) dari APC (Antigen Presenting Cell) dapat mengaktivasi G-protein yang
kemudian memproduksi fosfolipase C. Enzim ini menghidrolisis fosfatidil inositol
bifosfat (PIP2) menjadi produk reaktif diasil gliserol (DAG) dan inositol trifosfat
(IP3). Reaksi tersebut berlangsung dalam membran plasma. IP3 kemudian
menstimulasi pelepasan Ca2+ ke dalam sitoplasma sehingga konsentrasi Ca 2+
meningkat. Peningkatan Ca2+ ini berperan penting dalam menstimulasi kerja
enzim protein kinase C dan 5-lipoxygenase. Protein kinase C menstimulasi
produksi interleukin-2 (IL-2), IL-2 ini kemudian mengaktivasi sel B maupun sel T
untuk berproliferasi (Tejasari 2000). Perbandingan hasil penelitian ini
dibandingkan dengan hasil penelitian lain, dapat dilihat pada Tabel 10 berikut :
63
Tabel 10 Beberapa hasil penelitian proliferasi sel limfosit
No Sampel % proliferasi Referensi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Ekstrak air kayu secang (Caesalpinia sappan Linn) Teh daun cincau (Cyclea) Serbuk gel cincau (Cyclea) Bunga kumis kucing (Orthosimphon stamineus benth) Bunga knop (Gomphrena globosa L.) Hidrolisat kitooligomer kitin Hidrolisat kitooligomer (FBS 0.0085 1j DD85)
150
141
122
240
107
136
288
Puspaningrum 2003
Setiawati 2003
Setiawati 2003
Aquarini 2005
Aquarini 2005
Hertriyani 2005
(penelitian ini)
Berdasarkan hasil-hasil yang telah dilaporkan tersebut, nampak aktivitas
proliferasi sel limfosit dari senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat
tertentu cukup baik, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa senyawa-senyawa
kitooligomer dalam hidrolisat yang berasal dari hasil reaksi enzimatik yang
menggunakan enzim kitosanase dari Bacillus licheniformis MB2 dengan
mengunakan substrat kitosan dengan derajat deasetilasi 85% dan 90% ternyata
tidak bersifat toksik bagi sel limfosit, bahkan mampu memacu proliferasi sel
limfosit. Tingginya proliferasi limfosit yang dihasilkan merupakan indikasi
kemampuan imunitas sel (Zakaria et al. 1997). Aktivitas senyawa-senyawa
kitooligomer terutama senyawa-senyawa kitooligomer murni yang ditemukan
toksik pada sel limfosit dapat diaplikasikan untuk menghambat proliferasi sel
kanker, walaupun model ideal untuk menemukan obat kanker potensial adalah
senyawa yang tidak membunuh sel normal tetapi dapat membunuh sel kanker.
Dengan dasar hasil tersebut, penelitian ini dilanjutkan untuk mengevaluasi
kemungkinan senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat dan hasil
fraksinasi memiliki aktivitas sebagai bahan anti kanker dengan melakukan
pengujian pada beberapa galur sel kanker.
64
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, diajukan beberapa saran berkaitan
dengan hasil yang telah diperoleh dari hasil pengujian senyawa-senyawa
kitooligomer dari hidrolisat enzimatik dan hasil fraksinasi terhadap aktivitas
proliferasi sel limfosit, yaitu perlu adanya pengujian aktivitas proliferasi sub sel
limfosit, misalnya terhadap aktivitas proliferasi sel B, sel TH, sel TC dan sel NK.
Diperlukan juga adanya pengujian aktivitas proliferasi pada sel/sistim imun lain,
misanya terhadap makrofag. Selanjutnya diperlukan klarifikasi sifat sitotoksik dari
senyawa-senyawa kitooligomer terutama yang telah terfraksinasi dengan
menggunakan parameter molekuler seluler, misalnya dengan menganalisis jenis-
jenis protein yang terekspresi setelah pemberian senyawa-senyawa kitooligomer
pada sel, sehingga diperoleh kesimpulan pengaruh kitooligomer terhadap sel
limfosit yang cukup akurat.
D. AKTIVITAS SENYAWA-SENYAWA KITOOLIGOMER TERHADAP PROLIFERASI SEL KANKER
Pengujian secara in vitro dapat digunakan untuk menduga respon tumor
terhadap suatu bahan uji sebagai anti tumor, dan hasil pendugaan ini akan
sangat berharga karena dapat ditemukan potensi suatu bahan uji sebagai obat
anti tumor. Pengujian suatu komponen kimia yang memiliki aktivitas anti tumor
dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu secara in vivo dan in vitro. Disebabkan uji
in vivo sangat mahal dan membutuhkan waktu yang lama, maka dikembangkan
metode pengujian secara in vitro dengan menggunakan kultur sel kanker.
Pengujian aktivitas anti kanker secara in vitro dapat memberi informasi aktivitas
bahan yang diuji dalam menghambat proliferasi sel kanker. Hipotesis mengenai
efektivitas pengujian in vitro tergantung jenis sel yang digunakan, apabila
digunakan sel suspensi maka efektivitasnya mendekati pengujian secara in vivo
karena sel suspensi adalah sel yang tersuspensi dalam darah, sehingga bahan
uji yang diberikan akan mengalami kontak langsung dengan sel tersebut apabila
diberikan secara injeksi. Jika diberikan melalui oral, setelah melalui saluran
pencernaan akan langsung masuk dalam pembuluh darah, di dalam darah bahan
uji langsung dapat berinteraksi dengan sel – sel suspensi termasuk sel kanker
yang tersuspensi dalam darah. Berbeda dengan sel jenis selapis, interaksinya
dengan bahan uji memiliki efektivitas yang lebih rendah karena bahan uji yang
diberikan harus melalui pembuluh darah sebelum akhirnya sampai ke jaringan.
65
Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwa efektivitas sebenarnya dari suatu
bahan uji dapat diketahui melalui cara pengujian in vitro dengan menggunakan
jenis sel suspensi.
Pengamatan pada penelitian ini adalah ketidakmampuan sel berproliferasi
akibat adanya bahan uji. Pengujian aktivitas proliferasi sel kanker dan sel normal
menggunakan metoda alamar blue atau metode MTT di dalam lempeng datar 96
sumur.
1.Hasil Pengujian Penghambatan Proliferasi Sel KR-4
Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan metode MTT terhadap
kemampuan penghambatan proliferasi sel kanker terhadap galur sel KR-4
(lymphablastoid B), kitosan dan senyawa-senyawa kitooligomer campuran dalam
hidrolisat enzimatik ternyata memiliki aktivitas penghambatan terhadap proliferasi
sel KR4.
Hasil pengujian pendahuluan pada sel KR-4 menghasilkan informasi
konsentrasi efektif hidrolisat enzimatik yang mengandung senyawa-senyawa
kitooligomer terhadap aktivitas anti kanker adalah 17 ìg/ml kultur (Gambar 20),
nilai ini setara dengan nilai konsentrasi efektif yang digunakan dalam menguji
proliferasi sel limfosit. Selanjutnya konsentrasi ini menjadi dasar untuk digunakan
dalam pengujian selanjutnya pada jenis galur sel yang lain.
Gambar 20 Pengujian konsentrasi efektif untuk uji penghambatan proliferasi
Pada Gambar 21 diperlihatkan aktivitas penghambatan proliferasi sel KR-4
oleh beberapa hidrolisat yang mengandung senyawa-senyawa kitooligomer.
Hidrolisat AS 0.0085 1j DD85 ( reaksi enzim pekatan amonium sulfat 80% jenuh
dengan konsentrasi 0.0085 unit per miligram kitosan dengan kitosan DD85%
selama satu jam) memperlihatkan aktivitas penghambatan tertinggi sebesar
02468
101214
17 25
EM 0.0085 6j DD90 (ug/ml)kultur
% P
engh
amba
tan
66
12.27%, hasil ini hampir sama dengan aktivitas penghambatan oleh kitosan
dengan derajat deasetilasi 100% (kit D 100) sebesar 10.50%. Hasil tersebut
berarti telah terjadi pengurangan jumlah sel sebesar 12.27% oleh senyawa-
senyawa kitooligomer dalam hidrolisat dan 10.50% oleh kitosan, dari jumlah sel
awal sebanyak 1 x 106 sel/ml pada konsentrasi yang sama (17µg/ml kultur).
Keterangan : FBS 0.0085 1j DD85 = Hasil reaksi enzim (Filtrat bebas sel yang dipanaskan selama 20 menit 60oC) dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85 selama 1 jam. FBSMn 0.0085 1j DD85 = hasil reaksi enzim dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan yang ditambah katalisator MnCl2 10 mM dengan kitosan DD85 selama 1 jam. FBSMn 0.0085 3j DD85 = hasil reaksi enzim dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan yang ditambah katalisator MnCl 2 10 mM dengan kitosan DD85 selama 3 jam. AS 0.0085 1j DD85 = hasil reaksi enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85, 1 jam AS 0.0085 3j DD85 = hasil reaksi enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85, 3 jam AS 0.0085 1j DD90 = hasil reaksi enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD90, 1 jam AS 0.10 3j DD85 = Hasil reaksi enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.10 U/mg kitosan DD85, 3 jam. AS 0.10 3j DD90 = Hasil reaksi enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.10 U/mg kitosan DD90, 3 jam. EM 0.0085 9j DD90 = Hasil reaksi enzim murni dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD 90, 9 jam glukosamin = unit monomer dari senyawa-senyawa kitooligomer. kit DD100 = Kitosan dengan derajat deasetilasi 100% kit DD85 = Kitosan dengan derajat deasetilasi 85%
Gambar 21 Pengaruh pemberian senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat terhadap penghambatan proliferasi sel KR-4.
Hasil pengujian aktivitas penghambatan proliferasi yang tertinggi terhadap
sel KR-4 terdapat pada hidrolisat FBS 0.0085 3j DD85 dan AS 0.10 3j DD85.
Berdasarkan hasil analisis komposisi senyawa-senyawa kitooligomer dengan alat
kromatografi HPLC, ternyata hidrolisat FBS 0.0085 1j DD85 mengandung
0
2
4
6
8
10
12
14
FBS0.0085 1j
DD85
FBsMn0.0085 1j
DD 85
FBsMn0.0085 3j
DD 85
AS 0.00851j DD85
AS 0.00853j DD85
AS 0.00851j DD90
AS 0.10 3jDD85
AS 0.10 3jDD90
EM 0.00859j DD90
glukosamin kit DD100 kit D85
Senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat
% P
engh
amba
tan
Prol
ifera
si
KR4
67
komposisi monomer sampai trimer yang tinggi dan komposisi pentamer dan
heksamer yang rendah, sedangkan hidrolisat AS 0.10 3 DD85 jam mengandung
komposisi monomer yang tinggi dan komposisi dimer sampai heksamer yang
rendah. Gambar 22 berikut memperlihatkan perbedaan profil sel KR-4 setelah
mengalami inkubasi dengan hidrolisat dan tanpa hidrolisat senyawa-senyawa
kitooligomer selama 3 (tiga) hari.
a. Sel KR-4 kontrol b. Sel KR-4 dengan hidrolisat FBS 0.0085 1j DD85
Gambar 22 Profil sel KR-4 hasil perbesaran dengan lensa obyektif
inverted microscope sebesar 200 kali.
Hasil pengujian terhadap sel KR4 menghasilkan informasi bahwa senyawa-
senyawa kitooligomer dalam hidrolisat tidak cukup efektif memberikan respon
penghambatan proliferasi sel dibandingkan dengan kitosannya sendiri. Hasil ini
memberi implikasi bahwa untuk menghambat proliferasi sel KR-4 tidak terlalu
perlu menggunakan senyawa-senyawa kitooligomer yang dihasilkan secara
enzimatik, karena kitosan sendiri sudah cukup efektif memberikan
penghambatan dan tidak toksik terhadap sel limfosit. Hasil penelitian tentang
penghambatan proliferasi terhadap sel KR4 (lymphablastoid B) telah dilaporkan
oleh Damayanti (2002), bahwa pemberian ekstrak minyak bekatul padi (Oryza
sativa ) mampu menghambat proliferasi sel KR4 sekitar 32.5%. Nilai
penghambatan tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai
penghambatan proliferasi sel KR4 oleh senyawa-senyawa kitooligomer dalam
hidrolisat enzimatik.
68
2. Hasil Pengujian Penghambatan Proliferasi Sel K562 Oleh Senyawa-senyawa Kitooligomer
Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan metode MTT terhadap
kemampuan penghambatan proliferasi sel kanker K562(chronic myelogenous
leukemia), kitosan dan senyawa-senyawa kitooligomer campuran dalam
hidrolisat serta senyawa-senyawa kitooligomer hasil fraksinasi (trimer –
heksamer) memiliki aktivitas penghambatan proliferasi sel K562. Gambar 23
memperlihatkan aktivitas penghambatan proliferasi sel K562 oleh senyawa-
senyawa kitooligomer hasil fraksinasi.
Keterangan : FBS 0.0085 1j DD85 = Hasil reaksi enzim (Filtrat bebas sel yang dipanaskan selama 20 menit 60oC) dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85 selama 1 jam. FBS 0.0085 3j DD85 = Hasil reaksi enzim (Filtrat bebas sel yang dipanaskan selama 20 menit 60oC) dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85 selama 3 jam. EM 0.0085 6j DD90 = Hasil reaksi enzim murni dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD 90, 6 jam EM 0.0085 9j DD90 = Hasil reaksi enzim murni dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD 90, 9 jam AS 0.0085 1j DD85 = hasil reaksi enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85, 1 jam AS 0.10 3j DD85 = Hasil reaksi enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.10 U/mg kitosan DD85, 3 jam. Br-d U = 2-Bromo deoksi uridin (senyawa anti kanker komersial, Sigma) Standar = Senyawa-senyawa kitooligomer murni dari Seikagaku Corp,Jepang.
Gambar 23 Aktivitas senyawa-senyawa kitooligomer hasil fraksinasi sebagai
penghambat proliferasi sel K562
Hasil pengujian dari preparat standar senyawa-senyawa kitooligomer murni
dari Seikagaku Corp Jepang memperlihatkan adanya aktivitas penghambatan
yang tertinggi pada senyawa kitooligomer unit pentamer sebesar 10.86%, tetapi
aktivitas tersebut lebih rendah dari aktivitas penghambatan heksamer yang
dihasilkan oleh hidrolisat EM 0.0085 9j DD90 (hasil reaksi enzim murni dengan
02468
1012141618
FBS0.0085 1j
DD85
FBS0.0085 3j
DD85
AS 0.10 3jDD85
EM0.0085 6j
DD90
EM0.0085 9j
DD90
Standar Br-du
Hirolisat enzimatik
% P
engh
amba
tan
prol
ifera
si Trimer
Tetramer
Pentamer
Heksamer
69
aktivitas 0.0085 unit per miligram kitosan pada substrat kitosan DD 90% selama
9 jam) sebesar 15.68% yang merupakan aktivitas penghambatan tertinggi
terhadap sel K562. Hal ini berarti telah terjadi pengurangan jumlah sel oleh
preparat heksamer EM 0.0085 9j DD90 sebesar 15.68% dari jumlah sel kontrol 1
x 105 sel/ml. Aktivitas penghambatan proliferasi dari senyawa kontrol positif anti
kanker 2-Bromo deoksi uridin hanya memiliki nilai sekitar 1.22% pada
konsentrasi yang sama (17µg/ml kultur). Perbedaan aktivitas penghambatan oleh
preparat heksamer EM 0.0085 9j DD90 dengan kontrol positif tersebut mencapai
14,46%. Gambar 24 berikut memperlihatkan aktivitas penghambatan proliferasi
sel K562 oleh hidrolisat enzimatik yang mengandung senyawa-senyawa
kitool igomer.
Keterangan : FBS 0.0085 3j DD85 = Hasil reaksi enzim (Filtrat bebas sel yang dipanaskan selama 20 menit 60oC) dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85 selama 3 jam. EM 0.0085 9j DD90 = Hasil reaksi enzim murni dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD 90, 9 jam
AS 0.005 3j DD85 = Hasil reaksi enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.005 U/mg kitosan DD85 3 jam.
AS 0.0085 1j DD85 = hasil reaksi enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85, 1 jam. AS 0.10 3j DD85 = Hasil reaksi enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.10 U/mg kitosan DD85, 3 jam. Kit D85 = Kitosan dengan derajat deasetilasi 85% Br-dU = 2-Bromo deoksi uridin (senyawa anti kanker komersial, Sigma)
Gambar 24 Aktivitas senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat sebagai penghambat proliferasi sel K562.
Kemampuan senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat yang
memperlihatkan aktivitas penghambatan tertinggi dimiliki oleh hidrolisat AS 0.10
3j DD85 (hasil reaksi enzimatik dari preparat enzim pekatan amonium sulfat 80%
dengan aktivitas 0.10 unit per miligram kitosan DD85% selama tiga jam) sebesar
0
5
10
15
20
25
FBS0.0085 3j
DD85
AS 0.0053j DD85
AS0.0085 1j
DD85
AS 0.103j DD85
EM0.0085 9j
DD90
kit DD85 BrdU
Senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat
%
Pen
gham
bata
n pr
olife
rasi
K562
70
20.58%. Kitosan dengan derajat deasetilasi 85% memiliki aktivitas lebih rendah
daripada hidrolisat AS 0.005 3jDD85 dan EM 0.0085 9j DD90, yaitu sebesar
13.16%, tetapi lebih tinggi dari hidrolisat FBS 0.0085 3j DD85 dan AS 0.0085 1j
DD85. Aktivitas penghambatan proliferasi oleh kitosan DD 85%, hidrolisat AS
0.005 3j DD85 dan EM 0.0085 9j DD90 tersebut ternyata lebih tinggi
dibandingkan dengan aktivitas penghambatan proliferasi oleh senyawa anti
kanker 2-Bromo deoksi uridin terhadap sel K562 sebesar 1.22% pada
konsentrasi yang sama (17 µg/ml kultur), yang digunakan sebagai kontrol positif
dalam pengujian ini. Oleh karena itu respon penghambatan proliferasi terhadap
sel K562 ini dianggap sebagai respon sifat sitotoksik dari senyawa-senyawa
kitooligomer dalam hidrolisat reaksi enzimatik terhadap sel K562.
Berdasarkan hasil pengujian aktivitas penghambatan proliferasi tertinggi
terhadap sel K562 oleh hidrolisat AS0.005 3j DD85 dan AS 0.10 3j DD85,
dihubungkan dengan hasil analisis komposisi senyawa-senyawa kitooligomer
dalam hidrolisat dengan alat kromatografi HPLC menunjukkan bahwa komposisi
senyawa-senyawa kitooligomer dari hidrolisat AS 0.10 3j DD85 adalah
konsentrasi unit monomer yang lebih banyak daripada kitooligomer dengan unit
dimer sampai heksamer. Berarti aktivitas penghambatan proliferasi terhadap sel
K562 oleh senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat tersebut lebih banyak
dipengaruhi oleh komposisi glukosamin sebagai monomer kitosan. Tetapi setelah
melalui proses fraksinasi ternyata sampel heksamer dari hidrolisat enzim murni
(hasil inkubasi selama 9 jam dengan substrat) menunjukkan aktivitas
penghambatan proliferasi yang lebih tinggi terhadap sel K562 daripada monomer
glukosamin. Beberapa peneliti juga melaporkan aktivitas anti kanker terbaik dari
senyawa-senyawa kitooligomer adalah senyawa kitooligomer dengan unit
heksamer.
Respon penghambatan proliferasi terhadap sel K562 nampak lebih tinggi
pada sampel senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat dibandingkan
dengan sampel senyawa-senyawa kitooligomer murni, dengan perbedaan nilai
aktivitas penghambatan sekitar 4.9%. Perbedaan aktivitas penghambatan
proliferasi dari senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat dengan senyawa
anti kanker 2-Bromo deoksi uridin sebagai kontrol positif mencapai nilai sekitar
19.37%. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa senyawa-senyawa
kitooligomer dalam hidrolisat yang dihasilkan dari hasil reaksi enzimatik cukup
efektif memberikan respon penghambatan proliferasi terhadap sel K562,
71
dibandingkan dengan senyawa-senyawa kitooligomer hasil fraksinasi yang
ternyata lebih toksik terhadap sel limfosit daripada kitosannya sendiri serta
senyawa anti kanker 2-Bromo deoksi uridin. Gambar 25 berikut memperlihatkan
perbedaan profil sel K562 setelah mengalami inkubasi selama 3 (tiga) hari
dengan hidrolisat dan tanpa hidrolisat senyawa-senyawa kitooligomer.
Sel K562 kontrol Sel K562 dengan hidrolisat AS 0.005 3j DD85
Gambar 25 Profil sel K562 hasil perbesaran lensa obyektif inverted microscope sebesar 100 kali.
Hasil penelitian tentang mekanisme penghambatan poliferasi sel K562
(chronic myelogenous leukemia) dilaporkan oleh Shunji (2004) yang meneliti
pengaruh pemberian smenospongin yang merupakan senyawa sesquiterpen
aminoquinon yang diisolasi dari spong laut pada konsentrasi 3-15 mikromolar
dapat menginduksi diferensiasi sel K562 menjadi eritroblast. Adanya
smenospongin membuat siklus sel terhenti pada fase G1 (fase/tahap sel
menyiapkan proses replikasi DNA).
3. Hasil Pengujian Penghambatan Proliferasi Sel HeLa Oleh Senyawa-senyawa Kitooligomer
Pengujian kemampuan penghambatan proliferasi sel HeLa (Epithel
Carsinoma Cervix) oleh kitosan dan senyawa-senyawa kitooligomer dalam
hidrolisat serta senyawa-senyawa kitooligomer hasil fraksinasi (trimer –
heksamer) telah dianalisis dengan metode MTT. Hasil pengujian memberi
informasi bahwa pemberian sampel senyawa-senyawa kitooligomer memiliki
aktivi tas penghambatan terhadap proses proliferasi sel HeLa. Preparat standar
senyawa-senyawa kitooligomer murni dari Seikagaku Corp Jepang, menunjukkan
aktivitas penghambatan tertinggi dicapai oleh senyawa kitooligomer dengan unit
72
tetramer sebesar 27.66%. Tetapi aktivitas tersebut masih lebih rendah bila
dibandingkan dengan aktivitas penghambatan proliferasi sel HeLa oleh senyawa
kitooligomer heksamer 0,10 3j DD85 yang mencapai 31.72% (Gambar 26).
Keterangan : FBS 0.0085 1j DD85 = Hasil reaksi enzim (Filtrat bebas sel yang dipanaskan selama 20 menit 60oC) dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85 selama 1 jam. FBS 0.0085 3j DD85 = Hasil reaksi enzim (Filtrat bebas sel yang dipanaskan selama 20 menit 60oC) dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85 selama 3 jam. EM 0.0085 6j DD90 = Hasil reaksi enzim murni dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD 90, 6 jam EM 0.0085 9j DD90 = Hasil reaksi enzim murni dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD 90, 9 jam AS 0.0085 1j DD85 = hasil reaksi enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85, 1 jam AS 0.10 3j DD85 = Hasil reaksi enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.10 U/mg kitosan DD85, 3 jam. Br-d U = 2-Bromo deoksi uridin (senyawa anti kanker komersial, Sigma) Standar = Senyawa-senyawa kitooligomer murni dari Seikagaku Corp,Jepang.
Gambar 26 Aktivitas senyawa-senyawa kitooligomer hasil fraksinasi sebagai
penghambat proliferasi sel HeLa
Aktivitas penghambatan sebesar 31.72% merupakan aktivitas penghambatan
proliferasi yang tertinggi terhadap sel HeLa. Hal ini menunjukkan telah terjadi
pengurangan jumlah sel sebesar 31.72% dari jumlah sel kontrol 1 x 105 sel/ml.
Data aktivitas senyawa kitooligomer heksamer tersebut didukung oleh laporan
peneliti sebelumnya bahwa aktivitas anti kanker terbaik dari senyawa-senyawa
kitooligomer yang berasal dari kitin adalah adalah kitooligomer dengan unit
heksamer (Kobayashi et al. (1990); Suzuki et al. (1992) dan Suzuki (1996)).
Aktivitas penghambatan proliferasi dari kontrol positif senyawa anti kanker 2-
Bromo deoksi uridin memiliki nilai sekitar 18,18% pada konsentrasi yang sama
(17µg/ml kultur). Perbedaan aktivitas penghambatan tertinggi oleh senyawa
kitooligomer heksamer 0.1 dengan kontrol positif mencapai nilai sekitar 15,15%.
Gambar 27 memperlihatkan aktivitas penghambatan proliferasi terhadap sel
HeLa oleh hidrolisat yang mengandung senyawa-senyawa kitooligomer.
-
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
EM0.0085 6j
DD90
EM0.0085 9j
DD90
AS 0.103j DD85
FBS0.0085 1j
DD85
FBS0.0085 3j
DD85
Standar Br-dU
Senyawa-senyawa kitooligomer hasil fraksinasi
% P
engh
amba
tan
prol
ifera
si TrimerTetramerPentamerHeksamer
73
Keterangan : FBS 0.0085 1j DD85 = Hasil reaksi enzim (Filtrat bebas sel yang dipanaskan selama 20 menit 60oC) dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85 selama 1 jam. FBS 0.0085 3j DD85 = Hasil reaksi enzim (Filtrat bebas sel yang dipanaskan selama 20 menit 60oC) dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85 selama 3 jam. FBSMn 0.0085 1j DD85 = hasil reaksi enzim dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan yang ditambah katalisator MnCl 2 10 mM dengan kitosan DD85 selama 1 jam. AS 0.005 3j DD85 = Hasil reaksi enzim pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.005 U/mg kitosan DD85, 3 jam. AS 0.0085 1j DD85 = hasil reaksi enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85, 1 jam AS 0.10 3j DD85 = Hasil reaksi enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.10 U/mg kitosan DD85, 3 jam. AS 0.17 3j DD85 = hasil reaksi enzim dengan dengan konsentrasi 0.17 U/mg kitosan DD85, 3 jam EM 0.0085 6j DD90 = Hasil reaksi enzim murni dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD 90, 6 jam EM 0.0085 9j DD90 = Hasil reaksi enzim murni dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD 90, 9 jam enz = enzim kitosanase glukosamin = unit monomer dari senyawa-senyawa kitooligomer. kit D D100 = Kitosan dengan derajat deasetilasi 100% kit D D70 = Kitosan dengan derajat deasetilasi 70% kit D D85 = Kitosan dengan derajat deasetilasi 85% kit D D90 = Kitosan dengan derajat deasetilasi 90% Br-du = 2-Bromo deoksi uridin (senyawa anti kanker komersial, Sigma)
Gambar 27 Aktivitas senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat enzimatik pada penghambatan proliferasi sel HeLa
Aktivitas penghambatan proliferasi terhadap sel HeLa oleh sampel
senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat memperlihatkan aktivitas
penghambatan tertinggi dimiliki oleh hidrolisat AS 0.005 3j DD85 (hasil reaksi
enzimatik yang berasal dari enzim hasil pekatan amonium sulfat 80% dengan
aktivitas 0.005 unit per miligram kitosan DD85%) sebesar 18.90%, enzim
kitosanase dan kitosan dengan derajat deasetilasi 100% memiliki aktivitas lebih
tinggi daripada sampel hidrolisat yang lain, yaitu sebesar 21.24% untuk kitosan
dan 21.66% untuk enzim. Hasil ini juga lebih tinggi daripada aktivitas
penghambatan oleh kontrol positif senyawa anti kanker 2-Bromo deoksi uridin
sebesar 18,18% pada nilai konsentrasi yang sama (17 µg/ml kultur). Hasil
0
5
10
15
20
25
FBS
0.00
85 1
j
FBS
0.00
85 3
j
FB
sMn
0.00
85 1
j
AS
0.0
053j
DD
85
AS
0.0
085
1j D
D85
AS
0.1
0 3j
DD
85
AS
017
3j
DD
85
EM
0.0
085
6j D
D90
EM
0.0
085
9j D
D90 en
z
gluk
osam
in
kit D
D10
0
kit D
D70
kit D
D85
kit D
D90
Brd
U
senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat
% P
engh
amba
tan
prol
ifera
si
HeLa
74
pengujian pada sel HeLa memberi informasi bahwa senyawa-senyawa
kitooligomer dalam berbagai hidrolisat hasil reaksi enzimatik memberikan respon
penghambatan proliferasi sel yang lebih rendah dibandingkan dengan senyawa-
senyawa kitooligomer hasil fraksinasi. Perbedaan nilai aktivitas penghambatan
proliferasi antara sampel hidrolisat dan sampel hasil fraksinasi mencapai 12.82%.
Hal ini berarti bahwa sifat sitotoksik senyawa-senyawa kitooligomer terhadap sel
HeLa semakin meningkat apabila senyawa kitooligomer yang diberikan adalah
senyawa kitooligomer murni. Gambar 28 memperlihatkan perbedaan profil sel
HeLa setelah mengalami inkubasi selama 3 (tiga) hari dengan sampel hidrolisat
yang mengandung senyawa-senyawa kitooligomer dan tanpa sampel hidrolisat
sebagai kontrol.
Sel Hela kontrol Sel HeLa denganhidrolisat AS 0.005 3j DD85
Gambar 28 Profil sel HeLa hasil perbesaran lensa obyektif
inverted microscope sebesar 100 kali.
Penelitian terhadap penghambatan proliferasi sel HeLa, telah dilakukan
oleh beberapa peneliti sebelumnya, antara lain: Prise et al. (1986) meneliti
tentang penghambatan sel HeLa melalui pemberian 100 mikromolar metotrexat
dengan lama inkubasi lebih dari 24 jam. Chen et al. (2003) meneliti Artemisinin
turunan senyawa artesunat (ART) dan dihidroartemisinin, keduanya merupakan
obat anti-malaria yang ditemukan dapat menghambat pertumbuhan kanker
serviks HeLa dengan mekan isme penekanan terhadap proses angiogenesis,
dengan nilai LC50 berkisar 15.4 sampai 49.7 molar.
4. Hasil Pengujian Penghambatan Proliferasi Sel A549 Oleh Senyawa-senyawa Kitooligomer
Pengujian kemampuan penghambatan proliferasi sel A549 (Lung
carcinoma) oleh kitosan dan senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat
75
reaksi enzimatik serta senyawa-senyawa kitooligomer hasil fraksinasi (trimer –
heksamer) telah dianalisis dengan metode MTT. Hasil pengujian menunjukkan
bahwa pemberian senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat dan hasil
fraksinasi memiliki aktivitas penghambatan terhadap proses proliferasi sel A549.
Gambar 29 berikut memperlihatkan aktivitas penghambatan proliferasi sel A549
oleh senyawa kitooligomer hasil fraksinasi.
Keterangan : Fbsp1jDD85 = hasil reaksi enzim (Filtrat bebas sel yang dipanaskan selama 20 menit 60oC) dengan unit
0.0085 U/mg kitosan DD85 selama 1jam. Fbsp3jDD85 = hasil reaksi enzim (Filtrat bebas sel yang dipanaskan selama 20 menit 60oC) dengan unit
0.0085 U/mg kitosan DD85 selama 3 jam. EM6j DD90 = Hasil reaksi enzim murni dengan unit 0.0085 U/mg kitosan DD 90, 6 jam EM9 DD90 = Hasil reaksi enzim murni dengan unit 0.0085 U/mg kitosan DD 90, 9 jam 0.1 3j DD85 = Hasil reaksi enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan unit 0.10 U/mg kitosan DD85, 3 jam.
Gambar 29 Aktivitas senyawa-senyawa kitooligomer hasil fraksinasi pada penghambatan proliferasi sel A549
Pengujian preparat standar senyawa-senyawa kitooligomer murni (dari
Seikagaku Corp. Jepang) memperlihatkan adanya aktivitas penghambatan
tertingi oleh senyawa kitooligomer dengan unit trimer sebesar 22.72%. Aktivitas
ini hampir sama dengan aktivitas penghambatan proliferasi oleh senyawa
kitooligomer trimer dari hidrolisat EM 0.0085 9j DD90 (hasil reaksi enzim murni
dengan aktivitas 0.0085 unit per miligram kitosan dengan substrat kitosan DD
90% selama 9 jam) sebesar 22.70% yang merupakan aktivitas penghambatan
tertinggi terhadap sel A549. Hal ini berarti telah terjadi pengurangan jumlah sel
sebesar 22.70% dari jumlah sel kontrol 1 x 105 sel/ml. Respon aktivitas
penghambatan proliferasi terhadap sel A549 oleh kontrol positif senyawa anti
0
5
10
15
20
25
30
EM0.0085 6j
DD90
EM0.0085 9j
DD90
AS 0.103j DD85
FBS0.0085 1j
DD85
FBS0.0085 3j
DD85
Standar Br-du
Senyawa kitooligomer hasil fraksinasi hidrolisat enzimatik
% P
engh
amba
tan
prol
ifera
si Trimer
Tetramer
Pentamer
Heksamer
76
kanker 2-Bromo deoksi uridin memiliki nilai 6.75% pada konsentrasi yang sama
(17µg/ml kultur). Perbedaan aktivitas penghambatan tertinggi pada sampel trimer
EM 0.0085 9j DD90 dengan kontrol positif mencapai 15.95%. Pada Gambar 30
diperlihatkan aktivitas penghambatan proliferasi sel A549 oleh sampel hidrolisat
enzimatik yang mengandung senyawa-senyawa kitooligomer.
Keterangan : AS 0.0085 1j DD = hasil reaksi enzim hasil pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85, 1 jam enz = enzim kitosanase glukosamin = unit monomer dari senyawa-senyawa kitooligomer. Br-Du = 2-Bromo deoksi uridin (senyawa anti kanker komersial, Sigma)
Gambar 30 Aktivitas senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat dan senyawa pembanding pada penghambatan proliferasi sel A549.
Kemampuan senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat pada Gambar
30 memperlihatkan hanya hidrolisat AS 0.0085 1j DD85 (hasil reaksi enzim hasil
pekatan amonium sulfat dengan unit aktivitas 0.0085 unit per miligram kitosan
dengan substrat kitosan DD 85% selama 1 jam) yang memperlihatkan adanya
aktivitas penghambatan proliferasi terhadap sel A549 sebesar 2.87%. Enzim
kitosanase dan glukosamin serta kontrol positif senyawa anti kanker 2-Bromo
deoksi uridin ternyata memiliki aktivitas penghambatan proliferasi yang lebih
besar daripada hidrolisat AS 0.0085 1j DD85, yaitu sebesar 34.56% untuk enzim
dan 6.47% untuk glukosamin serta 6.75% untuk 2-Bromo deoksi uridin pada
konsentrasi yang sama (17 µg/ml kultur).
Hasil pengujian pada sel A549 pada gambar 29 dan 30 memberi informasi
bahwa senyawa-senyawa kitooligomer dari berbagai hidrolisat reaksi enzimatik
memberikan respon penghambatan proliferasi sel yang sangat rendah
dibandingkan senyawa-senyawa kitooligomer hasil fraksinasi (trimer EM 0.0085
9j DD90) dengan perbedaan aktivitas penghambatan mencapai sekitar 19.83%.
05
10152025303540
AS 0,0085 1jDD85
enz glukosamin Br-DU
Kitooligomer dalam hidrolisat dan senyawa pembanding
% P
pe
ng
ha
mb
ata
n p
rolif
era
si
A549
77
Senyawa kitooligomer hasil fraksinasi (trimer EM 0.0085 9j DD90) juga
memberikan respon penghambatan proliferasi sel A549 yang lebih baik dari
kontrol positif senyawa anti kanker 2-Bromo deoksi uridin. Respon
penghambatan proliferasi senyawa kitooligomer dengan unit trimer dari hidrolisat
EM 0.0085 9j DD90 memperlihatkan informasi tentang adanya aktivitas
penghambatan proliferasi yang berbeda dari hasil yang telah dilaporkan oleh
beberapa peneliti lain, bahwa aktivitas anti kanker terbaik dari senyawa
kitooligomer yang berasal dari kitin adalah adalah kitooligomer dengan unit
heksamer (Kobayashi et al. (1990); Suzuki et al. (1992) dan Suzuki (1996)).
Gambar 31 berikut memperlihatkan perbedaan profil sel A549 setelah mengalami
inkubasi 3 hari dengan sampel hidrolisat dan tanpa sampel hidrolisat yang
mengandung senyawa-senyawa kitooligomer (kontrol).
Sel A549 kontrol Sel A549 dengan hidrolisat AS 0.0085 1j DD85
Gambar 31 Profil sel A549 hasil perbesaran lensa obyektif inverted microscope sebesar 100 kali.
Hasil-hasil penelitian terhadap penghambatan proliferasi sel A549 antara
lain dilaporkan oleh Akihisa et al. (2001), tentang aktivitas anti tumor dari
fenoxazinon, 2-amino-4,4-dihidro-4[alfa],7-dimetil-3H-fenoxazin-3-one (Phx) yang
disintesis dari reaksi 2-amino-5-metilfenol dengan hemoglobin sapi terhadap sel
A549 menunjukkan aktivitas penekanan proses proliferasi dan menginduksi
kematian sel (apoptosis) dengan memfragmentasi DNA. Park et al. (2004)
meneliti wikyungtang (WKT) sebuah formula herbal yang diketahui memiliki
aktivitas anti inflamasi dan anti tumor. Pengujian WKT pada sel-sel A549 ternyata
menginduksi apoptosis dengan cara mengaktivasi caspase protease dan
menurunkan ekspresi senyawa anti apoptosis Bcl-XL serta menghambat ekspresi
siklooksigenase-2 (COX-2).
78
E. Mekanisme Penghambatan Proliferasi Sel Kanker oleh Senyawa-senyawa Kitooligomer
1. Mekanisme Apoptosis dan Kerusakan membran Sel
Komponen kimia yang memiliki aktivitas anti tumor dapat berpengaruh
negatif terhadap pertumbuhan sel tumor/kanker. Pengujian mekanisme aktivitas
anti tumor melalui dua cara, yaitu a) langsung membunuh sel, dan b) secara
tidak langsung, yaitu dengan menggertak sistim imun, dimana cara ini harus
dilakukan secara in vivo. Berdasarkan pengujian penghambatan proliferasi yang
telah dilakukan pada dua jenis sel suspensi (KR-4 dan K562) dan dua jenis sel
selapis (HeLa dan A549), ternyata % aktivitas penghambatan oleh senyawa-
senyawa kitooligomer terhadap jenis sel selapis lebih tinggi daripada jenis sel
suspensi, dengan aktivitas penghambatan tertinggi diperoleh dari senyawa-
senyawa kitooligomer hasil fraksinasi. Hasil ini menunjukkan bahwa senyawa-
senyawa kitooligomer bersifat lebih spesifik menghambat sel kanker jenis selapis
(monolayer), padahal secara teori menyatakan bahwa sifat sel suspensi lebih
rentan daripada sel selapis. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya
kemampuan senyawa-senyawa kitooligomer menghambat senyawa-senyawa
yang mempengaruhi pelekatan sel selapis (HeLa dan A549) pada substrat padat,
antara lain fibronektin dan laminin yang terdapat dalam serum media kultur.
Fibronektin dan laminin adalah salah satu faktor yang mempengaruhi pelekatan
sel selapis pada substrat padat. Faktor pertumbuhan untuk sel selapis seperti
faktor pertumbuhan epidermal dan fibroblast (EGF dan FGF) yang terdapat
dalam serum medium kultur kemungkinan juga dapat dihambat oleh senyawa-
senyawa kitooligomer. Oleh karena itu senyawa-senyawa kitooligomer selain
mempengaruhi proliferasi sel juga dapat mempengaruhi faktor-faktor yang
membantu pertumbuhan dan pelekatan sel selapis, dimana faktor-faktor tersebut
dibutuhkan sel selapis (Hela dan A549) untuk berproliferasi.
Sel kanker dalam siklus proliferatif umumnya lebih sensitif terhadap efek
senyawa anti tumor (Tjahjono 1999). Efek senyawa anti tumor dan umumnya
obat sitostatika bekerja dengan jalan merusak enzim atau substrat yang
dipengaruhi oleh sistem enzim. Sebagian besar efek pada enzim atau substrat
berhubungan dengan sintesa DNA. Dengan demikian obat-obatan yang toksik
bagi sel tumor atau bersifat anti tumor menghambat sel yang sedang membentuk
DNA atau sel yang sedang membelah (Rusmarilin 2003). Penggunaan senyawa
79
2-deoksi bromo uridin sebagai kontrol positif senyawa anti kanker pada penelitian
ini, berdasarkan prinsip penghambatan proliferasi sel kanker karena
penghambatan sintesa DNA (Sigma 2004).
Mekanisme terjadinya kerusakan DNA akibat bahan uji dapat terjadi pada
tahap sel menyiapkan proses replikasi DNA (G1) dan pada saat sel telah
menyelesaikan proses replikasi DNA dan sedang bersiap untuk mengalami
mitosis (G2). Hadirnya bahan uji dalam sel dapat bertidak sebagai inhibitor Cdk
yang dapat menekan aktivitas kompleks Cdk-siklin dan menghalangi terjadinya
tahap G1 dalam siklus sel sehingga terjadi proses kematian sel yang disebut
apoptosis. Peristiwa ini biasanya dikarakterisasi oleh adanya perubahan
permeabilitas membran mitokondria. Adanya kematian sel ditandai dengan
fenomena sel menjadi lisut, pemecahan selaput inti, kondensasi kromatin dan
degradasi DNA (Becker 2000).
Doyle dan Padhye (1995) menyatakan bahwa kematian sel secara umum
pada sistem kultur jaringan biasanya melalui apoptosis dan nekrosis. Apoptosis
dicirikan dengan terjadinya kondensasi dan fragmentasi inti dan terjadi
pengerutan sel. Kematian sel karena apoptosis terjadi oleh perubahan kondisi
lingkungan. Govan et al. (1995) menyatakan bahwa apoptosis merupakan
mekanisme kematian terhadap sel tunggal atau sekelompok sel. Kematian sel
disebabkan karena perubahan metabolik di dalam sel yang mengakibatkan sel
mengalami gangguan, sehingga terjadi kondensasi sitoplasma dan inti.
Kematian sel sebenarnya bertujuan untuk pertahanan dan mengeliminir sel
yang tidak diinginkan atau berbahaya, misalnya sel-sel tumor, sel yang terinfeksi
virus, atau sel-sel karena penyakit autoimun ( Jakubowski 2000, Reed 1999).
Pada sel apoptosis menunjukkan terjadinya degradasi DNA menjadi fragmen-
fragmen kecil yang terdiri atas beberapa pasang DNA. Fragmentasi DNA terjadi
sebelum lisis dan diduga akibat aktivitas endonuklease dalam nukleus sel
sasaran sendiri, sehingga serupa dengan proses bunuh diri (Tyler et al.1995).
Pernyataan tersebut mendukung data mekanisme anti kanker oleh senyawa-
senyawa kitooligomer, yaitu hasil visualisasi sel yang mengalami apoptosis
setelah diinkubasi dengan hidrolisat senyawa-senyawa kitooligomer dan telah
diwarnai dengan pewarna Hoechts diamati dengan menggunakan mikroskop
fluorosens. Hasil visualisasi menunjukkan fenomena sel yang berbintik putih dan
berwarna terang yang berbeda dari sel normal, seperti fenomena pada Gambar
32 berikut :
80
(a) (b)
Gambar 32 Foto mikroskop elektron dari : a) sel normal dan b) sel yang mengalami kondensasi kromatin (Tyler et al.1995).
Fenomena tersebut timbul akibat degradasi DNA yang terjadi di dalam sel, yang
menghasilkan potongan-potongan DNA sehingga tampak seperti bintik putih.
Kejadian tersebut merupakan visualisasi dari struktur kromatin DNA yang tidak
kompak lagi sebagai akibat meningkatnya aktivitas nuklease yang diransang oleh
hadirnya suatu bahan asing (senyawa-senyawa kitooligomer) di dalam sel.
Beberapa hipotesis yang bisa dikemukakan berkaitan dengan terjadinya
fenomena apoptosis, antara lain adanya interaksi antara senyawa-senyawa
kitooligomer dengan reseptor karbohidrat pada glikoprotein di permukaan luar
komponen lipid bilayer membran sel kanker (Gambar 33), hasil pengikatan ini
mengakibatkan rusaknya fungsi lipid bilayer dalam mempertahankan
permeabilitas membran, sehingga membuat senyawa-senyawa kitooligomer
dapat masuk ke dalam sel dan meransang terjadinya proses apoptosis, mungkin
dengan jalan mengaktivasi enzim nuklease sel yang selanjutnya bekerja
mendegradasi kromatin menjadi potongan-potongan DNA. Hipotesis yang lain
adalah terjadi pengikatan yang kemungkinan bersifat spesifik sehingga terjadi
transduksi sinyal yang mengakibatkan aktivasi seluler yang mengaktifkan
pathway proses apoptosis, misalnya teraktivasinya enzim dari famili sistein
protease intraseluler caspase (cysteinyl aspartat-spesific protease) yang
menyebabkan berlangsungnya proses apoptosis dalam sel (Jakubowski 2000;
Thorburn et al. 2003).
Mekanisme anti kanker senyawa-senyawa kitooligomer dengan unit
oligomer lebih panjang (pentamer dan heksamer) dibanding unit oligomer yang
lebih pendek (trimer dan tetramer) kemungkinan disebabkan oleh adanya
interaksi yang lebih kuat antara reseptor senyawa-senyawa karbohidrat pada
81
glikoprotein di permukaan luar komponen lipid bilayer membran dengan senyawa
kitooligomer dengan unit lebih panjang (pentamer dan heksamer) daripada
kitooligomer dengan unit lebih pendek (trimer dan tetramer). Interaksi yang lebih
kuat menyebabkan heksamer mampu meransang terjadinya apoptosis sel yang
lebih banyak jumlahnya sehingga menghambat proliferasi sel kanker lebih besar
daripada kemampuan penghambatan proliferasi oleh unit senyawa-senyawa
kitooligomer yang lebih pendek. Dugaan tersebut diperkuat dengan data aktivitas
senyawa-senyawa karbohidrat yang lain dalam menghambat proliferasi sel
kanker, misalnya oligosakarida maltosa bergugus sulfat menjadi inhibitor yang
efektif bagi interaksi antara aFGF dan bFGF (fibroblast growth factor) dengan
heparan sulfat pada permukaan sel. Peningkatan aktivitas ditemui meningkat
seiring dengan bertambah panjang rantai oligosakarida, seperti penta, heksa,
dan hepta sakarida yang memiliki aktivitas anti tumor lebih kuat dibandingkan
mono, di, dan tetra sakarida. Menurut Parish et al. (1999), aktivitas tersebut
kemungkinan besar ditentukan oleh struktur alami rangka karbohidrat. Aktivitas
antitumor juga berhubungan dengan kemampuan oligosakarida maltosa
bergugus sulfat sebagai inhibitor bagi aktivitas angiogenesis dan heparanase
yang telah diuji secara in vitro.
Gambar 57 Membran sel dengan reseptor karbohidrat pada permukaan sel.
Gambar 33 Membran sel dengan reseptor karbohidrat pada permukaan sel (Becker et al. 2000) dan hipotesis pengikatan glikoprotein
dengan senyawa kitooligomer.
Fosfolipid bilayer dengan glikoprotein
Membran plasma dengan protein membran
Daerah hidrofobik
Daerah hidrofilik
Fosfolipid bilayer
Rantai samping karbohidrat
Di dalam sel
Di luar sel kitooligomer
82
Hipotesis kemungkinan mekanisme anti kanker oleh senyawa-senyawa
kitooligomer juga didukung hasil penelitian oleh Seelenmeyer et al. (2003),
bahwa terdapat hubungan fungsional antara giant mucin-like glycoprotein dengan
ikatan ß-galaktosida dari lektin-lektin pada permukaan sel tumor yang merupakan
komponen matriks ekstraselular yang berimplikasi pada pengaturan adhesi sel,
apoptosis, proliferasi sel dan perkembangan sel-sel tumor. Terjadinya penarikan
galektin-1 dari permukaan sel tumor mengakibatkan perubahan konformasi dari
domain protein lektin oleh pembentukan jembatan intra dan inter molekuler yang
dapat menghasilkan respon seluler terhadap kejadian proses apoptosis.
Hasil kajian Semenuk et al. (2001), menemukan bahwa senyawa-senyawa
kitooligomer merupakan ligan yang sangat kuat berikatan dengan protein
reseptor pada permukaan sel natural killer (NK) protein ini telah diidentifikasi
sebagai keluarga lektin C. Panjang rantai karbohidrat ternyata juga merupakan
faktor penting penentu kekuatan ikatan dengan protein reseptor sel NK, karena
panjang rantai karbohidrat menentukan afinitas terhadap reseptor. Semenuk juga
menemukan bahwa struktur linear senyawa-senyawa kitooligomer merupakan
ligan yang paling kuat berikatan dengan reseptor. sehingga menghasilkan respon
selular berupa peningkatan aktivitas sel NK dalam membunuh sel-sel tumor.
Hipotesis lain dari adanya aktivitas penghambatan proliferasi oleh senyawa-
senyawa kitooligomer adalah terjadinya peristiwa nekrosis sel yang ditandai
dengan peristiwa lisis sel dan kerusakan membran. Peristiwa lisis sel
menyebabkan keluarnya protein dan asam nukleat dari dalam sel. Hasil
pengujian pada Tabel 11 menunjukkan kultur sel kanker yang berinteraksi
dengan senyawa-senyawa kitooligomer mengalami lisis sehingga terjadi
peningkatan jumlah protein dan asam nukleat di luar sel yang lebih besar bila
dibandingkan dengan jumlah protein dan asam nukleat dari sel yang tidak diberi
senyawa-senyawa hidrolisat kitooligomer.
Tabel 11 Hasil Pengujian kebocoran membran sel
No Sampel Abs 280 Abs 260 Aktivitas anti kanker (%)
1. 2.
Sel HeLa tanpa hidrolisat kitooligomer Sel HeLa dengan hidrolisat kitooligomer: FBS 0.0085 1j DD85 AS 0.0085 1j DD85 AS 0.005 3j DD85
0.101 0.111 0.138 0.250
0.086 0.134 0.163 0.339
0
9.47 16.08 18.90
83
Berdasarkan hasil analisis, ternyata telah terjadi peningkatan konsentrasi
protein dan asam nukleat dalam supernatan yang diberi sampel hidrolisat yang
mengandung senyawa-senyawa kitooligomer. Hasil uji ini menandakan telah
terjadi gangguan permeabilitas membran karena kerusakan membran sel, yang
mengakibatkan protein dan asam nukleat keluar dari dalam sel. Dari ke tiga
sampel senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat reaksi enzimatik yang
telah diuji aktivitas penghambatan proliferasi terhadap sel HeLa, Hasil pengujian
dengan metode MTT menunjukkan kekuatan penghambatan proliferasi oleh
hidrolisat kitooligomer adalah : AS 0.005 3j DD85, AS 0.0085 1j DD85, dan FBS
0.00851j DD85. Hasil penghambatan proliferasi tersebut sesuai dengan urutan
jumlah konsentrasi protein dan asam nukleat yang telah keluar dari sel akibat
hadirnya senyawa-senyawa kitooligomer di dalam kultur sel. Pengujian
kerusakan membran sel dianalisis dengan scan pada mikroskop elektron
menunjukkan bahwa terjadi kerusakan membran sel (Gambar 34) akibat
pemberian senyawa-senyawa kitooligomer.
Gambar 34. Hasil visualisasi kerusakan membran sel dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) (Pembesaran 15.000 X)
Hasil pengujian kejadian apoptosis dapat dikuantifikasi dengan
menghitung jumlah sel yang mengalami apoptosis dan sel yang tidak mengalami
apoptosis. Hasil perbandingan jumlah sel yang mengalami apoptosis
dibandingkan dengan jumlah sel yang tidak mengalami apoptosis menghasilkan
data persentasi apoptosis. Hasil kuantifikasi tersebut disajikan pada Gambar 35.
Hidrolisat 0.005 3j DD85
Hidrolisat AS 0.005 3j DD85
Hidrolisat AS 0.005 3j DD85
Hidrolisat AS 0.005 3j DD85
Kontrol
FBS 0.0085 1j DD85
84
Gambar 35 Jumlah (%) apoptosis sel setelah diinkubasi dengan hidrolisat senyawa-senyawa kitooligomer selama satu hari.
Pada pengujian % apoptosis pada kultur sel K562, HeLa dan A549
menunjukkan kuantifikasi yang berbeda. Sel HeLa dan K562 menunjukkan
persen jumlah kejadian apoptosis yang lebih besar daripada sel A549. Hal ini
berarti bahwa sel HeLa dan K562 sangat sensitif terhadap hadirnya senyawa-
senyawa kitooligomer dalam hidrolisat AS 0.005 DD85 3 jam di dalam
lingkungannya, sedang untuk sel A549 ternyata pengaruh penghambatan oleh
senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat AS 0.0085 DD85 1jam sangat
lemah, hasil ini berkorelasi dengan hasil pengujian MTT yang memiliki nilai
indeks penghambatan hanya sebesar 2.87% untuk sel A549, sedangkan untuk
sel K562 memiliki nilai indeks penghambatan yang lebih tinggi, yaitu sebesar
20.15% dan sel HeLa 18.90%.
Kejadian apoptos is dapat divisualisasi dengan pewarna flurosens karena
prinsip kerja zat pewarna yang berperan sebagai interkalator DNA. Fluorokrom –
bis-benzimida triklorida (Hoechst 33342) berikatan dengan DNA dari sel kanker
(Wispriono et al; 2002). Fenomena degradasi kromatin pada sel yang mengalami
apoptosis membuat zat warna yang bertindak sebagai interkalator DNA dapat
masuk dan lebih banyak berikatan dengan basa-basa DNA dalam molekul DNA
yang terfragmentasi, sehingga kuantitas zat pewarna (Hoechst 33342) lebih
banyak terserap. Hasil tersebut menunjukkan fenomena yang berbeda dengan
sel normal, karena sel normal masih memiliki struktur DNA kromatin yang
kompak sehingga membuat zat warna sulit dapat masuk ke dalam struktur DNA,
sehingga menghasilkan penampilan warna sel yang lebih gelap dibanding sel
yang mengalami apoptosis. Salah satu visulisasi hasil pengujian fenomena
apoptosis akibat pemberian senyawa-senyawa kitooligomer dalam preparat
05
1015202530
35
K562 HeLa A549
Jenis sel
% a
po
pto
sis
% apoptosis
85
hidrolisat pada kultur sel K562, HeLa dan A549 dengan mikroskop fluoresens
pada pembesaran 400 kali ditampilkan pada Gambar 36-38 berikut :
(a) (b)
Gambar 36 (a) Sel K562 dengan hidrolisat AS 0.005 3j DD85 (apoptosis), (b) Tanpa sampel tidak apoptosis.
(a) (b)
Gambar 37 (a) Sel HeLa dengan hidrolisat AS 0.005 3j DD85 (apoptosis), (b) Tanpa sampel tidak mengalami apoptosis.
(a) (b)
Gambar 38 (a) Sel A549 dengan hidrolisat AS 0.0085 1j DD85 (apoptosis), (b) Tanpa sampel tidak mengalami apoptosis.
86
Beberapa mekanisme penghambatan sel kanker oleh senyawa-senyawa
kitooligomer telah diteliti peneliti lain, seperti penelitian oleh Shen (2002) yang
meneliti tentang elusidasi kemungkinan peranan kitosan sebagai anti tumor dan
kemungkinan jalur mekanismenya, menemukan bahwa kitosan larut air (WSC)
secara signifikan menghambat sel kanker ASG. Dari hasil analisis flow cytometry
terhadap siklus sel menemukan bahwa persentasi fase S (fase sintesis DNA)
dalam siklus sel sangat direduksi ketika diperlakukan dengan kitosan larut air
dibandingkan dengan kontrol Brdu yang menurunkan kecepatan sintesis DNA.
Mekanisme lain dari penghambatan kitosan larut air pada sel kanker ASG adalah
menghambat aktivitas protein yang mengatur proses metastasis yaitu matriks
metaloproteinase-2 dan 9 (MMP-2, MMP-9). Berdasarkan penemuan tersebut
peneliti ini menyimpulkan bahwa kitosan larut air memiliki potensi menghambat
perkembangan sel-sel kanker ASG.
2. Telaah Potensi Senyawa-senyawa Kitooligomer sebagai Inhibitor Protease
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, senyawa-senyawa kitooligomer
dalam hidrolisat enzimatik mampu menghambat proliferasi beberapa galur sel
kanker yang diuji dalam penelitian ini. Untuk melengkapi data aktivitas senyawa-
senyawa kitooligomer sebagai penghambat sel-sel kanker, dilakukan kajian
potensi senyawa-senyawa kitooligomer sebagai anti metastasis melalui
pengujian kemampuan senyawa kitooligomer berperan sebagai anti protease
yang dianalisis melalui model pengujian penghambatan aktivitas enzim protease
tripsin komersial dari sumber pankreas sapi, yaitu suatu kelas enzim yang
termasuk kelompok enzim serin protease. Penggunaan enzim protease tripsin
murni sebagai model pengujian dilatarbelakangi oleh kesulitan memperoleh
enzim protease ekstraseluler dari sel kanker HeLa dan A549 yang diekskresikan
dengan tujuan bermetastasis. Kemungkinan diperlukan suatu teknik khusus
melalui model jaringan dengan teknik histokimia untuk mengisolasi enzim ini.
Enzim protease tripsin dipilih karena enzim ini nampaknya penting bagi sel-
sel kanker untuk mendegradasi ECM (Extra Cellular matrix), menginvasi jaringan
normal, dan memasuki pembuluh darah dan saluran limfatik yang merupakan
sebuah tahap kritis pada tahap metastasis kanker. Adanya pelepasan tripsin juga
ditemukan dalam berbagai tumor seperti ovarian dan colorectal carcinomas,
87
dimana kemungkinan memiliki peranan pada pembentukan tumor atau proses
metastasis (Dowall 2003).
Keterangan : AS 0.005 3 j DD85 = Hasil reaksi enzim pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.005 U/mg kitosan DD85, 3 jam. AS 0.0085 1j DD85 = Hasil reaksi enzim pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85, 1 jam AS 0.0085 3j DD85 = Hasil reaksi enzim pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85, 3 jam AS 0.10 3j DD85 = Hasil reaksi enzim pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.10 U/mg kitosan DD85, 3 jam. AS 0.17 3j DD85 = hasil reaksi enzim dengan konsentrasi 0.17 U/mg kitosan DD85, 3 jam FBSMn 0.0085 1j DD85 = hasil reaksi enzim dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan yang ditambah katalisator MnCl 2 10 mM dengan kitosan DD85 selama 1 jam. FBS 0.0085 1j DD85 = hasil reaksi enzim (Filtrat bebas sel yang dipanaskan selama 20 menit 60oC) dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85 selama 1jam. FBS 0.0085 3j DD85 = hasil reaksi enzim (Filtrat bebas sel yang dipanaskan selama 20 menit 60oC) dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85 selama 3 jam. K100 = Kitosan dengan derajat deasetilasi 100% K D85 = Kitosan dengan derajat deasetilasi 85%
Gambar 39 Kemampuan senyawa-senyawa kitooligomer dalam menghambat
aktivitas enzim tripsin pada substrat kolagen (inkubasi 24 jam)
Hasil pengujian pada Gambar 39 memperlihatkan bahwa senyawa-
senyawa kitooligomer dalam hidrolisat reaksi enzimatik memiliki aktivitas sebagai
inhibitor protease. Hasil perhitungan besarnya persentasi penghambatan
aktivitas enzim tripsin diperlihatkan pada Gambar 40. Hasil pengujian terhadap
kemampuan senyawa-senyawa kitooligomer menghambat aktivitas enzim tripsin,
ternyata senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat: AS 0.005 3j DD85, AS
0.0085 1j DD85, FBS 0.0085 1j DD85 dan FBS 0.0085 3j DD85 serta kitosan
DD85% yang diinkubasi bersama enzim tripsin selama 24 jam memperlihatkan
aktivitas penghambatan protease tertinggi pada substrat kolagen.
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0.14
AS 0.0053j DD85
AS0.0085
3j DD85
AS0.00851j DD85
AS 0.173j DD85
K85 FBS0.0085
1j DD85
FBS0.00853j DD85
E.tripsin
Hidrolisat kitoligomer
Akt
ivit
as (I
u/m
l)
88
Keterangan : AS 0.005 3 j DD = Hasil reaksi enzim pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.005 U/mg kitosan DD85, 3 jam. AS0.0085 1j DD85 = Hasil reaksi enzim pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85, 1 jam FBS 0.0085 1j DD85 = hasil reaksi enzim (Filtrat bebas sel yang dipanaskan selama 20 menit 60oC) dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85 selama 1jam. FBS 0.0085 3j DD85 = hasil re aksi enzim (Filtrat bebas sel yang dipanaskan selama 20 menit 60oC) dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85 selama 3 jam. AS 0.17 3j DD85 = hasil reaksi enzim dengan unit 0.17 U/mg kitosan DD85, 3 jam
Gambar 40 Kemampuan kitooligomer dalam hidrolisat enzimatik terhadap
penghambatan aktivitas (inhibitor) enzim serin protease
Substrat kolagen digunakan sebagai substrat uji dengan menggunakan
prosedur pengujian aktivitas protease menurut metode Bergmeyer (1983) yang
dimodifikasi. Modifikasi dilakukan pada penggantian jenis substrat kasein dengan
kolagen, dimana pemilihan jenis substrat kolagen berdasarkan hasil pengujian
penghambatan proliferasi sel kanker yang terbaik pada penelitian ini terdapat
pada sel jenis selapis (Hela dan A549), keduanya merupakan jenis sel pada
jaringan dimana terdapat kolagen sebagai salah satu komponen penyusun
matriks ekstraselular.
Hasil penelitian tentang aktivitas anti protease terhadap penghambatan
migrasi sel kanker telah dilaporkan oleh Dowall (2003) yang memberi informasi
bahwa inhibitor protease serin mampu menghalangi migrasi sel line yang sedang
bermetastasis. DeFea ( 2001) melaporkan penggunaan inhibitor tripsin dalam
pengobatan kanker payudara, berdasarkan hasil penelitian bahwa tripsin like
protease merupakan agen metastasis pada sel kanker payudara. Selanjutnya
Kim et al.(2001) memperoleh data bahwa inhibitor protease serin dan sistein
0
20
40
60
80
100
120
AS 0.0053j DD85
AS 0.00853j DD85
AS 0.00851j DD85
AS 0.17 3jDD85
K85 FBS0.0085 1j
DD85
FBS0.0085 3j
DD85
Hidrolisat kitooligomer
% P
eng
ham
bat
an
89
pada senyawa obat anti kanker menginduksi terjadinya apoptosis pada sel-sel
kanker gastric (lambung). Mekanisme kerja suatu bahan anti protease terhadap
penghambatan sel kanker terjadi karena adanya proses pemecahan protein yang
ekspresikan oleh sel malignan pada permukaan selnya untuk menembusi matriks
ekstraseluler (Wan et al. 1999). Selanjutnya Oberst et al. (2002) juga
menemukan mekanisme yang sama, bahwa jenis enzim golongan serin protease
transmembran yang terdapat pada permukaan sel-sel tumor ovarian epitelial
dapat dihambat oleh senyawa inhibitor protease, sehingga menghalangi migrasi
sel-sel tumor ovarian epitelial.
F. KAITAN BEBERAPA AKTIVITAS BIOLOGI DARI HIDROLISAT SENYAWA-
SENYAWA KITOOLIGOMER
Berdasarkan hasil pengujian terhadap beberapa hidrolisat yang
mengandung senyawa-senyawa kitooligomer , diperoleh hidrolisat AS 0.0085 1j
DD85, AS 0.10 3j DD85 dan EM 0.0085 9j DD90 yang potensial digunakan
sebagai anti kanker. Berdasarkan hasil analisis terhadap Gambar 41, 42 dan 43
diperoleh kesimpulan bahwa senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat AS
0.0085 1j DD85, AS 0.10 3j DD85 dan EM 0.0085 9j DD90 memiliki pola
kemampuan yang berbeda dalam menghambat proliferasi sel kanker KR4, K562
dan HeLa.
Keterangan : AS 0.0085 1j DD85 = Hasil reaksi enzim pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85, 1 jam AS 0.10 3j DD85 = Hasil reaksi enzim pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.10 U/mg kitosan DD85, 3 jam. EM 0.0085 9j DD90 = Hasil reaksi enzim murni dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD 90,9 jam
Gambar 41 Kemampuan kitooligomer dalam hidrolisat enzimatik terhadap aktivitas anti proliferasi sel KR4.
0
2
4
6
810
12
14
AS 0.0085 1j DD85 AS 0.10 3j DD85 EM 0.0085 9j DD90
Senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat
% P
engh
amba
tan
prol
ifera
si KR4
90
Keterangan : AS 0.0085 1j DD85 = Hasil reaksi enzim pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85, 1 jam AS 0.10 3j DD85 = Hasil reaksi enzim pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.10 U/mg kitosan DD85, 3 jam. EM 0.0085 9j DD90 = Hasil reaksi enzim murni dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD 90,9 jam
Gambar 42 Kemampuan kitooligomer dalam hidrolisat enzimatik terhadap Aktivitas anti proliferasi sel K562. Keterangan : AS 0.0085 1j DD85 = Hasil reaksi enzim pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85, 1 jam AS 0.10 3j DD85 = Hasil reaksi enzim pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.10 U/mg kitosan DD85, 3 jam. EM 0.0085 9j DD90 = Hasil reaksi enzim murni dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD 90,9 jam
Gambar 43 Kemampuan kitooligomer dalam hidrolisat reaksi enzimatik terhadap aktivitas anti proliferasi sel HeLa
Bila tingginya aktivitas penghambatan diurutkan terhadap sel KR4, nampak
pola penghambatan yang diurutkan dari yang paling tinggi ke paling rendah
adalah hidrolisat AS 0.0085 1j DD85, AS 0.10 3j DD85, dan EM 0.0085 9j DD90,
tetapi pola penghambatan terhadap sel K562 menunjukkan urutan
0
5
10
15
20
25
AS 0.0085 1j DD85 AS 0.10 3j DD85 EM 0.0085 9j DD90
Senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat
% P
engh
amba
tan
prol
ifera
si
K562
0
5
10
15
20
AS 0.0085 1j DD85 AS 0.10 3j DD85 EM 0.0085 9j DD90
Senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat
% P
engh
amba
tan
prol
ifera
si
Hela
91
penghambatan dari yang paling tinggi ke paling rendah adalah hidrolisat AS 0.10
3j DD85, EM 0.0085 9j DD90, dan AS 0.0085 1j DD85. Pada sel HeLa
memperlihatkan urutan penghambatan dari yang paling tinggi ke paling rendah
adalah hidrolisat AS 0.0085 1j DD85, EM 0.0085 9j DD90, dan AS 0.10 3j DD85.
Bila dibuat perbandingan kemampuan proliferasi terhadap sel limfosit dari
ketiga hidrolisat tersebut nampak pola aktivitas proliferasi berkebalikan dengan
pola aktivitas penghambatan terhadap sel KR4. Pola aktivitas proliferasi tersebut
dapat dilihat pada Gambar 44 berikut :
Keterangan : AS 0.0085 1j DD85 = Hasil reaksi enzim pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD85, 1 jam AS 0.10 3j DD85 = Hasil reaksi enzim pekatan amonium sulfat dengan konsentrasi 0.10 U/mg kitosan DD85, 3 jam. EM 0.0085 9j DD90 = Hasil reaksi enzim murni dengan konsentrasi 0.0085 U/mg kitosan DD 90,9 jam
Gambar 44 Kemampuan kitooligomer dalam hidrolisat enzimatik terhadap proliferasi sel limfosit
Berdasarkan histogram-histogram aktivitas senyawa-senyawa kitooligomer
dalam hidrolisat enzimatik terhadap proliferasi kanker dan sel limfosit, ternyata
ketiga hidrolisat tersebut memiliki aktivitas biologi sebagai pemacu proliferasi sel
limfosit dan penghambat proliferasi atau bersifat sitotoksik terhadap sel kanker.
Fenomena yang berbeda tersebut dimungkinkan terjadi karena adanya
perbedaan jenis protein reseptor pada permukaan membran sel limfosit dan sel
kanker yang dapat mengadakan ikatan dengan ligan senyawa-senyawa
kitooligomer, sehingga mengakibatkan transduksi sinyal yang menghasilkan
aktivasi selular yang berbeda, yaitu pengaktifan pathway proses proliferasi pada
sel limfosit dan pengaktifan pathway proses apoptosis pada sel kanker.
Hubungan antara kemampuan anti kanker dan inhibitor protease ternyata
diperlihatkan pada beberapa hidrolisat yang mampu berperan sebagai
penghambat proliferasi sel kanker dan inhibitor enzim tripsin (serin protease)
0
50
100
150
200
AS 0.0085 1jDD85
AS 0.10 3jDD85
EM 0.0085 9jDD90
Senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat
% P
rolif
eras
i
limfosit
92
pada jenis sel kanker suspensi ( KR4 dan K562) dan selapis (HeLa dan A549)
seperti digambarkan dalam histogram-histogram pada Gambar 45 berikut :
a) Sel KR4
b) Sel K562
c) Sel HeLa
d) Sel A549.
Gambar 45 Hubungan antara kemampuan hidrolisat kitooligomer pada
penghambatan proliferasi sel kanker dengan aktivitas inhibitor protease
0
20
40
60
80
100
120
AS 0 . 005 3 j DD85 AS 0.0085 1j DD85 FBS 0.0085 3j DD85
Hidrol isat k i tool igomer
Inhibitor proteaseanti kanker
0
2 0
4 0
6 0
8 0
100
120
A S 0 . 0 0 5 3 j D D 8 5 A S 0 . 0 0 8 5 1 j D D 8 5 A S 0 . 1 7 3 j D D 8 5 F B S 0 . 0 0 8 5 1 j
D D 8 5
F B S 0 . 0 0 8 5 3 j
D D 8 5
H i d r o l i s a t k i t o o l i g o m e r
Inhibitor proteaseanti kanker
0
2040
60
80100
120
AS 0.0085 1j DD85
Hidrolisat kitooligomer
% P
engh
ambt
an
prol
ifera
si d
an in
hibi
tor
prot
ease
Inhibitor proteaseanti kanker
0
20
40
60
80
100
120
AS 0.0085 1j DD85 FBS 0.0085 1j DD85
Hidrolisat kitooligomer
% I
nh
ibit
or
pro
tea
se
da
n
an
ti k
an
ke
r
anti proteaseanti kanker
93
Berdasarkan histogram aktivitas inhibitor protease dan penghambatan
proliferasi sel kanker, nampak jumlah hidrolisat kitooligomer yang memiliki
aktivitas penghambatan proliferasi sel kanker dan inhibitor protease paling
banyak ditemukan pada sel HeLa dibandingkan ketiga jenis sel lainnya. Aktivitas
hidrolisat kitooligomer sebagai inhibitor protease nampaknya tidak menunjukkan
hubungan yang linier dengan tingginya aktivitas anti kanker, tetapi semua
hidrolisat menunjukkan potensi sebagai anti kanker dan potensi aktivitas inhibitor
protease.
Berkaitan dengan aktivitas biologi yang lain dari senyawa-senyawa
kitooligomer dalam hidrolisat enzimatik seperti hasil penelitian Meidina (2005),
bahwa sebagai anti bakteri patogen diperoleh data hidrolisat yang berpotensi
paling tinggi sebagai anti bakteri patogen adalah AS 0.10 1j DD85 dan AS 0.10 3j
DD85. Bila dihubungkan dengan hasil penelitian Hertiyani (2005) tentang
aktivitas immunoenhancer pada hidrolisat kitooligomer dari kitin diperoleh
hidrolisat yang memiliki aktivitas paling tinggi adalah AS 0.10 1j DD85, AS 0.10
3j DD85 dan 0.0085 3j DD85. Berdasarkan hasil-hasil yang telah diperoleh dari
penelitian ini, penelitian Meidina (2005) dan penelitian Hertiyani (2005) diperoleh
kesamaan jenis hidrolisat yang memiliki aktivitas biologi paling tinggi, yaitu AS
0.10 3j DD85.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan :
1. Enzim kitosanase termostabil dari Bacillus licheniformis MB2 dapat
digunakan untuk memproduksi senyawa-senyawa kitooligomer yang memiliki
aktivitas biologi khususnya terhadap sel limfosit dan sel kanker.
2. Senyawa-senyawa kitooligomer dapat mempengaruhi aktivitas proliferasi sel
limfosit. Hidrolisat enzimatik yang menggunakan substrat kitosan DD70% dan
senyawa-senyawa kitooligomer hasil fraksinasi memperlihatkan sifat
sitotoksik terhadap sel limfosit, tetapi sebagian besar hidrolisat enzimatik
yang berasal dari substrat DD 85% dan 90% ternyata tidak memperlihatkan
sifat sitotoksik.
3. Senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat enzimatik dan hasil
fraksinasi memiliki aktivitas penghambatan proliferasi atau bersifat sitotoksik
pada semua galur sel kanker yang diteliti. Respon penghambatan proliferasi
yang tertinggi adalah terhadap jenis sel selapis (HeLa dan A549), yang
dihasilkan oleh senyawa-senyawa kitooligomer hasil fraksinasi (trimer-
heksamer). Senyawa kitooligomer heksamer ternyata memberikan respon
penghambatan proliferasi sel kanker lebih tinggi dibanding jenis senyawa
kitooligomer yang lain, yaitu sebesar 31.72% untuk sel HeLa dan 22.70%
untuk sel A549. Aktivitas penghambatan proliferasi oleh senyawa-senyawa
kitooligomer dalam hidrolisat enzimatik umumnya memberikan respon lebih
tinggi terhadap jenis sel suspensi (KR4 dan K562) daripada jenis sel selapis
(HeLa dan A549), yaitu sebesar 12.27% untuk sel KR4 dan 20.58% untuk sel
K562.
4. Inkubasi senyawa-senyawa kitooligomer dalam hidrolisat enzimatik pada
kultur sel kanker diperkirakan menyebabkan kematian sel dengan
mekanisme : a) apoptosis berdasarkan fenomena degradasi DNA kromatin
sel yang dianalisis dengan mikroskop fluorosens, b) terjadinya kerusakan
membran sel yang diidentifikasi melalui kebocoran protein dan asam nukleat
dan hasil pengamatan dengan scanning electron mycroscope (SEM)
terhadap membran sel. Disamping itu hidrolisat senyawa-senyawa
kitooligomer yang diperoleh memperlihatkan adanya aktivitas sebagai
inhibitor enzim serin protease.
95
Saran
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh pada penelitian ini, maka
dikemukakan beberapa saran untuk kelanjutan penelitian ini, yaitu :
1. Diperlukan adanya klarifikasi sifat sitotoksik dari senyawa-senyawa
kitooligomer, terutama yang dihasilkan dari proses fraksinasi dengan
metode molekuler seluler.
2. Perlu adanya pengujian aktivitas proliferasi sub sel limfosit, misalnya
terhadap aktivitas proliferasi sel B, sel TH, sel TC dan sel NK.
3. perlu adanya pengujian aktivitas proliferasi pada sel/sistim imun lain,
misanya terhadap makrofag.
4. Perlu dilakukan studi in vivo dalam hal aktivitas anti kanker untuk
mendukung hasil penelitian ini.
5. Perlu studi mengenai mekanisme anti kanker yang lain pada level seluler
seperti studi tentang binding antara protein reseptor (pada membran) sel
kanker dengan senyawa-senyawa kitooligomer.
6. Perlu dilakukan studi lanjutan dengan metode yang berbeda untuk
memperjelas mekanisme apoptosis sel kanker akibat pemberian
senyawa-senyawa kitooligomer.
7. Perlu dilakukan studi lanjut tentang aplikasi senyawa-senyawa
kitooligomer yang dihasilkan kitosan DD 85 dan DD90 sebagai
nutraceutical.
96
DAFTAR PUSTAKA
Agustinisari I. 1998. Pengaruh ekstrak jahe (Zingiber officinale Roscoe) segar
dan bertunas terhadap proliferasi beberapa alur sel kanker dan normal [skripsi]. Fateta. Institut Pertanian Bogor.
Aiba S. 1993. Studies on chitosan:6. Relationship between N-acetyl group
distribution pattern and chitinase digestibility of partially N-acetilated chitosans. Int J Biol and Macromol. 15:241-245.
Aiba S. 1994. Preparation of N-acetylchitooligosaccharides by hydrolysis of
chitosan with chitinase followed by N-acetylation. Carb Res. 265:323-328. Akihisa A, Mototeru Y, Akio T. 2001. Prevention of growth of human lung
carcinoma cells and induction of apoptosis by a novel phenoxazinone, 2-amino-4,4[alpha]-dihydro-4[alpha],7-dimethyl-3H-phenoxazine-3-one. Anti-Cancer Drugs. 12:377-382.
Ananta E. 2000. pengaruh ekstrak cincau hijau (Cyclea barbata L. Miers)
terhadap proliferasi alur sel kanker K562 dan HeLa.[skripsi]. Fateta. Institut Pertanian Bogor.
Anonim. 2004. Statistik Perikanan Tangkap 2002. Direktorat jenderal Perikanan.
Jakarta.
Arditti FD, et al. 2005. Apoptotic killing of B-chronic lymphocytic leukemia tumor cells by allicin generated in situ using a rituximab-alliinase conjugate. Mol Cancer Ther.4:325-332
Arnold LD, Solomon NA. 1986. Manual of Industrial Microbiology and
Biotechnology. American Society for Microbiology, Washington. Aoki S, et al. 2004. Smenospongine, a spongean sesquiterpene aminoquinone,
induces erythroid differentiation in K562 cells. Anti-Cancer Drugs. 15:363-369
Aquarini TH. 2005. Ekstrak Kumis kucing (Orthosimphon stamineus benth) dan
bunga Knop (Gomphrena globosa L.) meningkatkan proliferasi sel limfosit manusia secara in vitro.[tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Bannerji et al. 2003. Apoptotic-regulatory and complement-protecting protein
expression in chronic lymphocytic leukemia: relationship to in vivo rituximab resistance. J of Clin Oncol . 21:1466-1471.
Becker WM, Kleinsmith LJ, Hardin J. 2000. The World of The Cell. The
Benjamin/Cummings Publ. San Fransisco. Bellanti JA. 1993. Imunologi III. Gajah Mada University Press, Yogyakarta
97
Bergmeyer HV, Grassl. 1983. Methods of Enzymatic analysis. Vl II. Verleg Chemi. Weinheim.
Bollag DM, Edelstein SJ. 1991. Protein Methods. Wiley-Liss. New York Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive method for the quantitation of
microgram quantities of protein dye binding. Anal Biochem 72:248-254. Braunstein H. 1987. Pathology. The C.V. Mosby Co. Boston. Brine CJ, Sanford PA, Zikakis JP. 1992. Advanced Chitin and Chitosan. Elsevier.
Amsterdam. Buamah PK, Sidlen W. 1985. Concentrations of protease and anti-protease in
serum of patient with pancreatic cancer. Clin Chem.31:876-877. Budiharto A. 1997. Pengaruh intervensi vitamin C dan vitamin E dari sayuran dan
buah-buahan terhadap proliferasi sel limfosit T, persentase CD3+ dan sel T sub set CD3+ CD4+ pada populasi buruh industri di Bogor. [skripsi]. Fateta. Institut Pertanian Bogor.
Bunduki MMC, Handler KJ, Donneli NC. 1995. Metabolic and structural sites of
damage in heat and sanitizer injured population of Listeria monocytogenes. Food Protec. 58:410-415.
Bird BR, Forrester FT. 1981. Basic Laboratory Techniques in Cell Culture. U.S.
Department of Health and Human Services. Public Health Service. Atlanta.
Caragay AB. 1992. Cancer preventive foods and ingredient. Food Technol.
46:65-68. Chasanah, E. 2004. Characterization of thermopylic Bacillus lichenisformis MB2
chitosanase isolated from Manado hot spring water. [disertasi] Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Chang KLB, Tsai G, Lee J, Fu WR. 1997. Heterogegeous N-deacetylation of
chitin in alkaline solution. Carb Res. 303:327-332. Chen HH, Zhou HJ, Fang X. 2003 Inhibition of human cancer cell line growth
and human umbilical vein endothelial cell angiogenesis by artemisinin derivatives in vitro. Pharmacol Res. 48:231-236.
Cheng CY, Li YK. 2000. An Aspergillus chitosanase with potential for large
scale preparation of chitosan oligosaccharides. Biotechnol Appl Biochem. 32:197-203.
Cui Z, Mumper RJ. 2001. Chitosan-based nanoparticles for topical genetic
immunization. J Control Release. 75:409-419.
98
Curracyte AG, 2003. New antitumor protease inhibitors found. http://www.obgyn.net/newsheadlines/headline medical news-Curacyte AG-20030707-4.asp [29 januari 2005].
Curroto E, Aros F. 1993. Quantitative determination of chitosan and the
percentage of free amino groups. Anal Biochem. 211: 240-241. Damayanti E. 2002. Karakteristik bekatul padi (oryza sativa) awet serta aktivitas
antioksidan dan penghambatan proliferasi sel kanker secara in vitro dari minyak dan fraksinya. [disertasi] Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Dalimartha S. 1999. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Kanker. PT Penebar
Swadaya. Jakarta. Dalwoo. 2004. Chitosan oligomer. http://dalwoo.com/Chitosan/product.html.
[3 Maret 2004].
Decker JM. 2001. Introduction to Immunology. Blackwell Science, Inc. Massachusetts, USA.
DeFea K. 2001. Trypsin-like proteases as metastatic agents in breast cancer. (http://www.ebi.ac.uk/interpro/potm/2003_5/Page2.htm). [29 januari
2005]. Dodane V, Vilivalam VD. 1998. Pharmaceutical applications of chitosan. PSTT.
1:246-253
Dowall MJ. 2003.Trypsin and chymotrypsin. (http://www.ebi.ac.uk/interpro/potm). [29 januari 2005].
Doyle MP, Padhye NV. 1995. Escherichia coli . University of Wisconsin-Madison,
Marcel Dekker. New York. Elliot R, Ong TJ. 2002. Science, medicine, and the future. Nutritional genomics.
BMJ. 324:1438-1442 Elson CE, Yu SG. 1994. The chemoprevention of cancer by mevalonate, derived
constituents of fruit and vegetables. J Nutr. 124:607-614. Freshney IR. 1994. Culture of Animal Cells, John Willey and Sons Co. New York. Fukamizo T, Brzenzinski R. 1997. Chitosanase from Streptomyces sp. strain
N174 : a comparative review of its structure and function. Biochem Cell Biol. 75:687-696.
Ganong WF. 1990. Fisiologi Kedokteran. EGC. Penerbit Buku Kedokteran.
Jakarta. Goosen MFA. 1997. Aplications of Chitin and Chitosan. Technomic Publishing
Co. Inc. Lancaster. USA
99
Govan DT, Macfarlane PS, Callander R. 1995. Pathology Illustrated. Churchill Livingstone. New York.
Guo JT, Hung L. 2002. Enzymatic preparation of chitooligosaccharide with
immune-enhancing activity. Http//.tpmol.nhri.org.tw . [8 mei 2004]. Hertriyani. 2005. Produksi oligomer kitin dari enzim kitinase dan aktivitasnya
terhadap proliferasi sel limfosit manusia secara in vitro. [skripsi]. Fateta. Institut Pertanian Bogor.
Herscowitz HB. 1993. Immunofisiologi : Fungsi Sel dan Interaksi Selular dalam
Pembentukan Antibodi. Di dalam Bellanti (ed.). Imunologi III. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Honda Y, Fukamizo T, Okajima T, Goto S, Boucher I, Brzezinski R. 1999. Thermal unfolding of chitosanase from Streptomyces sp. N174 : Role of tryptophane residues in the protein structure stabil ization. Biochem at Biophysic Acta. 1429:365-376.
Ichikawa S, et al. 2002. Immobilization and stabilization of chitosanase by
multipoint attachment to agar support. J Bioschi Bioeng. 93:201-206. Ilyina AV, Yu N, Tatarinova, Valeri P, Varlamov. 2000. The preparation of low-
molecular-weight chitosan using chitinolitic complex from Streptomyces kurssanovii. Process. Biochem. 34:875-878.
Iwashita K, Kobori M, Yamaki K, Tsuhida T. 2000. Flavonoids inhibit cell growth
and induce apoptosis in B16 Melanoma A45 cells. Biosci Biotechnol Biochem. 64:1813-1820.
Jakubowski. 2000. Apoptosis: programmed cell death. Nature 405:85 Jeon YJ, Kim SK. 2000. Production of chitooligosaccharides using an
ultrafiltration membrane reactor and their antibacterial activity. Carb Pol. 41:133-141.
Kubota T, et al. 2003. Cancer chemotherapy chemosensitivity testing is useful in
evaluating the appropriate adjuvant cancer chemotherapy for stages III/IV gastric cancers without peritoneal dissemination. Anticancer Res. 23:583-587.
Kuby J. 1992. Immunology. W.H. Freeman and Company. New York. USA. Kim R, Inoue H, Tanabe K, Toge T. 2001. Effect of inhibitors of cysteine and
serine proteases in anticancer drug-induced apoptosis in gastric cancer cells. Int J Oncol. 18:1227-32.
Kimoto H, et al. 2002. Biochemical and genetic properties of Paenibacillus
glycosyl hydrolase having chitosanase activity and discoidin domain. J Biol Chem. 277:14695-14702.
100
Kolodziejska I, Wojtasz P.A, Ogonowska G, Sikorski Z.E. 2000. Deacetylation of chitin in two-stage chemical and enzymatic process. Bulletin of The Sea Fisheries Institute. 2:15-24.
Konishi F, Tanaka K, Himeno K, et al. 1985. Antitumor effect induced by a hot
water extract of Chlorella vulgaris (CE): resistance to Meth-A tumor growth mediated by CE-induced polymorphonuclear leukocytes. Cancer Immunol Immunother. 19:73-78.
Kobayashi MT, Watanabe S, Suzuki M, Suzuki. 1990. Effect of N-
acetylchitohexaose against Candida albicans infection of tumor-bearing mice. Microbiol Immunol. 34:413-426.
Konda Y, et al. 1997. Syntesis of a new phenol glycoside, neohancoside C from
Cynanchum hancockianum. Chem Pharm Bull. 45:626-630. Kozbor D, Lagarde AE, Roder JC. 1982. Human hybridomas constructed with
antigen-specific Epstein-Barr virus-transformed cell lines. Proc Natl Acad Sci. 79:6651-6655.
Kresno SB. 1996. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi II.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Lastari DS. 1998. Mempelajari pengaruh komponen boiaktif bawang putih
terhadap aktivitas sitolitik sel limfosit manusia secara in vitro. [skripsi].Fateta. Institut Pertanian Bogor.
Letwin BW, Quimby FW. 1987. Effects of concanavalin A, phytohemaglutinin, pokeweed mitogen, and lipopolysaccharide on the replication and immunoglobulin synthesis by canine peripheral blood lymphocytes in vitro. Immunol Lett. 14:79-85.
Li Q, Dunn ET, Grandmaison EW, Goosen MFA. 1997. Aplacation and properties of chitosan. Di dalam Goosen MFA, Editor. Aplication of Chitin and Chitosan. Technomic Publishing Co. Inc. Lancaster. USA.
Madigan M, Martinko JM, Parker J. 2000. Brock Biology of Microorganisms. Prentince Hall. New Jersey.
Makkar PN, et al. 2002. Inhibition of human cancer cell growth and metastasis in
nude mice by oral intake of modified citrus pectin. J of the Nat Cancer Institute. 94:1854-1862.
Maria S, et al . 1997. Evaluation of the toxicity of Uncaria tomentosa by bioassay
in vitro. J Ethnopharmacol. 57:183-187. Meidina. 2005. Aktivitas anti bakteri oligomer kitosan hasil degradasi oleh
kitosanase Bacillus licheniformis MB-2. [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
101
Meiyanto E, Sismindari, Candra L, Moordiani. 2003. Efek antiproliferatif ekstrak etanol daun dan kulit batang tanaman Cangkring (Erythrina Fusca Lour.) terhadap sel Hela. Majalah Farmasi Indonesia. 14:124-131.
Michael M, Doherty MM. 2005. Tumoral drug metabolism: overview and its
implications for cancer therapy. J of Clin Oncol. 23:205-229. Miller R. 2005. What is cancer ?
(http://www.kidshealth.org/parent/medical/cancer.html) [26 sept 2005]. Miyoshi H, Shimura K, Watanabe K, Onodera K. 1992. Characterization of some
fungal chitosans. Bioschi Biotech Biochem. 56:901- 905.
Muzarelli RAA, Tomasetti M, Ilari P. 1995a. Depolymerization of chitosan with the aid of papain. Enzyme Microbial Technol. 16:110-114.
Muzarelli RAA, Xia W, Tomasetti M, Ilari P. 1995b. Depolymerization of chitosan and substituted chitosans with the aid of a wheat germ lipase preparation. Enzyme Microbial Technol. 17:541-545.
Muzzarelli RAA.1996. Chitosan Based Dietary Foods. Carb pol. 29:309-316.
Noda K, Ohno N, Tanaka K. 1996. A water-soluble antitumor glycoprotein from Chlorella vulgaris. Planta Med. 62:423-426.
Ogata, et al. 2000. Apoptosis induced by niacin-related compounds in K562 cells but not in normal human lymphocytes. Biosci Biotechnol Biochem. 64:1142-1146.
Oberst MD, et al. 2002. Expression of the serine protease matriptase and its inhibitor HAI-1 in epithelial ovarian cancer. Clin Cancer Res. 8 :1101-1107.
Pae HO, et al. 2001. Induction of granulocytic differentiation in acute
promyelocytic leukemia cells (HL-60) by water-soluble chitosan oligomer. Leukimia Res. 25:339-346.
Palmer DF. et al. 1978. Quantitation and Fungtional Assay of T and B Cels. US
Department of Health, Education, and Welfare. Georgia. Pantaleone D, Yaspani M, Scollar M. 1992. Unusual suspectibility of chitosan to
enzymic hydrolysis. Carb Res. 237:325-332. Pandoyo AS. 2000. Pengaruh aktivitas ekstrak tanaman cincau hijau (Cycle
barbata L. Miers) terhadap proliferasi sel limfosit darah tepi manusia secara in vitro. [skripsi]. Fateta. Institut Pertanian Bogor.
Parish CR, Freeman C, Brown KJ, Francis DJ, Cowden WB. 1999. Identification
of sulfated oligosaccharide-based inhibitors of tumor growth and metastasis using Novel in vitro assays for angiogenesis and heparanase activity. Cancer Res. 59: 3433-3441
102
Park DI, et al. 2004. Wikyungtang inhibits proliferation of A549 human lung cancer cells via inducing apoptosis and suppressing cyclooxygenase-2 activity. Oncol Reports. 11:853-856.
Park JK, et al. 1999. Purification, characterization, and gene analysis of a
chitosanase (ChoA) from Matsuebacter chitosanotabidus 3001. J Bacteriol. 181:6642-6649.
Parslow TG, Bainton DF, 1992. Innate immunity. Di dalam Stites DP, Terr AI,
Parslow Tg, editor. Medical Immunology. Prentice Hall-International. Inc. California.
Patya M, et al. 2004. Allicin stimulates lymphocytes and elicits an antitumor effect: a possible role of p21ras. Internat Immunol, 16: 275-281.
Pennati M, 2005. Potentiation of paclitaxel-induced apoptosis by the novel cyclin-
dependent kinase inhibitor NU6140: a possible role for survivin down-regulation. Mol Cancer Ther. 9:1328-1337.
Prise KM, Gaal JC, Pearson CK. 1986. Increased protein ADPribosylation in
HeLa cells exposed to the anti-cancer drug methotrexate. Biochem. Biophys Acta. 887:13-22.
Puspaningrum R. 2003. Pengaruh ekstrak kayu secang (Caesalpinia sappan
Linn) terhadap proliferasi sel limfosit limpa tikus dan sel kanker K-562 (Chronic Myelogenous Leukimia) secara in vitro, [skripsi] Fateta. Intitut Pertanian Bogor.
Reed JC. 1999. Dysregulation of apoptosis in cancer. J of Clin Oncol. 17:29-41. Reyes PM, Corona FG. 1997. The bifunctional enzyme chitosanase-cellulase
produced by the gram-negative microorganism Myxobacter sp. AL-1 is highly similar to Bacillus subtilis endoglucanases. Arch Microbiol. 168:321-327.
Roe 1993. Separation based on structure. Di dalam Harris ELV and Angal S,
editor. Protein Purification Methods. IRL Press. Oxford University Press. Rochima E. 2005. Aplikasi kitin deasetilase termostabil dari Bacillus papandayan
K29-14. Asal kawah Kamojang Jawa Barat pada pembuatan kitosan. [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Roitt IM, Delves PJ. 2001. Essential Immunology. 10th edition. Blackwell Science
Ltd. London Rhoades J, Roller S. 2000. Antimicrobial action of degraded and native chitosan
against spoilage organism in laboratory media and foods. Appl Environ Microbiol. 66:80-86.
103
Rubin H, 2003. Complementary approaches the role of proteases and their natural inhibitors in neoplastic development: retrospect and prospect. Carcinogenesis. 24:803-816.
Rusmarilin H. 2003. Aktivitas anti kanker ekstrak rimpang lengkuas lokal (Alpinia
galangal (L) Sw) pada alur sel kanker manusia serta mencit yang ditransplantasi dengan sel tumor primer.[disertasi].Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sanford PT. 2003. World market of chitin and its derivatives. Di dalam Varum
KM, Domard A, Smidsrod O, editor. Advanced in Chitin Science Vol VI., Trondheim, Norway.
Saito J, et al. 1999. Crystal structure of chitosanase from Bacillus circulans MH-
K1 at 1.6A resolutioon and its substrate recognition mechanism. J Biol Chem. 272:30818-30825.
Schwartz GK, 2005. Development of cell cycle active drugs for the treatment of gastrointestinal cancers: a new approach to cancer therapy. J of Clin Oncol. 23:4499-4508.
Seino H, Tsukuda K, Shimasue Y. 1991. Properties and action pattern of a chitosanase from Bacillus sp. PI-7S. Agric Biol Chem. 55:2421-2423.
Seelenmeyer C , Wegehingel S, Lechner J, Nickel W. 2003. The cancer antigen
CA125 represents a novel counter receptor for galectin-1. J of Cell Sci. 116:1305-1318
Semenuk T, et al. 2001. Syntesis of chitooligomer-based glycoconjugates and
their binding to the rat Natural Killer cell activation receptor NKR-P1. Glycoconj . 18:817-826.
Setiawati R. 2003. Pengaruh produk daun cincau hijau Cyclea barbata L.Miers
dan Premna oblongifolia Merr. terhadap kapasitas anti oksidan limfosit mencit C3H bertumor kelenjar susu.[skripsi]. Fateta. Institut Pertanian Bogor.
Shahidi F, Arachchi JKV, Jeon YJ. 1999. Food applications of chitin and
chitosans. trends in food sci and technol. 10:37- 51 Shimosaka M, Nogawa M, Ohno Y, Okazaki M. 1993. Chitosanase from the plant
pathogenic fungus, Fusarium solani f.sp. phaseoli, purification and some properties. Biosci Biotech Biochem. 57:231-235.
Shimosaka M, et al. 1995. Production of two chitosanase from a chitosanase
assimilating bacterium, Acinetobacter sp. Strain CHB101. Appl & Environ Microbiol. 61:438-442.
Shimosaka M, et al. 2000. Molecular cloning and characterization of a
chitosanase from chitosanolytic bacterium Burkholderia gladioli strain CHB101. Appl Microbiol Biotechnol. 54:354-360.
104
Shen FH , 2002. Elucidate the possible roles of chitosan in anti-tumorigenesis and its related pathways [tesis]. (http://etdncku.lib.ncku.edu.URN=etd-0730103-180938).[29 juni 2005].
Sheng Y, Pero RW, Amiri A, Bryngelsson C. 1998. Induction of apoptosis and
inhibition of proliferation in human tumor cells treated with extracts of Uncaria tomentosa Anticancer Res. 18:3363-3368.
Shunji A, Dexin K, Kouhei M, Motomasa K. 2004. Smenospongine, a spongean
sesquiterpene aminoquinone, induces erythroid differentiation in K562 cells. Anti Cancer Drugs. 15:363-369.
Sigma Product Information. 2004. 5-Bromo-2-Deoxyuridine. Sigma Aldrich. Slingerland JM, Tannock IF. 1998. Cell proliferation and cell death. Di dalam
Tannock IF, Hill RP, editor. The Basic Science of Oncology. Edisi ke-3. McGraw-Hill. New York.
Somashekar D, Joseph R. 1996. Chitosanases : Preperties and application: a
review. Bioresource Technol. 55:34 –35. Suhartono, MT. 1994. Bioteknologi enzim termostabil. Buletin Teknol dan Industri
Pangan. Vol. 5 no 2.
Suzuki K, et al. 1986. Antitumor effect of hexa N-Acetylchytohexose and chitohexaose. Carb Res. 151:403-408.
Suzuki S, et al. 1992. Immuno-enhancing effects of N-acetylchitohexaose. . Di
dalam Brine CJ, Sandford PA,.Zikakis JP, editor. Advances in Chitin and chitosan. Elsevier. Amsterdam.
Suzuki S. 1996. Studies of biological effects of water soluble lower homolougous oligosacharide of chitin and chitosan. Fragrance J. 15:61-68.
Tanabe T, Morinaga K, Fukamizo T, Mitsutomi M. 2003. Novel chitosanase from
Streptomyces griseus HUT 6037 with transglycosylation activity. Biosci Biotechnol Biochem. 67:354-364.
Tejasari. 2000. Efek proteksi komponen bioaktif oleoresin rimpang jahe (Zingiber
officinale Roscoe) terhadap fungsi limfosit secara in vitro.[disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Tjahjono. 1999. Deteksi dini kanker. Peran pemeriksaan sitologik dan antisipasi
era pasca genom. Majalah Kedokteran Indonesia. 49:278-290. Thun, et al. 2002. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs as anticancer agents:
mechanistic, pharmacologic, and clinical issues. J of the Nat Cancer Institute. 94:252-266.
105
Thorburn J, Bender LM, Morgan MJ, Thorburn A. 2003. Caspase and serine protease-dependent apoptosis by the death Domain of FADD in normal epithelial cells. Mol Biol Cell. 14: 67-77.
Tsigos I, Martinou A, Kafetzopoulos, Bouriotis V. 2000. Chitin deacetylases: new
versatile tools in biotechnology. Tibtech Rev. 18:305-312.
Tyler KL, et al. 1995. Apoptosis. J Virol. 69:6972-6979.
Tokoro AM, et al. 1989. Protective effect of N-acetyl-chitohexaose on Listeria monocytogenes infection in mice. Microbiol Immunol. 3:357-367.
Uchida Y, Ohtakara A. 1998. Chitosanase from Bacillus species. Meth in enzymol. 161:501-506.
Valentine F, Lederman H. 2000. Lymphocyte Proliferation Assay. AIDS Clinical
Trials Group.
Vielle C, Zeikus GJ. 2001. Hyperthermophilic enzyme: sources, uses, and molecular mechanism for thermostability. Microbiol and Mol Biol Rev. 1:43.
Waladkhani AR, Clemens MR. 1998. Effect of dietary phytochemicals on cancer development. Int J Mol Med. 1:747-753.
Wang SL, Chang WT. 1997. Purification and characterization of two bifunctional chitinases/lysozymes extracellularly produced by Pseudomonas aeruginosa K-187 in a shrimp and crab shell powder medium. Appl Environ Microbiol. 63:380-386.
Wan XS, et al. 1999. Relationship between protease activity and neu oncogene expression in patients with oral leukoplakia treated with the Bowman Birk Inhibitor. Cancer Epidemiology Biomarkers & Prevention. 8:601-608.
Wispriyono B, Schmelz EM, Pelayo H, Hanada K, Separovic D. 2002. A role for
de novo sphingolipids in apoptosis of photosensitized cells. Experimen Cell Res. 279:153-165.
Wu GJ, Tsai GJ. 2004. Cellulase degradation of shrimp chitosan for the
preparation of a water-soluble hydrolysate with immunoactivity. Fisheries Sci. 70:1113-1120.
Wurm M, et al. 1998. Pentacyclic oxindole alkaloids from Uncaria tomentosa induce human enditelial cells to release a lymphocyte-proliferation-regulating factor. Planta Med. 64:701-704.
Xia G, et al. 2001. A novel chitinase having a unique mode of action from Aspergillus fumigatus YJ-407. Eur. J. Biochem. 268, 4079-4085
106
Yabuki M. 1988. Characterization of chitosanase produced by Bacillus circulans MHKI. Chitin and chitosan. Di dalam Gudmund Skjak-Braek, Thorlief Anthousen, Paul Sandford, Editor. Proceeding from the 4th Int. Conf. On Chitin & Chitosan. Norway, August 22-24.
Yeon JC, et al. 2004. Purification and characterization of chitosanase from
Bacillus sp. strain KCTC 0377BP and Its application for the production of chitosan oligosaccharides. Appl and Environ Microbiol. 70: 4522–4531.
Yoon HG, et al. 2000. Identification of essential amino acid residues for catalytic
activity. Appl Microbiol Biotechnol. 56:73-180.
Yoon HG, et al. 2001. Thermostable chitosanase from Bacillus sp. strain CK4 : its purification, characterization, and reaction pattern. Biosci Biotechnol Biochem. 65:802-809.
Yoshida T, et al. 2005. Quercetin induces gadd45 expression through a p53-
independent pathway. Oncol Rep. 14:1299-303. Yuana. 1998. Pengaruh ekstrak jamu terhadap proliferasi sel limfosit dan
beberapa alur sel kanker secara in vitro. [skripsi]. Fateta. Institut Pertanian Bogor.
Zakaria FR, Belleville F, Nabet P, Linden G. 1992a. Allergenicity of bovine casein I. Spesific lymphocyte proliferation and histamine accumulation in the mastocyte as result of casein feeding in mice. Food Agric Immunol. 4:41-51.
Zakaria FR, Belleville F, Nabet P, Linden G. 1992b. Allergenicity of bovine casein
II. Casein and its digestive enzyme hidrolizates induce lymphocyte lymphocyte proliferation and histamine accumulation in casein-free mice. Food Agric. Immunol. 4:51-62.
Zakaria FR, Meilasanti MA, Sanjaya, Pramudya SM, Richards AL. 1997. Aktivitas
proliferasi limfosit darah tepi konsumen makanan jajanan di Bogor Jawa Barat. Bul. Teknol dan Industri Pangan. 2:57-65.
Zakaria FR, Irawan B, Pramudya SM, Sanjaya. 2000. Intervensi sayur dan buah
pembawa vitamin C dan vitamin E meningkatkan system imun populasi buruh pabrik di Bogor. Bul Teknol dan industri Pangan . 11:21-27.
Zakaria FR. 2001. Pangan dan pencegahan kanker. Teknol dan Industri Pangan
12 :171-177. Zeromski J. 2002. Significance of tumor-cell receptors in human cancer.
Archivum immunologiae et therapiae experimentalis. 50:105-110.