Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin dalam Bidang Hadis Pasca ...€¦ · 2) Abdurrahman bin Auf dengan...

29
Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin dalam Bidang Hadis Pasca Nabi saw. Oleh: Daelan M.Danuri * Abstrak Hingga Nabi saw. wafat, bahkan hingga awal abad kedua hijriyah, ilmu keislaman yang sudah ada di kalangan kaum muslimin masih sebatas induk ilmunya, yaitu al-Qur’an dan hadis. Karena itu aktivitas keilmuan mereka pun sampai saat itu masih sebatas aktivitas keilmuan dalam bidang al-Qur’an dan hadis. Demikian juga sesudah Nabi wafat, walaupun volume aktivitas mereka meningkat, tetapi juga masih dalam dua bidang itu. Di antara aktivitas keilmuan yang dilakukan oleh kaum muslimin dalam bidang hadis sesudah Nabi wafat adalah: menuntut dan menyampaikan hadis, mengecek dan mencari hadis dengan mengadakan perlawatan, mencatat dan menghafal hadis, serta mengkritik hadis. A. Pendahuluan Allah menurunkan agama Islam kepada Nabi Muhammad saw. dengan wahyu pertamanya yang berbunyi: “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menjadikan. Yang telah menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Mulia. Yang telah mengajar dengan qalam. Yang mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” 1 Ayat ini menunjukkan bahwa agama Islam itu adalh agama ilmu. Oleh karena itu Islam menggerakkan manusia, terutama penganutnya, kaum muslimin, untuk menjadi orang-orang yang berilmu. Dalam konteks ini agama Islam menempuh tiga cara dalam menggerakkan kaum muslimin untuk menjadi orang-orang yang berilmu. Pertama, dengan cara memerintahkan orang-orang yang tidak berilmu untuk belajar, mempelajari, atau menuntut ilmu. Kedua, dengan cara memerintahkan orang-orang yang berilmu untuk menyampaikan atau mengajarkan ilmunya kepada orang-orang yang tidak berilmu. Dan ketiga, dengan cara menerangkan keutamaan-keutamaan ilmu, orang-orang yang berilmu, orang-orang yang menuntut ilmu, dan orang-orang yang menyampaikan ilmu. * Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 1 Al-Qur’an, Surat Al-‘Alaq (96): 1-5.

Transcript of Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin dalam Bidang Hadis Pasca ...€¦ · 2) Abdurrahman bin Auf dengan...

  • Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin dalam Bidang Hadis Pasca Nabi saw.

    Oleh: Daelan M.Danuri∗

    Abstrak

    Hingga Nabi saw. wafat, bahkan hingga awal abad kedua hijriyah, ilmu keislaman yang sudah ada di kalangan kaum muslimin masih sebatas induk ilmunya, yaitu al-Qur’an dan hadis. Karena itu aktivitas keilmuan mereka pun sampai saat itu masih sebatas aktivitas keilmuan dalam bidang al-Qur’an dan hadis. Demikian juga sesudah Nabi wafat, walaupun volume aktivitas mereka meningkat, tetapi juga masih dalam dua bidang itu. Di antara aktivitas keilmuan yang dilakukan oleh kaum muslimin dalam bidang hadis sesudah Nabi wafat adalah: menuntut dan menyampaikan hadis, mengecek dan mencari hadis dengan mengadakan perlawatan, mencatat dan menghafal hadis, serta mengkritik hadis.

    A. Pendahuluan

    Allah menurunkan agama Islam kepada Nabi Muhammad saw. dengan wahyu pertamanya yang berbunyi: “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menjadikan. Yang telah menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Mulia. Yang telah mengajar dengan qalam. Yang mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”1 Ayat ini menunjukkan bahwa agama Islam itu adalh agama ilmu. Oleh karena itu Islam menggerakkan manusia, terutama penganutnya, kaum muslimin, untuk menjadi orang-orang yang berilmu.

    Dalam konteks ini agama Islam menempuh tiga cara dalam menggerakkan kaum muslimin untuk menjadi orang-orang yang berilmu. Pertama, dengan cara memerintahkan orang-orang yang tidak berilmu untuk belajar, mempelajari, atau menuntut ilmu. Kedua, dengan cara memerintahkan orang-orang yang berilmu untuk menyampaikan atau mengajarkan ilmunya kepada orang-orang yang tidak berilmu. Dan ketiga, dengan cara menerangkan keutamaan-keutamaan ilmu, orang-orang yang berilmu, orang-orang yang menuntut ilmu, dan orang-orang yang menyampaikan ilmu.

    ∗Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 1Al-Qur’an, Surat Al-‘Alaq (96): 1-5.

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    18

    Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi saw. yang memerintahkan orang yang tidak berilmu untuk menuntut ilmu dan orang yang berilmu untuk menyampaikan ilmunya kepada orang-orang yang tidak berilmu. Demikian juga ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi saw. yang menerangkan keutamaan-keutamaan ilmu, orang yang berilmu, orang yang menuntut ilmu, dan orang yang menyampaikan ilmu. Karena itu wajar jika kaum muslimin, baik pada masa Nabi saw. maupun sesudah Nabi saw. wafat, banyak sekali yang melakukan aktivitas keilmuan.

    Sampai saat Nabi saw. wafat, bahkan sampai awal abad kedua hijriyah, ilmu keislaman yang sudah ada di kalangan kaum muslimin masih sebatas induk ilmunya, yaitu al-Qur’an dan hadis. Karena itu aktivitas keilmuan mereka pun sampai saat itu masih sebatas aktivitas keilmuan dalam bidang al-Qur’an dan hadis. Demikian juga sesudah Nabi wafat, walaupun volume aktivitas mereka meningkat, tetapi juga masih dalam dua bidang itu. Di antara aktivitas keilmuan yang dilakukan oleh kaum muslimin dalam bidang hadis sesudah Nabi wafat adalah a) menuntut dan menyampaikan hadis, b) mengecek dan mencari hadis dengan mengadakan perlawatan, c) mencatat hadis, dan d) mengkritik hadis. Empat hal inilah yang akan dibicarakan dalam tulisan ini.

    B. Mencari dan Menyampaikan Hadis

    Tidak ada seorang sahabat pun yang mengetahui semua hadis Nabi saw. Hal ini dikarena banyak sekali sahabat, terutama sesudah Nabi wafat, yang menuntut hadis kepada atau mengambil hadis dari sahabat lain atau saling mengambil hadis dari sesama sahabat untuk melengkapi pengetahuan mereka tentang hadis. Di antara para sahabat yang mengambil hadis dari sahabat-sahabat lain adalah:

    1) Abu Bakar ash-Shiddiq. Ia mengambil dari Bilal hadis: ”Hai Bilal, berpagi-pagilah kamu dalam salat subuh karena hal itu lebih baik bagimu,”2 dan dari al-Mughirah hadis tentang bagian nenek dalam warisan.3

    2) Umar ibn al-Khaththab. Ia mengambil dari Abu Bakar al-Shiddiq hadis “Kami tidak diwaris. Apa yang kami tinggalkan menjadi shadaqah,” 4 dari

    2‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, 1971), p. 97. 3Al-Hakim, Ma’rifat ‘Ulum al-Hadits, (Beirut: Al-Maktab al-Tijari, t.t.), p. 14-

    15.

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    19

    Abu Musa hadis tentang salam tiga kali yang tidak dijawab,5 dan dari al-Mughirah hadis tentang diyat pembunuhan janin karena keliru.6

    3) Usman bin Affan. Ia mengambil dari Umar ibn al-Khaththab hadis “Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui satu kalimat yang tidaklah seorang hamba mengucapkannya dengan benar kecuali hamba itu diharamkan masuk neraka, yaitu kalimat ‘Lâ ilâha illallâh’ (tidak ada tuhan [lain] kecuali Allah).”7

    4) Ali bin Abu Thalib. Ia mengambil hadis dari Abu Bakar ash-Shiddiq hadis “Tiada seorang pun yang mengerjakan suatu dosa kemudian ia wudlu seraya membaikkan wudlunya lalu salat dua raka’at dan kemudian mohon ampun kepada Allah kecuali dosanya diampuni.”8

    5) Para sahabat yang masuk Islamnya belakangan mengambil hadis dari para sahabat yang masuk Islamnya lebih dulu.

    6) Para sahabat yang hijrahnya belakangan mengambil hadis dari para sahabat yang hijrahnya lebih dulu.

    7) Parasahabat yang sedikit pergaulannya dengan Nabi saw. mengambil hadis dari para sahabat yang banyak pergaulannya dengan Nabi saw.

    8) Para sahabat yang masih kecil ketika Nabi saw. wafat mengambil hadis dari para sahabat yang sudah dewasa ketika Nabi saw. wafat.

    9) Para sahabat yang tidak terlibat dalam proses keluarnya hadis (asbâb wurûd al-hadîs) mengambil hadis dari para sahabat yang terlibat dalam proses tersebut.

    Di antara para sahabat yang saling mengambil hadis dari sesama sahabat adalah:

    1) Ali bin Abu Thalib dengan Ka’b al-Akhbar. Ka’b mengambil dari Ali hadis “Hal-hal yang merusakkan ialah meninggalkan as-Sunnah, membatal-kan bid’ah, dan menarik diri dari jama’ah.” Sedang Ali mengambil dari Ka’b hadis “Hal-hal yang menyelamatkan ialah engkau menjaga lisanmu, engkau duduk di rumah saja, dan engkau menangisi kesalahanmu.”9

    4Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari Hasyiyah al-Sindi, IV, (Mesir: Maktabah al-

    Nasiriyah, t.t.), p. 261 5Ibid., p. 88. 6Ibid., p. 264 7‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits …, p.97. 8Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, II, (Semarang: Maktabah Dahlan, t.t.), p. 446. 9Ibid., p. 96-97

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    20

    2) Abdurrahman bin Auf dengan Umar ibn al-Khaththab al-Faruq. Abdurrahman mengambil dari Umar hadis tentang rajam sedangkan Umar mengambil dari Abdurrahman hadis tentang memungut jizyah dari kaum Majusi yang berdomisili di daerah Hajar. Diriwayatkan oleh Abdurrahman dari al-Faruq, ia berkata: “Rasulullah saw. dulu merajam. Oleh karena itu kami, sebagai penggantinya, juga merajam.” Dan diriwayatkan oleh Bajalah ibn Abdah, ia berkata: “Dulu aku menjadi sekretaris Jarir ibn Mu’awiyah di Manazir kemudian datanglah surat dari Umar ibn al-Khaththab yang berbunyi: ”Lihatlah Majusi Hajar dari arahmu kemudian pungutlah jizyah dari mereka karena Abdurrahman ibn Auf memberitakan kepadaku bahwa Nabi saw. memungut jizyah dari Majusi Hajar.”10

    3) A’isyah dengan Abu Bakar. A’isyah mengambil hadis dari Abu Bakar dan Abu Bakar mengambil hadis dari A’isyah.

    4) Ibnu Abbas dengan Ibnu Umar. Ibnu Abbas mengambil hadis dari Ibnu Umar dan Ibnu Umar mengambil hadis dari Ibnu Abbas.

    5) A’isyah dengan Ibnu Abbas. A’isyah mengambil hadis dari Ibnu Abbas dan Ibnu Abbas mengambil hadis dari A’isyah.

    6) Jabir bin Abdullah dengan Abu Sa’id al-Khudri. Jabir mengambil hadis dari Sa’id al-Khudlri dan Abu Sa’id mengambil hadis dari Jabir.

    7) Anas bin Malik dengan Jabir bin Abdullah. Anas mengambil hadis dari Jabir dan Jabir mengambil hadis dari Anas.

    8) Jabir bin Abdullah dengan Ibnu Abbas. Jabir mengambil hadis dari Ibnu Abbas dan Ibnu Abbas mengambil hadis dari Jabir.

    9) Ibnu Abbas dengan Abu Sa’id al-Khudri. Ibnu Abbas mengambil hadis dari al-Khudri dan al-Khudri mengambil hadis dari Ibnu Abbas.

    Para sahabat sadar bahwa sesudah Rasulullah saw. wafat tugas membimbing umat manusia, khususnya kaum muslimin, pindah ke pundak mereka. Oleh karena itu, selain selalu berusaha menambah pengetahuan untuk diri mereka sendiri, mereka juga menyampaikan ilmunya kepada generasi penerus mereka, yaitu tabi’in. Sebagaimana yang dilakukan Nabi kepada mereka, mereka pun memerintahkan para tabi’in untuk menuntut ilmu, menghafal ilmu, menghadiri majlis-majlis ulama dan mengambil ilmu dari mereka supaya pada saatnya nanti mereka dapat menggantikan para sahabat membimbing umat manusia.

    10Ibid.

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    21

    Umar Ibn al-Khaththab berkata: “Perdalamlah ilmu pengetahuanmu sebelum kamu memimpin.”11 Ia juga berkata: “Pelajarilah al-farâ’id dan as-Sunnah sebagaimana kamu mempelajari al-Qur’an.”12 Ibnu Mas’ud berkata: ”Teruslah kamu menuntut ilmu sebelum ilmu itu tercabut. Tercabutnya ilmu ialah dengan meninggalnya para ahli ilmu.”13 Ia melarang bid’ah dan memerintahkan mengikuti Sunnah. Lalu ia berkata: ”Sederhana dalam Sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah.”14Ali bin Abi halib berkata: ”Saling berkunjunglah kamu dan mudzâkarah-kanlah hadis karena jika hal itu tidak kamu lakukan niscaya hadis akan lenyap.”15

    Pernah dalam suatu majlis pengajian, ‘Amr ibn ‘Ash melihat anak-anak dilarang masuk kemudian ia berkata: “Mengapa kamu menyingkirkan anak-anak ini? Janganlah bengitu. Lapangkanlah majlis untuk mereka, perdengarkanlah hadis kepada mereka, dan pahamkanlah mereka kepadanya. Mereka adalah anak-anak yangkelak akan menjadi orang tua.” 16 Ibn ‘Abbas menganjurkan murid-muridnya untuk me-mudzâkarah-kan hadis. Ia pernah berkata: “Mudzâkarah-kanlah hadis itu supaya ia tidak hilang darimu sebab nasib hadis itu tidak sebaik nasib al-Qur’an. Jika hadis ini tidak kamu mudzâkarah-kan maka hadis ini akan hilang darimu. Jangan sekali-kali ada di antara kamu yang mengatakan, ‘Kemarin saya sudah menyampaikan hadis. Oleh karena itu pada hari ini saya tidak akan menyam-paikannya,’ Tetapi sampaikanlah hadis pada hari kemarin, pada hari ini, dan juga pada esok hari.” Ia juga pernah berkata: “Jika kamu mendenganr sesuatu dari kami maka mudzâkarah-kan ia di antara kamu.” 17

    Abu Sa’id al-Khudri menaruh rasa sayang yang sangat dalam kepada para penuntut ilmu (tullâb al-‘ilm). Ia menyelenggarakan majlis-majlis pengajaran untuk mereka. Ia sering berkata: “Perbincangkanlah hadis karena memperbincangkan hadis itu dapat saling mengingatkan antara bagian yang satu terhadap bagian yang lain.”18 Abu Umamah al-Bahili memerintahkan

    11Ibnu Hajar, Fath al-Bari, I, (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, t.t.), p. 175. 12Ibn Abd al-Barr, Jami’u Bayan al-‘Ilm, II, (Madinah: Maktabah Salafiyah, t.t.),

    p. 34. 13Al-Hakim, Ma’rifat ‘Ulum …, p. 141. 14Ibid. 15Al-Khathib al-Baghdadi, Syarafu Ashhab al-Hadits, (Beirut: Dar al-Kutub al-

    ‘Ilmiyah, 1975), p. 99. 16Ibid. 17Ibid. 18Ibid., p. 100.

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    22

    murid-muridnya untuk menyampaikan hadis yang telah diterima darinya kepada orang lain. Ia berkata: “Majlis ini adalah majlis penyampaian Allah swt. kepadamu. Rasulullah saw. telah menyampaikan risalah yang diutuskan kepadanya. Oleh karena itu sampaikanlah olehmu hadis yang kamu terima dariku yang paling baik yang pernah kamu dengar.” Ada riwayat lain yang mengatakan bahwa suatu hari ia menyampaikan banyak hadis kepada murid-muridnya. Setelah diam kemudian ia berkata: “Pahamilah baik-baik hadis yang kamu dengar kemudian sampaikanlah hadis yang kamu dengar itu sebagai-mana yang telah kusampaikna kepadamu.” 19

    Demikianlah, para sahabat saling mewasiatkan untuk menghafal dan me-mudzâkarah-kan hadis dan menganjurkan murud-muridnya untuk melakukan hal yang sama dan menghimbau mereka untuk menyampaikan hadis yang mereka dengar dari sesama mereka dengar kepada orang lain. Sebagaimana yang yang telah dilakukan oleh para sahabat kepada para tabi’in, maka para tabi’in pun mewasiatkan kepada anak-anak dan murid-murid mereka untuk menghafal hadis dan menghadiri majlis-majlis ilmu. Urwah misalnya. Ia mewasiatkan hal ini kepada anak-anaknya sebagaimana juga kepada murid-muridnya.20 ‘Alqamah memberikan semacam surprise kepada murid-muridnya untuk me-mudzâkarah-kan dan mempelajari hadis.21 Demikian pula Abdurrahman ibn Abi Layla. Ia pernah berkata: “Menghidup-hidupkan hadis itu caranya ialah dengan me-mudzâkarah-kannya. Oleh karena itu mudzâkarah-kanlah ia.”22 Banyak ulama yang mengatakan: “Mudzâkarah-kanlah hadis karena dengan di-mudzâkarah-kan suatu hadis itu akan menggelorakan hadis-hadis yang lain.”23

    Untuk memberikan semangat kepada anak-anaknya menghafal hadis, sebagian orang tua ada yang menjanjikan hadiah jika mereka dapat menghafal hadis dalam jumlah tertentu. Diriwayatkan oleh an-Nadr ibn al-Hars, ia berkata: “Ayahku pernah berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, tuntutlah hadis. Jika nanti kamu mendengar sebuah hadis lalu hadis tersebut kamu hafal maka ayah akan memberikan hadiah satu dirham

    19Ibid. 20‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, 1391 H/1971 M), p. 100. 21Al-Khatib al-Bagdadi, Syarafu Ashab al-Hadis, p. 100. 22Ibid. 23Ibid.

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    23

    kepadamu.’ Kemudian berangkatlah aku menuntut hadis karena iming-iming itu.”24

    Fakta historis telah memberikan banyak berita kepada kita yang membukti-kan bahwa betapa besarnya minat para penuntut ilmu untuk menuntut ilmu hadis, baik karena motivasi internal maupun karena kecenderungan pribadi. Sampai-sampai, karena senangnya kepada hadis, sebagaian penuntut ilmu rela mengeluarkan beaya yang cukup banyak untuk mendapatkan satu atau dua buah hadis saja.25 Ini membuktikan bahwa kompetisi ilmiah yang menggembirakan di antara para penuntut hadis benar-benar terjadi pada saat itu. Pada saat itu, yang dianggap sebagai murid yang cerdas ialah murid yang mampu menghafal sejumlah hadis dalam bab-bab tertentu. Murid yang mulia ialah murid yang bergegas mendatangi sahabat dan sekaligus mengambil hadis darinya sebelum ia wafat. Murid yang beruntung ialah murid yang mendapat penghargaan dari dan dicintai oleh gurunya, dapat belajar secara privat kepadanya, dapat mencatat hadis darinya, dapat membaca hadis di hadapannya, dapat menyodorkan bacaan kepadanya, dan dapat men-tashîh suatu hadis di hadapannya. Untuk mencapai tingkatan-tingkatan itulah para ahi hadis bersungguh-sungguh dalam menuntut hadis dan berkompetisi antara yang satu dengan yang lain.26 Begitu melimpahnya para penuntut hadis, sampai-sampai ada seorang sahabat yang menaiki atap rumahnya ketika meriwa-yatkan hadis agar semua murid dapat melihatnya dan ia dapat meriwayat-kan hadis kepada semua muridnya itu.27

    Anas ibn Sirin berkata: “Saya datang ke Kufah sebelum peristiwa Jamajim. Di sana saya melihat 40.000-an orang yang menuntut hadis.28 Dalam riwayat lain ditambahkan, “400-an orang di antaranya pengetahuannya benar-benar sudah mendalam.29 Sebelum awal perempat akhir abad pertama hijriyah, Kufah memang merupakan pusat studi dan menjadi incaran para ahli hadis. Namun hal ini tidak berarti bahwa di kota-kota lain tidak terdapat pusat studi semacam itu sebab di sana ada juga namun tidak sebesar yang ada di Kufah. Misalnya, di Damaskus ada pusat studi yang dipimpin oleh Abu ad-Darda’ yang menampung hingga

    24Ibid., p. 90. 25‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis, p. 100. 26Ibid. 27Ibid. 28Ibid. 29Ibid.

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    24

    1.500-an murid.30 Demikian pula di Hims, Halab, Fustat, Basrah,Yaman, di samping tentu saja Makkah dan Madinah. Pada saat itu Madinah dapat diilustrasikan sebagai ‘taman ilmu’ yang dapat dimanfaatkan oleh para murid sebagai tempat menuntut berbagai jenis ilmu.31

    Pada masa pemerintahan Abdul Malik ibn Marwan, khalifah Muawiyah, Masjidil Haram penuh dengan para penuntut ilmu sampai-sampai sang khalifah terkagum-kagum. Hal ini disebabkan karena ketika berkunjung ke sana beliau mendapati komunitas ilmiah (halaqah) yang tak terhitung banyaknya, baik yang terdiri dari anak-anak maupun para penuntut ilmu pada umumnya. Beliau sempat bertanya kepada guru-guru yang mengajar di berbagai halaqah itu dan ternyata di antaranya ada ‘Ata, Sa’id ibn Jubayr, Maymun ibn Mihran, Makhul, dan Mujahid. Oleh karena itu kemudian beliau menghimbau anak-anak Quraysy untuk menuntut dan menjaga ilmu.32

    Allah mentaqdirkan umat Islam mempunyai guru-guru yang mempunyai ilmu, adab, dan dasar-dasar pendidikan yang cukup memadai yang tumbuh pada masa Rasulullah saw. dan masa sahabat. Pada masa-masa tersebut mereka sudah mengajar dengan sungguh-sungguh dan memberikan perhatian yang begitu besar kepada generasi barunya. Misalnya, Ismail ibn Raja’. Ia mengumpulkan anak-anak dan mengajarkan hadis kepada mereka.33 Demikian pula al-A’masy. Ketika pada suatu hari ia sedang mengajarkan hadis kepada anak-anak, orang yang lewat berkata: “Apakah kamu mengajarkan hadis kepada anak-anak ini?” Beliau menjawab: “Anak-anak inilah yang akan menjaga agamamu kelak.”34 Mutarrif ibn Abdillah berkata kepada murid-muridnya: “Kalian semua lebih saya cintai daripada keluargaku sendiri.”35 Sufyan as-Sauri berkata: “Jika murid-murid itu tidak datang kepadaku [untuk belajar] maka saya akan mendatangi mereka ke rumahnya [untuk mengajar di sana].”36

    Sebagian guru memang ada yang melakukan hal semacam itu. Mereka mendatangi murid-murid di rumahnya untuk mengajar hadis. Di antara yang berbuat seperti itu adalah Waki’. Waktu yang semestinya

    30Ibid. 31Ibid. 32Ibid. 33Ibid. 34Al-Khatib al-Bagdadi, Syarafu Ashab al-Hadis, p. 89. 35Ibid., p. 103. 36Ibid.

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    25

    digunakan untuk tidur ia gunakan untuk mendatangi suatu kaum seraya mengajarkan dan menyampaikan hadis kepada mereka dengan penuh rasa tawadu’. Ia berkata: “Mereka adalah orang-orang yang sibuk yang tidak memiliki waktu untuk datang [belajar hadis] kepadaku.”37 Demikian pula, ketika al-Walid ibn ‘Utbah mengajarkan beberapa musannaf al-Walid ibn Muslim di masjid Bâb al-Jâbiyah, tiba-tiba ada seseorang yang datang. Orang tersebut sudah terlambat sekitar seperempat atau sepertiga majlis. Kemudian al-Walid mengulangi lagi pelajarannya dari awal. Namun ternyata orang itu pada keesokan harinya terlambat lagi dan esoknya lagi terlambat lagi. Kamudian al-Walid ibn ‘Utbah bertanya kepada orang tersebut mengenai keterlambatannya itu. Orang itu menjawab: “Saya adalah orang yang tidak mampu. Saya berjualan di kedaiku di Bait Lihya. Jika saya tidak berbelanja pagi-pagi maka toko tempat saya berbelanja pasti sudah tutup. Saya harus pergi ke sana dengan berlari. Jika tidak demikian maka penghidupanku akan terhenti.” Oleh karena itu, al-Walid mengajar di majlis seperti biasanya namun pada waktu yang lain ia membawa kitabnya ke Bait Lihya untuk mengajar orang itu di kedainya.38

    Guru mengajarkan kepada murid perihal hadis, adab belajar hadis, dan juga penghormatan dan pemuliaan (ta’zîm) terhadap hadis. Halaqah-halaqah ilmu menempati kedudukan yang cukup tinggi dalam masyarakat. Para murid pun menghormati para gurunya dan berkhidmat kepada mereka ketika mengambil hadis dari mereka. Perilaku murid terhadap guru pun sangat sopan dan penuh rasa hormat, baik ketika bertemu muka maupun ketika dalam forum diskusi. Banyak sekali nasihat (mau’izah) yang diberikan oleh para sahabat dan para tabi’in kepada para muridnya.39

    C. Mengecek dan Mencari Hadis dengan Melawat

    Setelah Yaman, Kufah, Basrah, Khurasan, Syam, Mesir, Jurjan, dan beberapa negeri lainnya masuk wilayah Islam para sahabat tidak berkumpul lagi di Makkah dan Madinah semata melainkan sudah menyebar ke berbagai wilayah Islam yang baru. Sebagian sahabat menuju ke berbagai negeri tersebut ada yang karena tugas kenegaraan maupun karena tugas agama dalam arti memenuhi panggilan tugas dakwah. Ada

    37‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis, p. 103. 38Ibid. 39Ibid.

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    26

    yang tinggal beberapa lama sementara yang lain menetap hingga akhir hayatnya.

    Dengan menyebarnya para sahabat ke berbegai negeri tersebut maka pada gilirannya hadis Nabi saw. pun ikut tersebar. Tidak ada seorang sahabat pun yang mengetahui semua hadis. Oleh karena itu tidak mungkin dapat menuntut semua atau banyak hadis hanya kepada satu orang sahabat saja. Jika seseorang ingin mendapatkan hadis dalam jumlah yang banyak maka konsekwensinya kita harus mendapatkannya dari banyak atau bahkan semua sahabat dan harus mau menempuh banyak perjalanan jauh melawat ke berbagai negeri tersebut. Apalagi jika ingin memeperoleh hadis secara langsung dari para sahabat tadi. Ketika Rasulullah saw. masih hidup, seseorang yang meragukan kebenaran otentisitas lafal suatu hadis yang disampaikan kepadanya atau otentisitas/ketepatan hadis yang dimilikinya dapat secara langsung mengeceknya kepada Nabi saw. Akan tetapi sepeninggal beliau cara demikian jelas tidak kondusif lagi. Satu-satunya cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengecek kepada para sahabat dengan konsekwensi yang sama, yakni harus mau melakukan perjalanan jauh melawat ke berbagai negeri tersebut. Cara lain jelas tidak ada. Oleh karena itu maka tidak sedikit dari para tabi’in bahkan para sahabat yang melakukan hal itu.

    Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Bagdadi dari ‘Ata ibn Abi Rabah, ia berkata: “ Abu Ayub al-Ansari pernah keluar [dari Madinah] untuk menemui ‘Uqbah ibn ‘Amir untuk menanyalan suatu hadis yang didengarnya dari Rasulullah saw. karena yang mendengar hadis tersebut hanya tinggal dirinya dan ‘Uqbah. Sesampai Abu Ayub di rumah Maslamah ibn Makhlad al-Ansari, gubernur Mesir waktu itu, dan Maslamah diberi tahu oleh pembantunya mengenai kedatangannya maka Maslamah kemudian bergegas menyambutnya seraya emrangkulnya. Selanjutnya Maslamah bertanya: “Apa gerangan yang membuatmu datang ke sini wahai Abu Ayyub?” Ia menjawab: “Ada sebuah hadis dari Rasulullah saw. yang pada saat ini orang yang mendengar bersamaku langsung dari Rasulullah saw. hanyalah tinggal saya dan ‘Uqbah. Oleh karena itu utuslah bersamakau seseoarang yang dapat menunjukkan jalan ke rumahnya.” ‘Ata berkata: “Kemudian Maslamah mengutus seseorang bersamanya yang dapat menunjukkah jalan menuju ke rumah ‘Uqbah. Utusan tersebut segera memberi tahu ‘Uqbah dan ‘Uqbah pun bergegas keluar untuk menyambutnya dan merangkulnya seraya bertanya: “Apa gerangan yang membuatmu datang ke sini ahai Abu Ayyub?” Ia

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    27

    menjawab: “Ada sebuah hadis dari Rasulullah saw. yang pada saat ini orang yang mendengar langsung dari Rasulullah saw. hanyalah tinggal saya dan kamu, yaitu sebuah hadis tentang menutup aib seorang mukmin.” ‘Uqbah berkata: “Memang benar, saya memang mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa menutupi aib seorang mukmin maka Allah akan menutupi aib orang tersebut di hari kiamat kelak.” Abu Ayyub berkata kepada ‘Uqbah: “Kamu benar.” Kemudian Abu Ayyub kembali ke kendaraannya untuk pulang ke Madinah.40 Abu Ayyub pernah meragukan ketepatan lafaz hadis yang dimilikinya. Oleh karena itu ia menempuh perjalanan jauh dari Madinah ke Mesir untuk mengecek ketepatan lafaz hadis tersebut kepada ‘Uqbah ibn ‘Amir.

    Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Bagdadi dari ‘Abdullah ibn Muhammad ibn’Aqil Bahwasannya Jabir meriwayatkan kepadanya bahwa ia mendengar sebuah hadis ari salah seorang sahabat Rasulullah saw. ia berkata: “Lalu saya membeli seekor unta. Saya bergegas pergi ke Syam dengan memakan waktu satu bulan. Ternyata orang itu adalah Abdullah ibn Unaiys. Kemudian saya menyuruh seseorang untuk mengatakan kepadanya bahwa Jabir ada di pintu. Utusan itu kembali lalu bertanya: “Jabir ibn ‘Abdullah?” saya menjawab: “ Benar.” Kemudian ‘Abdullah ibn Unaiys keluar menemuiku seraya merangkulku. Saya berkata: “Ada sebuah hadis yang sampai kepadaku tetapi saya belum pernah mendengarnya [dari sahabat yang mendeengar langsung dari Nabi saw.]. Saya khawatir jika saya dan kamu mati.” Abdullah ibn Unays berkata: “Saya mendengar Rasululah saw. bersabda, ‘Allah akan menggiring [manusia sebagai] hamba-hamba-Nya dalam keadaan telanjang, tak berkhitan, dan buhm. Saya bertanya: “Apakah yang dimaksud dengan buhm itu?” Beliau menjawab: “Mereka tidak memiliki sesuatu pun. Kemudian Dia memangggil mereka dengan suara yang dapat didengar oleh orang yang jauh –saya kira beliau bersabda, ‘seperti yang didengar oleh orang yang dekat’— kemudian berfirman: “Akulah sang Raja Diraja. Tidak seyogyanya seorang pun penghuni surga memasuki surga dan seorang penghuni neraka memohonnya dengan suatu kezaliman. Dan tidak seyogyanya seorang penghuni neraka memasuki neraka dan seorang penghuni surga memohonnya dedngan suatu kezaliman.” Saya bertanya: “Dan bagaimana kita dapat menghadap Allah dalam keadaan telanjang

    40al-Khatib al-Bagdadi, ar-Rihlah fi Talab al-Hadis, (Beirut : Dar al-Kutub al-

    ‘Ilmiyah, 1395 H/1975 M), p. 118-20.

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    28

    dan tidak memiliki sesuatu pun?” Beliau menjawab: “Dengan segala kebaikan dan keburukan.”41

    Demikian maraknya perlawatan untuk memperoleh hadis di kalangan tabi’in maupun tabi’ at-tabi’in sampai-sampai ada di antara mereka yang rela pergi jauh hanya untuk mencari sebuah hadis yang ada pada seorang sahabat yang ingin ia dengar secara langsung darinya. Alasannya adalah sahabatlah yang mendengar hadis tersebut secara langsung dari Rasulullah saw.

    Diriwayatkan dari al-Khatib al-Bagdadi dari Abu al-‘Aliyah, ia berkata: “Kami telah mendengar suatu riwayat dari para sahabat Rasulullah saw. di Basrah tetapi kami merasa belum puas sebelum kami pergi ke Madinah guna mendengar riwayat tersebut secara langsung dari mulut para sahabat yang ada di sana.”42 Asy-Sya’bi juga pernah pergi jauh hanya untuk mendapatkan tiga buah hadis yang diceritakan oleh seseorang kepadanya. Kemudian dia berkata kepada ‘Ali: “Saya telah bertemu dengan orang yang bertemu dengan Rasulullah saw.”43 Diriwayatkan oleh az-Zuhri dari Sa’id ibn al-Musayyab, ia berkata: “ Saya pernah berjalan hingga tiga hari hanya untuk mendapatkan sebuah hadis.”44 Abu Qilabah pernah bermukim di Madinah padahal ia tidak mempunyai keperluan lain selain hanya untuk menemui seseorang yang memiliki sebuah hadis yang ingin ia dengar secara langsung darinya.45 Ada suatu riwayat yang mengatakan bahwa Masruq, yang terkenal sebagai orang yang banyak melakukan perlawatan, pernah melakukan perlawatan menyusuri sebuah sungai hinga asy-Sya’bi berujar: “Saya tidak mengetahui seorang pun yang paling giat mencari hadis ke berbagai kawasan selain Masruq.”46 Ada riwayat lain dari asy-Sya’bi yang menyatakan bahwa pada suatu hari ia memberikan sebuah hadis kepada seseorang seraya berkata: “Saya berikan hadis itu kepadamu tanpa meminta imbalan apapun padahal ada seseorang dengan mengendarai unta pergi ke Madinah hanya untuk mendapatkan kurang dari hadis itu.”47

    41Ibid., p. 100-11 42al-Khatib al-Bagdadi, al-Kifayah fi ‘Ilm ar-Riwayah, (Mesir : Dar al-Kutub al-

    Hadisah, t.t.), p. 402. 43‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis, p. 131. 44Ibid. 45Ibid., p. 132. 46Ibn ‘Abd al-Barr, Jami’ Bayan al-‘Ilm, I, p. 94. 47Ibid.

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    29

    Kalangan para sahabat pun tidak kurang semangatnya dari para tabi’in dalam mencari dan melakukan perlawatan untuk mendapatkan ilmu. Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Bagdadi dari Abdullah ibn Mas’ud, ia berkata: “Seandainya saya tahu ada seseorang yang lebih mengetahui Kitabullah selain daripadaku yang tempat tinggalnya masih dapat saya capai dengan mengendarai unta maka aku pasti akan mendatangi orang itu [untuk belajar kepadanya].”48 Secara kontinyu, para sahabat selalu memberikan apresiasi positif kepada para tabi’in untuk menuntut ilmu yang pada gilirannya para tabi’in merasa senang melakukan perlawatan. Untuk itu ‘Amir asy-Sya’bi pernah berkata,: “Seandainya ada seseorang yang melaku-kan perjalanan dari ujung negeri Syam sampai ujung negeri Yaman hanya untuk mendengar sebuah kata hikmah maka menurut pendapatku perjalannya itu tidak sia-sia.”49 Kenyataannya mereka memang banyak melakukan perlawatan kepada kalangan sahabat dengan berpendapat bahwa hal itu sama sekali tidak sia-sia.

    Diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Kasir ibn Qays, ia berkata; “Saya pernah duduk di sisi Abu ad-Darda di masjid Damskus kemudian ada seseorang yang datang menghampirinya dengan berkata: “Wahai Abu ad-Darda, saya ini datang kepadamu dari Madinah, kota Rasulullah saw., untuk mendapatkan sebuah hadis yang, menurut pemberitaan orang, engkaulah orangnya yang menceritakannya dari Rasulullah saw.” Abu ad-Darda lalu bertanya: “Dagangan apa saja yang kamu bawa?” Ia menjawab: “Saya tidak membawa dagangan apa pun.” Abu ad-Darda bertanya lagi: “Apakah tidak ada keperluan lain selain itu?” Ia menjawab: “Tidak.” Kemudian Abu ad-Darda berkata: “Sungguh, saya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa menempuh suatu perjalanan untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan orang itu menempuh jalan menuju ke surga, para malaikat pun benar-benar menaungkan sayapnya karena rasa senangnya kepada penuntut ilmu, dan orang itu akan benar-benar dimohonkan ampunan dari semua dosanya oleh manusia yang ada di bumi bahkan oleh ikan yang ada dalam air. Sesunguhnya kelebihan seorang ‘alim dari seorang ‘abid itu bagaikan kelebihan bulan dari bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah ahli waris para nabi. Sesungguhnya para nabi itu tidak mewariskan dinar ataupun dirham.

    48al-Khatib al-Bagdadi, al-Kifayah fi ‘Ilm ar-Riwayah, p. 402. 49Ibn ‘Abd al-Barr, Jami’ Bayan al-‘Ilm, I, p. 95.

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    30

    Mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil ilmu itu maka ia telah mengambil bagian yang banyak.”50

    Diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Zirr ibn Hubaysy, ia berkata: “Saya pernah mendatangi Sofwan ibn ‘Assal al-Muradi dan dia berkata, ‘Alasan apa yang membuatmu datang ke sini?’ Saya menjawab: “Saya ingin menuntut ilmu.” Ia berkata: “Sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Tiada seorang pun yang keluar dari rumahnya untuk menuntut ilmu kecuali para malaikat menaungkan sayap-sayapnya kepada orang itu karena merasa senang terhadap apa yang diperbuatnya itu.”51

    Selain dari para ulama yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi ulama yang juga melakukan perlawatan untuk mengecek atau mencari hadis. Misalnya, Ibn Syihab az-Zuhri melawat ke Syam untuk menemui ‘Ata’ ibn Yazid, Muhayriz, dan Ibn Haywah. Yahya ibn Abi Kasir pernah melawat ke Madinah untuk menemui anak-anak para sahabat di sana. Muhammad ibn Sirin pernah melawat ke Kufah guna bertemu deengan ‘Ubaydah, ‘Alqamah, dan ‘Abdurrahman ibn Abi Layla. Al-Awza’i melawat ke Yamamah (tempat tingal Ibn Abi Kasir) dan ke Basrah. Sufyan as-Saury melawat ke Yaman lalu ke Basrah. ‘Isa ibn Yunus pernah melawat ke Syam (tempat tinggal al-Auza’i). Juga, Syu’aib ibn Abi Hamzah pernah melawat ke Syam untuk menemui az-Zuhri ketika beliau masih tinggal di sana.52

    D. Mencatat Hadis

    Ada banyak hadis shahih yang menerangkan bahwa Nabi saw. memberi izin, sekurang-kurangnya kepada sahabt-sahabat tertentu, untuk mencatat hadis beliau. Oleh karena itu mudah dimengerti kiranya jika pada masa Nabi saw. sudah ada sahabat yang sudah mencatat hadis. Namun demikian harus diakui bahwa pada masa itu kebanyakan sahabat memang membenci pencatatan hadis karena khawatir akan tercampur dengan al-Qur’an.

    Akan tetapi dengan telah dikumpulkannya al-Qur’an dalam satu mushaf pada masa Abu Bakr dan digandakannya mushaf tersebut pada masa Usman menjadi beberapa naskah dan dikirimkannya naskah-naskah

    50Ibn Majah, Sunan ibn Majah, I, p. 81. 51Ibid., p. 82. 52‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis, p.133-4.

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    31

    salinannya ke berbagai negeri maka rasa kebencian para sahabat terhadap pencatatan hadis dari waktu ke waktu semakin hilang. Seiring dengan semakin hilangnya kebencian para sahabat terhadap pencatatan hadis itu maka rasa senang mereka terhadap pencatatan hadis dari waktu ke waktu menjadi makin besar. Pada gilirannya banyak sahabat yang mencatat hadis. Mereka itu antara lain :

    1. Abu Bakr al-Siddiq. Ia pernah mengirim kepada Anas ibn Malik sepucuk surat yang berisi zakat-zakat yang sudah difardukan oleh Rasulullah saw.53

    2. ‘Umar ibn al-Khattab. Nafi’ meriwayatkan dari Umar bahwa ia menemukan sebuah sahifah pada tangkai pedang ‘Umar yang berisi hadis tentang zakat binatang ternak.54

    3. ‘Ali ibn Abi Thalib. Ia mempunyai sebuah sahifah yang sangat terkenal yang ia gantungkan pada tangkai pedangnya. Sahifah itu berisi hadis-hadis tentang umur-umur unta untuk diyat, tentang beberapa jinayat penganiayaan, tentang kemuliaan kota Madinah, dan tentang tidak diqisasnya orang Islam yang membunuh orang kafir.55

    4. Ibn Mas’ud. Diriwayatkan oleh ibn ‘Abd al-Barr dari Ma’n, ia berkata: “’Abdurrahman ibn ‘Abdullah ibn Mas’ud pernah memper-lihatkan sebuah catatan dan ia bersumpah kepadaku bahwa catatan itu tulisan tangan ayahnya”.56

    5. Sa’d ibn ‘Ubadah al-Ansari. Ia meriwayatkan beberapa buah sahifah yang berisi sejumlah hadis Rasulullah saw. Anak sahabat ini telah meriwayatkan dari catatan ayahnya sebagian perbuatan-perbuatan Rasulullah saw. Diriwayatkan oleh al-Bukhari bahwa sahifah-sahifah ini merupakan satu naskah dari sahifah ‘Abdullah ibn abi Awfa.57

    6. Abu Rafi’. Ia mempunyai sebuah catatan yang berisi hadis istiftâh al-salâh. Ia menyerahkan catatannya ini kepada Abu Bakr ibn ‘Abdirrahman ibn al-Haris, salah seorang fuqaha’ tujuh.58

    53Ibid. p. 190. Al-Khatib al-Bagdadi, Taqyid al-‘ilm. (T.t.p. : Dar Ihya’ al-

    sunnah. 1974), p. 87. 54Ibid. 55Ibid. Al-Khatib al-Bagdadi, Taqyid al-‘Ilm, p. 88. 56Ibn ‘Abd al-Barr, Jami’u Bayan al-‘Ilm, I, p. 86. 57Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis, p. 191. 58Ibid.

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    32

    7. Asma’ binti Unays. Ia mempunyai sebuah catatan yang berisi sebagian dari hadis-hadis Nabi saw.59

    8. Muhammad ibn Maslamah al-Ansari. Diriwayatkan oleh al-Ramahur-muzi dari Muhammad ibn Sa’id, ia berkata: “Ketika Muhammad ibn Maslamah meninggal, kami mendapati di tangkai pedangnya ada tulisan: ‘Dengan nama Allah Yang Maha Penyayang lagi Pengasih. Aku mendengar Rasul Allah saw bersabda: “Sesungguhnya bagi Tuhanmu pada sisa umurmu ada tiupan-tiupan. Maka palingkanlah perhatianmu kepada-Nya”.60

    9. Sabi’ah al-Aslamiyah. Ia pernah menulis surat kepada ‘Abdullah ibn ‘Utbah, meriwayatkan dari Nabi, bahwa Nabi saw memberi izin kepadanya untuk kawin lagi beberapa hari sesudah meninggalnya suaminya, sesudah ia melahirkan kandungannya.61

    10. Abu Hurayrah. Ia memelihara beberapa buah catatan yang berisi hadis-hadis yang diterimanya dari Rasulullah saw. Diriwayatkan oleh ibn ‘Abd al-Barr dari Fudayl ibn Hasan ibn ‘Amr ibn Umayyah al- Damri dari ayahnya, ia berkata: “Saya pernah memperbincangkan sebuah hadis dihadapan abu Hurayrah lalu ia mengingkarinya. Kemudian saya berkata: “Sesungguhnya saya telah mendengarnya darimu”. Lalu ia berkata: “Jika kamu mendengarnya diriku tentu ia tertulis dalam catatanku”. Lalu ia menggandeng tanganku ke rumahnya untuk memperlihatkan kepadaku catatan-catatan hadis Rasulullah yang banyak. Lalu ia menemukan hadis itu seraya berkata: “Sudah kukatakan kepadamu, jika saya menyampaikan hadis ini kepadamu tentu ia tertulis di dalam catatanku”.62

    11. Samurah ibn Jundab. Ia mengumpulkan banyak hadis di dalam sebuah naskah. Hadis-hadis di dalam naskahnya itu diriwayatkan darinya oleh anaknya, Sulayman.63

    12. ‘Abdullahh ibn ‘Amr ibn al-‘As. Ia telah mencatat hadis sejak Nabi saw masih hidup. Ia berkata: ‘Saya mencatat segala sesuatu yang saya dengar dari Rasulullah saw untuk kemudian saya hafalkan. Lalu

    59Ibid. p. 192. 60Al-Ramahurmuzi, Al-Muhaddis al-Fasil Bayn al-Rawi wa al-Wa’i. (Beirut: Dar

    al-Fikr, 1391 H/1971 M), p. 112. 61Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis, p. 192. 62Ibn ‘Abd al-Barr, Jami’u bayan al-‘Ilm, I, P. 89. 63‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis, p. 193.

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    33

    orang-orang Quraysy melarangku dengan mengatakan: “Kamu mencatat segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah saw. padahal Rasulullah saw. itu manusia juga, yang ketika berbicara kadang-kadang dalam keadaan marah, kadang-kadang dalam keadaan senang”. Oleh karena itu saya menghentikan kegiatan pencatatanku. Kemudian saya ceritakan hal itu kepada Rasulullah saw. Lalu Rasulullah saw. menunjuk ke mulutnya dengan jarinya dengan berkata: “Catatlah! Demi Tuhan yang diriku ada di dalam tangan-Nya, tidak [ada yang] keluar darinya kecuali kebenaran”.64 Rasulullah saw. sengaja memberi izin kepadanya untuk mencatat hadis karena ia pandai menulis. Karena itu ia banyak mencatat hadis. Abu Hurayrah berkata: “Tidak seorang pun dari sahabat Rasulullah saw. yang lebih banyak hadisnya selain ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘As karena ia mencatat sedangkan saya tidak”.65 Ia menamai catatan hadisnya dengan Al-Sahîfah al-Sâdiqah. Dengan penamaan itu seolah-olah ia hendak mengatakan bahwa hadis-hadis yang tercatat di dalamnya itu merupakan hadis-hadis yang benar-benar diriwayatkan dari Nabi saw.66 Sahifah ini tinggi sekali nilainya di mata ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘As, sampai-sampai ia berkata: “Tidak yang lebih menyenang-kanku di dalam hidup ini kecuali as-Sâdiqah dan al-What ”. 67 Sahifah ini disimpan sendiri olehnya di dalam sebuah bumbung karena takut hilang. Sesudah ia meninggal, sahifah ini lalu disimpan oleh keluarga-nya. Dari sahifah inilah ‘Amr ibn Syu’ayb, cucunya, meriwayatkan hadis darinya.68 Sahifah ini mengandung 1000 buah hadis namun tidak sampai kepada kita.69 Tetapi isinya telah diriwayatkan kepada kita oleh al-Imam Ahmad di dalam Al-Musnad-nya dan imam-imam lain di dalam kitab-kitab hadisnya. Sahifah ini mempunyai kedudukan penting dalam sejarah pencatatan hadis karena merupakan sebuah bukti ilmiyyah târîkhiyyah yang menunjukkan dengan jelas bahwa hadis Nabi saw. telah dicatat orang di masa beliau masih hidup dengan sepengetahuan Nabi.

    64Al-Damiri, Sunan al-Damiri. (Semarang: Maktabah Dahlan, t.t.), I, p. 125. 65Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, I, p. 32. 66‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis, p. 194. 67Ibid. 68Ibid. 69Ibid.

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    34

    13. Ibn ‘Abbas. Ia terkenal banyak dan rajin menuntut ilmu. Sesudah Rasulullah saw wafat, ia banyak bertanya kepada para sahabat dan banyak mencatat hadis dari mereka. Ketika ia meninggal, banyak sekali catatan-catatan yang ditinggalkannya sampai seberat muatan unta.70

    14. Ibn ‘Umar. Ada riwayat yang menyatakan bahwa jika akan berang-kat ke pasar ia selalu melihat catatan hadisnya.71

    15. Jabir ibn ‘Abdullahh al-Ansari. Ia mempunyai sebuah sahifah. Ibn Sa’d menyebut catatan ini ketika menerangkan riwayat hidup Mujahid, yakni seseorang yang meriwayatkan hadis dari sahifah ini. Qatadah ibn Di’amah al-Sadusi merasa dirinya terangkat karena sahifah ini. Ia berkata: “Karena saya dengan sahifah Jabir lebih mudah menghafal surat al-Baqarah”.72

    16. Anas ibn Malik. Ia mempunyai banyak catatan hadis dan banyak mendiktekan hadis dari catatan-catatannya itu sampai ketika muridnya menjadi banyak, ia kemuadian mengambil catatan-catatannya yang berjilid-jilid kemudian lalu melemparkannya ke hadapan mereka seraya berkata: “Inilah hadis-hadis yang kudengar dan kucatat dari Rasulullah saw. dan kubaca di hadapannya”.73

    Para tabi’in mencontoh para sahabat hampir dalam segala hal. Mereka melihat para sahabat banyak yang mencatat dan banyak yang menyenangi mencatat hadis. Karena itu banyak jugalah dari mereka yang kemudian ikut mencatat dan menyenangi mencatat hadis. Para tabi’in yang ikut mencatat hadis itu antara lain adalah:

    1. ‘Urwah ibn al-Zubayr. Ia mencatat banyak hadis, antara lain dari ‘Aisyah. Tetapi setelah dihafal, hadis-hadis yang dicatatnya itu dihapus kembali. Ia berkata: “Saya mencatat hadis kemudian saya menghapus-nya. Saya ingin sekali menebusnya dengan hartaku dan anakku lalu saya tidak akan menghapusnya lagi”.74

    70Ibid. 71Ibid. 72Ibid. 73Ibid. Al-Khatib al-Bagdadi, Taqyid al-‘Ilm, p. 95. 74Ibid. p. 199.

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    35

    2. Khalid ibn Ma’dan al-Kala’i. Ia mempunyai mushaf yang berkancing sebagai tempat untuk mengumpulkan catatan-catatannya. Sesudah ia meninggal, sebuah catatannya jatuh ke tangan Bahir ibn Sa’d.75

    3. Abu Qilabah. Ia mempunyai beberapa buah catatan. Ia mewasiatkan catatan-catatannya itu kepada Ayyub al-Sakhtayani.76

    4. al-Hasan al-Basri. Ia berkata: “Kami mempunyai catatan-catatan yang kami sepakati (menjadi rujukan kami)”.77

    5. Muhammad al-Baqir ibn ‘Ali ibn al-Husayn. Ia mempunyai banyak catatan. Di antara yang menerima hadis darinya adalah putranya sendiri, Ja’far al-Sadiq.78

    6. Makhul al-Syami. Ia mempunyai beberapa buah catatan.79 7. Al-Hakam ibn ‘Utbah. Ia mempunyai beberapa buah catatan.80 8. Bukayr ibn ‘Abdullah ibn al-Asyaj. Ia mempunyai beberapa buah

    catatan. Sesudah ia meninggal, catatan-catatannya berpindah kepada putranya, Makhramah ibn Bukayr.81

    9. Qays ibn Sa’id al-Makki. Ia mempunyai sebuah catatan. Sesudah ia meninggal, catatannya berpindah kepada Hammad ibn Salamah.

    10. Basyir ibn Nahik. Ia mencatat banyak hadis, antara lain dari Abu Hurayrah. Ia berkata: “Saya pernah datang kepada Abu Hurayrah dengan membawa catatan yang saya tulis lalu saya berkata: “Hadis-hadis ini kudengar darimu”.82 Dalam riwayat lain ia berkata: “Saya menulis sebuah catatan dari Abu Hurayrah. Ketika saya akan meninggalkannya, saya berkata: “Wahai Abu Hurayrah, sesungguhnya saya menulis sebuah cattan darimu. Apakah saya boleh meriwayatkan-nya?” Ia berkata: “Boleh. Riwayatkanlah catatan dariku itu”.83

    11. Kasir ibn Aflah. Ia berkata: “Saya menulis hadis di hadapan Zayd ibn Sabit”.84

    75Ibid. 76Ibid. 77Al-Ramahurmuzi, Al-Muhaddis al-Fasil Bayn al-Rawi wa al-Wa’I,p. 371. 78‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis, p. 200. 79Ibid. 80Ibid. 81Ibid. 82Ibn ‘Abd al-Barr, Jami’u Bayan al-‘Ilm, I, P. 87. 83Al-Khatib al-Bagdadi, Taqyid al-‘Ilm, p. 101. 84Ibid. p. 102.

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    36

    12. Sa’id ibn Jubayr. Ia mencatat hadis dari ibn ‘Abbas. Apabila sahifah-sahifahnya telah penuh, ia mencatat hadis di sandalnya sampai sandal-nya penuh catatan. Selain mencatat hadis dari ibn ‘Abbas, ia juga mencatat hadis dari ibn’Umar. Ia berkata: “Saya berjalan mondar-mandir antara ibn ‘Umar dan ibn ‘Abbas kemudian saya mendengar hadis dari keduanya. Lalu aku tulis hadis yang aku peroleh dalam perjalanan, sampai aku tiba di rumah, lalu aku tulis lagi.85

    13. ‘Abdullahh ibn Muhammad ibn ‘Aqil. Ia berkata: “Kami (aku, Muham-mad ibn ‘Ali abu Ja’far, dan Muhammad ibn al-Hanafiyah) berangkat bersama-sama menemui Jabir ibn ‘Abdullah, lalu kami menanyakan kepadanya tentang sunnah-sunnah dan salat-salat Rasulullah saw. lalu kami menulis dan belajar darinya”.86

    14. ‘Amir al-Sya’bi. Ia menulis banyak hadis, antara lain hadis-hadis tentang fara’id dan tentang penganiayaan87, di samping hadis-hadis tentang talaq, yang ia beri judul Ini Sebuah Bab yang Besar tentang Talaq.88

    15. Mujahid ibn Jabr. Ia mempunyai banyak catatan. Ia pernah mengajak teman-temannya untuk naik ke kamarnya. Lalu ia menyodorkan catan-catatannya ke hadapan mereka. Lalu mereka menyalin darinya.89

    16. Raja’ ibn Haywah. Ia mencatat hadis-hadisnya. Hisyam ibn ‘Abd al-Malik pernah meminta pegawainya menanyakan kepada Raja’ ibn Haywah tentang suatu hadis. Lalu Raja’ berkata: “Tentu saya telah melupakannya sekiranya ia tidak tertulis di dalam catatanku”.90

    17. Sulayman al-Yasykari. Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Bagdadi dari abu Bisyr, ia berkata: “Saya pernah bertanya kepada abu Sufyan: “Kenapa kulihat kamu tidak menceritakan hadis bagaimana Sulayman al-Yaykari menceritakan?” Abu Sufyan menjawab: “Karena Sulayman al-Yasykari mencatat [ketika belajar] sedangkan saya tidak mencatat”.91

    18. Salim ibn abi al-Ja’d. Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Bagdadi dari Mansur, ia berkata: “Saya pernah berkata kepada Ibrahim: “Sesungguhnya Salim apabila menceritakan hadis, ia selesai, tetapi

    85Ibid. ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis, p. 169. 86Al-Kahatib al-Bagdadi, Taqyid al-‘Ilm, p. 104. 87Ibid. ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis, p. 169. 88Ibid. p. 183. 89Ibid. p. 170. Al-Khatib al-Bagdadi, Taqyid al-‘Ilm, p. 105. 90Ibid. Al-Khatib al-Bagdadi, Taqyid al-‘Ilm, p. 108. 91Al-Khatib al-Bagdadi, Taqyid al-‘Ilm, p. 108.

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    37

    engkau apabila engkau menceritakan hadis, engkau tidak selesai. Kenapa?” Ibrahim menjawab: “Karena Ibrahim mencatat [ketika belajar] sedangkan saya tidak mencatat”.92

    19. Aban ibn abi ‘Ayyasy. Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Bagdadi dari Sulam al-‘Alawi, ia berkata: “Saya pernah melihat Aban ibn abi ‘Ayyasy mencatat hadis di hadapan Anas ibn Malik di dalam papan tulis-papan tulisnya”.93

    20. ‘Ata’ ibn abi Rabah. Ia mencatat sendiri hadisnya, di samping menyuruh anaknya mencatat hadis untuknya.94

    21. Hammam ibn Munabbih. Ulama besar tabi’in ini bertemu dengan Abu Hurayrah dan banyak mencatat hadis Rasulullah saw darinya. Ia mengumpulkan hadis-hadisnya di dalam sebuah sahifah. Ia menamai sahifahnya dengan al-Sahîfah al-Sahîhah. Besar kemungkinan, dalam menamai sahifahnya ini, ia mencontoh al-Sahîfah al-Sadîqah yakni catatan hadis ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘As.95 Sahifah ini telah sampai kepada kita secara lengkap sebagaimana dikumpulkan oleh Hammam ibn Munabbih dari Abu Hurayrah. Sahifah ini ditemukan oleh Dr. Hamidullahh dalam bentuk tulisan tangan di Damaskus dan Berlin.96 Kepercayaan kita terhadap sahifah ini bertambah besar setelah kita mengetahui bahwa Imam Ahmad meriwayatkannya secara lengkap di dalam kitab Musnad Ahmad di samping al-Bukhari juga meriwayatkan sejumlah besar hadis-hadisnya di beberapa bab di dalam kitab sahih al-Bukhari. Sahifah ini besar sekali artinya dalam sejarah pencatatan hadis karena dapat menjadi bukti yang meyakinkan bahwa hadis Nabi saw. itu sudah dicatat oleh kaum muslimin sejak masa awal Islam dan dapat menjadi korektor terhadap kekeliruan yang selama ini berkembang. Hadis memang tidak pernah ditulis kecuali sesudah memasuki abad kedua hijriah. Artinya, Hammam ibn Munabbih bertemu dengan Abu Hurayrah tentu saja sebelum Abu Hurayrah meninggal pada tahun 59 hijriah. Itu memberi pengertian bahwa sahifah-sahifah itu ditulis sebelum tahun itu, yaitu pada pertengahan abad pertama hijriah. Sahifah ini diriwayatkan dari Hammam ibn Munabbih oleh Ma’mar

    92Ibid. 93Ibid. p. 109. 94‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis, p. 170. 95Ibid. p. 201. 96Ibid.

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    38

    ibn Rasyid dan diriwayatkan dari Ma’mar ibn Rasyid oleh ‘Abd al-Razzaq.97 Sahifah ini mengandung 138 buah hadis.98

    22. ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz. Sebagaimana kebanyakan tabi’in, ia pun banyak mencatat hadis. Diriwayatkan oleh al-Ramahurmuzi dari Yazid al-Ruqasyi, ia berkata: “Saya pernah beribadah haji bersama ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz. Lalu saya ceritakan kepadanya beberapa buah hadis dari Anas ibn Malik. Lalu ia mencatatnya dan berkata: “Saya tidak mempunyai harta yang dapat kuberikan kepadamu. Tetapi aku akan menetapkan pemberian kepadamu di kantor. Lalu ia menetapkan pemberian kepadaku 400 dirham”.99

    23. Ibn Syihab al-Zuhri. Ia mencatat banyak hadis. Diriwayatkan oleh ibn ‘Abd al-Barr dari abu al-Zinad, ia berkata: “Kami hanya mencatat hadis-hadis tentang halal dan haram sedangkan Ibn Syihab mencatat semua hadis yang didengarnya. Maka ketika hadis-hadis itu dibutuh-kan, tahulah aku bahwa ibn Syihab itu adalah orang yang paling pandai”.100 Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Bagdadi dari Salih ibn Kaysan, ia berkata: “Kami (saya dan al-Zuhri) berkumpul. Kami sama-sama menuntut ilmu. Kami berkata: “Kita catat sunnah-sunnah”. Lalu kami mencatat segala yang datang dari Nabi saw. Kemudian ia berkata: “Kita catat segala yang datang dari sahabat karena ia juga sunnah”. Saya berkata: “Menurut pendapatku, itu bukan sunnah. Oleh karenanya hal itu tidak perlu kita catat”. Salih ibn Kaysan berkata: “Lalu ia mencatatnya, sedangkan saya tidak. Maka berhasillah dia, sedangkan saya kehilangan”.101 Ia mencatat hadis sejak masih belajar. Ia sering mencatat hadis di punggung sandalnya apabila kehabisan tempat menulis, karena takut lupa.102 Karena itu ketika khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz memerintahkan para Gubernur dan para ulama untuk membukukan hadis, ia cepat sekali melaksanakannya, lebih cepat dari pada orang lain, sehingga ia dapat berbangga diri dengan mengatakan: “Tidak ada seorang pun yang membukukan ilmu sebelum

    97Ibid. p. 202. 98Ibid. 99Al-Ramahurmuzi, Al-Muhaddis al-Fasil Bayn al-Rawi wa al-Wa’i, p. 372 100Ibn ‘Abd al-Barr, Jami’u Bayan al-‘Ilm, I, p. 88. 101Al-Khatib al-Bagdadi, Taqyid al-‘Ilm, p. 106-107. 102‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis, p. 173.

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    39

    aku membukukannya.103 Maka ia dipandang sebagai orang pertama yang membukukan hadis.

    E. Mengritik Hadis

    Selain menuntut dan menyampaikan hadis, mengecek dan mencari hadis dengan mengadakan pelawatan, dan mencatat hadis, yang juga dilakukan oleh kaum muslimin sesudah Nabi saw wafat adalah mengritik hadis. Kaum muslimin mengritik hadis karena khawatir akan adanya orang-orang yang membuat hadis-hadis palsu dan meriwayatkan-nya kepada kaum muslimin dan adanya orang-orang yang lemah hafalan yang akan meriwayatkan hadis kepada kaum muslimin secara keliru. Kaum muslimin masa awal yang mengritik hadis itu adalah khalifah pertama, lalu khalifah-khalifah berikutnya dari khulafa’ rasyidin, sesudah itu sahabat-sahabat yang lain, kemudian para tabi’in dan tabi’ al-tabi’in.

    Abu Bakr mengritik hadis dengan menanyakan kepada Al-Mugirah apakah ada orang lain yang mendengar bersamanya ketika al-Mugirah meriwayatkan hadis kepadanya tentang bagian nenek dari warisan cucunya. Diriwayatkan oleh al-Hakim dari Qubaysah ibn Zu’ayb r.a. bahwa seorang nenek datang kepada abu Bakr untuk meminta bagian dari warisan cucunya. Lalu Abu Bakr berkata: “Saya tidak menemukan bagian untukmu di dalam Kitabullah dan tidak mengetahui keterangan dari Rasulullah mengenai bagianmu”. Kemudian setelah selesai salat Zuhur, Abu Bakr bertanya kepada orang banyak. Lalu al-Mugirah berdiri seraya berkata: “Saya pernah mendengar Rasulullah saw. memberikan bagian nenek seperenam”. Lalu Abu Bakr bertanya kepada al-Mugirah: “Apakah ada seseorang yang menyertaimu mendengar dari Rasulullah?” Lalu Muhammad ibn Maslamah memberikan kesaksian bahwa ia mendengar dari Rasulullah seperti yang didengar oleh al-Mugirah. Lalu abu Bakr memutus kasus si nenek tersebut berdasarkan hadis riwayat dua orang itu.104

    ‘Umar mengritik hadis dengan meminta Abu Musa al-‘Asy’ari mendatangkan bukti ketika Abu Musa al-‘Asy’ari meriwayatkan hadis yang memerintahkan seseorang untuk pulang apabila orang tersebut telah minta izin sampai tiga kali tetapi tidak mendapat jawaban. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Sa’id al-Khudri r.a, ia berkata:”Suatu hari saya duduk di Madinah di majlis al-Ansar. Lalu Abu Musa al-Asy’ari mendatangi kami dalam

    103Ibid. p. 180. 104Al-Hakim, Ma’rifat ‘Ulum al-Hadis, p. 15.

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    40

    keadaan takut atau panik. Kami bertanya: “Ada apa kamu ini?” Abu Musa menjawab: “Sesungguhnya ‘Umar mengirim seorang kepadaku, meminta saya datang kepadanya. Lalu saya mendatangi pintunya. Lalu aku pulang. Lalu ‘Umar berkata: “Apa yang menghalangimu untuk datang kepadaku?” Lalu aku berkata: “Sesung-guhnya aku telah datang kepadamu. Lalu memberi salam di depan pintumu sampai tiga kali tetapi keluargamu tidak menjawab salamku maka kemudian saya pulang. Karena Rasulullah saw. pernah bersabda: “Apabila salah seorang di antaramu minta izin sampai tiga kali tetapi tidak juga mendapat jawaban, hendaklah ia pulang”. Lalu Umar berkata: Berikan bukti mengenai hal itu! Kalau tidak, saya akan menghukummu”. Lalu Ubay ibn Ka’b menjawab: “Tidak ada yang ikut mendengar bersama Abu Musa kecuali orang yang paling muda dari kaum ini”. Abu Sa’id berkata: “Orang yang paling muda itu adalah saya”. Abu Sa’id berkata: “Lalu pergilah saya bersama Abu Musa menemui ‘Umar”.105

    ‘Ali mengritik hadis dengan meminta orang yang meriwayatkan hadis kepadanya untuk bersumpah apabila beliau tidak meyakini kebenaran orang itu. Diriwayatkan oleh ibn Majah Asma’ ibn al-Hakam al-Fazari bahwa ia mendengar ‘Ali berkata: “Apabila saya mendengar sebuah hadis dari Rasulullah saw., Allah memberi manfa’at kepadaku dengan apa yang Ia kehendaki memberi manfa’at kepadaku. Tetapi apabila orang lain menceritakan kepadaku maka saya minta agar ia bersumpah. Apabila dia telah bersumpah maka saya membenarkannya. Dan pernah pula Abu Bakr menceritakan kepadaku dan Abu Bakr itu benar, ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Tiada seorang pun hamba muslim yang berbuat dosa, kemudian wudu’ dan salat dua raka’at, kemudian mohon ampun kepada Allah kecuali Allah memberi ampun kepadanya”.106

    ‘Aisyah mengritik hadis dengan menunda penerimaan hadis tentang pencabutan ilmu yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah ibn ‘Amr, sampai ‘Aisyah mengetahui kekuatan hafalan ‘Abdullah ibn ‘Amr. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Urwah ibn al-Zubayr, ia berkata: “’Abdullah membantah kami, lalu saya mendengar ia berkata: “Saya mendengar Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu sesudah ilmu itu diberikan kepada manusia dengan sekali cabut. Tetapi Allah akan mencabut ilmu dari manusia dengan mematikan para ulama beserta ilmu mereka sehingga tinggallah orang-orang yang bodoh saja yang masih ada. Mereka

    105Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, (Mesir: Mustafa al-Babiy al-Halabiy, 1952),

    II, p. 637. 106Ibn Majah, Sunan ibn Majah, I, p. 446.

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    41

    akan dimintai fatwa kemudian mereka akan memberi fatwa dengan pendapat mereka. Maka sesatlah mereka dan juga akan menyesatkan orang lain. Lalu saya ceritakan hadis itu kepada ‘Aisyah, istri Nabi saw. Kemudian ‘Abdulla ibn ‘Amr pergi haji. Lalu ‘Aisyah berkata: “Wahai anak saudara perempuanku, ‘Abdullah sudah pulang. Pergilah kamu menemuinya lalu kokohkanlah kepadaku hadis yang kamu dengar darinya, yang kamu ceritakan kepadaku darinya beberapa waktu yang lalu itu!”. Maka saya datang kepada ‘Abdullah seraya menanyakan hadis itu kepadanya. Lalu ia pun mencerita-kan kembali hadis itu kepadaku persis seperti yang diceritakannya kepadaku beberapa waktu yang lalu. Lalu saya mendatangi ‘Aisyah san memberikan hal itu kepadanya. Maka kagumlah ‘Aisyah, lalu berkata: “Demi Allah, ‘Abdullah memang hafal”.107

    Ibn ‘Abbas mengritik hadis dengan tidak memperdulikan hadis yang diriwayatkan kepadanya oleh Busyayr al-‘Adawi karena ibn ‘Abbas tidak percaya kepadanya. Diriwayatkan oleh Muslim dari Mujahid bahwa Busyayr al-‘Adawi datang kepada ibn ‘Abbas lalu menceritakan hadis seraya berkata: “Rasulullah saw. bersabda …, Rasulullahsaw. bersabda…” Tetapi Ibn ‘Abbas tidak mendengarkan hadis tersebut dan tidak memandang kepadanya. Lalu Busyayr berkata: “Wahai Ibn ‘Abbas, mengapa saya tidak melihat kamu mendengarkan ceritaku dan tidak pula mendengarkan hadis yang kuceritakan dari Rasulullah saw. ini?” Ibn ‘Abbas menjawab: “Sesungguhnya kami, dulu, apabila kami mendengar seseorang berkata “Rasulullah saw. bersabda…”, mata kami berebut dulu untuk melihat orang itu dan telinga kami mendengarkannya dengan penuh perhatian. Tetapi setelah para manusia mengendarai binatang liar dan jinak (mencampuradukkan yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk), kami tidak mengambil dari manusia kecuali yang kami ketahui”.108

    Sebagaimana para sahabat, para tabi’in pun mengritik hadis-hadis yang mereka terima. Mereka menanyakan sanadnya apabila seseorang meriwayatkan hadis kepada mereka. Ibn Sirin berkata: “Mereka, dulu, tidak pernah menanyakan isnad. Tetapi setelah terjadi fitnah, mereka berkata: “Sebutkanlah kepada kami rijâl al-hadîs-mu itu!” Lalu dilihat kepada ahl as--sunnah, lalu diambil hadis mereka; dan dilihat kepada ahl al-bid’ah, lalu tidak diambil hadis mereka”.109

    107Al-Bukhary, Sahih al-Bukhary, I, p. 9. 108Izzai ‘Aliy ‘Id ‘Atiyah, Muqaddimah Al-Kasyif, p. 20-21. 109Ibid. p. 22.

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    42

    Az-Zuhri memarahi ibn Abi Farwah ketika ibn Abi Farwah meriwayatkan sejumlah hadis dengan tidak menyebutkan sanadnya. Diriwayatkan oleh al-Hakim dari ‘Utbah ibn Abi Hakim bahwa pada suatu hari ia berada disisi Ishaq ibn Abi Farwah sementara disisi Ishaq ibn Abi Farwah ada al-Zuhri. ‘Utbah berkata: “Lalu ibn Abi Farwah berkata: “Rasulullah saw. bersabda…, Rasul Allah saw bersabda…” maka az-Zuhri berkata: “Allah mengutukmu, wahai ibn Abi Farwah. Alangkah beraninya kamu kepada Allah. Kamu tidak mengisnadkan hadismu. Kamu menceritakan kepada kami hadis-hadis yang tidak mempunyai belalai dan tidak mempunyai taring”.110

    Para tabi’in selain mereka sendiri mengritik hadis-hadis yang mereka terima, mereka juga meminta murid-murid mereka, para tabi’ at-tabi’in, mengritik hadis-hadis yang mereka terima. Mereka menerangkan kepada para tabi’ at-tabi’in rawi-rawi yang boleh diterima maupun yang harus ditolak riwayanya. Mereka meminta para tabi’ at-tabi’in memperhati-kan betul-betul rawi-rawi yang ada pada setiap sanad hadis, tidak mengambil hadis dari para pendusta, dan hanya mengambil hadis dari orang-orang yang adil. Ibrahim al-Nakha’i melarang murid-muridnya mengambil hadis dari al-Mugirah ibn Sa’id dan dari Abu ‘Abdurrahim karena dua orang itu tukang-tukang dusta. Ibn ‘Awn berkata: “Ibrahim pernah berkata kepada kami: “Jauhilah al-Mugirah ibn Sa’id dan Abu ‘Abd al-Rahim, karena dua orang itu tukang-tukang dusta”.111

    Abu ‘Abdurrahman al-Sulami melarang murid-muridnya mengambil hadis dari tukang-tukang kisah karena tukang-tukang kisah itu banyak berdusta, dan dari syaqiq karena syqiq itu banyak mengikuti pendapat ahl al-bid’ah dan meninggalkan pendapat ahl al-sunnah. Diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Asim, ia berkata: “Kami pernah datang kepada Abu ‘Abdurrahman al-Sulami. Ketika itu aku masih remaja. Lalu Abu ‘Abdurrahman berkata kepada kami: “Janganlah kamu datangi majlis-majlis tukang kisah kecuali Abu al-Ahwas, dan jauhilah Syaqiq”. Ia berkata: “Syaqiq itu mengikuti pendapat kaum Khawarij, tidak mengikuti Wa’il”.112

    Asy-Sya’bi melarang murid-muridnya mengambil suatu hadis yang ia riwayatkan karena hadis itu ia terima ari al-Haris al-A’war al-Hamdani,

    110Al-Hakim, Ma’rifat ‘Ulum al-Hadis, p. 6. 111Muslim, Sahih Muslim, I, p. 12. 112Ibid.

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    43

    seorang pendusta. Al-Sya’bi berkata: “Hadis itu diceritakan kepada kami oleh al-Haris al-A’war al-Hamdaniy. Ia seorang pendusta”.113

    Al-A’masy memerintahkan murid-muridnya mengambil hadis dari Ibrahim al-Nakha’i karena Ibrahim al-Nakha’i itu seorang maestro hadis. Diriwayatkan oleh al-Hakim dari al-A’masy, ia berkata: “Ibrahim itu maestro hadis. Maka jika mendengar hadis dari sahabat-sahabat kami maka kami membawa hadis itu kepadanya”.114

    F. Penutup

    Demikian pembicaraan mengenai aktivitas keilmuan kaum muslimin dalam bidang hadis sesudah Nabi wafat. Dari pembicaraan di atas dapat ditarik kesimpulan: 1. Sesudah Nabi wafat, kedudukan kaum muslimin sebagai guru

    digantikan oleh para sahabat, dan kedudukan kaum muslimin sebagai murid digantikan oleh para tabi’in. Hampir setiap sahabat dikerumuni oleh para tabi’in untuk dituntut hadisnya Karena itu aktivitas menuntut dan menyampaikan hadis bukan makin sepi, tetapi makin ramai.

    2. Sesudah Nabi wafat, para sahabat berpencar ke berbagai negeri. Para tabi’in menyadari perlunya mendatangi para sahabat di berbagai negeri itu untuk menuntut hadis dari mereka. Karena itu aktivitas mencari hadis dengan melawat ke berbagai negeri banyak sekali dilakukan oleh para tabi’in.

    3. Sesudah Nabi wafat, para sahabat dan tabi’in makin lama makin menyadari signifikansi mencatat hadis, di samping juga menghafal. Karena itu makin lama makin banyak sahabat dan tabi’in yang mencatat hadis, di samping menghafal.

    4. Sesudah Nabi wafat, para sahabat dan tabi’in mengkhawatirkan akan adanya orang-orang yang hafalannya lemah yang keliru dalam meriwa-yatkan hadis atau membuat hadis palsu lalu meriwayatkannya kepada kaum Muslimin. Oleh karena itu kemudian mereka mengritik hadis-hadis yang diriwayatkan orang kepada mereka.

    113Ibid. p. 11. 114Al-Hakim, Ma’rifat ‘Ulum al-Hadis, p. 16.

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    44

    Daftar Pustaka

    Al-Adlibi, Manhaj Naqd al-Matn, Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, t.t.. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Mesir: Mustafa al-Babiy al-Halabiy, t.t. ‘Azmi, Muhammad Mustafa, Hadis Nabi dan Sejarah Pembukuannya, terj.

    Mustafa Ya’kub M.A, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994. Al-Bagdadi, al-Khatib, Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah, Mesir: Dar al-Kutub

    al-Hadisah, t.t. ________, Al-Rihlah fi Talab al-Hadis, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,

    1975. ________, Syarafu Ashab al-Hadis, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1975. ________, Taqyid al-‘Ilm, T.t.p.: Dar Ihya’ al-Sunnah al-Nabawiyah, 1974. Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari Hasyiyah al-Sindi, Mesir: Maktabah Nasiriyah,

    t.t. Al-Darimi, Sunan al-Darimi, Semarang: Maktabah Dahlan, t.t. Al-Hakim, Ma’rifat ‘Ulum al-Hadis, Beirut: Maktab al-Tijari, t.t. Faruq Hamarah, Manhaj al-Islami Fi al-Jarh Wa al-Ta’dil, Rabat: Dar Nasyr

    al-Ma’rifah, 1989. Ibn ‘Abd al-Barr, Jami’u Bayan al-‘Ilm Wa Fadlih, Madinah: Maktabah

    Salafiyah, t.t. Ibn hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, Mesir: Mustafa al-Babiy al-Halabiy, t.t. ________, Lisan al-Mizan, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1996 ________, Tazib al-Tahzib, Beirut: Dar al-Fikr, 1978. t.t. Ibn Majah, Sunan ibn Majah, Semarang: Maktabah Dahlan, t.t. Al-Jazairi, Tawjih al-Nazar, Mesir: Maktabah Jamaliyah, 1910. Al-Khattib, Muhammad ‘Ajjaj, Usul al-Hadis, Beirut: Dar al-Fikr, 1975. -------------, Al-Sunnah Qabl al-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr, 1990. Muslim, Sahih Muslim, Mesir: Isa al-Babiy al-Halabiy, t.t. Al-Sa’ani, Tawdih al-Afkar, Madinah: Maktabah Salafiyah, t.t. Al-Ramahurmuzi, Al-Muhaddis al-Fasil Bayn al-Rawi wa al-Wa’i. Beirut: Dar

    Fikr, 1971. Subhi al-Salih, ‘Ulum al-Hadis wa Mustalahuh, Beirut: Dar al-‘Ilm Li

    al-Malayin, 1977. Al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1968. Wensinc, A.Y, Miftah Kunuz al-Sunnah, Pakistan: Shayl Akademi, 1971. ________, Al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfaz al-Hadis, Leiden: Maktabah

    Breil, 1936.

  • Daelan M. Danuri: Aktivitas Keilmuan Kaum Muslimin …

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, No. 3, Mei 2002

    45

    Zafar Ahmad al-‘Usmani, Qawa’id Fi ‘Ulum al-Hadis, Beirut: Maktab al-Matbu’at al-Islamiyah, 1996.

    Al-Zahabi, Al-Kasyif, Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1972. ________, Mizan al-I’tidal, Mesir: Isa al-Babiy al-Halabiy, 1963.