Akper Edit

67
Petunjuk Penyusunan Laporan Keuangan Fiskal, Perhitungan dan Pengisian SPT Tahunan PPh WP Badan dan WP Orang Pribadi 1.PENGANTAR Pada umumnya penghasilan dipajakan secara periodik setahun sekali berdasarkan stelsel riil, sehingga pemajakan yang dilakukan setiap bulan selama tahun berjalan bersifat sementara untuk membayar uang muka PPh. Pada setiap akhir tahun pajak semua penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak Dalam Negeri (Orang Pribadi dan Badan serta Warisan yang belum terbagi) serta Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap selama satu tahun pajak (dari awal tahun sampai akhir tahun pajak) harus dihitung ulang berdasarkan keadaan yang sesungguhnya, dan pajak yang telah dibayar selama tahun berjalan (setiap bulan atau setiap masa) seperti PPh Pasal 21, PPh 22, PPh pasal 23, PPh pasal 24, PPh pasal 25 bisa diperhitungkan sebagai kredit pajak. Khusus atas penghasilan yang dikenai PPH yang bersifat final selama tahun berjalan, pada akhir tahun pajak tidak lagi dihitung ulang atau tidak lagi digabungkan sebagai penghasilan lain untuk dihitung ulang, dan PPh finalnya yang telah dibayar selama tahun berjalan tidak bisa diperhitungkan sebagai kredit pajak. Walaupun demikian, jumlah penghasilan yang dikenai PPh bersifat final dan PPh Finalnya beserta penghasilan yang dikecualikan sebagai objek PPh yang diterima atau diperoleh selama satu tahun tetap harus dilaporkan dalam lampiran tersendiri di SPT Tahunan. Pph yang harus dihitung ulang pada akhir tahun pajak adalah: 1. PPh pasal 21 Tahunan: yakni kewajiban untuk menghitung ulang yang dilakukan oleh Pemotong PPh pasal 21 melalui sistem pemotongan.

description

akper

Transcript of Akper Edit

Page 1: Akper Edit

Petunjuk Penyusunan Laporan Keuangan Fiskal, Perhitungan dan Pengisian SPT Tahunan PPh WP Badan dan WP Orang

Pribadi

1.PENGANTAR

Pada umumnya penghasilan dipajakan secara periodik setahun sekali berdasarkan stelsel riil, sehingga pemajakan yang dilakukan setiap bulan selama tahun berjalan bersifat sementara untuk membayar uang muka PPh. Pada setiap akhir tahun pajak semua penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak Dalam Negeri (Orang Pribadi dan Badan serta Warisan yang belum terbagi) serta Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap selama satu tahun pajak (dari awal tahun sampai akhir tahun pajak) harus dihitung ulang berdasarkan keadaan yang sesungguhnya, dan pajak yang telah dibayar selama tahun berjalan (setiap bulan atau setiap masa) seperti PPh Pasal 21, PPh 22, PPh pasal 23, PPh pasal 24, PPh pasal 25 bisa diperhitungkan sebagai kredit pajak.

Khusus atas penghasilan yang dikenai PPH yang bersifat final selama tahun berjalan, pada akhir tahun pajak tidak lagi dihitung ulang atau tidak lagi digabungkan sebagai penghasilan lain untuk dihitung ulang, dan PPh finalnya yang telah dibayar selama tahun berjalan tidak bisa diperhitungkan sebagai kredit pajak. Walaupun demikian, jumlah penghasilan yang dikenai PPh bersifat final dan PPh Finalnya beserta penghasilan yang dikecualikan sebagai objek PPh yang diterima atau diperoleh selama satu tahun tetap harus dilaporkan dalam lampiran tersendiri di SPT Tahunan.

Pph yang harus dihitung ulang pada akhir tahun pajak adalah:

1. PPh pasal 21 Tahunan: yakni kewajiban untuk menghitung ulang yang dilakukan oleh Pemotong PPh pasal 21 melalui sistem pemotongan.

2. PPh Tahunan WP Orang Pribadi Dalam Negeri; yaitu kewajiban untuk menghitung ulang dilakukan oleh WP Orang Pribadi itu sendiri.

3. PPh Tahunan WP Badan Dalam Negeri; yakni kewajiban untuk menghitung ulang dilakukan oleh WP Badan itu sendiri.

4. PPH Tahunan WP BUT (Bentuk Usaha Tetap); yaitu kewajiban untuk menghitung ulang dilakukan oleh WP BUT itu sendiri.

5. PPH Tahunan WP Warisan yang Belum Terbagi, yakni kewajiban untuk menghitung ulang dilakukan oleh kuasa dari Warisan yang Belum Terbagi tersebut.

Bahasan mengenai perhitungan PPH Pasal 21 Tahunan dan pengisian SPT Tahunan PPh Pasal 21 telah disajikan pada bab terdahulu. Bab ini membahas perhitungan PPh Tahunan dan pengisian SPT Tahunan PPH WP Orang Pribadi, WP Badan, WP BUT, dan WP Warisan yang belum terbagi.

Page 2: Akper Edit

Dengan perhitungan ulang PPH Tahunan pada akhir tahun dapat diketahui apakah pengenaan PPh atas semua penghasilan yang diterima/diperoleh selama satu tahun pajak masih terdapat PPH yang kurang dibayar atau terdapat PPh yang lebih dibayar, karena.

selama tahun berjalan WP telah melakukan pembayaran di muka PPh berupa PPh pasal 21, PPh pasal 22, PPh pasal 23, Pph pasal 24, atau PPh pasal 25.

Rumus umum untuk menghitung PPh tahunan pada akhir tahun pajak sama seperti rumus untuk menghitung pajak-pajak lainnya, termasuk rumus menghitung PPh pasal 21 sebagaimana telah dijelaskan pada Bab IV dan VI, yaitu:

DPP PPh

x/x tarif pasal 17

PPh Tahunan terutang

Pda akhir tahun pajak rumus untuk menghitung PPh kurang/lebih dibayar adalah sebagai berikut:

DPP PPh

x/x tarif pasal 17

PPh tahunan terutang

-/- Kredit Pajak

Pph tahunan kurang/lebih dibayar

Jadi dalam menghitung PPH Tahunan yang kurang/lebih dibayar pada akhir tahun pajak perlu diketahui terlebih dahulu tiga unsur, yaitu tarif pajak, kredit Pajak PPH, dan DPP PPh. Tarif pasal 17 sudah ditentukan dalam pasal 17 UU PPh, yaitu 5%, 10%, 15%, 25% dan 35% untuk WP Orang Pribadi serta 10%, 15% dan 30% untuk Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak BUT (sayangnya UU PPH 2000 tidak menentukan tarif pasal 17 untuk WP Warisan yang belum terbagi). Kredit pajak adalah PPh yang telah dibayar/dilunasi/disetor selama tahun berjalan, yaitu PPh pasal 21, Pph pasal 22, PPh pasal 23, PPh pasal 24, PPh pasal 25, dan dalam kasus tertentu PPh pasal 26, sebagaimana telah dijelaskan dalam bab V dan VI. Wajib Pajak tinggal mengumpulkan seluruh Bukti Pemotongan/Pemungutan atau Bukti Setoran (SSP) dari uang muka PPh tersebut untuk dikreditkan dengan PPh tahunan terutang (lihat pedoman pengkreditan PPH pada akhir tahun pajak yang disajikan pada Bab IV). DPP PPh aau Dasar Pengenaan Pajak PPH sebagaimana telah dijelaskan pada Bab III mengenai definisi penghasilan sebagai Objek Pajak PPh adalah penghasilan neto. Besarnya penghasilan neto tidak ditentukan langsung dalam UU PPh, tetapi harus dihitung sendiri oleh WP. Untuk menghitung penghasilan neto pasal 6 sampai dengan pasal 16 UU PPh memberikan pedoman umum, yaitu penghasilan neto sama dengan penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Cara perhitungan ini mirip seperi cara menghitung penghasilan neto dalam akuntansi, yang berbeda dalah pengertian atau definisi dari biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Oleh karena itu, penjelasan mengenai penghitungan PPh Tahunan pada akhir tahun pajak akan bertitik tolak dari perhitungan penghasilan neto menurut prinsip

Page 3: Akper Edit

akuntansi yang kemudian akan dilakukan rekonsiliasi fiskal atau koreksi fiskal terhadap perhitungan neto tersebut, supaya penghitungan penghasilan neto menurut akuntansi sesuai dengan ketentuan UU PPh.

Penghitungan PPh Tahunan terutang dan/atau PPh yang kurang/lebih dibayar pada akhir tahun pajak dibedakan atas empat cara sebagai berikut:

1. Cara menghitung PPh tahunan bagi WP Badan dan WP BUT, dan WP Warisan yang belum Teragi (wajib pembukuan);

2. Cara menghitung PPH tahunan khusus bagi WP BUT tertentu yang beroperasi secara internasional

3. Cara menghitung PPh tahunan bagi WP orang pribadi yang wajib menyelenggarakan pembukuan;

4. Cara menghitung PPH Tahunan bagi WP Orang Pribadi yang tidak wajib menyelenggarakan pembukuan (tetapi wajib membuat pencatatan).

Berikut ini disajikan rumus umum untuk menghitung PPH Tahunan pada akhir tahun beserta contoh penerapannya. Berturut-turut dibahas cara menghitung PPH tahunan kurang/lebih dibayar pada akhir tahun bagi WP Badan, WP warisan yang belum terbagi, WP BUT yang memang harus wajib menyelenggarakan pembukuan. Kemudian dibahas cara menghitung PPH Tahunan kurang/lebih dibayar pada akhir tahun bagi WP BUT tertentu yang beroperasi secara internasional. Dan terakhir dibahas cara menghitung PPH Tahunan kurang/lebih dibayar pada akhir tahun bagi WP Orang Pribadi yang tidak wajib menyelenggarakan pembukuan, tetapi hanya wajib membuat pencatatan, serta perhitungan PPH Tahunan bagi WP Orang Pribadi yang wajib menyelenggarakan pembukuan, tetapi dalam kenyataan tidak menyelenggarakan pembukuan. Cara menghitung PPH tahunan kurang/lebih bayar pada akhri tahun bagi WP Orang Pribadi yang menyelenggarakan pembukuan, akan dijelaskan sesudahnya. Khusus penghitungan PPH Tahunan kurang/lebih dibayar tahunan bagi WP yang menyelenggarakan pembukuan akan dijelaskan perbedaan-perbedaan menyangkut prinsip mengakui penghasilan dan biaya antara akuntansi dan UU PPh. Bagian terakhri disajikan teknik menyusun Laporan Keuangan Fiskal melalui teknik koreksi fiskal atau rekonsiliasi fiskal terhadap laporan keuangan akuntansi/komersial disertai contohnya.

2. Petunjuk Perhitungan PPh Tahunan bagi WP Badan, WP BUT, dan WP Warisan yang Belum TerbagiSebagaimana telah dijelaskan pada Bab IV mengenai pembukuan, bahwa bagi WP Badan Dalam Negeri, WP BUT, WP Warisan yang Belum Terbagi, dan WP Orang Pribadi yang omzet setahunnya Rp 600.000.000,00 atau lebih, wajib menyelenggarakan pembukuan, supaya penghitungan PPh Tahunan Terutang lebih gampang, dan bagi fiskus bisa melakukan cross check. Penghitungan PPh tahunan bagi WP yang menyelenggarakan pembukuan, dimulai dengan menghitung penghasilan neto untuk mendapatkan dasar pengenaan pajaknya. Bagi WP Orang Pribadi sesudah didapat penghasilan neto dikurangi lagi dengan PTKP: baru diterapkan tarif pasal 17. Sedangkan bagi WP Badan, WP BUT, dan WP Warisan yang

Page 4: Akper Edit

Belum Terbagi (selanjutnya dalam buku nini hanya disebut WP Badan yang mewakili WP BUT dan WP Warisan yang Belum Terbagi), sesudah didapat penghasilan neto langsung diterapkan tarif pasal 17. Cara menghitung penghasilan neto ini mirip dengan cara menghitung penghasilan neto dalam akuntansi. Perhatikan rumus menghitung PPH tahunan kurang/lebih bayar pada akhir tahun bagi WP yang menyelenggarakan pembukuan berikut ini.

Rumus menghitung PPh Tahunan yang kurang/(lebih) dibayar pada akhir tahun bagi WP yang menyelenggarakan pembukuan:

Penghasilan bruto usaha yang Objek Pajak yang dikenai PPh bersifat tidak final dari Indonesia dan dari luar Indonesia

-/-Harga pokok penjualan yang boleh sebagai pengurang penghasilan (deductible costs)s

Laba bruto usaha

-/- Biaya operasi yang boleh sebagai pengurang penghasilan (deductible expenses)

Laba (rugi) neto/bersih dari operasi

+/+ Penghasilan luar usaha yang Objek Pajak yang dikenai PPh bersifat tidak final dari Indonesia dan luar Indonesia

-/- Biaya luar usaha yang boleh sebagai pengurang penghasilan (deductible other expenses)

Laba/(rugi) neto/bersih tahun berjalan sebelum kompensasi kerugian

-/- Kompensasi kerugian fiskal yang diderita dalam 5 tahun terakhir hanya dari Indonesia

Penghasilan Kena Pajak setahun

x/x Tarif pasal 17

PPh Tahunan yang terutang

-/- Kredit pajak (pph pasal 22, pph pasal 23, pph pasal 24, pph pasal 25)

PPh Tahunan yang kurang/(lebih) dibayar

Terlihat bahwa cara perhitungan Penghasilan Kena Pajak di dalam UU PPh mirip dengan cara penghitungan laba neto yang dikenal di dalam akuntansi. Walaupun pola perhitungan PKP dalam pajak/fiskal mirip dengan pola perhitungan laba neto dalam akuntansi, itu tidak berarti bahwa seratus persen sama.

Yang berbeda adalah :

1. Definisi penghasilan menurut UU PPH berbeda dengan definisi penghasilan menurut akuntansi

2. Di dalam UU PPh penghasilan dibedakan atas:

a. Penghasilan yang Objek Pajak yang dikenai PPh bersifat tidak final;

b. Penghasilan yang Objek Pajak yang dikenai PPh bersifat final;

c. Penghasilan yang bukan Objek Pajak.

Page 5: Akper Edit

Di dalam akuntansi tidak dikenal pembedaan tersebut.

3. Di dalam UU PPh biaya dibedakan atas:

a. Biaya yang boleh sebagai pengurang penghasilan (deductibele expenses/costs);

b. Biaya yang tidak boleh diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan (non deductible expenses/costs).

Di dalam akuntansi semua biaya boleh sebagai pengurang penghasilan.

Selain perbedaan-perbedaan tersebut, masih ada lagi beberapa perbedaan antara prinsip akuntansi dan prinsip UU PPh. Perbedaan termaksud adalah sebagai berikut:

1. Di dalam UU PPh saat pengakuan penghasilan dan biaya tidak selalu sama dengan saat pengakuan penghasilan dan biaya di dalam akuntansi (lihat kembali penjelasan mengenai perbedaan saat pengakuan penghasilan antara pajak dan akuntansi dalam Bab III).

2. Di dalam UU PPh prinsip penghitungan untung rugi penjualan harta (capital gains/loss) berbeda dengan prinsip penghitungan untuk rugi penjualan harta di dalam akuntansi.

3. Di dalam UU PPh pencatatan besarnya penghasilan dan biaya harus berdasarkan “adat kebiasaan pedagang yang baik”, yaitu sesuai harga pasar yang wajar. Artinya, UU PPh tidak mengizinkan jika ada WP yang melakukan rekayasa pencatatan penghasilan dan biaya, misalnya dengan cara mark up atau mark down atau melakukan transfer pricing dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dalam rangka untuk memperkecil PPH yang harus dibayar. Jika ditemukan hal demikian, berdasarkan kuasa dari pasal 18 ayat (3) UU PPh, Dirjen Pajak berwenang untuk melakukan koreksi atasnya supaya sesuai dengan harga pasar yang wajar sebagaimana “adat kebiasaan pedagang yang baik” (dalam praktek terdapat perbedaan penilaian antara fiskus dan Wajib Pajak mengenai apakah penghasilan dan biaya sudah dicatat sesuai adat kebiasaan pedagang yang baik atau belum, sehingga menimbulkan kontroversi yang tidak habis-habisnya.

4. Karena perbedaan-perbedaan tersebut, pengertian kerugian usaha antara UU PPh dan akuntansi juga berbeda.

Berdasarkan perbedaan yang bisa diidentifikasikan tersebut, biasanya WP dalam menghitung PPh Tahunan bertitik tolak dari laporan keuangan yang dibuat menurut prinsip akuntansi (SAK). Berdasarkan laporan keuangan tersebut baru dilakukan koreksi-koreksi sesuai ketentuan UU PPh, jika dalam laporan keuangan akutansi/komersial terdapat perbedaan pencatatannya untuk mendapatkan Laporan Keuangan Fiskal. Jika tidak ada yang berbeda, koreksi-koreksi tidak perlu dilakukan.

2.1. Beda Tetap (Permanen Difference), Beda Waktu (Timing Difference)

Menurut Willard J. Graham perbedaan-perbedaan antara prinsip akuntansi dan prinsip pajak dalam laporan keuangan bisa dikelompokkan ke dalam dua kelompok sebagai berikut:

1. Perbedaan tetap (permanent difference)

2. Perbedaan waktu (timing difference)

Page 6: Akper Edit

Perbedaan tetap atau yang biasa disebut beda tetap adalah perbedaan yang bersifat tetap yang disebabkan oleh, menurut prinsip akuntansi (generally accepted accounting principles), suatu penerimaan diakui sebagai penghasilan dan/atau sesuatu pengeluaran diakui sebagai penghasilan dan/atau suatu pengeluaran diakui sebagai biaya atau kerugian yang boleh sebagai pengurang penghasilan yang harus dilaporkan dalam laporan keuangan komersial, sedangkan menurut prinsip pajak sesuatu penerimaan tidak pernah diakui sebagai penghasilan dan/atau sesuatu pengeluaran tidak pernah diakui sebagai penghasilan dan/atau sesuatu pengeluaran tidak pernah diakui sebagai biaya atau kerugian yang boleh sebagai pengurang penghasilan yang harus dilaporkan dalam laporan keuangan fiskal. Atau sebaliknya, menurut prinsip akuntansi sesuatu penerimaan tidak pernah diakui sebagai penghasilan dan/atau sesuatu pengeluaran tidak pernah diakui sebagai biaya atau kerugian yang boleh sebagai pengurang penghasilan yang harus dilaporkan dalam laporan keuangan komersial, sedangkan menurut prinsip pajak sesuatu penerimaan diakui sebagai penghasilan dan/atau sesuatu pengeluaran diakui sebagai biaya atau kerugian yang boleh sebagai pengurang penghasilan yang harus dilaporkan dalam laporan keuangan fiskal.

Perbedaan waktu atau yang biasa disebut beda waktu adalah perbedaan saat mengakui/melaporkan penghasilan dan/atau biaya antara laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal dalam suatu tahun pajak. Dalam hal ini, baik menurut akuntansi maupun menurut pajak sama-sama mengakui bahwa sesuatu penerimaan merupakan penghasilan, atau sesuatu pengeluaran merupakan biaya yang boleh sebagai pengurang penghasilan. Yang berbeda adalah menurut ketentuan UU PPh seseuatu penerimaan (seluruh atau sebagian) harus diakui sebagai penghasilan dan seluruh pengeluaran (seluruh atau sebagian) diakui sebagai biaya yang boleh sebagai pengurang penghasilan pada suatu tahun pajak. Sedangkan menurut akuntansi sesuatu penerimaan diakui sebagai penghasilan atau sesuatu pengeluaran harus diakui sebagai biaya pada tahun pajak yang berlainan. Perbedaan waktu ini disebabkan pertama, karena saat realisasi dan/atau istilah basis kas atau basis akrual berbeda antara akuntansi dan UU PPh, sebagaimana dijelaskan pada bab III tentang penghasilan, dan kedua, karena metode pembebanan yang digunakan, seperti metode pembebanan biaya penyusutan dan amortisasi berbeda antara akuntansi dan UU PPh.

Nilai uang dari waktu ke waktu berubah (time-value of money), maka dalam jangka pendek perbedaan waktu ini mempunyai arti yang penting bagi Wajib Pajak. Wajib Pajak akan lebih suka membayar satu juta rupiah di masa yang akan datang, daripada membayarnya sekarang.

Perbedaan waktu ini bisa dibedakan atas empat variasi sebagai berikut’

1. penghasilan diakui oleh pajak pada tahun sebelum penghasilan itu diakui oleh akuntansi;

2. penghasilan diakui oleh pajak pada tahun sesudah penghasilan itu diakui oleh akuntansi;

3. biaya atau kerugian diakui sebagai pengurang penghasilan oleh pajak pada tahun sebelum biaya atau kerugian tiu diakui oleh akuntansi;

Page 7: Akper Edit

4. biaya atau kerugian diakui sebagai pengurang penghasilan oleh pajak pada tahun sesudah biaya atau kerugian itu diakui oleh akuntansi.

a. Pasal 21 Pasal Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas perolehan berupa gaji, upah, honorium,tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan bentuk apapun sehubungan dengan perpajakan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri.

b. Penerimaan Penghasilan (Wajib Pajak PPh Pasal 21) Penerimaan penghasilan (Wajib Pajak) yang penghasilannya dipotong PPh Pasal 21 adalah :

1. Pejabat Negara yaitu :a. Presiden dan Wakil Presidenb. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota DPR/MPR, DPRD Propinsi, dan

Kabupaten/Kota. c. Ketua dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan d. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Mahkamah Agung e. Ketua dan wakil ketua dewan pertimbangan Agung f. Menteri, Menteri Negeri , dan Menteri Muda g. Jaksa Agung h. Gubernur dan wakil gubernur kepala daerah profinsii. Bupati dan wakil bupati kepala daerah kabupaten j. Walikota dan wakil walikota

2. Pegawai Negeri Sipil (PNS) baik pusat, daerah atau lainnya3. Pegawai adalah setaip orang pribadi yang melakukan pekerjaan berdasarkan

perjanjiaan atau kesepakatan kerja baik tertulisan maupun tidak tertulis.4. Pegawai tetap adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang

menerima atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala, termasuk anggota dewan komisaris dan dewan pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perushaan secara langsung.

5. Tenaga lepas adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya menerima atau

6. Penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisannya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi yang menerima tabungan

7. Penerima Honorarium adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukannya.

8. Penerima upah adalah orang pribadi yang menerima upah harian, upah mingguan, atau upah satuan.

9. Orang pribadi lainnya yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan , jasa dan kegiatan dari pemotong pajak.

Page 8: Akper Edit

c. Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 (Objek PPh Pasal 21)

1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah honorarium, premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transport, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, beasiswa, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun.

2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap dan biasanya dibayarkan sekali dalam setahun.

3. Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan.

4. Upah tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua

(THT), uang pesangon, dan pembayaran lain sejenisnya. Honorarium, uang

saku, hadiah, atau penghargaan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun,

komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan

pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan Wajib Pajak dalam negeri.

5. Gaji, gaji kehormatan, tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji yang diterima oleh pejabat negara, PNS serta uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiun termasuk janda atau duda dan atau anak-anaknya.

6. Penerimaan dalam bentuk natura kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak.

1-5

11 - 15

Biaya Yang Boleh Dibebankan

Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU PPh, biaya-biaya yang boleh dibebankan sebagai

pengurang penghasilan bruto adalah :

Page 9: Akper Edit

1. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan

usaha contohnya:

1. biaya pembelian bahan;

2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,

bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;

3. bunga, sewa, dan royalty

4. biaya perjalanan;

5. biaya pengolahan limbah;

6. premi asuransi;

7. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan;

8. biaya administrasi

9. pajak kecuali Pajak Penghasilan;

Biaya yang diatas merupakan biaya dari kegiatan sehari-hari yang nantinya boleh

dibebankan ke pajak. Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-

pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung

dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan

memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak. Dengan demikian,

pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara

penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tidak boleh dibebankan sebagai

biaya.

Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak

dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang diterimanya tidak

merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f. Bunga

pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat dikapitalisasi sebagai

penambah harga perolehan saham.

Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk

mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, misalnya pengeluaran-

pengeluaran untuk keperluan pribadi pemegang saham, pembayaran bunga atas

Page 10: Akper Edit

pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi peminjam serta pembayaran

premi asuransi untuk kepentingan pribadi, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya

boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, tetapi bagi pegawai yang bersangkutan

premi tersebut merupakan penghasilan.

Pengeluaran-pengeluaran sehubungan dengan pekerjaan yang boleh dikurangkan

dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam bentuk uang. Pengeluaran yang

dilakukan dalam bentuk natura atau kenikmatan, misalnya fasilitas menempati

rumah dengan cuma-cuma, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan bagi pihak

yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan. Namun,

pengeluaran dalam bentuk natura atau kenikmatan tertentu sebagaimana diatur

dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e, boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang

menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan.

Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus

dilakukan dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang

yang baik. Dengan demikian, apabila pengeluaran yang melampaui batas kewajaran

tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, jumlah yang melampaui batas

kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.

Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain Pajak

Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), Pajak

Hotel, dan Pajak Restoran, dapat dibebankan sebagai biaya.

Mengenai pengeluaran untuk promosi perlu dibedakan antara biaya yang benar-

benar dikeluarkan untuk promosi dan biaya yang pada hakikatnya merupakan

sumbangan. Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan

dari penghasilan bruto. Besarnya biaya promosi dan penjualan yang diperkenankan

sebagai pengurang penghasilan bruto diatur dengan atau berdasarkan Peraturan

Menteri Keuangan.

2. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan

amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang

Page 11: Akper Edit

mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;

Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak

berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1

(satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi.

Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di muka, misalnya

sewa untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus, pembebanannya dapat

dilakukan melalui alokasi.

3. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri

Keuangan;

Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri

Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan

kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Menteri

Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan

dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan

memelihara penghasilan;

Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuan semula

tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan

dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan

memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Atas kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak

digunakan dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk

mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan

dari penghasilan bruto.

e. kerugian selisih kurs mata uang asing

Page 12: Akper Edit

Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing dapat dibebankan sebagai biaya

dan diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat

asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.

f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;

Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia

dalam jumlah yang wajar untuk menemukan teknologi atau sistem baru bagi

pengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan.

g. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;

Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan beasiswa, magang, dan pelatihan dalam

rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai

biaya perusahaan dengan memperhatikan kewajaran, termasuk beasiswa yang

dapat dibebankan sebagai biaya adalah beasiswa yang diberikan kepada pelajar,

mahasiswa, dan pihak lain.

h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih

Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya,

dengan syarat:

1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;

2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih

kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan

3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau

instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya

perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang

antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan

dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari

debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;

4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk

penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k; yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut

Page 13: Akper Edit

dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai

biaya sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam

laporan laba-rugi komersial dan telah melakukan upaya-upaya penagihan

yang maksimal atau terakhir.

Yang dimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti penerbitan berskala

nasional, melainkan juga penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya.

i. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang

ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;

j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di

Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;

k. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan

Peraturan Pemerintah

l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan

Peraturan Pemerintah; dan

m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara

pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Pada

prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang

mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung dengan usaha atau kegiatan

untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek

pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama

masa manfaat dari pengeluaran tersebut.

Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) UU PPh, pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari

penghasilan bruto meliputi :

Page 14: Akper Edit

a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen

termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada

pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi

Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk

pembayaran dividen kepada pemilik modal, pembagian sisa hasil usaha

koperasi kepada anggotanya, dan pembayaran dividen oleh perusahaan

asuransi kepada pemegang polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan

badan yang membagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan

bagian dari penghasilan badan tersebut yang akan dikenai pajak berdasarkan

Undang-Undang ini.

b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi

pemegang saham, sekutu, atau anggota;

Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah biaya-

biaya yang dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan

pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah

pribadi, biaya perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan

untuk kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya.

c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:

1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain

yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi,

perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;

2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial

yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;

3. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;

4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;

5. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan

6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan

limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang

ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan;

Page 15: Akper Edit

d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi

dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang

pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung

sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;

Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi

dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang

pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orang

pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi,

penerimaan tersebut bukan merupakan Objek Pajak.

Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja,

maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai

biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang

merupakan Objek Pajak.

e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang

diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan

dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam

bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan

pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan

Menteri Keuangan;

Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d,

penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap

bukan merupakan objek pajak. Selaras dengan hal tersebut, dalam ketentuan

ini penggantian atau imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan

pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja.

Namun, dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, pemberian

natura dan kenikmatan berikut ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto

pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang

menerimanya:

1. penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang

diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah

Page 16: Akper Edit

tersebut dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk

mendorong pembangunan di daerah terpencil;

2. pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam

pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena

sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya, seperti pakaian dan

peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas

keamanan (satpam), antar jemput karyawan, serta penginapan untuk

awak kapal dan yang sejenisnya; dan

3. pemberian atau penyediaan makanan dan atau minuman bagi seluruh

pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.

f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham

atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan

sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan

g. Pajak Penghasilan;

Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah

Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.

h. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib

Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;

Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi

tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh

Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh

dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.

i. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan

komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;

Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang modalnya tidak

terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada

imbalan sebagai gaji. Dengan demikian gaji yang diterima oleh anggota

persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas

saham, bukan merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan

bruto badan tersebut.

Page 17: Akper Edit

j. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana

berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundangundangan di

bidang perpajakan.

Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 21

1. penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa

penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur;

2. penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur

berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;

3. penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan

penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus

berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau

jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis;

4. penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian,

upah mingguan, upah satuan, upah borongan, atau upah yang dibayarkan

secara bulanan;

5. imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee,

dan imbalan sejenis dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan

sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan;

6. imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang

representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan

nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.

Penghasilan Yang Tidak Dipotong PPh Pasal 21

1. pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi

kesehatan,asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi

bea siswa;

2. penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk

apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali diberikan

oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang

bersifat final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma

penghitungan khusus (deemed profit).

Page 18: Akper Edit

3. iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah

disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran tunjangan hari tua atau iuran

jaminan hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan

penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja;

4. zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga

amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah;

5. Beasiswa yang diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib

Pajak pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan

formal/nonformal yang terstruktur baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Lain-Lain

Pemotong PPh Pasal 21 dan Penerima Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 wajib

mendaftarkan diri ke kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

Pegawai, penerima pensiun berkala, serta bukan pegawai yang menerima

penghasilan dari pemotong PPh Pasal 21 secara berkesinambungan dalam 1 (satu)

tahun kalender wajib membuat surat pernyataan yang berisi jumlah tanggungan

keluarga pada awal tahun kalender atau pada saat mulai menjadi Subjek Pajak dalam

negeri sebagai dasar penentuan PTKP dan wajib menyerahkannya kepada Pemotong

Pajak saat mulai bekerja atau mulai pensiun;

Dalam hal terjadi perubahan tanggungan keluarga, pegawai, penerima pensiun

berkala dan bukan pegawai yang menerima penghasilan dari pemotong PPh Pasal 21

secara berkesinambungan dalam 1 (satu) tahun kalender wajib membuat surat

pernyataan baru dan menyerahkannya kepada pemotong PPh Pasal 21 paling lama

sebelum mulai tahun kalender berikutnya;

Pemotong PPh Pasal 21 wajib membuat dan memberikan Bukti Pemotongan PPh

Pasal 21 kepada penerima penghasilan yang dipotong pajak;

i.) Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun seperti pembagian dividen kepada pemilik modal, pengambilan privat oleh pemiliknya, pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada anggotanya dan pembayaram dividen oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis,

Page 19: Akper Edit

tidak boleh sebagai pengurang penghasilan bruto dari Wajib Pajak yang membagikan (pasal 9 ayat (1) huruf a). pembagian laba semacam itu merupakan penggunaan penghasilan atau laba yang dibagikan itu sendiri merupakan penghasilan Wajib Pajak sehingga yang membagikannya yang harus dikenai PPh. Mungkin ada ang beragumen bahwa laba yang dibagikan dapat dinilai sebagai biaya untuk mendapatkan penghasilan karena laba yang dibagikan itu pada dasarnya merupakan balas jasa atas penggunaan modal. Tanpa modal penghasilan tidak mungkin dapat diperoleh. Namun demikian, apabila seluruh modal yang dipergunakan berasal dari pemegang saham dan seluruh laba dibagikan sebagai dividen, maka tidak ada lagi sisa penghasilan yang bias dikenai pajak pada Wajib Pajak yang membagikan laba itu (separated entity approach antara WP – Lihat Bab III). Oleh karena itu, UU PPh secara tegas menyatakan bahwa pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun tidak boleh sebagai pengurangan penghasilan bruto.

ii.) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggotanya, seperti biaya listrik untuk rumah biaya perbaikan rumah, biaya sekolah anak-anak mereka, dan lain-lain (pasal 9 ayat (1) huruf b),termasuk biaya yang dikeluarkan yang jumlahnya melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan (pasal 9 ayat (1) huruf f), dan biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya (pasal 9 ayat (1) huruf i). jelas sekali biaya-biaya ini merupakan penggunaan penghasilan atau dividen terselubung jika dikeluarkan untuk kepentingan pemegang saham, di samping mungkin merupakan imbalan yang diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan, atau yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenai pajak. Oleh karena itu, biaya-biaya semacam itu tidak boleh sebagai pengurang penghasilan (koreksi positif beda tetap).

Contoh: (1) Tuan Ari, direksi sekaligus pemegang saham PT AB, menerima gaji Rp 20.000.000,00 sebulan. Sedangakn Tuan Adi juga direksi, tetapi bukan pemegang saham PT AB, menerima gaji Rp 17.000.000,00 sebulan. Dalam kasus ini terjadi ketidakwajaran memberikan gaji kepada Tuan Ari. Atas ketidakwajaran memberikan gaji kepda Tuan Ari . Atas jumlah yang melebihi kewajaran sebesar Rp 3.000.000,00 (Rp 20.000.000,00 – Ro 17.000.000,00), tidak boleh sebagai pengurang pengurang penghasilan.

Page 20: Akper Edit

(2) Tuan Ali, direksi sekaligus pemegang saham PT C , menerima gaji Rp 15.000.000,00 sebulan. Sedangkan Tuan Baba juga direksi, tetapi bukan pemegang saham PT C, menerima gaji Rp 10.000.000,00 sebulan. Dalam kasus ini terjadi ketidakwajaran memberikan gaji kepada Tuan Ali. Atas ketidakwajaran memberikan gaji kepada Tuan Ali. Atas jumlah yang melebihi kewajaran sebesar Rp 5.000.000 (Rp 15.000.000,00 – Rp 10.000.000,00), tidak boleh sebagai pengurangan penghasilan.

iii.) Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayar oleh Wajib Pajak Orang Pribadi untuk tertanggung yang adalah dirinya sendiri atau keluarganya, tidak boleh sebagai pengurang penghasilan bruto dari Wajib Pajak Orang Pribadi itu (pasal 9ayat (1) huruf d) sehingga harus di koreksi positif beda tetap. Salah satu implikasi normatif dari pengertian penghasilan sebagai tambahan kemampuan ekonomis adalah bahwa pembayaran premi asuransi merupakan penggunaan penghasilan untuk disimpan perusahaan asuransi yang akan diambil kembali jika kontraknya telah selesai.

Berbeda halnya apabila premi asuransi kesehatan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa itu dibayar oleh Wajib Pajak, di mana yang menjadi tertanggung bukan diri Wajib Pajak itu sendiri atau keluarganya, melainkan pegawainya. Dalam hal ini, pembayaran premi asuransi-asuransi itu pada dasarnya merupakan pembayaran imbalan (dalam bentuk kenikmatan) kepada pegawai dalam hubungan kerja. Oleh karena itu, pembayaran premi asuransi-asuransi itu dikategorikan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. Jadi, premi-premi tersebut, walaupun pembayarannya merupakan pembayaran imbalan dalam bentuk kenikmatan, boleh sebagai perusahaan penghasilan, asalkan dan pegawai yang menerimanya merupakan penghasilan objek PPh pasal 21 (lihat pasal 6 ayat (1)huruf a dan c). hal yang terakhir ini merupakan penerapan dari atas taxability deductibility non-taxability non-deductibility.

iv.) Biaya karyawan merupakan pembayaran bonus, gratifikasi, jasa produksi yang berasal dari atau yang dibebankan kepada laba ditahan, tidak boleh dicatat sebagai pengulang penghasilan dan harus dikoreksi fiskal beda tetap, karena pembayaran tersebut merupakan penggunaan laba ditahan (penghasilan). Demikian juga denga pembayaran tantiem juga tidak boleh dicatat sebagai pengurang penghasilan dan harus dikoreksi beda tetap,

Page 21: Akper Edit

karena tantiem merupakan bagian keuntungan yang dibagikan kepada Direksi dan komisaris oleh pemegang saham yang didasarkan pada presentase / jumlah tertentu dan laba setelah PPh (SE-06/PJ.44/1999 Tgl 17 Februari 1992 tentang Penegasan Surat Edaran Direktur Jendral Nomor SE-16/PJ.44/1992 Tanggal 12 mei 1992 tentang Pembagian Bonus, Gratifikasi, Jasa Produksi dan Tantiem).

Pengeluaran atau biaya yang tidak boleh sebagai pengurang penghasilan (harus dikoreksi fiscal positif beda tetap) karena Negara tidak mau ikut menanggung kesalahan yang dibuat Wajib Pajak di bidang perpajakan.

Pengeluaran tersebut adalah pengeluaran untuk membayar segala macam sanksi perpajakan seperti sanksi administrasi berupa denda bunga dan kenaikan, dan sanksi pidana berupa denda, termasuk PPN. Masukan yang tidak boleh dikreditkan karena kesalahan formal yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak, yaitu Faktur Pajak yang isinya tidak lengkap, dan tidak berbentuk Faktur Pajak Standar.

Merupakan sesuatu yang logis dan wajar jika kesalahan Wajib Pajak di bidang perpajakan tidak boleh ditanggung oleh negara dengan cara kesalahan tersebut dibayar dengan penghasilan yang dikenai PPh (mencatatnya sebagai biaya), sehingga hak negara dari penghasilan itu berkurang.

Catatan: Imbalan bunga yang diterima oleh WP berkenaan dengan pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, atau Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat adanya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding adalah merupakan objek PPh tidak final. Sedangkan pengembalian sanksi administrasi berupa bunga , denda dan kenaikan berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, atau Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, atau Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi serta sanksi pidana berupa denda, adalah bukan merupakan objek PPh (SE Dirjen Pajak No. SE-04/PJ.42/2002 tanggal 2 April 2002)

Page 22: Akper Edit

Biaya yang tidak boleh sebagai pengurangan penghasilan karena tidak berkaitan langsung dengan penghasilan yang dikenai PPh terdiri dari:

a. Menurut akuntansi segala macam pajak temasuk Pajak Penghasilan merupaka biaya atau pengeluaran yang mengurangi hak pemiliknya. Menurut UU PPh pembayaran pajak langsung seperti Pajak Penghasilan tidak ada hubungan dengan kegiatan Wajib Pajak untuk mendapatkan, menagih, atau memelihara penghasilan. Oleh karena itu, pengeluaran untuk membayar Pajak Penghasilan ditegaskan sebagai pengeluaran yang tidak boleh sebagai pengurang penghasilan dan harus dikoreksi fiscal positif beda tetap.

Pajak Penghasilan, termasuk PPh Pasal 21, PPh pasal 27, PPh pasal 23, PPh pasal 24, PPh pasal 26 atas dividen, dan PPh pasal 26 atas objek lainnya yang ditanggung oleh Pemotong PPh pasal 23/26 yang tidak dihitung dengan metode grossed up, tidak boleh sebagai pengurang penghasilan. Sedangkan PPh pasal 21 yang ditunjang pemberi kerja (Pemotong PPh pasal 21), dan PPh pasal 26 atas penghasilan lain selain dividen yang dihitung dengan metode grossed up boleh sebagai pengurang penghasilan.

PPN Masukan atas biaya yang tidak boleh sebagai pengurang penghasilan, juga tidak boleh sebagai pengurang penghasilan. Misalnya, PPN Masukan atas pembelian sedan. Atas sedan tidak boleh dilakukan penyusutan secara fiskal (biaya penyusutannya tidak diakui sebagai pengurang penghasilan), maka PPN masukan atas pembelian sedan tersebut tidak boleh sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung PPh yang terutang tahunan.

b. Biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikecualikan sebagai Objek Pph, sebagaimana ditentukan dalam pasal 4 ayat (3) UU PPh, tidak boleh sebagai pengurang penghasilan yagn dikenai PPh dan harus dikoreksi fiskal positif beda tetap.

Misalnya, sebuah Yayasan Dana Pensiun yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan di samping menerima penghasilan dari iuran pensiun dan dari bunga deposito, juga menerima penghasilan dari persewaan kendaraan miliknya. Menurut ketentuan pasal 4 ayat (3) huruf g dan h, penghasilan dana pensiun yang berasal dari iuran pensiun dan dari modal yang ditanamkan di bidang deposito dikecualikan sebagai objek PPh. Sedangkan penghasilan dari

Page 23: Akper Edit

persewaan kendaraan adalah objek PPh yang dikenai PPh bersifat tidak final. Sehubungan dengan itu, maka semua pengeluaran biaya yang dikeluarkan oleh Yayasan Dana Pensiun yang berkaitan dengan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikecualikan sebagai objek PPh tersebut tidak boleh sebagai pengurang penghasilan dari persewaan kantor yang dikenai PPh tidak final.

c. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang telah dikenai pemotongan atau pemungutan PPh yang bersifat final, tidak boleh sebagai pengurang penghasilan yang dikenai PPh dengan tarif pasal 17 dan harus dikoreksi fiskal positif beda tetap.

Misalnya, PT B yang bergerak di bidang sewa-menyewa gedung kantor mempunyai penghasilan luar usaha seperti penghasilan dari penjualan aktiva selain tanah/bangunan. Karena atas penghasilan dari persewaan gedung kantor dikenai PPh bersifat final, maka segala biaya yang berhubungan dengan persewaan kantor tersebut tidak boleh sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung PPh atas penghasilan dari penjualan aktiva selain tanah/bangunan tersebut yang dikenai PPh dengan tarif pasal 17, atau atas penghasilan lain selain penghasilan dari sewa kantor yang dikenai PPh dengan tarif pasal 17.

Berdasarkan ketentuan tersebut, sejak awal tahun WP diharuskan untuk membukukan secara terpisah antara biaya-biaya yng berkaitan langsung dengan penghasilan yang bukan objek PPh, biaya-biaya yang berkaitan langsung dengan penghasilan yang dikenakan PPh bersifat final, dengan biaya-biaya yang berkaitan langsung dengan penghasilan yang dikenakan PPh bersifat tidak final. Biaya-biaya tersebut tidak boleh digabungkan atau dicampuradukkan satu sama lain, supaya gampang menghitung penghasilan kena pajak.

Seandainya WP menggabungkan biaya-biaya tersebut sehingga sulit dipisahkannya secara tegas, maka untuk memisahkan mana biaya yang berkaitan dengan penghasilan yang dikecualikan sebagai objek PPh, mana biaya yang berkaitan dengan penghasilan yang dikenai PPh bersifat final, dan mana biaya yang berkaitan dengan penghasilan yang dikenai PPh bersifat tidak final, maka biaya-biaya tersebut dibagi secara proporsional menurut besarnya masing-masing penghasilan.

Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenai PPh berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (deemed

Page 24: Akper Edit

profit) sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 dan pasal 15 UU PPh, tidak boleh sebagai pengurang penghasilan dan harus dikoreksi fiskal positif beda tetap.

Biaya yang tidak boleh sebagai pengurang penghasilan dan harus dikoreksi fiskal positif beda tetap, karena biaya tersebut tidak memenuhi persyaratan formal atau tidak memiliki bukti pengeluaran eksternal asli berupa bukti yang diberikan oleh pihak luar perusahaan yang menerima pembayaran.

Setiap pengeluaran harus bisa dibuktikan secara eksternal. Dari bukti itu bisa ditentukan apakah pengeluaran itu digunakan utnuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau tidak. Tanpa adanya bukti eksternal bahwa sesuatu pengelauran boleh sebagai pengurang penghasilan, maka akan timbul peluang bagi Wajib Pajak untuk menyelundupkan pajak dengan cara menjadikan biaya tanpa bukti eksternal itu sebagai pengurang penghasilan , walaupun sebenarnya dikeluarkan untuk tujuan konsumtif dan semacamnya. Oleh karena itu, bukti-bukti eksternal yang asli penting disimpan sebagai pertanggungjawaban Wajib Pajak di kemudian hari.

Namun, dalam praktek sering dijumpai adanya pengeluaran yang bukti eksternalnya tidak bisa diperoleh secara memadai, seperti pengeluaran untuk entertain/representasi pelanggan, pengeluaran untuk transportasi kendaraan umum seperti biaya taksi, bis umum, biaya perjalanan dinas, dan lain-lain.

a) Biaya entertain/representasi, jamu tamu dan sejenisnya pada umumnya tidak mempunyai bukti eksternal yang memadai. Hanya karena biaya ini diakui perlu untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, maka ada ruling dari Dirjen Pajak bahwa biaya entertain/representasi boleh sebagai pengurang penghasilan (tidak perlu dikoreksi fiskal), asalkan dibuat daftar nominatifnya yang berisikan tanggal entertain/representasi, tempat, jenis, jumlah entertain/representasi, serta dengan siapa (relasi usaha) entertain atau representasi dilakukan,d ari perusahaan mana dan dalam kedudukan apa orang yang di-entertain. Daftar nominatif itu harus dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh (SE-27/PJ.22/1986 Tanggal 14 Juni 1986 tentang Biaya Entertainment dan Sejenisnya).

b) Demikian juga dengan biaya perjalanan dinas, biaya transportasi yang menggunakan kendaraan umum seperti ongkos taksi, bis umu, kereta api, dan lain-lain. Pada umumnya biaya semacam itu tidak

Page 25: Akper Edit

mempunyai bukti pendukung yang memadai dan tidak besar. Tetapi berdasarkan ruling dari Dirjen Pajak pnegeluaran biaya semacam itu boleh sebagai pengurang penghasilan (tidak perlu dikoreksi fiskal). Contoh Daftar Norminatif Biaya Entertain/Representasi dan sejenisnya yang harus dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh supaya boleh sebagai pengurang penghasilan lihat halaman berikut.

Biaya-biaya yang tidak boleh sebagai pengurang penghasilan khusus bagi WP BUT.

Sesuai ketentuan pasal 5 ayat (3) huruf b dan c UU PPh, biaya-biaya WP BUT yang tidak boleh dicatat sebagai pengurang penghasilan yang dikenai PPh bersifat tidak final dan yang harus dikoreksi fiskal positif beda tetapnya adalah biaya-biaya atau pengeluaran-pengeluaran oleh WP BUT kepada kantor pusatnya, seperti pembayaran royalti atau imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya, pembayaran imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya, bunga, kecuali bunga yang berkaitan dengan usaha perbankan. Sebaliknya, apabila kantor pusat yang membayar pengeluaran-pengeluaran tersebut ke WP BUTnya, maka pembayaran tersebut bukan merupakan penghasilan bagi WP BUT.

Sesuai Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-62/PJ./1995, biaya administrasi kantor pusat yang boleh sebagai pengurang penghasilan WP BUT adalah biaya administrasi kantor pusat yang berkaitan dan dalam rangka untuk menunjang usaha atau kegiatan BUT yang bersangkutan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Akan tetapi, besarnya dibatasi yaitu setinggi-tingginya sebanding dengan besarnya peredaran usaha atau kegiatan perusahaan di seluruh dunia. Untuk itu, WP BUT wajib menyampaikan laporan keuangan konsolidasi atau kombinasi dari kantor pusat yang meliputi seluruh usaha dan/atau kegiatan perusahaan di seluruh dunia untuk tahun pajak yang bersangkutan sebagai lampiran SPT Tahunan PPh. Laporan keuangan konsolidasi atau kombinasi tersebut harus sudah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik yang mengungkapkan rincian peredaran usaha atau kegiatan perusahaan serta jenis dan besarnya biaya administrasi yang dibebankan kepada masing-masing BUT di negara tempat perusahaan melakukan usaha atau kegiatan.

Berdasarkan Kep-390/PJ./2002 tanggal 22 Agustus 2002 pembayaran Dana jaminan Penyelesaian Transaksi Bursa (dana yang berasal dari iuran wajib Pemodal yang dibayarkan kepada Lembaga Kliring dan Penjaminan, untuk tujuan penjaminan penyelesaian transaksi bursa) oleh Pemodal

Page 26: Akper Edit

(anggota kliring atau nasabahnya yang melakukan pesanan jual beli surat berharga dalam suatu transaksi) tidak dapat dikurangkan sebagai biaya (non deductible), atau ditambahkan pada harga perolehan surat berharga, atau dikurangkan dari harga jual surat berharga bagi Pemodal ybs. Demikian juga dengan Penggunaan Dana Jaminan Penyelesaian Transaksi Bursa untuk penyelesaian gagal bayar bukan merupakan biaya atau kerugian bagi KPEI, dan bukan merupakan penghasilan bagi Pemodal ybs. Dipihak lain Penerimaan Dana Jaminan Penyelesaian Bursa oleh KPEI bukan merupakan penghasilan KPEI sepanjang tidak dipergunakan untuk menambah kemampuan ekonomis.

2.3.2.2. Biaya yang Boleh Sebagai Pengurang Penghasilan (Deductible Costs/Expenses)

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa pada dasarnya semua biaya yang dikenal di dalam akuntansi boleh sebagai pengurang penghasilan asalkan biaya itu digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan objek PPh dan dikenai PPh bersifat tidak final sebagaimana ditentukan di pasal 6 UU PPh. Walaupun demikian, harus diperhatikan bahwa semua biaya yang boleh sebagai pengurang penghasilan itu mempunyai batasan-batasan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dan akan ditegaskan lagi berikut ini.

Sama seperti di dalam akuntansi, menurut UU PPh semua pengeluaran atau biaya-biaya yang boleh sebagai pengurang penghasilan bruto yang objek PPh dan yagn dikenai pajak tidak bersifat final bisa dibedakan atas:

1. Pengeluaran rutin atau biaya usaha sehari-hari yang terbagi atas:

Pengeluaran yang manfaatnya akan dipetik dalam masa satu tahun atau kurang (untuk masa manfaat satu tahun atau kurang).

Pengeluaran yang manfaatnya akan dipetik dalam masa lebih dari satu tahun (untuk masa manfaat lebih dari satu tahun).

2. pengeluaran modal, yaitu pengeluaran untuk mendapatkan alat-alat perusahaan yang lazimnya mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun.

Pengeluaran rutin untuk masa manfaat satu tahun atau kurang yang boleh sebagai pengurang penghasilan dibebankan sebagai pengurang penghasilan pada tanggal pengeluarannya, persisnya pada tanggal timbulnya kewajiban untuk membayar tau tanggal pembayaran, berdasarkan mana yang terjadi lebih dahulu. Pengeluaran rutin untuk masa manfaat lebih dari satu tahun seperti biaya sewa untuk dua tiga tahun atau lebih yang boleh sebagai pengurang penghasilan dibebankan melalui

Page 27: Akper Edit

amortisasi. Perhitungan besarnya biaya amortisasi tersebut setiap tahun mengikuti ketentuan pasal 11A UU PPh (lihat penjelasan biaya modal).

Pengeluaran modal/aktiva tetap yang lazimnya mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun harus dibedakan atas pengeluaran untuk mendapatkan aktiva tetap berwujud dan aktiva tetap tidak berwujud. Pengeluaran untuk mendapatkan aktiva tetap tidak berwujud untuk usaha dapat dibebankan melalui amortisasi, jika aktiva tetap tidak berwujud itu dipergunakan sepenuhnya untuk usaha mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Perhitungan besarnya amortisasi tersebut mengikuti ketentuan pasal 11A UU PPh (Lihat penjelasan biaya modal).

Sedangkan pengeluaran untuk membeli aktiva tetap berwujud dapat dibebankan melalui penyusutan, jika aktiva tetap berwujud itu dimiliki dan dipergunakan sepenuhnya untuk usaha mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Perhitungan besarnya penyusutan aktiva tetap berwujud setiap tahun mengikuti ketentuan pasal 11 UU PPH (lihat penjelasan biaya modal).

Untuk lebih memperjelaskan mengenai perlakuan perpajakan terhadap biaya-biaya

akuntansi tersebut, berikut ini adalah penjelasan mendetail mengenai perbedaan

perlakuan UU PPH terhadap biaya-biaya yang dikenal dalam akuntansi.

a. Biaya usaha sehari-hari (biaya/pengeluaran rutin):

i. Harga Pokok Penjualan

UU PPh juga mengakui adanya harga pokok penjualan (HPP) yang boleh sebagai pengurang penghasilan (UU PPh menyebutkan biaya pembelian bahan). Tetapi dengan catatan bahwa baik di dalam akuntansi maupun di dalam UU PPh biaya pembelian bahan tidak selalu dibebankan/dipakai sekaligus pada tahun pembelian, tetapi masih bisa tersisa sebagai persediaan. Mengenai perbedaan perhitungan persediaan antara akuntansi dan UU PPh lihat subbab berikut mengenai perbedaan waktu.

Mengenai biaya upah buruh langsung dan upah buruh tidak langsung lihat penjelasan tentang biaya karyawan pada biaya operasi (biaya penjualan dan biaya umum dan administrasi di bawah ini).

Besarnya biaya penyusutan mesin dan bangunan pabrik serta biaya amortisasi yang masuk dalam biaya pabrikasi (factory overhead) harus dihitung berdasarkan

Page 28: Akper Edit

ketentuan dalam pasal 11 dan 11A UU PPh. Cara menghitung penyusutannya dapat dilihat di bawah ini (paragraf biaya modal).

Biaya overhead pada dasarnya boleh sebagai pengurang penghasilan, asalkan sesuai dengan ketentuan UU PPh (lihat penjelasan biaya terkait di bawah).

ii. Biaya Operasi (Biaya Penjualan dan Biaya Umum Administrasi):

a. Biaya karyawan (gaji/upah) bagian penjualan dan administrasi

Biaya gaji dan lain-lain, termasuk segala jenis tunjangan yang diberikan kepada pegawai dalam hubungan kerja untuk mendapatkan, memelihara, dan menagih penghasilan yang dikenai PPH bersifat tidak final pada dasarnya boleh sebagai pengurang penghasilan (penjelasan ini mencakup juga penjelasan tentang upah buruh langsung dan tidak langsung dalam HPP). Namun, apabila gaji/upah atau imbalan kepada pegawai diberikan dalam bentuk natura (benefit in kind) atau kenikmatan, maka biaya tersebut harus dikeluarkan dari biaya karyawan dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak yang bersifat tidak final, karena biaya semacam itu tidak boleh sebagai pengurang penghasilan yang dikenai PPh bersifat tidak final, dan harus dikoreksi fiskal positif beda tetap. Pemberi kerja (perusahaan) disyaratkan oleh UU untuk memikul beban pajaknya (lihat juga penjelasan mengenai imbalan dalam bentuk natura yang tidak boleh sebagai pengurang penghasilan).

Khusus untuk WP Orang Pribadi dan WP Badan yang berbentuk persekutuan (firma, kongsi, CV yang tidak terbagi atas saham, dan semacamnya), gaji/upah dan segala macam tunjangan yang dibayarkan kepada anggota persekutuan atau keluarganya tidak boleh sebagai pengurang penghasilan walaupun dibayar dalam bentuk uang secara langsung, karena apa pun yang diterima oleh anggota persekutuan tersebut merupakan bagian laba, atau apa pun yang diambil oleh Orang Pribadi dari hasil usahanya merupakan penggunaan penghasilan. Menurut ketentuan pasal 4 ayat (3) huruf h, bagian laba yang diterima tersebut bukan Objek Pajak, sehingga bagi pihak yang memberi (dalam hal ini persekutuan) tidak boleh mencatatnya sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung PKP (pasal 9 ayat (1) huruf a dan b). Demikian juga sesuatu yang merupakan penggunaan penghasilan harus dikenai pajak sesuai dengan pengertian material dari penghasilan.

(Dalam praktek biaya gaji/upah yagn tercantum dalam SPT Tahunan PPh WP Badan dan/atau WP Orang Pribadi disertai lampiral laporan keuangan harus sama dengan total jumlah gaji/upah bruto yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh pasal 21 oleh WP bersangkutan. Jika biaya gaji/upah dalam SPT Tahunan WP Badan dan/atau WP

Page 29: Akper Edit

Orang Pribadi lebih besar daripada biaya gaji/upah yang terdapat dalam SPT Tahunan PPh pasal 21, atas selisih tersebut fiskus mengoreksinya sebagai biaya yang tidak boleh sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung PKP kalau perbedaan tersebut tak bisa dijelaskan).

Contoh soal pegawai tetap :

1 Nama : Ny. Shinta

NPWP : 05.035.477.8.311

Jabatan : Sekertaris Direksi

Alamat : Jln. Batusari No 28 Kemanggisan Jakarta

Status : Menikah dan sudah mempunyai dua

orang anak kandung (suami Shinta

adalah seorang PNS)

Gaji dan imbalan yang diberikan oleh

perusahaan dalam bulan Maret 2013

Gaji Pokok : Rp. 15.000.000

Tunjangan Transpor : Rp. 1.500.000

Tunjangan anak : Rp. 900.000

Premi Asuransi Kecelakaan

Kecelakaan

: Rp. 750.000

Premi Asuransi Kematian : Rp. 45.000

Iuran Pensiun : Rp. 600.000

Iuran Jaminan Hari Tua : Rp. 555.000

Bingkisan Sembako (nilai pasar) : Rp. 1.200.000

Adapun beban yang ditanggung

pegawai adalah :

Iuran pensiun : Rp. 450.000

Iuran Jaminan Hari Tua : Rp. 300.000

Jawab:

Page 30: Akper Edit

Gaji pokok : Rp. 15.000.000

Tunjangan transport : 1.500.000

Tunjangan istri / anak : 900.000

Premi JKK : 750.000

Premi JKM : 45.000

Penghasilan Bruto : Rp. 18.195.000

-/- Biaya Jabatan : 500.000

Iuran pensiun : 450.000

Iuran JHT : 300.000

Penghasilan Netto : Rp. 16.945.000

Penghasilan Netto x 12 : Rp. 203.340.000

-/- PTKP : 36.000.000

PKP : Rp. 167.340.000

PKP :

5% x Rp. 50.000.000 = Rp. 2.500.000 15% x Rp. 117.340.000 = 117.340.000

= Rp. 20.101.000 /thn = Rp. 1.675.000 /bln

b. Biaya bunga pinjaman.

i. Surat Dirjen Pajak kepada Ketua Tim Pengendali Pemeriksaan Tingkat Pusat di Jakarta Nomor: S-109/PJ.01/TG/1992 tanggal 21 Maret 1992)

Pada dasarnya biaya bunga pinjaman untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yagn dikenai PPh tidak final boleh sebagai pengurang penghasilan, tetapi dengan batasan-batasan tertentu sebagai berikut:(1) Menurut pajak, tepatnya menurut Dirjen Pajak (karena banyak Konsultan Pjaak berpendapat tiak sesuai dengan ketentuan pasal 6 ayat (1) UU PPh), pembebanan bunga dalam masa konstruksi merupakan komponen biaya langsung yang menjadi bagian pembentukan harga pokok atau harga perolehan aktiva, seperti rumah atau gedung. Oleh karena itu, pengeluaran bunga pinjaman sampai dengan rumah atau gedung selesai dan siap dibangun atau dipasarkan (rumah/gedung sebagai persediaan) harus dikapitalisasi menjadi komponen harga pokok rumah atau harga perolehan gedung, tidak boleh dibebankan sekaligus sebagai baiay yang boleh sebagai pengurang penghasilan (SE-20/PJ.42/1994). Dlaam akuntansi pada dasarnya

Page 31: Akper Edit

yang boleh dikapitalisasi adalah biaya bunga pinjaman untuk membeli aktiva tetap, tidak lazim mengkapitalisasi biaya bunga pinjaman untuk membeli persediaan. Hanya dalam SAK hal yang disebut terakhir dimungkinkan.

2. Dalam hal di neraca terdapat selain utang pinjaman juga terdapat deposito, maka beban bunga atas pinjaman tersebut yang boleh sebagai pengurang penghasilan hanyalah sebesar tingkat suku bunga pinjaman dikalikan dengan rata-rata utang pinjaman setahun dikurangi rata-rata deposito setahun. Jumlah bunga yang dibebankan menurut akuntansi lebih besar daripada perhitungan tersebut harus dikoreksi fiskal positif beda tetap. Hal ini didasarkan pda pertimbangan untuk mencegah jangan sampai uang yang dipinjam oleh WP digunakan untuk ditempatkan sebagai deposito/tabungan, di mana bunga dari deposito/tabungan tersebut dikenai PPh bersifat final, sedangkan bunga dari pinjaman termaksud dicatat sebagai pengurang penghasilan. Contoh penghitungannya lihat SE-46/PJ.4/1995 tanggal 5 Oktober 1995.

3. Dalam hal perusahaan meminjam dana dari pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya atau dari anggota persekutuan dengan bunga melebihi kewajaran, maka selisih antara tingkat suku bunga yang wajar menurut harga pasar dan tingkat suku bunga yang melebihi kewajaran itu tidak boleh sebagai pengurang penghasilan dan harus dikoreksi fiskal positif beda tetap, karena tingkat suku bunga yang tidak wajar itu pada dasarnya merupakan dividen terselubung (lihat definisi dividen dalam penjelasan pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPh, sebagaimana dijelaskan pada Bab III).

Misalnya, A pemegang saham PT X telah menyetor penuh sebesar 100.000.000,00. Karena PT X kekurangan dana untuk modal kerja, si A meminjamkan dana sebesar Rp 50.000.000,00 ke PT X dengan tingkat suku bunga 25%, padahal tingkat suku bunga di pasar 20%.

Dalam hal ini berdasarkan ketentuan pasal 18 ayat (3) UU PPh Dirjen Pajak berwenang untuk mengoreksi penghasilan atau pengurangan bila besarnya penghasilan atau pengurangan tersebut dipengaruhi hubungan istimewa. Dengan demikian, makaSecara akuntansi biaya bunga

25% x Rp 50.000.000,00 = Rp 12.500.000,00

Secara fiskal biaya bunga

20% x Rp 50.000.000,00 = Rp 10.000.000,00

Selisih = Rp 2.500.000,00

Page 32: Akper Edit

Selisih sebesar Rp 2.500.000,00 menurut fiskal merupakan dividen terselubung yang dikenakan PPh pasal 23 atau pasal 26, karena dibayarkan kepada pemegang saham (ada hubungan istimewa), jadi tidak boleh sebagai pengurang penghasilan dan dikoreksi fiskal positif beda tetap. Biaya bunga yagn diakui fiskal hanya sebesar Rp 10.000.000,00

4. Jika perusahaan meminjam dana dari pemegang saham yang belum menyetor penuh modalnya, menurut UU PPh, peminjaman itu dianggap sebagai setoran modal sampai sejumlah disetor penuh. Karena UU PPh berpendapat bahwa kewajiban dari pemegang saham untuk menyetor penuh modalnya ke perusahaan supaya kekurangan dana yang dialami perusahaan bisa teratasi. Jikapun perusahaan mau meminjam uang, haruslah meminjam kepada pihak lain. Oleh karena itu, bunga yang timbul dari peminjaman kepada pemegang saham itu tidak diakui sebagai pengurang penghasilan perusahaan yang meminjam, dan harus dikoreksi atau dikeluarkan dari komponen biaya (pasal 18 ayat (3) UU PPh). Bahkan bisa dianggap sebagai dividen terselubung.

Contoh:Tuan A adalah salah satu pemegang saham PT B. Berdasarkan akta Tuan A harus menyetor modal sebesar Rp 500.000.000,00, tetapi pada kenyataannya Tuan A baru menyetor Rp 100.000.000,00. Pada suatu tahun PT B membutuhkan dana untuk operasi perusahaan sebesar Rp 700.000.000,00. Untuk itu, PT B meminjam dari Tuan A sebesar Rp 700.000.000,00 dengan bunga 25% p.a.

Secara akuntansi beban bunga PT B yang terutang atau yang harus dibayar kepada Tuan A adalah sebesar Rp 175.000.000,00 per tahun. Tetapi secara pajak, karena melihat Tuan A belum menyetor penuh modalnya ke PT B, dana pinjaman dari Tuan A Rp 700.000.000,00 itu akan diperlakukan sebagai berikut: Rp 400.000.000,00 dijadikan sebagai setoran modal sehingga modal Tuan A menjadi disetor penuh ke PT B, dan sisanya Rp 300.000.000,00 bisa dianggap sebagai pinjaman dengan bunga 25% p.a. Dengan demikian, secara pajak perhitungan beban bunga PT B yang boleh sebagai pengurang penghasilan adalah Rp 75.000.000,00 (25% x Rp 300.000.000,00), sedangkan beban bunga sebesar Rp 100.000.000,00 (25% x Rp 400.000.000,000) tidak diakui sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung PKP. Jadi, harus dikoreksi fiskal positif beda tetap.

5. Jika perusahaan meminjam dana dari pemegang saham tanpa bunga bisa dikoreksi oleh fiskus pada waktu pemeriksaan pajak sebagai pinjaman dengan bunga, kalau tidak memenuhi salah satu dari keempat syarat berikut:

Page 33: Akper Edit

a. Pinjaman tersebut berasal dar idana pemilik pemegang saham pemberi pinjaman itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain.b. Modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman kepada perusahaan penerima pinjaman telah disetor seluruhnya.c. Pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi.d. Perusahaan penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya

ii. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 46/PJ.4/1995.

Setiap entitas yang akan melakukan pengembangan usaha akan selalu memikirkan bagaimana cara mendapatkan sumber pendanaannya. Salah satu sumber pendanaan yang dapat digunakan entitas dengan melalui utang bank.

Utang bank akan memiliki proses yang berbeda pada sisi perpajakan akan muncul jika entitas tersebut memiliki deposito. Pembahasan kali ini didasarkan pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 46/PJ.4/1995.

Pada entitas yang memiliki utang bank akan memiliki kewajiban untuk membayar bunga pinjaman. Biaya bunga ini dapat dijadikan sebagai biaya pengurang objek pajak penghasilan. Namun, jika entitas memiliki deposito yang sumber pendanaannya dari hutang bank. Hal ini akan membuat perlakukan khusus atas biaya bunga pinjaman bank yang diperkenankan secara pajak.

Alasan diberlakukannya peraturan ini, dikarenakan deposito sendiri sudah dikenakan pajak final sehingga bukan merupakan objek pajak penghasilan. Pada sisi lain, jika biaya bunga dari utang bank yang menjadi sumber pendanaan investasi deposito dapat digunakan sebagai pengurang objek pajak, makan menurut pajak akan terjadi pengurangan objek pajak penghasilan secara tidak wajar.

Menurut ketentuan perpajakan terdapat beberapa kategori yang akan terjadi pada biaya bunga pinjaman dalam perhitungan pajak penghasilan entitas. Kategori ini hanya digunakan dalam perhitungan pajak penghasilan dan dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Biaya Bunga Pinjaman Bank Diperbolehkan dengan Jumlah Tertentu

Biaya bunga pinjaman diperbolehkan secara perpajakan dengan jumlah tertentu dengan syarat jumlah rata-rata utang bank lebih besar dibandingkan dengan jumlah

Page 34: Akper Edit

rata-rata deposito yang dimiliki. Oleh karena itu biaya bunga atas pinjaman yang boleh dibebankan sebagai biaya adalah bunga yang dibayar atau terutang atas rata-rata pinjaman yang melebihi jumlah rata-rata dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau tabungan lainnya.

Sebagai contoh 1:

PT Tora menerima pinjaman bank pada bulan Januari 2014 sebesar Rp 24.000.000.000,00 dengan biaya bunga pinjaman sebesar 11% per tahun. Pada waktu yang sama perusahaan menempatkan dananya pada investasi deposito sebesar Rp 9.000.000.000,00. Jadi berapakah biaya bunga pinjaman yang diperkenankan menurut perpajakan?

Pertama (Menghitung Jumlah Rata-Rata Utang Bank Setahun):

Jumlah Rata-Rata Utang Bank = Total Pinjaman : Masa Pinjaman

= Rp 24.000.000.000,00 : 12 Bulan

= Rp 2.000.000.000,00

Kedua (Menghitung Jumlah Rata-Rata Deposito Setahun):

Jumlah Rata-Rata Deposito = Total Deposito : Masa Deposito

= Rp 9.000.000.000,00 : 12 Bulan

= Rp 750.000.000,00

Ketiga (Menghitung Jumlah Biaya Bunga Pinjaman yang Diperkenankan Secara Pajak):

Biaya Bunga

Pinjaman

= Prosentase Bunga x (Jumlah Rata-Rata Utang Bank - Jumlah Rata-Rata Deposito)

= 11% x (Rp 2.000.000.000,00 - Rp 750.000.000,00)

= 11% x Rp 1.250.000.000,00

= Rp 137.500.000,00

Sebagai contoh 2:

Page 35: Akper Edit

PT Naga membuat perjanjian utang bank yang akan mulai ditarik bulan Januari 2014 dengan fasilitas maksimal Rp 24.000.000.000,00 dengan bunga sebesar 11%. Dana ditarik secara bertahap dengan rincian sebagai berikut:

Keterangan Nominal

Januari 2014 Rp 4.000.000.000,00

Maret 2014 Rp 10.000.000.000,00

Agustus 2014 Rp 10.000.000.000,00

Jumlah Rp 24.000.000.000,00

Pada tahun 2014, Perusahaan juga memiliki deposito dengan jumlah dan jadwal penempatan sebagai berikut:

Keterangan Nominal

Januari 2014 Rp 3.000.000.000,00

April 2014 Rp 3.000.000.000,00

Juli 2014 Rp 3.000.000.000,00

Jumlah Rp 9.000.000.000,00

Maka biaya bunga pinjaman yang diperkenankan secara perpajakan dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama (Menghitung Jumlah Rata-Rata Utang Bank Setahun):

Bulan Jumlah Utang BankJangka Waktu

Dasar Perhitungan

Januari - Februari 2014

Rp 4.000.000.000,00 2 Bulan Rp 8.000.000.000,00

Maret - Juli 2014 Rp 14.000.000.000,00 5 Bulan Rp 70.000.000.000,00

Agustus - Desember 2014

Rp 24.000.000.000,00 5 Bulan Rp 120.000.000.000,00

Jumlah Rp 198.000.000.000,00

Page 36: Akper Edit

Jumlah Rata-Rata Utang Bank = Total Dasar Perhitungan : Masa Pinjaman

= Rp 198.000.000.000,00 : 12 Bulan

= Rp 16.500.000.000,00

Kedua (Menghitung Jumlah Rata-Rata Deposito Setahun):

Bulan Jumlah DepositoJangka Waktu

Dasar Perhitungan

Januari - Februari 2014

Rp 3.000.000.000,00 3 Bulan Rp 9.000.000.000,00

Maret - Juli 2014 Rp 6.000.000.000,00 3 Bulan Rp 18.000.000.000,00

Agustus - Desember 2014

Rp 9.000.000.000,00 6 Bulan Rp 54.000.000.000,00

Jumlah Rp 81.000.000.000,00

Jumlah Rata-Rata Utang Bank = Total Dasar Perhitungan : Masa Deposito

= Rp 81.000.000.000,00 : 12 Bulan

= Rp 6.750.000.000,00

Ketiga (Menghitung Jumlah Biaya Bunga Pinjaman yang Diperkenankan Secara Pajak):

Biaya Bunga Pinjaman

= Prosentase Bunga x (Jumlah Rata-Rata Utang Bank - Jumlah Rata-Rata Deposito)

Page 37: Akper Edit

= 11% x (Rp 16.500.000.000,00 - Rp 6.750.000.000,00)

= 11% x Rp 9.750.000.000,00

= Rp 1.072.500.000,00

2. Biaya Bunga Pinjaman Bank Tidak Diperbolehkan sama Sekali

Biaya bunga pinjaman bank tidak diperbolehkan sebagai beban pengurang penghasilan kena pajak jika jumlah rata-rata utang bank kurang dari atau sama dengan jumlah rata-rata penempatan deposito yang dimiliki.

3. Biaya Bunga Pinjaman Bank Diperbolehkan

Biaya bunga pinjaman bank dapat diperkenankan secara perpajakan dengan kondisi sebagai berikut:

1. Dana pinjaman tersebut disimpan atau ditempatkan dalam bentuk rekening giro yang atas jasanya dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final,

2. Adanya keharusan bagi Wajib Pajak untuk menempatkan dana dalam jumlah tertentu pada suatu bank dalam bentuk deposito berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sepanjang jumlah deposito dan tabungan tersebut semata-mata untuk memenuhi keharusan tersebut: misalnya cadangan biaya reklamasi yang harus ditempatkan dalam bentuk deposito atau tabungan di Bank Pemerintah.

3. Dapat dibuktikan bahwa penempatan deposito atau tabungan tersebut dananya berasal dari tambahan modal dan sisa laba setelah kena pajak.

c. Biaya sewa dan royaltyBiaya sewa adalah Kewajiban perusahaan yang harus dibayarkan kepada pihak lain atas jasa pihak lain, yang telah meminjamkan sesuatu (aktiva) untuk kepentingan perusahaan.Perusahaan kadangkala membayarkan biaya sewa untuk periode lebih dari satu tahun, maka atas biaya sewa tersebut harus diamortisasi/di akui sebagai biaya sewa sesuai masa manfaat biaya sewa tersebut.Contoh Penerapan Biaya Sewa (Rent Expenses) :

PT.Gunung Slamet Sejahtera pada bulan Januari 2013 menyewa gudang dari Robert dengan harga sewa per tahun sebesar Rp.10.000.000,-. Biaya sewa tersebut harus dibayarkan sekaligus oleh PT.Gunung Slamet Sejahtera untuk jangka waktu 8 (delapan) tahun yaitu sebesar Rp.80.000.000,- (8 x 10.000.000).

Page 38: Akper Edit

Pengakuan biaya sewa selama 8 tahun tersebut dalam laporan laba rugi dan neraca

PT.Gunung Slamet Sejahtera untuk Tahun 2013 adalah sebagai berikut :

Laporan Laba Rugi Periode 1 Januari s/d 31 Desember 2013 adalah :

Biaya sewa gudang diakui untuk Tahun 2013 sebesar Rp. 10.000.000,-

Laporan Neraca Per 31 Desember 2013 pada posisi Aktiva adalah

Sewa dibayar dimuka sebesar Rp. 70.000.000 Aspek Perpajakan

Atas Biaya Sewa Tanah dan/atau Bangunan :

Aspek Perpajakan atas biaya sewa tanah dan/atau bangunan jika

penyewa pemotong pajak PPh Pasal 4 ayat (2), tetapi pemilik tanah

dan/atau bangunan bukan Pengusaha Kena Pajak adalah sebagai berikut :

1. Atas pembayaran biaya sewa Tanah dan/atau Bangunan oleh suatu

perusahaan, maka perusahaan tersebut harus memotong dan

menyetorkan pajak PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar 10 % x Seluruh biaya

sewa yang dibayarkan kepada pemilik Tanah dan/atau Bangunan.

2. Perusahaan yang menyewa harus memberikan bukti pemotongan PPh

Pasal 4 ayat (2) kepada pemilik Tanah dan/atau Bangunan tersebut.

3. Besarnya uang yang dibayarkan kepada Pemilik Tanah dan/atau

Bangunan adalah sebesar biaya sewa setelah dikurangi dengan

pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2), dengan catatan pemilik tanah bukan

Pengusaha Kena Pajak.

4. Pengakuan biaya sewa oleh perusahaan adalah sebesar biaya sewa yang

dibayarkan untuk satu periode / satu tahun. Apabila besarnya biaya sewa

yang dibayarkan meliputi beberapa periode/tahun, maka pengakuan

biaya sewa diamortisasi/diakui sesuai dengan masa manfaatnya.

Contoh :

PT.Gunung Slamet Sejahtera yang menyewa Gudang seperti tersebut diatas dari

Robert sebesar Rp.80.000.000,- untuk jangka waktu 8 tahun (Robert bukan

Pengusaha Kena Pajak), maka yang dilakukan PT.Gunung Slamet Sejahtera adalah

sebagai berikut :

1. Memotong dan menyetorkan PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar Rp.8.000.000,- (10 % x

80.000.000 ).

Page 39: Akper Edit

2. Melaporkan ke Kantor Pajak dengan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) atas

pemotongan tersebut.

3. Memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) kepada Robert.

4. Membayarkan biaya sewa selama 8 tahun setelah dikurangi PPh Pasal 4 ayat (2)

sebesar Rp.72.000.000,- (80.000.000-8.000.000) dengan catatan Robert bukan

Pengusaha Kena Pajak.

5. Biaya sewa satu tahun diakui sebesar Rp.10.000.000,- (80.000.000 dibagi 8)

Aspek Perpajakan atas biaya sewa tanah dan/atau bangunan jika penyewa

pemotong pajak PPh Pasal 4 ayat (2) dan pemilik tanah dan/atau bangunan

merupakan Pengusaha Kena Pajak yang usahanya dibidang penyewaan tanah

dan/atau bangunan adalah sebagai berikut :

1. Atas pembayaran biaya sewa Tanah dan/atau Bangunan oleh suatu

perusahaan, maka perusahaan tersebut harus memotong dan menyetorkan

pajak PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar 10 % x Seluruh biaya sewa yang dibayarkan

kepada pemilik Tanah dan/atau Bangunan. Perusahaan yang menyewa harus

memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) kepada pemilik Tanah

dan/atau Bangunan tersebut.

2. Pemilik Tanah dan/atau Bangunan menerbitkan Faktur Pajak atas transaksi

sewa tersebut dan memungut Pajak PPN sebesar 10 % x Seluruh biaya sewa.

3. Besarnya uang yang dibayarkan kepada Pemilik Tanah dan/atau Bangunan

adalah sebesar biaya sewa ditambah Pajak PPN dikurangi dengan

pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2).

4. Pengakuan biaya sewa oleh perusahaan adalah sebesar biaya sewa yang

dibayarkan untuk satu periode / satu tahun tidak termasuk pajak PPN jika

Perusahaan Pengusaha Kena Pajak. Jika Perusahaan bukan Pengusaha Kena

Pajak, maka biaya sewa diakui sebesar uang sewa ditambah dengan pajak

PPN yang telah dibayarkan. Apabila besarnya biaya sewa yang dibayarkan

meliputi beberapa periode/tahun, maka pengakuan biaya sewa

diamortisasi/diakui sesuai dengan masa manfaatnya.

Contoh :

Page 40: Akper Edit

PT.Baja Besi Kuat yang menyewa gedung untuk kantor dari PT. Gajah Mada Estate

(Pengusaha Kena Pajak ) sebesar Rp.20.000.000,- untuk jangka waktu empat tahun,

maka yang dilakukan PT.Baja Besi Kuat adalah sebagai berikut :

1. Memotong dan menyetorkan PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar Rp.2.000.000,- (10

% x 20.000.000 ).

2. Melaporkan ke Kantor Pajak dengan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) atas

pemotongan tersebut.

3. Memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) kepada PT. Gajah Mada

Estate.

4. Pajak PPN yang terutang atas biaya sewa tersebut adalah sebesar

Rp.2.000.000,- (10 % x 20.000.000)

5. Membayarkan biaya sewa selama empat tahun ditambah pajak PPN dan

dikurangi PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar Rp.20.000.000,- (20.000.000 +

2.000.000-2.000.000).

6. PT.Baja Besi Kuat menerima bukti pembayaran biaya sewa dan Faktur Pajak.

7. Biaya sewa satu tahun diakui sebesar Rp.5.000.000,- (20.000.000 dibagi 4)

Aspek Perpajakan Atas Biaya Sewa selain Tanah dan/atau Bangunan :

Aspek Perpajakan atas biaya sewa selain tanah dan/atau bangunan jika

penyewa pemotong pajak PPh Pasal 23, tetapi pemilik Harta selain tanah dan/atau

bangunan bukan Pengusaha Kena Pajak adalah sebagai berikut :

1. Atas pembayaran biaya sewa selain Tanah dan/atau Bangunan oleh suatu

perusahaan, maka perusahaan tersebut harus memotong dan menyetorkan

pajak PPh Pasal 23 sebesar 2 % x Seluruh biaya sewa yang dibayarkan kepada

pemilik Harta selain Tanah dan/atau Bangunan.

2. Perusahaan yang menyewa harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal

23 kepada pemilik Harta selain Tanah dan/atau Bangunan tersebut.

3. Besarnya uang yang dibayarkan kepada Pemilik Harta selain Tanah dan/atau

Bangunan adalah sebesar biaya sewa setelah dikurangi dengan pemotongan

PPh Pasal 23, dengan catatan pemilik tanah bukan Pengusaha Kena Pajak.

4. Pengakuan biaya sewa oleh perusahaan adalah sebesar biaya sewa yang

dibayarkan untuk satu periode / satu tahun. Apabila besarnya biaya sewa

Page 41: Akper Edit

yang dibayarkan meliputi beberapa periode/tahun, maka pengakuan biaya

sewa diamortisasi/diakui sesuai dengan masa manfaatnya.

Contoh :

PT.Dieng Jaya Sentosa yang menyewa Mobil dari Tugino sebesar Rp.40.000.000,-

untuk jangka waktu 4 tahun (Tugino bukan Pengusaha Kena Pajak), maka yang

dilakukan PT.Gunung Slamet Sejahtera adalah sebagai berikut :

1. Memotong dan menyetorkan PPh Pasal 23 sebesar Rp.800.000,- (2 % x

40.000.000 ).

2. Melaporkan ke Kantor Pajak dengan SPT Masa PPh Pasal 23 atas pemotongan

tersebut.

3. Memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 23 kepada Tugino.

4. Membayarkan biaya sewa selama 4 tahun setelah dikurangi PPh 23 ayat (2)

sebesar Rp.39.200.000,- (40.000.000-800.000) dengan catatan Robert bukan

Pengusaha Kena Pajak.

Aspek Perpajakan atas biaya sewa selain tanah dan/atau bangunan jika

penyewa pemotong pajak PPh 23 dan pemilik Harta selain tanah dan/atau bangunan

merupakan Pengusaha Kena Pajak yang usahanya dibidang penyewaan tanah

dan/atau bangunan adalah sebagai berikut :

1. Atas pembayaran biaya sewa selain Tanah dan/atau Bangunan oleh suatu

perusahaan, maka perusahaan tersebut harus memotong dan menyetorkan

pajak PPh 23 sebesar 2 % x Seluruh biaya sewa yang dibayarkan kepada

pemilik Harta selain Tanah dan/atau Bangunan. Perusahaan yang menyewa

harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 23 kepada pemilik Harta

selain Tanah dan/atau Bangunan tersebut.

2. Pemilik Harta selain Tanah dan/atau Bangunan menerbitkan Faktur Pajak atas

transaksi sewa tersebut dan memungut Pajak PPN sebesar 10 % x Seluruh

biaya sewa.

3. Besarnya uang yang dibayarkan kepada Pemilik Harta selain Tanah dan/atau

Bangunan adalah sebesar biaya sewa ditambah Pajak PPN dikurangi dengan

pemotongan PPh Pasal 23.

Page 42: Akper Edit

4. Pengakuan biaya sewa oleh perusahaan adalah sebesar biaya sewa yang

dibayarkan untuk satu periode / satu tahun tidak termasuk pajak PPN jika

Perusahaan Pengusaha Kena Pajak. Jika Perusahaan bukan Pengusaha Kena

Pajak, maka biaya sewa diakui sebesar uang sewa ditambah dengan pajak

PPN yang telah dibayarkan. Apabila besarnya biaya sewa yang dibayarkan

meliputi beberapa periode/tahun, maka pengakuan biaya sewa

diamortisasi/diakui sesuai dengan masa manfaatnya.

Contoh :

PT.Baja Besi Kuat yang menyewa mobil dari PT. Gajah Mada Estate (Pengusaha Kena

Pajak ) sebesar Rp.10.000.000,- untuk jangka waktu satu tahun, maka yang dilakukan

PT.Baja Besi Kuat adalah sebagai berikut :

1. Memotong dan menyetorkan PPh Pasal 23 sebesar Rp.200.000,- (2 % x

10.000.000 ).

2. Melaporkan ke Kantor Pajak dengan SPT Masa PPh Pasal 23 atas pemotongan

tersebut.

3. Memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 23 kepada PT. Gajah Mada Estate.

4. Pajak PPN yang terutang atas biaya sewa tersebut adalah sebesar

Rp.1.000.000,- (10 % x 10.000.000)

5. Membayarkan biaya sewa selama satu tahun ditambah pajak PPN dan

dikurangi PPh Pasal 23 sebesar Rp.10.800.000,- (10.000.000 + 1.000.000-

200.000).

6. PT.Baja Besi Kuat menerima bukti pembayaran biaya sewa dan Faktur Pajak.

Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas :

1. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusasteraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, disain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual / industrial atau hak serupa lainnya;

2. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan / perlengkapan industrial, komersial atau ilmiah;

Page 43: Akper Edit

3. Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial atau komersial;

4. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1., penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2., atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3., berupa:

a) Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;

b) Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;

c) Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;

5. Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio;

6. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas pembayaran royalti tersebut dikenakan pajak penghasilan Pasal 23 dengan tarif 15 % dari jumlah bruto yang dibayarkan (pelaksanaannya PPh dipotong oleh Wajib Pajak pemberi penghasilan), dan apabila Wajib Pajak yang penerima penghasilan royalti tidak memiliki NPWP, maka besar tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100 % daripada tarif semula (tarifnya jadi 30 % ).

Pembayaran royalti kepada Wajib Pajak Luar Negeri selain kepada BUT dipotong/dikenakan pajak penghasilan (PPh Pasal 26) sebesar 20 % dari jumlah bruto, atau sesuai dengan tarif dalam tax treaty negara Indonesia dengan negara domisili Wajib Pajak Luar Negeri yang bersangkutan.

d) Pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (8) UU PPN dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang dapat dibuktikan Pajak Masukan tersebut:Pajak Masukan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sehubungan dengan pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud serta biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1

Page 44: Akper Edit

(satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A UU PPh, harus dikapitalisasi dengan pengeluaran atau biaya tersebut dan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi.

a. benar-benar telah dibayar; danb. berkenaan dengan pengeluaran yang berhubungan dengan

kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

Pengkreditan Pajak Masukan tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:

1. perolehan BKP atau JKP sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP;

2. perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;

3. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;

4. pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP;

5. perolehan BKP atau JKP yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli BKP atau penerima JKP;

6. pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);

7. perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;

8. perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan; dan

9. perolehan BKP selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (2a).

Biaya pajak seperti PPN Masukan yang tidak bisa dikreditkan, PPnBM, bea meterai, PBB, Pajak-pajak daerah, dan pajak tidak langsugn lainnya pada dasarnya boleh sebagai pengurang penghasilan. Yang tidak boleh sebagai pengurang penghasilan adalah denda pajak (segala jenis pajak), biaya Pjaak Penghasilan, dan PPn Masukan yang tidak bisa dikreditkan karena Faktur Pajak yang isinya tidak lengkap atau karena Faktur Pajak

Page 45: Akper Edit

Sederhana, dan Pajak Masukan atas pengeluaran yagn menurut UU PPh tidak boleh sebagai pengurang penghasilan yang dikenai PPH bersifat tidak final dan harus dikoreksi fiskal positif beda tetap.

Khusus untuk biaya PPh Pasal 21 boleh sebagai pengurang penghasilan jika PPh pasal 21 itu ditunjang oleh perusahaan. Artinya, perhitungan PPh pasal 21 dilakukan dengan cara grossep up. Sedangkan PPh pasal 21 dilakukan dengan cara grossed up. Sedangkan PPh pasal 21 tidak boleh sebagai pengurang penghasilan, apabila PPh pasal 21 ditanggung oleh perusahaan. Berarti perhitungan PPh pasal 21-nya tidak dilakukan dengan cara grossed up (dihitung dengan cara biasa).

Demikian juga dengan biaya PPh pasal 26 yang ditanggung Pemotong Pajak (selain PPH pasal

26 atas dividen) bisa diakui sebagai pengurang penghasilan yang dikenai PPh bersifat tidak

final, jika dalam perhitungannya menggunakan metode grossed up (Pasal 4.d. Peraturan

Pemerintah Nomor 138 tahun 2001 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan

Pelunasan Pajak Penghasilan Selama Tahun Berjalan).

e) Berdasarkan pengalaman, sampai dengan saat ini masih banyak praktisi akuntansi di perusahaan-perusahaan yang keliru memperlakukan biaya pra-operasi dalam pelaporan keuangannya. Sering ditemukan biaya pra-operasi yang timbul sebelum perusahaan beroperasi secara komersial, tanpa pilih-pilih, langsung dimasukkan semuanya sebagai Biaya Ditangguhkan di Neraca.Menurut PSAK No. 6 mengenai Akuntansi dan Pelaporan bagi Perusahaan dalam Tahap Pengembangan, dalam paragraf 5 diatur secara jelas bahwa :Prinsip akuntansi yang berlaku umum berlaku bagi setiap perusahaan dalam tahap pengembangan (pra-operasi) baik dalam pengakuan pendapatan maupun dalam menentukan apakah biaya dibukukan sebagai beban pada periode berjalan, atau ditangguhkan pembebanannya (dikapitalisasi) untuk disusutkan/diamortisasi selama beberapa periode sesuai dengan pemulihan manfaatnya di masa depan. Penangguhan pembebanan tersebut hanya terbatas pada biaya-biaya yang memiliki manfaat di masa depan yang antara lain meliputi beban pendirian perusahaan.Dari paragraf di atas, jelas bahwa tidak semua biaya yang timbul selama perusahaan masih dalam kondisi pra-operasi dapat ditangguhkan (dikapitalisasi). Penangguhan pembebanan hanya diperbolehkan sebatas untuk biaya yang nyata-nyata dapat memberikan manfaat untuk lebih dari satu periode akuntansi. Untuk biaya yang tidak memenuhi kriteria tersebut seperti misalnya biaya kantor dan biaya umum harus langsung dibebankan dalam laporan laba rugi tahun berjalan.Peraturan Perpajakan juga mengatur perlakuan pencatatan fiskal

Page 46: Akper Edit

atas biaya pra-operasi. Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan yang diubah terakhir dengan UU No. 17 tahun 2000 Pasal 11A ayat (6) dijelaskan bahwa :Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).Kemudian, dalam bagian penjelasan diuraikan lebih jauh bahwa dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial (yang dapat dikapitalisasi/ditangguhkan) adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi komersial, misalnya biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan, tetapi tidak termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya. Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran.

f) F. Iuran/premi THT/pensiun yang dibayarkan pemberi kerja atau perusahaan

kepada dana pensiun yang telah disahkan Menteri Keuangan untuk para

pegawainya boleh sebagai pengurang penghasilan yang dikenai PPH bersifat

tidak final (tidak perlu dikoreksi fiskal). Walaupun pada dasarnya iuran/premi

THT/pensiun tersebu tmerupakan imbalan dalam bentuk kenikmatan yagn tidak

boleh sebagai pengurang penghasilan, tetapi UU PPh menegaskan bahwa demi

mendorong usaha menyejahterakan pegawai oleh perusahaan, maka bagi

pemberi kerja (perusahaan) biaya iuran/premi THT/pensiun termasuk biaya yang

boleh sebagai pengurang penghasilan (pasal 6 ayat (1) huruf c).

g) Kerugian dari selisih kurs mata uang asing pada dasarnya boleh sebagai

pengurang penghasilan, jika kerugian dari selisih kurs tersebut atas akun yang

berkaitan dengan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara

penghasilan yang dikenai PPH bersifat tidak final (tidak perlu dikoreksi fiskal).

Sedangkan kerugian dari selisih kurs atas akun yang tidak berkaitan dengan

usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenai

PPh bersifat tidak final tidak boleh sebagai pengurang penghasilan tersebut dan

harus dikoreksi fiskal positif beda tetap.Untuk menghilangkan keragu-raguan

apakah kerugian dari selisih kurs mata uang asing yang boleh sebagai pengurang

penghasilan tersebut dibebankan pada saat realisasi atau sebelum realisasi,

maka UU PPh menegaskan sebagai berikut: Kerugian dari selisih kurs yang

disebabkan oleh fluktuasi kurs valas dibebankan sesuai sistem pembukuan yang

Page 47: Akper Edit

dianut WP asal taat asas. Apabila WP menggunakan sistem pembukuan

berdasarkan kurs tetap, pembebanan kerugian selisih kurs dilakukan pada saat

realisasi atas perkiraan valas tersebut. Apabila WP menggunakan sistem

pembukuan berdasarkan kurs tengah BI atau kurs yang sebenarnya berlaku pada

akhir tahun, pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun berdasarkan

kurs tengah BI atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun pajak (pada

umumnya WP membukukan berdasarkan kurs tengah BI).

Kerugian selisih kurs yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah di bidang moneter dibukukan dalam perkiraan sementara neraca dan pembebanannya dilakukan bertahap berdasarkan realisasi valas tersebut.

Sehungan dengan krisis moneter yang melanda Indonesia, Menteri Keuangan melalui Keputusan Nomor 597/KMK.04/1998 tanggal 21 November 1997 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap Selisih Kurs Valuta Asing dalam Tahun 1997 jo. SE-16/PJ.43/1997 Tanggal 27 November 1997 sebagaimana telah diubah dengan SE-54/PJ.42/1999 tgl 8 Desember 1999, mengambil kebijakan yang mengatur cara pembebanan kerugian karena selisih kurs untuk tahun pajak 1997 bagi Wajib Pajak yang menyelenggarakan pembukuan sebagai berikut:

1. Wajib Pajak dapat membebankan seluruh kerugian selisih kurs tahun 1997, baik yang telah direalisir maupun yang belum direalisir, ke dalam tahun 1997,atau

2. Wajib Pajak dapat mengalokasikan/mengamortisasikan dengan metode garis lurus kerugian selisih kurs tahun 1997 dalam jangka waktu selama-lamanya lima tahun sejak tahun pajak 1997 secara taat asas.

3. Jumlah rugi selisih kurs termaksud adalah jumlah rugi yang boleh sebagai pengurang penghasilan.

4. Kerugian selisih kurs tahun 1997 yang diderita perusahaan yang mau melakukan penggabungan, peleburan atau pemekaran usaha tidak boleh dialihkan kepada badan baru hasil penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha.

Untuk tahun pajak lainnya, pembebanan kerugian selisih kurs dilakukan sesuai ketentuan UU PPh, sebagaimana telah dijelaskan (pasal 6 ayat (1) huruf e).Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf e UU PPh 2000 mengenai kerugian karena selisih kurs menegaskan bahwa pembebanan kerugian dari selisih kurs menegaskan bahwa pembebanan kerugian dari selisih kurs sebagai biaya perusahaan didasarkan atas jumlah neto setelah memperhitungkan keuntungan dari selisih kurs yang diperoleh dalam tahun pajak yang sama. Kurs yang dipergunakan adalah berdasarkan kurs yang sebenarnya terjadi.Khusus bagi WP BUT, kerugian selisih kurs mata uang asing yang terjadi akibat fluktuasi nilai Rupiah atas utang kepada kantor pusatnya