Airway Management

69
Pedoman Praktek Untuk Manajemen Kesulitan Jalan Napas Sebuah Laporan yang Diperbarui oleh American Society of Anesthesiologists Kelompok kerja Manajemen Kesulitan Jalan Napas Pedoman praktek ini adalah rekomendasi yang dikembangkan secara sistematis untuk membantu dokter dan pasien dalam membuat keputusan tentang perawatan kesehatan. Rekomendasi ini dapat diadopsi, dimodifikasi, atau ditolak sesuai dengan kebutuhan klinis dan kendala dan tidak dimaksudkan untuk menggantikan kebijakan institusi lokal. Selain itu, Pedoman praktek dikembangkan oleh American Society of anesthesiologists (ASA) tidak dimaksudkan sebagai standar atau persyaratan absolut, dan penggunaannya tidak dapat menjamin hasil yang spesifik. Pedoman Praktektunduk pada revisi sebagaimana yang dijaminkan oleh perkembangan pengetahuan medis, teknologi, dan praktek. Mereka memberikan rekomendasi dasar yang didukung oleh sintesis dan analisis dari literatur terbaru, opini para ahli dan praktisioner, komentar forum terbuka, dan data kelayakan klinis. Dokumen ini memperbaharui "Pedoman Praktek pada Manajemen Kesulitan jalan nafas: Sebuah Laporan yang diperbarui oleh Kelompok kerja Manajemen Kesulitan 1

description

jurnal anstesii

Transcript of Airway Management

Page 1: Airway Management

Pedoman Praktek Untuk Manajemen Kesulitan Jalan Napas

Sebuah Laporan yang Diperbarui oleh

American Society of Anesthesiologists

Kelompok kerja Manajemen Kesulitan Jalan Napas

Pedoman praktek ini adalah rekomendasi yang dikembangkan secara

sistematis untuk membantu dokter dan pasien dalam membuat keputusan tentang

perawatan kesehatan. Rekomendasi ini dapat diadopsi, dimodifikasi, atau ditolak

sesuai dengan kebutuhan klinis dan kendala dan tidak dimaksudkan untuk

menggantikan kebijakan institusi lokal. Selain itu, Pedoman praktek

dikembangkan oleh American Society of anesthesiologists (ASA) tidak

dimaksudkan sebagai standar atau persyaratan absolut, dan penggunaannya tidak

dapat menjamin hasil yang spesifik. Pedoman Praktektunduk pada revisi

sebagaimana yang dijaminkan oleh perkembangan pengetahuan medis, teknologi,

dan praktek. Mereka memberikan rekomendasi dasar yang didukung oleh sintesis

dan analisis dari literatur terbaru, opini para ahli dan praktisioner, komentar forum

terbuka, dan data kelayakan klinis.

Dokumen ini memperbaharui "Pedoman Praktek pada Manajemen Kesulitan

jalan nafas: Sebuah Laporan yang diperbarui oleh Kelompok kerja Manajemen

Kesulitan bernafas," diadopsi oleh ASA pada tahun 2002 dan diterbitkan pada

tahun 2003.*

METODOLOGI

A. Definisi Kesulitan jalan nafas

Definisi standar untuk kesulitan jalan nafas tidak dapat ditemukan pada

literatur yang tersedia. Untuk Pedoman praktek ini, kesulitan jalan napas

didefinisikan sebagai situasi klinis di mana seorang anastesiologi yang dilatih

secara konvensional mngalami kesulitan dengan ventilasi face mask pada jalan

nafas bagian atas, kesulitan dengan intubasi trakeal, atau keduanya. Kesulitan

jalan nafas mewakili interaksi yang kompleks antara faktor pasien, pengaturan

klinis, dan keterampilan dokter. Analisis interaksi ini membutuhkan pengumpulan

1

Page 2: Airway Management

dan pengomunikasian data yang tepat. Kelompok kerja mendorong para dokter

dan peneliti untuk menggunakan deskripsi yang eksplisit pada kesulitan jalan

napas. Deskripsi yang dapat dikategorikan atau dinyatakan sebagai nilai numerik

adalah yang sangat diinginkan, karena jenis informasi ini memudahkan untuk

analisis agregat dan Perbandingan lintas-studi. Deskripsi yang disarankan

meliputi, namun tidak terbatas pada:

1. Kesulitan menggunakan face mask atau Supraglottic Airway (SGA)

(misalnya, Laryngeal Mask Airway (LMA), Intubating LMA (ILMA),

Laringeal tube): Hal ini tidak memungkinkan pada seorang anestesi dalam

memberikan ventilasi yang adekuat karena satu atau lebih masalah berikut:

masker atau segel SGA yang tidak adekuat, kebocoran gas yang

berlebihan, atau resistensi yang berlebihan terhadap masuknya atau

keluarnya gas. Tanda ventilasi yang tidak adekuat antara lain termasuk

(namun tidak terbatas pada) Pergerakan dada yang tidak ada atau tidak

adekuat, suara napas yang tidak ada atau tidak adekuat, tanda-tanda

auskultasi dari obstruksi berat, sianosis, masuknya udara kedalam lambung

atau dilatasi, saturasi oksigen (SpO2) yang tidak adekuat, Tidak adanya

atau tidak adekuatnya penghembusan karbon dioksida, tidak adanya atau

tidak adekuatnya pengukuran spirometri dari aliran gas yang

dihembuskan, dan perubahan hemodinamik yang berhubungan dengan

hipoksemia atau hiperkarbia (misalnya, hipertensi, takikardia, aritmia).

2. Kesulitan penempatan: Penempatan SGA membutuhkan beberapa usaha,

dengan ada atau tidak adanya kelainan pada trakea.

3. Kesulitan Laringoskopi: Tidak mungkin untuk memvisualisasikan setiap

bagian dari pita suara setelah beberapa usaha pada laringoskopi

konvensional.

4. Kesulitan intubasi trakea: Intubasi trakea membutuhkan beberapa usaha,

dengan adanya atau tidak adanya kelainan trakea.

5. Kegagalan intubasi: Penempatan endotrakeal tube gagal setelah beberapa

usaha.

2

Page 3: Airway Management

B. Tujuan pedoman untuk manajemen kesulitan jalan napas

Tujuan Pedoman ini adalah untuk memfasilitasi manajemen kesulitan jalan

napas untuk mengurangi kemungkinan hasil yang merugikan. Hasil simpang

yang utama berhubungan dengan kesulitan jalan nafas termasuk (namun tidak

terbatas pada) kematian, cedera otak, kegagalan cardiopulmoner, pembedahan

saluran napas yang tidak perlu, trauma saluran napas, dan kerusakan pada gigi.

C. Fokus

Fokus utama pada Pedoman adalah manajemen pada kesulitan jalan nafas

yang dihadapi selama perian anastesi dan intubasi trakea. Beberapa aspek dari

Pedoman ini mungkin relevan pada konteks klinis lainnya. Pedoman ini tidak

merepresentasikan pertimbangan lengkap untuk sebuah manifestasi kesulitan

jalan nafas atau semua pendekatan manajemen yang mungkin.

D. Aplikasi

Pedoman ini dimaksudkan untuk digunakan oleh anestesiologist atau

individu yang memberikan perawatan anestesi dan manajemen saluran napas

di bawah pengawasan langsung dari ahli anestesi. Pedoman ini diaplikasikan

pada semua jenis perawatan anestesi dan manajemen jalan napas yang

diberikan pada lokasi yang teranastesi dan ditujukan untuk semua pasien dari

segala usia.

E. Anggota dan Konsultan Kelompok kerja

Pedoman asli dan update pertamanya dikembangkan oleh ASA- menunjuk

kelompok kerja yang terdiri dari sepuluh orang, yang terdiri dari ahli anestesi

dalam praktek swasta dan akademisi dari berbagai wilayah geografis di

Amerika Serikat dan dua konsultasi methodologists dari Komite ASA Standar

Parameter dan Praktek.

Pedoman asli dan update pertamanya pada tahun 2002 dikembangkan

dengan melalui proses tujuh-langkah. Pertama, Kelompok kerja mencapai

konsensus pada kriteria untuk bukti. Kedua, studi riset asli yang

3

Page 4: Airway Management

dipublikasikan dari peer-review jurnal relevan dengan manajemen kesulitan

jalan nafas direview dan dievaluasi. Ketiga, konsultan ahli diminta untuk: (1)

berpartisipasi pada survei pendapat atas efektivitas dari berbagai rekomendasi

manajemen jalan nafas (2) meninjau dan mengomentari konsep pedoman.

Keempat, pendapat tentang rekomendasi pedoman didapatkan sampel dari

anggota aktif dari ASA. Kelima, dasar informasi yang diperoleh selama forum

terbuka untuk Pedoman asli dan untuk pedoman yang diperbaharui

sebelumnya, telah dievaluasi. Keenam, para konsultan telah disurvei untuk

menilai pendapat mereka tentang kelayakan pelaksanaan pedoman yang telah

diperbaharui. Ketujuh, semua informasi yang tersedia digunakan untuk

membangun konsensus untuk menyelesaikan pedoman yang diperbaharui.

Pada tahun 2011, ASA Komite Standar dan Praktek Parameter meminta

agar publikasi pedoman yang telah diperbarui pada tahun 2002 dievaluasi

ulang. Pembaruan ini terdiri dari evaluasi literatur yang dipublikasikan sejak

selesainya pembaharuan pertama , dan evaluasi hasil survei baru dari pakar

konsultan dan anggota ASA. Ringkasan rekomendasi dapat ditemukan di

Lampiran 1.

F. Ketersediaan dan Kekuatan Bukti

Penyusunan Pedoman yang terbaru diikuti metodologis proses yang ketat.

Bukti diperoleh dari dua sumber utama: bukti ilmiah dan bukti dasar pendapat.

BUKTI ILMIAH

Bukti ilmiah yang digunakan dalam pengembangan Pedoman ini didasarkan

pada temuan dari literatur yang diterbitkan di peerreviewed jurnal. Kutipan

literatur diperoleh dari PubMed dan database kesehatan lainnya, pencarian

internet langsung, anggota kelompok kerja, penghubung dengan organisasi lain,

dan dari sisi pencarian referensi yang berada pada ulasan artikel.

Temuan dari kumpulan literatur dilaporkan dalam teks pedoman berdasarkan

kategori bukti, tingkat, dan arah. Kategori Bukti merujuk secara khusus pada

kekuatan dan kualitas desain riset suatu studi. Bukti kategori A merupakan hasil

4

Page 5: Airway Management

yang diperoleh dari Randomized controlled trial (RCT), dan bukti kategori B

merupakan hasil observasional yang diperoleh dari diseain studi yang tidak

teracak atau RCT tanpa kontrol yang bersangkutan. Ketika tersedia, bukti kategori

A diberikan mendahului bukti kategori B dalam pelaporan hasil. Kategori bukti-

bukti ini dibagi lagi menjadi tingkat-tingkat bukti. Tingkat-tingkat bukti ini

merujuk secara spesifik pada kekuatan dan kualitas yang disimpulkan dalam

temuan studi (yaitu, temuan statistik, jenis data, dan jumlah studi yang

menemukan temuan tersebut) dalam dua kategori bukti. Untuk dokumen ini,

hanya tingkat kejadian tertinggi yang disertakan dalam ringkasan laporan untuk

setiap intervensi. Akhirnya, sebutan direksional dari manfaat, bahaya, atau

ketidakjelasan untuk setiap hasil diindikasikan ringkasan laporan.

KATEGORI A

RCT melaporkan perbandingan diantara intervensi klinis untuk hasil yang

spesifik. Hasil yang signifikan secara statistik (P<0,01) ditetapkan sebagai

meuntungkan (B) atau merugikan (H) untuk pasien, temuan statistik tidak

bermakna ditetapkan sebagai tidak jelas (E).

Level 1: Literatur yang berisi jumlah RCT yang memadai untuk

melakukan meta-analisis, dan temuan dari meta-analisis kumpulan studi

tersebut dilaporkan sebagai sebuah eviden (fakta)

Level 2: Literatur berisi berbagai macam RCT, tetapi jumlah RCT tersebut

tidak cukup untuk melakukan meta-analisis dengan mengikuti petunjuk

yang ada. Temuan dari RCT tersebut dilaporkan sebagai eviden (fakta).

Level 3: Literatur berisi RCT tunggal, dan Temuan dari RCT tersebut

dilaporkan sebagai eviden (fakta).

KATEGORI B

Penelitian observasional atau RCT tanpa ada kelompok perbandingan yang

berkaitan dapat memberikan kesimpulan yang menguntungkan dan merugikan

dari hubungan antara intervensi klinis dan hasil. Temuan Tersirat dilakukan

dengan desain terarah dari beberapa kaegori berupa : Keuntungan (Benefit/B),

5

Page 6: Airway Management

kerugian (Harmful/H), atau samar-samar (Equivocal/E). Untuk studi berupa

laporan temuan statistik, ambang batas untuk signifikansi adalah P <0,01.

Level 1: Literatur berisi observasional komparatif (misalnya: desain penelitian

kohort dan case control) antara intervensi klinis untuk hasil tertentu.

Level 2: Literatur berisi Penelitian observasional dengan statistik asosiatif

(misalnya: risiko relatif, korelasi,sensitivitas / spesifisitas).

Level 3: sastra mengandung observasional non komparaif studi dengan statistik

deskriptif (misalnya: frekuensi, persentase).

Level 4: literatur ini berisi laporan kasus.

Fakta/eviden yang tidak memadai

Kurangnya bukti ilmiah yang cukup dalam literatur mungkin terjadi ketika

bukti yang baik tidak tersedia (yaitu: tidak ada hasil penelitian yang berhubungan)

atau tidak memadai. Literatur yang tidak memadai tidak dapat digunakan untuk

menilai hubungan antara intervensi klinis dan hasil, karena tulisan tersebut tidak

memberikan temuan yang mempunyai interpretasi yang jelas dari temuan karena

masalah metodologis (misalnya, membingungkan dalam desain penelitian atau

pelaksanaan) atau tidak memenuhi kriteria untuk konten sebagaimana

didefinisikan dalam "Fokus" dari Pedoman.

OPINI BERBASIS BUKTI

Semua opini yang didasari fakta (misalnya, data survei, saksi para forum

terbuka, komentar dari internet, surat, dan beberapa editorial) relevan dengan

topik masing-masing yang dipertimbangkan palam perbaharuan pengembangan

pedoman ini. Namun, hanya diakui beberapa temuan dari survey resmi yang telah

dilaporkan.

Beberapa survei opini yang dikembangkan dari pembaharuan oleh

kelompok kerja untuk mengatasi setiap intervensi klinis yang diidentifikasi ke

dalam dokumen. Survey yang identik telah diberikam kepada konsultan yang ahli

dan anggota ASA.

6

Page 7: Airway Management

Kategori A : Pendapat Ahli

Penemuan survey dari kelompok kerja menunjuk konsultan ahli telah dilaporkan

dalam bentuk ringkasan dalam teks, dengan daftar lengkap tanggapan suvei yang

dilaporkan dalam lampiran 2.

Kategori B : Pendapat anggota

Penemuan survey dari sampel acak dari anggota ASA yang aktif telah dilaporkan

pada ringkasan teks, dengan daftar lengkap dari tanggapan survey yang dilaporkan

dalam lampiran 2.

Tanggapan survey dari beberapa ahli dan keanggotaan dicatat dengan

menggunakan skala lima poin dan diringkas berdasarkan pada nilai-nilai median.

Sangat Setuju : Skor median dari 5 (Setidaknya 50% dari tanggapan

adalah 5)

Setuju : Skor Median dari 4 (Setidaknya 50% dari tanggapan yang

4 atau 4 dan 5)

Samar-samar : Median skor 3 (Setidaknya 50% dari tanggapan adalah 3,

atau tidak ada respon kategori lain atau kombinasi dari

kategori yang sama mengandung setidaknya 50% dari

tanggapan)

Tidak Setuju : skor Median dari 2 (Setidaknya 50% dari tanggapan yang

2 atau 1 dan 2)

Sangat tidak setuju : skor Median dari 1 (Setidaknya 50% dari tanggapan

adalah 1)

Kategori C : Pendapat tidak resmi

Pendapat dari forum terbuka selama pengembangan dari pembaharuan

sebelumnya, komentar dari internet, surat, dan editorial yang semuanya telah

dievaluasi secara tidak formal dan di bicarakan selama percobaan rekomendasi

pedoman. Bila diperlukan, para kelompok kerja dapat menambahkan informasi

pendidikan atau peringatan catatan berdasarkan informasi ini.

7

Page 8: Airway Management

PEDOMAN

I. Evaluasi Airway

Riwayat. Meskipun ada literatur yang cukup untuk mengevaluasi

kemanjuran secara langsung diarahkan melakukan riwayat medis atau mereview

catatan riwayat medis sebelumnya untuk mengidentifikasi adanya kesulitan

airway, kelompok kerja telah menilai secara jelas hasil dari aktifitas ini.

Berdasarkan pengakuan asosiasi diantara kesulitan airway dan berbagai macam

karakter pasien (misanya usia, obesitas, apnea obstruktif saat tidur, riwayat

snoring) dan kesulitan laringoskopi atau intubasi (Bukti kategori B2-H.(1-6)

Penelitian observasional melaporkan kesulitan intubasi atau ekstubasi terjadi pada

pasien dengan massa mediastinal (bukti kategori B3-H).7-8

Kasus laporan kesulitan laringoskopi atau intubasi terjadi diantara pasien

dengan berbagai penyakit yang didapat atau congenital di negaranya (misalnya,

ankilosis, osteoarthritis degeneratif, subglottic stenosis, tiroid lingual atau

hipertrofi tonsil, Treacher Collins-, Pierre Robin atau sindrom Down) juga

dilaporkan (bukti kategori B4-H).9-18

Para konsultan dan anggota ASA sangat setuju bahwa riwayat jalan nafas

harus diketahui, bagaimanapun kelayakannya, sebelum memulai perawatan

anastesi dan manajemen saluran napas pada semua pasien.

Pemeriksaan Fisik

Penelitian observasional pada pasien secara acak dilaporkan terdapat

hubungan antara ciri-ciri anatomi tertentu (misalnya, fitur fisik kepala dan leher)

dan kemungkinan pada jalan napas yang sulit (Bukti kategori B2-H),19-21

Kehadiran patologi pada saluran napas bagian atas atau kelainan anatomi dapat

diidentifikasi dengan melakukan pra-prosedur pemeriksaan fisik. Ada bukti cukup

untuk mempublikasikan evaluasi nilai prediktif pada beberapa jenis pemeriksaan

fisik jalan nafas dibandingkan satu jenis yang memprediksi adanya kesulitan jalan

nafas. Para konsultan dan anggota ASA sangat setuju bahwa pemeriksaan fisik

jalan nafas harus dilakukan, bagaimanapun kelayakannya, sebelum memulai

perawatan anestesi dan manajemen saluran napas pada semua pasien. Para

8

Page 9: Airway Management

konsultan dan anggota ASA sangat setuju dilakukannya beberapa cara, yang

seharusnya dinilai selama pemeriksaan fisik.

Evaluasi tambahan

Riwayat saluran napas atau pemeriksaan fisik dapat memberikan indikasi

untuk diagnostik ambahan yang dilakukan pada beberapa pasien. Penelitian

observasional dan kasus laporan menunjukkan bahwa tes diagnostik tertentu

(misalnya, radiografi, computed tomography scan, fluoroskopi) dapat

mengidentifikasi berbagai jenis yang diperoleh atau bawaan pada pasien dengan

kesulitan jalan napas (bukti kategori B3-B/B4-B).22-33 Literatur tidak memberikan

dasar untuk menggunakan diagnostik tes spesifik sebagai alat skrining rutin dalam

evaluasi airway. Para konsultan dan anggota ASA sangat setuju bahwa evaluasi

tambahan dapat diindikasikan pada beberapa pasien dibagi apakah kemungkinan

atau sifat untuk mengantisipasi terjadinya kesulitan jalan nafas.

Rekomendasi untuk Evaluasi Airway

Riwayat. Riwayat jalan nafas harus diketahui, bagaimanapun kelayakannya,

sebelum memulai perawatan anastesi dan manajemen saluran nafas pada semua

pasien. Tujuan dari mengetahui riwayat airway adalah untuk mendeteksi faktor

medis, bedah, dan anestesi yang mungkin menunjukkan adanya jalan napas yang

sulit. Pemeriksaan riwayat anastesi sebelumnya, jika tersedia pada waktu yang

tepat, dapat menghasilkan informasi yang berguna tentang manajemen jalan nafas.

Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan fisik jalan nafas harus dilakukan, apabila layak,

sebelum inisiasi perawatan anestesi dan manajemen jalan nafas pada semua

pasien. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeteksi karakteristik fisik yang

mungkin menunjukkan adanya jalan napas yang sulit. Beberapa fitur saluran

napas harus dinilai (tabel 1).

Evaluasi tambahan. Evaluasi tambahan dapat diindikasikan pada beberapa pasien

untuk mencirikan kemungkinan atau adanya antisipasi kesulitan jalan nafas.

9

Page 10: Airway Management

Temuan dari riwayat airway dan pemeriksaan fisik mungkin berguna dalam

membimbing pemilihan tes diagnostik yang spesifik dan konsultasi.

II. Dasar Persiapan Manajemen Airway

Persiapan dasar untuk manajemen jalan nafas yang sulit meliputi: (1)

tersedianya peralatan untuk pengelolaan airway yang sulit (yaitu, unit

penyimpanan portable), (2) menginformasikan pasien dengan mengetahui atau

menduga adanya kesulitan airway, (3) menetapkan suatu individu untuk

memberikan bantuan ketika jalan nafas yang sulit ditemui, (4) preanesthetic

preoxygenation menggunakan sungkup, dan (5) pemberian oksigen tambahan

pada proses manajemen jalan nafas yang sulit.

Literatur tidak dapat mengevaluasi manfaat ketersediaan peralatan

manajemen jalan nafas yang sulit, memberikan informasi kepada pasien dengan

mengetahui atau menduga adanya kesulitan airway, atau menugaskan seseorang

untuk memberikan bantuan ketika jalan nafas yang sulit ditemui.

Satu RCT menunjukkan dengan preoxygenation preanesthetic menggunakan

sungkup dengan kadar saturasi oksigen yang lebih tinggi dinilai setara dengan

ruang kontrol udara (Bukti Kategori A3-B).34 dua RCT menunjukkan bahwa 3

menit dari preoxygenation preanesthetic mempertahankan nilai-nilai saturasi

oksigen lebih tinggi dibandingkan dengan 1 menit dari preoxygenation

preanesthetic (Bukti Kategori A2-B).35,36 Meta-analisis dari RCT menunjukkan

bahwa tingkat saturasi oksigen setelah preoxygenation samar-samar ketika

membandingkan preoxygenation selama 3 menit dengan jalur cepat

preoxygenation dari empat napas maksimal dalam 30 detik (Bukti Kategori A1-

E),37-41 Tiga RCT menunjukkan bahwa waktu untuk ambang batas konsentrasi

oksigen desaturation 93-95% lebih panjang selama 3 menit dari preoxygenation

(Bukti Kategori B-A2).37,41,42 Meta-analisis dari RCT membandingkan

postextubation tambahan oksigen atau tanpa oksigen tambahan menunjukkan

frekuensi desaturation arteri lebih rendah selama pengangkutan dengan tambahan

oksigen atau pada unit perawatan postanesthesia (Bukti Kategori A1-B).43-48

10

Page 11: Airway Management

Subjek dalam penelitian di atas tidak secara eksklusif terdiri dari pasien dengan

kesulitan jalan napas.

Para konsultan dan anggota ASA sangat setuju bahwa setidaknya satu unit

penyimpanan portabel yang berisi peralatan khusus untuk manajemen kesulitan

jalan nafas harus siap tersedia. Para konsultan dan anggota ASA sangat setuju

bahwa jika jalan nafas sulit diketahui atau diduga, para anestesi harus: (1)

menginformasikan pasien (atau orang yang bertanggung jawab) dari risiko khusus

dan prosedur yang berkaitan dengan pengelolaan jalan nafas yang sulit, (2)

memastikan bahwa ada setidaknya satu orang tambahan yang segera tersedia

untuk melayani sebagai asisten dalam manajemen jalan nafas yang sulit, (3)

mengelola preoxygenation sungkup muka sebelum memulai pengelolaan jalan

napas yang sulit, dan (4) secara aktif mengejar kesempatan untuk memberikan

oksigen tambahan untuk proses manajemen jalan nafas sulit.

Rekomendasi untuk Persiapan Dasar

Setidaknya satu unit penyimpanan portabel yang berisi peralatan khusus untuk

pengelolaan kesulitan jalan nafas sulit harus siap tersedia (tabel 2). Jika kesulitan

jalan nafas diketahui atau diduga, langkah-langkah berikut ini disarankan:

Menginformasikan pasien (atau orang yang bertanggung jawab) dari khusus

risiko dan prosedur yang berkaitan dengan pengelolaan sulit napas.

Memastikan bahwa ada setidaknya satu orang tambahan yang tersedia untuk

melayani sebagai asisten pada manajemen kesulitan napas.

Pemberian preoxygenasi facemask sebelum memulai pengelolaan jalan nafas

sulit. Pasien yang tidak kooperatif atau pasien pediatrik dapat menghambat

peluang untuk preoxygenasi.

Secara aktif mengejar kesempatan untuk dapat memberikan suplemen oksigen

selama proses penatalaksanaan airway yang sulit. Kesempatan pemberian

oksigen ini termasuk (tetapi tidak terbatas pada) pemberian oksigen melalui

kanul nasal, facemask, atau LMA; serta pemberian oksigen melalui facemask

atau kanul nasal setelah ekstubasi trakea.

11

Page 12: Airway Management

III. STRATEGI INTUBASI DARI KESULITAN BERNAFAS

Strategi yang direncanakan sebelum induksi mencakup pertimbangan

berbagai tindakan yang ditujukan untuk memfasilitasi intubasi jika terjadi

kesulitan saluran nafas. Tindakan non invasive yang ditujukan untuk tatalaksana

saluran nafas yang sulit mencakup: (1) intubasi terjaga, (2) laringoskopi yang

dibantu video, (3) penggunaan stilet intubasi atau tube-changer, (4) SGA untuk

ventilasi (misalnya, LMA, laryngeal tube), (5) SGA untuk intubasi (misalnya,

ILMA), (6) Bilah laryngoskopi rigid dengan berbagai bentuk dan ukuran, (7)

intubasi dengan bantuan fiber optik, dan (8) stylets dengan bantuan cahaya.

Intubasi terjaga.

Penelitian mengindikasikan bahwa intubasi fiber optic terjaga berhasil pada

88 hingga 100 persen pada pasien dengan kesulitan saluran nafas. Laporan kasus

dimana digunakan metode lain untuk intubasi terjaga (contohnya intubasi trakeal

blind, intubasi melalui peralatan supraglottis, intubasi dengan bantuan optik) juga

dilaporkal berhasil pada pasien dengan kesulitan airway.

Laringoskopi dengan bantuan video

Meta-analisis RCT yang membandingkan laringoskopi dengan bantuan video

dengan laringoskopi langsung pada pasien dengan kesulitan airway dilaporkan

memberikan pandangan laring yang lebih baik, frekuensi keberhasilan intubasi

yang lebih tinggi, serta frekuensi intubasi yang berhasil pada usaha pertama yang

lebih tinggi dengan penggunaan laringoskopi dengan bantuan video; tidak ada

perbedaan waktu intubasi, trauma airway, trauma bibir dan gusi, trauma gigi atau

nyeri tenggorokan. Salah satu RCP yang membandingkan penggunaan

laringoskopi dengan menggunakan video serta intubasi dengan bantuan Macintosh

melaporkan tidak adanya perbedaan derajat deviasi vertebra cervicalis yang

signifikan. Sebuah penelitian observasional dan empat laporan kasus

menunjukkan bahwa jejas airway mungkin terjadi pada saat dilakukan intubasi

dengan menggunakan laringoskopi dengan bantuan video.

12

Page 13: Airway Management

Stilet Intubasi atau tube-Changers.

Penelitian observasional melaporkan bahwa keberhasilan intubasi mencapai 78-

100% pada pasien dengan kesulitan airway jika stilet digunakan. Komplikasi yang

dilaporkan jika stlet digunakan mencakup perdarahan mukosa ringan dan nyeri

tenggorokan. Komplikasi yang dilakukan setelah penggunaan tube changers atau

airway exchange catheter mencakup laserasi paru paru dan perforasi lambung.

SGA untuk Ventilasi

RCT membandingkan LMA dengan facemask untuk ventilasi hanya terdapat pada

pasien tanpa kesulitan airway. Laporan laporan kasus menunjukkan bahwa

penggunaan LMA dapat mempertahankan serta mengembalikan fungsi ventilasi

pada pasien dewasa dengan kesulitan airway. Dua penelitian obsservasional

menunjukkan bahwa frekuensi desaturation (SpO2 <90%) sebanyak 0-6% terjadi

ketika LMA digunakan untuk pasien anak dengan kesulitan airway. Salah satu

penelitian observasional melaporkan bahwa laryngeal tube memberikan ventilasi

yang memadai pada 95% dari pasien dengan tumor faring dan laring.

ILMA

RCT yang membandingkan ILMA dengan intubasi laryngoskop standar hanya

tersedia pada kasus kasus tanpa kesulitan airway. Penelitian observasional

melaporkan bahwa intubasi berhasil pada 71,4-100% pasien dengan kesulitan

airway jika ILMA digunakan. Salah satu penelitian observasional menunjukkan

bahwa jika ILMA digunakan pada kesulitan airway simulasi dengan

menggunakan collar semirigid, 3 dari 10 pasien berhasil di intubasi. RCT yang

membandingkan ILMA fiber optik dengan intubasi fiberopti standar melaporkan

tingkat keberhasilan intubasi pada usaha pertama yang lebih tinggi. Komplikasi

ILMA mencakup nyeri tenggorokan, suara parau, dan udem faring.

13

Page 14: Airway Management

BILAH LARINGOSKOP RIGID DENGAN BERBAGAI BENTUK DAN

UKURAN

Penelitian observasional menunjukkan bahwa penggunaan bilah laringoskop rigid

dengan berbagai ukuran dan bentuk dapat meningkatkan kualitas visualisasi

glottis serta memfasilitasi keberhasilan intubasi untuk pasien dengan kesulitan

airway.

INTUBASI DENGAN BANTUAN FIBER OPTIK

Penelitian observasional melaporkan keberhasilan fiber optik mencapai 87-100%

pada pasien dengan kesulitan airway. Tiga RCT yang membandingkan fiberskop

rigid (UpsherScopes, WuScopes, dan Bullard laryngoscopes) dengan laringoskopi

direct rigid menunjukkan tingkat keberhasilan intubasi dan waktu intubasi yang

sebanding; dua penelitian dilakukan pada kesulitan airway simulasi, sedangkan

yang ketiga dilakukan pada pasien-pasien dengan skor mallampati 3-4.

STILET DENGAN BANTUAN CAHAYA ATAU TONGKAT CAHAYA

Penelitian observasional melaporkan keberhasilan intibasi mencapai 96,8-100%

pada pasien pasien dengan kesulitan airway jika stilet dengan bantuan cahaya atau

tongkat cahaya digunakan; RCT melaporkan hasil yang sebanding saat

membandingkan stilet dengan bantuan cahaya dengan laringoskopi direct.

KONFIRMASI INTUBASI TRAKEA

Penelitian observasional melaporkan bahwa kapnografi atau monitoring CO2 tidal

akhir dapat digunakan untuk mengkonfirmasi intubasi trakea pada 88,5-100%

pada pasien dengan kesulitan airway.

Para konsultan dan anggota ASA sangat setuju bahwa anesthesiologist harus

memiliki strategi yang telah direncanakan sebelumnya untuk intubasi saluran

nafas yang sulit. Para konsultan dan ASA anggota sangat setuju bahwa strategi

untuk intubasi airway yang sulit harus mencakup identifikasi pendekatan primer

atau pilihan terhadap: (1) intubasi terjaga, (2) pasien yang dapat diventilasi secara

adekuat tetapi kesulitan diintubasi, dan (3) situasi yang mengancam jiwa di mana

14

Page 15: Airway Management

pasien tidak dapat diventilasi atau diintubasi. Para konsultan dan anggota ASA

sangat setuju bahwa strategi intubasi saluran napas yang sulit harus mencakup

identifikasi pendekatan alternatif yang dapat digunakan jika Pendekatan primer

gagal atau tidak dapat dilakukan. Para konsultan dan Anggota ASA sangat setuju

bahwa strategi intubasi pada airway yang sulit seharusnya mencakup konfirmasi

intubasi trakea (misalnya, kapnografi).

REKOMENDASI UNTUK STRATEGI INTUBASI

Anesthesiologist harus memiliki strategi preformulasi untuk intubasi jalan nafas

yang sulit. Algoritma yang terlihat pada bagian pertama adalah strategi yang telah

direkomendasikan. Strategi ini akan diandalkan, mempunyai peranan, pada

operasi yang telah diantisipasi, kondisi pasien, dan keterampilan dan preferensi

dari ahli anestesi. Strategi yang direkomendasikan untuk intubasi kesulian airway,

meliputi:

o Penilaian terhadap kemungkinan dan antisipasi klinis dampak dari enam

masalah pokok yang mungkin terjadi sendiri atau dalam kombinasi: (1)

kesulitan pada kerjasama atau persetujuan dari pasien, (2) kesulitan

ventilasi mask, (3) kesulitan penempatan SGA, (4) kesulitan laringoskopi,

(5) kesulitan intubasi, dan (6) kesulitan operasi akses airway .

o Sebuah pertimbangan manfaat klinis yang relatif dan kelayakan dari empat

pilihan manajemen dasar: (1) intubasi terjaga dibanding intubasi setelah

induksi pada anastesi umum, (2) teknik noninvasif dibanding teknik

invasif (misalnya, bedah atau airwa percutaneus) untuk awal pendekatan

untuk intubasi, (3) laringoskopi yang dibantu video sebagai pendekatan

awal untuk intubasi, dan (4) pengawetan dibanding ablasi pada ventilasi

spontan.

o Identifikasi pendekatan utama atau pilihan untuk: (1) intubasi terjaga, (2)

pasien yang dapat diventilasi secara adekuat tetapi sulit untuk diintubasi,

dan (3) situasi yang mengancam jiwa di mana pasien tidak dapat

diventilasi atau diintubasi.

15

Page 16: Airway Management

o Identifikasi pendekatan alternatif yang dapat digunakan jika pendekatan

utama gagal atau tidak layak (Tabel 3).

Pasien tidak kooperatif atau pasien pediatrik dapat membatasi pilihan

untuk pengelolaan airway yang sulit, khususnya pilihan yang

melibatkan intubasi terjaga. Manajemen airway pada pasien tidak

kooperatif atau Pasien pediatrik mungkin memerlukan pendekatan

(misalnya, upaya intubasi setelah induksi anestesi umum) yang

mungkin tidak dianggap sebagai pendekatan primer pada pasien

kooperatif.

Pembedahan yang menggunakan infiltrasi anestesi lokal atau blokade

saraf regional sebagai alternatif untuk manajemen langsung pada

airway yang sulit, tetapi pendekatan ini tidak mewakili solusi yang

pasti untuk adanya jalan nafas yang sulit, juga tidak menyingkirkan

kebutuhan untuk preformulated strategi untuk intubasi jalan napas

yang sulit.

Konfirmasi pada intubasi trakea dengan menggunakan kapnografi atau

monitoring end-tidal karbon dioksida.

IV. STRATEGI UNTUK EKSTUBASI DARI KESULITAN BERNAFAS

Literatur tidak memberikan dasar yang cukup untuk mengevaluasi manfaat dari

strategi ekstubasi untuk kesulian jalan nafas. Tujuan pedoman ini, strategi

ekstubasi telah dianggap secara logis menjadi perpanjangan dari strategi intubasi.

ALGORITMA PADA KESULITAN JALAN NAFAS

1. Menilai kemungkinan dan dampak klinis dari dasar manajemen masalah:

Kesulitan pada kerjasama pasien atau persetujuan dari pasien.

Kesulitan ventilasi mask,

Kesulitan penempatan supraglottic airway

Kesulitan laringoskopi

Kesulitan intubasi, dan

kesulitan operasi pada airway akses

16

Page 17: Airway Management

2. Secara aktif mencari peluang untuk memberikan oksigen tambahan selama

proses saluran napas sulit manajemen.

3. Pertimbangkan manfaat relatif dan kelayakan pilihan manajemen dasar:

Intubasi terjaga dibanding intubasi setelah induksi pada anastesi umum,

Teknik noninvasif dibanding teknik invasif (misalnya, bedah atau airwa

percutaneus) untuk awal pendekatan untuk intubasi,

Laringoskopi yang dibantu video sebagai pendekatan awal untuk intubasi,

dan

Pengawetan dibanding ablasi pada ventilasi spontan.

4. Pengembangan utama dan strategi alternatif:

17

Page 18: Airway Management

* Konfirmasi ventilasi, intubasi trakea, atau penempatan SGA dengan

dihembuskan CO2

a.Pilihan lain termasuk (namun tidak terbatas pada): Operasi memanfaatkan

masker wajah atau supraglottic airway (SGA) anestesi (misalnya, LMA, ILMA,

tabung laring), infiltrasi anestesi lokal atau blokade daerah saraf. Mengejar

pilihan ini biasanya menyiratkan bahwa ventilasi masker tidak akan

bermasalah. Oleh karena itu, pilihan ini mungkin nilai terbatas jika ini

langkah dalam algoritma telah dicapai melalui Darurat Pathway.

b. Akses jalan napas invasif meliputi bedah atau percutaneous saluran napas,

jet ventilasi, dan intubasi retrograde.

c.Alternatif pendekatan intubasi sulit termasuk (namun tidak terbatas pada):

video-assisted laringoskopi, alternatif laringoskop pisau, SGA (misalnya, LMA

atau ILMA) sebagai suatu intubasi saluran (dengan atau tanpa bimbingan serat

optik), serat optik intubasi stylet, intubasi atau tabung changer, tongkat cahaya,

dan blind oral atau nasal intubasi.

d. Mempertimbangkan kembali persiapan pasien untuk intubasi terjaga atau

membatalkan operasi.

e. Darurat non-invasif ventilasi saluran udara terdiri dari SGA.

Konsultan dan anggota AS sangat menyetujui bahwa strategi ekstubasi yang

diformulasikan harus mencakup pertimbangan: (1) keuntungan relative ekstubasi

terjaga vs ekstubasi sebelum kesadaran pulih, (2) faktor klinis umum yang dapat

menyebabkan gangguan ventilasi setelah dilakukan ekstubasi, (3) rencana tata

laksana airway yang dapat dilaksanakan jika pasien tidak dapat mempertahankan

ventilasi yang memadai setelah dilakukan ekstubasi. Anggota ASA setuju, para

konsultan sangat setuju bahwa strategi ekstubasi yang diformulasikan harus

mencakup pertimbangan penggunaan jangka pendek alat yang dapat digunakan

untuk membantu reintubasi.

18

Page 19: Airway Management

REKOMENDASI EKSTUBASI

Ahli anestesi harus memiliki strategi ekstubasi yang telah diformulasikan

sebelumnya untuk penanganan kesulitan airway. Strategi ini tergantung pada

prosedur pembedahan, kondisi pasien, serta keahlian dan pilihan ahli anestesi.

Dianjurkan bahwa strategi ekstubasi kesulitan airway harus mencakup

pertimbangan:

Keuntungan relative ekstubasi terjaga vs ekstubasi sebelum kesadaran pulih.

faktor klinis umum yang dapat menyebabkan gangguan ventilasi setelah

dilakukan ekstubasi,

rencana tata laksana airway yang dapat dilaksanakan jika pasien tidak dapat

mempertahankan ventilasi yang memadai setelah dilakukan ekstubasi

pertimbangan penggunaan jangka pendek alat yang dapat digunakan untuk

membantu reintubasi. Alat dapat berupa stilet (bougie intubasi) atau konduit.

Stilet atau bougie intubasi biasanya dimasukkan ke dalam lumen tracheal tube

dan ke dalam trakea sebelum tracheal tube dilepas. Stilet atau bougie dapat

dilengkapi dengan lubang di tengahnya yang dapat dimanfaatkan untuk

oksigenasi dan ventilasi sesaat. Konduit biasanya dimasukkan melalui mulut

sehingga dapat digunakan untuk intubasi dan ventilasi supraglotis. Contoh

konduit adalah ILMA dan LMA.

FOLLOW UP

Follow up harus mencakup: (1) pencatatan kesulitan airway dan

penatalaksanaannya, serta (2) informasi dan nasihat diberikan kepada pasien (atau

orang yang bertanggung jawab) mengenai komplikasi yang terjadi atau mungkin

terjadi sehubungan dengan kesulitan airway. Literatur yang ada saat ini belum

memadai untuk dapat mengevaluasi keuntungan follow-up pada pasien-pasien

dengan kesulitan airway.

Konsultan dan anggota ASA sangat setuju bahwa ahli anestesi harus: (1)

mendokumentasikan kesulitan airway beserta dengan sifat-sifatnya pada rekam

medis, (2) menginformasikan pasien atau orang yang bertanggung jawab

mengenai kesulitan airway yang ditemui, dan (3) mengevaluasi melakukan

19

Page 20: Airway Management

follow-up terhadap kemungkinan komplikasi tata laksana kesulitan airway.

Konsultan dan anggota ASA sangat setuju bahwa pasien harus diberitahu

mengenai tanda dan gejala klinis potensial sehubungan dengan komplikasi tata

laksana kesulitan airway yang mengancam nyawa

REKOMENDASI FOLLOW UP

Ahli anestesi harus mendokumentasikan kesulitan airway dan sifat-sifatnya

pada rekam medis. Tujuannya adalah sebagai panduan bagi penatalaksanaan di

masa yang akan dating. Aspek dokumentasi yang dapat berguna mencakup:

Penjelasan mengenai kesulitan airway yang dijumpai. Penjelasan ini harus

membedakan antara kesulitan yang ditemui saat menggunakan facemask

dan ventilasi SGA serta kesulitan yang ditemukan saat intubasi trakea.

Penjelasan berbagai teknik tata laksana airway yang digunakan. Penjelasan

ini harus dapat menunjukkan sejauh mana teknik yang dilakukan

memberikan keuntungan atau kerugian dalam penatalaksanaan airway.

Ahli anestesi harus memberikan infomasi kepada pasien mengenai kesulitan

airway yang dijumpai. Tujuan komunikasi ini adalah memberikan peran kepada

pasien dalam pengarahan tata laksana di waktu yang akan datang. Informasi yang

diberikan mencakup (tetapi tidak terbatas pada) adanya kesulitan airway, alasan

mendasar dari kesulitan tersebut, cara intubasi dilakukan serta pengaruhnya pada

perawatan di masa yang akan datang. Dapat pula dipertimbangkan untuk

menggunakan suatu system pemberitahuan seperti laporan tertulis atau surat yang

ditujukan bagi pasien, laporan tertulis pada grafik obat, komunikasi dengan ahli

bedah pasien, gelang pemberitahuan atau alat identifikasi sejenis, ataupun bendera

grafik.

Ahli anestesi haru memeriksa dan melakukan follow up pada pasien

sehubungan dengan komplikasi tata laksana kesulitan airway yang mungkin

terjadi, mencakup: edema, perdarahan, perforasi trakea atau esophagus,

pneumotoraks dan aspirasi. Pasien harus diperingati mengenai tanda dan gejala

klinis yang berhubungan dengan komplikasi yang mengancam nyawa dari tata

laksana kesulitan airway.Tanda dan gejala ini mencakup nyeri tenggorokan, nyeri

20

Page 21: Airway Management

atau pembengkakan pada wajah dan leher, nyeri dada, emfisema subkutan, dan

kesulitan menelan.

APPENDIX 1. RINGKASAN REKOMENDASI

I. Evaluasi airway

Anamnesis mengenai airway harus dilakukan pada semua pasien sebelum

memulai tindakan anestesi dan tata laksana airway, jika memungkinkan.

o Tujuan anamnesis airway adalah untuk mengetahui adanya faktor medis,

bedah, dan anestesi yang mengindikasikan adanya kesulitan airway.

o Pemeriksaan semua rekam anestesi sebelumnya, jika waktu tersedia, dapat

memberikan informasi yang berguna mengenai tata laksana airway.

Pemeriksaan fisis airway harus dilaksanakan pada semua pasien sebelum

memulai tindakan anestesi dan tata laksana airway, jika memungkinkan.

o Tujuan dari pemeriksaan fisis ini adalah untuk mendeteksi adanya ciri-ciri

fisik yang dapat menindikasikan mengenai adanya kesulita airway.

o Berbagai ciri-ciri airway harus dinilai.

Pemeriksaan tambahan dapat diindikasikan pada beberapa pasien untuk

menilai kemungkinan kesulitan airway yang mengkin terjadi.

Temuan yang didapat pada anamnesis dan pemeriksaan fisis airway mungkin

berguna dalam memilih pemeriksaan diagnostik dan konsul yang akan

dilakukan.

2. Persiapan dasar untuk tata laksana kesulitan airway

harus tersedia Setidaknya satu unit penyimpanan portable yang berisi

peralatan khusus untuk tata laksana kesulitan airway.

Jika dicurigai terjadi kesulitan airway, dianjurkan untuk melakukan langkah-

langkah berikut ini:

o Menginformasikan kepada pasien (atau orang yang bertanggung jawab)

mengenai resiko yang ada dan prosedur yang dapat dilakukan untuk

menangani kesulitan airway.

21

Page 22: Airway Management

o Pastikan baha terdapat setidaknya satu orang yang siap membantu sebagai

asisten dalam penatalaksanaan kesulitan airway.

o Lakukan preoksigenasi dengan facemask sebelum memulai

penatalaksanaan kesulitan airway. Pasien-pasien yang tidak koperatif dan

pasien anak akan sulit diberikan preoksigenasi.

o Carilah kesempatan secara aktif untuk memberikan suplementasi oksigen

selama proses penatalaksanaan kesulitan airway.

Kesempatan-kesempatan pemberian oksigen suplementasi selama

proses penatalaksanaan kesulitan airway mencakup (tetapi tidak

terbatas pada) pemberian oksigen melalui kanul nasal, facemask dan

LMA; dan pemberian oksigen melalui facemask atau nasal kanul

setelah ekstubasi trakea.

3. Strategi intubasi pada kesulitan airway

Ahli anestesi harus memiliki strategi yang telah diformulasikan sebelumnya

untuk intubasi pada kesulitan airway. Algoritma pada gambar 1 adalah strategi

yang dianjurkan.

o Strategi ini tergantung, sebagian, pada pembedahan yang akan dilakukan,

kondisi pasien, serta keahlian dan pilihan ahli anestesi.

Strategi yang direkomendasikan untuk intubasi pada kesulitan airway

menckup:

o Penilaian kemungkinan dampak klinis dari enam masalah dasar yang dapat

terjadi secara sendiri atau bersama-sama: (1) kesulitan sehubungan

persetujuan dan kerja sama pasien, (2) kesulitan ventilasi dengan masker,

(3)kesulitan penempatan airway supraglotis, (4) kesulitan saat melalukan

laringoskopi, (5) kesulitan saat intubasi, dan (6) kesulitan akses airway

bedah

o Pertimbangan mengenai keuntungan klinis relatif dan bisa-tidaknya

dilakukan empat pilihan tata laksana dasar: (1) intubasi terjaga vs intubasi

setelah induksi anestesi general, (2) teknik noninvasive vs teknik invasive

(seperti akses airway bedah atau perkutan), (3) laringoskopi dengan

22

Page 23: Airway Management

bantuan video sebagai pendekatan awal intubasi, dan (4) mempertahankan

atau menghilangakan ventilasi spontan

o Identifikasi pendekatan primer atau pilihan terhadap: (1) intubasi terjaga,

(2) pasien dengan ventilasi adekuat tetapi mengalami kesulitan intubasi,

(3) situasi mengancam nyawa di mana pasien tidak dapat diventilasi

maupun diintubasi.

Identifikasi pendekatan alternatif yang dapat dilakukan jika pendekatan primer

gagal atau tidak dapat dilakukan.

o Pasien-pasien yang tidak kooperatif dan pasien anak memiliki pilihan tata

laksana airway yang terbatas, khususnya pilihan-pilihan yang melibatkan

intubasi terjaga.

o Tata laksana airway pada Pasien-pasien yang tidak kooperatif dan pasien

anak membutuhkan pendekatan (contohnya, usaha intubasi setelah

dilakukan induksi anestesi general) yang mungkin bukan merupakan

pilihan pertama pada pasien-pasien yang kooperatif.

o Pelaksanaan operasi yang menggunakan anestesi infiltrasi local atau blok

nervus dapat dijadikan alternatif untuk tata laksana langsung kesulitan

airway, tetapi pendekatan ini tidak memberikan solusi defenitif terhadap

adanya kesulitan airway.

Konfirmasi intubasi trakea dengan kapnografi atau pemantauan CO2 tidal

akhir.

4. Srategi ekstubasi pada kesulitan airway

Ahli anestesi harus memiliki strategi yang telah diformulasikan sebelumya

untuk ekstubasi pada kesulitan airway.

o Strategi ini tergantung, sebagian, pada pembedahan yang akan dilakukan,

kondisi pasien, serta keahlian dan pilihan ahli anestesi.

o Strategi ekstubasi pada kesulitan airway mencakup pertimbangan:

Keuntungan relatif ekstubasi terjaga vs ekstubasi sebelum kesadaran

pulih

23

Page 24: Airway Management

Faktor klinis umum yang dapat memberikan dampak sampingan

terhadap ventilasi setelah pasien diekstubasi.

Penggunaan jangka pendek alat yang dapat berguna sebagai pemandu

reintubasi. Alat dapat berupa stilet (bougie intubasi) atau konduit.

Stilet atau busi intubasi biasanya dimasukkan ke dalam lumen tracheal

tube dan ke dalam trakea sebelum tracheal tube dilepas. Stilet atau busi

intubasi dapat dilengkapi oleh rongga kosong di tengahnya yang dapat

digunakan untuk ventilasi dan oksigenasi sementara. Konduit biasanya

dimasukkan melalui mulut dan dapat digunakan untuk intubasi dan

ventilasi supraglotis. Contoh konduit adalah LMA dan ILMA.

5. Follow up

Ahli anestesi harus mendokumentasikan kesulitan airway dan sifat-sifatnya

pada rekam medis. Tujuannya adalah sebagai panduan bagi penatalaksanaan

di masa yang akan dating. Aspek dokumentasi yang dapat berguna mencakup:

o Penjelasan mengenai kesulitan airway yang dijumpai. Penjelasan ini

harus membedakan antara kesulitan yang ditemui saat menggunakan

facemask dan ventilasi SGA serta kesulitan yang ditemukan saat intubasi

trakea.

o Penjelasan berbagai teknik tata laksana airway yang digunakan.

Penjelasan ini harus dapat menunjukkan sejauh mana teknik yang

dilakukan memberikan keuntungan atau kerugian dalam penatalaksanaan

airway.

Ahli anestesi harus memberikan infomasi kepada pasien mengenai kesulitan

airway yang dijumpai.

o Tujuan komunikasi ini adalah memberikan peran kepada pasien dalam

pengarahan tata laksana di waktu yang akan datang.

o Informasi yang diberikan mencakup (tetapi tidak terbatas pada) adanya

kesulitan airway, alasan mendasar dari kesulitan tersebut, cara intubasi

dilakukan serta pengaruhnya pada perawatan di masa yang akan datang.

24

Page 25: Airway Management

o Dapat pula dipertimbangkan untuk menggunakan suatu system

pemberitahuan seperti laporan tertulis atau surat yang ditujukan bagi

pasien, laporan tertulis pada grafik obat, komunikasi dengan ahli bedah

pasien, gelang pemberitahuan atau alat identifikasi sejenis, ataupun

bendera grafik.

Ahli anestesi harus memeriksa dan melakukan follow up pada pasien

sehubungan dengan komplikasi tata laksana kesulitan airway yang mungkin

terjadi

o Kesulitan airway yang mungkin terjadi mencakup: edema, perdarahan,

perforasi trakea atau esophagus, pneumotoraks dan aspirasi.

o Pasien harus diperingati mengenai tanda dan gejala klinis yang

berhubungan dengan komplikasi yang mengancam nyawa dari tata

laksana kesulitan airway.

o Tanda dan gejala ini mencakup nyeri tenggorokan, nyeri atau

pembengkakan pada wajah dan leher, nyeri dada, emfisema subkutan, dan

kesulitan menelan.

APENDIX 2: METODE DAN ANALISIS

A. Kondisi Literatur

Untuk guidelines yang terupdate ini, rangkuman penelitian yang digunakan

untuk mengenmangkan update sebelumnya dikombinasikan dengan penelitian-

penelitian terbaru yang diterbitkan dari tahun 2002-2012.Penilaian ilmiah

guidelines ini didasarkan pada hubungan-hubungan bukti dan pernyataan

mengenai hubungan yang mungkin terdapat antara tindakan dan hasil

klinis.Tindakan yang ditulis di bawah ini diperiksa untuk menilai hubungannya

dengan berbagai hasil klinis yang dihubungkan dengan tata laksana kesulitan

airway.

Pemeriksaan airway

o Anamnesis pasien terpimpin

o Pemeriksaan fisis airway

25

Page 26: Airway Management

o Uji diagnostik

Persiapan dasar tata laksana kesulitan airway

o Menginformasikan kepada pasien mengenai kesulitan airway yang

teridentifikasi atau dicurigai

o Tersedianya peralatan untuk tata laksana kesulitan airway (unit

penyimpanan portable)

o Adanya orang yang dapat memberikan bantuan jika ditemui kesulitan

airway

o Oksigenasi preanestesi dengan facemask sebelum induksi anestsi

Strategi Intubasi dan Ventilasi

Intubasi terjaga

Ventilasi dengan facemask yang memadai setelah induksi:

o Videolaringoskopi

o Stilet intubasi, tube-changer, atau bougie elastic LMA

o LMA vs facemask

o LMA vs intubasi trakea

o LMA vs airway orofaring

ILMA atau LMA sebagai konduit intubasi

Bilah laryngoskopi rigid dengan berbagai bentuk atau ukuran

Penunjuk Fiberoptik saat intubasi

Stilet dengan bantuan cahaya atau tongkat cahaya

Ventilasi facemask yang tidak adekuat setelah Induksi-tidak dapat

diintubasi:

LMA untuk ventilasi darurat

Bronkoskopi rigid

26

Page 27: Airway Management

Konfirmasi pada intubasi trakea dengan menggunakan kapnografi atau

monitoring end-tidal karbon dioksida

Awake Intubasi

Oksigen tambahan:

o Pengiriman oksigen tambahan sebelum induksi dengan facemask atau

insuflasi

o Pengiriman oksigen tambahan setelah ekstubasi dengan facemask, blow-

by, atau kanul nasal dari trakea

Follow-up perawatan:

Perawatan Postextubasi dan konseling

Dokumentasi dari kesulitan jalan napas sulit dan manajemen

Registrasi dengan layanan pemberitahuan darurat

Untuk review literature, studi-studi klinis relevan didapatkan melalui

penarian literature secara manual maupun elektronik. Pencarian melalui media

elektronik mencakup studi selama periode 11 tahun dari tahun 2002-2012.

Sedangkan pencarian secara manual mencaku studi selama 16 tahun dari tahun

1997-2012. Lebih dari 400 kutipan mengenai topic evidence linkages juga

didapat. Artikel-artikel ini dikombinasikan dengan artikel-artikel sebelum tahun

2002 yang digunakan di Guidelines sebelumnya, menghasilkan total 693 artikel

yang mencakup data mengenai penanganan airway. Dari data-data ini, 253 data

spesifik membahas penanganan airway sulit. SIsa 440 artikel membahas mengenai

penanganan airway umum maupun campuran antara penanganan airway yang sulit

dan yang umum, dan penemuan-penemuan dari artikel-artikel semacam ini tidak

dianggap sebagai bukti langsung. Bibliografi lengkap dari artikel-artikel yang

digunakan untuk mengembangkan Guidelines yang terbaru ini, dapat ditemukan

di Suplemental Digital Content 2.

Sebelumnya, setiap studi diklasifikasikan untuk menentukan potensi meta-

analitiknya masing-masing. Guideline sebelumnya melaporkan literature yang

mencakup 7 intervensi klinis dengan studi yang cukup, desain eksperimen yang

27

Page 28: Airway Management

jelas dan informasi statistic dapat digunakan untuk membentuk meta-analysis

yang formal. Literatur yang baru mencakup 2 intervensi klinis dengan studi yang

cukup, desain eksperimen yang jelas dan informasi statistic dapat digunakan

untuk membentuk meta-analysis yang formal . Intervensi-intervensi ini adalah:

(1). Preksigenasi: oksigen selama 3-5 menit vs 4 napas dalam dan (2) Oksigen

supplemental post-ekstubasi, melalui mask, atau kanul hidung vs udara ruangan.

Estimasi variasi besar efek atau kombinasi tes probabilitas dilakukan untuk

mendapatkan hasil yang konsisten, dan rasio Mantel-Haenszel digunakan untuk

mendapatkan hasil yang dikotom. Tes probailitas yang digunakan ada dua,

sebagai berikut: (1). Fisher test, menghoufferasilkan nilai chi-square berdasarkan

transformasi logaritmik dari nilai P yang dilaporkan dari studi independen dan (2)

Tes Stouffer, menghasilkan penilaian studi representatif dengan membandingkan

nilai normal deviasi dengan nilai sampel. Prsedur ratio berdasarkan metode

Mantel-Haenszel untuk mengkombinasikan hasil studi menggunakan tabel ukuran

2x2 dengan hasil frekuensi informasi. Level signifikansi yang dapat diterima

adalah P<0.01 (one-tailed). Tes untuk menentukan heteregonitas dari studi

independen dilakukan untuk mamstikan konsistensi dari hasil studi. Ratio

DerSimonian-Laird mengenai random effects didapatkan apabila heterogenitas

yang signifikan telah didapatkan (P<0.01). Untuk mengontrol bias akibat

publikasi, ditentuka nilai ‘fail-safe’. Tidak dilakukan pencarian literature dari

literature yang tidak dipublikasikan serta tidak ada tes reliabilitas untuk

menentukan hasil penelitian yang dilakukan. Untuk dapat diterima sebagai hasil

yang signifikan, ratio Mantel-Haenszel harus sesuai dengan hasil tes dimana

kedua macam data dinilai. Apabila tidak ada ratio Mantel-Haenszel, maka hasil

dari Fisher dan Stouffer harus sejalan dengan masing-masing untuk dapat

dianggap signifikan.

Hasil meta-analisis terbaru didapatkan dari bukti-bukti berikut: (1)

preoksigenasi selama 3-5 menit vs selama 4 napas dalam (2) videolaryngoscope

vs laringoskop langsung dan (3) Oksigen supplemental setelah ekstubasi (tabel 4)

28

Page 29: Airway Management

Dalam pedoman sebelumnya, kesepakatan intra observer antara anggota

Satgas dan dua methodologists adalah didirikan oleh uji reliabilitas interrater.

Perjanjian tingkat menggunakan kappa (κ) statistik selama dua-rater pasangan

kesepakatan yang sebagai berikut: (1) jenis desain penelitian, κ = 0,64-0,78; (2)

jenis analisis, κ = 0,78-0,85; (3) bukti keterkaitan tugas, κ = 0,89-0,95, dan (4)

inklusi literatur untuk database, κ = 0,62-1,00. Tiga-rater kesempatan-dikoreksi

nilai kesepakatan adalah: (1) studi desain, Sav = 0,73, Var (Sav) = 0,008, (2) jenis

analisis, Sav = 0,80, Var (Sav) = 0,008, (3) linkage tugas, Sav = 0,93, Var (Sav) =

0,003; (4) literatur Database inklusi, Sav = 0,80, Var (Sav) = 0,032. Nilai tersebut

mewakili kesepakatan dari tingkat sedang sampai tinggi. Untuk pedoman terbaru,

persamaan dua peneliti yang bersangkutan pada pedoman aslinya melakukan

tinjauan literatur.

B. Consensus Berbasis Bukti

Konsensus diperoleh dari berbagai sumber, termasuk: (1) survei pendapat dari

konsultan yang dipilih berdasarkan pengetahuan atau keahlian dalam manajemen

jalan nafas yang sulit, (2) pendapat survei diminta dari anggota aktif American

Society of anestesi, (3) kesaksian untuk pembaruan sebelumnya dari peserta dari

publik yang diselenggarakan forum terbuka pada pertemuan anestesi besar

nasional, (4) Internet komentar, dan (5) Task Force dan pendapat interpretasi.

Survei tingkat pengembalian adalah 63% (n = 302 dari 105) untuk konsultan

(tabel 5), dan 302 survei yang diterima dari American Society of anestesi aktif

anggota (Tabel 6).

Survei tambahan diberikan kepada para konsultan, meminta mereka untuk

menunjukkan bukti, jika ada, mengenai hubungan yang akan mengubah praktik

mereka apabila Guideline terbaru diberlakukan. Adapun yang merespon survey

sekitar 24 % (25 dari 105). Persentase dari konsultan yang merespon tidak ada

perubahan yang akan terjadi pada setiap bagian adalah sebagai berikut: untuk

airway history=84%, pemeriksaan fisis jalan napas = 88%, persiapan pasien dan

peralatan=80%, difficult airway strategy=80%, Ekstubasi=64%, follow up

care=72%. 88 persen responden mengindikasikan perubahan pada Guidelines

29

Page 30: Airway Management

tidak akan mempengaruhi jumlah waktu yang diperlukan dalam penanganan kasus

yang tipikal. 12% mengindikasikan bahwa perubahan pada Guideline akan

mempengaruhi jumlah waktu yang diperlukan dalam penanganan kasus yang

tipikal. Seratus persen responden berpendapat pengadaan alat, bahan dan pelatihan

baru untuk Guideline yang terbaru tidak diperlukan. Seratus persen responden

juga berpendapat bahwa Guideline yang terbaru tidak memerlukan perubhan

dalam praktiknya karena kan mempengaruhi biaya pengobatan.

Tabel 1. Komponen dari Pemeriksaan Fisik Jalan Napas Pra-Operasi

Komponen pemeriksaan Jalan napas Abnormalitas

Panjang incisura superior Relatif Panjang

Hubungan antara incisura maxillaris

dan incisura mandibularis saat

penutupan rahang

Overbite menonjol (incisura maxillaries

berada didepan incisura mandibularis)

Hubungan antara incisura maxillaries

dan incisura mandibularis saat protrusi

volunteer mandibula

Pasien tidak mampu membuat incisura

mandibularis berada di depan incisura

maxillaris

Jarak antar incisura Kurang dari 3 cm

Uvula terlihat atau tidak Tidak terlihat saat pasien dalam posisi

duduk (Mallampati class >2)

Bentuk palatum Sangat melengkung atau sempit

Jarak thyromental Kurang dari 3 jari

Panjang leher Pendek

Tebal leher Tebal

ROM leher dan kepala Pasien tidak menyentuhkan ujung dagu

ke leher atau tidak bisa

mengekstensikan leher

Tabel ini menunjukkan keadan-keadaan yang dapat ditemukan pada saat pemeriksaan

fisik yang dapat mempersulit intubasi. Adapun keputusan untuk memeriksa semua atau

sebagian saja komponen-komponen di atas tergantung dari keaadan umum pasien dan

penilaian pemeriksa sendiri. Tabel ini sendiri tidak bersifat wajib, dimana setiap

30

Page 31: Airway Management

komponen yang tercantum di dalam tabel tidak harus dilakukan semua dan bertahap.

Adapun urutan komponen yang tercantum di tabel dibuat berdasarkan ‘garis penglihatan’

saat laryngoskopi

Tabel 2. Kompinen-komponen Yang Sebaiknya ada Dalam Portable Storage Unit

saat Penanganan Jalan napas

Blade laringoskop rigid dengan berbagai ukuran selain ukuran yang

biasanya dipakai.Termasuk diantaranya rigid fiberoptic laringoskop

Video laryngoskopi

Tracheal tube dengan berbagai ukuran

Alat-alat untuk membantu pemasangan tracheal tube seperti stylet semirigid,

ventilating tube-changer,dan forcep yang digunakan untuk mengubah-ubah bagian

posterior tracheal tube

Supraglottic airway (LMA atau ILMA dengan ukuran yang biasanya digunakan)

Peralatan intubasi fiberoptic yang fleksibel

Peralatan untuk pembukaan jalan napas emergency

Detektor karbon dioksida

Bahan-bahan yang tercantum dalam tabel ini adalah yang sebaiknya ada, dan bisa saja

diubah-ubah atau diganti sesuai keperluan atau referensi dari praktisi atau rumah sakit

ILMA: Intubating LMA, LMA: Laryngeal Mask Airway

Tabel 3. Teknik untuk penanganan jalan napas yang sulit

Teknik untuk Intubasi yang sulit Teknik untuk Ventilasi yang sulit

Intubasi sadar Intratracheal jet stylet

Blind Intubation (oral dan nasal) Pembukaan jalan napas invasive

Fiberoptic Intubation Supraglottic airway

Intubasi dengan supraglottic airway Airway oral dan nasofaring

Dengan blade laryngoskop berbagai

ukuran

Bronkoskopi

Dengan light wand Two person mask ventilation

Videolaringoskop

31

Page 32: Airway Management

Tabel ini berisi teknik yang sering digunakan. Urutannya berdasarkan alphabet dan bukan

berdasarkan preferensi atau tingkat keberhasilannya. Kombinasi dari teknik-teknik diatas

dapat digunakan tergantung dari keperluan, keterampilan maupun preferensi dari praktisi.

Tabel 4. Kesimpulan Meta-Analysis

Heterogenitas

Evidence linkages

N

Fischer

Chi-

Square

P

Weighted

Stouffer

Zc

PBesar

efekRatio Cl P

Besar

efek

Preoksigenasi selama 3-

5 menit atau selama 4

kali napas dalam

Saturasi Oksigen

setelah

preoksigenasi

5 41.17 0.001 -0.46 0.323 0.31 0.001 0.001

Videolaringoskop vs

laringoskop langsung

Laryngeal view

grade 17 7.11*

2.58

-

10.7

2

0.001

Laryngeal view

grade 1 dan 2 7 5.29

3.36

-

8.33

0.414

Intubasi sukses

9 3.24

1.59

-

6.61

0.745

Intubasi sukses di

kali pertama

percobaan

6 3.10

1.30

2-

5.81

0.247

Waktu intubasi 7 72.86 0.001 2.23 0.013 0.05 0.001 0.001

Oksigen supplemental

setelah ekstubasi

Hipoksemia

6 0.18

0.10

-

0.32

0.486

32

Page 33: Airway Management

*Ratio efek acak

CI= 99%: Coincidence interval

Tabel 5. Respon Konsultan

Persen jawaban responden

NSangat

SetujuSetuju

Tidak

memilih

Tidak

Setuju

Sangat

tidak

setuju

1. Dampak dari masalah

penanganan berikut harus dinilai:

Pasien sulit berkooperasi

Mask Ventilation sulit

Laringoskopi sulit

Intubasi sulit

Pembukaan jalan napas lewat

pembedahan sulit

66

66

66

66

66

66

60.6*

93.9*

75.8*

84.8*

89.4*

71.2*

33.3

6.1

21.2

10.6

9.1

24.2

3.0

0.0

1.5

4.6

1.5

4.6

3.0

0.0

1.5

4.6

1.5

4.6

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

2. Pemberian oksigen supplemental

harus dengan aktif diberikan

selama proses penanganan jalan

napas

66 86.4* 10.6 1.5 1.5 0.0

3. Efek dari pilihan-pilihan

penanganan dibawah ini harus

dipertimbangkan:

Intubasi sadar vs Intubasi

dengan anestesi umum

Teknik intubasi noninvasive vs

Teknik invasive

Preservasi ventilasi spontan vs

ablasi ventilasi spontan

Laringoskop dibantu video vs

laringoskop dengan blade

yang rigid

66

66

66

66

78.8*

54.5*

74.2*

48.5*

19.7

34.8

21.2

25.8*

1.5

9.1

1.5

16.7

3.0

1.5

1.5

7.6

0.0

0.0

1.5

1.5

4. Alat-alat pembukaan jalan napas

dibawah ini harus menjadi

pilihan untuk digunakan saat

prosedur ventilasi airway

33

Page 34: Airway Management

noninvasive dalam keadaan

emergency

Bronkoskop rigid

Bronkoskop fiberoptic

Supraglottic airway

66

66

66

13.6

69.7*

92.4*

33.3

12.1

7.6

16.7

3.0

0.0

30.3

12.1

0.0

6.1

3.0

0.0

5. Sebuah videolaryngoskop harus

dimasukkan ke dalam Portable

Storage Unit untuk prosedur

penanganan jalan napas

66 71.2* 18.2 7.6 3.0 0.0

6. Transtracheal jet ventilation

merupakan: (pilih salah satu)

Ventilasi airway invasive 95%

Ventilasi airway non-invasif

4.6%

66

7. Riwayat airway harus diketahui

sebelum dilakukan anestesi

ataupun penanganan airway

66 90.9* 6.1 3.0 0.0 0.0

8. Pemeriksaan fisik airway

harus dilakukan sebelum

dilakukan anestesi ataupun

penanganan airway

66 92.4* 7.6 0.0 0.0 0.0

9. Keadaan-keadaan airway

praoperasi harus dinilai66 80.3* 10.6 6.1 3.0 0.0

10. Evaluasi tambahan perlu

dilakukan pada beberapa

pasien untuk mendeteksi

adanya kemungkinan kesulitan

intubasi

66 51.5* 39.4 6.1 1.5 1.5

11. Setidaknya satu portable

storage unit yang mengandung

alat khusus untuk penanganan

airway yang sulit harus selalu

siap sedia

66 92.4* 6.1 1.5 0.0 0.0

12. Apabila didapatkan atau

dicurigani adanya keadaan

dimana airway sulit diakses,

66 78.8* 19.7 1.5 0.0 0.0

34

Page 35: Airway Management

anestesiologis harus segera

menginformasikan pasien atau

orang terdekatnya mengenai

resiko dan prosedur yang akan

dilakukan

13. Apabila didapatkan atau

dicurigani adanya keadaan

dimana airway sulit diakses,

anestesiologis harus

memastikan adanya paling

sedikt satu orang yang dapat

menjadi asisten dalam

prosedur penaganan jalan

napas yang sulit

66 65.2* 25.7 9.1 0.0 0.0

14. Apabila didapatkan atau

dicurigani adanya keadaan

dimana airway sulit diakses,

anestesiologis harus

melakukan facemask

preoksigenasi sebelum

melakukan penanganan

66 71.2* 15.1 6.1 7.6 0.0

15. Apabila didapatkan atau

dicurigani adanya keadaan

dimana airway sulit diakses,

anestesiologis, harus dengan

aktif mencari kesempatan

pemberian oksigen

sumplemental selama proses

penanganan

66 86.4* 13.6 0.0 0.0 0.0

16. Anestesiologis harus sudah

merencanakan strategi intubasi

untuk mengantisipasi

didapatkan atau dicurigani

adanya keadaan dimana

airway sulit diakses

66 95.5* 3.0 1.5 0.0 0.0

17. Dalam penyusunan strategi

intubasi airway sulit, harus

35

Page 36: Airway Management

mencakup pertimbangan egek

dari 4 pilihan penanganan:

Intubasi sadar vs Intubasi

dengan anestesi umum

Teknik intubasi noninvasive

vs Teknik invasive

Preservasi ventilasi spontan

vs ablasi ventilasi spontan

Laringoskop dibantu video

vs laringoskop dengan blade

yang rigid

66

66

66

66

89.4*

71.2*

48.5

80.3*

7.6

25.8

22.7*

12.1

1.5

3.0

16.7

6.1

1.5

0.0

10.6

0.0

0.0

0.0

1.5

1.5

18. Dalam penyusunan strategi

intubasi airway sulit, harus

mencakup identifikasi

terhadapn perlunya dilakukan:

Intubasi dalam keadaan sadar

Pasien yang sulit diintubasi

namun dapat dengan adekuat

diventilasi

Situasi mengancam nyawa

dimana pasien sulit diintubasi

maupun diventilasi

66

66

66

71.2*

77.3

92.9*

24.2

19.7

0.0

3.0

3.0

0.0

0.0

0.0

0.0

1.5

0.0

0.0

19. Dalam penyusunan strategi

intubasi airway sulit, harus

mencakup identifikasi

penanganan alternatif sebagai

antisipasi apabilan penanganan

primer gagal.

66 98.5* 1.5 0.0 0.0 0.0

20. Dalam penyusunan strategi

intubasi airway ang sulit harus

mencakup konfirmasi intubasi

trakea

66 98.5* 1.5 0.0 0.0 0.0

21. Strategi eksubasi preformula

mencakup beberapa

perimbangan:

Manfaat relatif antara

ekstubasi sadar dan

66 72.7* 1.5 0.0 0.0 0.0

36

Page 37: Airway Management

ekstubasi tidak sadar.

Faktor klinis general yang

menyebabkan dampak yang

buruk saat dilakukan

ventilasi setelah pasien

diekstubasi.

Rencana manajemen airway

yang diimplementasikan jika

pasien tidak sanggup

menjaga ventilasei adekuat

seelah ekstubasi.

Manfaat jangka pendek dari

peralatan yang dapat

digunakan sebagai pemandu

unuk mempercepat

reintubasi.

66

66

66

84.8*

89.4*

63. 6*

21.2

15.2

9.1

3.0

0.0

1.5

1.5

0.0

0.0

1.5

0.0

0.0

22. Ahli anestesi harus

mendokumentasikan rekam

medis pasien yang mengalami

jalan napas sulit.

66 63.6* 28.8 7.6 0.0 0.0

23. Seorang dokter anestesi harus

menemui dan melakukan

inform concent terhadap

pasien yang memiliki jalan

napas sulit

66 95.5* 4.5 0.0 0.0 0.0

24. Seorang dokter anestesi harus

melakukan evaluasi dan

follow-up terhadap pasien

unuk menghindari komplikasi

jalan napas yang dapat terjadi

66 87.9* 12.1 0.0 0.0 0.0

25. Pasien seharusnya dinasehati

tentang beberapa komplikasi

jalan napas sulit yang dapat

mengancam jiwa

66 65.1* 25.8 7.6 1.5 0.0

37

Page 38: Airway Management

Tabel 6. Respon survey anggota ASA

Persen jawaban responden

NSangat

SetujuSetuju

Tidak

memilih

Tidak

Setuju

Sangat

tidak

setuju

1. Dampak dari masalah

penanganan berikut harus dinilai:

Pasien sulit berkooperasi

Mask Ventilation sulit

Kesulian pemasangan SGA

Laringoskopi sulit

Intubasi sulit

Pembukaan jalan napas lewat

pembedahan sulit

302

302

302

302

302

302

49.7*

81.8*

64.5*

84.4*

87.7

54.6*

36.4

15.9

28.5

14.6

12.3

32.5

8.6

1.0

5.0

0.3

0.0

11.3

4.0

1.3

2.0

0.7

0.0

1.3

1.3

0.0

0.0

0.0

0.3

0.0

2. Pemberian oksigen supplemental

harus dengan aktif diberikan

selama proses penanganan jalan

napas

30279.8*

16.9 3.0 0.3 0.0

3. Efek dari pilihan-pilihan

penanganan dibawah ini harus

dipertimbangkan:

Intubasi sadar vs Intubasi

dengan anestesi umum

Teknik intubasi noninvasive vs

Teknik invasive

Preservasi ventilasi spontan vs

ablasi ventilasi spontan

Laringoskop dibantu video vs

laringoskop dengan blade

yang rigid

302

302

302

302

73.8*

52.0*

65.2*

53.0*

23.2

37.1

28.5

29.5*

2.3

9.6

5.3

12.9

0.7

1.3

1.0

4.6

0.0

0.0

0.0

0.0

4. Alat-alat pembukaan jalan napas

dibawah ini harus menjadi

pilihan untuk digunakan saat

prosedur ventilasi airway

noninvasive dalam keadaan

emergency 302 6.3 21.5 33.7 31.5 7.0

38

Page 39: Airway Management

Bronkoskop rigid

Bronkoskop fiberoptic

Supraglottic airway

302

302

64.2*

91.4*

19.2

8.3

4.6

0.3

8.9

0.0

3.0

0.0

5. Sebuah videolaryngoskop harus

dimasukkan ke dalam Portable

Storage Unit untuk prosedur

penanganan jalan napas

302 69.5* 20.5 6.6 3.3 0.0

6. Transtracheal jet ventilation

merupakan: (pilih salah satu)

Ventilasi airway invasive 95%

Ventilasi airway non-invasif

4.6%

302

7. Riwayat airway harus diketahui

sebelum dilakukan anestesi

ataupun penanganan airway

302 87.1* 10.9 0.7 1.3 0.0

8. Pemeriksaan fisik airway

harus dilakukan sebelum

dilakukan anestesi ataupun

penanganan airway

302 91.1* 7.9 0.7 1.3 0.0

9. Keadaan-keadaan airway

praoperasi harus dinilai302 71.8* 22.5 2.6 2.0 1.0

10. Evaluasi tambahan perlu

dilakukan pada beberapa

pasien untuk mendeteksi

adanya kemungkinan kesulitan

intubasi

302 55.6* 35.1 7.6 1.3 0.3

11. Setidaknya satu portable

storage unit yang mengandung

alat khusus untuk penanganan

airway yang sulit harus selalu

siap sedia

302 85.8* 12.2 2.0 0.0 0.0

12. Apabila didapatkan atau

dicurigani adanya keadaan

dimana airway sulit diakses,

anestesiologis harus segera

menginformasikan pasien atau

302 73.8* 24.2 1.7 0.0 0.3

39

Page 40: Airway Management

orang terdekatnya mengenai

resiko dan prosedur yang akan

dilakukan

13. Apabila didapatkan atau

dicurigani adanya keadaan

dimana airway sulit diakses,

anestesiologis harus

memastikan adanya paling

sedikt satu orang yang dapat

menjadi asisten dalam

prosedur penaganan jalan

napas yang sulit

302 58.3* 30.5 6.9 3.0 1.3

14. Apabila didapatkan atau

dicurigani adanya keadaan

dimana airway sulit diakses,

anestesiologis harus

melakukan facemask

preoksigenasi sebelum

melakukan penanganan

302 77.8* 14.2 5.3 2.0 0.7

15. Apabila didapatkan atau

dicurigani adanya keadaan

dimana airway sulit diakses,

anestesiologis, harus dengan

aktif mencari kesempatan

pemberian oksigen

sumplemental selama proses

penanganan

302 73.5* 22.5 3.6 0.3 0.0

16. Anestesiologis harus sudah

merencanakan strategi intubasi

untuk mengantisipasi

didapatkan atau dicurigani

adanya keadaan dimana

airway sulit diakses

302 84.4* 14.9 0.7 0.0 0.0

17. Dalam penyusunan strategi

intubasi airway sulit, harus

mencakup pertimbangan egek

dari 4 pilihan penanganan:

40

Page 41: Airway Management

Intubasi sadar vs Intubasi

dengan anestesi umum

Teknik intubasi noninvasive

vs Teknik invasive

Preservasi ventilasi spontan

vs ablasi ventilasi spontan

Laringoskop dibantu video

vs laringoskop dengan blade

yang rigid

302

302

302

302

76.5*

65.2*

53.6*

62.6*

21.5

34.8

33.1*

29.1

2.0

2.3

8.6

6.3

1.5

0.7

3.3

2.0

0.0

0.0

1.3

0.0

18. Dalam penyusunan strategi

intubasi airway sulit, harus

mencakup identifikasi

terhadapn perlunya dilakukan:

Intubasi dalam keadaan sadar

Pasien yang sulit diintubasi

namun dapat dengan adekuat

diventilasi

Situasi mengancam nyawa

dimana pasien sulit diintubasi

maupun diventilasi

302

302

302

61.9*

62.2*

85.1*

31.5

35.1

13.9

5.6

2.0

1.0

1.0

0.7

0.0

0.0

0.0

0.0

19. Dalam penyusunan strategi

intubasi airway sulit, harus

mencakup identifikasi

penanganan alternatif sebagai

antisipasi apabilan penanganan

primer gagal.

302 86.5* 1.5 0.0 0.0 0.0

20. Dalam penyusunan strategi

intubasi airway ang sulit harus

mencakup konfirmasi intubasi

trakea

302 98.5* 1.5 0.0 0.0 0.0

21. Strategi eksubasi preformula

mencakup beberapa

perimbangan:

Manfaat relatif antara

ekstubasi sadar dan

ekstubasi tidak sadar.

Faktor klinis general yang

302

302

76.2*

73.8*

18.2

22.8

2.6

3.0

1.7

0.3

1.3

0.0

41

Page 42: Airway Management

menyebabkan dampak yang

buruk saat dilakukan

ventilasi setelah pasien

diekstubasi.

Rencana manajemen airway

yang diimplementasikan jika

pasien tidak sanggup

menjaga ventilasei adekuat

seelah ekstubasi.

Manfaat jangka pendek dari

peralatan yang dapat

digunakan sebagai pemandu

unuk mempercepat

reintubasi.

302

302

75.5*

45.4

23.2

36.7*

1.0

0.3

2.0

0.0

0.0

1.3

22. Ahli anestesi harus

mendokumentasikan rekam

medis pasien yang mengalami

jalan napas sulit.

302 90.7* 8.637.7 0.7 0.0 0.0

23. Seorang dokter anestesi harus

menemui dan melakukan

inform concent terhadap

pasien yang memiliki jalan

napas sulit

302 85.7* 13.6 0.7 0.0 0.0

24. Seorang dokter anestesi harus

melakukan evaluasi dan

follow-up terhadap pasien

unuk menghindari komplikasi

jalan napas yang dapat terjadi

30255.3*

37.7 6.6 0.0 0.3

25. Pasien seharusnya dinasehati

tentang beberapa komplikasi

jalan napas sulit yang dapat

mengancam jiwa

302 56.0* 32.1 10.6 1.0 0.3

† N = jumlah anggota ASA yang merespondensi setiap item. Tanda bintang di samping nilai

persentase menunjukkan median. Termasuk, tetapi tidak terbatas pada, panjang gigi seri atas,

hubungan gigi seri rahang atas dan bawah selama penutupan rahang normal dan penonjolan

sukarela, interincisor jarak, visibilitas uvula, bentuk langit-langit mulut, kepatuhan ruang

mandibula, jarak thyromental, panjang dan ketebalan leher, dan berbagai gerakan kepala dan leher

42