Air by Djenar Maesa Ayu

download Air by Djenar Maesa Ayu

of 3

Transcript of Air by Djenar Maesa Ayu

  • 7/29/2019 Air by Djenar Maesa Ayu

    1/3

    Air by Djenar Maesa Ayu

    Air putih kental itu saya terima di dalam tubuh saya. Mengalir deras sepanjang rongga vagina hinggalengket, liat sudah di indung telur yang tengah terjaga. Menerima. Membuahinya. Ada perubahan ditubuh saya selanjutnya. Rasa mual merajalela. Pun mulai membukit perut saya. Ketika saya ke dokter

    kandungan untuk memeriksakannya, sudah satu bulan setengah usia janinnya.

    Akan kita apakan calon bayi ini? Kita masih terlalu muda, kata ayahnya.

    Saya akan menjaganya.

    Air kental itu seperti bom yang meledak di dalam tubuh saya. Mengalir deras sepanjang rongga vagina

    hingga keluar mendesak celana dalam yang tak kuat membendungnya. Terus menyeruak dan mendaratlengket, liat, di atas seprai motif beruang teddy berwarna merah muda. Ketuban sudah pecah. Rasa takutseketika membuncah. Tapi segera mentah berganti dengan haru memanah. Sembilan bulan sudah.Lewati mual tiap kali mencium bau parfum keluaran baru eternity. Rasa waswas setiap kali belumwaktunya namun sudah kontraksi. Tidak mengambil cuti, mencari uang demi mengonsumsi makanan

    bergizi yang konon bisa membuahkan kecanggihan otak maupun fisiknya nanti. Tapi

    Kami mengerti, tapi perutmu sudah kelihatan tambah besar. Kami tidak bisa mempekerjakan SPG yangkelihatan sedang hamil, kata supervisor saya.

    Saya akan menjaganya.

    Air ketuban sudah hampir kering. Baru pembukaan delapan, masih harus menunggu dua pembukaan lagi.Harus operasi. Tapi saya ngotot persalinan alami. Uang yang terkumpul tidak cukup untuk operasi. Danjika operasi, saya khawatir tidak bisa langsung mengurusnya sendiri. Untuk keperluan sehari-hari sajapas-pasan. Membayar pembantu, apalagi suster, jelas belum mapan. Materi yang ada, belum cukupuntuk hidup sebagai majikan. Memikirkan itu tenggorokan saya jadi ikut kering. Erang kesakitan sudah

    tidak lagi melengking. Kepala saya pening. Dokter yang baik itu menatap saya dengan prihatin. Tapi sayaberkata dengan yakin.

    Robek saja, Dok. Gunting saja supaya tuntas pembukaannya.

    Saya akan menjaganya

    Air hangat itu membasuh kulit tubuhnya yang bening. Suara tangisnya seisi ruangan melengking. Sayajentikkan jari kelingking di pipinya yang merah. Mengecup kedua matanya yang masih lengket. Masih takpercaya. Makhluk manis tak berdaya itu pernah tinggal di dalam rahim saya. Masih tak percaya. Makhlukmungil itu keluar dari dalam tubuh saya. Lantas suster membawanya. Pergi ke kamar bayi jauh dariibunya. Saya ingin protes, tapi tak bisa. Saya hanya bisa berjanji dalam hati, setelah ini tak akan adayang memisahkan kami lagi, ketika suster itu berkata, Ibu butuh istirahat untuk mempersiapkan ASI.Sekarang kami akan membawanya ke kamar bayi.

    Saya akan menjaganya.

    Air putih cair itu keluar berupa jentik-jentik yang ajaib di ke dua puting saya. Suster yang sedari tadimemijat payudara saya terlihat puas. Tidak terlalu sulit mengeluarkannya. Selama sembilan bulan setiap

    harinya saya sudah memijat payudara saya dengan minyak kelapa. Lucu, sekarang ke dua payudara kecilini pun gemuk membungkah seperti kelapa. Penuh dengan air susu yang sebentar lagi akan ada

  • 7/29/2019 Air by Djenar Maesa Ayu

    2/3

    pengisapnya. Di mana makhluk mungil itu? Saya begitu tak sabar menunggu. Begitu ingin segera

    menimang dan menatapnya menyusu. Saya sudah tidak butuh rehat. Air susu saya sudah sarat.Payudara sudah terasa berat.

    Benar Ibu sudah siap?

    Saya akan menjaganya

    Air mata meleleh di pipinya, tak ingin begitu saja melepas kepergian saya. Cukup lama saya harusmenenangkannya. Berusaha memberikan pengertian. Berusaha memberikan rasa aman. Dan harapan.Harapan akan segera pulang. Harapan akan segera pulang membawa uang. Harapan akan segera pulangmembawa uang untuk suatu hari nanti tak perlu pergi kerja dan tinggal angkat kaki ongkang-ongkang.Jika saat itu tiba, kami akan menjelajah dunia. Mengunjungi semua Disneyland di tiap negara yang

    memilikinya. Bermain dengan penguin-penguin di Cape Town selatan Afrika. Menyeruput pinacolada diHawaii sambil menyaksikan tarian bora-bora. Kalau perlu, kalau ia mau, saya akan membeli rumah

    berikut taman bermain milik raja pop Michael Jackson yang tengah bangkrut. Membeli apa pun yang iainginkan semudah orang membuang kentut. Tapi tidak mudah memberikan sejuta harapan. Apalagi jikaharapan-harapan itu kerap diulang-ulang dan tak pernah mewujud jadi kenyataan. Karena sudah beribu-

    ribu kali saya hanya pulang membawa sedikit uang. Hanya cukup untuk makan sekadar, membayar listrik,air, telepon, kontrakan, dan sekolah yang semakin hari harganya semakin tinggi menjulang. Dan sayatetap akan pergi. Tetap akan pulang. Ia akan tetap tak membiarkan saya pergi. Tetap menunggu saya

    pulang. Saya tetap akan pergi. Tetap akan pulang. Ia membiarkan saya pergi. Tak menunggu sayapulang.

    Capek ah nunggu, aku udah mau tidur! semprotnya.

    Saya akan menjaganya.

    Air asin itu mendarat di bibir saya lagi. Lampu-lampu besar seperti makhluk pemeras keringat yang takberperikemanusiaan. Sudah jam delapan. Baru akan dimulai merekam adegan. Saya harus segera

    menghayati peran. Tapi kepala saya masih dipenuhi pikiran. Apakah makhluk kecil yang sudah beranjakremaja itu sudah makan? Apakah ia kesepian? Atau jangan-jangan di rumah ia sedang asyik masyukpacaran? Saya menjadi ketakutan. Ingin menelepon tapi sutradara memberi instruksi jika ponsel mutlak

    dimatikan. Tak ada yang mungkin saya lakukan untuk menjangkaunya sekarang. Padahal saya sudahbegitu ingin cepat-cepat menjangkaunya dan terbang pulang. Melayang seperti burung tanpa harusterhambat kemacetan. Melayang bersamanya menikmati indahnya kelap kelip lampu jalan seperti

    dongeng anak-anak Peter Pan. Lampaui semua beban. Lampaui semua luka dan penderitaan. Kadangsaya juga ingin melayang jauh ke masa lampau. Tidak membiarkan air putih kental itu lengket di indung

    telur hingga tumbuh menjadi janin yang kini terlahir sebagai manusia yang merasa disia-siakan.Melayang lebih jauh lagi ke masa lampau. Tak bertemu dengan ayahnya yang dengan mudahnya lepastangan.

    Action! teriak sutradara.

    Saya akan menjaganya.

    Air jernih di dalam gelas yang dulu ada di atas meja samping tempat tidurnya, kini telah berganti denganair berbusa kekuning-kuningan. Di gelas itu berdiri sebotol bir merek bintang. Entah disengaja untuk

    menarik perhatian. Entah ia sudah teler dan lupa menyimpan. Yang sudah pasti telah terjadi perubahanyang membuat saya tertekan. Tapi lebih pasti lagi ia tak kurang tertekan. Apakah yang sudah saya

    lakukan? Atau justru apakah yang tidak saya lakukan? Sudahkah karenanya ia menjadi korban? Di balikselimutnya ia tertidur dengan amat tenang. Saya jentikkan kelingking di pipinya yang bening. Saya kecup

  • 7/29/2019 Air by Djenar Maesa Ayu

    3/3

    kedua matanya yang merapat, persis seperti ketika ia baru lahir dengan kedua mata yang masih lengket.

    Tapi ia menggeliat. Lantas meronta, menghalau saya supaya tak dekat-dekat. Semakin terkumpul segalalelah segala penat.

    Bangsaaaaaaaat!

    Saya tak kuasa menjaganya

    Air kuning kental itu meluap dari mulut saya. Lima puluh pil penenang saya tenggak. Harusnya seratus pilseperti yang dikonsumsi Maryln Monroe hingga ajal menjemputnya. Ada cahaya di ujung lorong, igausaya. Ternyata datang dari tubuhnya yang berbalut cahaya kemilau dengan tangan terbuka. Siapmenerima saya dalam pelukan bahagia. Saya menengok ke arah ujung lorong yang berlawanan. Adakegelapan, igau saya. Ternyata datang dari tubuhnya yang sama sekali tak berbalut cahaya kecuali

    melulu kegelapan dan luka. Terkulai lemah seakan menunggu saya menerima ia dalam pelukan saya.Menunggu. Seperti semasa ia bayi menunggu saya membersihkan puting payudara sebelum

    menyerahkan untuknya menyusu. Menunggu. Seperti semasa ia balita menunggu saya pulang selepaskerja membawa sedikit uang dan satu kantung plastik berisi sepatu baru.

    Menunggu. Seperti saya sekarang menunggunya dengan ilusi dirinya berkilauan merentangkan tanganatau terkulai lemah membutuhkan pegangan setelah menemukan mulut saya berbusa akibat menenggak

    obat penenang. Menunggu. Seperti sekarang saya menunggu emosi saya pergi. Menunggu kesadaransaya kembali. Menunggu. Seperti saya sekarang menunggu satu saat nanti ia mengerti. Satu saat nanti iakembali.

    Saya kembali ke kamarnya. Duduk di samping tempat tidurnya dan memerhatikannya yang sudah

    kembali pulas tidur. Ada buku di sampingnya menarik perhatian saya. Pelan-pelan saya ambil dan buka.Ada puisi di dalamnya.

    Air dapat memelukmu

    tapi tak akan membelenggumu

    Air dapat pantulkan cahayamu

    tapi tak dapat jadikanmu nyata(*)

    Saya akan menjaganya.

    Jakarta, 13 Mei 2006 12:24:00 PM

    Untuk Banyu Bening

    (*) Cuplikan puisi Air karya Banyu Bening