AIDS Di Prov Sulawesi Tengah

2
AIDS di Prov Sulawesi Tengah: (Jangan) ’Terlena’ dengan Angka yang Kecil REP | 25 March 2011 | 11:19 53 0 Nihil Tingkat kematian Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang dirawat di rumah sakit terjadi k mereka berobat setelah masuk masa AIDS yang ditandai dengan berbagai macam penyakit terjadi di Prov Sulawesi Tengah (Sulteng). Data Dinkes Sulteng dan KPAP kematian Odha di Sulteng sampai Desember 2010 mencapai 35. Kasus kumulati mencapai 151. Kota Palu merupakan daerah tertinggi kasus HIV AIDS dengan 90 kasus d kematian ( Banyak Pasien ODHA Dirawat Setelah Gawat , www.fajar.co.id , 24/3-2011). Fakta di atas menunjukkan banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah karena sebelum masa AIDS (antara 5 –15 setelah tertular) tidak ada gejala-gejala y pada fisik mereka. Celakanya, di Indonesia tidak ada mekanisme untuk mend HIV/AIDS di masyarakat. Bandingkan dengan Malaysia yang menjalankan survail secara rutin terhadap berbagai kalangan sehingga banyak kasus yang terdeteksi. Menurut Sekretaris Komisi Penaggulangan AIDS Provinsi (KPAP) Sulteng, dr Hj Muslima Gadi, MKes, beberapa pasien Odha yang dirawat di RS Undata sudah mengidap AIDS stad III. Hal ini dikarenakan AIDS pada pasien Odha tidak terdeteksi sejak awal. Mengapa banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV? Ya, tentu saja karena ulah pemerintah juga yang selama ini tidak menyamp HIV/AIDS yang akurat. Sejak awal epidemi pemerintah, dalam hal ini Depkes, selalu m AIDS akan ’masuk’ ke Indonesia. Selain itu informasi HIV/AIDS pun dibumbui dengan n moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (angapan yang salah). Banyak orang yang tidak merasa perilakunya berisiko karena dia tidak melalukan zina pekerja seks komersial (PSK) di lokaliasi pelacuran. Ini terjadi karena disebutkan melalui PSK di lokalisasi. Akibatnya, banyak laki- laki ’hidung belang’ yang merasa tidak berisiko karena dia ’main’ dengan ’cewek’ di hotel. PSK yang tidak mang lokalisasi pelacuran dikenal sebagai PSK tidak lansung. Tapi, jangan lupa PSK tidak justru menjadi salah satu faktor pendorong penyebaran HIV (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/18/aids-di-sulawesi-selatan-didorong-psk-tidak langsung/ ). Konselor dan penggiat HIV AIDS, dr Dewi Suryani, SpKj, menyarankan agar Voluntary and Counseling Testing /VCT (klinik tes HIV dengan bimbingan secara gratis), termas konselor yang telah dilatih untuk melakukan konseling VCT diaktifkan kembali. Menur saatini post test ataupemeriksaan lanjutan tidak dilakukan setelah VCT. Dewi Suryani mencontohkan VCT yang dilakukan di lokalisasi pada peringatan Hari AIDS Sedunia tan

Transcript of AIDS Di Prov Sulawesi Tengah

AIDS di Prov Sulawesi Tengah: (Jangan) Terlena dengan Angka yang KecilREP | 25 March 2011 | 11:19 53 0 Nihil Tingkat kematian Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang dirawat di rumah sakit terjadi karena mereka berobat setelah masuk masa AIDS yang ditandai dengan berbagai macam penyakit. Ini terjadi di Prov Sulawesi Tengah (Sulteng). Data Dinkes Sulteng dan KPAP menunjukkan kematian Odha di Sulteng sampai Desember 2010 mencapai 35. Kasus kumulatif HIV/AIDS mencapai 151. Kota Palu merupakan daerah tertinggi kasus HIV AIDS dengan 90 kasus dan 21 kematian (Banyak Pasien ODHA Dirawat Setelah Gawat, www.fajar.co.id, 24/3-2011). Fakta di atas menunjukkan banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena sebelum masa AIDS (antara 5 15 setelah tertular) tidak ada gejala-gejala yang khas pada fisik mereka. Celakanya, di Indonesia tidak ada mekanisme untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat. Bandingkan dengan Malaysia yang menjalankan survailans tes HIV secara rutin terhadap berbagai kalangan sehingga banyak kasus yang terdeteksi. Menurut Sekretaris Komisi Penaggulangan AIDS Provinsi (KPAP) Sulteng, dr Hj Muslimah L Gadi, MKes, beberapa pasien Odha yang dirawat di RS Undata sudah mengidap AIDS stadium III. Hal ini dikarenakan AIDS pada pasien Odha tidak terdeteksi sejak awal. Mengapa banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV? Ya, tentu saja karena ulah pemerintah juga yang selama ini tidak menyampaikan informasi HIV/AIDS yang akurat. Sejak awal epidemi pemerintah, dalam hal ini Depkes, selalu menampik AIDS akan masuk ke Indonesia. Selain itu informasi HIV/AIDS pun dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (angapan yang salah). Banyak orang yang tidak merasa perilakunya berisiko karena dia tidak melalukan zina dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokaliasi pelacuran. Ini terjadi karena disebutkan HIV menular melalui PSK di lokalisasi. Akibatnya, banyak laki-laki hidung belang yang merasa tidak berisiko karena dia main dengan cewek di hotel. PSK yang tidak mangkal di lokasi atau lokalisasi pelacuran dikenal sebagai PSK tidak lansung. Tapi, jangan lupa PSK tidak langsung justru menjadi salah satu faktor pendorong penyebaran HIV (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/18/aids-di-sulawesi-selatan-didorong-psk-tidaklangsung/). Konselor dan penggiat HIV AIDS, dr Dewi Suryani, SpKj, menyarankan agar Voluntary and Counseling Testing/VCT (klinik tes HIV dengan bimbingan secara gratis), termasuk para konselor yang telah dilatih untuk melakukan konseling VCT diaktifkan kembali. Menurut Dewi saat ini post test atau pemeriksaan lanjutan tidak dilakukan setelah VCT. Dewi Suryani mencontohkan VCT yang dilakukan di lokalisasi pada peringatan Hari AIDS Sedunia tanggal 1

Desember 2010 melalui VCT ditemukan 14 orang mengidap HIV AIDS, namun tidak ditindaklanjuti dengan post test. Pernyataan di atas tidak akurat. Tidak jelas apakah keselahan ada pada Dewi sebagai narasumber atau wartawan. Soalnya, VCT tidak mengenal post test karena yang ada adalah konseling sebelum tes dan sesudah tes (post test). Pada tes HIV memang dikenal ada tes konfirmasi yaitu hasil tes pertama dites lagi dengan tes lain. Tapi, di klinik VCT sudah dilakukan konfirmasi dengan teknik tertentu. Jika bertolak dari kasus pada PSK maka yang dimaksud bukan post test, tapi tes konfirmasi karena tes yang dilakukan di lokalisasi terhadap PSK bersifat survailans. Yang dicari bukan PSK yang tertular HIV tapi perbandingan antara PSK yang terdeteksi positif dan negatif. Pemilik 14 contoh darah yang dites dengan hasil reaktif itu tidak diketahui karena sifat survailans tes HIV adalah anonimitas (tidak ada tanda atau kode pada contoh darah). Perlu diingat bahwa yang menularkan HIV kepada 14 PSK itu adalah laki-laki penduduk lokal, asli atau pendatang. Selanjutnya, ada pula laki-laki yang tertular HIVdari PSK yang sudah mengidap HIV. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran IHV di masyarakat sebagai suami, pacar, lajang, duda atau remaja. Dalam berita disebutkan pula: Perlu diketahui bahwa VCT merupakan program yang dapat digunakan bagi pihak medis untuk mengetahui sudah seberapa jauh seorang pengidap HIV/AIDS menderita penyakitnya. VCT sendiri merupakan suatu jalan keluar yang sangat baik dalam proses penghentian penularan yang berakibat meningkatnya jumlah penderita HIV/AIDS. Pernyataaan di atas juga tidak akurat karena klinik VCT adalah tempat untuk menjalani tes darah yang disebut tes HIV. Tapi, yang dicari bukan HIV sebagai virus, tapi antibody HIV di dalam darah. Maka, diperlukan konseling sebelum tes untuk mengetahui riwayat perilaku seks yang menjalani tes HIV. Ini perlu karena tes HIV tidak akurat kalau darah diambil pada masa jendela (baru tertular di bawah tiga bulan). Klinik VCT tidak bisa menghentikan penularan atau penyebaran HIV. Yang terjadi adalah orang-orang yang terdeteksi HIV di klinikVCT akan menghentikan penularan HIV mulai dari dirinya. Hal ini bisa terjadi karena sebelum tes dilakukan konseling (bimbingan) untuk menghasilkan kesepakatan, al. tidak akan menularkan HIV kepada orang lain jika terdeteksi positif. Pemprov Sulteng akan menghadapi persoalan besar berupa ledakan AIDS jika tetap terlena dengan angka pelaporan kasus kumulatif HIV/AIDS yang rendah itu, yaitu 151. Soalnya, angka yang terdeteksi ini hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat. Maka, tidak ada jalan lain bagi Pemprov Sulteng selain meningkatkan penyuluhan dengan materi yang akurat agar masyarakat mengetahui cara-cara pencegahan yang konkret. ***