Agrarische Wet
-
Upload
happy-khoirunnisa -
Category
Documents
-
view
644 -
download
0
Transcript of Agrarische Wet
AGRARISCHE WET
Disusun Guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Agraria
dosen pengampu mata kuliah Drs. Sujitro, M.si
Oleh Kelompok 5 :
MarfianaChairunnisa (100210302006)
Firna Niahara (100210302011)
Agi Ma’ruf Wijaya (100210302020)
Jamaluddin (1002210302021)
Firdhausi Marsheila (100210302025)
Zainul Mila Afifah (100210302095)
FAKULTAS KEGURAUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
PENDIDIKAN SEJARAH
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga penulisan makalah yang berjudul “Agrarische Wet” ini dapat terselesaikan.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Agraria.Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Jurusan Ilmu pengetahuan Sosial Program Studi Sejarah Universitas
Jember.
Penulis dalam menyelesaikan penulisan ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada dosen pembimbing untuk
mata kuliah Sejarah Agraria. Penyusun berterima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu demi terselesaikannya makalah ini.
Penyusun menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan
makalah kelompok kami ini. Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi yang berkompeten.
Jember, April 2012
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agrarische Wet merupakan hasil dari rancangan Wet (undang-undang) yang diajukan
oleh Menteri Jajahan de Waal. Agrarische Wet diundangkan dalam Stb. 1870 No. 55, sebagai
tambahan ayat-ayat baru pada Pasal 62 Regering Reglement (RR) Stb. 1854 No. 2.semula RR
terdri dari 3 ayat. Dengan tambahan 5 ayat baru (ayat 4 sampai dengan ayat 8) oleh
Agrarische wet, maka Pasal 62 RR terdiri atas 8 ayat. Pasal 62 RR kemudian menjadi Pasal
51 Indische Staatsregeling (IS), Stb. 1925 No. 447.
Agrarische Wet 1870 dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai tindak
lanjut atas kemenangan partai Liberal di Belanda, sekaligus menggantikan politik Tanam
Paksa (Cultuur Stelsel) dengan penanaman modal pengusaha Belanda. Pada pelaksanaannya
Agrarische Wet membawa pada berdirinya perkebunan-perkebunan besar Belanda di Hindia
Belanda, sehingga dapat disebut sebagai upaya menarik modal swasta ke Hindia Belanda.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Agrarische Wet?
2. Bagaimana Masa Pemerintahan Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55?
3. Bagaimana Cara Sewa Menyewa Peraturan Agrarische Wet?
4. Apa Dampak Dari Agrarische Wet Bagi Masyarakat Jawa dan Madura?
1.3 Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Agrarische Wet.
2. Untuk Mengetahui Masa Pemerintahan Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55.
3. Untuk Mengetahui Cara Sewa Menyewa Peraturan Agrarische Wet.
4. Untuk Mengetahui Dampak Dari Agrarische Wet Bagi Masyarakat Jawa dan Madura.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Agrarische Wet
Undang-Undang Agraria 1870 (bahasa Belanda: Agrarische Wet 1870) diberlakukan
pada tahun 1870 oleh Engelbertus de Waal (menteri jajahan) sebagai reaksi atas kebijakan
pemerintah Hindia-Belanda di Jawa. Latar belakang dikeluarkannya Undang-Undang Agraria
(Agrarische Wet) antara lain karena kesewenangan pemerintah mengambil alih tanah rakyat.
Politikus liberal yang saat itu berkuasa di Belanda tidak setuju dengan Tanam Paksa di Jawa
dan ingin membantu penduduk Jawa sambil sekaligus keuntungan ekonomi dari tanah jajahan
dengan mengizinkan berdirinya sejumlah perusahaan swasta.
Istilah agrarian berasal dari kata Akker (Bahasa Belanda), Agros (Bahasa Yunani)
berarti tanah pertanian, Agger (Bahasa Latin) berarti tanah atau sebidang tanah, Agrarius
(Bahasa Latin) berarti perladangan, persawahan, pertanian, Agrarian (Bahasa Inggris) berarti
tanah untuk pertanian. Dalam Undang-undang No. Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, LNRI Tahun 1960 No.104-TLNRI No. 2043, disahkan tanggal 24
September 1960, yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA)
tidak memberikan pengertian Agraria, hanya memberikan ruang lingkup agrarian
sebagaimana yang tercantum dalam konsideran, pasal-pasal maupun penjelasannya.
Ruang lingkup Agraria menurut UUPA meliputi bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya (BARAKA).Ruang lingkup agraria menurut
UUPA sama dengan ruang lingkup sumber daya agrarian/sumber daya alam menurut
Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolahan
Sumber Daya Alam.Ruang lingkup agraria/sumber daya agraria/sumber daya alam dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Bumi :Pengertian bumi menurut Pasal 1 ayat (4) UUPA adalah permukaan bumi, termasuk
pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi menurut Pasal
1 ayat (4) UUPA adalah tanah.
2.Air :Pengertian air menurut Pasal 1 ayat (5) UUPA adalah air yang berada di perairan
pedalaman maupun air yang berada di laut wilayah Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 3
Undang-undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, disebutkan bahwa pengertian air
meliputi air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang
terdapat di atas maupun yang terdapat di laut.
3. Ruang Angkasa :Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 1 ayat (6) UUPA adalah ruang
di atas bumi wilayah Indonesia dan ruang di atas air wilayah Indonesia. Pengertian ruang
angkasa menurut Pasal 48 UUPA, ruang di atas bumi dan air yang mengandung tenaga dan
unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan
kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lain yang
bersangkutan dengan itu.
4. Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya:Kekayaan alam yang terkandung di
dalam bumi di sebut bahan, yaitu unsur-unsur kimia, mineral, biji-biji dan segala macam
batuan, termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam (Undang-
undang No. 1 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan).Pengertian
agraria dalam arti sempit hanyalah meliputi permukaan bumi yang disebut tanah, sedangkan
pengertian agraria dalam arti luas adalah meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya.Pengertian tanah yang dimaksudkan disini buka dalam
pengertian fisik, melainkan tanah dalam pengertian yuridis, yaitu hak.Pengertian agraria yang
dimuat dalam UUPA adalah pengertian UUPA dalam arti luas.
UU Agraria memastikan bahwa kepemilikan tanah di Jawa tercatat.Tanah penduduk
dijamin sementara tanah tak bertuan dalam sewaan dapat diserahkan.UU ini dapat dikatakan
mengawali berdirinya sejumlah perusahaan swasta di Hindia-Belanda.UU Agraria sering
disebut sejalan dengan Undang-Undang Gula 1870, sebab kedua UU itu menimbulkan hasil
dan konsekuensi besar atas perekonomian di Jawa.Tujuan dikeluarkannya UU Agraria
1870 yaitu :
1) Melindungi hak milik petani atas tanahnya dari penguasa dan pemodal asing.
2) Memberi peluang kepada pemodal asing untuk menyewa tanah dari penduduk Indonesia
seperti dari Inggris, Belgia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan lain-lain.
3) Membuka kesempatan kerja kepada penduduk untuk menjadi buruh perkebunan.
Dampak dikeluarkannya UU Agraria antara lain. Perkebunan diperluas, baik di
Jawa maupun diluar pulau Jawa, Hukum Agraria dalam arti luas . Materi yang dibahas yaitu:
1) Hukum Pertambangan, dalam kaitannya dengan Hak Kuasa Pertambangan.
2) Hukum Kehutanan, dalam kaitannya dengan Hak Penguasaan Hutan
3) Hukum Pengairan, dalam kaitannya dengan Hak Guna Air
4) Hukum Ruang Angkasa, dalam kaitannya dengan Hak ruang Angkasa
5) Hukum Lingkungan Hidup, dalam kaitannya dengan tata guna tanah, Landreform
Pengertian Hukum Tanah. Effendi Perangin menyatakan bahwa Hukum Tanah adalah
keseluruhan peraturan-peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang
mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga hukum yang
hubungan-hubungan hukum yang konkret.Objek Hukum Tanah adalah hak penguasaan atas
tanah.Yang dimaksud hak penguasaan atas tanah adalah hak yang berisi serangkaian
wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemenang haknya untuk berbuat sesuatu
mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang
merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi criteria atau tolak ukur pembeda di antara
hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah. Hirarki hak-hak penguasaan
atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional adalah:
1. Hak Bangsa Indonesia atas tanah
2. Hak menguasai dari Negara atas tanah
3. Hak ulayat masyarakat atas hukum adat
4. Hak-hak perseorangan, meliputi:
1) Hak-hak atas tanah
2) Wakaf tanah hak milik
3) Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan)
4) Hak Milik atas satuan rumah susun
Dalam kaitannya dengan hubungan hukum antara pemegang hak dengan hak atas
tanahnya, ada 2 macam asas dalam Hukum Tanah, yaitu:
1. Asas Accessie atas Asas Perletakan
Dalam asas ini, bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah merupakan satu
kesatuan; bangunan dan tanaman tersebut bagian dari tanah yang bersangkutan. Hak atau
tanah dengan sendirinya, karena hukum meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang
ada di atas tanah yang dihaki, kecuali kalau ada kesepakatan lain dengan pihak yang
membangun atau menanamnya.
2. Asas Horzontale scheiding atau Asas Pemisahan Horizontal.
Dalam asas ini, bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah bukan merupakan
bagian dari tanah.Hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan
tanaman yang ada diatasnya.
2.2 Masa Pemerintahan Agrarische Wet Staatblad 1870 No. 55
Dengan berlakunya Agrarische Wet, politik monopoli (politik kolonial konservatif)
dihapuskan dan diganti dengan politik liberal yaitu pemerintah tidak mencampuri di bidang
usaha, pengusaha diberikan kesempatan dan kebebasan mengembangkan usaha dan modalnya
di bidang pertanian di Indonesia.
Agrarische Wet merupakan hasil dari rancangan Wet (undang-undang) yang diajukan
oleh Menteri Jajahan de Waal. Agrarische Wet diundangkan dalam Stb. 1870 No. 55, sebagai
tambahan ayat-ayat baru pada Pasal 62 Regering Reglement (RR) Stb. 1854 No. 2.semula RR
terdri dari 3 ayat. Dengan tambahan 5 ayat baru (ayat 4 sampai dengan ayat 8) oleh
Agrarische wet, maka Pasal 62 RR terdiri atas 8 ayat. Pasal 62 RR kemudian menjadi Pasal
51 Indische Staatsregeling (IS), Stb. 1925 No. 447.isi Pasal 51 IS, adalah sebagai berikut:
1) Gubernur jendral tidak boleh menjual tanah.
2) Dalam tanah di atas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang tidak diperuntukan
bagi perluasan kota dan desa serta pembangunan kegiatan-kegiatan usaha.
3) Gubernur jendral dapat menyewakan tanah menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
dengan Ordonansi. Tidak termasuk yang boleh disewakan tanah-tanah kepunyaan orang-
orang pribumi asal pembukaan hutan, demikian juga tanah-tanah yang sebagai tempat
pengembalaan umum atas dasar lain merupakan kepunyaan desa.
4) Menurut ketentuan yang ditetapkan dengan Ordonansi, diberikan tanah dengan Hak
Erfpacht selama tidak lebih dari 57 tahun.
5) Gubernur jendral menjaga jangan sampai terjadi pemberian tanah yang melanggar hak-hak
rakyat pribumi.
6) Gubernur jendral tidak boleh mengambil tanah-tanah kepunyaan rakyat asal pembukaan
hutan yang dipergunakan untuk kepentingan sendiri, demikian juga dengan tanah sebagai
tempat pengembalaan umum atau atas dasar lain merupakan kepunyaan desa, kecuali untuk
kepentingan umum atas dasar Pasal 133 atau untuk keperluan penanaman tanaman-tanaman
yang diselenggarakan atas perintah penguasa menurut peraturan-peraturan yang
bersangkutan, semuanya dengan pemberian ganti kerugian yang layak.
7) Tanah-tanah yang dipunyai oleh orang-orang pribumi dengan hak pakai pribadi yang turun
temurun (yang dimaksudkan adalah hak milik adat) atas permintaan pemiliknya yang sah
dapat diberikan kepadanya dengan hak eigendom, dengan pembatasan-pembatasan yang
diperlukan sebagai yang ditetapkan dengan Ordonansi dan dicantumkan dalam surat
eigendomnya, yaitu mengenai kewajibannya terhadap negara dan desa yang bersangkutan,
demikian juga mengenai wewenagnya untuk menjualnya kepada bukan pribumi.
8) Persewaan atau serah pakai tanah oleh orang-orang pribumi kepada non-pribumi dilakukan
menurut ketentuan yang diatur dengan Ordonansi.
Ketika UU Pokok Agraria (UUPA) No 5/1960 lahir, penduduk Indonesia saat itu
masih berjumlah sekitar 80 juta orang, dengan orientasi pembangunan masih sebagai negara
agraris. Padahal, ada dua hal pokok yang harus dipikirkan saat ini, yakni bagaimana Undang-
undang Agraria ini dapat mendorong industrialisasi, namun tetap menjaga kepentingan
masyarakat banyak, golongan lemah, serta menghormati hak-hak masyarakat lokal (daerah).
Di samping usianya yang sudah 38 tahun, UUPA sebaiknya diperbaharui karena Un-
dang-undang ini dilahirkan dengan tujuan untuk mengurangi modal asing. Hal ini jelas
diungkapkan oleh Menteri Agraria pada waktu itu, Sadjarwo di depan DPR RI. Isi Undang-
Undang ini antara lain, mengurangi jangka waktu hak-hak atas tanah dalam Agrarische Wet
1870 yang digantikannya, yang dapat mencapai jangka waktu 75 tahun.Perubahan juga
terjadi dalam beberapa aturan di dalamnya, seperti hak erfpacht untuk perkebunan-
perkebunan besar, yang semula berentang waktu 75 tahun, dikonversi menjadi hak guna
usaha (dalam UUPA) menjadi 25-30 tahun. Hak Opstal (hak untuk membangun atau
mengusahakan) dikonversi menjadi hak guna bangunan dengan jangka waktu 25-30 tahun.
Agrarische Wet 1870 dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai tindak
lanjut atas kemenangan partai Liberal di Belanda, sekaligus menggantikan politik Tanam
Paksa (Cultuur Stelsel) dengan penanaman modal pengusaha Belanda. Pada pelaksanaannya
Agrarische Wet membawa pada berdirinya perkebunan-perkebunan besar Belanda di Hindia
Belanda, sehingga dapat disebut sebagai upaya menarik modal swasta ke Hindia
Belanda.Saat ini, 38 tahun setelah Agrarische Wet diganti, Indonesia memasuki era
industrialisasi, yang memerlukan modal asing. Negara-negara tetangga seperti Singapura,
Malaysia, Vietnam, bahkan Cina memberikan hak atas tanah bagi penanaman modal asing
antara 75 sampai 100 tahun.
Ini artinya UUPA harus diubah, sebab walaupun hak-hak tersebut dalam prakteknya
memang diberikan 75 tahun, dengan kutipan “…dapat diperpanjang dan diperbaharui, dan di
berikan sekaligus”, namun, hal tersebut masih diatur dalam Peraturan Pemerintah, tidak
dengan UU.Hal semacam itu tidak dapat sekedar diatur oleh peraturan pemerintah, kita harus
mengaturnya dalam sebuah Undang-Undang.
2.3 Sewa Menyewa dalam Agrarische Wet
Sebagai realisasi dan keinginan pemerintah jajahan untuk mengeruk keuntungan yang
sebesar-besarnya dari hasil pertanian di Indonesia pemerintah berusaha mempersempit
kesempatan pihak-pihak pengusaha swasta untuk memperoleh jaminan yang kuat atas tanah-
tanah yang diusahainya, seperti untuk memperoleh hak eigendom. Kepada para pengusaha
oleh pemerintah hanya dapat diberikan hak sewa atas tanah-tanah kosong dengan waktu yang
terbatas yaitu tidak lebih dari 20 tahun sebagai hak personil. Tanah tersebut tidak dapat
dijadikan jaminan hutang. Demikian juga dengan hak erfpacht oleh pemerintah tidak dapat
diberikan,karena masih menghargai hak-hak adat yang tidak rnengenal adanya hak erfpact.
Adanya peraturan-peraturan pertanian besar akan bertentangan dengan politik
perekonomian Pemerintah (CultuursteIseI) yang memaksa penduduk menanam tanaman
tertentu sesuai dengan yang diperintahkan. Perjuangan memperkuat kedudukan pengusaha-
pengusaha pertanian di satu pihak dan penduduk di lain pihak terjadi pada tahun 1860-
1870,dengan memajukan rancangan wet yang mengatur tentang pertanian yangdapat
dilakukan di tanah-tanah bangsa Indonesia. Penduduk Indonesia diberi izin menyewakan
tanah kepada bukan bangsa Indonesia. Dalam rancangan wet tersebut dimuat antara lain:
1. Tanah negara (domein negara) dapat diberikan hak erfpacht paling lama 90 tahun.
2. Persewaan tanah negara tidak dibenarkan.
3. Persewaan tanah oleh orang Indonesia kepada bangsa lain akan diatur.
4. Hak tanah adat diganti dengan hak eigendom
5. Tanah komunal diganti menjadi milik, jasan.
6. Wet ini hanya berlaku di Jawa dan Madura.
Dengan amandemen Portman tidak menyetujui hak milik adat menjadi
hakeigendom (milik), dan milik adat tetap dijamin permakaiannya. Akhirnya pada tahun 1870
dibawah pimpinan Menteri Jajahan De Waal, Agrarische Wet ini ditetapkan dengan S. 1870-
55.Pelaksanaan politik kolonial liberal di Indonesia tidak terlepas dari perubahan politik
Belanda. Pada tahun 1850, golongan liberal di negeri Belanda mulai memperoleh
kemenangan dalam pemerintahan. Kemenangan itu diperoleh secara mutlak pada tahun 1870,
sehingga tanam paksa dapat dihapuskan. Mereka berpendapat bahwa kegiatan ekonomi di
Indonesia harus ditangani oleh pihak swasta. Pemerintah hanya mengawasi saja, yaitu hanya
sebagai polisi penjaga malam yang tidak boleh campur tangan dalam bidang ekonomi. Sistem
ini akan menumbuhkan persaingan dalam rangka meningkatkan produksi perkebunan di
Indonesia.Dengan demikian pendapatan negara juga akan bertambah banyak.Untuk
mewujudkan sistem tersebut, pada tahun 1870 di Indonesia dilaksanakan politik kolonial
liberal atau sering disebut “politik pintu terbuka” (open door policy). Sejak saat itu
pemerintahan Hindia Belanda membuka Indonesia bagi para pengusaha swastaasing untuk
menanamkan modalnya, khususnya di bidang perkebunan.
Sistem ekonomi kolonial antara tahun 1870 dan 1900 pada umumnya disebut sistem
liberalisme. Yang dimaksudkan disini adalah bahwa pada masa itu untuk pertama kalinya
dalam sejarah kolonial, modal swasta diberi peluang sepenuhnya untuk mengusahakan
kegiatan di Indonesia, khususnya perkebunan-perkebunan besar di Jawa maupun di luar
Jawa. Selama masa ini, pihak-pihak swasta Belanda maupun swasta Eropa lainnya
mendirikan berbagai perkebunan-perkebunan kopi, teh, gula, dan kina.
Pembukaan perkebunan-perkebunan besar ini dimungkinkan oleh Undang-undang
Agraria (Agrarische Wet) yang dikeluarkan pada tahun 1870. Pada suatu pihak Undang-
undang Agraria membuka peluang bagi orang-orang asing, artinya orang-orang bukan
pribumi Indonesia untuk menyewa tanah dari rakyat Indonesia.(Poesponegoro, Marwati
Djoned: 118, 1993).
Pelaksanaan Politik Pintu Terbuka. Pada tahun 1860(mencari
keuntunganbesar) mendapatpertentangandarigolonganliberalis dan humanitaris. Kaumliberal
dan kapital memperoleh kemenangan diparlemen. Terhadap tanahjajahn (Hindia Belanda), k
aum liberal berusaha memperbaiki taraf kehidupan rakyatIndonesia. Keberhasilan tersebut di
buktikan dengan di keluarkannya. Undang-Undang Agraria tahun 1870. Pokok-pokok UU
Agraria tahun 1870 berisi:1) Pribumi diberi hak memiliki tanah dan menyewakannya
kepada pengusaha swasta. 2) Pengusahadapat menyewa tanah dari gubernur dalam jangka
waktu 75 tahun.
2.4 Dampak Dari Agrarische Wet Bagi Masyarakat
Dikeluarkannya UU Agraria ini mempunyai tujuan yaitu:1) Memberi kesempatan dan
jaminan kepada swasta asing (Eropa) untuk membuka usaha dalambidang perkebunan di
Indonesia, dan2) Melindungi hak atas tanah penduduk agar tidak hilang (dijual).
UU Agraria tahun 1870 mendorong pelaksanaan politik pintu terbuka yaitu membuka
Jawa bagi perusahaan swasta. Kebebasan dan keamanan para pengusaha dijamin. Pemerintah
kolonial hanya memberi kebebasan para pengusaha untuk menyewa tanah, bukan untuk
membelinya. Hal ini dimaksudkan agar tanah penduduk tidak jatuh ke tangan asing. Tanah
sewaan itu dimaksudkan untuk memproduksi tanaman yang dapat diekspor ke Eropa.
Selain UU Agraria 1870, pemerintah Belanda juga mengeluarkan. Undang-Undang
Gula (Suiker Wet) tahun 1870. Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih
luaskepadapara pengusaha perkebunan gula. Isi dari UU ini yaitu:
1) Perusahaan-perusahaan gula milik pemerintah akan dihapus secara bertahap, dan
2) Pada tahun1891semua perusahaan gula milik pemerintah harus sudah diambil alih oleh
swasta.
Dengan adanya UU Agraria dan UU Gula tahun 1870, banyak swasta asing yang
menanamkan modalnya di Indonesia, baik dalam usaha perkebunan maupun pertambangan.
Berikut ini beberapa perkebunan asing yang muncul di Indonesia :
1) Perkebunan tembakau di Deli, Sumatra Utara.
2) Perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
3) Perkebunan kina di Jawa Barat.
4) Perkebunan karet di Sumatra Timur.
5) Perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara.
6) Perkebunan teh di Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Politik pintu terbuka yang diharapkan dapat memperbaiki kesejahteraan rakyat,
justru membuat rakyat semakin menderita. Eksploitasi terhadap sumber-sumber pertanian
maupun tenaga manusia semakin hebat. Rakyat semakin menderita dan sengsara. Adanya UU
Agraria memberikan pengaruh bagi kehidupan rakyat, sepertiberikut:
1) Dibangunnya fasilitas perhubungan dan irigasi.
2) Rakyat menderita dan miskin.
3) Rakyatmengenal sistemupahdengan uang,jugamengenalbarangekspor dan impor.
4) Timbulpedagangperantara.Pedagang-pedagangtersebut pergikedaerahpedalaman,
mengumpulkanhasilpertanian dan menjualnya kepadagrosir.
5) Industri atau usahapribumimatikarenapekerja-pekerjanya banyak yang pindah bekerja di
perkebunan dan pabrik-pabrik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Istilah agrarian berasal dari kata Akker (Bahasa Belanda), Agros (Bahasa Yunani)
berarti tanah pertanian, Agger (Bahasa Latin) berarti tanah atau sebidang tanah, Agrarius
(Bahasa Latin) berarti perladangan, persawahan, pertanian, Agrarian (Bahasa Inggris) berarti
tanah untuk pertanian.UU Agraria memastikan bahwa kepemilikan tanah di Jawa tercatat.
UU ini dapat dikatakan mengawali berdirinya sejumlah perusahaan swasta di Hindia-
Belanda. UU Agraria sering disebut sejalan dengan Undang-Undang Gula 1870, sebab kedua
UU itu menimbulkan hasil dan konsekuensi besar atas perekonomian di Jawa.
Dengan berlakunya Agrarische Wet, politik monopoli (politik kolonial konservatif)
dihapuskan dan diganti dengan politik liberal yaitu pemerintah tidak mencampuri di bidang
usaha, pengusaha diberikan kesempatan dan kebebasan mengembangkan usaha dan modalnya
di bidang pertanian di Indonesia. Agrarische Wet merupakan hasil dari rancangan Wet
(undang-undang) yang diajukan oleh Menteri Jajahan de Waal.
Agrarische Wet 1870 dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai tindak
lanjut atas kemenangan partai Liberal di Belanda, sekaligus menggantikan politik Tanam
Paksa (Cultuur Stelsel) dengan penanaman modal pengusaha Belanda. Pada pelaksanaannya
Agrarische Wet membawa pada berdirinya perkebunan-perkebunan besar Belanda di Hindia
Belanda, sehingga dapat disebut sebagai upaya menarik modal swasta ke Hindia Belanda.
Politik pintu terbuka yang diharapkan dapat memperbaiki kesejahteraan rakyat,
justru membuat rakyat semakin menderita. Eksploitasi terhadap sumber-sumber pertanian
maupun tenaga manusia semakin hebat.Adanya UU Agraria memberikan pengaruh bagi
kehidupan rakyat, seperti: Dibangunnya fasilitas perhubungan dan irigasi;Rakyat menderita
dan miskin ; Rakyatmengenalsistemupahdengan uang,jugamengenalbarangekspor dan
impor;Timbulpedagangperantara.Pedagang-pedagangtersebut pergikedaerahpedalaman,
mengumpulkanhasilpertanian dan menjualnya
kepadagrosir; Industri atau usaha pribumimati karena pekerja-pekerjanya banyak yang pindah
bekerja di perkebunan dan pabrik-pabrik.
DAFTAR PUSTAKA
http://kunami.wordpress.com/2007/11/06/reformasi-uupa/
http://siebud.blogspot.com/2010/12/politik-kolonial-liberal-dan-agrarische.html
http://coemix92.wordpress.com/2011/05/23/pengertian-agraria-dan-hukum-agraris/
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1583/1/perda-syamsul1.pdf
http://deeaida88.blogspot.com/2010/12/agrarische-wet.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-undang_Agraria_1870
http://chekp4yz.wordpress.com/tag/pengertian-agraria/