Agama, Materi Presentasi

27
MANUSIA MENURUT ISLAM MAKALAH Makalah Ini Ditujukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam Oleh : Kelompok 6 1. Lucky Muhammad Rizki 2613111002 2. Yudistira Sewaka 2613111004 3. Rizaldi Akhmad Sungkawa 2613111008 4. Dendy Muhammad N 2613111022 JURUSAN TEKNIK METALURGI

description

dsfghrh

Transcript of Agama, Materi Presentasi

Page 1: Agama, Materi Presentasi

MANUSIA MENURUT ISLAM

MAKALAH

Makalah Ini Ditujukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mata Kuliah Pendidikan Agama

Islam

Oleh :

Kelompok 6

1. Lucky Muhammad Rizki 2613111002

2. Yudistira Sewaka 2613111004

3. Rizaldi Akhmad Sungkawa 2613111008

4. Dendy Muhammad N 2613111022

JURUSAN TEKNIK METALURGI

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI

BANDUNG

2011

Page 2: Agama, Materi Presentasi

Manusia Menurut Islam

Manusia diciptakan Allah Swt. Berasal dari saripati tanah, lalu menjadi nutfah,

alaqah, dan mudgah sehingga akhirnya menjadi makhluk yang paling sempurna yang

memiliki berbagai kemampuan. Oleh karena itu, manusia wajib bersyukur atas karunia yang

telah diberikan Allah Swt.

Manusia menurut pandangan al-Quran, al-Quran tidak menjelaskan asal-usul kejadian

manusia secara rinci. Dalam hal ini al-Quran hanya menjelaskan mengenai prinsip-prinsipnya

saja. Ayat-ayat mengenai hal tersebut terdapat dalam surat Nuh 17, Ash-Shaffat 11, Al-

Mukminuun 12-13, Ar-Rum 20, Ali Imran 59, As-Sajdah 7-9, Al-Hijr 28, dan Al-Hajj 5.

Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal tanah dengan mempergunakan

bermacam-macam istilah, seperti : Turab, Thien, Shal-shal, dan Sualalah. Hal ini dapat

diartikan bahwa jasad manusia diciptakan Allah dari bermacam-macam unsur kimiawi yang

terdapat dari tanah. Adapun tahapan-tahapan dalam proses selanjutnya, al-Quran tidak

menjelaskan secara rinci. Manusia yang sekarang ini, prosesnya dapat diamati meskipun

secara bersusah payah. Berdasarkan pengamatan yang mendalam dapat diketahui bahwa

manusia dilahirkan ibu dari rahimnya yang proses penciptaannya dimulai sejak pertemuan

antara spermatozoa dengan ovum.

Ayat-ayat yang menyebutkan bahwa manusia diciptakan dari tanah, umumnya

dipahami secara lahiriah. Hal ini itu menimbulkan pendapat bahwa manusia benar-benar dari

tanah, dengan asumsi karena Tuhan berkuasa , maka segala sesuatu dapat terjadi.

Akan tetapi ada sebagian umat islam yang berpendapat bahwa Adam bukan manusia pertama.

Pendapat tersebut didasarkan atas asumsi bahwa:

Ayat-ayat yang menerangkan bahwa manusia diciptakan dari tanah tidak berarti

bahwa semua unsur kimia yang ada dalam tanah ikut mengalami reaksi kimia. Hal itu seperti

pernyataan bahwa tumbuh-tumbuhan bahan makanannya dari tanah, karena tidak semua

unsur kimia yang ada dalam tanah ikut diserap oleh tumbuh-tumbuhan, tetapi sebagian saja.

Oleh karena itu bahan-bahan pembentuk manusia yang disebut dalam al-Quran hanya

merupakan petunjuk manusia yang disebut dalam al-Quran , hanya merupakan petunjuk

dimana sebenarnya bahan-bahan pembentuk manusia yaitu ammonia, menthe, dan air

terdapat, yaitu pada tanah, untuk kemudian bereaksi kimiawi. Jika dinyatakan istilah

Page 3: Agama, Materi Presentasi

“Lumpur hitam yang diberi bentuk” (mungkin yang dimaksud adalah bahan-bahan yang

terdapat pada Lumpur hitam yang kemudian diolah dalam bentuk reaksi kimia). Sedangkan

kalau dikatakan sebagai tembikar yang dibakar , maka maksudnya adalah bahwa proses

kejadiannya melalui oksidasi pembakaran. Pada zaman dahulu tenaga yang memungkinkan

terjadinya sintesa cukup banyak dan terdapat di mana-mana seperti panas dan sinar

ultraviolet.

Ayat yang menyatakan ( zahir ayat ) bahwa jika Allah menghendaki sesuatu jadi

maka jadilah ( kun fayakun ), bukan ayat yang menjamin bahwa setiap yang dikehendaki

Allah pasti akan terwujud seketika. Dalam hal ini harus dibedakan antara kalimat kun

fayakun dengan kun fa kana. Apa yang dikehendaki Allah pasti terwujud dan terwujudnya

mungkin saja melalui suatu proses. Hal ini dimungkinkan karena segala sesuatu yang ada

didunia juga mengalami prosi yang seperti dinyatakan antara lain dalam surat al-A’la 1-2 dan

Nuh 14.

Jika diperhatikan surat Ali Imran 59 dimana Allah menyatakan bahwa penciptaan Isa

seperti proses penciptaan Isa seperti proses penciptaan Adam, maka dapat menimbulkan

pemikiran bahwa apabila isa lahir dari sesuatu yang hidup, yaitu maryam, maka Adam lahir

pula dari sesuatu yang hidup sebelumnya. Hal itu karena kata “tsumma” yang berarti

kemudian, dapat juga berarti suatu proses.

Perbedaan pendapat tentang apakah adam manusia pertama atau tidak, diciptakan

langsung atau melalui suatu proses tampaknya tidak akan ada ujungnya karena masing-

masing akan teguh pada pendiriannya. Jika polemik ini senantiasa diperpanjang, jangan-

jangan hanya akan menghabiskan waktu dan tidak sempat lagi memikirkan tentang status dan

tugas yang telah ditetapkan Allah pada manusia al-Quran cukup lengkap dalam memberikan

informasi tentang itu.

Untuk memahami informasi tersebut secara mendalam, ahli-ahli kimia, biologi, dan

lain-lainnya perlu dilibatkan, agar dalam memahami ayat-ayat tersebut tidak secara harfiah.

Yang perlu diingatkan sekarang adalah bahwa manusia oleh Allah, diharapkan menjadi

khalifah ( pemilih atau penerus ajaran Allah ). Status manusia sebagai khalifah , dinyatakan

dalam al-baqarah 30. kata khalifah berasal dari kata khalafa yakhlifu khilafatan atau

khalifatan yang berarti meneruskan, sehingga kata khalifah dapat diartikan sebagai pemilih

atau penerus ajaran Allah. Kebanyakan umat Islam menerjemahkan dengan pemimpin atau

Page 4: Agama, Materi Presentasi

pengganti, yang biasanya dihubungkan dengan jabatan pimpinan umat islam sesudah Nabi

Muhammad saw wafat , baik pimpinan yang termasuk khulafaurrasyidin maupun di masa

Muawiyah-‘Abbasiah.

Perlu diingat bahwa istilah khalifah pernah dimunculkan Abu bakar pada waktu

dipercaya untuk memimpin umat islam. Pada waktu itu beliau mengucapkan inni khalifaur

rasulillah, yang berarti aku adalah pelanjut sunah rasulillah. Dalam pidatonya setelah

diangkat oleh umat islam, abu bakar antara lain menyatakan “selama saya menaati Allah,

maka ikutilah saya, tetapi apabila saya menyimpang , maka luruskanlah saya”. Jika demikian

pengertian khalifah, maka tidak setiap manusia mampu menerima atau melaksanakan

kekhalifahannya. Hal itu karena kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua orang mau

memilih ajaran Allah.

Dalam penciptaannya manusia dibekali dengan beberapa unsur sebagai kelengkapan

dalam menunjang tugasnya. Unsur-unsur tersebut ialah : jasad ( al-Anbiya’ : 8, Shad : 34 ).

Ruh (al-Hijr 29, As-Sajadah 9, Al-anbiya’ :91 dan lain-lain); Nafs (al-Baqarah 48, Ali Imran

185 dan lain-lain ) ; Aqal ( al-Baqarah 76, al-Anfal 22, al-Mulk 10 dan lain-lain); dan Qolb

( Ali Imran 159, Al-Ara’f 179, Shaffat 84 dan lain-lain ). Jasad adalah bentuk lahiriah

manusia, Ruh adalah daya hidup, Nafs adalah jiwa , Aqal adalah daya fakir, dan Qolb adalah

daya rasa. Di samping itu manusia juga disertai dengan sifat-sifat yang negatif seperti lemah (

an-Nisa 28 ), suka berkeluh kesah ( al-Ma’arif 19 ), suka bernuat zalim dan ingkar ( ibrahim

34), suka membantah ( al-kahfi 54 ), suka melampaui batas ( al-‘Alaq 6 ) suka terburu nafsu (

al-Isra 11 ) dan lain sebagainya. Hal itu semua merupakan produk dari nafs , sedang yang

dapat mengendalikan kecenderungan negatif adalah aqal dan qolb. Tetapi jika hanya dengan

aqal dan qolb, kecenderungan tersebut belum sepenuhnya dapat terkendali, karena subyektif.

Yang dapat mengendalikan adalah wahyu, yaitu ilmu yang obyektif dari Allah. Kemampuan

seseorang untuk dapat menetralisasi kecenderungan negatif tersebut ( karena tidak mungkin

dihilangkan sama sekali ) ditentukan oleh kemauan dan kemampuan dalam menyerap dan

membudayakan wahyu.

Berdasarkan ungkapan pada surat al-Baqarah 30 terlihat suatu gambaran bahwa Adam

bukanlah manusia pertama, tetapi ia khalifah pertama. Dalam ayat tersebut, kata yang dipakai

adalah jaa’ilun dan bukan khaaliqun. Kata khalaqa mengarah pada penciptaan sesuatu yang

baru, sedang kata ja’ala mengarah pada sesuatu yang bukan baru,dengan arti kata “ memberi

bentuk baru”. Pemahaman seperti ini konsisten dengan ungkapan malaikat yang menyatakan

Page 5: Agama, Materi Presentasi

“ apakah engkau akan menjadikan di bumi mereka yang merusak alam dan bertumpah

darah?” ungkapan malaikat tersebut memberi pengertian bahwa sebelum adam diciptakan,

malaikat melihat ada makhluk dan jenis makhluk yang dilihat adalah jenis yang selalu

merusak alam dan bertumpah darah. Adanya pengertian seperti itu dimungkinkan, karena

malaikat tidak tahu apa yang akan terjadi pada masa depan, sebab yang tahu apa yang akan

terjadi dimasa depan hanya Allah.

Dengan demikian al-Quran tidak berbicara tentang proses penciptaan manusia

pertama. Yang dibicarakan secara terinci namun dalam ungkapan yang tersebar adalah proses

terciptanya manusia dari tanah, saripati makanan, air yang kotor yang keluar dari tulang sulbi,

alaqah, berkembang menjadi mudgah, ditiupkannya ruh, kemudian lahir ke dunia setelah

berproses dalam rahim ibu. Ayat berserak, tetapi dengan bantuan ilmu pengetahuan dapat

dipahami urutannya. Dengan demikian, pemahaman ayat akan lebih sempurna jika ditunjang

dengan ilmu pengetahuan.

Oleh karena al-Quran tidak bicara tentang manusia pertama. Biarkanlah para saintis

berbicara tentang asal-usul manusia dengan usaha pembuktian yang berdasarkan penemuan

fosil. Semua itu bersifat sekedar pengayaan saint untuk menambah wawasan pendekatan diri

pada Allah. Hasil pembuktian para saintis hanya bersifat relatif dan pada suatu saat dapat

disanggah kembali, jika ada penemuan baru. Misalnya, mungkinkah penemuan baru itu

dilakukan oleh ulama islam? Persamaan dan perbedaan manusia dengan makhluk lain

Dibanding makhluk lainnya manusai mempunyai kelebihan-kelebihan. Kelebihan-kelebihan

itu membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Kelebihan manusia adalah kemampuan

untuk bergerak dalam ruang yang bagaimanapun, baik didarat, dilaut, maupun diudara.

Sedangkan binatang bergerak diruang yang terbatas. Walaupun ada binatang yang bergerak

didarat dan dilaut, namun tetap saja mempunyai keterbatasan dan tidak bisa melampaui

manusia. Mengenai kelebihan manusia atas makhluk lain dijelaskan surat al-Isra’ ayat 70.

Disamping itu, manusia diberi akal dan hati, sehingga dapat memahami ilmu yang

diturunkan Allah, berupa al-Quran menurut sunah rasul. Dengan ilmu manusia mampu

berbudaya. Allah menciptakan manusia dalam keadaan sebaik-baiknya (at-Tiin : 95:4).

Namun demikian, manusia akan tetap bermartabat mulia kalau mereka sebagai khalifah

( makhluk alternatif ) tetap hidup dengan ajaran Allah ( QS. Al-An’am : 165 ). Karena

ilmunya itulah manusia dilebihkan ( bisa dibedakan ) dengan makhluk lainnya.

Jika manusia hidup dengn ilmu selain ilmu Allah, manusia tidak bermartabat lagi. Dalam

Page 6: Agama, Materi Presentasi

keadaan demikian manusia disamakan dengan binatang, “mereka itu seperti binatang

( ulaaika kal an’aam ), bahkan lebih buruk dari binatang ( bal hum adhal ). Dalam keadaan

demikian manusia bermartabat rendah ( at-Tiin : 4 ).

Pembahasan.

Islam merupakan salah satu agama samawi yang meletakan nilai-nilai kemanusia atau

hubungan personal, interpersonal dan masyarakat secara agung dan luhur, tidak

ada perbedaan satu sama lain, keadilan, relevansi, kedamaian yang mengikat

semua aspek manusia. Karena Islam yang berakar pada kata “salima” dapat

diartikan sebagai sebuah kedamaian yang hadir dalam diri manusia dan itu

sifatnya fitrah. Kedamaian akan hadir, jika manuia itu sendiri menggunakan dorongan

diri (drive) kearah bagaimana memanusiakan manusia dan atau memposisikan

dirinya sebagai makhluk ciptaaan Tuhan yang bukan saja unik, tapi juga

sempurna, namun jika sebaliknya manusia mengikuti nafsu dan tidak berjalan

seiring fitrah, maka janji Tuhan adzab dan kehinaan akan datang.

Fitrah kemanusiaan yang merupakan pemberian Tuhan (Given) memang tidak dapat

ditawar, dia hadir sering tiupan ruh dalam janin manusia dan begitu manusia lahir dalam

bentuk “manusia” punya mata, telinga, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya

sangat tergantung pada wilayah, tempat, lingkungan dimana manusia itu

dilahirkan. Anak yang dilahirkan dalam keluarga dan lingkungan muslim sudah

barang tentu secara akidah akan mempunyai persepsi ketuhanan (iman) yang sama,

begitu pun nasrani dan lain sebagainya. Inilah yang sering dikatakan sebagai

sudut lahirnya keberagamanaan seorang manusia yang akan berbeda satu dengan

yang lainnya. Dalam wacana studi agama sering dikatakan bahwa fenomena

keberagamaan manusia tidak hanya dapat dilihat dari berbagai sudut pandang

normativitas melainkan juga dilihat dari historisitas. .

Manusia Dalam pandangan islam

Dalam pandangan Islam, manusia didefinisikan sebagai makhluk, mukalaf, mukaram,

mukhaiyar, dan mujizat. Manusia adalah makhluk yang memiliki nilai-nilai fitri dan sifat-

sifat

insaniah, seperti dha’if ‘lemah’ (an-Nisaa’: 28), jahula ‘bodoh’ (al-Ahzab:

Page 7: Agama, Materi Presentasi

72), faqir ‘ketergantungan atau memerlukan’ (Faathir: 15), kafuuro ‘sangat

mengingkari nikmat’ (al-Israa’: 67), syukur (al-Insaan:3), serta fujur

dan taqwa (asy-Syams: 8).

Selain itu, manusia juga diciptakan untuk mengaplikasikan beban-beban ilahiah yang

mengandung maslahat dalam kehidupannya. Ia membawa amanah ilahiah yang harus

diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Keberadaannya di alam mayapada

memiliki arti yang hakiki, yaitu menegakkan khilafah. Keberadaannya tidaklah

untuk huru-hara dan tanpa hadaf ‘tujuan’ yang berarti. Perhatikanlah

ayat-ayat Qur`aniah di bawah ini.

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku

hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau

hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan

padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji

Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku

mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (al-Baqarah: 30)

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi

kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-

gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan

mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat

zalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72)

Manusia adalah makhluk pilihan dan makhluk yang dimuliakan oleh Allah SWT dari

makhluk-makhluk yang lainnya, yaitu dengan keistimewaan yang dimilikinya,

seperti akal yang mampu menangkap sinyal-sinyal kebenaran, merenungkannya, dan

kemudian memilihnya. Allah SWT telah menciptakan manusia dengan ahsanu

taqwim, dan telah menundukkan seluruh alam baginya agar ia mampu memelihara dan

memakmurkan serta melestarikan kelangsungan hidup yang ada di alam ini. Dengan

akal yang dimilikinya, manusia diharapkan mampu memilah dan memilih

nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang tertuang dalam risalah

para rasul. Dengan hatinya, ia mampu memutuskan sesuatu yang sesuai

Page 8: Agama, Materi Presentasi

dengan iradah Robbnya dan dengan raganya, ia diharapkan pro-aktif untuk

melahirkan karya-karya besar dan tindakan-tindakan yang benar, sehingga ia

tetap mempertahankan gelar kemuliaan yang telah diberikan oleh Allah SWT kepadanya

seperti ahsanu taqwim, ulul albab, rabbaniun dan yang lainnya.

Maka, dengan sederet sifat-sifat kemuliaan dan sifat-sifat insaniah yang berkaitan

dengan keterbatasan dan kekurangan, Allah SWT membebankan misi-misi khusus

kepada manusia untuk menguji dan mengetahui siapa yang jujur dalam

beriman dan dusta dalam beragama.

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami

telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah

menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-

orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-Ankabuut:

2-3).

Oleh karena itu, ia harus benar-benar mampu menjabarkan kehendak-kehendak

ilahiah

dalam setiap misi dan risalah yang diembannya.

1.Misi Manusia

Manusia di dalam hidup ini memiliki tiga misi khusus: misi utama; misi fungsional;

dan

misi operasional.

A. Misi Utama

Keberadaan manusia di muka bumi ini mempunyai misi utama, yaitu beribadah

kepada Allah SWT. Maka, setiap langkah dan gerak-geriknya harus searah dengan garis yang

telah

ditentukan. Setiap desah nafasnya harus selaras dengan kebijakan-kebijakan

ilahiah, serta setiap detak jantung dan keinginan hatinya harus seirama dengan

alunan-alunan kehendak-Nya. Semakin mantap langkahnya dalam merespon seruan

Islam dan semakin teguh hatinya dalam mengimplementasikan apa yang telah

menjadi tugas dan kewajibannya, maka ia akan mampu menangkap sinyal-sinyal yang

Page 9: Agama, Materi Presentasi

ada di balik ibadahnya. Karena, dalam setiap ibadah yang telah diwajibkan oleh

Islam memuat nilai filosofis, seperti nilai filosofis yang ada dalam ibadah

shalat, yaitu sebagai ‘aun (pertolongan) bagi manusia dalam mengarungi lautan

kehidupan (al-Baqarah:153), dan sebagai benteng kokoh untuk menghindari,

menghadang, dan mengantisipasi gelombang kekejian dan kemungkaran (al-Ankabuut: 45).

Adapun nilai filosofis ibadah puasa adalah untuk menghantarkan manusia muslim

menuju gerbang ketaqwaan, dan ibadah-ibadah lain yang bertujuan untuk

melahirkan manusia-manusia muslim yang berakhlak mulia (al-Baqarah: 183 dan

aat-Taubah:103). Maka, apabila manusia mampu menangkap sinyal-sinyal nilai

filosofis dan kemudian mengaplikasikan serta mengekspresikannya dalam bahasa

lisan maupun perbuatan, ia akan sampai gerbang ketaqwaan. Gerbang yang

dijadikan satu-satunya tujuan penciptaannya.

Namun, tidak semua manusia di dunia ini mengikuti perintah dan merespon risalah

yang

di bawa oleh para Rasul. Bahkan, banyak di antara mereka yang berpaling dari

ajaran-ajaran suci yang didakwahkan kepada mereka. Ada juga yang secara terang-terangan

mengingkari dan memusuhinya (an-Nahl: 36, al-An’aam: 26, dan al-Baqarah: 91).

Hal ini bisa terjadi pada manusia karena dalam dirinya ada dua kekuatan yang sangat

dominan mempengaruhi setiap pikiran dan perbuatannya, kekuatan taqwa dan

kekuatan fujur. Kekuatan taqwa didorong oleh nafsu mutmainnah (jiwa yang

tenang) untuk selalu menterjemahkan kehendak ilahiah dalam realitas kehidupan,

dan kekuatan fujur yang di dominasi oleh nasfu ammarah (nafsu angkara murka)

yang senantiasa memerintahkan manusia untuk masuk dalam dunia kegelapan.

Maka, dalam bingkai misi utama ini, manusia bisa diklasifikasikan menjadi tiga,

yaitu sabiqun bil khairat, muqtashidun, dan dzalimun linafsihi. Hal ini

dijelaskan dalam firman Allah SWT sebagai berikut.

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara

hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri

dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang

lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah

karunia yang amat besar.” (Faathiir: 32)

Page 10: Agama, Materi Presentasi

• Sabiqun bil khairat

Hamba Allah SWT yang termasuk dalam kategori ini adalah hamba yang tidak hanya

puas

melakukan kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh-Nya, namun ia

terus berlomba dan berpacu untuk mengaplikasikan sunnah-sunnah yang telah

digariskan, dan menjauhi hal-hal yang dimakruhkan. Akal sehatnya menerawang

jauh ke depan untuk menggagas karya-karya besar dan langkah-langkah positif.

Hati sucinya menerima pilihan-pilihan akal selama tidak bertentangan dengan

nilai-nilai Islam. Inilah hamba yang selalu melihat kehidupan dengan cahaya

bashirah. Hamba yang hatinya senantiasa dihiasi ketundukan, cinta, pengagungan,

dan kepasrahan kepada Allah SWT.

• Muqtashidun

Hamba Allah yang masuk dalam kategori ini adalah manusia muslim yang puas ketika

mampu mengamalkan perintah dan meninggalkan larangan Allah SWT. Dalam benaknya,

tidak pernah terlintas ruh kompetitif dalam memperluas wilayah iman ke wilayah

ibadah yang lebih jauh lagi, yaitu wilayah sunnah. Imannya hanya bisa menjadi

benteng dari hal-hal yang diharamkan dan belum mampu membentengi hal-hal yang

dimakruhkan.

• Dzalimun linafsihi

Hamba yang termasuk dalam kelompok ini adalah yang masih mencampuradukkan

antara hak dan batil. Selain ia mengamalkan perintah-perintah Allah SWT, ia juga masih

sering berkubang dalam kubangan lumpur dosa. Jadi, dalam diri seorang hamba ada

dua kekuatan yang mempengaruhinya, tergantung kekuatan mana yang lebih

dominan, dan dalam kelompok ini, nampaknya kekuatan syahwat yang

mendominasi kehidupannya, sehingga hatinya sakit parah.

“Mengikuti syahwat adalah penyakit, sedangkan durhaka kepadanya adalah obat

mujarab dab terapi yang manjur” (Adab ad-Diin wa ad-Dunya, Abu al-Hasan Ali

al-Mawardy)

Page 11: Agama, Materi Presentasi

Apabila manusia mengikuti libido, mengekor nafsu angkara murka, dan menjadi

budak

syahwatnya, maka ia akan keluar dari poros yang telah digariskan oleh Allah

SWT. Ia akan mencampakkan dan mensia-siakan amanah yang agung. Bahkan, ia akan

melakukan konspirasi bersama thogut-thogut untuk memberangus nilai-nilai

kebenaran. Di sini, manusia akan bergeser dari gelar khairul barriah

‘sebaik-baik makhluk’ dan ahsanu taqwim ke gelar baru, yaitu syarrul barriah

‘seburuk-buruk makhluk’, asfalus saafilin ‘tempat yang paling rendah’,

al-an’aam ‘binatang ternak’, kera, babi, batu, dan kayu yang berdiri. Inilah

manusia-manusia yang memiliki hati, mata dan telinga, numun ia tidak pernah

berfikir, tidak pernah melihat kebenaran, dan tidak pernah mendengar ayat-ayat

Qur`aniah dan Kauniah dengan tiga faktor tersebut. Mereka adalah sebuah

komunitas dari manusia-manusia yang dungu, buta, tuli, dan bisu dari

nilai-nilai Islam (al-Bayyinah: 6-7, al-A’raaf: 179, al-Maidaah: 60,

al-Munaafiquun: 4, dan al-Baqarah:74)

Ali bin Abu Thalib ra. berkata, “Ada dua masalah yang saya takutkn menimpa kamu.

Pertama, mengikuti hawa nafsu. Kedua, banyak menghayal. Karena, yang pertama akan

menjadi tembok penghalang antara dirinya dan kebenaran, dan yang kedua

mengakibatkan lupa akan akhirat.” Sebagian ahli hikmah berkata, “Akal merupakan teman

setia, dan hawa nafsu adalah musuh yang ditaati.”Sebagian ahli hikmah yang lain

berkata,“Hawa nafsu adalah raja yang bengis dan penguasa yang lalim.” (Adab ad-Diin wa

ad-Dunya)

B. Misi Fungsional

Selain misi utama yang harus diemban manusia, ia juga mempunyai misi fungsional

sebagai khalifah. Manusia tidak mampu memikul misi ini, kecuali ia istiqamah di

atas rel-rel robbaniah. Manusia harus membuang jauh bahasa khianat dari kamus

kehidupannya. Khianat lahir dari rahim syahwat, baik syahwat mulkiah

‘kekuasan’, syahwat syaithaniah, maupun syahwat bahaimiah ‘binatang

ternak’.(al-Jawab al-Kaafi, Ibnu Qaiyim al-Jauziah)

Ketika jiwa manusia di kuasai oleh syahwat mulkiah, maka ia akan mempertahankan

kekuasaan dan kedudukannya, meskipun dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh

Page 12: Agama, Materi Presentasi

Islam. Ia senantiasa melakukan makar, adu domba, dan konspirasi politik untuk

menjegal lawannya (al-Anfal: 26-27 dan Shaad: 26).

Adapun ketika jiwa manusia terbelenggu oleh syahwat syaithaniah dan bahaimiah,

maka ia akan selalu menciptakan permusuhan, keonaran, tipuan-tipuan, dan

menjadi rakus serta tamak akan harta. Tidak ada sorot mata persahabatan dan

sentuhan kasih dalam dirinya. Ia bersenang-senang di atas penderitaan rakyat

dan tak pernah berhenti mengeruk kekayaan rakyat.

C.Misi Operasional

Manusia diciptakan di bumi ini—selain untuk beribadah dan sebagai khalifah, juga

harus bisa bermain cantik untuk memakmurkam bumi (Huud: 61). Kerusakan di

dunia, di darat, maupun di lautan bukan karena binatang ternak yang tidak tahu

apa-apa, tetapi ia lahir dari tangan-tangan jahil manusia yang tidak pernah

mengenal rambu-rambu Tuhannya. Benar, semua yang ada di bumi ini diciptakan untuk

manusia, namun ia tidak bebas bertindak diluar ketentuan dan rambu ilahi

(ar-Ruum: 41). Oleh karena itu, bumi ini membutuhkan pengelola dari

manusia-manusia yang ideal. Manusia yang memiliki sifat-sifat luhur sebagaimana

disebutkan di bawah ini. Syukur (Luqman: 31) Sabar (Ibrahim: 5) Mempunyai belas kasih

(at-Taubah: 128)Santun (at-Taubah: 114)Taubat (Huud: 75) Jujur (Maryam: 54)

Terpercaya (al-A’raaf: 18)

Maka, manusia yang sadar akan misi sucinya harus mampu mengendalikan nafsu dan

menjadikannya sebagai tawanan akal sehatnya dan tidak sebaliknya,

diperbudak hawa nafsu sehingga tidak mampu menegakkan tonggak misi-misinya.

Hanya dengan nafsu muthmainnahlah, manusia akan sanggup bertahan mengibarkan

panji-panji kekhilafahan di antara awan jahiliah modern, sanggup

mengaplikasikan simbol-simbol ilahi dalam realitas kehidupan, membumikan

seruan-seruan langit, dan merekonstruksi peradaban manusia kembali. Inilah

sebenarnya hakikat risalah insan di muka bumi ini

Dalam pandangan Islam, manusia didefinisikan sebagai

makhluk, mukalaf, mukaram, mukhaiyar, dan mujizat.

Manusia adalah makhluk yang memiliki nilai-nilai fitri dan sifat-sifat

Page 13: Agama, Materi Presentasi

insaniah, seperti dha’if ‘lemah’ (an-Nisaa’: 28), jahula ‘bodoh’ (al-Ahzab:

72), faqir ‘ketergantungan atau memerlukan’ (Faathir: 15), kafuuro ‘sangat

mengingkari nikmat’ (al-Israa’: 67), syukur (al-Insaan:3), serta fujur

dan taqwa (asy-Syams: 8).

Keberadaan manusia di muka bumi ini mempunyai misi utama, yaitu beribadah

kepada Allah SWT. Maka, setiap langkah dan gerak-geriknya harus searah dengan garis yang

telah ditentukan. Setiap desah nafasnya harus selaras dengan

kebijakan-kebijakan ilahiah, serta setiap detak jantung dan keinginan hatinya

harus seirama dengan alunan-alunan kehendak-Nya. Semakin mantap langkahnya

dalam merespon seruan Islam dan semakin teguh hatinya dalam mengimplementasikan

apa yang telah menjadi tugas dan kewajibannya, maka ia akan mampu menangkap

sinyal-sinyal yang ada di balik ibadahnya. Karena, dalam setiap ibadah yang

telah diwajibkan oleh Islam memuat nilai filosofis, seperti nilai filosofis yang

ada dalam ibadah shalat, yaitu sebagai ‘aun (pertolongan) bagi manusia dalam

mengarungi lautan kehidupan (al-Baqarah:153), dan sebagai benteng kokoh untuk

menghindari, menghadang, dan mengantisipasi gelombang kekejian dan kemungkaran (al-

Ankabuut: 45). Adapun nilai filosofis ibadah puasa adalah untuk menghantarkan manusia

muslim menuju gerbang ketaqwaan, dan ibadah-ibadah lain yang bertujuan untuk

melahirkan manusia-manusia muslim yang berakhlak mulia (al-Baqarah: 183 dan

aat-Taubah:103). Maka, apabila manusia mampu menangkap sinyal-sinyal nilai

filosofis dan kemudian mengaplikasikan serta mengekspresikannya dalam bahasa

lisan maupun perbuatan, ia akan sampai gerbang ketaqwaan. Gerbang yang

dijadikan satu-satunya tujuan penciptaannya.

Artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti manusia dan

al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofid ini pertama kali muncul dari gagasan

tokoh sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428), pengikutnya,

gagasan ini dikembangkan menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf

filosofis.

Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW

sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-haqiqah al-Muhammad) yang

demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW asebagai utusan

Page 14: Agama, Materi Presentasi

Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan

di jagad raya ini.

Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping

terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam AS.

Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir

wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama

dan yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil

dengan dua pengertian. Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan

mengeneai manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkail dengan

pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut

dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna.

Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin

memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah

dirinya. Kedua, insan kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta

sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya. Dalam pengertian ini, nama esensial

dan sifat-sifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik manusia sempurna oleh adanya

hak fundamental, yaitu sebagai suatu keniscayaan yang inheren dalam esensi dirinya. Hal itu

dinyatakan dalam ungkapan yang sering terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin

bagi manusia dan manusia menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya.

Bagi al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani

dan mendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui

berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan

sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta mendapat

kekuasaan yang luar biasa.

Pada tingkat ketiga, ia melintasi daerah nama serta sifat Tuhan, masuk ke dalam

suasana hakikat mutlak, dan kemudian menjadi “manusia Tuhan” atau insan kamil. Matanya

menjadi mata Tuhan, kata-katanya menjadi kata-kata Tuhan, dan hidupnya menjadi hidup

Tuhan (nur Muhammad). Muhammad Iqbal tidak setuju dengan teori para sufi seperti

pemikiran al-Jili ini. Menurut dia, hal ini membunuh individualitas dan melemahkan jiwa.

Iqbal memang memandang dan mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai insan kamil, tetapi

tanpa penafsiran secara mistik.

Page 15: Agama, Materi Presentasi

Insan kamil versi Iqbal tidak lain adalah sang mukmin, yang dalam dirinya terdapat

kekuatan, wawasan, perbuatan, dan kebijaksanaan. Sifat-sifat luhur ini dalam wujudnya yang

tertinggi tergambar dalam akhlak Nabi SAW. Insan kamil bagi Iqbal adalah sang mukmin

yang merupakan makhluk moralis, yang dianugerahi kemampuan rohani dan agamawi. Untuk

menumbuhkan kekuatan dalam dirinya, sang mukmin senantiasa meresapi dan menghayati

akhlak Ilahi. Sang mukmin menjadi tuan terhjadap nasibnya sendiri dan secara tahap demi

tahap mencapai kesempurnaan. Iqbal melihat, insan kamil dicapai melalui beberapa proses.

Pertama, ketaatan pada hukum; kedua penguasaan diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri

tentang pribadi; dan ketiga kekhalifahan Ilahi. dari ensklopedi Islam terbitan ikhtiar baru van

hoeve

A. Manusia Sebagai Mahluk Sempurna

Pada hakekatnya manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai mahluk yang sempurna di

antara mahluk-mahluk Allah lainnya. Manusia diberi begitu banyak keistimewaan di

antaranya bentuk fisik yang indah, kedudukan yang jauh lebih baik, dan yang paling berbeda

yaitu akal pikiran. Akal dapat digunakan untuk berpikir dan membedakan mana yang baik

dan yang buruk. Manusia sebagai insan kamil haruslah mempunyai kepribadian dan ahlak

yang baik. Pemuliaan Allah SWT kepada manusia berkaitan dengan penciptaannya seperti

diterangkan Allah dalam firmanNya:

Artinya: Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya

Fitrah manusia meliputi: hanif, potensi akal, qaib, nafsu. Fitrah adalh kondisi awal suatu

ciptaan atau kondisi manusia yang memiliki potensi untuk mengetahui dan cenderung kepada

kebenaran. Fitrah tidak hanya diartikan sebagai penciptaan fisik, melainkan juga dalam arti

rihaniah yaitu sifat-sifat dasar manusiayang baik. Hanif (kecenderungan kepada kebaikan)

yang terjadinya proses persaksian sebelum digelar ke muka bumi. Manusia memiliki potensi

baik sejak kelahirannya. Potensi itu meliputi: potensi jasmani (fisik), ruhani (spiritual), dan

akal (mind). Ketiga potensi ini akan memberikan kemampuan kepada manusia untuk

menentukan dan memilih jalan hidupnya sendiri. Manusia diberi kebebasan untuk

menentukan takdirnya. Semua itu tergantungdari bagaimana mereka memanfaatkan potensi

yang melekat dalam dirinya. Potensi rohaniah berupa akal, qald dan nafsu. Akal adalah

pikiran atau rasio dan rasa bias diartikan dengan bijaksana. Qald adalah hakikat manusiayang

dapat menangkap segala pengertian berpengetahuan dan arif. Nafsu adalah sesuatu kekuatan

yang mendorong manusia untuk mencapai keinginannya.

Page 16: Agama, Materi Presentasi

Tujuan hidup manusia yaitu beribadah kepada Allah SWT dengan cara melakukan perbuatan

apapun asal yang tidak dilarang agama dan diniati ibadah sehingga apapun yang kita kerjakan

tidak hanya bermanfaat untuk kehidupan di dunia tetapi juga kepentingan di akherat jadi

tujuan hidup manusia sudah jelas adalah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat,

sebagaimana sering kita ucapkan dalam doa : "Rabbana aatina fiddun-yaa hasanah wafil

akhirati hasanah, waqinaa adzabannar". Untuk mendapatkan kebahagiaan dunia telah

diuraikan di depan, adalah berusaha untuk menjadi Ahsani Taqwim dan Khalifah fil Ardhi,

namun untuk kebahagiaan akherat perlu kita teliti lebih jauh. Seperti dalam surat Adz

Dzariyat ayat 56:

Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-

Ku. (QS. 51:56)

Dalam islam tujuan pendidikan identik dengan tujuan hidup (penciptaan) manusia. Menempatkan

ibadah sebagai tujuan hidup mengandung arti bahwa kita menyerahkan penilaian semua gerak dan

kiprah ibadah kita hanya kepada Allah.