Agama, Kepercayaan, Kebatinan, Kejawen Dan Kebudayan Jawa
-
Upload
dhani-ferguson -
Category
Documents
-
view
160 -
download
8
Transcript of Agama, Kepercayaan, Kebatinan, Kejawen Dan Kebudayan Jawa
AGAMA, KEPERCAYAAN, KEBATINAN,
KEJAWEN DAN KEBUDAYAAN JAWA
Orang sudah banyak mengenal mengenai kejawen,
kebatinan, penghayat kepercayaan dan lain-lainnya
sejak dulu.
Hal ini tidak aneh, sebab sebelum agama Islam masuk
ke Indonesia, orang jawa khususnya orang Indonesia
pada umumnya telah mempunyai kepercayaan yang
disebut sebagai kepercayaan animisme, dinamisme,
kemudian masuk agama Hindu, dan Budha, yang pada
akhirnya agama Islam.
Orang jawa mempunyai budaya tersendiri sejak zaman
dahulu kala. Budaya ini yang selalu melekat-erat
dengan kepercayaan dan agama yang dianut. Hal ini
disebabkan oleh “Rasa” terima kasihnya kepada Alam
yang telah memberi rezeki, ketentraman, dan
keamanan dalam kehidupannya.
Maka “Alam semesta dianggap sebagai Tuhannya
dan leluhurnya dianggap sebagai perantara”
untuk menyampaikan permohonannya kepada Alam.
Bahkan tiap jengkal tanah ada yang menguasai yang
disebut “Danyang Pereyangan Sumoro Bumi” orang
awam menyebut : “Danyangan” (Baurekso).
Tiap-tiap desa pasti ada “Danyangan-nya”, misalnya
pohon yang besar, batu, bahkan makam (kuburan)
1
yang selalu dihormati oleh penduduk desa tesebut,
dengan cara memberi sesaji, yang maksudnya
“menjaga keseimbangan”.
Masuknya agama Hindu, dan Budha, tidak terjadi
conplik yang besar, orang jawa dapat menerima karena
tidak merobah budaya jawanya, yang dirobah hanya
yang disembah yaitu “Dewa Brahma, Dewa Wisnu,
dan Dewa Siwa”.
Tempat pemujaannya dibuatkan candi-candi, alfar, dan
diseputar rumahnya dibuat tempat untuk persembahan
dewa-dewa atau untuk penguasa bumi yang telah
memberi rezeki selama ini.
Hal ini ditandai Cerita Dewata Cengkar vs Aji Soko dan
sudah mengenal penanggalan yang disebut
penanggalan saka, ini berlanjut sampai dengan
runtuhnya kerajaan Majapahit.
Pada waktu jaya-jayanya Hindu-Budha inilah kehidupan
spiritual berkembang sangat pesat dan kebudayaan
Hindu-Budha mendarah daging bagi penduduk pulau
jawa. Budaya ini dianggap cocok oleh orang jawa,
sehingga sering disebut dengan kata “Kejawen”.
Sedangkan kejawen ini, akhirnya banyak sekali cabang-
cabang dan ranting-rantingnya, seperti yang anda
ketahui sekarang ini.
Orang-orang kebatinan, orang-orang penghayat
kepercayaan dan lain-lainnya, itu merupakan pecahan-
pecahan dari apa yang disebut kejawen, akar dari
2
kejawen itu sendiri adalah animisme dan dinamisme,
yang tercampur dengan agama Hindu dan Budha.
Masuknya agama Islam, yang ditandai dengan
runtuhnya kerajaan Majapahit dan berdirinya kerajaan
Demak, merobah situasi adat istiadat dan budaya orang
jawa menimbulkan gejolak besar dalam tata kehidupan
penduduk pulau jawa.
Ujung tombak penyebaran agama Islam di pulau jawa
adalah “Walisongo” (Wali Sembilan), maka tidak
mustahil terjadi peperangan dan juga kekacauan
dimana-mana untunglah ada seorang wali yang maha
bijak yaitu Kanjeng Sunan Kalijogo “murid Sunan
Bonang, yang mengambil jalan damai / kompromi, yaitu
Budaya setempat dikompromikan dengan agama
Islam, artinya budaya dan agama dibedakan, orang
jawa boleh melestarikan kebudayaannya, tetapi harus
memeluk agama Islam, yang mematuhi syariat-syariat
Islam yaitu bersahadat, sholat 5 kali sehari, puasa dan
lain-lainnya, tetapi juga boleh pada acara-acara
tertentu, selamatan, bersih kubur, bersih desa,
membakar kemenyan dan lain-lainnya yang merupakan
budaya jawa turun-temurun.
Kanjeng Sunan Bonang, ketika meng-Islamkan Kanjeng
Sunan Kalijogo, beliau menggunakan kesaktian
(Karomah) dengan cara merobah buah pohon aren
(Nira) menjadi emas. Sehingga Raden Said (Kanjeng
Sunan Kalijogo) terkagum-kagum dan minta diajari
3
ilmu tersebut. Perbuatan Kanjeng Sunan Bonang, itu
sekarang disebut sebagai Hipnosis. Tetapi apa Sunan
Bonang mengajari Hipnosis? Tidak, Kanjeng Sunan
Bonang mengajari agama Islam, dan Kanjang Sunan
Bonang menyuruh ber-tafakur kepada Tuhan, ditepi
sungai, dan berpesan jangan ke-mana-mana sebelum
kujemput kembali.
Aliran Kepercayaan, Mistik, Kebatinan, dan
Kejawen
Runtuhnya kerajaan Mojopahit, berarti runtuhnya
agama Hindu dan Budha, terjadilah perselisihan
dimana-mana dan terjadilah peperangan yang
disebabkan faktor agama.
Penduduk Mojopahit yang beragama Hindu, Budha dan
masih ada yang memeluk animisme dan dinamisme,
melawan agama Islam yang masuk, yang tentu saja
dimenangkan oleh agama Islam yang dipimpin para
Wali dibantu oleh Raden Patah berikut Wadio balanya.
Banyak yang melarikan diri ke timur, sampai ke Pulau
Bali, dan lainnya terpencar di pulau jawa bagian timur,
disana secara sembunyi-sembunyi masih memeluk
agama yang dianutnya, sehingga perguruan dan
padepokan timbul dimana-mana.
Padepokan-padepokan merupakan sekte-sekte yang
berdiri sendiri, mereka masih tetap mempertahankan
budaya yang dianut sebelumnya, tidak mau mengikuti
4
budaya yang baru (budaya Islam, yang dianggap
budaya pendatang yang berasal dari negara
Arab).
Dari agama Islam pun juga sudah pecah, khususnya
dari pucuk pimpinan, yaitu dari para Wali sendiri
diantarannya antara Wali Songo dan Syech Siti Jenar,
antara Sunan Kudus dengan para Wali lainnya, dalam
hal menentukan penggantian Raja Demak.
Perselisihan-perselisihan diantara pimpinan agama dan
keluarga penguasa dan penguasa itu sendiri, inilah
yang mengakibatkan melemahnya kekuasaan kerajaan
Demak, ditambah rong-rongan dari luar, khususnya
bagi sebagian rakyat yang masih berpegang teguh
pada kepercayaan-kepercayaan lama dan agama Hindu
dan Budha, kususnya padepokan-padepokan yang
dikelola oleh orang-orang yang beragama hindu dan
Budha, disamping mengajarkan agama juga
mengajarkan ilmu bela diri atau olah kanuragan.
Kanjeng Sunan kalijogo sadar, bahwa agama Islam
ditolak / atau tidak mendapat dukungan dari penduduk,
maka Kanjeng Sunan Kalijogo mengkompromikan
Budaya Jawa dan Agama.
Dalam siar agamanya, lewat wayang kulit, tembang,
kidung, bahkan tayuban, dll, pokoknya lewat seni
budaya yang paling terkenal antara lain : Tembang ilir-
ilir, dalam wayang cerita Dewa Ruci, dan babat alas
wono marto, tetapi perpecahan agama tetap saja
5
berlangsung walaupun sembunyi-sembunyi antara lain
ajaran Syeh Siti Jenar ”Manunggaling Kawulo lan
gusti” dan “Sangkan paraning dumadi” Tetap
berkembang hanya saja tidak terang-terangan dari
mulut-kemulut dan hanya orang-orang tertentu saja
sehingga golongan ini pada akhirnya disebut golongan
Islam Abangan, saya tidak akan membahas ini secara
panjang lebar, hanya ingin mengatakan bahwa hal-hal
seperti itulah yang menjadi cikal-bakal lahirnya aliran-
aliran kepercayaan, kebatinan, kejawen dan lain-
lainnya, apapun namanya.
Pengertian : Agama, Kepercayaan, dan kebatinan
Pengertian menurut bahasa agama berasal dari bahasa
sangsekerta yang artinya undang-undang peraturan,
upacara-upacara dan pelajaran untuk kebaktian
manusia terhadap yang Maha Esa, atau tuntunan dari
peraturan guna mencapai kesempurnaan / insan kamil :
manusia sempurna.
Secara Umum
Agama ialah sesuatu yang disyariatkan oleh Tuhan atas
keterangan Nabi-Nabi, pesuruh-Nya yang berisi
perintah-perintah, larangan-larangan dan petunjuk-
petunjuk untuk kemaslahatan seluruh manusia baik
dalam urusan dunia maupun dalam urusan akherat.
6
Kepercayaan : suatu paham dogmatis yang terjalin
dengan adat-istiadat hidup, dari berbagai macam suku
bangsa, pokok kepercayaannya apa saja adat hidup
nenek moyangnya di sepanjang masa.
Aliran Kebatinan
Sumber rasa dan kemauan untuk mencapai kebenaran,
kenyataan, kesempurnaan dan kebahagiaan hidup.
Aliran : suatu cabang dari pada faham yang
rentetannya masih berinduk dari salah satu agama
(mazhap, orde, sekte dll).
Kebudayaan Jawa Dalam Pertumbuhannya
Prof. DR. Kuncoroningrat mengatakan bahwa
kebudayaan itu terdiri dari 2 komponen pokok :
1. Isi
2. Wujud
Isi : terdiri atas 7 unsur universal, yaitu : bahasa,
sistem tehnologi, sistem ekonomi, organisasi sosial,
ilmu pengetahuan, agama dan kesenian sedangkan
Wujud : terdiri atas : sistem budaya, ide dan
gagasan-gagasan, sistem sosial tingkah laku, tindakan,
dan kebudayaan yang berupa fisik (fac).
Sistem budaya terdiri atas nilai-nilai budaya dan norma-
norma etika, ini semua dipandang sangat berharga
bagi proses keberlangsugan kehidupan, dengan ruang
7
lingkup nilai budaya yang sangat luas, namun
keberadaannya secara emosional disadari secara utuh.
Berbeda dengan norma yang bersifat pasti dan telah
menurun menjadi aturan yang lebih nyata. Maka nilai
budaya dapat menentukan karakteristik suatu
lingkungan kebudayaan dimana nilai tersebut dianut.
Seperti yang sudah saya katakan tadi, bahwa orang
jawa khususnya, dan orang Indonesia pada umumnya,
sebelum agama Hindu dan Budha masuk, orang jawa
sudah mempunyai kebudayaan dan agama sendiri,
yaitu merupakan masyarakat yang sederhana dan
tersusun teratur, wajar bila nampak sistem religie
animisme dan dinamisme merupakan inti kebudayaan
yang mewarnai seluruh aktifitas kehidupan masyarakat
jawa.
Cara berfikir masyarakat jawa pada waktu itu sangat
kompleks, yakni bersifat keseluruhan dan emosional,
dikuasai perasaan, sangat rapat dengan pengaruh
kebudayaan agama, kepercayaan kepada ruh-ruh dan
tenaga-tenaga gaib yang meresapi seluruh
kehidupannya. Tertuju bagaimana mendapat bantuan
dari ruh-ruh yang baik-baik dan bagaimana dapat
menghindari pengaruh ruh-ruh yang bersifat
mengganggu (jahat). Pengaruh ini masih sangat kuat
hingga saat ini
Contoh : Deso mowocoro, negoro mowo toto
8
Adat tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh
hujan.
Contoh dalam seni tradisional
Ruh-ruh nenek moyang merupakan pengemong dan
pelindung keluarga yang masih hidup. Dalam wayang
ruh-ruh nenek moyang di personifikasikan dalam
bentuk Puno kawan.
Kebudayaan Jawa pada masa Hindu-Budha
Pada abad 4 masehi, di Cisadane didirikan Prasasti
dengan huruf India Selatan, deskripsi mengenai
beberapa upacara yang dilakukan oleh Raja untuk
meresmikan bangunan irigasi.
Di Sumatera Selatan, pengaruh agama Budha lebih
nyata disana muncul kerajaan Sriwijaya, dan mencapai
puncaknya hingga abad ke-7.
Sedang untuk Jawa dan Bali hinduisme lebih kuat,
pengaruh Hindu dan Budha, melahirkan peradaban
kebudayaan Mataram Kuno, yang bersendikan pada
pertanian. Sanjaya adalah raja yang paling terkenal
Sanjaya digantikan oleh Dinasti Syailendra yang
memeluk agama Budha Mahayana, dibuatnya Candi
Borobudur, tapi kira-kira abad ke-8 akhirnya Dinasti
Sailendra kembali memeluk agama Syiwa ditandai
dengan Candi Prambanan yang megah.
9
Akibat dari ini semua maka raja-raja jawa dikeramatkan
sebagai Raja Binathoro/setengah Dewa) Diperkirakan
Gunung Merapi meletus, atau mungkin tanah lebih
subur.
Pada abad ke-10, kerajaan pindah ke Jawa Timur, maka
terjadi migrasi penduduk dari Jawa Tengah ke Jawa
Timur (Lembah Sungai Brantas).
Pada abad ke-11 Kerajaan Kediri mencapai puncaknya
dibawah Raja Airlangga yang memeluk agama Syiwa +
Budha Tantrayana.
Sebelum Airlangga meninggal dunia, Kerajaan dibagi
dua :
- Kerajan Panjalu (meliputi Madiun dan Kediri).
- Kerajaan Jenggolo ibu kota dekat Malang, kerajaan
ini sering
disebut atau terkenal dengan nama Singosari.
Runtuhnya Singosari muncul kerajaan Majapahit di
daerah Mojokerto, disini agama Syiwa dan Budha hidup
berdapingan menjadi agama Resmi Negara.
Pada jaman ini kebudayaan jawa menerima pengaruh
dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme,
prosesnya bukan hanya alkulturasi saja, tetapi yang
terjadi adalah kebangkitan kebudayaan jawa dan
memanfaatkan unsur-unsur agama dan kebudayaan
India. Budayawan jawa bersifat aktif untuk memperbaiki
/ memperbaharui kebudayaan jawa.
10
Contohnya Ajisoko merubah huruf Hindu di jadikan
huruf Jawa, Tahun Saka, yang pada akhirnya unsur-
unsur Hinduisme dan Budhisme mengalami jawanisasi,
bukan sebaliknya, akibatnya agama Hindu dan
kebudayaan Hinduisme + Budhisme tidak diterima
secara lengkap dan utuh.
Sebagai contoh : Wayang yang merupakan seni pentas
yang adiluhung sebagai sarana hiburan sekaligus
menjadi wasilah memasyarakatkan nilai-nilai budaya
jawa yang dipandang luhur.
Kebudayaan Jawa Masa Kerajaan Islam
Seperti telah saya tulis didepan mengenai runtuhnya
kerajaan Mojopahit, yang diujung tombak para wali, dan
para penguasa Demak, namun demikian penyebaran
agama Islam di Jawa harus merangkak dari bawah,
dipedesaan sepanjang pesisir melahirkan pesantren.
Baru di abad 16M dakwah Islam menembus benteng-
benteng Istana, unsur-unsur Islam mulai meresap dan
mewarnai sastra Budaya Istana. Maka Demak sebagai
kerajaan Kejawen tentu saja tidak lepas dan mewarisi
tradisi kerajaan kejawen pada umumnya dimana agama
dan pejabat keagamaan merupakan bagian tak
terpisahkan dari kelengkapan kerajaan, sebagaimana
kerajaan-kerajaan jawa sebelumnya. Sebagai contoh
Sultan harus segera membangun mesjid sultani dan
mengangkat Pengulu Kraton.
11
Zaman inilah disebut zaman peralihan yakni peralihan
dari zaman Kabudan (tradisi Hindu-Budha) ke zaman
Kawalen. Pada saat inilah timbul istilah Islam-Kejawen
atau disingkat Kejawen.
Pusat kerajaan pindah kepedalaman (Pajang Mataram)
berkembanglah Kejawen tersebut, yang pada akhirnya
bahasa jawa terpecah menjadi dua.
1. Bahasa Jawa Kuno berkembang di pulau Bali
2. Bahasa Jawa Baru disisi lain, yang dipakai di Pulau
Jawa.
Dan Agama Islam pun pemeluknya terpecah menjadi
dua, yaitu santri dan kaum abangan, ini terjadi karena
raja telah memeluk agama islam, maka seluruh
Kawulonya ikut-ikut memeluk agama islam walaupun
ada yang tidak sholat, asal mengucapkan syahadat
sudah menjadi Islam.
Karena kerajaan Pajang, Mataram, masih tetap
mempertahankan tradisi Hindu-Budha masa Majapahit
serta tradisi animisme – dinamisme, diperkaya dan
disesuaikan dengan suasana Islam, makin nampaklah
karakter kraton santris serta mistisnya.
Ciri lain yang menonjol dalam kebudayaan jawa, yaitu
penuh dengan simbol-simbol atau lambang-lambang,
segala ide-ide diungkapkan dengan simbol, agar lebih
bersifat kongkrit, jadi semua akan menjadi teka-teki,
karena simbol dapat ditafsirkan secara berganda (ber-
12
wayuh – arti) sangat sulit ditafsirkan secara
methok/lugas).
Orang jawa juga sangat mempercayai atas suratan
nasib (takdir Allah, kodrat alam), akibatnya orang jawa
percaya dengan Ramalan.
Hal ini berkaitan erat dengan falsafah mistik yang
mempercayai orang-orang sakti / orang-orang pilihan
yang mampu menyingkap rahasia alam serta gaib yang
digariskan Tuhan.
Wali Allah dianggap sebagai orang yang Waskito /
ngerti sak durunge winarah.
Dalam keadaan tertekan dan tertindas, seperti pada
abad ke-18 sampai abad ke-19, waktu penjajahan
Belanda, juru ramal tentang akan datangnya guru
pembebas atau ratu adil (imam mahdi) sangat laris,
sementara pengobatan gaib, praktek-praktek
perdukunan juga sangat mendukung akan hal itu,
dimana kesemuanya itu bersumber / bermuara pada
ajaran mistik dan kepercayaan animisme dan
dinamisme yang memang masih mengakar kuat.
Sehingga wajar bila praktek-praktek perdukunan
tumbuh subur darijaman dulu sampai sekarang, selain
itu juga timbulnya berbagai aliran kepercayaan, dan
kebatinan dimana-mana seperti jamur tumbuh di
musim penghujan.
Sekian dan terima kasih.
13
Ki Ageng Dayaningrat.
14