Agama Dalam Kehidupan Sosial

download Agama Dalam Kehidupan Sosial

of 14

Transcript of Agama Dalam Kehidupan Sosial

  • 7/30/2019 Agama Dalam Kehidupan Sosial

    1/14

    1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Dilihat dari segi Agama dan Budaya yang masing masing memiliki keeratan

    satu sama lain, sering kali banyak di salah artikan oleh orang orang yang belum

    memahami bagaimana menempatkan posisi Agama dan posisi Budaya pada suatu

    kehidupan.

    Penulis masih sering menyaksikan adanya segelintir masyarakat yang

    mencampur adukkan nilainilai Agama dengan nilainilai Budaya yang padahal

    kedua hal tersebut tentu saja tidak dapat seratus persen disamakan, bahkan mungkin

    berlawanan. Demi terjaganya esistensi dan kesucian nilai nilai agama sekaligus

    memberi pengertian, disini penulis hendak mengulas mengenai Apa itu Agama dan

    Apa itu kehidupan sosial masyarakat, yang tersusun berbentuk makalah dengan

    judul agama dalam kehidupan sosial. Penulis berharap apa yang diulas, nanti

    dapat menjadi paduan pembaca dalam mengaplikasikan serta dapat menerapkan

    konsep yang benar antara agama dalam kehidupan sosial.

    1.2 Tujuan

    Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui konsep mengenai

    agama dalam kehidupan sosial.

  • 7/30/2019 Agama Dalam Kehidupan Sosial

    2/14

    2

    BAB II

    PEMBAHASAN

    A. Pengertian Agama

    Berdasarkan sudut pandang kebahasaan (bahasa Indonesia pada umumnya)

    Agama berasal dari kata sangsakerta yang artinya tidak kacau. Agama diambil

    dari dua suku kata, yaitu a yang berarti tidak, dan gama yang berarti kacau. Hal itu

    mengandung pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur

    kehidupan manusia supaya tidak kacau. Agama dalam bahasa Inggris bermakna

    religion, dan religie dalam dahasa Belanda. Keduanya berasal dari bahasa latin,

    religio, dari akar kata religare yang berarti mengikat.1

    Dalam bahasa arab, agama

    dikenal dengan kata al-din dan al-milah. Kata al-din sendiri mengandung berbagai

    arti. Ia dapat diartikan al-mulk (kerajaan), al- khidmad (pelayanan), al-ikrah

    (pemaksaan), al-ihsan (kebijakan), al-adat (kebiasaan), al-ibadah (pengabdian) dan

    lain-lain. Sedangkan pengertian al-din yang berarti agama adalah nama yang

    bersifat umum. Artinya tidak ditujukan kepada salah satu agama; ia adalah nama

    untuk setiap kepercayaan yang ada di dunia ini.2

    Anthony F.C. Wallace

    (1966:107) mendifinisikan agama sebagai seperangkat upacara, yang rasionalitas

    mitos, dan yang menggerakkan kekuatan supranatural dengan maksud untuk

    mencapai atau menghindarkan suatu keadaan pada manusia atau alam.3

    Definisi

    1Dadang Kahmad, Sosiologi Agam (Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002), 128.

    2 Ibid., 14

    3Ibid., 120

  • 7/30/2019 Agama Dalam Kehidupan Sosial

    3/14

    3

    ini mengandung suatu pengakuan bahwa kalau tidak dapat mengatasi masalah

    serius yang menimbulkan kegelisahan, manusia berusaha mengatasi dengan

    memanipulasikan makhluk dengan kekuatan supranatural. Untuk itu digunakan

    upacara keagamaan, yang oleh Wallace.

    B. Pengertian Kehidupan Sosial

    Kehidupan sosial adalah suatu kelompok manusia yang telah memiliki

    tatanan kehidupan, norma-norma, adat-istiadat yang sama-sama ditaati dalam

    lingkungannya. Tatanan kehidupan, norma-norma yang mereka miliki itulah yang

    menjadi dasar kehidupan sosial dalam kehidupan mereka, sehingga dapat

    membentuk suatu kelompok manusia yang memiliki ciri kehidupan yang khas.4

    Kehidupan manusia tak terpikirkan di luar masyarakat. Individu-individu tidak bisa

    hidup dalam keterpencilan sama sekali selama-lamanya.

    Manusia membutuhkan satu sama lainnya untuk bertahan hidup dan untuk

    hidup sebagai manusia. Kesaling ketergantungan menghasilkan bentuk kerjasama

    tertentu yang rukun, dan menghasilkan bentuk masyarakat tertentu. Sebagai

    makhluk sosial seorang individu tidak dapat berdiri sendiri, saling membutuhkan

    antara satu dengan yang lain, dan saling mengadakan hubungan sosial ditengah-

    tengah masyarakat. Masyarakat adalah sekelompok manusia yang saling

    berinteraksi, yang memiliki prasarana untuk kegiatan tersebut dan adanya saling

    keterikatan untuk mencapai tujuan bersama.5

    Ketika kita menyendiri, kita bisa

    menikmati kebebasan dan bisa melepaskan diri dari ikatan-ikatan sosial. Tetapi,

    4

    M Arifin Noor, Ilmu Sosial Dasar, CV Pustaka Setia, Bandung, 1999, h. 85 5Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, (Kanisius, Jakarta. 1999), h. 215

  • 7/30/2019 Agama Dalam Kehidupan Sosial

    4/14

    4

    ketika kita mulai berhubungan dengan individu lain, kita berada dalam suatu

    lingkungan sosial dalam seperangkat aturan, norma, hukum dan nilai yang

    mengikat. Kita tidak bisa menikmati kebebasan individual, tetapi terikat berbagai

    kewajiban moral terhadap individu yang lain.6

    Dalam kehidupannya, manusia tidak dapat keluar dari lingkungan sosial

    yang mengikat, sehingga fakta sosial akan membentuk dan mempengaruhi

    kesadaran individu serta pelakunya yang berbeda dari karakteritis, biologis, atau

    karakteristik individu lainnya yang berangkat dari asumsi umum. Lebih lagi karena

    sosial merupakan fakta yang riil. Fakta sosial, sebagai gejala sosial mempunyai tiga

    karakteristik utama. Pertama, fakta sosial bersifat eksternal terhadap individu.

    Artinya, fakta sosial merupakan cara bertindak, berfikir dan berperasaan yang

    memperlihatkan sifat patut dilihat sebagai sesuatu yang berbeda di luar kesadaran

    yang berbeda. Kedua, fakta sosial itu memaksa individu. Seorang individu dipaksa,

    diyakinkan, didorong atau dipengaruhi oleh berbagai fakta sosial dalam lingkungan

    masyarakatnya. Artinya fakta sosial mempunyai kekuatan memaksa individu

    melepaskan kemauannya sendiri, sehinga eksistensi kemauannya terlingkupi oleh

    semua fakta sosial. Ketiga, fakta sosial itu bersifat umum atau tersebar secara

    bersama, milik semua individu yang berada dalam lngkungan masyarakat tersebut.

    Sosial benar-benar kolektif, sehingga pengaruhnya pada individu juga merupakan

    hasil dari kolektif ini

    6Kahmad, Sosiologi Agama, h. 15

  • 7/30/2019 Agama Dalam Kehidupan Sosial

    5/14

    5

    C. Fungsi-Fungsi Agama

    Agama bukanlah suatu entitas independen yang berdiri sendiri. Agama terdiri

    dari berbagai dimensi yang merupakan satu kesatuan. Masing-masingnya tidak

    dapat berdiri tanpa yang lain. seorang ilmuwan barat menguraikan agama ke dalam

    lima dimensi komitmen. Seseorang kemudian dapat diklasifikasikan menjadi

    seorang penganut agama tertentu dengan adanya perilaku dan keyakinan yang

    merupakan wujud komitmennya. Ketidakutuhan seseorang dalam menjalankan lima

    dimensi komitmen ini menjadikannya religiusitasnya tidak dapat diakui secara utuh.

    Kelimanya terdiri dari perbuatan, perkataan, keyakinan, dan sikap yang

    melambangkan (lambang=simbol) kepatuhan (=komitmen) pada ajaran agama.

    Agama mengajarkan tentang apa yang benar dan yang salah, serta apa yang baik

    dan yang buruk.7

    Agama berasal dari Supra Ultimate Being, bukan dari kebudayaan yang

    diciptakan oleh seorang atau sejumlah orang. Agama yang benar tidak dirumuskan

    oleh manusia. Manusia hanya dapat merumuskan kebajikan atau kebijakan, bukan

    kebenaran. Kebenaran hanyalah berasal dari yang benar yang mengetahui segala

    sesuatu yang tercipta, yaitu Sang Pencipta itu sendiri. Dan apa yang ada dalam

    agama selalu berujung pada tujuan yang ideal. Ajaran agama berhulu pada

    kebenaran dan bermuara pada keselamatan. Ajaran yang ada dalam agama memuat

    berbagai hal yang harus dilakukan oleh manusia dan tentang hal-hal yang harus

    dihindarkan. Kepatuhan pada ajaran agama ini akan menghasilkan kondisi ideal.

    7Fauzan Saleh, Asror Yusuf (Ed.)Agama sebagai Kritik Sosial: Membangun Kesalehan

    Individu dan Sosial untuk Kesejahteraan yang Humanis, (STAIN Kediri: Ircisod Pers, Jogjakarta,

    2005Hlm. 45

  • 7/30/2019 Agama Dalam Kehidupan Sosial

    6/14

    6

    D. Agama dalam, Kehidupan Sosial

    Mereka yang sekuler berusaha untuk memisahkan agama dari kehidupan

    sehari-hari. Mereka yang marxis sama sekali melarang agama. Mengapa mereka

    melakukan hal-hal tersebut? Kemungkinan besarnya adalah karena kebanyakan dari

    mereka sama sekali kehilangan petunjuk tentang tuntunan apa yang datang dari

    Tuhan. Entah mereka dibutakan oleh minimnya informasi yang mereka dapatkan,

    atau mereka memang menutup diri dari segala hal yang berhubungan dengan

    Tuhan.

    Alasan yang seringkali mereka kemukakan adalah agama memicu perbedaan.

    Perbedaan tersebut menimbulkan konflik. Mereka memiliki orientasi yang terlalu

    besar pada pemenuhan kebutuhan untuk bersenang-senang, sehingga mereka tidak

    mau mematuhi ajaran agama yang melarang mereka melakukan hal yang

    menurutnya menghalangi kesenangan mereka, dan mereka merasionalisasikan

    perbuatan irasional mereka itu dengan justifikasi sosial-intelektual. Mereka

    menganggap segi intelektual ataupun sosial memiliki nilai keberhargaan yang lebih.

    Akibatnya, mereka menutup indera penangkap informasi yang mereka miliki dan

    hanya mengandalkan intelektualitas yang serba terbatas.8

    Mereka memahami dunia dalam batas rasio saja. Logika yang mereka miliki

    begitu terbatasnya, hingga abstraksi realita yang bersifat supra-rasional tidak

    mereka akui. Dan hasilnya, mereka terpenjara dalam realitas yang serba empiri.

    Semua harus terukur dan terhitung. Walaupun mereka sampai sekarang masih

    belum memahami banyaknya fungsi alam yang bekerja dalam mekanisme supra

    8Adnan, Islam Sosialis, Pustaka Rasail, Semarang. Cet. 1 2003.

  • 7/30/2019 Agama Dalam Kehidupan Sosial

    7/14

    7

    rasional, keterbatasan kerangka berpikir yang mereka miliki menegasikan semua hal

    yang tidak dapat ditangkap secara inderawi.

    Padahal, pembatasan diri dalam realita yang hanya bersifat empiri hanya akan

    membatasi potensi manusia itu sendiri. Dan hal ini menegasikan tujuan hidup yang

    selama ini diagungkan para penganut realita rasio-saja, yaitu aktualisasi diri dan

    segala potensinya.

    Agama, dengan sandaran yang kuat pada realitas supra rasional, membebaskan

    manusia untuk mengambil segala hal yang terbaik yang dapat dihasilkannya dalam

    hidup. Semua-apakah hal itu bersifat empiri-terukur, maupun yang belum dapat

    diukur. Empirisme bukanlah suatu hal yang ditolak agama. Agama yang benar,

    yang bersifat universal, mencakup segi intelektual yang luas, yang diantaranya

    adalah empirisme. Agama tidak mereduksi intelektualitas manusia dengan

    membatasi kuantitas maupun kualitas suatu idea. Agama yang benar, memberi

    petunjuk pada manusia tentang bagaimana potensi manusia dapat dikembangkan

    dengan sebesar-besarnya. Dan sejarah telah membuktikan hal tersebut.

    Kesalahan yang dibuat para penilai agama-lah yang kemudian menyebabkan

    realita ajaran ideal ini menjadi terlihat buruk. Beberapa peristiwa sejarah yang

    menonjol mereka identikan sebagai kesalahan karena agama. Karena keyakinan

    pada ajaran agama. Padahal, kerusakan yang ditimbulkan adalah justru karena

    jauhnya orang dari ajaran agama. Kerusakan itu timbul saat agama-yang

    mengajarkan kemuliaan- disalahgunakan oleh manusia pelaksananya untuk

    mencapai tujuan yang terlepas dari ajaran agama itu sendiri, terlepas dari

    pelaksanaan keseluruhan dimensinya.

  • 7/30/2019 Agama Dalam Kehidupan Sosial

    8/14

    8

    E. Pelembagaan Agama

    Sebenarnya apa yang dimaksud dengan agama? Kami mengurapamakan

    sebagai sebuah telepon. Jika manusia adalah suatu pesawat telepon, maka agama

    adalah media perantara seperti kabel telepon untuk dapat menghubungkan pesawat

    telepon kita dengan Telkom atau dalam hal ini Tuhan. Lembaga agama adalah suatu

    organisasi, yang disahkan oleh pemerintah dan berjalan menurut keyakinan yang

    dianut oleh masing-masing agama. Penduduk Indonesia pada umumnya telah

    menjadi penganut formal salah satu dari lima agama resmi yang diakui pemerintah.

    Lembaga-lembaga keagamaan patut bersyukur atas kenyataan itu. Namun

    nampaknya belum bisa berbangga. Perpindahan penganut agama suku ke salah satu

    agama resmi itu banyak yang tidak murni.9

    Sejarah mencatat bahwa tidak jarang terjadi peralihan sebab terpaksa.

    Pemaksaan terjadi melalui perselingkuhan antara lembaga agama dengan lembaga

    kekuasaan. Keduanya mempunyai kepentingan. Pemerintah butuh ketentraman

    sedangkan lembaga agama membutuhkan penganut atau pengikut. Kerjasama (atau

    lebih tepat disebut saling memanfaatkan) itu terjadi sejak dahulu kala. Para penyiar

    agama sering membonceng pada suatu kekuasaan (kebetulan menjadi penganut

    agama tersebut) yang mengadakan invansi ke daerah lain. Penduduk daerah atau

    negara yang baru ditaklukkan itu dipaksa (suka atau tidak suka) menjadi penganut

    agama penguasa baru.

    9Ibid, hal. 97

  • 7/30/2019 Agama Dalam Kehidupan Sosial

    9/14

    9

    Kasus-kasus itu tidak hanya terjadi di Indonesia atau Asia dan Afrika pada

    umumnya tetapi juga terjadi di Eropa pada saat agama monoteis mulai

    diperkenalkan. Di Indonesia tradisi saling memanfaatkan berlanjut pada zaman

    orde Baru.Pemerintah orde baru tidak mengenal penganut di luar lima agama resmi.

    Inilah pemaksaan tahap kedua. Penganut di luar lima agama resmi, termasuk

    penganut agama suku, terpaksa memilih salah satu dari lima agama resmi versi

    pemerintah. Namun ternyata masalah belum selesai. Kenyataannya banyak orang

    yang menjadi penganut suatu agama tetapi hanya sebagai formalitas belaka.

    Dampak keadaan demikian terhadap kehidupan keberagaan di Indonesia sangat

    besar. Para penganut yang formalitas itu, dalam kehidupan kesehariannya lebih

    banyak mempraktekkan ajaran agam suku, yang dianut sebelumnya, daripada

    agama barunya. Pra rohaniwan agama monoteis, umumnya mempunyai sikap

    bersebrangan dengan prak keagamaan demikian. Lagi pula pengangut agama suku

    umumnya telah dicap sebagai kekafiran. Berbagai cara telah dilakukan supaya

    praktek agama suku ditinggalkan, misalnya pemberlakukan siasat/disiplin gerejawi.

    Namun nampaknya tidak terlalu efektif. Upacara-upacara yang bernuansa agama

    suku bukannya semakin berkurang tetapi kelihatannya semakin marak di mana-

    mana terutama di desadesa.

    10

    Demi pariwisata yang mendatangkan banyak uang bagi para pelaku pariwisata,

    maka upacarav-upacara adat yang notabene adalah upacara agama suku mulai

    dihidupkan di daerah-daerah. Upacara-upacara agama sukuyang selama ini ditekan

    dan dimarjinalisasikan tumbuh sangat subur bagaikan tumbuhan yang mendapat

    10M Arifin Noor, Ilmu Sosial Dasar, h. 165

  • 7/30/2019 Agama Dalam Kehidupan Sosial

    10/14

    10

    siraman air dan pupuk yang segar. Anehnya sebab bukan hanya orang yang masih

    tinggal di kampung yang menyambut angin segar itu dengan antusias tetapi ternyata

    orang yang lama tinggal di kotapun menyambutnya dengan semangat membara.

    Bahkan di kota-kotapun sering ditemukan praktek hidup yang sebenarnya berakar

    dalam agama suku. Misalnya pemilihan hari-hari tertentu yang diklaim sebagai hari

    baik untuk melaksanakan suatu upacara. Hal ini semakin menarik sebab mereka itu

    pada umumnya merupakan pemeluk yang fanatik dari salah satu agama monoteis

    bahkan pejabat atau pimpinan agama.

    F. Nilai Agama dalam kehidupan pribadi dan sosial

    Nilai dalam kehidupan tentunya telah diatur sedemikian rupa oleh

    masyarakat itu sendiri sehingga masyarakat mengerti akan ketetapan dan batas-

    batas dalam bersikap terhadap sesama dan lingkungannya

    Agama dapat mengendalikan perasaan seseorang yang kemudian membuat

    pemilik perasaan-perasaan itu memiliki pertimbangan penuh dalam melakukan

    tindakan-tindakannya. Sehingga apa yang kita lakukan adalah perbuatan yang

    berdasarkan pada kaidah bahwa Allah melihat dan mengamati kita di mana saja dan

    kapan saja. Hal ini akan membuat kita tidak akan terdorong oleh luapan-luapan

    perasaan atau tindakan yang melampaui batas-batas ketentuan Allah. Salah satunya

    tercermin dengan bersikap bijaksana dalam berperilaku dan interaksi sosialnya.

    Tanpa agama , masyarakat akan berubah menjadi masyarakat Jahiliyah yang

    diwarnai oleh kekacauan dimana-mana, masyarakat tersebut akan diliputi oleh

    perasaan ketakutan dan kecemasan di berbagai penjuru, karena masyarakatnya

  • 7/30/2019 Agama Dalam Kehidupan Sosial

    11/14

    11

    menjadi berprilaku liar dan buas. Yang ada di benak mereka hanyalah perbuatan

    buruk yang menghancurkan.

    Adapun agama yang seharusnya tegak pada masyarakat Islam yaitu agama

    "Laa ilaaha illallah Muhammadan Rasuulullah." Makna dari ungkapan tersebut

    adalah bahwa masyarakat Islam benar-benar memuliakan dan menghargai agama

    itu dan juga berusaha untuk memperkuat agama tersebut didalam akal maupun hati.

    Masyarakat itu juga mendidik generasi Islam untuk memiliki agama tersebut serta

    berusaha menghalau pemikiran-pemikiran yang tidak benar dan syubhat yang

    menyesatkan. Masyarakat tersebut juga berupaya menampakkan (memperjelas)

    keutamaan-keutamaan agama dan pengaruhnya dalam kehidupan individu maupun

    sosial dengan perantara dari sarana alat komunikasi yang berpengaruh dalam

    masyarakat, seperti masjid-masjid, sekolah-sekolah, surat-surat kabar, radio,

    televisi, sandiwara, bioskop dan seni dalam segala bidang, seperti puisi. prosa,

    kisah-kisah dan teater. Yang nantinya diharapkan dapat diserap dengan lebih baik

    oleh mereka yang menerimanya.11

    Demikianlah agama dan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat dan

    demikianlah hendaknya pengaruh agama dalam setiap masyarakat yang

    menginginkan menjadi masyarakat Islam, saat ini dan di masa yang akan datang.

    Sesungguhnya agama Islamiyah dengan segala rukun dan karakteristiknya adalah

    merupakan dasar yang kokoh untuk membangun masyarakat yang kuat, karena itu

    bangunan yang tidak tegak di atas agama Islamiyah maka sama dengan

    membangun di atas pasir yang mudah runtuh.

    11Ibid., h. 132

  • 7/30/2019 Agama Dalam Kehidupan Sosial

    12/14

    12

    Begitulah nilai-nilai agama dalam kehidupan pribadi dan sosial yang

    mengandung nilai-nilai kebenaran, keyakinan serta ketaatan. Yang merupakan nilai-

    nilai yang akan membentuk pribadi yang baik, bijak dan bermanfaat untuk

    lingkungannya sehingga nanti secara otomatis dapat menciptakan masyarakat yang

    rukun yang berakhlak mulia serta bermanfaat.

  • 7/30/2019 Agama Dalam Kehidupan Sosial

    13/14

    13

    BAB III

    PENUTUP

    A. Kesimpulan

    Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama

    yang meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial,

    argumentasi rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan

    kesadaran akan maut menimbulkan relegi, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa

    sampai pada pengalaman agamanya para tasauf.

    Bukti di atas sampai pada pendapat bahwa agama merupakan tempat mencari

    makna hidup yang final dan ultimate. Kemudian, pada urutannya agama yang

    diyakininya merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan

    sosialnya, dan kembali kepada konsep hubungan agama dengan masyarakat, di

    mana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial, dan individu

    dengan masyarakat seharusnyalah tidak bersifat antagonis.

    B. Saran

    Dengan dibuat nya makalah ini kami mengharapkan kepada pembaca agar bisa

    memahami dan dapat menerangkan permasalahan mengenai agama agama dan

    dalam kehidupan 13sosial.

  • 7/30/2019 Agama Dalam Kehidupan Sosial

    14/14

    14

    DAFTAR PUSTAKA

    Dadang Kahmad, Sosiologi Agam Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002

    M Arifin Noor, Ilmu Sosial Dasar, CV Pustaka Setia, Bandung, 1999

    Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, Kanisius, Jakarta. 1999

    Fauzan Saleh, Asror Yusuf (Ed.)Agama sebagai Kritik Sosial: Membangun

    Kesalehan Individu dan Sosial untuk Kesejahteraan yang Humanis, (STAIN

    Kediri: Ircisod Pers, Jogjakarta, 2005

    Adnan, Islam Sosialis, Pustaka Rasail, Semarang.