Agama

6
Nama : Tri Wulandari NIM : 04011181320054 5. Paradigma Hubungan Agama dan Negara dalam Islam Dalam islam, hubungan agama dan negara menjadi perdebatan yang cukup panjang diantara pakar islam hingga kini. Bahkan menurut Azra perdebatan itu telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga dewasa ini. Lebih lanjut Azra mengatakan bahwa ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara islam sebagai agama (din) dan negara (dawlah), berbagai eksperimen dilakukan dalam menyelaraskan antara din dengan konsep dan kultur politik masyarakat muslim, dan eksperimen tersebut dalam banyak hal sangat beragam. Dalam lintasan historis islam, hubungan agama dan negara dan sistem politik menunjukan fakta yang sangat beragam. Banyak para ulama tradisional beragumen bahwa islam merupakan sistem kepercayaan dimana agama memiliki hubungan erat dengan politik. Islam memberikan pandangan dunia dan makna hidup bagi manusia termasuk bidang politik. Dari sudut pandang ini maka pada dasarnya dalam islam tidak ada pemisahan antara agama (din) dan politik (dawlah). Argumentsi ini sering dikaitkan dengan posisi nabi Muhammad ketika berada di Madinah yang membangun sistem pemerintahan dalam sebuah negara kota (city-state). Di Madinah Rasulullah berperan sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala agama.

description

.

Transcript of Agama

Page 1: Agama

Nama : Tri Wulandari

NIM : 04011181320054

5.  Paradigma Hubungan Agama dan Negara dalam Islam

Dalam islam, hubungan agama dan negara menjadi perdebatan yang cukup panjang

diantara pakar islam hingga kini. Bahkan menurut Azra perdebatan itu telah berlangsung

sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga dewasa ini. Lebih lanjut Azra mengatakan

bahwa ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara ini diilhami oleh

hubungan yang agak canggung antara islam sebagai agama (din) dan negara (dawlah),

berbagai eksperimen dilakukan dalam menyelaraskan antara din dengan konsep dan kultur

politik masyarakat muslim, dan eksperimen tersebut dalam banyak hal sangat beragam.

Dalam lintasan historis islam, hubungan agama dan negara dan sistem politik

menunjukan fakta yang sangat beragam. Banyak para ulama tradisional beragumen bahwa

islam merupakan sistem kepercayaan dimana agama memiliki hubungan erat dengan

politik. Islam memberikan pandangan dunia dan makna hidup bagi manusia termasuk

bidang politik. Dari sudut pandang ini maka pada dasarnya dalam islam tidak ada

pemisahan antara agama (din) dan politik (dawlah). Argumentsi ini sering dikaitkan

dengan posisi nabi Muhammad ketika berada di Madinah yang membangun sistem

pemerintahan dalam sebuah negara kota (city-state). Di Madinah Rasulullah berperan

sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala agama.

Menyikapi realitas empitik tersebut, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa posisi nabi

saat itu adalah sebagai rasul yang bertugas menyampaikan ajaran (al kitab) bukan sebagai

penguasa. Kalaupun ada pemerintahan, itu hanyalah sebuah alat untuk menyampaikan

agama dan kekuasaan hanyalah sebagai alat bagi agama bukan suatu ekstensi dari agama.

Pandapat Ibnu Taimiyah ini dipertegas dengan ayat Al-Quran yang artinya :

“sesungguhnya kami telah mengutus Rasul-rasul kami yang disertai keterangan-

keterangan, dan kami turunkan bersama mereka kitab dan timbangan, agar manusia

berlaku adil, dan kami turunkan besi, padanya ada kekuatan yang hebat dan manfaat-

manfaat bagi manusia, dan agar Allah mengetahui siapa yang menolong-Nya dan

(menolong, Rasul-nya yang ghaib (daripadanya) (Q.S 57 : 25). Dari ayat ini, ibnu

Taimiyah mengatakan bahwa agama yang benar wajib memiliki buku petunjuk dan

pedang penolong. Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan politik yang disimbolkan dengan

Page 2: Agama

pedang menjadi sesuatu yang mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan inti bukanlah agama itu

sendiri.

Syafi’I Maarif menegaskan bahwa istilah dawlah yang berarti negara tidak dijumpai

dalam Al-Quran. Istilah dawlah memang ada di Al-Quran, surat QS. 59 (al Hasyr) ayar 7,

tetapi bukan bermakna negara. Istilah tersebut dipakai secara figuratif untuk melukiskan

peredaran atau pergantian tangan dari kekayaan.

Sama halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Muhammad Husein Haikal.

Menurutnya prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang diberikan masyarakat

yang diberikan oleh Al-Quran dan al-sunnah tidak ada yang langsung berkaitan dengan

ketatanegaraan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dalam islam tidak terdapat suatu sistem

pemerintahan yang baku. Umat islam bebas menganut sistem pemerintahan yang

bagaimanapun asalkan sistem tersebut menjamin persamaan antara para warga negaranya,

baik hak dan kewajiban dan juga dimuka hukum serta pengelolaan urusan negara

diselenggarakan atas syara atau musyawarah dengan berpegang kepada tata nilai moral

dan etika yang diajarkan islam.

Dalam lintas sejarah dan opini para teoritis politik Islam ditemukan beberapa

pendapat yang berkenaan dengan konsep hubungan agama dan negara, antara lain dapat

dirangkum ke dalam  (tiga) 3 paradigma, yakni integralistik, simbiotik dan sekuleristik.

1. Paradigma Integralistik

Paradigma integralistik merupakan paham dan konsep hubungan agama dan negara

yang menganggap bahwa agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak

dapat tidak dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (interated).

Ini juga memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan

sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa islam tidak

mengenal pemisahan antara agama dan politik atau negara. Konsep seperti ini sama

dengan konsep teokrasi.

Paradigma ini kemudian melahirkan konsep tentang agama-negara. Yang berarti

bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip

keagamaan. Dari sinilah kemudian paradigma integralistik dikenal juga dengan paham

islam : din wa dawlah. Yang sumber positifnya adalah hukum agama. Paradigma

integralistik ini anatara lain dianut oleh kelompok islam Syi’ah. Hanya saja Syi’ah tidak

menggunakan term dawlah tetapi dengan term imamah. Dan juga ulama-ulama

terkemuka lainnya yakni, Al-Mawardi, Imam Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, serta

Page 3: Agama

dikalangan ulama kontemporor seperti Rayid Ridho, kelompok-kelompok Ikhwanul

Muslimin seperti Hasan Al-Bana, Syaid Qutub, dan lain sebagainya.

2.   Paradigma Simbiotik

Menurut konsep ini, hubungan agama dan negara dipahami saling membutuhkan

dan bersifat timbal balik. Dalam kontek ini, agama membutuhkan negara sebagai

instrument dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya,

negara juga memerlukan agama, karena agama juga membantu negara dalam

pembinaan moral, etika, dan spiritualitas.

Dalam paradigma simbiotik ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya

kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling

besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak bisa berdiri tegak (Taimiyah,

al Siyasah al Syar’iyyah: 162). Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut meligitimasi bahwa

antara agama dan negara merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling

membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja

berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum agama

(syari’at). Pemikiran ini di anut kalangan-kalangan ulama islam yakni Ibnu Taimiyah,

Muhammad Abduh, Jamaludin Al-Afghani, Yusuf Al-Qardawi dan lain-lain.

3.  Paradigma Sekularistik

Paradigma sekularistik beranggapan bahwa ada pemisahan (disparitas) antara

agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu

sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus

dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Berada pada

pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum yang berlaku adalah hukum yang betul-

betul berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract dan tidak ada kaitannya

dengan hukum agama (syari’ah).

Konsep sekularistik ini bisa dilihat dari pendapat Ali Abdul Raziq yang

menyatakan bahwa dalam sejarah kenabian Rasulullah SAW pun tidak ditemukan

keinginan Nabi Muhammad SAW untuk mendirikan agama. Rasulullah SAW hanya

penyampaian risalah kepada manusia dan mendakwahkan ajaran agama kepada

manusia. Paradigma ini dianut beberapa ulama kontemporer yakni Ali Abdul Raziq,

Muhammad Husain Haikal dan lain-lain.

Page 4: Agama

Daftar Pustaka

Bachtiar Effendi. 1998. Islam dan Negara. Jakarta : Paramadina

H. Munawir Sjadzali. 1990. Islam dan Tata Negara : ajaran, sejarah dan pemikiran. Jakarta :

UI-Press. Cet. Ke- II

Thaba,Abdul Aziz. 1996. Islam dan Negara. Jakarta : Gema Insani Press