afasia A. Sri Izazi Wafiah S - C111 11 375.docx

27
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT UNIVERSITAS HASANUDDIN AGUSTUS 2015 REFERAT AFASIA DISUSUN OLEH : A. Sri Izazi Wafiah Sabil C 111 11 375 Residen Pembimbing : Dr. Machyono Supervisor Pembimbing : Dr. dr. Jumraini T, Sp. S DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

Transcript of afasia A. Sri Izazi Wafiah S - C111 11 375.docx

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN SARAFFAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT UNIVERSITAS HASANUDDIN AGUSTUS 2015

REFERAT

AFASIA

DISUSUN OLEH :

A. Sri Izazi Wafiah Sabil

C 111 11 375

Residen Pembimbing :

Dr. Machyono

Supervisor Pembimbing :

Dr. dr. Jumraini T, Sp. S

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN SARAF

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2015

I. PENDAHULUAN

Afasia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan gangguan bahasa

yang dihasilkan dari kerusakan daerah-daerah di otak yang bertanggung jawab untuk

berbahasa. Dalam berbahasa tercakup berbagai kemampuan yaitu: bicara spontan,

komprehensi, menamai, repetisi (mengulang), membaca dan menulis.Bahasa merupakan

instrument dasar bagi komunikasi pada manusia, dan merupakan dasar dan tulang

punggung bagi kemampuan kognitif.Bila terdapat deficit pada system berbahasa,

penilaian factor kognitif seperti memori verbal, interpretasi pepatah dan berhitung lisan

menjadi sulit dan mungkin tidak dapat dilakukan.Kemampuan berkomunikasi dengan

menggunakan bahasa sangat penting. Bila terdapat gangguan, hal ini akan mengakibatkan

hambatan yang berarti bagi pasien. (Lumbantobing S.M, 2014).

Ada beberapa jenis gangguan afasia yang melibatkan terkenanya daerah otak

dengan klasifikasi yang banyak golongannya (RCLST 2009)

Bahasa melibatkan integrasi dua kemampuanberbeda yaitu, ekspresi (kemampuan

berbicara) dan pemahaman yang masing-masing berkaitan dengan bagian tertentu

korteks.Daerah primer korteks yang khusus untuk bahasa adalah daerah Broca dan daerah

Wernicke.(Sherwood, Lauralee, 2011)

Daerah Broca (area brodmann 44 dan 45) terletak di bagian posterior lobus frontalis

dan dianggap sebagai tiang sintaksik-altikulasi dari system bahasa, berhubungan dengan

produksi bahasa dan artikulasi.(R Schoeman et al, 2010). Daerah ini berdekatan dengan

daerah motoric korteks yang mengontrol otot-otot untuk artikulasi. (Sherwood, Lauralee,

2011)

Daerah Wernicke (area brodmann 22) terletak di bagian superior posterior lobus

temporal dan berhubungan dengan pemrosesan bahasa baik dalam bentuk tertulis maupun

dalam bentuk lisan.(R Schoeman et al, 2010)Selain itu, Wernicke bertanggung jawab dalam

memformulasikan pola koheren bicara yang disalurkan melalui berkas-berkas serat ke daerah

broca yang pada gilirannya mengontrol artikulasi bicara.Daerah Broca berhubungan dengan

daerah Wernicke melalui neural pathway yaitu fasciculus arcuata. (Sherwood, Lauralee,

2011)

Selain kedua daerah tersebut juga terdapat daerah spesifik yang disebut Gyrus

Angularis (area brodmann 22) yang terletak di pertemuan lobus temporal, oksipital dan

paretal. Daerah ini terlibat dalam pengolahan input penglihatan, pendengaran dan sentuhan.

Daerah lain yang terlibat dalam komprehensi dan produksi bahasa adalah korteks motoric,

korteks visual dan korteks auditorius. (R Schoeman et al, 2010)

Daerah Wernicke menerima input dari korteks visual di lobus oksipitalis, suatu jalur

yang penting untuk memahami tulisan dan menjelaskan benda yang dilihat, serta dari korteks

auditorius di lobus temporalis, suatu jalur yang esensial untuk memahami bahasa lisan dan

input dari korteks somatosensorik, suatu jalur yang penting dalam kemampuan membaca

braille. Input-input tersebut disalurkan ke suatu daerah spesifik (gyrus angularis) korteks

asosiasi parietal-temporal-oksipital yang kemudian di teruskan ke daerah Wernicke dimana

tempat pemilihan dan rangkaian kata yang akan diucapkan dirumuskan. Perintah bahasa ini

kemudian disalurkan dari daerah Wernicke ke daerah Broca yang gilirannya menerjemahkan

pesan menjadi pola suara terprogram. Program suara ini disampaikan dari daerah Broca ke

daerah-daerah korteks motoric primer untuk mengaktifkan otot-otot wajah dan lidah yang

akan menghasilkan kata-kata yang diinginkan. Demikian juga otot-otot tangan dapat

diperintahkan untuk menulis kata yang diinginkan.(Sherwood, Lauralee, 2011)

II. DEFINISI

Afasia adalah kerusakan fungsi berbahasa akibat kerusakan otak.Dalam hal ini pasien

menunjukkan gangguan dalam memproduksi dan/atau memahami bahasa. (National Institute

on Deafness and Other Communication Disorders, 2008)

Defek dasar pada afasia adalah pada pemrosesan bahasa ditingkat integratif yang

lebih tinggi.Gangguan artikulasi dan praksis mungkin ada sebagai gejala yang

menyertai.Gangguan bahasa ini dapat melibatkan semua komponen bahasa (fonology,

morfologi, syntax, semantic, fragmatic), begitu juga modalitas lainnya (bicara,

membaca,menulis,menandai) dan output (ekspresi) juga input (pemahaman).

(Papathanasioau,Ilias,2013)

III. EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan National Aphasia Association, gangguan ini mempengaruhi sekitar 1 dari

250 orang, sebagian besar individu yang umumnya lebih tua. Diperkirakan bahwa di Amerika

Serikat sekitar 80.000 orang menjadi aphasic setiap tahun dan bahwa satu juta orang saat ini

memiliki aphasia.Resiko terjadinya afasia meningkat secara signifikan dengan umur

seseorang, sehingga setiap tahun yang maju (bertambahnya umur seseorang) dikaitkan

dengan resiko 1-7% lebih besar.Sementara 15% dari orang di bawah usia 65 mengalami

aphasia, pada kelompok pasien 85 tahun dan lebih tua, 43% adalah aphasic. Di sisi lain tidak

cukup data yang tersedia untuk mengevaluasi perbedaan insiden dan fitur klinis afasia antara

jenis kelamin dan ras.(RCSLT,2009)

IV. ETIOLOGI

Afasia disebabkan oleh kerusakan otak pada bagian yang mengatur fungsi bahasa.

Adapun beberapa penyebabnya, yaitu: (Alexander, Michael, Aphasia: Chapter 9)

1. Stroke (infark)

Stroke merupakan penyebab terbanyak dari afasia (80%).Stroke terjadi ketika

darah tidak mampu mencapai bagian dari otak, sehingga sel-sel otak mati karena tidak

dapat menerima suplai darah yang mana membawa oksigen dan nutrient yang penting.

2. Perdarahan

Hampir sama dengan infark pada stroke, perdarahan juga dapat menyebabkan

afasia, jika terjadi pada topografi otak yang sama dengan pola infark.

3. Trauma

Kontusio fokal dapat terjadi di mana saja, tergantung pada arah pukulan,

fragmen tengkorak, dan sebagainya.ketika memar di wilayah perysylvian, aphasia

yang dihasilkan biasanya akan sama seperti pola infark sebelumnya.

4. Tumor

Jika terdapat lesi atau tumor pada daerah yang mengatur fungsi bahasa di otak,

maka afasia biasa terjadi.

5. Herpes Simpleks Encephalitis

Walaupun jarang, Herpes Simpleks Ensefalitis (HSE) memiliki predileksi

pada daerah medial lobus temporal, basal medial lobus frontal dan insular

cortical.Penderita HSE biasanya memiliki amnesia yang berat.

V. PATOFISIOLOGI

Afasia disebabkan oleh kerusakan pada area otak yang berperan dalam

mengatur fungsi bahasa. Kerusakannya disebabkan oleh stroke, head injury, tumor

otak, neurosurgery, dan infeksi otak. Karena kerusakan tersebut pathway pemahaman

bahasa dan produksinya terganggu bahkan rusak. Dan menimbulkan gejala-gejala

yang melibatkan semua komponen bahasa sesuai dengan daerah kerusakannya.

(RCSLT,2009)

VI. MANIFESTASI KLINIS

1. Afasia Broca

Adapun ciri klinik afasia broca adalah:

Bicara tidak lancar

Tampak sulit memulai bicara

Kalimatnya pendek (5 kata atau kurang per kalimat)

Pengulangan (repetisi) buruk

Kemampuan menamai buruk

Kesalahan parafasia

Pemahaman lumayan ( namun mengalami kesulitan memahami

kalimat yang sintaktis kompleks)

Gramatika bahasa kurang, tidak kompleks

Irama kalimat dan irama bicara terganggu

2. Afasia Wernicke

Adapun ciri klinik afasia Wernicke adalah:

Bicara lancar

Panjang kalimat normal

Artikulasi baik

Prosodi baik

Anomia (tidak dapat menamai)

Parafasia fonemik dan semantic

Komprehensi auditif dan membaca buruk

Repetisi terganggu

Menulis lancer tapi isinya “kosong”

3. Afasia Konduksi

Adapun ciri klinik afasia konduksi adalah:

Bicara lancar

Gangguan yang berat pada repetisi

Kesulitan dalam membaca kuat-kuat

Pemahaman bahasa lisan terpelihara dan membaca baik

Gangguan dalam menulis

Parafasia yang jelas

Anomia berat

4. Afasia sensorik transkortikal

Adapun ciri klinik afasia sensorik transkortikal adalah:

bicara lancar

pemahaman buruk

repetisi baik

echolalia

komprehensi auditif dan membaca terganggu

deficit motoric dan sensorik jarang dijumpai

didapatkan deficit lapangan pandang di sebelah kanan

5. Afasia Motorik transkortikal

Adapun ciri klinik afasia motoric transkortikal adalah:

Bicara tidak lancar

Komprehensi baik

Repetisi baik

Inisiasi output terlambat

Ungkapan-ungkapan singkat

Parafasia semantic

Echolalia

6. Afasia transkortikal campuran

Adapun ciri klinik afasia transkortikal campuran adalah:

Bicara tidak lancar

Komprehensi buruk

Repetisi baik

Echolalia mencolok

7. Afasia Anomik

Ciri klinik afasia anomik adalah:

Bicara lancar

Komprehensi baik

Repetisi baik

Gangguan (deficit) dalam menemukan kata

8. Afasia Global

Adapun ciri klinik afasia global adalah:

Bicara tidak lancar

Komprehensi buruk

Repetisi buruk

Membaca dan menulis terganggu (Lumbantobing S.M, 2014)

Afasia berdasarkan gejala klinis :

DIAGNOSIS

Evaluasi system bahasa harus dilakukan secara sistematis.Perlu diperhatikan bagaimana

pasien berbicara spontan, komprehensi (pemahaman), repetisi (mengulang), dan menamai

(naming). (Lumbantobing S.M, 2014)

Kelancaran

Komprehensi

Repetisi

Jenis Afasia

AFASIA

Lancar

Tidak lancar

Buruk

Baik

Buruk

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Buruk

Buruk

Buruk

Buruk

Anomik

Konduksi

Global

Transkortikal

Campuran

Transkortikal Sensori

kTranskortikal

motorikBroca

Wernicke

1. Pemeriksaan kelancaran berbicara

Seseorang disebut berbicara lancar bila bicara spontannya lancar, tanpa

tertegun-tegun untuk mencari kata yang diinginkan.Kelancaran berbicara verbal

merupakan refleksi dari efisiensi menemukan kata.Bila kemampuan ini diperiksa

secara khusus dapat di deteksi masalah berbahasa yang ringan pada lesi otak yang

ringan atau pada demensia dini.Defek yang ringan dapat dideteksi melalui tes

kelancaran, menemukan kata yaitu jumlah kata tertentu yang dapat diproduksi selama

jangka waktu yang terbatas. Misalnya menyebutkan sebanyak-banyaknya nama jenis

hewan selama jangka waktu 1 menit, atau menyebutkan kta-kata yang dimulai dengan

huruf tertentu, misalnya huruf S atau huruf B dalam 1 menit.

Menyebutkan nama hewan: Pasien disuruh menyebutkan sebanyak mungkin

nama hewan dalam waktu 60 detik. Kita catat jumlahnya serta kesalahan yang ada,

misalnya parafasia. Skor: Orang normal mampu menyebutkan 18-20 nama hewan

selama 60 detik, dengan variasi kurang lebih 5-7.

Usia merupakan faktor yang berpengaruh secara bermakna dalam tugas ini.

Orang normal yang berusia 69 tahun akan mampu menyebutkan 20 nama hewan

dalam simpang baku 4,5.

Kemampuan ini menurun menjadi 17 (kurang lebih 2,8) pada usia 70an, dan

menjadi 15,5 (kurang lebih 4,8) pada usia 80an. Bila skor kurang dari 13 pada orang

normal dibawah usia 70 tahun, perlu dicurigai adanya gangguan dalam kelancaran

berbicara verbal. Skor yang dibawah 10 pada usia di bawah 80 tahun, sugestif bagi

masalah penemuan kata. Pada usia 85 tahun skor 10 mungkin merupakan batas

normal bawah.

Menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu: kepada pasien dapat juga

diberikan tugas menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu, misalnya huruf

S, A atau P. Tidak termasuk nama orang atau nama kota. Skor, orang normal

umumnya dapat menyebutkan sebanyak 36-60 kata, tergantung pada usia, inteligensi

dan tingkat pendidikan. Kemampuan yang hanya sampai 12 kata atau kurang untuk

tiap huruf diatas merupakan petunjuk adanya penurunan kelancaran berbicara

verbal.Namun kita harus hati-hati menginterpretasikan tes ini pada pasien dengan

tingkat pendidikan yang tidak melebihi tingkat sekolah menengah pertama.

2. Pemeriksaan pemahaman (komprehensi) bahasa lisan

Kemampuan pasien yang afasia untuk memahami sering sulit dinilai.

Pemeriksaan klinis di sisi ranjang dan tes yang baku cenderung kurang cukup dan

dapat memberikan hasil yang meenyesatkan. Langkah berikut dapat digunakan untuk

mengevaluasi pemahaman (komprehensi) secara klinis, yaitu dengan cara konversasi,

suruhan, pilihan ya atau tidak dan menunjuk.

a. Konversasi

Dengan mengajak pasien bercakap-cakap dapat dinilai kemampuannya

memahami pertanyaan dan suruhan yang diberikan oleh pemeriksa

b. Suruhan

Serentetan suruhan, mulai dari yang sederhana (satu langkah) sampai pada

yang sulit (banyak langkah) dapat digunakan untuk menilai kemampuan pasien

memahami. Mula-mula suruh pasien bertepuk tangan, kemudian tingkatkan

kesulitannya, misalnya: mengambil pensil, letakkan dalm kotak dan taruh kotak

diatas kursi (suruhan ini dapat gagal pada pasien dengan apraksia dan gangguan

motorik walaupun pemahamannya baik; hal ini harus diperhatikan oleh

pemeriksa)

c. Ya atau tidak

Kepada pasien dapat juga diberikan tugas berbentuk pertanyaan yang dijawab

“ya” atau “tidak”. Mengingat kemungkinan salah ialah 50%, jumlah pertanyaan

harus banyak, paling sedikit 6 pertanyaan, misalnya:

“Andakah yang bernama Santoso?”

“Apakah AC dalam ruangan ini mati?”

“Apakah ruangan ini kamar hotel?”

“apakah diluar sedang hujan?”

“apakah saat ini malam hari?”

“apakah pekerjaan anda polisi?”

d. Menunjuk

Pemeriksa juga dapat mengeluarkan beberapa benda, misalnya: kunci, duit,

arloji, pulpen, geretan. Suruh pasien menunjukkan salah satu benda disebut,

misalnya arloji. Kemudian suruhan dapat dipersulit , misalnya tunjukkan jendela,

setelah itu arloji, kemudian pulpen. Pasien tanpa afasia dengan tingkat intelegensi

rata-rata mampu menunjukkan 4 atau lebih objek pada suruhan yang

beruntun.Pasien dengan afasia mungkin hanya mampu menunjuk 1 atau 2 objek

saja.Jadi, pada pemeriksaan ini pemeriksa menambah jumlah objek yang harus

ditunjuk, sampai jumlah berapa pasien selalu gagal.

3. Pemeriksaan Repetisi (mengulang)

Kemampuan pasien mengulang dinilai dengan menyuruh pasien mengulang,

mula-mula kata yang sederhana (satu patah kata), kemudian ditingkatkan menjadi

banyak (satu kalimat).Jadi kita ucapkan kata atau angka, dan kemudian pasien disuruh

mengulanginya. Cara pemerksaannya:

Pasien disuruh mengulang apa yang diucapkan oleh pemeriksa. Contoh:

- Map

- Bola

- Kereta

- Rumah sakit

- Sungai barito

- Lapangan latihan

- Kereta api malam

- Besok aku pergi dinas

- Rumah ini selalu rapi

- Sukur anak itu naik kelas

- Seandainya si amat tidak kena influenza

Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada tes repetisi ini didapatkan

parafasia, salah tata bahasa, kelupaan dan penambahan.

Orang normal umumnya mampu mengulangi kalimat yang mengandung 19

suku kata.Banyak pasien afasia yang mengalami kesulitan dalam mengulang

(repetisi), namun ada juga yang menunjukkan kemampuan yang baik dalam hal

mengulang.Dan sering lebih baik daripada berbicara spontan.Umumnya dapat

dikatakan bahwa pasien afasia dengan gangguan kemampuan mengulang

mempunyai kelainan patologis yang melibatkan daerah peri-sylvian.Bila

kemampuan mengulang terpelihara, maka daerah peri-sylvia terbebas dari

kelainan patologis.

4. Pemeriksaan menamai dan menemukan kata

Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi berbahasa.Hal

ini sedikit banyak terganggu pada semua penderita afasia.Dengan demikian, semua tes

yang digunakan untuk menilai afasia mencakup penilaian pada keampuan ini.

Kesulitan menemukan kata erat kaitannya dengan keampuan menyebut nama

(menamai) dan hal ini disebut anomia.

Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama objek,

bagian dari objek, bagian tubuh, warna, dan bila perlu gambar geometric, symbol

matematik atau nama suatu tindakan. Dalam hal ini, perlu digunakan item yang sering

digunakan (misalnya sisir dan arloji) dan yang jarang ditemui atau digunakan

(misalnya pedang).Banyak penderita afasia yang masih mampu menamai objek yang

sering ditemui atau digunakan dengan cepat dan tepat, namun lamban dan tertegun,

dengan sirkumlokusi (misalnya melukiskan kegunaannya) atau parafasia pada objek

yang jarang dijumpainya.

Bila pasien tidak mampu dan sulit menamai, ia dapat dibantu dengan

memberikan suku kata pemula atau dengan menggunakan kalimat penuntun.

Misalnya: pisau, kita dapat membantu dengan suku kata pi… atau dengan kalimat

“kita memotong daging dengan….” Yang kita nilai adalah sampainya pasien menamai

objek tersebut.Adapula pasien yang mengenal objek dan mampu melukiskan

kegunaannya (sirkumlokusi) namun tidak dapat menamainya. Misalnya bila

ditunjukkan kunci, ia mengatakan: “anu… itu… untuk masuk rumah… kita putar.”

Cara pemeriksaan, kita terangkan pada pasien bahwa ia akan disuruh menyebutkan

nama beberapa objek juga warna dan bagian dari objek tersebut. Kita dapat menilai

dengan memperlihatkan misalnya arloji, bolpoin, kacamata, kemudian bagian dari

arloji (jarum menit, detik), lensa kaca mata. Objek atau gambar objek berikut dapat

digunakan : objek yang ada di ruangan: meja, kursi, pintu, dan jendela. Bagian dari

tubuh: mata, hidung,gigi, ibu jari, dan mulut. Warna: merah,biru,hijau, kuning, dan

ungu. Bagian dari objek: jarum jam, lensa kacamata, sol sepatu, kepala ikat pinggang,

dan bingkai kacamata.

Perhatikanlah apakah pasien dapat menyebutkan nama objek dengan cepat

atau lamban atau tertegun atau menggunakan sirkumlokusi, parafasia, neologisme,

dan apakah ada preseverasi. Di samping menggunakan objek, dapat pula digunakan

gambar objek. Bila pasien tidak mampu menyebutkan nama objek, dapatkah ia

memilih nama objek tersebut dari antara beberapa nama objek. Gunakanlah sekitar 20

objek sebelum menentukan bahwa tidak didapatkan gangguan.

Penilaian-penilaian di atas terdapat pada Western Aphasia Battery Test

Booklet.

Selain dengan penilaian tadi. Diagnosis afasia juga dapat di dukung dengan

CT Scan maupun MRI untuk mengetahui lokasi lesi yang merupakan penyebab afasia

tersebut. (Yavuzer,Gunes, 2010)

VII. DIAGNOSIS BANDING

1. Disartria

Gangguan dalam artikulasi akibat penyakit dari otot-otot untuk berbicara, atau

persarafannya (termasuk saraf kranial bagian bawah, batang otak, serebellum,

ganglia basal dan hemisfer serebri). (Ginsberg,Lionell,2008)

2. Demensia

Suatu kondisi dengan gangguan memori, intelektualitas, kepribadian dan

wawasan karena hasil cedera otak atau penyakit.(Yavuzer,Gunes, 2010)

3. Mutisme

Kegagalan total untuk bersuara, yang mungkin dapat terjadi pada disfasia

berat atau disartria (anartria), atau bagian dari penyakit psikiatrik.

(Ginsberg,Lionell,2008)

VIII. PENATALAKSANAAN

Dalam penanganan afasia, pertama-tama kita harus mengatasi keadaan yang

mendasarinya, seperti stroke, tumor, perdarahan dan etiologi lainnya.

Terapi bicara sering diberikan kepada orang-orang dengan afasia, namun tidak

menjamin “obat”. Tujuan terapi bicara adalah untuk membantu pasien sepenuhnya

memanfaatkan keterampilan yang tersisa dan belajar cara kompensasi komunikasi.

- Terapi Bahasa

Terapi bahasa ampuh untuk mengobati afasia jika dilakukan secara

intens.Sebuah studi baru-baru ini telah menetapkan bahwa terapi afasia intensif

selama periode waktu yang singkat memiliki dampak yang lebih besar pada

pemulihan daripada terapi kurang intens selama jangka waktu yang lama.

(Yavuzer,Gunes, 2010)

- Computer-based Treatment

Dapat meningkatkan skill berbahasa dan komunikasi secara fungsional.

(Yavuzer,Gunes, 2010)

- Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (RTMS)

Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (RTM) adalah prosedur non-

invasif yang menggunakan medan magnet berfluktuasi dengan cepat untuk

"membuat arus listrik di daerah diskrit otak.” (Yavuzer,Gunes, 2010)

- Terapi Farmakologis

Piracetam merupakan turunan γ-aminobutyrate, agen farmakologis dengan

efek potensial terhadap kognisi dan memory.Piracetam adalah γ-aminobutyrate

derivatif, Piracetam diperkirakan meningkatkan pembelajaran dan memori dengan

memfasilitasi pelepasan asetilkolin dan asam amino rangsang, dengan

peningkatan aliran darah dan metabolisme energy. (Yavuzer,Gunes, 2010)

IX. PROGNOSIS

Prognosis untuk pemulihan bahasa bervariasi tergantung pada ukuran dan sifat lesi

dan usia dan kesehatan secara keseluruhan dari pasien. Secara umum, pasien dengan

diawetkan fungsi bahasa reseptif adalah kandidat yang lebih baik untuk rehabilitasi

daripada orang-orang dengan gangguan pemahaman.Potensi untuk pemulihan fungsional

afasia ekspresif terutama (yaitu, Broca aphasia) setelah stroke sangat baik, untuk

pemulihan dari Wernicke-jenis afasia akibat stroke tidak sebagus itu untuk Broca

aphasia.Potensi untuk pemulihan afasia karena tumor diobati atau penyakit

neurodegeneratif miskin. (Yavuzer,Gunes, 2010)

DAFTAR PUSTAKA

Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem Edisi 6. Jakarta.

EGC

Lumbantobing, S.M. 2014.Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Ginsberg, Lionel. 2008. Lecture Notes Neurologi Edisi 8. Jakarta. Penerbit Erlangga.

Alexander, Michael P. Aphasia: Clinical and Anatomic Aspects Chapter 9.

Royal College Of Speech and Language Therapist. 2009. Aphasia.

National Institute on Deafness and Other Communication Disorders. 2008.Fact Sheet:

Aphasia.

Papathanasiou, Ilias, et al. 2013. Aphasia and Related Neurogenic Communication

Disorders. Greece. Jones and Bartlett Learning.

R, Schoeman, et al. 2010. Aphasia, an acquired language disorder. South Africa.

Department of Psychology, Stellenbosch University.

Kertesz,Andrew, et al. 1982. Western Aphasia Battery Test Booklet. United States.

The Psychological Corporation Harcourt Brace Jovanovich,Inc.