advokasi No 13

20

description

 

Transcript of advokasi No 13

Page 1: advokasi No 13
Page 2: advokasi No 13

Halaman 2

Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003

Surat TaniSurat Tani

Saya adalah anak seorang petani

dan seorang pelajar di SMK

Pembangunan Nasional Purwodadi-

Grobogan, Jawa Tengah.

Pertama saya mengenal Buletin

Advokasi adalah Buletin Advokasi

No.4 Agustus-September 2001

tentang Rekayasa Genetika. Saya

sangat merasa bangga karena ada

buletin yang mengulas tentang dunia

pertanian. Semoga Advokasi bisa

lebih maju dan mengembangkan isi

halamannya dengan tema-tema yang

menarik dan bermanfaat sesuai

dengan harapan petani.

Saya pernah membawa Advokasi

ke sekolah untuk dibaca dan teman-

teman pun ikut membaca dan

meminjam. Alhamdullilah, ternyata

banyak teman yang menyukai

buletin ini. Bahkan ada yang bertanya

“Dapat dari mana? Saya juga ingin

punya”. Saya menjawab dari

Yayasan Duta Awam Solo. Tetapi

setelah itu saya tidak pernah lagi

mendapatkannya sampai sekarang.

Saya memohon kepada Advokasi,

saya dikirimi buku tentang Rekayasa

Genetika dan Advokasi edisi terbaru,

karena kata tetangga saya YDA juga

menerbitkan buku tentang Rekayasa

Genetika.

Di desa saya, akhir-akhir ini

banyak petani yang menanam melon.

Saya melihat ternyata tanaman

tersebut diberi banyak obat-obatan

(fungisida, pestisida, dan obat

perangsang pertumbuhan lainnya).

Yang ingin saya tanyakan, apabila

buah tersebut dikonsumsi dalam

jangka waktu lama apakah ada efek

sampingnya bagi tubuh? Dampak

obat-obatan bagi tanah sendiri apakah

ada? Misalnya, perubahan kadar

asam basa tanah atau perubahan PH

tanah itu. Kemudian bagaimana

solusinya supaya tanah bisa stabil

kembali dan dapat ditanami lagi

dengan subur?

Saya ingin mengusulkan agar

Advokasi menambah sub bagiannya

lagi, yang diberi nama yunior farmer’s

(petani muda - red) yang mengulas

permasalahan-permasalahan petani

pemula, bagaimana solusi-solusinya

dan kreasi-kreasi lainnya yang

datangnya dari para petani pemula.

Bagaimana jika isi dan halaman

Advokasi diperbanyak dan menambah

isi dan pokok permasalahan. Juga

diberi tips menarik bagi petani atau

motto tentang bertani kepada para

pembaca supaya menambah se-

mangat petani dalam bercocok

tanam.

Sawidi

SMK Pembangunan Nasional

Jl. Gajah Mada No. 5

Purwodadi Grobogan

Jawa Tengah

AdvokasiBagi Petani Muda

Kami dan teman-teman Ornop

(Organisasi Non-Pemerintah -

red) di Banyuwangi merasa senang

dengan kehadiran buletin ini. Begitu

juga dengan sejumlah dampingan

lembaga kami dan lembaga teman-

teman di Banyuwangi. Buletin

Advokasi ini sangat bermanfaat

karena, seperti namanya Advokasi

Petani, isinya sangat dimaksudkan

untuk memihak pada petani.

Pengadaan media massa -

elektronik maupun cetak - sebagai

sarana komunikasi dan informasi bagi

petani teramat dibutuhkan. Terutama,

ketika berbagai pihak - pemerintah

maupun pengusaha - hanya men-

jadikan petani sebagai alat legitimasi

kekuasaan dan pengadaan peru-

sahaan obat-obatan.

Sekali lagi kami mengucapkan

terima kasih atas kiriman buletin ini.

Kami dan teman-teman Ornop di

Banyuwangi tetap berharap agar pada

edisi berikutnya sampai juga kepada

kami.

Chusnul Cholifah

Sekretaris

LSM Leban Indah Banyuwangi

Jl. Cipto 15 Kalibaru Wetan

Banyuwangi - Jawa Timur

MediaBagi Petani

Terima kasih atas dimuatnyatulisan

saya dalam Surat Tani Buletin

Petani Advokasi No. 9 Tahun 2002

dan No.10 Tahun 2003 dan atas

kiriman buku-bukunya. Buku ter-

sebut telah saya bagikan pada

teman-teman petani/wanita tani dan

anggota PKK di desa saya. Manfaat

dari buku tersebut sangat menyentuh

kehi-dupan masyarakat pedesaan

(petani) di luar Jawa yang “kurang”

secara teknis. Hal ini umumnya

dirasakan petani tanaman pangan,

cocok benar dengan ulasan

ADVOKASI No. 7 hal 10 dengan topik

“Mengapa Petani Melarat”.

Saya dan teman-teman di Siak

Riau sedang dalam upaya mendesak

Pemda Kab. Siak atas janji Bulog

yang akan menampung gabah petani

di Siak, ternyata sampai saat ini

masih nihil (alasan Bulog tidak ada

dana). Yang kami herankan Peme-

rintah lebih mampu membeli pesawat

Sukhoi dengan dana ratusan milyar

dan mengimpor beras luar negeri

sampai melimpah di pasaran, tetapi

kenapa untuk membeli gabah petani

kok tidak ada dana?

Radisan

Rt. 04/Rw. 01 Buantan Lestari

Kecamatan Bungaraya

Kabupaten Siak - Riau

Tidak Ada DanaBeli Beras Petani?

Page 3: advokasi No 13

Halaman 3

Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003

Salam AdvokasiSalam Advokasi

Buletin Petani Advokasi diter-

bitkan oleh Yayasan Duta

Awam (YDA), sebagai media

komunikasi dan advokasi

menuju petani Indonesia

mandiri.

Redaksi Buletin Petani

Advokasi menerima tulisan,

gambar/foto dengan misi

pemberdayaan petani dari

berbagai pihak, khususnya

dari kalangan petani sendiri.

Penanggung Jawab: M Riza

Sidang Redaktur: Mediansyah (koordinator),

Haleluya Giri Rahmasih, M Yunus, M Riza,

Kurniawan Eko, M Zainuri Hasyim, Gideon Sumiarsa.

Penulis edisi ini: Gideon Sumiyarsa, Kurniawan Eko,

Zainuri Hasyim, Sucipto, Mediansyah, Sartono (Petani),

Riset Foto: K. Eko Administrasi: Puitri Hatiningsih

Pengiriman: Agus Wahyono

Alamat: Jl Adi Sucipto No 184-I Solo 57102

Telp: (0271) 710816 Fax: (0271) 729176

e-mail: [email protected]

Rangkaian monitoring dan advokasi terhadap Benih

Berlabel Bahasa Asing (BBBA), yang dilakukan

petani di Surakarta bersama YDA, menunjukkan

titik terang. Bisa dikatakan, advokasi petani Surakarta atas

BBBA, hampir berujung pada kemenangan!

Kini Departemen Pertanian, sedang menyiapkan

peraturan yang mengharuskan importir produk pertanian

mencantumkkan label Bahasa Indonesia! Bahkan, khusus

untuk produk peternakan, pemerintah akan mulai

menerapkan aturan label Bahasa Indo-

nesia ini, paling lambat sebelum Hari

Raya Idul Fitri . Untuk produk pertanian

yang lain, seperti benih, wajib label

Bahasa Indonesia segera diterapkan.

Hal di atas, ditegaskan oleh Dirjen

Bina Produksi Deptan, Sofyan Sudrajat,

5 Agustus silam. Dalam pernya-

taannya, Sofyan menegaskan pula

bahwa semua produk pertanian impor,

termasuk produk ternak dan benih

impor, wajib berbahasa Indonesia.

Pemerintah kini sedang memberi waktu

dan melakukan sosialisasi kepada para

pengusaha. “Dasar hukum ketentuan labelisasi Bahasa

Indonesia adalah PP No 69/1996 tentang Labelisasi dan

Iklan serta UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, yang mengharuskan setiap produk impor yang

masuk ke Indonesia harus diberi label berbahasa Indone-

sia,” tegas Sofyan.

Buletin Petani Advokasi memantau, pernyataan Sofyan

dikutip oleh media berbahasa Inggris Agroindonesia, yang

dalam pemberitaannya itu menyebutkan pula perjuangan

(dan temuan) para petani di Surakarta, yang telah

memantau peredaran BBBA.

Seperti diketahui, hampir sepanjang tahun 2002,

puluhan petani asal Kabupaten Sragen, Karanganyar,

Boyolali, Sukoharjo, Klaten dan Wonogiri, melakukan

monitor terhadap peredaran BBBA di wilayahnya masing-

masing. Sebelum kegiatan memonitor BBBA ini, para

petani melakukan pelatihan monitoring yang melibatkan

fasilitator dari YDA. Petani juga dibekali oleh 2 konsultan

ahli (hukum dan pertanian), Kelik Wardiono (BKBH UMS)

dan Supriyadi (Fakultas Pertanian UNS).

Pelatihan monitoring partisipatif (MP) yang dilakukan

pada tanggal 4 - 6 April 2002 itu, ditindaklanjuti dengan

pengumpulan data lapangan hingga

tanggal 27 Mei 2002. Data temuan

petani, kemudian dianalisis bersama

pada tanggal 24-25 Juni 2002 di Solo.

Kemudian, petani pemonitor ber-

sama YDA mengundang pihak-pihak

terkait (stakeholder: Deptan, Balai

Karantina, BPSB, pengusaha, akade-

misi, petani, dan kalangan legislatif)

pada tanggal 10 Agustus 2002. Pada

forum “temu stakeholder benih berlabel

bahasa asing” ini, petani mengungkap

bahwa di kalangan petani banyak

beredar benih impor dengan label asing,

dan persoalan disebabkan benih impor itu.

Pada saat itu, para petani mengusulkan antara lain:

Kemasan benih harus memakai atau mencantumkan

Bahasa Indonesia, dengan mencantumkan a) Cara

penyemaian dan penanaman b) Cara dan dosis pe-

mupukan c) Hama dan cara pengendalian hama d) Daya

tumbuh dan tingkat pertumbuhan, e) Tanggal uji dan

kadaluwarsa f) Sifat-sifat benih (produksi, adaptasi) serta

g) Umur tanaman. Juga harus adanya strategi yang lebih

jelas dalam mengembangkan benih lokal.

Setelah forum, BPSB Jateng menyebutkan akan

berkoordinasi dengan Gubernur dan Balai Karantina, meng-

adakan uji mutu, yang sebelumnya tidak dilakukan. (Medi)

Hasil Advokasi BBBA Kita!

T o l a k

Benih berLABEL

BahasaAsing

Pemerintah: Label Bahasa Indonesia Wajib!

Page 4: advokasi No 13

Halaman 4

Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003

LaporanLaporan

Sore itu, Sugiyanti, berasal dari

Cendono, Bendosari, Sukoharjo, Jawa

Tengah ini sedang menunggu keponakannya

yang sedang berada diantara tanaman melon.

Menurut ibu satu anak ini, globalisasi adalah

tidak jauh berbedanya kondisi antara di kota

dengan di desa. Ia mencontohkan bahwa di

desa sudah banyak motor dan mobil, sama

dengan kondisi di kota.

Kata globalisasi boleh jadi asing bagi para petani kita. Meski

begitu, jelas sekali petani kita tahu dan merasakan apa yang

sedang terjadi...

Sebab, pasar bebas telah menjelajah dan mulai melibas

ekonomi petani di pelosok-pelosok desa.

Petani Bicara Globalisasi

Menurut dia, hal yang menguntungkan

adalah orang desa mudah mencari barang-

barang yang dibutuhkan, sehingga tidak

usah keluar negeri. Namun di sektor

pertanian, globalisasi berdampak pada

ruginya petani karena produk dari luar

harganya jauh lebih murah dari panen

petani, padahal seharusnya produk

tersebut lebih mahal.

Sugiyanti tidak setuju dengan adanya

pasar bebas, karena Indonesia mampu

mencukupi kebutuhannya. Indonesia

sudah cukup dalam menghasilkan beras,

tapi kenapa harus mendatangkan dari luar

negeri yang harganya ternyata lebih murah.

“Itu kan mematikan pasaran petani

namanya,” katanya.

Tentang kebijakan pemerintah dalam

mensikapi globalisasi ia mengatakan

bahwa “Harusnya pemerintah menaikkan

harga beras petani, agar petani tidak rugi

terus,” katanya.(Eko)

Sugiatno

Pasar bebas ko’dipaksakan? D

ok

YD

A

Lantas bagaimana pemahaman

petani sendiri tentang

globalisasi? Umumnya petani

lebih memahami pasar bebas

daripada globalisasi. Sunarno, dari

Desa Nguneng, Puhpelem, Wono-

giri, Jawa Tengah, memahami bahwa

globalisasi adalah kebebasan dan

keterbukaan dalam banyak aspek

kehidupan. Globalisasi memberikan

peluang bebasnya informasi dan

teknologi masuk ke desa, selain juga

masuknya barang-barang dari luar

negeri.

Sarjono, petani dari Tawang-

mangu, Karanganyar, Jawa Tengah

lebih menyebutnya pasar bebas yaitu

ketika produk atau barang bisa masuk

ke Indonesia dari negara manapun.

Masuknya bibit wortel dari luar negeri

ke Tawangmangu, misalnya.

Demikian juga dengan Sugiatno,

Sumarno dan Suparno, warga

Blumbang Tawangmangu, Karang-

anyar, Jawa Tengah dan Roshid

petani dari Suroteleng, Selo, Boyolali,

Jawa Tengah memahami bahwa

globalisasi itu adalah pasar bebas.

Sementara Darmo Wiyono warga

Cendono, Bendosari, Sukoharjo,

Jawa Tengah ini asing dengan kata

globalisasi dan pasar bebas, tetapi

yang ia tahu tentang maraknya

produk pertanian impor yang masuk

ke Indonesia.

Untung Rugi

Melihat dampak globalisasi ada

petani yang menganggap globalisasi

membawa keuntungan dan kerugian.

Menurut Sunarno, dalam jangka

pendek globalisasi akan mengun-

tungkan, karena masuknya bibit

jagung dari luar meningkatkan hasil

panen petani.

Namun dalam jangka panjang

justru akan merugikan petani karena

petani menjadi tergantung dengan

bibit tersebut. Selain itu, benih jagung

lokal pun makin lama makin meng-

hilang.

Senada dengan Sunarno, Roshid

menyatakan bahwa keuntungannya

karena sarana yang dibutuhkan

mudah diperoleh, sementara keru-

giannya adalah petani tidak mampu

bersaing dengan produk dari luar

negeri karena kurangnya pengetahuan

petani.

Ada juga petani yang berang-

gapan bahwa globalisasi hanya meru-

gikan petani. Sugiatno, misalnya,

justru melihat dalam bidang per-

tanian, pasar bebas ini berakibat

buruk, yaitu tersainginya produk hasil

panen petani. Ia menuturkan bahwa

sebenarnya produk pertanian Indo-

nesia sudah mencukupi kebutuhan

dalam negeri, tetapi banyak produk

dari luar negeri masuk.

Bagaimana sikap petani? Sunarno

mengatakan untuk menghadapi

globalisasi diperlukan jaringan antar

petani dan kelompok tani. Jaringan

ini diperlukan, tambah dia, agar

petani bisa bersama-sama mening-

katkan kemandirian. Misal, mengem-

bangkan benih lokal sehingga petani

tidak tergantung benih dari luar.

Page 5: advokasi No 13

Halaman 5

Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003

LaporanLaporanSementara itu, Sugiatno menyata-

kan,”Pasar bebas silahkan saja,

tetapi yang penting dilakukan

pemerintah adalah bagaimana

mengangkat harga panen petani,”

katanya. Pemerintah harus terjun ke

masyarakat untuk melihat kondisi

petani yang sebenarnya.

Sarjono justru dengan tegas

menyatakan pasar bebas harus

dihentikan.Tetapi apakah mungkin

orang kecil seperti kita bisa meng-

hentikan pasar bebas? “Yang bisa

menghentikan ini semua ya peme-

rintah, sebab yang berhubungan

dengan luar negeri kan ya peme-

rintah, jadi yang tahu ya pemerintah,”

ujarnya.

Senada dengan Sarjono, Sumarno

dan Suparno sangat tidak setuju

dengan pasar bebas karena dampak

dari pasar bebas adalah harga produk

impor lebih rendah dari harga produk

dalam negeri.

Contoh yang pernah mereka alami

adalah harga bawang putih yang

sangat menurun karena tidak bisa

mengimbangi harga bawang putih

yang berasal dari luar negeri. Paino

juga tidak setuju dengan kondisi

tersebut karena harga saprodi (sarana

produksi) yang mahal.

“Panen saja tiga bulan sekali, kok

tahu-tahu ada beras impor yang

harganya sangat murah dan itu

mematikan harga beras petani,”

katanya.

Sikap lain ditunjukkan oleh

Roshid. “Petani harus waspada di era

globalisasi ini,” terangnya. Dia

memberikan contoh dalam soal

harga, merosotnya harga saat panen

menurutnya sangat merugikan

petani. “Untuk itu petani harus

mencari cara, misal dengan

menggunakan input organik.

Petani tidak bisa lagi meng-

gunakan cara-cara lama,” katanya.

Kebijakan

Bagaimana dengan kebijakan

pemerintah selama ini? Tampaknya

kebijakan pemerintah belum berpihak

kepada petani. Sarjono, mengatakan

selama ini petani sering memberikan

usul pada pemerintah melalui

pertemuan kelompok, namun tidak

pernah ditanggapi.

Terkait dengan kebijakan peme-

rintah Sugiatno mengatakan

harusnya pemerintah dapat mengatur

harga panen petani agar tidak rugi.

Jika hal ini dibiarkan terus menerus

petani akan habis. “Untuk mengan-

tisipasi panen yang berlebihan,

pemerintah perlu menginformasikan

kepada petani tentang kebutuhan apa

yang yang diperlukan oleh pasar,”

kata Sugiatno.

“Sehingga petani bisa menanam

sesuai dengan kebutuhan tersebut,”

imbuh Sugiatno.

Sumarno dan Suparno meng-

ungkapkan melalui kebijakannya,

pemerintah harus menghentikan

pasar bebas, misalnya dengan

melarang masuknya bawang dari luar

negeri. Juga pemerintah perlu

menurunkan harga pupuk dan sarana

produksi lainnya.

Bahkan menurut Paino peme-

rintah harus mengurangi masuknya

barang dari luar negeri atau mencegah

masuknya barang dari luar agar

barang dalam negeri laku. Barang-

barang tersebut boleh saja masuk

tapi jumlahnya jangan berlebihan

karena akan mematikan pasaran.

Kebijakan pemerintah menda-

tangkan beras luar negeri yang

harganya lebih murah menurutnya

sangat merugikan petani di Indonesia.

“Bagaimana petani akan sukses

untuk meningkatkan penghasilan

keluarga, sementara kondisinya

harga hasil panen selalu menurun?”

tanya Paino.

Melihat kebijakan pemerintah,

Roshid berpendapat bahwa kebijakan

pemerintah belum berpihak pada

petani. Misal, persoalan benih.

Pengawasan peredaran benih yang

kurang dari pemerintah, meng-

akibatkan maraknya peredaran benih

berlabel bahasa asing.

Globalisasi memang perlu

disikapi, bukan hanya oleh petani

namun juga butuh keterlibatan pihak

lain. Kebikan-kebijakan Pemerintah

seharusnya lebih berpihak pada

petani yang merupakan bagian

terbesar penduduk Indonesia.

(Gideon dan Eko)

Narto, petani asal Desa Blumbang,

Tawangmangu, Karanganyar, Jawa

Tengah mengatakan ia tidak tahu tentang

istilah globalisasi namun tahu pasar bebas.

Menurutnya, pasar bebas ialah banyak

barang dari luar negeri bisa masuk ke

Indonesia. Bagi petani, dampak dari pasar

bebas tidak cocok. Ia mencontohkan harga

bawang putih yang jatuh akibat masuknya

bawang putih luar negeri ke Indonesia. Belum

lagi jika dilihat dengan terus naiknya harga

pupuk, sehingga harga jual tidak sesuai.

Pasar bebas memang tidak bisa dicegah,

sehingga upaya yang bisa dilakukan

menurutnya adalah menanam apa yang cocok

untuk dijual dan tidak tersaingi dengan harga

produk yang berasal dari luar negeri

tersebut. “Pasar bebas boleh-boleh saja

asalkan jangan sampai produk yang

dihasilkan oleh masyarakat kecil

didatangkan dari luar negeri,” katanya.

Kalau produk masyarakat kecil selalu

disaingi dari luar negeri akhirnya

masyarakat kecil menjadi bingung.(Eko)

Sumarno

Pemerintah jangan memati-kan pasar petani lokal

Dok

YD

A

Page 6: advokasi No 13

Halaman 6

Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003

LaporanLaporan

Bagi petani, istilah globalisasi

sendiri terasa masih asing

di telinga walaupun mungkin

mereka sering mendengar dari orang,

berita televisi, koran maupun media-

media lain.

Melalui kegiatan sosialisasi ini

YDA mencoba memberikan informasi

tentang apa yang dimaksud glo-

balisasi dengan segala aspek dan

dampak yang terjadi. Selain itu, dis-

kusi yang diselenggarakan hingga

beberapa hari di tiap desa tersebut

juga bertujuan untuk mencari solusi

agar dampak yang terjadi tidak terlalu

merugikan petani.

Proses Sosialisasi

Proses pelaksanaan sosialisasi

difasilitasi oleh YDA. Materi so-

sialiasi globalisasi yang disampaikan

dalam setiap penyelenggaraanya

secara umum adalah :

Pertama, Pengertian globalisasi dan

aktivitasnya dalam pertanian. Materi

awal ini disampaikan dengan metode

ceramah, diskusi, metaplan dan

curah pendapat. Kedua, Pelaku

globalisasi. Materi ini disampaikan

dengan metode ceramah dan diskusi

yang menjelaskan tentang aktor

globalisasi pertanian, agenda dan

mekanismenya. Ketiga, Dampak

globalisasi pertanian, metode yang

digunakan adalah diskusi. Keempat,

Merumuskan pemecahan mengha-

dapi dampak globalisasi, metode

yang digunakan adalah diskusi.

Globalisasi, Aktivitasnyadalam Sistem Pertanian

Pengertian globalisasi dan

aktivitasnya dalam sis-

tem pertanian disampai-

kan agar peserta mema-

hami apa makna dan

hakekat globalisasi dan

aktivitasnya dalam sis-

tem pertanian.

Untuk memberi pema-

haman tentang hal di atas

peserta menuliskan pen-

dapat di potongan kertas,

maupun curah pendapat

langsung, sehingga pe-

serta dapat membanding-

kan sistem pertanian 40

tahun yang lalu dengan kondisi

sekarang,

Dari proses diskusi tentang

perbedaan sistem pertanian 40 tahun

yang lalu dengan sekarang, peserta

menjadi paham bahwa 40 tahun yang

lalu sistem pertanian tidak tergantung

dari pihak luar, pertanian dikelola oleh

petani dari petani untuk petani.

Berbeda dengan sistem pertanian

sekarang, pertanian dikelola oleh

petani dengan inputnya dan untuk

pihak lain juga produksi atau hasilnya

karena orientasinya adalah pasar. Hal

ini disebabkan karena petani telah

sangat tergantung dengan input dari

luar, pengetahuan dan teknologi dari

luar, hasil atau produksi untuk pasar

(konsumen).

Aktor Globalisasi,Agenda dan Mekanismenya

Setelah peserta berdikusi

mengenai apa hakekat dari glo-

balisasi kemudian peserta diajak

bersama-sama melihat mengapa

globalisasi itu terjadi, bagaimana

globalisasi itu muncul, siapa

pelakunya, apa ideologi, dan agenda

serta mekanismenya. Untuk memba-

has materi tersebut, fasilitator lebih

banyak menggunakan metode

ceramah dan diskusi.

Fasilitator memperkenalkan

beberapa aktor globalisasi dian-

taranya adalah Bank Dunia, IMF

(Dana Moneter Internasional), WTO

(Organisasi Perdagangan Dunia),

TNC (Perusahaan Multi Nasional),

yang bermarkas di negara-negara

maju (Amerika Serikat, Kanada, Itali,

Perancis, Inggris, Jepang, Jerman dan

lain-lain) yang menganut ideologi

KELILING DESA

MENSOSIALISASIKAN GLOBALISASI

Suatu pagi di bulan Septem-

ber 2003 terlihat beberapa

staf YDA nampak sibuk mem-

persiapkan kertas dan bebe-

rapa alat tulis untuk dibawa

ke Desa Bade Kecamatan

Klego-Boyolali Jawa Tengah.

Kesibukan kecil tersebut

dilakukan dalam rangka

acara sosialisasi globalisasi

kepada petani. Selain di Desa

Bade, diskusi sosialisasi ini

diselenggarakan juga di Ke-

camatan Selo-Boyolali, Keca-

matan Wedi-Klaten, Keca-

matan Sugihan Sukoharjo,

Kecamatan Toroh-Grobogan,

dan Kecamatan Tawang-

mangu-Karanganyar pada

Juli hingga September 2003.

Berdiskusi tentang globalisasi di Desa Badhe

Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali

Dok YDA

Page 7: advokasi No 13

Halaman 7

Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003

LaporanLaporan

liberalisme (percaya bahwa kemak-

muran dapat dicapai dengan pasar

bebas tanpa campur tangan peme-

rintah) dengan program ekonominya

adalah liberalisasi (pasar bebas),

deregulasi (penghapusan aturan-

aturan yang menghambat pasar

bebas), privatisasi (pengelolaan

ekonomi oleh swasta). Jika ini terus

berlanjut, maka bumi air dan sumber

daya yang menguasai hajat hidup

orang banyak akan dikuasai oleh

orang-orang tertentu saja.

Petani diperkenalkan dengan

siasat Bank Dunia yang sering

dengan dalih memberikan pinjaman

kepada negara berkembang , namun

mempengaruhi kebijakan pemerintah

dalam pemanfaatan dana yang

diarahkan mendukung pasar bebas.

Petani juga diajak berkenalan

dengan IMF yang dengan berbagai

bentuk aturannya mempengaruhi

pemerintah dalam membuat kebi-

jakan seperti deregulasi, privatisasi,

dan lain-lain.

Dalam sosialisasi itu, petani

diajak berdiskusi tentang WTO,

dengan aturan di sektor pertanian

misalnya liberalisasi pertanian (akses

pasar, pengurangan subsidi). Pada

sesi materi ini peserta menjadi lebih

paham, siapa pelaku yang meran-

cang dan bermain dalam arena

globalisasi, ideologi, agenda dan

mekanismenya.

Dalam sesi ini peserta juga men-

jadi tahu apa agenda dan mekanisme

globalisasi yang telah dilakukan oleh

para aktor di Indo-

nesia, dibidang

pertanian khusus-

nya yaitu seperti

pengurangan sub-

sidi, liberaliasi sek-

tor pertanian, peng-

hapusan aturan

yang menghambat

globalisasi dan se-

bagainya.

Sebuah perubah-

an maupun kondisi-

kondisi tertentu

yang diciptakan oleh

manusia akan menimbulkan dua sisi,

yaitu positip dan negatip, demikian

pula dengan gobalisasi. Pada sesi

selanjutnya peserta diajak untuk

mengenali dampak atau ancaman-

ancaman yang bisa terjadi akibat

globalisasi.

Dengan metode diskusi kelom-

pok, tergalilah dampak yang terjadi

akibat adanya globalisasi. Dampak

yang terjadi dan dirasakan petani

sekarang mencakup aspek sosial,

budaya, ekonomi, lingkungan, kebi-

jakan, kesehatan antara lain : (1).

Mulai terkikisnya rasa sosial dan

munculnya sifat individual pada setiap

orang. (2). Mulai hilangnya nilai-nilai

budaya lokal, seperti upacara adat

pada saat penanaman dan panen

misalnya wiwit sesaji (upacara adat

yang dilangsungkan menjelang

musim tanam).

Juga (3). Mulai hilangnya budaya

gotong royong. (4). Masyarakat petani

pindah ke kota. (5). Menyempitnya

lahan pertanian akibat indutrialisasi.

(6). Rendahnya harga produksi petani.

(7). Semakin meningkatnya biaya pro-

duksi. (8). Meningkatnya polusi ter-

hadap lingkungan. (9). Hilangnya be-

nih lokal. (10). Penghapusan subsidi

bagi petani oleh pemerintah. (11).

Penghapusan bea masuk bagi produk

luar yang masuk ke Indonesia oleh

pemerintah Indonesia. (12). Swasta-

nisasi BUMN oleh pemerintah

Indonesia.

Kemudian (13). Menurunnya ting-

kat atau kualitas kesehatan petani

karena pemakaian input kimia dalam

kegiatan usaha taninya.

Mencari Solusi

Setelah peserta terlibat dalam

serangkaian proses sosialiasi di atas,

ternyata peserta semakin paham ter-

hadap apa yang sedang terjadi diseki-

tarnya dan yang secara tidak disadari

justru ikut larut dengan permainan

yang diperankan oleh para aktor dan

sutradaranya. Mengenali dampak ne-

gatif yang dirasakan oleh mereka,

mampu menumbuhkan atau memun-

culkan motivasi, semangat, dan antu-

siasme petani untuk melakukan tin-

dakan nyata, meskipun kecil saja.

Pada tahap ini, dengan metodediskusi kelompok, peserta merumus-kan solusi atau pemecahan masalahterhadap dampak negatif dari glo-balisasi difasilitasi oleh fasilitator.

Rumusan solusi untuk mengatasidan mengantisipasi dampak tersebutantara lain : (1). Mengubah pola atausistem usaha tani dari pertanian an-organik (kimia) menjadi pertanian or-ganik/ alami yang ramah lingkungan.

Solusi berikutnya (2). Pembentuk-an persekutuan atau jaringan petaniatau kelompok tani. (3). Menjalin hu-bungan dan kerjasama antar petaniuntuk mendukung sistem pertanianorganik, penyedian sarana dan pra-sarana pupuk organik.

Terekam juga usulan solusi se-perti (4). Penyebaran informasi ten-tang globalisasi pertanian kepadasemua lapisan masyarakat.

Untuk hal-hal yang terkait dengankebijakan, ada usulan solusi berupa(5). Mengusulkan kepada pemerintahdan DPRD untuk mengalokasikanAPBD yang lebih besar bagi sektorpertanian dalam bentuk subsidi.

Sedangkan aspek ekonomi berupa

usulan (6). Membuat lumbung desa.

(7). Pengembangan unit usaha sim-

pan pinjam atau lembaga keuangan

mikro (8). Melakukan gotong royong

dalam kegiatan usaha tani dan sosial.

Setelah berhasil merumuskan so-

lusi, mereka sepakat untuk memulai

melakukan aktivitas tersebut di atas

mulai dari diri mereka, saat ini!(Sucipto)

Berdiskusi tentang globalisasi di Sukoharjo

Dok YDA

Page 8: advokasi No 13

Halaman 8

Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003

LaporanLaporan

Sejenak kita mendengar

keluhan beberapa petani kecil

di negeri ini; kenapa harga

beras semakin turun di kala umat ma-

nusia semakin bertambah dan lahan

pertanian semakin bekurang? Kena-

pa harga-harga benih, pupuk dan pes-

tisida semakin naik? Kenapa beras

dan produk pertanian luar negeri ber-

datangan dengan harga yang relatif

lebih murah? Kenapa ini dan itu ter-

jadi? Akibat dari apakah semua

keadaan ini?

Pertanyaan-pertanyaan itu sering

muncul dan terlontar dari petani kita,

namun mereka jarang menemukan

jawaban yang menggembirakan atau

malah terkadang mereka tidak peduli

tentang jawabannya, sebagai reaksi

dari kondisi petani yang tak pernah

reda dirundung masalah.

Globalisasi seperti kata baru di

telinga para petani kita, namun kon-

sekuensi dan akibat yang ditimbulkan

dari sistem ini, mereka sudah rasakan

saat ini. Keluhan di atas adalah seba-

gian kecil dari dampak globalisasi,

namun sudah begitu berat dirasakan

oleh petani kita.

Globalisasi yang “katanya” bertu-

juan untuk mewujudkan kemakmuran

bersama seluruh warga dunia yang

ditandai dengan terbukanya berbagai

hambatan perdagangan, nampaknya

hanya akan dijadikan alasan bagi

pihak-pihak yang berkepentingan

untuk meraup keuntungan yang se-

besar-besarnya dari globalisasi, dan

negara-negara yang sedang berkem-

bang yang paling banyak menerima

dampak negatif dari sistem ini.

Kondisi ini jelas menjadi per-

soalan besar bagi semua pelaku

dunia pertanian di Indonesia dalam

kaitannya menghadapi era globalisasi

dimana sistem perdagangan bebas

tanpa batas negara, tanpa perlin-

dungan/proteksi dalam negeri dan

perdangan tanpa pajak/tarif bagi

barang dan jasa dari negara lain, kare-

na memakai prinsip transparency

(keterbukaan), market acces (akses

pasar) dan nondiscriminatory (tidak

membedakan). Sehinga semua

negara anggota lembaga “pilar

globalisasi” seperti GATT(Perjanjian

Umum tentang Perdagangan dan

Tarif), WTO (Organisasi Perdagangan

Dunia), AFTA (Kesepakatan Kawa-

san Perdagangan Bebas Asia) dan

APEC (Kesepakatan Perdagangan

Bebas Asia Pasifik), harus mengha-

puskan berbagai perintang perda-

gangan. Tentu termasuk Indonesia

harus melepas “portal” dagangnya,

karena menjadi salah satu anggota.

Sebagai anggota lembaga terse-

but, kita diwajibkan membuka perda-

gangan internasional tanpa batas dan

tanpa usaha proteksi apapun terha-

dap produk dalam negeri termasuk

produk pertanian. Pemberlakuan bea

masuk 0% terhadap produk impor

yang masuk, akan membawa akibat

membanjirnya produk luar negeri

termasuk produk pertanian dengan

harga yang lebih murah dan mungkin

saja lebih baik kualitasnya. Sebagai

anggota WTO (Organisasi Perda-

gangan Dunia), kita sudah terlanjur

menandatangani kesepakatan-

kesepakatan. Dalam bidang

pertanian. Tapi.......

Siapkah Petani Kita?

Kesepakatan tersebut mengikat

secara hukum dan terdapat sanksi

PETANI, RIWAYATMU KINIPETANI, RIWAYATMU KINIPETANI, RIWAYATMU KINIPETANI, RIWAYATMU KINIPETANI, RIWAYATMU KINISiapkah Petani Menghadapi Globalisasi?

“Kenyataan bahwa pertanian di Indonesia didominasi petani yang

sebagian besar tingkat pendidikannya sangat rendah (87 % dari 35 juta

tenaga kerja pertanian berpendidikan SD ke bawah), berlahan sempit

(dengan kepemilikan lahan rata-rata dibawah 0,5 Ha), dan bermodal

kecil.

Kenapa beras dan

produk pertanian

luar negeri

berdatangan

dengan harga yang

relatif lebih murah?

Kenapa ini dan itu

terjadi? Akibat dari

apakah semua

keadaan ini?

Sartono

Page 9: advokasi No 13

Halaman 9

Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003

LaporanLaporan

perdagangan terhadap negara

anggota yang tidak mematuhinya.

Sekarang, yang menjadi perta-

nyaan adalah, sudah siapkah negeri

ini menerima konsekuensi glo-

balisasi? Sudah siapkah petani kita

menghadapi era pasar bebas?

Kondisi petani kita dengan tingkat

pendidikan yang rendah, berlahan

sempit, bermodal kecil dan memiliki

tingkat efisiensi rendah, dengan

skala usaha kecil harus menerima

kenyataan untuk menerima (dampak

dan konsekuensi) kesepakatan-

kesepakatan tingkat dunia itu, seperti

pengurangan/pencabutan subsidi

produksi, kebebasan impor produk

pertanian luar negeri dengan pajak

bea masuk hingga 0%.

Begitu pula, bayang-bayang keter-

gantungan total akan Saprodi (Sarana

Produksi) asing, tentu akan memper-

berat beban hari ke hari.

Pertanyaan Besar

Adalah suatu pertanyaan besar

yang harus dijawab bersama oleh

bangsa ini, tidak hanya oleh petani,

karena itu baru dari sisi masalah

intern, belum dihadapkan dengan ma-

salah ekstern dimana petani kita

harus bersaing dan berhadapan

Bagaimana kita bisa memperbaiki kondisi yang sudah demikian parah ini?Alternatif di bawah ini bukan resep yang harus diikuti, namun secara umum petani haruslah meningkatkan

pengetahuan dan pemahaman, sehingga dapat memperkirakan dampak dan mengatur strategi. Kelompok tanidapat memulai melakukan sosialisasi, diskusi untuk membahas hal ini.

Kemandirian, adalah kata kunci yang disepakati di beberapa diskusi, sebagai “obat” untuk melawanpenggerogotan dan penguasaan modal oleh “raksasa internasional”.

Hal ini tentu berat, karena “pihak sana” melancarkan berbagai program dan promosi,untuk menggoyahkan kemandirian kita.

Tentu saja, peningkatan kualitas/kuantitas pertanian serta profesionalisme pengelolaan pertanian (misalnya dalammengelola modal) adalah hal yang harus terus ditingkatkan.

Kreatif dalam bercocoktanam.Melihat pasar dengan tetap setia pada lingkungan/keberlanjutan.

PETANI JUGA HARUS KRITIS DENGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH

dengan petani luar negeri yang me-

miliki tingkat pendidikan dan kete-

rampilan relatif lebih tinggi, modal

besar, teknologi maju, skala usaha

besar, produktivitas dan efisiensi

yang tinggi, ditambah dengan

proteksi dan subsidi dari pemerin-

tahnya yang sangat besar. Ibarat

petani kita yang baru belajar berja-

lan dihadapkan dengan mereka

yang sudah belajar naik mobil, sung-

guh sangat berbeda kondisinya.

AFTA sudah mulai efektif 1

Januari 2003 dan GATT/WTO mulai

tahun 2004 dan saat ini adalah

dalam rangka membangun kese-

pakatan-kesepakatan, hal ini berarti

bahwa mulai sekarang inipun kita

sudah mulai dan dihadapkan pada

era globalisasi.

Mau tidak mau, siap tidak siap

kita akan menghadapinya (menya-

lahkan siapa-siapa adalah percuma

pula). Karena nasi sudah menjadi

bubur maka kita harus mencari da-

ging ayam, kacang, seledri, bawang

goreng dan sambal agar menjadi

bubur ayam yang spesial yang da-

pat kita nikmati, artinya kita harus

mencari solusi/alternatif untuk

setidaknya mengurangi kondisi kita

saat ini.

Siapa tahu, di tingkat kelompok

tani, bisa ditemukan “pola kehi-

dupan” bukan sekedar pola bertani,

yang cocok di jaman ini.Sartono,

petani dari Desa Sugihan,

Kec. Bendosari, Kab. Sukoharjo

Jawa Tengah

Workshop Globalisasi - Petani memahami jeratan pemodal dankemudian mencoba mencari siasat untuk hidup di era globalisasi.

Dok

YD

A

Page 10: advokasi No 13

Halaman 10

Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003

Monitor & AdvokasiMonitor & AdvokasiMonitor & AdvokasiMonitor & AdvokasiMonitor & AdvokasiMonitor & AdvokasiMonitor & AdvokasiMonitor & AdvokasiMonitor & AdvokasiMonitor & Advokasi

G l o b a l i s a s i& Petani KecilGlobalisasi ekonomi (atau sederhananya ‘globalisasi’)

adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan gejala

menuju meningkatnya integrasi pasar dunia akan barang,

jasa, dan kapital (dana).

Globalisasi ekonomi mudahnya dapat diartikan

sebagai suatu proses integrasi ekonomi yang cepat

antara negara-negara. Hal ini dipacu oleh meningkatnya

liberalisasi perdagangan internasional dan investasi asing

langsung, dan juga oleh arus kapital yang lebih bebas.

Globalisasi adalah hasil dari berbagai kekuatan,

beberapa diantaranya bersifat politis, beberapa lainnya

adalah teknologi (transportasi dan komunikasi yang lebih

cepat dan lebih murah), dan juga adalah ekonomi

(perusahaan-perusahaan besar mengembangkan

sayapnya ke luar batas negara mereka).

WTO (World Trade Organization) atau

Organisasi Perdagangan Dunia

Globalisasi ekonomi merupakan buatan manusia.

Globalisasi adalah suatu proses yang dikendalikan oleh

kekuatan dan otoritas, korporasi/perusahaan trans-

nasional (lintas negara), institusi-institusi keuangan inter-

nasional, dan negara-negara kaya di dunia. Negara-

negara kaya dan perusahaan-perusahaan transnasional

mendorong ‘’globalisasi’’ dan apa yang disebut dengan

“perdagangan bebas” ke semua negara di dunia demi

kepentingan dan keuntungan mereka sendiri.

WTO diciptakan untuk meluaskan liberalisasi

perdagangan untuk kepentingan korporasi-korporasi

berkuasa yang umumnya berasal dari negara-negara

industri & kaya.

Kebijakan-kebijakan WTO telah membuat jutaan

petani kehilangan lahannya, membahayakan keamanan

pangan di negara-negara miskin dan menjajah/kolonisasi

kembali di bumi bagian selatan. WTO yang dimanfaatkan

negara-negara maju dan perusahaan multinasional,

berjuang keras agar segala bentuk subsidi (termasuk

subsidi pertanian) dicabut. Mereka beralasan, hal ini

merupakan bentuk hambatan perdagangan.

Padahal negara-negara maju hingga kini tetap

mengucurkan subsidi bagi petani mereka (yang sudah

maju dan mapan). Di Eropa dan Jepang misalnya, ada

subsidi “kesejahteraan hewan ternak”. Seekor sapi di

Eropa disubsidi 2 dolar Amerika per ekor per hari, di

Jepang bahkan mencapai 5-6 dolar Amerika per ekor

tiap hari. Jadi, hidup sapi di sana jauh lebih terjamin

dari pada kita di sini.

Tujuhpuluh persen (70%) sumber pangan orang

sedunia, dikuasai 6 “kumpeni” saja. dari data tahun

2000, omset mereka adalah:

• Syngenta (dengan penjualan kimia pertanian 5.888

juta USD (dolar Amerika), penjualan benih 9.58 M USD)

• Monsanto (penjualan kimia pertanian 3.605 juta USD

dan penjualan benih 1.608 juta USD)

• DuPont (penjualan kimia pertanian 2.027 juta USD

dan penjualan benih 1.838 M USD)

• Aventis (penjualan kimia pertanian 3.480 juta USD dan

benih sebesar 247 juta USD);

• BASF (kimia pertanian sebesar 3.336 juta USD)

• Dow Chemical Co (dengan penjualan agrokimia

sebesar 2.086 M USD dan penjualan benih/bioteknologi

sebesar 1.85 M USD).(Medi\berbagai sumber)

Kuilu

Page 11: advokasi No 13

Halaman 11

Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003

1. Dampak terhadap keamanan pangan

Perdagangan bebas telah memicu

ketidakamanan pangan. Dulunya

sebagian besar aktivitas pertanian

difokuskan pada produksi untuk pasar

lokal. Namun berubah menjadi tanaman-

tanaman ekspor. Para petani besar dan

beberapa kelompok kecil petani tidak lagi

memproduksi untuk konsumsi nasional, tetapi untuk pasar

internasional. Maka petani terkena ketidakstabilan pasar

dunia yang akan menimbulkan lebih banyak masalah, dan

kesulitan hidup petani kecil.

2. Produk impor murah

Kebanyakan rakyat di negara ber-

kembang adalah keluarga petani kecil.

Petani mendapat masalah karena

adanya “impor murah”, yang terjadi

karena perdagangan bebas. Impor

murah datang baik dari negara-negara

maju (khususnya AS & Uni Eropa) dan

juga dari negara-negara berkembang

(seperti impor gula dari Thailand, Vietnam). Persaingan

akibat impor murah mengakibatkan petani di negara

berkembang kehilangan pekerjaan. Impor-impor seperti itu

datang baik melalui jalur komersial dan dari ‘’dumping’’

(pangan yang dijual di bawah harga produksi untuk

mengurangi kelebihan, yang biasanya lebih murah

dibanding impor komersial dan lebih berbahaya).

Penelitian menunjukkan bahwa globalisasi telah memicu

peningkatan biaya-biaya awal pertanian, mengakibatkan

masalah besar bagi petani kecil. Karena

terpaksa mengeluarkan biaya banyak

untuk biaya awal.

3. Dampak terhadap lingkungan

Penanaman komoditas internasional

demi orientasi ekspor terbukti beresiko

besar bagi kerusakan lingkungan.

Penggunaan pestisida dan pupuk kimia

dalam produksi tanaman-ekspor secara meluas telah

meningkatkan kerusakan tanah dan hilangnya

keanekaragaman hayati.

Petani kehilangan sistem pertanian tradisional yang ramah

lingkungan demi tanaman ekspor satu jenis. Juga, program

perangsangan ekspor pertanian di daerah-daerah tertentu

mengakibatkan penggunaan cadangan air dan pe-

ngurasan sumber-sumber air. Perdagangan bebas

mendiktekan sistem pertanian lebih “menguras” dan tidak

berkelanjutan.

4. Kesenjangan yang lebih lebar

Globalisasi/perdagangan bebas

tidak memecahkan masalah

kemiskinan. Justru meningkatkan

kesenjangan antara kaya - miskin.

Laporan Badan Pengembangan

Manusia PBB pada tahun 1999

menunjukkan bahwa pihak yang kaya menjadi semakin

kaya sedangkan pihak yang miskin menjadi semakin

miskin. Pada tahun 1997, 20% orang-orang terkaya dunia

menjadi 74 kali lebih kaya.(Medi\berbagai sumber)

Apa

yang

harus kita

lakukan?

Mari lakukan gerakan untuk melestarikan sumber-sumber kehidupan dan gerakan untuk tidak makin

memperkaya para penguasa dunia ini (sehingga tidak makin memiskinkan kita), dengan cara:

1. Menerapkan pertanian organik terpadu (pada dan dari

lahan sendiri), dengan seminimal mungkin input

(bahan produksi: seperti pupuk atau benih) dari luar

(input dari luar ini sedapat mungkin ditiadakan,

walaupun input tersebut adalah bantuan!).

2. Dengan menerapkan hal di atas, kita juga akan me-

lestarikan lahan, lingkungan dan usaha tani kita.

Sehingga kemandirian/kemerdekaan dan kontrol kita

atas pangan, akan lestari hingga anak cucu.

3. Hal-hal seperti “bantuan beras” harus diwaspadai, se-

bab beras bantuan yang berasal dari luar negeri itu,

sering dimaksudkan untuk merusak ekonomi petani

kita. Demikian pula Proyek Utang Luar Negeri.

4. Jika anda sebagai konsumen, hindari pangan impor,

seperti buah impor atau pangan yang berbahan baku

gandum/kedelai impor. Hal ini jika diterus-teruskan,

akan ikut menghancurkan kedaulatan pangan kita.

4. Jadilah bagian warga

negara yang ikut ber-

tanggungjawab atas

kedaula tan bangsa ,

dengan mendorong

pemerintah melaksa-

nakan kemandi r ian

ekonomi bangsa.

Ikutlah dalam gerakan

Wariskan Kemerdekaan

Pada Anak Cucu Kita!

Efekglobalisasi

(WTO)terhadap

petanikecil

yang menghalangi penguasaan segelintir orang atas

sumber-sumber kehidupan. Seperti “Privatisasi Air”.

5. Diskusikan dengan kelompok Anda! Apa dampak glo-

bal isas i yang sudah dan akan di rasakan, lantas

bagaimana cara menanggulanginya!(Medi)

Kuilu

Kuilu

Kuilu

Kuilu

Page 12: advokasi No 13

Halaman 12

Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003

Pengalaman AdvokasiPengalaman AdvokasiJALAN PANJANG PEMBELAAN

PENYAMPAIAN HASIL MONITORING

Masyarakat masih belum mendapat kejelasan terkait

permasalahan proyek dalam seminar yang berlangsung

pada Maret 2003 ini. Penyebabnya adalah tidak hadirnya

pelaksana proyek dari Kab. Banjar dan pelaksana tingkat

pusat. ADB sendiri yang diundang juga tidak hadir. Aki-

batnya, pe-

nyelesaian

m a s a l a h

secara kon-

kret tidak

dihasilkan.

Sementa-

r a , p i h a k

proyek dari

Kab. Tanah

Laut yang

datang ber-

janji akan melakukan peninjauan ke desa untuk

menyelesaikan masalah yang ada. Pihak DPRD dan

konsultan proyek dari 2 kabupaten juga berjanji untuk

membantu mengupayakan selesainya masalah yang

ada.

Seminar yang dihadiri sekitar 100 orang ini mem-buka

mata berbagai pihak (pemerintah, DPRD, mahasiswa,

akademisi, LSM, dan media massa) tentang

pelaksanaan proyek utang yang ada di Kalsel.(Zen)

Kalimat di atas merupakan salah satu yang disam-

paikan masyarakat dalam acara Pelatihan

Monitoring Partisipatif (MP) terhadap Proyek CERD

(Comunity Empowerment for Rural Development) atau

disebut juga Proyek Pemberdayaan Masyarakat untuk

Pembangunan Desa (PMPD) pada Pebruari 2003 yang

lalu di Banjarmasin - Kalimantan Selatan.

Proyek CERD adalah proyek utang luar negeri

Indonesia kepada Asian Development Bank (ADB) - Bank

Pembangunan Asia senilai Rp920 miliar dari Rp1,36 triliun

total anggaran. Proyek ini dilaksanakan di 6 provinsi,

yaitu: Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah,

Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan

Sulawesi Tenggara. Pelaksanaan proyek sejak Maret 2001

dan rencananya akan berakhir pada Desember 2006.

Berangkat dari ketidakjelasan pelaksanaan proyek

yang ada di desa masing-masing, sebanyak 22 masya-

PENYUSUNAN STRATEGI ADVOKASI

Masyarakat merancang rencana lanjutan. Tiga hal

besar yang harus diperoleh kejelasan, adalah 1) Per-

baikan sarana fisik yang tidak sesuai dokumen proyek,

2) Status proyek tahun 2002, di desa-desa yang dihen-

tikan pelaksanaannya, dan 3) Penyebarluasan infor-

masi hasil monitoring kepada desa penerima proyek

tahun 2003.

Langkah pertama, dilakukan pertemuan tingkat

desa untuk mendapatkan informasi terbaru dan sebagai

forum sosialisasi hasil dan pelaksanaan advokasi.

Kemudian diadakan pertemuan tingkat keca-

matan. Lantas penggabungan hasilnya di tingkat

kabupaten melalui pertemuan tingkat kabupaten.

Hasil gabungan keseluruhan inilah yang menjadi bahan

aksi advokasi.(Zen)

’Kami tidak pernah diberikan informasi tentang proyek selama ini. Jangankan kami,

Pembakal (kepala desa) pun tidak tahu. Bahkan kami tidak tahu harus bertanya ke siapa,’

kata Mustain, warga Desa Kali Besar Kecamatan Kurau Kabupaten Banjar.

rakat dari 2 kabupaten penerima Proyek CERD bersama

LK3-Banjarmasin, YCHI-Banjarbaru dan YDA-Solo

melakukan monitoring terhadap proyek tersebut.

Monitoring ini mendapatkan data tentang infrastruktur

(jalan, jembatan, gorong-gorong) yang tidak sesuai,

dihentikannya pelaksanaan proyek di desa penerima

tahun 2002 dan adanya indikasi pelaksanaan tahun 2003

ini akan mengulang kesalahan pelaksanaan tahun-tahun

sebelumnya.

Berbekal data yang diperoleh dalam monitoring,

masyarakat melakukan kegiatan pembelaan terhadap hak-

haknya sebagai penerima proyek. Berikut ini tahapan yang

telah dilakukan masyarakat pemonitor setelah

pengumpulan data.(Zen)

Kisah Advokasi Masyarakat Penerima Proyek Utang di Kalimantan Selatan

Dok YDA

Dok Y

DA

Page 13: advokasi No 13

Halaman 13

Buletin Petani ADVOKASI No. 13 oktober-Desember 2003

Pengalaman AdvokasiPengalaman AdvokasiPendekatan yang dilakukan

kepada DPRD ternyata tidak

membuahkan hasil. Pihak DPRD ber-

alasan “jadual padat”. Padahal, saat

seminar hasil monitoring, Komisi C

DPRD Kab.Banjar berjanji untuk

memfasilitasi pertemuan masyarakat

dengan pihak proyek.

Karena tidak ada kepedulian

DPRD, diputuskan untuk mendatangi

pihak proyek. Dari berbagai ‘tekanan’

kepada pelaksana proyek dan

kecamatan, akhirnya disepakati

adanya pertemuan di masing-masing

kecamatan.

Pertemuan kecamatan di-

laksanakan April 2003, dihadiri oleh

masyarakat desa, camat, Pimpro,

Bappeda, Kimpraswil dan Dinas

Sosial. Hasil pertemuan di 3

kecamatan (Batu Ampar - Tanah Laut,

Karang Intan dan Aluh Aluh - Banjar)

berupa janji pelaksanan proyek untuk

Masyarakat hampir tidak percaya

lagi kepada pelaksana proyek, yang

hanya bisa berjanji. Padahal, ma-

syarakat sudah cukup “bekerja-

sama” dalam mencari jalan keluar

permasalahan.

Pada pertengahan September

lalu, masyarakat melakukan konsul-

tasi hukum terkait masalah Proyek

CERD. Acara ini dihadiri masyarakat

desa penerima proyek tahun 2002

dan 2003, kalangan LSM dan media massa. Sebagai narasumber hukum adalah

Prof. Ideham Djarkasi, SH., Ketua Anti KKN Kalsel.

Kajian narasumber menyebutkan bahwa sebenarnya pemerintah menyadari

bahwa ada aparatnya yang nakal, makanya dibentuk badan pengawas. Namun

kadang kala pengawasnya juga tidak bisa melaksanakan perannya. Penyakit

ini diperparah oleh ketidakmampuan DPR, yang harus menjadi pengawas dalam

semua pelaksanaan proyek di daerah.

Terkait peluang tuntutan hukum yang paling memungkinkan adalah dengan

membandingkan antara pelaksanaan proyek di desa dengan perencanaan

proyek. Hasil dari pembandingan ini dilaporkan kepada kepolisian. Pilihan

penyampaian laporan kepada kepolisian karena laporan yang disampaikan

masyarakat selama ini sudah jelas tidak ada tindak lanjutnya.

Masyarakat sepakati melengkapi data pelaksanaan proyek, khususnya

pelaksanaan proyek untuk desa penerima tahun 2003. Selain itu, pencarian

bestek proyek juga direncanakan. Hasil pembandingan ini akan dirumuskan

dalam bentuk laporan untuk disampaikan ke kepolisian dan kejaksaan.(Zen)

meninjau ulang keberadaan sarana

fisik yang tidak sesuai dengan dana

pemeliharaan. Kejelasan tentang

dana pembangunan sarana fisik yang

dikelola masyarakat juga diperta-

nyakan ke KPKN.

Bappeda dan Pimpro kemudian

berjanji untuk membuat surat ke

Pimpro Pusat agar penerapan proyek

di desa penerima tahun 2003

dilakukan dengan penerapan

komponen proyek secara utuh.

P e n g a k u a n

terhadap data yang

dikumpulkan masya-

rakat, meningkatkan

kepercayaan diri

masyarakat pemo-

nitor.

Namun, yang ma-

sih menjadi ganjalan

adalah masalah per-

baikan sarana fisik

yang rusak. Seha-

rusnya perbaikan

tidak mengambil dari dana peme-

liharaan. Sebab, dana pemeliharaan

dipakai untuk sarana fisik yang sudah

selesai dengan kondisi baik.

Tanggal 27 Mei 2003, Bupati

Banjar berjanji membentuk tim

evaluasi untuk memantau

pelaksanaan Proyek CERD. Namun,

walau ditunggu-tunggu ternyata aksi

Bupati Banjar tidak ada. Pengaduan

kepada DPRD juga tidak berbuah

hasil yang jelas.(Zen)

MENGKAJI TUNTUTAN HUKUM

Melibatkan media massa,

seperti koran dan radio, menjadi

kebutuhan dalam upaya-upaya ad-

vokasi. Sejak kegiatan ini berawal

dari monitoring pada Pebruari 2003

lalu hingga akhir September lalu,

tak kurang 51 tulisan di 6 media

massa Kalsel dan Nasional yang

memuat kegiatan advokasi ini.

Belum lagi acara ‘talkshow’ di

radio-radio.

Melalui berita dan siaran inilah

informasi tentang pelaksanaan Pro-

yek CERD dapat diketahui masya-

rakat luas dan menuai du-kungan

dari berbagai pihak terhadap

pelaksanaan advokasi ini.(Zen)

BERJARINGAN

DENGAN

MEDIA MASSA

AKSI-AKSI ADVOKASI

Dok Y

DA

Dok YDA

Dok YDA

Page 14: advokasi No 13

Halaman 14

Buletin Petani ADVOKASI No. 13Oktober-Desember2003

Profil AksiProfil Aksi

Sebagai seorang pakar

dalam bidang

Bioteknologi, Hari Hartiko

banyak berhubungan dengan

tanaman. Inilah yang kemudian

mendekatkan dia dengan dunia

pertanian. Dia banyak berhubungan

dengan kalangan petani maupun

Ornop (Organisasi Non Pemerintah)

dan bersama dengan mereka turun

ke desa membuka wacana petani

tentang bioteknologi pertanian.

Selain itu, bidang studi yang

ditekuninya menyebabkan dia

menjadi ahli tentang rekayasa

genetika. Namun keahliannya

tersebut dimanfaatkannya untuk

membantu petani memahami

tentang rekayasa genetika.

Bersama dengan Yayasan Duta

Awam (YDA) Solo, Hari pernah

berkeliling desa di Eks Karesidenan

Surakarta untuk memberikan

pengertian tentang rekayasa

genetika. Diakuinya itu merupakan

salah satu bentuk tanggung jawab

keilmuannya. Hari Hartiko merasa

prihatin dengan adanya

penyimpangan tentang pemahaman

rekayasa genetika. Misal, rekayasa

tentang tanaman yang tidak akan

puso karena tahan terhadap

kekeringan. “Tahan terhadap

kekeringan ini kan persoalan air,

persoalan alam, bukan persoalan

rekayasa,” katanya. Dulu, kita

juga punya jenis tanaman yang

tahan terhadap kekeringan

misalnya, padi gogo. “Bagi

saya, saya punya tanggung

jawab sebagai pakar untuk

mengatakan yang sebenarnya,

kalau hijau ya saya bilang hijau

bukan merah,” tegasnya.

Berbincang masalah

pertanian, Hari Hartiko melihat

bahwa masalah utama

pertanian adalah petani

Indonesia rata-rata petani

kecil atau petani gurem

berlahan sempit kurang dari

2 hektar. “Masalah

pengolahan pasca panen,

dan dampak adanya

revolusi hijau, dan kepe-

milikan lahan yang

sempit

membuat

petani

Indonesia hanya berkutat pada

pertanian yang subsisten. Artinya,

pertanian yang hanya untuk

mencukupi kebutuhan pangan dan

belum bisa menjadi sebuah

agribisnis untuk mencari

keuntungan.”

Akibatnya, petani Indonesia

tidak mampu meningkatkan

kesejahteraannya. Petani juga

Hari Hartiko, merupakan salah satu dari

sedikit intelektual dan pakar tentang

Rekayasa Genetika yang punya

kepedulian pada petani. Sosok pria 66

tahun ini masih terlihat gagah. Ditemui di

Tanggung JawabTanggung JawabTanggung JawabTanggung JawabTanggung Jawab

Seorang IlmuwanSeorang IlmuwanSeorang IlmuwanSeorang IlmuwanSeorang Ilmuwan

sela-sela waktu mengajarnya di Universitas

Gajah Mada Yogyakarta – meski sudah pensiun,

namun tetap diminta untuk mengampu beberapa

mata kuliah – Hari bercerita banyak soal aktivitas

dan perhatiannya terhadap dunia pertanian.

Hari Hartiko gid

eon

Page 15: advokasi No 13

Halaman 15

Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003

Profil AksiProfil Aksicenderung untuk menjual hasil

mentah panennya. Penguasaan

teknologi pengelolaan pasca panen

belum banyak dimiliki petani. Oleh

karena itu, petani tidak bisa

meningkatkan posisi tawarnya dan

selalu diombang-ambingkan oleh

pasar. “Mengembangkan teknologi

menengah yang bisa dipakai untuk

mengolah hasil pertanian pasca

panen, bisa dijadikan sebuah

alternatif,” ujarnya.

Mengomentari revolusi hijau,

Hari yang punya perhatian terhadap

keanekaragaman hayati ini,

mengamati bahwa benih unggul

menghilangkan banyak benih lokal

dan menciptakan ketergantungan

terhadap input luar. Benih unggul ini

rakus terhadap input luar sehingga

petani dipaksa untuk selalu

membeli input tersebut. Tingginya

permintaan terhadap input luar dan

keterbatasan persediaan – sesuai

hukum permintaan penawaran –

mengakibatkan harga input tersebut

tinggi dan otomatis biaya usaha

tani menjadi tinggi. Sementara,

meningkatnya jumlah hasil panen

yang dihasilkan – sekali lagi sesuai

dengan hukum permintaan

penawaran – harga yang didapatkan

petani menjadi rendah. Sementara,

benih lokal, menurut Hari, memiliki

kelebihan karena sesuai dengan

kondisi lokal dan tidak banyak

meminta input luar - pupuk dan

pestisida – seperti benih dari luar

negeri.

Lantas, bagaimana petani mesti

menyikapi persoalan pasar? Hari

melihat bahwa sebenarnya

koperasi bisa dijadikan sebuah

alternatif bagi pengembangan

kesejahteraan petani. “Asal aspek

manajerialnya diperbaiki,”

tambahnya. Koperasi, seperti KUD,

dilihatnya belum muncul dari

kebutuhan para petani, namun lebih

muncul karena program

pemerintah. Semestinya koperasi

muncul karena kebutuhan petani

sehingga petani merasa memiliki.

Sementara itu, menyikapi

globalisasi, Hari melihat bahwa

globalisasi makin membuat petani

Indonesia tergantung dengan pihak

luar. Petani saat ini sudah biasa

dengan benih dari luar. “Mungkin

produktivitasnya lebih tinggi tapi

kesejahteraan petani tidak,”

katanya. Dengan globalisasi petani

Indonesia makin jatuh.

Hari Hartiko, yang

menyelesaikan pendidikannya di

Filipina ini merupakan salah satu

angggota Tim Perumus Rancangan

Undang-Undang Keamanan Pangan

dan Keamanan Hayati. Namun RUU

yang dirumuskannya bersama

dengan beberapa pakar ini sampai

sekarang tidak jelas nasibnya.

Perlindungan terhadap

keanekaragaman hayati sangat

diperlukan sehingga kelestariannya

bisa dijaga. Selama ini,

keanekaragaman hayati yang ada

di Indonesia ini sangat rawan untuk

disalahgunakan oleh pihak lain.

Itulah sebabnya Hari berusaha

untuk terus mendesakkan hal

tersebut. “Namun tampaknya belum

ada tanggapan yang memadai dari

Departemen Pertanian,” sesalnya.

Pemerintah selalu beralasan bahwa

RUU tersebut sedang dalam

persiapan.

Hari Hartiko banyak terlibat

dengan beberapa LSM (Lembaga

Swadaya Masyarakat) karena

punya pemikiran yang sama.

Bahkan ia sempat dibilang sebagai

provokator LSM. Namun baginya

itu merupakan bagian dari

tanggungjawabnya untuk

mengatakan kebenaran. Sampai

saat ini ia masih dipercaya

sebagai Dewan Penasehat

KONPHALINDO (Konsorsium

Nasional Pelestarian Hutan dan

Alam Indonesia) sebuah organisasi

non pemerintah yang bergerak

dalam bidang keragaman hayati.

Hari Hartiko yang telah pensiun

sejak tahun 2001 ini kini lebih

banyak punya waktu bagi cucu-

cucunya dan juga hobinya. Meski

demikian ia tidak mau tinggal diam.

Berbagai aktivitas masih

dijalankannya bahkan masih

membimbing beberapa mahasiswa

S2 di kampusnya.(Gideon)

Hari Hartiko bersama YDA berkeliling desa untuk mensosialisasikan

“apa itu” tanaman Rekayasa Genetika?!

Dok

YD

A

Page 16: advokasi No 13

Halaman 16

Buletin Petani ADVOKASI No. 13Oktober-Desember2003

BeroBero

berhadiah!&&Santai &

Gambar di sebelah ini adalah gambar

kelelawar yang sedang menikmati buah (masih

putik sudah disikat tuh) milik petani.

Terinspirasi dari sebuah film perang, Seorang staf

YDA pernah memiliki pengalaman sbb:

Dengan menggantungkan potongan-potongan

kecil alumunium dari kaleng bekas minuman ringan

di pohon buah, ternyata kelelawar yang kerap

mengganggu menjadi sulit mendekati pohon.

Bahkan beberapa kelelawar jatuh karena

menabrak tembok rumah di dekat pohon.

KUPONSantai dan Berhadiah

Edisi 13

Pertanyaan: Mengapa kelelawar tsb kehilangan

kendali terbang, saat mendekati pohon buah yang

dipasangi gantungan lempengan alumunium?

(pilih jawaban yang benar)

Pemenang kuis nomor 11

Juni PA

Wates timur Rt 04/II Bade-Klego-

Boyolali 57385

Eko Istiyanto

LPTP Jl. Nuri no. 8/11 Sambeng,

Mangkubumen Solo

Prawito

Kelompok Mitra Tani

Desa Harapan Jaya

Kec. Tempuling-Indragiri Hilir-Riau

Kejadian ini terjadi di suatu hari

di sebuah acara persiapan

seminar, yang diselenggara-

kan di sebuah tempat pertemuan

sekaligus penginapan yang disewa

panitia.

Nah, acara akan segera segera

dimulai pukul 19.00 pas, tapi kok

peserta belum pada nongol?.

Entah karena lelah setelah

seharian berdiskusi atau karena asyik

ngobrol di kamar masing-masing,

petani (peserta) tidak segera datang

ke tempat diskusi.

Adalah seorang panitia bernama

Beki (bukan nama sebenarnya, walau

pun dia minta dengan sangat agar

ditulis nama lengkap), akhirnya

memutuskan untuk memanggil peserta

lewat telepon yang tersedia di masing-

masing kamar.

Dari pesawat telepon yang ada di

ruang panitia, mulailah dia ngontak

peserta, kamar per kamar.

Entah karena terlalu semangat

atau memang tidak terlalu perhatian

dengan nomor kamar yang dituju,

Beki pun menelpon sebuah kamar...,

Dan tanpa basa basi, Beki langsung

menerocos ngalor ngidul dengan

debit suara penuh, ibarat senjata

ototmatis yang sedang memuntahkan

pelurunya tanpa henti. “Bla, bla

bla...Ayo cepat ke ruang pertemuan,

seminar mau mulai!...nanti terlambat

bla..bla...dst,” cerocosnya.

Sesaat si penerima telepon

memang tidak menjawab omongan

Beki itu (mungkin karena heran atau

karena kaget dengan ucapan Beki

yang super cepat itu).

Di sela-sela Beki ngomong, tiba-

tiba si penerima telepon bersuara,

“What? What? What you say (Apa?

Apa? Apa yang kamu katakan-red)’”

dengan suara tinggi pula.

Menyadari bahwa si penerima

telepon tersebut ternyata seorang

tamu asing (non-peserta seminar)

yang juga menginap di tempat yang

dijadikan pertemuan itu, Beki segera

menjawab “Oh, I’m sorry, Sir (Oh maaf

tuan-red)”. Dengan wajah malu dan

terlihat cengar-cengir akhirnya Beki

menutup telepon.

“Makanya.......kalau telepon harus

memakai SISDUR (Sistem dan

Prosedur) dan etika bertelepon,

jangan asal nyerocos kayak gitu,”

timpal seorang teman yang duduk di

sebelahnya.(Eko)

Makanya....Jangan Asal Nyerocos.......

Kirim jawaban anda melalui

surat pos/kartu pos ke:

Redaksi Buletin PetaniADVOKASI

Yayasan Duta Awam,

Jl. Adisucipto 184 i Solo

Hadiah

KAOS KASUALmenanti Anda

yang beruntung

(diumumkan 2 nomor mendatang)

Kelelawar silau dengan potongan

alumunium.

Sistem radar yang menjadi indera

kelelawar terganggu.

Alumunium melukai kelelawar.

A.

B.

C.

Kuilu

medi

Page 17: advokasi No 13

Halaman 17

Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003

Sub-Dolog Banyumas Jawa

Tengah, akan mendatangkan

beras eks impor dari Thailand yang

masih tersimpan di gudang Bulog

Jakarta. Hal ini sangat mengherankan

karena daerah ini sedang surplus

beras.

“Itu sama saja menyembelih

ribuan petani di Banyumas dan seki-

tarnya,” kata Wasitah Yusuf, anggota

Komisi B (Perekonomian) DPRD

Banyumas.

Dia menyayangkan langkah yang

merugikan petani itu. Dulu Dolog

selalu meyatakan persediaan gabah

aman dan mencukupi di Banyumas,

tapi ternyata sekarang malah kurang.

Padahal salah satu fungsi Dolog

adalah menstabilkan harga gabah dan

beras, seharusnya Dolog membeli

gabah petani dengan harga sesuai,

bukannya impor.

Surplus Tetap Impor

Kepala Dinas Pertanian dan

Tanaman Pangan Banyumas Ir. Djoko

Wikanto mengemukakan berdasar

analisis , produksi gabah petani tahun

ini di Banyumas sebenarnya cukup

hingga lima bulan ke depan. Namun

Dispertan tidak memantau soal

distribusi dan pemasaran. Dia

menjelaskan persediaan beras

Tahun 2003, 122.399 ton. Sedang

kebutuhan Januari-Juni 42.786 ton.

Jadi ada surplus 79.612 ton. (Suara

Merdeka 6/9 2003)

Pemerintah TidakSerius di Sektor

Pertanian

Keberpihakan pemerintah petani

tidak total mengakibatkan

Indonesia mengalami ketergantungan

pada luar negeri. Hal ini dikatakan

pengusaha nasional, Prabowo

Subianto Djoyo Hadikusumo.

“Kebijakan pertanian dan sektor

pangan nasional saat ini dalam

kondisi memprihatinkan” kata dia,

Minggu 21/9.

Menurut Prabowo kebijakan

pemerintah belum diarahkan untuk

mengurangi ketergantungan pangan.

Maka tidak aneh jika dari tahun ke

tahun pertumbuhan impor komoditas

pertanian terus meningkat.

“Indonesia tiap tahun mengimpor

beras 3,5 juta ton, jagung 2,8 juta ton,

kacang tanah 1 juta ton, kacang hijau

0,23 juta ton ,1 juta ton gaplek,1,6

juta ton gula dan satu juta ton garam.

Demikian juga ketika petani panen,

pemerintah justru mengijinkan

masuknya beras impor”.

Hal itu seolah menggambarkan

bahwa produk yang diimpor itu tidak

ada dan tidak bisa dikembangkan di

Indonesia. (Kompas 23/9 2003)

Ilegal, Separuh

Beras Impor

Globalisasi ekonomi, dengan

manutnya pemerintah pada

WTO, terbukti tidak menyehatkan

perda-gangan. Malahan menimbulkan

maraknya aksi kriminalitas ekonomi,

yaitu penyelundupan.

Berdasar data dari The Rice Trader

(lembaga penyedia informasi

perdagangan beras dunia yang

bermarkas di Bangkok) dari negara –

negara eksportir beras, menunjukkan

sedikitnya separuh dari beras yang

diimpor tiap tahun merupakan beras

ilegal. Bahkan tahun 2002 terdapat

impor ilegal 900.000 ton.

Untuk menanggapi semakin

merajalelanya penyelundupan beras

yang sudah dimulai sejak tahun 2000,

Pemerintah tampaknya tidak bisa

berbuat banyak.(med/Kompas 14

Agustus 2003)

Impor Beras = Sembelih Petani

Repro SM

Halaman 17

Petani di Jawa Tengah dan pihak yang peduli dengan hak rakyat atas air menggelar unjuk rasa menolak privatisasi air ke

Gedung DPRD Jateng, Jumat 19/9/2003. Mereka menuntut pemerintah mengembalikan air sebagai barang sosial untuk

kehidupaan dan kesehatan warga negara. Mereka membentangkan poster antara lain, “Stop Perdagangan Air”, “Air Adalah

Barang Langka” dan “Stop Pembahasan RUU Air”.

Pada intinya, mereka menolak privatisasi air, Pembahasan RUU Sumber Daya Air oleh DPR RI untuk pengganti UU No

11/1974 tentang pengairan harus dihentikan. Pembuatan UU yang dibiayai (utang) Bank Dunia ini, akan menjadikan air dapat

dikuasai pihak yang memiliki uang saja. (Suara Merdeka 20/9 2003)

Berita TaniBerita Tani

Page 18: advokasi No 13

Halaman 18

Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003

Info TaniInfo Tani

Pemasok pangan (beras &

sayuran organik non-pestisida

kimia), di wilayah Solo, Yogya dan

Semarang, mencari beras organik

dari petani (varietas Pandan

Wangi lebih disukai). Jika Anda

mampu menyediakan rutin, hubu-

ngi dan kirimkan contoh produk

ke: Ibu Rini Aditya, Jl. Sri Gunting

VIII/26 A Manahan, Solo. Telp

0271-728626 Fax 0271-721869

Dicari...

Beras Organik

EkoDicari... Dicari...

Puasamenahandiri

mensucikan jiwadan

jalan taqarubagar lebih mendekat

kepadacintaNya

Idul Fitridamai

hablu min Allah wahablu min annas

proses menyiapkan diriuntuk dapat

menjadi rahmad fil alam

DenganNatal

kita belajardari sebuah

totalitas cintadengan Natalkita melebur

dalamjuang menuju damai

mengetuk pinturumah cintaNya

Tahun barukita sambut dengan

semangat advokasi damai

Redaksi Advokasi mengucapkan

TIDAK SEORANGPUN DAPATBERKATA

“PESTISIDA AMAN”

Pestisida meracuni lebihbanyak dari yang kita duga

Segera terbit

Buku pengalaman bisnis pertanianberdasar fakta

Bagaimana MemulaiKONTRAK

KERJASAMAAGRIBISNIS

yang menjaminhak-hak petani?

Page 19: advokasi No 13

Halaman 19

Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003

ResepKitaResep Kita

Bahan :

1. Untuk Serangan Serangga – Walang

a. ½ ons tembakau

b. 1 tongkol buah mahoni

c. 1 kolong tangan (1 ons) daun sambiloto segar/mimba

d. Gadung sebesar kepalan

e. 2 liter air

Cara Pembuatan :

Bahan-bahan dihaluskan/cacah lalu diaduk dengan air. Setelah itu

direbus sampai mendidih dan dinginkan lalu disaring. Masukkan

dalam jerigen, buka sebentar dan tutup lagi kira-kira 7-10 hari, siap

dipakai

Dosis : +

Tiap 14 liter air/ 1 tangki diisi kurang lebih 50-70 cc ramuan

2. Untuk Serangan Hama Sundep dan Wereng

a. 5 lembar daun sirsak segar

b. 2 ons bawang putih

c. 5 ons seledri

d. ½ ons tembakau

e. 1 liter air

Cara pembuatan dan dosis sama dengan di atas

Penghalau HamaOrganik

Redaksi menerima tulisan Resep Kita daripembaca. Tulisan bisa berupa resep untukpertanian/peternakan maupun kesehatanmanusia yang menggunakan bahan alami,mudah didapat dan/atau teruji turun-temurun.

Kiriman

Suradi

Mulworeja Rt 03/06 Kamal, Bulu,

Sukohatjo Jawa Tengah

3. Untuk Serangan Hama Wereng

a. 2 ons jahe segar

b. 2 ons laos segar

c. 2 ons temuireng

d. 2 ons kunir

e. 1 ons kencur

f. 5 ons daun mimbo

g. 1 liter air

Cara pembuatan dan

4. Untuk Serangan Hama Tikus

a. ¾ ons buah mahoni

b. ¾ ons kg daun sambiloto

c. ¾ kg daun cengkeh

d. ¼ belerang

e. 1 liter air

Cara pembuatan dan dosis sama dengan di atas

dengandosis

sama atas

di

Kuilu

Page 20: advokasi No 13