adm pembangunan
-
Upload
juan-closer-silaen -
Category
Documents
-
view
307 -
download
5
Embed Size (px)
Transcript of adm pembangunan

PENGARUH KONFIGURASI POLITIK TERHADAP KARAKTER PRODUK HUKUM
(Suatu Telaah dalam Perkembangan Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia)
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Hukum pada Program Pascasarjana S2 Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret Dosen pengampu : Prof. Dr. Adi Sulistiyono, S.H., M.H.
Disusun oleh :
Djatmiko Anom Husodo
NIM : S310409008
Program Pascasarjana S2 Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret
2 0 0 9

2
Judul : PENGARUH KONFIGURASI POLITIK TERHADAP
KARAKTER PRODUK HUKUM (Suatu Telaah dalam
Perkembangan Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia)
A. Pendahuluan
Di kalangan ahli hukum dewasa ini berkembang dua pendapat tentang
hubungan sebab akibat antara politik dan hukum. Pandangan yang pertama adalah
Kaum Idialis, yang cenderung berpandangan dari sudut das sollen. Pandangan ini
mengacu pada pendapat Roscue Pound1 yang menyatakan bahwa ”law as a tool of
social enginering”. Pendapatnya menyatakan bahwa hukum harus mampu
mengendalikan dan merekayasa perkembangan masyarakat, termasuk di dalamnya
adalah kehidupan politiknya. Wajar jika secara idologis mereka meletakkan
hukum sebagai pemandu dan penentu arah perjalanan masyarakat, karena
memang pada dasarnya hukum difungsikan untuk menjamin ketertiban dan
melindungi kepentingan masyarakatnya. Pandangan yang kedua mengacu pada
pandangan Von Savigny yang menyatakan bahwa hukum selalu berkembang
sesuai dengan perkembangan masyarakatnya, hukum tumbuh dan mati bersama
masyarakatnya.2 Hal ini didasarkan keyakinan bahwa pada dasarnya hukum
merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat. Artinya adalah bahwa
hukum harus menjadi dependent variable atas keadaan luarnya, salah satunya
adalah politik. Dalam bahasa lain dapat dinyatakan bahwa hukum adalah produk
politik.
Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa kalau kita melihat hubungan antara
subsistem politik dengan subsistem hukum, akan tampak bahwa politik memiliki
konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi
yang lemah3. Mencerna pernyataan ini maka akan ditangkap suatu perspektif
1 Roscoe Pound dalam Soerjono Soekanto, 1985, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, Hal. : 30. 2 Soerjono Soekanto, 1985, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, Hal. : 9 3 Satjipto Rahardjo, 1985, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung, Sinar Baru, Hal : 71.

3
bahwa dalam kenyataan empirik, politik sangat menentukan bekerjanya hukum.
Pengaruh politik dalam berhukum, berarti berlaku juga pada penegakan
hukumnya, karakteristik produk-produk hukum, serta proses pembuatannya. Hal
di atas dapat dilihat dalam fakta berhukum sepanjang sejarah Indonesia,
pelaksanaan fungsi dan penegakkan hukum tidak selalu berjalan seiring dengan
perkembangan strukturnya. Hal ini akan tampak jelas jika ukuran pembangunan
hukum di Indonesia adalah unifikasi dan kodifikasi hukum, maka pembangunan
struktur hukum telah berjalan dengan baik dan stabil. Karena dari waktu ke waktu
produktifitas perundang-undangan mengalami peningkatan. Namun dari sisi yang
lain, dari segi fungsi hukum telah terjadi kemerosotan.4
Struktur hukum dapat berkembang dalam kondisi konfigurasi politik
apapun dengan ditandai keberhasilan pembuatan kodifikasi dan unifikasi hukum
sebagaimana tampak dalam Program Legislasi Nasional. Tetapi pelaksanaan
fungsi atau penegakan fungsi hukum cenderung menjadi lemah. Sekalipun produk
hukum yang dihasilkan jumlahnya secara kuantitatif meningkat, tetapi substansi
dan fungsi hukumnyapun tidak selalu meningkat atau sesuai dengan aspirasi
masyarakat. Hal ini terjadi ketidak sinkronan antara struktur hukum dengan fungsi
hukum sebagaimana disebut di atas disebabkan oleh karena intervensi atau
gangguan dari tindakan-tindakan politik. Hukum kadang tidak (dapat) ditegakkan
karena adanya intervensi kekuasaan politik.
Pengaturan tata pemerintahan daerah di Indonesia, ada seiring dengan
berdirinya Negara Kesatuan R.I. Bahkan jika ditarik ke belakang, sejak
pemerintahan Hindia Belandapun sudah ada. Dalam rentang waktu demikian,
telah terjadi beberapa kali perubahan seiring dengan perubahan UUD dan/atau
perubahan sistem politik. Tulisan ini bermaksud untuk mengidentifikasi korelasi
causalitas antara subsistem politik dan subsistem hukum. Yaitu bagaimana
konfigurasi politik mempengaruhi karakter produk hukum pemerintahan daerah di
4 Arbi Sanit, Politik sebagai Sumberdaya Hukum, Telaan Mengenai Dampak Tingkah Laku Politik Elit dan Massa terhadap Kekuatan Hukum di Indonesia, dalam Artidjo Alkostar dan M. Sholeh Amin (ed.), Pembangunan Hukum dalam Perspektif Nasional (LBH Yogyakarta dan Rajawali Jakarta, 1986, hal : 39-85)

4
Indonesia, dikaitkan dengan pandangan teori hukum responsif yang dikemukakan
oleh Phillip Nonet dan Philip Selznick.
Oleh karena itu permasalahan dalam makalah ini dapat dirumuskan
sebagai berikut ;
Apakah konfigurasi politik mempengaruhi karakter produk hukum pemerintahan
daerah di Indonesia ?
B. Pembahasan
Tulisan ini didasarkan pada asumsi bahwa ”hukum adalah produk politik”.
Konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter produk hukum tertentu.
Variabel ”konfigurasi politik” ditempatkan sebagai variabel bebas (independent),
dan variabel ”karakter produk hukum” sebagai variabel terpengaruh (dependent).
Variabel konfigurasi politik menunjuk pada bentuk konfigurasi sistem politik
yang demokratis dan/atau konfigurasi sistem politik yang tidak demokratis
(otoriter). Sedangkan variabel karakter produk hukum, mengacu pada konsepsi
Nonet dan Selznick yang merujuk pada produk hukum yang berkarakter responsif
atau otonom, dan karakter produk hukum yang represif, ortodoks, konservatif atau
menindas.
Secara operasioal, pendikotomian hipotesis tersebut dimaksudkan untuk
menyatakan bahwa ”konfigurasi politik yang demokratis akan menghasilkan
produk hukum yang berkarakter responsif atau otonom. Sedangkan konfigurasi
politik yang otoriter akan menghasilkan produk hukum yang berkarakter ortodoks
atau konservatif atau menindas”. Untuk menjelaskan lebih lanjut dapat digambar-
kan sebagai berikut :
Konfigurasi Politik Karakter Produk Hukum
Demokratis Responsif/Otonom
Otoriter Represif/Konservatif/ Ortodoks

5
Konsep konfigurasi politik demokratis dan/atau konsep otoriter ditentukan
berdasarkan tiga indikator, yaitu sistem kepartaian dan peranan lembaga
perwakilan rakyat atau parlemen, dominasi peranan eksekutif, dan kebebasan
pers. Sedangkan konsep hukum responsif/otonom diidentifikasi berdasarkan
proses pembuatan hukum, pemberian fungsi hukum, dan kewenangan menafsir-
kan hukum. Untuk selanjutnya pengertian secara konseptual dirumuskan sebagai
berikut:
a. Konfigurasi politik demokratis adalah konfigurasi yang membuka ruang
bagi partisipasi masyarakat untuk terlibat secara maksimal dalam
menentukan kebijakan negara. Konfigurasi politik demikian menempatkan
pemerintah lebih berperan sebagai organisasi yang harus melaksanakan
kehendak masyarakatnya, yang dirumuskan secara demokratis. Oleh
karena itu badan perwakilan rakyat dan partai politik berfungsi secara
proporsional dan lebih menentukan dalam pembuatan kebijakan negara.
Pers terlibat dalam menjalankan fungsinya dengan bebas tanpa ancaman
pembreidelan atau tindakan kriminalisasi lainnya.
b. Konfigurasi politik otoriter adalah konfigurasi politik yang menempatkan
pemerintah pada posisi yang sangat dominan dengan sifat yang interven-
sionis dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara, sehingga
potensi dan aspirasi masyarakat tidak teragregasi dan terartikulasi secara
proporsional. Bahkan, dengan peran pemerintah yang sangat dominan,
badan perwakilan rakyat dan partai politik tidak berfungsi dengan baik dan
lebih merupakan alat untuk justifikasi (rubber stamp) atas kehendak
pemerintah, sedangkan pers tidak memiliki kebebasan dan senantiasa
berada di bawah kontrol pemerintah dalam bayang-banyang pembreidelan.
c. Produk hukum responsif atau otonom adalah karakter produk hukum yang
mencerminkan pemenuhan atas aspirasi masyarakat, baik individu maupun
berbagai kelompok sosial, sehingga secara relatif lebih mampu
mencerminkan rasa keadilan di dalam masyarakat. Proses normatifi-
kasinya mengundang secara terbuka partisipasi dan aspirasi masyarakat.
Lembaga peradilan dan peraturan hukum berfungsi sebagai instrumen

6
pelaksana bagi kehendak masyarakat, sedangkan rumusannya biasanya
cukup diperinci sehingga tidak terlalu terbuka untuk ditafsirkan dan
diinterpretasikan berdasarkan kehendak dan visi penguasa/pemerintah
secara sewenang-wenang.
d. Produk hukum konservatif atau ortodoks adalah karakter produk hukum
yang mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan negara yang sangat
dominan, sehingga dalam proses pembuatannya tidak akomodatif terhadap
partisipasi dan aspiasi masyarakat secara sungguh-sungguh. Prosedur
pembuatan yang dilakukan biasanya hanya bersifat formalitas. Di dalam
produk hukum yang demikian, biasanya hukum berjalan dengan sifat
positivis instrumentalis atau sekedar menjadi alat justifikasi bagi
pelaksanaan ideologi dan program pemerintah. Rumusan materi hukumnya
biasanya bersifat pokok-pokok saja sehingga dapat penguasa negara dapat
menginterpretasikan menurut visi dan kehendaknya sendiri dengan
berbagai peraturan pelaksanaan.
1. Tinjauan Teori Hukum Responsif Phillip Nonet dan Philip Selznick
Kontek lahirnya teori ini dilatarbelakangi dengan munculnya masalah-
masalah sosial seperti protes sosial, kemiskinan, kejahatan, pencemaran
lingkungan, kerusuhan kaum urban, dan penyalahgunaan kekuasaan oleh
pemerintah yang melanda Amerika Serikat pada tahun 1950-an. Hukum yang
ada dan digunakan pada saat itu ternyata tidak cukup mengatasi keadaan
tersebut. Padahal, hukum dituntut untuk bisa memecahkan dan memberikan
solusi atas persoalan-persoalan tersebut. Nonet dan Selznick berpikir dan
berupaya untuk menemukan jalan menuju perubahan supaya hukum bisa
mengatasi persoalan-persoalan itu.
Selama itu, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat
kaku dan terlalu menekankan pada aspek the legal system tanpa melihat kaitan
antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan yang harus ditangani,
seperti dalam hal ini adalah masalah-masalah sosial. Hukum identik dengan
ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, di sisi lain ada juga

7
pemahaman mengenai hukum yang lebih menekankan pada aspek legitimasi
dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya teori hukum hendak-
nya tidak buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak kebal terhadap pengaruh
sosial. Hukum tidak berada di ruang hampa, tetapi ada bersama-sama dengan
ilmu yang lain, sehingga bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Memahami kenyataan itu, Nonet dan Selznick kemudian mencoba
memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial ke dalam ilmu hukum
dengan menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu sosial yang
harus diperhatikan untuk bekerjanya hukum secara keseluruhan sehingga
hukum tidak hanya mengandung unsur pemaksaan dan penindasan semata.
Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai sesuatu
yang berubah-ubah dan kontekstual, sesuai dengan kondisi sosial masyarakat
yang melingkupinya.
Sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan
Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat,
yaitu: hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum
sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi
integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari
berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif).
Untuk mengidentifikasi lebih lanjut digambarkan sebagai berikut:
Hukum Represif Hukum Otonom Hukum Responsif
Tujuan hukum Ketertiban Legitimasi Kompetensi
Legitimasi Ketahanan sosial dan
tujuan negara
Keadilan prosedural Keadilan substantif
Peraturan Keras dan rinci, namun
berlaku lemah terhadap
pembuatan hukum
Luas dan rinci, mengikat
penguasa maupun yang
dikuasai
Subordinat dari prinsip
dan kebijakan
Pertimbangan Ad hoc, memudahkan
mencapai tujuan dan
bersifat partikuler
Sangat melekat pada
otoritas legal, rentan
terhadap formalisme dan
legalisme
Purposif (berorientasi
pada tujuan), perluasan
kompetensi kognitif

8
Diskresi Sangat luas, oportunistik Dibatasi oleh peraturan,
delegasi yang sempit
Luas, tetapi tetap sesuai
dengan tujuan
Paksaan Ekstensif, dibatasi secara
lemah
Dikontrol oleh batasan-
batasan hukum
Pencarian positif bagi
berbagai alternatif, spt.
insentif, sistem kewaji-
ban yang mampu
bertahan
Moralitas Moralitas komunal,
moralitas hukum,
moralitas pembatasan
Moralitas kelembagaan,
yaitu dipenuhi dengan
integritas proses hukum
Moralitas sipil,
moralitas kerjasama
Politik Hukum subordinat terha-
dap politik kekuasaan
Hukum ”independen”
dari politik, pemisahan
kekuasaan
Terintegrasinya aspirasi
hukum dan politik,
keberpaduan kekuasaan
Harapan akan
ketaatan
Tanpa syarat, ketidak-
taatan per se dihukum
sebagai pembangkang
Penyimpangan peraturan
yang dibenarkan, mis:
unt. Menguji UU atau
perintah
Pembangkangan dilihat
dlm aspek bahaya
substantif, dipandang
sbg gugatan legitimasi
Partisipasi Pasif, kritik dipandang sbg
ketidaksetiaan
Akses dibatasi prosedur
baku, munculnya kritik
atas hukum
Akses diperbesar dgn
integrasi advokasi
hukum dan sosial
Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan
responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda, tetapi dalam
beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan
hukum dengan tertib sosial dan tertib politik masyarakat. Keduanya selanjut-
nya menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan
(developmental model). Untuk menjelaskan perkembangan evolutif tersebut,
menurut pandangan penulis tahapan ini dapat disandarkan pada momentum-
momentum sosial politik yang penting dalam perjalanan sejarah suatu negara,
yang membingkai secara kontekstual terhadap muncul dan berlakunya suatu
peraturan hukum dalam masyarakat.
Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen
bahwa hanya tahapan III (hukum responsif) yang menjanjikan tertib kelem-
bagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan dapat disusun ulang
dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik

9
pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya resiko kembalinya pola-
pola represif namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih
maju.
Hukum responsif berorientasi pada hasil, yaitu pada tujuan-tujuan yang
akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinego-
siasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi atau dipaksakan. Ciri khas
hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam
peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka
menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai
interpretasi yang baku dan tidak fleksibel.
Apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Selznick, menurut Prof. Satjipto
Rahardjo, sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analytical
jurisprudence di satu pihak dan sociological jurisprudence di lain pihak.
Analytical jurisprudence berkutat di dalam sistem hukum positif dan ini dekat
dengan tipe hukum otonom sebagaimana diungkapkan Nonet. Baik aliran
analitis maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi
hukum yang bersifat final dan tak dapat diganggu gugat. Teori hukum
responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini
berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan.
Hukum tidak hanya rules (logic & rules), tetapi juga ada logika-logika
yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi
penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini
merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan
hukum untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang
kaku dan analitis.
Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya
bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi
semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok
masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan
atau kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum tersebut bukan
kehendak dari penguasa untuk sekedar melegitimasikan kekuasaannya.

10
2. Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Karakter Produk Hukum, Telaah
dalam Perkembangan Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia.
Dinamika pengaruh konfigurasi politik yang demokratis dan/atau
otoriter telah terjadi sepanjang sejarah Republik Indonesia. Dinamika tarik
menarik antara sistem politik yang demokratis dan otoriter secara bergantian
muncul dan tenggelam dengan kecenderungan yang tampak dalam periodesasi
sejarah. Seiring dengan dinamika tersebut, perkembangan karakter produk
hukum menunjukkan keterpengaruhannya dengan terjadinya pola tolak tarik
antara produk hukum yang berkarakter responsif dan produk hukum yang
berkarakter konservatif.
Sesuai dengan gagasan akan tahapan evolusi dalam teori hukum
responsif sebagai model perkembangan (developmental model), maka untuk
membuktikan hipotesa di atas, tulisan ini menganalisis data secara kualitatif
dan normatif dengan membuat klasifikasi sejarah perkembangan politik dan
konstitusi di Indonesia dalam periodesasi keberlakukan konstitusi di
Indonesia, yang dikaitkan dengan momentum-momentum politik besar yang
secara mendasar berpengaruh pada sistem politik negara. Secara rinci
pembagian tahapan dinyatakan sebagai berikut :
a. Periode I adalah antara tahun 1945 – 1959 yang di dalamnya berlaku tiga
konstitusi, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUD Sementara
1950 yang dikenal sebagai masa Revolusi atau Demokrasi Liberal.
b. Periode II adalah antara tahun 1959 – 1966, yaitu berlakunya kembali
UUD 1945 pada masa Orde Lama yang juga dikenal dengan masa
Demokrasi Terpimpin.
c. Periode III adalah antara tahun 1966 – 1998, yaitu berlakunya UUD 1945
pada masa Orde Baru.
d. Periode IV adalah pada tahun 1998 – sekarang, yaitu dengan ditandai
dengan berlakunya UUD 1945 setelah amandemen, atau selanjutnya
dikenal dengan Orde Reformasi.
Sekalipun bahwa dalam semua konstitusi yang pernah berlaku di
Indonesia menjadikan demokrasi sebagai sistem politik yang dianut secara

11
formil, tetapi tidak semua konstitusi tersebut dalam keberlakuan pada masanya
tidak mampu melahirkan konfigurasi politik yang secara empirik demokratis.
Artinya sekalipun sebuah konstitusi yang dengan jelas menganut paham
demokrasi, tetapi dalam prakteknya dapat melahirkan konfigurasi politik yang
otoriter. Bahkan dapat terjadi dalam satu konstitusi yang sama dapat lahir
konfigurasi politik yang berbeda. Hal ini sebagaimana terjadi dalam masa
pelaksanaan UUD 1945 pada tahun 1945 – 1949, tahun 1959 – 1966, dan
tahun 1966 – 1998 telah melahirkan konfigurasi politik yang berbeda-beda.
Berikut ini kita lihat bagaimana konfigurasi politik berdasarkan
periodesasi di atas berpengaruh terhadap karakter produk hukum atau
perundang-undangan di bidang pemerintahan daerah di Indonesia.
a. Periode 1945 - 1959
1) Konfigurasi Politik
Pada masa ini dikenal sebagai masa liberal. Ditandai dengan
praktik sistem politik yang demokrasi dengan sistem pemerintahan
parlementer, dinamika politik pemerintahan negara Indonesia
mengalami keberlakuan tiga kostitusi yang berbeda. Ketiga konstitusi
tersebut adalah UUD 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat
(RIS), dan UUD Sementara 1950.
Pada periode ini, konfigurasi politik yang muncul adalah
konfigurasi politik yang demokratis. Melalui Maklumat Pemerintah
tanggal 3 November 1945, pemerintah mengumumkan5 :
a) Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena
dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang
teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat;
b) Pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah tersusun
sebelum dilangsungkan pemilihan anggota Badan-badan
Perwakilan Rakyat.
Hal itu mendorong semangat para pejuang untuk berpolitik
dengan munculnya beberapa partai politik, selain partai politik yang
5 Bintan Regen saragih, Politik Hukum, Bandung: CV Utomo. 2006, hal : 56-57.

12
sebelum kemerdekaan juga sudah ada. Kehidupan politik yang sangat
dinamis dan penuh semangat demokrasi waktu itu dikenal dengan
demokrasi liberal6. Sejak itu maka berdirilah sejumlah partai politik,
antara lain Partai Komunis Indonesia (PKI), Majelis Syuro Muslimin
Indonesia (Masyumi), Partai Buruh Indonesia (PBI), Partai Jelata,
Partai Kristen Indonesia (PARKINDO), Partai Sosialis Indonesia
(PSI), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Partai Indoensia Raya
(PIR), Nahdatul Ulama (NU), dll.
Konfigurasi politik demokrasi liberal ini ditandai dengan
eksistensi partai-partai politik yang berperan sangat dominan dalam
proses perumusan kebijakan negara melalui wadah konstitusionalnya
(parlemen)7. Partai-partai tersebut berperan penting dalam KNIP, DPR
RIS, DPR Sementara sebagai lembaga parlemen pada waktu itu.
Sekalipun mengalami kesurutan pada masa RIS, karena
kekuasaannegara terbagi antara pusat dan negara bagian, namun pada
masa berlakunya UUDS 1950 peranan partai poloitik sangat kuat.
Begitu kuatnya peranan partai politik membuat pemerintahan dikenal
dengan pemerintahan partai politik. Pemerintahan jatuh bangun karena
dinamika politik partai yang sangat kuat, namun tidak ada satu partai
yang dominan. Seiring dengan hal itu lembaga eksekutif berada pada
posisi yang kalah kuat dibandingkan dengan partai-partai politik
sehingga pemerintahan seringkali jatuh bangun dan keadaan politik
berjalan secara tidak stabil.8 Masa ini ditandai dengan jatuh bangunnya
pemerintahan, sehingga disebut masa jatuh bangunya kabinet.
Beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno,
dari kota sampai ke pelosok telah terjadi perebutan kekuasaan dalam
berbagai bidang, termasuk pers. Yang direbut terutama adalah 6 T. Moeljarto, Beberapa Pokok Pikiran tentang Sistem Kepartaian di Indonesia, Yogyakarta : Seksi Penerbitan Fakultas Sospol UGM, 1968, hal : 7 7 Yahya Muhaimin, Bisnis dan Politik : Kebijaksanaan Ekonomi Ekonomi Indonesia 1950 – 1980, terj. Hasan Basari dan Muladi Sugiono, Jakarta : LP3ES, 1990, hal. 43. 8 Moeljarto, op. cit. hal : 7

13
peralatan percetakan. Perebutan kekuasan semacam ini telah terjadi di
perusahaan koran milik Jepang yakni Soeara Asia (Surabaya), Tjahaja
(Bandung) dan Sinar Baroe (Semarang). Dan pada tanggal 19 Agustus
1945 koran-koran tersebut telah terbit dengan mengutamakan berita
sekitar Indonesia Merdeka. Dalam koran-koran Siaran Istimewa itu
telah dimuat secara mencolok teks proklamasi. Kemudian beberapa
berita penting seperti "Maklumat Kepada Seluruh Rakyat Indonesia",
"Republik Indonesia Sudah Berdiri", "Pernyataan Indonesia Merdeka",
"Kata Pembukaan Undang-Undang Dasar", dan lagu "Indonesia Raya".
Di bulan September sampai akhir tahun 1945, kondisi pers RI
semakin kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya Soeara Merdeka
(Bandung) dan Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent,
Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free
Indonesia. Di masa itulah koran dipakai alat untuk mempropagan-
dakan kemerdekaan Indonesia. Sekalipun masih mendapat ancaman
dari tentara Jepang, namun dengan penuh keberanian mereka tetap
menjalankan tugasnya. Dalam masa klas pertama di tahun 1947, pers
kita terbagi dua. Golongan pertama tetap bertugas di kota yang
diduduki Belanda. Dan golongan kedua telah mengungsi ke pedalaman
yang dikuasai RI. Sekalipun aktif di wilayah musuh, yang selalu
dibayangi ancaman pemberedelan dan bersaing dengan koran Belanda,
golongan pertama tetap menerbitkan koran yang berhaluan
Republikein. Yang terkenal di masa itu antara lain Merdeka, Waspada,
dan Mimbar Umum. Demikian pula yang bergerilya ke pedalaman,
dengan peralatan dan bahan seadanya, koran mereka senantiasa
menjaga agar jiwa revolusi tetap menyala. Di masa itu telah beredar
koran kaum gerilya, yakni Suara Rakjat, Api Rakjat, Patriot, Penghela
Rakjat, dan Menara. Koran-koran ini dicetak di atas kertas merang
atau stensil dengan perwajahan yang sangat sederhana.9
9 Lihat Hill, David T., The Press in New Order Indonesia, University of Western Australia Press / Asia Research Centre on Social, Political and Economic Change, Perth , 1994, hal. 26-29

14
Kondisi pers sesudah proklamasi, memang jauh berbeda
dibanding di masa penjajahan Belanda dan Jepang. Di masa itu orang
enggan membaca koran, karena isi beritanya adalah propaganda untuk
kepenti-ngan penguasa. Sedang pada masa kemerdekaan, koran apa
saja selalu menjadi rebutan masyarakat. Sehari setelah pemberitaan
surat yang mengabarkan berita tentang proklamasi kemerdakaan, maka
dengan sangat antusias masyarakat memburu berbagai surat kabar.
Antusiasme masyara-kat dipicu semangat kemerdekaan dan keinginan
untuk mengikuti berita perkembangan negaranya yang baru merdeka
itu. Masyarakat semakin menyadari akan kebutuhan mereka untuk
memperoleh informasi melalaui media massa.
Usaha penerbitan koran pun mulai marak kembali, yang konon
diramaikan oleh irama gemercaknya suara alat cetak intertype atau
mesin roneo. Sementara itu para kuli tinta yang sibuk kian kemari
memburu berita, semakin banyak jumlahnya. Untuk menertibkan dan
mempersatu-kan mereka, pada tahun 1946 atas inisiatif para wartawan
telah dilang-sungkan kongres wartawan Indonesia di Solo. Dalam
kongres itu telah dibentuk persatuan wartawan dan Mr. Sumanang,
ditunjuk sebagai ketuanya.
Tercatat beberapa peristiwa penting dalam sejarah pers di masa
revolusi yakni di tahun yang sama telah didirikan Sari Pers di Jakarta
oleh Pak Sastro dan kantor berita Antara dibuka kembali, setelah
selama tiga tahun dibekukan Jepang. Kantor Sari Pers setiap hari
mencetak ratusan koran stensilan yang memuat berbagai berita penting
dari seluruh tanah air.
Pada tahun 1946, pihak pemerintah mulai merintis hubungan
dengan pers. Di masa itu telah disusun peraturan yang tercantum dalam
Dewan Pertahanan Negara Nomor 11 Tahun 1946 yang mengatur soal
percetakan, pengumuman, dan penerbitan. Kemudian diadakan juga
beberapa perubahan aturan yang tercantum dalam Wetboek van
Strafrecht, seperti drukpers-reglement tahun 1856, persbreidel

15
ordonnantie 1931 yang mengatur tentang kejahatan dari pers,
penghinaan, hasutan, pemberitaan bohong dan sebagainya.
Dalam UUD Pasal 19, telah dicantumkan kalimat, setiap orang
berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat.
Pelaksanaan UUD pasal 19 tersebut telah diusulkan dalam sidang
Komite Nasional Pusat Pleno VI Yogya tanggal 7 Desember 1949
yang intinya, Pemerintah RI agar memperjuangkan pelaksanaan
kebebasan pers yang mencakup memberi perlindungan kepada pers
nasional, memberi fasilitas yang dibutuhkan perusahaan surat kabar,
dan mengakui kantor berita Antara sebagai kantor berita nasional yang
patut memperoleh fasilitas dan perlindungan.
Usulan di atas kemudian dijawab. Pemerintah RI sudah mulai
merencanakan segala peraturan mengenai pers dan berupaya
sekerasnya untuk melaksanakan hak asasi demokrasi. Hubungan antara
pemerintah dan pers lebih dipererat dengan cara membentuk Panitia
Pers pada tanggal 15 Maret 1950, penambahan halaman koran,
persediaan kertas dan bahan-bahan yang diperlukan, tanpa ada ikatan
apapun yang mengurangi kemerdekaan pers. Untuk meningkatkan nilai
dan mutu jurnalistik, maka para wartawan diberi kesempatan untuk
memperdalam ilmunya. Dan diupayakan pula agar kedudukan kantor
berita Antara lebih terasa sebagai mitra dari para pengelola surat kabar.
Upaya di atas telah memungkinkan terciptanya iklim pers yang
tertib dan menguntungkan semua pihak. Jumlah perusahaan koran pun
dari tahun ke tahun semakin meningkat. Buktinya dalam kurun waktu
empat tahun sesudah 1949, jumlah surat kabar berbahasa Indonesia,
Belanda, dan Cina naik, dari 70 menjadi 101 buah. Sekalipun demikian
bukan berarti mutu jurnalistiknya ikut meningkat. Untuk itu, Ruslan
Abdulgani dalam tulisannya "Pers Nasional dan Funksi Sosialnya"
telah menulis sebagai berikut, "Mempertinggi mutu journalistiek pada
umumnja harus diartikan mempertinggi kwaliteit apa jang ditulis: hal
ini dapat ditjapai bila wartawan berkesempatan tjukup memperleng-

16
kapi dirinja dengan pengetahuan tentang keadaan jang hendak ditulis,
dan pelbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu politik, sociologie,
ekonomi, psychologie, sedjarah dan ketatanegaraan".
1) Karakter Produk Hukum
Pada waktu itu ketetuan hukum tentang pemerintahan daerah
masih mengacu pada Pasal 18 UUD 1945, yang dinyatakan sebagai
berikut :
”Pembagian daerah Indonesia atas dasar daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahanya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permu-syawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa”.
Selanjutnya dalam penjelasan angka I dari Pasal 18
menyatakan bahwa:
”Oleh karena Indonesia itu suatu ”eenheids staat”, maka Indonesia tak akan mempuyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi, dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale rechtsge-meenschappen) atau bersifat administrasi belaka, semua menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena itu di daerahpun pemerintah akan bersendi atas dasar permusyawaratan”
Setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945,
pemerintah mengeluarkan UU No. 1 Tahun 1945. UU ini adalah UU
tentang Pemerin-tahan Daerah yang pertama dibuat dalam situasi
pergolakan kemerdekaan transisional, sehingga tampak sebagai produk
hukum eksperimental10.
Desentralisasi sebagai sarana untuk mencapai demokrasi pada
waktu itu tampaknya bersifat formalistik belaka. Secara empiris
pemilihan umuj untuk menisi jabatan Kepala Daerah dan Dewan 10 Mahfud M. D., Pergulatan Poliikt dan Hukum di Indonesia10 , Yogyakarta, 1999, Gama Media, hal : 21.

17
Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana yang diinginkan oleh UU
tidak dapat berjalan sebagaiman mestinya. Pengaruh dari pemerintahan
Hindia Belanda masih kuat, sehingga dominasi pamong praja masih
kuat. Sekalipun beberapa daerah telah mempunyai DPRD tetapi
mereka tidak optomal melaksa-nakan tugas, secara perlahan hilang.
Menurut The Liang Gie11, pengaturan format desentralisasi
dalam UU No. 1 tahun 1945 adalah sebagai berikut :
a) Daerah yang ditetapkan sebagai daerah otonom adalah Karesi-
denan, Kota, dan Kabupaten;
b) Bentuk susunan pemerintah daerah terdiri dari Badan Perwakilan
Rakyat Daerah (BPRD) dan badan legislatif yang dipimpin oleh
daerah baik sebagai organ daerah, dan juga merupakan pejabat
pemerintah pusat di daerah;
c) Wewenag BPRD sebagai lembaga legislatif meliputi otonomi
(mengatur rumah tangga daerah) dan medebewind (menjalankan
aturan-atauran atasan). Sedangkan badan eksekutif menjalankan
pemerintahan sehari-hari (bertuur);
d) Daerah memiliki otonomi Indonesia berdasarkan kedaulatan
rakyat;
e) Daerah memiliki sumber keuangan sendiri dengan kemungkinan
mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat.
Menurut Solly Lubis12, dikatakan bahwa kebijakan penyeleng-
garaan pemerintahan dan politik lokal yang dikeluarkan oleh UU No. 1
Tahun 1945, merupakan momentum penting dalam pengaturan
masalah pemerintah daerah sehingga banyak ahli hukum dan politik
mengatakan bahwa UU No. 1 Tahun 1945 merupakan aturan desentra-
lisasi pertama di Indonesia. Karena kebijakan dan kelembagaan
11 The Liang Gie dalam Martin Jimung, Politik Lokal dan PemerintahanDaerah Dalam Perspektif Otonomi Daerah, Yogyakarta, Yayasan Pustaka Nusatama, 2005, hal : 156. 12 Solly Lubis, Perkembangan Garis Politik dan Perundang-undangan Pemerintahan Daerah, Alumni, Bandung, 1983.

18
penyelenggara pemerintah dan politik lokal dalam UU tersebut
pertama kali diatur kedudukan (Komite Nasional Daerah) KND dan
BPRD yang menjalankan tugas legislatif sebagai aparatur pemerinta-
han aderah dan badan eksekutif yang menjalankan tugas pemerintahan
sehari-hari.
Tujuan desentralisasi pada masa pasca kemerdekaan adalah
untuk mencapai demokrasi. Hampir dapat dikatakan bahwa pada masa
berlakunya tiga UU, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1945, UU Nomor 22
Tahun 1948, dan UU Nomor 1 Tahun 1957, diwarnai dengan upaya
merealisa-sikan prinsip demokrasi dalam praktek otonomi daerah yang
seluas-luasnya. Selaras dengan tujuan desentralisasi yang dicanangkan
secara hukum pengisian anggota DPRD yang dikehendaki adalah atas
dasar pemilihan. Dalam kedua UU tersebut dinyatakan bahwa
Pemerintah Daerah terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
Dewan Pemerintahan Daerah.
Selanjutnya Solly Lubis mensinyalir bahwa sisi politik dan
perjuangan nasional, program penyusunan pemerintahan pusat dan
pemerintah daerah yang demokratis berdasarkan UU No. 1 Tahun
1945 memberikan KND kedudukan sebagai BPD adalah tindakan
politik yangbertujuan menciptakan sistem otonomi yang bersifat lebih
luas daripada otonomi waktu pemerintahan Hindia Belanda.
Perkembangan selanjutnya disusunlah sutau peraturan baru
sebagai pelaksanaan Pasal 18 UUD 1945, yaitu dengan menetapkan
UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini
bermaksud melengkapi beberapa materi yang dalam UU No. 1 Tahun
1945 belum diatur. Salah satu hal penting dalam UU ini adalah adanya
gagasan untuk memberikan otonomi yang seluas-luasnya dan
dielaborasinya asas medebewind bagi seluruh daerah di wilayah R.I.
secara sama. Tujuan unifikasi tersebut tidak seutuhnya berhasil, karena
bagitu luasnya wilayah dan latar belakang sosial budaya masing-
masing daerah yang berbeda.

19
Menurut J. Wayong13, prinsip dasar yang diatur dalam UU No.
22 tahun 1948 adalah :
a) Dihapuskannya dualisme pemerintahan di daerah. Dengan
demikian diberlakukannya suatu proses penyeragaman dan
integrasi Pemerintah Daerah ke dalam skema pemerintah pusat;
b) Walaupun daerah terintegrasi tidak berarti format sentralistik yang
dikembangkannya. Sebaliknya dikembangan prinsip desentralisasi.
Pemerintah Daerah diberi hal otonomi atau hak untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri. Selain itu, masih
dimungkinkan adanya tugas-tugas yang diberikan oleh pemerintah
Daerah (Hak medebewind).
Pada masa berlakunya UUD RIS 1949, pengaturan tentang
pemerintahan daerah diatur dalam Pasal 47 Konstitusi RIS, yang isinya
adalah:
”Peraturan-peraturan ketatanegaraan negara-negara haruslah menjamin hak atas kehidupan rakyat sendiri kepada berbagai persekutuan rakyat di dalam lingkungan daerah mereka itu. Dan harus pula mengadakan kemungkinan untuk mewujudkan hal itu secara secara kenegaraan dengan aturan-aturan otonom”.
Berdasarkan pasal ini makam ketentuan desentralisasi yang
mengharuskan adanya kemungkinan pada tiap-tiap negara bagian
untuk membentuk daerah-daerah otonom yang dinamakan dengan
daerah swapraja. Hubungan antara daerah swapraja dengan negara
(pusat) diatur berdasarkan kontrak antar keduanya. Namun karena
bentuk negara federasi sebagaimana dikehendaki Belanda ini tidak
berjalan lama, karena pada dasarnya rakyat Indonesia menghendaki
untuk kembali ke bentuk negara kesatuan.
Berdasarkan ketentuan pada Pasal 131 UUDS 1950, pada ayat
(2) dan (3) menyatakan :
Ayat (2) : Pembagian daerah Indonesia atas dasar daerah besar dan
kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (autonom)
13 J. Wayong, Asas dan Tujuan Pemerintah Daerah, Djambatan, Jakarta, 1975.

20
dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-
undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan
dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan negara.
Ayat (3) : Kepada daerah-daerah diberikan otonomi seluas-luasnya
untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan undang-undang
dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas kepada daerah-daerah
yang tidak termasuk dalam urusan rumah tangganya.
Untuk melaksanakan ketentuan di atas, maka dikeluarkan UU
No. 1 tahun 1957 tentang Pokok Pemerintahan Daerah. Undang-
undang tersebut hanya mengatur pelaksanaan asas desentralisasi dan
asas tugas pembantuan (medebewind) sesuai dengan maksud dari Pasal
131 UUDS 1950. Materi kelembagaan pemerintah lokal dalam UU ini
membedakan dua macam daerah, yaitu Daerah Swatantra dan Daerah
Istimewa.
Kebijakan penyelenggaraan pemerintahan lokal hanya
mengatur tentang pelaksanaan asas desentralisasi dan asas tugas
pembantuan. Sedangkan asas dekonsentrasi tidak diatur, bahkan tidak
dielaborasi sama sekali. Kebijakan desentralisasi menganut sistem
otonomi ekonomi riil. Sistem ini mendasarkan diri pada pemikiran
bahwa setiap pemberian otonomi, khususnya penyerahan suatu urusan
kepada daerah untuk dijadikan urusan rumah tangga daerahnya
sendiri.14
b. Periode 1959 – 1966
1) Konfigurasi Politik
Konfigurasi politik pada periode ini ditandai dengan proses
terbentuknya demokrasi tertimpin, yang kontek kemunculannya
didasar-kan pada kondisi ekonomi, sosial, politik pada saat itu yang
tidak sehat, karena berjalannya demokrasi liberal. Satu momentum
14 Martin Jimung, Politik Lokal dan PemerintahanDaerah Dalam Perspektif Otonomi Daerah, Yogyakarta, Yayasan Pustaka Nusatama, 2005, hal : 170.

21
politik yang sangat penting adalah diselenggarakannya pemilu pertama
pada tahun 1955. Pada pemilu tersebut terdapat 28 partai politik besar
yang saling bertarung memperebutkan kursi lembaga perwakilan.
Meskipun demikian pertaru-ngan dikuasai atau terpolar pada tiga
partai, yaitu PNI, PKI, dan Masyumi. Banyaknya partai politik dan
polarisasi tersebut mengakibatkan kabinet sering mengalami jatuh
bangun dan banyak masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan baik
dan membuat kondisi sosial politik porak poranda.
Konfigurasi politik yang demokratis berakhir pada tahun 1959,
ketika pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan
dekrit (Dekrit Presiden 5 Juli 1959) yang kemudian dianggap sebagai
jalan bagi tampilnya sosok demokrasi terpimpin. Sebagai konstitusi
negara kembali diberlakukan UUD 1945. Perubahan ini membawa
imbas yang luas di bidang ketata-negaraan. Produk hukum yang
bernafaskan demokrasi liberal yang berlandas-kan UUDS 1950 harus
disesuaikan degan UUD 1945. Pada periode ini konfigurasi politik
ditampilkan dalam bentuknya yang otoriter. Soekarno Menjadi sosok
sentral dalam agenda politik nasional sehingga pemerintahan Soekarno
pada masa itu dicirikan sebagai rejim yang otoriter dan totaliter. Partai
politik tidak mempunyai ruang untuk partisipasi yang signifikan.
Dominasi Soekarno yang mengatasi lembaga-lembaga konstitusional
juga ditunjukkan dengan produk perundang-undangan yang dibuat
olehnya, yaitu Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden.
Awal tahun 1960an, jumlah penerbitan surat kabar mengalami
peningkatan, khususnya dari tahun 1963 sampai dengan tahun 196615,
kendatipun hal ini lebih mencerminkan keadaan politik yang semakin
memanas. Pada waktu itu, industri pers mengalami dua pembredelan,
yang pertama pada tahun 1957 kemudian diikuti pada tahun 1966.
Tahun 1965, Menteri Penerangan mengeluarkan Surat Keputusan yang 15 Pada tahun 1963 jumlah terbitan tambah sekitar 200 terbitan dari tahun sebelumnya. Untuk informasi lebih lengkap mengenai jumlah terbitan di Indonesia dari tahun 1945 sampai 1992, lihat David T. Hill, The Press in New Order Indonesia, 1994, hal. 164

22
mewajibkan penerbit untuk bergabung dengan partai politik, organisasi
massa atau golongan. Hal ini didasarkan pertimbangan keperluan pers
untuk mencari dana. Akibat Surat Keputusan tersebut, pers menjadi
lebih bersifat partisan, dan cenderung menjadi corong yang memberi-
takan kepentingan-kepentingan partai politik yang mendukungnya.
Sejak tahun 1945 dan selama tahun 1950an serta tahun 1960an,
pers di Indonesia merupakan sebuah medium wacana politik. Dengan
dana dari partai-partai politik dan golongan kepentingan lainnya, pers
pada zaman tersebut bersifat sangat partisan dan berpihak. Akibatnya,
landasan pers merupakan ideologi dengan ketergantungnya pada
partai-partai politik. Masa tersebut juga mencerminkan kekuasaan
pemerintah yang sangat tinggi terhadap pers maupun unsur-unsur
kehidupan lain di negara Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan
pembredelan pada tahun 1957 maupun tahun 1966, dan syarat SIT dan
SIC untuk mendirikan surat kabar. Pers Perjuangan yang ada pada
tahun 1945, yang menjadi Pers Partisan pada tahun 1950an, tidak
bebas lagi hingga tahun 1960an.
2) Karakter Produk Hukum
Karakter produk hukum pemerintahan daerah yang otoriter
muncul sebagai reaksi dari UU No. 1 Tahun 1957 yang dipandang
terlalu liberal. Dengan menggunakan Penpres No. 6 Tahun 1959,
struktur pemerintahan daerah di Indonesia digeser ke sisi yang sangat
sentralistik, yaitu mekanisme pengendalian yang ketat dan sentralistik
pemerintah Pusat terhadap pemerintah Daerah. Meskipun istilah
otonomi yang seluas-luasnya secara formal masih dimuat, tetapi asas
ini tidak dijabarkan dan dijelaskan secara operatif dalam pasal-pasal
Penpres No. 6 tahun 195916.
16 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi Menurut UUD 1945, disertasi doktor dalam Hukum Tata Negara Fak. Pascasarjana Universitas Padjajaran, Bandung, 1990, hal : 219 – 220.

23
Kepala Daerah dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh
Badan Pemerintah Harian (BPH). Kepala Daerah Tingkat I diangkat
dan ditentu-kan sepenuhnya oleh Presiden, dan Kepala Daerah Tingkat
II diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri. Pusat
sekaligus bertugas mengawasi jalannya pemerintahan di daerah serta
diberi wewenang untuk menangguhkan keputusan-keputusan DPRD.
Secara praktis, DPRD yang biasanya dianggap sebagai lambang
otonomi daerah, tidak diberikan peran apapun17. Penpres No. 6 Tahun
1959 ini kemudian diperbarui dengan UU No. 18 Tahun 1965 tentang
Pokok-Pokok Pemerintgahan Daerah. Alasan dikeluarkannya UU
tersebut adalah karena peraturan yang mengatur tentang pemerintahan
daerah kurang mantap dan masih terdapat berbagai macam peraturan
sehingga dalam pelaksanaannya sering menimbulkan kesimpang-
siuran. Di samping tu adanya perubahan ketatanegaraan yang
membawa perkebangan baru di bidang hukum tata negara R.I. Namun
perubahan ini secara substansial tidak menjangkau pokok materi baru.
Hampir semua isinya adalah isi dari Penpres No. 6 Tahun 1959.
Dengan demikian karakter produk hukum tentang pemerintahan daerah
pada periode 1959 – 1966 adalah konservatif atau ortodoks.
c. Periode 1966 - 1998
1) Konfigurasi Politik
Pada periode ini, dengan dalih pembangunan nasional dan
paradig-ma pertumbuhan ekonomi18, konfigurasi politik didesain untuk
memba-ngun negara yang kuat yang mampu menjamin dan
membentuk negara kuat, kehidupan politik yang stabil sengaja
diciptakan karena pemba-ngunan ekonomi hanya akan berhasil jika
17 Moh. Mahfud M.D., Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta, 1999, Gama Media, hal : 22. 18 Lihat, T. Moeljarto, Politik Pembangunan Sebuah Analisis Konsep, Arah, dan Strategi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1987.

24
didukung oleh stabilitas nasional yang mantap.19 Pembangunan politik
Orde Baru secara perlahan memben-tuk konfigurasi politik yang
otoriter dan totaliter. Eksekutif menjadi sangat dominan, kehidupan
pers dikendalikan dan dibawah ancaman pembreidelan. Lembaga
legislatif dicirikan sebagai lembaga yang lemah karena di dalamnya
telah ditanamkan tangan-tangan ekskutif melalui Golongan Karya,
Fraksi ABRI, Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Partai politik
dikebiri dengan menggunakan berbagai cara. Dikembangkan paradig-
ma bahwa jumlah partai politik yang banyak berarti instabilitas bagi
politik nasional. Oleh karena itu harus ada penyederhanaan sistem
kepartaian, dengan memaksakan jumlah partai politik dua buah, yaitu
Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia, dan
satu Golongan Karya. Lebih dari itu rekruitmen elit partai dilakukan
dibawah kontrol sedemikian rupa oleh presiden, agar setiap potensi
oposisi dan tokoh yang kritis tidak bisa tampil.
Pelaksanaan pemilu tidak lebih digunakan sekedar sebagai alat
untuk memperoleh legitimasi formal. Sekalipun berhasil melaksanakan
pemilu secara periodik, tetapi pemilu bukan dimaknai sebagai media
untuk mewujudkan kehidupan politik yang demokratis, mlainkan suatu
manuver politik untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto beserta
kroni-kroninya20. Praktik otoritarianisme Orde Baru diidentifikasi
secara teoritis sebagai Patrimonialisme21, Bureaucratic Polity22, yang
pada dasarnya menjelaskan bahwa realitas politik yang dibangun oleh
Orde Baru adalah tidak demokratis.
19 Juwono Sudarsono, Integrasi, Demokrasi dan Pembaruan Politik, Dalam Kompas 2 Desember 1987. 20 Martin Jimung, Politik Lokal dan PemerintahanDaerah Dalam Perspektif Otonomi Daerah, Yogyakarta, Yayasan Pustaka Nusatama, 2005, hal : 182. 21 D. K. Emmerson, dalam Yahya Muhaimin, Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia, Prisma No. 10 tahun 1980. 22 Harry J. Benda, Negara, masyarakat, dan Ekonomi, dalam Prisma No. 8 Tahun 1984.

25
Pada masa jejim Orde Baru berkuasa, pemerintah membentuk
berbagai lembaga represif seperti Kopkamtib, Opsus, Bakin dan lain-
lain yang merupakan bagian dari strategi politik kekuasaan untuk
mengamankan semua kebijakan dan kekuasaan Soeharto dan kroni-
kroninya. Langkah ini dilakukan untuk pemantauan terhadap semua
dimensi kehidupan sosial politik yang dianggap sebagai ancaman bagi
kekuasaan dengan dalih demi stabilitas nasional dan kehidupan
bangsa. Dengan siasat demikian pemerintah akan dengan mudah
mengkontrol dan mengambil tindakan terhadap potensi perlawanan
yang dianggap kritis dan membahayakan atau tidak sejalan dengan
kebijakan pemerintah.
Pada masa pemerintahan rejim Orde baru melakukan berbagai
bentuk tindakan yang mengarah pada depolitisasi masyarakat.
Masyarakat dikon-disikan sedemikian rupa agar apatis dan terisah dari
politik. ”Politik itu kotor”, sehingga harus dijauhi. Beberapa hal
dilakukan untuk mendepolitisasi masyarakat, diantaranya adalah:
a) Kebijakan massa mengambang (floating mass)
Kebijakan ini adalah usaha rejim Orde Baru untuk menekan
partisipasi politik masyarakat dalam pembangunan politik di
tingkat lokal dengan melarang pembentukan kepengurusan partai
politik sampai pada tingkat bawah. Kebijakan ini bertujuan untuk
menciptakan kondisi agar masyarakat tidak menjadi a-politis dan
tidak usah terlalu perduli dengan politik.
b) Pemilu untuk memperoleh legitimasi formal
Rejim Orde Baru sangat menyadari bahwa untuk membangun citra
demokratis, harus dilaksanakan pemilu secara periodik dan diikuti
oleh sebanyak mungin warga negara yang berhak memilih. Untuk
itu dalam setiap pelaksanaan pemilu pemerintah perlu memobili-
sasi rakyat, agar tingkat partisipasi rakyat tinggi. Pemilu lebih
dimaknai sebagai manuver politik rejim Orde Baru untuk melang-
gengkan kekuasaan negara.

26
c) Pengebirian/pengkerdilan peran partai politik
Pengkerdilan peran partai politik dibangun dengan hegemoni anti
partai politik, karena dengan independensi partai politik berarti
instabilitas dan disharmoni politik. Oleh karena itu perlu diadakan
penyederhanaan sistem kepartaian dengan menggunakan palu
godam, yaitu hanya Partai Persatuan Pembangunan untuk mengi-
dentifikasi partai idiologi Islam, dan Partai Demokrasi Indonesia
untuk mengidentifikasi idiologi nasionalis, dan Golongan Karya
(tidak mau disebut partai politik). Ketiganya harus tunduk dengan
pola penyeragaman, yaitu asas tunggal. Demikian juga rekruitmen
fungsionaris partai harus diintervensi oleh pemerintah melalui jalur
pembinaan politik oleh pemerintah.
d) Kontrol dan sentralisasi kehidupan politik
Logika yang dibangun untuk mengefektifkan kontrol dan
pengawasan terhadap kehidupan politik yang sangat ketat demi
pembangunan ekonomi nasional. Oleh karena itu dibentuk lembaga
Kopkamtib, Opsusu, Bakin, dan lain-lain.
e) Dominasi militer dalam birokrasi (Dwi Fungsi ABRI)
Sejarah pajang Orde Baru ditandai dengan pola distribusi posisi
dan kebijakan strategis yang didominasim oleh anggota ABRI
khususnya Angkatan Darat. Birokrasi menjadi instrumen pelaksana
kekuasaan sekaligus mesin politik yang sangat efektif melindungi
dan melanggengkan kekuasaan Soeharto.
Di bidang pers, setelah peristiwa G 30 S/PKI, 43 dari 163 surat
kabar yang ada ditutup oleh pemerintah23. Pada tahun 1967, jumlah
terbitan menurun sebanyak 132 terbitan dari tahun sebelumnya24.
Kekuasaan pemerintah atas pers muncul lagi melalui pembentukan
Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan
23 Krishna Sen dan David T. Hill, Media, Culture and Politics in Indonesia, Oxford University Press, Melbourne, 2000, hal. 53 24 David T. Hill, The Press in New Order Indonesia, 1994, hal. 164

27
Pokok Pers. Menurut Pasal 20, selama ‘masa peralihan’, penerbit surat
kabar wajib memperoleh baik Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen
Penerangan maupun Surat Izin Cetak (SIC) dari Komando Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Tanpa kedua surat izin
tersebut, sebuah terbitan dianggap tidak ‘sah’ dan kalau satupun surat
izinnya dicabut, terbitan itu dilarang terbit. ‘Masa Peralihan’ itu
berlaku lebih dari 15 tahun, sampai tahun 198225.
Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan
peraturan yang memaksa penggabungan partai-partai politik menjadi
tiga partai, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Peraturan
tersebut menghentikan hubungan partai-partai politik dan organsisasi
terhadap pers sehingga tidak lagi mendapat dana dari partai politik26.
Oleh karena itu, pemimpin terbitan harus mencari dana dari periklanan.
Untuk dapat menarik iklan, sebuah terbitan harus mempunyai landasan
jumlah pembaca yang banyak.
Pada tahun 1974 dan tahun 1978, industri pers mengalami
pembre-deilan lagi. Setelah kerusuhan ‘Malari’ pada bulan Januari
1974, 12 terbitan dilarang dan beberapa wartawan ditangkap dan
puluhan lain didaftar-hitamkan27. Pada 1978, tujuh harian yang terbit
di Jakarta mengalami penutupan karena liputannya yang mendukung
aksi demonstrasi mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Baru28.
Dengan pembredelan tersebut pemerintah Orde Baru mulai bersifat
‘tangan besi’ terhadap pers. Pemimpin-pemimpin pers mengakui
bahwa untuk menjamin kelangsungan terbitannya, mereka harus
mengalami proses penyesuaian diri dan ‘depolitisasi’, dalam arti
25 Keperluan dapat SIC dicabut pada tahun 1977, tetapi SIT masih harus didapati sampai tahun 1982. Pada tahun 1982, SIT diganti oleh Departemen Penerangan dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). 26 Namun, harian Suara Karya yang didukung Golkar, tetap ada. 27 Krishna Sen dan David T. Hill, Media, Culture and Politics in Indonesia, 2000, hal. 53 28 Krishna Sen dan David T. Hill, Media, Culture and Politics in Indonesia, 2000, hal. 53

28
menghilangkan unsur-unsur politik dalam berita yang dimuat, kecuali
yang mendukung pemerintah Orde Baru dan kebijakannya. Dapat
dilihat bahwa ‘depolitisasi’ tersebut merupakan akibat dari lepasnya
pengaruh partai politik, maupun kekuasaan pemerintah.
Iklan merupakan salah satu upaya kebebasan pers Indonesia
secara ekonomis. Akhirnya tahun 1970an pers di Indonesia mulai
berubah bentuknya dari alat ideologis menjadi industri besar.
Pada tahun 1982, SIT yang dikeluarkan oleh Departemen
Penerangan diganti dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
SIUPP hampir sama dengan SIT, seperti perubahan hanya dalam
sebutan saja. Namun bedanya SIUPP, lebih tegas lagi. Jika SIUPP
sebuah terbitan dicabut oleh Departemen Penerangan, terbitan itu
langsung ditutup oleh pemerintah.
Namun, sejak tahun 1970an pers telah mulai menjadi industri
besar dan memperkerjakan banyak karyawan dalam setiap tahap
produksinya. Di samping kepentingan-kepentingan itu, ada kekuasaan
pemerintah dengan ancaman pencabutan SIT dan SIC kemudian
SIUPP. Oleh karena itu, pers sangat mudah ditutup. Sebagai respons
terhadap kelemahan tersebut, perusahan pers mulai melakukan
diversifikasi baik di bidang pers sendiri maupun perusahaan di bidang-
bidang lain. Jalan diversifikasi yang ditempuh oleh surat kabar besar di
Jakarta adalah dengan mengambil alih surat kabar regional dengan
memberi bantuan dana, serta pimpinan manajemen maupun redaksi.
Akibat diversifikasi itu muncul grup-grup besar, atau konglomerat
media, seperti Kompas - Gramedia Grup, Grafiti Pers Grup dan Sinar
Kasih Grup.
Alasan-alasan upaya diversifikasi ke bidang media tersebut
bukan hanya untuk meraih profit, tetapi juga sebagai perlindungan
kepentingan. Kalau SIUPP surat kabar utama, misalnya Kompas,
dicabut oleh pemerintah, ada SIUPP surat kabar regional yang dimiliki
Kompas - Gramedia Grup, misalnya Surya, yang kuat secara keuangan

29
maupun keredaksian, dapat menerima karyawan surat kabar yang
ditutup, dan mengambil pasarnya. Pendek kata, kalau surat kabar
utamanya ditutup, masih ada surat kabar lain.
Dalam masa itu, timbullah beberapa grup besar, yang paling
besar Kompas - Gramedia Grup dan Grafiti Pers Grup, yang melahir
Jawa Pos Grup. Pada tahun 1990an, di antara 13 dan 16 grup
mempunyai duapertiga industri pers29. Pada tahun 1989, Kompas -
Gramedia Grup mendirikan Bagian Pers Daerah, atau ‘Persda’30. Dari
pendirian bidang itu, dapat dilihat bahwa ‘pers daerah’ dianggap
sebagai potensi besar.
b. Karakter Produk Hukum
Karakter produk hukum pemerintahan daerah pada masa Orde
Baru ditandai dengan realitas UU No. 18 tahun 1965 yang ditetapkan
pada tanggal 1 September 1965 tidak dapat berjalan dengan efektif
karena adanya peristiwa G 30 S PKI yang segera diikuti dengan
pergeseran kekuasaan politik ke Orde Baru. Pada awalnya pengaturan
tentang pemerintahan daerah didasarkan pada Tap MPRS No.
XXI/MPRS/1969 yang isinya menyatakan kepada Pemerintah Daerah
dan DPRGR agar dalam waktu dekat memberikan otonomi yang
seluas-luasnya kepada daerah-Daerah sesuai dengan jiwa dan isi UUD
1945 tanpa mengurangi tanggungjawab Pemerintah Pusat di Bidang
perencanaan, koordinasi dan pengawasan terhadap Daerah-Daerah
tersebut (Pasal 1).
Pelaksanaan amanat MPRS oleh pemerintah dan DPRGR
ditetapkan dengan UU No. 6 tahun 1969 yang isinya menyatakan
bahwa tidak berlakunya berbagai UU dan Perpu. Alasannya karena
kondisi politik pada saat itu tidak memungkinkan menghasilkan UU
29 Lihat Ignatius Haryanto, ‘Demografi Pers Indonesia Hari Ini’, Kompas Online, 23 Agustus 1997, http://basisdata.esosoft.net/1997/08/23/0032.html 30 Krishna Sen dan David T. Hill, Media, Culture and Politics in Indonesia, 2000, hal. 58

30
penggantinya. Sehingga dalam prakteknya secara de facto UU No. 18
tahun 1965 tetap berlaku.
Berikutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5 tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah sebagai pengganti UU
No. 18 tahun 1965. Seiring dengan konfigurasi politik Orde baru yang
semakin otoriter, produk hukum pemerintahan daerah inipun cende-
rung berkarakter semakin konservatif/ortodoks. Dalam UU ini istilah
otonomi yang nyata dan seluas-luasnya tidak lagi dipergunakan dan
diganti degan otonomi yang nyata dan bertanggungjawab31. Dominasi
Pemerintah Pusat terhadap Daerah sangat menonjol. Hal ini dapat
dilihat pada cara pengangkatan Kepala Daerah yang memberikan
kekuasaan kepada Pemerintah Pusat untuk menentukannya tanpa
terikat pada hasil pemilihan yang dilakukan oleh DPRD32. Selain
berperan sebagai organ daerah otonom, Kepala Daerah berkedudukan
juga sebagai alat Pusat yang diletakkan di Daerah dengan sebut Kepala
Wilayah. Dalam kedudukannya sebagai alat Pusat tersebut, Kepala
Wilayah merupakan penguasa tunggal di daerah. Kontrol Pusat atas
Daerah dilakukan melalui mekanisme pengewasan preventif,
pengawasan represif, dan pengawasan umum.
4. Periode 1998 - Sekarang
a. Konfigurasi Politik
Momentum peruhan politik tahun 1998, yang dikenal dengan
reformasi, ditandai dengan turunnya Soeharto dari tampuk kursi
kepresi-denan Indonesia yang telah dikuasainya selama lebih dari
tigapuluh tahun. Jatuhnya rejim otoritarian Orde Baru diikuti dengan
perubahan konstitusi negara, yaitu amandemen UUD 1945 hingga
empat tahapan. Hasil dari perubahan konstitusi tersebut adalah
perubahan secara signifikan sistem ketatanegaraan R.I. Struktur 31 Bagir Manan, op cit, hal : 253 – 256. 32 Ateng Syafrudin, Pasang Surut Otonomi Daerah, Jakarta : Binacipta, 1985, hal : 36 - 37.

31
lembaga negara yang tidak diperlukan dibubarkan, kemudian atas
tuntutan perkembangan politik dan masyarakat dibentuk lembaga
negara baru. DPA dibubarkan, dibentuk MK dan DPD sebagai
lembaga tinggi negara.
Lembaga perwakilan rakyat direformasi sedemikian rupa
dengan menghilangkan unsur-unsur keterwakilan yang pada masa lalu
digunakan sebagai alat kekuasaan eksekutif. Unsur ABRI, Utusan
Golongan dan Utusan Daerah yang selama Orde Baru digunakan untuk
membangun legitimasi formal dihilangkan dari DPR. Semua anggota
DPR dipilih oleh rakyat melalui partai politik. Untuk memenuhi dan
mewadahi aspirasi dan kepentingan daerah, maka dibentuklah DPD,
yang susunannya dipilih langsung oleh rakyat dari daerah yang
diwakilinya (Propinsi). Sedangkan MPR berjalan seolah joint session
antara DPR dan DPD, dengan tugas dan wewenang yang lebih terbatas
(bukan lagi menjadi lembaga tertinggi negara).
Reformasi juga menjangkau hingga pada pengaturan tentang
sistem kepartaian di Indonesia. Masyarakat diberikan kebebasan yang
sangat luas untuk membentuk partai politik, dan bagaikan jamur di
musim hujan sejak itu lebih dari seratus partai politik yang terdaftar di
Departemen Hukum dan HAM. Sekalipun demikian untuk mengikuti
pemilu partai politik harus memenuhi persyaratan tertentu yang tidak
mudah. Tetapi harus diingat bahwa partisipan pemilu pasca reformasi
selalu diikuti oleh lebih dari 20 partai politik. Bahkan pada pemilu
legislatif 2009 yang baru lalu diikuti oleh 40 partai politik.
Pemilu menjadi sarana yang sangat penting dalam sistem
politik demokrasi untuk menyalurkan aspirasi dan agregasi sekaligus
rekruitmen politik rakyat. Pemilu sekaligus menjadi ajang untuk
melakukan seleksi kebijakan nasional bagi penyusunan program
negara R.I. Oleh karena itu pemilu harus dilaksanakan oleh Komisi
Pemilihan Umum sebagai lembaga yang independen namun dengan
kedudukan yang kuat.

32
Materi penting yang lain dalam perubahan UUD 1945 adalah
bahwa Presiden R.I. dipilih langsung oleh rakyat, dengan masa jabatan
yang dibatasi untuk dua kali lima tahun. Selebihnya tidak dapat dipilih
lagi. Dengan pemilihan presiden secara langsung, maka aspirasi rakyat
akan menjadi lebih terjamin. Rakyat sendirilah yang memilih
presidennya, sehingga setiap suara rakyat menjadi semakin berarti.
Pers sebagai pilar keempat demokrasi berperan semakin
maksimal ketika ruang ekspresi dan informasi dibuka lebar. Media
massa tidak takut lagi dengan ancaman breidel oleh pemerintah.
Bahkan independensi media dilindungi dengan UU Pers dan negara
telah memasukkan pers sebagai rejim HAM, sehingga urgensi
pemeruhannya menjadi semakin pokok. Pada periode ini kekuatan pers
untuk menjadi pilar keempat demokrasi benar-benar mendapatkan
ruang yang sangat besar.
Gerakan reformasi yang menyebabkan jatuhnya Presiden
Suharto dan rezim Orde Barunya, juga memberikan semangat
kebangkitan kepada pers di Indonesia. Seperti ungkapan salah satu
wartawan di Malang, reformasi dan kebebasan pers digambarkan
seperti “sebuah pesta”.
Era reformasi ditandai dengan terbukanya kran kebebasan
informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan
dipermudahnya pengurusan SIUPP33. Sebelum tahun 1998 proses
perolehan SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet
BJ Habibie, dikurangi menjadi tiga tahap. Di samping itu pada bulan
September 1999, pemerintahan BJ Habibie mensahkan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers,
menggantikan UU RI No. 11 1966, UU RI No. 4 1967 dan UU No. 21
33 Suroso, Menuju Pers Demokratis: Kritik Atas Profesionalisme Wartawan, 2001, hal. 3

33
1982, yang diakui “sudah tidak sesuai dengan perkembangan
zaman”34.
Pengakuan ketidaksesuaian dalam perundang-undangan
Republik Indonesia tersebut, merupakan sejenis kemenangan untuk
pers Indonesia. UU RI No. 40 1999, antara lain, menjamin kebebasan
pers serta mengakui dan menjamin hak memperoleh informasi dan
kemerdekaan mengungkapkan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati
nurani sebagai hak manusia yang paling hakiki. Pasal 2 menyebutkan
“kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang
berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum”.
UU RI No. 40 1999 tersebut juga memberikan kebebasan kepada
wartawan untuk memilih organisasi wartawan sekaligus menjamin
keberadaan Dewan Pers.
Longgarnya proses mendapatkan SIUPP, hampir 1000 SIUPP
yang baru telah disetejui oleh Menteri Informasi dalam jangka waktu
dari bulan Juni 1998 sampai Desember 200035. Lagi pula, angka
tersebut tidak termasuk sekitar 250 SIUPP yang telah diterbitkan
sebelum reformasi. Sebagian besar dari meledaknya terbitan itu
merupakan tabloid mingguan yang berorientasi politik yang dimiliki
dan didukung oleh konglomerat media, misalnya Bangkit (Kompas –
Gramedia Grup) dan Oposisi (Jawa Pos Grup). Dengan menjamurnya
terbitan tersebut, tidak perlu lagi mengartikan ungkapan yang
tersembunyi atau ‘read between the lines’ seperti ketika Orde Baru.
Namun, sekarang yang diperlukan adalah sikap skeptis dalam
memperoleh informasi berita sehingga media dapat menghasilkan
berita yang dipercaya, bukan hanya sekedar bersifat sensasional saja36.
34 UU tersebut terlampir dalam Suroso, Menuju Pers Demokratis: Kritik Atas Profesionalisme Wartawan, 2001, hal. 205 - 214 35 Lihat John Olle, ‘Sex, Money, Power’, Inside Indonesia, No. 61 Januari – Maret 2000, www.insideindonesia.org/edit60/jolle1htm dan Margaret Cohen, ‘Fastest Gun in the East’, Far Eastern Economic Review, 25 Maret 1999. 36 John Olle, ‘Sex, Money, Power’, Inside Indonesia, Januari – Maret 2000

34
Tahun ketiga yang sejak jatuhnya Suharto dan pergantian
rezimnya, muncul kencendurangan baru dalam pers di Indonesia, yaitu
‘lokalisasi’. Proses itu melibatkan banyak terbitan yang muncul di
daerah-daerah untuk melayani informasi warga di daerah itu.
Fenomena lokalisasi pers dan permunculan pers daerah akan dibahas
lebih terinci dalam bab berikutnya.
Konfigurasi politik pasca reformasi menunjukkan pola
keterbukaan yang membuka peluang bagi berperannya seluruh potensi
rakyat secara maksimal untuk turut aktif menentukan kebijakan negara.
Di dalam konfigurasi politik yang demikian maka pemerintah lebih
berperan sebagai pelayan yang harus melaksanakan kehendak-
kehendak masyarakatnya, yang dirumuskan secara demokratis oleh
badan perwakilan rakyat dan partai politik berfungsi secara
proporsional.
b. Karakter Produk Hukum
Salah satu buah manis reformasi adalah pelaksanaan otonomi
daerah yang memberikan kewenangan yang sangat besar kepada
daerah dalam pengambilan keputusan publik dan penyelenggaraan
pemerintahan. Konsep pengaturan otonomi daerah sebagaimana diatur
dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah, memberi-
kan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dengan menyerahkan
sebagian besar urusan penyelenggaraan pemerintahan kepada daerah,
kecuali hanya untuk urusan yang secara materiil memang tidak
mungkin diserahkan kepada daerah, yaitu kewenangan moneter,
hubungan luar negeri, pertahan, keamanan, pengadilan, dan agama.
UU No. 22 tahun 1999 ternyata dirasakan terlalu terbuka. Oleh
karenaitu untk menata agar pelaksanaan otonomi daerah tidak
menyimpang dan membahayakan Negara kesatuan R.I. maka dibuat
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut UU
No. 32 Tahun 2004, pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan

35
urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya
dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota,
dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah. Kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui pilkada
langsung. Daerah (kepala daerah dan DPRD) memiliki kewenangan
untuk membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan,
peningkatan peran serta masyarakat, prakarsa, dan pemberdayaan
masyarakat yang pada dasarnya bertujuan untuk mening-katkan
kesejahteraan rakyat.
Ada beberapa alasan perlunya pemerintah pusat mendesentra-
lisasikan kekuasaan kepada pemerintah daerah, yaitu :
1) segi politik, desentralisasi dimaksudkan untuk mengikutsertakan
warga dalam proses kebijakan, baik untuk kepentingan daerah
sendiri maupun untuk mendukung politik dan kebijakan nasional
melalui pembangunan proses demokrasi di lapisan bawah.
2) segi manajemen pemerintahan, desentralisasi dapat meningkatkan
efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas publik terutama dalam
penyediaan pelayanan publik.
3) segi kultural, desentralisasi untuk memperhatikan kekhususan,
keistime-waan suatu daerah, seperti geografis, kondisi penduduk,
perekonomian, kebudayaan, atau latar belakang sejarahnya.
4) segi kepentingan pemerintah pusat, desentralisasi dapat mengatasi
kelemahan pemerintah pusat dalam mengawasi program-
programnya.
5) segi percepatan pembangunan, desentralisasi dapat meningkatkan
persaingan positif antar daerah dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat sehingga mendorong pemerintah daerah untuk

36
melakukan inovasi dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan
kepada masyarakat37
Kebijakan pembangunan nasional, sebagaimana diungkap oleh
UU Nomor 32 tahun 2004 telah memberikan petunjuk yang jelas
bahwa sebagian besar urusan dan tanggung jawab pengelolaan dan
pelaksanaan pembangunan diserahkan kepada pemerintah daerah.
Penyelenggaraan pemerintahan didasarkan pada prinsip-prinsip
otonomi daerah, dimana daerah diberikan kewenangan untuk
mengantur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Pelaksanaan
kebijakan otonomi daerah tersebut didasarkan pada asas desentralisasi,
dengan menyerahkan semua kewenangan pemerintahan kepada daerah
selain kewenangan pusat sebagaimana diatur pada Pasal 10 ayat (3)
UU Nomor 32 Tahun 2004, yaitu : bidang politik luar negeri; pertahan;
keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan agama.
Pada hakekatnya kebijakan otonomi daerah didasarkan pada
keyakinan bahwa pemerintah daerah masing-masing memiliki
kemampuan dan kapasitas untuk merencanakan dan mengelola
pembangunan secara mandiri. Daerah dianggap lebih tahu dan
mengenal daerahnya, dengan segala potensi dan keunggulannya.
Dalam pelaksanaannya UU No. 32 Tahun 2004 yang dikaitkan dengan
UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan
daerah, memberikan ruang yang cukup luas bagi pemerintah daerah
dalam penanganan urusan pemerintah di tingkat lokal, penyelesaian
permasalahan daerah dan dapat lebih kreatif menggali dan
mengembangkan potensi daerah untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakatnya. Oleh karena itu karakter produk hukum yang
dihasilkan dalam periode ini dapat dikatakan responsif.
37 Samodra Wibawa. 2005. Good Governance dan Otonomi Daerah dalam Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Hal : 49 - 50

37
E. Kesimpulan
Uraian di atas menunjukkan bahwa situasi politik tertentu akan dapat
melahirkan produk hukum dengan karakter tertentu pula. Hal ini secara
teoritis, dikotomis sistem politik demokrasi akan menghasilkan produk hukum
yang responsif. Sedangkan konfigurasi sistem politik yang otoriter akan
menghasilkan produk hukum yang konservatif/ortodoks. Kesimpulan umum
tersebut dapat secara langsung dikaitkan dalam telaah pengaturan hukum
tentang pemerintahan daerah di Indonesia. Dalam periodesasi yang ditentukan
menurut momentum kesejarahan perkembangan politik nasional Indonesia,
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a. Periode 1945 – 1959, karena keadaan politik di Indonesia pasca
kemerdekaan adalah sangat demokratis (demokrasi liberal), dan telah
melahirkan produk hukum yang berkarakter responsif.
b. Periode 1959 – 1965, keadaan politik di Indonesia adalah otoriter, dibawah
panji politik totalitarianisme Soekarno dan demokrasi terpimpin, maka
telah melahirkan produk hukum yang berkarakter ortodoks.
c. Periode 1966 – 1998, keadaan politik adalah otoriter dengan ditandai
otoritarianisme rejim Orde baru yang terpusat di tangan Soeharto. Pada
periode ini telah melahirkan produk hukum yang ortodoks dan konservatif.
d. Periode 1998 – sekarang, konfigurasi politik demokratis, dengan ditandai
munculnya rejim reformasi yang secara fundamental telah merobah sistem
ketatanegaraan menjadi demokratis. Produk hukum yang dihasilkan adalah
berkarakter responsif.

38
Daftar Pustaka
Arbi Sanit. 1986. Politik sebagai Sumberdaya Hukum, Telaan Mengenai Dampak
Tingkah Laku Politik Elit dan Massa terhadap Kekuatan Hukum di
Indonesia, dalam Artidjo Alkostar dan M. Sholeh Amin (ed.), Pemba-
ngunan Hukum dalam Perspektif Nasional (LBH Yogyakarta dan Rajawali
Jakarta.
Bagir Manan. 1994. Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945.
Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Bintan Regen Saragih. 2006. Politik Hukum, Bandung: CV Utomo. D. K.
Emmerson, dalam Yahya Muhaimin, Beberapa Segi Birokrasi di
Indonesia, Prisma No. 10 tahun 1980.
Hanif Nurcholis. 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah.
Jakarta : PT. Grasindo.
Harry J. Benda. 1984.Negara, masyarakat, dan Ekonomi, dalam Prisma No. 8
Tahun.
Ignatius Haryanto, ‘Demografi Pers Indonesia Hari Ini’, Kompas Online, 23
Agustus 1997, http://basisdata.esosoft.net/1997/08/23/0032.html
J. Wayong. 1975. Asas dan Tujuan Pemerintah Daerah, Djambatan, Jakarta.
John Olle, Sex, Money, Power, Inside Indonesia, Januari – Maret 2000. www.
insideindonesia.org/edit60/jolle1htm dan Margaret Cohen, ‘Fastest Gun in
the East’, Far Eastern Economic Review, 25 Maret 1999.
Juwono Sudarsono, Integrasi, Demokrasi dan Pembaruan Politik, Dalam Kompas
2 Desember 1987.
Krishna D. Darumurti dan Umbu Rauta. 2000. Otonomi Daerah Perkembangan
Pemikiran dan Pelaksanaan. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Krishna Sen dan David T. Hill, 2000. Media, Culture and Politics in Indonesia,
Oxford University Press, Melbourne.
Mahendra Putra Kurnia, dkk. 2007. Pedoman Naskah Akademik Perda
Partisipatif. Yogyakarta : Kreasi Total Media.

39
Mahfud M.D. 1993. Perkembangan Politik Hukum di Indonesia, disertasi doktor
di UGM, Yogyakarta.
___________. 1993. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Yogyakarta, Liberty.
Martin Jimung, Politik Lokal dan PemerintahanDaerah Dalam Perspektif
Otonomi Daerah, Yogyakarta, Yayasan Pustaka Nusatama, 2005.
Muhammad Fauzan. 2006. Hukum Pemerintahan Daerah Kajian tentang
Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Yogyakarta : UII Press.
Philipe Nonet dan Philip Selznick. 1978. Law and Society in Transition Toward
Responsive law, New York, Harper and Row.
Robert Dahl. 1985. Dilema Demokrasi Pluralistis, antara Otonomi dan Kontrol,
Jakarta, Rajawali Press.
Sabian Usman. 2009. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar.
Sadu Wasistiono, dkk. 2006. Memahami Asas Tugas Pembantuan Pandangan
Legalistik, Teoritik dan Implementatif. Bandung : Fokusmedia.
Samodra Wibawa. 2005. Good Governance dan Otonomi Daerah dalam
Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Satjipto Rahardjo. 1985. Beberapa Pemikiran tentang Ancangan antar Disiplin
dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung, Sinar Baru.
S.H. Sarundajang. 2005. Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta : Kata
Hasta.
Soerjono Soekanto. 1985. Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat,
Rajawali, Jakarta,
Syaukani, dkk. 2003. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Jakarta : Pustaka
Pelajar.
T. Moeljarto. 1968.Beberapa Pemikiran tentang Sistem Kepartaian di Indonesia,
Yogyakarta : Seksi Penerbitan Fakultas Sospol UGM.
Yahya Muhaimin. 1990. Bisnis dan Politik : Kebijaksanaan Ekonomi Ekonomi
Indonesia 1950 – 1980, terj. Hasan Basari dan Muladi Sugiono, Jakarta :
LP3ES.