Adi Toha - Sastra Odong-Odong Dan Arc de Triomphe Ala Kediri

15
Sastra Odong-odong dan Arc de Triomphe ala Kediri Adi Toha Selain tempat-tempat yang sudah terbiasa saya sambangi dalam perjalanan sejenis: Boja, Jogja, Surabaya; perjalanan Mei 2012 kali ini ada satu tempat baru yang menjadi tujuan, Kediri. Sesuai agenda, di sebuah desa, tepatnya di Jambu, tempat berdirinya perpustakaan Gelaran Buku Daar el Fikr asuhan mas Iwan Kapit, akan diselenggarakan perhelatan buku bertajuk Cangkrukan Buku. Seperti yang telah direncanakan, selain menghadirkan rangkaian diskusi sastra dan buku—kali ini menitikberatkan pada pengalaman anak-anak Jambu dalam membaca bersama (reading group) novel Jalan Raya Pos, Jalan Daendels karya Pramodya Ananta Toer, dan mendengarkan kisah hidup sang maestro melalui tuturan sang putri, Astuti Ananta Toer—acara semacam ini sekaligus menjadi ajang bertemunya para pegiat sastra dan literasi dari berbagai daerah. Acara yang sangat rugi kalau dilewatkan. Seusai rangkaian acara Obrolan Sastra 5 di Pondok Maos Guyub, Kendal, yang menghadirkan salah satunya adalah sastrawan Remy Silado, saya segera mengatur waktu untuk melakukan agenda berikutnya. Beberapa rekan di Surabaya akan mengadakan acara pembukaan Rumah Baca Tjaraka, sekaligus memberi saya tawaran untuk mendiskusikan buku saya yang baru terbit, Dongeng untuk

description

Esai

Transcript of Adi Toha - Sastra Odong-Odong Dan Arc de Triomphe Ala Kediri

Sastra Odong-odong dan Arc de Triomphe ala Kediri

Adi Toha

Selain tempat-tempat yang sudah terbiasa saya sambangi dalam perjalanan sejenis: Boja,

Jogja, Surabaya; perjalanan Mei 2012 kali ini ada satu tempat baru yang menjadi tujuan,

Kediri. Sesuai agenda, di sebuah desa, tepatnya di Jambu, tempat berdirinya perpustakaan

Gelaran Buku Daar el Fikr asuhan mas Iwan Kapit, akan diselenggarakan perhelatan buku

bertajuk Cangkrukan Buku. Seperti yang telah direncanakan, selain menghadirkan rangkaian

diskusi sastra dan buku—kali ini menitikberatkan pada pengalaman anak-anak Jambu dalam

membaca bersama (reading group) novel Jalan Raya Pos, Jalan Daendels karya Pramodya

Ananta Toer, dan mendengarkan kisah hidup sang maestro melalui tuturan sang putri, Astuti

Ananta Toer—acara semacam ini sekaligus menjadi ajang bertemunya para pegiat sastra dan

literasi dari berbagai daerah. Acara yang sangat rugi kalau dilewatkan.

Seusai rangkaian acara Obrolan Sastra 5 di Pondok Maos Guyub, Kendal, yang

menghadirkan salah satunya adalah sastrawan Remy Silado, saya segera mengatur waktu

untuk melakukan agenda berikutnya. Beberapa rekan di Surabaya akan mengadakan acara

pembukaan Rumah Baca Tjaraka, sekaligus memberi saya tawaran untuk mendiskusikan

buku saya yang baru terbit, Dongeng untuk Allea. Tawaran yang satu dan lain hal tadinya

saya tolak, tetapi karena satu dan lain hal juga, akhirnya saya terima. Acara akan diadakan

tanggal 4 Mei 2012, oleh karena itu, saya tidak bisa ikut dengan rombongan dari Guyub yang

langsung bertolak ke Kediri.

3 Mei malam, Heri mengantar saya ke stasiun Poncol. Nahas, tiket kereta api jurusan

Surabaya untuk keberangkatan malam itu telah habis, baik kelas ekonomi maupun kelas

bisnis, yang tersisa hanya kelas eksekutif, yang tentu saja, saya akan berpikir dua puluh dua

kali untuk membelinya. Kami pun meluncur ke terminal bus—lebih tepatnya terminal

bayangan—jurusan ke Surabaya untuk mencari transportasi alternatif. Ada pemandangan

agak ganjil di sepanjang perjalanan dari Poncol ke terminal bayangan tersebut. Di sepanjang

jalan, di mulut-mulut gang, atau di pinggir jalan, bertebaran wanita-wanita berdandan menor

bercelana mini yang nangkring di atas motor matik. Seolah tahu kegumunan saya, Heri

menjelaskan bahwa mereka adalah para “pekerja malam”, adapun motor matik tongkrongan

mereka sekaligus menjadi alat bantu untuk melarikan diri dengan gesit kalau-kalau terdapat

razia atau penangkapan oleh Satpol PP.

Setiba di terminal bayangan, setelah menunggu cukup lama, ternyata tidak ada satu pun bus

jurusan ke Surabaya. Usut punya usut, ternyata semua armada jurusan Semarang-Surabaya

sedang melakukan mogok, karena adanya trayek bus baru yang bersinggungan dengan trayek

mereka. Alhasil, kami pun kembali ke terminal Poncol, dan mau tidak mau saya harus

menggunakan kelas eksekutif kalau ingin tiba di Surabaya tepat waktu.

Berteman novel Haruki Murakami, South of the Border, West of the Sun, yang saya comot

dari koleksi Pondok Maos Guyub, atas rekomendasi dari seorang kawan baru, saya pun

menunggu kereta yang sesuai jadwal akan berangkat pukul 10.30. Yah, sepertinya sebuah

perjalanan yang sempurna; perjalanan dari suatu kota di utara, North menuju suatu kota di

timur, East, ditemani South of the Border, West of the Sun. Empat penjuru mata angin

terangkum dalam perjalanan ini. Dan novel tersebut rupa-rupanya menjadi teman perjalanan

yang cukup melenakan, sehingga ketika kereta tiba di stasiun Pasar Turi pada keesokan

paginya, tinggal beberapa halaman lagi tersisa.

Rumah Baca Tjaraka baru saja berdiri, bertempat di kediaman Bu Niken di Bratang Gede III

Surabaya. Acara pembukaan Tjaraka sekaligus bedah buku mengundang beberapa pembicara,

penggiat literasi, dan rekan-rekan penulis. Di antara mereka yang hadir adalah Pak Suparto

Brata (begawan sastra yang saya temui pertama kali sewaktu acara pembukaan Dbuku

Bibliopolis setahun lebih sebelumnya) dan Pak Puji Karyanto (Dosen Unair), keduanya

bertindak sebagai pembedah; Pak Bonari Nabonenar, Lina Kelana, beserta kawan-kawan

lainnya dari Surabaya, dan Mas Antok Serean yang bertindak sebagai moderator.

Beruntung sekali bagi saya yang masih pemula ini mendapatkan banyak kritikan dari Pak

Suparto Brata mengenai isi buku saya, yang dari banyak segi sangat berbeda dengan genre

yang digeluti dan dikuasai oleh Pak Parto. Buku saya cenderung bergenre dongeng atau

fantasi liris, sementara novel-novel Pak Parto sebagian besar bertemakan sejarah dan

beberapa novel menggunakan bahasa Jawa. Saya merasa seolah-olah menjadi seorang cucu

yang diberi nasihat dan petuah-petuah oleh sang kakek. Sementara Pak Puji Karyanto lebih

menilik dari sisi akademis dan jejak-jejak gaya penulis lainnya yang terbaca dalam buku

saya. Meski demikian, acara pembukaan rumah baca Tjaraka dan bedah buku tersebut

berlangsung dalam suasana yang akrab dan gayeng.

Pagi harinya, seusai menginap di Tjaraka, saya pun diantarkan ke terminal Bungurasih untuk

melanjutkan perjalanan berikutnya. Sesuai petunjuk, saya harus naik bus jurusan

Tulungagung yang lewat kediri. Pengalaman kecelakaan sewaktu naik bus jurusan Jombang-

Surabaya dua tahun lebih sebelumnya terus-terang membuat saya agak khawatir kalau harus

naik bus antarkota di Surabaya dan sekitarnya; waktu itu, bus yang saya tumpangi menabrak

pembatas jalan dan nyungsep di parit. Beruntung tidak ada korban jiwa. Setelah berkeliling

sebentar, saya menemukan bus yang saya cari, tampaknya bus tersebut dalam kondisi prima

serta dilengkapi AC dan televisi, setidaknya itu dapat meredam kekhawatiran saya.

Satu jam dua jam perjalanan berlalu, pertanyaan lain mulai muncul di benak dan mendesak

untuk mendapatkan jawaban: di mana saya harus turun? Saya pun mengirim SMS kepada

mas Iwan Kapit untuk meminta petunjuk, tetapi tak kunjung mendapat balasan. Mungkin dia

tengah sibuk di tengah-tengah acara, pikir saya. Semakin memasuki daerah Kediri, saya

semakin berusaha awas dengan setiap pertanda di sepanjang jalan. Lokasi persis perhelatan

Cangkrukan Buku adalah Desa Jambu, Kayen Kidul, Kediri. Barangkali, di kiri kanan jalan

saya akan menemukan penanda daerah tersebut, yang setidaknya bisa menjadi titik awal

pencarian berikutnya. Namun, berkilometer-kilometer terlewati, tetap tidak ada penanda,

sampai akhirnya kernet bus menginformasikan kalau bus hampir mendekati terminal Kediri

dan tidak akan masuk terminal. Saya pun nekat bersiap-siap turun.

Nah, sekarang ke mana lagi? pikir saya begitu turun dari bus di sebuah perempatan dan

melihat di arah depan agak jauh papan nama Terminal Kediri, sementara bus yang tadi saya

tumpangi membelok ke arah Tulungagung. Sendirian saya berada di suatu kota yang baru

pertama kali saya datangi dan tidak tahu harus ke mana lagi. Sepenglihatan saya, keadaan

terminal tersebut tidak seperti yang saya harapkan, di mana banyak angkutan keluar masuk

sehingga saya akan mudah bertanya arah, tetapi terminal itu terlihat sepi sekali. Dan saya

memutuskan untuk tidak masuk ke sana. Dalam situasi seperti ini biasanya saya mencari

warung kecil untuk membeli sesuatu sambil bertanya arah kepada penjualnya, jawaban

mereka biasanya jujur dan tanpa tendensi, berbeda dengan jawaban tukang becak, misalnya,

atau tukang ojek. Karena tidak ada warung kecil terdekat, yang ada hanya sebuah

minimarket, saya pun masuk, sekadar membeli air minum sekaligus bertanya. Sialnya,

sewaktu ditanya tentang Kayen Kidul atau Jambu, pramuniaga minimarket tersebut tidak tahu

bahwa di Kediri ada tempat dengan nama itu.

Keluar dari minimarket, saya duduk istirahat di sebuah bangku kosong di depan sebuah kios

yang tutup sambil memikirkan langkah berikutnya. Tak berapa lama seorang pengedara

motor menghampiri. Pasti tukang ojek, pikir saya. Benar saja, lelaki empat puluhan tahun itu

bertanya saya mau ke mana. Kayen Kidul, Jambu, jawab saya. Dia tampak berpikir dan

berbisik mengulang-ulang jawaban saya. Sepengetahuan dia, tidak ada nama itu di daerah

Kediri. Saya bersikukuh nama itu ada. Sebentar, saya tanyakan dulu, katanya, lalu melajukan

motornya memasuki terminal. Dari kejauhan, saya melihat lelaki itu bertanya kepada

beberapa orang. Setelah tampaknya mendapat jawaban dan petunjuk arah, dia pun kembali

menghampiri saya. Dengan nada yang meyakinkan, dia mengatakan bahwa dirinya tahu

lokasi yang saya cari dan menawarkan ongkos ojek ke sana. Tawar menawar berlangsung

alot, meski diselingi obrolan basa-basi. Dia meminta 50 ribu, karena menurutnya tempatnya

sangat jauh, saya tawar setengahnya. Turun menjadi 40 ribu, saya bersikukuh. Dia tidak

menurunkan penawaran, saya menaikkan penawaran menjadi 30 ribu. Akhirnya kami

menyepakati harga 35 ribu.

Benar saja, tukang ojek itu tidak mengada-ada. Setelah melaju hampir satu jam, kami tak

kunjung sampai. Saya mengira tukang ojek tersebut tahu betul lokasi yang ditujunya,

setidaknya, nama desanya. Ternyata, dia sama-sama tidak tahunya seperti saya. Di sepanjang

jalan, dia menanyai beberapa orang, dari tukang becak sampai pengendara motor lain,

terkadang tanpa menghentikan motornya! Kami sempat salah berbelok dan harus putar balik.

Marah tidak akan memberi solusi, akhirnya saya menikmati saja ketersesatan ini dengan

menyaksikan pemandangan Kediri di sepanjang jalan, sambil bergurau dengan si tukang ojek.

Setelah berputar-putar ke sana kemari, akhirnya sampailah kami di depan sebuah sekolah

yang menjadi ancer-ancer sesuai petunjuk.

Umbul-umbul acara berkibar di mulut gang. Ojek pun berhenti tepat di depan tempat acara

sedang berlangsung. Menyadari betapa jauhnya jarak yang ditempuh dan usaha keras tukang

ojek untuk mengantarkan saya ke tempat acara, saya pun memberi tambahan ongkos 10 ribu

di luar kesepakatan. Turun dari ojek saya langsung bergabung dengan audiensi. Di atas

panggung, Heri CS (koordinator reading group The Oldman and the Sea di Kendal), Kang

Sigit Susanto (pengelana yang bermukim di Swiss tetapi kelahiran Boja), Kang Ubaidilah

Muchtar (Taman Baca Multatuli, Banten), Mbah Djamali, dan beberapa wajah yang tidak

saya kenal sedang memaparkan materi, pasti sharing tentang pengalaman reading group,

tebak saya. Di sana sudah hadir pula beberapa kawan, Daurie dari Jakarta, Mbak Sasa dari

Surabaya, Faiz Ahsoul dari Yogyakarta, Husni dari Jakarta, yang belakangan katanya

berangkat sama-sama satu mobil dari Surabaya, lebih pagi dari keberangkatan saya. Betul-

betul sebuah temu pegiat dan komunitas sastra dan literasi.

Seusai sesi berbagi pengalaman mengelola reading group, kami pun bersama-sama menuju

tempat singgah di kediaman mas Iwan Kapit yang tak jauh dari tempat acara di madrasah

yang sekaligus menjadi tempat mengajar mas Iwan, MTs Miftahul Huda. Nasi pecel ala

Kediri sudah menyambut. Sambil leyeh-leyeh istirahat dan menunggu giliran membersihkan

badan, masing-masing berbagi cerita dan kabar, juga perkembangan aktivitas masing-masing.

Malam harinya, dilangsungkan pemutaran film dokumenter tentang Pramodya dan Jalan

Daendels. Dalam layar, tampak beberapa dokumentasi jalan raya yang dibangun dari Anyer

sampai Panarukan sepanjang kurang lebih 1000 kilometer pada masa pendudukan Gubernur-

Jenderal Herman Willem Daendels, yang merupakan saksi bisu kekejaman Belanda terhadap

penduduk Indonesia, diselingi dengan narasi oleh Pramodya sendiri. Seusai pemutaran film,

sebelum hujan turun, sempat dilangsungkan periwayaatan kisah hidup Pramodya oleh

keluarganya sendiri, yakni Astuti Ananta Toer, putri Pramodya, dan Adit, sang cucu, yang

menekuni dunia musik, berbeda dengan sang kakek, tetapi tetap mengemban semangat

kakeknya, dengan membentuk sebuah grup yang bernama Tetralogiska.

Seandainya saja hujan tidak keburu turun, mungkin saja periwayatan kisah hidup pengarang

tetralogi Bumi Manusia itu akan berlangsung lebih lama dan lebih meriah. Gerimis yang

menembus dedaunan yang menjadi kanopi pelataran tempat acara semakin membesar,

memaksa audiensi merapat ke sisi bangunan, dan acara resmi malam itu pun terpaksa

diakhiri, tetapi tidak demikian halnya dengan acara tidak resmi yang berlangsung setelahnya

di tempat singgah. Diskusi tentang literasi, rumah baca, dan gerakan swadaya berjaringan

dalam menggalakkan minat baca berlangsung seru. Masing-masing menawarkan gagasan dan

berbagi pengalaman. Gelas demi gelas kopi dituang, bungkus demi bungkus cemilan dilahap,

seiring gagasan demi gagasan digulirkan dalam kesempatan langka bertemunya pegiat literasi

dari berbagai kota.

Kediri kota yang hening, meskipun agak panas. Ini kesan saya sewaktu berputar-putar naik

ojek pada hari sebelumnya dan sewaktu menumpang odong-odong bersama para peserta

Cangkrukan Buku berkeliling kota Kediri pada hari kedua acara. Odong-odong yang

dimaksud adalah sepur kelinci, atau kereta mini yang sering kali dipakai oleh rombongan

anak-anak untuk berkeliling kota. Di tempat saya di Pekalongan juga terdapat kereta

semacam ini, tetapi tidak boleh masuk kota, karena terlalu riskan. Menyusuri jalan dari

Jambu kota Kediri, dengan kiri kanan sepanjang jalan sebagian besar persawahan dan ladang

tebu, meski hawa terasa panas menggerahkan, tetapi memicu kantuk yang melenakan.

Apalagi laju odong-odong yang pelan menghanyutkan. Namun, perjalanan ini terlalu

menyenangkan untuk dilalui hanya dengan memejamkan mata. Barangkali tidak akan ada

kesempatan kedua untuk mengakrabi Kediri.

Persinggahan pertama kereta odong-odong adalah Sendang Tirta Kamandanu, sebuah sumur

kuno di Desa Menang, yang dipercaya sebagai tempat Prabu Joyoboyo, penguasa Kediri

menyucikan diri sebelum moksa. Sebelum memasuki kompleks sendang, terdapat gapura

yang tampak setengah jadi, dengan kerangka kawat beton yang mencuat di sana-sini, entah

karena pembangunannya terhenti, ataukah karena sebab lainnya, saya tidak tahu. Namun

dalam bayangan saya, tempat ini akan jauh lebih indah jika saja gapura utama tersebut telah

selesai dibangun. Memasuki pelataran sendang, pengunjung disambut oleh beberapa pohon

beringin besar yang rindang, dengan satu beringin yang paling besar dan mungkin paling tua

menjulang di tepi sendang, dengan sulur-sulurnya yang rimbun seperti untaian rambut sosok

makhluk raksasa. Di bawah pohon beringin besar tersebut terdapat bangunan segi empat

seperti pusara, tempat seorang perempuan tua tampak khusyuk berdoa, dengan asap dupa

menguar di sekelilingnya. Arca Syiwa yang saling berpunggungan dengan arca Ganesha

berdiri di tepi sumur kuno tersebut. Beberapa orang tampak mengambil air dari sendang

untuk menyucikan diri, bahkan terlihat seorang pesepeda membawa sepedanya untuk

dimandikan!

Para peserta Sastra Odong-odong yang kebanyakan terdiri dari murid-murid setingkat SMP di

Jambu itu dengan antusias mendengarkan penjelasan sang penjaga tentang sejarah dan

perkembangan tempat keramat tersebut. Dikatakan bahwa pada hari-hari tertentu, tempat

keramat tersebut sering kali didatangi oleh para pejabat, mungkin untuk ngalap berkah, atau

alasan tertentu lainnya.

Tepat di bawah pohon beringin besar terdapat empat buah kendi tanah liat berisi air. Ketika

terlihat bahwa orang-orang yang memasuki sendang tersebut pertama kali menenggak air dari

kendi-kendi tersebut, maka beberapa orang dari rombongan ikut berebut menenggak air dari

kendi-kendi itu, termasuk saya. Selain karena memang pada kehausan, barangkali, bagi

mereka yang memercayainya, air dari kendi tersebut memiliki khasiat tertentu.

Dari sendang Tirtakamandanu, perjalanan dilanjutkan ke pusat kota Kediri. Begitu melihat di

kejauhan sebuah bangunan tinggi yang tampak menjulang di tengah-tengah simpang lima,

yang belakangan saya ketahui bernama simpang lima Gumul, saya langsung berseru “Arc de

Triomphe!”. Betul sekali. Bangunan yang menjulang di simpang lima Gumul tersebut

memiliki arsitektur mirip dengan gapura kemenangan yang menjadi ikon bersejarah kota

Paris, Prancis. Beruntung, Arc de Triomphe ala Kediri itu menjadi persinggahan berikutnya

dari Sastra Odong-odong, sehingga saya yang gumunan ini bisa menggumuni keindahannya

dari dekat. Tidak sanggup ke Paris, ke Kediri pun okelah.

Dengan lalu lintas di sekelilingnya yang tidak begitu padat, monumen ikon Kediri itu benar-

benar menjadi public space. Banyak orang dan komunitas memanfaatkannya untuk tempat

bertemu, berkumpul, dan berkegiatan. Rombongan Sastra Odong-odong segera berkerumun

mengambil tempat, bersiap-siap menyaksikan atraksi pesulap dunia dari Swiss, Sigit Susanto.

Begitu atraksi pertama sukses, perhatian semua orang yang tadinya terfokus pada aktivitasnya

masing-masing, menjadi teralihkan, semakin menambah padatnya kerumunan peserta dari

Jambu tesebut. Di sela acara, saya menyempatkan untuk menggumuni Arc de Triomphe ala

Kediri tersebut. Di masing-masing sisi, terdapat pahatan-pahatan yang mencirikan budaya

Kediri. Belakangan, lewat penelusuran di internet saya menemukan bahwa monumen tersebut

memiliki luas 804 meter dan tinggi 25 meter, sesuai dengan hari jadi Kabupaten Kediri, yakni

25 Maret 804.

Puas menikmati keramaian simpang lima Gumul, sebelum pulang ke Jambu, rombongan

Odong-odong menyempatkan singgah di sebuah sanggar ketoprak bernama Suryo Budoyo.

Tampak pelataran tertutup dengan pintu masuk dari triplek yang dilukis menjadi bentuk

gapura. Masuk ke pelataran terdapat panggung sederhana terbuat dari kayu dan bambu

dengan tinggi tidak sampai dua meter. Rombongan diterima oleh pengurus sanggar,

melingkar di atas panggung, dan mendengarkan penjelasan tentang sanggar ketoprak Suryo

Budoyo tersebut. Saya sempat ngeri ketika satu per satu peserta Sastra Odong-odong yang

berjumlah puluhan itu menaiki panggung yang barangkali hanya pernah dinaiki paling

banyak oleh sepuluh pemain ketoprak saja. Apa muat panggung yang disangga bambu itu

menampung puluhan orang? pikir saya. Ternyata memang muat, meski tampak ringkih,

panggung itu kuat menampung semua peserta Sastra Odong-odong, barangkali seperti

sanggar Suryo Budoyo itu sendiri, meski tampak kecil dan sederhana, sanggar tersebut

mampu melestarikan budaya ketoprak di kalangan masyarakat dan terus bertahan dari

gerusan zaman, against all odds. Dan kebetulan, pada malam harinya, akan diadakan

pementasan rutin ketoprak Suryo Budoyo, dengan lakon yang saya lupa apa tepatnya.

Sewaktu kecil, terutama sebelum munculnya stasiun-stasiun TV swasta, saya gemar

menonton ketoprak di TVRI, terutama ketoprak sayembara. Baru kali ini saya akan

menyaksikan secara live pementasan ketoprak. Maka malam itu, seusai rombongan Odong-

odong tiba kembali di Jambu, seusai mandi-mandi dan makan-makan serta ngobrol-ngobrol,

menggunakan beberapa motor, kami meluncur kembali ke sanggar. Tadinya saya mengira

akan ada penonton yang setidaknya jumlahnya melebihi rombongan dari Jambu. Ternyata,

mayoritas penonton adalah kami, di luar kami hanya ada seorang kakek dan dua atau tiga

penonton lain yang saya duga merupakan anggota keluarga dari para pemain. Berdasarkan

kenyataan tersebut, saya tidak yakin kalau sanggar ini akan berumur panjang tanpa adanya

uluran tangan dari pihak luar, entah itu pemerintah ataupun masyarakat lainnya. Jikapun

ketidakyakinan saya ternyata tidak terbukti, berarti mereka memang luar biasa.

Suara gamelan mulai dilantunkan oleh beberapa penabuh yang sebagian besar, jika tidak

semuanya, terdiri dari orang tua. Tiga orang penari cilik membuka pementasan dengan

sebuah tarian. Panggung yang pada siang hari tampak sederhana, dengan tata cahaya dan tata

layar belakang yang meski seadanya, menjadi arena yang cukup memanjakan mata.

Perpindahan adegan demi adegan, layar digulung, layar dikembangkan, menjadi hiburan yang

cukup bisa dinikmati. Lama sekali saya tidak mendengarkan tuturan bahasa Jawa halus,

meski terus-terang ada beberapa kosakata yang tidak bisa saya pahami betul maknanya, saya

tetap bisa mengikuti jalinan cerita yang dipentaskan dan bertepuk tangan tulus begitu pemain

di atas panggung mengumumkan pentas malam itu telah usai.

Baru pukul 11 malam ketika kami keluar dari pelataran sanggar setelah berpamitan, tetapi di

sebuah desa yang cukup jauh dari pusat kota tersebut, pukul segitu sudah termasuk larut.

Jalanan menuju ke Jambu sudah sangat senyap. Sesekali lampu-lampu motor kami menembus

kegelapan jalan yang diapit oleh ladang-ladang tebu dan persawahan. Tidak ada tanda-tanda

siapa pun lagi yang melintas. Begitu tiba di Jambu, kami pun langsung beristirahat untuk

menyiapkan perjalanan pulang keesokan harinya.

Sebelumnya, saya sempat berencana akan mampir ke Pondok Maos Cendani, yang didirikan

oleh Mbak Muntamah yang kini sedang bekerja di Hong Kong, dan yang dikelola sehari-hari

oleh Mbak Ayyu yang saya temui pada malam hari seusai pemutaran film. Namun, karena

saya harus mengantar Mbah Djamali pulang ke Semarang pada pukul 10 pagi sesuai jadwal

keberangkatan travel, saya pun tidak punya waktu untuk mampir ke sana; semoga pada

kesempatan lain bisa mampir ke Pondok Maos Cendani. Mbah Djamali akan memisahkan

diri dari rombongan Kendal; Kang Sigit, Heri, dan Tommas akan meneruskan perjalanan dari

Kediri ke Bandung untuk membedah buku Menyusuri Lorong-Lorong Dunia 3 di toko buku

Ultimus. Masing-masing pun berpisah. Daurie pulang ke Jakarta, Kang Ubai dan Husni sudah

lebih dulu pulang sehari sebelumnya ke Jakarta.

Seiring travel melaju membelah jalanan Kediri yang sunyi, percik-percik gagasan

bermunculan, bahwa tidak peduli di mana pun tempatnya, selama buku terbaca dan selama

orang-orang membaca buku, selalu ada harapan untuk sesuatu yang lebih baik, pemahaman

akan kehidupan yang lebih baik, dan perspektif akan realitas yang lebih baik. Kegigihan

individu dan komunitas yang bergiat mengatasi segala keterbatasan dalam menggeluti

aktivitas sastra dan literasi selalu membuat saya salut dan kagum. Kerja-kerja seperti ini

adalah kerja sukarela dan kerja yang sepi dari perayaan. Namun, bukan berarti kami tidak

bisa merayakannya dengan cara kami sendiri. Tahun ini Kediri, entah tahun depan di mana

lagi. Semoga kerja-kerja swadaya dan berjejaring seperti ini akan terus bertumbuh dan

berkembang menjadi media dan kekuatan alternatif dalam pencerdasan masyarakat.