Adenocarcinoma
-
Upload
tary-brahmantra -
Category
Documents
-
view
122 -
download
8
description
Transcript of Adenocarcinoma
BAB I
PENDAHULUAN
Kanker serviks merupakan penyebab utama kematian pada perempuan. Kanker serviks
merupakan salah satu penyakit neoplastik yang paling sering diderita wanita di dunia.
Sekitar 85% kejadian kanker serviks terjadi di negara berkembang. Di negara maju seperti
Amerika Serikat penyakit ini relatif jarang terjadi sedangkan di negara berkembang insiden
penyakit ini terus meningkat. Hal ini dikarenakan negara maju sudah menerapkan metode
deteksi dini kanker serviks dengan menggunakan Papanicolaou test (PAP Smear)
sehingga kanker serviks menjadi penyakit yang dapat dicegah di negara maju.1,2,3
The American Cancer Society memperkirakan kejadian kanker serviks di Amerika
Serikat pada tahun 2010 mencapai 12.200 kasus baru. Sedangkan di negara berkembang
kanker serviks masih menempati urutan pertama di antara penyakit kanker pada wanita. Di
Indonesia diperkirakan 90-100 kanker baru terjadi di antara 100.000 penduduk
pertahunnya. Selain itu, laporan dari berbagai rumah sakit pendidikan di Indonesia
menyatakan prevalensi kanker serviks berkisar antara 0,2-1,3% dari seluruh kasus Obstetri
dan Ginekologi. Namun, beberapa rumah sakit di Indonesia melaporkan bahwa proporsi
kanker serviks di antara seluruh kanker ginekologi sebesar 65-77,7%. Meski demikian
secara keseluruhan angka tersebut dianggap masih lebih rendah dari jumlah kasus
sebenarnya. Hal ini disebabkan oleh pengaruh faktor kebudayaan, dalam hal ini para
wanita sering enggan untuk diperiksa oleh karena ketidaktahuan, rasa malu, rasa takut, dan
faktor lainnya karena masih rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan penduduk di
Indonesia baik mengenai kanker secara umum maupun kanker serviks secara khusus.4,5
Kanker serviks merupakan penyakit yang multifaktorial dan mempunyai fase laten
yang panjang. Sebagian besar yaitu 80-85% kasus kanker serviks terdiagnosis pada
stadium invasif atau sudah lanjut. Keterlambatan diagnosis mengakibatkan penanganan
kanker serviks tidak memberikan hasil yang optimal serta prognosis yang cenderung
buruk. Sehingga rerata angka harapan hidup satu tahun penderita kanker serviks terbilang
sangat rendah yaitu 2,18%. Salah satu faktor prognosis dari kanker serviks adalah jenis
histopatologi. Jenis histopatologi yang paling banyak diderita wanita adalah karsinoma sel
skuamosa servik, sedangkan adenokarsinoma lebih sedikit, tetapi insidennya terus
meningkat pada beberapa tahun terakhir.6,7,8
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Karsinoma serviks adalah pertumbuhan tanpa henti jaringan abnormal di dalam serviks
uteri. Kanker serviks merupakan penyakit keganasan pada serviks yang dapat berasal dari
epitel, fibroblast, pembuluh darah, limfe, dan campuran. Hampir sebagian besar kanker
serviks (80-90%) berasal dari jenis skuamosa epitelial, disebut squamous cell carcinoma,
sisanya (10-15%) berasal dari epitel kelenjar, disebut adenocarcinoma.4
Kanker serviks dimulai dari gangguan diferensiasi sel pada lapisan epitel skuamosa
yang atipik yang dikenal sebagai displasia/Neoplasia Intraepitel Serviks (NIS)/lesi pra
kanker. Dari lesi pra kanker menuju lesi kanker invasif membutuhkan waktu hampir 10
tahun. Tetapi tidak semua lesi pra kanker menjadi invasif, dimana sekitar 30%-35% lesi
pra kanker mengalami regresi spontan.4
2.2 Anatomi dan Histologi Serviks
Serviks merupakan bagian dari sistem reproduksi wanita yang terletak di bawah uterus,
memasuki liang vagina dan menghubungkan uterus dengan vagina. Serviks terdiri dari 2
bagian yaitu ektoserviks dan endoserviks. Bagian ektoserviks dilapisi oleh sel epitel
skuamosa berlapis dan nonkeratin. Sedangkan bagian endoserviks dilapisi oleh sel epitel
kolumner selapis. Sel epitel kolumner terdiri dari 2 macam yaitu sel yang bersilia dan sel
yang tidak bersilia. Sel yang tidak bersilia memproduksi lendir atau mukus yang
membasahi kanalis servikalis dan sel yang bersilia berfungsi membersihkan lendir/mukus
tersebut. Selama hamil epitel kolumnar pada endoserviks akan bergerak menuju
ektoserviks kemudian dengan pengaruh keasaman pada serviks sel ini akan berubah
menjadi epitel skuamosa. Peristiwa ini disebut metaplasia skuamosa.
Pertemuan antara epitel skuamosa dan epitel kolumner endoserviks membentuk
Squamo Columnar Junction (SCJ). Secara morfogenetik SCJ dibagi menjadi 2 jenis,
yaitu:2,5
1. SCJ anatomis yang menjadi tempat pertemuan antara epitel skuamosa asli dengan
epitel kolumner.
2. SCJ fungsional merupakan tempat pertemuan epitel skuamosa metaplastik di
daerah transformasi dengan epitel kolumner.
2
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Hingga saat ini penyebab kanker serviks belum diketahui secara pasti. Beberapa faktor
risiko yang dikatakan dapat menyebabkan terjadinya kanker serviks, antara lain: 1,2,3
1. Human Papillomavirus
Sembilan puluh sembilan persen kanker serviks disebabkan oleh Human
Papillomavirus (HPV). HPV merupakan virus yang dapat ditularkan melalui
hubungan seksual. Dari 100 jenis HPV, lima di antaranya berhubungan erat
dengan kanker serviks, yaitu HPV tipe 16, 18, 31, 35, 45. Infeksi tipe-tipe HPV
ini menyebabkan perubahan pada sel-sel serviks, dimana perubahan ini bisa
mengarah menuju lesi kanker.
2. Riwayat Seksual
Wanita yang memiliki risiko tinggi untuk menderita kanker serviks adalah
wanita-wanita dengan kriteria seksual sebagai berikut:
a. Wanita yang memiliki partner seksual yang banyak dan bervariasi.
b. Wanita dengan pasangan seksual yang memiliki banyak partner seksual
dan bervariasi.
c. Wanita yang memulai hubungan seksual pada umur muda.
d. Wanita yang mempunyai riwayat penyakit hubungan seksual
3. Usia
Kanker serviks biasanya mengenai wanita berusia lebih dari 40 tahun.
4. Tidak pernah menjalani pemeriksaan Pap Smear
Prosedur Pap Smear dapat membantu dalam menemukan sel-sel prekanker.
Pengobatan lesi prekanker pada serviks umumnya dapat mencegah progresivitas
kanker.
5. Sistem imun lemah
Melemahnya sistem imun akan memudahkan HPV untuk menginfeksi tubuh,
yang secara langsung akan memudahkan berkembangnya kanker serviks itu
sendiri.
6. Merokok
Wanita perokok dengan infeksi HPV memiliki risiko menderita kanker serviks
lebih tinggi daripada wanita bukan perokok dengan infeksi HPV.
7. Kehamilan multipel
Penelitian membuktikan bahwa paritas tinggi meningkatkan risiko menderita
kanker serviks.
3
8. Kontrasepsi oral
Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama (lebih dari 5 tahun)
meningkatkan risiko menderita kanker serviks.
9. Riwayat adanya kanker serviks dalam keluarga
10. Infeksi HIV
Infeksi HIV berkaitan dengan sistem imun yang rendah yang dapat memudahkan
pertumbuhan HPV.
11. Konsumsi obat hormonal diethylstilbestrol (DES)
2.4 Patogenesis
Posisi Squamo Columnar Junction (SCJ) dapat berubah sesuai dengan volume serviks.
Perubahan lingkungan vagina seperti pH asam dapat mengubah epitel kolumner menjadi
skuamosa, perubahan tersebut disebut metaplasia. Metaplasia juga dapat terjadi akibat
perubahan hormonal ovarium, proses peradangan, iritasi kronis, koitus, dan trauma
langsung.
Perubahan tersebut dimulai dari tepi luar epitel kolumner dan berlanjut ke arah
kanalis servikalis yang dilakukan oleh sel-sel cadangan yang terdapat di bawah epitel
kolumner. Proses ini merupakan hal yang normal pada kebanyakan wanita dan epitel yang
terbentuk oleh proses metaplasia tersebut epitel skuamosa asli. Dengan demikian batas sel
skuamosa metaplastik dengan epitel kolumner menjadi sambungan skuamokolumner yang
baru, sedangkan sambungan skuamokolumner yang lama menjadi sambungan
skuamoskuamosa dan daerah yang terjadi metaplasia tersebut daerah transformasi atau
transisi. Daerah ini sulit dibedakan dengan epitel ektoserviks yang asli.5
Sel-sel metaplastik ini dapat menjadi sel yang berpotensi ganas bila dikenai
mutagen seperti sperma, Virus Herpes Simplex tipe 2, klamidia, virus papova atau bahan
lain yang mengandung DNA pada saat fase aktif atau fase awal dari metaplasia. Kelainan
ini disebut dengan displasia. Displasia yang terjadi dimulai dari bentuk ringan, sedang dan
selanjutnya dapat berkembang menjadi kanker invasif jika daya tahan tubuh tidak dapat
mengatasi sel-sel tersebut.5
Karsinoma sel skuamosa sebenarnya dapat terjadi pada lesi yang telah mengalami
dysplasia. Meskipun sebagian besar wanita dapat terbebas dari HPV, beberapa di
antaranya dapat bersifat persisten yang dapat memperburuk progresivitas sel dysplasia
berubah menjadi sel kanker. Peristiwa karsinogenesis ini merupakan hasil dari interaksi
antara faktor lingkungan, imunitas pasien, maupun variasi genom dari pasien.5
4
Gambar 1. Proses Metaplasia Skuamosa.5
Beberapa penelitian mengatakan HPV merupakan faktor utama penyebab kanker
serviks karena virus ini memiliki serotype oncogenic yang mampu bergabung dengan
genome manusia, sehingga protein replikasi oncogenic HPV seperti E1 dan E2 mampu
membuat virus bereplikasi di dalam sel-sel serviks. Kadar protein E1 dan E2 terlihat tinggi
terutama saat infeksi HPV. Sementara itu, produk-produk gen virus (oncoprotein) seperti
E6 dan E7 dapat mengubah transformasi sel normal menjadi sel tumor. E7 berikatan
dengan retinoblastoma (Rb) tumor suppressor protein sedangkan E6 berikatan dengan p53
tumor suppressor protein. Pengikatan ini mengakibatkan degradasi tumor suppressor
protein sehingga pertumbuhan sel tumor tidak dapat dikendalikan.5
Gambar 2. Interaksi Faktor Lingkungan, Imunitas Pasien, dan Genetika Pasien dalam
Pembentukan Sel Kanker.3
5
Gambar 3. Mekanisme Degradasi Tumor Supressor Protein oleh Virus Oncogene Protein.5
2.5 Klasifikasi Kanker Serviks
Seperti dijelaskan sebelumnya kanker serviks bermula dari sel yang mengalami displasia.
Displasia sendiri dapat muncul bila ada aktivitas regenerasi epitel yang meningkat,
misalnya akibat trauma mekanik atau kimiawi, infeksi virus atau bakteri dan gangguan
keseimbangan hormon. Displasia mencakup berbagai lesi intraepitelial yang secara
sitologik dan histologik berbeda dari epitel normal, tetapi belum mempunyai kriteria
keganasan. Displasia dibagi menjadi 3 tingkat:5
1. Displasia ringan, bila kelainan epitel terbatas pada lapisan basal
2. Displasia sedang, bila lesi melebihi dari lapisan epithelial
3. Displasia berat, bila seluruh lapisan epithelial sudah terkena
Karena displasia berat sulit dibedakan dengan karsinoma insitu (KIS), pada tahun
1996 Richart mengusulkan pemakaian istilah Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN)
atau Neoplasia Intraepithelial Serviks (NIS) yang dibagi menjadi 3 yaitu:5
1. NIS I, untuk displasia ringan
2. NIS II, untuk displasia sedang
3. NIS III, untuk displasia berat dan KIS
Bila dihubungkan dengan prognosis, kanker serviks dibagi menjadi tiga jenis
secara histologi antara lain karsinoma sel skuamosa, adenokarsinoma dan adenoskuamosa
6
karsinoma. Karsinoma sel skuamosa dikatakan mempunyai prognosis lebih baik dari tipe
yang lainnya.5
1. Karsinoma Skuamosa
Karsinoma skuamosa tersusun dari sel skuamosa. WHO membagi sel skuamosa
karsinoma menjadi large cell keratinizing, large cell non-keratinizing, dan small
cell keratinizing. Kebanyakan karsinoma skuamosa bersifat non-keratinizing,
sedangkan yang bersifat keratinizing ditandai dengan adanya mutiara keratin.
Sedangkan berdasarkan sifat diferensiasi selnya, karsinoma skuamosa dibagi
menjadi 3, yaitu karsinoma skuamosa berdiferensiasi baik, sedang, dan buruk.
2. Adenokarsinoma
Adeno karsinoma berasal dari kelenjar endoserviks. Sekitar 70 % tumor ini
menunjukkan gambaran jenis sel endoservikal. Secara histologi tumor ini
mengalami diferensiasi dari baik sampai buruk.
3. Adenoskuamosa karsinoma
Tersusun dari dua jenis sel yang berdiferensiasi yaitu sel kuamosa dan sel
glandular. Umumnya mempunyai prognosis yang lebih jelek dari asal selnya oleh
karena mempunyai diferensiasi yang jelek dan tumor ini sering dihubungkan
dengan tingginya angka metastasis ke kelenjar limfe daripada sel aslinya. Tumor
ini terjadi pada umur yang masih muda
2.6 Manifestasi Klinis
Kanker serviks dini sering tidak menunjukkan gejala. Pada wanita yang secara rutin
melakukan screening, tanda awal dari kanker serviks umumnya berupa hasil pap smear
yang abnormal. Jika penyakit menjadi memburuk, perlu diperhatikan gejala-gejala yang
mungkin terjadi yaitu:1,2,3
1. Perdarahan abnormal pervaginam, seperti perdarahan saat berhubungan seksual
(post coital bleeding), perdarahan saat dilakukan pemeriksaan ginekologik,
perdarahan antara periode menstruasi, menstruasi berlangsung lama dan lebih berat
daripada sebelumnya, perdarahan saat menopause.
2. Pengeluaran cairan pervaginam yang tidak normal (terkadang berbau busuk)
3. Nyeri daerah pelvis, pinggang/punggung dan tungkai
4. Nyeri saat berhubungan seksual
5. Gangguan kencing dan defekasi
7
Kanker serviks yang sudah meluas melewati batas-batas serviks dapat
menimbulkan gejala-gejala berupa nafsu makan berkurang, penurunan berat badan,
kelelahan, nyeri panggul, punggung atau tungkai, dari vagina keluar air kemih atau tinja,
patah tulang (fraktur), konstipasi, hematuria, fistula, obstruksi uretra dan lainnya sesuai
dengan organ yang terkena.
2.7 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis kanker serviks harus mengikuti tahapan sebagai berikut.1,2,3
2.7.1 Anamnesis
Tanyakan kepada pasien hal-hal berikut:
a. faktor risiko
b. keputihan
c. perdarahan pervaginam abnormal
d. perdarahan post koital
e. perdarahan pasca menopause
f. gangguan kencing dan defekasi
g. nyeri daerah pelvis, pinggang/punggung dan tungkai
h. keluhan lain sesuai dengan lokasi penyebaran penyakit
2.7.2 Pemeriksaan Fisik Umum
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pembesaran kelenjar supraklavikula dan
inguinal, pembesaran liver, ascites, dan lain-lain sesuai organ yang terkena.
2.7.3 Pemeriksaan Ginekologi
a. Dengan VT bisa ditemukan:
1. vagina: fluor, fluxus, tanda-tanda penyebaran/infiltrasi pada vagina
2. porsio: berdungkul, padat, rapuh, ukuran bervariasi, eksofitik/endofitik
3. uterus: normal/membesar
4. adneksa parametrium: tanda-tanda penyebaran
b. Dengan RT dinilai penyebaran penyakit ke arah dinding pelvis (cancer free space),
yang merupakan daerah bebas antara tepi lateral serviks dengan dinding pelvis.
1. CSF 100%: belum ada tanda-tanda penyebaran
2. CSF 25-100%: ada penyebaran, belum sampai dinding pelvis
3. CSF 0%: penyebaran mencapai dinding pelvis
Dari pemeriksaan VT dan RT juga dapat dinilai penyebaran ke kolon, rektum dan
vesika urinaria.
8
2.7.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat diusulkan pada wanita yang mempunyai gejala-gejala
atau hasil pap smear yang menunjukkan adanya lesi prekanker atau kanker pada
serviks. Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan antara lain:
1. Kolposkopi
Prosedur kolposkopi digunakan untuk memperbesar gambaran permukaan
porsio sehingga pembuluh-pembuluh darah jelas terlihat (dengan memperhatikan
pembuluh-pembuluh darah pada porsio, kanker serviks lebih cepat dikenal).
2. Biopsi
Biopsi adalah pengambilan sebagian kecil jaringan untuk diperiksa secara
histopatologi apakah ada sel-sel prekanker atau sel-sel kanker. Selain itu klasifikasi
sel-sel kanker juga dapat dikelompokkan menjadi 3 tipe yaitu epidermoid, adenoid,
dan tipe lainnya.
Jika dicurigai adanya tanda-tanda perluasan dari kanker serviks tersebut, pemeriksaan
lanjutan yang perlu dilakukan adalah:
1. Foto thoraks
2. CT scan
3. MRI scan
4. Ultrasound scan
2.8 Stadium Klinis
Stadium atau tingkat keganasan kanker serviks di tentukan menurut klasifikasi FIGO
(International Federation of Gynecology and Obstetric), tahun 2000. Klasifikasi ini
didasarkan atas hasil dari pemeriksaan klinis pada saat operasi.
Tabel 1. Stadium Klinis Kanker Serviks Menurut FIGO, Revisi 20001
Stadiu
m
Karakteristik
0 Karsinoma In Situ (KIS) atau karsinoma intraepitel : membrana basalis
masih utuh
I Proses terbatas pada serviks (perluasan ke korpus uteri diabaikan).
IA Invasi kanker ke stroma hanya dapat didiagnosis secara mikroskopis. Lesi
yang dilihat secara makroskopik walau denganinvasi yang superfisial
9
dikelompokkan ke dalam stadium IB
IA1 Invasi ke stroma dengan kedalaman kurang dari 3 mm dan lebar horizontal
lesi kurang dari 7 mm
IA2 Invasi ke stroma lebih dari 3 mm dan kurang dari 5 mm serta lebar
horizontal lesi kurang dari 7 mm
IB Lesi klinis terbatas pada serviks atau secara mikroskopik terlihat lebih luas
dari IA
IB1 Lesi klinis berukuran kurang dari 4 cm dari dimensi terbesar
IB2 Lesi klinis berukuran lebih dari 4 cm dari dimensi terbesar
II Tumor telah menginvasi di luar uterus, tetapi belum mengenai dinding
panggul dan/atau mengenai sepertiga distal/bawah vagina
IIA Tidak terlihat penyebaran ke parametrium
IIB Terlihat penyebaran ke parametrium
III Tumor telah meluas ke dinding panggul dan/atau mengenai sepertiga
distal/bawah vagina dan/atau menyebabkan hidronefrosis atau tidak
berfungsinya ginjal
IIIA Tidak ada perluasan ke dinding panggul, tetapi sudah mencapai sepertiga
bagian bawah vagina
IIIB Perluasan ke dinding panggul disertai tanda hidronefrosis atau gagal ginjal
akibat tumor
IV Tumor telah meluas keluar organ reproduksi
IVA Tumor menginvasi ke mukosa kandung kemih atau rektum da/atau ke luar
dari rongga panggul minor
IVB Metastasis jauh penyakit mikroinvasif: invasi stroma dengan kedalaman 3
mm atau kurang dari membrana basalis epitel tanpa invasi ke rongga
pembuluh darah/limfe atau melekat dengan lesi kanker serviks
10
Gambar 4. Stadium Klinis Kanker Serviks Menurut FIGO3
2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kanker leher rahim dapat dipilih berdasarkan stadium penyakit. Pada
stadium 0 terapi operasi berupa konisasi dilakukan jika pasien masih berusia muda dan
masih menginginkan anak atau operasi histerektomi simpel. Pada stadium IA sampai
dengan IIA dilakukan histerektomi simpel atau radikal. Stadium IIB-IIIB dilakukan radiasi
dan kemoradiasi sedangkan stadium IV terapi yang dapat dilakukan adalah radiasi paliatif
atau perawatan paliatif . Selain itu juga dilakukan rehabilitasi terutama karena efek dari
pengobatan. Misalnya pasca histerektomi radikal dapat terjadi inkontinensia urin yang
memerlukan latihan untuk berkemih. Penyebaran penyakit sering mengakibatkan
limfedema pada ekstremitas bawah yang dapat menimbulkan masalah bengkak, gangguan
gerak dan nyeri yang perlu diketahui lebih awal. Umumnya pasien kanker serviks datang
ke rumah sakit pada stadium yang telah lanjut, maka penanganannya pun menjadi sangat
kompleks. Bagan penatalaksanaan kanker serviks dapat dilihat pada gambar 5.6
Gambar 5. Skema Penatalaksanaan Karsinoma Serviks Uteri.6
11
Kanker Serviks
Stadium 0 Stadium I-IIA Stadium IIB Stadium III Stadium IV
Ingin Anak
Radikal Histerektomi
Tidak Ingin Anak
Konisasi
Histerektomi
Sel ganas (+) pada kelenjar limfe atau
keterlibatan pembuluh darah (+)
Terapi adjuvan:Eksternal radiasi 4000-5000 radSitostatika PVB/BOM
Sel ganas (-) pada kelenjar limfe atau
keterlibatan pembuluh darah (-)
Pengawasan Lanjut
NeoadjuvanKemoterapiKemo+radiasi
internal
Radikal Histerektomi
Operable
Non operable
Eksternal radiasi 4000-5000 rad
Kemoradiasi
Radiasi Eksternal
Paliatif
Kanker Serviks
Stadium 0 Stadium I-IIA Stadium IIB Stadium III Stadium IV
Ingin Anak
Radikal Histerektomi
2.10 Pencegahan
Diketahui bahwa pengobatan pada tahap pra –kanker (displasia dan karsinoma in situ)
memberikan kesembuhan 100%. Agar tercapai hasil pengobatan kanker serviks yang lebih
baik, salah satu faktor utamanya adalah adanya metode untuk penemuan stadium lebih
awal. Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, selain meningkatkan kegiatan
komunikasi, informasi, dan edukasi, program screening dan deteksi dini kanker serviks
secara maksimal harus diutamakan. Beberapa metode screening yang dapat dilakukan
untuk mendeteksi dini kanker serviks adalah pap smear, inspeksi visual asam asetat,
kolposkopi dan biopsi.5
2.11 Prognosis
Faktor-faktor yang menentukan prognosis adalah umur penderita, keadaan umum pasien ,
tingkat klinik keganasan, ciri-ciri histologik sel tumor, kemampuan tim ahli yang
menangani dan sarana pengobatan yang ada.
Karsinoma serviks yang tidak diobati atau tidak memberikan respon terhadap
pengobatan 95% akan mengalami kematian dalam 2 tahun setelah timbul gejala. Pasien
yang mengalami histerektomi dan mengalami resiko tinggi terjadinya rekurensi harus terus
diawasi karena lewat deteksi dini dapat diobati dengan radioterapi. Setelah histerektomi
radikal, terjadi 80% rekurensi dalam 2 tahun.5 Prognosis (5 years survival) yaitu:
1. stadium I : 85%
2. stadium II: 42-70%
3. stadium III:26-42%
4. stadium IV : 0-12%
Faktor prognosis ditentukan berdasarkan:
1. Stadium Klinis
Stadium klinis merupakan faktor determinan yang paling penting dalam
menentukan prognosis pada kanker serviks. Angka harapan hidup 5 tahun pada
pasien dengan stadium IA (95-100%) dan stadium IV (<5%). Pasien pada stadium
awal ditentukan oleh faktor lokal seperti ukuran lesi, presentase invasi tumor ke
stroma serviks, histologi, grading tumor dan kena tidaknya jaringan limfe dan
pembuluh darah.
Secara umum prognosis baik jika diameter lesi ≤2cm, invasi masih
superfisial, berdiferensiasi baik tanpa disertai invasi ke jaringan limfe dan
pembuluh darah. Untuk pasien pasca histerektomi, faktor yang buruk meliputi
12
semua faktor lokal di atas, termasuk hasil positif pada pinggir vagina/parametrium
dengan metastase ke limfonodi pelvis. Pasien stadium IB dengan nodus positif
prognosisnya turun dari 75-85% menjadi 50%.
Untuk pasien stadium lanjut (stadium II-IV) prognosisnya sangat ditentukan
oleh jenis histologinya dan ukuran lesi primer tumor. Angka harapan hidup lebih
tinggi pada stadium IIB dengan keterlibatan parametrialyang minimal daripada
pasien dengan ukuran tumor yang besar dan keterlibatan parametrial bilateral.
Secara histologis tumor berlapis pipih bersel besar tidak menanduk (large-cell
nonkeratinizing squamous tumor) memiliki prognosis yang lebih baik
dibandingkan adenokarsinoma berdiferensiasi buruk.5
2. Faktor prognosis yang lain
Faktor prognosis yang lain meliputi keadaan umum dan status nutrisi pasien.
Pasien dengan anemia menunjukkan respon terapi radiasi yang lebih buruk
dibandingkan dengan pasien dengan kadar hemoglobin normal. Penelitian 7
institusi di Kanada menemukan kadar Hb merupakan faktor prognostik penting
setelah stadium tumor. Kadar Hb harus dipertahankan ≥12 g/dL untuk keberhasilan
radioterapi.5
13
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
No RM : 38.78.08
Nama Pasien : WW
Alamat : Banjar Dinas Pasut Tengah Kaja, Kerambitan, Tabanan
Usia : 28 tahun
Agama : Hindu
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Kewarganegaraan : Indonesia
Status Perkawinan : Sudah Menikah
Masuk Rumah Sakit : 23 Agustus 2013
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Perdarahan pervaginam
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan utama perdarahan pervaginam sejak 4 hari SMRS.
Perdarahan awalnya keluar sedikit-sedikit namun keluar secara kontinyu. Darah yang
keluar dikatakan berwarna merah segar dan terkadang bergumpal. Selain itu pasien
juga mengeluh pusing, lemah, letih, lesu, dada sering berdebar bila beraktivitas, mata
berkunang-kunang. Pasien menyangkal adanya riwayat telinga berdenging. Keluhan
dikatakan memberat saat beraktivitas dan akan sedikit berkurang dengan istirahat.
Pasien juga mengeluhkan adanya hambatan saat berkemih tanpa nyeri.
Pasien mengatakan pada Januari 2013 ia mengalami keluhan perdarahan diluar
menstruasi berupa gumpalan dan darah segar yang cukup banyak hingga pasien perlu
mengganti pembalut lebih dari 5 kali per harinya. Setelah diperiksakan ternyata IUD
yang terpasang mengalami pergeseran sehingga diputuskan untuk melepas IUD dan
menggantinya dengan KB suntik setiap 1 bulan.
Selama bulan februari, maret, dan april pasien menggunakan KB suntik namun
keluhan perdarahan tetap muncul. Hingga akhirnya pada bulan agustus perdarahan
14
masih sering terjadi dan pasien mulai mengeluhkan tubuhnya lemas, sering pusing, dan
maatanya sering berkunang-kunang. Pasien menyangkal adanya riwayat keputihan
lama yang berbau atau perdarahan setelah berhubungan seksual. Pasien juga
menyangkal adanya rasa nyeri.
Riwayat Menstruasi
Pasien menarche pada usia 12 tahun, dengan lama siklus rata-rata 28 hari, lama
menstruasi ± 4 hari, tanpa gangguan selama menstruasi.
Riwayat Perkawinan
Pasien menikah satu kali yaitu dengan suaminya saat ini selama 10 tahun.
Riwayat Obstetri
Anak pertama pasien lahir 10 tahun yang lalu, jenis kelamin perempuan, lahir dengan
berat badan 3800 gram, lahir secara spontan dibantu oleh bidan tanpa komplikasi
persalinan.
Riwayat Kontrasepsi
Setelah melahirkan anak pertama, pasien menggunakan KB Spiral yang dipasang pada
tahun 2003 selama 6 tahun. Pada tahun 2009, pasien mengganti alat kontrasepsinya
dengan spiral yang kedua. Pada awal tahun 2013 alat KB Spiral tersebut dilepas akibat
mengalami pergeseran alat IUD dengan keluhan menstruasi yang tidak teratur. Pasien
mengganti metode kontrasepsi dengan alat KB suntik setiap 1 bulan sekali dan sudah
pernah disuntik sebanyak 3 kali.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menyangkal pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Riwayat
penyakit berat lainnya disangkal. Riwayat alergi disangkal. Riwayat penyakit jantung
dan tekanan darah tinggi juga disangkal. Pasien menyangkal adanya berat badan yang
turun secara drastis dalam waktu singkat.
Riwayat Keluarga
Pasien menyangkal adanya riwayat penyakit yang sama dalam keluarganya.
15
Riwayat Sosial
Pasien menyangkal memiliki kebiasaan merokok namun suami pasien adalah seorang
perokok sejak lama yang mampu menghabiskan 1 bungkus rokok per hari. Pasien
melakukan hubungan seksual pertama kali dengan suaminya pada usia < 18 tahun,
namun riwayat berganti-ganti pasangan disangkal. Riwayat meminum pil KB
disangkal. Riwayat penggunaan DES (dietilbestrol) pada kehamilan untuk mencegah
keguguran juga disangkal oleh pasien. Riwayat adanya infeksi herpes atau chlamidya
menahun juga disangkal. Pasien dan suami berasal dari golongan ekonomi lemah
sehingga pasien mengaku tidak pernah melakukan pemeriksaan pap smear
sebelumnya.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda Vital
Keadaan Umum : Sedang
Gizi : Baik
GCS : E4V5M6
Tensi : 110 / 70 mmHg
Suhu Axilla : 37,5 oC
Nadi : 82 kali / menit
Respirasi : 20 kali / menit
Pemeriksaan Fisik Umum
Kepala : Normal
Mata : Konjungtiva Anemis + / +, Ikterus - / -, RP + / + isokor
Gigi : Normal
Tiroid : Normal
Payudara : Normal
Jantung : S1 S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Paru : Vesikuler + / +, rhonki - / -, wheezing - / -
Perut : Distensi (-), bising usus (+) normal
Pelvic : Normal
Tungkai Atas : Normal, edema - / -
Tungkai Bawah : Normal, edema - / -
Kelenjar Limfe : Normal, pembesaran (-)
16
Pemeriksaan Ginekologi
Abdomen: Tinggi Fundus Uteri Tidak Teraba, Distensi (-), Bising Usus (+) Normal,
Nyeri Tekan (-)
VT : Fluxus (+), Flour (-), Porsio rapuh, berdungkul, mudah berdarah,
CUAF b/c ~ Normal
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan Darah Lengkap (23-01-2013) menunjukkan:
WBC : 12.7 x 103/μL,
Neu : 11.1 x 103/μL,
Lim : 0.878 x 103/μL,
Mo : 0.5 x 103/μL,
Eos : 0.005 x 103/μL,
Bas : 0.208 x 103/μL,
RBC : 3.64 x 103/μL,
HGB : 4.3 gr/dL,
HCT : 27.0 %
MCV : 76.5 fL
MCH : 22.9 pg
PLT : 353.0 x 103/μL
Imaging
Tidak dievaluasi
Pemeriksaan Histopatologi
Sesuai gambaran adenocarcinoma cervix stadium II B
3.5 Diagnosis
Adenocarcinoma Cervix Stadium II B + Anemia Berat Hipokromik Mikrositer e.c.
Suspek Perdarahan Kronis
3.6 Penatalaksanaan
Planning Diagnostik:
17
Penetapan stadium klinis
Laboratorium : darah lengkap, LFT, RFT
Imaging : Foto thorax, USG ginjal/abdomen
Planning Terapi:
Pasang tampon untuk menghentikan perdarahan
Transfusi PRC hingga Hb > 10 mg%
Tangani sesuai stadium : kemoterapi neo-adjuvan
KIE:
Jelaskan pada keluarga mengenai penyakit yang diderita pasien hingga rencana terapi
dan prognosisnya
Tanggal S O A P
23 Agustus
2013
Keluhan badan
terasa lemas,
perdarahan
pervaginam (+)
sedikit, nyeri pada
perut bagian
bawah saat batuk
(+), BAB (-),
BAK (+) jernih
sedikit terhambat
Status present
T : 110/80 mmHg
N : 86x/menit
R : 20x/menit
Status general
Mata : an +/+
Co/po : dbn
Status ginekologi
Abd :TFU tidak teraba,
nyeri tekan (-), distensi
(-).
Vag : perdarahan aktif
(-)
Ca Cervix +
Anemia berat
hipokromik
mikrositer e.c.
suspek perdarahan
kronis
PDx :-
Tx :
IVFD RL 20 tpm
Transfusi PRC s/d
HB > 10 g %
Diet TKTP
Mx : kel,vs
KIE
24 Agustus
2013
Mengeluh badan
terasa lemas,
perdarahan
pervaginam (+)
minimal, BAB
(+), BAK (+)
jernih sedikit
terhambat
Status present
T : 110/70 mmHg
N : 80x/menit
R : 18x/menit
Status general
Mata : an +/+
Co/po : dbn
Status ginekologi
Ca Cervix +
Anemia berat
hipokromik
mikrositer e.c.
suspek perdarahan
kronis
PDx :-
Tx :
IVFD RL 20 tpm
Transfusi PRC s/d
HB > 10 g %
Diet TKTP
Mx : kel,vs
KIE
18
Abd :TFU tidak teraba,
nyeri tekan (-), distensi
(-).
Vag : perdarahan aktif
(-)
25 Agustus
2013
Mengeluh badan
lemas, perdarahan
pervaginam (+)
minimal, BAB
(+), BAK (+)
sedikit terhambat
Status present
T : 110/80 mmHg
N : 84x/menit
R : 22x/menit
Status general
Mata : an +/+
Co/po : dbn
Status ginekologi
Abd :TFU tidak teraba,
nyeri tekan (-), distensi
(-).
Vag : perdarahan aktif
(-)
Ca Cervix +
Anemia berat
hipokromik
mikrositer e.c.
suspek perdarahan
kronis
PDx :-
Tx :
IVFD RL 20 tpm
Transfusi PRC s/d
HB > 10 g %
Diet TKTP
Mx : kel,vs
KIE
26 Agustus
2013
Keluhan lemas
sedikit berkurang,
BAB (+), BAK
(+) sedikit
terhambat
Status present
T : 120/80 mmHg
N : 80x/menit
R : 20x/menit
Status general
Mata : an +/+
Co/po : dbn
Status ginekologi
Abd :TFU tidak teraba,
nyeri tekan (-), distensi
(-).
Vag : perdarahan aktif
(-)
Ca Cervix +
Anemia berat
hipokromik
mikrositer e.c.
suspek perdarahan
kronis
PDx :-
Tx :
IVFD RL 20 tpm
Transfusi PRC s/d
HB > 10 g %
Diet TKTP
Mx : kel,vs
KIE
27 Agustus
2013
Badan lemas
berkurang,
perdarahan
pervaginam (+)
minimal, BAB (-),
BAK (+) sedikit
Status present
T : 110/70 mmHg
N : 86x/menit
R : 18x/menit
Status general
Ca Cervix +
Anemia berat
hipokromik
mikrositer e.c.
suspek perdarahan
PDx :-
Tx :
IVFD RL 20 tpm
Transfusi PRC s/d
HB > 10 g %
19
terhambat Mata : an +/+
Co/po : dbn
Status ginekologi
Abd :TFU tidak teraba,
nyeri tekan (-), distensi
(-).
Vag : perdarahan aktif
(-)
kronis Diet TKTP
Mx : kel,vs
KIE
28 Agustus
2013
Keluhan badan
lemas berkurang,
perdarahan
pervaginam (+)
minimal, BAB
(+), BAK (+)
sedikit terhambat
Status present
T : 120/80 mmHg
N : 84x/menit
R : 22x/menit
Status general
Mata : an +/+
Co/po : dbn
Status ginekologi
Abd :TFU tidak teraba,
nyeri tekan (-), distensi
(-).
Vag : perdarahan aktif
(-)
Ca Cervix PDx :-
Tx :
BPL
Diet TKTP
Mx : kel,vs
KIE
20
BAB IV
PEMBAHASAN
Kanker serviks adalah keganasan primer pada serviks uterus yaitu bagian dari uterus yang
bentuknya silindris, diproyeksikan ke dinding vagina anterior bagian atas dan berhubungan
dengan vagina melalui sebuah saluran yang dibatasi ostium uterus eksternum dan
internum. Diagnosis kanker serviks ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi
(PA). Jadi, kanker serviks merupakan diagnosis PA, karena secara klinis mungkin saja
belum ditemukan kelainan namun secara histologi telah terjadi keganasan. Pengetahuan
secara epidemiologi tentang faktor resiko sangat penting dalam membantu mengarahkan
kecurigaan kita pada terjadinya keganasan. Dalam pembahasan kasus ini terdapat 3
masalah utama yang kami temukan yaitu dalam hal faktor resiko, diagnosis dan
penanganan kanker serviks.
4.1 Faktor Resiko
Kanker serviks merupakan keganasan yang berjalan sangat lambat, bertahun tahun dan
cenderung asimptomatis sehingga sering ditemukan sudah dalam stadium lanjut. Belum
ditemukan etiologi yang pasti dari kanker serviks. Infeksi HPV yang diduga kuat
menyebabkan terjadinya kanker serviks, pemeriksaannya belum dikerjakan secara rutin di
tingkat klinis. Oleh karena itu, pengenalan faktor resiko kanker serviks secara dini menjadi
sangat penting dalam penapisan pasien.
Pada pasien ini usia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kanker serviks.
Pasien berada pada rentang usia 20-30 tahun yang merupakan salah satu rentang usia
dengan kejadian kanker serviks terbanyak. Selain itu pasien juga merupakan perokok pasif
dimana suami pasien adalah seorang perokok yang menghabiskan kurang lebih satu
bungkus rokok per harinya. Adapun faktor risiko yang tidak ditemukan pada pasien ini
adalah multiparitas, penggunaan pil KB, aktivitas seksual dini dan multipartner, serta
mengidap penyakit menular seksual.
4.2 Diagnosis
Kanker serviks bukan merupakan diagnosis klinik melainkan diagnostik PA. Namun,
gambaran klinis tetap menjadi salah satu pertimbangan dalam menegakkan diagnosis.
Gambaran klinis membantu dalam mengarahkan pemeriksaan untuk menegakkan
21
diagnosis. Gambaran klinis kanker serviks sangat bervariasi. Gejala klinis yang khas
seperti perdarahan pervaginam dan keputihan dengan bau yang khas seringkali baru
ditemukan saat stadium sudah lanjut. Stadium kanker serviks didasarkan pada pemeriksaan
klinis. Oleh karena itu, pemeriksaan klinis harus dilakukan dengan seksama pada semua
kasus. Stadium klinis tidak berubah karena temuan pembedahan. Bila terdapat keraguan
dalam penetapan stadium, maka stadium yang diambil adalah stadium yang lebih kecil.
Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan utama perdarahan pervaginam kronis
yang terjadi secara kontinyu. Awalnya pergeseran letak IUD dianggap sebagai penyebab
utama terjadinya perdarahan pervaginam diluar menstruasi yang dialami pasien. Namun
keluhan tetap dirasakan walaupun alat kontrasepsi telah diganti dengan alat KB suntik.
Perdarahan yang terjadi secara terus menerus membuat pasien mengalami anemia
sehingga pasien mengeluh badannya terasa lemas, mudah lelah, dada sering berdebar-
debar namun pasien menyangkal adanya penurunan berat badan secara drastis. Keluhan
pasien tersebut mengarahkan pada kemungkinan perdarahan pervaginam abnormal.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan kondisi pasien dalam keadaan cukup baik. Pada
pemeriksaan konjungtiva tampak anemis sesuai dengan kompensasi dari perdarahan kronis
yang dialami pasien. Dari pemeriksaan fisik obstetri juga tampak adanya portio dengan
permukaan tidak rata, rapuh, berdungkul, mudah berdarah. Hal ini mengarahan kecurigaan
pada adanya keganasan sehingga pasien disarankan untuk melakukan pemeriksaan
laboratorium dan histopatologi. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan pasien dengan
kadar hemoglobin 4.3 mg/dL atau sesuai dengan kriteria anemia berat. Dari pemeriksaan
histopatologi didapatkan temuan sesuai dengan adenokarsinoma serviks stadium IIB.
4.3 Penatalaksanaan
Untuk melengkapi diagnosis, pasien disarankan untuk melakukan pemeriksaan foto
thoraks dan USG abdomen untuk mengetahui penyebaran penyakit. Penatalaksanaan
kanker serviks belum ada terapi kausalnya sehingga sejauh ini pilihan terapi yang tersedia
hanya sebatas menurunkan keluhan, mengecilkan massa tumor, ataupun hanya bersifat
paliatif. Pilihan terapi yang dapat diambil pasien disesuaikan dengan hasil penetapan
stadium penyakit. Saat ini terapi yang paling banyak dipilih adalah kemoterapi neo-
adjuvan yang dapat dipertimbangkan sesuai dengan stadium penyakit.
22
BAB V
RINGKASAN
Pasien berumur 28 tahun datang dengan keluhan perdarahan pervaginam. Perdarahan
pervaginam terjadi sejak 4 hari SMRS. Perdarahan awalnya keluar sedikit-sedikit namun
keluar secara kontinyu. Darah yang keluar dikatakan berwarna merah segar dan terkadang
bergumpal. Selain itu pasien juga mengeluh pusing, lemah, letih, lesu, dada sering
berdebar bila beraktivitas, mata berkunang-kunang. Pasien mengatakan tidak pernah
mengalami perdarahan setelah berhubungan. Pasien memiliki 1 orang anak dan
mengatakan pernah menggunakan KB berupa IUD yang telah dilepas bulan Januari 2013.
Pasien tidak pernah memiliki riwayat hipertensi, asma, diabetes melitus, dan jantung.
Begitu juga di keluarga pasien. Saat diperiksa keadaan umum pasien baik, kesadaran
compos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 82x/menit, respirasi 20x/menit, suhu
tubuh 37,5°C. Status generalis pasien dalam batas normal. Sedangkan pada pemeriksaan
obstetri didapatkan pada abdomen tinggi fundus uteri tidak teraba, distensi (-), bising usus
(+) normal, nyeri tekan (-). Sedangkan pada pemeriksaan vagina didapatkan fluxus (+),
flour (-), porsio rapuh, berdungkul, dan mudah berdarah. Sementara itu pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan hemoglobin dan platelet dalam kadar rendah. Untuk sementara
pasien dirawat di rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan berupa tranfusi darah
sebanak 7 kolf untuk mengoreksi anemia dan terapi cairan RL 20 tpm untuk perbaikan
keadaan umum. Setelah keadaan umum membaik, selanjutnya pasien dirujuk ke RSUP
Sanglah untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut sesuai stadium penyakitnya.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Nojomi M, Modaresgilani M, Mozafari N, Erfany A. Cervical cancer and duration
of using hormonal contraceptives. Asia-Pac J Clin Oncol. 2008; 4: 107-112.
2. Wittet S, Tsu, V. Cervical cancer and the millennium development goals. Bull
World Health Organ. 2008; 86 (6): 488-491
3. Munoz N, Bosch X, Sanjose S, Herrero R, Castellsague X, Shah KV, Snijders P,
Meijer CJLM. Epidemiologic classification of human pappilomavirus types
associated with cervical cancer. N Engl J Med, 2003; 348: 518-27.
4. Frizzel, J.P., 2001, Handbook of Pathophysiology, Philadelphia, Springhouse
Corporation.
5. Cunningham G, Grant N, Leveno KJ, Glistrap LC, Wenstrom KD. Obstetri
Williams : Neoplasia Serviks, Edisi 21, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2002, p.
1622-1624
6. Altekruse SF, Lacey JVJ, Brinton LA, Gravitt PE, Silverberg S, Barnes, WAJ,
Greenberg MD, Hadjimichael OC, McGowan L, Mortel R, Schwartz PE,
Hildesheim A. Comparison of human papillomavirus genotypes, sexual, and
reproductive risk factors of cervical adenocarcinoma and squamous cell carcinoma:
Northeastern United States. Am J Obstet Gynecol, 2003; 188: 657–663.
7. Green J, Gonzales AB, Sweetland S, Beral V, Chilvers C, Crossley B, Deacon J,
Hermon C, Pha J, Mant D, Peto J, Pike M, Vessey MP. Risk factors for
adenocarcinoma and squamous cell carcinoma of the cervix in women aged 20–44
years: the UK National Case – Control Study of Cervical Cancer . British Journal
of Cancer. 2003; 89: 2078–2086.
8. Vizcaino AP, Moreno V, Bosch FX, Munoz N, Barros-Dios XM, Parkin, DM.
International trends in the incidence of cervical cancer: I. Adenocarcinoma and
adenosquamous cell carcinomas. Int J Cancer.1998; 75: 536–545.
24