ADEL - Jurnal Eklampsi New

35
JOURNAL READING PATOGENESIS DAN TERAPI EKLAMSI Disusun Oleh: Adelita Yuli Hapsari (030.10.003) Riana Rahmadhany (030.10.235) Dokter Pembimbing : dr. Unggul Yudatmo,Sp.OG KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN 1

description

eklamsi

Transcript of ADEL - Jurnal Eklampsi New

Page 1: ADEL - Jurnal Eklampsi New

JOURNAL READING

PATOGENESIS DAN TERAPI EKLAMSI

Disusun Oleh:

Adelita Yuli Hapsari (030.10.003)

Riana Rahmadhany (030.10.235)

Dokter Pembimbing :

dr. Unggul Yudatmo,Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG

PERIODE 20 APRIL 2015 s/d 26 JUNI 2015

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

1

Page 2: ADEL - Jurnal Eklampsi New

LEMBAR PENGESAHAN

Journal reading dengan judul

”PATOGENESIS DAN TERAPI EKLAMSI”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, dr. Unggul Yudatmo,Sp.OG

sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Kebidanan dan

Kandungan

di RSUD Karawang periode 20 April 2015 – 26 Juni 2015

Karawang, Juni 2015

(dr. Unggul Yudatmo,Sp.OG)

2

Page 3: ADEL - Jurnal Eklampsi New

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala nikmat

sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Journal reading “Patogenesis dan terapi eklamsi”

ini. Adapun penulisan kasus ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas

kepaniteraan Ilmu Kebidanan dan Kandungan di Rumah Sakit Umum Daerah Karawang

periode 20 April 2015 – 26 Juni 2015

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Unggul

Yudatmo,Sp.OG, selaku pembimbing yang telah membantu dan memberikan bimbingan

dalam penyusunan kasus ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua pihak

yang turut serta membantu penyusunan kasus ini yang tidak mungkin diselesaikan tepat

waktu jika tidak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak.

Demikian kata pengantar ini penulis buat. Untuk segala kekurangan dalam kasus ini,

penulis memohon maaf dan juga mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif

bagi perbaikan kasus ini. Terima kasih.

Karawang, Juni 2015

(Penulis)

3

Page 4: ADEL - Jurnal Eklampsi New

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................. 2

KATA PENGANTAR…....................................................................................... 3

DAFTAR ISI…...................................................................................................... 4

TERJEMAHAN PATOGENESIS DAN TERAPI EKLAMSIA

Pendahuluan................................................................................................... ........ 5

Cakupan masalah.................................................................................................... 6

Riwayat Eklamsi................................................................................................. 6

Prognosis eklamsi................................................................................................ 7

Manajemen.............................................................................................................. 9

Manajemen eklamsi segera.................................................................................. 10

Konfirmasi diagnosis................................................................................................ 11

Pencegahan berulang................................................................................................ 12

Kontrol tekanan darah.............................................................................................. 14

Patogenesis dan terapi eklamsi................................................................................. 14

Pertimbangan persalinan........................................................................................... 15

Dapatkah kejang eklamsi dicegah ?.......................................................................... 16

Hasil terapi jangka panjang pada wanita eklamsi..................................................... 18

Apakah wanita dengan pre-eklamsia/eklamsia beresiko mengalami hipertensi

kronis di kemudian hari ?......................................................................................... 19

Kesimpulan............................................................................................................... 19

JURNAL : PATOGENESIS DAN TERAPI EKLAMSIA................................... 21

4

Page 5: ADEL - Jurnal Eklampsi New

PATOGENESIS DAN TERAPI EKLAMSIA

Joong Shin Park, Michael A. Belfort and Errol R. Norwitz

Pendahuluan

Eklamsi mengacu pada terjadinya

satu atau lebih kejadian kejang umum

dan/atau koma pada preeklamsi tanpa

adanya penyebab neurologis yang lain.

Preeklamsi adalah gangguan multi sistem

pada kehamilan dan masa nifas, yang

merupakan komplikasi dari 6-8% dari

seluruh kehamilan (ACOG, 1996,2002).

Preeklamsi ditandai dengan onset

hipertensi yang baru terjadi (tekanan darah

≥ 140/90), proteinuria (≥2+ dalam sampel

urin random atau ≥300 mg dalam urin

tampung 24 jam) dengan atau tanpa

adanya edema setelah umur kehamilan 20

minggu. Eklamsi merupakan tahap akhir

dari preeklamsi, berdasarkan nomenklatur.

Sekarang jelas, bahwa kejang adalah salah

satu manifestasi klinis kategori “berat”

preeklampsi. Manifestasi lain yang

termasuk, diantaranya, HELLP syndrome

(Hemolysis, Elevated Liver Enzyme and

Low Platelets), Disseminated Intravascular

coagulopathy / DIC, gagal ginjal,

kerusakan sel hati, pankreatitis, gagal

jantung kongestif, edema pulmo, gangguan

pertumbuhan janin intrauterin.

Pengetahuan mengenai

patofisiologi preeklamsi masih sedikit

yang diketahui. Ini merupakan penyakit

pada kehamilan, lebih tepatnya, gangguan

pada plasenta sejak diketahui adanya

kehamilan yang terdapat adanya trofoblas

tetapi tidak terdapat adanya jaringan fetus

(complete molar pregnancies) (Goldstein

dan Berkowitz,1994). Gambaran mengenai

perkembangan dari preeklamsi dimulai

sejak awal kehamilan. Tanda patologis

pada preeklamsi muncul akibat kegagalan

invasi trofoblas pada 8-18 minggu

kehamilan, yaitu proses yang bertanggung

jawab atas kerusakan lapisan muskularis

arteri spiralis. (Brosens et el, 1972;Cross et

al,1994;Meekins et al.,1994). Seiring

dengan berjalannya proses kehamilan,

kebutuhan metabolik fetoplasenta semakin

meningkat, namun arteri spiralis tidak

dapat mengakomodasi peningkatan aliran

darah tersebut. Ini mengarah pada

berkembanganya “disfungsi plasenta”

yang akan bermanifestasi klinis sebagai

preeklamsi. Pada Publikasi baru-baru ini,

dikatakan bahwa soluble fms-like tyrosine

kinase 1 (sFlt1), antagonis of VEGF dan

faktor pertumbuhan plasenta, merupakan

5

Page 6: ADEL - Jurnal Eklampsi New

“toxemia factor” yang dikeluarkan oleh

plasenta dan menyebabkan vasospasme

yang luas dan kerusakan endotel, yang

merupakan tanda patologis pada

preeklamsi (Maynard et al,2003). Walapun

menarik, hipotesis ini tetap harus

divalidasi.

Cakupan Masalah

Meskipun sudah terdapat kemajuan

dalam hal deteksi dan manajemen,

preeklamsi masih menjadi penyebab kedua

terbanyak kematian ibu di United State

(setelah terjadi tromboemboli), terhitung

hampir 15% dari seluruh kematian ibu

(Rochat et al 1988). Diperkirakan eklampsi

merupakan faktor penyebab kematian ibu

sampai 10 % di negara berkembang dan

diperkirakan terjadi sekitar 50,000

kematian ibu per tahun di seluruh dunia

(Duley,1992).

Di United States dan negara-negara

berkembang, insiden eklampsi relatif stabil

yaitu sekitar 4-5 per 10,000 kelahiran

(Douglas dan Redman,1994). Di negara

berkembang, dilaporkan kejadian

bervariasi 6-7 per 10,000 kelahiran.

Tingkat kejadian tertinggi pada wanita

nulipara berkulit tidak putih dengan latar

belakang sosial ekonomi rendah. Insiden

puncaknya terjadi pada usia remaja dan

usia dibawah dua puluh tahun, tapi juga

meningkat pada usia diatas 35 tahun.

Riwayat eklamsi

Hampir setengah dari kasus eklamsi terjadi

pada prematur dan lebih dari seperlima

pada usia kehamilan dibawah 31 minggu

(Douglas dan Redman, 1994). Pada kasus

eklamsi yang terjadi saat aterm,

mayoritasnya ( hampir 75%) terjadi saat

intrapartum atau dalam 48 jam sebelum

kelahiran. Secara tradisional, kejang yang

terjadi lebih dari 48 jam setelah kelahiran

tidak dianggap sebagai eklamsi. Namun,

sekarang semakin jelas, bahwa kasus late

postpartum eklamsi, yaitu kejang yang

terjadi lebih dari 48 jam tetapi kurang dari

empat minggu post partum dapat terjadi

dan bahkan terhitung sampai 16% dari

semua kasus eklamsi (Lubarsky et

al.,1984). Eklamsi yang terjadi sebelum

umur kehamilan 20 minggu sangat jarang

terjadi dan harus dipikirkan kemungkinan

penyebabnya adalah kehamilan mola.

6

Page 7: ADEL - Jurnal Eklampsi New

Kasus eklamsi antepartum biasanya terjadi

lebih dramatis dengan terjadinya kejang

multipel dan komplikasi maternal yang

meningkat sampai 71%, termasuk DIC,

gagal ginjal, kerusakan sel hati, ruptur

liver, perdarahan intraserebral,

cardiorespiratory arrest, aspirasi bronkial,

edema paru akut, dan perdarahan post

partum (Lopez-Liera, 1992).

Prognosis eklamsi

Faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap maternal yang diakibatkan oleh

eklamsi telah dirangkum pada tabel 29.1.

Laporan kejadian kematian ibu yang

berhubungan dengan eklamsi bervariasi

antara 0,4% dan 13,9% (Douglas dan

Redman,1994;Lopez-Liera,1992). Pada

analisa retrospektif dari 99 kasus, Lopez –

Liera (1992) melaporkan secara

keseluruhan tingkat kematian maternal

adalah 13.9% (138/990). Tingkat kematian

ibu tertinggi (22% [12/54]) terlihat dalam

subgrup wanita dengan eklamsi dini (<28

minggu masa kehamilan). Tingkat

kematian ibu dan kecacatan yang parah

paling rendah terjadi pada wanita yang

menerima perawatan prenatal reguler yang

ditangani oleh dokter yang berpengalaman

pada tertiary centers(Conde-Agudelo dan

Kafury-Goeta, 1997,Sibai 1990).

Faktor – faktor yang berpengaruh

terhadap janin sebagai akibat dari eklamsi

dirangkum pada tabel 29.2. Secara

keseluruhan kematian perinatal pada kasus

eklamsi terjadi sekitar 9% – 23% (Douglas

dan Redman,1994; Lopez-Liera 1990).

Sesuai dugaan, kematian perinatal sangat

berhubungan dengan umur kehamilan dan

mungkin melebihi 90% pada wanita hamil

yang mengalami eklamsi sebelum

kehamilan 28 minggu (Lopez-Liera,1990).

Kematian janin terutama terjadi akibat

solusio plasenta, asfiksia intrauterine, dan

akibat komplikasi dari prematuritas.

Tabel 29.1 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap maternal yang diakibatkan oleh eklamsi

Faktor Efek jangka pendek Efek jangka panjang

Proteinuria ≥5 g/24 jam Tidak ada efek Tidak ada efek

Berhubungan dengan

HELLP syndrome

↑ Kematian ibu (3-28%)

↑ eklamsi (50%)

↑ gagal ginjal (8%-66%)

↑ koagulapati (30%-38%)

↑ Hipertensi kronik (33%)

↑Preeklamsi berulang (37%)

↑ HELLP syndrome

berulang (3-5%)

7

Page 8: ADEL - Jurnal Eklampsi New

Peningkatan tekanan darah

secara drastis

↑ struk -

Durasi kejang yang

berhubungan dengan gagagl

ginjal akut

Tidak ada efek

↑ kematian ibu (34%)

Tidak ada efek

↑ dialisis (10-20%)

berhubungan dengan

hipertensi

Usia kehamilan ≤ 28 minggu - ↑ kekambuhan (20-50%)

↑ hipertensi kronik (18%)

Riwayat preeklamsi - ↑ hipertensi kronik (15-

25%)

↑ preeklamsi berulang (19-

47%)

↑ eklamsi berulang (2-21%)

↑solusio plasenta (2-3%)

Ras afrika – amerika ↑ kematian ibu

↓HELLP syndrome

↑ hipertensi kronik

Berhubungan dengan

diabetes

- ↑ hipertensi kronis

Terkait dengan solusio

plasenta

↑ kematian ibu (24%)

khususnya yang lebih tua,

wanita multipara

-

Multipara ↑ kematian ibu

↑ HELLP syndrome

-

Terkait dengan perdarahan

intrakranial atau koma

- ↑ kekambuhan (37%)

↑ neurologic sequele

*efek jangka pendek mengarah kepada kejang itu sendiri dan perawatan selama di rumah

sakit

*efek jangka panjang mengarah follow up setelah keluar dari rumah sakit

Tabel 29.2 Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap janin sebagai akibat dari eklamsi

Faktor Efek jangka pendek Efek jangka panjang

Proteinuria ≥5g/24 jam Tidak ada efek Tidak ada efek

Terkait dengan HELLP ↑ kematian perinata (23- Tidak ada efek

8

Page 9: ADEL - Jurnal Eklampsi New

syndrome 40%)

Penigkatan tekanan darah

secara drastis

↑ kematian ibu -

Durasi kejang Tidak ada efek Tidak ada efek

Terkait gagal ginjal akut ↑ kelahiran prematur (72%) -

Usia kehamilan ≤ 28 minggu ↑ kematian perinatal -

Riwayat eklamsi ↑ kematian perinatal (2-4%) -

Terkait solusio plasenta ↑ kematian perinatal (41-

45%)

-

Terkait pertumbuhan janin

terhambat

↑ kematian perinatal -

Ras afrika – amerika ↑ kematian perinatal -

Usia maternal > 35 tahun ↑ kematian perinatal karena

hipertensi kronis

-

Terkait hipertensi kronik ↑↑ kematian perinatal -

*efek jangka pendek mengarah kepada kejang itu sendiri dan perawatan selama di rumah

sakit

*efek jangka panjang mengarah follow up setelah keluar dari rumah sakit

Manajemen

Dapatkah kita memprediksi kejang

pada eklamsi?

Hubungan antara hipertensi, gejala dan

tanda iritasi kortikal (nyeri kepala,

gangguan penglihatan, mual, muntah,

demam, hiperrefleksia) dan kejang masih

belum jelas dan tidak dapat diprediksi.

Telah dikatakan sebelumnya bahwa

mayoritas wanita mengalami satu atau

lebih gejala yang mendahului sebelum

terjadinya kejang pada eklamsi. Pada

analisis retrospektif pada 383 kasus

eklamsi di United Kingdom, Douglas dan

Redman (1994) melaporkan bahwa 59%

(227/383) pasien dengan eklamsi

mengalami gejala prodormal seperti nyeri

kepala, gangguan penglihatan (skotomata,

amaurosis, blurred vision, diplopia,

homonimous hemianopsia) atau nyeri

epigastrium. Pada 38% (146/383) kasus,

eklamsi merupakan manifestasi pertama

yang muncul pada penyakit hipertensi

yang berhubungan dengan kehamilan.

Walaupun besarnya kenaikan tekanan

darah berhubungan baik dengan insiden

9

Page 10: ADEL - Jurnal Eklampsi New

terjadinya gangguan serebrovaskular. Pada

studi yang dilakukan United Kingdom,

Swedia, Scotlandia, United Stated

menunjukkan bahwa 20%-38% pasien

yang mengalami eklamsi mempunyai

tekanan darah maksimal yang kurang dari

140/90 sebelum terjadinya kejang.

(Douglas dan Redman, 1994; Moller dan

Lindmark, 1986; Sibai et al, 1981b,1986c).

Pada review yang dibuat oleh Sibai et al

(1986c) pada 179 konsekutif kasus,

faktor-faktor yang ditemukan paling tidak

bertanggungjawab secara parsial yang

menjadi penyebab gagalnya pencegahan

eklamsi adalah kesalahan dokter (36%),

kegagalan magnesium (13%), late

postparum onset (12%), early onset

(kurang 21 minggu) 3%, onset solusio

(18%), kurangnya perawatan prenatal

(19%). Maka dari itu, banyak kasus

eklamsi yang tidak dapat dicegah,

walaupun wanita yang sudah menerima

perawatan prenatal secara reguler.

Manajemen eklamsia segera

Manajemen yang segera pada kejang

eklamsi termasuk mempertahankan fungsi

vital maternal, mengontrol kejang dan

tekanan darah, pencegahan kejang

berulang dan evaluasi kelahiran. Jika

melihat kasus seperti itu, Manajemen yang

segera pada kejang eklamsi termasuk

mempertahankan fungsi vital maternal,

mengontrol kejang dan tekanan darah,

pencegahan kejang berulang dan evaluasi

kelahiran.

Kejang pada eklamsi hampir selalu

sembuh sendiri dan tidak lebih dari 3-4

menit. Obat-obatan seperti benzodiazepin

telah digunakan dengan keberhasilan untuk

menghentikan kejang yang sedang

berlangsung. Diazepam yang diberikan

secara cepat melalui intravena yang masuk

ke dalam sistem saraf pusat akan berhasil

menghentikan kejang dalam waktu satu

menit dan akan mampu mengontrol kejang

selama lima menit pada lebih dari 80%

pasien (Delagado-Escueta et al). Pada

kasus-kasus eklamsi, pemberian obat-

obatan seperti itu jarang dibutuhkan.

Memang, beberapa hasil investigasi

mendapatkan bahwa terapi seperti itu

sebaiknya dihindari pada kasus kejang

eklampsi karena efek depresi yang besar

pada fetus. Ini menjadi berdampak

signifikan secara klinis ketika dicapai

dosis total maternal dari diazepam

mencapai 30 mg, namun apabila kejang

berlangsung lebih dari 3-4 menit, ini dapat

menjadi alasan diberikannya

benzodiazepin (seperti diazepam 5-10 mg

iv, diulang sesuai indikasi sampai dosis

maksimum 50 mg ) atau magnesium sulfat

(2- 4 gr intravena diulang setiap 15 menit

sampai dosis maksimum 6 gr) untuk

10

Page 11: ADEL - Jurnal Eklampsi New

mendapatkan hasil yang diinginkan. Dosis

pemberian Magnesium sulfat ini dianggap

aman bahkan pada keadaan insufisiensi

renal.

Transient fetal bradikardia yang

berlangsung paling tidak 3 – 5 menit

adalah suatu hal yang biasa ditemukan

setelah terjadi kejang eklamsi dan tidak

membutuhkan persalinan segera.

Resolusi dari aktivitas kejang ibu biasanya

berhubungan dengan kompensasi takikardi

pada fetal dan bahkan dengan penurunan

denyut jantung janin sementara yang khas

kembali setelah 20-30 menit.

Konfirmasi diagnosis

Kejang pada eklamsi secara klinis dan

elektrocephalografi tak dapat dibedakan

dengan kejang umum tonik klonik. Tidak

semua wanita dengan eklamsi

membutuhkan pemeriksaan pencitraan

kepala. Namun, pasien yang tidak dapat

terkontrol dengan cepat kejang dan

tekanan darah, kejangnya dapat lebih lama

dari 10 menit, terjadi lebih dari awal

walaupun dalam terapi magnesium sulfat

ataupun tidak, dapat terjadi kejang post

partum, dapat menyebabkan gangguan

neurologis sehingga perlu dievaluasi lebih

lanjut. Diagnosis banding eklamsi

dijelaskan pada tabel 29.3. Walaupun pada

studi neuroimaging tidak terbukti berguna

dalam manajemen preekampsia/eklamsi,

beberapa penelitian telah membuktikan

kesempatan untuk mengetahui penyebab

dasar kejang pada eklamsi. Hampir

setengah wanita dengan eklamsi akan

mengalami transient abnormalitas pada

CT-scan kepala (brown et al, 1988;

Royburt et al, 1991), biasanya paling

sering terdapat gambaran white matter

hypodensities (Fredriksson et al, 1989).

Pada studi MRI pada 10 wanita yang

mengalami eklamsia, Digre et al, (1993)

mendokumentasikan temuan (termasuk

adanya edema cortical dan perdarahan)

pada 9 wanita. Pada studi otopsi

menunjukkan bahwa lebih dari 50%

wanita yang meninggal dalam 2 hari

setelah mengalami kejang eklamsi terbukti

adanya perdarahan serebral, petekiae

kortikal primer termasuk lobus oksipital

(Sheehan dan Lynch, 1973). Data ini telah

dikonfirmasi oleh data berikutnya

(Crawford et al, 1987; Dierckx dan

Appel,1989). Yang masih menjadi

pertanyaan pada kejang eklamsi adalah

penyebab atau konsekuensi dari

perdarahan intraserebral yang masih belum

jelas. Efek dari eklamsi pada risiko

selanjutnya pada serebrovaskuler tidak

dapat dievaluasi secara sistematis. Pada

suatu laporan (Salerni et al.,1988), terdapat

gambaran perdarahan intraserebral pada

11

Page 12: ADEL - Jurnal Eklampsi New

daerah yang sebelumnya di identifikasi

sebagai area “ischemic infarction” pada

pasien eklamsia, dimana kejang

mendahului terjadinya perdarahan. Namun

apakah ini terjadi pada semua kasus atau

tidak masih belum diketahui.

Hasil dari studi invasif dan functional

imaging masih jadi pertentangan.

Beberapa studi angiografi melaporkan

terjadinya vasospame yang luas pada

pembuluh darah intrakranial pada pasien

dengan pre-eklamsia/eklamsia (Trommer

et al, 1988; will et al, 1987), dimana studi

lain tidak mampu mengkonfirmasi

observasi tersebut (Zunker et al, 2003).

Beberapa investigator telah menggunakan

teknologi SPECT (single photon emission

CT) dan atau PET (positron emission

tomography) untuk menginvestigasi

perubahan neuropathofisiologi pada pre-

eklamsia/eklamsia (Naidu et al, 1997;

Schwartz et al, 1992; Zunker et al, 2003),

namun data yang didapatkan masih belum

meyakinkan.

Tabel 29.3 Diagnosis kejang eklamsi

Trauma serebrovaskular (mis : perdarahan hemoragik, trombosis vena serebral)

Penyakit hipertensi (mis : hipertensi enselopathy, pheochromocytoma)

Space occupying lesion of the central nervous system (mis : tumor otak, abses)

Gangguan metabolik (mis : hipoglikemi, uremia, inappropiate antidiuretic hormone secretion resulting in water intoxication)

Infeksi (mis : meningitis, ensefalitis) Idiopatik trombositopenia purpura Epilepsi idiopatik

Pencegahan berulang

Tanpa pengobatan, sekitar 10% wanita

eklamsi mengalami kejang berulang.

Meskipun terdapat ketetapan bahwa pasien

dengan eklamsi memerlukan terapi

antikonvulsan untuk mencegah kejang

lebih lanjut, komplikasi kejang berulang

(kematian sel saraf, rhabdomiolisis,

asidosis metabolik, pneumonia aspirasi,

edema pulmo neurogenik, dan gagal nafas

serta kemungkinan cedera

serebrovaskular), pemilihan pengobatan

masih kontroversial. Pengobatan regimen

12

Page 13: ADEL - Jurnal Eklampsi New

alternatif dalam mengatasi eklamsi secara

lengkap terdapat dalam tabel 29.4.

Para dokter kebidanan sudah lama

menggunakan MgSO4 (Magnesium

Sulfate) sebagai terapi pilihan kejang pada

eklamsi, sedangkan ahli saraf lebih sering

menggunakan fenitoin atau diazepam

sebagai anti kejang. Perbedaan pendapat

ini telah terbantahkan oleh hasil penelitian

secara klinis. Pada tahun 1995, pengujian

oleh suatu kelompok secara kolaborasi

melaporkan dalam penelitian secara

prospektif terdapat 905 wanita eklamsi

yang mendapatkan magnesium sulfat atau

diazepam secara acak, dan 775 wanita

eklamsi yang secara acak mendapat

magnesium sulfate atau fenitoin. Hasil

penghitungan awal terdapat kekambuhan

kejang dan kematian ibu. Wanita yang

mendapat magnesium sulfate 52% lebih

rendah mengalami kekambuhan kejang

dibandingkan dengan pasien yang

mendapatkan diazepam (13,2% [60/453]

vs 27,9%[126/452], berturut-turut). Tidak

ada perbedaan secara signifikan terhadap

mortalitas dan/atau morbiditas baik janin

maupun ibu dalam kedua kelompok

tersebut. Demikian pula pada wanita yang

mendapatkan magnesium sulfate 67%

lebih kecil memiliki resiko kejang

dibandingkan pasien dengan fenitoin

(5,7% [22/388] vs. 17,1% [66/387],

berturut-turut). Pada penelitian ini, wanita

yang mendapatkan magnesium 8% lebih

kecil mendapatkan alat bantu ventilator

dan 5% lebih rendah berkembang menjadi

pneumonia dibandingkan dengan wanita

yang mendpatkan fenitoin. Tidak ada

perbedaan signifikan antara kematian ibu

dan janin. Pada penelitian Cochrane 2001

juga telah dilaporkan bahwa magnesium

sulfate lebih aman dan lebih baik daripada

“lytic coctail” (berisi hidroklorida

prometazin, klorpromazine, dan

hidroklorida meperidin) sebagai

pencegahan kejang berulang pada wanita

eklamsi. (Duley dan Gulmezoglu,2001)

Terapi megnesium sulfat memiliki

keuntungan lain, yakni harga lebih

terjangkau dan lebih mudah digunakan

dibandingkan fenitoin (penggunaan

pemantau jantung jika diberikan melalui

infus ≥50mg min-1) dan kurang sedatif

dibandingkan diazepam. Selain itu,

magnesium secara selektif meningkatkan

aliran darah ke otak dan konsumsi oksigen

pada pasien pre-eklamsia, dimana hal

tersebut tidak tampak pada pasien dengan

fenitoin (Gerthoffer et al., 1987).

Dosis regimen Magnesium sulfat yang

biasa digunakan untuk loding dose 4-6

gram secara intravena yang diberikan

dalam waktu 20 menit, diikuti 2-3 gr per

jam secara intravena kontinyu. Fase

pemeliharaan diberikan jika refleks patela

13

Page 14: ADEL - Jurnal Eklampsi New

muncul (hilangnya refleks tendon

merupakan tanda awal hipermagnesemia),

pernafasan yang lebih dari 12 kali per

menit, dan urine output lebih dari 100 ml

per 4 jam. Pemberian lanjutan serum

magnesium tidak diberikan pada wanita

yang berpotensial mengalami keracunan

magnesium. Ada juga yang tidak

menampakkan ambang konsentrasi secara

jelas untuk memastikan pencegahan

kejang, meskipun rata-rata berkisar 4,8-

8,4mg/dl direkomendasikan. (sibai et al.,

1981a). Dosis harus disesuaikan terhadap

respon klinik setiap individu.

Aktivitas magnesium sebagai antikonvulsif

masih belum diketahui. Beberapa

mekanisme telah diajukan, termasuk

vasodilatasi selektif terhadap

serebrovaskular (Belfort dan Moise, 1992),

perlindungan sel endotel dari radikal

bebas, pencegahan masuknya kalsium ke

sel iskemik dan atau antagonis kompetitif

terhadap reseptor glutamat N-metil-D-

aspartat (epileptogenik) (Roberts, 1995).

Kontrol tekanan darah

Eklamsi menyebabkan 15-20% perdarahan

serebral. Dan sering dihubungkan dengan

peningkatan tekanan darah secara

signifikan (≥170/120). Dalam hal ini,

kontrol peningkatan tekanan darah

diperlukan oleh semua pasien.

Bagaimanapun, pengontrolan tekanan

darah tidak menampakkan efek penyakit

dan tidak mencegah terjadinya kejang

berulang. Terapi medikamentosa pada

hipertensi ringan tidak direkmendasikan,

karena penggunaan antihipertensi untuk

mengontrol peningkatan tekanan darah

yang ringan pada keadaan pre-eklamsia

tidak merubah penyakit tersebut dan tidak

mengurangi morbiditas dan mortalitas

perinatal. (Magee et al., 1999; Sibai, 1996;

vonDadelszen et al., 2000).

Belum diketahui secara jelas ada atau

tidaknya penetapan terapi emergensi

(Lindenstorm et al., 1995). Banyak

peneliti yang merekomendasikan terapi

antihipertensi diteruskan pada tekanan

diastolik ≥105-110mmHg dan sistolik

≥160mmHg untuk mencegah terjadinya

kelainan serebrovaskular (National High

Blood Pressure Program, 2000). Meskipun

acuan terapi ini belum diuji secara

prospektif. Pemilihan terapi awal termasuk

hidralazin (5 mg IV diikuti 5-10 mg bolus

selama 20 menit) atau labetalol (10-20 mg

IV dan diulang 10-20 menit dosis ganda

dengan tidak lebih dari 80 mg dalam dosis

tunggal kumulatif maksimal dalam

300mg ). Pembuluh darah otak pada

wanita yang mengalami hipertensi kronis

memungkinkan dapat mentolerasi tekanan

sistolik yang lebih tinggi tanpa mengalami

kerusakan, ketika dewasa muda dengan

tekanan darah rendah yang masih dalam

14

Page 15: ADEL - Jurnal Eklampsi New

batas normal dapat memulai terapi dari

tingkat terendah.

Resiko stroke hemoragik secara

langsung berkaitan dengan derajat

peningkatan sistolik, kurang berkaitan dan

tidak bergantung pada tekanan diastolik

(Lindenstorm et al.,1995).

Patogenesis dan terapi eklamsi

Meskipun demikian, tekanan diastolik

berperan penting dalam kaitannya

eklamsia yang mempengaruhi perfusi ke

otak, yang mana bergantung terhadap

tekanan rata-rata maternal, tekanan

diastolik dan tekanan rata-rata kecepatan

aliran diastolik pada arteri medial otak

yang dihitung dengan velocimetri doppler

(Belfort et al., 2003). Telah di hipotesiskan

bahwa vasospasme serebri dan terjadinya

iskemi merupakan penyebab utama

eklamsia. Namun, percobaan yang

membandingkan magnesium sulfat dan

nimodipine dalam mencegah eklamsi tidak

mendukung hipotesis (Belfort et al., 2003).

Dalam kasus ini, nimodipine – calsium

channel blocker merupakan vasodilator

spesifik serebri (Belfort et al., 1994; van

Gijn dan Rinkel, 2001) – seharusnya dapat

digunakan meskipun tidak lebih baik

daripada magnesium sulfat dalam

mencegah eklamsi. Meskipun begitu,

penelitian yang dilakukan oleh Belfort et

al, (2003) menunjukkan bahwa

magnesium sulfat intravena secara

signifikan lenih baik dibandingkan

nimodipin oral dalam mencegah kejang

eklamsi. Pada wanita dengan pre-eklamsi

berat. Beberapa laporan terakhir

menyebutkan bahwa hemodinamik serebri

berubah pada pasien dengan pre-eklamsia

dan dapat dijelaskan dari laporan tersebut,

sejak diusulkan bahwa penyebab primer

kerusakan serebri pada pre-eklamsia

adalah peningkatan tekanan perfusi serebri

(overperfusi), dibandingkan vasospasme

dan penurunan tekanan aliran darah

serebral (Apollon et al., 2000; Belfort et

al., 2002). Peningkatan tekanan perfusi

aliran darah serebral, dipercaya

meningkatkan barotrauma serebral dan

edema vasogenik (Belfort et al., 2003).

Hal ini mungkin dapat menjelaskan

mengapa eklamsia dapat juga terjadi pada

tekanan darah rendah. Wanita dengan pre-

eklamsia berat lebih sering memiliki

tekanan perfusi serebral yang tinggi

dibandingkan pada pasien pre-eklamsi

ringan dan wanita pre-eklamsi dengan

peningkatan tekanan perfusi serebri lebih

sering bergejala dibandingkan mereka

yang memiliki tekanan perfusi yang

normal. (Belfort et al., 2002). William dan

wilson (1990) telah mendemonstrasikan

peningkatan tekanan perfusi serebri pada

wanita eklamsi, dengan demikian

mendukung teori barotrauma serebral.

15

Page 16: ADEL - Jurnal Eklampsi New

Pertimbangan persalinan

Hanya persalinan yang merupakan terapi

yang efektif terhadap pre-eklamsia /

eklamsia. Persalinan segera tidak

diperlukan termasuk seksio sesaria. Dalam

menentukan persalinan dengan induksi dan

persalinan pervaginam harus

dipertimbangkan sesuai individu

berdasarkan paritas, usia kehamilan,

pemeriksaan serviks (skor Bishop),

keinginan ibu untuk meneran, status janin

dan presentasi. Secara umum, kurang dari

1-3 wanita dengan pre-eklamsi berat

dengan (usia kehamilan < 32 minggu)

keadaan serviks matang dapat berhasil

melahirkan pevaginam (ACOG, 1999;

Alexander et al., 1999; Nassar et al.,

1998). Pematangan serviks dapat

meningkatkan skor Bishop, namun

perpanjangan induksi harus disingkirkan.

Menurut anastesi, teknik neuroaksial

(epidural, spinal) lebih baik pada wanita

dengan pre-eklamsi/eklamsi meskipun

perlu pemantauan secara ketat dan tidak

adanya resiko trombositopeni (Program

nasional tekanan darah tinggi, 2000).

Dalam studi acak, 80 wanita pre-eklamsi

berat dengan epidural, kombinasi spinal-

epidural, atau anastesi umum

menunjukkan hasil yang sama (Wallace et

al., 1995). Hipotensi menjadi perhatian

utama dalam regional anastesi sejak pre-

eklamsi didapatkan adanya peningkatan

volume darah. Edema jalan nafas dan

kekambuhan hipertensi dengan intubasi

telah menjadi persoalan pada anastesi

umum.

Pre-eklamsi/eklamsi selalu diakhiri dengan

persalinan, meskipun perlu waktu

beberapa hari atau minggu. Diuresis (> 4l

per hari) dipercaya paling akurat sebagai

indikator klinis tetapi tidak menjamin

dapat menghindari kejang. (Miles et al.,

1990)

Dapatkah kejang eklamsi dicegah ?

Terapi anti kejang dapat digunakan untuk

mencegah kejang eklamsi awal pada

wanita pre-eklamsi berat. Dua penelitian

besar telah mendemonstrasikan

keuntungan magnesium sulfat daripada

fenitoin dalam pencegahan eklamsi

(Belfort et al., 2003; Coetzee et al., 1998;

Lucas et al., 1995). Rumah sakit Parkland,

sebagai contoh, secara random 2138

wanita pre-eklamsi yang melakukan

persalinan mendapat megnesium sulfat

atau fenitoin (Lucas et al,. 1995). Kejang

eklamsi dialami oleh 10 dari 1089 wanita

yang mendapatkan feniotin dibandingkan

dengan tidak ada wanita dari 1049 wanita

yang mendapatkan magnesum sulfat

(P=0,004). Maternal dan neonatal

menunjukkan efek yang hampir sama.

Data ini ddukung oleh studi di Afrika

16

Page 17: ADEL - Jurnal Eklampsi New

Selatan dimana 685 wanita pre-eklamsi

berat secara acak mendapatkan profilaksis

anti kejang dengan magnesum sulfat atau

plasebo (Coetzee et al., 1998). kejadian

eklamsia lebih rendah pada kelompok

yang mendapatkan magnesium sulfat

(0,3% vs. 3,2% [P=0,003]).

Terapi anti konvulsi secara umum

diberikan selama persalinan atau ketika

terapi antenatal dengan deksametason atau

pematangan serviks yang direncanakan

pada pasien pre-eklamsi. Profilaksis

kejang secara kontinyu diberikan sampai

24-48 jam setelah partus, ketika resiko

kejang berkurang.

Telah banyak diperdebatkan apakah

semua wanita dengan pre-eklamsia perlu

profilaksis kejang atau tidak.

Keberhasilan dan keamanan magnesium

sulfat sebagai profilaksis anti kejang

pada wanita pre-eklamsi berat telah

digambarkan dalam penelitian terbesar

The Magpie Trial, (2002) (Percobaan

magnesium sulfat dalam pencegahan

eklamsi). Lebih dari 10.000 wanita

(hamil atau 24 jam persalinan) dengan

tekanan darah ≥140/90 mmHg dan

proteinuria ≥ +1 perawat masih ragu

mengenai kegunaan pemberian

magnesium sulfat (4 gr IV loading dose

dilanjutkan 1 gr per jam melalui infus

atau 5 gr IM bokong yang dilanjutkan 5

gr IM setiap 4 jam) atau plasebo selama

24 jam. Sekitar 25% pasien dengan

penyakit berat dan 75% diberikan anti

hipertensi. Penemuan terbesar dari

percobaan bahwa magnesium sulfat :

Menurunkan resiko konvulsi

eklamsi secara signifikan (0.8% vs.

1.9%; RR 0.42, 95% CI, 0.29-0.60).

untuk mencegah konvulsi, 63 wanita

dengan pre-eklamsi berat atau 109 wanita

denga pre—eklamsi ringan sampai

sedang perlu diterapi.

Menunjukkan dapat menurunkan

kematian ibu (0.2% vs. 0.4%; RR 0.55,

95% CI, 0.26-1.14); dan

Pencegahan konvulsi tidak

menghiraukan beratnya pre-eklamsia,

usia kehamilan atau paritas.

Morbiditas ibu, mortalitas perinatal serta

morbiditas neonatus hampir sama di kedua

kelompok. Terapi magnesium sulfat harus

dipertimbangkan dalam pencegahan

eklamsia pada semua wanita dengan pre-

eklamsi (Megpai Trial, 2002; Roberts et

al., 2002; Shets dan Chalmers, 2002),

termasuk pada mereka yang bukan

penyakit berat, meskipun beberapa penulis

menanyakan nilai terapi pada semua

wanita pre-eklamsi untuk mencegah

kejang di beberapa pasien (0.6-3.2%) (Hall

et al., 2000). Sekitar 10-15% wanita pada

masa persalinan dengan pre-eklamsi ringan

akan berkembang menjadi gejala pre-

eklamsi berat (hipertensi berat, sakit

17

Page 18: ADEL - Jurnal Eklampsi New

kepala, gangguan penglihatan, nyeri

epigaster, dan kelainan laboratorium)

(Livingstone et al., 2003; Witlin dan Sibai,

1998).

Kesimpulannya, WHO, Federation

Internationale de Gynecologie et

d’Obstetrique, dan perhimpunan

internasional mengenai hipertensi dalam

kehamilan merekomendasikan terapi

magnesium sulfat untuk mencegah dan

sebagai terapi eklamsi (Roberts et al.,

2002). The American College of

Obstetricians and Gynecologist

merekomendasikan penggunaan

magnesium sulfat pada wanita dengan pre-

eklamsi berat. Kejadian kejang lebih

rendah pada pada wanita hipertensi tanpa

proteinuria (< 0,1%) (Coetzee et al.,

1998). Oleh karena itu, hal tersebut aman

terhadap profilaksis kejang pada wanita.

Hasil terapi

Hasil Jangka Panjang pada Wanita

Eklamsi

Prognosis jangka panjang pada ibu

tergantung dari berat ringannya suatu

penyakit. Kerusakan sel hepar, disfungsi

renal, DIC, dan hipertensi dapat di atasi

dengan persalinan. Tetapi, kerusakan

serebrovaskular dapat menyebabkan gejala

sisa neurologi

Komplikasi sindrom HELLP terjadi pada

4-14% pasien pre-eklamsia berat atau

eklamsi dan telah dikaitkan dengan

perburukan maternal dan/atau perburukan

perinatal (Sibai, 1990; Sibai et at., 1986a,

1995). Kejadian sindroma ini lebih tinggi

pada pasien multipara, terutama pada pre-

eklamsi dan atau eklamsi yang terlambat

didiagnosis. Secara keseluruhan kematian

perinatal rata-rata mencapai 36,7%

(41/112) telah dilaporkan Sibai et al.

(1993b) terdapat 5 kematian ibu (1.1%)

dan kehidupan ibu secara signifikan: DIC

pada 92 pasien (21%), abrupsio plasenta

pada 69 pasien (16%), gagal ginjal akut

pada 33 pasien (7.7%), 26 pasien dengan

edema paru (6%), 4 pasien dengan ruptur

hematom subskapular hepar (0.9%) dan 3

pasien dengan ARDS (Acute Respiratory

Distress Syndrome) (1%). Dengan catatan,

kejadian komplikasi maternal (terutama

edema paru dan gagal ginjal akut) tampak

lebih tinggi jika sindroma HELLP

berlanjut setelah persalinan Sibai et al.

(1993b). Kekambuhan rata-rata sindroma

HELLP pada hasil akhir kehamilan sekitar

2% (1/49) (Sibai et al. 1986a)

Gagal ginjal akut terjadi pada 1.8% pasien

dengan pre-eklamsi berat/eklamsi (Sibai et

al., 1990) dan hampir selalu terjadi tubular

nekrosis akut sekunder. Hal ini biasa

terjadi pada abrupsio plasenta dan DIC dan

berkaitan dengan perburukan

18

Page 19: ADEL - Jurnal Eklampsi New

maternal/perinatal (termasuk kematian

maternal dan perinatal 10-13% dan 34-

41%, berturut-turut) (Sibai dan Ramadan,

1993; Sibai et al., 1990). Sekitar 30-50%

pasien dengan gagal ginjal akut

memerlukan terapi dialisis selama

kehamilan untuk memperbaiki azotemia

dan/atau hiperkalemia. Tindak lanjut

jangka panjang (rata-rata 4.0±3.1 tahun)

pada 31 pasien dengan pre-eklamsia

berat /eklamsi yang memiliki komplikasi

gagal ginjal akut 16 orang diantaranya

telah sembuh dan memiliki ginjal dengan

fungsi yang normal kembali. Pada pasien

yang memang memiliki kelainan parenkim

ginjal dan/atau hipertensi kronis, 9 dari 11

pasien yang berhasil (82%) telah

mendapatkan dialisis jangka panjang dan 4

orang yang berakhir dengan kematian

karena gagal ginjal stadium lanjut. Peneliti

menyimpulkan bahwa “Tatalaksana yang

tepat pada gagal ginjal akut pada pasien

dengan pre-eklamsi / eklamsi murni tidak

menyebabkan sisa fungsi yang buruk”

(Sibai et al., 1990). Pada penyakit ginjal

tidak jarang kambuh menjadi gagal ginjal

akut pada kehamilan.

Edema paru merupakan komplikasi yang

jarang pada pre-eklamsi berat/eklamsi

dengan kejadian sekitar 2-3%. Hal tersebut

lebih terlihat pada pasien yang memang

memiliki hipertensi kronis dibandingkan

pada pasien yang sebelumnya memiliki

tekanan darah normal (7.1% vs 1.7%,

berturut-turut) (Sibai et al. 1987).

Rangkaian 37 kasus yang terjadi secara

berurutan, Sibai dan koleganya (1987)

melaporkan kematian 4 orang ibu dan

kehidupan ibu secara signifikan. Seluruh

kematian perinatal pada hal ini sebesar

53% (18/39). Tercatat, 70% (26/37) pasien

ini berkembang mengalami edema paru

setelah persalinan dengan onset 71 hari

setelah peralinan. Hampir semua wanita

memiliki faktor predsiposisi terhadap

edema paru, termasuk kritaloid masif dan

atau infus koloid, prosedur pembedahan,

sepsis atau anemia.

Apakah wanita dengan pre-eklamsia/eklamsia beresiko mengalami hipertensi kronis di kemudian hari ?

Pada wanita yang memiliki riwayat pre-

eklamsi / eklamsi, menurut laporan resiko

terjadinya hiprtensi kronis berkisar mulai

dari 0% sampai 78% (rata-rata 23,8%)

(Chesley et al., 1976; Sibai et al., 1986b,

1991, 1992). Resiko meningkat pada

kelompok wanita baik yang memiliki

hipertensi dalam kehamilan maupun pada

wanita dengan eklamsi terkontrol.

Peningkatan resiko dari hipertensi yang

berkelanjutan hanya muncul rata-rata

setelah follow up lebih dari 10 tahun.

(Sibai et al., 1986b).

Selain hipertensi, wanita dengan riwayat

pre-eklamsi/eklamsi beresiko terhadap

19

Page 20: ADEL - Jurnal Eklampsi New

diabetes. Dalam satu penelitian, insidensi

diabetes pada penelitian kohort yang

dipantau selama 25 tahun sebesar 8.3%,

yang mana 2.5 kali lipat lebih tinggi dari

yang diperkirakan. (Chesley et al., 1976).

Hal ini serupa dengan 5.6% insidensi

diabetes yang dilaporkan oleh Sibai et al.

(1986b) pada wanita dengan pre-eklamsi

berat/eklamsi yang dipantau selama 10

tahun.

Kesimpulan

Eklamsia adalah suatu kegawatdaruratan

obstetri yang terjadi pada 4-5 per 10.000

kelahiran hidup. Baik ibu maupun fetus

secara langsung beresiko mengalami

kematian atau disabilitas neurologi jangka

panjang. Target terapi utama yakni

memberikan keamanan pada ibu dan

selanjutnya kelahiran bayi dengan kondisi

yang optimal. Persalinan merupakan

tatalaksana yang paling efektif. Terapi

yang cepat dan efektif tanpa adanya

perdarahan serebrovaksular merupakan

prognosis yang baik bagi ibu. Prognosis

janin tergantung dari besarnya usia

kehamilan saat persalinan. Angka

kekambuhan pre-eklamsia pada kehamilan

berikutnya dilaporkan mencapai 12-68%

dan sekitar 10% dari wanita tersebut akan

mengalami kejang eklamsi pada kehamilan

berikutnya. Magnesium sulfat adalah obat

pilihan dalam pencegahan primer terhadap

kekambuhan kejang eklamsi.

20

Page 21: ADEL - Jurnal Eklampsi New

JOURNAL

PATHOGENESIS AND TREATMENT OF ECLAMPSIA

21

Page 22: ADEL - Jurnal Eklampsi New

22