ADAPTASI EKONOMI KOMUNITAS NELAYAN DI UNTIA, …

14
433 ADAPTASI EKONOMI KOMUNITAS NELAYAN DI UNTIA, MAKASSAR ECONOMIC ADAPTATION OF THE FISHERMEN COMMUNITY IN UNTIA, MAKASSAR Masgaba Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km 7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 885119 Faksimile (0411) 865166, 883748 Pos-el: [email protected] Handphone: 085255795044 Diterima: 5 Juli 2016; Direvisi: 9 September 2016; Disetujui: 30 November 2016 ABSTRACT This study uses a descriptive qualitative approach which aims to describe the economic adaptation of fishermen community who are relocated from Laelae Island to fisherman village in Untia Village, Makassar. The data collection applies interviews, direct observation, and literary study. The result study shows that the fishermen community of Laelae’s migrant, after living in Untia, do not rely solely on the potential of the sea as their main source of livelihood. The adaptation strategic undertaken by them is to exploit the economic potential that exists around them, such as became construction workers, factory workers, and so on. The fishermen’s wives and daughters also contribute to the household economy. They work as home-based workers by peeling the epidermis cashew of PT Mayora located around them. Their education are low, so they do not have the expertise or particular skills. Therefore, they cannot choose a job that requires special expertise. Keywords: the migrant fishermen of Laelae, economic adaptation, Untia. ABSTRAK Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan adaptasi ekonomi komunitas nelayan yang direlokasi dari Pulau Laelae ke Kelurahan Untia, Makassar. Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, pengamatan langsung, dan studi pustaka. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa komunitas nelayan migran Laelae, setelah menetap di Untia, tidak semata-mata mengandalkan potensi laut sebagai sumber utama mata pencahariannya. Strategi adaptasi yang mereka lakukan adalah memanfaatkan potensi ekonomi yang ada di sekitar lingkungan permukimannya, seperti menjadi buruh bangunan, buruh pabrik, dan sebagainya. Para isteri nelayan dan anak-anak perempuan turut berkontribusi terhadap ekonomi rumah tangga. Mereka bekerja sebagai buruh rumahan dengan mengupas kulit ari jambu mente milik PT Mayora yang ada di sekitar permukiman mereka. Tingkat pendidikan mereka tergolong rendah sehingga tidak memiliki keahlian atau ketrampilan tertentu. Dengan demikian, mereka tidak dapat memilih pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus. Kata kunci: migran nelayan Laelae, adaptasi ekonomi, Untia. PENDAHULUAN Kebijakan pemerintah Kota Makassar untuk merelokasi komunitas nelayan Laelae ke permukiman yang berada dalam wilayah Kelurahan Untia menimbulkan fenomena baru bagi komunitas tersebut. Pada awalnya komunitas nelayan Laelae terjadi konflik di antara mereka, ada yang setuju dan ada yang tidak setuju untuk direlokasi. Kelompok yang tidak setuju direlokasi terjadi penolakan dengan berbagai alasan. Salah satu alasan menurut mereka (komunitas yang direlokasi) bahwa lingkungan yang baru tersebut jauh dari laut tempat mereka beraktivitas untuk menangkap ikan. Sedangkan kelompok yang setuju direlokasi setelah beberapa bulan menetap di lingkungan barunya kecemasan tersebut mulai menipis. Secara perlahan mereka dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Relokasi dimulai pada bulan Februari dan Maret tahun 1998. Pemerintah menyiapkan biaya pindah, tabungan dan perumahan sebagai daya tarik. Namun demikian tidak semua penduduk

Transcript of ADAPTASI EKONOMI KOMUNITAS NELAYAN DI UNTIA, …

Page 1: ADAPTASI EKONOMI KOMUNITAS NELAYAN DI UNTIA, …

433 PB

ADAPTASI EKONOMI KOMUNITAS NELAYAN DI UNTIA, MAKASSAR ECONOMIC ADAPTATION OF THE FISHERMEN COMMUNITY IN UNTIA, MAKASSAR

MasgabaBalai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan

Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km 7 Makassar, 90221Telepon (0411) 885119 Faksimile (0411) 865166, 883748

Pos-el: [email protected]: 085255795044

Diterima: 5 Juli 2016; Direvisi: 9 September 2016; Disetujui: 30 November 2016

ABSTRACTThis study uses a descriptive qualitative approach which aims to describe the economic adaptation of fishermen community who are relocated from Laelae Island to fisherman village in Untia Village, Makassar. The data collection applies interviews, direct observation, and literary study. The result study shows that the fishermen community of Laelae’s migrant, after living in Untia, do not rely solely on the potential of the sea as their main source of livelihood. The adaptation strategic undertaken by them is to exploit the economic potential that exists around them, such as became construction workers, factory workers, and so on. The fishermen’s wives and daughters also contribute to the household economy. They work as home-based workers by peeling the epidermis cashew of PT Mayora located around them. Their education are low, so they do not have the expertise or particular skills. Therefore, they cannot choose a job that requires special expertise.

Keywords: the migrant fishermen of Laelae, economic adaptation, Untia.

ABSTRAKKajian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan adaptasi ekonomi komunitas nelayan yang direlokasi dari Pulau Laelae ke Kelurahan Untia, Makassar. Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, pengamatan langsung, dan studi pustaka. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa komunitas nelayan migran Laelae, setelah menetap di Untia, tidak semata-mata mengandalkan potensi laut sebagai sumber utama mata pencahariannya. Strategi adaptasi yang mereka lakukan adalah memanfaatkan potensi ekonomi yang ada di sekitar lingkungan permukimannya, seperti menjadi buruh bangunan, buruh pabrik, dan sebagainya. Para isteri nelayan dan anak-anak perempuan turut berkontribusi terhadap ekonomi rumah tangga. Mereka bekerja sebagai buruh rumahan dengan mengupas kulit ari jambu mente milik PT Mayora yang ada di sekitar permukiman mereka. Tingkat pendidikan mereka tergolong rendah sehingga tidak memiliki keahlian atau ketrampilan tertentu. Dengan demikian, mereka tidak dapat memilih pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus.

Kata kunci: migran nelayan Laelae, adaptasi ekonomi, Untia.

PENDAHULUAN

Kebijakan pemerintah Kota Makassar untuk merelokasi komunitas nelayan Laelae ke permukiman yang berada dalam wilayah Kelurahan Untia menimbulkan fenomena baru bagi komunitas tersebut. Pada awalnya komunitas nelayan Laelae terjadi konflik di antara mereka, ada yang setuju dan ada yang tidak setuju untuk direlokasi. Kelompok yang tidak setuju direlokasi terjadi penolakan dengan berbagai alasan. Salah satu alasan menurut mereka (komunitas yang

direlokasi) bahwa lingkungan yang baru tersebut jauh dari laut tempat mereka beraktivitas untuk menangkap ikan. Sedangkan kelompok yang setuju direlokasi setelah beberapa bulan menetap di lingkungan barunya kecemasan tersebut mulai menipis. Secara perlahan mereka dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya.

Relokasi dimulai pada bulan Februari dan Maret tahun 1998. Pemerintah menyiapkan biaya pindah, tabungan dan perumahan sebagai daya tarik. Namun demikian tidak semua penduduk

Page 2: ADAPTASI EKONOMI KOMUNITAS NELAYAN DI UNTIA, …

434 PB

Laelae yang mau direlokasi sesuai program pemerintah Kota Makassar. Dari 326 rumah yang disiapkan oleh pemerintah hanya 143 KK yang bersedia direlokasi. Alasan mereka yang tidak setuju direlokasi antara lain: mereka sudah turun menurun menetap di Laelae sehingga merasa sudah menyatu dengan lingkungannya. Sedangkan yang setuju untuk direlokasi, bahwa pada permukiman yang baru mereka diberi sertifikat atas tanah dan bangunan rumah, tersedia lapangan kerja baru selain sebagai nelayan. Pada permukiman lama di Laelae tidak memiliki rumah hanya sebatas hak pakai, listrik/lampu di permukiman baru di Kampung Nelayan non stop, berbeda di Laelae hanya separuh waktu bisa dinikmati.

Usaha penyesuaian diri terhadap lingkungannya, baik dalam arti sosial maupun dalam arti lingkungan alam sekitar, setiap individu memanfaatkan warisan sosial masing-masing yang lazim disebut kebudayaan.Warisan sosial manusia yang disebut kebudayaan itu sendiri setidaknya memiliki fungsi rangkap. Kebudayaan di satu sisi berfungsi membantu individu untuk menyesuaikan diri pada tempatnya dalam masyarakat, disamping fungsinya membantu individu bersangkutan untuk menyesuaikan diri terhadap keadaan alam sekitarnya. Hal itu berarti bahwa pola adaptasi antar individu maupun antar kelompok-kelompok individu dalam suatu lingkungan budaya tertentu, bagaimanapun juga turut diwarnai oleh corak budaya yang secara fundemantal melandasi pola tingkah laku manusia sebagai makhluk sosial dan berbudaya (Hamid, 2001:2).

Dalam proses adaptasi, individu-individu yang terlibat menggunakan pengetahuan yang dimilikinya mengenai lingkungan, baik fisik maupun sosial budaya. Pengetahuan ini diperoleh dari hasil hubungan langsung dengan lingkungan, maupun interaksi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Pengetahuan yang diperoleh dari orang lain, antara lain berbagai macam informasi mengenai lingkungan yang disampaikan melalui simbol, strategi-strategi untuk dapat memanfaatkan potensi sumber daya

alam yang ada di lingkungannya. Adaptasi yang dilakukan oleh manusia terhadap lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dalam upaya memenuhi keinginan-keinginannya akan melahirkan perubahan (Suyuti, 2011:20-21).

Alam dunia secara keseluruhan merupakan suatu ekosistem yang di dalamnya bagian-bagian atau unsur-unsur pembetuknya saling berkaitan dan saling tergantung serta ada hubungan timbal balik antara bagian. Adaptasi merupakan hubungan penyesuaian antara organisme dengan lingkungannya (Daeng, 2008:44). Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) dan sumberdaya pesisir yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Demikian halnya komunitas nelayan Laelae yang direlokasi di Perkampungan Nelayan yang berada dalam wilayah Kelurahan Untia, sejauh ini mereka telah memanfaatkan lingkungan sekitarnya untuk memenuhi keinginan-keingannya. Mereka sudah beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya dan berinteraksi dengan warga masyarakat lokal.

Kondisi geografis antara pulau Laelae sebagai permukiman asal dengan Kampung Nelayan sebagai permukiman baru sangat berbeda. Kondisi lingkungan geografis Kampung Nelayan perpaduan antara daerah pesisir dan daratan perkotaan. Lokasi Kampung Nelayan berada di sekitar kawasan industri dan berbagai pembangunan infrastruktur seperti dermaga pelabuhan dan pelelang ikan terbesar. Hal tersebut memberi peluang kepada para komunitas nelayan untuk mencari pekerjaan selain menangkap ikan di laut. Berbeda halnya ketika mereka di Laelae yang hanya mengandalkan laut sebagai sumber mata pencaharian mereka. Setelah mereka bermukim di Kampung Nelayan tidak hanya mengandalkan kehidupan ekonominya pada potensi laut, tetapi juga mereka mengkombinasikan sumber ekonominya dari potensi yang tersedia di sekitar lingkungannya, seperti menjadi buruh bangunan, pengawas bangunan, bujang sekolah, buruh industri rumahan, buruh industri pabrik, tukang ojek, sopir, membuka warung barang kelontongan, dan sebagainya.

WALASUJI Volume 7, No. 2, Desember 2016: 433—446

Page 3: ADAPTASI EKONOMI KOMUNITAS NELAYAN DI UNTIA, …

435 PB

Sarana transportasi darat dan laut menunjang aktivitas ekonomi komunitas nelayan sehingga memudahkan untuk keluar masuk ke kota atau ke tempat kerja mereka. Apalagi setelah beberapa tahun menetap di Kampung Nelayan umumnya komunitas nelayan sudah memiliki kendaraan roda dua, bahkan ada yang memiliki kendaraan roda empat. Berbeda ketika di permukiman lama hanya tersedia transportasi laut yang hanya waktu operasinya terbatas pada waktu-waktu tertentu. Berbagai pembangunan sarana fisik yang ada di sekitar Kampung Nelayan seperti pembangunan dermaga pelabuhan, dekat dengan kawasan industri, memungkinkan komunitas untuk mencari pekerjaan di luar sektor kelautan. Selain itu para ibu-ibu rumah tangga dan remaja putri turut berkontribusi terhadap ekonomi keluarga dengan bekerja sebagai buruh industri rumahan sebagai pengupas kulit ari jambu mente milik pabrik pengolahan makanan PT. Mayora yang terletak tidak jauh dari permukiman mereka.

Komunitas nelayan yang telah menetap di Kampung Nelayan aktivitas ekonominya mengalami diversifikasi dan tidak lagi mengandalkan dan memanfaatkan potensi sumber daya kelautan sebagai mata pencaharian utama (Suparman, 2013:4). Sejumlah nelayan yang sudah menetap di Kampung Nelayan tersebut aktivitas ekonominya tetap bersentuhan dan memanfaatkan potensi sumber daya kelautan berupa penyelam teripang dan menangkap ikan. Aktivitasnya sebagai nelayan juga tetap dilakukan sama seperti ketika masih di permukiman lamanya di Pulau Laelae. Bahkan hubungan dan komunikasi diantara mereka masih tetap berjalan, termasuk dukungan terhadap aktivitas ekonomi profesi sebagai nelayan.

Selanjutnya, komunitas Kampung Nelayan Kelurahan Untia yang sudah bermukim sejak tahun 1998 yang lalu dinamika interaksi sosial juga berkembang, dimana dalam komunitasnya bukan hanya dihuni oleh nelayan dari pulau Laelae tapi juga sudah berinterkasi dengan komunitas lokal. Hal yang sama terjadi pada komunitas nelayan Pulau Laelae berinteraksi

dan beradaptasi dengan komunitas lain termasuk penghuni baru. Untuk Komunitas Kampung Nelayan, hunbungan dan interaksi yang berlangsung sekarang ini dengan penduduk lokal juga baik bahkan penuh kehangatan bukan hanya pada hubungan sosial tetapi juga pada hubungan kerjasama pada aktivitas ekonomi, sehingga komunitas nelayan Kelurahan Untia bukan hanya mengandalkan kehidupan ekonominya pada potensi kelautan tapi juga pada sektor ekonomi lainnya seperti menjadi buruh bangunan, buruh industri rumahan, sektor jasa angkutan tukang ojek, pengawas bangunan. Fenomena tersebut memberi pemahaman bahwa semenjak kebijakan relokasi sampai sekarang ini sudah terjalin hubungan sosial yang baik, sehingga menumbuhkan saling percaya di antara warga hasil relokasi dengan warga lokal.

Komunitas Kampung Nelayan Kelurahan Untia hasil relokasi yang umumnya nelayan miskin sebagai buruh/sawi tidak terjadi pemutusan hubungan dan kerjasama dengan para pinggawa yang masih bermukim di Pulau Laelae, jika ada aktivitas penangkapan ikan atau akan turun ke laut tetap dihubungi dan bekerja seperti sedia kala. Bahkan, komunitas Kampung Nelayan mampu membangun hubungan/jaringan dan kerjasama bukan hanya pada nelayan pinggawa yang ada di Pulau Laelae tapi juga sektor lainnya yang dapat memberi penghasilan tambahan bagi keluarga nelayan.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka fokus pengkajian diarahkan pada pengungkapan: Bagaimana adaptasi ekonomi komunitas nelayan migran Laelae di Kampung Nelayan Kelurahan Untia Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar?. Berdasarkan masalah pokok tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan adaptasi ekonomi migran komunitas nelayan Laelae di Kampung NelayanUntia.

Terbentuknya Kampung Nelayan di Untia merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah Kota Makassar untuk merelokasi komunitas nelayan yang ada di Pulau Laelae, karena tempat tersebut akan dijadikan daerah

Page 4: ADAPTASI EKONOMI KOMUNITAS NELAYAN DI UNTIA, …

436 PB

wisata. Oleh karena itu komunitas nelayan Laelae yang direlokasi, secara alamiah dituntun untuk mengadaptasi diri terhadap lingkungan barunya. Adaptasi (Mulyadi, 2007:11) merupakan tingkah laku penyesuai (behavioral adaptation) yang menunjuk pada tindakan. Istilah adaptasi secara terminologi menurut Koentjaraningrat, dkk (1984:1), mengandung pengertian sebagai proses perubahan serta akibatnya dalam suatu organisme yang menyebabkan organisme itu dapat hidup atau berfungsi lebih baik dalam sekitaran alam dan lingkungannya. Adaptasi adalah hubungan penyesuaian antara organisme dengan lingkungan sebagai keseluruhan yang di dalamnya organisme itu menjadi bagiannya. Adaptasi dapat diartikan sebagai upaya untuk bersatu dengan lingkungannya. Secara keseluruhan alam dunia ini merupakan suatu ekosistem, dimana unsur-unsur yang terdapat di dalamnya saling tergantung dan ada hubungan timbal balik antara bagian-bagian atau unsur-unsur tersebut (Daeng, 2008:44). Adaptasi mengacu pada penyesuaian dua arah. Proses interaksi antara perubahan yang ditimbulkan oleh organisme pada lingkungannya dan perubahan yang ditimbulkan oleh lingkungan pada organisme (Haviland, 1988:4).

Adaptasi merupakan proses penyesuaian suatu populasi terhadap lingkungan dan tempat (Goo, 2012:2). Adaptasi sebagai suatu konsep umum merujuk pada konsep proses penyesuaian pada keadaan yang berubah. Proses adaptasi bukan hanya persoalan bagaimana mendapatkan makanan dari suatu kawasan tertentu, tetapi juga mencakup persoalan transformasi sumberdaya lokal dengan mengikuti model standar konsumsi manusia yang umum. Kapasitas manusia untuk melakukan self objectification, belajar dan mengantisipasi. Adaptasi terhadap lingkungan dibentuk dari tindakan yang berulang-ulang sebagai proses penyesuaian terhadap lingkungan (Saharuddin, 2007:46).

Ekologi budaya sangat memperhatikan proses adaptasi karena dengan adaptasi akan memungkinkan kita dapat melihat cara kemunculan, pemeliharaan dan transformasi

berbagai konfigurasi budaya. Suatu ciri dalam ekologi budaya ialah perhatian mengenai adaptasi pada dua tataran, pertama, sehubungan dengan cara sistem budaya beradaptasi terhadap lingkungan totalnya. Kedua, sebagai konsekuensi adaptasi sistemik (Kaplan, 2002:102).

Proses adaptasi menghasilkan keseimbangan yang dinamis antara kebutuhan penduduk dan potensi lingkungan. Kasus suku bangsa Tsembaga di pengunungan Irian merupakan gambaran tentang hal itu. Suku bangsa Tsembaga hidup dari hortikultura, yaitu pembudidayaan tanaman dengan menggunakan peralatan tangan yang sederhana (Rappaport dalam Haviland, 1988:5). Pada sektor pertanian, pihak yang langsung merasakan dampak negatif pembangunan pertanian adalah rumah tangga petani berlahan sempit dan buruh tani. Untuk menyikapi tekanan sosial ekonomi dan kemiskinan mereka mengembangkan strategi adaptasi, sehingga mereka tetap dapat menjaga kesinambungan hidupnya (survival of the fittes) (Kusnadi, 2000: 5).

Adaptasi kebudayaan adalah proses evolusi yang mengubah kehidupan sosial masyarakat dalam lingkungan alam yang telah diperoleh dimana: (1). Proses evolusi sosial diciptakan oleh kondisi lingkungan alam yang memungkinkan manusia terus menerus beradaptasi terhadap perubahan. (2). Modifikasi biologis dan penyesuaian fleksibel yang memungkinkan manusia dapat beradaptasi terhadap lingkungannya. (3). Adaptasi biasanya dilakukan melalui cara-cara yang inovatif sehingga memungkinkan manusia dapat menciptakan kebudayaan baru dalam perjalanan hidupnya (Liliweri, 2014:31).

Proses adaptasi adalah perubahan dalam pola kegiatan atau tingkah laku untuk tetap dapat memenuhi syarat minimal agar dapat bertahan hidup dalam suatu lingkungan. Dalam proses adaptasi individu-individu yang terlibat di dalamnya harus menggunakan pengetahuan yang dimilikinya, dan mengikuti aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat di lingkungannya. Sedangkan strategi merupakan

WALASUJI Volume 7, No. 2, Desember 2016: 433—446

Page 5: ADAPTASI EKONOMI KOMUNITAS NELAYAN DI UNTIA, …

437 PB

pola-pola yang dibentuk oleh berbagai penyesuaian yang direncanakan oleh manusia untuk mendapatkan dan menggunakan sumber daya untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi (Purwaningsih, 2009:740-741).

Migrasi merupakan gerak perpindahan penduduk dari satu lokasi goegrafis ke lokasi geografis lainnya (Koentjaraningrat, dkk, 1984:117). Migrasi merupakan fenomena kependudukan, baik lingkup internasional, lingkup nasional maupun lingkup lokal. Migrasi dalam lingkup internasional merupakan perpindahan penduduk antar negara. Lingkup nasional merupakan perpindahan penduduk antar provinsi. Sedangkan dalam lingkup migrasi lokal perpindahan yang terjadi dalam wilayah provinsi yang bersangkutan. Salah satu contoh migrasi dalam lingkup lokal adalah migrasi penduduk Laelae ke Kampung Nelayan Untia di Kelurahan Untia Kecamatan Biringkanaya Makassar. Migrasi tersebut merupakan hal yang sengaja direncanakan oleh pemerintah Kota Makassar, karena lokasi asal (Laelae) akan dijadikan sebagai tujuan wisata bahari.

Migrasi cenderung dilakukan orang dengan berbagai alasan, baik faktor ekonomi, sosial, dan budaya. Namun yang sering terjadi adalah karena asalan faktor ekonomi. Bila suatu daerah memiliki potensi dalam bidang ekonomi, maka daerah itu akan menjadi daya tarik bagi para migran untuk datang dan bertempat tinggal (permanen atau non permanen) di daerah tersebut. Biasanya para migran datang secara spontanitas atau berdasarkan hubungan relasi pertemanan, tetangga atau agen tenaga kerja yang telah berhasil di daerah itu (Faisal, 2004:53).

Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budi daya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan permukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya. Dari segi pemilikan alat tangkap, nelayan dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan juragan, dan nelayan perorangan. Nelayan buruh bekerja

dengan alat tangkap milik orang lain. Nelayan juragan memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan lain. Sedangkan nelayan perorangan, nelayan yang menggunakan alat tangkap sendiri tanpa melibatkan orang lain (Mulyadi, 2007:7). Nelayan dapat didefenisikan sebagai orang atau komunitas orang yang secara keseluruhan atau sebagian dari hidupnya tergantung dari kegiatan menangkap ikan. Dalam satu kelompok nelayan sering ditemukan perbedaan kohesi internal dalam pengertian hubungan diantara sesama nelayan maupun di dalam hubungan bermasyarakat (Widodo, 2008:29)

METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Untuk memperoleh data sesuai dengan fokus penelitian, maka digunakan beberapa teknik pengumpulan data, seperti: Studi pustaka adalah dengan membaca literatur-literatur yang ada relevansinya dengan fokus kajian yang diteliti, seperti hasil-hasil penelitian berupa laporan, jurnal, artikel dan lain-lain.

Wawancara dilakukan secara intensif terhadap para informan dengan menggunakan pedoman wawancara. Data utama bersumber langsung dari subyek penelitian, yaitu dari para informan yang informasinya relevan dengan permasalahan penelitian.

Teknik pengamatan digunakan terhadap letak wilayah penelitian, keadaan lingkungan permukiman, keadaan dan tata letak bangunan perumahan penduduk, fasilitas lingkungan permukiman, serta subjek lainnya yang relevan dengan fokus penelitian.

Informan merupakan sumber data kualitatif yang utama, oleh karena itu informan dipilih secara snowboll sampling. Ketika memulai melakukan penelitian dan pengumpulan informasi, peneliti berupaya menemukan gatekeeper, yaitu orang pertama yang menerimanya di lokasi penelitian yang dapat memberi petunjuk tentang siapa yang dapat diwawancarai untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan objek penelitian. Gatekeeper bisa saja orang pertama yang diwawancarai,

Page 6: ADAPTASI EKONOMI KOMUNITAS NELAYAN DI UNTIA, …

438 PB

namun gatekeeper menunjuk orang lain yang lebih paham tentang fokus penelitian. Terus-menerus setiap habis wawancara, peneliti meminta informan menunjuk informan lain yang dapat diwawancarai (Bungin, 2007:77).

Data yang diperoleh dari wawancara, dan observasi dianalisis secara kualitatif. Analisis data dimulai dengan reduksi data, menyederhanakan data yang diperoleh dengan mengklasifikasi, dan penyajian data dengan membuat abstraksi dengan menghubungkan atau membandingkan dengan teori yang ada dan penarikan kesimpulan (Miles, 1992:16).

PEMBAHASAN

Lokasi Penelitian Posisi Kelurahan Untia berada pada

Utara kota Makassar. Kelurahan Untia merupakan salah satu kelurahan yang ada dalam wilayah adminstratif Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar. Secara administratif batas-batas wilayah Kelurahan Untia berada pada: sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Marusu Kabupaten Maros; Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Bira Kecamatan Tamalanrea Kota Makassar, Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Bulurokeng Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar; sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar.

Akses menuju ke Kampung Nelayan dapat ditempuh dengan jalur darat dengan menggunakan kendaraan roda dua atau empat. Lokasi Kampung Nelayan dari ibu kota kecamatan Biringkanaya berjarak 4 kilometer. Sedangkan jarak dari ibu kota Makassar sekitar 20 kilometer. Untuk masuk ke Kampung Nelayan Untia dapat melalui jalur tol kemudian keluar dari tol melalui pintu 5 atau dapat melalui jalan samping tol kemudian berbelok kiri melalui jalan Salodong. Akibat sarana jalanan yang rusak sehingga perjalanan ke Kampung Nelayan melalui jalan Salodong ditempuh kurang lebih 30 menit. Apabila musim hujan jalanan menuju ke Kampung Nelayan seperti danau yang tergenang airnya. Sepanjang perjalanan menuju ke Kampung Nelayan nampak beberapa

bangunan berbentuk gudang, ada bangunan milik PT. Mayora yang berproduksi berbagai jenis makanan, seperti coklat mente, biskuit dan sebagainya. Di depan kawasan Kampung Nelayan terdapat bangunan milik Kementerian Sosial yaitu Pusat Rehabilitasi Anak Berhadapan Hukum (ABH). Selain itu juga terdapat bangunan sarana pendidikan tingkat lanjutan atas Sekolah Menengah Kejuruan (SMK 9). Di sekitar lokasi Kampung Nelayan terdapat bangunan gedung kampus Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP). Sebelah utara lokasi Kampung Nelayan terdapat dermaga yang sementara dibangun. Sekitar 300 meter dari pintu gerbang Kampung Nelayan nampak bangunan kantor Kelurahan Untia.

Posisi Kampung Nelayan Untia letaknya terpisah dari permukiman penduduk lainnya yang ada di Kelurahan Untia, sehingga memudahkan pengunjung yang baru ke lokasi tersebut. Sepanjang jalan dari arah Jalan Salodong terdapat rumah penduduk lokal dan bangunan pergudangan. Setelah keluar dari Jalan Solodong akses jalanan rusak, di sisi kiri jalanan terhampar tanah kosong dan beberapa petak empang. Lahan permukiman merupakan daerah rawa dan lahan pertanian. Dari kejauhan sudah tampak bangunan rumah panggung yang sudah termakan usia. Di antara rumah-rumah yang sudah tua terdapat rumah yang tidak berpenghuni yang ditinggal oleh pemiliknya. Informasi beragam mengenai hal tersebut, antara lain sejak awal memang tidak ada penghuninya, kembali ke permukiman asal.

Foto 1: Nampak rumah penduduk di Kampung Nelayan

dengan arsitektur rumah panggung.(Sumber: Dokumentasi pribadi)

WALASUJI Volume 7, No. 2, Desember 2016: 433—446

Page 7: ADAPTASI EKONOMI KOMUNITAS NELAYAN DI UNTIA, …

439 PB

Untuk mengisi rumah yang kosong mereka mengajak kerabat, keluarga, sehingga penduduk Kampung Nelayan bukan hanya berasal dari Laelae. Penduduk ada yang berasal dari penduduk lokal, Gowa, Maros, Pangkep, Soppeng. Penduduk yang bukan berasal dari Laelae mereka menyebut dengan istilah “penyamping”. Adanya penduduk yang bukan berasal dari Laelae membuat mereka menambah suasana baru. Mereka dapat saling berinteraksi satu sama lain walaupun berbeda asal. Salah seorang penduduk Kampung Nelayan yang bukan berasal dari Laelae Hamzah mengatakan bahwa kami bukan dari Laelae, tapi diajak oleh kerabat untuk mengisi rumah yang kosong. Kami diperlakukan sama dengan mereka yang berasal dari Laelae. Kami dipercaya sebagai ketua RT sudah bertahun-tahun di Kampung Nelayan ini.

Mata pencaharian penduduk selain sebagai nelayan murni, beberapa komunitas Kampung Nelayan tidak lagi menjadikan laut sebagai mata pencaharian utama. Mereka itu beralih profesi yang banyak membutuhkan waktu di darat. Aktivitas nelayan sangat tergantung pada musim, jika musim hujan dan musim barat mereka tidak melaut. Bila tidak melaut waktu mereka lebih banyak di darat untuk berkumpul bersama keluarga. Pada saat tersebut mereka memanfaatkan waktu untuk memperbaiki peralatan alat tangkapnya, memperbaiki perahu, bahkan ada yang mencari pekerjaan tambahan sebagai tukang batu, buruh pabrik/bangunan, tukang ojek, membantu isteri menjaga warung, dan sebagainya. Menurut informasi bahwa ketika masih di permukiman asal jika tidak melaut mereka hanya menganggur, sementara asap dapur dan rokok tetap harus mengepul. Untuk memenuhi kebutuhan dapur dan rokok satu-satunya cara dengan meminjam kepada pinggawa. Berbeda di permukiman baru (Kampung Nelayan) yang mau bekerja pasti dapat uang, tradisi pinjam meminjam sudah ditinggalkan (Wawancara, Mardiana, Juni 2015).

Keluarga nelayan, isteri anak juga ada bekerja di bidang jasa, seperti: menerima jahitan, teknisi perahu atau menerima pekerjaan

borongan sebagai buruh rumahan dari pabrik yang berlokasi di sekitar permukiman mereka. Secara umum aktivitas ekonomi masyarakat Kelurahan Untia bekerja di sektor pertanian, jasa angkutan umum, industri kecil, peternakan, nelayan, dan pegawai pemerintah. Nelayan dan buruh tani adalah jenis mata pencaharian yang banyak diminati masyarakat.

Pola permukiman nelayan di Kampung Nelayan adalah pola permukiman yang terencana. Pola permukiman grid berbentuk mengelompok (Mastutie, 2002:35). Rumah-rumah penduduk menghadap ke jalan yang berupa stapak dan saling membelakang. Beberapa kelompok grid disatukan dalam suatu lingkungan rukun tetangga (RT). Masing-masing kelompok rumah penduduk dibatasi kanal sebagai jalur transportasi perahu nelayan, dan sebagai sarana penghubung dibangun jembatan penyebrangan. Kondisi Kanal yang disediakan oleh pemerintah sebagai jalur transportasi dan tempat parkir kapal nelayan kondisinya tidak memungkinkan digunakan lagi oleh nelayan. Kanal dipenuhi lumpur sehingga tidak memungkinkan dilalui perahu.

Foto 2: Kondisi kanal yang dangkal dipenuhi lumpur akibatnya nelayan tidak bisa

memarkir perahunya.(Sumber: Dokumetasi pribadi)

Arsitektur rumah berbentuk rumah panggung sebagaimana ciri khas rumah Bugis-Makassar. Rumah-rumah penduduk memiliki model dan ukuran yang sama. Luas tanah 10m x15 m, dan ukuran bangunan rumah setara dengan tipe 36 BTN atau Perumnas. Kondisi

Page 8: ADAPTASI EKONOMI KOMUNITAS NELAYAN DI UNTIA, …

440 PB

bangunan rumah umumnya sudah tua, namun terdapat beberapa rumah yang telah mengalami perubahan. Menurut informasi bahwa warga komunitas boleh merubah atau merenovasi rumahnya sepanjang tidak merubah model seperti aslinya (wawancara, Buhari, Juni 2015).

Arsitektur asli rumah di Kampung Nelayan berbentuk rumah panggung yang terdiri atas dua bagian, yaitu ruang utama/badan rumah (kalle balla) kolong rumah (siring). Badan rumah (kalle ballla) terdiri atas ruang tamu/keluarga/makan; ruang tidur 2 kamar; dapur, kamar mandi/wc. Dinding dan lantai terbuat dari papan. Bagian bawah rumah atau kolong rumah (siring) sebagaimana rumah panggung Bugis-Makassar dipertuntukkan untuk menyimpan peralatan nelayan atau kandang hewan peliharaan. Di Kampung Nelayan, kolong rumah (siring) diubah menjadi ruangan tamu, keluarga, dapur, wc. Perubahan rumah tergantung pada tingkat

ekonomi pemilik rumah. Terdapat rumah yang sudah mengalami perubahan pada bahan materialnya, seperti dindingnya dari bahan kayu dirubah ke bahan batu/semen, atapnya dari bahan asbes ke bahan seng, lantai kolong rumah dari tanah dirubah ke lantai semen plor atau keramik. Bentuk rumah terutama model bubungan (atap) tetap seperti model aslinya.

Bagi komunitas yang membuka usaha jual beli barang campuran kebutuhan sehari-hari, memanfaatkan sebagian ruang yang terdapat di kolong rumah. Dari pengamatan di lokasi, terdapat beberapa rumah tangga yang buka warung barang campuran sehingga memudahkan komunitas lainnya untuk memperoleh barang kebutuhan sehari-hari tanpa harus ke pasar. Untuk fasilitas pasar, komunitas Kampung Nelayan harus keluar ke pasar Daya yang letaknya lumayan jauh dari permukiman mereka.

Foto 3: Lingkungan permukiman yang tertata dengan sarana jalan paving blok.Sumber: Dokumentasi pribadi

Produksi dan Distribusi

a. ProduksiKomunitas nelayan di Perkampungan

nelayan Untia merupakan nelayan tradisional yang menggunakan peralatan penangkapan ikan yang sederhana, sehingga hasil yang diperoleh sangat minim. Mulyadi (2007:49) menyatakan bahwa umumnya para nelayan masih mengalami keterbatasan teknologi penangkapan, alat tangkap sederhana sehingga wilayah operasinya pun hanya di sekitar perairan pantai. Ketergantungan terhadap musim sangat tinggi sehingga tidak setiap saat bisa melaut. Jika musim ombak nelayan tidak melaut yang bisa

berlangsung selama sebulan. Kondisi seperti itu secara ril rata-rata pendapatan nelayan menjadi kecil bahkan tidak memperoleh hasil. Pendapatan yang diperoleh pada saat musim ikan akan habis dikonsumsi pada musim paceklik.

Seperti halnya komunitas nelayan di Kampung Nelayan mereka beroperasi dengan teknologi penangkapan sederhana. Armada perahu fiber yang digunakan untuk beroperasi di laut menggunakan mesin katinting merupakan bantuan dari Perikanan Kelautan. Jenis nelayan berdasarkan alat tangkap yang mereka gunakan, yaitu pa’rawe, pa’ patte, pa’doang (menangkap cumi-cumi), pa’dari (tangkap udang kecil),

WALASUJI Volume 7, No. 2, Desember 2016: 433—446

Page 9: ADAPTASI EKONOMI KOMUNITAS NELAYAN DI UNTIA, …

441 PB

pa’lanra (tangkap ikan kecil, seperti mairo, tembang, bete-bete).

Nelayan pancing atau pa’rawe menggunakan perahu 2 badan dengan menggunakan mesin ketinting. Satu kali melaut membutuhkan modal sekitar Rp. 300.000 untuk membeli bensin sekitar 10 liter, tabung gas ukuran 3 kg sebanyak 2 tabung, beli umpan seharga Rp 50.000 sampai R. 200.000, es batu. Wilayah tangkap berkisar pada Pulau Lumu-Lumu, Pulau Badi’ atau di sekitar Pangkep. Menurut informan bahwa sebelum mencapai lokasi/wilayah tangkap (fishing spot) terlebih dahulu membeli umpan di Bone Tambung. Berangkat dari rumah sekitar jam 8 malam. Adapun jenis ikan yang ditangkap, seperti:sunu, katamba, kakap merah (bambangan), kakap putih (ronga’), barakuda (lengko).

Foto 5: Alat tangkap pancing.(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Nelayan panah atau pa’patte biasanya jika melaut terdiri atas 2 orang dalam satu perahu. Pada saat beraktivitas 1 orang bertugas ma’patte ikan sambil menyelam, 1 orang menunggu di atas perahu. Peralatan yang digunakan sangat sederhana berupa perahu, pelampung (tomba) terbuat dari gabus warna putih sebagai tanda posisi jika menyelam, kacamata bebek. Menyelam pada kedalaman 5 meter di bawah laut. Berangkat ke laut jam 5 subuh perjalan ke wilayah tangkap kurang lebih 2 jam dari rumah. setelah mendapat hasil tangkapan langsung ke pelelangan Paotere untuk dijual ke pinggawa. Jika tidak mendapat hasil langsung pulang ke rumah. Wilayah tangkap di Balang Caddi, Balang Lompo. Modal berupa bensin yang dibutuhkan sekitar 5 liter sekali melaut. Ikan yang ditangkap seperti ikan tenggiri, sunu. Dg. Ngemba nelayan patte bekerjasama dengan anaknya beraktivitas di laut. Modal berupa pinjaman dari salah seorang pinggawa di pelelangan Paotere. Setiap hasil tangkapan yang diperoleh dijual ke pemilik modal dan harga ditentukan juga oleh pinggawa tersebut. Menurutnya modal pinjaman berupa uang tanpa bunga, tetapi hasil tangkapan harus dijual ke pemilik modal tersebut. Jika mau pindah pinggawa, pinjaman harus dilunasi terlebih dahulu. Dengan modal kejujuran dan kepercayaan seorang nelayan bisa meminjam

Foto 4: Perahu nelayan diparkir di sekitar permukiman

(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Page 10: ADAPTASI EKONOMI KOMUNITAS NELAYAN DI UNTIA, …

442 PB

kepada pinggawa tanpa ada jaminan seperti di perkreditan lainnya, seperti bank.

Nelayan yang menggunakan modal sendiri, seperti pa’rawe, pa’dari, pa’lanra dan pa’doang umumnya menggunakan modal sendiri. Peralatan berupa perahu, jaring atau alat pancing merupakan bantuan dari Perikanan. Mereka bebas menjual hasil tangkapan langsung ke konsumen atau ke pappalele yang ada di pelelangan ikan Paotere. Jika musim barat atau cuaca buruk mereka tidak melaut, mereka beralih profesi sebagai buruh di sekitar permukimannya. Selain faktor cuaca, terdapat nelayan yang tidak melaut lagi karena faktor umur. Seperti yang dialami informan Dg. Romo (67 tahun). Ketika di Laelae ikut berlayar milik kapal luar negeri seperti Jepang. Jika melaut bisa sampai tahunan tidak mendarat karena wilayah tangkapnya di luar negeri. Setelah menetap di Kampung Nelayan dia pensiun dari nelayan, kemudian beralih profesi sebagai bujang sekolah dan terakhir seperti saat ini sebagai buruh bangunan.

b. DistribusiDistribusi merupakan suatu proses alokasi

dari produksi barang dan jasa sampai ke tangan konsumen atau proses konsumsi (Damsar dan Idrayani, 2013:94). Dalam hal ini hasil produksi yang dimaksud adalah hasil tangkapan nelayan berupa ikan dan cumi-cumi yang didistribusikan dengan cara dijual dalam bentuk masih segar, dan ada yang dijual setelah diolah dalam bentuk pallu cella (dimasak dengan bumbu garam), atau dikeringkan. Ikan segar pada umumnya dipasarkan di tempat pelelangan ikan Paotere. Hasil tangkapan ikan para nelayan umumnya dijual di Paotere. Seperti nelayan pancing, Tata, karena modal sendiri sehingga dia bebas menjual langsung ke konsumen atau kepada pappalele sesuai harga yang dinginkan. Ikan segar berupa ikan karang seperti kakap, sunu dan lainnya dijual perekor. Lain halnya Dg. Ngemba hasil tangkapannya harus dijual kepada pinggawa di Paotere yang telah memberi pinjaman modal. Menurutnya jika dijual tidak kepada pinggawa yang memberi pinjaman modal tidak akan

diberi pinjaman lagi. Terkadang ketika melaut tidak memperoleh hasil, terkadang juga hanya memperoleh pembeli bensin. Sedangkan untuk dikonsumsi (pa’kaddokang) bersama keluarga di rumah biasanya ada ikan-ikan kecil yang harganya tidak terlalu bagus. Jika musim barat kalau mereka melaut terkadang hanya untuk dikonsumsi atau bahkan tidak memperoleh hasil sama sekali.

Nelayan dari lanra yang beroperasi di sekitar pantai, hasil tangkapannya juga di bawa ke Pelelangan Paotere untuk dijual langsung ke konsumen atau ke pa’gandeng. Pa’dari yang khusus menangkap udang-udang kecil dijual ke pembeli dengan cara ditimbang. Terkadang laku Rp 25.000 - Rp 30.000 per kilogram. Dalam satu kali melaut bisa memperoleh hasil antara 5-10 kg. Sedangkan nelayan lanra yang menangkap ikan-ikan kecil seperti tembang, bete-bete dijual ke konsumen atau ke pappalele sesuai dengan harga yang diinginkan. Begitu pula nelayan cumi-cumi dengan alat pancing yang menyerupai hewan laut yang mereka sebut doang-doang. Alat pancing tersebut terbuat dari kayu, mereka peroleh dengan cara membeli. Hasil tangkapan nelayan doang-doang juga dipasarkan di Paotere dengan cara ditimbang.

Informan Ilyas Sawakung, sebagai nelayan dan pa’gandeng yang menggunakan modal sendiri. Ikan yang dijajakan diperoleh dari membeli di pelelangan Paotere. Jika musim barat dia menangkap ikan bolu (bandeng) di hutan mangrove sekitar permukiman Kampung Nelayan dengan alat jaring sederhana, kemudian dijajakan di sekitar Jalan Salodong. Demikian juga isterinya turut berkontribusi terhadap ekonomi keluarganya sebagai penjaja ikan di Kampung Nelayan.

c. KonsumsiPengertian konsumsi menurut Don Slater

(dalam Damsar dan Indyani, 2013:113-114) bahwa konsumsi adalah bagaimana manusia dan aktor sosial dengan kebutuhan yang dimilikinya berhubungan dengan sesuatu (material, barang simbolik, jasa atau pengalaman) yang dapat

Page 11: ADAPTASI EKONOMI KOMUNITAS NELAYAN DI UNTIA, …

443 PB

memuaskan mereka. Konsumsi menurut Raymond Williams, sebagai merusak (to destray), memakai (to use up), membuang (to waste), dan menghabiskan (to exhaust). Konsumsi tidak hanya dipahami sebagai makan, minum, sandang dan pangan saja tetapi juga harus dipahami dalam berbagai fenomena dan kenyataan seperti: menggunakan waktu luang, mendengar radio, menonton televisi, membeli laptop, mengendarai kendaraan, membangun rumah, dan sebagainya.

Nelayan di Kampung Nelayan berbagai macam keinginan dan kebutuhan yang mereka perlukan untuk kelangsungan hidupnya. Dari penghasilan melaut dan pekerjaan lainnya, seperti buruh pabrik, buruh bangunan, tukang batu, sopir, penjual oli bekas, mereka bisa membeli apa yang diinginkan dan dibutuhkan. Seperti yang dialami oleh Basir (35 tahun) setelah menetap di Kampung Nelayan tidak lagi melakukan pekerjaan melaut, tetapi bekerja sebagai tenaga honor di Kantor Departemen Sosial pada Pusat Rehabilitasi Anak Berhadapan Badan Hukum (ABH). Menurutnya penghasilan tetap (informan tidak menyebutkan angka nominal gajinya) dari gaji honor bisa memenuhi kebutuhan harian rumah tangganya. Dan untuk membeli perabot rumah tangga dengan cara dikredit, seperti TV, lemari, kursi, dan lainnya bisa diperoleh karena bantuan dari isteri dan anak putrinya yang bekerja sebagai buruh rumahan pengupas kulit ari jambu mente milik PT. Mayora. Selain itu, penghasilan tambahan diperoleh dari hasil usaha warung barang campuran di rumahnya sendiri.

Informan lainnya Ilyas Sawakung (40 tahun) berprofesi sebagai nelayan dan pa’gandeng (penjaja ikan). Kerjasama dengan isterinya, informan ini bisa merenovasi tempat tinggalnya dari penghasilan yang diperoleh dari melaut dan menjajakan ikan. Keuntungan dari penghasilan yang diperoleh setiap harinya antara Rp 50.000 – Rp 100.000. Setelah beberapa lama menjadi penjaja ikan, penghasilannya dapat dibelikan motor walaupun motor bekas. Selain itu diperuntukan untuk biaya sekolah anak-anak yang masih di Sekolah Dasar (SD).

Umumnya penghasilan dari melaut atau pekerjaan lainnya, seperti buruh, tukang, sopir, diperuntukkan untuk keperluan sehari-hari rumah tangganya. Dan membeli kebutuhan sekunder lainnya (seperti perabot rumah tangga, dan motor) walaupun dengan cara kredit. Seperti pengalaman seorang informan Agril (23 tahun) setelah menetap di Kampung Nelayan tidak lagi ikut pada pinggawa di Laelae sebagai sawi, tetapi beralih profesi menjadi buruh pada pergudangan yang ada di sekitar permukimannya. Hasil dari pekerjaannya tersebut digunakan untuk mengkredit motor.

Strategi Adaptasi Adaptasi terhadap suatu lingkungan

yang baru merupakan permasalahan yang timbul akibat terjadinya migrasi atau proses pemindahan penduduk. Seperti yang dialami oleh migran komunitas nelayan Laelae terhadap lingkungannya di Kampung Nelayan di Untia, setelah sekitar dua tahun pasca relokasi mereka perlahan-lahan mulai beradaptasi terutama adaptasi ekonomi. Permasalahan yang mereka hadapi pada lingkungan yang baru di Kampung Nelayan Untia yaitu akses menuju ke laut sangat berbeda ketika mereka di permukiman lama (Laelae). Di Kampung Nelayan Untia tidak memiliki dermaga dan jalur ke laut berlumpur. Tempat parkir perahu jauh dari rumah mereka. Berbeda ketika mereka di permukiman lama, Laelae, perahu mereka parkir di bibir pantai depan permukimannya. Perubahan tersebut berimplikasi pada perubahan perilaku sehingga membuat mereka melakukan strategi-strategi beradaptasi terhadap lingkungannya.

Strategi adaptasi yang dilakukan oleh komunitas nelayan Untia untuk menjaga agar penghasilan selalu ada dengan memanfaatkan peluang yang ada di sekitar lingkungannya. Terdapat beberapa pilihan pekerjaan yang ada di sekitar lingkungannya. Kawasan Industri Makassar (KIMA) yang terletak di sekitar permukiman mereka, merupakan sasaran utama untuk mencari pekerjaan tambahan. Apabila tidak melaut karena musim barat, beberapa

Adaptasi Ekonomi Komunitas ... Masgaba

Page 12: ADAPTASI EKONOMI KOMUNITAS NELAYAN DI UNTIA, …

444 PB

nelayan memilih menjadi buruh pabrik di lingkungan Kawasan Industri Makassar. Umumnya pendidikan nelayan hanya sebatas Sekolah Dasar (SD) atau Sekolah Menengah Pertama (SMP) sehingga mereka tidak memiliki keahlian atau keterampilan tertentu, membuat mereka tidak dapat memilih pekerjaan yang jauh lebih baik. Pekerjaan yang mereka geluti sesuai dengan tingkat pendidikannya.

Seperti yang dikemukakan oleh salah seorang informan Dg. Tawang (57 tahun) mengatakan, bahwa saya memilih pekerjaan sebagai buruh harian yang lebih banyak waktu di rumah jika dibandingkan mencari ikan di laut. Waktu masih di permukiman lama saya ikut pada pinggawa sebagai sawi, kalau melaut lebih banyak waktu di laut. Setelah di Kampung Nelayan ini saya diajak tetangga ikut bekerja dibangunan tempatnya bekerja (wawancara, Juni 2015).

Dari penuturan informan tersebut menunjukkan bahwa potensi yang ada di sekitar lingkungan memberi peluang untuk mencari pekerjaan selain sebagai nelayan. Pekerjaan sebagai buruh harian pada pembangunan dermaga pelabuhan dapat memenuhi kebutuhan harian informan tersebut. Akses untuk mendapatkan pekerjaan sebagai buruh bangunan diperoleh dengan mudah melalui jaringan pertemanan atau tetangga yang sudah bekerja duluan ditempat tersebut. Penghasilan sebagai buruh harian sebesar Rp 75.000 - Rp 100.000 per hari. Jadi dalam satu minggu mereka bisa memperoleh penghasilan sebesar Rp 450.000 - Rp 600.000. Jika dibandingkan dengan melaut penghasilan tidak menetap bahkan kalau tidak beruntung bisa tidak memperoleh penghasilan dalam satu kali melaut.

Strategi adaptasi yang ditempuh oleh rumah tangga nelayan untuk mengatasi kesulitan ekonomi adalah mendorong para isteri mereka untuk ikut mencari nafkah. Selain itu anak-anak nelayan juga terlibat dalam beberapa pekerjaan untuk memperoleh penghasilan. Anak laki-laki akan mengikuti orang tuanya atau kerabatnya untuk mencari ikan ke laut. Anak perempuan

selain membatu kegiatan domestik orang tuanya juga membantu ibunya yang bekerja di industri-industri pengolahan ikan (Kusnadi, 2000:192-195). Hal yang sama juga dilakukan oleh isteri-isteri nelayan di Kampung Nelayan Untia. Strategi adaptasi ekonomi yang dilakukan dengan menjadi buruh rumahan mengupas kulit ari jambu mente milik PT. Mayora. Demikian juga putri-putri mereka juga ikut berkontribusi terhadap ekonomi keluarga, juga melakukan pekerjaan seperti ibu mereka. Mereka menerima upah sebesar Rp 3.000 per kilogram jambu mente. Dalam satu hari per orang bisa menyelesaikan mengupas kulit ari jambu mente sebanyak 5 kg. Hal itu berarti dalam satu hari seseorang bisa memperoleh uang dari upah mengupas kulit ari jambu sebanyak Rp 15.000.

“..........Di Kampung Nelayan kalau orang mau ji bekerja pasti dapat uang”. Kata-kata tersebut merupakan penuturan dari salah seorang isteri nelayan, Mardiana (37 tahun), bahwa selama menetap di Kampung Nelayan, mereka berkontribusi terhadap ekonomi rumah tangganya. Berbeda ketika masih di permukiman asal (Laelae) rutinitas kesehariannya hanya terbatas pada urusan demestik rumah tangga, mengurus anak, memasak, mencuci. Setelah pekerjaan rutinnya selesai mereka hanya ngerumpi bersama ibu-ibu lainnya, tetapi di Kampung Nelayan ini mereka bisa memperoleh uang dari upah mengupas kulit ari jambu mente setiap hari minimal Rp 3.000/kg mente. Selain itu terdapat kelompok ibu-ibu yang melakukan usaha industri rumah tangga (home industy) mengolah ikan segar menjadi abon, membuat bakso ikan, dan bandeng tanpa tulang.

Lain halnya pengalaman informan Ilyas Sawakung yang berprofesi sebagai nelayan dan penjaja ikan (pa’gandeng). Jika musim ikan untuk mendapatkan ikan segar untuk dijajakan, bersama isterinya ke Pelelangan ikan Paotere untuk membeli ikan dagangan. Ikan yang telah dibeli diecer dengan jalan dijajakan ke rumah-rumah penduduk di sekitar Jalan Salodong. Begitu pula isterinya juga sebagai penjaja ikan khusus di Kampung Nelayan. Strategi informan

WALASUJI Volume 7, No. 2, Desember 2016: 433—446

Page 13: ADAPTASI EKONOMI KOMUNITAS NELAYAN DI UNTIA, …

445 PB

pada musim ikan, jika ikan yang dijajakan tidak habis terjual mereka mengawetkan dengan mengolah menjadi pallu cella (dimasak dengan hanya diberi garam dan kunyit). Strategi tersebut bisa mendapatkan keuntungan dan ikannya dapat awet sampai besok harinya. Jika harga jual ikan segar, misalnya ikan cakalang Rp 10.000 per 5 ekor, maka setelah diolah menjadi pallu cella harga tetap tetapi jumlah ikan yang dikurangi menjadi Rp 10.000 per 3 ekor. Hal tersebut dilakukan untuk memperhitungkan biaya yang telah dikeluarkan selama proses mengolah dari ikan segar menjadi pallu cella. Strategi lainnya yang dilakukan bila musim ikan, yaitu dengan mengawetkan atau membuat ikan kering dengan cara dijemur di halaman rumahnya, seperti ikan mairo (teri). Setelah kering kemudian dikemas dengan takaran tertentu atau sesuai harga yang dinginkan kemudian dijajakan. Lain halnya jika musim barat, informan ini memanfaatkan kawasan mangrove yang ada di sekitar permukimannya untuk menangkap ikan bolu (bandeng). Untuk menangkap ikan bolu (bandeng) tidak terlalu banyak membutuhkan biaya produksi. Alat tangkap yang digunakan berupa jaring dan perahu tanpa menghidupkan mesin (jadi tidak menggunakan bensin). Hasil tangkapan ikan juga dijajakan sendiri ke konsumen.

Pada umumnya komunitas nelayan di Untia bisa memperoleh uang setiap hari dari hasil upah mengupas kulit ari jambu mente milik perusahaan makanan PT. Mayora. Oleh karena itu kebiasaan pinjam meminjam uang sudah mulai berkurang. Namun demikian nilai solidaritas di antara mereka yang sudah terbangun ketika di Laelae masih tetap terpelihara. Aktivitas sosial, seperti perkawinan atau hajatan lainnya mereka saling mengunjungi antara komunitas nelayan Laelae dan komunitas nelayan Untia.

PENUTUP

SimpulanKomunitas nelayan di Kampung Nelayan

umumnya setelah beberapa bulan pasca relokasi ada yang tetap sebagai nelayan, juga ada yang

beralih profesi. Lingkungan sekitar permukiman mereka merupakan kawasan pengembangan, berbagai sarana infrastruktur dibangun yang membutuhkan tenaga kerja, seperti dermaga pelabuhan dan pelelangan ikan, pengembangan bangunan Kampus Ilmu Pelayaran (PIP), dan sebagainya. Selain itu di sekitar kawasan permukimannya merupakan kawasan industri yang bisa dijadikan sebagai tempat mencari pekerjaan tetap sebagai buruh pabrik.

Strategi adaptasi yang digunakan oleh nelayan Untia untuk menghadapi ketidakpastian penghasilan adalah selain tetap sebagai nelayan murni, juga mengkombinasikan pekerjaan. Jika tidak melaut karena musim barat atau cuaca kurang baik, maka mereka beralih profesi menjadi buruh bangunan, buruh pabrik. Bahkan ada yang telah meninggalkan pekerjaannya sebagai nelayan, mereka memperoleh pekerjaan tetap sebagai buruh pabrik pada salah satu perusahaan yang ada di sekitar permukiman mereka. Keluarga nelayan, isteri dan anak remaja puteri juga berkontribusi terhadap ekonomi rumah tangganya. Umumnya para isteri dan anak remaja puteri menjadi buruh rumahan dengan menerima upah dari hasil pekerjaan mengupas kulit ari jambu mente milik perusahaan PT. Mayora.

SaranMelihat kondisi permukiman Kampung

Nelayan yang sebagian besar rumah penduduk yang sudah tua, pemerintah sebaiknya melakukan pembenahan dengan jalan memberi bantuan untuk perbaikan rumah. Kondisi kanal yang tidak berfungsi lagi sebagaimana yang diharapkan pemerintah sebagai jalur dan tempat parkir perahu nelayan, perlu diadakan pengerukan lumpur. Apabila kondisi tersebut tidak dibenahi dan tetap dibiarkan begitu saja, maka nama Kampung Nelayan beberapa tahun ke depan tidak sesuai lagi, nelayan akan beralih profesi ke pekerjaan lainnya. Dan Kampung Nelayan tidak sesuai lagi dengan nama Kampung Wisata.

Page 14: ADAPTASI EKONOMI KOMUNITAS NELAYAN DI UNTIA, …

446 PB

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, H.M. Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta:Kencana Prenada Media Group.

Daeng, Hans J. 2008. Manusia Kebudayaan dan Lingkungan Tinjauan Antropologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Damsar dan Indrayani. 2013. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Edisi kedua. Jakarta: Kencana.

Faisal. 2004. Adaptasi Migran Bugis Terhadap Masyarakat Mandar di Kabupaten Mamuju. Laporan Hasil Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Sulawesi Selatan dan Tenggara. Makassar: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar.

Goo, Andreas. 2012. Kamus Antropologi. Lembaga Studi Meeologi Makeewaapa Papua.

Hamid, Pananrangi. 2001. Adaptasi Masyarakat Pendatang terhadap Masyarakat Toraja di Kecamatan Rantepao Kabupaten Tana Toraja. Makassar: Departemen Pendidikan Nasional, Direktoral Jenderal Kebudayaan, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.

Haviland, William A. 1988. Antropologi. edisi keempat, jilid 2. R..Soekadijo Alih Bahasa. Jakarta: Erlangga.

Kaplan, David dan Robert A. Manners. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Koentjaraningrat, dkk. 1984. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kusnadi. 2000. Nelayan strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora Utama Press.

Liliweri, Alo. 2014. Pengantar Studi Kebudayaan. Bandung: Nusa Media.

Mastutie, Faizah. 2002. Keragaman Pola Perubahan Rumah di Permukiman Nelayan Biringkanaya Makassar. Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Miles, Mattheu. B dan Huberman, A. Micheal. 1992. Qualitative Data Analysis. Terjemahan Tjetjep Rohidi. Jakarta:Universitas Indonesia.

Mulyadi S. 2007. Ekonomi Kelautan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Purwaningsih, Ernawati. 2009. Strategi Adaptasi Penghuni Rumah Susun Sombo Terhadap Lingkungannya. dalam Patrawidya Seri Penerbitan Sejarah dan Budaya. Vol.10. No. 3. Hal. 737-766. BPSNT Yogyakarta.

Saharuddin. 2007. Antropologi Ekologi. dalam Soeryo Adiwibowo (ed). Ekologi Manusia. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia-IPB Bogor.

Suparman. 2013. Modal Sosial dalam Diskotinyuitas Komunitas (Studi Kasus Pulau Laelae dan Kampung Nelayan Kelurahan Untia) Makassar Sulawesi Selatan. Disertasi. Program Pascasarjana Sosiologi (S3), Universitas Negeri Makassar.

Suyuti, H.Nasaruddin. 2011. Orang Bajo di Tengan Perubahan. Yogyakarta:Penerbit Ombak.

Widodo, Johanes dan Suadi. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

WALASUJI Volume 7, No. 2, Desember 2016: 433—446