Adab Dalam Pelaksanaan Ibadah Haji
-
Upload
thiendthiend-hau -
Category
Documents
-
view
59 -
download
6
description
Transcript of Adab Dalam Pelaksanaan Ibadah Haji
ADAB-ADAB DALAM PELAKSANAAN IBADAH HAJI
(dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mandiri mata kuliah Manajemen Haji dan Umrah)
ENTIN SURYATIN
1211307035
VII A
MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ibadah haji merupakan ibadah yang khas, memiliki sifat yang berbeda dengan ibadah-
ibadah lainnya, untuk itu Allah menetapkan ibadah ini pada rukun yang terakhir, rukun yang
kelima dalam rukun Islam.
Ibadah haji merupakan puncak ritual dari rukun Islam. Ibadah haji juga
mengintegrasikan seluruh tataran syariah di dalamnya. Bahkan ibadah haji merupakan
investasi syiar dan kekuatan Islam yang dahsyat. Hal ini terefleksi dalam prosesi Wukuf,
Thawaf, Sa‟i dan Jamarat. Dalam Undang-undang No 13 Tahun 2008 tentang
penyelenggaraan ibadah haji pada bab I pasal I disebutkan bahwa ibadah haji adalah rukun
Islam kelima yang merupakan kewajiban sekali seumur hidup bagi setiap orang Islam
yang mampu menunaikannya.
Karena ibadah haji ini adalah ibadah yang tata cara pelaksanaannya agak rumit dan sulit,
berhaji juga memerlukan waktu yang cukup lama dan hanya dapat dilakukan pada waktu-
waktu tertentu setiap tahun dan hanya dapat dilaksanakan di tanah suci Mekkah
Almukarramah. Ibadah haji juga menuntut pengorbanan besar dari seseorang hamba yang
melaksanakannya, menuntut fisik yang kuat serta biaya yang tidak sedikit.
Berdasarkan pernyataan tersebut tertulis jelas bahwa ibadah haji merupakan kewajiban
bagi seluruh umat Islam, maka dengan hal ini apabila orang Islam yang telah mampu baik
dilihat dari kemampuan materi maupun jasmani dan rohaninya maka wajib untuk
melaksanakan ibadah haji.
Dalam pelaksanaan ibadah haji perlu diperhatikan berbagai aspek supaya hajinya tidak
sia-sia dan memperoleh haji yang mabrur. Maka dalam hal ini seseorang yang hendak akan
melakukan perjalanan ibadah haji harus mengetahui adab-adab dalam menunaikan ibadah
haji.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya adalah:
Bagaimana adab dalam pelaksanaan ibadah haji?
C. Tujuan Penulisan
Adapun penulisan makalah ini memiliki tujuan, diantaranya:
1. Untuk mengetahui adab-adab yang berkaitan dengan pelaksanaan haji
2. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Manajemen Haji dan Umrah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Haji
Secara etimologis (bahasa) haji memiliki arti sengaja melakukan sesuatu. Secara
termologis (istilah) haji berarti sengaja datang ke Mekkah mengunjungi ka’bah dan tempat-
tempat lainnya untuk melakukan serangkaian ibadah tertentu dengan syarat-syarat yang telah
ditetapkan.1 Secara hukum, ibadah haji wajib dilakukan sekali seumur hidup oleh setiap
muslim yang memiliki kesanggupan. Akan tetapi bagi mereka yang bernazar haji, wajib
melaksanakannya.2 Waktu pelaksanaanya ialah bulan-bulan haji yang dimulai dari Syawal
sampai sepuluh hari pertama pada bulan Dzulhijjah.3
Tujuan beribadah haji, seperti ibadah-ibadah lainnya, adalah secara ikhlas menyembah
Allah SWT, memperhambakan diri kepada-Nya, dan mematuhi perintah-Nya. Bagi ut
muslim, perjalanan ibadah haji tidak hanya ssekedar perjalanan ibadah fisik, akan tetapi juga
merupakan perjalanan spiritual yang dapat memberi pencerahan keagamaan bagi umat
muslim yang menjalaninya. Perjalanan haji juga merupakan perjalanan sosial-budaya karena
dalam perjalanan ini jamaah bertemu dengan umat muslim dari negara lain yang memiliki
karakter serta budaya yang berbeda.
B. Dasar Hukum Haji
Landasan hukum pelaksanaan ibadah haji terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits. Adapun
landasan hukumnya tersebut adalah sebagai berikut.4
1. Al-Qur’an
Ali ‘Imran: 97
1 Aden, Rosadi. Sejarah, perkembangan dan pemikiran pengelolaan ibadah haji di Indonesia, 2011(Bandung: CV
Arfino Raya), hlm. 1.2 Nasaruddin, Umar. Haji dan Umrah: Ibadah, Jiarah, Wisata, 2010, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), hlm 2.
3Gus Arifin. Peta Perjalanan Haji dan Umrah, 2013, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo), hlm 17.
4 Aden, Rosadi. Sejarah, perkembangan dan pemikiran pengelolaan ibadah haji di Indonesia, 2011, (Bandung: Arfino Raya), hlm. 3-5.
Artinya: mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi
orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah.
Ayat in turun setelah 9 tahun Nabi Muhammad SAW berada dan menetap di Mdinah
atau satu tahun menjelang Nabi SAW wafat. Hal ini sangat masuk akal, karena haji
merupakan rukun Islam yang terakhir sekaligus sebagai penyempurna amal ibadah
yang harus dilaksanakan oleh setiap Muslim
Al-Baqarah: 197
Artinya: (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa
yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak
boleh rafats, berbuat fasiq dan berbantah-bantahan didalam masa mengerjakan
haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah
mengetahuinya. Berberakalah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah
taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.
Al-Hajj: 27
Artinya: Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya
mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang
kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.
Al-Baqarah: 196
Artinya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu
terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban
yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban
sampai ditempat penyembelihannya. Jika ada diantaramu yang sakit atau ada
gangguan dikepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya farid-yah,
yaitu : berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa)
aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (didalam
bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat……
2. Hadits
Riwayat Bukhari-Muslim
Dari Ibnu Umar r.a: Islam itu ditegakkan atas lima (dasar), yakni bersaksi bahwa
tiasa tuhan selain Allah Muhammad itu utusan (rasul) Allah, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, mengerjakan puasa ramadhan dan berhaji ke baitullah. (H.R
Bukhari-Muslim).
Riwayat Bukhari-Muslim
Haji yang mabrur tidak ada balasan kecuali surga (H.R Bukhari-Muslim).
C. Adab
Adab adalah norma atau aturan mengenai sopan santun yang didasarkan atas
aturan agama, terutama Agama Islam. Norma tentang adab ini digunakan dalam pergaulan
antarmanusia, antartetangga, dan antarkaum. Sebutan orang beradab sesungguhnya berarti
bahwa orang itu mengetahui aturan tentang adab atau sopan santun yang ditentukan dalam
agama Islam. Namun, dalam perkembangannya, kata beradab dan tidak beradab dikaitkan
dari segi kesopanan secara umum dan tidak khusus digabungkan dalam agama Islam5
Ada beberapa hadits yang berkaitan dengan pengertian adab yang di ambil dari kitab
Shahih al-Bukhari dengan judul Adabiyyat al-Bukhari. Para ulama berbeda pendapat tentang
pengertian kata adab. Kata adab yang dikenal orang adalah berupa syair, kisah-kisah, dan
yang serupa dengan itu. Tetapi adab menurut para ahli fiqih dan ahli hadits mempunyai
makna dan pengertian yang berbeda. Mereka mengatakan bahwa pengertian adab adalah
menggunakan perkataan, perbuatan, dan hal ihwal yang bagus. Ada pula di antara mereka
yang mengatakan bahwa adab adalah meninggalkan sesuatu yang membawa kejelekan (aib).
Di samping itu ada yang mengatakan bahwa pengertian adab adalah menghiasi diri dengan
hiasan orang-orang yang memiliki keutamaan. Menurut pendapat lain, arti adab adalah tidak
bermaksiat kepada Allah dan tidak merusak harga diri. Ada pula yang mengatakan bahwa
adab berarti takwa kepada Allah. Jadi, orang yang bertakwa kepada Allah adalah orang yang
beradab.
Al-Bukhari telah menyusun kitab tersendiri yang berjudul al- Adab al-Mufrad. Kitab ini
tidak mengikuti kriteria (persyaratan) kitab Shahih-nya. Di dalam kitab al-Adab al-Mufrad
terdapat hadits shahih, hasan, maupun dha'if. Sedangkan kitab Shahih al- Bukhari yang di
dalamnya juga terdapat kitab (bab) al-Adab, semua haditsnya shahih berdasarkan persyaratan
al-Bukhari. Untuk keshahihan suatu hadits, al-Bukhari membuat persyarat-persyaratan yang
5 Ensiklopedi Nasional Indonesia. 2004. Bekasi: Delta Pamungkas. ISBN 979-9327-00-8. Hlm.63.
sulit (ketat), sehingga hadits al-Bukhari merupakan perkataan yang paling shahih setelah
Kitabullah.
Al-Bukhari mengatakan, "[ini] kitab adab." Yaitu, adab yang diambil dari Muhammad
saw, bukan adab yang diambil dari al-Hathiah, Umru'ul Qais, Jarir, atau Farazdaq, karena
apabila seorang yang beradab tidak mempunyai iman atau pesan maka ia tidak memiliki
manfaat dalam agama dan tidak pula di akhirat. Syair yang tak memiliki pesan, kisah-kisah
yang tak memiliki pesan, dan drama yang tak memiliki misi, di sisi Allah tidak mempunyai
pengarah maupun manfaat.
Jadi, adab ini adalah adab Rasulullah yang telah mengajarkannya kepada kita. Dalam
riwayat Ibn 'Asakir terdapat perkataan yang dinisbahkan kepada Nabi saw bahwa beliau
mengatakan:Tuhanku telah mendidikku dengan didikan yang sebaik-baik-nya
D. Adab Pelaksanaan Ibadah Haji
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa adab pelaksanaan ibadah haji
adalah aturan/norma yang didasarkan atas aturan agama yang berkaitan dengan proses, cara,
perbuatan melaksanakan (rancangan, keputusan) yang berkaitan dengan ibadah haji.
Sebelum membahas mengenai adab dalam pelaksanaan haji, adapun adab-adab yang
harus dilakukan oleh calon Jemaah haji sebelum menunaikan ibadah haji agar hajinya
semakin mabrur.
1. Adab sebelum menunaikan ibadah haji6
Ada beberapa adab sebelum menunaikan ibadah haji yang perlu dipatuhi agar dapat
memperoleh haji mabrur, diantaranya:
Niat yang ikhlas
6 Gus Arifin, Peta Perjalanan Haji dan Umrah (Edisi Revisi), 2013, (Jakarta: PT Elex Media Komutindo), hlm. 22-23.
Niat umumnya merupakan langkah awal bagi seseorang dalam melaksanakan ibadah atau
apapun yang hendak dilakukan.
Syarat penerimaan segala ibadah adalah niat. Niat yang ikhlas untuk membersihkan jiwa
dari segala sifat-sifat seperti riya, ujub, sombong dan lain-lain, serta mengharap keridoan
Allah.
Biaya haji berasal dari sumber yang halal, tidak mengandung syubhat atau harta
yang haram
Biaya yang disediakan hendaknya diperoleh dengan cara yang halal. Menurut Imam
Syafi’i, Imam Malik dan Imam Hanafi mengenai harta haram untuk pergi haji: “sah secara
lahir tetapi tidak mabrur dan jauh dari penerimaan/ridha Allah SAW. Menurut Imam Ahmad
Bin Hanbal : “tidak sah hajinya dengan harta haram”.7
Selain itu, hendaknya ia melepaskan segala kesibukannya, baik yang berupa perdagangan
ataupun pekerjaan lainnya yang dapat merisaukan hati ataupun membuyarkan
konsentrasinya. Hal itu amat penting, agar himmah dan perhatiannya hanya tertuju kepada
Allah SWT dan hatinya menjadi tenang serta berpaling sepenuhnya kepada dzikrullah dan
pengagungan syiar-syiar-Nya.
Telah diriwayatkan melalui jalur Ahlul-Bait a.s, artinya: “kelak pada akhir zaman,
manusia yang pergi haji terdiri atas empat kelompok: para penguasa (atau pejabat tinggi)
pergi haji untuk berpariwisata, para hartawan untuk berdagang, para fakir miskin untuk
meminta-minta dan para ulama (para ilmuan) untuk memperoleh nama serta pujian.8
Hadits tersebut mengisyaratkan tentang beberapa tujuan dan motivasi yang diperkirakan
dapat berkaitan dengan haji. Semua itu menghalangi diperolehnya keutamaan haji dan
menjauhkannya dari kesempurnaan. Lebih-lebih lagi apabila “berdagang” dengan haji itu
sendiri. Yaitu jika ia mengerjakannya untuk menggantikan orang lain dengan menerima
upah. Dengan perbuatannya itu, ia telah mencari dunia dengan mengerjakan amalan akhirat.
7 Ibid, hlm. 22
8 Diriwayatkan oleh Al-Khatib dari Anas. Juga oleh Abu Utsman As-Shabuni dalam kitab Al-Miatain dengan
beberapa perbedaan susunan kata.
Karena itulah orang-orang yang wara’ (yang selalu menjaga kebersihan hidupnya) tidak
menyukai hal itu. Kecuali apabila tujuannya ialah untuk bermukim di Mekah sedangkan ia
tidak memiliki biaya untuk kesana. Maka tidak apa-apa apabila ia menerima upah tersebut
demi tercapainya maksudnya itu. Jadi, bukan memperalat agama demi memperoleh dunia,
melainkan memperalat dunia demi memperoleh agama. Dalam keadaan seperti itu,
hendaknya yang menjadi tujuannya ialah berkunjung ke Ka’bah sambil menolong saudaranya
yang Muslim agar terbebas dari ibadah haji yang diwajibkan oleh agama atas dirinya. Bagi
orang seperti itu berlaku hadist Nabi SAW:
“ada kalanya Allah SWT memasukkan tiga orang sekaligus ke surga dengan pelaksanaan
satu kali (yakni) orang yang mewasiatkannya, yang melaksanakan wasiatnya itu dan yang
mengerjakan haji atas nama saudaranya si pembuat wasiat”.
Dengan hal ini jelas bahwa uang hasil upah seperti itu adalah sesuatu yang halal, akan
tetapi lebih baik untuk tidak melakukannya dan juga tidak menjadikannya sebagai sumber
penghasilan ataupun bagian dari perdagangan seseorang.
Penuhi hak-hak Allah: shalat, zakat, nadzar,dll
Shalat menurut bahasa artinya berdoa, sedangkan menurut istilah shalat adalah suatu
perbuatan serta perkataan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam sesuai
dengan persyaratan yang ada9. Hukum shalat adalah fadrhu ‘ain, sehingga seluruh umat Islam
yang aqil baligh wajib mendirikan shalat. Shalat ini merupakan rukun Islam yang kedua,
sehingga sebelum melaksanakan ibadah haji terlebih dahulu laksanakan ibadah shalat.
Adapun salah satu dasar hukum shalat tersurat dalam Al-Qur’an
Q.S Thaha ayat 14, artinya: sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan
(yang hak) selain aku, maka sembahlah Aku dan dirikan shalat untuk mengingat Aku.
Q.S A l-Baqarah ayat 110, artinya: “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat…..”
Zakat menurut bahasa berarti “tumbuh dan bertambah” , juga bisa berarti berkah,
bersih dan suci. Menurut agama Islam, zakat adalah ukuran/kadar harta tertentu yang
harus dikeluarkan oleh pemiliknya untuk diserahkan kepada golongan/orang-orang 9 Godam, Pengertian Shalat Wajib/Fardhu, Hukum, Rukun, Syarat sah, Tujuan dan Kondisi Batal Shalat,
www.organisasi.org (15 April 2008).
yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu. Zakat ini merupakan salah
satu rukun islam yang ke tiga, dan zakat ini merupakan fardu ‘ain10, sehingga sebelum
melakukan ibadah haji terlebih dahulu tunaikanlah zakat. Adapun penjelasan terkait
zakat secara tersurat ada didalam Al-Qur’an salah satunya di Q.S Al-Baqarah ayat
110, artinya: “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat…..”
Berdasarkan penjelasan diatas, dasar hukum shalat dan zakat sama, ketika ada dalam Al-
Qur’an terkait dengan dasar hukum shalat pasti berbarengan dengan zakat. Hal ini berarti
pekerjaan dalam rukun Islam harus dikerjakan secara beruntun. Tidak bisa (akan sia-sia)
ketika orang mengeluarkan zakat tapi tidak shalat, karena shalat itu adalah tiang agama.
Begitu juga dengan haji, seseorang tidak bisa haji jika belum memenuhi rukun Islam yang
pertama, kedua, ketiga dan keempat.
Bertaubat dengan taubat nasuha (taubat yang sebenar-benarnya)
Hendaklah bersungguh-sungguh bertaubat dari maksiat, dosa dan segala yang di benci
oleh Allah SWT, baik dengan membiasakan mengucapkan istigfar, berusaha serta bertekad
untuk meninggalkan maksiat/dosa selama-lamanya serta memperbaiki diri dengan beramal
atau berbuat dengan amal shaleh yang terbaik.
Selesaikan hak-hak dengan manusia
Meminta maaf atas segala kekhilafan dan kesalahan.
Membayar utang-utang serta yang terkait dengan muamalah lainnya seperti urusan-
urusan yang terkait dengan harta atau kewajiban lain dengan saudara, tetangga atau
rekan kerja.
Menyelesaikan urusan-urusan yang masih belum terselesaikan dengan orang ataupun
pihak lain.
Menulis wasiat menyangkut hak-hak Allah maupun hak kerabat atau saudara dan
keluarga.
Memberi bekal yang cukup untuk keluarga yang ditinggalkan yang dapat mencukupi
kebutuhan sampai dengan kembali dari menunaikan ibadah haji.
10 Pendidikan Islam, Pengertian Zakat, www.masuk-islam.com (11 januari 2014).
Memohon keridoan dan doa
Berusaha memohon keridoan dan doa dari orang tua, keluarga/kerabat, dan sahabat. Agar
ibadah haji yang hendak diajalankan oleh calon Jemaah haji lancar tanpa halangan apapun,
sehingga memperoleh haji yang mabrur.
Mengaji dan mengkaji
Banyak membaca Al-Qur’an, berdoa dan beri’tikaf.
Memahami maksud dan tujuan haji, fiqih haji, dan tata cara manasik serta hukum atau
fiqih lainnya seperti mengenai wudhlu, tayamum, shalat dan juga adab dan akhlak
selama pelaksanaan dan selesainya ibadah haji, sebagaimana sabda Rasulullah SAW
“pergilah manasik haji dariku karena aku tidak tahu, mungkin aku tidak lagi bisa
berhaji setelah tahun ini…..”
2. Adab pelaksanaan ibadah haji
Ada beberapa adab dalam pelaksanaan ibadah haji yang perlu dipatuhi oleh calon Jemaah
haji agar dapat memperoleh haji mabrur, diantaranya:11
Menambah bekal
Sebaiknya menambah bekal yang dibawanya dan bersikap murah hati untuk membantu
orang lain dengan sewajarnya tidak bakhil dan tidak pula boros.
Adapun yang dimaksud pemborosan adalah memanjakan diri dengan berbagai makanan
dan minuman yang mahal-mahal seperti kebiasaan orang-orang yang hidupnya bermeah-
mewahan. Sedangkan pemberian yang banyak sekalipun kepada orang-orang yang
memerlukan tidaklah dianggap pemborosan, sebab “tiada kebaikan dalam pemborosan dan
tiada pemborosan dalam kebaikan”.
Memberikan bekal kepada orang lain dalam perjalanan haji merupakan infaq fi sabilillah.
Sebagaimana Rasulullah SAW telah bersabda:
11 Abu Hamid, Alghazali. Rahasia Haji dan Umrah, 2001, (Bandung: Karisma), hlm. 106-120.
“haji yang mabrur (yakni yang baik dan diterima) tidak ada balasan baginya kecuali
surge. Seseorang bertanya:”apa yang dimaksud dengan kebaikan dalam haji, ya
Rasululah?” maka beliau menjawab: “ucapan yang baik dan memberi makan orang lain.”
Menjauhkan diri dari rafats, fusuq, dan jidal
Sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Qur’an, yang dimaksud dengan rafats adalah
segala macam ucapan yang sia-sia, kotor dan keji. Termasuk didalamnya, rayuan yang
ditujukan kepada kaum wanita.
Adapun yang dimaksud dangan fusuq adalah segala perbuatan yang melanggar ketaatan
kepada Allah SWT, sedangkan yang dimaksud dengan jidal ialah berlebihan dalam
pertengkaran dan perdebatan yang dapat menimbulkan perasaan dendam, memecah belah
diantara sesame. Sebagaimana dikatakan oleh Sufyan ast-Tsaury : “barang siapa yang
melakukan rafats, maka hajinya batal.”
Sebaiknya pergi haji dengan berjalan kaki jika mampu
Karena hal ini lebih afdhal. Abdullah Bin Abbas r.a pada saat menjelang kematiannya,
berpesan kepada putra-putrinya : “wahai anak-anakku, berhajilah kalian dengan berjalan
kaki. Sebab siapa yang melakukannya akan beroleh tujuh ratus pahala kebaikan yang
dikerjakan dalam haram (tanah suci) pada setiap langkahnya.” Ketika ditanyakan
kepadanya, tentang perbuatan baik di tanah suci, ia menjawab :”setiap perbuatan baik disana
seimbang dengan seratus ribu ditempat selainnya.”
Berjalan kaki ketika sedang mengerjakan manasik dan ketika pergi dan pulang antara
Mekkah, ‘Arafah dan Mina, lebih dianjurkan daripada dalam perjalanan dari tanah airnya
menuju tanah suci dan sebaliknya. Dan sekiranya disamping berjalan kaki menambahkan lagi
dengan mulai ber ihram dari rumah tempat kediamannya, maka yang demikian itu, menurut
sebagian pendapat termasuk dalam kategori “penyempurnaan haji”. Pendapat itu antara lain
dinyatakan oleh Umar, Ali dan Ibn Mas’ud r.a dalam rangka menafsirkan firman Allah
SWT :” Dan hendaknya kamu ‘menyempurnakan’ ibadah haji dan umrah demi Allah….”
(Al-Baqarah: 196).
Tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa menggunakan kendaraan lebih afdhal,
mengingat bahwa untuk itu harus mengeluarkan biaya (yang menambah beban bagi dirinya
sendiri dan dirasakan manfaatnya oleh orang lain). Juga karena hal itu dapat menghindari
kebosanan, mengurangi gangguan atas dirinya dan lebih menjamin keselamatan baginya serta
kesempurnaan pelaksanaan hajinya.
Semua itu apabila diteliti lebih seksama, tidaklah bertentangan dengan cara yang
pertama. Namun untuk itu, haruslah dibuat keterangan yang lebih terperinci. Yaitu bahwa
berjalan kaki adalah lebih afdhal bagi yang mudah dan ringan melakukannya. Tetapi apabila
hal itu dapat menyebabkan fisiknya menjadi lemah, lalu membuat perilakunya kurang
terkendali, atau mengakibatkan pelaksanaan ibadahnya itu menjadi kurang sempurna, maka
menggunakan kendaraan baginya lebih afdhal. Sebagaimana mempertahankan puasa bagi
orang sakit dan musafir lebih afdhal, selama tidak mengakibatkan kelemahan dalam fisik
atau kesempitan dalam akhlaknya.
Menjaga penampilan sesederhana
Hendaknya menjaga penampilannya sesederhana mungkin dengan membiarkan kusut
rambutnya serta debu pada tubuhnya, menghindari segala jenis perhiasan serta menjauh dari
segala yang dapat menimbulkan sikap membanggakan diri ataupun memamerkan
kekayaan.Mengenai hal demikian, diriwayatkan bahwa
Rasulullah SAW telah memerintahkan agar menjaga penampilan amat sederhana
dan jangan menonjolkan diri.
Dan dalam hadits yang dirawikan oleh Fudhalah bin U’baid, Nabi SAW melarang
(orang yang sedang berhaji) menampakkan kekayaan dan kemewahan.
Disamping itu, Nabi SAW pernah pula bersabda: “yang sesuai dengan atribut orang
yang sedang berhaji hanyalah yang berpenampilan kusut dan kusam”
Dan dalam sebuah hadits qudsi, Allah SWT berfirman:“lihatlah para peziarah
Rumah-Ku; mereka telah datang kepada-Ku dari segenap penjuru yang jauh. Dalam
keadaan kusut dan kusam.”
Dan Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Hajj: 29: “……kemudian
hendaklah mereka menghilangkan kotorang yang ada pada tubuh mereka….” (yang
dimaksud dengan kotoran dalam ayat ini adalah kekusutan rambut serta debu yang
menempel dan sebagainya. Menghilangkannya ialah dengan mencukur rambut
kepala, menggunting kumis, memotong kuku dan mandi).
Senantiasa merasa senang dan tenang hatinya ketika mengeluarkan harta
Hendaknya ia senantiasa merasa senang dan tenang hatinya aka harta yang dibelanjakan
untuk biaya haji serta had-yu-nya, dan juga rela sepenuhnya atas kerugian dalam harta
ataupun musibah yang menimpanya, baik dalam kekayaannya, ataupun kesehatan badannya,
jika hal itu memang benar-benar terjadi atas dirinya. Sikap seperti itu termasuk diantara
tanda-tanda bahwa hajinya diterima oleh Allah SWT; mengingat bahwa musibah yang terjadi
selama pelaksanaan haji adalah seimbang dengan menafkahkan harta fi sabilillah (demi
perjuangan dijalan Allah SWT).
Disebutkan pula bahwa diantara tanda-tanda diterimanya haji seseorang ialah apabila ia
sepulang dari hajinya ternyata meninggalkan sama sekali segala macam maksiat dan
pelanggarnya yang awalnya biasa ia kerjakan. Juga mengganti teman-temannya yang
berperilaku buruk dengan teman-teman yang shaleh, demikian pula tempat-tempat perbuatan
sia-sia yang biasa dikunjunginya dengan majlis-majlis yang mengingatkannya kepada Allah
SWT.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas yang telah dipaparkan oleh penulis berkaitan dengan
berbagai adab yang berkaitan dengan pelaksanaan haji, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Haji merupakan rukun islam yang kelima, maka dalam hal ini diwajibkan bagi setiap
muslim yang mampu (materi, fisik dan mental) untuk menunaikan ibadah haji ini,
kemudian karena ibadah haji ini merupakan ibadah yang sulit dilakukan dibandingkan
dengan ibadah-ibadah yang lainnya karena hanya dilakukan pada bulan-bulan haji
saja dan hanya dilakukan di kota Mekkah saja, maka dari itu harus disiapkan
sebelumnya oleh calon Jemaah haji baik itu materi, fisik maupun pengetahun-
pengetahuan yang terkait dengan pelaksanaan ibadah haji, supaya hajinya mabrur.
Supaya ibadah haji dikatakan mabrur, maka dalam hal ini para calon Jemaah haji
harus mengetahui dan mematuhi segala ketentuan yang berkaitan dengan adab ibadah
haji, baik adab ketika sebelum menunaikan ibadah haji maupun adab ketika hendak
melaksanakan ibadah haji.
Adab-adab sebelum menunaikan ibadah haji yang harus dipatuhi oleh calon Jemaah
haji diantaranya: niat yang ikhlas; biaya haji harus bersumber dari yang halal dan
tidak mengandung syubhat atau harta yang haram; penuhi terlebih dahulu hak-hak
Allah seperti shalat, zakat, dll; bertaubt dengan taubat yang sungguh-sungguh;
menyelesaikan hak-hak dengan manusia, memohon keridoan dan doa dari sanak
saudara maupun orang lain; dan perbanyak mengaji dan mengkajiAl-Qur’an.
Adab-adab dalam pelaksanaan haji yang harus dipatuhi oleh calon Jemaah haji
diantaranya: menambahkan bekal yang dibawanya dan selalu bersikap murah hati;
menjauhkan diri dari berbagai sifat tercela; sebaiknya pergi haji dengan berjalan kaki;
menjaga penampilannya secara sesederhana mungkin; dan hendaknya senantiasa
merasa senang dan tenang hatinya akan harta yang dikeluarkannya untuk biaya haji.
DAFTAR PUSTAKA
Aden Rosadi. Perkembangan dan Pemikiran Pengelolaan Ibadah Haji di Indonesia,
Bandung: CV Arfindo Raya, 2011.
Abu Hamid, Alghazali. Rahasia Haji dan Umrah, Bandung: Karisma, 2001.
Godam, Pengertian Shalat Wajib/Fardhu, Hukum, Rukun, Syarat sah, Tujuan dan
Kondisi Batal Shalat, www.organisasi.org (15 April 2008).
Gus Arifin. Peta Perjalanan Haji dan Umrah (Edisi Revisi), Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2013.
Ensiklopedi Nasional Indonesia. Bekasi: Delta Pamungkas. ISBN 979-9327-00-8, 2004.
Maisaroh. Haji dan Pencerahan Jati Diri Muslim, Bandung: Alfabeta, 2005.
Nasaruddin. Haji dan Umrah: Ibadah, Ziarah, Wisata, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2010.
Pendidikan Islam, Pengertian Zakat, www.masuk-islam.com (11 januari 2014).