Adab Bergaul

184
BAB I BERGAUL MANFAAT DAN KERUGIANNYA Mukadimah Dikatakan manusia adalah makhluk sosial, sangat sulit untuk dapat hidup sendiri tanpa berinteraksi dengan manusia lainnya. Oleh karena itu kita perlu mengetahui manfaat dan kerugian bergaul. Kapan dibenarkan untuk mengisolir diri dari manusia lainnya secara total? Dengan siapa kita harus bargaul? Pergaulan dalam hal apa yang dituntut oleh syariat Islam. Mana yang lebih utama bergaul atau uzlah (mengisolir diri dari manusia)? Dalam bab pertama ini penyusun akan meringkaskan penjelasan dari Al Imam Ahmad bin Muhammad bin Abdrurrahman Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat tahun 742 H) dalam bukunya Mukhtashar Minhajil Qashidin mengenai uzlah, manfaat dan kerugiannya.Setelah itu dilanjutkan dengan ucapan Al Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah dari kitab beliau Madarijus Salikin ketika beliau menyebutkan lima perkara yang dapat merusak hati manusia diantarannya adalah banyak bergaul dengan manusia.Terakhir bab ini ditutup dengan kesimpulan yang kami ambil dari penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Qudamah dan 1

Transcript of Adab Bergaul

UZLAH : MANFAAT DAN KERUGIANNYA

BAB I BERGAUL MANFAAT DAN KERUGIANNYA

Mukadimah

Dikatakan manusia adalah makhluk sosial, sangat sulit untuk dapat hidup sendiri tanpa berinteraksi dengan manusia lainnya. Oleh karena itu kita perlu mengetahui manfaat dan kerugian bergaul. Kapan dibenarkan untuk mengisolir diri dari manusia lainnya secara total? Dengan siapa kita harus bargaul? Pergaulan dalam hal apa yang dituntut oleh syariat Islam. Mana yang lebih utama bergaul atau uzlah (mengisolir diri dari manusia)?

Dalam bab pertama ini penyusun akan meringkaskan penjelasan dari Al Imam Ahmad bin Muhammad bin Abdrurrahman Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat tahun 742 H) dalam bukunya Mukhtashar Minhajil Qashidin mengenai uzlah, manfaat dan kerugiannya.Setelah itu dilanjutkan dengan ucapan Al Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah dari kitab beliau Madarijus Salikin ketika beliau menyebutkan lima perkara yang dapat merusak hati manusia diantarannya adalah banyak bergaul dengan manusia.Terakhir bab ini ditutup dengan kesimpulan yang kami ambil dari penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Qudamah dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahumullah tentang mana yang lebih utama bergaul atau uzlah?Ucapan Al Imam Ibnu Qudamah rahimahullah tentang bergaul, Manfaat dan Kerugiannya

Ulama berbeda pendapat tentang uzlah (mengisolasi diri dari manusia) dan bergaul dengan manusia, manakah yang lebih utama diantara keduanya ?

Mereka yang menganggap uzlah itu lebih utama berhujjah dengan hadits Abi Said radhiyallahu anhu, ia berkata :

Ada orang yang bertanya, Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling utama?Beliau menjawab,

Seorang yang berjihad dengan diri dan hartanya, dan seorang mukmin yang tinggal di bukit terpencil beribadah kepada Rabbnya dan meninggalkan manusia dari kejahatannya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan dalam hadits Uqbah bin Amir radhiyallahuanhu, ia berkata :

Aku berkata , Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?

Beliau menjawab,

Kendalikanlah lidahmu, dan tetaplah tinggal di rumahmu, serta menangislah atas kesalahanmu! (HR. Tirmidzi, Ahmad dan lain-lain, syaikh Ali berkata ia hadits hasan)

Mereka yang menganggap bergaul dengan manusia itu lebih utama berdalil dengan sabda Nabi Shallallahualaihi wa Sallam yang artinya :

Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar menghadapi gangguan mereka itu lebih besar ganjarannya dari orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar menghadapi gangguan mereka. (HR. Tirmidzi, Al Bukhari dalam Al Adab Al Mufrad, Ahmad dan Abu Nuaim. Hadits ini dishahihkan oleh syaikh Al Albani dalam Ashshahihah no 939)

Manfaat Uzlah

1. Dapat berkonsentrasi dan memfokuskan diri untuk beribadah dan bermunajat kepada Allah, dengan demikian harus memiliki waktu yang lapang untuk itu. Waktu yang lapang untuk beribadah tidak didapatkan jika ia banyak bergaul dengan manusia.

2. Dengan uzlah dapat menghindarkan diri dari berbagai macam maksiat yang pada umumnya tidak dapat dihindarkan apabila ia berkumpul dengan manusia, diantaranya adalah empat macam kemaksiatan :

a. Ghibah (menceritakan kejelekan orang lain, jika berita itu sampai kepadanya, tentu ia tidak akan suka);

b. Tidak mengajak orang lain melakukan yang maruf (kebaikan) dan tidak mengingkari kemungkaran;

c. Riya (ingin dipuji oleh orang lain ) ; dan

d. Terpengaruh akhlak mereka yang buruk.

3. Terhindar dari fitnah (kekacauan) dan permusuhan, dengan ia tidak ikut tenggelam di dalamnya, berarti ia memelihara diennya.

4. Terhindar dari kejahatan manusia. Sesungguhnya mereka itu menyakitimu, terkadang-kadang dengan berbuat ghibah, dengan mengadu domba, berprasangka buruk, menuduh dengan tuduhan palsu, menzalimi dalam rangka memperoleh ketamakan-ketamakan mereka yang penuh dengan kepalsuan, dan barang siapa yang bergaul dengan manusia tidak dapat bebas dari gangguan manusia, pasti ada orang yang hasad dan memusuhinya dan berbagai macam keburukan yang diperoleh dari orang-orang yang dikenalnya.

5. Dapat memutuskan ketamakan manusia terhadapmu dan ketamakanmu terhadap manusia. Manusia menmginginkan banyak hal darimu, dan sesungguhnya mencari keridhaan manusia merupakan tujuan yang tidak pernah bisa dicapai. Adapun memutuskan ketamakanmu dari mereka, karena sesugguhnya siapa yang melihat perhiasan dunia akan terbetik keinginan untuk memperolehnya, semakin besar keinginan seseoramg maka akan melahirkan ketamakan terhadap dunia, dan pada umumnya manusia gagal mencapai sesuatu yang ia tamak kepadanya, maka tinggallah kekecewaan dan kepedihan yang ia rasakan .

Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam bersabda:

Lihatlah orang yang lebih rendah dari kalian dan janganlah melihat orang yang lebih tinggi dari kalian, karena yang demikan itu pantas membuat kalian tidak mengentengkan nikmat Allah, yang diberikan kepada kalian.

(H.R Muslim, Tirmidzi dan lain-lain) Allah berfirman Surat Thaha 131

6.Terhindar dari berjumpa dengan orang-orang yang bodoh dan berakhlak buruk. Jika seseorang disakiti oleh mereka biasanya langsung saja ia akan berbuat ghibah. Apabila ia dijelekkan, ia akan membalasnya. Hal yang demikian dapat merusak diennya , maka dengan beruzlah dapat menyelematkan diennya.

Kerugian Uzlah

Ketahuilah diantara tujuan-tujuan dien dan dunia, ada yang hanya didapat dengan cara meminta bantuan orang lain. Oleh karena itu, mau tidak mau manusia harus bergaul dengan orang lain. Dan diantara manfaat bergaul dengan manusia adalah :

1. Belajar dan mengajar. Barangsiapa yang sudah mempelajari ilmu-ilmu yang hukumnya fadhuain bagi dia, dan ia tidak mampu untuk menguasai ilmu-ilmu lainnya lalu dia berpendapat untuk menyibukkan diri dengan beribadah maka lakukanlah. Apabila ia mampu untuk mendalami ilmu-ilmu dien lainnya, disamping yang fardhuain, maka janganlah ia beruzlah sebelum ia berusaha untuk menguasainya agar ia tidak mendapatkan kerugian. Oleh karen itu., Rabi bin Khutsaim berkata, Kuasailah ilmu dien, baru setelah itu uzlahlah. Ilmu itu pokok ajaran dien, tidak ada kebaikan dalam uzlahnya orang-orang awam. Adapun mengajarkan ilmu kepada orang lain, maka padanya pahala yang sangat besar apabila benar niatnya. Tetapi jika niatnya untuk mencapai kedudukan yang tinggi di hadapan manusia dan untuk mencari banyak pengikut, maka kebinasaanlah yang didapat ditinjau dari segi dien. Kebanyakan di zaman sekarang ini para penuntut ilmu mempunyai tujuan dan niat yang buruk. Hal yang demikian mengharuskan bagi yang memiliki ilmu untuk meninggalkan mereka, tetapi jika didapati seorang penuntut ilmu karena Allah dan berniat dengan ilmu-ilmunya itu untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka dia tidak boleh meninggalkannya, ia tidak boleh menyembunyikan ilmunya.

2. Memberi dan mengambil manfaat. Mengambil manfaat dari manusia dengan cara bekerja dan bermuamalah. Orang yang membutuhkan pekerjaan dan bermuamalah dengan manusia terpaksa harus meninggalkan uzlah. Adapun orang yang berkecukupan untuk memenuhi kebutuhannya, maka uzlah lebih utama bagi dia, kecuali jika bekerjanya dia dan bermuamalahnya dengan manusia untuk memberikan kebaikan kepada orang lain, dengan cara bershadaqah dan lain sebagainya, maka hal yang demikain lebih utama dibandingkan dengan uzlah, kecuali jika uzlahnya itu lebih bermanfaat bagi dia dalam mengenal Allah, dan mendapatkan ketentraman denganNya, dengan pengelihatan mata hatinya dan hujjah, bukan dengan khurafat dan khayalan yang merusak.

Adapun memberi manfaat kepada manusia, bisa dengan hartanya atau tenaganya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia. Barangsiapa yang mampu melakukan yang demikian itu dengan tidak keluar dari rel syariat yang teah digariskan, maka yang demikian itu lebih utama dari uzlah dengan cara menyibukkan dengan ibadah-ibadah yang sunnah hukumnya.

3. Membina diri dan membina orang lain. Yang dimaksudkan dengan membina diri adalah melatih jiwa menghadapi kekasaran manusia, dan berupaya menahan diri terhadap gangguan mereka, mengendalikan nafsu dan mengekang syahwat. Yang demikian itu lebih utama dari uzlah bagi orang yang belum terlatih jiwanya dan belum terpuji akhlaknya.

Adapun membina orang lain adalah melatih orang lain untuk menjadi baik. Memperbaiki sifat-sifat buruknya yang tidak terlihat sebagaimana ia memperbaiki orang lain dengan menyebarkan ilmu.

4. Menentramkan diri dari kesepian, seperti berkumpul dengan orang yang bertaqwa sebagai penghibur hati bagi jiwa yang gersang. Hendaklah refreshing tersebut tidak menyita waktu dan yang dibicarakan adalah hal-hal yang berhubungan dengan dien.

5. Mendapat pahala dan menjadi sebab orang lain mendapat pahala. Mendapat pahala dengan cara menghadiri jenazah, menengok orang sakit, menghadiri walimah dan undangan lainnya, dengan begitu ia ikut menyenangkan saudara seiman. Menjadi sebab orang lain mendapat pahala dengan cara membukakan pintunya untuk orang lain bertaziah, menengok, mengucapkan selamat, dengan sebab itu mereka mendapatkan pahala.

Tetapi haruslah ditimbang antara pahala yang didapat dengan bergaul dengan kerugian-kerugiannya, mana yang lebih menguntungkannya.

6. Tawadhu (rendah hati). Dia tidak akan mempunyai sifat tawadhu, jika tidak bersosialisasi dengan manusia

Ucapan Al Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah tentang Bergaul dengan Manusia, Kerugian dan Batasannya.

Adapun dampak negatif akibat banyak bergaul dengan manusia adalah penuhnya hati dengan polusi asap dari nafas-nafas Bani Adam sehingga hati menjadi hitam. Keadaan ini mengharuskan hati dia menjadi kacau-balau, kusut, gelisah dan gundah gulana, menanggung beban karena memiliki teman-teman dekat yang jahat, kepentingan-kepentingan dia menjadi terbengkalai karena sibuk mengurusi kepentingan mereka, pikirannya terbagi untuk selalu memenuhi keinginan-keinginan mereka, maka apa yang tersisa darinya untuk Allah dan negeri akhirat?!

Betapa banyak bencana, kehinaan dan musibah dihasilkan akibat bergaul dengan manusia, betapa banyak nikmat dan anugerah terhalangi akibat bergaul dengan manusia pula!

Bukankah kerugian manusia itu disebabkan oleh manusia?!Bukankah yang merugikan Abu Thalib menjelang wafatnya adalah teman-teman yang jahat ?! Mereka selalu berada di sisinya menjadi penghalang bagi Abu Thalib untuk mengucapkan kalimat tauhid yang dapat menjamin dia mendapatkan kebahagiaan yang abadi.

Pergaulan yang seperti ini, yang dilandasi sebagian rasa cinta di dunia dan untuk memenuhi kepuasan naluri satu terhadap yang lainnya, berbalik menjadi permusuhan jika terungkap hakekat-hakekat yang ada, dan dia akan menyesali sambil menggigit kedua tanggannya, sebagaimana Allah Subhanahu wa Taala berfirman :

Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit kedua tangannya, seraya berkata, Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku. Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Quran itu setelah datang kepadaku. (Surat Al-Furqan : 27 29)

Dan Allah Subhanahu wa Taala berfirman :

Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertaqwa. (Surat Az-Zukhruf : 67)

Dan khalil Allah Nabi Ibrahim Alaihis salam berkata kepada kaummnya dalam firman Allah,

Dan berkata Ibrahim, Sesungguhnya berhala-hala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang diantara kamu dalam kehidupan dunia ini, kemudian di hari kiamat sebagian kamu mengingkari sebagian (yang lain) dan sebagian kamu melaknati sebagian (yang lain), dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tidak ada bagimu para penolongpun. (Surat Al-Ankabut : 25)

Ini merupakan perilaku setiap orang-orang yang ikut serta dakam satu tujuan. Mereka saling menyayangi satu sama lain selama mereka masih saling bekerja sama untuk mendapatkannya, maka apabila tujuan itu gagal dicapai, bahkan kegagalan itu diiringi dengan penyesalan, kesedihan dan kepedihan, lalu berbaliklah kasih sayang tersebut menjadi kemurkaan dan lanat serta celaan sebagian terhadap sebagian yang lain. Ketika tujuan tersebut gagal dicapai dan berbalik menjadi kesedihan dan siksaan sebagaimana kita saksikan keadaan orang-orang yang ikut serta dalam tujuan yang sama di dunia ini, lalu mereka itu saling memberi hukuman satu sama lain, kesimpulannya setiap dua orang yang bekerja sama dalam suatu kebatilan di mana mereka berdua saling menyayangi dan mencintai satu sama lain sebelumnya, maka haruslah suatu saat kasih sayangnya berbalik menjadi kebencian dan permusuhan.

Dan batasan yang bermanfaat dalam pergaulan hendaklah ia bergaul dengan manusia dalam kebaikan, seperti shalat Jumat, shalat berjamaah, shalat ied, ibadah haji, menuntut ilmu, jihad, memberi nasehat, dan hendaklah ia menjauhi mereka dalam keburukan dan berlebihan dalam perkara-perkara mubah, apabila terpaksa bergaul dengan orang-orang yang jahat dan tidak memungkinkan untuk menjauhi mereka, maka hati-hati dan hati-hatilah jangan sampai menyetujui mereka. Dan sabarlah terhadap gangguan mereka, karena sesungguhnya mereka pasti akan menyakitinya apabila dia tidak memiliki kekuatan dan penolong, tetapi gangguan itu nantinya akan diikuti dengan kemuliaan, kecintaan, penghormatan, pujian terhadap orang tersebut dari mereka, dari kaum muminin, dan dari Allah Rabbul Alamin, sebaiknya menyetujui mereka akan diiringi setelah itu dengan kehinaan, kemarahan terhadapnya, kebencian, celaan dari mereka dan dari kaum muminin dan dari Allah Rabbul Alamin.

Maka sabar atas gangguan mereka lebih baik akibatnya dan lebih terpuji kesudahannya, apabila terpaksa untuk bergaul dengan mereka dalam berlebihan pada perkara-perkara yang mubah, maka bersungguh-sungguh untuk mengubah majelis tersebut menjadi majelis taat kepada Allah sebisa mungkin. Dan hendaklah ia memotivasi dirinya dan menguatkan hatinya, dan jangan hiraukan bisikan setan yang berusaha untuk mematahkan niatmu mengalihkan pembicaraan berupa ketaatan, ia membisikan bahwa ini merupakan riya, dan keinginan untuk menampakkan ilmumu dan keberadaanmu dan yang semisalnya, maka perangilah bisikan setan tersebut, dan hendaklah minta pertolongan kepada Allah, dan sebisa mungkin pengaruhilah dalam majelis mereka itu berupa kebaikan.

Apabila tidak memungkinkan melakukan hal itu maka berilah sedikit perhatian hatimu diantara mereka, seperti jatuhnya satu rambut ke dalam adonan. Jadilah kamu di sisi mereka sebagai orang yang hadir tetapi ghaib, dekat tetapi jauh, bangun tetapi tidur, melihat mereka tetapi tidak memahaminya, karena ia telah mengambil hatinya dari mereka, hatinya telah terbang tinggi ke langit, berenang di sekitar Arsy bersama ruh-ruh yang suci dan berkedudukan tinggi, betapa berat dan sulitnya hal ini bagi jiwa-jiwa manusia! Tetapi hal itu sangat mudah bagi orang-orang yang Allah mudahkan atasnya, hendaknya seorang hamba selalu jujur dengan Allah Subhanahu wa Taala, selalu kembali kepadaNya, mengahamparkan diri di depan pintuNya mengetuk, merengek dengan menghinakan diri, dam dibantu juga dengan cinta yang sejati, dzikir yang langgeng dengan hati dan lisan, dan hal ini bisa dicapai hanya dengan bekal amal saleh dan kekuatan dari Allah Taala, dan tekad yang bulat serta tidak bergantung kepada selain Allah, Wallahu Taala Alam. (Dinukil dari buku beliau MADARIJUS SALIKIN)

Kesimpulan

Syakhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :

Adapun ucapan si penanya, Manakah yang lebih utama bagi orang yang berjalan di jalan Allah antara uzlah atau bergaul dengan manusia?

Masalah ini meskipun ulama berselisih pendapat di dalamnya, baik perselisihan yang menyeluruh atau perselisihan yang sifatnya kondisional. Maka hakekat perkara ini bahwa terkadang kita diperintahkan untuk bergaul dengan manusia dan terkadang kita diperintahkan untuk mengisolir diri dari mereka. Kesimpulannya bahwa bergaul dengan manusia apabila terdapat di dalamnya kerjasama dalam kebaikan dan taqwa maka hal itu diperintahkan, dan apabila terdapat di dalamnya kerjasama dalam dosa dan permusuhan maka hal itu dilarang, bergaul dengan kaum muslimin dalam peribadatan seperti shalat berjamaah yang lima waktu, shalat Jumat, shalat Idul Fitri dan Idul Adha, shalat kusuf, shalat istisqa, dan lain sebagainya, hal itu merupakan amalan-amalan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Begitu pula bergaul dengan kaum muslimin dalam ibadah haji, dan dalam memerangi orang-orang kafir dan kaum khawarij yang telah keluar dari rel Islam bersama penguasa dan kaum muslimin lainnya, meskipun mereka adalah orang orang yang fajir (banyak melakukan dosa), begitu pula pertemuan-pertemuan dengan manusia yang dapat menambah iman, baik ia mengambil manfaat dari orang lain atauupn ia memberi manfaat kepadanya, dan yang semisalnya.

Dan haruslah seorang hamba memiliki waktu-waktu khusus untuk menyendiri yang ia gunakan untuk berdoa, berdzikir, mengerjakan shalat-shalat sunnah, tafakkur (merenung), mengintrospeksi diri, memperbaiki hatinya, dan hal-hal khusus lainnya dengan tidak menyertakan orang lain, perkara-perkara tadi dibutuhkan dengan cara menyendiri, bisa dilakukan di rumahnya sebagaimana ucapan Thawus : Sebaik-baik tempat peribadatan seseorang adalah rumahnya, ia bisa menahan mata dan lisannya., atau bisa pula dilakukan di selain rumahnya.

Maka memilih bergaul dengan manusia (lebih utama dari beruzlah) secara mutlak maka hal itu salah, dan memilih menyendiri (lebih utama dari bergaul) secara mutlak maka hal itu salah juga. Adapun kadar yang dibutuhkan oleh setiap manusia berupa uzlah dan bergaul, dan apa yang lebih tepat baginya dalam setiap keadaan, hal tersebut membutuhkan penelitian yang khusus sebagaimana telah disebutkan sebelum ini. (Dinukil dari MAJMU FATAWA juz 10 hal425-426)

Al Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata :

Apabila engkau sudah tahu manfaat-manfaat dan kerugian-kerugian uzlah, maka tidaklah bisa dihukumi secara mutlak bahwa uzlah itu lebih utama atau bergaul dengan manusia itu yang lebih utama, tetapi haruslah dilihat individu dan kondisinya, harus dilihat pula orang yang digaulinya serta kondisi orang tersebut, juga harus dilihat faktor apa yang mendorong untuk berhubungan dengannya? Apa sisi positif dan negatif akibat berhubungan dengan orang lain, lalu bandingkan antara keduanya, baru setelah itu menjadi jelas nama yang lebih utama antara keduanya.

Imam SyafiI rahimahullah berkata,Tertutup dari manusia memicu permusuhan dan terbuka kepada mereka mendatangkan keburukan. Jadilah engkau ditengah-tengah antara keduanya.

Barangsiapa menyimpulkan selain dari kesimpulan ini maka tidak lengkap, dia hanya menyimpulkan tentang keadaan dirinya sendiri yang tidak bias diterapkan untuk orang lain yang kondisinya berbeda. (Dinukil dari MUKHTASHAR MINHAJIL QASHIDIN hal 150)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata,

Ketahuilah bahwa yang paling utama adalah seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan mereka, orang yang demikian lebih utama dari seorang mumin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar atas gangguan mereka. Tetapi terkadang terjadi perkara-perkara yang menjadikan uzlah itu lebih baik dari bergaul dengan manusia, yang demikian apabila manusia takut fitnah mengenai dirinya, seperti tinggal di negeri yang diterapkan padanya peraturan-peraturan yang mengharuskan ia menyimpang dari diennya, atau harus mendakwahkan bidah, atau ia melihat bahwa kemaksiatan telah merajalela ia takut terimbas dan terjerumus ke lembah dosa dan nista maka dengan kondisi yang ada uzlah itu lebih baik bagi dia.

Inilah perincian, bahwa uzlah itu lebih baik jika dengan bergaul dapat menimbulkan keburukan dan kerusakan bagi agamanya, apabila tidak menimbulkan keburukan dan fitnah maka kembali ke hukum asal bahwa bergaul dengan manusia itu lebih utama, ia dapat melakukan amar maruf nahi munkar, berdakwah menyampaikan kebenaran menjelaskan tuntunan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka hal ini lebih baik baginya. (Dinukil dari SYARAH RIYADHUS SHALIHIN juz 6 hal 198) .

BAB II AGAR DICINTAI ALLAH KEMUDIAN DICINTAI MANUSIA

MUKADIMAH

Cita-cita tertinggi seorang muslim, ialah agar dirinya dicintai Allah, menjadi orang bertakwa. Takwa dapat diperoleh dengan menunaikan hak-hak Allah dan hak-hak manusia. Diantara tanda-tanda seseorang dicintai Allah, yaitu jika dirinya dicintai oleh orang-orang shalih, diterima oleh hati mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

Sesungguhnya Allah jika mencintai seorang hamba, Ia memanggil Jibril,Sesungguhnya Aku mencintai si Fulan, maka cintailah ia. Lalu Jibril mencintainya dan menyeru kepada penduduk langit,Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah ia. Maka mereka (penduduk langit) mencintainya, kemudian ia menjadi orang yang diterima di muka bumi. (Hadits Bukhari dan Muslim, dalam Shahih Jamiush Shaghir no. 283)

Diantara sifat-sifat muslim yang dicintai oleh orang-orang shalih di muka bumi itu, diantaranya ia mencintai mereka karena Allah, berakhlak kepada manusia dengan akhlak yang baik, memberi manfaat, melakukan hal-hal yang disukai manusia dan menghindari dari sikap-sikap yang tidak disukai manusia.

Berikut ini beberapa dalil yang menguatkan keterangan di atas.

Allah berfirman,

Pergaulilah mereka (isteri) dengan baik. (QS. An-Nisa 19)

Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik. (QS Ali Imran:134)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

Bertakwalah dimanapun engkau berada. Sertailah keburukan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapus keburukan. Dan berakhlaklah kepada manusia dengan akhlak yang baik. (HR Tirmidzi, ia berkata:Hadits hasan).

Seutama-utama amal shalih, ialah agar engkau memasukkan kegembiraan kepada saudaramu yang beriman. (HR Ibnu Abi Ad Dunya dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Jamiush Shaghir 1096).

Seorang muslim saudara muslim lainnya, ia tidak mendzaliminya dan tidak menelantarkannya, barangsiapa memenuhi kebutuhan saudaranya niscaya Allah akan memenuhi kebutuhannya, barangsiapa menghilangkan kesulitan seorang muslim niscaya Allah akan menghilangkan kesulitan-kesulitannya da hari kiamat dan barangsiapa menutupi aib seorang muslim niscaya Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat (H.R.Bukhari dan Muslim)

Seorang mukmin itu lembut dan diperlakukan dengan lembut oleh orang laini, tidak ada kebaikan pada orang yang tidak lembut dan tidak diperlakukan dengan lembut oleh orang lain dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk manusia lainnya (H.R. Ad Daruquthni dalam Al Afrad dan Ad Dhiya Al Maqdisi dalam Al Mukhtarah hadits ini dihasankan oleh syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jamius Shaghir no 6662)

Jika kalian bertiga maka janganlah dua orang berbisik-bisik tanpa mengikutsertakan orang yang ketiga sampai kalian berbaur dengan orang banyak karena yang demikian itu membuat sedih orang yang ketiga (H.R. Bukhari dan Muslim)

Sungguh saya berjalan bersama saudaraku muslim dalam suatu keperluan lebih saya cintai daripada beritikaf di masjid ini (masjid Nabawi) selama sebulan (H.R. Ibnu Abi Duniya dalam Qadhaul Hawaij dan Thabrani dalam Al Mujam Al Kabir, syaikh Al Albani menghasankan hadits ini dalam Shahih Al Jamius Shaghir no 176)

Urgensi Pembahasan Adab Bergaul

Adab bergaul dengan manusia merupakan bagian dari akhlakul karimah (akhlak yang mulia). Akhlak yang mulia itu sendiri merupakan bagian dari Dienul Islam. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam diutus untuk menyempurnakan akhlak. Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam adalah seorang manusia yang berakhlak mulia. Allah berfirman

Dan sesungguhnya engkau berada di atas akhlak yang agung. (QS Al Qalam 4)

Dan kita diperintahkan untuk mengikuti beliau, taat kepadanya dan menjadikannya sebagai teladan dalam hidup. Allah telah menyatakankan dalam firmanNya

Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu contoh teladan yang baik.(QS Al Ahzab 21)

Dengan mempraktekkan adab-adab dalam bergaul, maka kita akan dapat memperoleh manfaat, yaitu berupa ukhuwah yang kuat diantara umat Islam, ukhuwah yang kokoh, yang dilandasi iman dan keikhlasan karena Allah semata. Allah berfirman yang artinya, Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah bersama-sama, dan janganlah kalian bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah yang telah Allah berikan kepada kalian, ketika kalian dahulu bermusuh-musuhan, lalu Allah lunakkan hati-hati kalian sehingga dengan nikmatNya, kalian menjadi bersaudara, padahal tadinya kalian berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian daripadanyaDemikianlah Allah menjelaskan kepada kalian ayat-ayatNya, supaya kalian mendapat petunjuk (Surat Ali Imran 103)

Oleh karena itu, adab-adab bergaul ini sangat perlu dipelajari untuk kita amalkan. Kita harus mengetahui, bagaimana adab terhadap orang tua kita, adab terhadap saudara kita, adab terhadap istri kita, adab seorang isteri terhadap suaminya, adab terhadap teman sekerja atau terhadap atasan dan bawahan. Jika kita seorang dai atau guru, maka harus mengetahui bagaimana adab bermuamalah dengan dai atau guru lainnya dan dengan madu yang didakwahi atau terhadap muridnya. Demikian juga apabila seorang guru, atau seorang murid atau apapun jabatan dan kedudukannya, maka kita perlu untuk mengetahui etika atau adab-adab dalam bergaul.

Kurang mempraktekkan adab bergaul, menyebabkan dakwah yang haq dijauhi oleh manusia. Manusia menjadi lari dari kebenaran disebabkan ahli haq atau pendukung kebenaran itu sendiri melakukan praktek yang salah dalam bergaul dengan orang lain. Sebenarnya memang tidaklah dibenarkan seseorang lari dari kebenaran disebabkan kesalahan yang dilakukan orang lain. Jika inti ajaran yang dibawa oleh seseorang itu benar, maka kita harus menerimanya dengan tidak memperdulikan cara penyampaiannya benar atau salah, adabnya baik atau tidak. Akan tetapi pada kenyataannya, kebanyakan orang melihat dulu kepada adab orang itu. Oleh karena itu, mengetahui adab bergaul penting bagi kita sebagai muslim yang punya kewajiban saling menasihati sesama manusia, agar kita mendapatkan ridha Allah, dicintaiNya kemudian dicintai oleh manusia yang baik.

MOTIVASI DALAM BERGAUL

Faktor yang mendorong seorang muslim bergaul dengan baik kepada orang lain ialah semata-mata mencari ridha Allah. Ketika seorang muslim tersenyum kepada saudaranya, maka itu semata-mata mencari ridha Allah. Karena tersenyum merupakan perbuatan baik. Demikian juga ketika seorang muslim membantu temannya atau ketika mendengarkan kesulitan-kesulitan temannya, ketika menepati janji, berlaku jujur, tidak mengucapkan kata-kata yang menyakitkan orang lain, maka perbuatan-perbuatan itu semata-mata untuk mencari ridha Allah. Adapun orang-orang kafir pada umumnya ketika bermuka manis kepada orang lain, menepati janji, berbicara lemah-lembut, semua itu dilakukan karena untuk kepentingan dunia. Tingkah laku seperti ini yang membedakan antara muslim dan non muslim.

Bisa saja seorang muslim bermuamalah dengan sesamanya karena tujuan keduniaan semata. Seseorang mau akrab, menjalin persahabatan disebabkan adanya keuntungan yang didapatnya dari orang lain. Manakala keuntungan itu tidak didapatkan lagi, maka ia berubah menjadi tidak mau kenal akrab lagi. Atau seseorang senang ketika orang lain memberi sesuatu kepadanya, akan tetapi ketika sudah tidak diberi, kemudian berubah menjadi benci. Hal seperti itu bisa terjadi pada diri seorang muslim. Akan tetapi sikap seperti menyalahi Al Quran dan As Sunnah.

Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Zaadul Maad juz ke-4 hal. 249: Diantara kecintaan terhadap sesama manusia ada yang disebut mahabbatun linaili gharadlin minal mahbub. Yaitu suatu kecintaan untuk mencapai tujuan dari yang dicintainya. Bisa jadi tujuan itu ingin ia dapatkan dari kedudukan orang tersebut, atau dari hartanya, atau ingin mendapatkan manfaat berupa ilmu dan bimbingan orang tersebut, atau untuk tujuan tertentu; maka yang demikian itu disebut kecintaan karena tendensi. Atau karena ada tujuan yang ingin dicapai, kemudian kecintaan ini akan lenyap pula seiring dengan lenyapnya tujuan tadi. Karena sesungguhnya, siapa saja yang mencintaimu dikarenakan adanya suatu keperluan, maka ia akan berpaling darimu jika telah tercapai keinginannya.

Hal seperti ini sering terjadi dalam kehidupan kita. Contohnya seorang karyawan sangat menghormati dan perhatian kepada atasannya di tempat kerja. Tetapi apabila atasannya itu sudah pensiun atau sudah tidak menjabat lagi, karyawan ini tidak pernah memikirkan dan memperhatikannya lagi. Begitu juga ketika seseorang masih menjadi murid, sangat menghormati gurunya. Namun ketika sudah lulus bahkan sekolahnya sudah lebih tinggi dari gurunya dengan mudahnya ia melecehkan bahkan mendzalimi gurunya. Banyak orang yang berteman akrab hanya sebatas ketika ada kepentingannya saja. Yakni ketika menguntungkannya, dia akrab, sering mengunjungi, berbincang-bincang dan memperhatikannya. Namun ketika sudah tidak ada keuntungan yang bisa didapatnya, kenal pun tidak mau.

Ada juga seseorang yang hanya hormat kepada orang kaya saja. Adapun kepada orang miskin, ia tidak menghargainya. Hal semacam ini bukan berasal dari aturan-aturan Islam. Menilai seseorang hanya dikarenakan hartanya, hanya karena nasabnya, hanya karena ilmunya, yaitu jika kepada orang yang berilmu dia hormat dan dia menyepelekan kepada orang yang minim ilmunya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan dalam Majmu Fatawa tentang kecintaan yang bukan karena Allah. Dalam kitab Majmu Fatawa juz 10 beliau berkata,

Jiwa manusia itu telah diberi naluri oleh Allah untuk mencintai orang yang berbuat baik kepadanya,namun pada hakekatnya sesungguhnya hal itu sebagai kecintaan kepada kebaikan, bukan kepada orang yang telah berbuat baik. Apabila orang yang berbuat baik itu memutuskan perbuatan baiknya, maka kecintaannya akan melemah, bahkan bisa berbalik menjadi kebencian. Maka kecintaan yang demikian itu bukan karena Allah.

Barangsiapa yang mencintai orang lain dikarenakan dia itu memberi sesuatu kepadanya, maka dia semata-mata cinta kepada pemberian. Dan barangsiapa yang mengatakan: Saya cinta kepadanya karena Allah,. maka dia pendusta. Begitu pula, barangsiapa yang mencintai orang lain dikarenakan orang itu telah menolongnya, maka dia semata-mata mencintai pertolongan, bukan cinta kepada orang yang menolong. Yang demikian itu, semuanya termasuk mengikuti hawa nafsu. Karena pada hakikatnya dia mencintai orang lain untuk mendapatkan manfaat darinya, atau agar terhindar dari bahaya. Demikianlah umumnya manusia saling mencintai dengan sesamanya karena kepentingan dunia, yang demikian itu tidak akan diberi pahala di akhirat dan tidak akan memberi manfaat bagi mereka. Bahkan bisa jadi hal demikian itu mengakibatkan terjerumus kepada sifat kemunafikan. Di akhirat nanti, mereka akan menjadi bermusuhan antara satu sama lain, kecuali orang-orang yang bertakwa.

Ucapan Ibnu Taimiyah rahimahullah ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Az Zukhruf ayat 67, artinya: Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya akan menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang bertakwa. Adapun orang-orang bertakwa, persahabatan mereka akan langgeng sampai di alam akhirat, karena didasari lillah dan fillah yaitu cinta karena Allah. Sebaliknya, bagi orang-orang yang tidak bertakwa, di akhirat nanti mereka akan menjadi musuh satu sama lain. Persahabatan mereka hanya berdasarkan kepentingan dunia. Diantara motto mereka ialah: Tidak ada teman yang abadi, tidak ada musuh yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang abadi.

Bisa saja hari ini menjadi sahabat, sedangkan besok menjadi musuh karena berbeda kepentingan.Kemudian lusa menjadi sahabat lagi, dikarenakan ada kepentingan yang sama. Dasar persahabatan mereka bukan karena dien, tetapi karena kepentingan dunia berupa ambisi untuk mendapatkan kekuasaan, kedudukan, kehormatan, harta dan sebagainya dengan tidak memperdulikan, apakah cara yang mereka lakukan diridhai Allah, sesuai dengan aturan-aturan Islam ataukah tidak.

SIKAP-SIKAP YANG DISUKAI MANUSIA

- Manusia suka kepada orang yang memberi perhatian kepada orang lain.

Diantara bentuk perhatian kepada orang lain, ialah mengucapkan salam, menanyakan kabarnya, menengoknya ketika sakit, memberi hadiah dan sebagainya. Manusia itu membutuhkan perhatian orang lain. Maka, selama tidak melewati batas-batas syar'i, hendaknya kita berusaha menampakkan perhatian kepada orang lain.

Seorang anak kecil bisa berperilaku nakal, karena ingin mendapat perhatian dari orang dewasa. Orang tua kadang lupa, bahwa anak itu tidak cukup hanya diberi materi saja. Merekapun membutuhkan untuk diperhatikan, ditanya dan mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Apabila kasih- sayang tidak didapatkan dari orang tuanya, maka anak akan mencarinya dari orang lain.

Seorang anak perempuan misalnya- karena tidak mendapat perhatian dari keluarganya, dia mencari perhatian dari laki-laki di luar lingkungan keluarganya. Dia senang dengan perhatian laki-laki itu karena sering memujinya, merayu dan sebagainya. Sehingga terjadi perbuatan yang diharamkan. Allah wal 'iyaadzu billah. Demikian juga anak laki-laki, suami, isteri, saudara dan selainnya, masing-masing membutuhkan perhatian yang bentuknya bisa berbeda-beda.

Dalam hadits Anas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim beliau memuji Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai orang yang paling baik akhlaknya. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam suka berkunjung ke rumah ibunya yaitu Ummu Sulaim yang masih mahram beliau ini salah satu perhatian beliau kepada manusia. Tidak sampai disitu ketika beliau melihat adik Anas yang biasa dipanggil Abu Umair sedang murung beliau bertanya kepada keluarganya, Ada apa gerangan dengan Abu Umair saya lihat ia sedih dan tidak bergairah? Allahu akbar, beliau orang yang sangat sibuk dengan dakwah dan ibadah kepada Allah serta jihad di jalan Allah tapi beliau tetap penuh perhatian kepada orang lain terlebih-lebih kepada keluarganya- meskipun kepada anak kecil. Setelah itu segera Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menghiburnya.

Termasuk memberikan perhatian kepada orang lain adalah dengan melakukan taziyah menghibur orang yang ditinggal mati keluarganya dan mendoakan orang yang meninggal. Kalau kita tidak sempat bertemu dengan keluarganya karena adanya udzur bisa dengan telephon, surat, sms atau lainnya. Hal tersebut akan sangat berkesan dan dapat menambah kokohnya persaudaraan diantara kita. Bukan berarti jika ada teman kita tidak memberikan taziyah kepada kita lalu cepat-cepat kita memvonis buruk kepadanya kita harus berhusnudzan kepada teman atau saudara.

- Manusia suka kepada orang yang mau mendengar ucapan mereka.

Dalam berbicara dengan orang lain hendaklah beri kesempatan kepadanya untuk berbicara pula. Termasuk adab Islam jika orang lain sedang bicara kepada kita hendaklah didengar dan diperhatikan dengan baik-baik.

Seorang suami misalnya- ketika pulang ke rumah dan bertemu isterinya, walaupun masih merasa lelah, harus mencoba menyediakan waktu untuk mendengar isterinya bercerita. Isterinya yang ditinggal sendiri di rumah tentu tak bisa berbicara dengan orang lain. Sehingga ketika sang suami pulang, ia merasa senang karena ada teman untuk berbincang-bincang. Oleh karena itu, suami hendaklah mau mendengarkan perkataan isteri janganlah selalu dipotong atau diminta berhenti berbicara.. Jika kita belum siap untuk mendengarkannya, jelaskanlah dengan baik kepadanya, bahwa dia perlu istirahat dulu dan nanti ceritanya dilanjutkan lagi.

Pernah terjadi seorang ibu dan anaknya yang masih dalam usia balita bercakap-cakap. Si anak dengan lucunya banyak berbicara dan bertanya kepada ibunya, bukannya dijawab dengan penuh kelembutan dan kesabaran tapi malah dibentaknya ia merasa risih dengan pertanyaan-pertanyaan anak kandungnya yang masih kecil padahal orang lain yang mendengarnya merasa terhibur.

Ada seorang ikhwah yang sangat sibuk dengan aktifitas-aktifitas perbaikan masyarakat meskipun ia bukan penceramah dan tidak dikenal orang semoga Allah mencatat amal-amalnya dalam timbangan kebaikannya di hari akhir- diantara aktifitasnya setiap hari antara maghrib dan isya berkunjung ke rumah orang tuanya bercengkerama dengan keduanya kecuali kalau beliau keluar kota. Ini dilakukannya bertahun-tahun padahal dia adalah orang yang sangat sibuk. Semoga Allah memberkahi waktu-waktu kami, hindarkanlah kami dari menyia-nyiakan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Bagi anda yang masih memiliki orang tua bahagiakanlah mereka berdua. Harta yang engkau berikan kepada orang tuamu belum tentu membahagiakannya. Sikapmu yang baik kepada keduanya akan membahagiakannya. Diantara sikap yang baik adalah meluangkan waktu untuk mendengarkan segala apa yang ingin dibicarakan kepadamu dan memberikan respon yang positif, bicaralah kepada orang tua mengenai hal-hal yang disukainya seperti pengalamannya ketika muda atau tentang tanaman-tanaman yang dirawata ibu. Jika anda terpaksa harus memotongnya untuk shalat di masjid atau ada keperluan yang tidak bisa ditangguhkan lagi maka tunggulah sampai koma lalu segera sampaikan alasanmu dengan baik dan berilah janji untuk melanjutkan pembicaraan diwaktu yang lain. Jika yang dibicarakan hal yang tidak baik untuk didengarkan seperti ghibah misalnya maka alihkanlah ke pembicaraan yang bermanfaat tanpa menyinggung perasaannya dan sampaikanlah kepadanya keharaman berghibah melalui buku atau kaset atau menyampaikan nasehat sorang ustadz yang ia dengar.

Contoh lain, yaitu ketika teman kita berbicara hendaklah kita tidak memotongnya meskipun apa yang ia ucapkan salah, apalagi membantahnya dengan kasar. Kita dengarkan dahulu pembicaraannya hingga selesai, kemudian kita jelaskan kesalahannya secara baik.

Mungkin orang lain kurang memperhatikan ucapan kita tidak lain disebabkan kita sendiri. Ada beberapa saran agar ucapan kita didengarkan secara baik-baik oleh orang lain:

Hendaklah yang akan kita bicarakan hal-hal yang bermanfaat.

Perlu dipilih waktu yang tepat dan situasi yang kondusif

Hendaklah ucapan kita singkat dan tidak bertele-tele

Jika kita bermajelis dengan orang yang lebih tua dari kita hendaklah kita lebih banyak mendengar daripada berbicara

- Manusia suka kepada orang yang menjauhi debat kusir

Seringkali ketika menemukan kebenaran yang kita yakini, timbul keinginan untuk berdebat dengan orang lain yang masih berpemahaman keliru. Bahkan berusaha memancing orang untuk berdebat ketika mengetahui pemahamannya berbeda dengan kita. Padahal manusia tidak suka kepada orang yang senang berdebat. Walaupun memang ada perdebatan yang dibolehkan dalam Islam, yaitu debat dengan cara yang baik.

Allah berfirman, artinya:

Serulah kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (Surat An Nahl 125)

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah dalam kasetnya, menerangkan tentang ayat: Serulah kepada jalan Rabbmu dengan hikmah Beliau berkata,"Manusia tidak suka orang yang berdiskusi dengan hararah (dengan panas). Karena umumnya orang hidup dengan latar belakang dan pemahaman yang berbeda dengan kita dan itu sudah mendarah daging Sehingga para penuntut ilmu, jika akan berdiskusi dengan orang yang fanatik terhadap madzhabnya, (maka) sebelum berdiskusi dia harus mengadakan pendahuluan untuk menciptakan suasana kondusif antara dia dengan dirinya. Target pertama yang kita inginkan ialah supaya orang itu mengikuti apa yang kita yakini kebenarannya. Tetapi hal ini tidaklah mudah. Umumnya disebabkan fanatik madzhab, mereka tidak siap mengikuti kebenaran. Target kedua, minimalnya dia tidak menjadi musuh bagi kita karena sebelumnya sudah tercipta suasana yang kondusif antara kita dengan dirinya. Hal ini mudah untuk kita lakukan.

- Manusia suka kepada orang yang memberikan penghargaan dan penghormatan kepada orang lain.

Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mengatakan,

Bukan dari golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih muda dan orang yang tidak menghormati yang lebih tua (H.R.Tirmidzi dishahihkan oleh syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jamius Shaghir no 5445)

Ketika kita shalat sunnah di masjid membelakangi seorang berusia lanjut yang lebih dahulu duduk sebelum kita datang. Ia tersinggung karena selama ini tidak pernah disapa atau disalamin tiba-tiba datang membelakanginya. Akan berbeda sikapnya mungkin- jika orang yang membelakanginya bersikap ramah dan hormat kepadanya selama ini. Kesalahan seperti ini kadang tidak sengaja kita lakukan. Oleh karena itu kita harus mengambil pelajaran dari pengalaman diri kita dan orang lain. Sehingga bisa memperbaiki diri dalam hal menghormati orang lain. Hal-hal yang membuat diri kita tersinggung, jangan kita lakukan kepada orang lain. Bentuk-bentuk sikap tidak hormat dan pelecehan, harus kita kenali untuk dihindari.

Misalnya, ketika berjabat tangan tidak melihat wajah orang yang kita salami Hal itu menyinggung perasaan orang lain. Apabila kita diperlakukan kurang hormat, maka kita sebisa mungkin memakluminya. Karena mungkin- orang lain belum mengerti atau tidak menyadarinya. Ketika kita memberi salam kepada orang lain, namun orang tersebut tidak menjawab, maka kita jangan langsung menuduh orang itu menganggap kita ahli bid'ah atau kafir. Bisa jadi, ketika itu dia sedang menghadapi banyak persoalan sehingga tidak sadar ada yang memberikan salam kepadanya, dan ada kemungkinan-kemungkinan lainnya. Kalau perlu didatangi dengan baik dan ditanyakan, agar persoalannya menjadi jelas. Dalam hal ini kita dianjurkannya untuk banyak memaafkan orang lain.

Allah berfirman, artinya: Terimalah apa yang mudah dari akhlaq mereka dan perintahkanlah orang lain untuk mengerjakan yang ma'ruf serta berpalinglah dari orang- yang bodoh. (QS Al A'raf 199)

Para ahli tafsir berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat khudzil afwa. Ada tiga pendapat yang berbeda dalam masalah ini.

Diantara mereka ada yang berpendapat, bahwa maksudnya: ambillah yang mudah dari harta mereka. Ketika itu belum turun ayat yang mewajibkan zakat dan perincian orang-orang yang berhak menerimanya. Pendapat yang kedua, bahwa Allah memerintahkan rasulNya untuk memberi maaf dan bersikap lunak terhadap orang musyrikin selama sepuluh tahun. Kemudian setelah itu, Allah memerintahkan Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam untuk bersikap keras terhadap mereka. Pendapat ini dipegang oleh Al Imam At Thabari rahimahullah . Pendapat yang ketiga, adalah pendapat yang lebih masyhur dan lebih kuat. Yaitu ambillah apa yang mudah dari akhlaq mereka. Al Imam Ibnu Katsir menjelaskan tafsir ayat ini, bahwa pendapat yang ketiga ini dipegang oleh Mujahid, seorang tabi'in, kemudian Abdullah bin Jubair, bapaknya yaitu Jubair, Abdullah bin Umar dan 'Aisyah radhiallahu anhum. .

Ibnu Katsir mengatakan, inilah pendapat yang paling masyhur. Bahwa khudzil afwa, artinya ambillah olehmu apa yang mudah dari akhlak mereka. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah dalam kitab Syarah Riyadlus Shalihin mengatakan, -Dalam ayat ini- yang dimaksud al 'afwa, yaitu apa yang mudah dari manusia. Karena manusia satu sama lain saling bermu'amalah. Maka barangsiapa diantara manusia yang ingin agar manusia lainnya memperlakukan dia menurut apa yang dia sukai dan secara sempurna, maka hal itu akan menyusahkan dan memberatkan dirinya.

Sedangkan orang yang mengambil pelajaran dari ayat ini, dan mengambil apa yang mudah dari manusia, apa yang datang dari mereka akan diterimanya, sedangkan hak dirinya yang disia-siakan mereka tidak dipermasalahkannya, kecuali jika perbuatan mereka itu telah menodai dienullah yang terhormat.

Ini adalah bimbingan Allah, agar kita mengambil yang mudah dari akhlak dan muamalah manusia, sedangkan sikap tidak baik mereka, apabila kita tidak ambil pusing dan meninggalkannya, maka keutamaan tetap milik kita.

Jadi, jika kita menginginkan orang lain tidak menyakiti kita, bahkan memperlakukan kita menurut apa yang kita sukai dan kita tidak siap untuk menerima yang sebaliknya, maka kita akan merasa susah dan banyak mengalami kekecewaan.

Dalam kehidupan ini, tidak semua hal berjalan mulus seperti apa yang kita harapkan. Kita akan menemui orang yang mengghibah kita, menuduh, menipu dan berbuat jahat terhadap kita. Ada hal-hal yang tidak perlu kita pedulikan terhadapnya. Hal ini bukan berarti kita menerima saja jika diperlakukan seenaknya oleh orang lain. Misalnya, jika seseorang memiliki hutang kepada kita, tidak mesti kita bebaskan begitu saja. Kita boleh menuntut agar hutang itu dilunasi. Karena hal itu merupakan hak kita, apalagi jika kita membutuhkannya. Namun jika kita bebaskan, maka itu lebih baik. Misalnya, jika sudah berusaha semaksimal mungkin menagihnya, namun orang itu tidak membayar juga, maka hal itu jangan membuat kita pusing. Insya Allah, kita akan diberi ganti yang lebih baik, seperti dihapuskan dosa dan lain sebagainya. Selain itu kita bisa memfokuskan ke hal-hal lain yang lebih bermanfaat, daripada berkutat dengan sesuatu yang membuat kita sibuk dan stres.

Kadang-kadang kita sering tidak sabar menerima perlakuan yang tidak mengenakkan dari orang lain. Kadang tanpa sadar, kita terjerumus ke dalam perbuatan yang merusak hubungan antar sesama manusia. Seperti dengan melakukan namimah atau mengadu domba, karena kejahilan kita. Misalnya dengan mengatakan kepada ustadz A, bahwa ustadz B berlainan pendapat dalam satu masalah dengannya di depan forum kajian. Atau dengan mengatakan, bahwa ustadz B menjelek-jelekannya.Mungkin kita melakukan hal itu karena mencintai ustadz A. Padahal bisa membuat kedua orang itu bermusuhan. Seharusnya kita melakukan hal-hal yang membuat keadaan menjadi lebih baik. Tidak ada kebaikan pada kebanyakan perbincangan, kecuali orang yang memerintahkan manusia untuk bershadaqah, berbuat baik, dan mengadakan perbaikan (ishlah) antar manusia. Termasuk diantara baiknya keislaman seseorang, yaitu meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfaat bagi dirinya.

Al Imam Ibnul Qayim menjelaskan dalam kitabnya Al Fawaid, Berkumpulnya manusia dengan temannya itu ada dua macam. Yang pertama, berkumpulnya sebagai hiburan, untuk menghabiskan waktu saja. Maka hal ini mudharatnya lebih banyak daripada manfaatnya. Minimal menyia-nyiakan waktu yang sangat berharga, bahkan bisa mengotori hati. Kita perlu melatih diri untuk mengisi waktu dengan perbuatan bermanfaat. Kalau jiwa kita tidak terlatih, maka hal ini akan sangat berat. Yang kedua, berkumpul dalam rangka nasihat-menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Yaitu berkumpul dalam rangka untuk meniti jalan keselamatan. Majelis seperti ini merupakan jenis yang baik. Walaupun begitu, masih terdapat di dalamnya hal-hal yang bisa membahayakan. Pertama, jika terjadi saling memuji sebagian kita terhadap lainnya dalam bentuk basa-basi. Dalam hal ini bisa membahayakan orang yang dipuji. Jika yang dipuji itu tidak bisa menjaga diri, bisa jadi dia akan terjerumus ke dalam ujub atau sombong. Bahaya selanjutnya, yaitu jika pertemuan tersebut semata-mata hanya merupakan adat kebiasaan saja. Tujuan diadakannya majelis tersebut sudah tidak lagi dalam rangka saling-menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Atau justeru menjadi majelis yang tidak bermanfaat, bahkan bisa mengotori hati orang yang duduk di dalamnya. Hal ini bukan berarti kita harus menghindari majelis yang kedua ini sama sekali, akan tetapi hendaklah di dalamnya dibicarakan hal-hal yang baik dan bermanfaat. Apabila muncul pembicaraan yang tidak baik dalam majelis tersebut, kita coba alihkan ke pembicaraan lain yang bermanfaat, sehingga majelis tersebut diberkahi.

Termasuk menghargai orang lain dengan menganggapnya penting bagi kita dan dibutuhkan oleh kita meskipun tidak ada keuntungan duniawi yang bisa kita raih darinya tetapi yang paling pokok agar kita dicintai Allah keuntungan lain yang bisa kita raih doa mereka untuk kita, mereka akan menghargai kita dan lain-lain mungkin anda lebih tahu.

- Manusia suka kepada orang yang memberi kesempatan orang lain untuk maju.

Sebagai seorang muslim, seharusnya senang jika saudara kita maju, berhasil atau mendapatkan kenikmatan, walaupun secara naluri manusia itu tidak suka, jika ada orang lain yang melebihi dirinya. Naluri seperti ini harus kita kekang dan dikikis habis sedikit demi sedikit. Misalnya, bagi mahasiswa jika di kampus ada teman muslim yang lebih pandai daripada kita, maka kita harus senang. Jika kita ingin seperti dia, maka harus berikhtiar dengan rajin belajar dan tidak malas. Berbeda dengan orang yang dengki, tidak suka jika temannya lebih pandai dari dirinya. Malahan karena dengkinya dia mencuri buku catatan pelajaran milik temannya.

Contoh lain, misalnya jika kita adalah seorang guru atau pengajar, maka harus senang jika murid kita maju, lebih pandai dan lebih berhasil daripada kita. Sehingga tidak dibolehkan menginginkan murid cukup memiliki kepandaian di bawah kita terus. Hal ini biasanya terjadi pada guru ilmu bela diri. Walaupun dia mengajarkan banyak jurus kepada murid-muridnya, akan tetapi biasanya ada jurus pamungkas yang disimpannya, agar tidak dikalahkan oleh muridnya. Adapun dalam mendidik ilmu dien, terlarang untuk melakukan seperti demikian. Kita harus mengajarkan semua ilmu yang kita miliki. Dan jika suatu saat murid kita memiliki ilmu yang lebih dari kita, maka kita tidak merasa gengsi untuk belajar kepadanya.

Apapun kedudukan anda apakah sebagai kepala rumah tangga, kepala instansi, direktur perusahaan, direktur sebuah lembaga, kepala sekolah dan lain sebagainya akan disukai oleh manusia jika dia tidak bersifat egois dan menginginkan kemajuan bawahannya.

- Manusia suka kepada orang yang tahu berterimakasih atau suka membalas kebaikan.

Hal ini bukan berarti dibolehkan mengharap ucapan terimakasih atau balasan dari manusia jika kita berbuat kebaikan terhadap mereka. Akan tetapi hendaklah tidak segan-segan untuk mengucapkan terimakasih dan membalas kebaikan yang diberikan orang lain kepada kita. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,

Barangsiapa tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia maka ia tidak bersyukur kepada Allah (H.R. Ahmad, Tirmidzi dan dishahihkan oleh syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jamius Shaghir no 6541)

Siapa yang telah berbuat baik kepada kalian, maka balaslah kebaikannya. Apabila kalian tidak mendapatkan sesuatu untuk membalas budi kepadanya, maka doakanlah(memohon kebaikan) untuknya sehingga kalian berpendapat telah membalas budinya.(HR.Ahmad 2/68,Abu Daud 1672,Nasa`I 5/82,Bukhari dalam buku Al-Adab Al-Mufrad 216, Ibnu Hibban 3408, Al Hakim 1/412 dan 2/13, At-Thayalisi 1895 dan selain mereka dari hadits Abdullah bin Umar bin Khattab radhiallahu `anhuma.Derajat hadits itu shahih (Syaikh ali Hasan)

Pernahkah kita mengingat-ingat orang-orang yang telah berjasa kepada kita selama ini?, orang tua kita yang telah membesarkan dan mendidik kita sejak kecil dengan penuh kasih sayang, guru-guru kita yang dengan ikhlasnya menginginkan kita menjadi orang yang baik, teman-teman yang dengan tulus memberikan motivasi dan selalu memberikan nasehat yang bermanfaat, orang-orang yang telah membiayai kita sekolah atau belajar menuntut ilmu dien dengan tanpa pamrih termasuk mereka yang menjadi perantaranya. Pernahkah kita mendoakan memohon kepada Allah agar memberikan kebaikan kepada mereka? Sudahkah kita berusaha membalas kebaikan mereka dengan melakukan hal-hal yang menyenangkan mereka selama tidak menyalahi syariat? Apabila diantara mereka ada yang memiliki pemahaman islam yang bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah -dengan pemahaman salafus shalih-, sudahkah kita berusaha semaksimal mungkin untuk meluruskannya dengan penuh optimisme tanpa putus asa? Lebih-lebih lagi mereka yang secara ushul memiliki aqidah dan manhaj yang sama yaitu aqidah ahlus sunnah waljamaah, aqidah salafiyah, mengikuti jejak Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam dan para sahabatnya radhiallahu anhum lalu ada kerancuan dalam sebagian pemahaman mereka sedangkan mereka cinta kepada kebenaran dan mencintai ulamanya. Apakah termasuk membalas kebaikan mereka dengan cara bermuka masam dan membuang muka? Apakah termasuk membalas kebaikan mereka dengan cara melarang manusia untuk belajar Islam kepada mereka? Apakah termasuk membalas kebaikan mereka dengan cara membuat fitnah dan tuduhan yang keji? Menyampaikan berita-berita yang telah usang dan kadaluwarsa serta berita-berita bohong. Sesungguhnya Allah sangat cepat pembalasannya, doa orang yang teraniaya itu mustajab dan akibat yang baik untuk orang-orang yang bertakwa. Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba-hambaNya yang bertakwa dan memberikan kita rasa takut akan adzab dan murkaNya dan takut untuk mendzalimi orang lain, ya Allah jadikanlah kami bersifat adil dalam bertindak, ya Allah janganlah jadikan orang-orang yang telah berjasa kepada kami sebagai penghalang untuk meraih keridhaanMu, ya Allah karuniakanlah keikhlasan kepada kami dan jadikanlah kami termasuk orang-orang yang tidak mengharapkan dari orang lain balasan ataupun ucapan terima kasih.

- Manusia suka kepada orang yang menjaga perasaan orang lain

Kita perlu melatih diri untuk menyampaikan ungkapan kata-kata yang tidak menyakiti perasaan orang lain dan tetap sampai kepada tujuan yang dinginkan. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melarang dua orang berbisik-bisik jika mereka bertiga dikarenakan membuat sedih orang yang ketiga. Sungguh agama Islam sangat memperhatikan perasaan manusia.

Orang tua menyuruh anaknya mencuci piring dan gelas di dapur. Ternyata cuciannya kurang bersih. Ibu yang bijak dia akan memuji jerih payah anaknya baru setelah itu diajarkan bagaimana cara mencuci yang baik. Pujian dan cara yang baik ini akan memotivasi anak untuk giat melaksanakan perintah ibu dan memperbaiki kekurangannya. Lain halnya jika si ibu marah-marah dan mengumpatnya,Dasar anak malas, tahunya hanya minta uang dan main saja, mencuci piring saja tidak becus kalah sama adiknya. Ungkapan seperti ini dapat membuat si anak menjadi malas dan kurang hormat terhadap ibunya.

Seorang ibu meminta anaknya untuk sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat ke sekolah atau ke kantor lalu dengan entengnya dijawab bahwa tidak ada waktu karena dirinya hampir terlambat sambil keloyong keluar rumah. Padahal ada cara lain untuk tidak mengecewakan orang tua seperti bergegas-gegas sejak pagi sehingga ada waktu luang untuk sarapan, seandainya sempit waktunya pun masih ada cara untuk menyenangkan ibu dengan menuruti kemauannya dan mengambil sedikit nasi serta lauk tidak sampai lima menit kita bisa segera keluar rumah dengan perut berisi tanpa membuat ibu cemberut bahkan memancarkan wajah berseri-seri.

Seorang anak tk yang jelek tulisannya hendaknya tidak dipatahkan semangatnya dengan mencela dan memarahi anak tersebut.

Seorang guru ditanya oleh siswanya tentang suatu masalah lalu dijawabnya, Pertanyaan ini tidak pantas ditanyakan, anak sd saja tahu jawabannya! Ini bukan jawaban yang baik karena dapatkan mematahkan semangat belajar anak dan mungkin siswa tersebut tidak akan bertanya kepada guru tadi seterusnya. Seorang guru harus menyadari jawaban tadi atau yang sejenisnya tidak sepantasnya dilontarkan karena tugas guru bukan hanya mentransfer ilmu tapi ia juga bertugas sebagai pendidik.

Dalam sebuah buku diceritakan, ada seorang suami yang memberikan ceramah dalam suatu majelis dengan bahasa yang terlalu tinggi, sehingga tidak bisa dipahami oleh orang-orang yang hadir. Ketika pulang, dia menanyakan pendapat isterinya tentang ceramah tadi. Isterinya menjawab dengan mengatakan, bahwa jika ceramah tersebut disampaikan di hadapan para dosen, maka tentunya akan tepat sekali. Ucapan itu merupakan sindiran halus, bahwa ceramah itu tidak tepat disampaikan di hadapan hadirin saat itu. Hal ini bukan berarti kita harus banyak berbasa-basi atau bahkan membohongi orang lain. Namun hal ini agar tidak melukai perasaan orang, tanpa kehilangan maksud untuk memperbaikinya.

Contoh lain, yaitu isteri yang memasak, akan merasa sakit hati jika kita cela hasil masakannya. Padahal dengan bahasa yang lebih baik, kita bisa membuat dia tidak tersinggung jika dikritik. Misalnya saja, jika masakannya terlalu asin, kita mengatakan bahwa masakannya enak, namun jika dikurangi sedikit garamnya, pasti akan lebih enak. Dia akan paham, bahwa masakannya kebanyakan garam.

Contoh lainnya lagi, yaitu terhadap teman kita yang menyatakan keinginannya untuk sekolah di Madinah. Janganlah kita mengatakan, bahwa orang seperti dia tidak pantas untuk sekolah di Madinah. Kalau kita menilai, bahwa dia kurang mampu untuk mendalami dien, maka kita bisa mengatakan kepadanya, jika dia belajar di sekolah lain tentu akan lebih bermanfaat. Jangan sampai membuat dia merasa terhina dengan ungkapan kata-kata kita.

Seorang kenalan yang baru memiliki hp terkadang menanyakan kepada anda Apakah anda perlu mencatat nomer hp saya? Seandainya anda tidak butuh sekalipun padahal mungkin suatu waktu butuh- apa salahnya untuk menyenangkan orang lain dan tidak menimbulkan kekecewaannya kita jawab,Berapa no hp kamu? Sambil kita catat.

Harun bin Abdullah rahimahullah meriwayatkan, Ahmad bin Hanbal mendatangiku di malam hari dengan mengetuk pintu, saya tanya,Siapa? Beliau menjawab,Saya Ahmad Segera saya keluar menemuinya, beliau mengucapkan salam dan saya menjawabnya. Saya bertanya,Apa gerangan keperluan anda wahai Abu Abdillah? Beliau menjawab,Hatiku resah hari ini memikirkanmu. Mengapa wahai Abu Abdillah? Beliau menjelaskan,Saya melewatimu hari ini, anda duduk menyampaikan pelajaran kepada manusia di tempat yang teduh sedangkan manusia dibawah terik matahari memegang buku dan pena, jangan anda lakukan sekali lagi, jika anda duduk duduklah bersama manusia Imam Ahmad rahimahullah tidak menegurnya seketika tapi menundanya sampai malam hari dan menegurnya secara empat mata dengan penuh kelembutan dan perhatian dengan ucapannya Hatiku resah hari ini memikirkanmu.

Pernah Syaikh Masyhur Hasan Al Salman salah seorang murid terkemuka dari syaikh Al Albani menulis surat pribadi kepada salah seorang ustadz di Indonesia memberikan motivasi dan taushiyah. Mendengar berita tersebut saya meminta copiannya untuk dijadikan bahan renungan. Diantara manfaat yang didapat dari surat tersebut kita tahu betapa lembutnya beliau dalam memberikan nasehat diantaranya beliau berkata, Saudaraku yang saya cintai

Taufik Allah seluruhnya dapat diperoleh dengan (ilmu) disertai (tahan emosi), Saya dapatkan pada dirimu sifat tahan emosi dan perhatian yang pantas diinginkan oleh orang lain, maka berilah perhatian dengan sepenuhnya dalam hal (ilmu) dan upaya untuk menambahnya

Hendaknya jika kita tidak setuju dengan salah satu pendapat teman kita, mulailah dengan menyebutkan pendapat-pendapatnya yang kita setujui setelah itu disebutkan pendapat yang kita kurang setuju.

Saya mendapat pelajaran dari salah seorang ustadz di Jakarta semoga Allah memberkahi ilmunya- ketika memberikan teguran kepada khatib jumat jika ada yang salah atau membawakan hadits-hadits lemah dan maudhu beliau tunggu suasana sepi dan setelah itu mendatanginya sendirian lalu berbicara berdua dengan berbisik-bisik setelah itu saya lihat khatib dari kejauhan tersenyum dan menjabat tangan ustadz dengan hangatnya. Kejadian seperti ini saya lihat sendiri tidak satu dua kali di tahun delapan puluhan. Karena ingin mendapatkan ilmu dari beliau saya penasaran dan bertanya kepada beliau apa yang dilakukannya berduaan dengan khatib. Beliau menjawab sedang memberikan masukan atas kesalahan khatib dengan cara pertama berterimakasih atas isi khutbah yang disampaikannya, banyak manfaat yang bisa didapat. Setelah itu menanyakan kedudukan satu atau dua hadits yang dibawakan khatib tadi beserta sumbernya. Terakhir menyampaikan apa yang beliau tahu tentang kedudukan hadits tersebut berdasarkan keterangan- keterangan pakar hadits.

Termasuk menjaga perasaan orang lain jika kita bertemu di jalan atau di kantor atau dimana saja dengan dua orang atau lebih satu diantaranya adalah teman kita hendaklah kita salami semuanya, terkadang kita tidak sadar hal itu dapat menyinggung perasaan orang lain. Saya pernah diajak oleh teman di Jeddah berkunjung ke famili mereka setelah bertemu dalam satu majelis yang berjumlah sekitar lima belas orang tidak semua dikenal oleh teman ini, apa yang dilakukannya setelah mengucapkan salam dan menyalami mereka satu persatu? Dia menanyakan keadaan dan keluarga mereka satu persatu tidak ada seorangpun yang luput dari pertanyaannya.

Jadi kita perlu melatih untuk mengungkapkan kata-kata yang tidak melukai perasaan orang lain. Manusia punya perasaan, termasuk kita. Kita tidak suka jika perasaan kita dilukai orang lain. Oleh karena itu, kita berusaha untuk tidak melukai perasaan orang lain.

SIKAP-SIKAP YANG TIDAK DISUKAI MANUSIAKita mempelajari sikap-sikap yang tidak disukai manusia agar dapat menghindarinya. Maksud dari sikap-sikap yang tidak disukai manusia, ialah sikap yang menyelisihi syariat baik berdasarkan nash-nash yang khusus maupun umum. Berkaitan dengan sikap-sikap yang tidak disukai manusia, tetapi Allah ridha, maka harus kita utamakan keridhaan Allah. Dan sebaliknya, terhadap sikap-sikap yang dibenci Allah -walaupun manusia menyukainya- maka, tetap harus kita jauhi. Kita harus mencintai Allah dan RasulNya melebihi cinta kita kepada yang lain. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah bersabda,

Ada tiga perkara, yang apabila terdapat pada diri seseorang perkara-perkara tersebut, maka ia akan merasakan manisnya iman. (Yaitu) menjadikan Allah dan RasulNya lebih dicintai daripada yang lain, mencintai orang lain semata-mata karena Allah, benci kembali kepada kekufuran -setelah Allah menyelamatkannya- sebagaimana ia benci bila dimasukkan ke dalam neraka.

Dalam kolom Tanya jawab di salah satu majalah Islam pernah seorang perempuan bertanya bagaimana sikap yang harus ia lakukan terhadap teman laki-laki di sekolah yang jatuh cinta kepadanya dan mengajaknya untuk berpacaran sementara dia tidak ingin menyakitinya jika ditolak? Menolak ajakan untuk bermaksiat dicintai Allah sementara menerima ajakannya untuk berjalan berduaan dan bersentuhan dengannya dimurkai Allah. Manakah yang harus kita utamakan? Tentu mengutamakan ridha Allah lah yang seharusnya kita pilih meskipun beresiko orang lain akan sakit hati atau tersinggung.

Jika ada lawan jenis yang bukan mahram kita seperti sespupu, isteri paman, isteri kakak atau adik mengulurkan tangannya dan mengajak kita berjabat tangan padahal kita tahu hukumnya haram bersasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, Tindakan yang benar adalah kita tolak secara halus dan tidak menjabatnya meskipun orang itu tersinggung. Untuk mengurangi ketersinggungan orang lain, bisa jadi dia tidak tahu hadits diatas sehingga perlu disampaikan kepadanya dan fatwa ulama yang menyatakan haram perbuatan tersebut. Kedua kita bisa mencairkan suasana dengan berbasa-basi kepadanya menanyakan sekedarnya keadaan dirinya, suaminya, anak-anaknya atau lainnya.

Begitu pula kita tidak boleh ikut hadir dalam acara-acara bidah seperti tahlilan, peringatan maulid Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, nisfu syaban, haul dan lain sebagainya karena kehadiran kita di sana berarti menyetujui perbuatan bidah. Kita tetap diperintahkan untuk berbuat baik kepada kaum muslimin pada umumnya seperti mengucapkan salam, menengok orang sakit, membantu kesulitan mereka, menghargai mereka, memberi nasehat dan lain sebagainya. Kalaupun kita sudah berbuat baik lalu mereka tetap saja memusuhi kita karena kita tidak ikut acara bidah mereka hendaklah kita sabar dan tetap teguh pada pendirian serta berdoalah kepada Allah agar Allah melunakkan hati mereka, memberi hidayah untuk kita dan mereka. Ya Allah Yang membolak balikkan hati manusia teguhkanlah hatiku agar selalu berada diatas agamaMu. Ya Rabb kami janganlah engkau palingkan hati-hati kami setelah engkau beri hidayah kepada kami dan berilah untuk kami rahmat dari sisiMu sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.

Adapun perbuatan-perbuatan yang tidak disukai manusia ialah sebagai berikut.

Pertama. Memberi nasihat kepadanya di hadapan orang lain.

Hal ini telah banyak dibahas oleh para ulama, diantaranya oleh Al Imam Ibnu Hibban dalam kitab Raudhatul Uqala Wa Nuzhatul Fudhala; dalam penjelasan mengenai cara memberi nasihat. Yaitu, hendaklah tidak di depan orang lain. Hendaklah memberi nasihat secara empat mata atau secara rahasia.

Begitu pula Al Imam Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitab Al Akhlaqu Wa Siar Fi Mudawatin Nufus. Beliau juga menjelaskan, bahwasanya kita harus memberi nasihat kepada manusia, baik manusia itu suka ataupun tidak. Akan tetapi, jika kita ingin memberi nasihat kepada orang lain, janganlah di hadapan orang banyak. Hendaklah nasihat itu diberikan secara rahasia.

Begitu pula Al Imam Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan hal ini dalam kitab yang berjudul Al Farqu Baina Nashihati Wa Tayir, yang intinya sama, bahwa memberi nasihat itu harus dilakukan secara rahasia. Demikian juga Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan hal ini dalam kitab Syarh Riyadlus Shalihin.

Al Imam Asy Syafii rahimahullah telah menjelaskan hal ini dalam puisinya,

Sengajalah engkau memberi nasihat kepadaku ketika aku sendirian

Jauhkanlah memberi nasihat kepadaku di hadapan orang banyak

Karena sesungguhnya nasihat yang dilakukan di hadapan manusia

adalah salah satu bentuk menjelek-jelekkan,

aku tidak ridha mendengarnya

Apabila engkau menyelisihiku dan tidak mengikuti ucapanku,

maka janganlah jengkel apabila nasihatmu tidak ditaati

Hal ini menunjukkan, bahwa Al Imam Asy Syafii rahimahullah mengetahui kejiwaan manusia. Bahwa, umumnya manusia akan menolak kebenaran, bila diberi nasihat di hadapan orang banyak. Maka Imam Syafii mengatakan: janganlah engkau jengkel apabila nasihatmu tidak ditaati.

Beliau juga mengatakan: sengajalah engkau memberi nasihat kepadaku ketika aku sendirian. Bukan berarti jika beliau diberi nasihat di hadapan orang banyak dan isi nasihat itu benar akan beliau tolak kebenaran itu. Akan tetapi, beliau ingin mengajarkan kepada kita, bagaimana metoda yang benar dalam memberi nasihat dan pengajaran kepada orang lain. Karena umumnya manusia tidak mau menerima nasihat, jika nasihat itu disampaikan di hadapan orang banyak.

Namun apakah perkataan ulama-ulama tadi menunjukkan secara mutlak, bahwa nasihat itu harus disampaikan secara empat mata atau secara rahasia saja? Tentunya sama sekali tidak demikian. Yang demikian itu hanya menunjukkan keumuman saja.

Kata nasihat sendiri berasal dari kata nashaha, yang mempunyai arti khalasha, yaitu murni. Maksudnya, hendaklah yang memberi nasihat itu memurnikan niatnya semata-mata karena Allah. Selain itu, kata nasihat juga berasal dari kata khaththa, yang artinya menjahit. Maksudnya, ingin memperbaiki kekurangan orang lain. Maka secara istilah, nasihat itu artinya keinginan seseorang yang memberi nasihat agar orang yang diberi nasihat itu menjadi baik. Tentu saja cara yang dilakukan harus sedemikian rupa, sehingga orang yang diberi nasihat mau menerima petuah itu; tidak dengan cara-cara yang membuat orang lari meninggalkannya.

Akan tetapi, dalam keadaan-keadaan tertentu, seseorang harus memberi nasihat di hadapan orang banyak. Ini tidak bertentangan dengan perkataan ulama-ulama tadi.

Nasihat terkadang harus disampaikan di hadapan orang banyak. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, ketika Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam sedang memberikan khutbah Jumat, ada seseorang masuk ke dalam masjid dan langsung duduk. Orang itu bernama Sulaik Al Ghathafani. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam langsung bertanya:,Sudahkah engkau shalat dua rakaat? Orang itu menjawab,Belum, selanjutnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam berkata,Bangunlah. Shalatlah dua rakaat.

Teguran ini langsung beliau sampaikan di hadapan orang banyak, bukan dengan maksud menjelek-jelekkan orang tersebut. Hal itu dilakukan karena tidak mungkin orang itu diberi nasihat untuk melakukan shalat tahiyatul masjid setelah selesai shalat Jumat.

Oleh karena itu, apabila nasihat tidak mungkin untuk ditunda, walaupun di hadapan orang banyak, tetap harus disampaikan. Batasannya ialah mempertimbangkan maslahat dan mafsadahnya.

Pernah suatu ketika Nabi n melihat ada yang makan dengan tangan kirinya. Nabi n langsung menegurnya,Makanlah dengan tangan kananmu. Orang itu menolak dan mengatakan,Saya tidak bisa, lantas Nabi n berkata,Semoga engkau tidak bisa. Akhirnya Allah k menimpakan hukuman kepada orang itu, dengan membuat tangannya lumpuh karena angkuh dan membangkang perintah Nabi n untuk makan dengan tangan kanan.

Dari hadits ini, Syaikh Salim Al Hilali dalam kitab Bahjatun Nadzirin mengambil faidah, bahwa dibolehkan untuk menasihati seseorang di hadapan orang banyak -apabila terdapat maslahat untuk melakukan hal itu. Jadi memberi nasihat secara empat mata atau rahasia itu tidak mutlak.

Kalau kita perhatikan, seandainya nasihat tadi mesti disampaikan secara rahasia saja, maka akan ada mafsadat, berupa tidak tahunya orang lain pada waktu itu, yang ikut duduk bersama Nabi n . bahwa makan dengan tangan kiri itu terlarang. Disamping itu, faktor siapa yang menyampaikan nasihat juga perlu diperhatikan. Artinya, jika nasihat itu diberikan oleh orang yang lebih memiliki wibawa, seperti: seorang guru kepada muridnya, orang tua kepada anaknya, kakak kepada adiknya, atau suami kepada isterinya; maka nasihat itu mungkin lebih bisa diterima.

Sebagian orang tua masih kurang menyadari bahayanya menyampaikan nasihat untuk anak dihadapan orang lain. Ada juga orang tua mengeluhkan atau menjelek-jelekkan anaknya sendiri kepada orang lain dihadapan si anak. Hal ini akan membuat malu anak dan merasa dijatuhkan harga dirinya terlepas isi keluhan itu benar atau tidak dan dimaksudkan untuk mencari solusi misalnya. Hendaknya jangan disampaikan dihadapan anak dan tidak disampaikan kepada setiap orang. Karena sebagian orang yang kurang peka terhadap perasaan anak dia akan menyampaikan aibnya di hadapan anak tersebut dan dihadapan banyak orang dengan maksud untuk memperolok-oloknya atau bermaksud menasihatinya tetapi belum tahu metode yang lebih tepat.

Hendaknya suami tidak menyalahkan isteri di hadapan anak-anak mereka agar isteri lebih mudah untuk menerima nasihat dan agar anak-anak mereka tetap hormat terhadap ibunya. Begitupula sebaliknya agar isteri tidak menegur suaminya dihadapan anak-anak atau orang tua mereka.

Kedua. Manusia tidak suka diberi nasihat secara langsung.

Bila memungkinkan seseorang memberi nasihat secara sindiran, maka hendaklah berbuat demikian. Hal ini dijelaskan oleh Al Imam Ibnu Hazm t dalam kitab Al Akhlaq Was Syiar Fi Mudawatin Nufus. Hendaklah nasihat yang kita berikan itu disampaikan secara tidak langsung. Tetapi, jika orang yang diberi nasihat itu tidak mengerti juga, maka dapatlah diberikan secara langsung. Jika tujuan nasihat sudah tercapai, maka nasihat secara langsung tidak diperlukan lagi.

Bagi orang-orang tertentu, nasihat secara sindiran itu bisa sangat membekas. Bahkan tidak perlu dengan kata-kata. Misalnya, seseorang yang ingin menegur seorang petugas kebersihan karena pekerjaannya kurang beres, banyak tempat-tempat yang masih kotor. Tidak langsung mengatakan: Kenapa kamu tidak membersihkan tempat ini? Disini masih kotor, dan sebagainya , tetapi dia langsung membersihkan sendiri, menyapu tempat yang masih kotor tadi dan membuang sampahnya di hadapan sang petugas kebersihan. Demikian ini sudah merupakan bentuk teguran yang keras bagi pegawai tersebut, yang membuatnya malu. Tetapi kadang-kadang ada orang yang tidak paham dengan cara seperti ini. Maka orang seperti itu harus ditegur secara langsung. Hanya saja, jika secara sindiran sudah cukup, maka tidak perlu ditegur secara langsung. Mengapa? Karena manusia pada umumnya tidak suka disalahkan, meskipun sudah jelas ia bersalah.

Ada suatu metoda dalam pendidikan, yang dinamakan metoda bimbingan secara tidak langsung. Semisal sebuah buku yang ditulis Syaikh Shalih bin Humaid, imam Masjidil Haram, berjudul At Taujihu Ghairul Mubasyir (Bimbingan secara tidak langsung).

Metoda ini perlu dipraktekkan, walaupun tidak mutlak. Misalnya, ketika melihat banyak kebidahan yang dilakukan oleh seorang ustadz di suatu majelis pengajian, maka kita tanyakan pendapatnya dengan menyodorkan buku yang menerangkan kebidahan-kebidahan yang dilakukannya. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam pun kadang mempraktekkan metoda ini. Diantaranya ketika hendak menegur, beliau Shallallahu Alaihi Wasallam tidak menyebutkan orangnya langsung, tetapi hanya mengatakan: Ada suatu kaum Hal ini kita praktekkan meskipun tidak mutlak.

Pada kasus tertentu, mungkin harus menyebutkan orangnya. Akan tetapi, jika cukup dengan cara tidak langsung, maka kita lakukan yang seperti itu.Dalam shahih Muslim Nabi Shallallahu Alaihi Wasallamn pernah mengatakan,Seseorang telah bershadaqah dengan dinarnya, seseorang telah bershadaqah dengan dirhamnya. Kata-kata yang dipakai menggunakan gaya bahasa bentuk lampau, padahal maksudnya perintah sebagaimana disebutkan oleh As Sindi rahimahullah dalam penjelasannya atas sunan An Nasai. Para shahabat langsung memahami maksudnya yaitu perintah untuk bershadaqah. Sehingga salah seorang shahabat pulang untuk mengambil hartanya, dan yang lain pun mengikutinya.

Jika seorang kakak menyuruh kepada adiknya dengan perintah-perintah,Dik, bawakan ini, ambilkan itu !, dan lain sebagainya, maka itu bisa membuat sang adik jengkel, walaupun yang memerintahnya ialah kakaknya. Sang adik bisa beranggapan, bahwa seolah-olah dirinya sebagai bawahan yang harus selalu menuruti perintah bosnya, yaitu kakaknya tadi. Jika saja sang kakak mengatakan,Dik, kakak tidak kuat mengangkat barang ini sendirian, atau, Dik, kakak sedang banyak tugas dan ibu tidak ada yang mengantar belanja, maka mungkin sang adik bisa dengan senang hati membantu. Karena permintaannya menggunakan bahasa tidak langsung yang halus. Hal itu boleh kita lakukan, selama tidak bertentangan dengan syariat. Bisa membuat hubungan yang akrab tetap terjaga. Demikian juga dalam berteman. Diusahakan jangan ada bahasa-bahasa yang berkesan memaksa, sehingga hubungan dapat tetap terjaga baik.

Ketiga. Manusia tidak suka kepada orang yang selalu memojokkannya dengan kesalahan-kesalahannya.

Yang dimaksud dengan kesalahan-kesalahan disini, yaitu kesalahan yang tidak fatal; bukan kesalahan yang besar semisal penyimpangan dalam aqidah. Karena manusia adalah makhluk yang banyak memiliki kekurangan-kekurangan pada dirinya.

Dalam menilai seseorang, kita dituntut untuk bersikap adil. Tidak boleh hanya melihat sisi negatifnya, dan melupakan sisi positifnya, tetapi harus secara keseluruhan; baik kepada isteri, atasan, orang tua kita, teman dan sebagainya.

Pada kenyataannya, kadang-kadang penilaian kita terhadap seseorang hanya terfokus pada kesalahannya saja, tidak memandang sisi positifnya. Penilaian seperti itu membuat kita susah sendiri, karena tidak ada manusia yang bebas dari kekurangan. Dalam berteman pun kita akan mengalami kesulitan, jika mengharapkan teman yang sempurna. Hal ini pun merupakan fenomena yang bisa mengotori dakwah kita.

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alus Syaikh menjelaskan dalam ceramahnya, bahwa ada empat fenomena yang mengotori dakwah Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Pertama, memandang sesuatu hanya dari satu sisi. Yang dimaksud oleh beliau, yaitu dalam perkara-perkara ijtihadiyah. Dalam perkara ini ada keluasan bagi seseorang untuk mengambil pendapat yang diyakininya. Kita tidak bisa memaksakan pendapat atau pandangan kita terhadap orang lain, meskipun hal itu kita yakini pendapat yang benar. Selama itu merupakan perkara ijtihadiyah dan kita yakin, bahwa orang yang berbeda pendapat itu memiliki dalil -tidak berdasarkan hawa nafsu saja- maka kita harus menghormati. Biasanya orang yang jahil terhadap ilmu -yang berpendapat berdasarkan doktrin dari gurunya- tidak mau ada pendapat yang lain dari pendapatnya. Bahkan akan memusuhi orang yang berbeda pendapat dengannya dalam masalah ijtihadiyah. Kedua, istijal atau terburu-buru. Ketiga, taashub atau fanatik. Taashub ini bisa kepada madzhabnya, gurunya, maupun kelompoknya; sehingga menganggap kebenaran itu hanya datang dari golongannya saja, dan tidak mau menerima pendapat orang lain. Keempat, thalabul kamal atau menuntut kesempurnaan. Seseorang menuntut kesempurnaan dari orang lain, atau dari lembaga lain, sehingga dia tidak bisa menerima jika ada kekurangan pada orang lain atau lembaga lain. Jika ada kekurangan pada orang lain, maka akan dianggapnya sebagai musuh, atau menyimpang dari dakwah yang haq, bahkan memusuhinya.

Syaikh Shalih menjelaskan, bahwa selama seseorang atau suatu kaum berada di atas aqidah yang benar, atau masih dalam asas Ahlus Sunnah Wal Jamaaah, maka kita seharusnya saling nasihat-menasihati, saling mengingatkan antara satu sama lain. Bukan saling memusuhi. Begitu juga dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memberi petunjuk tentang hal ini, dengan sabdanya, artinya: Janganlah seorang mukmin membenci isterinya, karena jika dia tidak suka dengan satu akhlaqnya yang buruk, dia akan suka akhlaqnya lainnya yang baik.

Syaikh Utsaimin menjelaskan, walaupun dari hadits tersebut disebutkan kepada isteri, namun pada prakteknya bisa kepada selainnya; kepada teman atau orang lain.

Kita dituntut untuk tidak menilai seseorang dari sisi negatifnya saja; bahkan sisi positifnya harus kita pandang dan kita nilai juga. Misalnya kepada seorang ustadz -sebagai manusia biasa yang tidak lepas dari kekurangan. Jangan sampai ketika ustadz itu melakukan suatu kesalahan, kemudian menyebabkan kita meninggalkan halaqahnya, enggan mengambil manfaat dari ilmunya. Tidak mungkin kita mendapatkan seorang ustadz yang masum di dunia ini. Jika kita mengetahui sisi positifnya, maka ambil manfaatnya. Sebaliknya, jika ada sisi negatifnya atau kesalahan, maka kita bisa menegur dengan cara yang baik.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin pernah ditanya pendapatnya, tentang apa yang harus dilakukan seseorang jika mendapatkan gurunya salah dalam suatu pembahasan dalam masalah dien di kelas. Orang itu merasa yakin, bahwa gurunya keliru, dan pendapat dirinyalah yang benar.

Maka Syaikh menjawab, bahwa seorang guru itu seharusnya tidak marah jika dikritik oleh muridnya. Bahkan seharusnya berterima kasih, karena ada yang mengoreksi kesalahannya. Guru adalah manusia biasa, tidak lepas dari kesalahan. Akan tetapi perlu diperhatikan, bahwa seharusnya seorang murid memiliki kecerdasan dalam metoda mengkritik gurunya itu. Dia tidak boleh secara langsung menegur atau menyalahkan gurunya di depan kelas. Akan tetapi hendaklah mendatangi gurunya tersebut, dan menyampaikan kritik atau koreksinya secara empat mata dengan cara yang baik. Apabila sang guru menerima kritiknya maka, maka ia harus meralat kesalahannya di kelas, pada pertemuan berikutnya, walaupun tanpa menyebutkan bahwa si fulan telah memberikan koreksi. Apabila sang guru bersikeras dengan pendapatnya, sedangkan sang murid meyakini bahwa pendapat gurunya itu salah, barulah dia menyampikan kritiknya di hadapan murid-murid yang lain, di depan kelas.

Sering terjadi di kampus-kampus atau di sekolah-sekolah, seorang murid langsung mengkritik gurunya di depan kelas, sehingga mengakibatkan gurunya itu merasa tersinggung atau muncul egonya. Karena khawatir dianggap tidak menguasai materi yang diajarkannya, sehingga tidak menerima kritik muridnya itu dan tetap mempertahankan kesalahannya, walaupun dia mengetahui dirinya salah. Hal ini disebabkan metoda yang salah dalam mengkritik atau menegur. Oleh karena itu kita harus memperbaiki metoda dalam menegur orang lain, supaya kita tidak menjadi orang yang membantu syetan dalam menjerumuskan manusia kepada kesalahan, hanya karena metoda yang salah.

Dalam satu pepatah dikatakan,Saya menangis disebabkan Amr. Ketika saya meninggalkannya dan mencoba bergaul dengan orang lain, saya menangisi Amr. Maksudnya, seseorang mempunyai teman bernama Amr yang mengecewakan dia dalam suatu masalah. Lalu dia memutuskan hubungan dengannya dan tidak mau berteman lagi dengan Amr. Dia meninggalkannya untuk kemudian bergaul dengan orang lain. Tetapi ia menjadi menyesal, karena telah meninggalkan Amr. Penyebabnya, karena teman-temannya yang sekarang itu, ternyata jauh lebih jahat daripada Amr. Dia telah terburu-buru memutuskan hubungan dengan Amr -temannya itu- disebabkan satu kesalahan yang dilakukan olehnya, tanpa menilai dengan adil.

Dalam kehidupan ini, kita membutuhkan orang lain. Janganlah merasa, bahwa orang lainlah yang membutuhkan kita. Ingatlah, karena jika sendirian, kita akan lemah. Sebaliknya, kita akan kuat jika ada teman untuk saling menasihati dalam kebenaran. Tetapi bukan berarti kita boleh berteman dengan sembarang orang. Al Imam Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan dalam kitab Mukhtashar Minhajul Qashidin, bahwa ada beberapa kriteria yang patut menjadi pedoman dalam memilih teman. Pertama,

aqidahnya benar. Kedua, akhlaqnya baik. Ketiga, bukan dengan orang yang tolol atau bodoh dalam hal berperilaku. Karena dapat menimpakan banyak mudharat. Tolol disini bukan dalam hal IQ-nya, tetapi dalam hal perilaku. Bisa saja seseorang itu cerdas, tetapi tolol dalam berperilaku dan merugikan orang lain. Keempat, bukan orang yang ambisius terhadap dunia atau bukan orang yang materialistis. Karena ambisi terhadap dunia merupakan sikap yang dapat merusak agama seseorang. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menjelaskan, bahwa dua ekor serigala lapar yang dilepaskan kepada seekor kambing tidaklah lebih besar kerusakannya, dibandingkan dengan kerusakan yang ditimbulkan akibat ambisi seseorang terhadap harta dan kemuliaan dunia atas agamanya. Al Imam Ibnu Rajab rahimahullah telah menulis sebuah buku yang khusus membahas hadits di atas.

Keempat. Manusia tidak suka kepada orang yang tidak pernah melupakan kesalahan orang lain.

Sebagai seorang muslim, kita harus bisa memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain atas diri kita. Tidak secara terus-menerus mengungkit-ungkit, apalagi menyebut-nyebutnya di depan orang itu. Siapa pun orangnya, apakah isteri, anak kita atau yang lainnya, pasti merasa tidak senang jika diungkit-ungkit atau diingat-ingat terus kesalahannya.

Banyak kitab yang membahas tentang sikap memaafkan orang lain; diantaranya dalam kitab Adabul Ishrah Wa Dzikris Shuhbah Wal Ukhuwah. Buku ini membahas tentang adab pergaulan, persahabatan dan persaudaraan. Juga bagaimana caranya, supaya mudah memaafkan orang lain yang telah berbuat salah terhadap kita.

Allah l berfirman dalam Al Quran, menyebutkan tentang keutamaan memaafkan orang lain. Diantaranya surat As Syura ayat 39-43, artinya: Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan dhalim, mereka membela diri. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa yang memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang dhalim. Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada suatu dosa pun atas mereka. Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat dhalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat adzab yang pedih. Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.

Ayat tersebut menunjukkan, bahwa memaafkan itu lebih utama. Walaupun membalas kejahatan itu dibolehkan asal dengan yang setimpal dan tidak melampaui batas, tetapi perbuatan memaafkan ini lebih utama. Memang terasa berat untuk mempraktekkannya.

Terkadang pada kondisi tertentu, membalas kejahatan itu bisa menjadi suatu keharusan atau lebih utama. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Syarh Riyadhus Shalihin menjelaskan, bahwa memaafkan dilakukan bila terjadi perbaikan atau ishlah dengan pemberian maaf itu. Jika tidak demikian, maka tidak memberi maaf dan membalas kejahatannya itu akan lebih baik.

Seseorang yang berbuat dhalim bukan hanya kepada diri kita saja, tetapi bahkan juga kepada masyarakat umum, jika diberi maaf, bisa jadi tidak membuatnya jera dari perilaku dhalimnya itu. Maka orang seperti itu, tidak diberi maaf, namun diberi balasan oleh orang yang mampu untuk membalasnya itu lebih baik. Maksudnya, agar orang tersebut mendapat pelajaran dan jera dari perbuatan dhalimnya.

Misalnya kepada orang yang suka suka ugal-ugalan di jalan. Jika menabrak orang, maka orang yang ugal-ugalan tersebut seharusnya tidak dimaafkan. Sebab jika dimaafkan, orang tersebut akan terus bersikap ugal-ugalan. Dalam kasus ini -dengan tidak dimaafkan- misalnya dengan menuntutnya atau meminta pertanggung-jawaban ganti rugi, diharapkan orang tersebut menjadi jera, tidak mengulangi perbuatannya lagi.

Jadi, walaupun pada asalnya memberi maaf itu lebih utama, namun bila hal itu menghasilkan mafsadat yang besar, maka yang paling baik ialah membalas dengan tidak berlebih-lebihan.

Syaikh Al Albani t menjelaskan dalam muqadimah Silsilah Al Hadits Al Dhaifah, bahwa terkadang beliau n berlaku keras terhadap yang membantahnya. Hal itu bukan berarti beliau n tidak suka dibantah atau dikritik. Malahan beliau n senang dikritik, bila orang yang mengkritiknya dirasa ikhlas dalam mengkritik. Akan tetapi, jika orang yang mengkritiknya itu mempunyai tendensi lain yang buruk, yang beliau n ketahui dari adanya indikasi-indikasi ke arah itu, maka beliau n membalas bantahan orang itu dengan keras. Jadi, walaupun secara umum hendaklah kita mudah memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain, namun hal itu tetap dilihat dari kondisi yang ada. Melihatnya secara kasus per kasus.

Kelima. Manusia tidak suka kepada orang yang sombong.

Nabi shallallahu alaihi wasallam telah bersabda,

"Tidak akan masuk surga, barangsiapa yang di dalam hatinya ada sifat sombong, walau sedikit saja

Seseorang bertanya,Bagaimana dengan seorang yang suka pakaiannya baik dan sandalnya baik pula? Beliau menjawab,

Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan, sombong itu menolak kebenaran dan merendahkan orang lain." (H.R.Muslim)

Bagi seorang muslim, seharusnya tidak ada sifat sombong. Tetapi sebaliknya, yang ada yaitu sifat tawadhu dan rendah hati. Seseorang yang sombong, dalam pergaulan tidak akan disenangi orang lain. Bahkan lebih dari itu, orang yang sombong tidak akan disukai oleh Allah l .

Oleh karena itu, kita harus berusaha menjadi orang yang tawadhu atau rendah hati. Karena orang yang demikian akan ditinggikan derajatnya oleh Allah l . Sebaliknya, bagi orang yang sombong, ia diancam akan menempati neraka, dibenci Allah l , dan juga dibenci manusia.

Ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan manusia menjadi sombong. Pertama, harta atau uang bisa menyebabkan kesombongan bagi pemiliknya. Yaitu dapat menyebabkan manusia memandang sebelah mata kepada orang yang tidak berpunya. Mereka juga akan menilai seseorang dari kacamata materi. Tentunya, pandangan seperti ini tidak dibenarkan oleh dien. Kedua, ilmu, baik berupa ilmu dien ataupun ilmu umum. Terkadang seseorang yang mempelajari ilmu dien menjadi sombong, karena merasa memiliki kelebihan dibanding orang lain. Misalnya, seseorang yang aktif mengikuti ta'lim (kajian) memandang remeh terhadap orang yang tidak mengaji, dengan tidak mau memberi salam kepadanya, dan hanya menyalami teman satu pengajiannya saja. Padahal mungkin saja, orang itu lebih baik dari dia. Oleh karena itu, sikap merasa lebih pintar dari orang lain harus dibuang jauh-jauh dari diri kita. Ketiga, nasab atau keturunan. Manusia bisa menjadi sombong karena merasa dirinya lebih tinggi derajatnya atau lebih mulia daripada orang lain. Dia membangga-banggakan keturunannya dan merendahkan keturunan atau nasab orang lain. Hal ini termasuk perbuatan jahiliyah yang telah diperingatkan Nabi n .

Sifat sombong merupakan penyakit hati. Bisa menimpa siapa saja. Kita harus menyadari, bahwa tidak layak seseorang itu berlaku sombong.

Harta seseorang tidak akan bermanfaat di hadapan Allah l . Dalam Al Quran dijelaskan, bahwa di akhirat nanti, harta seseorang sedikitpun tidak bisa bermanfaat untuk menolak azab Allah k . Oleh karena itu, tidak layak kita sombong dengan sesuatu yang tidak bisa mengangkat derajat kita di hadapan Allah k .

Demikian pula ilmu yang dipelajari, ibadah dan da'wah kita; bukanlah sesuatu yang menyebabkan kita layak untuk sombong. Apabila seseorang mempelajari ilmu bukan dengan ikhlas karena Allah -