ACTION OF ETHYL METHANE SULPHONATE (EMS)

53
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) merupakan salah satu tanaman hortikultura dari famili Solanaceae yang memiliki nilai ekonomi tinggi (Cahyono, 2003). Cabai rawit digunakan sebagai bumbu masakan dan bahan obat (Heyne, 1987). Menurut Rukmana (2002), secara umum buah cabai rawit mengandung zat gizi antara lain lemak, protein, karbohidrat, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, B1, B2, C dan senyawa alkaloid seperti capsaicin, oleoresin, flavanoid dan minyak esensial. Kandungan tersebut banyak dimanfaatkan sebagai bahan bumbu masak, ramuan obat tradisional, industri pangan dan pakan unggas. Produktivitas cabai rawit di Indonesia rata-rata masih rendah. Pada tahun 2009 produksi cabai rawit 5,07 ton/ha, pada tahun 2010 turun menjadi 4,56 ton/ha, dan pada tahun 2011 produksi menjadi 5,01 ton/ha (Biro Pusat Statistik, 2011). Kendala yang menyebabkan rendahnya produktivitas cabai di Indonesia adalah gangguan hama dan penyakit (Semangun, 2000). Beberapa jenis penyakit yang dominan menyerang cabai adalah antraknosa, layu bakteri dan virus (Syukur et al., 2009). Penyakit kuning, penyakit bulai dan penyakit kerdil yang disebabkan oleh virus gemini merupakan penyakit utama yang menyebabkan rendahnya produktivitas cabai di Indonesia (Sudiono et al., 2005). Perbaikan genetik merupakan salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk peningkatan produktivitas cabai rawit. Tahap awal dalam perbaikan genetika

Transcript of ACTION OF ETHYL METHANE SULPHONATE (EMS)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) merupakan salah satu tanaman

hortikultura dari famili Solanaceae yang memiliki nilai ekonomi tinggi (Cahyono,

2003). Cabai rawit digunakan sebagai bumbu masakan dan bahan obat (Heyne,

1987). Menurut Rukmana (2002), secara umum buah cabai rawit mengandung zat

gizi antara lain lemak, protein, karbohidrat, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, B1,

B2, C dan senyawa alkaloid seperti capsaicin, oleoresin, flavanoid dan minyak

esensial. Kandungan tersebut banyak dimanfaatkan sebagai bahan bumbu masak,

ramuan obat tradisional, industri pangan dan pakan unggas.

Produktivitas cabai rawit di Indonesia rata-rata masih rendah. Pada tahun

2009 produksi cabai rawit 5,07 ton/ha, pada tahun 2010 turun menjadi 4,56

ton/ha, dan pada tahun 2011 produksi menjadi 5,01 ton/ha (Biro Pusat Statistik,

2011). Kendala yang menyebabkan rendahnya produktivitas cabai di Indonesia

adalah gangguan hama dan penyakit (Semangun, 2000). Beberapa jenis penyakit

yang dominan menyerang cabai adalah antraknosa, layu bakteri dan virus (Syukur

et al., 2009). Penyakit kuning, penyakit bulai dan penyakit kerdil yang disebabkan

oleh virus gemini merupakan penyakit utama yang menyebabkan rendahnya

produktivitas cabai di Indonesia (Sudiono et al., 2005).

Perbaikan genetik merupakan salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk

peningkatan produktivitas cabai rawit. Tahap awal dalam perbaikan genetika

2

tanaman adalah perluasan keragaman genetik tanaman untuk memudahkan seleksi

tanaman unggul (Hidayat, 1994).

Pemuliaan mutasi merupakan metode yang banyak digunakan sebagai

upaya untuk mendapatkan keragaman genetik tanaman saat ini. Bahan mutagen

yang sering digunakan dalam penelitian pemuliaan tanaman yaitu mutagen kimia,

misalnya seperti Ethyl Methane Sulphonate (EMS), Diethyl Sulphate (DES),

Methyl Methane Sulphonate (MMS), nitrous acids dan sebagainya (IAEA, 1977).

EMS paling banyak digunakan karena sering menghasilkan mutan yang

bermanfaat dan tidak bersifat mutagenik setelah terhidrolisis (Van Harten, 1998).

Senyawa EMS merupakan senyawa alkil yang mengubah guanin menjadi 7-

etilguanin yang berpasangan dengan timin (Chopra, 2005). Senyawa ini banyak

digunakan untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman dan perbaikan

kualitas tanaman. Beberapa penelitian melaporkan EMS menghasilkan

peningkatan keragaman dan menghasilkan mutan, misalnya dihasilkan mutan

pisang yang resisten terhadap virus (Imelda et al., 2000). Mutagen EMS juga

menyebabkan peningkatan keragaman varian abaka dan berhasil mendapatkan

mutan yang tahan terhadap penyakit layu Fusarium (Purwati et al., 2007, Purwati

et al., 2008).

Keberhasilan mutasi dengan mutagen kimia pada tiap tanaman tergantung

pada konsentrasi dan lama perendaman yang digunakan (Yanti, 2007). Menurut

Alcantara et al., (1996) EMS yang digunakan pada kisaran konsentrasi 0,5%

sampai 1,5% dan lama perendaman 3 - 9 jam dapat menghasilkan mutan pada

cabai besar. Jabeen dan Mirza (2004) yang melakukan induksi mutasi pada cabai

3

besar dengan EMS, menghasilkan mutan kerdil dengan tingkat dewasa bervariasi

dari lambat ke cepat yaitu pada konsentrasi 0,5% dengan lama perendaman 6 jam.

Konsentrasi 1% dengan lama perendaman 6 jam pada cabai besar menghasilkan

11,2% bibit cabai yang memiliki daun yang menyatu (Pharmawati et al., 2013).

Penelitian mengenai aksi mutagen EMS pada cabai rawit dilakukan untuk

mengamati pengaruh pemberian mutagen 1% EMS melalui perbedaan lama

perendaman benih terhadap morfologi, fisiologi dan reproduktif tanaman cabai

rawit.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang timbul adalah

1. Bagaimanakah aksi EMS 1% dengan lama perendaman 6 jam, 9 jam dan

12 jam pada morfologi tanaman yang meliputi tinggi tanaman dan jumlah

cabang ?

2. Bagaimanakah aksi EMS 1% dengan lama perendaman 6 jam, 9 jam dan

12 jam pada aspek fisiologi yaitu kandungan klorofil ?

3. Bagaimanakah aksi EMS 1% dengan lama perendaman 6 jam, 9 jam dan

12 jam pada aspek reproduktif seperti viabilitas polen, umur 50% tanaman

berbunga, umur 50% tanaman berbuah, jumlah bunga dan jumlah total

buah ?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan menguji aksi EMS 1% dengan lama perendaman 6

jam, 9 jam dan 12 jam pada morfologi, fisiologi dan reproduktif tanaman cabai

rawit.

4

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian adalah memberikan informasi aksi EMS 1% dengan

lama perendaman 6 jam, 9 jam dan 12 jam pada morfologi, fisiologi dan

reproduktif tanaman. Selanjutnya jika diperoleh tanaman dengan karakter yang

menguntungkan, maka dapat digunakan dalam program pemuliaan tanaman.

5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.)

Tanaman cabai rawit tergolong dalam famili terung-terungan

(Solanaceae). Cabai rawit berasal dari Meksiko, Peru dan Bolivia, tetapi

sudah tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia (Cahyono, 2003).

Menurut Rukmana (2002), jenis cabai rawit yang sering ditanam adalah

sebagai berikut:

a. Cabai Kecil

Jenis cabai kecil atau sering disebut cabai jemprit. Cabai jenis ini

memiliki karakteristik ukuran buah kecil, panjang 2 - 2,5 cm dan lebar 5

mm, serta berat 0,65 g/buah. Pada saat masih muda, buah berwarna hijau

dan pada saat masak berubah menjadi merah (Rukmana, 2002).

Gambar 2.1. Jenis Cabai Rawit Kecil (Cahyono, 2003)

b. Cabai Ceplik

Cabai ceplik atau cabai hijau memiliki panjang 3 – 3,5 cm dan lebar 11

mm, serta berat 1,4 g/buah. Pada waktu masih muda, buah berwarna hijau

5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.)

Tanaman cabai rawit tergolong dalam famili terung-terungan

(Solanaceae). Cabai rawit berasal dari Meksiko, Peru dan Bolivia, tetapi

sudah tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia (Cahyono, 2003).

Menurut Rukmana (2002), jenis cabai rawit yang sering ditanam adalah

sebagai berikut:

a. Cabai Kecil

Jenis cabai kecil atau sering disebut cabai jemprit. Cabai jenis ini

memiliki karakteristik ukuran buah kecil, panjang 2 - 2,5 cm dan lebar 5

mm, serta berat 0,65 g/buah. Pada saat masih muda, buah berwarna hijau

dan pada saat masak berubah menjadi merah (Rukmana, 2002).

Gambar 2.1. Jenis Cabai Rawit Kecil (Cahyono, 2003)

b. Cabai Ceplik

Cabai ceplik atau cabai hijau memiliki panjang 3 – 3,5 cm dan lebar 11

mm, serta berat 1,4 g/buah. Pada waktu masih muda, buah berwarna hijau

5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.)

Tanaman cabai rawit tergolong dalam famili terung-terungan

(Solanaceae). Cabai rawit berasal dari Meksiko, Peru dan Bolivia, tetapi

sudah tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia (Cahyono, 2003).

Menurut Rukmana (2002), jenis cabai rawit yang sering ditanam adalah

sebagai berikut:

a. Cabai Kecil

Jenis cabai kecil atau sering disebut cabai jemprit. Cabai jenis ini

memiliki karakteristik ukuran buah kecil, panjang 2 - 2,5 cm dan lebar 5

mm, serta berat 0,65 g/buah. Pada saat masih muda, buah berwarna hijau

dan pada saat masak berubah menjadi merah (Rukmana, 2002).

Gambar 2.1. Jenis Cabai Rawit Kecil (Cahyono, 2003)

b. Cabai Ceplik

Cabai ceplik atau cabai hijau memiliki panjang 3 – 3,5 cm dan lebar 11

mm, serta berat 1,4 g/buah. Pada waktu masih muda, buah berwarna hijau

6

dan berubah menjadi merah pada saat matang. Rasa buah pedas, tetapi

masih kurang pedas jika dibandingkan dengan cabai kecil dan cabai putih

(Rukmana, 2002).

Gambar 2.2 Jenis Cabai Rawit Ceplik (Cahyono, 2003)

c. Cabai Putih

Cabai putih memiliki ciri – ciri buah berbentuk bulat agak lonjong dan

berukuran panjang 3 cm serta berat rata – rata 2,5 g/buah. Buah yang

muda memiliki rasa yang kurang pedas, namun buah yang matang

memiliki rasa pedas (Rukmana, 2002).

Gambar 2.3 Jenis Cabai Rawit Putih (Cahyono, 2003)

2.1.1 Kandungan Gizi dan Manfaat Cabai Rawit

Buah cabai rawit mengandung zat-zat gizi yang cukup lengkap, yakni

protein, lemak, karbohidrat, mineral (kalsium, fosfor dan besi), vitamin A,

6

dan berubah menjadi merah pada saat matang. Rasa buah pedas, tetapi

masih kurang pedas jika dibandingkan dengan cabai kecil dan cabai putih

(Rukmana, 2002).

Gambar 2.2 Jenis Cabai Rawit Ceplik (Cahyono, 2003)

c. Cabai Putih

Cabai putih memiliki ciri – ciri buah berbentuk bulat agak lonjong dan

berukuran panjang 3 cm serta berat rata – rata 2,5 g/buah. Buah yang

muda memiliki rasa yang kurang pedas, namun buah yang matang

memiliki rasa pedas (Rukmana, 2002).

Gambar 2.3 Jenis Cabai Rawit Putih (Cahyono, 2003)

2.1.1 Kandungan Gizi dan Manfaat Cabai Rawit

Buah cabai rawit mengandung zat-zat gizi yang cukup lengkap, yakni

protein, lemak, karbohidrat, mineral (kalsium, fosfor dan besi), vitamin A,

6

dan berubah menjadi merah pada saat matang. Rasa buah pedas, tetapi

masih kurang pedas jika dibandingkan dengan cabai kecil dan cabai putih

(Rukmana, 2002).

Gambar 2.2 Jenis Cabai Rawit Ceplik (Cahyono, 2003)

c. Cabai Putih

Cabai putih memiliki ciri – ciri buah berbentuk bulat agak lonjong dan

berukuran panjang 3 cm serta berat rata – rata 2,5 g/buah. Buah yang

muda memiliki rasa yang kurang pedas, namun buah yang matang

memiliki rasa pedas (Rukmana, 2002).

Gambar 2.3 Jenis Cabai Rawit Putih (Cahyono, 2003)

2.1.1 Kandungan Gizi dan Manfaat Cabai Rawit

Buah cabai rawit mengandung zat-zat gizi yang cukup lengkap, yakni

protein, lemak, karbohidrat, mineral (kalsium, fosfor dan besi), vitamin A,

7

B1, B2 dan C (Rukmana, 2002). Cabai rawit mengandung zat oleoresin dan

zat aktif capsaicin yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit rematik,

obat batuk berdahak, sakit gigi, masuk angin, asma serta mencegah infeksi

sistem pencernaan (Wijayakusuma, 1992).

Menurut Heyne (1987), cabai rawit banyak digunakan sebagai bumbu

dapur seperti sambal, saus, asinan dan produksi makanan kaleng. Selain

digunakan sebagai penyedap masakan, juga dapat digunakan untuk industri

pewarna bahan makanan, bahan campuran pada berbagai industri pengolahan

makanan dan minuman.

2.1.2 Syarat Tumbuh Tanaman Cabai Rawit

Tanaman cabai rawit termasuk tanaman semusim yang tumbuh

sebagai perdu dengan tinggi tanaman mencapai 1,5 m. Tanaman dapat

ditanam di lahan kering (tegalan) dan di lahan basah (sawah). Kondisi

lingkungan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi cabai

rawit. Keadaan iklim dan tanah merupakan dua hal pokok yang harus

diperhatikan dalam menentukan lokasi penanaman cabai rawit (Pijoto, 2003).

Tanaman cabai rawit memerlukan tanah yang memiliki tekstur lumpur

berpasir atau liat berpasir, dengan struktur gembur. Selain itu, tanah harus

mudah mengikat air, memiliki solum yang dalam (minimal 1m), memiliki

daya menahan air yang cukup baik, tahan terhadap erosi dan memiliki

kandungan bahan organik tinggi (Setiadi, 1987). Tanaman cabai rawit

memerlukan derajat keasaman (pH) tanah antara 6,0 – 7,0 (pH optimal 6,5)

dan memerlukan sinar matahari penuh (tidak memerlukan naungan). Dapat

8

tumbuh dan berproduksi dengan baik, tanaman cabai rawit memerlukan

kondisi iklim dengan 0-4 bulan basah dan 4-6 bulan dalam satu tahun dan

curah hujan berkisar antara 600 mm-1.250 mm per tahun. Kelembaban udara

yang cocok untuk tanaman cabai rawit adalah 60% -80%. Agar dapat tumbuh

dengan baik dan bereproduksi tinggi, tanaman cabai rawit memerlukan suhu

udara rata-rata tahunan berkisar antara 180C-300C (Cahyono, 2003).

2.2 Mutasi

Mutasi adalah perubahan pada materi genetik suatu organisme yang

terjadi secara tiba-tiba, acak dan merupakan dasar bagi sumber variasi

organisme hidup yang bersifat terwariskan (Van Harten, 1998).

Berdasarkan tempat terjadinya mutasi dibedakan menjadi mutasi gen

dan mutasi kromosom. Mutasi gen adalah perubahan urutan basa pada DNA

yang mengakibatkan terjadinya perubahan kodon dan akhirnya merubah

urutan asam amino pada polipeptida yang terbentuk.

Mutasi kromosom adalah perubahan jumlah kromosom dan susunan

atau urutan gen dalam kromosom (Brookes, 1998). Mutagen kimia yang

menyebabkan mutasi kromosom antaralain: kolkisin, zat digitonin, nitrous

acids dan hidroksil-amina.

Menurut Zhu et al., (2006), mutasi dapat terjadi secara spontan

ataupun melalui induksi. Kedua mutasi tersebut dapat menimbulkan variasi

genetik untuk dijadikan dasar seleksi tanaman, baik seleksi secara alami

maupun buatan (pemuliaan). Teknik mutasi dalam bidang pemuliaan dapat

meningkatkan keragaman genetik tanaman sehingga memungkinkan pemulia

9

melakukan seleksi genotipe tanaman sesuai dengan tujuan pemuliaan yang

dikehendaki (Al-Qurainy dan Khan, 2009). Mutasi induksi dapat dilakukan

pada tanaman dengan perlakuan mutagen tertentu terhadap biji, serbuk sari,

kultur jaringan dan sebagainya (Mahandjiev et al.,2001). Salah satu mutagen

yang sering digunakan dalam penelitian tanaman dengan induksi mutasi

adalah mutagen kimia Ethyl Methane Sulphonate (EMS) (Soeranto, 2003).

2.3 Mutagen Ethyl Methane Sulphonate (EMS)

Ethyl Methane Sulphonate (EMS) merupakan senyawa alkil yang

dapat mengubah basa-basa DNA guanine menjadi 7-etilguanin yang

berpasangan dengan timin (Chopra, 2005). Mutagen kimia EMS paling

banyak digunakan karena mudah diperoleh, efektif menghasilkan mutan dan

tidak bersifat mutagenik setelah terhidrolisis (Van Harten, 1998).

Menurut Alcantara et al., (1996) mutagen EMS digunakan pada

kisaran konsentrasi 0,5% sampai 1,5%. Penggunaan EMS dapat memicu

terjadinya mutasi telah banyak dilaporkan, diantaranya untuk mendapatkan

tanaman pisang yang toleran banana bunchy top nanovirus (Imelda et al.,

2000), peningkatan keragaman Abaka serta resistensinya terhadap Fusarium

(Purwati et al., 2007, Purwati et al., 2008), serta tanaman paprika yang

memiliki serbuk sari dan buah yang tahan penyakit busuk buah (Ashok et al.,

1995). Jabeen dan Mirza (2002), melakukan penelitian induksi mutasi

dengan EMS pada tanaman cabai besar sehingga menghasilkan mutan-mutan

tanaman yang kerdil dengan tingkat dewasa bervariasi dari lambat ke cepat.

Dari hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa EMS adalah suatu mutagen

10

yang efektif dan dapat digunakan untuk menghasilkan mutan pada tanaman

cabai.

2.4 Perubahan-Perubahan yang Terjadi Akibat Mutasi

Perubahan yang terjadi pada morfologi tanaman akibat perlakuan EMS

seperti hasil penelitian pada tanaman kenaf yang menghasilkan jumlah cabang

yang banyak pada perlakuan EMS 0,7% pada perendaman 4 jam (Arumingtyas

dan Indriani, 2005), daun variegata pada Arabidopsis pada perlakuan 0,1 pada

perendaman 6 jam (Chen et al., 2000) dan hasil penelitian Jabeen dan Mirza

(2004) yang melakukan induksi mutasi pada cabai besar dengan EMS 0,5%

selama 6 jam, menghasilkan mutan kerdil.

Perlakuan EMS mengakibatkan beberapa perubahan yang terjadi pada

fisiologi tanaman antara lain, hasil penelitian Srivastava dan Jitendra (2012),

perlakuan EMS 0,5% dengan perendaman selama 3 jam, 5 jam dan 7 jam

menghasilkan kandungan klorofil tanaman safflower lebih rendah dibandingkan

kontrol. Kandungan terendah pada perlakuan perendaman selama 7 jam. Hasil

penelitian lainnya yaitu Pande et al., (2012) menyebutkan kombinasi perlakuan

mutagen sinar X 25 Kr dan EMS 0,5% pada bunga matahari mengalami

peningkatan klorofil (Pande et al., 2012).

Perlakuan EMS juga mengakibatkan perubahan pada genetika tanaman.

Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian tanaman pisang yang resisten terhadap

virus pada perlakuan EMS 0,7% dengan perendaman 5 jam (Imelda et al., 2000).

Penelitian tanaman paprika yang tahan penyakit busuk buah (Ashok et al., 1995).

11

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Cabai rawit merupakan salah satu komoditas sayuran yang penting di

Indonesia. Kebutuhan cabai rawit tinggi sedangkan produksi nasional tidak

mampu memenuhi permintaan yang selalu bertambah dari tahun ke tahun. Rata-

rata produksi cabai rawit nasional saat ini masih rendah, karena hama dan

penyakit (Biro Pusat Statistik, 2011).

Peningkatan produktivitas cabai rawit melalui pemuliaan tanaman,

diantaranya dengan induksi mutasi. Pemuliaan dengan induksi mutasi dapat

dilakukan dengan menggunakan mutagen kimia Ethyl Methane Sulphonate

(EMS). EMS merupakan mutagen yang sering digunakan dalam penelitian

tanaman dengan induksi mutasi. Keuntungan dari pemuliaan mutasi dengan

mutagen EMS adalah dapat merubah karakter tanaman cabai rawit seperti waktu

munculnya bibit, kelulushidupan tanaman, morfologi, fisiologi dan reproduktif

tanaman cabai rawit. Diharapkan dengan adanya kultivar unggul hasil induksi

mutasi maka produktivitas cabai rawit menjadi tinggi.

12

3.2 Konsep Penelitian

Gambar 3.1 Konsep Penelitian

3.3 Hipotesis:

Pemberian 1% EMS dengan lama perendaman 6 jam, 9 jam dan 12 jam

dapat menyebabkan perbedaan karakter morfologi, fisiologi dan reproduktif

tanaman cabai rawit.

Kebutuhan cabai

rawit tinggi

Produksi cabai rawit

masih rendah

Pemuliaan mutasi

Mutagen kimia

EMS

Karakter tanaman-Munculnya bibit

-Kelulushidupan

-Morfologi

-Fisiologi

- Reproduktif

Kultivar

unggul

Produktivitas

cabai rawit

tinggi

Perendaman EMS

1% selama 6 jam, 9

jam dan 12 jam

Seleksi

13

BAB IV

METODELOGI PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan percobaan dalam penelitian disusun berdasarkan rancangan

acak kelompok (RAK) satu faktor yang terdiri 4 perlakuan yaitu kontrol dan

perlakuan mutagen kimia EMS 1% dengan lama perendaman berbeda yaitu 6 jam,

9 jam dan 12 jam. Areal percobaan dibagi ke dalam 6 kelompok (ulangan),

masing-masing kelompok terdiri dari 4 petak percobaan sesuai dengan jumlah

perlakuan. Masing-masing perlakuan dan kontrol ditanam 40 bibit dan pada

masing-masing perlakuan diamati 6 tanaman (6 unit percobaan) yang ditentukan

secara acak. Keempat perlakuan percobaan ditentukan secara acak pada masing-

masing kelompok, seperti terlihat pada Gambar 4.1

Kelompok 1

Kelompok 2

K K K K K

K K K KK

P6 P6 P6 P6 P6

P6 P6 P6 P6 P6

P12 P12 P12 P12 P12

P12 P12 P12 P12 P12

P9 P9 P9 P9 P9

P9 P9 P9 P9 P9

P12 P12 P12 P12 P12

P12 P12 P12 P12 P12

K K K K K

K K K K K

P9 P9 P9 P9 P9

P9 P9 P9 P9 P9

P6 P6 P6 P6 P6

P6 P6 P6 P6 P6

14

Kelompok 3

Kelompok 4

Kelompok 5

Kelompok 6

Gambar 4.1 Denah Percobaan

Keterangan: K = kontrol (0% EMS)

P 6 = lama perendaman 6 jam dalam EMS 1%

P 9 = lama perendaman 9 jam dalam EMS 1%

P 12 = lama perendaman 12 jam dalam EMS 1%

P12

P12P12 P12

P12 P12

P12P12

P12 P12

P12

P12

P12

P12

P12P12

P12

P12

P12P12

P9 P9 P9 P9 P9

P9 P9 P9 P9 P9

P6

P12 P12 P12 P12

P12 P12 P12 P12P12

P12

P6 P6 P6 P6

P6 P6 P6 P6 P6

K K K KK

K K K K K

P6 P6 P6 P6 P6

P6 P6 P6 P6 P6

P9 P9 P9 P9 P9

P9 P9 P9 P9 P9

K K K K K

K K K K K

P12 P12 P12 P12 P12

P12 P12 P12 P12 P12

K K K K K

K K K KK

P6 P6 P6 P6 P6

P6 P6 P6 P6 P6

P9 P9 P9 P9 P9

P9 P9 P9 P9 P9

K K K K K

K K K K K

P9 P9 P9 P9 P9

P9 P9 P9 P9 P9

P6 P6 P6 P6 P6

P6 P6 P6 P6 P6

15

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Tahap pembuatan larutan, pemberian perlakuan benih cabai rawit dan

pengamatan viabilitas polen dan pengujian kandungan klorofil dilakukan di

Laboratorium Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

Universitas Hindu Indonesia. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Ilmu

Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana. Penanaman dan pengamatan

morfologi tanaman cabai rawit dilakukan di Banjar Sigaran Desa Mekar Bhuana,

Abiansemal. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Desember 2012 -Juni 2013.

4.3 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dibatasi hanya pada respon tanaman hasil perendaman benih

dengan EMS 1%. Respon yang diamati yaitu munculnya bibit, kelulushidupan

tanaman cabai rawit, karakter morfologi, fisiologi dan reproduktif tanaman cabai

rawit. Munculnya bibit meliputi persentase jumlah bibit yang muncul, sedangkan

kelulushidupan tanaman meliputi persentase tanaman yang mampu hidup pada

umur 12 MST dan 24 MST setelah tanam. Karakter morfologi meliputi tinggi

tanaman dan jumlah cabang. Pengamatan karakter morfologi yaitu tinggi tanaman

dilakukan pada 4 minggu setelah tanam (MST), 10 MST dan 20 MST, sedangkan

pengamatan jumlah cabang dilakukan pada 10 MST dan 20 MST. Karakter

fisiologi meliputi kandungan klorofil daun, sedangkan karakter reproduktif

meliputi: viabilitas polen, umur 50% tanaman berbunga, umur 50% tanaman

berbuah serta jumlah bunga pada 10 MST dan 20 MST sedangkan jumlah total

buah pada 24 MST.

16

4.4 Penentuan Sumber Data

Populasi yang digunakan dalam penelitian adalah cabai rawit. Ada

perbedaan dalam pengambilan jumlah sampel pada masing-masing variabel.

Munculnya bibit digunakan 480 sampel benih cabai rawit. Pengamatan karakter

morfologi diamati 144 tanaman. Karakter fisiologi masing-masing kelompok

diambil perwakilan 3 tanaman dari tiap perlakuan pada tiap ulangan secara acak.

Karakter reproduktif umur 50% tanaman berbunga, umur 50% tanaman berbuah,

jumlah bunga dan jumlah total buah diamati seluruh sampel. Pengamatan

viabilitas polen masing-masing kelompok diambil perwakilan 2 tanaman dari tiap

perlakuan pada tiap ulangan secara acak dan diamati 3 bunga dari masing- masing

tanaman tersebut.

4.5 Variabel Penelitian

Variabel bebas dalam penelitian adalah lama perendaman benih 6 jam, 9

jam dan 12 jam dalam EMS 1%. Variabel tergantungnya adalah respon tanaman

yaitu persentase munculnya bibit, persentase kelulushidupan, karakter morfologi,

fisiologi dan reproduktif tanaman cabai rawit.

4.5.1 Persentase Munculnya Bibit

Variabel yang diamati untuk mengetahui persentase munculnya bibit cabai

rawit diamati setiap hari setelah semai sampai memiliki 2 daun.

4.5.2 Persentase Kelulushidupan Tanaman Cabai Rawit

Variabel yang diamati untuk mengetahui kemampuan hidup tanaman

cabai rawit adalah persentase tanaman yang hidup setelah 6 bulan.

17

4.5.3 Morfologi Tanaman Cabai Rawit

Variabel yang diamati pada karakter morfologi tanaman cabai rawit

adalah tinggi tanaman dan jumlah cabang setelah perlakuan EMS 1% dengan lama

perendaman yaitu 6 jam, 9 jam dan 12 jam.

4.5.4 Fisiologi Tanaman Cabai Rawit

Variabel yang diamati untuk mengamati fisiologi tanaman cabai rawit

adalah kandungan klorofil daun tanaman cabai rawit, pada umur 5 minggu setelah

perlakuan EMS 1% dengan lama perendaman yaitu 6 jam, 9 jam dan 12 jam.

4.5.5 Reproduktif Tanaman Cabai Rawit

Variabel yang diamati dalam karakter reproduktif tanaman cabai besar

adalah viabilitas polen, umur 50% tanaman berbunga dan umur 50% tanaman

berbuah, jumlah bunga serta jumlah total buah cabai rawit setelah perlakuan EMS

1% dengan lama perendaman yaitu 6 jam, 9 jam dan 12 jam.

4.5.6. Hubungan Antar Karakter

Hubungan antar karakter yang meliputi interaksi tinggi tanaman dengan

jumlah cabang dan jumlah cabang dengan jumlah bunga dilakukan dengan

memplot karakter-karakter tersebut pada sumbu x dan y dan menganalisis

korelasinya dengan analisis korelasi Pearson. Menurut Sugiyono (2005), kriteria

yang digunakan untuk menentukan interprestasi koefisien korelasi adalah sebagai

berikut :

r = 0,000-0,199 = Korelasi yang sangat rendah

r = 0,200-0,399 = Korelasi yang rendah

r = 0,400-0,599 = Korelasi yang sedang

18

r = 0,600-0,799 = Korelasi yang kuat

r = 0,800-1,000 = Korelasi yang sangat kuat

4.6 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah benih cabai rawit

Capsicum frutescens L. ‘Bhaskara’ yang diproduksi PT. BISI Internasional Tbk

yang diperoleh dari toko pertanian di Denpasar, Ethyl Methane Sulphonate

(EMS), akuades, buffer fosfat pH 7, air, aceton 80%, tanah dicampur bahan

organik dengan perbandingan 2:1, pupuk NPK, insektisida, zat warna 2% aceto-

carmine dan label.

4.7 Instrumen Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian adalah pinset, tabung reaksi,

penggaris, pensil, labu takar, alat-alat pertanian, gelas ukur, spektrofotometer,

mikroskop, timbangan analitik, pipet tetes, mikropipet, sentrifuge, pipet tip,

mortar, kaca penutup, gelas ukur, pH meter dan kamera.

4.8 Prosedur Penelitian

4.8.1 Pembuatan Buffer Fosfat dan Pembuatan 1% EMS

Pembuatan 1M buffer fosfat pH 7 dilakukan dengan cara

mencampurkan 70 ml 1M K2HPO4 dengan 20 ml 1M KH2PO4 lalu pH diukur

sampai mencapai pH 7. Jika pH belum mencapai nilai 7, maka ditambahkan

dengan KH2PO4. Konsentrasi buffer fosfat yang digunakan untuk melarutkan

EMS adalah 0,1M. Untuk membuat buffer fosfat pH 7 dengan konsentrasi

0.1M, maka dilakukan pengenceran 10 x dari buffer fosfat 1M (Koethoff et

19

al., 1989). Selanjutnya 1% EMS dibuat dengan cara mengambil 0,05 ml EMS

dan dijadikan 5 ml dengan buffer fosfat pH 7.

4.8.2 Pembuatan Zat Warna 2% Aceto-carmine

Zat warna aceto-carmine dibuat dengan cara melarutkan 0,5 gram

carmine bubuk dilarutkan dalam 25 ml asam asetat 45%. Selanjutnya diaduk

dengan batang pengaduk sampai tercampur. Kemudian dipanaskan hingga

mendidih, didinginkan, kemudian disaring dengan kertas saring (Koethoff et

al., 1989).

4.8.3. Pengolahan Lahan

Tanah digemburkan dengan cara dicangkul, kemudian dibuat

bedengan dengan ukuran lebar 90 cm – 120 cm. Pembuatan parit atau saluran

irigasi dengan ukuran 40 cm. Pemupukan dasar yaitu dengan pupuk kandang,

berupa kotoran babi disebarkan secara merata pada permukaan tanah

bedengan. Dosis pupuk kandang yang diberikan adalah 15 ton/ha lahan. Selain

itu, ditambahkan pupuk NPK (1:1:1) sebanyak 180 kg/ha. Kemudian

bedengan tersebut ditutup plastik mulsa.

4.8.4. Perlakuan Pemberian EMS dan Penyemaian

Perlakuan pemberian EMS dilakukan terhadap benih berdasarkan

metode dari Alcantara et al., (2004). Benih cabai rawit direndam dalam air

selama 6 jam, selanjutnya direndam EMS 1% yang dilarutkan dalam buffer

fosfat pH 7, selama 6 jam, 9 jam dan 12 jam. Sebagai kontrol benih

direndam dalam buffer fosfat pH 7. Perendaman dilakukan pada suhu ruang.

20

Benih-benih yang telah diperlakukan dicuci dengan air mengalir

selama 30 menit untuk menghilangkan sisa-sisa mutagen yang menempel pada

benih. Selanjutnya benih-benih tersebut disemaikan dalam bumbungan yang

terbuat dari kertas.

4.8.5. Penanaman di Lapang

Setelah memiliki 2 daun, bibit dipindahkan ke bedengan.

Pemeliharaan tanaman dilakukan sesuai dengan anjuran budidaya tanaman

cabai rawit (Cahyono, 2003). Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 50 x

60 cm untuk dataran rendah dan 60 x 75 cm untuk dataran tinggi. Tanaman disiram

setiap hari, diberikan pupuk NPK. Pemupukan dilakukan 4 MST, pemupukan

susulan kedua dilakukan 10 MST dan pemupukan susulan ketiga dilakukan 16

MST. Penggunan insektisida sesuai kondisi tanaman. Tanaman cabai rawit

dipelihara selama 6 bulan.

4.8.6 Pengamatan Morfologi

Pengamatan dilakukan mulai munculnya bibit tanaman cabai rawit.

Pengamatan morfologi meliputi tinggi tanaman dan jumlah cabang. Tinggi

tanaman ditentukan dengan mengukur mulai dari leher akar sampai titik

tumbuh tanaman. Jumlah cabang ditentukan dengan cara menghitung jumlah

cabang yang tumbuh dari batang pokok sampai semua cabang tanaman cabai

rawit. Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu.

4.8.7 Kandungan Klorofil

Karakter fisiologi diamati melalui penghitungan kandungan klorofil.

Penghitungan kandungan klorofil dilakukan menurut metode Lichtenthaler

21

dan Wellburn (1983). Sampel yang digunakan adalah daun ketiga dari pucuk

yang sudah berkembang sempurna. Daun ditimbang sebanyak 0,1 g lalu

digerus dengan mortar, kemudian ditambah aceton 80% sebanyak 3 ml dan

disentrifuge pada 3000 rpm selama 3 menit. Pellet yang masih dalam tabung

ditambahkan 1 ml aceton dan disentrifuge kembali. Supernatan yang didapat

dipindahkan ke labu takar sebelumnya, sampai mencapai 5 ml, kemudian

diukur absorbansinya pada panjang gelombang 645 nm dan 663 nm.

Penghitungan kandungan klorofilnya sebagai berikut:

1. Klorofil a C55 H72O5N4 mg/L

= 12,7 x E663 – 2,69 x E645

2. Klorofil b C55H70O6N4 mg/L

= 22,9 x E645 – 4,68 x E663

3. Klorofil total mg/L

= 20,2 x E645 + 8,02 x E663

4.8.8 Pengamatan Karakter Reproduktif

Karakter reproduksi diamati melalui pengamatan viabilitas polen pada

tanaman kontrol dan tanaman-tanaman hasil perlakuan EMS. Menurut Tyagi

(2002), viabilitas polen diamati dengan menggunakan uji warna aceto-

carmine. Polen dari bunga yang mekar ditaburkan di atas kaca objek dan

ditetesi dengan 2% aceto-carmine, dan dibiarkan selama 30 menit. Masing-

masing sampel diwakili dengan menggunakan 3 preparat, diamati dengan satu

bidang pandang pembesaran 10x40 pada setiap preparat di bawah mikroskop.

22

Polen yang viabel merupakan polen yang dapat menyerap zat warna

2% aceto-carmine dengan baik dan memiliki dinding yang tidak mengkerut.

Polen yang tidak viabel merupakan polen yang tidak dapat menyerap zat

warna aceto-carmine dan berdinding mengkerut. Selanjutnya dilakukan

penghitungan persentase viabilitas polen yaitu jumlah polen dengan dinding

tidak mengkerut dan terwarnai dibagi jumlah polen yang diamati dikalikan

100%. Karakter reproduktif lain yang diamati antara lain dengan mencatat

umur 50% tanaman berbunga, umur 50% tanaman berbuah, jumlah bunga dan

jumlah total buah. Selanjutnya jumlah bunga dihitung dengan cara manual

setiap 2 minggu sedangkan jumlah total buah dihitung secara setiap kali panen

selama 6 bulan.

4.9 Metode Pengolahan Data

Data persentase munculnya bibit dan persentase kelulushidupan

tanaman dilihat berdasarkan rata-rata persentase munculnya bibit dan jumlah

tanaman yang bertahan hidup. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah cabang,

jumlah bunga, jumlah total buah, umur 50% tanaman berbunga, umur 50%

tanaman berbuah, kandungan klorofil dan persentase viabilitas polen dianalisis

secara statistik dengan menggunakan ANOVA (Analisis of Variance). Jika

berbeda nyata diuji lanjut dengan uji Duncan Multiple Range Test. Data yang

diperoleh diaplikasikan dengan menggunakan program SPSS (Statistical

Program for Social Sciences) for windows versi 15.0 tahun 2006. Data

tersebut kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

23

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1. Persentase Munculnya Bibit Cabai Rawit

Hasil pengamatan munculnya bibit pada bumbungan menunjukkan bahwa

pada kontrol maupun perlakuan, bibit pertama kali muncul pada 8 hari setelah

semai (HSS) dan jumlah bibit yang terbanyak muncul pada 8 HSS adalah pada

kontrol. Pada 10 HSS, persentase munculnya bibit pada kontrol dan semua

perlakuan mencapai 100% (Tabel 5.1).

Tabel 5.1Persentase Munculnya Bibit Cabai Rawit Setelah Perlakuan EMS 1%

dengan Lama Perendaman Berbeda.

Keterangan: P. 6 jam, P. 9 jam dan P. 12 jam = perendaman benihselama 6 jam, 9 jam dan 12 jam dalam 1% EMS.

5.2 Karakter Pertumbuhan Tanaman Cabai Rawit

Pengaruh 1% EMS terhadap pertumbuhan tanaman cabai rawit diamati

pada beberapa karakter seperti tinggi tanaman yang diamati pada 4 MST, 10 MST

dan 20 MST. Jumlah cabang yang diamati pada 10 MST dan 20 MST. Analisis

tanah dilakukan di awal penelitian setelah pengolahan lahan. Hasil tersebut

disajikan pada Lampiran 12.

Hari Persentase Munculnya BibitKontrol P. 6 jam P. 9 jam P. 12 jam

8 73.3 31.7 50.0 31.7

9 85.0 50.0 70.0 53.3

10 100 100 100 100

24

Perlakuan 1% EMS dengan perendaman berbeda memberikan pengaruh

nyata (P ≤ 0,05) terhadap tinggi tanaman pada 4 MST dan 10 MST. Perbedaan

tersebut terlihat dari hasil uji Duncan, perlakuan perendaman 1% EMS selama 6

jam, 9 jam dan 12 jam dimana tanaman tertinggi dihasilkan oleh kontrol dan

tanaman terendah dihasilkan oleh perlakuan perendaman selama 12 jam. Pada 20

MST, diantara perlakuan 1% EMS dengan perendaman berbeda menghasilkan

tinggi tanaman yang berbeda. Tinggi tanaman antar perlakuan memiliki perbedaan

yaitu perendaman 6 jam memiliki tanaman tertinggi sedangkan tanaman terendah

pada perendaman 12 jam (Gambar 5.1).

Gambar 5.1.Grafik Rata-rata Tinggi Tanaman.

Huruf yang sama pada satu garis dalam grafik berarti tidak berbeda nyata(P ≥ 0,05)

Perlakuan EMS 1% dengan lama perendaman berbeda berpengaruh nyata

(P ≤ 0,05) terhadap jumlah cabang tanaman cabai rawit. Jumlah cabang paling

banyak terdapat pada kontrol pada 10 MST. Semakin lama perendaman bebih

(d)

(d)

(ab)

(c)

(c)

(b)

(b)

(ab)

(a)

(a)

(a)

0

10

20

30

40

50

60

4 MST 10 MST 20 MST

Tin

ggi T

anam

an (

cm)

Umur

KontrolP.6 JamP.9 JamP.12 Jam

(b)

25

cabai rawit dengan EMS 1%, jumlah cabang akan semakin sedikit pada 10 MST.

Pada 20 MST perlakuan perendaman selama 6 jam memiliki jumlah cabang paling

banyak (Tabel 5.2).

Tabel 5.2Jumlah Cabang per Tanaman

Perlakuan 10 Minggu 20 Minggu

Kontrol 4,3 ± 0,2(c) 20,7 ± 0,5(a)

P.6 Jam 3,2 ± 0,1(b) 21,6 ± 0,2(b)

P.9 Jam 2,8 ± 0,0(a) 21,4 ± 0,1(ab)

P.12 Jam 2,6 ± 0,0(a) 20,9 ± 0,1(ab)

Keterangan: Angka adalah nilai rata-rata ± standar error.Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang samapada kolom yang sama berarti tidak berbedanyata (P ≥ 0,05).

5.3 Karakter Fisiologi Tanaman Cabai Rawit

Pergaruh EMS 1% dengan variasi lama perendaman terhadap perubahan

karakter fisiologis diamati melalui kandungan klorofil a, klorofil b dan klorofil

total pada tanaman cabai rawit.

Perlakuan 1% EMS memberikan pengaruh nyata (P ≤ 0,05) terhadap

kandungan klorofil a, klorofil b dan klorofil total tanaman cabai rawit.

Perendaman 12 jam memiliki kandungan klorofil a, klorofil b dan klorofil total

terendah dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan lainnya. Kandungan

klorofil b pada perlakuan perendaman 9 jam sama dengan kontrol. Perlakuan

perendaman selama 6 jam memiliki kandungan klorofil terbanyak (Tabel 5.3).

26

Tabel 5.3Kandungan Klorofil a, Klorofil b, dan Klorofil Total pada Daun Tanaman Cabai

Rawit pada 5 MST

Perlakuan Klorofil a(mg/L) Klorofil b (mg/L) Klorofil total (mg/L)

Kontrol 19.3 ± 0.5(b) 19.8 ± 0.7(ab) 39.1 ± 1.1(b)

P.6 jam 18.5 ± 0.6(b) 20.9 ± 0.8(b) 39.3 ± 0.9(b)

P.9 jam 17.9 ± 0.5(b) 20.6 ± 0.7(ab) 38.5 ± 1.2(b)

P.12 jam 16.2 ± 0.6(a) 18.0 ± 1.1(a) 34.2 ± 1.4(a)

Keterangan : Angka adalah nilai rata-rata ± standar error. Angka-angka yangdiikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti tidakberbeda nyata (P ≥ 0,05).

5.4 Hubungan Antar Karakter

Berdasarkan hasil penelitian ini, selanjutnya dicari hubungan karakter

morfologi tanaman cabai rawit. Korelasi digunakan untuk mengetahui adanya

hubungan antara dua variabel pada masing-masing perlakuan 1% EMS dengan

lama perendaman berbeda. Korelasi positif menyatakan hubungan yang searah

antara dua variabel, artinya semakin tinggi suatu variabel, maka nilai variabel lain

pun akan semakin tinggi. Sebaliknya, korelasi negatif menandakan adanya

hubungan berbalik arah antar dua variabel, yang artinya semakin tinggi suatu

variabel, nilai variabel lain akan semakin rendah atau sebaliknya. Tabel 5.4

menunjukkan bahwa terdapat korelasi Pearson yang positif dan signifikan antara

tinggi tanaman dengan jumlah cabang serta jumlah cabang dengan jumlah bunga

tanaman cabai rawit pada kontrol dan perlakuan 1% EMS dengan perendaman

berbeda. Tingkat korelasi Pearson yang terjadi antara kedua variabel tesebut

adalah korelasi kuat sampai dengan sangat kuat. Korelasi yang paling kuat terjadi

27

antara tinggi tanaman dengan jumlah cabang serta jumlah cabang dengan jumlah

bunga yang diberi perlakuan 1% EMS perendaman benih cabai selama 9 jam.

Tabel 5.4Nilai Korelasi Karakter Tanaman Cabai Rawit pada 12 MST

PerlakuanNilai Korelasi Pearson Antar Karakter

Tinggi dengan JumlahCabang

Jumlah Cabang denganJumlah Bunga

Kontrol 0,626* 0,888*P.6 Jam 0,780* 0,817*P.9 Jam 0,872* 0,958*P.12 Jam 0,805* 0,910*

*Signifikan pada tingkat kepercayaan 95%.

5.5 Karakter Reproduktif Tanaman Cabai Rawit

Pengaruh 1% EMS terhadap karakter reproduktif tanaman cabai rawit

diamati pada jumlah bunga pada 10 MST dan 20 MST, sedangkan jumlah total

buah diamati pada 24 MST. Selain itu juga dilakukan pengamatan umur 50%

tanaman berbunga dan berbuah serta viabilitas polen.

Perlakuan 1% EMS dengan perendaman yang berbeda tidak berpengaruh

nyata (P ≥ 0,05) terhadap umur 50% berbunga dan 50% berbuah cabai rawit pada

perlakuan dan tanaman kontrol (Tabel 5.5).

Tabel 5.5Rata-rata Umur 50% Berbunga dan Berbuah

Perlakuan 50 % Berbunga (Hari) 50% Berbuah (Hari)

Kontrol 42,0 ± 0,0(a) 56,0 ± 0,0(a)

P.6 Jam 42,0 ± 0,0(a) 56,0 ± 0,0(a)

P.9 Jam 44,3 ± 2,3(a) 56,0 ± 0,0(a)

P.12 Jam 46,6 ± 2,9(a) 60,6 ± 2,9(a)

Keterangan : Angka adalah nilai rata-rata ± standar error. Angka-angkayang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang samaberarti tidak berbeda nyata (P ≥ 0,05).

28

Jumlah bunga tanaman cabai rawit yang diberi perlakuan 1% EMS dengan

lama perendaman yang berbeda secara umum lebih sedikit dibandingkan kontrol

pada 10 MST. Perlakuan 1% EMS dengan lama perendaman berbeda berpengaruh

nyata (P ≤ 0,05) terhadap jumlah bunga pada 10 MST dan 20 MST. Pada 10 MST

jumlah bunga paling banyak dihasilkan oleh perlakuan kontrol, sedangkan pada 20

MST jumlah bunga paling banyak pada perlakuan perendaman selama 9 jam dan

tidak berbeda dengan perlakuan lainnya jika dibandingkan dengan kontrol (Tabel

5.6).

Tabel 5.6Jumlah Bunga per Tanaman Cabai Rawit

Perlakuan 10 Minggu 20 Minggu

Kontrol 2,6 ± 0,1(b) 13,5 ± 0,2(a)

P.6 Jam 2,3 ± 0,0(ab) 15,8 ± 0,5(b)

P.9 Jam 2,3 ± 0,0(a) 16,2 ± 0,3(b)

P.12 Jam 2,3 ± 0,1(a) 15,4 ± 0,2(b)

Keterangan: Angka adalah nilai rata-rata ± standar error. Angka-angkayang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang samaberarti tidak berbeda nyata (P ≥ 0,05).

Secara umum terjadi peningkatan jumlah total buah cabai rawit

dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan 1% EMS dengan perendaman yang

berbeda memberikan pengaruh nyata (P ≤ 0,05) terhadap jumlah total buah 24

MST. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada hasil Duncan, yaitu perlakuan 1%

EMS dengan perendaman berbeda memiliki jumlah total buah yang lebih banyak

diurutkan seperti berikut 6 jam, 12 jam dan 9 jam dibandingkan dengan kontrol

(Tabel 5.7).

29

Tabel 5.7Jumlah Total Buah per Tanaman Cabai Rawit

Perlakuan 24 Minggu

Kontrol 52,9 ± 0,9(a)

P.6 Jam 59,3 ± 0,6(b)

P.9 Jam 60,1 ± 0,6(b)

P.12 Jam 59,9 ± 0,5(b)

Keterangan : Angka adalah nilai rata-rata ± standar error.Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang samapada kolom yang sama berarti tidak berbeda nyata(P ≥ 0,05).

Perlakuan 1 % EMS dengan perendaman berbeda berpengaruh nyata (P ≤

0,05) terhadap viabilitas polen. Perendaman dengan 1% EMS menyebabkan

viabilitas polen lebih tinggi dibandingkan pada tanaman kontrol. Perbedaan

tersebut dapat dilihat pada hasil uji Duncan yaitu persentase viabilitas polen

perendaman 6 jam paling tinggi tetapi tidak berbeda dengan perlakuan 12 jam.

(Tabel 5.8).

Tabel 5.8Rata-rata Persentase Viabilitas Polen Tanaman Cabai Rawit pada 6 MST

Perlakuan Viabilitas Polen (%)

Kontrol 74.3 ± 0.4(a)

P.6 jam 81.2 ± 0.7(c)

P.9 jam 78.9 ± 0.2(b)

P.12 jam 80.6 ± 0.4(c)

Keterangan : Angka adalah nilai rata-rata ± standar error. Angka angkayang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang samaberarti tidak berbeda nyata (P ≥ 0,05).

Gambar 5.2 menunjukkan gambar polen yang viabel dan tidak viabel pada

bunga tanaman cabai rawit.

30

Y

X

Gambar 5.2Polen Tanaman Cabai Rawit (Capsicum Frutescens L.)

Keterangan: Perbesaran mikroskop 4x10, X adalah polentidak viabel, Y adalah polen viabel.

5.6 Kelulushidupan Tanaman Cabai Rawit

Berdasarkan pengamatan kelulushidupan tanaman cabai rawit pada 12

MST terlihat bahwa perlakuan 1% EMS dengan perendaman 6 jam dan 12 jam

mampu bertahan hidup 100%, sedangkan pada perlakuan perendaman 9 jam yaitu

83,33. Pada kontrol persentase kelulushidupan paling kecil yaitu 80,56. Pada 24

MST, persentase kelulushidupan tanaman cabai rawit mengalami penurunan

hanya pada kontrol yaitu 72,22 (Tabel 5.9).

Tabel 5.9Persentase Kelulushidupan Tanaman Cabai Rawit

PerlakuanJumlah Tanaman Yang Hidup (%)

12 Minggu 24 Minggu

Kontrol 80,56 72,22

P.6 Jam 100,00 100,00

P.9 Jam 83,33 83,33

P.12 Jam 100,00 100,00

31

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Persentase Munculnya Bibit

Hasil penelitian perlakuan 1% EMS dengan perendaman berbeda

menyebabkan terhambatnya muncul bibit jika dibandingkan dengan kontrol,

namun pada 10 hari setelah semai (HSS) kemunculan bibit dengan perlakuan 1%

EMS dapat mencapai 100% (Tabel 5.1). Pada 8 HSS perendaman selama 6 jam

dan 12 jam menghasilkan kemunculan bibit yang lebih rendah dibanding

perlakuan 9 jam. Hal ini karena benih masih dalam pengaruh sifat racun dari

EMS (Poerba, 2000). Pada perendaman 9 jam, pada 8 HSS jumlah bibit yang

muncul lebih banyak dari perlakuan lainnya, yang dapat disebabkan sifat acak dari

mutasi sehingga tidak menghasilkan pola yang jelas. Walaupun demikian, pada

10 HSS munculnya bibit dapat mencapai 100% baik pada kontrol maupun

perlakuan. Hal tersebut karena benih yang diberikan perlakuan mutagen EMS

dapat beradaptasi dan mampu muncul ke permukaan tanah (Cassaret, 1961).

Menurut Al-Qurainy dan Khan (2009) faktor yang mendorong proses

perkecambahan benih hasil perlakuan mutagenik adalah kemampuan benih

mengembangkan toleransi terhadap efek penghambatan mutagen dan telah

meningkatkan kondisi fisiologis pada saat berlangsungnya proses perkecambahan,

sehingga benih yang diberi perlakuan mutagen bisa mengalami perkecambahan

walaupun lambat.

Kerusakan fisiologis dapat disebabkan karena kerusakan kromosom dan

kerusakan sel di luar kromosom. Kerusakan tersebut merupakan gangguan

32

fisiologis bagi pertumbuhan tanaman. Besarnya kerusakan fisiologis tergantung

pada besarnya konsentrasi mutagen yang digunakan dan semakin tinggi

konsentrasi yang digunakan makin tinggi kerusakan fisiologis yang timbul dan

berakhir kematian. Kerusakan fisiologis hanya terjadi pada generasi M1

sedangkan mutasi gen, mutasi kromosom dan mutasi sitoplasma akan diturunkan

pada generasi berikutnya (Mugiono, 2001).

Perlakuan mutagen akan menyebabkan kerusakan sel atau terhambatnya

metabolisme sel karena adanya gangguan sintesa RNA sehingga sintesis enzim

yang diperlukan untuk pertumbuhan terhambat. Adanya gangguan struktur DNA

akan menyebabkan enzim yang dihasilkan kehilangan fungsinya. Perlakuan

mutagen dapat menyebabkan enzim yang merangsang pertunasan menjadi tidak

aktif, sehingga pertumbuhan tanaman terhambat (Cassaret,1961).

Efek EMS dalam menurunkan perkecambahan bisa dihubungkan dengan

beda potensial air. Perbedaan potensial air di dalam sel dan di luar sel dapat

menghambat perkecambahan benih karena adanya hambatan penyerapan air.

Loveless (1991) menegaskan bahwa semakin besar konsentrasi partikel atau zat,

makin rendah nilai potensial air. Meningkatnya potensial osmotik, EMS akan

menurunkan potensial air sehingga akan menyulitkan benih mendapatkan air.

Konsentrasi EMS yang lebih tinggi dapat menurunkan potensial air di luar benih

dan oleh karena itu benih tidak dapat melakukan imbibisi air yang cukup untuk

perkecambahan (Singh dan Kole, 2005).

Jayakumar dan Selvaraj (2003) menyatakan bahwa tingginya konsentrasi

EMS dapat menghancurkan promotor pertumbuhan, meningkatkan penghambat

33

pertumbuhan dan metabolisme benih, dan menyebabkan berbagai penyimpangan

kromosom. EMS merupakan senyawa yang beracun, sehingga menghambat

pertumbuhan, tetapi akhirnya benih dapat beradaptasi dan mampu muncul ke

permukaan tanah. Hasil yang sama diperoleh dari penelitian Pharmawati et al.,

(2013) pada cabai besar dimana EMS 1% dengan lama perendaman 6 jam

menghambat perkecambahan dan hanya mencapai tingkat perkecambahan 96±4.4

% pada 10 HSS.

6.2 Karakter Morfologi Tanaman Cabai Rawit Akibat Pengaruh EMS

Berdasarkan hasil penelitian pada umur 4 MST dan 10 MST tanaman

perlakuan perlakuan 1% EMS dengan perendaman berbeda memiliki tinggi

tanaman dan jumlah cabang lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol. Hal

ini terkait dengan proses munculnya bibit yang dihambat oleh EMS, pada

pertumbuhan selanjutnya terjadi peningkatan tinggi pada tanaman perlakuan

dibandingkan dengan kontrol, karena tanaman sudah mampu beradaptasi terhadap

mutagen EMS (Cassaret, 1961). Hal tersebut terlihat pada 20 MST perlakuan

perendaman selama 6 jam menghasilkan tanaman tertinggi dengan jumlah cabang

terbanyak dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan lainnya. Sehingga dapat

dikatakan bahwa perlakuan 1% EMS dengan lama perendaman 6 jam paling

efektif mempengaruhi tinggi tanaman dan jumlah cabang cabai rawit.

Efek meningkatkan tinggi ini mungkin terjadi karena perubahan yang

cepat dalam proses metabolisme bibit dan peningkatan aktivitas promoter

pertumbuhan (Alka dan Khan, 2011). Meningkatnya proses metabolisme

mengakibatkan proses pembelahan sel, pemanjangan sel dan juga pembentukan

34

jaringan meningkat dan akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman

seperti tinggi tanaman (Hermansyah dan Inoriah, 2009). Pertambahan tinggi

tanaman dapat terjadi karena adanya proses pembelahan sel pada meristem apikal,

yang ditandai dengan perpanjangan pucuk yang diikuti oleh perkembangannya

menjadi daun dan batang (Puspita et al., 2010).

Perlakuan EMS 1% dengan lama perendaman yang berbeda berpengaruh

terhadap jumlah cabang tanaman cabai rawit. Perlakuan perendaman selama 6 jam

memiliki jumlah cabang paling banyak dibandingkan dengan perlakuan lainnya

dan kontrol (Tabel 5.2). Hal ini menunjukkan pengaruh sensitivitas mutagen EMS

terjadi pada tahap perkembangan tanaman. Sensitivitas mutagenik sangat

dipengaruhi oleh tahap perkembangan tanaman (Deshpande et al., 2010). Hasil

karakter vegetatif yang bervariasi diduga akibat dari pengaruh mutagen kimia

yang bersifat acak. Ethyl methane sulphonate menyebabkan mutasi titik melalui

transisi pada DNA, melalui perubahan pasangan basa GC-AT yang

mengakibatkan perubahan asam amino (Chopra, 2005).

Terjadinya perubahan morfologi yang bervariasi pada tanaman cabai rawit

jika dibandingkan kontrol yang terjadi akibat pengaruh mutagen EMS diharapkan

mampu menghasilkan keragaman yang besar dan berpeluang terhadap seleksi

tanaman hasil mutasi untuk meningkatkan produksinya. Jaben dan Mirza (2002)

menyatakan bahwa penggunaan EMS 0.5% dengan perendaman selama 6 jam

dapat mempengaruhi mutasi morfologi tanaman cabai besar.

35

6.3 Karakter Fisiologi Tanaman Cabai Rawit

Perlakuan 1% EMS dengan perendaman berbeda memberikan pengaruh

nyata (P ≤ 0,05) terhadap kandungan klorofil a, klorofil b dan klorofil total

tanaman cabai rawit (Tabel 5.3). Kandungan klorofil a, klorofil b dan klorofil total

pada tanaman yang diberi perlakuan lebih kecil dibandingkan dengan kontrol

yang kandungan klorofilnya paling banyak. Kandungan klorofil a, klorofil b dan

klorofil total paling rendah didapat pada benih yang diberikan perlakuan selama

12 jam.

Klorofil a dan b berperan dalam proses fotosintesis tanaman. Klorofil b

berfungsi sebagai antena fotosintetik yang mengumpulkan cahaya kemudian

ditransfer ke pusat reaksi. Pusat reaksi tersusun dari klorofil a. Energi cahaya

akan diubah menjadi energi kimia di pusat reaksi yang kemudian dapat digunakan

untuk proses reduksi dalam fotosintesis (Taiz dan Zeiger, 1991).

Peningkatan kandungan klorofil b akan meningkatkan efisiensi fungsi

antena fotosintetik pada Light Harvesting Complex II (LHC II). Penyesuaian

tanaman terhadap lingkungan dengan radiasi yang rendah juga dicirikan dengan

membesarnya antena untuk fotosistem II. Membesarnya antena untuk fotosistem

II akan meningkatkan efisiensi pemanenan cahaya (Hidema et al., 1992).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan 1% EMS menyebabkan

kandungan klorofil lebih rendah dibandingkan kontrol. Pengujian kandungan

klorofil dilakukan pada 5 MST yaitu seminggu setelah pemupukan dasar. Menurut

Hendriyani dan Setiari (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi sintesis klorofil

meliputi: cahaya, gula atau karbohidrat, air, suhu, faktor genetik dan unsur-unsur

36

nitrogen, magnesium, fosfor, mangan, Cu, Zn, sulfur dan oksigen. Hasil analisis

tanah pada Lampiran 12, menunjukkan bahwa kandungan posfor tanah sangat

tinggi. Unsur fosfor komponen penting penyusun senyawa ATP yang berperan

sebagai sumber energi pada reaksi gelap fotosintesis sedangkan nitrogen dan

magnesium yang diketahui sebagai unsur yang mutlak harus tersedia pada

pembentukan klorofil (Dwijoseputro 1986).

Rendahnya kandungan klorofil pada perlakuan diduga disebabkan oleh

efek toksik dari EMS yang mengakibatkan perubahan pada basa DNA. Perubahan

pada gen akan berdampak pada perubahan fungsi sel tanaman (Khan et al., 2009).

Menurut Lichtenthaler dan Wellburn (1983), mutagen EMS pada perendaman

yang lama dapat menghambat proses biosintesis klorofil. Hal yang sama dengan

temuan yang menyatakan bahwa perlakuan konsentrasi dan perendaman mutagen

EMS yang meningkat mengakibatkan penurunan kandungan klorofil a, klorofil b

dan total pada tanaman kacang hijau (Svetlana, 2004). Pada hasil penelitian

Srivastava dan Pandey (2012), menunjukan tanaman safflower (Carthamus

tinctorius L.) yang diberi perlakuan EMS dengan lama perendaman berbeda

menghasilkan kandungan klorofil a dan klorofil b, lebih rendah dengan waktu

perendaman lebih lama. Kandungan klorofil total menurun dari 11.83μg/ml pada

kontrol menjadi 6.36μg/ml pada perlakuan selama 7 jam.

37

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini berbeda dengan temuan yang

menyatakan bahwa mutagen dapat menyebabkan peningkatan jumlah klorofil

pada daun (Harahap, 2005). Penelitian Pande et al., (2012) menyebutkan

kombinasi perlakuan mutagen sinar X 25 Kr dan EMS 0,5% menyebabkan

terjadinya peningkatan klorofil pada tanaman bunga matahari. Peningkatan

kandungan klorofil disebabkan karena terjadinya peningkatan kandungan

karotenoid yang disebabkan kombinasi sinar-X dan EMS menginduksi kerusakan

pada fotosistem tanaman yang memiliki gejala yang mirip seperti kerusakan

cahaya pada tanaman, sehingga menyebabkan kandungan karotenoid pada

tanaman meningkat dan maksimum pada perlakuan 25 Kr + 0,5% EMS. Selain

itu peningkatan kandungan klorofil dipengaruhi oleh umur tanaman, umur daun

dan morfologi daun. Biber (2007) menyatakan bahwa umur daun dan tahapan

fisiologis suatu tanaman merupakan faktor yang menentukan kandungan klorofil.

6.4 Hubungan Antar Karakter

Tabel 5.4 tersebut menunjukkan bahwa terdapat korelasi Pearson yang

positif dan signifikan antara tinggi tanaman dengan jumlah cabang dan jumlah

cabang dengan jumlah bunga tanaman cabai rawit pada kontrol dan setiap

perlakuan perendaman benih cabai dengan EMS 1%. Korelasi Pearson yang

positif dengan nilai r yang paling kuat terjadi antara tinggi tanaman dengan

jumlah cabang tanaman rawit yang diberi perlakuan perendaman benih cabai

dengan EMS 1% selama 9 jam. Semakin tinggi tanaman akan meningkatkan

pertumbuhan tunas sehingga akan mampu memperbanyak jumlah cabang

(Hermansyah dan Inoriah, 2009).

38

Meningkatnya tinggi tanaman sejalan dengan meningkatnya jumlah

cabang hal ini terjadi karena meningkatnya pembelahan sel pada meristem apikal

dan perpanjangan sel mengakibatkan pertambahan tinggi tanaman, kemudian

diikuti oleh pembentukan cabang (Puspita et al., 2010). Adanya dominansi apikal

pada ujung tanaman saat pertumbuhan tanaman menyebabkan meningkatnya

tinggi tanaman. Percabangan dapat terjadi karena dominasi apikal yang

menyebabkan adanya persaingan antara tunas pucuk dengan tunas lateral,

sehingga pada fase vegetatif tanaman dapat bertambah tinggi disertai

pembentukan daun dan cabang terminal pada percabangan dikotomi. Pada titik

tertentu yang jauh dari pucuk tanaman akan muncul juga percabangan lateral.

Peningkatan jumlah cabang terjadi karena hilangnya dominasi apikal

mengakibatkan distribusi lateral hormon pertumbuhan (Alka dan Khan, 2011).

Korelasi Pearson yang positif r yang paling kuat terjadi antara jumlah

cabang dengan jumlah bunga tanaman cabai rawit yang diberi perlakuan

perendaman EMS 1% selama 9 jam. Peningkatan jumlah cabang tanaman juga

meningkatkan munculnya bunga, sehingga banyaknya cabang akan berpengaruhi

terhadap banyaknya bunga, sehingga jumlah cabang produktif dapat menghasilkan

jumlah bunga yang lebih banyak (Sutapradja, 2008).

6.5 Karakter Reproduktif Tanaman Cabai Rawit

Pengaruh EMS 1% terhadap karakter reproduktif tanaman cabai rawit

yang diamati meliputi jumlah bunga pada 10 MST dan 20 MST, sedangkan untuk

jumlah total buah diamati pada 24 MST. Selain itu juga dilakukan pengamatan

39

terhadap viabilitas polen, umur 50% tanaman berbunga dan umur 50% tanaman

berbuah.

Pada penelitian ini perlakuan perendaman berbeda tidak berpengaruh

terhadap umur 50% berbunga dan umur 50% berbuah. Hal ini disebabkan umur

berbunga dan berbuah tidak mutlak dipengaruhi oleh perlakuan mutagen, tetapi

juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang ada di antaranya suhu, cahaya,

kelembaban dan curah hujan yang mendukung kondisi lingkungan tanaman cabai

yang menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan normal, sehingga mampu

merangsang pembentukan bunga (Conger et al., 1977). Spesies tanaman memiliki

kemampuan berbeda dalam menanggapi pengaruh mutagen (Mensah et al., 2007).

Hal tersebut mengakibatkan umur berbunga dan berbuah dengan perlakuan 1%

EMS tidak menunjukkan hasil perbedaan yang nyata.

Perlakuan 1% EMS dengan lama perendaman berbeda berpengaruh nyata

(P ≤ 0,05) terhadap jumlah bunga dan jumlah total buah. Pada perlakuan

perendaman berbeda memiliki jumlah bunga dan jumlah total buah lebih tinggi

dibandingkan dengan kontrol. Dhakshanamoorthy et al., (2010) menyebutkan

bahwa hormon florigen dominan bertanggung jawab untuk masa pembungaan dan

kematangan buah dibandingkan pengaruh mutagen. Jabeen dan Mirza ( 2002),

menyatakan bahwa mutasi pada gen yang terlibat saat berbunga dan akan

berpengaruh dalam pengembangan buah. Jabeen dan Mirza (2002), menemukan

bahwa jumlah maksimum rata-rata buah tercatat pada perlakuan EMS 0,1% dan

jumlah rata-rata minimal buah tercatat pada tanaman yang diberikan perlakuan

EMS 0,01%. Peningkatan jumlah buah okra per tanaman dan panjang buah

40

sebagai akibat iradiasi gamma disebutkan oleh banyak peneliti (Dubey et al.,

2007; Mishra et al., 2007; Sharma dan Mishra, 2007). Peningkatan jumlah total

buah per tanaman pada perlakuan 1% EMS menunjukkan keuntungan dari segi

produksi buah.

Perlakuan dengan 1% EMS menghasilkan viabilitas polen lebih tinggi

dibandingkan kontrol. Persentase viabilitas polen perendaman selama 6 jam

paling tinggi dan tidak berbeda dengan perlakuan 12 jam (Tabel 5.8). Hasil

tersebut menunjukkan bahwa perlakuan dengan lama perendaman tertentu dapat

meningkatkan viabilitas polen tanaman. Menurut Kulkarni (2011) konsentrasi

EMS 0,1% dapat meningkatkan fertilitas polen Imacrotyloma uniflorum L. hingga

86,4% apabila perendaman dilakukan selama 6 jam. Sedangkan pada penelitian

Sakin dan Sencar (2002) penurunan fertilitas gandum durum generasi M1 bisa

mencapai lebih dari 50% pada perlakuan perendaman benih dengan EMS

konsentrasi 0,01% selama 3 jam.

6.6 Kelulushidupan Tanaman Cabai Rawit

Berdasarkan pengamatan kelulushidupan tanaman cabai rawit dengan

perlakuan EMS 1 % (Tabel 5.9). Pada minggu ke-24 MST persentase tanaman

yang hidup berkisar 72 % sampai 100%. Perlakuan perendaman 6 jam dan 12 jam

menunjukkan persentase tanaman hidup yang paling tinggi yaitu 100%. Pada

perlakuan perendaman 9 jam menurun menjadi 83,33. Persentase kelulushidupan

tanaman cabai rawit paling rendah pada kontrol yaitu 72,22. Peningkatan

kelulushidupan tanaman tersebut disebabkan karena efek perlakuan EMS yang

diberikan.

41

Pesentase keluluhidupan yang tinggi pada tanaman dengan perendaman

EMS mampu bertahan dalam kondisi buruk. Toleransi tanaman terhadap stress

yang meningkat dibandingkan dengan tanaman normal (Conger et al., 1977).

Hasil penelitian Wiguna et al.,(2004), persentase tanaman wortel yang hidup

tertinggi yaitu perlakuan EMS 0,01 dengan perendaman selama 3 jam. Hal ini

terbalik dengan pendapat Poerba (2000) yang menyatakan persentase tanaman

tempuyung yang mampu hidup dan menghasilkan bunga setelah diberi perlakuan

EMS cenderung menurun sejalan dengan peningkatan konsentrasi EMS dan

konsentrasi letal dicapai pada konsentrasi EMS 0,9% – 1,2% dengan lama

perendaman 3 jam.

42

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan dapat disimpulkan

bahwa:

1. Perendaman benih cabai rawit dengan mutagen kimia EMS 1%

dapat memperlambat munculnya bibit. Perlakuan 1% EMS dengan

perendaman berbeda memberikan efek positif terhadap tinggi

tanaman dan jumlah cabang pada perlakuan perendaman 6 jam.

Perlakuan 1% EMS dengan perendaman berbeda meningkatkan

kelulushidupan tanaman.

2. Kandungan klorofil a, klorofil b dan klorofil total tanaman cabai

rawit mengalami penurunan akibat perlakuan 1% EMS, kandungan

terendah dihasilkan pada perlakuan perendaman selama 12 jam.

3. Perlakuan perendaman 1% EMS tidak berpengaruh pada umur 50%

berbunga dan berbuah. Peningkatan jumlah bunga dan jumlah total

buah tanaman cabai rawit terjadi pada perlakuan perendaman.

Persentase viabilitas polen paling tinggi pada perendaman 6 jam.

7.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka disarankan untuk

melakukan penelitian lebih lanjut mengenai perlakuan perendaman benih dalam

1% EMS terhadap karakter anatomi dan molekuler tanaman cabai rawit.

43

Penanaman generasi kedua perlu dilakukan untuk menguji segregasi sifat dan

melakukan seleksi.

44

DAFTAR PUSTAKA

Alcantara, T.P., Bosland P.W., and Smith, D.W. 1996. Ethyl Methane SulfonateInduced Mutagenesis of Capsicum annuum. Journal Heredity. 87 (2):39–41.

Alka and Khan, S. 2011. Induced Variation in Quantitative Traits Due toChemical Mutagen (Hydrazine Hydrate) Treatment in Lentil (Lensculinaris Medik.). Indian Stream Researh Journal. 1 (7):1-11.

Al-Qurainy, F., and Khan, S. 2009. Mutagenic Effects of Sodium Azide and itsApplication in Crop Improvement. World Applied Sciences Journal. 7 (2):220-226.

Arumingtyas E., dan Indriyani, S. 2005. Induksi Viabilitas Genetika PercabanganTanaman Kenaf (Hibiscus cannabinus L.) dengan Mutagen Kimia EthylMethane Sulfonate (EMS). Natural Journal. 8 (1):57-71.

Ashok, Y.P., Sharma,P., and Yadav, A. 1995. Effect of Different Ethyl MethaneSulfonate Treatments on Pollen Viability and Fruit Rot Incidence in BellPepper. Annal of Agricultural Research. 16 (3):442-444.

Biber, P.D. 2007. Evaluating a Chlorophyll Content Meter on Three CoastalWetland Plant Species. Journal of Agricultural Food and EnvironmentalSciences. 1 (2):1-11.

Biro Pusat Statistik. 2011. Production of Fruits in Indonesia. Jakarta: Biro PusatStatistik.p.34-35.

Brookes, M. 1998. Day of the Mutators. New Scientist. 2 (1):38-42.

Cahyono, B. 2003. Cabai Rawit. Yogyakarta: Kanisius.p.28-32.

Cassaret, A. P. 1961. Radiation Biology. Preatice. Hall Inc. Englewood Clif : NewJersey. Dalam Hartati, S. 2000. Penampilan Genotip Tanaman Tomat(Lycopersicum esculentum Mill.) Hasil Mutasi Buatan pada Kondisi StressAir dan Kondisi Optimal. Agrosains. 2 (2):79-82.

Chen, M., Choi,Y., and Rodermel, D.F. 2000. Mutation in the Arabidosis VAR2Locus Leaf Variegations Due to the Loss of Chloroplast FtsH protease.Plant Journal. 22 (7):303-313.

Chopra, V.L. 2005. Mutagenesis: Investigating the Process and Processing theOutcome for Crop Improvement. Current Science. 89 (2):353-359.

45

Conger, B.V., Konzak, C.F., and Nilan, R.A. 1977. Radiation sensitivity andmodifying factors. Manual on Mutation Breeding, 2nd Ed. (TechnicalReports Series No. 119), IAEA, Vienna.p.40.

Deshpande, K.N., Mehetre, S.S., and Pingle, S.D. 2010. Effect of DifferentMutagens for Induction of Mutations in Mulberry. Asian Journal BiologyScience. 10 (1):104-108.

Dhakshanamoorthy, D., Selvaraj, R., and Chidambaram, A. 2010. Physical andChemical Mutagenesis in Jatropha curcas L. to Induce Variability in SeedGermination, Growth and Yield Traits. Journal Plant Biology. 55 (2):113-125.

Dubey A.K., Yadav, J.R., and Singh, B. 2007. Studies on Induced Mutations byGamma Irradiation in Okra (Abelmoschus esculentus (L.) Monch.).Progressive Agriculture. 7 (2):46-48.

Dwijoseputro G. 1994. Pengantar fisiologi tumbuhan. Jakarta : Gramedia.p.36.

Harahap F. 2005. Induksi Variasi Genetik Tanaman Manggis (Garciniamangostana) dengan Radiasi Sinar Gamma.[Disertasi]. Bogor : InstitutPertanian Bogor.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Jakarta: Yayasan SaranaWana Jaya.p.38-40

Hendriyani, I.S., dan Setiari, N. 2009. Kandungan Klorofil dan PertumbuhanKacang Panjang (Vigna sinensis) pada Tingkat Penyediaan Air yangBerbeda. Journal Sains and Mathematics. 17 (3):145-150.

Hermansyah, Y., dan Inoriah, E. 2009. Penggunaan Pupuk Daun dan ManipulasiJumlah Cabang yang Ditinggalkan pada Panen Kedua Tanaman Nilam.Akta Agrosia. 12 (2):194-203.

Hidayat, E. B. 1994. Sonchus L. In: Siernonsma, J .S. and Piluek, K. (ed): PlantResources of South East Asia. Bogor Indonesia: PROSEA. p.260-262.

Hidema, J., Makino, A., Kurita, Y., Mae, T., and Ohjima, K. 1992. Changes in theLevel of Chlorophyll and Light-harvesting Chlorophyll a/b Protein PS IIin Rice Leaves Agent Under Different Irradiances from Full ExpansionThrough Senescense. Plant and Cell Physiology. 33 (8):1209-1214.

IAEA, 1997. Manual on Mutation Breeding. Technical Report Series, No.119.Vienna: Internasional Atomic Energy Agency.p.98-103.

46

Imelda, M., Deswina, P., Hartati, S., Estiati, A., and Atmowijoyo, S. 2000.Chemical Mutation by Ethyl Methane Sulfonate (EMS) for Bunchy TopVirus Resistence in Banana. Annales Bogorienses. 38 (3):205-211.

Jabeen, N., and Mirza, B. 2002. Ethyl Methane Sulfonate Enhances GeneticVariability in Capsicum annuum. Asian Journal of Plant Sciences. 1 (4):425-428.

Jayakumar S., and Selvaraj R. 2003. Mutagenic Effectiveness and Efficiency ofGamma Rays and Ethyl Methane Sulphonate in Sunflower (Helianthusannus L.). Madras Jurnal Agriculture. 90 (1):574-576.

Koethoff, M., Sandel. E.B., and Merhan, E.J. 1989. Quantitative ChemicalAnalysis. Fourth Edition, New York : Macmillan Publishing.p.36-39.

Kulkami, G. B. 2011. Efect of Mutagen on Pollen Fertility and Other Paramenterin Horse Gram (Imacrotyloma uniflorum (Lam) Verdcourt). BioscienceDiscovery. 2 (1):146-150.

Kumar, G., and Yadav, R.S. 2010. EMS Induced Genomic Disorders in Sesame(Sesamum indicum L.). Romanian Journal Of Biology Plant Biology. 55(2):97–104.

Lichtenthaler, H.K., and Wellburn, R.R. 1983. Determination of TotalCarotenoids and Chlorophylls a and b of Leaf Extracts in DifferentSolvents. Biochemical Society Transaction. 11 (7):591-592.

Loveless, A.R. 1991. Prinsip Prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropik.Jilid 1.Jakarta : PT. Gramedia Pustaka.p.33-35.

Mahandjiev, A., Kosturkova, G., and Mihov, M. 2001. Enrichment of Pisumsativum Gene Resources through Combined use of Physical and ChemicalMutagens. Israel Journal of Plant Sciences. 49 (4):279-284.

Mensah, J.K., and Obadoni, B. 2007. Effects of Sodium Azide on YieldParameters of Groundnut (Arachis hypogaea L.). African Journal ofBiotechnology. 6 (6):668-671.

Mishra, M.N., Hina, Q., and Shivali, M. 2007. Macro and Micro Mutations, inGamma Rays Induced M2 Populations of Okra (Abelmoschus esculentus(L) Moench). Journal Plant Sciences. 2 (1):44-47.

Mugiono. 2001. Pemuliaan Tanaman Dengan Teknik Mutasi. Badan TenagaNuklir Nasional, Pusat Pendidikan dan Pelatihan. Jakarta.p.17-19.

47

Pande, S., and Khetmalas, M. 2012. Biological Effect of Sodium Azide andColchicine on Seed Germination and Callus Induction in Steviarebaudiana. Asian Journal of Experimental Biological Sciences. 3 (1): 93-98.

Pharmawati M., Defiani M.R., and Suada I.K. 2013. Ethyl MethanesulfonateDelayed Germination and Altered Seedling Morphology of Capsicumannuum L. Proceedings 4th International Conference on Biosciences andBiotechnology.

Pitojo, S. 2003. Benih Cabai. Yogyakarta: Kanisius.p.23-24.

Poerba Y.S. 2000. Pengaruh Mutagen Ethyl Methan Sulfonate (EMS) TerhadapPertumbuhan Sonchus arvensis (L.) Pada Generasi M1. Seminar NasionalBiologi XVI. Bandung.p.25-32.

Purwati, R.D., Budi, U., dan Sudarsono, S. 2007. Penggunaan Asam Fusaratdalam Seleksi in vitro untuk Resistensi terhadap Fusarium oxysporum f.sp.cubense. Jurnal Littri. 7 (2):80-91.

Purwati, R.D., Sudjindro, K.E., dan Sudarsono, S. 2008. Keragaman GenetikaVarian Abaka yang Diinduksi dengan Ethyl Methane Sulphonate (EMS).Jurnal Littri. 15 (4):152-161.

Puspita, D. S., Ashari, S., dan Haryono, D. 2010. Respon Awal PertumbuhanVegetatif Tanaman Durian (Durio zibethinus Murr.) Terhadap PemberianPupuk Anorganik. Malang : Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.p.21-24.

Rukmana, R.H 2002. Usaha Tani Cabai Rawit. Yogyakarta: Kanisius.p.31-33.

Sakin M. A and Sencar. 2002. The Effect of Different Doses of Gamma Ray andEMS on Formation of Chlorophyll Mutation in Durum Wheat (Trticumdurum Desf.). Tarim Bilimleri Dergisi. 3 (1):15-21.

Salisbury, F. B., dan Ross, C. W. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. (Lukman,D.R dan Sumaryono). Bandung: ITB.p.343.

Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.p.32-35.

Setiadi, 1987. Bertanam Cabai. Jakarta: Penebar Swadaya.p.27-29.

Sharma B.K., and Mishra, M.N. 2007. Micro-Mutations for Fruit Number, FruitLength and Fruit Yield Characters in Gamma-Irradiated Generation of

48

ANKUR-40 Variety of Okra (Abelmoschus esculentus (L.) Monech).Journal of Horticulture and Forestry. 2 (3):038-051.

Singh, R., and Kole, C.R. 2005. Effect of Mutagenic Treatments with EMS onGermination and some Seedling Parameters in Mungbean. Crop Research.30 (2):236-240.

Soeranto, H. 2003. Peran IPTEK Nuklir dalam Pemuliaan Tanaman untukMendukung Industri Pertanian. Jakarta: Puslitbang Teknologi Isotop danRadiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional.p.308-316.

Srivastava, P., and Pandey, J. 2012. LICF Spectrum as a Fast Detector ofChlorophyll Damage in Safflower Growing under Mutagenic Stress.World Journal of Agricultural Sciences. 8 (3):322-325.

Sudiono, Yasin, N., Hendrastuti, S., dan Hidayat, P. 2005. Penyebaran danDeteksi Molekuler Virus Gemini Penyebab Penyakit Kuning padaTanaman Cabai di Sumatera. Jurnal Hama dan Penyakit TumbuhanTropika. 5 (2):113-121.

Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Bisnis. Bandung : PT. Alfabeta.p.20-23.

Sutapradja, H. 2008. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Tomat Kultivar Intan danMutiara pada Berbagai Jenis Tanah. Jurnal Hortikultura. 18 (2):160-164.

Svetlana, D.L., 2004. Induction of Chlorophyll Tool for Detecting Differences andChanges of Mutants in Common Bean Under the Action of ChlorophyllContent in Plant Species and Leaf Tissue. Chemical Mutagens ENU andEMS. Journal of Central European Agriculture. 5 (2):85-90.

Syukur, M., Sujiprihati, S., Koswara, J., dan Widodo, J. 2009. Ketahanan terhadapAntraknosa yang Disebabkan oleh Colletotrichum acutatum padaBeberapa Genotipe Cabai (Capsicum annuum L.) dan Korelasinya denganKandungan Kapsaicin dan Peroksidase. Jurnal Agronomi Indonesia. 37(3):233-239.

Taiz L and Zeiger E. 1991. Plant Physiology. Tokyo: The Benyamin/CummingPublishing Company.p.219-247.

Tyagi, A.P. 2002. Cytogenetics and Reproductive Biology of Some BELE(Abelmoschus manihot Linn.) Cultivars. Journal Natural Science. 20 (1):30-33.

Van Harten, A.M. 1998. Mutation Breeding: Theory and Practical Application.New York : Cambridge University Press.p.53-55.

49

Wijayakusuma, H., Dalimartha, S., Wirian, A.S. 1992. “Tanaman BerkhasiatObat di Indonesia”. Jilid I Jakarta: Pustaka Kartini.p.21-25.

Yanti, Y. 2007. Morphologycal Variation Planlet “Raja Sereh”Banana Treatmentsof Ethyl Methane Sulphonate Muthagen Throuhg in vitro. The Third AsianConference on Plant Pathology. Yogyakarta.p. 467-471.

Zhu, X.D., Chen, H.Q., and Shan, J.X. 2006. Nuclear Techniques for RiceImprovement and Mutant Induction in China National Rice ResearchInstitute. Plant Mutation Reports. 3 (1):7-10.

50

LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil ANOVA Tinggi Tanaman Cabai Rawit 4 MST

SumberKeragaman

DerajatBebas

JumlahKuadrat

KuadratTengah F Signifikn

Perlakuan 3 189,283 63,094 95,30 0,000*Kelompok 5 1,884 0,377 0,569 0,723

Galat 135 89,332 0,662Total 143 280,498

Lampiran 2. Hasil ANOVA Tinggi Tanaman Cabai Rawit 10 MST

SumberKeragaman

DerajatBebas

JumlahKuadrat

KuadratTengah F Signifikan

Perlakuan 3 873,668 291,229 76,289 0,000*

Kelompok 5 216,396 43,279 11,337 0,000*

Galat 135 515,354 3,817

Total 143 1605,438

Lampiran 3. Hasil ANOVA Tinggi Tanaman Cabai Rawit 20 MST

SumberKeragaman

DerajatBebas

JumlahKuadrat

KuadratTengah F Signifikan

Perlakuan 3 142,377 47,459 2,615 0,054

Kelompok 5 734,765 146,953 8,096 0,000*

Galat 120 2178,074 18,151

Total 128 3054,326

Lampiran 4. Hasil ANOVA Jumlah Cabang Tanaman Cabai Rawit 10 MST

SumberKeragaman

DerajatBebas

JumlahKuadrat

KuadratTengah F Signifikan

Perlakuan 3 59,91 19,97 39,044 0,000*Kelompok 5 29,201 5,84 11,419 0,000*

Galat 135 69,049 0,511

Total 143 158,16

51

Lampiran 5. Hasil ANOVA Jumlah Cabang Tanaman Cabai Rawit 20 MST

SumberKeragaman

DerajatBebas

JumlahKuadrat

KuadratTengah F Signifikan

Perlakuan 3 15,603 5,201 2,255 0,085Kelompok 5 89,339 17,868 7,748 0,000*

Galat 120 276,741 2,306Total 128 381,349

Lampiran 6. Hasil ANOVA 50% Berbunga Tanaman Cabai Rawit.

SumberKeragaman

DerajatBebas

JumlahKuadrat

KuadratTengah

F Sig.

Perlakuan 3 22,458 7,486 1,774 0,195Kelompok 5 42,875 8,575 2,032 0,132Galat 15 63,292 4,219Total 24 77763,000

Lampiran 7. Hasil ANOVA 50% Berbuah Tanaman Cabai Rawit.

SumberKeragaman

DerajatBebas

JumlahKuadrat

KuadratTengah

F Sig.

Pperlakuan 3 98,000 32,667 2,500 0,099

Kelompok 5 65,333 13,067 1,000 0,451

Galat 15 196,000 13,067Total 24 121912,000

Lampiran 8. Hasil ANOVA Jumlah Bunga Tanaman Cabai Rawit 10 MST

SumberKeragaman

DerajatBebas

JumlahKuadrat

KuadratTengah F Signifikan

Perlakuan 3 2,965 0,988 2,438 0,067Kelompok 5 11,451 2,29 5,648 0,000*

Galat 135 54,743 0,406

Total 143 69,16

52

Lampiran 9. Hasil ANOVA Jumlah Bunga Tanaman Cabai Rawit 20 MST

SumberKeragaman

DerajatBebas

JumlahKuadrat

KuadratTengah F Signifikan

Perlakuan 3 13,333 4,444 3,067 0,031*

Kelompok 5 66,196 13,239 9,138 0,000*

Galat 119 172,414 1,449

Total 127 253,617

Lampiran 10. Hasil ANOVA Jumlah Total Buah Tanaman Cabai Rawit 24 MST

SumberKeragaman

DerajatBebas

JumlahKuadrat

KuadratTengah

F Sig.

Perlakuan 3 1090.704 363.568 25.229 0.000Kelompok 5 219.114 43.823 3.041 0.013Galat 127 1830.156 14.411Total 136 466652.000

53

Lampiran 11. Foto Penelitian

Munculnya Bibit pada 9 hari setelah semai (HSS).

Buah Cabai Rawit.