Abstrak Pelebaran Jalan

49
ABSTRAK Pertumbuhan dan perkembangan Kota Bogor yang terus meningkat dari tahun ke tahun berdampak pula pada terus bertambahnya jumlah dan jenis moda transportasi yang ada. Konsekuensi dari keadaan tersebut salah satunya adalah tingginya volume lalu lintas yang terjadi setiap hari pada daerah-daerah pusat perkotaan maupun daerah bangkitan lalu lintas lainnya seperti kawasan perumahan dan industri. Tingginya volume lalu lintas menyebabkan kemacetan di ruas-ruas jalan yang ada baik di ruas jalan kolektor maupun jalan arteri, hal tersebut terjadi karena jumlah dan peningkatan moda transportasi tidak dibarengi dengan peningkatan infrastruktur yang ada seperti lebar jalan yang belum memadai dan kondisi yang masih buruk. Pelebaran Jalan Tanah Baru dimaksudkan, dapat mempermudah arus lalu lintas yang akan menuju Tanah Baru dan Sebaliknya, mengurangi kepadatan dijalan Cimahpar yang disebabkan pertemuan kendaraan dari tanah baru dan dapat menampung jalur penataan trayek untuk angkutan umum yang akan melayani ke wilayah tersebut. Pengumpulan data dilapangan diawali dengan survei pendahuluan. Kegiatan survei ini meliputi pengumpulan data dilapangan berdasarkan pengamatan visual dan pengukuran, juga masukan dari berbagai sumber sehingga didapatkan gambaran kondisi lapangan pada rute jalan rencana (sepanjang rute terpilih). Kemudian dilanjutkan iii

description

Pelebaran dan Perhitungan jalan

Transcript of Abstrak Pelebaran Jalan

Page 1: Abstrak Pelebaran Jalan

ABSTRAK

Pertumbuhan dan perkembangan Kota Bogor yang terus meningkat dari tahun

ke tahun berdampak pula pada terus bertambahnya jumlah dan jenis moda

transportasi yang ada. Konsekuensi dari keadaan tersebut salah satunya adalah

tingginya volume lalu lintas yang terjadi setiap hari pada daerah-daerah pusat

perkotaan maupun daerah bangkitan lalu lintas lainnya seperti kawasan perumahan

dan industri. Tingginya volume lalu lintas menyebabkan kemacetan di ruas-ruas jalan

yang ada baik di ruas jalan kolektor maupun jalan arteri, hal tersebut terjadi karena

jumlah dan peningkatan moda transportasi tidak dibarengi dengan peningkatan

infrastruktur yang ada seperti lebar jalan yang belum memadai dan kondisi yang

masih buruk. Pelebaran Jalan Tanah Baru dimaksudkan, dapat mempermudah arus

lalu lintas yang akan menuju Tanah Baru dan Sebaliknya, mengurangi kepadatan

dijalan Cimahpar yang disebabkan pertemuan kendaraan dari tanah baru dan dapat

menampung jalur penataan trayek untuk angkutan umum yang akan melayani ke

wilayah tersebut.

Pengumpulan data dilapangan diawali dengan survei pendahuluan. Kegiatan

survei ini meliputi pengumpulan data dilapangan berdasarkan pengamatan visual dan

pengukuran, juga masukan dari berbagai sumber sehingga didapatkan gambaran

kondisi lapangan pada rute jalan rencana (sepanjang rute terpilih). Kemudian

dilanjutkan dengan survei detail yaitu : survei topografi, survei hidrologi, survei lalu

lintas dan survei geoteknik.

Hasil analisis memperlihatkan bahwa klasifikasi medan jalan Tanah Baru

cukup datar dan landai, dengan jarak pandang henti (jh) = 75 m, jarak pandang

mendahului (jd) = 350 m. Memperhatikan kondisi jalan existing dan terbatasnya

lahan maka direncanakan 14 jenis tikungan Spiral – spiral (S-S) dan 2 jenis tikungan

Spiral – circle – spiral (S-C-S), sedangkan tebal perkerasan kaku (rigid) didapat 160

mm, namun dipakai tebal perkerasan 250 mm.

iii

Page 2: Abstrak Pelebaran Jalan

Pelayanan yang ekstra bagi pemenuhan kebutuhan warga juga menjadi tuntutan

utama karena semakin berkembang dan beragamnya kebutuhan seluruh warga

terhadap barang dan jasa. Implikasi dari semua ini adalah meningkatnya kebutuhan

pengadaan sarana transportasi masyarakat Kota, timbulnya kemacetan, meningkatnya

jumlah pedagang kaki lima secara berlebihan, rusaknya tata kota, semakin

iii

Page 3: Abstrak Pelebaran Jalan

menurunnya kualitas kebersihan kota sebagai akibat dari kelebihan penduduk dan

segala aktivitasnya yang melebihi daya dukung lingkungan.

Dengan posisinya yang strategis sebagai salah satu penyangga ibukota serta

kondisi alamnya yang relatif lebih nyaman dibanding kota penyangga lainnya

menjadikan kota Bogor menjadi pilihan bagi penduduk baik yang datang dari sekitar

Bogor maupun para perantau dari daerah-daerah lainnya yang menjadikan Bogor

atau Jakarta sebagai sumber mencari mata pencaharian. Kondisi tersebut

memberikan dampak yang luas bagi Kota Bogor baik dalam tatanan kemasyarakatan,

perekonomian, dan kondisi lainnya.

2.1.1 Karakteristik Fisik Wilayah

Secara geografis Kota Bogor terletak pada 106,48° Bujur Timur dan 6,36°

Lintang selatan. Terletak pada jarak ± 50 km di selatan Ibu Kota Negara serta ± 180

km dari Bandung, ibukota propinsi Jawa Barat.

Secara Topografis Kota Bogor terdiri dari daerah yang berbukit bergelombang

dengan perbedaan ketinggian yang cukup besar, bervariasi antara 190 s/d 350 m

diatas permukaan laut. Kemiringan lereng lahan Kota Bogor adalah berkisar 0-2%

(datar) seluas 1.763,94 Ha, 2-15% (landai) seluas 8.91,27 Ha, 15-25% (agak curam)

seluas 1.109,89 Ha, 25-40% (curam) seluas 764,96 Ha, dan > 40% (sangat curam)

seluas 119,94 Ha.

Dilihat dari kondisi geologisnya, maka secara umum Kota Bogor ditutupi oleh

batuan vulkanik yang berasal dari endapan (batuan sedimen) dua gunung berapi,

yaitu Gunung Pangrango (berupa batuan breksi tupaan/kpbb) dan Gunung Salak

(berupa alluvium/kal dan kipas alluvium/kpal). Lapisan batuan ini berada agak dalam

iii

Page 4: Abstrak Pelebaran Jalan

dari permukaan tanah dan jauh dari aliran sungai. Endapan permukaan umumnya

berupa alluvial yang tersusun oleh tanah, pasir dan kerikil hasil pelapukan endapan,

hal ini baik untuk vegetasi. Dari struktur geologi tersebut, maka Kota Bogor

memiliki jenis aliran Andesit seluas 2.719,61 Ha, Kipas Aluvial seluas 3.249,98 Ha,

Endapan 1.372,68 Ha. Tufaan 3.395,75 Ha dan Lanau Breksi Tufan dan Capili seluas

1.112, 56 Ha.

iii

Page 5: Abstrak Pelebaran Jalan

Gambar 2.1. Wilayah Administrasi Kota Bogor

Sumber air bagi Kota Bogor menurut asalnya terdiri dari sungai, air tanah dan

mata air. Sungai utama yang mengalir di Kota Bogor terdiri dari Sungai Ciliwung

dan Sungai Cisadane, dan beberapa anak sungai. Pada umumnya aliran sungai

tersebut dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat Kota Bogor sebagai sarana MCK

dan usaha perikanan karamba serta sumber air baku bagi PDAM dan keberadaan air

tanah di Kota Bogor kualitasnya terbilang cukup baik. Namun demikian tingkat

pelapukan batuan yang cukup tinggi selain tingginya laju perubahan penutupan lahan

oleh bangunan menyebabkan kapasitas infiltrasi air hujan menjadi sangat rendah

yang pada akhirnya mempertinggi run off, hal ini merupakan salah satu penyebab

menurunnya muka air tanah di musim kemarau.

Curah hujan rata-rata di wilayah Kota Bogor berkisar antara 3.000 sampai

4.000 mm/tahun. Curah hujan bulanan berkisar antara 250 – 335 mm dengan waktu

curah hujan minimum terjadi pada bulan September sekitar 128 mm, sedangkan

curah hujan maksimum terjadi di bulan Oktober sekitar 346 mm. Temperatur rata-

iii

Page 6: Abstrak Pelebaran Jalan

rata wilayah Kota Bogor berada pada suhu 26C, temperatur tertinggi sekitar 34,4C

dengan kelembaban udara rata-rata lebih dari 70 %. Kecepatan angin rata-rata per

tahun adalah 2 km/jam dengan arah Timur Laut.

2.1.2 Karakteristik Kependudukan

Peran dan fungsi Kota Bogor dalam konstelasi regional maupun nasional telah

menciptakan kesempatan yang luas dalam peekembangan dan pertumbuhan Kota

Bogor, seperti tercermin dalam pertumbuhan penduduk yang meningkat dengan

stabil disertai dengan dinamika kegiatan yang cukup tinggi dan terus meningkat.

Jumlah penduduk merupakan salah satu faktor utama yang memperngaruhi

perkembangan suatu perkotaan. Penambahan dan pengurangan jumlah penduduk

akibat adanya perubahan batas administrasi, migrasi, kelahiran, dan juga kematian

mempengaruhi kebutuhan akan saran dan prasarana perkotaan yang akhirnya

menentukan arahan perkembangan perkotaan.

Dalam perkembangannya, Kota Bogor memiliki rate pertumbuhan penduduk

sebesar 2,2 % dari tahun 1999 – 2004. Dari data perkembangan jumlah penduduk

terlihat bahwa jumlah penduduk meningkat setiap tahunnya. Dalam lima tahun,

jumlah penduduk meningkat dari 1.035.221 jiwa menjadi 1.095.573 jiwa.

Perkembangan penduduk Kota Bogor yang pesat terjadi pada tahun 2004 sebesar

40.672 jiwa, jumlah ini merupakan peningkatan yang cukup besar karena pada tahun

sebelumnya, pertambahan jumlah pendudunya hanya mencapai 6.265 jiwa. Menurut

proyeksi jumlah pertambahan penduduk, pertumbuhan jumlah penduduk Kota Bogor

akan mencapai 1.159.461 jiwa pada tahun 2009, 1.227.074 jiwa pda tahun 2014, dan

1.298.630 jiwa pada tahun 2019.

iii

Page 7: Abstrak Pelebaran Jalan

2.1.3 Karakteristik Sosio Ekonomi

Laju Inflasi Kota Bogor dilihat dari rata-rata selama 5 tahun terakhir

(2001-2005) sebesar 11,18 %. Hal ini disebabkan oleh kebijakan Pemerintah

mengurangi subsidi BBM pada tahun 2005. Proporsi pengeluaran pemerintah

terhadap PDRB kota Bogor rata-rata selama lima tahun terakhir ( 2001-2005) adalah

Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) sebesar 9.88 %, yang terdiri dari

Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar 1.26% dan Dana Perimbangan sebesar 8.26%

Indeks Pembangunan Manusia Kota Bogor pada tahun 2005 sebesar 74,94 %

yang terdiri dari Indeks Kesehatan sebesar 78 %, Indeks Pendidikan 88,10 % serta

Indeks Daya Beli 58,71 %. Adanya berbagai upaya penanganan krisis dan didukung

oleh penerapan otonomi daerah yang lebih luas memberikan keleluasaan kepada

daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini berdampak pada perbaikan

kondisi perekonomian Kota Bogor.

Perbaikan kondisi tersebut bisa dilihat dari nilai PDRB berdasarkan harga

konstan tahun 2000, selama 5 tahun (2001- 2005) mencapai rata-rata Rp.

3.181.424,52 juta atau rata-rata per kapita sebesar Rp. 3.888.071,98 per tahun. PDRB

sektor primer tercatat sebesar Rp. 11.680,58 juta, sektor sekunder sebesar Rp.

1.230.386,77 juta dan sektor tersier sebesar Rp. 1.939.357,24 juta. Laju pertumbuhan

Ekonomi Kota Bogor selama 5 tahun terakhir mencapai rata-rata 5,95 %. Sektor

yang pertumbuhannya paling tinggi dari tahun 2001- 2005 adalah sektor tersier.

Untuk mendapatkan gambaran komprehensif terhadap struktur perekonomian

yang terdapat pada suatu wilayah biasanya analisis dilakukan dengan mengklasifikasi

lapangan-lapangan usaha ekonomi dalam klasifikasi sektor, yaitu: Sektor

Primer,Sektor Sekunder dan Sektor Tersier.

iii

Page 8: Abstrak Pelebaran Jalan

a. Sektor Primer

Sektor pertanian kontribusinya terhadap PDRB akan semakin menurun sebesar

0,37% terhadap nilai total PDRB Kota Bogor, dengan laju pertumbuhan 4,45%.

Angka-angka ini sangat kecil, karena sektor pertanian masih menghadapi beragam

permasalahan yang perlu ditangani, yaitu rendahnya kualitas sumber daya manusia,

produktivitas, efesiensi usaha, lahan yang semakin menyempit akibat konversi lahan

pertanian, keterbatasan sarana dan prasarana, terbatasnya kredit dan pemanfaatan

teknologi yang masih kurang.

b. Sektor Sekunder

Sektor Sekunder merupakan sektor ekonomi yang lebih bertumpu pada

pengintegrasian sumber daya manusia, modal, teknologi dan bahan baku yang

berasal dari hasil sektor primer. Sektor ini meliputi lapangan usaha industri

pengolahan, listrik, gas, air minum dan konstruksi. Sumbangan Sektor ini terhadap

PDRB Kota Bogor selama 5 tahun terakhir (2001-2005) adalah sebesar 38,67 %,

dengan laju pertumbuhan 5,99%.

c. Sektor Tersier

Sektor Tersier merupakan sektor ekonomi yang bertumpu nilai tambah yang

diperoleh dari proses pengolahan informasi, daya cipta, organisasi dan koordinasi

antar manusia dan tidak memproduksi dalam bentuk fisik melainkan dalam bentuk

Jasa. Sektor ini meliputi lapangan usaha perdagangan, hotel dan restoran, angkutan,

komunikasi, keuangan dan jasa-jasa.

iii

Page 9: Abstrak Pelebaran Jalan

2.2 Kondisi Lalu Lintas dan Transportasi Eksisting

2.2.1 Gambaran Umum Kondisi Lalu Lintas

Kondisi lalu lintas dan transportasi di Kota Bogor saat ini memerlukan upaya

yang sungguh-sungguh baik dalam penyediaan, perawatan, maupun pendistribusian

sebarannya. Ketimpangan dalam penyediaan, perawatan dan pendistribusian akan

berdampak pada tidak seimbang dan meratanya pembangunan kota.

Di Kota Bogor saat ini terdapat 2 terminal untuk kendaraan umum yang terdiri

dari :

1. Terminal Tipe A Baranangsiang dengan luas 22.100 m2 dengan daya

tampung 102 unit kendaraan untuk trayek Antar Kota Antar Propinsi

(AKAP) dan trayek Antar Kota Dalam Propinsi (AKDP). (Sumber:

Wulanraini, Analisis Fungsi Jalan Pajajaran Sebagai Jalan Arteri Sekunder di

Kota Bogor, TA Planologi Unpak, 2007)

2. Terminal Tipe C yaitu terminal Bubulak dengan luas 11.850 m2 dan

terminal Merdeka yang melayani angkutan kota. (Sumber: Wulanraini,

Analisis Fungsi Jalan Pajajaran Sebagai Jalan Arteri Sekunder di Kota Bogor,

TA Planologi Unpak, 2007)

Semakin meningkatnya kebutuhan akan moda untuk transportasi yang lebih

menimbulkan pertumbuhan jumlah moda/kendaraan yang berada di Kota Bogor.

Dalam kurun waktu tahun 2002 sampai dengan 2005 rata-rata pertumbuhan nya

adalah sebesar 32%. Moda/kendaraan yang terdaftar di Kota Bogor pada tahun 2005

iii

Page 10: Abstrak Pelebaran Jalan

adalah sejumlah 120.635 kendaraan dengan didominasi oleh keberadaan kendaraan

pribadi sebanyak kendaraan pribadi sebanyak 111.013 unit (92,02%) dan kendaraan

umum sebanyak 9.622 unit (7,98%).

Kendaraan pribadi yang ada juga didominasi oleh sepeda motor dimana

jumlahnya mencapai 73.146 unit (65,89%) dari keseluruhan jumlah kendaraan

pribadi dan sisanya adalah kendaraan beroda empat dan sepeda non-motor.

Pertumbuhan yang tinggi dari kendaraan pribadi bila dicermati sebenarnya terjadi

dari peningkatan yang cukup signifikan dari jumlah sepeda motor, hal ini terjadi

karena dengan kondisi sediaan jalan yang terbatas, sehingga menimbulkan kepadatan

yang tinggi, maka pemilihan sepeda motor sebagai sarana dilakukan oleh penduduk

untuk menjawab kebutuhan dalam melakukan pergerakan secara cepat dan murah.

2.2.2 Jaringan Jalan Eksisting

Panjang jalan di Kota Bogor tahun 2004 adalah sebanyak 620.595 km terdiri

atas 33.810 km jalan negara, 6.358 km jalan propinsi dan 580.427 km jalan kota.

Kondisi jalan di koa Bogor adalah: jalan baik sekali 5,67%, sedang 39,96%, rusak

27,63% (21,8%,0%,28,27%), dan rusak berat 24,81% (0%,0%,26,53%) sedangkan

Jenis perkerasan permukaan jalannya adalah: permukaan aspal 86,05%, Kerikil

3,24%, tanah 1,46%, beton/conblok 6,3%, dan tidak dirinci 2,95%.

2.2.3 Pola Jaringan Jalan

Sebagian besar ruas jalan dalam kota terdiri dari 2 lajur untuk dua arah,

demikian pula jaringan jalan penghubung Kota Bogor dengan kota sekitarnya terdiri

dari 2 lajur untuk dua arah. Jaringan transportasi Kota Bogor saat ini cenderung

iii

Page 11: Abstrak Pelebaran Jalan

berpola radial konsentrik dengan berpusat pada Pusat Kota. Kondisi ini

menyebabkan timbulnya beberapa titik-titik kemacetan terutama pada jam-jam sibuk.

2.2.4 Karakteristik Perjalanan

Perjalanan yang terjadi dalam Kota Bogor adalah 1.063.753 perjalanan

orang/hari (perjalanan Internal – internal), sedangkan perjalanan yang melintasi Kota

Bogor (perjalanan eksternal – eksternal) adalah 675.354 perjalan orang/hari.

Khusus perjalanan dari Kota Bogor menuju Jakarta adalah 53.188 perjalanan

orang/hari atau sekitar 5% dari total perjalan yang terjadi dengan penggunaan

angkutan umum sekitar 48,83% atau sebesar 25.972 perjalanan orang/hari. Untuk

pola pergerakan dengan menggunakan moda Kereta Api, berdasarkan sumber

pencatatan Stasiun Bogor, pada 2004 terdapat pergerakan berangkat dari Stasiun

Bogor sebanyak 10.457.405 perjalanan orang/tahun atau 28.572 perjalanan

orang/hari. (Sumber : Wulanraini, Analisis Fungsi Jalan Pajajaran Sebagai Jalan Arteri

Sekunder di Kota Bogor, TA Planologi Unpak, 2007)

2.2.5 Angkutan Umum

Pelayanan angkutan umum di Kota Bogor sangat bergantung pada moda

mobil penumpang umum dengan kapasitas 15 orang per unitnya. Dengan moda

mobil penumpang umum seperti itu, pergerakan pada jam-jam sibuk akan

membutuhkan jumlah moda yang sangat banyak, hal ini menyebabkan keberadaan

angkutan umum makin menambah kepadatan di jalan Kota Bogor. Pada jam-jam

lengang karena ingin bersaing untuk mendapatkan pendapatan yang setinggi-

tingginya angkutan umum yang ada ini tetap beroperasi sehingga walaupun tidak

iii

Page 12: Abstrak Pelebaran Jalan

banyak penumpang tetapi keberadaannya tetap menggunakan sebagian besar

kapasitas jalan yang ada.

Selain itu pada tahun 2005 di Kota Bogor mulai dioperasikannya bis Trans

Pakuan yang melayani route dari terminal Bubulak ke terminal Baranangsiang.

Sementara itu angkutan umum berupa bis baik bis besar ataupun bis kecil melayani

angkutan antar kota antar propinsi maupun antar kota dalam propinsi menggunakan

langsung jalan tol jagorawi tidak melalui jalan arteri di kota Bogor. Sedangkan

angkutan umum berupa bis kecil yang melalui jalan arteri Kota Bogor, terutama

Jalan Raya Bogor-Jakarta seperti Bogor-Tangerang, Bogor-Kampung Rambutan,

Bogor-Pasar Minggu dan Bogor-Depok.

2.2.6 Angkutan Kereta Api

Untuk terminal kereta api maka di Kota Bogor terdapat dua stasiun kereta api

yaitu Stasiun Kereta Api Bogor sebagai stasiun utama dan Stasiun Batu Tulis sebagai

stasiun pembantu. Stasiun Bogor sangat berperan dalam melayani pergerakan

penduduk yang menuju Jakarta, setiap harinya tercatat Stasiun Bogor digunakan oleh

lebih dari 45.000 orang.

2.3 Rencana Umum Jaringan Transportasi Jalan Kota (RUJTJK) Kota

Bogor tahun 2006

Grand design Rencana Umum Jaringan Transportasi Jalan Kota di Kota Bogor

(sumber : Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kota Bogor) yaitu mencakup

penanganan Skenario Do Nothing atau tidak ada penanganan khusus terhadap

jaringan transportasi jalan dan Skenario Do Something yang mencakup:

iii

Page 13: Abstrak Pelebaran Jalan

(1) Pembangunan jalan arteri dari simpang kedung halang ke sentul selatan/Bukit

Sentul;

(2) Pembangunan jalan tol tahap I : dari tol jagorawi gate sentul selatan – simpang

kedung halang;

(3) Pembangunan Jalan R3 – Pandawa (Jalan Kolektor);

(4) Pembangunan On Ramp pada tol Baranangsiang (R3);

(5) Perbaikan hirarki jaringan angkutan umum dan rerouting trayek akibat adanya

relokasi Terminal Baranangsiang;

(6) Pelaksanaan dan pengoperasian SAUM (Sistem Angkutan Umum Massal)

dengan bus pada Koridor 1 : Terminal Bubulak – Jl. KH. Sholeh Iskandar – Jl.

Pajajaran – Pool Bus Wisata; Koridor 2 : Terminal Bubulak – Jl. KH. Sholeh

Iskandar – Jl. R2 – Terminal Tanah Baru;

(7) Penetapan jaringan lintas (Tol Jagorawi – Jl. Raya Bogor – Jl. Raya Pajajaran –

Jl. Raya Tajur, Jl. KH. Sholeh Iskandar/Parung, Abdullah Bin Nuh, Jl. Raya

Sindang Barang (Dramaga), Jl. A. Yani, Jl. Pemuda, dan;

(8) Peningkatan kapasitas ruas jalan pada Jl. Raya Pajajaran, Simpang Pomad dan

Jl. P. Ashogiri,Jl. Pasir Kuda, Jl. RE. Abdullah.

2.4 Permasalahan Transportasi di Kota Bogor

Pola jaringan jalan radial konsentris menyebabkan arah pergerakan lalu-lintas

masih harus melintas pusat Kota. Kapasitas aksebilitas jaringan jalan masih terbatas

dan terdapat sejumlah ruas jalan yang mengalami penyempitan disejumlah titik.

jaringan transportasi lokal dan regional belum terpadu, tingginya frekwensi

perisilangan kereta apai dengan jaringan jalan, tingginya populasi kendaraan

iii

Page 14: Abstrak Pelebaran Jalan

bermotor, penggunaan badan jalan oleh PKL dan masih rendahnya disiplin lalu

lintas.

Sedangkan rencana besar pembangunan jalan tol Warung Jambu, Sentul dan

Jalan arteri yang mendampingi jalan tol tersebut masih terhambat oleh proses

pembebasan lahannya. Sedangkan jalan Alteleri Pandu Raya menuju Warung Jambu

belum termanfaatkan optimal karena pembangunan jalan tersebut belum tuntas.

Sementara kerusakan yang cukup parah terjadi di jalur utama Jalan KH. Sholeh

Iskandar.

2.5 Elemen Perencanaan Geometrik

2.5.1 Alinemen Vertikal

Alinemen vertikal adalah perencanaan elevasi sumbu jalan pada setiap titik

yang ditinjau, berupa profil memanjang. Pada perencanaan alinemen vertikal akan

ditemui kelandaian positif (tanjakan) dan kelandaian negatif (turunan), sehingga

kombinasinya berupa lengkung cembung dan lengkung cekung. Disamping kedua

lengkung tersebut ditemui pula kelandaian = 0 (datar).

Kondisi tersebut dipengaruhi oleh keadaan topografi yang dilalui oleh

trase/route jalan rencana. Kondisi topografi tidak saja berpengaruh pada perencanaan

alinemen horisontal, tetapi juga mempengaruhi alinemen vertikal. Untuk menghitung

dan merencanakan lengkung vertikal ada beberapa hal yang perlu diperhatikan,

yaitu.:

- Karakteristik kendaraan pada kelandaian

Hampir seluruh kendaraan penumpang dapat berjalan baik dengan kelandaian

7-8% tanpa ada perbedaan dibandingkan pada bagian datar. Pengamatan

iii

Page 15: Abstrak Pelebaran Jalan

menunjukkan bahwa untuk mobil penumpang pada kelandaian 3% hanya

sedikit sekali pengaruhnya dibanding dengan jalan datar. Sedangkan untuk

truk kelandaian akan lebih besar pengaruhnya.

- Kelandaian Maksimum

Kelandaian maksimum yang ditentukan untuk berbagai variasi kecepatan

rencana, dimaksudkan agar kendaraan dapat bergerak terus tanpa kehilangan

kecepatan yang berarti.

Kelandaian maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan

penuh, mampu bergerak dengan kecepatan tidak kurang dari separuh

kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi rendah.

- Kelandaian Minimum

Pada jalan yang menggunakan kerb pada tepi perkerasannya, perlu dibuat

kelandaian minimum 0,5 % untuk keperluan kemiringan saluran samping,

karena kemiringan melintang jalan dengan kerb hanya cukup untuk

mengalirkan air ke samping.

- Panjang Kritis Suatu Kelandaian

Panjang kritis ini Tabel 2.1 diperlukan sebagai batasan panjang kelandaian

maksimum, agar pengurangan kecepatan kendaraan tidak lebih dari separuh

V rencana. Lama perjalanan pada panjang kritis tidak lebih dari 1 (satu)

menit.

Tabel 2.1 Panjang Kritis (m)

Kecepatan Pada

Awal Tanjakan

(Km/Jam)

Kelandaian (%)

4 5 6 7 8 9 10

80 630 460 360 270 230 230 200

iii

Page 16: Abstrak Pelebaran Jalan

60 320 210 160 120 110 90 80

Sumber :TPGJK (Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota), 1997

- Lengkung Vertikal Cembung

Ketentuan tinggi menurut Bina Marga (1997) untuk lengkung cembung seperti

pada Tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2 Ketentuan Tinggi Untuk Jenis Jarak Pandang

Untuk Jarak

Pandang

h1 (m)

Tinggi Mata

h2 (m)

Tinggi Objek

Henti (jh) 1,05 0,15

Mendahului (jd) 1,05 1,05

Sumber : TPGJK (Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota), 1997

Panjang L berdasarkan jh :

Panjang L berdasarkan jd :

, (Lihat Gambar 2.2)

, (Lihat Gambar 2.3)

iii

g 1

h 1

h 2

E v

g 2

Jh 1 Jh 2

Jh 2

L

PV I

(Rumus 2.1 )

(Rumus 2.2)

(Rumus 2.3 )

(Rumus 2.4 )

Page 17: Abstrak Pelebaran Jalan

Gambar 2.2 Untuk jd < L

Gambar 2.3 Untuk jd > L

Dimana :

L = Panjang lengkung vertikal parabola (m)

jh = Jarak pandang henti (m)

jd = Jarak pandang mendahului (m)

A = g1 + g2 (kelandaian tangen) (%)

- Lengkung Vertikal Cekung

Ada 4 (empat) kriteria untuk menentukan panjang lengkung vertikal

cekung:

1. Jarak sinar lampu besar dari kendaraan

2. Kenyamanan pengemudi

3. Ketentuan drainase

iii

g1

h1

h2

g2

Jh

L

PVI

a b c d

½ L

Page 18: Abstrak Pelebaran Jalan

4. Performance secara umum

Gambar 2.4 Untuk Jh < L

Gambar 2.5 Untuk Jh > L

Dengan bantuan Gambar 4.4 dan Gambar 4.5, yaitu: tinggi lampu besar

kendaraan = 0,60 m dan sudut bias = 10, maka diperoleh hubungan praktis,

sebagai berikut :

Dimana :

L = Panjang lengkung vertikal cekung

jh = Jarak pandang henti

A = Kelandaian tangen (%)

- Pelebaran di Tikungan

iii

1O

Jh

60 cm

L

1O

Jh

60 cm

L

(Rumus 2.5)

(Rumus 2.6)

Page 19: Abstrak Pelebaran Jalan

Pelebaran perkerasan atau jalur lalu lintas di tikungan dilakukan untuk

mempertahankan kendaraan tetap pada lintasannya (lajurnya) sebagaimana

pada bagian lurus.

Hal ini terjadi karena pada kecepatan tertentu kendaraan pada tikungan

cenderung untuk keluar lajur akibat posisi roda depan dan roda belakang yang

tidak sama, tergantung dari ukuran kendaraan.

2.5.2 Alinemen Horisontal

Pada perencanaan alinemen horisontal akan ditemui dua jenis bagian jalan yaitu :

bagian lurus dan bagian lengkung atau tikungan.

2.5.2.1 Bagian Lurus

Panjang maksimum bagian lurus harus dapat ditempuh dalam waktu 2,5 menit

(sesuai rencana), dengan pertimbangan keselamatan pengemudi akibat dari

kelelahan.

Tabel 2.3:Pelebaran Di Tikungan Per Lajur (m) Untuk Lebar Lajur 2 x (B), 2 Atau 1 Arah

R

(m)

Kecepatan Rencana, VR (km/jam)

50 60 70 80 90 100 110 120

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 2

1500 0.3 0.0 0.4 0.0 0.4 0.0 0.4 0.0 0.4 0.0 0.5 0.0 0.6 0.0 0.1

1000 0.4 0.0 0.4 0.0 0.4 0.1 0.5 0.1 0.5 0.1 0.5 0.1 0.6 0.2 0.2

750 0.6 0.0 0.6 0.0 0.7 0.1 0.7 0.1 0.7 0.1 0.8 0.2 0.8 0.3 0.3

iii

Page 20: Abstrak Pelebaran Jalan

R

(m)

Kecepatan Rencana, VR (km/jam)

50 60 70 80 90 100 110 120

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 2

500 0.8 0.2 0.9 0.3 0.9 0.3 1.0 0.4 1.0 0.4 1.1 0.5 1.0 0.5

400 0.9 0.3 0.9 0.3 1.0 0.4 1.0 0.4 1.1 0.5 1.1 0.5

300 0.9 0.3 1.0 0.4 1.0 0.4 1.1 0.5 0.5

250 1.0 0.4 1.1 0.5 1.1 0.5 1.2 0.6

200 1.2 0.6 1.3 0.7 1.3 0.8 1.4

150 1.3 0.7 1.4 0.8

140 1.3 0.7 1.4 0.8

130 1.3 0.7 1.4 0.8

120 1.3 0.7 1.4 0.8

110 1.3 0.7 Keterangan :

100 1.4 0.8 Kolom 1, Untuk (B) = 3,00 m

90 1.4 0.8 Kolom 2, Untuk (B) = 3,50 m

80 1.6 1.0

70 1.7 1.0

Sumber : TPGJK (Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota), 1997

2.5.2.2 Tikungan

1). Jari-Jari Minimum

Kendaraan pada saat melalui tikungan dengan kecepatan (V) akan menerima gaya

sentrifugal yang menyebabkan kendaraan tidak stabil. Untuk mengimbangi gaya

sentrifugal tersebut, perlu dibuat suatu kemiringan melintang jalan pada tikungan

yang disebut superelevasi (e). Untuk menghindari terjadinya kecelakaan maka ada 3

(tiga) keadaan, yaitu :

iii

Page 21: Abstrak Pelebaran Jalan

Gaya sentrifugal masih seimbang dengan gaya-gaya gesekan antara ban dan

permukaan jalan.

Dimana :

fm = koefisien gesekan melintang

V = kecepatan rencana (km/jam)

R = jari-jari tikungan (m)

Perkerasan diberi kemiringan sebesar (e) sedemikian sehingga gaya

sentrifugal yang timbul dapat diimbangi sepenuhnya oleh kemiringan jalan,

dengan demikian tidak timbul gesekan (fm=0).

Dimana :

e = superelevasi (%)

V = kecepatan rencana (km/jam)

R = jari-jari tikungan (m)

Kemiringan (e) tidak cukup mengimbangi gaya sentrifugal yang timbul

sehingga timbul gaya gesekan antara ban dan perkerasan.

Dimana :

e = superelevasi (%)

fm = koefisien gesekan melintang

V = kecepatan rencana (km/jam)

R = jari-jari tikungan (m)

iii

(Rumus 2.7)

(Rumus 2.8)

(Rumus 2.9)

Page 22: Abstrak Pelebaran Jalan

2). Lengkung Peralihan

Tiap kendaraan akan mengikuti jejak transisi pada waktu masuk atau meninggalkan

lengkung lingkaran horisontal. Panjang lengkung peralihan (Ls), menurut Tata Cara

Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997, diambil nilai yang terbesar dari 3

(tiga) persamaan berikut :

Berdasarkan waktu tempuh maksimum (3 detik), untuk melintasi lengkung

peralihan, maka panjang lengkung :

Dimana :

Ls = lengkung peralihan (m)

VR= kecepatan rencana (km/jam)

T = waktu tempuh (3 detik)

Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal, digunakan rumus modifikasi short :

Dimana :

Ls = lengkung peralihan (m)

VR = kecepatan rencana (km/jam)

VC = jari-jari busur lingkaran (m)

C = perubahan percepatan (0,3-1,0 m/det2)

e = superelevasi (%)

iii

(Rumus 2.10)

(Rumus 2.11)

Page 23: Abstrak Pelebaran Jalan

TCLc

Tc Ec

PI

Rc Rc

O

CT

Berdasarkan pencapaian perubahan kelandaian :

Dimana :

Ls = lengkung peralihan (m)

em = superelevasi maksimum

en = superelevasi normal

re = tingkat pencapaian perubahan kelandaian melintang jalan,

sebagai berikut :

Untuk VR 70 km/jam

re mak = 0,035 m/m/det

Untuk VR 80 km/jam

re mak = 0,025 m/m/det

3). Bentuk-Bentuk Tikungan

Lingkaran (Full Circle = FC),

Keterangan :

= Sudut tikungan

O = Titik pusat lingkaran

Tc = Panjang tangen jarak dari TC

ke PI atau PI ke CT

iii

(Rumus 2.12)

Page 24: Abstrak Pelebaran Jalan

Rc = Jari-jari lingkaran

Lc = Panjang busur lingkaran

Ec = Jarak luar dari PI ke busur

lingkaran

Gambar 2.6. Komponen Full Circle (FC)

Full Circle (FC) adalah jenis tikungan yang hanya terdiri dari bagian suatu

lingkaran saja. Tikungan FC hanya digunakan untuk R (jari-jari tikungan) yang

besar agar tidak terjadi patahan, karena dengan R yang kecil diperlukan

superelevasi yang besar.

Tabel 2.4 Jari-Jari Tikungan Yang Tidak Memerlukan Lengkung Peralihan

VR

(km/jam)120 100 80 60 50 40 30 20

R min

(m)2500 1500 900 500 350 250 130 60

Sumber : TPGJK (Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota), 1997

Rumus-rumus yang digunakan :

Dimana :

TC = panjang tangen

iii

(Rumus 2.13)

Page 25: Abstrak Pelebaran Jalan

RC = jari-jari lingkaran

Dimana :

EC = Jarak luar dari PI ke busur lingkaran

Tc = panjang tangen

Dimana :

Lc = panjang busur lingkaran

Rc = jari-jari lingkaran

Spiral Circle Spiral (SCS),

Gambar 2.7 Komponen S-C-S

iii

C SC S

R c R cP

TS S T

E s

P I

O

s

SC

(Rumus 2.14)

(Rumus 2.15)

Page 26: Abstrak Pelebaran Jalan

Keterangan :

Xs = Absis titik SC pada garis tangen, jarak titik TS ke SC (jarak

lurus lengkung peralihan)

Ys = Ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis tangen, jarak

tegak lurus ke titik SC pada lengkung

Ls = Panjang lengkung peralihan (panjang dari titik TS ke SC atau

CS ke ST)

Lc = Panjang busur lingkaran (panjang dari titik SC ke CS)

Ts = Panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST

SC = Titik dari spiral ke lingkaran

Es = Jarak dari PI ke busur lingkaran

s = Sudut lengkung spiral

Rc = Jari-jari lingkaran

P = Pergeseran tangen terhadap spiral

k = Absis dari p pada garis tangen spiral

Rumus-rumus yang digunakan :

iii

(Rumus 2.16)

(Rumus 2.17)

(Rumus 2.18)

(Rumus 2.19)

(Rumus 2.20)

Page 27: Abstrak Pelebaran Jalan

Ltot = Lc + 2 Ls

Spiral-Spiral (S-S),

Gambar 2.8 Komponen S-S

Untuk bentuk spiral-spiral berlaku rumus :

iii

O

S C = C S

R R

S TTS

E s

P

P I

(Rumus 2.21)

(Rumus 2.22)

(Rumus 2.23)

(Rumus 2.24)

(Rumus 2.25)

(Rumus 2.26)

Page 28: Abstrak Pelebaran Jalan

2.6 Perencanaan Perkerasan Jalan

Prosedur perencanaan perkerasan kaku (Rigid) jalan raya didasarkan atas

perencanaan yang dikembangkan oleh NAASRA (National Association of

Australian State Road Authorities), yaitu :

1. Menentukan umur rencana dari jalan yang hendak didesain, serta tentukan

pula tahapan pelaksanaannya.

2. Menentukan LHR awal tahun rencana (LHR0)

3. Menentukan faktor pertumbuhan lalu lintas selama masa pelaksanaan dan

selama umur rencana (i %)

4. Menentukan LHR tahun rencana (LHRn)

5. Hitung jumlah kendaraan niaga (JKN) selama umur rencana (n tahun)

dengan persamaan : JKN = 365 x JKNH X R

Dimana :

JKN = jumlah kendaraan niaga

JKNH = jumlah kendaraan niaga harian pada saat jalan dibuka

iii

(Rumus 2.27)

(Rumus 2.28)

(Rumus 2.29)

(Rumus 2.30)

(Rumus 2.31)

(Rumus 2.32)

Page 29: Abstrak Pelebaran Jalan

R = faktor pertumbuhan lalu lintas yang besarnya tergantung pada

faktor pertumbuhan lalu lintas tahunan (i) dan umur rencana (n). Apabila

pertumbuhan lulu lintas tahunan selama umur rencana tetap maka R

dihitung dengan cara sebagai berikut :

Apa bila setelah waktu tertentu (m, tahun) pertumbuhan lalu lintas tidak

terjadi lagi,maka dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :

6. Hitung persentase masing-masing kombinasi konfigurasi bebansumbu

terhadap jumlah sumbu kendaraan niaga harian (JSKNH)

7. Hitung jumlah repetisi kumulatif tiap-tiap kombinasi konfigurasi/beban

sumbu pada lajur rencana dengan cara mengalikan jumlah sumbu niaga

(JSKN) dengan persentase tiap-tiap kombinasi terhadap (JSKNH) dan

koefisien distribusi lajur rencana seperti yang tertera pada tabel 2.14

berikut ini :

Tabel 2.14. Koefisien distribusi kendaraan niaga pada lajur rencana

Jumlah Lajur Kendaraan Niaga

1 Arah 2 Arah

1. Lajur 1,00 1,00

2. Lajur 0,70 0,50

3. Lajur 0,50 0,475

4. Lajur - 0,45

5. Lajur - 0,425

6. Lajur - 0,4

iii

(Rumus 2.33)

(Rumus 2.34)

Page 30: Abstrak Pelebaran Jalan

Sebagai besaran rencana, beban sumbu untuk setiap konfigurasi harus

dikalikan dengan faktor keamanan (FK) seperti tercantum pada tabel 2.15

berikut ini:

Tabel 2.15 Faktor Kemanan

Peranan Jalan F.K

Jalan Tol 1,2

Jalan Arteri 1,1

Jalan Kolektor/LOkal 1,0

8. Menentukan kekuatan lapisan tanah dasar yang diperoleh dengan CBR,

seperti halnya pada perencanaan perkerasan lentur, meskipun pada

umumnya kekuatan tanah dasar pada perkerasan kaku dinyatakan dalam

modulus reaksi tanah dasar (k).

Untuk menentukan modulus reaksi tanah dasar (k) rencana yang mewakili

suatu seksi jalan, dipergunakan rumus sebagai berikut :

untuk jalan Tol

Untuk jalan Arteri

untuk jalan kolektor/Lokal

Dimana:

k0 = Modulus Reaksi Tanah Dasar yang mewakili suatu seksi

= Modulus reaksi tanah dasar rata-rata dalam suatu seksi jalan

K = Modulus reaksi Tanah Dasar tiap titik di dalam seksi jalan

N = Jumlah data k

iii

(Rumus 2.35)

(Rumus 2.36)

(Rumus 2.37)

Page 31: Abstrak Pelebaran Jalan

Faktor keamanan (FK) : FK = x 100% < 25 %

Standar deviasi (S) :

9. Tentukan tebal plat beton

a. Pilih suatu tebal plat tertentu

b. Untuk setiap kombinasi konfigurasi dan beban sumbu serta suatu

harga k tertentu maka :

- Tegangan lentur yang terjadi pada plat beton ditentukan dari

nomogram sumbu kendaraan.

- Perbandingan tegangan dihitung dengan membagi tegangan lentur

yang terjadi pada plat dengan modulus of Repture beton.

c. Persentase fatigue tiap-tiap kombinasi konfigurasi/beban sumbu

ditentukan dengan membagi jumlah pengulangan beton rencana

dengan jumlah pengulangan beban yang diijinkan.

d. Cari total fatigue dengan menjumlahkan persentase fatigue dari

seluruh kombinasi konfigurasi/beban sumbu.

e. Langkah-langkah a sampai d diulangi hingga didapatkan plat terkecil

dengan total fatigue yang lebih kecil atau sama dengan 100%.

Ketebalan ini merupakan ketebalan dalam perencanaan perkerasan kaku

yang berlaku untuk perkerasan beton bersambung tanpa tulangan,

iii

(Rumus 2.38)

(Rumus 2.39)

Page 32: Abstrak Pelebaran Jalan

perkerasan beton bersambung dengan tulangan dan perkerasan beton

menerus.

Tabel 2.16. Perbandingan tegangan dan jumlah pengulangan yang diijinkan

Perbandingan

Tegangana

Jumlah Pengulangan

beban Ijin

Perbandingan

Tegangan

Jumlah Pengulangan

Beban Ijin

0.15b 400.000 0.69 2.500

0.52 300.000 0.70 2.000

0.53 240.000 0.71 1.500

0.54 180.000 0.72 1.100

0.55 130.000 0.73 850

0.56 100.000 0.74 650

0.57 75.000 0.75 490

0.58 57.000 0.76 360

Perbandingan

Tegangana

Jumlah Pengulangan

beban Ijin

Parbandingan

Tegangan

Junlah Pengulangan

Beban Ijin

0.59 42.000 0.77 270

0.60 32.000 0.78 210

0.61 24.000 0.79 160

0.62 18.000 0.80 120

0.63 14.000 0.81 90

0.64 11.000 0.82 70

0.65 8.000 0.83 50

0.66 6.000 0.84 40

0.67 4.500 0.85 30

0.68 3.500

a Tegangan akibat beban dibagi denga kuat lentur tarik (modulus Of Rupture)

b Untuk perbandingan tegangan ≤ 0,50 jumlah pengulanagn beban adalah tidak terhingga

iii

Page 33: Abstrak Pelebaran Jalan

dari : pavement Design, NAASRA, 1989

CATATAN : Tebal minimum plat untuk perkerasan kaku adalah 150 mm

10. Hitung jumlah tulangan yang diperlukan

a. Perkerasan beton bersambung dengan tulangan :

Luas Tulangan pada perkerasan ini dihitung dari persamaan berikut

ini:

Dimana :

AS = luas tulangan yang diperlukan (cm2 /m)

F = koefisien gesekan antara pelat beton dengan lapisan di

bawahnya (tabel 4.20), tak berdimensi

L = Jarak antara sambungan, (m)

h = tebal pelat, (mm)

fs = tegangan tarik baja ijin, (Mpa) (± 230 MPa)

Catatan : As minimum menurut SNI’91, untuk segala keadaaan 0,14% dari luas

penampang beton

Tabel 2.17 Koefisien gesekan antara pelat beton semen dengan lapisan pondasi

dibawahnya

Jenis Pondasi Faktor Gesekan (F)

BURTU, LAPEN dan konstruKsi sejenis 2.2

Aspal Beton, LATASTON 1.8

Stabilisasi kapur 1.8

Stabilisasi aspal 1.8

Stabilisasi semen 1.8

Koral sungai 1.5

Jenis Pondasi Faktor Gesekan (F)

iii

(Rumus 2.40)

Page 34: Abstrak Pelebaran Jalan

Batu pecah 1.5

Sirtu 1.2

Tanah 0.9

b. Perkerasan beton menerus dengan tulangan:

- Penulangan memanjang

Dimana :Ps = persentase tulangan memanjang yang dibutuhkan

terhadap penampang beton (%)

ft = kuat tarik lentur beton yang digunakan 0,4 – 0,5 f r, dalam Mpa

fy = tegangan leleh rencana baja (berdasarkan SNI’91, Fy < 400

Mpa – BJTD40)

n = angka ekivalen antara baja dan beton = , tak berdimensi

(lihat Tabel 4.21).

F = koefisien gesekan antara pelat beton dengan lapisan di

bawahnya, tak berdimensi

Es = modulus elastisitas baja

Ec = modulus elastisitas beton, berdasarkan SNI’91 digunakan

4700 MPa)

Tabel 2.18 Hubungan antara Kuat Tekan Beton dan Angka Ekivalen Baja

& Beton (n) (Fr)

N (rata-rata)

iii

(Rumus 2.41)

Page 35: Abstrak Pelebaran Jalan

(kg/cm2) (MPa) MPa)

115 11,3 13 2,1

120 – 135 11,8 – 13,2 12 2,2

140 – 165 13,7 – 16,2 11 2,4

170 – 200 16,7 – 19,6 10 2,6

205 – 250 20,1 – 24,5 9 2,9

260 – 320 25,5 – 31,4 8 3,3

330 – 425 32,4 – 41,7 7 3,7

450 44,1 6 4,1

Persentase minimum tulangan memanjang pada perkerasan beton menerus

adalah 0,6% dari luas penampang beton. Jarak antara retakan pada

perkerasan beton menerus dengan tulangan dapat dihitung dengan

persamaan :

Dimana : Lcr = Jarak teoritis antara retakan, dalam meter

iii

(Rumus 2.42)