ABSTRAK - FISIP Untirta Repositoryrepository.fisip-untirta.ac.id/617/1/EVALUASI PERATURAN...
Transcript of ABSTRAK - FISIP Untirta Repositoryrepository.fisip-untirta.ac.id/617/1/EVALUASI PERATURAN...
EVALUASI PERATURAN DAERAH NOMOR 1
TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN
WAJIB BELAJAR MADRASAH DINIYAH
DI KOTA CILEGON
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik
Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Oleh
Herdandi
NIM.6661110443
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG, JANUARI 2016
ABSTRAK
Herdandi . 6661110443. Evaluasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang
Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah Di Kota Cilegon. Program
Studi Ilmu Administrasi Negara. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Dosen
Pembimbing I: Titi Stiawati, S.Sos, M.Si. Dosen Pembimbing II: Listyaningsih,
S.Sos., M.Si.
Penyelenggaraan wajib belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon merupakan
kebijakan inisiatif dari masyarakat, dalam pelaksanaanya kebijakan tersebut
belum berjalan dengan optimal karena banyaknya hambatan yang terjadi dan
terdapatnya dua acuan hukum yang berbeda. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui Evaluasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang
Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah Di Kota Cilegon. Penelitian ini
menggunakan teori Evaluasi Hanif Nurcholis (2007). Metode yang digunakan
adalah kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
wawancara, observasi dan dokumentasi. Analisis data yang digunakan adalah
model Prasetya Irawan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan
penyelenggaran wajib belajar Madrasah Diniyah telah berjalan seiring dengan
munculnya Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 dan Peraturan Walikota
Nomor 44 Tahun 2011, akan tetapi kebijakan tersebut baru hanya sebatas pada
kewajiban belajar Madrasah Diniyah tetapi untuk kewajiban penggunaan
Syahadah Diniyah sebagai salah satu persyaratan pendaftaran sekolah SMP dan
MTs belum terlaksana dengan baik, yang hal ini disebabkan karena terdapatnya
dua Peraturan Walikota yang berbeda, dan tidak setaranya jumlah Madrasah
Diniyah dengan Sekolah Dasar serta tidak bertemunya satu pemahaman yang
sama antara LPPTKA/BKPRMI dengan Kementrian Agama Kota Cilegon. Saran
yang dapat diberikan yaitu melakukan revisi kedua peraturan walikota tersebut
karena telah bertentangan dengan Perda Madrasah Diniyah, memperbanyak
gedung Madrasah Diniyah dan membangun sinergitas antara Ormas
LPPTKA/BKPRMI dengan Kementrian Agama Kota Cilegon
Kata Kunci: Eavalusi Kebijakan, LPPTKA/BKPRMI, Madrasah Diniyah
ABSTRACT
Herdandi. 6661110443. Evaluation of Local Regulation Number. 1/ 2008 on the
Implementation of Compulsory Madrasah Diniyah In Cilegon City. Departement
of Public Administration. Faculty of Social and Political Science. The 1st advisor:
Titi Stiawati,S.Sos.,M.Si. 2nd
advisor :Listyaningsih, S.Sos., M.Si.
Implementation of compulsory Madrasah Diniyah in Cilegon City is an initiative
of the community, in the implementation of the policy has not run optimally
because of the many obstacles that occur and the presence of two different legal
reference. The purpose of this research to know Evaluation of Local Regulation
Number 1/2008 on the Implementation of Compulsory Madrasah Diniyah In
Cilegon City. This research using the theory Hanif Nurcholis Evaluation (2007).
The method used is a descriptive qualitative. Data collection techniques used is
interview, observation and documentation. Analysis of the data used is the model
Prasetya Irawan. The results show that the policy of organizing compulsory
Madrasah Diniyah has gone along with the advent of Local Regulation 1/2008
and Mayor Regulation 44/2011, but the policy is only new in terms of the
obligation to learn Madrasah Diniyah but to the obligation to use Syahadah
Diniyah as one of the registration requirements Junior High School has not done
well, that this was due to the presence of two distinct Mayor Regulation, and is
not equivalent amount Diniyah Madrasah with primary school, and no meeting a
common understanding between LPPTKA / BKPRMI with the Ministry of
Religious Cilegon. Advice can be given that the revision of two perwal because
contrary to Regulation Diniyah Madrasah, reproduce of building Madrasah
Diniyah and build synergy between community organization LPPTKA / BKPRMI
with the Ministry of Religious Cilegon
Keywords: Policy Evalution, LPPTKA/BKPRMI, Madrasah Diniyah
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, dan menjadikan berbangsa-bangsa,dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antaramu disisi Allah ialah orang yang
paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal."(Q.S Al
Hujuraat: 13)
Bersabar, Berusaha, dan Bersyukur
#Bersabar dalam berusaha
#Berusaha dengan tekun dan pantang menyerah
#dan Bersyukur atas apa yang telah diperoleh
ياني صغيرا اللهم اغفرلي ولوالدي وارحمهماكمارب
Sebagai tanda bakti, hormat, dan rasa terima kasih yang tiada
terhingga kupersembahkan karya kecil ini kepada Emak dan Bapak yang
telah memberikan kasih sayang. Segala dukungan, do’a, dan cinta kasih
yang tiada terhingga serta kakak dan adikku dan tak lupa untuk semua
yang saya sayangi
Terima Kasih Emak..Terima Kasih Bapak...
i
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Segala puji bagi Allah, Dzat Pemangaku langit dan bumi, Yang mengatur
seluruh makhluk-Nya. Yang mengutus para rasul sebagai pembawa petunjuk dan
menjelaskan syari’at agama dengan keterangan yang jelas dan bukti-bukti yang
nyata. Peneliti memohon tambahan karunia dan kemudahan-Nya yang telah
memberikan hidayah dan kelapangan ilmu ketika menempuh belajar di Program
Studi Ilmu Administrasi Negara FISIP Untirta. Sholawat beserta salam semoga
tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi suri teladan
yang baik (uswatun hasanah) bagi seluruh manusia dan menjadi pembimbing bagi
orang-orang yang mencari petujuk-Nya
Skripsi ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat dalam melakukan
penelitian tugas akhir Strata 1 Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dengan judul
penelitian “Evaluasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang
Penyelenggaran Wajib Belajar Madrasah Diniyah Kota Cilegon”.
Dalam penyusunan tugas ini tentunya tidak lepas dari bantuan banyak pihak
yang selalu mendukung peneliti baik secara moril maupun materil. Untuk itu,
peneliti sampaikan rasa terima kasih kepada :
ii
1. Bapak Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd., Rektor Universitas Sultan
Ageng Tirtaysa;
2. Bapak Dr. Agus Sjafari, S.Sos, M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;
3. Bapak Kandung Sapto Nugroho, S.Sos. M.Si., Wakil Dekan I Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, juga
sebagai dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan bimbingan,
arahan dan motivasi selama proses perkuliahan dan menganjurkan peneliti
untuk lulus tahun ini
4. Ibu Mia Dwianna W, M.I.Kom., Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;
5. Bapak Gandung Ismanto, S.Sos, MM., Wakil Dekan III Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;
6. Ibu Rahmawati, S.Sos, M.Si., Ketua Program Studi Ilmu Administrasi
Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa;
7. Ibu Ipah Ema Jumiati, S.IP, M.Si., Sekretaris Program Studi Ilmu
Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa;
8. Ibu Titi Stiawati, S.Sos, M.Si., Dosen pembimbing I Skripsi. Terima kasih
atas bimbingan dan motivasi yang telah diberikan baik selama proses
penyusunan skripsi maupun selama proses perkuliahan;
iii
9. Ibu Listyaningsih, M.Si., Dosen pembimbing II Skripsi. Terima kasih atas
bimbingan dan motivasi yang telah diberikan baik selama proses
penyusunan Skripsi maupun selama proses perkuliahan;
10. Semua dosen dan staf Program Studi ilmu Administrasi Negara Negara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa,
terima kasih atas bimbingan dan bantuanya selama proses perkuliahan;
11. Para narasumber penelitian ini, Bapak Drs. H. Muchtar Gozali Kepala
Dinas Pendidikan Kota Cilegon, Bapak Suhendi, MM. Kabid Dikmen
Dinas Pendidikan Kota Cilegon, Bapak H. Ubik Baehaqi, M.Si Kepala
Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon, Bapak H. Abu Nashor, M.Si
Kepala Seksi Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam Kementrian
Agama Kota Cilegon, Ibu Hj. Titim Fatimah, M.Si Kepala Pendidikan
Madrasah Kementrian Agama Kota Cilegon, Bapak H. Muhyi, terkhusus
kepada Bapak Bayu Panatagama, MM, Direktur LPPTKA/BKPRMI Kota
Cilegon, yang telah memberikan waktu luang dan diskusi yang hangat di
Kantor Kesbanglingmas Kota Cilegon, Bapak Muizudin, M.Ag, guru
peneliti ketika menempuh studi di MAN Pulomerak terimakasih atas
masukan dan data-data yang peneliti perlukan, Bapak Mahruri, S.Pd.I,
Ketua FKDT Kota Cilegon, pengurus FKDT Kota Cilegon, Bapak
Supriyadi, S.Pd.I., Pengajar MDTA Daarul Muta’alimin, selain sebagai
guru beliau juga sahabat dan teman diskusi peneliti tentang berbagai
permasalahan baik masalah agama dan penelitian Madrasah Diniyah di
Pondok Pesantren Daarul Muta’alimin, Cilegon; tak lupa pula kepada
iv
bapak Sabililah, Ibu Ruenah, Ibu Sukesih, Bapak Jahidi, dan Bapak
Baehaqi yang telah bersedia menjadi narasumber;
12. Ustad Abah Ahmad Nasruddin, S.Ag., dan Umi Oom Romlah,
S.Pd.,(semoga Allah meridhai keduanya), Pengasuh Pondok Pesantren
Daarul Muta’alimin, salam takzim dan hormat peneliti bagi beliau, selain
sebagai guru juga sebagai orang tua peneliti yang selalu memberikan
wejangan-wejangan kebajikan, ilmu agama dan petuah-petuah yang mulia
selama di Ponpes Daarul Muta’alimin. Terima kasih Abah dan Umi atas
keikhlasan dan keridhoan ilmu yang murid dapat ketika nyantri, mohon
maaf santrimu yang bodoh ini belum bisa berbakti dan mengabdi dengan
tulus ikhlas.
13. Bapak Suhardi dan Ibu Hastuti (semoga Allah Merahmati keduanya),
kedua orang tua peneliti, salam takzim dan hormat yang mendalam
peneliti sampaikan, terima kasih emak bapak yang telah berjuang dengan
tetesan air mata dan keringat demi tercapainya cita-cita putramu ini, terima
kasih atas doa-doa yang engkau panjatkan setiap malam. Emak Bapak
yakinlah semua itu tidak sia-sia ketika berusaha dan berserah diri kepada
Allah SWT, maafkan putramu ini belum bisa membahagiakanmu, doakan
kami agar menjadi anak-anak yang sholeh-sholehah, sukses, bahagia dunia
akhirat dan dapat membahagikan emak dan bapak
14. Bapak Suparman, S.Pd.I., paman, dan teman diskusi yang menyenangkan,
selalu memberikan motivasi, saran, masukan juga telah banyak
v
memberikan bantuan moril maupun meteril kepada peneliti ketika sedang
menempuh studi Ilmu Administrasi Negara FISIP UNTIRTA
15. Kakaku tercinta Susilawati, S.Pd.I., dan adiku Ahmad Rifadi yang sedang
belajar di Pesantren, semoga Allah merahmati kita semua dan menjadikan
kita sebagai anak yang sholeh dan sholehah, berbakti kepada orang tua,
Nusa dan Bangsa. Amin
16. Teman-teman seperjuangan, para santriwan dan santriwati Ponpes Daarul
Muta’alimin, yang telah memberikan warna dan mengisi hari-hari peneliti
di Pesantren, teruslah kalian belajar dan bermimpi karena Tuhan akan
memeluk mimpi-mimpi kalian, jangan patah semangat dan tetap tawakal
kepada Allah karena itu akan menguatkan jiwa kalian
17. Teman-teman kelas ANE C Reguler, terima kasih telah menjadi teman
belajar yang baik bagi peneliti, juga kepada Alek, Bang Adi, Budi, Bang
Katno, Bang Hendrik, Bang Nayef, Raidhil, Andani, Ressa, Hendar,
Cahyo, Mursi, Besar, Azil, Aida NP, Rohiyat, Fani, Sirojus, Ika H, Dewi
Sulastri, Arditia Resna, Iman Haerudin, dan teman-teman yang lain yang
tidak bisa saya sebutkan satu persatu
18. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Persip,
Forum Silaturahim Mahasiswa Islam (FosMaI) FISIP 2011, DPM FISIP
2013, UKM TRAS, PKMI GEMPITA, dan Geger Pemuda, dari sanalah
peneliti belajar tentang organisasi, bergelut dengan berbagai pemikiran,
tempat diskusi dan belajar menjadi peneliti.
vi
19. Kawan kawan Pengmas ILP2MI (Ikatan Lembaga Penelitian dan
Penalaran Mahasiswa Indonesia) di Pulau Panjang, Bang Apri UNP, bang
Dika UNP, Mas Rizky UNJ, Mas Karis UM Puroworejo, Mba Mas
UNDIP, mba Mekar UNS, Mas Hudi Unnes, Mas Raka UNEJ, Mas Aslam
UGM, Mba Aya UNTAN, Mas Malik Unismuh Makasar dan semuanya
peserta Pengmas Realita IV Pulau Panjang, Banten, terimakasih telah
datang dan mengujungi Banten;
20. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dan terlibat baik secara
langsung maupun tidak dalam penyusunan skripsi perda Madrasah
Diniyah
Dalam penyusunan skripsi ini tentunya banyak kekurangan, baik dari
segi penulisan maupun metodologinya, besar harapan peneliti kepada para
pembaca yang budiman untuk memberikan saran,masukan dan kritik yang
membangun bagi kesempurnaan penelitian ini. Semoga penelitian ini bermanfaat
bagi kita semua terutama bagi perkembangan Ilmu Administrasi Negara. Amin.
Hanya kepada Allah-lah peneliti menyandarkan diri, dan kepada-Nya pula peneliti
berserah diri. Bagi-Nya segala puji dan hanya dengan kehendak-Nya kita
mendapat petunjuk dan dan perlindungan
Billahi Taufiq wal Hidayah Wassalamu ‘alaikum Wr.Wb.
Cilegon, Januari 2016
Peneliti
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
ABSTRAK
ABSTRACT
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
LEMBAR PERSETUJUAN
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ........i
DAFTAR ISI..........................................................................................................vii
DAFTAR TABEL....................................................................................................x
DAFTAR GRAFIK.................................................................................................xi
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................xii
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................xiii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah.........................................................................1
1.2 Identifikasi Masalah..............................................................................19
1.3 Batasan Masalah....................................................................................19
1.4 Rumusan Masalah......................................................................... ........20
1.5 Tujuan Penelitian...................................................................................20
1.6 Manfaat Penelitian.................................................................................20
1.7 Sistematika Penelitian............................................................................22
viii
BAB II DESKRIPSI TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI
DASAR PENELITIAN
2.1 Deskrpisi Teori.......................................................................................24
2.1.1 Pengertian Kebijakan.................................................................24
2.1.2 Kebijakan Publik .......................................................................27
2.1.3 Implementasi Kebijakan Publik.................................................34
2.1.4 Evaluasi Kebijakan Publik.........................................................36
2.1.5 Metode Evaluasi Kebijakan.......................................................41
2.1.6 Fungsi Evaluasi..........................................................................49
2.1.7 Konsep Madrasah.....................................................................50
2.1.8 Madrasah Diniyah......................................................................51
2.1.9 Klasifikasi Madrasah Diniyah...................................................54
2.2 Deskripsi Kebijakan..............................................................................54
2.2.1 Deskripsi Kebijakan Pendidikan................................................54
2.2.2 Deskripsi Peraturan Daerah Kota Cilgon...................................58
2.3 Penelitian Terdahulu.............................................................................59
2.4 Kerangka Berpikir ................................................................................62
2.5 Asumsi Dasar.........................................................................................65
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian .......................................................66
3.2 Fokus Penelitian....................................................................................68
3.3 Lokasi Penelitian..................................................................................68
3.4 Variabel Penelitian................................................................................68
ix
3.4.1 Definisi Konseptual...................................................................68
3.4.2 Definisi Operasional..................................................................69
3.5 Instrumen Penelitian...................................................................................70
3.6 Penetuan Informan ....................................................................................74
3.7 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data....................................................76
3.8 Pengujian Data dan Keabsahan Data........................................................82
3.9 Jadwal Penelitian .......................................................................................83
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Obyek Penelitian....................................................................84
4.1.1 Profil Kota Cilegon.......................................................................84
4.1.2 Profil Kementrian Agama Kota Cilegon .....................................88
4.1.3 Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota
........................................................................
4.2 Deskripsi Data......................................................................................100
4.2.1 Daftar Informan Penelitian...........................................................100
4.2.2 Deskripsi Data Penelitian..............................................................102
4.3 Deskripsi Hasil Penelitian......................................................................102
4.3.1 Dimensi Input................................................................................102
4.3.2 Dimensi Proses...............................................................................118
4.3.3 Dimensi Outputs............................................................................140
4.3.4 Dimensi Outcomes.........................................................................144
4.3 Pembahasan Hasil Penelitian..................................................................154
BAB V PENUTUP
Cilegon........................................................................................97
x
5.1 Kesimpulan...........................................................................................179
5.2 Saran ....................................................................................................180
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................xiv
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
x
DAFTAR TABEL
Halaman
1.1 Jumlah MTs, dan SMP serta Jumlah Murid dan Guru SMP dan MTs
Menurut Kecamatan di Kota Cilegon Tahun Ajaran
2013/2014..............................................................................................
13
1.2 Perbandingan Jumlah Madrasah Diniyah dan Sekolah Dasar
Beserta Murid, dan Guru Menurut Kecamatan di Kota Cilegon,
2013/2014..............................................................................................
14
2.1 Kriteria Evaluasi menurut Dunn........................................................... 45
3.1 Daftar Informan Penelitian................................................................... 75
3.2 Pedoman Wawancara .......................................................................... 78
3.3 Rencana Penelitian.............................................................................. 83
4.1 Perbandingan Jumlah Madrasah Diniyah dan Sekolah Dasar Beserta
Murid,dan Guru Menurut Kecamatan di Kota Cilegon,
2013/2014.....................................................................................
126
4.2 Ilustarasi Jenjang Pendidikan.............................................................. 130
xi
DAFTAR GRAFIK
Halaman
4. 1 Perkembangan Jumlah Madrasah Diniyah.......................................177
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Kerangka Berpikir...........................................................................................64
3.1 Proses Analisis Data.............................................................................................81
4.1 Peta Kota Cilegon................................................................................................88
4.2 Struktur Kementrian Agama Kota Cilegon...........................................................97
4.3 Bangunan Madrasah MDTA Daarul Muta’alimn.........................................113
4.4 Direktur LPPTKA/BKPRMI Bayu Pantagama sedang membuka dokumen
dokumen-dokumen........................................................................................137
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Peraturan Daerah Kota Cilegon Nomor 1 tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan
Wajib Belajar Madrasah Diniyah Kota Cilegon
Peraturan Walikota Cilegon Nomor 44 tahun 2011 Tentang Wajib Belajar
Pendidikan Diniyah di Kota Cilegon
Peraturan Walikota Nomor 25 tahun 2014 Tentang Perubahan Peratuaran
Walikota Nomor 44 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar
Pendidikan Diniyah di Kota Cilegon
Surat ijin Penelitian
Pedoman Wawancara
Membercheck
Transkip Data
Koding data
Kategorisasi Data
Lembar Bimbingan
Dokumentasi Lapangan
Riwayat Hidup
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kebijakan mengenai pendidikan merupakan kebijakan yang ditujukan
untuk mencapai tujuan pembangunan bangsa dibidang pendidikan, karena salah
satu tujuan pembangunan bangsa adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Mencerdasakan kehidupan bangsa tersebut hendaknya terus-menerus untuk
dibangun sehingga akhirnya akan mencapai tujuan yang diharapkan yaitu
kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia.
Kesejahteraan ini dapat terwujud manakala manusia yang menjadi warga
negara mempunyai tingkat kecerdasan yang memadai, untuk dapat menguasai dan
mempraktekkan ilmu dan pengetahuan yang dimiliki. Agar ilmu yang dimiliki
dapat bermanfaat baik bagi dirinya maupun orang lain. Dengan kemampuan
keilmuan itulah diharapkan manusia mampu menghadapi, menyelesaikan
persoalan kehidupan - yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, rasional
dan bertanggungjawab. Hanya saja tingkat kecerdasan tersebut juga harus
memperhatikan nilai-nilai moral, baik nilai moral keagamaan maupun nilai moral
yang telah diyakini kebenarannya oleh masyarakat
Usaha pemerintah dalam membangun pelayanan pendidikan memang
terlihat melalui langkah-langkah penyiapan dan penyesuaian perangkat peraturan
dan perundang-undangannya. Langkah-langkah ini seiring dengan perubahan
1
2
tatanan politik pemerintahan, hal ini ditandai dengan disyahkannya undang-
undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.
Dalam era otonomi, sebenarnya terbuka peluang besar untuk membangun
dunia pendidikan di daerah menjadi lebih berkualitas. Hal ini terjadi karena
Bupati/Walikota memiliki kewenangan yang penuh dalam menentukan kualitas
pendidikan sesuai dengan konteks daerahnya. Jadi dalam era otonomi, kualitas
pendidikan untuk masa yang akan datang lebih banyak tergantung pada komitmen
daerah untuk merumuskan visi dan misi di daerahnya masing-masing. Jika daerah
cukup visioner, pengembangan sektor pendidikan akan memiliki peluang yang
besar untuk dapat memenuhi standar kualitas sesuai dengan harapan para
stakeholders.
Manakala pemerintah daerah memiliki political will yang kuat dan
kemudian disertai dengan kebijakan dan sistem perencanaan yang
mengedepankan arti penting pendidikan sebagai upaya human investment di
daerah, dapat dipastikan pendidikan di daerah itu akan memiliki praksis yang
baik, dan kualitas pendidikan akan dapat ditegakkan.
Namun sebaliknya, manakala pemerintah daerah memandang pendidikan
tidak penting, sehingga visi dan misi pendidikan di daerah itu tidak dirumuskan
secara jelas dalam sistem perencanaan yang baik, maka kemungkinan besar tidak
dapat diderivasikan menjadi praksis pendidikan yang solid. Jika hal ini terjadi,
praksis pendidikan akan berjalan secara tidak profesional. Akhirnya, setiap
berbicara visi dan misi pada satuan pendidikan berubah menjadi sesuatu yang
dipandang terlalu mewah.
3
Kondisi seperti ini akan mendorong para praktisi pendidikan di daerah
kehilangan arah dalam menjalankan fungsinya secara profesional. Oleh karena itu,
di era otonomi pendidikan dewasa ini merupakan saat yang menentukan
membangun budaya tatakelola pendidikan di daerah melalui pengembangan
sistem perencanaan pendidikan yang efektif.
Pendidikan nasional diselenggarakan bertujuan untuk meningkatkan
keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia peserta didik seperti dinyatakan
dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, pada Pasal 31, ayat (3)
bahwa:”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
diatur dengan undang-undang”.
Untuk melaksanakan amanat itu, pemerintah telah menetapkan suatu
kebijakan nasional bidang pendidikan dengan memberlakukan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai pelaksanaan
dari Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dalam
Pasal 3 menyebutkan bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
4
Sebelumnya, Pemerintah Orde baru menetapkan kebijakan publik dibidang
pendidikan berupa undang-undang nomor 2 tahun 1989 Tentang Sistem
pendidikan Nasional. Kebijakan ini ditetapkan pada saat kebijakan publik tentang
penyelenggaraan pembangunan menganut pola yang cenderung sentralistik, yaitu
melalui Undang-undang nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
di Daerah.
UU ini menyebutkan bahwa negara kesatuan RI dibagi kedalam daerah-
daerah otonom diselenggarakan melalui tiga pelaksanaan asas yaitu, asas
desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asa pembantuan. Pasal 2 UU tersebut
menetapkan bahwa titik berat otonomi daerah diletakkan pada daerah tingkat II
yang pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah (PP). Adapun tujuan
daripada otonomi kepada daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang
bersangkutan bisa mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Undang-undang nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah,
menurut hemat penulis aturan ini cenderung bersifat sentralistik daripada
desentralistik, kemudian muncul kebijakan baru yaitu Undang-undang nomor 22
tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Dalam UU nomor 22 tahun 1999
mengubah pola pembangunan dari sentralistik menjadi desentralistik, dengan
memberikan kekuasaan otonom secara luas kepada pemerintah Kabupaten dan
Kota.
Efek samping dari pada kekuasaan otonomi yang sangat luas kepada
daerah, pada prakteknya mengakibatkan sedikit terhambatnya proses
5
desentralisasi pembangunan dan pelayanan publik, juga pemerintah daerah
berpeluang untuk melakukan desentralisasi kekuasaan pada elit-elit politik daerah.
Salah satu pesan UU nomor 22 tahun 1999 adalah bahwa daerah
mempunyai kewajiban menangani pendidikan yang rambu-rambunya telah
dijabarkan dalam Peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.
Persoalan mendasar dalam desentralisasi pengelolaan pendidikan adalah
apa yang seharusnya dilakukan, oleh siapa hal itu dilakukan, dengan cara
bagaimana dan mengapa demikian. Dengan semangat pemberian kesempatan
otonomi kepada daerah khususnya Kabupaten dan Kota, dan tetap terjaminnya
kepentingan nasional yang paling esensial.
Disadari betul bahwa kewenangan dan kekuasaan saja belumlah cukup,
dibutuhkan kemampuan daerah untuk mengimplementasikan otonomi daerah.
Kemampuan ini bisa diuraikan menjadi sangat luas, mencakup keharusan
memiliki wawasan yang mumpuni, kualitas sumber daya manusia, kapasitas
kelembagaan serta kemampuan menggali dan mengelola pembiayaan.
Dengan demikian melalui pengelolaan yang desentralistik, diharapkan
pendidikan dapat dilaksanakan dengan lebih baik, bermanfaat bagi daerah dan
juga bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentunya dengan desentralisasi
tersebut tidak dikehendaki terjadinya kemunduran dalam pendidikan dan tidak
juga justru melemahkan semangat integrasi nasional
Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pada pasal; 50, 51 dan 52 secara khusus mengatur tentang pengelolaan pendidikan
6
tingkat pusat dan daerah, yang menyatakan bahwa sifat desentralistik dari
penyelenggaraan pembangunan pendidikan nasional. Di dalamnya memberikan
panduan mengenai mekanisme desentralisasi penyelenggaraan pendidikan
nasional yaitu antara lain siapa yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sistem
pendidikan nasional, bagaimana standar nasional pendidikan, siapa yang
bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan dasar, menengah dan
pendidikan tinggi dan sebagainya
Kebijakan pemerintah terhadap pendidikan Islam di Indonesia, secara
legalitas-normatif tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007
tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Berdasarkan peraturan
pemerintah tersebut, pendidikan Diniyah dapat dikategorikan ke dalam
pendidikan Diniyah formal dan pendidikan Diniyah nonformal. Pendidikan
Diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari
ajaran agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pendidikan Islam yang bersifat nonformal dalam bentuk Madrasah Diniyah
pada dasarnya merupakan lembaga pendidikan pertama dan tertua di Indonesia.
Madrasah Diniyah telah beraktivitas sebelum masa penjajahan hingga bangsa ini
merdeka sampai sekarang. Lembaga ini telah berjasa mencerdaskan anak-anak
bangsa yang kurang mampu. Namun begitu, keberadaan pendidikan Madrasah
Diniyah hingga saat ini belum dapat memenuhi harapan masyarakat, karena
penyelenggaraannya belum kondusif.
7
Pencitraan terhadap lembaga pendidikan Islam yang kumuh, tenaga
pendidiknya tidak berkualifikasi serta manajemennya semrawut masih belum
sirna dalam pikiran masyarakat. Hal ini memberi kesan negatif sehingga lembaga
ini tidak dilirik masyarakat sebagai tujuan utama pendidikan bagi anaknya.
Pada masa otonomi daerah, peran Kementrian Agama, selanjutnya disebut
Kemenag secara fungsional tetap mempunyai tanggung jawab yang penuh
terhadap keberadaan, pembinaan dan pengembangan pendidikan Islam dari pusat
sampai daerah. Namun demikian, Kemenag sebagai instansi vertikal akan
mengalami hambatan struktural dalam memberikan bantuan dan pengawasan
terhadap pendidikan agama terhadap lembaga pendidikan Madrasah Diniyah di
daerah.
Kemenag merupakan lembaga yang tidak diotonomikan oleh pemerintah,
dan lembaga pendidikan yang berada di bawah Kemenag masih berisfat
sentralistik dan terpusat tidak seperti pendidikan umum dibawah Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan yang sudah terdesentralisasi semenjak otonomi
daerah digulirkan.
Kendala ini yang mengakibatkan keberadaan pendidikan Diniyah di Kota
Cilegon perlu mendapat perhatian yang sama dengan pendidikan formal.
Pendidikan Islam yang dilaksanakan melalui pendidikan jalur nonformal seperti
Madrasah Diniyah Takmiliyah ini banyak mengalami hambatan sehingga tidak
dapat berkembang sesuai dengan harapan masyarakat. Demikian juga pihak
pemerintah dan pemerintah daerah di masa otonomi daerah ini menunjukan
kurang perhatian terhadap pendidikan Islam. Alasan inilah salah satunya yang
8
menjadi pemicu munculnya gerakan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota
Cilegon
Alasan lain tentang adanya Peraturan Daerah Wajib Belajar Madrasah Diniyah
di Kota Cilegon ialah terjadinya krisis nilai-nilai keagamaan khusunya agama
Islam bagi peserta didik di Kota Cilegon. Budaya Cilegon yang semula santri
mulai bergeser sedikit demi sedikit. Diantaranya terjadi pergeseran budaya
masyarakat dari religius kepada kehidupan yang hanya berorientasi matrealistis,
sehingga ada diantara masyarakat yang menganggap tidak penting terhadap
pendidikan keagamaan di Madrasah dan Madrasah Diniyah pun banyak
ditinggalkan oleh masyarakat.
Melihat fenomena ini terjadi dimasyarakat, lalu munculah kekhawatiran dari
para tokoh agama di Cilegon, hal ini jika dibiarkan maka tidak menutup
kemungkinan masyarakat Cilegon semakin jauh dari agama dan memiliki
pemahaman yang dangkal terhadap agamanya karena tidak lagi menyekolahkan
anaknya ke Madrasah
Kebijakan tentang pendidikan Madrasah Diniyah di Kota Cilegon terwujud
dengan terbitnya Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah (selanjutnya disebut Perda),
dan Peraturan Walikota Nomor 44 Tahun 2011 tentang Penyelenggaran Wajib
Belajar Madrasah di Kota Cilegon yang kemudian direvisi dengan diterbitkanya
Peraturan Walikota Nomor 25 Tahun 2014 (selanjutnya disebut Perwal).
Berdasarkan pemikiran itulah Perda Diniyah diberlakukan sebagai terobosan
untuk menghadapi kendala dalam pengelolaan Madrasah Diniyah Takmiliyah.
9
Kebijakan wajib belajar Madrasah Diniyah ini diperuntukkan bagi setiap
warga negara untuk menempuh jenjang pendidikan minimal atas tanggungjawab
Pemerintah Daerah. Lembaga pendidikan Madrasah Diniyah adalah satuan
pendidikan keagamaan pada jalur pendidikan nonformal yang menyelenggarakan
pendidikan Agama Islam tingkat dasar. Madrasah Diniyah berfungsi untuk
memenuhi masyarakat terhadap pendidikan Agama Islam bagi peserta didik yang
beragama Islam di Sekolah Umum. Selain itu juga untuk memberi bekal
kemampuan Agama Islam kepada peserta didik sebagai warga muslim supaya
beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia.
Wajib belajar Madrasah Diniyah diselenggarakan selama 4 (empat) tahun
yang wajib diikuti oleh setiap warga belajar berusia 6-12 tahun. Wajib belajar
Madrasah dijadikan sebagai persyaratan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi yang dibuktikan dengan Surat Tanda Tamat Belajar
selanjutnya disebut Syahadah Madrasah Diniyah. Kebijakan tersebut dipihak satu
dapat memperkuat pendidikan Islam bagi masyarakat, namun dipihak lain
pemerintah daerah wajib menyiapkan sarana, prasarana, sumber daya guru dan
biaya pendidikan Diniyah.
Kepala sub Pendidkan Menengah (Kasub Dikmen) Dinas Pendidikan Kota
Cilegon, Suhendi, S.Pd, MM yang peneliti wawancarai pada tanggal 21 April
2015 Pukul 10.00, beliau mengatakan bahwa adanya perda Diniyah di bentuk ini
bukan bertujuan hanya sebagai syarat untuk masuk SMP dan MTs sederajat tetapi
untuk memberikan pemahaman kegamaan terhadap peserta didik pada tingkat
10
sekolah dasar seperti membaca Al-Qur’an, pelajaran fiqih, hadis, akhlak, tauhid
dan ilmu keagamaan lainya, hal ini disebabkan karena siswa yang masuk SMP
adalah kebanyakan siswa sekolah umum (SD), oleh karenanya perlu diberikan
pelajaran agama mengingat Kota Cilegon adalah kota yang religius, yang kental
akan nilai-nilai keIslaman, masih menurut beliau kewajiban wajib belajar Diniyah
sudah berlaku sejak adanya perwal No. 44 Tahun 2011, akan tetapi pada
pelaksanaan syarat untuk masuk SMP/Mts dengan menggunakan Syahadah
Diniyah akan berlaku pada tahun ajaran baru 2015
Menurut Beliau, dalam masalah penerapan Diniyah yang belum terlaksana
ini disebabkan karena perda ini perlu banyak tahapan yang harus dilalui,
penyempurnaan perwal dan sebagainya seperti sosialisasi kemasyarakat dan
sekolah-sekolah yang ada di Kota Cilegon, serta masukan-masukan dari Dinas
Pendidikan, Kementrian Agama, Tokoh Masyarakat dan Lembaga Penelitian
Pendidikan Taman Kanak Al-Qur’an/Badan Koordinasi Pemuda Remaja Masjid
Indonesia (LPPTKA/BKPRMI) supaya nanti tidak ada yang di rugikan.
Berdasarkan observasi awal dengan melakukan wawancara dengan bapak
Muizuddin, M.Ag (pengurus Forum Komunikasi Madrasah Diniyah Takmiliyah
(FKDT) Kota Cilegon ), peneliti mengetahui bahwa pelaksanaan atau
implementasi Peraturan Daerah tersebut, dari awal perda inisiatif ini diusulkan
hingga diterbitkan, hambatan dan tantangan datang dari Lembaga Penelitian
Pendidikan Taman Kanak Al-Qur’an/Badan Koordinasi Pemuda Remaja Masjid
Indonesia Kota Cilegon selanjutnya di sebut LPPTKA/BKPRMI, lembaga
11
tersebut bersikukuh, agar lembaga yang berada dibawah naungan yaitu Taman
Pendidikan Al-Qur’an (TPA) disamakan dengan Madrasah Diniyah atau MDTA
Bayu Panatagama sebagai Direktur LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon
seperti dilansir dalam Radar Banten (4 Juni 2007) menurutnya perda Diniyah
tidak sesuai dengan aturan hukum dan perundang-undangan. Antara lain bertolak
belakang dengan perda-perda yang sudah berlaku di Kota Cilegon yang
menguatkan tentang pendidikan, maupun Undang-Undang No. 22 Tahun 2003
pasal 9 (1) tentang perlindungan anak dan Undang-Undang No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang berisikan, pendidikan usia
dini dilaksanakan oleh siapapun baik secara formal dan non-formal.
Bayu Panatagama mengatakan, perda tersebut secara jelas, sudah melanggar
Undang-undang Sisdiknas Bab 3 pasal 4, tentang pendidikan yang harus
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultur dan
kemajemukan bangsa. Beliau juga menangkap pada bab 11 pasal 22 Perda
tersebut seolah-olah menutup ruang gerak anak-anak yang masuk SMP.
Sedangkan jumlah SD lebih banyak daripada jumlah Madrasah Diniyah, sehingga
nantinya akan banyak anak-anak tidak bisa sekolah (Radar Banten edisi 4 Juni
2007)
Selanjutnya berdasar pada hasil kajian evaluasi yang dilakukan oleh unsur
Bappeda Kota Cilegon yamg disampaikan pada rapat di DPRD Kota Cilegon
tanggal 7 Oktober 2015, ditemukan permasalahan yang dialami dalam
impelementasi Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon, dalam hasil
12
kajian Bappeda tersebut dapat diketahui dan disimpulkan bahwa implementasi
Perda Wajib Belajar Madrasah Diniyah tersebut masih belum berjalan dengan
baik hal ini dikarenakan banyaknya pasal dalam perda tersebut yang mempunyai
makna yang bias sehingga sulit untuk dimengerti seperti masalah jenjang
pendidikan, kaitan dengan TPA/TPQ, siswa asal daerah lain yang tidak
mempunyai ijazah (syahadah) Madrasah Diniyah, kurikulum, dan terget capain
implementasi yang banyak mengukur waktu.
Sedangkan temuan lapangan yang dilakukan oleh peneliti pada saat
observasi lapangan dengan melakukan wawancara dengan pihak para narasumber
menuturkan permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam implementasi perda
tersebut :
Pertama, Menurut Bapak Muizuddin, M.Ag (pengurus FKDT Kota
Cilegon), Perda Diniyah dalam capaian implementasinya belum terlaksana dengan
baik, dikarenakan pada saat proses pembentukanya hingga implementasinya
masih terdapat hambatan dari LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon yang berusaha
menjadikan lembaga yang berada dalam asuhanya disetarakan dengan Madrasah
Diniyah.
Selain itu pula, dalam implementasinya hanya sekolah yang berada
dinaungan Kemenag yang melaksanakan kewajiban menyerahkan syahadah
diniyah, sedangkan sekolah yang berada dinaungan Dinas Pendidikan yaitu
Sekolah Menengah Pertama (SMP) sampai saat ini belum melaksanakan amanat
perda tersebut, menurut Kepala Dinas Pendidikan Kota Cilegon Muchtar Gozali
13
seperti dilansir di Radar Banten edisi 10 Agustus 2015 menyampaikan bahwa
apabila perda ini dilaksanakan maka khawatir masyarakat akan berbondong-
bondong ke Madrasah Diniyah dan TPA untuk meminta surat keterangan supaya
bisa masuk SMP. Berikut ini data MTs dan SMP Sekota Cilegon
Tabel 1.1
Jumlah MTs dan SMP serta Jumlah Murid,
dan Guru SMP dan MTs Menurut Kecamatan
di Kota Cilegon, 2013/2014
No Kecamatan MTs Murid Guru SMP Murid Guru
1 Ciwandan 11 1778 267 4 1737 111
2 Citangkil 8 1700 195 6 1066 78
3 Pulomerak 2 146 35 5 1809 119
4 Purwakarta 4 1198 112 4 2.020 100
5 Grogol 5 1482 170 2 869 59
6 Cilegon 2 625 69 3 1600 115
7 Jomblang 1 106 19 9 2273 173
8 Cibeber 6 1874 180 7 3263 198
JUMLAH 39 8.909 1047 40 14.637 953
(Sumber : Cilegon Dalam Angka, BPS, 2014)
Dari data diatas dapat diketahui bahwa jumlah Madrasah Tsanawiyah
berjumlah 39 Madrasah dengan jumlah murid 8.909, sedangkan jumlah SMP
sebanyak 40 sekolah dengan jumlah murid sebanyak 14.637, dengan demikian
dapat diketahui siswa yang tidak menggunakan syahadah diniyah sebanyak
jumlah siswa SMP yaitu 14.637 siswa.
Kedua, terdapatnya acuan yang berbeda antara Kementrian Agama Kota
Cilegon dan Dinas Pendidikan Kota Cilegon beserta LPPTKA/BKPRMI, dalam
versi Kemenag melalui Surat Edaran No. Kd.28.06/5/PP.00.8/2328/2014 tentang
wajib Pemberlakuan wajib belajar Madrasah Diniyah Awaliyah mengacu pada
14
perwal No. 44 tahun 2011 yang menyatakan bahwa siswa yang akan masuk ke
jenjang SMP/MTs wajib menyerahkan syahadah Diniyah sedangkan dalam versi
Dinas Pendidikan dan LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon mengacu pada perwal
No. 25 tahun 2014 yang merupakan revisi Perwal No. 44 Tahun 2011 yang
menyatakan bahwa untuk masuk ke SMP/MTs boleh menggunakan Syahadah
Diniyah dan boleh juga dengan ijazah TPA
Ketiga, Semenjak perda ini digulirkan jumlah Madrasah tidak setara
dengan jumlah Sekolah Dasar (SD) sehingga ada banyak anak Sekolah Dasar
(SD) yang tidak sekolah di Madrasah Diniyah karena tidak berimbangnya jumlah
Madrasah Diniyah tersebut di Kota Cilegon tercatat saat ini seperti yang dilansir
dari BPS Kota Cilegon (2014) jumlah SD baik swasta maupun negeri terdapat
sekitar 175 sekolah sedangkan untuk MDTA hanya terdapat sekitar 144 Madrasah
(BPS, 2014)
Tabel 1.2
Perbandingan Jumlah Madrasah Diniyah dan Sekolah Dasar Beserta Murid,
dan Guru Menurut Kecamatan di Kota Cilegon, 2013/2014
(Sumber : Cilegon Dalam Angka, BPS. 2014
No Kecamatan
MDTA Sekolah Dasar
Madrasah Murid Guru Sekolah Murid Guru
1 Ciwandan 29 3. 818 368 20 5.217 312
2 Citangkil 26 3.113 333 25 7.159 438
3 Pulomerak 13 1.525 125 23 5.119 294
4 Purwakarta 10 1.295 119 22 5.526 317
5 Grogol 15 2.300 172 15 3.467 203
6 Cilegon 16 2.095 178 15 3.787 234
7 Jombang 14 2. 016 147 32 8.371 492
8 Cibeber 21 2. 493 295 23 6.797 399
JUMLAH 144 18.655 1.737 175 45.433 2.689
15
Berdasarkan tabel 1.4 dapat diketahui bahwa jumlah Madrasah Diniyah
atau Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah (MDTA) sekota Cilegon berjumlah
144 Madrasah dengan jumlah murid 18.655 dan tenaga pengajar sebanyak 1.737
yang sangat jauh berbeda dengan jumlah Sekolah Dasar yang memiliki jumlah
murid sekitar 38.556 dan jumlah sekolah 175 Sekolah, perbedaan tersebut akan
menyebabkan ada banyak siswa Sekolah Dasar yang tidak terakomodir di
Madrasah Diniyah seharusnya jumlah Madrasah Diniyah di Kota Cilegon
sebanyak jumlah SD, dengan demikian siswa SD tersebut dapat terakomodir
untuk belajar di madrasah dengan efektif.
Keempat, dalam aturan kebijakan pemerintah, sebuah kebijakan publik yang
telah di undang-undangakan baik berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
dan Peratuan Daerah harus sudah dilaksanakan maksimal empat tahun setelah
kebijakan tersebut dikeluarkan, dan untuk kasus Perda No. 1 tahun 2008 Tentang
Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon harusnya
sudah dilaksanakan atau diimplementasikan maksimal pada tahun 2012, tetapi
ternyata hal tersebut tidak terjadi, implementasi tersebut hanya baru pada
kewajiban belajar Madrasah Diniyah tetapi untuk kewajiban menggunakan
syahadah Diniyah hanya pada lembaga pendidikan di bawah naungan Kementrian
Agama yaitu Madrasah Tsanawiyah sedangkan untuk lembaga pendidikan
dibawah naungan Dinas Pendidikan yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP)
belum terlaksana sampai saat ini.
Penyebab lamanya implementasi kebijakan tersebut dalam penerapan
kewajiban menyerahkan syahadah Diniyah tersebut ialah pertama, belum
16
bertemunya kesapakatan antara Kementrian Agama dan LPPTKA/BKPRMI
dalam implementasi kebijakan tersebut, pihak Kementrian Agama menyatakan
bahwa siswa Sekolah Dasar yang hendak melanjutkan pendidikan ke SMP dan
MTs wajib hanya menyerahkan Syahdah Diniyah, sementara pihak
LPPTKA/BKPRMI menyatakan bahwa siswa yang hendak masuk SMP/MTs
boleh menggunakan ijazah TPA dan juga boleh menggunakan Syahadah Diniyah.
Kedua, kehkawatiran dari pihak Dinas Pendidikan, Dinas Pendidikan
mengkhawatirkan nanti masyarakat berbondong-bondong meminta surat
pernyataan dari Madrasah Diniyah dan TPA untuk masuk ke SMP, dan hal ini
tidak diinginkan oleh Dinas Pendidikan (Radar Banten, 10 Agustus 2015)
Selain itu pula dalam perda tersebut belum terdapat kejelasan sanksi bagi
peserta didik apabila tidak mengikuti belajar Madrasah Diniyah, dalam pasal 19
Bab IX hanya berisikan kewajiban melampirkan syahadah Diniyah ketika hendak
memasuki jenjang SMP/MTs dan bagi calon siswa/i SMP dan MTs yang belum
memiliki Syahadah Diniyah dapat diterima dengan ketentutan yang bersangkutan
wajib mengikuti belajar Madrasah Diniyah yang dilaksanakan secara khusus, akan
tetapi ketentuan tersebut tidak diikuti dengan adanya sanksi yang harus diterima
apabila tidak melampirkan Syahadah Diniyah atau siswa tersebut ketika sudah
menjadi siswa SMP dan MTs tidak mengikuti Belajar Masdrasah Diniyah secara
khsusus seperti yang dimaksud dalam Bab X Pasal 20 tentang ketentuan
peralihan.
17
Sekilas memang penelitian ini terlihat seperti penelitian yang dilakukan oleh
mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, tetapi sebenarnya terdapat
perbedaan, yaitu pada fokusnya, fokus penelitian ini lebih kepada kajian kebijakan
publik terhadap perda tersebut.
Menurut hemat penulis, kajian dan paradigma Ilmu Administrasi Negara
dewasa ini tidak hanya terbatas pada permasalahan birokrasi, organisasi
pemerintahan dan pelayanan publik, tetapi sudah menyangkut seluruh aspek
kegiatan penyelenggaraan dan urusan negara (Public affair) yang melahirkan
sebuah kebijakan, baik kebijakan mengenai sosial-budaya, politik, ekonomi,
kependudukan, kesehatan maupun pendidikan.
Kebijakan tentang wajib belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon yang
tertuang dalam Peraturan Daerah No.1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan
Wajib Belajar Madrash Diniyah dalam hemat penulis merupakan bagian dari
kajian disiplin Ilmu Administrasi Negara, karena merupakan bagian dari urusan
publik (Public affair) yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Disiplin Ilmu Adminitrasi Negara dalam hal ini hanya mengambil fokus
pada ranah kebijakanya (Public Policy), melihat sejauh mana implementasinya,
evaluasinya, dan kenapa kebijakan ini harus muncul, berbeda dengan FKIP yang
hanya fokus pada metodologi pembelajaranya, usaha-usaha yang harus dilakukan
untuk menghasilkan peserta didik yang berkualitas sesuai tujuan pendidikan
nasional.
18
Selanjutnya, menurut peneliti terdapat perbedaan antara pendidikan dan
kajian pendidikan yang dilakukan oleh lembaga FKIP, dalam FKIP seperti telah
diterangkan di atas hanya fokus kepada metodologi pembelajaran, usaha-usaha
untuk menghasilkan kualitas pendidikan dan hal-hal yang bersifat pembelajaran,
sedangkan pendidikan merupakan ranah yang komplek yang dapat dikaji dari
berbagi sudut pandang, baik dikaji dari segi kebijakan, sosial-budaya, politik
maupun ekonomi, oleh karenanya kebijakan tentang wajib belajar Madrasah
Diniyah di Kota Cilegon juga dapat dikaji dari segi disiplin Ilmu Administrasi
Negara dengan fokus kepada kebijakanya
Dengan berbagai permasalahan yang telah disebutkan di atas, peneliti sangat
tertarik untuk melakukan penelitian evaluasi terhadap perda Diniyah, terbitnya
Perda Diniyah dan adanya dua Perwal yang masing-masing lembaga hanya
mengakui satu Perwal sebagai acuan hukumnya, serta tentang awal pembentukan
perda Diniyah dan hal yang menghambatnya merupakan fenomena yang sangat
menarik untuk dilakukan kajian evaluasi dari segi kebijakan publik.
Perda Diniyah di Kota Cilegon mempunyai nilai researchable yang sangat
penting untuk dilakukan penelitian dari segi kebijakan publik dan evaluasinya
dengan menggali berbagai informasi dan memaparkan dengan analisa sebagai
upaya untuk mengevaluasi dan menjelaskan sedetil mungkin tentang
permasalahan yang terdapat dalam perda tersebut sesuai dengan displin ilmu yang
sedang ditempuh penulis, oleh karenanya penelitian ini berjudul “Evaluasi Perda
No 1 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di
Kota Cilegon”
19
1.2 Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
Setelah melakukan analisis terhadap berbagai permasalahan yeang terdapat
dalam penelitian ini sebagaimana telah digambarkan oleh peneliti di bagian latar
belakang masalah maka peneliti melakukan identifikasi masalah sebagai upaya
untuk memudahkan penelitian, adapun identifikasi masalahnya sebagai berikut :
1. Bedanya acuan hukum antara Kementrian Agama dengan
LPPTKA/BKPRMI beserta Dinas Pendidikan Kota Cilegon dalam
implementasi perda tersebut
2. Lambatnya implementasi Perda No. 1 tahun 2008 Tentang
Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon
3. Tidak meratanya penerapan kewajiban menyerahkan Syahadah Diniyah ke
SMP dan MTs
4. Tidak setaranya jumlah Madrasah dengan jumlah Sekolah Dasar (SD)
dengan Jumlah MDTA yang ada di Cilegon
1.3 Batasan Masalah
Dalam penelitian ini peneliti membatasi masalah supaya tidak bias dengan
batasan sebagai berikut :
a. Fokus pada evaluasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang
Wajib Belajar Diniyah di Kota Cilegon
b. Faktor yang menghambat dan mendukung dalam implementasi Perda
tersebut.
20
1.4 Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil rumusan masalah sebagai berikut :
“Bagaimana Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Wajib Belajar Diniyah di Kota Cilegon?”
1.5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan peneliti melakukan
penelitian ini adalah untuk mengevaluasi dari Peraturan Daerah Kota Cilegon
Nomor 1 Tahun 2008 tentang wajib belajar Diniyah di Kota Cilegon.
1.6 Manfaat Penelitian
Manfaat secara teoritis
1. Menambah ilmu pengetahuan melalui penelitian yang dilaksanakan
sehingga memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan teori
ilmu administarsi negara
2. Sebagai bahan pemahaman dan pembelajaran bagi peneliti maupun
mahasiswa lain untuk melakukan penelitian-penelitain yang lebih
mendalam mengenai kebijakan-kebijakan pemerintah
21
Manfaat secara praktis
1. Bagi Peneliti
Melalui penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan
tentang kebijakan publik khususnya tentang Peraturan Daerah, dan juga
menambah pengetahuan tentang Madrasah Diniyah, selain itu pula untuk
mengetahui sejauh mana penulis telah menguasai ilmu-ilmu yang
diperoleh selama mengikuti program pendidikan dan sejauh mana penulis
dalam menganilisis dan memecahkan masalah yang di teliti
2. Bagi Instansi
Dengan penelitian ini, diharapkan mampu memberikan masukan
terhadap instansi dan lembaga terkait terutama Kementrian Agama Kota
Cilegon, Dinas Pendidikan Kota Cilegon dan pengurus Forum
Komunikasai Madrasah Diniyah (FOKMADA) Kota Cilegon sebagai
referensi dan acuan dalam evaluasi kebijakan dari Peraturan Daerah
Nomor 1 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar Diniyah di Kota Cilegon
3. Bagi Peneliti Lain
Penelitian ini bisa dijadikan sebagai referensi sekaligus bahan
pembelajaran untuk penelitian selanjutnya
22
1.7 Sistematika Penulisan
Dalan penelitian menggunakan sistematika sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab pendahuluan ini berisikan mengenai latar belakang masalah
yang menjaadi dasar penelitian, dinetifikasi masalah, batasan masalah dan
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian baik secara
praktis maupun teoritis, serta sistematika penulisan.
BAB II DESKRIPSI TEORI DAN ASUMSI DASAR PENELITIAN
Bab ini terdiri dari tiga point, yaitu deskripsi teori, kerangka berpikir,
dan hipotesis penelitian. Dalam deskripsi teori akan dijelaskan tentang
pendapat ahli mengenai teori-teori yang relevan terhadap masalah dan
variable penelitian. Setelah memaprkan teori lalu peneliti membuat
kerangka berpikir yang menggambarkan alur pemikiran peneliti sebagai
kelanjutan dari deskripsi teori. Kemudian dibuatlah asumsi dasar penelitian
yang metupakan rumusan dari kajian teori serta kerangka berpikir.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini menguraikan metode yang digunakan dalam penelitian, isntrumen
penelitian, informan, teknik pengelolaan data, teknik analisis data dan
lokasi jadwal penelitians
23
BAB IV HASIL PENELITIAN
Pada bab ini berisi mengenai data yang berhubungan dengan masalah
penelitian, baik hasil wawancara maupun observasi lengkap dengan
analisisnya
BAB V PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan dari keseluruhan pembahasan atas Evaluasi
Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar Diniyah di
Kota Cilegon beserta paparan saran yang bisa disampaikan
DAFTAR PUSTAKA
Bagian ini berisi daftar referensi yang digunakan dalam penelitian
skripsi
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Bagian ini berisi lampiran hasil dokumentasi lapangan, matriks,
wawancara, surat ijin penelitian, dan data-data penunjang lainya yang
berkaitan dengan penelitian skripsi
24
BAB II
DESKRIPSI TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI DASAR
PENELITIAN
2.1 Deskripsi Teori
Deskripsi teori merupakan kajian berbagai teori dan konsep-konsep yang
relevan dengan permasalahan penelitian yang disusun secara sistematis. Dengan
mengkaji berbagai teori dan konsep-konsep maka peneliti akan memilih konsep
penelitian yang jelas.
Penggunaan teori dalam penelitian akan memberikan acuan bagi peneliti
dalam melakukan analisis terhadap masalah sehingga dapat menyusun pertanyaan
dengan rinci untuk penyelidikan sehingga memperoleh temuan lapangan yang
menjadi jawaban atas masalah yang telah dirmuskan. Oleh karena itu, pada bab ini
peneliti akan menjelaskan beberapa teori yang berkaitan dengan permasalahan
penelitian, antara lain.
2.1.1 Pengertian Kebijakan
Kebijakan adalah sebuah instrumen pemerintahan, bukan saja dalam arti
government, (hanya menyangkut aparatur negara), melainkan pula governance
yang menyentuh berbagai kelembagaan, baik swasta, dunia usaha, maupun
masyarakat madani (civil society). Kebijakan pada intinya merupkan keputusan
24
25
atau pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan
pendistribusian sumber daya alam, finansial dan manusia demi kepentingan
publik, yakni rakyat banyak, atau warga negara.
Kebijakan dalam bahasa inggris modren adalah “ A courseof action or plan,
a set of political purposes as apposed to administration “ (seperangkat aksi atau
rencana yang mengandung tujuan politik yang berbeda dengan makna
administrasi) (Wicaksono : 2006 : 53)
Berbeda dengan Dunn dalam bukunya Pengantar Analisis Kebijakan Publik,
beliau mendefinisikan kata kebijakan dari kata asalnya. Secara etimologis, istilah
policy (kebijakan) berasal dari bahasa yunani, Sansekerta dan latin, akar kata
dalam bahasa Yunani dan Sansekerta yaitu polis (Negara-kota) dan Pur (kota)
(Dunn:2003:53)
Dalam buku Policy Analisys for The Real Word yang diterbitkan tahun1984
dan telah direvisi pada tahun 1990. Howgood dan Gunn menyebutkan 10
(sepuluh) penggunaan istilah kebijakan dalam pengertian modern (Wicaksono :
2006:53) diantarnya :
a. Sebagai label untuk sebuah bidang aktivitas (as label for a field af actvity)
contohnya : statment umum pemerintah tentang kebijakan ekonomi,
kebijakan industri, kebijakan industri, atau kebijakan hukum dan
ketertiban.
b. Sebagai ekspresi tujuan umum atau aktivitas negara yang diharapkan (as
expression of general purpose or desired state of affairs)
26
Contohnya : untuk menciptakan lapangan kerja seluas mungkin atau
pengembangan demokrasi melalui desentralisasi
c. Sebagai proposal spesifik (as specific proposal)
Contohnya : membatasi pemegang lahan pertanian hingga 10 hektar atau
menggratiskan pendidikan dasar
d. Sebagai keputusan pemerintah (as decesions of government)
Contohnya : keputusan kebijakan sebagaimana yang di umumkan Dewan
Perwakilan Rakyat atau Presiden
e. Sebagai otorisasi formal (as formal authorization)
Contohnya : tindakan-tindakan yang diambil oleh parlemen atau lembaga-
lembaga pembuat kebijakan lainya
f. Sebagai sebuah program (as a programe)
Contohnya : sebagai ruang aktivitas pemerintah yang sudah didefinisikan,
seperti program reformasi agrarian atau program peningkatan kesehatan
perempuan
g. Sebagai output( as output)
Contohnya : apa yang secara aktual telah disediakan, seperti sejumlah
lahan yang diredistribusukan dalam program reformasi agraria dan jumlah
penyewa yang terkena dampaknya.
h. Sebagai hasil ( as outcome)
Contohnya : apa yang secara aktual tercapai, seperti dampak terhadap
pendapatan petani dan standar hidup dan output agriculutural dari
program reformasi agraria.
27
i. Sebagai teori atau model (as theory or model)
Contohnya apabila kamu melakukan X maka akan terjadi Y, misalnya
apabila kita meningkatkan insentif kepada industri manufaktur, maka
ouput industri akan berkembang.
j. Sebagai sebuah proses (as a process)
Sebagai sebuah proses yang panjang yang di mulai dengan issues lalu
bergerak melalui tujuan yang sudah di setting, pengambilan keputusan
untuk diimplemetasikan.
2.1.2 Kebijakan Publik
Studi mengenai pembuatan kebijakan publik merupkan studi yang penting
dalam administrasi negara. Beragam pengertian mengenai kebijakan publik ini
tidak bisa di hindarkan, karena kata “kebijakan” merupakan penjelasan ringkas
yang berupaya untuk menerangkan berbagai kegiatan mulai dari pembuatan
keputusan-keputusan, penerapan dan evaluasinya.
Dalam konsep pemerintahan kita sering mendengar kebijakan dan
kebijaksanaan yang terlihat seperti sama, pada dasarnya ada perbedaan antara
konsep “kebijakan” dan “kebijaksanaan”. Kebijaksanaan merupakan suatu
rangkaian alternatif yang siap dipilih berdasarkan prinsip-prinsip tertentu.
Sedangkan kebijaksanaan berkenaan dengan suatu keputusan yang
memperbolehkan sesuatu yang sebenarnya dilarang berdasarkan alasan-alasan
tertentu seperti pertimbangan kemanusiaan, keadaan gawat dan lain-lain
28
Kebijakan merupakan suatu hasil analisis yang mendalam terhadap berbagai
alternatif yang bermuara kepada keputusan tentang alternatif terbaik. Sedangkan
kebijaksanaan selalu mengandung makna melanggar sesuatu yang telah ditetapkan
karena alasan tertentu. Kebijakan merupakan pengejawantahan aturan yang sudah
ditetapkan sesuai situasi dan kondisi setempat oleh person pejabat yang
berwenang. Dengan perbedaan kondisi tersebut diatas, maka seharusnya dalam
implementasinya juga harus berbeda
Dalam berbagai referensi ilmiah, kaitannya dengan studi kebijakan,
penggabungan antara kata “kebijakan” dan “publik” menjadi kebijakan publik
(public policy) merupakan salah satu topik pokok yang sering dikaji. Menurut
Thoha (2002:56), orang pertama yang menggambarkan ide tentang kebijakan
yang publik dapat dipelajari secara sistematis adalah Dewey. Di dalam bukunya
Logic: The Theory of Inquiry, Dewey memberikan perhatian terhadap sifat
eksperimen dari cara mengukur kebijakan. Ilmuwan ini berhasil menggambarkan
bagaimana rencana-rencana tindakan harus dipilih dari berbagai alternatif dan
bagaimana mengamati berbagai akibat yang dapat dipergunakan sebagai uji coba
yang tepat (Thoha, 2002:56)
Hasil buah pemikiran Dewey (Thoha, 2002:57) tersebut kemudian
digunakan oleh Harold Lasswell seorang eksperimentalis ilmu politik yang
pertama kali mempertajam ide ilmu kebijakan sebagai disiplin yang tidak
terpisahkan dari disiplin ilmu-ilmu lain. Lasswell (Nugroho, 2003:3)
mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu program yang diproyeksikan
dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu, dan proyek-proyek tertentu.
29
Menurut pandangannya, kebijakan merupakan studi tentang proses
pembuatan keputusan atau proses memilih dan mengevaluasi informasi yang
tersedia, kemudian memecahkan masalah-masalah tertentu. Adapun kebijakan
publik sebagaimana yang dirumuskan oleh Easton (Thoha, 2002:62-63)
merupakan alokasi nilai yang otoritatif oleh seluruh masyarakat. Akan tetapi,
hanya pemerintah sajalah yang berbuat secara otoritatif untuk seluruh masyarakat,
dan semuanya yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau untuk tidak
dikerjakan adalah hasil-hasil dari nilai-nilai tersebut.
Secara konseptual kebijakan publik dapat dilihat dari kamus administrasi
Publik Chandler dan Plano dalam Pasolong, mengatakan bahwa kebijakan publik
adalah pemanfaatn yang strategi terhadap sumber-sumber daya yang ada untuk
memecahkan masalah kebijakan publik atau pemerintah (Pasalong, 2010:38).
Dunn dalam Pasalong (2010) mengartikan kebijakan publik sebagai berikut :
“Kebijakan publik adalah suatu rangkaian pilihan-pilihan yang saling
berhubungan yang dibuat oleh lembaga-lembaga atau pejabat pemerintah
pada bidang-bidang yang menyangkut tugas pemerintahan, seperti
pertahanan, kemananan, energy, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan,
masyarakat, kriminalitas, perkotaan dan lain-lain”
Menurut Dye dalam Subarsono ( 2006:2) menyatakan bahwa kebijakan
publik meliputi apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu (public policy is whatever governments choose to do or not to do ). Dari
pengertian diatas dapat diartikan bahwa kebijakan publik merupakan keputusan
pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal. Sedangkan
30
menurut Helco dalam Tankilisan, & Nogi ( 2003:3) menyatakan bahwa kebijakan
adalah cara bertindak yang sengaja untuk menyelasikan beberapa permasalahan.
Kebijakan publik biasanya tidak bersifat spesifik dan sempit tetapi luas dan
berada pada strata strategis. Oleh sebab itu, kebijakan publik berfungsi sebagai
pedoman umum untuk kebijakan dan keputsan-keputusan khusus dibawahnya
Eyestone dalam bukunya The Threads of Public Policy mendefinisikan
kebijakan publik sebagai “hubungan antara unit pemerintahan dengan
lingkunganya”. Namun sayangnya definisi tersebut masih terlalu luas untuk
dipahami sehingga artinya menjadi tidak menentu bagi sebagian besar scholar
yang mempelajarinya. “hubungan antara unit pemerintah dengan lingkunganya”
dapat meliputi hampir semua elemen dalam konteks negara. Padahal dalam
lingkup real kebijakan publik tidak selalu menggambarkan keluasan definisi
Eyestone (Agustino, 2008:7)
Eulau dan Prewitt mendefinisikan kebijakan publik sebagai “ keputusan
tetap yang dicirikan dengan konsistensi dan pengulangan (repitisi) tingkah laku
dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi ( Agustino: 2008:7)
Young dan Quinn dalam Suharto (2007) memberikan beberapa konsep
kunci yang termuat dalam kebijakan publik yaitu :
a. Tindakan pemerintah yang berwenang. Kebijakan publik adalah tindakan
yang di buat dan diimplementasikan oleh badan pemerintah yang memiliki
kewenangan hukum, politis dan finansial untuk melakukanya.
31
b. Sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata. Kebijakan
publik berupaya merespon masalah atau kebutuhan kongkrit yang
berkembang di masyarakat.
c. Seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan. Kebijakan publik
biasanya bukanlah sebuah keputusan tunggal, melainkan terdiri dari
beberapa pilihan tindakan atau strategi yang di buat untuk mencapai tujuan
tertentu demi kepentingan orang banyak.
d. Sebuah keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Kebijakan publik pada umumnya merupakan tindakan kolektif untuk
memecahkan masalah sosial. Namun, kebijakan publik bisa juga di
rumuskan berdasarkan keyakinan bahwa masalah sosial akan dapat
dipecahkan oleh kerangka kebijakan yang sudah ada dan karenanya tidak
memerlukan tertentu.
e. Sebuah justifikasi yang dibuat oleh seseorang atau beberapa orang aktor.
Kebijakan publik berisi sebuah pernyataan atau justifikasi terhadap
langkah-langkah atau rencana tindakan yang telah dirumuskan, bukan
sebuah maksud atau janji yang belum dirumuskan. Keputusan yang telah
dirumuskan dalam kebijakan publik bisa dibuat oleh badan pemerintah,
maupun oleh beebrapa perwakilan lembaga pemerintah.
Nugroho dalam bukunya Public Policy memahami kebijakan publik sebagai
berikut :
“ Suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus di taati dan
berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi
dengan bobot pelanggarnya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan
32
masyarakat oleh lembaga yang mepunyai tugas menjatuhkan saknsi”
(Nugroho: 2004:3)
Kebijakan publik ialah kebijakan pemerintah, implikasi dari kebijakan
pemerintah merupakan kebijakan publik dapat disebutkan sebagai berikut :
a. Bahwa apa yang dimaksudkan dengan kebijakan pemerintah atau publik
adalah setiap tindakan yang berorientasi pada tujuan yang dikehendaki
pada situasi yang memungkinkan berubah secara terus-menerus.
b. Kebijakan pemerintah atau kebijakan publik mengandung pola atau bentuk
tindkan yang dilakukan oleh aparat pemerintah
c. Kebijakan pemerintah atau kebijakan publik timbul karena respon
terhadap tuntuan, atau penyelesaian atas isu publik.
d. Kebijakan pemerintah atau kebijakan publik memuat apa yang pemerintah
selalu lakukan, bukan apa yang pemerintah hendak lakukan atau apa yang
pemerintah rencanakan akan dilakukan.
e. Kebijakan pemerintah atau kebijakan publik bisa mungkin berdampak
positif selain dampak negataif. Ia memuat beberapa bentuk tindakan
pemerintah sekaligus dengan sejumlah masalah dimana tindakan
diinginkan (positif), atau bisa mungkin memuat beberapa hal yang sedang
di cari pemecahanya (negatif)
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah
serangkaian keputusan atau tindakan yang ditetapkan oleh pemerintah yang
berorientasi pada kepentingan publik yang ditandai dengan adanya pemilihan
alternatif kebijakan. Jadi, kebijakan publik memiliki tiga unsur pokok, yaitu : (1)
33
kebijakan publik dibuat oleh pemerintah yang berupa tindakan-tindakan
pemerintah, (2) kebijakan publik harus berorientasi pada kepentingan publik, dan
(3) kebijakan publik adalah tindakan pemilihan alternatif untuk dilaksanakan atau
tidak dilaksanakan oleh pemerintah demi kepentingan publik.
Kebijakan publik sebagai suatu proses yang sangat komplek dan dinamis,
memiliki komponen-komponen beragam, yang masing-masing memberikan
kontribusi berbeda bagi proses tersebut. Proses tersebut memutuskan pedoman
umum untuk tindakan yang diarahkan pada masa depan, terutama yang dilakukan
oleh lembaga pemerintah. Pedoman tersebut secara formal dimaksudkan untuk
mencapai tujuan yang tercermin dalam kepentingan umum yang dilakukan dengan
cara sebaik mungkin (LAN. 2004:115)
Sedangkan menurut peneliti kebijakan publik adalah usaha-usaha yang
ditempuh oleh pemerintah dalam menampung aspirasi rakyat dan demi
berlangsungnya sebuah pemerintahan dalam dekade tertentu, kebijakan
merupakan hasil dari adanya sebuah pemerintahan dan negara, dengan demikian
kebijakan publik merupakan sebuah konsekwensi logis yang harus diterima oleh
masyarakat ketika berdirinya sebuah negara dengan tujuan kepntingan publik dan
untuk menopang lajunya roda pemerintahan.
Jadi idealnya suatu kebijakan publik adalah (1) kebijakan publik untuk
dilaksanakan dalam bentuk rill, bukan untuk sekedar dinyatakan, (2) kebijakan
untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan karena didasarkan pada kepentingan
publik itu sendiri.
34
2.1.3 Implementasi Kebijakan Publik
Studi implementasi merupakan suatu kajian mengenai studi kebijakan
yang mengarah pada proses pelaksanaan dari suatu kebijakan. Dalam praktiknya
implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan
tidak jarang bermuatan politis dengan adanya intervensi berbagi kepentingan.
Untuk melukiskan kerumitan dalam proses implementasi tersebut dapat dilihat
pada pernyataan yang dikemukan oleh seorang ahli studi kebijakan Bardach
dalam Agustino (2008:138) :
“Adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum
yang `kelihatanya bagus diatas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya
dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedengaranya mengenakan bagi
telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkanya. Dan lebih
sulit lagi untuk melaksankanya dalam bentuk cara yang memuaskan semua
orang termasuk mereka anggap klien”
Masih dalam Agustino (2008:139) Mazmanian dan Sabiter dalam bukunya
Implementation and Public Policy mendefinisikan Implementasi Kebijakan
Sebagai :
“Pelaksanaan Keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-
undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-
keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan.
Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasi masalah yang ingin
diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau saasaran yang ingin dicapai,
dan berbagi cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses
implementasinya”
Sedangkan, Meter dan Horn (Agustino, 2008:139) mendefiniskan Implementasi
kebijakan, sebagai :
35
“Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau
pejabat-pejabat atau kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan
pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan
kebijakan”
Dari tiga definisi tersebut diatas dapat diketahui bahwa implementasi
kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu : (1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan;
(2) adanya aktivitas atau kegiatan pencapain tujuan; dan (3) adanya hasil kegiatan
yang dilakukan
Implementasi kebijakan seringkali dipandang sebagai tahap kedua setelah
penetapan suatu kebijakan yang mengarah pada pelaksanaan kebijakan.
Implementasi juga dipandang sebagai suatu proses, output maupun sebagai suatu
outcome. Menurut Winarno (2007:144), implementasi di konseptualisasikan
sebagai suatu proses, atau serangkain keputusan dan tindakan yang di tujukan agar
keputusan-keputusan yang diterima oleh lembaga legislatif bisa dijalankan.
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah
kebijakan dapat mencapai tujuanya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk
mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada,
yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau
melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan tersebut
(Nugroho, 2003:158)
Dalam sejarah perkembangan studi implementasi kebijakan terdapat dua
pendekatan, yakin pendekatan top down dan bootom up. Pendekatan top down,
merupakan pendekatan yang mendominasi awal perkembangan studi implemtassi
36
kebijakan, kemudian diantara pengikut pendekatan ini terdapat perbedaan-
perbedaan sehingga melahirkan pendekatan bottom up.
Dalam pendekatan top down, implementasi kebijakan yang dilakukan
tersentralisir dan mulai dar aktor tingkat pusat, dan keputusanya pun diambil dari
tingkat pusat. Pendekatan top down bertitik dari perspektif bahwa keputusan-
keputusan politik (kebijakan) yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus
dilaksanakan oleh administrator-administrator atau birokrat-birokrat pada level
bawahnya. Jadi inti pendekatan top down adalah sejauh mana tindak para
pelaksana sesuai dengan prosedur serta tujuan yang telah digariskan oleh para
pembuat kebijakan di tingkat pusat (Agustino, 2008:140)
2.1.4 Evaluasi Kebijakan Publik
Setelah kebijakan ditetapkan dan diimplementasikan, maka tahap
selanjutnya adalah mengevaluasinya. Evaluasi kebijakan publik dimaksudkan
untuk melihat atau mengukur tingkat kinerja pelaksanaan sesuatu kebijakan
publik yang latar belakang dan alasan-alasanya diambil sesuatu atau kebijakan,
tujuan dan kinerja kebijakan, berbagai instrumen kebijakan yang di kembangkan
dan dilaksanakan, respon kelompok sasaran dan stakeholder lainya serta
konsistensi aparat, dampak yang timbul dan perubahan yang ditimbulkan,
perkiraan perkembangan tanpa kehadirannya dan kemajuan yang di capai apabila
kebijakan dilanjutkan atau diperluas.
37
Evaluasi kebijakan publik acapkali hanya dipahami sebagai evaluasi atas
implementasi kebijakan saja, sesungguhnya evaluasi kebijakan publik mempunyai
tiga lingkup makna, yaitu evaluasi perumusan kebijakan, evaluasi implementasi
kebijakan, dan evaluasi lingkungan kebijakan. Oleh karena ketiga komponen
tersebutlah yang menentukan apakah kebijakan akan berhasil guna atau tidak
(Nugroho, 2003:184). Namun demikian, konsep didalam konsep “evaluasi”
sendiri selalu terikut konsep “kinerja”, sehingga evaluasi kebijakan publik pada
ketiga wilayah bermakna “kegiatan pasca”.
Oleh karena itu, evaluasi kebijakan publik berkenaan tidak hanya dengan
implementasinya, melainkan berkenaan dengan perumusan, implementasi, dan
lingkungan kebijakan.
Suatu evaluasi mempunyai karakteristik tertentu yang membedakan dari
analisis, yaitu: fokus nilai, interdependensi fakta nilai, orientasi masa kini dan
masa lampau, dualitas nilai.
1. Fokus Nilai. Evaluasi ditujukan kepada pemberian nilai dari sesuatu
kebijakan, program maupun kegiatan. Evaluasi terutama ditujukan untuk
menentukan manfaat atau kegunaan dari suatu kebijakan, program maupun
kegiatan, bukan sekedar usaha untuk mengumpulkan informasi mengenai
sesuatu hal. Ketepatan suatu tujuan maupun sasaran pada umumnya
merupakan hal yang perlu dijawab. Oleh karena itu suatu evaluasi
mencakup pula prosedur untuk mengevaluasi tujuan dan sasaran itu
sendiri.
38
2. Interdepedensi Fakta – Nilai. Suatu hasil evaluasi tidak hanya
tergantung kepada “fakta” semata namun juga terhadap “nilai”. Untuk
memberi pernyataan bahwa suatu kebijakan, program atau kegiatan telah
mencapai hasil yang maksimal atau minimal bagi seseorang, kelompok
orang atau masyarakat; haruslah didukung dengan bukti-bukti (fakta)
bahwa hasil kebijakan, program dan kegiatan merupakan konsekuensi dari
tindakan-tindakan yang telah dilakukan dalam mengatasi/memecahkan
suatu masalah tertentu. Dalam hal ini kegiatan monitoring merupakan
suatu persyaratan yang penting bagi evaluasi.
3. Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau. Evaluasi diarahkan pada hasil
yang sekarang ada dan hasil yang diperoleh masa lalu. Evaluasi tidaklah
berkaitan dengan hasil yang diperoleh di masa yang akan dating. Evaluasi
bersifat retrospektif, dan berkaitan dengan tindakantindakan yang telah
dilakukan (ex-post). Rekomendasi yang dihasilkan dari suatu evaluasi
bersifat prospektif dan dibuat sebelum tindakan dilakukan (ex-ante).
4. Dualitas Nilai. Nilai yang ada dari suatu evaluasi mempunyai kualitas
ganda, karena evaluasi dipandang sebagai tujuan sekaligus cara (Dunn,
.2003:608)
Evaluasi ditujukan untuk menilai sejauhmana keefektifan kebijakan publik
guna dipertanggungjawabkan kepada konstituenya. Sejauhmana tujuan dicapai.
Evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan antar harapan dan kenyataan
(Agustino, 2006:140-141).
39
Agustino dalam bukunya yang berjudul Politik dan Kebijakan Publik
(2006:55) menyatakan bahwa :
“Evaluasi kebijakan adalah rangkaian aktivitas fungsional yang berusaha
untuk membuat penilaian melalui pendapat mengenai manfaat atau
pengaruh dari kebijakan, program, dan proyek yang tengah dan atau telah
dilaksanakan”
Kebijakan publik adalah suatu proses untuk melihat seberapa jauh kebijakan
publik dapat membuahkan hasil yaitu dengan membandingkan antara hasil yang
diperoleh dengan tujuan dan target kebijakan publik yang di tentukan.
Menurut Weiss dalam Parson (2006:547) mengatakan bahwa evaluasi dapat
dibedakan dari bentuk-bentuk analisis lainya dari enam hal:
1) Evaluasi dimaksudkan untuk pembuatan keputusan, dan untuk
menganalisis problem seperti yang didefinisikan oleh pembuat
keputusan, bukan oleh pejabat
2) Evaluasi adalah penilaian karakter
3) Evaluasi adalah riset yang dilakukan dalam setting kebijakan, bukan
dalam setting akademik
4) Evaluasi seringkali melibatkan konflik antar periset dan praktisi
5) Evaluasi biayanya tidak di publikasikan
Menurut Sondang Siagian istilah evaluasi diartikan sebagai penilaian, yaitu:
“Proses pengukuran dan pembandingan dari pada hasil -hasil pekerjaan yang
nyatanya dicapai dengan hasil-hasil yang seharusnya dicapai”. Selanjutnya beliau
mengemukakan bahwa hakikat dari penilaian itu adalah:
1. Penilaian ditujukan kepada satu fase tertentu dalam satu proses setelah
fase itu seluruhnya selesai dikerjakan. Berbeda dengan pengawasan yang
ditujukan kepada fase yang masih dalam proses pelaksanaan. Secara
sederhana dapat dikatakan dengan selesainya pekerjaan tidak dapat
40
diawasi lagi karena pengawasan hanya berlaku bagi tugas yang sedang
dilaksanakan.
2. Penilaian bersifat korektif terhadap fase yang telah selesai dikerjakan.
Mungkin akan timbul pertanyaan: Jika sesuatu telah selesai dikerjakan,
nilai korektif yang diperoleh untuk apa? “Korektifitas” yang menjadi sifat
dari penilaian sangat berguna, bukan untuk fase yang telah selesai, tetapi
untuk fase berikutnya. Artinya, melalui penilaian harus dikemukakan
kelemahan-kelemahan sistem yang dipergunakan dalam fase yang baru
saja selesai itu. Juga harus dikemukakan penyimpangan-penyimpangan
dan/atau penyelewengan-penyelewengan itu terjadi Jika ini telah
dilakukan, maka akan diperoleh bahan yang sangat berguna untuk
dipergunakan pada fase yang berikutnya sehingga kesalahan-kesalahan
yang dibuat pada fase yang baru diselesaikan tidak terulang, sehingga
dengan demikian organisasi tumbuh dan berkembang dalam bentuk tingkat
“performance” yang lebih tinggi dan efisien yang semakin besar, atau
peling sedikit, inefisiensi yang semakin berkurang.
3. Penilaian bersifat “prescriptive”. Sesuatu yang bersifat “prescriptive”
adalah yang bersifat “mengobati”. Setelah melalui diketemukan
kelemahan-kelemahan yang terdapat pada sistem pelaksanaan dalam fase
yang lalu, setelah sumber-sumber yang menyebabkan mungkinnya
penyimpangan dan/atau penyelewengan terjadi, melalui penilaian harus
pula dapat diberikan “resep” untuk mengobati penyakit-penyakit proses itu
41
penyakit yang sama tidak timbul kembali, dan sekaligus jika mungkin,
dicegah pula timbulnya “penyakit” yang baru.
4. Penilaian ditujukan kepada fungsi-fungsi organik lainnya. Fungsifungsi
administrasi dan manajemen itu tidak merupakan fungsi-fungsi, yang
“berdiri sendiri” dalam arti lepas dari fungsi-fungsi lainnya. Malahan
sesungguhnya kelima fungsi organic administrasi dan manajemen itu
merupakan satu rantai kegiatan dan masing-masing fungsi itu merupakan
mata rantai yang terikat kepada semua mata rantai yang lain. (Siagian,
1970:143-144)
Dalam pada ini peneliti lebih menekankan bahwa evaluasi kebijakan
merupakan sebuh anlisis hasil dari sebuah kebijakan yang bertujuan untuk melihat
sejauh mana keberhasilan kebijakan tersebut dalam memenuhi aspek publik,
evaluasi di pandang perlu dalam sebuah pemerintahan atau kebijakan karena akan
menyangkut kepentingan publik atau masyarakat, dengan evaluasi ini maka akan
menjadi sebuah rekomendasi bagi pembuat kebijakan untuk membuat kebijakan
yang baru.
2.1.5 Metode Evaluasi Kebijakan
Dalam rangka mengevaluasi kebijakan, secara rinci Casley dan Kumar
dalam Wibawa (1994:16-17) menunjukkan sebuah metode dengan enam langkah
sebagai berikut :
42
1. Identifikasi masalah. Yaitu membatasi masalah yang akan dipecahkan atau
dikelola dan memisahkan dari gejala yang mendukungnya, yaitu dengan
merumuskan sebuah hipotesis.
2. Menentukan faktor-faktor yang menjadikan adanya masalah, dengan
mengumpulkan data kuantitatif maupun kualitatif yang memperkuat
hipotesis.
3. Mengkaji hambatan dalam pembuatan keputusan dengan menganalisis
situasi politik dan organisasi yang mempengaruhi pembuatan kebijakan.
Berbagai variabel seperti komposisi staf, moral dan kemampuan staf,
tekanan politik, kepekaan budaya, kemauan penduduk dan efektivitas
manajemen.
4. Mengembangkan solusi-solusi alternatif.
5. Memperkirakan/mempertimbangkan solusi yang paling layak, dengan
menentukan kriteria yang jelas dan aplikatif untuk menguji kelebihan dan
kekurangan setiap solusi alternatif.
6. Memantau secara terus-menerus umpan balik dari tindakan yang telah
dilakukan guna menentukan tindakan selanjutnya.
Menurut Dunn (2000:601) menyatakan bahwa evaluasi memberi sumbangan
pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan
dan target. Pada dasarnya nilai juga dapat dikritik dengan menanyakan secara
sistematis kepantasan tujuan dan target dalam hubungan dengan masalah yang
dituju. Evaluasi kebijakan adalah proses untuk menilai seberapa jauh suatu
43
kebijakan membuahkan hasil, yaitu membandingkan antara hasil yang diperoleh
dengan tujuan atau target kebijakan yang ditentukan
Selanjutnya Ripley (Wibawa,1994:8-9) mengatakan bahwa kegiatan evaluasi
kebijakan merupakan langkah awal untuk meningkatkan proses pembuatan
kebijakan berikut hasilnya. Beberapa persoalan yang harus dijawab oleh suatu
kegiatan evaluasi adalah :
1. Kelompok dan kepentingan mana yang memiliki akses di dalam
pembuatan kebijakan.
2. Apakah proses pembuatannya cukup rinci, terbuka dan memenuhi
prosedur.
3. Apakah program didesain secara logis.
4. Apakah sumber daya yang menjadi input program telah cukup memadai
untuk mencapai tujuan.
5. Apakah standar implementasi yang baik menurut kebijakan tersebut.
6. Apakah program dilaksanakan sesuai standar efisien dan ekonomi
7. Apakah uang digunakan dengan jujur dan tepat.
8. Apakah kelompok sasaran memperoleh pelayanan dan barang seperti yang
didesain dalam program.
9. Apakah program memberikan dampak kepada kelompok nonsasaran.
10. Apa dampaknya, baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan,
terhadap masyarakat.
11. Kapan tindakan program dilakukan dan dampaknya diterima oleh
masyarakat.
44
12. Apakah tindakan dan dampak tersebut sesuai dengan yang diharapkan.
Evaluasi kebijakan publik tidak hanya untuk melihat hasil (outcomes) atau
dampak (impacts), akan tetapi dapat pula untuk melihat bagaimana proses
pelaksanaan suatu kebijakan dilaksanakan. Ada dua macam tipe dalam evaluasi
kebijakan, yaitu sebagai berikut :
1. Tipe evaluasi semu (outcomes of public policy implementation) merupakan
riset yang mendasarkan diri pada tujuan kebijakan. Ukuran keberhasilan
pelaksanaan kebijakan adalah sejauh mana apa yang menjadi tujuan
program dapat dicapai.
2. Tipe evaluasi yang mendasarkan proses (Process of public policy
implementation), yaitu riset evaluasi yang mendasarkan diri pada petunjuk
pelaksanaan (juklak) dan petunjuk jenis (juknis). Ukuran keberhasilan
pelaksanaan kebijakan dengan garis petunjuk (guide lines) yang ditetapkan
Dalam melakukan riset evaluasi mempunyai tujuan yang dimana riset evaluasi
untuk mengukur dampak dari suatu program yang mengarah pada pencapaian dari
serangkaian tujuan yang ditetapkan dan sebagai sarana untuk memberikan
kontribusi (rekomendasi) dalam membuat keputusan dan perbaikan program pada
masa mendatang. Dari tujuan riset evalusi terdapat unsur-unsur penting dalam
evaluasi, yakni :
1. Untuk mengukur dampak (to measure the effects) dengan bertumpu pada
metodologi riset yang di gunakan
45
2. Dampak (effects) tadi menekankan pada suatu hasil (outcomes) dari
efesiensi, kejujuran, moral yang melekat pada aturan-aturan atau standar
3. Perbandingan antara dampak (effects) dengan tujuan (goal) menekankan
pada penggunaan kriteria (criteria) yang jelas dalam menilai bagaimana
seutu kebijakan telah dilaksanakan dengan baik.
4. Memberikan kontribusi pada perbuatan keputusan selanjutnya dan
perbaikan kebijakan pada masa yang mendatang sebagai tujuan sosial (the
social purpose) dari evaluasi
Kriteria evaluasi atau indikator evaluasi menurit Dunn seperti dibawah ini :
Tabel. 2.1
Kriteria Evaluasi menurut Dunn
Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah tercapai
Efesiensi Seberapa banyak usaha yang diperlukan untuk
mencapai hasil yang diinginkan
Kecukupan Seberapa jauh hasil yang tercapai dapat memcahkan
masalah
Pemerataan Adakah biaya dan manfaat didistribusikan merata
kepada kelompok-kelompok yang berbeda
Responsivitas Apakah hasil kebijakan memuat preferensi atau nilai
kelompok dan dapat memuaskan mereka
Ketepatan Adakah hasil yang dicapai benar-benar berguna atau
bernilai
Sumber : Dunn (2006 : 610)
46
Dari tabel diatas 2.1 mengenai kriteria evaluasi, dapat dijabarkan lebih jauh,
yaitu :
Efektivitas, berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil yang
diharapkan, atau mencapai tujuan dari diaadakanya tindakan. Efesiensi, berkenaan
dengan julah usaha yang dihasilkan untuk menghasilkan tingkat efektivitas
tertentu. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya yang terkecil
disebut efisien.
Kecukupan, berkenaan dengan seberapa jauh tingkat efektivitas
memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan yang menimbulkan adanya
masalah. Kriteria kecukupan ini berkenaan dengan 4(empat) tipe masalah, yaitu :
(1) masalah tipe I, meliputi ongkos tetap dan efektivitas yang berubah. Kebijakan
yang paling memadai adalah yang dapat memaksimalkan pencapaian tujuan
dengan biaya yang tetap sama, (2) Masalah Tipe II, menyangkut efektivitas yang
sama dan biaya yang berubah. Kebijakan yang paling memadai adalah yang dapat
meminimalkan biaya dalam mencapai tingkat efektivitas yang tetap. (3) Masalah
Tipe III, menyangkut biaya yang berubah dan efektivitas yang berubuah.
Kebijakan yang paling memadai adalah yang dapat memaksimalkan rasio
efektivitas tetap. Alternatif yang dapat dilakukan ialah dengan tidak melakukan
tindakan apapun.
Perataan atau kesamaan, maksudnya adalah sejauhmana suatu kebijakan
dapat didistribusikan secara adil baik, akibatnya maupun usaha dari kebijakan
47
tersebut. Seperti misalanya pelayanan publik biasanya dirancang dengan kriteria
kesamaan.
Responsivitas, berkenaan denagn seberapa jauh suatu kebijakan dapat
memenuhi kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok masyarakat
tertentu. Dan yang terahir adalah Ketepatan, merujuk pada nilai atau harga dari
tujuan program dan kepada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan
tersebut.
Nugroho (2009) memberikan definisi evaluasi kebijakan ialah di tujukan
untuk menilai sejauh mana keefektifan kebijakn publik guna
dipertanggungjawabkan kepada konstiteunya. Sejauh mana tujuan di capai.
Evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan antara “harapan” dan “kenyataan”.
(Nugroho, 2009:669)
House membuat taksonomi evaluasi yang cukup berbeda, yang membagi
model evaluasi menjadi :
1. Model sistem, dengan indikator utama adalah efisiensi.
2. Model perilaku, dengan indikator untama adalah produktivitas dan
akuntabilitas
3. Model formulasi keputusan, dengan indikator utama adalah keefektifan
dan keterjagaaan kualitas.
4. Model tujuan bebas (goal free), dengan inidkator utama adalah pilihan
pengguna dan manfaat sosial.
5. Model kekrtisan seni (art criticism), dengan indikator utama adalah
standar yang semakin baik dan kesadaran yang semakin meningkat.
6. Model review profesional, dengan indikator utama adalah penerimaan
profesional.
7. Model kuasi-legal (quasi-legal), dengan indikator utama adalah resolusi.
8. Model studi kasus, dengan indikator utama dalah pemahaman atas
diverisitas (Nugroho, 2009:674)
48
Subarsono memberikan sebuah alasan mengapa evaluasi dalam sebuah kebijakan
perlu dilakukan.
1. Untuk mengetahui tingkat efektivitas suatu kebijakan, yakni seberapa jauh
suatu kebijakan mencapai tujuanya.
2. Mengetahui apakah suatu kebijakan berhasil atau gagal. Dengan melihat
tingkat efektivitasnya, maka dapat disimpulkan apakah suatu kebijakan
berhasil atau gagal.
3. Memenuhi aspek akuntabilitas publik. Dengan melakukan penilaian kerja
suatu kebijakan, maka dapat dipahami sebagai bentuk
pertanggungjawaban pemerintah kepada publik sebagai pemilik dana dan
mengambil manfaat dari kebijakan dan program pemerintah.
4. Menunjukan pada Stakeholder manfaat suatu kebijakan. Apabila tidak
dilakukan evaluasi terhadap sebuah kebijakan, para stakeholders, terutama
kelompok sasaran tidaak mengetahui secara pasti manfaat dari sebuah
kebijakan atau program pemerintah.
5. Agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Pada akhirnya, evaluasi
kebijakan bermanfaat memberikan masukan bagi proses pengambilan
kebijakan yang akan datang agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Sebaliknya, dari hasil evaluasi diharapkan dapat ditetapkan kebijakan yang
lebih baik (Subarsono, 2012).
Secara terpisah Nurcholis mengatakan bahwa evaluasi kebijakan adalah
penilaian secara menyeluruh yang menyangkut Input, Proses, outputs, dan
outcames dari kebijakan Pemerintah daerah (Nurcholis, 2007 :274). Evaluasi
adalah proses yang mendasarkan diri pada disiplin yang ketat dan tahapan waktu.
Menurutnya evaluasi membutuhkan sebuah skema umum penilaian, yaitu :
1) Input, yaitu masukan yang diperlukan untuk pelaksanaan kebijakan
2) Proses, yaitu bagaiman sebuah kebijakan diwujudkan dalam bentuk
pelayanan langsung kepada masyarakat, bagiamana hambatan dan
tantangannya
3) Outputs, yaitu hasil dari pelaksanaan kebijakan. Apakah suatu pelaksanaan
kebijakan menghasilkan produk sesuai dengan tujuan yang ditetapkan?
4) Outcomes, yaitu apakah suatu pelaksanaan kebijakan berdampak nyata
terhadap kelompok sasaran sesuai dengan tujuan kebijakan?
49
Skema umum penilaian menurut Nurcholis ini merupakan penilaian secara
menyeluruh terhadap suatu kebijakan . penilaian tersebut meliputi masukan awal
yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kebijakan, proses pelaksanaan kebijakan,
hasil kebijakan hingga kesesusaian antara tujuan kebijakan dengan dampaka yang
dtimbulkan. Dengan menggunakan teori evaluasi kebijakan ini dapat dibuat
penilaian secara menyeluruh terhadapa kebijakan yang akan dievalusi
2.1.6. Fungsi Evaluasi
Menurut Dunn (2003) terdapat tiga fungsi utama evaluasi dalam analisis
kebijakan, yaitu :
Pertama, evaluasi memberikan informasi yang valid dan dapat dipercaya
mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan
telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Dalam hali ini evaluasi
mengungkapkan seberapa jauh tujuan dan target yang telah ditetapkan telah
tercapa.
Kedua, evaluasi memberikan sumbangan pada kalrifikasi dan kritik
terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan dan target. Nilai tersebut dikrtik
mengenai kepantasan tujuan dari target yang telah ditetapkan dan keterkaitan dan
kesesuian dengan permasalahan yang dituju.
Ketiga, evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis
kebijakan lainya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Informasi yang
dihasilkan dari proses evaluasi dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk
50
merumuskan ulang masalah dan memberikan alternatif kebijakan baru maupun
revisi kebijakan sebelumnya
Terdapat enam hal tujuan evaluasi yang disampaikan Sudjana (2006:48),
yaitu untuk :
1. Memberikan masukan bagi perencanaan program;
2. Menyajikan masukan bagi pengambil keputusan yang berkaitan dengan
tindak lanjut, perluasan atau penghentian program;
3. Memberikan masukan bagi pengambil keputusan tentang modifikasi atau
perbaikan program;
4. Memberikan masukan yang berkenaan dengan faktor pendukung dan
penghambat program;
5. Memberikan masukan untuk kegiatan motivasi dan pembinaan
(pengawasan, supervisi, dan monitoring) bagi penyelenggara,pengelola
dan pelaksana program.
Dari definisi diatas disimpulkan yaitu terdapat dua macam tujuan evaluasi
yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan umum diarahkan pada program secara
keseluruhan, sedangkan tujuan khusus diarahkan pada masing-masing komponen.
Dalam hak tersebut keduanya menyarankan agar dapat melakukan tugasnya, maka
seorang evaluator program dituntut untuk mampu mengenali komponen-
komponen program
2.1.7 Konsep Madrasah
Kata “madrasah” dalam bahasa Arab adalah benuk kata keterangan tempat
(zharaf makan) dari akar kata “darasa”. Secara harfiah “madrasah” diartikan
sebagai temapt belajar para pelajar, atau tempat untuk memberikan pelajaran”
(Jahari, 2013:3).
51
Kata “madrasah‟ juga ditemukan dalam bahasa Hebrew atau Aramy, dari
akar kata yang sama yaitu “darasa”, yang berarti “membaca dan belajar‟ atau “
tempat duduk untuk belajar” dari kedua bahasa tersebut, kata “madrasah”
mempunyai arti yang sama “tempat belajar”. Jika diterjemahkan kedalam Bahasa
Indonesia, kata “madrasah” memiliki arti “sekolah” kendati pada mulanya kata
“sekolah” itu sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa
asing, yaitu school atau scola.(Jahari, 2013:4)
2.1.8 Madrasah Diniyah
Madrasah Diniyah adalah salah satu lembaga pendidikan keagamaan pada
jalur luar sekolah yang diharapkan mampu secara menerus memberikan
pendidikan agama Islam kepada anak didik yang tidak terpenuhi pada jalur
sekolah yang diberikan melalui sistem klasikal serta menerapkan jenjang
pendidikan yaitu: Madrasah Diniyah Awaliyah, dalam menyelenggarakan
pendidikan agama Islam tingkat dasar selama selama 4 (empat) tahun dan jumlah
jam belajar 18 jam pelajaran seminggu, Madrasah Diniyah Wustho, dalam
menyelenggarakan pendidikan agama Islam tingkat menengah pertama sebagai
pengembangan pengetahuan yang diperoleh pada Madrasah Diniyah Awaliyah,
masa belajar selama selama 2 (dua) tahun dengan jumlah jam belajar 18 jam
pelajaran seminggu dan Madrasah Diniyah Ulya, dalam menyelenggarakan
pendidikan agama Islam tingkat menengah atas dengan melanjutkan dan
mengembangkan pendidikan Madrasah Diniyah Wustho, masa belajar 2 (dua)
tahun dengan jumlah jam belajar 18 jam per minggu (Depag RI.1998:30)
52
Kesadaran Masyarakat Islam akan pentingnya Pendidikan Agama telah
membawa kepada arah pembaharuan dalam Pendidikan. Salah satu Pembaharuan
Pendidikan Islam di indonesia di tandai dengan lahirnya beberapa Madrasah
Diniyah, seperti Madrasah Diniyah (Diniyah School) yang didirikan oleh
Zainuddin Labai al Yunusi tahun 1915 dan Madrasah diniyah Putri yang didirikan
oleh Rangkayo Rahmah El Yunusiah tahun 1923 (Jahari, 2013:15).
Dalam sejarah, Keberadaaan Madrasah diniyah di awali lahirnya Madrasah
Awaliyah telah hadir pada masa Penjajahan Jepang dengan pengembangan secara
luas. Majelis tinggi Islam menjadi penggagas sekaligus penggerak utama
berdirinya Madrasah-Madrasah Awaliyah yang diperuntukkan bagi anak-anak
berusia minimal 7 tahun. Program Madrasah Awaliyah ini lebih ditekankan pada
pembinaan keagamaan yang diselenggarakan sore hari (El Widdah, 2012 :17)
Berdasarkan Undang-undang Pendidikan dan Peraturan Pemerintah,
Madrasah Diniyah adalah bagian terpadu dari pendidikan nasional untuk
memenuhi Permintaan masyarakat tentang pendidikan agama. Madrasah Diniyah
termasuk ke dalam pendidikan yang dilembagakan dan bertujuan untuk
mempersiapkan peserta didik dalam penguasaan terhadap pengetahuan agama
Islam.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
ditindaklanjuti dengan disyahkannya PP No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan
agama dan keagamaan memang menjadi babak baru bagi dunia pendidikan agama
dan keagamaan di Indonesia. Karena itu berarti negara telah menyadari
53
keanekaragaman model dan bentuk pendidikan yang ada di Indonesia.
Keberadaan peraturan perundangan tersebut telah menjadi ”tongkat penopang”
bagi madrasah diniyah yang sedang mengalami krisis identitas. Karena selama ini,
penyelenggaraan pendidikan diniyah ini tidak banyak diketahui bagaimana pola
pengelolaannya. Tapi karakteristiknya yang khas menjadikan pendidikan ini layak
untuk dimunculkan dan dipertahankan eksistensinya.
Sebagian Madrasah Diniyah khususnya yang didirikan oleh organisasi-
organisasi Islam, memakai nama Sekolah Islam, Islamic School, Norma Islam dan
sebagainya. Setelah Indonesia merdeka dan berdiri Departemen Agama yang
tugas utamanya mengurusi pelayanan keagamaan termasuk pembinaan lembaga-
lembaga pendidikan agama, maka penyelenggaraan Madrasah Diniyah mendapat
bimbingan dan bantuan Departemen Agama (El Widdah, 2012: 21)
Dalam perkembangannya, Madrasah Diniyah yang didalamnya terdapat
sejumlah mata pelajaran umum disebut Madrasah lbtidaiyah. sedangkan Madrasah
Diniyah khusus untuk pelajaran agama. Seiring dengan munculnya ide-ide
pembaruan pendidikan agama, Madrasah Diniyah pun ikut serta melakukan
pembaharuan dari dalam. Beberapa organisasi penyelenggaraan Madrasah
Diniyah melakukan modifikasi kurikulum yang dikeluarkan Departemen Agama,
namun disesuaikan dengan kondisi lingkungannya, sedangkan sebagian Madrasah
Diniyah menggunakan kurikulum sendiri menurut kemampuan dan persepsinya
masing-masing.
54
2.1.9 Klasifikasi Madrasah Diniyah dan Syarat Penerimaan
1. Pendidikan Diniyah Formal
Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 55
Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan pada pasal
15 mengenai Pendidikan Diniyah Formal yang berbunyi “Pendidikan diniyah
formal menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran
agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Hal ini diatur dalam pasal. Tindak
lanjut dari penjelasan di atas terdapat pada pasal 16 ayat 123 dan 17 ayat 1234.
2. Pendidikan Diniyah Nonformal
Pendidikan Nonformal adalah jalur pendidikan diluar pendidikan formal
yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan diniyah
nonformal, dijelaskan secara detail pada pasal 21, 22, 23, 24 dan 25 dalam
Undang-Undang Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan Nomor 55
Tahun 2007.
2.2 Deskripsi Kebijakan
2.2.1 Deskripsi Kebijakan Pendidikan
Berbicara pendidikan adalah juga berbicara tentang kebijakan, karena
pendidikan merupakan kebijakan yang dibuat pemerintah untuk dilaksanakan.
Karena pendidikan merupakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, maka
55
kebijakan pendidikan adalah salah satu kebijakan publik dalam bidang
pendidikan.
Berbagai aturan dan perundang-undangan yang ada misalnya, undang-
undang nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah. Menurut hemat
penulis aturan ini cenderung bersifat sentralistik daripada desentralistik.
Kemudian muncul kebijakan baru yaitu Undang-undang nomor 22 tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah. Dalam UU nomor 22 tahun 1999 mengubah pola
pembangunan dari sentralistik menjadi desentralistik, dengan memberikan
kekuasaan otonom secara luas kepada pemerintah Kabupaten dan Kota.
Efek samping dari pada kekuasaan otonomi yang sangat luas kepada
daerah, pada prakteknya mengakibatkan sedikit terhambatnya proses
desentralisasi pembangunan dan pelayanan publik, juga pemerintah daerah
berpeluang untuk melakukan desentralisasi kekuasaan pada elit-elit politik daerah.
Salah satu pesan UU nomor 22 tahun 1999 adalah bahwa daerah
mempunyai kewajiban menangani pendidikan yang rambu-rambunya telah
dijabarkan dalam Peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.
Bahwa persoalan mendasar dalam desentralisasi pengelolaan pendidikan
adalah apa yang seharusnya dilakukan, oleh siapa hal itu dilakukan, dengan cara
bagaimana dan mengapa demikian. Dengan semangat pemberian kesempatan
otonomi kepada daerah khususnya Kabupaten dan Kota, dan tetap terjaminnya
kepentingan nasional yang paling esensial.
56
Disadari betul bahwa kewenangan dan kekuasaan saja belumlah cukup,
dibutuhkan kemampuan daerah untuk mengimplementasikan otonomi daerah.
Kemampuan ini bisa diuraikan menjadi sangat luas, mencakup keharusan
memiliki wawasan yang mumpuni, kualitas sumber daya manusia, kapasitas
kelembagaan serta kemampuan menggali dan mengelola pembiayaan. Dengan
demikian melalui pengelolaan yang desentralistik, diharapkan pendidikan dapat
dilaksanakan dengan lebih baik, bermanfaat bagi daerah dan juga bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Tentunya dengan desentralisasi tersebut tidak
dikehendaki terjadinya kemunduran dalam pendidikan dan tidak juga justru
melemahkan semangat integrasi nasional.
Kebijakan publik penyelenggaraan pembangunan Indonesia Pasca
reformasi ditata dengan pola desentralistik, yaitu dengan lahirnya undang-undang
nomor 22 Thun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang dilengkapi dengan
Undang-undang nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah. Hanya saja kebijakan publik ini menurut hemat penulis terdapat
kelemahan, diantaranya adalah adanya kesenjangan kesejahteraan antara pusat
dengan daerah.
Undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang Pemerintah Daerah
diperbaharui lagi dengan lahirnya Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Munculnya berbagai peraturan dan perundang-undangan
ini adalah dalam rangka perbaikan sistem yang selama ini berlaku, sehingga
kedepan akan lebih baik lagi.
57
Pemerintah Orde baru menetapkan kebijakan publik dibidang pendidikan
berupa undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem pendidikan Nasional.
Kebijakan ini ditetapkan pada saat kebijakan publik tentang penyelenggaraan
pembangunan menganut pola yang cenderung sentralistik, yaitu melalui Undang-
undang nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
UU ini menyebutkan bahwa negara kesatuan RI dibagi kedalam daerah-
daerah otonom diselenggarakan melalui tiga pelaksanaan asas yaitu, asas
desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asa pembantuan.
Pasal 2 UU tersebut menetapkan bahwa titik berat otonomi daerah
diletakkan pada daerah tingkat II yang pelaksanaannya diatur dengan peraturan
pemerintah (PP). Adapun tujuan daripada otonomi kepada daerah adalah untuk
memungkinkan daerah yang bersangkutan bisa mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri.
Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pada pasal; 50, 51 dan 52 secara khusus mengatur tentang pengelolaan pendidikan
tingkat pusat dan daerah, yang menyatakan bahwa sifat desentralistik dari
penyelenggaraan pembangunan pendidikan nasional. Namun didalamnya
memberikan panduan mengenai mekanisme desentralisasi penyelenggaraan
pendidikan nasional yaitu antara lain siapa yang bertanggung jawab dalam
pengelolaan sistem pendidikan nasional, bagaimana standar nasional pendidikan,
siapa yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan dasar,
menengah dan pendidikan tinggi dan sebagainya
58
2.2.2 Deskripsi Peraturan Daerah Kota Cilgon Nomor 1 tahun 2008
Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah
Dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan
wajib belajar Madrasah Diniyah di kota Cilegon terdapat 11 Bab dan 22 Pasal.
Pada bagian pertama perda ini berisikan tentang ketentuan umum kemudian
dilanjut dengan dasar, fungsi dan tujuan diterbitkanya perda tersebut pada Bab II.
Dalam Bab 3 dan Bab 4, dijelaskan tentang lamanya pendidikan wajib
belajar Madrasah Diniyah dan ketentuan-ketentuan mengenai peserta didik.
Dalam pengelolaan, pembinaan dan pengawasan wajib belajar madrasah diniyah
ini diatur dalam Bab VII Pasal 14 yang menyebutkan bahwa pengelolaan,
pembinaan dan pengawasan dilakukan Kementrian Agama Kota Cilegon dalam
bidang kurikulum dan Dinas pendidikan Kota Cilegon dalam bidang sarana dan
prasarana (pasal 14 ayat 2 dan 4).
Selanjutnya pada Bab VIII berisikan kewajiban Kementrian Agama dan
Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan wajib belajar Madrasah Diniyah di
Kota Cilegon dan juga tentang mekanisme pendirian Madrasah Diniyah yang
harus memperoleh ijin operasional dari Kementrian Agama.
Kemudian pada Bab IX mengenai evaluasi dan syahadah yang berisikan
tentang ketentuan bagaiamana sebuah evaluasi dilakukan dengan melihat pada
kemajuan dan keberhasilan belajar pada peserta didik. Pada pasal 18 dijelaskan
tentang kewenangan Kementrian Agama dalam mengeluarkan Sertifikat syahadah
(Ijazah Diniyah dan pada pasal 19 dijelaskan tentang kewajiban melampirkan
59
syahadah diniyah atau sederajat ketika peserta didik yang beragama Islam
memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (Mts)
2.3 Penelitian Terdahulu
Dalam melakukan penelitian . Peneliti melakukan peninjauan terhadap
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, baik berupa skripsi maupun tesis,
yang terkait dengan tema yang diambil dalam penelitian ini. Peneliti mengambil
dua penelitian terdahulu sebagai pembanding dengan penelitian yang dilakukan.
Penelitian pertama yaitu diambil dari skripsi yang berjudul “Implementasi
Amaliyah Diniyah Dalam Mewujudkan Budaya Sekolah Islami Di SD Islam
Sultan Agung 4 Semarang”, yang dilakukan oleh Saikhul Aris pada Tahun 2014,
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
deskriptif analisis melalui rancangan studi kasus. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan: (1) wawancara (2) observasi dan (3) dokumentasi. Teknik
analisis datanya dilakukan dengan cara: reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan. Sedangkan pemeriksaan keabsahan data dilakukan dengan
perpanjangan waktu dan ketekunan observasi, tekknik triangulasi dan diskusi
rekan sejawat, serta menggunakan referensi.
Adapun hasil penelitian dari skripsi ini, antara lain: 1) Implementasi
amaliyah diniyah dalam rangka mewujudkan budaya sekolah Islami (BUSI) di SD
Islam Sultan Agung 4 Semarang dilakukan dengan cara menerapkan secara
60
langsung standar operasional BUSI yang telah dibuat oleh tim motivator BUSI
dan disepakati oleh ketua II Bidang Dikdasmen YBWSA (Yayasan Badan Wakaf
Sultan Agung). Adapun persiapan-persiapan yang dilakukan oleh yayasan
bersama sekolah sebelum diterapkannya BUSI ini, antara lain: Pertama,
Merumuskan standar oiperasional prosedur BUSI, Kedua, Membentuk tim
motivator BUSI, Ketiga, Membentuk tim penegak disiplin sekolah (petugas piket
BUSI), Keempat, Mensosialisasikan standar operasional prosedur BUSI. 2)
Bentuk-bentuk amaliyah diniyah yang dibiasakan dan diterapkan di SD Islam
Sultan Agung 4 Semarang dalam rangka mewujudkan budaya sekolah Islami
(BUSI) antara lain yaitu: a) Pembiasaan hidup bersih (Thoharoh), b) Berbusana
Islami, c) Pembiasaan Akhlak yang baik, d) Pembiasaan Shalat berjama‟ah, dan e)
Pembinaan Baca Tulis al-Qur‟an (BTQ).
Persamaan penelitian ini dengan penulis teliti yaitu peneliti melakukan
penelitian dengan objek utama yang sama yaitu tentang Madrasah Diniyah.
Dengan melihat objek yang sama maka peneliti menjadi dapat lebih memahami
tentang Madrasah Diniyah. Perbedaan penelitian ini dengan penulis yaitu fokus
yang dipilih penelitian terdahulu yaitu lebih kepada implementasi amaliyah
Madrasah Diniyah di sebuah sekolah SD Islam Sultan Agung 4 Semarang, dan
kajian dalam penelitian ini lebih spesifik yang ditekankan pada mewujudkan
budaya sekolah islami pada sekolah tertentu tetapi penelitian yang penulis ambil
saat ini berfokus pada evaluasi Peraturan Daerah tentang wajib belajar Madrasah
Diniyah yang cakupanya lebih luas dan kompleks, karena lokusnya di Kota
Cilegon.
61
Selanjutnya pada penelitian skripsi yang berjudul “Peran Madrasah
Diniyah Nurul Anam dalam Pengembangan Pendidikan Islam di Desa Kranji
Kecamatan Kedungwuni Pekalongan” yang dilakukan oleh Ciyarti 2009, IAIN
Walisongo, Semarang
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif lapangan (field
research) dengan teknis analisis deskriptif kualitatif. Teknik pengambilan sampel
menggunakan teknik purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel
sumber data dengan tujuan tertentu pertimbangan bahwa informan dipandang
mengetahui tentang situasi sosial Madrasah Diniyah Nurul Anam. Adapun jumlah
informan dalam penelitian ini adalah sebanyak 57 informan. Diambil dari 3 orang
tokoh agama, 3 orang tokoh masyarakat, 3 orang pengurus Yayasan Madrasah
Diniyah, 1 orang pengurus Madrasah Diniyah, 25 orang pengajar madrasah
Diniyah baik Awaliyah, Wustha maupun „Ulya, dan 22 masyarakat Kranji yang
sekaligus merupakan orang tua santri. Pengumpulan data menggunakan teknik
wawancara, observasi, dokumentasi dan triangulasi. Data penelitian yang
terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif
kualitatif dengan pendekatan deduktif dan induktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Pengembangan pendidikan Islam
di Kranji ditempuh melalui beberapa cara, meliputi: pengajian, majelis ta‟lim,
pesantren, Madrasah Diniyah dan organisasi masyarakat/organisasi pemuda. 2)
Madrasah Diniyah Nurul Anam merupakan media yang paling mengena dan
berpengaruh di masyarakat desa Kranji dalam proses pengembangan pendidikan
Islam melalui anak-anak mereka. Peran Madrasah Diniyah tersebut yaitu: a)
62
Sebagai lembaga pentransfer pengetahuan agama, b) Sebagai media pelestarian
ajaran Islam, c) Media pembentukan dan pembinaan akhlaqul kharimah, d)
Sebagai media pengenalan dan penanaman ajaran Islam secara dini, e) sebagai
salah satu pilar pendidikan Islam, f) Untuk melengkapi pendidikan agama Islam di
sekolah umum
Persamaan penelitian ini dengan penulis yaitu obyek yang diteliti sama
yaitu tentang Madrasah Diniyah sehingga memberikan tambahan referensi bagi
peneliti. Perbedaannya yaitu pada fokus yang diteliti yaitu penulis meneliti pada
evaluasi Perda Madarsah Diniyah sedangkan dalam penelitian tersebut lebih
kepada Peran Madrasah Diniyah Nurul Anam di Desa Kranji Kecamatan
Kedungwuni Pekalongan.
2.4 Kerangka Bepikir
Penelitian ini akan meneliti tentang Evaluasi Peraturan Darah Kota Cilegon
Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah.
Dalam penyusunan kerangka berpikir, peneliti menggunakan teori evaluai
kebijakan yang dikemukakan oleh Nurcholis (2007 :274). Menurutnya evaluasi
membutuhkan sebuah skema umum penilaian, yaitu :
1. Input, yaitu masukan yang diperlukan untuk pelaksanaan kebijakan
2. Proses, yaitu bagaimana sebuah kebijakan diwujudkan dalam bentuk
pelayanan langsung kepada masyarakat
3. Outputs, yaitu hasil dari pelaksanaan kebijakan. Apakah suatu
pelaksanaan kebijakan menghasilkan produk sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan?
63
4. Outcomes, yaitu apakah suatu pelaksanaan kebijakan berdampak nyata
terhdapa kelompok sasaran sesuai dengan tujuan kebijakan?
Dengan mengacu kepada keempat skema umum penilitian tersebut, peneliti
diharapkan mampu melakukan analisis dilapangan secara lebih mendalam dan
mampu menemukan jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian ini, hasil
evaluasi yang dilakukan diharapkan dapat memberikan umpan balik (feed back)
untuk rekomendasi dalam pelaksanaan kebijakan berikutnya. Untuk
menggambarkan alur pemikiran peneliti dapat terlihat dalam kerangka berpikir
sebagai berikut :
64
Gambar. 2.1
Kerangka Berpikir
Peraturan Daerah Nomor 1
Tahun 2008 Tentang
Penyelenggaraan Wajib Belajar
Madrasah Diniyah di Kota
Cilegon
Permasalahan :
1. Bedanya acuan hukum antara Kementrian Agama dengan
LPPTKA/BKPRMI beserta Dinas Pendidikan Kota Cilegon
dalam implementasi perda tersebut
2. Lambatnya implementasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008
Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di
Kota Cilegon
3. Tidak meratanya penerapan kewajiban menyerahkan Syahadah
Diniyah ke SMP dan MTs
4. Tidak setaranya jumlah Madrasah Diniyah dengan jumlah
Sekolah Dasar (SD) dengan Jumlah MDTA yang ada di Cilegon
Dinas
Pendidikan
Kota Cilegon
Kriteria evaluasi kebijakan menurut
Nurcholis (2007 :274)
1. Input
2. Proses
3. Outputs
4. Outcomes.
Menilai dan memberikan gambaran atas pelaksanaan Peraturan
Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib
Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon dan sebagai
rekomendasi untuk kebijakan selanjutnya
Kementrian
Agama Kota
Cilegon
65
2.4 Asumsi Dasar
Berdasarkan hasil observasi awal dan kerangka berpikir yang telah
dipaparkan terhadap fokus penelitian, maka peneliti berasumsi bahwa pelaksanaan
Peraturan Daerah Kota Cilegon Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan
Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon belum berjalan optimal.
66
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian
Penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan diskriptif-
analitis. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, ‘analitis’ (analistis) artinya adalah
bersifat analisis, yang artinya proses pemecahan masalah yang dimulai dengan
dugaan akan kebenarannya (Yashin,1997:34). Sedangkan analisa diskriptif
dilakukan terutama ditujukan untuk pemecahan masalah yang ada pada masa
sekarang, terutama masalah-masalah Evaluasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun
2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Diniyah.
Dimana pendekatan kualitatif ini melihat proses dari peristiwa yang satu ke
peristiwa yang lain secara komprehensif. Dalam prakteknya tidak terbatas pada
pengumpulan dan penyusunan klasifikasi data saja tetapi juga menganalisis dan
menginterprestasikan tentang arti data tersebut, itulah alasan mengapa peneliti
mengambil penelitian deskriptif kualitatif.
Pada prinsipnya perspektif pendekatan penelitian merupakan rencana
menyeluruh tentang tahapan kerja yang dilakukan dalam mencapai tujuan
penelitian. Dalam penelitian ini penulis ingin mendapatkan gambaran yang
komprehensif tentang fokus penelitian yaitu evaluasi kebijakan Peraturan Daerah
66
67
Kota Cilegon Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar
Diniyah.
Metode penelitian digunakan untuk menjawab permasalahan dalam
penelitian dan metode yang digunakan harus dapat sesuai dengan masalah
penelitian, namun demikian setiap metode memiliki kelemahan dan kelebihan,
maka untuk menjawab permasalahan penelitian menggunakan metode yang dapat
saling mengisi dan melengkapi.
Dalam suatu penelitian ilmiah, metode penelitian diperlukan sebagai frame
dalam suatu garis pemikiran yang tidak bias. Ada beberapa jenis penelitian antara
lain, penelitian survey, eksperimen, grounded, kombinasi pendekatan kualitatif
dan kuantitatif dan analisa data sekunder.
Untuk menggali informasi yang dibutuhkan dalam menjawab pertanyaan-
pertanyaan penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini, maka peneliti
menggunakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, analisis serta
wawancara mendalam secara langsung.
Menurut Bogdan dan Taylor (Moleong,2001:3) yang menyatakan bahwa
penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
Hasil penelitian akan dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan
nyata dengan memberikan gambaran atau deskripsi secara sistematis, faktual dan
akurat terhadap objek yang akan diteliti.
Penelitian deskripitif dimaksud untuk pengukuran yang cermat terhadap
fenomena sosial tertentu, dimana peneliti mengembangkan konsep dan
68
menghimpun konsep serta menghimpun fakta, tetapi tidak melakukan hipotesa.
Dengan menggunakan metode penelitian ini, peneliti akan menggambarkan dan
menterjemahkan fakta aktual yang ada di lapangan.
Dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, maka penelitian ini
berupaya melakukan kajian dan evaluasi pada pelaksanan Perda No. 1 Tahun
2008 tentang penyelenggaraan wajib Belajar Diniyah dan fenomena-feomena
yang terkait dengan pelaksanaan perda tersebut
3.2 Fokus Penelitian
Dalam penelitian ini fokus pada evaluasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun
2008 Tentang Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon, menganalisis
permasalahan-permasalahan dan hambatan dalam pelaksanaan Perda tersebut
3.3 Lokasi Penelitian
Locus penelitian ini di Kota Cilegon, Provinsi Banten, peneliti tertarik
mengambil tempat ini karena Perda Diniyah di kota Cilegon telah ada sejak lama
tapi dalam implementasinya belum berjalan dengan sempurna.
3.4 Variabel Penelitian
3.4.1 Definisi Konseptual
Definisi konseptual digunakan untuk menegaskan konsep-konsep
yang jelas, yang digunakan supaya tidak menjadi perbedaan penafsiran
69
antara penulis dan pembaca. Konsep-konsep yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
1) Evaluasi Kebijakan
Evaluasi kebijakan merupakan sebuah analisis baik terhadap
perumusan, proses maupun hasil dari sebuah kebijakan yang bertujuan
untuk melihat sejauh mana keberhasilan kebijakan tersebut dalam
memenuhi aspek publik.
2) Wajib Belajar Madrasah Diniyah
Merupakan sebuah kebijakan tentang wajib belajar Madrasah
Diniyah yang dkeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kota Cilegon dan
wajib diikuti oleh setiap warga belajar berusia 7-12 tahun dengan lamanya
pendidkan selama 4 (empat) tahun sebagai persyaratan untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi yang dibuktikan dengan
Surat Tanda Tamat Belajar Madrasah Diniyah
3.4.2 Definisi Operasional
Definisi operasional dalam penelitian ini adalah evaluasi Peraturan
Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar
Madrasah Diniyah di Kota Cilegon. Karena penelitian ini menggunakan
metode penelitian kualitiatif, maka dalam penjelasan definisi operasional
ini akan dikemukakan fenomena-fenomena penelitian yang dikaitkan
dengan konsep yang digunakan yaitu empat kriteria evaluasi kebijakan
yang dikemukan oleh Nurcholis, yaitu:
1) Input, yakni mengamati sumber daya pendukung, bahan-bahan dasar
yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan wajib belajar
70
Madrasah Diniyah, melihat seberapa Sumber Daya Manusia (SDM),
dana dan Infrastruktur pendukung yang diperlukan, dan masukan
dalam implementasi kebijakan wajib belajar Madrasah Diniyah, serta
sosialisasi kebijakan tersebut
2) Proses, yaitu melihat pada transformasi kebijakan wajib belajar
Madrasah Diniyah, termasuk didalamnya tentang hambatan dan
permasalahan dalam Implementasi kebijakan tersebut
3) Outputs, yaitu melihat pada ketepatan, dan sasaran Peraturan Daerah
tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah kepada
Masyarakat Kota Cilegon terutama peserta didik usia7-12 tahun
4) Outcomes, yaitu melihat pada dampak yang diterima oleh masyarakat
Kota Cilegon dengan adanya Kebijakan Peraturan Daerah Nomor 1
Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah baik
berupa dampak positif maupun negatif
3.5 Instrumen penelitian
Instrumen adalah alat untuk mengumpulkan data. Instrumen yang baik
harus absah (valid) dan dapat dipercaya (reliabel). Instrumen yang valid
adalah instrumen yang dengan tepat mengukur apa yang harus diukur.
Instrumen reliabel bila hasil penguuran itu bersifat ajek.
Dalam penelitian kualitatif instrumenya adalah peneliti sendiri. oleh
karena itu peneliti dalam penelitian kualitatif harus divalidasi terlebih dahulu,
hal ini dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh peneliti siap melakukan
71
penelitian di lapangan. Untuk itu peneliti di tuntut memiliki wawasan
mengenai bidang yang akan diteliti, karena ini dapat membantu peneliti
dalam memasuki objek penelitian.
Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi ,
melainkan situasi sosial, yang terdiri atas tiga elemen yaitu: tempat (place),
pelaku( actor), dan aktivitas (activity), yang berinteraksi secara sinergis.
Sampel dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan dengan responden,
tetapi sebagai narasumber, atau partisipan , informan, (sugiyono, 2008:49-50)
Menurut Nasution dalam Sugiyono, peneliti sebagai instrumen
penelitian serassi unuk penelitian karean memiliki ciri sebagai berikut :
1. Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap stimulus dari
lingkungan yang diperkirakanya bermakna atau tidak bagi
penelitian
2. Sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek
sehingga dapat mendapatkan ragam data sekaligus
3. Tiap situsi merupakan keseluruhan. Tidak ada lagi suatu instrumen
berupa test atau angket yyang dapat mengungkap keseluruhan
situasi, kecuali manusia
4. Situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat dipahami
dengan penegtahuan semata. Untuk memahaminya kita perlu sering
merasakanya, menyelaminya berdasarkan pengetahuan kita.
72
5. Peneliti sebagi instrumen dapat segera menganalisis data yang
diperoleh, ia dapat menafsirkanya, melahirkan hipotesis dengan
segera untuk menentukan arah pengamatan, untuk mentest hipotesis
yang timbul seketika
6. Hanya manusia sebagi instrumen dapat mengambil kesimpulan
berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan
menggunakan segera sebagai balikan untuk memperoleh penegasan,
perubahan, perbaikan atau pelakan.
7. Dengan manusia sebagai instrumen, respon yang aneh, yang
menyimpang justru di beti perhatian. Respon yang lain daripada
yang lain, bahkan yang bertentangan dipakai untuk mempertinggi
tingkat kepercayaan dan tingkat pemahaman mengenai aspek yang
diteliti (Sugiyono, 2008:224)
Selain itu dalam melakukan penelitian ini peneliti memperoleh data dari
beberapa sumber data, yaitu :
1. Data primer
Data primer ada dua yang diambil langsung tanpa perantara
dari sumbernya (Irawan, 2005:55). Sumber ini dapat berupa benda-
bedan, situs, atau manusia. Seorang peneliti kualitatif bisa
mendapatkan data-data primer dengan cara melakukan wawancara
atau melakukan pengamatan langsung terhadap suatu aktivitas
masyarakat.
73
Dalam hal ini peneliti mendapatkan data primier dengan
cara melakukan wawancara dari informan dan melakukan
pengamatan langsung terhadap aktivitas informan
2. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diambil secara tidak langsung
dari sumbernya (Irawan, 2005:55). Data sekunder biasanya diambil
daridokumen-dokumen (laporan, karya tulis orang lain, koran,
majalah) atau seseorang memperoleh infomasi dari orang lain
Dalam penelitian ini peneliti ini peneliti memperoleh data
sekunder melalui studi dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data
dari informasi dengan cara mengkaji berbagi dokumen yang terkait
dengan judul penelitian.
3. Alat bantu lainya
Alat pengumpul data yang yang digunakan dalam penelitian ini,
khususnya dalam melakukan wawancara adalah :
1) Alat tulis, yang digunakan untuk mencatat percakapan dengan
informan, yang berupa buku catatan dan pulpen
2) Alat perekam, yang digunakan untuk merekam semua percakapan.
Hal ini dilakukan guna mengantisipasi apabila perkataan yang
disampaikan informan terlalu cepat sehingga tidak sempat ditulis.
3) Camera/Handphone, untuk memotret kegiatan yang berkaitan
dengan penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan
keabsahan data
74
3.6 Penentuan Informan
Dalam menentukan informan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang
dianggap memiliki informasi kunci (key informan) yang dibutuhkan di wilayah
penelitian. Penelitian kualitatif tidak menggunakan populasi, karena penelitian
kualitatif berangkat dari kasus tertentu dan pada situasi sosail tertentu sehingga
hasil tujuanya tidak akan digeneralisasikan ke populasi, tetapi dapat diterapkan
ketempat lain apabila situasi sosial tersebut memiliki kemiripan atau kesamaan
dengan situasi sosial yang diteliti
Informan diperoleh dari observasi awal peneliti yang dilakukan di Kota
Cilegon dipilih secara purposive yang merupakan metode penetapan informan
dengan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu berdasarkan informasi yang
dibutuhkan artinya pengambilan sumber data dengan pertimbangan tertentu.
Informan tersebut ditentukan dan ditetapkan tidak berdasarkan pada jumlah
yang dibutuhkan, melainkan berdasarkan pertimbangan fungsi dan peran informan
sesuai fokus masalah penelitian. Adapun yang menjadi key informan dalam
penelitian ini adalah aktor-aktor yang berperan dalam pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan Peraturan Daeerah Kota Cilegon Nomor 1 Tahun 2008 Tentang
Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah . Informan tersebut ialah :
1. Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon
2. FKDT Kota Cilegon
3. LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon
4. Dinas Pendidikan Kota Cilegon
5. Kepala Sekolah SMP/Mts
75
6. Wali Murid
Tabel 3.1
Daftar Informan Penelitian
No. Kategori Informan Kode Informan Keterangan
I Instansi :
a. Kepala Kantor Kementrian Agama Kota
Cilegon
I1-1
Key Informan
b. Kepala Seksi Pendidikan Agama dan
Keagmaan Islam Kementrian Agama
Kota Cilegon
I1-2 Key Informan
c. Kepala Seksi Pendidikan Madrasah
Kementrian Agama Kota Cilegon
I1-3
Key Informan
d. Kepala Sub Bagian TU Kementrian
Agama
I1-4
Secondary Informan
II Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah :
a. Ketua Forum Komunikasi Madrasah
Diniyah Takmiliayh Kota Cilegon
I2-1 Key Informan
b. Pengurus Forum Kominkasi
Madrasah Diniyah Takmiliyah Kota
Cilegon
I2-2 Key Informan
III Dinas Pendidikan :
a. Kepala Dinas Pendidikan Kota
Cilegon
I3-1
Key Informan
b. Kepala Bidang Pendidikan
Menengah Dinas Pendidikan Kota
Cilegon
I3-2 Key Informan
IV LPPTKA/BKPRMI :
a. Direktur LPPTKA/BKPRMI I4 Key Informan
V Kepala MTs/SMP :
a. Kepala Madrasah MTSN Pulomerak I5-1
Secondary Informan
b. Kepala SMPN 3 Kota Cilegon I5-2
Secondary Informan
VI a. Wali Murid Madrasah Dimiyah I6-1 – I6-6
Secondary Informan
(Sumber : Peneliti, 2015)
76
3.7 Teknik pengumpulan dan analisis data
Teknik pengumpulan data akan menjelaskan cara pengumpulan data
serta jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Mengenai
teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini memakai
beberapa teknik, yaitu:
1. Observasi
Observasi dalam penelitian kualitatif merupakan teknik
pengumpulan data yang paling lazim dipakai, observasi dilakukan
untuk memperoleh informasi tentang perilaku manusia seperti terjadi
dalam kenyataan. Dengan observasi dapat kita peroleh gambaran dan
keterangan yang lebih jelas dan banyak tentang masalah obyek
penelitian. Observasi sebagai alat pengumpul data harus sistematis,
artinya observasi serta pencatatannya dilakukan menurut prosedur dan
aturan-aturan tertentu sehingga dapat diulangi kembali oleh peneliti
lain, selain itu hasil observasi harus memberi kemungkinan untuk
menafsirkannya secara ilmiah.
Data kualitatif diungkapkan dalam bentuk kalimat serta uraian,
sebagai ciri khasnya adalah menjelaskan kasus-kasus tertentu serta
tidak bertujuan untuk digeneralisasikan, data kualitatif disebut sebagai
data primer karena data yang diambil dari sumber pertama subjek
penelitian dilapangan (Bungin, 2001: 128).
Observasi atau pengamatan langsung merupakan salah satu
teknik pengumpulan data dimana peneliti terjun langsung ke lapangan
77
sebagai partisipan atau nonpartisipan. Dengan teknik observasi,
peneliti dapat memperoleh gambaran langsung dan mengetahui
keadaan yang sesungguhnya yang terjadi di lapangan. Dalam
penelitian ini peneliti melakukan studi lapangan dengan terjun
langsung kemasyarakat dengan melihat-melihat pelaksanan secara
langsung program tersebut.
2. Wawancara
Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal yang
bertujuan memperoleh informasi. Wawancara merupakan bentuk
komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin
memperoleh informasi dari seorang lainnya dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu.
Wawancara juga merupakan percakapan dengan maksud
tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewancara
dan terwawancara. Wawancara dalam penelitian kualitatif bersifat
mendalam (indepth interview). Pada penelitian ini, peneliti
menggunakan wawancara semiterstuktur, dimana wawancara
dilakukan secara bebas untuk menggali informasi lebih dalam dan
bersifat dinamis, namun tetap terkait dengan pokok-pokok wawancara
yang telah peneliti buat terlebih dahulu dan tidak menyimpang dari
konteks yang akan dibahas dalam fokus penelitian. Dalam sebuah
wawancara tentu dibutuhkan suatu pedoman. Pedoman wawancara
digunakan peneliti dalam mencari data dari para informan dan
memudahkan peneliti dalam menggali sumber informan untuk
78
mendapatkan informasi. Adapun pedoman wawancara yang telah
disusun yaitu sebagai berikut.
Tabel 3.2
Pedoman Wawancara
NO DIMENSI KISI-KISI INFORMAN
1 Input Meliputi : Struktur
Kelembagaan,
SDM, Sarana,
Prasarana, dan
Sosialisasi
- Kepala Dinas Pendidikan
Kota Cilegon
- Kasub Dikdasmen Dindik
Kota Cilegon
- Kepala Kantor
Kementrian Agama Kota
Cilegon,
- Kasi Pakis Kementrian
Agama Kota Cilegon
- Pengurus Fokmada Kota
Cilegon,
- Direktur
LPPTKA/BKPRMI Kota
Cilegon
- Kepala Sekolah
SMP/MTs
- Wali Murid
- Anggota DPRD Kota
Cilegon
2 Proses Meliputi :
transformasi
kebijakan dalam
bentuk pelayanan
kepada masyarakat,
Pemerataan
kebijakan dan
hambatan Peraturan
Daerah tersebut
- Kepala Dinas Pendidikan
Kota Cilegon
- Kasub Dikdasmen Dindik
Kota Cilegon
- Kasi Pakis Kementrian
Agama Kota Cilegon
- Kepala Kantor
Kementrian Agama Kota
Cilegon,
- Pengurus Fokmada Kota
Cilegon,
- Direktur
LPPTKA/BKPRMI Kota
Cilegon
- Kepala Sekolah
SMP/MTs
79
- Anggota DPRD Kota
Cilegon
3 Outputs Meliputi : ketepatan,
dan sasaran
Peraturan Daerah
tersebut
- Kepala Dinas Pendidikan
Kota Cilegon
- Kepala Kantor
Kementrian Agama Kota
Cilegon,
- Pengurus Fokmada Kota
Cilegon,
- Pengajar (ustad) Madrasah
- Kasub Dikdasmen Dindik
Kota Cilegon
- Kasi Pakis Kementrian
Agama Kota Cilegon
- Anggota DPRD Kota
Cilegon
4 Outcomes Meliputi : dampak
yang diterima oleh
masyarakat luas
atau pihak yang
terkena kebijakan,
ada tidaknya
dampak negatif dan
positifnya
- Kepala Dinas Pendidikan
Kota Cilegon Kasub
Dikdasmen Dindik Kota
Cilegon
- Kasi Pakis Kementrian
Agama Kota Cilegon
- Kepala Kantor
Kementrian Agama Kota
Cilegon,
- Pengurus Fokmada Kota
Cilegon,
- Direktur
LPPTKA/BKPRMI Kota
Cilegon
- Kepala Sekolah
SMP/MTs
- Wali Murid
- Anggota DPRD Kota
Cilegon (Sumber : Peneliti, 2015)
3. Studi Dokumentasi
Disamping melakukan observasi dan wawancara peneliti
menggunakan tekinik pengumpulan data berupa studi dokuemntasi. Dalam
80
hal ini dokumen yang dikumpulkan berupa gambar, misalnya foto, tabel,
serta telaah peraturan per undang-undangan
Alat pengumpul data yang yang digunakan dalam penelitian ini,
khususnya dalam melakukan wawancara adalah :
4) Alat tulis, yang digunakan untuk mencatat percakapan dengan
informan, yang berupa buku catatan dan pulpen
5) Alat perekam, yang digunakan untuk merekam semua percakapan.
Hal ini dilakukan guna mengantisipasi apabila perkataan yang
disampaikan informan terlalu cepat sehingga tidak sempat ditulis.
6) Camera/Handphone, untuk memotret kegiatan yang berkaitan
dengan penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan
keabsahan data.
Teknik analisis data kualitatif adalah analisis yang dilakukan terhadap
data-data non angka. Seperti wawancara atau catatan laporan, buku-buku, artikel,
juga termasuk non tulisan seperti foto, gambar atau film (Irawan, 2005:19)
Proses analisis data dilakukan secara terus-menerus sejak data awal
dikumpulkan ssampai dengan penelitian berakhir. Untuk memberikan makna
terhadap data yang telah dikumpulkan, dianalisis dan diinterpretasi. Mengingat
penelitian ini dilaksanakan melalui pendekatan kualitatif, maka analisis dilakukan
sejak data pertama sampai penelitian terakhir.
Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan teknik analisis data kualitatif mengikuti konsep yang diberikan oleh
Prasetya Irawan, yakni sebagai berikut
81
Gambar 3.1
Proses Analisis Data
.
(Sumber : Prasetya Irawan, 2005)
1. Pengumpukan data mentah
Tahap pertama yang dilakuakn oleh peneliti adalah mengumpulkan
data mentah. Hal ini diperoleh melalui wawancara mendalam,
observasi ke lapangan, studi dokumentasi
2. Transkip Data
Pada tahap ini peneliti mulai merubah data yang diperoleh (baik dari
hassil rekaman saat wawancara, hasil observasi maupun catatan
lapangan yang sebelumnya belum tersusun rapih) kedalam bentuk
tertulis
3. Pembuatan koding
Pada tahap ketiga, peneliti membaca secara teliti transkip data yang
telah dibuat sebelumnya, kemudai memahami secara seksama
sehingga menemukan kata kunci yang akan diberi kode. Hal ini
Pengumpulan
data mentah
Transkip data Pembuatan
koding
Kategorisasi
Data
Penyimpulan
sementara
Penyimpulan
akhir
Triangulasi
82
dilakuakn untuk mempermudah peneliti pada saat akan
mengkategorisasikan data
4. Kategorisasi data
Pada tahap keempat peneliti mulai menyederhanakan data dengan
membuat kategori-kategori tertentu
5. Penyimpulan sementara
Pada tahap ini peneliti mengambil kesimpulan sementara data yang
telah dikategorikan sebelumnya
6. Triangulasi
Triangulasi adala proses check dan recheck antar satu sumber data
dengan sumber data lainya.
7. Penyimpulan akhir
Pada tahap terakhir, peneliti melakukan penyampain akhir atas hasil
penelitian. Dimana pada tahap ini peneliti dapat mengembangkan teori
baru, maupun mengembangkan teori yang sudah ada.
3.8 Teknik Pengujian Data dan Keabsahan Data
Adapun untuk mengujia keabsahan datanya , peneliti pada penelitian ini
menggunakan dua cara , antara lain:
1. Triangulasi
Terdapat tiga jenis triangulasi yaitu triangulasi sumber, triangulasi
teknik, triangulasi waktu. Triangulasi sumber dilakukan dengan cara
mengecek data yang telah diperoleh dari lapangan melalui beberapa
83
sumber. Sedangkan triangulasi teknik dilakukan dengan cara
mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang
berbeda. Pengecekan dilakukan dengan menggunakan teknik
wawancara dan studi dokumentasi. Dalam penelitian ini menggunakan
triangulasi sumber.
2. Membercheck
Memberchek adalah proses pengecekan data yang diperoleh peneliti
kepada informan. Tujuannya adalah untuk mengetahui kesesuaian data
yang diberikan oleh pemberi data.
3.9 Jadwal Penelitian
Penelitian ini dimulai dari bulan Desember 2014 dan direncanakan akan
selesai sampai bulan Januari tahun 2016. Rencana kegiatan penelitian skripsi
sebagaimana dimaksud yaitu sebagai berikut:
Tabel 3.3
Rencana Penelitian
No Kegiatan
Waktu
Des 2014
Jan 2015
Feb 2015
Maret 2015
April 2015
Mei 2015
Juni 2015
Juli 2015
Agust 2015
Sept 2015
Okt 2015
Nov 2015
Des 2015
Jan 2016
1. Perijinan dan Observasi Awal
2. Penyusunan Proposal Skripsi
3. Seminar Proposal dan
Revisi Proposal
Skripsi
4. Penelitian
kelapangan
5. Pengolahan
84
Data
6. Bimbingan
BAB IV
7. Bimbingan
BAB V
8. Sidang Skripsi
9. Revisi Skripsi
(Sumber: Peneliti, 2015)
85
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Obyek Penelitian
4.1.1 Profil Kota Cilegon
Kota Cilegon merupakan wilayah bekas Kewadenaan (Wilayah kerja
pembantu Bupati KDH Serang Wilayah Cilegon), yang meliputi 3 (tiga)
Kecamatan yaitu Cilegon, Bojonegara dan Pulomerak.
Berdasarkan Pasal 27 Ayat (4) UU No 5 tahun 1974 tentang Pokok Pokok
Pemerintahan di Daerah, Cilegon kiranya sudah memenuhi persyaratan untuk
dibentuk menjadi Kota Administratif. Melalui surat Bupati KDH Serang No.
86/Sek/Bapp/VII/84 tentang usulan pembentukan administratif Cilegon dan atas
pertimbangan yang obyektif maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 40 tahun
1986, tentang pembentukan Kota Administratif Cilegon dengan luas wilayah
17.550 Ha yang meliputi 3 (tiga) wilayah Kecamatan meliputi Pulomerak,
Ciwandan, Cilegon dan 1 Perwakilan kecamatan Cilegon di Cibeber ,sedangkan
kecamatan Bojonegara masuk Wilayah kerja pembantu Bupati KDH Serang
Wilayah Kramatwatu.
Berdasarkan PP No. 3 Tahun 1992 tertanggal 7 Februari 1992 tentang
Penetapan Perwakilan Kecamatan Cibeber, Kota Administratif Cilegon bertambah
menjadi 4 (empat) Kecamatan yaitu Pulomerak, Ciwandan, Cilegon dan Cibeber.
85
86
Dalam perkembangannya Kota Administratif Cilegon telah
memperlihatkan kemajuan yang pesat di berbagai bidang baik bidang Fisik, Sosial
maupun Ekonomi. Hal ini tidak saja memberikan dampak berupa kebutuhan
peningkatan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan, tetapi juga memberikan gambaran mengenai perlunya dukungan
kemampuan dan potensi wilayah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.
Dengan ditetapkannya dan disahkannya UU No. 15 tahun 1999 tanggal 27
April 1999 tentang pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan
Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon, status Kota Administratif Cilegon berubah
menjadi Kotamadya Cilegon, dengan duet kepemimpinan Drs. H. Tb. Rifai Halir
sebagai Pejabat Walikota Cilegon dan H. Zidan Rivai sebagai Ketua DPRD
Cilegon.
Berdasarkan letak geografisnya, Kota Cilegon berada dibagian paling
ujung sebelah Barat Pulau Jawa dan terletak pada posisi : 5°52'24" - 6°04'07"
Lintang Selatan (LS), 105°54'05" - 106°05'11" Bujur Timur (BT). Secara
administratif wilayah berdasarkan UU No.15 Tahun 1999 tentang terbentuknya
Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon
pada tanggal 27 April 1999, Kota Cilegon mempunyai batas-batas wilayah
sebagai berikut:
Sebelah Utara: berbatasan dengan Kecamatan Bojonegara (Kabupaten
Serang)
Sebelah Barat: berbatasan dengan Selat Sunda
87
Seblah Selatan: berbatasan dengan Kecamatan Anyer dan Kecamatan
Mancak (Kabupaten Serang)
Sebelah Timur: berbatasan dengan Kecamatan Kramatwatu tepat di
wilayah serdang (Kabupaten Serang)
Kota Cilegon memiliki luas 175.5 Km2, dengan iklim tropis dan
temperatur berkisar antara 21.9 C-33,5 C dan curah hujan rata-rata 100 mm per
bulan. Pada tahun 2013 jumlah penduduk Kota Cilegon berjumlah 398.304 jiwa,
dengan komposisi 203.502 laki-laki dan 194.802 perempuan dengan tingkat
kepadatan mencapai 2.269 jiwa/Km2
Kota Cilegon memiliki wilayah yang relatif landai di daerah tengah dan
pesisir barat hingga timur kota, tetapi di wilayah utara cilegon topografi menjadi
berlereng karena berbatasan langsung gunung batur, sedangkan di wilayah selatan
topografi menjadi sedikit berbukit-bukit terutama wilayah yang berbatasan
langsung dengan Kecamatan Mancak.
Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tentang pemerintahan daerah,
Pemerintah Kota Cilegon telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 7 tahun
2007 tentang pembentukan kelurahan di Kota Cilegon yang menyatakan bahwa
daerah Kota Cilegon memiliki 43 kelurahan dan 8 Kecamatan, yaitu :
1. Kecamatan Ciwandan berjumlah 6 Kelurahan
2. Kecamatan Citangkil berjumlah 7 Kelurahan
3. Kecamatan Pulomerak berjumlah 4 Kelurahan
4. Kecamatan Purwakarta berjumlah 6 Kelurahan
88
5. Kecamatan Grogol berjumlah 4 Kelurahan
6. Kecamatan Cilegon berjumlah 5 Kelurahan
7. Kecamatan Jombang berjumlah 5 Kelurahan
8. Kecamatan Cibeber berjumlah 6 Kelurahan
Gambar 4.1
Peta Kota Cilegon
4.1.2 Profil Kementrian Agama Kota Cilegon
Kementerian Agama adalah kementerian dalam pemerintahan Indonesia
yang membidangi Urusan Agama. Menurut KMA 373 tahun 2002 Departemen
Agama Kota Cilegon Provinsi Banten merupakan Instansi Vertikal Departemen
Agama yang berada dan bertanggung jawab langsung kepada Kantor Wilayah
Propinsi Banten.
( Sumber : BPS, 2014)
89
A. VISI
Visi yang hendak diwujudkan Kantor Kementerian Agama Kota Cilegon
adalah : “Terwujudnya Masyarakat Cilegon yang beriman, bertaqwa, cerdas,
rukun, dan berbudaya”.
B. MISI
Sejalan dengan visi tersebut di atas, Kantor Kementerian Agama Kota
Cilegon memiliki misi sebagai berikut :
1. Meningkatkan kualitas pelayanan kehidupan beragama.
2. Meningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan keagamaan.
3. Meningkatkan kualitas kerukunan umat beragama.
4. Meningkatkan kualitas pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.
5. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji.
6. Penciptaan tata kelola kepemerintahan yang bersih dan berwibawa.
C. ARAH KEBIJAKAN
Dengan mengacu kepada kebijakan Kementerian Agama Republik
Indonesia dan Kebjakan Kementerian Agama Provinsi Banten, maka arah
Kebijakan Kementerian Agama Kota Cilegon adalah sebagai berikut :
1. Peningkatkan kualitas pelayanan kehidupan beragama.
2. Peningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan keagamaan.
3. Peningkatkan kualitas kerukunan umat beragama.
4. Peningkatkan kualitas pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.
5. Peningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji dan umrah.
90
6. Penciptaan tata kelola kepemerintahan yang bersih dan berwibawa.
D. TUJUAN
Adapun tujuan jangka panjang pembangunan Bidang Agama yang hendak
dicapai oleh Kementerian Agama Kota Cilegon adalah Terwujudnya Masyarakat
Cilegon yang beriman, bertaqwa, cerdas, rukun, dan berbudaya dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
E. SASARAN STRATEGIS 2010 - 2014
Dengan mempertimbangkan kondisi, potensi dan permasalahan yang ada,
sinergitas dengan visi , misi dan tujuan jangka panjang yang telah ditetapkan,
maka Kantor Kementerian Agama Kota Cilegon menetapkan sasaran strategis
yang hendak dicapai dalam periode 2010-2014 berdasarkan lima bidang prioritas,
yaitu : Pelayanan Administrasi Pemerintahan, Pendidikan Islam dan Pendidikan
Keagamaan, kehidupan beragama, kerukunan umat beragama dan pemberdayaan
umat dan lembaga keagamaan dan penyelenggaraan Ibadah Haji.
1). Pelayanan Administrasi.
Sasaran Strategis bidang Pelayanan Administrasi adalah terwujudnya
penyelenggaraan administrasi yang efektif, efisien dan akuntabel, serta
tersedianya aparatur pelayanan keagamaam yang professional. Hal ini
menjadi tugas dan fungsi Subbagian Tata Usaha pada Kantor Kementerian
Agama Kota Cilegon.
91
2). Pendidikan Islam dan Pendidikan Keagamaan.
Sasaran Strategis bidang Pendidikan Islam dan Pendidikan Keagamaan
adalah terwujudnya pelayanan pendidikan yang merata, bermutu dan
berdaya saing, serta mampu menunjang kemandirian daerah. Hal ini
menjadi tugas dan fungsi Seksi Pendidikan Madrasah dan Seksi
Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam pada Kementerian Agama Kota
Cilegon.
3). Kerukunan Umat Beragama, Peningkatan Pemberdayaan Umat
Beragama dan Fungsi Lembaga Keagamaan.
Sasaran Strategis bidang kerukunan umat beragama adalah terwujudnya
kehidupan harmoni intern dan antar umat beragama sebagai pilar
kerukunan nasional. Hal ini menjadi tugas dan fungsi Seksi Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggara Syari’ah pada Kantor Kementerian
Agama Kota Cilegon.
4). Bidang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Sasaran strategis Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah adalah
tercapainya tingkat kepuasan jama’ah dalam berbagai bidang pelayanan
dan pengelolaan ibadah haji dan umrah. Hal ini menjadi tugas dan fungsi
Seksi Penyelenggaraan Haji dan Umrah pada Kantor Kementerian Agama
Kota Cilegon.
92
F. KEDUDUKAN, TUGAS DAN FUNGSI
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik
Indonesia, yang telah disempurnakan dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun
2005 Pasal 63, Departemen Agama mempunyai tugas membantu Presiden dalam
menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang keagamaan.
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 373 tahun
2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Agama
Provinsi dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/ Kota, Peraturan Menteri
Agama Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Agama, Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Agama dan Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun
2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Kementerian Agama,
maka Kantor Departemen Agama Kota Cilegon yang selanjutnya disebut Kantor
Kementerian Agama Kota Cilegon memiliki kedudukan, tugas, fungsi, susunan
organisasi dan tata kerja sebagai berikut :
1. Kedudukan
Kantor Kementerian Agama Kota Cilegon merupakan instansi Vertikal
Kementerian Agama yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung
kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Banten.
Kementerian Agama Kota Cilegon berdiri berdasarkan Keputusan Menteri Agama
Nomor 30 tahun 2000 tertanggal 20 Oktober berkedudukan di :
93
Alamat : Jl. Sukabumi II Kav. Blok I Ciwedus Kota Cilegon Provinsi
Banten.
Kode Pos : 42416
Telp./ Fax. : (0254) 399536
Tahun Berdiri : 2000
No. Pendirian : KMA No. 30 Tahun 2000 Tanggal 20 Oktober 2000
Luas Tanah : 3.000 m
Luas Bangunan : 820 m
Status Tanah : Hak Guna Bangun
Status Bangunan : APBN Th. 2004
2. Tugas
Kantor Kementerian Agama Kota Cilegon merupakan instansi Vertikal
Kementerian Agama yang memiliki tugas melaksanakan tugas pokok dan fungsi
Kementerian Agama Republik Indonesia dalam wilayah Kota Cilegon
berdasarkan kebijakan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi
Banten dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Fungsi
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas, maka Kantor
Kementerian Agama Kota Cilegon menyelenggarakan fungsi :
a. Perumusan Visi, Misi dan kebijakan teknis di bidang pelayanan dan
bimbingan kehidupan beragama pada masyarakat Kota Cilegon.
b. Pembinaan dan Pelayanan Bimbingan Masyarakat Islam, Pelayanan Ibadah
Haji dan Umrah, Pengembangan Zakat dan Wakaf, Pendidikan Agama dan
94
Keagamaan, Pondok Pesantren, Pendidikan Agama Islam pada Masyarakat
dan Pemberdayaan Masjid, Urusan Agama, Pendidikan Agama, Bimbingan
Masyarakat dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
c. Pelaksanaan kebijakan teknis pengelolaan administrasi dan informasi
keagamaan.
d. Pelayanan dan bimbingan di bidang kerukunan umat beragama.
e. Pengkoordinasian perencanaan, pengendalian dan pengawasan.
f. Pelaksanaan hubungan dengan Pemerintah Daerah, Instansi terkait dan
lembaga masyarakat dalam rangka pelaksanaan tugas Kementerian Agama
di Kota Cilegon.
G. ASPEK STRATEGIS
Berdasarkan UUD 1945 (Pasal 29 ayat 2) yang berbunyi : “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu”, dan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, Penetapan
Presiden Nomor 1/SD/1946 tentang Pembentukan Kementerian Agama,
Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 2002 tentang Kementerian Agama,
Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi
Kementerian Negara, Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi dan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Negara, KMA Nomor 373 Tahun 2002, Peraturan Menteri Agama Nomor 10
Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama, Peraturan
95
Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi
Vertikal Kementerian Agama, maka ditetapkanlah Prioritas Pelayanan di Kantor
Kementerian Agama Kota Cilegon sebagai berikut :
a. Meningkatkan kualitas kehidupan beragama bagi seluruh lapisan
masyarakat;
b. Meningkatkan peran serta lembaga sosial keagamaan dan lembaga
pendidikan keagamaan dalam pembangunan nasional;
c. Meningkatkan kualitas pendidikan agama dan pendidikan keagamaan pada
semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan;
d. Meningkatkan kerukunan intern dan antar umat beragama dalam rangka
terwujudnya kehidupan yang harmonis, toleran dan saling menghormati;
e. Meningkatkan kualitas penelitian dan pengembangan agama untuk
mendukung perumusan kebijakan pembangunan bidang agama;
f. Meningkatkan kualitas tenaga penyuluh agama, penghulu dan pelayan
keagamaan lainnya;
g. Meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar zakat serta
profesionalisme pengelola.
H. STRUKTUR ORGANISASI
Struktur Organisasi Kantor Kementerian Agama Kota Cilegon berdasrkan
Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Organisasi dan Tata
Kerja Instansi Vertikal Kementerian Agama adalah sebagai berikut :
96
a. Subbagian Tata Usaha;
Subbagian Tata Usaha mempunyai tugas melakukan koordinasi
perumusan kebijakan teknis dan perencanaan, pelaksanaan pelayanan dan
pembinaan administrasi, keuangan dan barang milik negara di lingkungan
Kantor Kementerian Agama Kota Cilegon.
b. Seksi Pendidikan Madrasah
Seksi Pendidikan Madrasah mempunyai tugas melakukan pelayanan,
bimbingan teknis, pembinaan, serta pengelolaan data dan informasi di
bidang RA, MI, MTs, MA, dan MAK.
c. Seksi Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam
Seksi Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam mempunyai tugas
melakukan pelayanan, bimbingan teknis, pembinaan, serta pengelolaan
data dan informasi di bidang pendidikan agama Islam dan pendidikann
keagamaan Islam.
d. Seksi Penyelenggaraan Haji dan Umrah
Seksi Penyelenggaraan Haji dan Umrah mempunyai tugas melakukan
pelayanan, bimbingan teknis, pembinaan, serta pengelolaan data dan
informasi di bidang penyelenggaraan haji dan umrah.
e. Seksi Bimbingan Masyarakat Islam
Seksi Bimbingan Masyarakat Islam mempunyai tugas melakukan
pelayanan, bimbingan teknis, pembinaan, serta pengelolaan data dan
informasi di bidang bimbingan masyarakat Islam.
97
f. Penyelenggara Syariah
Penyelenggara Syariah mempunyai tugas melakukan pelayanan,
bimbingan teknis, pembinaan, serta pengelolaan data dan informasi di
bidang pembinaan syariah.
Gambar 4.3
Strukutur Kementrian Agama Kota Cilegon
4.1.3 Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon
Pelaksana dalam penerapan kewajiban belajar Madrasah Diniyah di Kota
Cilegon adalah Kementrian Agama dengan sasaran siswa SD yang hendak masuk
kejenjang SMP/MTs.
Kepala Kantor
Drs. H. Ubik Baehaqi, M.Si
Kepala Seksi Pendidikan
Madrasah
Dra. Hj. Titim Fatimah, MM
Kasi. Bimas islam
H. Ishomuddin, S.H. M.Pd
Penyelenggaraan Syariah
Drs. H. Dedi Suryadi. MM
Kepala Seksi Pendidikan Agama dan
Keagamaan Islam
Drs. H. Abu Nashor. M.Si
KASUBAG TU
Drs. H. Muhyi.MM
Kasi. Peny. Haji dan Umroh
H. Untung Sudirman
(Sumber : Profil Kemenag, 2015)
98
Madrasah Diniyah sebagai lembaga pendidikan nonformal berada dalam
bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam (Pakis) Kementrian Agama
tingkat Kabupaten/Kota yang kemudian pada tingkat Kecamatan di bawah bidang
Waspendais (Pengawas Pendidikan Agama Islam) Kecamatan, Waspendais inilah
yang bertanggung jawab penuh dalam masalah Madrasah Diniyah di lingkup
Kecamatanya, Waspendais berfungsi sebagai koordinasi antara Madrasah Diniyah
dengan Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam Kantor Kementrian Agama
Kota Cilegon (Pakis Kemenag).
Penerapan kebijakan penyelenggaran wajib belajar Madrasah Diniyah juga
berkaitan dengan Dinas Pendidikan sebagai objek dari penerapan kebijakan
tersebut. Sasaran dalam perda tersebut tidak hanya lembaga pendidikan yang
berada dalam naungan Kemenag seperti Madrasah Tsanawiyah tetapi juga
lembaga pendidikan yang berada dalam naungan Dinas Pendidikan seperti
Sekolah Menengah Pertama oleh karenaya Dinas Pendidikan juga berperan dalam
penerapan kebijakan wajib belajar Madrasah Diniyah tersebut.
Penyelenggaraan wajib belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon resmi
diberlakukan setelah keluarkanya Peraturan Daerah Nomor 1 Tentang
Penyelenggaran Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon kemudian
diperjelas dengan munculnya Perwal Nomor 44 Tahun 2011 yang kemudian di
revisi dengan Perwal Nomor 25 Tahun 2014.
Kementrian Agama sebagai lembaga yang menaungi pendidikan
Keagamaan sebenarnya telah lama memberlakukan kewajiban menyerahkan
Syahadah Diniyah bagi siswa yang hendak belajar kejenjang Madrasah
99
Tsanawiyah, hanya lembaga pendidikan yang berada dinaungan Dinas Pendidikan
yang belum melaksanakan kewajiban tersebut.
4.2 Deskripsi Data
4.2.1 Daftar Informan Penelitian
Pada bab sebelumnya mengenai metodologi penelitian, peneliti telah
menjelaskan dalam pemilihan informan penelitian, peneliti menggunakan teknik
Purposive (bertujuan). Adapun pihak pihak yang peneliti tentukan merupakan
orang-orang yang menurut peneliti memiliki informasi yang dibutuhkan dalam
penelitian ini, karena pihak tersebut senantiasa keseharianya berurusan dengan
permasalahan yang peneliti baik secara langsung maupun tidak langsung.
Informan dalam penelitian ini adalah stakeholder (semua pihak) yang
terlibat dan memiliki informasi mengenai penjelasan Peraturan Daerah Nomor 1
Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota
Cilegon. Adapun nama-nama yang terlibat dalam penelitian ini, yaitu sebagai
berikut :
1. Bapak Drs. H. Ubik Baehaqi, M.Si (45) Kepala Kantor Kementrian
Agama Kota Cilegon (I1-1)
2. Bapak Drs. H. Abu Nashor, M.Si (37) Kepala Seksi Pendidikan
Agama dan Keagamaan Islam Kementrian Agama Kota Cilegon (I1-
2)
3. Ibu Dra. Hj. Titim Fatimah, MM (41) Kepala Seksi Pendidikan
Madrasah Kementrian Agama Kota Cilegon (I1-3)
100
4. Bapak H. Muhyi, MM (50) Kepala Sub Bagian TU Kementrian
Agama (I1-4)
5. Bapak Mahruri, S.Pd.I (45) Ketua Forum Komunikasi Madrasah
Diniyah Takmiliayh Kota Cilegon (I2-1)
6. Bapak Muizzudin, M. Ag (39) Pengurus Forum Komunikasi
Madrasah Diniyah Takmiliyah Kota Cilegon (I2-2)
7. Bapak Drs. Muchtar Gozali (51) Kepala Dinas Pendidikan Kota
Cilegon (I3-1)
8. Bapak Suhendi, MM (49) Kepala Bidang Pendidikan Dasar dan
Menengah Dinas Pendidikan Kota Cilegon (I3-2)
9. Bapak Bayu Panatagama, MM (50) Direktur LPPTKA/BKPRMI
Kota Cilegon (I4)
10. Bapak Rafiuddin, M. Pd (48) Kepala Madrasah MTSN Pulomerak
(I5-1)
11. Bapak Drs. Dedi Rustandi (50) Kepala Sekolah SMPN 3 Cilegon
(I5-2)
12. Ibu Ruenah, (43)Wali Murid Diniyah (I6-1)
13. Bapak Sabililah, (55)Wali Murid Diniyah (I6-2)
14. Umi Habibah, (38) Wali Murid Diniyah (I6-3)
15. Bapak Jahidi, (39) Wali Murid Diniyah (I6-4)
16. Ibu Sukesih, (38) Wali Murid Diniyah (I6-5)
17. Bapak Baehaqi, (39) Wali Murid Diniyah (I6-6)
101
4.2.2 Deskripsi Data Penelitian
Deskripsi data penelitian merupakan penjelasan mengenai data yang telah
didapatkan selama proses penelitian di lapangan. Dalam penelitian ini mengenai
Evaluasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib
Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon menggunakan jenis dan analisis data
menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam pendekatan kualitatif maka data yang
diperoleh berbentuk kata dan kalimat berdasarkan hasil wawancara dengan
informan penelitian, observasi lapangan serta studi dokumentasi yang relevan
dengan fokus penelitian.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dengan
sejumlah informan penelitian yang memiliki informasi terkait permasalahan yang
sedang di teliti. Selain wawancara pengumpulan data juga dilakukan melalui
observasi langsung ke lokasi penelitian serta dokumentasi. Data tersebut
merupakan data-data yang berkaitan Evaluasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun
2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon.
hasil pengumpulan data-data tersebut kemudian di analisis menggunakan teknik
analisis data kualitatif sehingga data-data tersebut dapat menghasilkan suatu
pemahaman baru.
Data-data yang telah diperoleh selama proses penelitian dirubah kedalam
bentuk tertulis, kemudian dilakukan pengkodingan pada aspek tertentu. Dalam
menyusun jawaban penelitian, peneliti memberikan kode yaitu :
1. Kode I1-1-I1-4 menunjukkan daftar urutan informan dari pihak
Kementrian Agama
102
2. Kode I2-1-I2-2 menunjukkan daftar urutan informan dari Forum
Komunikasi Madrasah Diniyah Takmiliyah
3. Kode I3-1-I3-2 menunjukkan daftar urutan informan dari Dinas
Pendidikan
4. Kode I4 Menunjukkan daftar Informan dari pihak LPPTKA/BKPRMI
5. Kode I5-1-I5-2 Menunjukkan daftar informan dari pihak Kepala Sekolah
SMP dan MTs
6. Kode I6-1-I6-6 menunjukkan informan dari wali murid
Setelah memberikan kode pada aspek tertentu yang berkaitan dengan
masalah penelitian sehingga polanya ditemukan, maka dilakukan kategorisasi
berdasarkan jawaban-jawaban yang ditemukan dari penelitian di lapangan dengan
membaca dan menelaah jawaban-jawaban tersebut. Analisa data yang akan
dilakukan dalam penelitian ini menggunakan beberapa kategori dengan beberapa
dimensi yang dianggap sesuai dengan permasalahan penelitian dan kerangka teori
yang telah diuraikan sebelumnya.
4.3 Deskripsi Hasil Penelitian
4.3.1 Dimensi Input
Dimensi input ialah merupakan dimensi awal pada sebuah kebijakan
yang berisikan masukan-masukan yang diperlukan pada kebijakan tersebut,
dimensi ini merupakan point penting karena akan menentukan hasil dan
tujuan kebijakan, dimensi input ini meliputi struktur kelembagaan, sumber
daya manusia, sarana dan prasarana dan sosialisasi.
103
Pertama, struktur kelembagaan, dalam penyelenggaran wajib belajar
Madrasah Diniyah di Kota Cilegon langsung dibawah Seksi Pendidikan
Agama dan Keagamaan Islam Kementrian Agama Kota Cilegon dengan
Kepala Seksi Bapak Abu Nashor, M.Si, dalam Seksi Pendidikan Agama
dan Keagamaan Islam terdapat lembaga khusus untuk menangani secara
teknis penyelenggaraaan wajib belajar Madrasah Diniyah tersebut yaitu
Forum Komunikasi Madrasah Diniyah Takmiliyah atau yang biasa disebut
dengan FKDT. FKDT inilah yang secara teknis mengatur dan
mengordinasikan berbagai macam kegiatan madrasah baik itu berupa
pembinaan, pembuatan kurikulum madrasah dan pelaksanaan pelaksnaan
teknis lainya. Sebagaimana disampaikan oleh Kepala Seksi Pendidikan
Agama dan Kegamaan Islam Kementrian Agama Kota Cilegon
“Kita merupakan lembaga yang sudah diberikan amanah untuk
membina diniyah, ada yang namanya Forum Komunikasi Diniyah
Takmiliyah namanya FKDT itulah yang mewadahi supaya segala
sesuatunya terkoordinasi, ada strukturnya, dipilih oleh mereka,
ada ketua, sekertaris, ada FKDT Kota, turun FKDT Kecamatan,
jadi ada 8 FKDT, FKDT inilah yang mengoordinasikan teman-
teman Madrasah Diniyah Cilegon yang saat ini sudah 152
Madrasah Diniyah, semuanya ada yang mengkoordinasikan,
seperti ulangan semester, mereka yang buat bersama”
(Wawancara dengan Bapak Abu Nashor, Rabu 07 Oktober 2015.
Pukul 14 .00 Wib, di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Dari hasil wawancara di atas diketahui bahwa penyelenggaraan
Madrasah Diniyah berada pada bagian seksi Pendidikan Agama dan
Keagamaan Islam, dan secara teknisnya dibuat lembaga yang disebut
dengan Forum Komunikasi Madrasah Diniyah Takmiliyah atau FKDT yang
104
berfungsi untuk menkoordinasikan Madrasah Diniyah yang ada di Cilegon,
FKDT ini terbagi menjadi FKDT Kota dan FKDT Kecamatan, sehingga
terdapat delapan FKDT Kecamatan dan satu FKDT Kota. Selain sebagai
mengkoordinasikan, FKDT juga mempunyai fungsi untuk melakukan
pembinaan madrasah dan para ustad, membuat kurikulum dan melakukan
evaluasi belajar dan mengajar. Sebagaimana disampaikan oleh Kepala
Forum Komunikasi Madrasah Diniyah Takmiliyah Kota Cilegon
“FKDT ini mempunyai fungsi untuk memberikan pembinaan
madrasah dan para guru, melakukan evaluasi belajar mengajar,
bahkan kita juga yang membuat soal-soal UAS dan UTS, strukturnya
kami punya, tapi kebetulan hari ini saya tidak membawanya, adanya
di lapotop. Saya sebagai ketuanya dan Bapak Hilman sebagai
wakilnya “(Wawancara dengan Bapak Mahruri, Rabu 07 Oktober
2015. Pukul 16.26 Wib di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Adanya lembaga khusus yang menangani penyelenggaraan wajib
belajar Madrasah Diniyah di atas juga dikuatkan juga oleh, Kepala Kantor
Kementrian Agama, yang menyatakan sebagai berikut
“lembaga tersebut sudah ada yang menangani yaitu di PAKIS,
PAKIS yang punya hak dan wilayah dalam pelaksanaan perda
tersebut, dan sekarang ada namanya FKDT, FKDT merupakan
lembaga mitra Kementrian Agama dalam Madrasah
Diniyah..mereka dibentuk supaya Madrasah Diniyah ini optimal dan
membantu Kementrian Agama dalam melaksanakan pengawasan
dan pengoordinasian” (Wawancara dengan Bapak Ubiq Baehaqi.
Jum’at. 16 Oktober 2015. Pukul 09.00. WIB di Kantor Kementrian
Agama Kota Cilegon)
105
Lebih lanjut diterangkan oleh Bapak Muizudin, Pengurus FKDT Kota
Cilegon tentang pembentukan Fokmada yang kemudian menjadi FKDT,
berikut paparanya:
“Awal sekali berdiri dalam memperjuangkan perda tersebut
masyarakat diniyah membentuk forum namanya Fokmada yang
menggagas namanya bapak H. Amin Mahtum dari Ciwandan,
ketika pertama kali beliau menggagas sewaktu itu dibentuknya
digedung dewan semua kepala madrasah sekota Cilegon mersepon
positif dan menyatakan diri bergabung sehingga tiap-tiap
kecamatan waktu itu ada, waktu itu namanya, belum ada FKDT,
setelah berjalan sekian tahun kemudian, selalu koordinasi dengan
Kemenag kemudian atas usulan Kemenag supaya sesuai dengan
tupoksi, karena di Propinsi juga ada, di nasional juga ada yang
membidangi diniyah maka di buatlah KKMD, Kelompok Kerja
Madrasah Diniyah, dibawah bimbingan langsung pengawas dan
Kasi Pekapontren, sekarang karena sudah ada nama-nama lain
sesudah KKMD itu FKDT, KKMD otomatis berubah menjadi
FKDT dan sampe sekarang yang ada itu organisasinya FKDT
(Wawancara dengan Bapak Muizudin, M.Pd. Kamis 8 Oktober
2015 pukul 15.00 Wib Di MDTA langon)
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa kepengurusan
Madrasah Diniyah di Kota Cilegon telah berjalan dengan baik, bahkan
sudah dibentuk semenjak perjuangan perda Madrasah Diniyah, ini dapat
dilihat dari adanya struktur yang berjenjang dari tingkat Kecamatan sampai
tingkat Kota.
Kedua, Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber daya manusia ini
ialah para pengajar/ustad Madrasah Diniyah. Dalam aturan Peraturan
Daerah disebutkan bahwa untuk menjadi pengajar mempunyai klasifikasi
atau standar minimal lulus SMA/MA atau sederajat atau juga bisa dari
106
pesantren, menurut hasil wawancara dengan I1-2 , beliau memaparkan
sebagai berikut :
“Kalau tidak punya basic keagamaan tentu tidak, memang kami
tidak mempersyaratkan secara khusus, misal harus S1, lulus SMA
dan lain sebagainya, tetapi yang penting bisa dan mengerti agama
saja sudah cukup, bahkan ada yang dari pesantren juga, tetapi yang
sudah kami verivikasi bahwa banyak pengajar diniyah paginya
ngajar di sekolah biasa, SD, SMP, Mts, MA, atau kegiatan lain dan
sorenya ngajar diniyah (Wawancara dengan Bapak Abu Nashor,
Rabu 07 Oktober 2015. Pukul 14 .00 Wib, di Kantor Kementrian
Agama Kota Cilegon)
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa Kementrian
Agama tidak memberikan persyaratan khusus bagi pengajar Madrasah
Diniyah walaupun dalam aturan perda dan perwal mempersyaratkan untuk
menjadi pengajar Madrasah Diniyah minimal SMA/MA dan alumni
Pesantren.
Kementrian Agama dalam urusan tenaga pengajar lebih melihat pada
kemampuan agama tidak pada lulusan sekolah yang berstandar umum, oleh
karenanya dalam Madrasah Diniyah ada yang memang hanya lulusan
pesantren
Pernyataan berbeda disampaikan oleh Bapak Mahruri, Ketua Forum
Komunikasi Madrasah Diniyah Takmiliyah Kota Cilegon yang
menyampaikan sebagai berikut :
“Mestinya punya ijazah keguruan supaya dapat mengajar dengan
baik, seperti lulusan PAI, tapi untuk yang belum PAI atau yang
bukan luluasan PAI sementara ini masih boleh, tapi kedepanya
107
diharapkan semuanya sudah PAI seperti guru Madrasah
Tsanawiyah”(Wawancara dengan Bapak Mahruri, Ketua FKDT
Kota Cilegon Rabu 07 Oktober 2015. Pukul 16.26 Wib di Kantor
Kementrian Agama Kota Cilegon)
Hal yang hampir senada juga disampaikan oleh I2-2, sebagai berikut :
“Kalau mengacu di Kementrian Agama memang pendidikanya
minimal harus S1, karena mengikuti UU Sisdiknas Nomor 20
Tahun 2003, tapi tidak terlalu saklek, karena diniyah itu berasal
dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat, tapi
untuk segala persyaratan administrasi yang diminta oleh Kemenag
tersebut hal itu benar karena aturan formalnya begitu, adapun
pelaksanaanya yang penting guru madrasah itu bisa ngaji, bisa
sholat, ahklaknya bagus, mempunyai dedikasi yang tinggi, siap
ikhlas, karena Madrasah Diniyah bukan untuk mencari
kekayaan,tetapi untuk mengabdi kepada masyarakat” (Wawancara
dengan Bapak Muizudin, M.Pd, Pengurus FKDT Kota Cilegon.
Kamis 8 Oktober 2015 pukul 15.00 Wib Di MDTA langon)
Dari pernyataan di atas Forum Komunikasi Madrasah Diniyah
Takmiliyah mengin ginkan bahwa untuk menjadi pengajar harus
memiliki ijazah S-1 Pendidikan Agama Islam, walaupun untuk saat ini
belum berjalan tetapi kedepanya akan diterapkan seperti itu, saat ini pihak
FKDT sama seperti Kementrian Agama memprioritaskan dalam masalah
kemampuan agama yang dimiliki oleh pengajar dan tidak pada legalitas
yang miliki oleh pengajar tersebut
Terkait dengan pembinaan yang dilakukan oleh Kementrian Agama Kota
Cilegon I1-2 memaparkan sebagai berikut :
108
“Memang dalam hal ini kami melakukanya rutin setahun sekali,
bahkan oleh Kemenag menyumbang adanya tunjangan fungsional
sekarang diganti menjadi insentiv guru MDTA, ada BOP, ada
rehab, sekarang juga ada program Madrasah Diniyah
percontohan, FKDT juga di bantu BOP, walau jumlahnya tidak
besar, sekitar setahun 5 juta Rupiah (Wawancara dengan Bapak
Abu Nashor, Kepala Seksi Pendidikan Agama Dan Keagamaan
Kementrian Agama Kota Cilegon.Rabu 07 Oktober 2015. Pukul 14
.00 WIB. di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Dari informasi di atas, dapat diketahui bahwa Kementrian Agama
telah melakukan pembinaan terhadap pengajar Madrasah Diniyah
walaupun hanya dilakukan setahun sekali, bahkan Kementrian Agama
telah memberikan bantuan-bantuan terhadap para pengajar yang berupa
insentiv guru MDTA, BOP dan rehab.
Ketiga, sarana dan prasarana, dalam Madrasah Diniyah ini masalah
sarana dan prasaran masih minim, ada banyak madrasah yang gedungnya
belum punya dan masih menumpang pada gedung sekolah lain seperti
geudung sekolah dasar, seperti yang terjadi pada SDIT Al Azhar, SDIT
Rauhdhatul Jannah, SDIT Tamadun, dan SD YPWKS 1 sampai 5,
Kementrian Agama beralasan bahwa di berlakukanya demikian ialah;
pertama, tidak memadai jumlah Madrasah Diniyah di Cilegon, padahal
keberadaan Madrasah Diniyah itu penting mengingat sudah diperdakan,
kedua, lembaga-lembaga tersebut meminta ijin operasional kepada
Kementrian Agama Kota Cilegon untuk diterbitkanya ijin operasional
pendirian madrasah di lembaga tersebut, berikut ini pemaparan dari I1-2
109
“ Dalam masalah sarana prasarana kami sudah berupaya mungkin
untuk menambah gedung madrasah dan membuka ijin selebar-
lebarnya bagi yayasan yang ingin mendirikan Madrasah Diniyah,
bahkan ada yang meminta legalitas, sekarang sekolah-sekolah
dasar islam terpadu atau yang biasa disebut SDIT sudah memohon
ijin operasional Madrasah Diniyah dan saat ini sudah kami
terbitkan sepuluh, SDIT KS 1, 2,3 sampai 5, SDIT RJ, SDIT Al
Azhar, SDIT Uswatun Hasanah, dan SDIT Tamadun, sudah
hampir 10, itu berarti mereka juga sudah mengerti bahwa perda
itu harus diberlakukan dan diamalkan, bahkan SD umumpun pun
saat ini, seperti Madintaul Hadid dan sekolah yang jauh-jauh
lokasi diniyahnya meminta supaya dibuatkan ijin operasional,
hanya ada satu tapi kami belum bisa memberikan ijin karena
belum ada rekomendasi dari Dinas Pendidikan. Jadi dalam SD
tersebut ada madrasah diniyah, kalau yang terpadu bisa dipola,
sedangkan SD umum pulangnya sekolahya pukul 1;00 setelah
solat, makan maka berngkat lagi untuk ke Madrasah Diniyah,
untuk teknisnya di lapangan mereka yang lebih tau, karena disana
juga ada PAI, yang penting kedua duanya jalan” (Wawancara
dengan Bapak Abu Nashor, Kepala Seksi Pendidikan Agama Dan
Keagamaan Kementrian Agama Kota Cilegon.Rabu 07 Oktober
2015. Pukul 14 .00 WIB. di Kantor Kementrian Agama Kota
Cilegon)
Dari wawancara di atas dapat diketahui bahwa gedung Madrasah
Diniyah saat ini belum mencukupi dan ada yang menumpang pada sekolah
lain seperti di SD YPWKS 1 sampai 5, dan beberapa SDIT yang ada di
Kota Cilegon dan untuk memperbanyak Madrasah Diniyah, Kementrian
Agama Kota Cilegon membuka perijinan operasional selebar-lebarnya
bagi yayasan-yayasan pendidikan yang berada di Kota Cilegon untuk
mendirikan Madrasah Diniyah.
Upaya Kementrian Agama saat ini dalam mengatasi masalah
gedung Madrasah yang kurang seperti yang disampaikan di atas ialah
bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dan Lembaga-lembaga Pendidikan
110
swasta untuk mendirikan ijin operasional pendirian Madrasah, juga
dibenarkan oleh I1-1, berikut pernyataanya :
“Dalam masalah sarana- prasarana kami sudah berupaya
mungkin untuk membangun gedung-gedung baru dan bekerja sama
dengan yayasan-yayasan pendidikan untuk mendirikan Madrasah
Diniyah, dan untuk Dinas Pendidikan juga saat ini belum
sepenuhnya membantu kalau masalah sarana prasarana baru
membantu dalam Honor Daerah, dan saat ini juga kami sudah
bekerja sama dengan sekolah sekolah swasta untuk mendirikan
Madrasah Diniyah disekolah tersebut, dan bagi sekolah yang
negeri nanti kita minta ijin terlebih dahulu ke Dinas Pendidikan
untuk sementara waktu mengadakan pendirian madrasah ditempat
tersebut, supaya siswa tersebut dapat sekolah madrasah
sorenya...dan Dinas Pendidikan juga merespon hal itu dan siap
bekerja sama dengan kita” (Wawancara dengan Bapak Drs. Ubiq
Baehaqi, M.Si, Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon.
Jum’at. 16 Oktober 2015. Pukul 09.00 WIB. di Kantor Kementrian
Agama Kota Cilegon)
Sebenarnya dalam Peraturan Daerah juga dijelaskan bahwa
Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas pendidikan juga membantu dalam
masalah sarana dan prasarana, tetapi ini belum berjalan, Dinas Pendidikan
hanya baru membantu dalam masalah honor daerah kepada guru-guru
Madrasah Diniyah, seperti yang dipaparkan oleh I1-2 sebagai berikut :
“Karena ini nonformal maka bagaimana peraturan walikotanya,
pada dasarnya sarana dan prasarana dari pemda belum kecuali
untuk tenaga pendidik yang saat ini dari 1700 tenaga pendidik
yang ada di Madrasah Diniyah sudah tercover 1.260 yang
mendapatkan honor daerah dengan besaran 400.000 sebulan jadi
sekitar 500 yang belum dapat honor, kalau untuk sarana
prasarana belum. Ada juga yang pernah di bantu oleh Dinas
Pendidikan di Ciwedus ini dibangunkan gedungnya dan hanya
baru satu atau dua” (Wawancara dengan Bapak Abu Nashor,
111
Kepala Seksi Pendidikan Agama Dan Keagamaan Kementrian
Agama Kota Cilegon.Rabu 07 Oktober 2015. Pukul 14 .00 Wib. di
Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Menanggapi hal demikian, Dinas Pendidikan beranggapan bahwa
hal itu bila semuanya dibantu oleh Pemerintah Kota maka khawatir akan
melampui kewenangan karena Madrasah Diniyah berada dalam naungan
Kementrian Agama, dan Kementrian Agama merupakan lembaga yang
tidak diotonomikan masih menjadi kewenangan pusat, berikut ini
pernyataan dari I3-1 :
“Bukan apa-apa, kami sangat mendukung dengan adanya
Madrasah Diniyah di Cilegon, tapi kami tidak bisa membantu
sepenuhnya karena khawatir melampaui kewenangan, karena
Madrasah Diniyah merupakan lembaga yang ada di Kementrian
Agama bukan pada kami, kami khawatir jika ini dilakukan bisa di
jadikan temuan BPK, karena tahun yang lalu BPK menanyakan
tentang pembebasan dana SPP bagi Madrasah Aliyah Negeri
dengan APBD Kota Cilegon, beruntung kami bisa menjelaskan
sehingga tidak jadi masalah” (Wawancara dengan Bapak Muchtar
Gozali. Kmis 22 Oktober 2015. Pukul 09.00 WIB. Di Kantor Dinas
Pendidikan Kota Cilegon)
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa Dinas
Pendidikan sangat mendukung adanya kebijakan tersebut, dan sudah
banyak membantu Madrasah Diniyah seperti honor para pengajar, akan
tetapi bantuan tersebut tidak bisa secara besar-besaran diberikan seperti
pembangunan gedung-gedung madrasah ataupun sarana fisik lainya karena
112
khawatir melampui kewenangan yang diberikan kepada pemerintah
daerah.
Minimnya sarana dan prasaran Madrasah Diniyah juga dibenarkan
oleh I2-2, menurutnya memang sampai saat ini perhatian pemerintah
terhadap Madrasah Diniyah masih kurang, akan tetapi walaupun kurang
mendapat perhatian dari pemerintah Madrasah Diniyah masih tetap hidup
karena memang Madrasah Diniyah itu merupakan dari, oleh, dan untuk
masyarakat, berikut paparanya :
“Kalau melihat pada sarana dan prasarana memang kita masih
kurang, pemerintah belum sepenuhnya memperhatikan Madrasah
Diniyah, tetapi walaupun demikian, madrasah akan tetap hidup
walau tanpa bantuan pemerintah, adanya Madrasah Diniyah ini
sudah lama, bahkan sebelum kemerdekaan, yang membuat
masyarakat dan juga untuk masyarakat, kalau dahulu dikenal
dengan sekolah sore atau madrasah” (Wawancara dengan Bapak
Muizudin, M.Pd, Pengurus FKDT Kota Cilegon. Kamis 8 Oktober
2015 pukul 15.00 WIB. Di MDTA langon)
Dari hasil wawancara dengan para narasumber di atas, dapat
diketahui dan disimpulkan bahwa sarana dan prasarana Madrasah Diniyah
masih kurang, saat ini pemerintah Kota Cilegon hanya baru membantu
dalam bidang honorer para ustadz, sedangkan sarana prasarana secar fisik
belum, hal ini juga menyebabkan sedikitnya gedung-gedung Madrasah
Diniyah karena untuk membangunya memerlukan dana yang tidak sedikit,
seperti halnya yang terjadi pada Madrasah Diniyah Daarul Muta’alimin
Desa Gerem yang pembangunanya sampai sekarang masih terbengkalai.
113
Pemerintah Daerah Kota Cilegon beralasan kenapa tidak
membantu sepenuhnya ialah karena khawatir akan melampui batas
kewenangan Pemerintah Daerah, seperti diketahui bahwa Kementrian
Agama merupakan instansi vertikal kepusat dan tidak diotonomikan
Gambar 4.4
Bangunan Madrasah MDTA Daarul Muta’alimn
Keempat, Sosialisasi, dalam sebuah kebijakan dan program
pemerintah sosialisasi merupakan bagian paling penting, karena ini akan
memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang tujuan dam manfaat
kebijakan tersebut, masyarakat yang merupakan objek atau saasaran
kebijakan publik harus mengetahui tentang kebijakan tersebut karena
bagaimana pun juga masyarakatlah yang akan menerima dampaknya.
Terkait dengan kebijakan pemerintah Kota Cilegon yang
mengeluarkan peraturan wajib belajar Madrasah Diniyah upaya sosialisasi
telah dilakukan oleh Kementrian Agama kepada Masyarakat Kota
(Sumber : Peneliti, 2015)
114
Cilegon, sosialisasi ini dilakukan terhadap sekolah-sekolah yang ada di
Cilegon, berikut pernyataan dari I1-1
“Sebelum saya ada disini, disini saya ada tahun 2011, sosialisasi
sudah dilakukan ke sekolah-sekolah dan masyarakat Kota Cilegon,
apabila ada kegiatan masyarakat kita selalu mensosialisasikan.
Kitapun meminta kepada sekolah-sekolah untuk mensosialisasikan
perda Madrasah Diniyah” (Wawancara dengan Bapak Drs. Ubiq
Baehaqi, M.Si, Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon.
Jum’at. 16 Oktober 2015. Pukul 09.00 WIB. di Kantor Kementrian
Agama Kota Cilegon)
Hal yang senada juga disampaikan oleh I2-1, beliau menyampaikan
sebagai berikut: “Kalau masalah sosialisasi, semenjak adanya perda ini
sudah disosialisasikan ke Masyarakat” (Wawancara dengan Bapak
Mahruri, Ketua FKDT Kota Cilegon Rabu 07 Oktober 2015. Pukul 16.26
WIB di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon). Tetapi untuk masalah
pemerataan sosialisasi belum semuanya terpenuhi karena ada pihak-pihak
tertentu yang membuat pemahaman publik terpecah, berikut pernyataan
dari I1-2
“ Untuk sosialisasi sudah kami lakukan, tetapi saat ini masyarakat
di bingungkan karena untuk masuk SMP/MTs boleh menggunakan
Syahadah TPA dan juga Diniyah, tetapi walaupun demikian kami
tetap memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa
syahadah diniyahlah yang berlaku, karena perdanya juga tentang
perda diniyah, adapun keluar perwal terbaru tetap tidak akan
merubah menjadi ke ijazah TPA, tetap harus Syahadah Diniyah,
karena kewajiban syahadah diniyah merupakan amanat perda”
(Wawancara dengan Bapak Abu Nashor, Kepala Seksi Pendidikan
Agama Dan Keagamaan Kementrian Agama Kota Cilegon.Rabu
115
07 Oktober 2015. Pukul 14 .00 Wib. di Kantor Kementrian Agama
Kota Cilegon)
Dari wawancara di atas, dapat dikatakan bahwa sosialisasi perda
ini telah berjalan tetapi terdapat hambatan karena ada pihak-pihak tertentu
yang memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa untuk masuk
SMP dan MTs boleh menggunakan syahadah Diniyah dan juga ijazah
TPA. Pihak Dinas Pendidikan juga menyatakan demikian, seperti yang di
sampaikan oleh I3-2 sebagai berikut:
“Sampai saat ini kita masih sosialisasi, kita tidak serta merta
bahwa untuk masuk SMP dan MTs hanya menggunakan syahadah
diniyah, karena ada juga pihak-pihak lain seperti
LPPTKA/BKPRMI yang menginginkan juga ijazah TPA untuk bisa
digunakan untuk masuk SMP/MTs, kita harus merangkul itu,
karena mereka juga mempunyai tujuan yang sama, sama-sama
memperjuangkan pendidikan agama islam” (Wawancara dengan
bapak Suhendi, MM. Kabid Pendidikan Menengah Dinas
Pendidikan Kota Cilegon.Kamis. 22 Oktober 2015. Pukul 08.37
WIB. Di Kantor Dinas Pendidikan Kota Cilegon)
Adapun Pihak sekolah SMP atau Madrasah Tsanawiyah yang
peneliti wawancarai tentang sosialisasi, I5-1, menyatakan sebagai berikut :
“Kalau sosialisasi kesini secara umum sudah, sudah disampaikan
sosialisasi sejak lama dari Kemenag, dan kami sudah informasikan
ke wali murid bahkan sekarang sudah diberlakukan kewajiban
syahadah diniyah itu” (Wawancara dengan Bapak Rafiuddin,
M.Pd, Kepala Madrasah MTsN Pulomerak Kota Cilegon Rabu 14
Oktober 2015. Pukul 10.00 WIB. Di Kantor Kepala MTsN
Pulomerak)
116
Dari pernyataan di atas dapat diketahui bahwa sosialisasi telah
berjalan dan diterima oleh pihak MTsN Pulomerak bahkan pihak MTsN
Pulomerak telah mewajibkan Syahadah Diniyah sebagai persyaratan
pendaftaran siswa baru, dan hal yang sama juga dibenarkan oleh SMPN 3
Kota Cilegon yang menyatakan bahwa sosialisasi telah diterima dari Dinas
Pendidikan akan tetapi pihak SMPN 3 Kota Cilegon belum mewajibkan
syahadah Diniyah sebagai persyaratan pendaftaran siswa baru, berikut
pernyataan I5-2 :
“Kalau untuk sosialisasi sudah kami terima melalui kepala
sekolah, kemudian keguru-guru baru ke masyarakat, tetapi kalau
SK untuk mewajibkannya belum turun, kami masih menunggu dari
Dinas Pendidikan tentang kewajiban pakai syhadah diniyah”
(Wawancara dengan Bapak Drs. Dedi Rustendi, Wakil Kepala
Sekolah SMPN 3 Kota Cilegon Rabu 14 Oktober 2015. Pukul
10.00. Di SMPN 3 Kota Cilegon)
Dari pernyataan di atas dapat diketahui bahwa sosialisasi telah
diterima oleh pihak Madrasah Tsanawiyah dan SMP, yang kemudian
sosialisasi tersebut diteruskan kepada wali murid akan tetapi mengenai
kewajiban menyerahkan syahadah diniyah sebagai persyaratan belum
dilakukan, baru hanya di Madrasah Tsanawiyah
Sedangkan masyarakat Kota Cilegon yang penulis wawancarai
mengenai sosialisasi perda Diniyah ini juga beragam, seperti yang
disampaikan oleh I6-1
117
“Mendengar tapi masih samar, sekarang infonya wajib sekolah
diniyah, secara pribadi saya tidak tau apa-apa, kalau di suruh
sekolah tentu saya sekolahkan anak saya, dari pada hanya
bermain-main,supaya dapat mengaji dengan baik” (Wawancara
dengan Ibu Ruenah, Wali Murid Madrasah Diniyah Minggu, 25
Oktober 2015 . pukul 14.00 Wib.)
Senada dengan yang di atas, I6-2 juga menyatakan bahwa pernah
mendengar wajib Madrasah Diniyah :
“Info yang saya dapatkan seperti itu, saya hanya ikut-ikutan saja,
itu pun dari bapak H, Halil yang mengatakan bahwa saat ini
siswa-siswa SD diharuskan belajar Madrasah Diniyah”
(Wawancara dengan Bapak Sabililah, Wali Murid Madrasah
Diniyah.Minggu, 25 Oktober 2015 Pukul 10.21 Wib)
Berbeda dengan I6-3 yang menjawab tidak tahu menahu adanya
perda ini, baginya yang penting anaknya sekolah sore (madrasah) :
“Masalah seperti itu saya tidak mengerti sama sekali, dan saya
hanya mengikuti para tetangga saja” (Wawancara dengan Umi
Habibah, Wali Murid Madrasah Diniiyah Senin, 26 Oktober 2015.
Pukul13.04 Wib)
Dari wawancara dengan masyarakat di atas diketahui bahwa untuk
masalah sosialisasi perda tersebut masih belum maksimal, masyarakat
hanya baru mendengar dan hanya ikut-ikutan tetapi tidak mengerti tentang
kewajiban tersebut bahkan dan ada pula yang anaknya tidak di sekolahkan
ke madrasah.
118
Berdasarkan paparan di atas dalam dimensi input dapat
disimpulkan bahwa dalam struktur kelembagaan kepengurusan Madrasah
Diniyah di Kota Cilegon telah berjalan dengan baik, bahkan sudah
dibentuk semenjak perjuangan perda Madrasah Diniyah, ini dapat dilihat
dari adanya struktur yang berjenjang dari tingkat Kecamatan sampai
tingkat Kota. Pada Sumber Daya Manusia yaitu para pengajar/ustad
Madrasah Diniyah belum memenuhi standar klasifikasi yang ditentukan
oleh perda, dan begitu pula dalam hal pembinaan yang dilakukan oleh
Kementrian Agama terhadap para pengajar/ustad Madrasah Diniyah belum
optimal.
Dalam masalah sarana dan prasarana Madrasah Diniyahpun masih
minim, banyak Madrasah Diniyah yang gedungnya masih satu atap dengan
Sekolah Dasar seperti pada SDIT Al-Azhar, SDIT Raudhtaul Jannah dan
beberapa SD lainya. Pihak Dinas Pendidikan hanya baru membantu dalam
masalah honor para pengajar Madrasah tetapi dalam masalah sarana dan
prasarana sesuai amanat perda belum dapat dilaksanakan, sedangkan
dalam sosialisasi belum berjalan dengan baik karena saat ini masyarakat
terpecah pemahamanya dengan adanya sosialisasi yang berbeda yang
dlakukan oleh Kementrian Agama dengan LPPTKA/BKPRMI.
4.3.2 Dimensi Proses
Dimensi proses merupakan dimensi transformasi kebijakan kepada
masyarakat dalam bentuk pelayanan langsung, pemerataan kebijakan, dan
119
dalam dimensi ini lebih menekankan pada pelaksanaan kebijakan yang
berupa hambatan dan tantangan kebijakan tersebut.
a. Pelayanan langsung kepada Masyarakat.
Kebijakan tentang penyelenggaraan Madrasah Diniyah di Kota
Cilegon tentu membutuhkan banyak gedung-gedung baru, sumber daya
manusia seperti pengajar dan kebutuhan-kebutuhan lainya. Untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat yang hendak menyekolahkan anaknya
kedalam madrasah sedangkan jumlah atau gedung madrasah tidak
memenuhi maka Kementrian Agama bekerjasama dengan Dinas
Pendidikan dan Yayasan-Yayasan yang membawahi pendidikan untuk
mendirikan Madrasah Diniyah di sekolah tersebut, seperti di SDIT
Raudhatul Jannah, SDIT Tamadun, SDIT Al Azhar,SD YPWKS 1 sampai
dan 5 dan beberapa SD lainya, mekanismenya adalah yayasan tersebut
meminta ijin operasional kepada Kementrian Agama untuk mendirikan
Madrasah Diniyah setelah Kementrian Agama meninjau dan mensurvei
barulah ijin tersebut di terbitkan, seperti yang di sampaikan oleh I1-2 :
“Sekarang sekolah-sekolah yang dasar islam terpadu sudah
memohon ijin operasional Madrasah Diniyah dan saat ini sudah
kami terbitkan sepuluh, SDIT KS 1, 2,3 sampai 5, SDIT RJ sudah,
SDIT Al Azhar sudah, SDIT Uswatun hasanah sudah, SDIT
Tamadun sudah hampir 10, hal itu berarti mereka juga sudah
mengerti bahwa perda ini harus diberlakukan dan diamalkan,
bahkan SD negeri pun saat ini, seperti Madintaul Hadid dan yang
lokasinya jauh madrasah diniyahnya meminta supaya dibuatkan
120
ijin operasional, hanya ada satu tetapi kami belum dapat
memberikan dikarenakan belum ada rekomendasi dari Dinas
Pendidikan. Jadi dalam SD nya ada diniyah, kalau yang terpadu
itu bisa dipola, kalau SD umum pulangnya pukul 1;00, setelah
solat, makan maka berangkat lagi untuk belajar ke Madrasah
Diniyah, untuk teknisnya di lapangan mereka yang lebih tahu,
karena disana juga ada PAI, yang terpenting kedua-duanya jalan”
(Wawancara dengan Bapak Abu Nashor, Kepala Seksi Pendidikan
Agama Dan Keagamaan Kementrian Agama Kota Cilegon.Rabu 07
Oktober 2015. Pukul 14 .00 Wib. di Kantor Kementrian Agama
Kota Cilegon)
Hal yang sama juga disampaikan oleh I1-1, yang menyatakan bahwa
saat ini Kementrian Agama bekerjasama dengan Yayasan-yayasan
Pendidikan dan Dinas Pendidikan dalam upaya dalam meminimalisir
sedikitnya gedung Madrasah Diniyah, berikut pernyataanya :
“Dalam masalah sarana-prasarana kami sudah berupaya mungkin
untuk membangun gedung-gedung baru dan bekerja sama dengan
yayasan-yayasan pendidikan untuk mendirikan Madrasah Diniyah
dan untuk Dinas Pendidikan juga saat ini belum sepenuhnya
membantu kalau masalah sarana prasarana hanya baru membantu
dalam Honor Daerah, dan saat ini juga kami sudah bekerja sama
dengan sekolah-sekolah swasta untuk mendirikan Madrasah
Diniyah disekolah tersebut, dan bagi sekolah yang negeri nanti
kita minta ijin terlebih dahulu ke Dinas Pendidikan untuk
sementara waktu mengadakan pendirian madrasah ditempat
tersebut, supaya siswa-siswa terssebut dapat sekolah madrasah
pada sore harinnya, dan Dinas Pendidikan juga merespon hal itu
dan siap bekerja sama dengan kita” (Wawancara dengan Bapak
Drs. Ubiq Baehaqi, M.Si, Kepala Kantor Kementrian Agama Kota
Cilegon. Jum’at. 16 Oktober 2015. Pukul 09.00 WIB. di Kantor
Kementrian Agama Kota Cilegon)
Pembentukan Madrasah Diniyah di sekolah-sekolah tersebut juga
dibenarkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Cilegon, Muchtar Gozali,
121
menurut beliau Dinas Pendidikan akan bekerjama sama dengan
Kementrian Agama untuk melaksanakan peraturan Daerah tersebut,
berikut pernyataaan I3-1 :
“ Benar, memang ada beberapa sekolah yang mendirikan
Madrasah Diniyah, selama itu tidak bertentangan dengan aturan,
semua persaratanya lengkap, kami tidak masalah, dan kami
mendorong terus supaya memang perda ini berjalan dengan baik”
(Wawancara dengan Bapak Muchtar Gozali. Kamis 22 Oktober
2015. Pukul 09.00 WIB. Di Kantor Dinas Pendidikan Kota
Cilegon)
Akan tetapi tindakan yang dilakukan Kementrian Agama dengan
menerbitkan ijin Operasional tersebut mendapatkan kritikan dari pengurus
LPPTKA/BKPRMI, berikut pernyataanya I4 :
“Hal ini adalah sebuah pemaksaan, seharusnya untuk mendirikan
madrasah atau sekolah itu harus ada gedungya, gurunya siapa
saja, siswanya mana saja, ada tida administrasinya, tetapi hal ini
tidak terjadi, tiba-tiba langsung diikutkan ujian saja, ini sama
sekali tidak mencerminkan pendidikan keagamaan Islam”
(Wawancara dengan Bapak Bayu Panatagama, MM, Direktur
LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon. Selasa, 06 Oktober 2015, Pukul
13.30 WIB Di Kantor Kesbanglinmas Kota Cilegon)
Menanggapi hal tersebut Pihak Kementrian Agama mengatakan bahwa
hal itu tidak bertentangan, berikut pernyataan I1-2 :
“Coba Herdandi sekarang lihat, dalam satu yayasan ada SD-nya,
ada SMP, SMA-nya, bahkan ada MTs terus juga SMA, hal itu
tidak apa-apa, dan itu tidak jadi masalah, tidak melanggar aturan
yang berlaku” (Wawancara dengan Bapak Abu Nashor, Kepala
Seksi Pendidikan Agama Dan Keagamaan Kementrian Agama
122
Kota Cilegon.Rabu 07 Oktober 2015. Pukul 14 .00 Wib. di Kantor
Kementrian Agama Kota Cilegon)
Dari wawancara di atas terlihat Kementrian Agama tidak
mempermasalahkan adanya Madrasah Diniyah dalam satu gedung dengan
Sekolah Dasar dan berargumen bahwa hal itu banyak dijumpai dalam
Yayasan-yayasan pendidikan dan hal itu tidak melanggar peraturan.
Setelah peneliti observasi kelapangan, ternyata memang benar dalam satu
gedung paginya digunakan oleh sekolah dasar dan sorenya digunakan
untuk madrasah, dengan guru yang sama dan ada juga yang berbeda
seperti di SD YPWKS 1 sampai 5, sedangkan Sekolah Dasar Islam
Terpadu yang didalamnya terdapat pembelajaran keagaaman tidak perlu
lagi belajar Madrasah Diniyah tetapi langsung mengikuti ujian Madrasah
Diniyah.
Dari hasil paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pelayanan
langsung kepada msayarakat belum berjalan dengan optimal hal ini
dikarenakan sedikitnya julmah gedung Madrasah Diniyah yang berakibat
tidak sanggupnya menerima siswa Sekolah Dasar dan untuk
meminimalisir hal tersebut pihak Kementrian Agama bersama dengan
Dinas Pendidikan dan Yayasan-Yayasan Pendidikan berkerja sama untuk
mendirikan ijin operasional pendirian Madrasah Diniyah.
Akan tetapi perijinan operasional Madrasah Diniyah tersebut tidak
dibarengi dengan penempatan prosedur yang jelas, fakta berbeda terjadi
dilapangan seperti yang terjadi di SD YPWKS Sekolah Dasar milik
123
Krakatau Steel, dari hasil wawancara dengan Bapak Bayu Pantagama
bahwa apa yang dinamakan belajar Madrasah Diniyah tidak terjadi dalam
sekolah tersebut, para siswa tersebut tidak belajar Madrasah Diniyah tetapi
diikutkan pada ujian madrasah.
Fenomena di atas menunjukkan terlihat bahwa pelayanan yang
diberikan oleh Kementrian Agama belum memenuhi aspek publik, apa
yang dilakukan Kementrian Agama dengan mengikutkan Siswa SD
YPWKS kedalam ujian Madrasah tetapi tidak pernah mengikuti
pembelajaran Madrasah Diniyah merupakan sebuah kesalahan yang
menyalahi prosedur Perda Diniyah.
b. Pemerataan Kebijakan
Pemerataan kebijakan ini dapat dilihat dari merata tidaknya
pelaksanaan kebijakan ini ke masyarakat, output dari kebijakan wajib
belajar Madrasah Diniyah ini ialah berupa kewajiban menyerahkan
syahadah diniyah ketika hendak melanjutkan ke SMP/MTs, dari informasi
yang peneliti dapatkan kewajiban ini belum berjalan baru hanya pada
sekolah-sekolah yang berada di bawah Kementrian Agama seperti MTsN
Pulomerak, ketika peneliti wawancarai pihak MTsN Pulomerak
membenarkan hal tersebut, berikut penyampaian yang di sampaikan oleh
I5-1
“ Kami sudah mendapatkan instruksi dari Kementrian Agama Kota
Cilegon untuk mewajibkan syahadah diniyah ketika hendak masuk
ke madrasah kami, dan ini sudah berjalan lama, kira-kira kurang
124
lebih tiga tahun” (Wawancara dengan Bapak Rafiuddin, M.Pd,
Kepala Madrasah MTsN Pulomerak Kota Cilegon Rabu 14
Oktober 2015. Pukul 10.00 WIB. Di Kantor Kepala MTsN
Pulomerak)
Hal tersebut juga dibenarkan oleh Kepala Seksi Pendidikan Madrasah
Kementrian Agama Kota Cilegon, I1-3 menyampaikan sebagai berikut :
“Kami sudah menginstrusikan kepada madrasah-madrasah yang
berada dinaungan kami terutama yang negeri seperti MTsN
Pulomerak, MTsN Cilegon dan MTsN Ciwandan, dan itu sudah
lama ketika sudah muncul Perwal No. 44 Tahun 2011”
(Wawancara dengan Ibu Titim Fatimah, MM. Kepala Seksi
Pendidikan Madrasah Kementrian Agama Kota Cilegon Jum’at, 16
Oktober 2015, Pukul 08.00 Wib. Di Kantor Kementrian Agama
Kota Cilegon)
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa kewajiban
menyerahkan Madrasah Diniyah tersebut hanya baru pada lembaga
pendidikan di bawah Kementrian Agama sedangkan yang berada dibawah
Dinas Pendidikan belum sama sekali, Kepala Bidang Pendidikan
Menengah Dinas Pendidikan Kota Cilegon menyampaikan bahwa hal
tersebut belum bisa dilakukan karena masih ada perselisihan antara
LPPTKA/BKPRMI dengan Kementrian Agama, berikut penyampaian I3-2 :
“ Saat ini kami belum bisa melaksanakan kebijakan mewajibkan
syahadah diniyah ke sekolah-sekolah, karena masih ada
perselisihan dan permasalahan yang belum selesai sampai saat
ini, jika nanti LPPTKA/BKPRMI sudah ada kesepakatan dengan
Kementrian Agama barulah kami bisa melaksanakan”
125
(Wawancara dengan bapak Suhendi, MM. Kabid Pendidikan
Menengah Dinas Pendidikan Kota Cilegon.Kamis. 22 Oktober
2015. Pukul 08.37 Wib. Di Kantor Dinas Pendidikan Kota
Cilegon)
Pendapat yang hampir sama juga di sampaikan oleh I3-1 :
“Kami belum melakukan hal tersebut karena keberadaaan
Madrasah Diniyah itu belum sepenuhnya berjalan dan juga jumlah
SD dengan Madrasah itu berbeda lebih banyak jumlah SD, kami
khawatir jika ini dilakukan nanti akan ada masyarakat meminta
surat pernyataan ke madrasah-Madrasah Diniyah, minta surat
keterangan sedang belajar, padahal siswanya tidak belajar, kami
tidak menginginkan hal itu” (Wawancara dengan Bapak Muchtar
Gozali. Kamis 22 Oktober 2015. Pukul 09.00 WIB. Di Kantor
Dinas Pendidikan Kota Cilegon)
Dari pendapat I3-1 di atas lebih melihat kepada jumlah Sekolah
Dasar yang tidak berimbang dengan jumlah MDTA dan ini akan
menghawatirkan bila kebijakan ini dipaksakan maka akan terjadi praktek
meminta surat keterangan sedang belajar Madrasah Diniyah, padahal
siswanya tidak belajar.
Untuk diketahui saat ini jumlah Sekolah Dasar dan jumlah SD
memang tidak sama, seperti dapat dilihat dalam tabel berikut :
126
Tabel 4.1
Perbandingan Jumlah Madrasah Diniyah dan Sekolah Dasar Beserta Murid,
dan Guru Menurut Kecamatan di Kota Cilegon, 2013/2014
Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa jumlah Madrasah
Diniyah atau Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah (MDTA) sekota
Cilegon berjumlah 144 Madrasah dengan jumlah murid 18.655 dan tenaga
pengajar sebanyak 1.737 yang sangat jauh berbeda dengan jumlah Sekolah
Dasar yang memiliki jumlah murid sekitar 38.556 dan jumlah sekolah 175
Sekolah, perbedaan tersebut akan menyebabkan ada banyak siswa Sekolah
Dasar yang tidak terakomodir di Madrasah Diniyah seharusnya jumlah
Madrasah Diniyah di Kota Cilegon sebanyak jumlah SD, dengan demikian
siswa SD tersebut dapat terakomodir untuk belajar di madrasah dengan
efektif.
Dari pendapat pihak Dinas Pendidikan di atas disimpulkan bahwa
keterlambatan pelaksanaan kewajiban menyerahkan syahadah diniyah
ketika masuk SMP ialah :
No Kecamatan
MDTA Sekolah Dasar
Madrasah Murid Guru Sekolah Murid Guru
1 Ciwandan 29 3. 818 368 20 5.217 312
2 Citangkil 26 3.113 333 25 7.159 438
3 Pulomerak 13 1.525 125 23 5.119 294
4 Purwakarta 10 1.295 119 22 5.526 317
5 Grogol 15 2.300 172 15 3.467 203
6 Cilegon 16 2.095 178 15 3.787 234
7 Jombang 14 2. 016 147 32 8.371 492
8 Cibeber 21 2. 493 295 23 6.797 399
JUMLAH 144 18.655 1.737 175 45.433 2.689
(Sumber : Cilegon Dalam Angka, BPS. 2014
127
Pertama, belum ada kesepakatan antara Pihak Kementrian Agama
dengan LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon, pihak Dinas Pendidikan tidak
menginginkan ada pihak yang dirugikan dengan kebijakan tersebut, dan
menginginkan semuanya dirangkul baik dari MDTA maupun dari pihak
LPPTKA/BKPRMI.
Kedua, tidak setaranya jumlah Sekolah Dasar dengan jumlah
MDTA, yang apabila ini tetap dilaksanakan maka dikhawatirkan akan ada
praktek jual beli ijazah
Berdasarkan pada pemaparan di atas dapat diketahui dan
disimpulkan bahwa pemerataan kebijakan melampirkan syahadah diniyah
sebagai persyaratan pendaftaran di SMP/MTS belum berjalan dengan baik,
yang baru melaksanakan hanya baru pada lembaga pendidikan yang
dibawah Kementrian Agama yang negeri, sedangkan pada lembaga
pendidikan dibawah Dinas Pendidikan belum berjalan sama sekali.
c. Hambatan dan Tantangan
Dimensi ini menurut peneliti merupakan dimensi yang sangat
penting dalam penelitian Eavaluasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun
2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota
Cilegon, karena pada dimensi ini permasalahan utama kebijakan tersebut.
Perjalanan kebijakan penyelenggaraan wajib belajar Madrasah
Diniyah sejak tahun 2008 sampai sekarang masih memiliki hambatan
128
sehingga kebijakan mewajibkan syahadah diniyah ketika hendak masuk
SMP/MTs belum terlaksana dengan baik.
Pihak Forum Komunikasi Madrasah Diniyah Takmiliyah
menganggap bahwa hambatan tersebut berasal dari pihak
LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon, yang hendak menyamakan TPA dengan
MDTA, berikut pernyataan dari I2-2:
“Sebenarnya perda ini harus sudah dijalankan karena sudah ada
perwalnya yang keluar pada tahun 2011, akan tetapi sampai
sekarang belum terlaksana, karena pihak LPPTKA/BKPRMI
hendak menyamakan TPA sama dengan Diniyah, penyamaan ini
tidak bisa diterima dikarenakan beda jenjang, beda umur dan juga
beda kurikulum” (Wawancara dengan Bapak Muizudin, M.Pd,
Pengurus FKDT Kota Cilegon. Kamis 8 Oktober 2015 pukul 15.00
Wib Di MDTA langon)
Hal yang sama disampaikan oleh I2-1 bahwa hambatan dalam
pelaksanaan Madrasah Diniyah berasal dari pihak LPPTKA/BKPRMI
Kota Cilegon yang meminta disamakan antara TPA dengan Madrasah
Diniyah, berikut pernyataanya :
“Bapak Bayu yang ngotot minta disamakan, dan hal tidak bisa,
TPA tidak bisa disamakan dengan MDTA, di PMA dengan di PP
55 2007 juga dijelaskan kalau TPA itu tidak sama dengan MDTA,
harusnya melihat kesitu, dalam maslah pendidikan Agama dan
Keagamaan harus mengikut ke Kemenag tidak mengatur sendiri,
jadi repot nantinya. (Wawancara dengan Bapak Mahruri, Ketua
FKDT Kota Cilegon Rabu 07 Oktober 2015. Pukul 16.26 Wib di
Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa pihak Forum
Komunikasi Madrasah Diniya Takmiliyah menganggap bahwa hambatan
129
atau rintangan dalam pelaksanaan kebijakan Peraturan Daerah Nomor 1
Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di
Kota Cilegon adalah LPPTKA/BKPRMI. Pihak LPPTKA/BKPRMI
menginginkan TPA disamakan dengan MDTA, sedangkan Forum
Komunikasi Madrasah Diniyah Takmiliyah tidak bisa menerima
persamaan tersebut karena berbeda jenjang umur dan kurikulum antara
TPA dengan Madrasah Diniyah atau MDTA
Pihak Kementrian Agama juga mempunyai pendapat yang sama
dengan Forum Komunikasi Madrasah Diniyah Takmiliyah, berikut
pernyataan I1-2 :
“ TPA itu sama dengan TPQ, dan TPQ itu pra diniyah, jadi tidak
bisa disamakan, dengan keluarnya PMA No 3 tahun 2013, disitu di
jelaskan bahwa kedudukan TPA berada dibawah MDTA”
(Wawancara dengan Bapak Abu Nashor, Kepala Seksi Pendidikan
Agama Dan Keagamaan Kementrian Agama Kota Cilegon.Rabu
07 Oktober 2015. Pukul 14 .00 Wib. di Kantor Kementrian Agama
Kota Cilegon)
Dari pendapat di atas terlihat jelas bahwa pihak Kementrian
Agama dan pihak FKDT menganggap bahwa hambatan utama
pelaksanaan kebijakan Perda Madrasah Diniyah adalah
LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon yang hendak menyamakan TPA dengan
MDTA, dan persamaan ini tidak bisa diterima oleh Kementrian Agama
Kota Cilegon, Kementrian Agama menganggap TPA sebagai pendidikan
Pra Madrasah Diniyah, lebih lanjut pihak Kementrian Agama dan FKDT
130
meenjelaskan tentang beda usia antara TPA dengan Madrasah Diniyah
seperti pada tabel berikut :
Tabel 4.2
Ilustarasi Jenjang Pendidikan
No DIKNAS DEPAG BKPRMI
USIA
FORMAL FORMAL NON FORMAL
NON
FORMAL
1
TK Kelompok
A
RA Kelompok
A
TKQ Kelompok
A TKA Paket A 4-5 Tahun
TK Kelompok
B
RA Kelompok
B
TKQ Kelompok
B TKA Paket B 5-6 Tahun
2
SD Kelas 1 MI Kelas1 TPQ Kelompok A TPA Paket A 6-7 Tahun
SD Kelas 2 MI Kelas 2 TPQ Kelompok B TPA Paket B 7-8 Tahun
SD Kelas 3 MI Kelas 3 MDTA Kelas 1 8-9 Tahun
SD Kelas 4 MI Kelas 4 MDTA Kelas2 9-10 Tahun
SD Kelas 5 MI Kelas 5 MDTA Kelas 3 10-11 Tahun
SD Kelas 6 MI Kelas6 MDTA Kelas 4 11-12 Tahun
(sumber : Perwal No. 44 Tahun 2011)
Dari tabel di atas dapat dijelaskan sebagai berikut bahwa TPA
merupakan pendidikan Pra-Madrasah Diniyah dengan TPA paket A berada
pada usia 6-7 tahun, dan TPA paket B pada usia 7-8 tahun, dan usia
tersebut masuk pada usia kelas 1 dan 2 SD maupun MI, sedangkan untuk
MDTA berada pada usia 8-12 tahun dan setara dengan kelas 3 sampai
dengan kelas 6 untuk SD dan MI.
Perbedaan dan pengklasifikasian tersebut tidak dibenarkan oleh
pihak LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon, berikut pernyataan I4 :
131
“Atas dasar apa mereka membedakan hal tersebut, coba lihat PP
No.55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan,
disitu dijelaskan ada pasal mengenai pendidikan keagamaan
islam, dalam pasal tersebut ada point-pointya, salah satunya
bahwa pendidikan kegaamaan islam itu berupa Madrasah
Diniyah, TPA dan Majlis Ta’lim, itu tidak dibedakan, harusnya
melihat kesitu, kita ini hierarki peraturanya” (Wawancara dengan
Bapak Bayu Panatagama, MM, Direktur LPPTKA/BKPRMI Kota
Cilegon. Selasa, 06 Oktober 2015, Pukul 13.30 WIB Di Kantor
Kesbanglinmas Kota Cilegon)
Lebih dalam pihak LPPTKA/BKPRMI mengatakan bahwa
pengkalsifikasian tersebut bertentangan dengan peraturan yang
dikeluarkan oleh Kementrian Agama Pusat yaitu tentang Standar Nasional
dan Mutu Pendidikan Al-Qur’an, dalam peraturan tersebut bahwa siswa
TPA itu berusia pada kisaran 7-12 tahun :
“Bahkan ada di Kementrian Agama aturan mengenai standar
nasional dan mutu pendidikan Al-Qur’an, disitu dijelaskan bahwa
TPA itu sama dengan Diniyah dalam masalah umuruya, sekarang
Kemenag Cilegon mau tidak menggunakanya aturan tersebut.”
(Wawancara dengan Bapak Bayu Panatagama, MM, Direktur
LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon. Selasa, 06 Oktober 2015, Pukul
13.30 WIB Di Kantor Kesbanglinmas Kota Cilegon
Menyikapi hal tersebut pihak Kementrian Agama yang
disampaikan oleh I1-3 menyatakan sebagai berikut:
“Dalam masakah tersebut mereka tidak membaca Perda No. 1
Tahun 2008, disitu dijelaskan bahwa masalah pendidikan
keagamaan islam di serahkan ke Kemenag, mereka sebagai ormas
harus mengikuti kita, karena kita yang punya wewenang, harusnya
132
mereka meminta izin operasionl pendirian pendidikan agama
Islam di Kota Cilegon, tapi sekarang belum ada ijin operasional
tersebut” (Wawancara dengan Ibu Titim Fatimah, MM. Kepala
Seksi Pendidikan Madrasah Kementrian Agama Kota Cilegon
Jum’at, 16 Oktober 2015, Pukul 08.00 Wib. Di Kantor Kementrian
Agama Kota Cilegon)
Dalam kesempatan lain pihak FKDT yang peneliti wawancarai
menyampaikan sebagai berikut :
“Kalau TPA hendak disamakan dengan Madrasah Diniyah, yang
bersangkutan harus ijin operasioanal pendirian Madrasah Diniyah
di TPA tersebut, kurikulumnya harus sama, jam belajarnya juga
harus sama, nah sekarang yang bersangkutam alergi tidak dengan
Madrasah Diniyah, sebenarnya hanya itu saja,” (Wawancara
dengan Bapak Muizudin, M.Pd, Pengurus FKDT Kota Cilegon.
Kamis 8 Oktober 2015 pukul 15.00 Wib Di MDTA langon)
Menanggapi hal tersebut, pihak LPPTKA/BKPRMI seperti yang
disampaikan oleh I4 :
“Kalau untuk disamakan tentu tidak bisa, tapi jika memuat
kurikulum yang sama kami bisa, dan memang saat ini kami sudah
mempunyai kuruikulum yang baru yang sama seperti MDTA”
(Wawancara dengan Bapak Bayu Panatagama, MM, Direktur
LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon. Selasa, 06 Oktober 2015, Pukul
13.30 WIB Di Kantor Kesbanglinmas Kota Cilegon)
Dari wawancara di atas dapat terlihat bahwa masing-masing pihak
antara Kementrian Agama dan LPPTKA/BKPRMI masih saling bersitegang
dan mempunyai dasar masing-masing sebagai argumenya, dengan adanya
perseslisihan tersebut Peraturan Daerah Nomor 1 Tentang Penyelenggaraan
Wajib Belajar Madrasah Diniyah tersebut tidak berjalan dengan semestinya.
133
Pada dasarnya permasalahan pokok lamanya implementasi kebijakan
ini ialah masalah jenjang TPA dan MDTA, Pihak LPPTKA/BKPRMI
menginginkan TPA dan MDTA disamakan dan dapat digunakan ijazahnya
untuk masuk SMP/MTs, sedangkan Kementrian Agama tidak bisa
menerima persamaan tersebut, TPA dianggap sebagai pra MDTA, dan
ijazah yang digunakan untuk masuk SMP/MTs hanya menggunakan
ijazah/Syahadah MDTA.
Saat ini masyarakat terpecah dengan adanya Peraturan Daerah
Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah
Diniyah di Kota Cilegon tersebut, sebagian menganggap bahwa perda ini
mandul, dan sebagian lagi menganggap perda berjalan dan sedang dalam
proses pengimplementasian.
Berdasarkan pada paparan diatas dapat disimpulkan Kementrian
Agama dan Forum Komunikasi Madrasah Diniyah Takmiliyah (FKDT)
menganggap bahwa hambatan dalam penyelenggaraan wajib belajar
Madrasah Diniyah di Kota Cilegon adalah LPPTKA/BKPRMI. Kementrian
Agama menolak keinginan LPPTKA/BKPRMI yang ingin menyamkan TPA
dengan Madrasah Diniyah karena dianggap beda jenjang, umur dan
kurikulum.
Permasalahan di atas disebabkan karena terdapatnya penafsiran, dan
pola pikir yang berbeda antara Kementrian Agama Kota Cilegon dan
LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon dalam menerjemahkan PP No. 55 tahun
134
2007 dan PMA No. 13 Tahun 2014 sehingga menyebabkan perbedaam
acuan hukum antara Pihak Kementrian Agama Kota Cilegon dengan
LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon, pihak Kementrian Agama mengacu pada
Perwal No. 44 Tahun 2014, sedangkan LPPTKA/BKPRMI mengacu pada
Perwal No. 25 tahun 2014.
Proses Perumusan dan Perubahan Peraturan Walikota
Pada hari senin tanggal 18 Oktober Tahun 2010, bertempat di Kantor
Kementrian Agama Kota Cilegon telah diadakan pembahasan akhir draft
Rancangan Peraturan Walikota Cilegon Tentang Wajib Belajar Pendidikan
Diniyah Awaliyah yang selanjutnya diajukan kepada Biro Hukum Setda
Pemerintah Kota Cilegon untuk diadakan kajian lebih lanjut sebelum
akhirnya ditetapkan sebagai Peraturan Walikota Cilegon untuk
melaksanakan Perda No. 1 Tahun 2008.
Dalam pembahasan akhir draft tersebut dihadiri oleh Kepala Kantor
Kementrian Agama Kota Cilegon, Drs. H. Mahmudi, M.Si, Kepala Bidang
Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Kota Cilegon, Drs. H. Romli
Rohani, M.Pd, Kepala Seksi Pekapontren dan Penmas Kementrian Agama
Kota Cilegon, Dra. Hj. Titim Fatimah, MM, Direktur Daerah
LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon, Bayu Panatagam, S.Pd, Sekretaris
Daerah LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon, M. Rohman, Ketua KKMD Kota
Cilegon, Tb. Mastur, S.Pd, Sekretaris KKMD Kota Cilegon, Ahmad Yani,
135
S.Pd.I, Wakil Sekertaris FOKMADA Kota Cilegon, Sekretaris POKJAWAS
Kementrian Agama Kota Cilegon.
Dalam perumusan tersebut disepakatilah bahwa pendidikan diniyah
bersifat umum dan terbuka dengan perserta usia didik antara 7-12 tahun
(pasal 6 ayat 1 dan 2) dan membolehkan satuan pendidikan yang telah
memuat kurikulum pendidikan diniyah sebagai penyelenggara pendidikan
diniyah (pasal 13 ayat 1 dan 2), tetapi pada tanggal 16 April 2011 rumusan
tersebut tersebut dirubah atau direvisi oleh Forum Komunikasi Madrasah
Diniyah Kota Cilegon, yaitu pada pasal 6 ditambahkan dengan 1 pasal yang
mengkalsifikasikan jenjang peserta didik dengan usia didik 6-7 tahun
sebagai usia TPA paket A atau TPQ paket A, usia 7-8 tahun untuk TPA
paket B atau TPQ paket B, dan MDTA kelas 1-4 pada usia 8-12 tahun,
sedangkan pada pasal 13 dihapus karena tidak sesuai dengan Perda
Diniyah.
Setelah revisi Raperwal tersebut, maka jadilah sebuah Peraturan
Walikota Nomor 44 Tahun 2011 yang isinya sesuai dengan yang diajukan
oleh Forum Komunikasi Madrasah Diniyah (FOKMADA) Kota Cilegon,
setelah adanya perwal tersebut lalu keluar Surat Edaran Kementrian Agama
Kota Cilegon Nomor. Kd.28.06./5/PP.00.8/2328/2014 Tentang
Pemberlakuan wajib Belajar Madrasah Diniyah Awaliyah di Kota Cilegon.
dalam Surat Edaran tersebut dinyatakan bahwa untuk masuak SMP/MTs
wajib menyerahkan Syahadah Diniyah.
136
Ketentuan tersebut mendapatkan pertentangan dari
LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon, pihak LPTTKA/BKPRMI mengatakan
bahwa ketentuan dalam Perwal Nomor 44 Tahun 2011 dan Surat Edaran
Kementrian Agama tersebut telah menyalahi kesepakatan yang telah dibuat
bersama-sama dengan Dinas Pendidikan, Kementrian Agama,
LPPTKA/BKPRMI, KKMD dan FOKMADA Kota Cilegon,berikut
pernyataan I4 :
“Ceritanya seperti ini pada hari senin tanggal 18 Oktober Tahun
2010, bertempat di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon (sambil
memperlihatkan dokumen), kami bersama-sama dengan dinas
Pendidikan, Kemenag, Fokmada dan KKMD merumuskan raperwal
tersebut, dan kami telah sepakat, tetapi tiba-tiba ketika muncul di
perwal Nomor 44 Tahun 2011 berbeda dengan apa yang kami
usulkan bersama-sama, ini siapa yang melakukan, Masya Allah ini
dokumen negara, kalau dituntut bisa dibawa kepengadilan, tapi
kami berusaha sabar, kenapa bisa-bisanya rumusan ini dirubah,
siapa ini yang merubah, padahal pada awalnya tidak seperti ini, ini
lihat dokumen dan BAP-nya (sambil menyodorkan BAP dan
Dokumen rumusan Perwal), ini yang benar, ini ada cap Kementrian
Agama dan legal, sedangkan yang ini, ini tanda tangan siapa, dan
juga ini bukan cap Kemenag tapi cap Fokmada” (Wawancara
dengan Bapak Bayu Panatagama, MM, Direktur LPPTKA/BKPRMI
Kota Cilegon. Selasa, 06 Oktober 2015, Pukul 13.30 WIB Di Kantor
Kesbanglinmas Kota Cilegon)
137
Gambar. 4.5
Direktur LPPTKA/BKPRMI Bayu Pantagama
sedang membuka dokumen
Menyikapi hal tersebut ketika peneliti tanyakan ke Kementrian
Agama, mengenai adanya perubahan revisi sepihak yang dilakukan oleh
FOKMADA, I1-3 menjawab “ tidak jadi masalah, kontenya masih tetap
sama baik yang belum direvisi maupun yang sudah direvisi” (Wawancara
dengan Ibu Titim Fatimah, MM. Kepala Seksi Pendidikan Madrasah
Kementrian Agama Kota Cilegon Jum’at, 16 Oktober 2015, Pukul 08.00
Wib. Di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Sebagai bentuk rasa protes pihak LPTTKA/BKPRMI Kota Cilegon
mendatangi Bapak Iman Ariyadi, M,Si Walikota Cilegon untuk melakukan
perubahan Peraturan Walikota Nomor 44 Tahun 2011 menjadi seperti
semula seperti pada pembahasan draft pada tanggal 18 Oktober tahun
2010. Atas protes dan audiensi tersebut Walikota Cilegon mengeluarkan
Perwal No. 44 Tahun 2014 sebagai bentuk revisi terhadap Perwal Nomor
(Sumber : Peneliti, 2015)
138
44 tahun 2011, yang isinya bahwa bahwa jenjang umur pendidikan diniyah
itu berkisar 7-12, dan TPA masuk didalamnya.
Pihak Kementrian Agama menanggapi adanya perubahan Perwal
tersebut mengatakan tidak akan memberikan pengaruh bagi Madrasah
Diniyah, dan tetap mempertahankan bahwa ketika masuk SMP/MTs hanya
boleh menggunakan ijazah Syahadah Diniyah bukan TPA, berikut
pernyataan I1-2 :
“Saat ini masyarakat dibingungkan karena untuk masuk SMP/MTs
boleh menggunakan Syahadah TPA dan juga Diniyah, tetapi
walaupun demikian kami tetap memberikan pemahaman kepada
masyarakat bahwa syahadah diniyahlah yang berlaku, karena
perdanya juga tentang perda diniyah, adapun keluar perwal
terbaru tetap tidak akan merubah menjadi ke ijazah TPA, tetap
harus Syahadah Diniyah” (Wawancara dengan Bapak Abu
Nashor, Kepala Seksi Pendidikan Agama Dan Keagamaan
Kementrian Agama Kota Cilegon.Rabu 07 Oktober 2015. Pukul 14
.00 Wib. di Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Ketika peneliti tanyakan kepada Dinas Pendidikan mengenai
adanya perwal terbaru dan adanya perbedaaan antara LPPTKA/BKPRMI,
dengan Kementrian Agama tersebut I3-1 menyampaikan:
“Itu urusan mereka, mereka yang harus menyelesaikan, tapi dalam
perda hanya disebutkan syhadah, selain syahadah tidak kami
terima di sekolah-sekolah negeri, dan yang mengeluarkan
syahadah itu Kementrian Agama Kota Cilegon, kalau TPA ingin
mendapatkan syahadah harus Kementrian Agama, meminta ijin
operasional pendirian diniyah” (Wawancara dengan Bapak
Muchtar Gozali. Kamis 22 Oktober 2015. Pukul 09.00 WIB. Di
Kantor Dinas Pendidikan Kota Cilegon)
139
Dari wawancara dengan Dinas Pendidikan di atas dapat
disimpulkan bahwa Dinas Pendidikan juga mempunyai pandangan yang
sama dengan Kementrian Agama, bahwa untuk masuk SMP/Mts harus
menggunakan syahadah diniyah yang dikeluarkan oleh Kementrian
Agama Kota Cilegon, menanggapi adanya perubahan perwal tersebut
Dinas Pendidikan juga mempunyai pandangan yang sama bahwa hal
tersebut tidak merubah membolehkan Syahadah Diniyah digantikan
dengan ijajzah TPA.
Berdasarkan pemaparan diatas dalam dimensi proses dapat
disimpulkan, pada pelayanan langsung dan pemerataan kebijakan saat ini
Madrasah Diniyah belum memenuh aspek publik karena kurangnya
gedung-gedung madrasah yang menyebabkan kebijakan menyerahkan
Syahadah Diniyah ketika hendak melanjutkan kesekolah SMP/MTs belum
berjalan dengan baik, yang baru melaksanakan hanya baru pada lembaga
pendidikan yang dibawah Kementrian Agama yaitu MTs-MTs Negeri,
sedangkan pada lembaga pendidikan dibawah Dinas Pendidikan belum
berjalan sama sekali.
Selanjutnya indikator hambatan, dalam indikator ini permasalahan
terjadi karena terdapatnya penafsiran, dan pola pikir yang berbeda antara
Kementrian Agama Kota Cilegon dan LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon
dalam melaksanakan amanat Perda tersebut sehingga menyebabkan
140
perbedaam acuan hukum antara Pihak Kementrian Agama Kota Cilegon
dengan LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon, pihak Kementrian Agama
mengacu pada Perwal No. 44 Tahun 2014, sedangkan LPPTKA/BKPRMI
mengacu pada Perwal No. 25 tahun 2014.
Penyebebab adanya multitafsir dan pemahaman yang berbeda
tersebut dikarenakan kedua Perwal Madrasah Diniyah tidak sesuai dan
telah menyalahi atau bertentangan dengan Perda Madrasah Diniyah, kedua
perwal tersebut tentang pendidikan diniyah bukan Madrasah Diniyah,
permasalahan inilah yang menyebabkan LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon
dan Kementrian Agama Kota Cilegon mempunyai pemahaman yang tidak
sama
4.3.3 Dimensi Outputs
Outputs yaitu hasil dari pelaksanaan kebijakan, apakah sutau
kebijakan menghasilkan produk sesuai dengan tujuan yang ditetapkan,
Outputs antara lain meliputi ketepatan, dan sasaran yang tertangani.
a. Ketepatan
Pemberlakuan adanya Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan
Wajib Belajar Madrasah Diniyah, menurut beberapa narasumber memang
tepat untuk diberlakukan di Kota Cilegon, seperti yang disampaikan oleh
I2-2 :
141
“Perda ini diawali dengan inisiatif kita pada waktu itu ketuanya
pak Haji Amin makhtum, melihat fenomena di masyarakat Kota
Cilegon sekarang sudah berubah, nilai-nilai keagmaan ini sudah
semakin hilang, jadi adanya perda ini tepat sekali bahkan
mendesak untuk diadakan” Wawancara dengan Bapak Muizudin,
M.Pd, Pengurus FKDT Kota Cilegon. Kamis 8 Oktober 2015 pukul
15.00 Wib Di MDTA langon
Hal yang sama juga disampaikan oleh I1-2
“Bukan tepat lagi tapi memang benar-benar dibutuhkan, dulu itu
madrasah berkembang, tapi sekarang sudah sedikit yang minat,
masyarakat sudah sedikit yang menyekolahkan anaknya
kemadrasah, jadi perda ini memang harus dilakukan supaya
generasi mendatang pada bisa memahami agama dengan baik”
(Wawancara dengan Bapak Abu Nashor, Kepala Seksi Pendidikan
Agama Dan Keagamaan Kementrian Agama Kota Cilegon.Rabu
07 Oktober 2015. Pukul 14 .00 Wib. di Kantor Kementrian Agama
Kota Cilegon)
Dari wawancara di atas adanya peraturan daerah tentang kewajiban
belajar Madrasah Diniyah di Cilegon merupakan hal yang penting
mengingat Cilegon adalah kota santri, tetapi predikat tersebut semakin
bergeser dengan masuknya budaya-budaya asing yang secara tidak
langsung merubah tatanan budaya Wong Cilegon yang agamis menajdi
hedonis dan matrealisitis, nilai nilai keagamaan sudah semakin hilang,
madrasah menjadi sepi dan tidak yang meminati, jadi dengan adanya perda
ini diharapkan mampu menghidupkan lagi madrasah yang sudah hampir
hilang.
142
Pendapat yang berbeda disampaikan oleh I4 menyampaikan
sebagai berikut :
“Pada awalnya saya menolak adanya perda ini, karena memang
tidak di ikutkan, kami tidak dianggap sebagai lembaga pendidikan
keagamaan, dan saya juga tidak setuju dengan judul perda,
seharusnya bukan Madrasah Diniyah tapi pendidikan keagamaan
Islam” (Wawancara dengan Bapak Bayu Panatagama, MM,
Direktur LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon. Selasa, 06 Oktober
2015, Pukul 13.30 WIB Di Kantor Kesbanglinmas Kota Cilegon)
Dari pendapat I4 dapat diketahui bahwa pada awalnya menolak
karena lembaga pendidikan TPA tidak diikutsertakan menjadi bagian dari
pendidikan diniyah, penolakan tersebut bukan pada penolakan substansi
perlunya belajar keagamaan islam di Cilegon tetapi pada redaksi judul
perda dan diabaikanya TPA sebagai lembaga pendidikan diniyah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa adanya perda ini
memang tepat untuk diberlakukan di Cilegon, adapun yang menolak hanya
pada redaksi isi perda bukan pada substansi pentingnya pendidikan
keagamaan di Kota Cilegon.
b. Sasaran yang ditangani
Sasaran perda ini adalah siswa SD yang berusia 7-12 tahun, saat ini
berdasarkan hasil wawancara bahwa banyak siswa Sekolah Dasar yang
belum masuk Madrasah Diniyah dikarenakan lokasinya yang jauh seperti
yang disampaikan oleh I6-6:
“ Seperti tempat saya di Warnasari itu diniyahnya jauh, berapa
kilo itu, itu harus bagaimana, tetap masuk diniyah atau ada solusi
143
seperti apa, ini perlu dibicarakan oleh Kementrian Agama
(Wawancara dengan Bapak Baehaki, Wali Murid Diniyah Rabu, 7
Oktober 2015. Pukul 02.00. WIB)
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa Madrasah
Diniyah belum sepenuhnya dapat mewadahi siswa Sekolah Dasar
dikarenakan jumlah gedung yang belum memadai.
Pihak Kementrian Agama pun mengakui demikian, pihaknya akan
meminta ijin kepada Dinas Pendidikan untuk mendirikan Madrasah
Diniyah di SD tersebut, berikut penyampaian dari I1-1 :
“ masalah hal itu kita minta ijin terlebih dahulu ke Dinas
Pendidikan untuk sementara waktu mengadakan pendirian
madrasah disitu, supaya anak -anaknya sekolah madrasah pada
sore harinya ” (Wawancara dengan Bapak Drs. Ubiq Baehaqi,
M.Si, Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon. Jum’at. 16
Oktober 2015. Pukul 09.00 WIB. di Kantor Kementrian Agama
Kota Cilegon)
Pendapat yang berbeda disampaikan oleh I4 :
“ Perda diniyah harusnya melihat kekami, kami punya ribuan
murid yang sekolah di TPA, kalau dipaksakan ke MDTA, kasihan
mereka, dan bisa jadi pindah, apa sih bedanya padahal kami
sama-sama pendidikan keagamaaan” (Wawancara dengan Bapak
Bayu Panatagama, MM, Direktur LPPTKA/BKPRMI Kota
Cilegon. Selasa, 06 Oktober 2015, Pukul 13.30 WIB Di Kantor
Kesbanglinmas Kota Cilegon
Pihak I4 menyatakan bahwa sasaran Madrasah Diniyah telah
mengambil jatah murid TPA, menurutnya seharusnya tidak boleh terjadi,
MDTA dan TPA harus berjalan seiringan tidak berebut murid dan tidak
144
boleh ada pemaksaan bahwa pesertad didik yang berusia 7-12 tahun harus
ke MDTA karena dalam aturan Kementrian Agama pun murid TPA
berkisar 7-12 tahun.
Kesimpulan dari paparan di atas ialah bahwa sasaran perda ini
belum sepenuhnya maskimal, ada banyak siswa sekolah dasar yang belum
masuk MDTA, dan ada pihak yang keberatan jika peserta didik dari 7-12
tahun harus masuk ke MDTA semua, karena ada lembaga pendidikan
keagamaan seperti TPA yang juga mempunyai usia peserta didik 7-12
tahun.
Berdasar pada paparan diatas dimensi Ouputs dapat disimpulkan
bahwa sasaran dan ketepatan kebijakan perda Madrasah Diniyah tersebut
belum optimal karena belum sepenuhnya dapat mewadahi peserta didik
disebabkan jumlah gedung yang belum memadai dan adanya kebijakan ini
juga telah merugikan lembaga pendidikan TPA dibawah naungan
LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon.
4.3.4 Dimensi Outcomes
Outcomes yaitu apakah suatu pelaksanaan kebijakan berdampak
nyata terhadap kelompok sasaran sesuai dengan tujuan kebijakan. Untuk
mengetahui outcomes yang dihasilkan dari penyelenggaraan kebijakan
wajib belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon, maka peneliti
menganalisis tentang perubahan apa yang terjadi dimasyarakat dan juga
145
dipemerintahan yaitu Pemerintah Kota Cilegon dan Kementrian Agama
dan berbagai macam dampak lain baik berupa dampak negatif dan positif.
Data yang berkaitan dengan outcomes yang ditimbulkan dari
adanya kebijakan tersebut dapat dilihat dari hasil wawancara peneliti
dengan I4 :
“Besar sekali dampaknya, pertama menurunya jumlah santri kami,
dari 160 unit TKA TPA, 20 unit TKA TPA yang telah kami bina
bertahun-tahun hijrah ke Madrasah Diniyah dan ada juga yang
menjadi TPQ, Dampak yang kedua yaitu secara moral walaupun
hal ini tidak terasa, masyarakat masih mengakui
LPPTKA/BKPRMI, yaitu terjadinya komunikasi yang tidak baik
antara kami dengan pemerintah, tadi sudah dikatakan yang
menjadi penghambat kan LPPTKA, itu merupakan kesan yang
dimunculkan, seharusnya mereka berterima kasih kepada kami
karena telah membantu mereka, kami adalah mitra pemerintah,
mereka yang salah dan kami luruskan” (Wawancara dengan Bapak
Bayu Panatagama, MM, Direktur LPPTKA/BKPRMI Kota
Cilegon. Selasa, 06 Oktober 2015, Pukul 13.30 WIB Di Kantor
Kesbanglinmas Kota Cilegon)
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa dampak
adanya kebijakan tersebut ialah pertama berkurangnya jumlah sekolah-
sekolah TPA di bawah naungan LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon dari 160
unit menjadi 140 unit, 20 unit tersebut pindah menjadi Madrasah Diniyah
dan sebagian lagi menjadi TPQ (Taman Pendidikan Qur’an).
Kedua, terjadinya komunikasi yang tidak baik antara ormas
LPPTKA/BKPRMI dengan pemerintah, yaitu Dinas Pendidikan Kota
Cilegon dan Kementrian Agama, pihak LPPTKA/BKPRMI menganggap
146
penyudutan lembaganya sebagai pihak yang menghalangi pelaksanaan
Peraturan Daerah Tentang Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar
Madrasah Diniyah merupakan kesan yang negatif dimata masyarakat Kota
Cilegon.
Selain di atas juga dampak dari adanya kebijakan Perda Diniyah ialah :
a. Pemerintah Daerah.
Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2014 pada
BAB IV pasal 53 dijelaskan bahwa pembiayaan pendidikan keagamaan
Islam bersumber dari penyelenggara, pemrintah pusat, pemerintah daerah,
masyarakat atau sumber lain yang sah, dalam Peraturan Mentri Agama
tersebut jelas bahwa salah satu pembiayaan pendidikan keagamaan islam
dari pemerintah daerah, dalam hal ini ialah pemerintah kota Cilegon.
Dalam hal ini pemerintah Kota Cilegon telah banyak membantu
dalam penyelenggaraan Madrasah Diniyah, berikut penuturan I3-1 :
“Untuk masalah bantuan, saat ini kami pemerintah Kota Cilegon
telah banyak membantu terhadap Madrasah Diniyah, dimulai dari
honor gaji guru-guru madrasah walau masih kecil juga, supaya
mereka mau mengaajar, termasuk juga sarana prasarana, tetapi
karena ini tidak diotonomikan, jadi tidak bisa dianggarkan secara
kegiatan, tapi harus bentuk proposal ke Kesra, sekarang udah
banyak yang mengajukan” (Wawancara dengan Bapak Muchtar
Gozali. Kmis 22 Oktober 2015. Pukul 09.00 WIB. Di Kantor Dinas
Pendidikan Kota Cilegon)
147
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa Pemerintah
Kota Cilegon telah banyak membantu Madrasah Diniyah sebagai bentuk
kepedulian terhadap pendidikan keagmaaan, khususnya agama islam
dalam bentuk honor gaji para guru-guru madrasah walaupun besaranya
tidak besar yaitu Rp.400.000,00.
Bantuan pemerintah Kota Cilegon terhadap Madrasah Diniyah juga
dibenarkan oleh I1-2 :
“Pada dasarnya sarana dan prasarana dari pemda belum kecuali
untuk tenaga pendidik yang saat ini dari 1700 tenaga pendidik
yang ada di Madrasah Diniyah sudah tercover 1.260 yang
mendapatkan honor daerah yang besaranya 400.000 sebulan jadi
sekitar 500 yang belum mendapatkan honor, kalau untuk sarana
prasarana belum. Ada juga yang pernah dibantu oleh Dinas
Pendidikan di Ciwedus ini dibangunkan gedungnya dan itu pun
hanya satu atau dua” (Wawancara dengan Bapak Abu Nashor,
Kepala Seksi Pendidikan Agama Dan Keagamaan Kementrian
Agama Kota Cilegon.Rabu 07 Oktober 2015. Pukul 14 .00 Wib. di
Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Dari wawancara di atas dapat diketahui bahwa pemerintah daerah
telah membantu Madrasah Diniyah terutama dalam honor daerah bagi para
guru-guru madrasah dinyah dengan besaran Rp. 400.000 bagi 1.260 guru-
guru madrasah, saat ini jumlah tenaga pendidik atau pengajar Madrasah
Diniyah berjumlah 1.700 pengajar yang berarti sekitar 440 pengajar yang
belum tercover atau belum mendapatkan honor dari pemerintah Kota
Cilgon, untuk memenuhi rasa keadilan bersama honor tersebut tidak
dibagikan lengsung ke pengajar tetapi diakumulasikan dan dibagi rata
148
keseluruh guru madrasah, sehingga besaran yang diterima tidak sebanyak
Rp.400.000,00 tetapi sekitar Rp.300.000,00 per-guru.
Pendapat yang berbeda di sampaikan oleh I1-4 :
“Bantuan tersebut belum ada nominalnya berapa, untuk
pembangunan gedung berapa, untuk honor berapa, hanya masih
bersifat membantu, kalau membantu tentu semua juga harus
membantu, kami inginya dinominalkan berapa, karena PMA
Nomor 13 Tahun 2014 juga dijelaksan bahwa pembiayaan tersebut
juga berasal dari Pemerintah Daerah” (Wawancara dengan Bapak
H. Muhyi. Kepala Sub Bagian TU Kementrian Agama Senin, 05
Oktober 2015, Pukul 10.00 WIB Di Kantor Kementrian Agama
Kota Cilegon)
Dari pendapat di atas I1-4 menginginkan bahwa pemerintah daerah
harus menganggarkan dalam bentuk kegiatan untuk Madrasah Diniyah
dengan jumlah nominal tertentu, akan tetapi pendapat tersebut oleh Dinas
Pendidikan terlalu berlebihan karena khawatir akan melampaui
kewenangan, berikut pernyataan I3-1 :
“Bukan apa-apa, kami sangat mendukung dengan adanya
Madrasah Diniyah di Cilegon, tapi kami tidak bisa membantu
sepenuhnya karena khawatir melampaui kewenangan, karena
Madrasah Diniyah merupakan lembaga yang ada di Kementrian
Agama bukan pada kami, kami khawatir jika ini bisa di jadikan
temuan BPK, karena tahun yang lalu BPK menanyakan tentang
pembebasan dana SPP bagi Madrasah Aliyah Negeri dengan
APBD Kota Cilegon beruntung kami bisa menjelaskan sehingga
tidak jadi masalah” (Wawancara dengan Bapak Muchtar Gozali.
Kmis 22 Oktober 2015. Pukul 09.00 WIB. Di Kantor Dinas
Pendidikan Kota Cilegon)
149
Pihak Dinas Pendidikan seperti yang disampaikan di atas
menyampaikan bahwa pemerintah Kota Cilegon sudah banyak membantu
pendidikan keagamaan yang berada di bawah naungan Kementrian Agama
berupa dana honor guru madrasah, pembebasan SPP bagi Madrasah
Aliyah Negeri, apabila nanti Dinas Pendidikan membantu lagi dan
menominalkan anggararn dalam bentuk kegitan khawatir nanti melebihi
kewenangan pemerintah daerah, dan akan dipermasalahkan dengan BPK.
Dari pendapat dan wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa
pembiayaan madrasah oleh pemerintah Kota Cilegon telah banyak digulirkan
dalam bentuk honor daerah walaupun besaranya masih kecil, sedangkan
dalam bidang sarana-prasarana belum sepenuhnya dapat dilakukan sesuai
amant perda.
b. Kementrian Agama dan Forum Komunikasi Diniyah Takmilyah
(FKDT) Kota Cilegon
Kementrian Agama sebagai lembaga pemerintah yang memiliki
otoritas dalam pendidikan kegamaan tentunya dengan adanya perda ini
akan bekerja lebih keras lagi, Kementrian Agama harus menyiapkan
Sumber Daya Manusia, pengawasan, pembiayaan (supervisi) dan berbagai
macam keperluan teknis lainya seperti ijin operasional pendirian Madrasah
Diniyah, berikut penyampaian yang disampaikan oleh I1-2 :
“Adanya kebijakan ini membuat kita harus lebih ekstra lagi,
menyiapkan sumber daya manusia, supervisi madrasah, ijin
pendirian madrasah, pembutan kurikulum, pelatihan para tenaga
150
pendidik, tapi hal itu tidak jadi masalah bagi kami, kami siap
dengan semua itu” (Wawancara dengan Bapak Abu Nashor,
Kepala Seksi Pendidikan Agama Dan Keagamaan Kementrian
Agama Kota Cilegon.Rabu 07 Oktober 2015. Pukul 14 .00 Wib. di
Kantor Kementrian Agama Kota Cilegon)
Dari apa yang disampaikan di atas pihak Pendidikan Agama dan
Keagamaan Islam (PAKIS) Kementrian Agama menyatakan bahwa
memang ada tugas yang lebih ekstra tetapi hal itu tidak menjadi masalah
bagi Kementrian Agama, karena memang pendidikan diniyah atau
Madrasah Diniyah sudah ada semenjak belum adanya Peraturan Daerah
Nomor 1 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah
Diniyah di Kota Cilegon.
Pihak Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT) Kota
Cilegon juga membenarkan pendapat yang disampaikan oleh I1-2, FKDT
tidak keberatan bahkan mendukung adanya Peraturan Daerah tersebut,
berikut penyampaian I2-2 :
“Adanya Peraturan daerah ini merupakan atas usulan kita-kita,
yang pada waktu itu Bapak H. Amin Makhtum ketuanya, kami
terus berupaya supaya perda ini digolkan didewan, dan
alhamdulilah gol, dampaknya sangat baik, karena ini akan
menjadikan madrasah hidup lagi” ( Wawancara dengan Bapak
Muizudin, M.Pd, Pengurus FKDT Kota Cilegon. Kamis 8 Oktober
2015 pukul 15.00 Wib Di MDTA Langon)
Dari wawancara dengan para narasumber di atas dari Kementrian
Agama dan pihak FKDT dapat disimpulkan bahwa Kementrian Agama
dan FKDT tidak keberatan dengan adanya perda tersebut bahkan sangat
151
mendukung jika diberlakukan di Cilegon, karena image Kota Cilegon
adalah Kota santri dan kental akan nilai-nilai keislaman, sehingga dengan
adanya perda ini akan memberikan dampak yang positif bagi masyarakat
Cilegon.
c. SMP/MTs
Kewajiban belajar Madrasah Diniyah di kota Cilegon
dipergunakan salah satunya dalam bentuk kewajiban melampirkan
syahadah diniyah ketika melanjutkan jenjang sekolah ke SMP/MTs.
Adapun dampak yang diterima oleh pihak SMP dan MTs ialah seperti
yang di sampaikan oleh I5-2 :
“Kami mendukung adanya kebijakan ini, supaya anak-anak bisa
ngaji, bisa paham agama, dan ini sangat membantu sekali,
terutama bagi guru PAI, dan juga mengenai pendidikan karakter,
sesuai dengan ikon Cilegon sebagai Kota santri, kami dari SMPN
3 Cilegon sangat setuju, dan tidak jadi masalah bagi kami kalau
nanti ketika masuk harus menggunakan syahadah diniyah”
(Wawancara dengan Bapak Drs. Dedi Rustendi, Wakil Kepala
Sekolah SMPN 3 Kota Cilegon Rabu 14 Oktober 2015. Pukul
10.00. Di SMPN 3 Kota Cilegon)
Dari paparan yang disampaikan oleh I5-2 dapat diketahui bahwa
perda ini berdampak positif bagi pihak SMP karena ini akan sangat
membantu guru PAI dalam mengajarkan bacat tulis Al-Quran, dan
pemahaman tentang masalah agama seperti fiqih, praktek ibadah, Al-
Qur’an Hadis dan lain sebagainya, selain hal tersebut juga membantu
dalam problema pendidikan karakter bagi peserta didik.
152
Hal yang senada juga disampaikan oleh I5-1 :
“ Dengan adanya perda ini saya mendukung sekali supaya anak-
anak dapat mengaji dan dapat membaca Al-Qur’an, jadi ketika di
Tsanawiyah tinggal melanjutkan saja, kalau masalah syahadah
diniyah itu sudah diterapkan disini dan semuanya berjalan dengan
baik, tidak menjadi beban atau apapun” (Wawancara dengan
Bapak Rafiuddin, M.Pd, Kepala Madrasah MTsN Pulomerak Kota
Cilegon Rabu 14 Oktober 2015. Pukul 10.00 WIB. Di Kantor
Kepala MTsN Pulomerak)
Dari paparan para narasumber di atas dapat disimpulkan bahwa
adanya perda ini merupakan hal yang positif tidak menjadi beban bahkan
mendukung karena akan membantu guru-guru PAI dan sekolah dalam
memberikan pemahaman agama dan pendidikan karakter.
d. Masyarakat
Masyarakat dalam teori kebijakan publik merupakan objek atau
sasaran kebijakan. Masyarakat secara langsung yang merasakan kebijakan
tersebut dalam bentuk dampak baik itu secara negatif maupun positif.
Adanya kebijakan peraturan daerah tentang penyelenggaraan wajib belajar
Madrasah Diniyah ini juga memberikan dampak bagi masyarakat Cilegon,
berikut pernyataan dari I6-1 “kita tidak tau apa-apa dan, menurut saya hal
itu baik jika memang diterapkan” (Wawancara dengan Ibu Ruenah, Wali
Murid Madrasah Diniyah Minggu, 25 Oktober 2015 . pukul 14.00 Wib).
I6-2 juga mengatakan demikian “tentu sangat positif, mengurangi aktivitas
153
anak-anak yang kebanyakan bermain” (Wawancara dengan Bapak
Sabililah, Wali Murid Madrasah Diniyah.Minggu, 25 Oktober 2015 Pukul
10.21 Wib)
Pendapat yang berbeda yang disampaikan oleh I6-3 mengatakan
sebagai berikut :“katanya adanya yang bilang tidak wajib syahadah
diniyah, ada juga yang bilang bisa ijazah TPA, saya bingung acaun apa
yang harus saya pakai, ini aturanya tidak jelas” (Wawancara dengan Umi
Habibah, Wali Murid Madrasah Diniiyah Senin, 26 Oktober 2015.
Pukul13.04 Wib)
Dari pendapat di atas dapat diketahui bahwa sebagian masyarakat
ada yang merespon positif, ada yang acuh tak acuh, dan ada yang bingung,
tetapi sebagian besar masyarakat mersepon positif adanya perda ini.
Ketika peneliti tanyakan apakah menambah beban bagi para orang
tua untuk mengeluarkan uang lebih banyak lagi, karena harus membayar
SPP, bayar bangunan gedung dan keperluan-keperluan lainya, I6-4
menyampaikan sebagai berikut :“ biasa aja, paling cuma bayar SPP
10.000 Rupiah” (Wawancara dengan Bapak Jahidi, Wali Murid Madrasah
Diniyah Sabtu, 24 Oktober 2015 Pukul 11.44 Wib), ada juga yang
berpendapat demikian “tidak jadi masalah demi anak sekolah”
(Wawancara dengan Umi Habibah, Wali Murid Madrasah Diniiyah Senin,
26 Oktober 2015. Pukul13.04 Wib)
154
I6-5 juga mengatakan“tidak menjadi masalah, terlebih saat ini
Sekolah Dasar Geratis ( Wawancara dengan Ibu Sukesih, Wali Murid
Madrasah Diniyah Sabtu, 24 Oktober 2015 Pukul 16.20 Wib)
Dari hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bhawa masyarakat
sebenarnya tidak keberatan dengan adanya kebijakan tersebut begitu juga
dengan dana yang harus dikeluarkan untuk bayar SPP dan bangunan
gedung madrasah.
Dalam dimensi Outcomes dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya
adanya kebijakan perda Madrasah Diniyah mempunyai dampak yang
positif hanya saja adanya kebijakan tersebut telah merugikan
LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon dikarenakan banyaknya sekolah-sekolah
TPA dibawah naungan LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon beralih menjadi
Madrasah Diniyah dan citra LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon menjadi
negatif dimata pemerintah karena dianggap telah menghalangi adanya
kebijakan wajib belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon.
4.4 Pembahasan Hasil Penelitian
Pembahasan hasil penelitian merupakan isi dari hasil analisis data dan
fakta yang peneliti dapatkan dilapangan serta disesuaikan dengan teori yang
digunakan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori evaluasi menurut
Nurcholis (2007) dalam bukunya Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi
155
Daerah dimana evaluasi kebijakan merupakan penilaian secara menyeluruh
terhadap aspek input, proses, output dan outcomes.
Selanjutnya dalam penelitian mengenai Evaluasi Peraturan Daerah Nomor
1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di
Kota Cilegon dari hasil penelitian dilapangan dapat dilihat dari asepk input,
proses, output dan outcomes dari kebijakan tersebut. Adapun pembahasan yang
dapat peneliti paparkan adalah sebagai berikut :
1. Input
Dimensi input merupakan dimensi pertama dalam evaluasi yang
dikemukakan oleh Nurcholis (2007), dimensi ini melihat pada struktur organisasi
kelembagaan, sumber daya, dan sosialisasi kebijakan.
Pada bagian pertama yaitu mengenai struktur organisasi, dalam Madrasah
Diniyah ini telah ada lembaga yang membidangi yaitu bagian Pendidikan Agama
dan Keagamaan Islam di Kementrian Agama Kota Cilegon, dan lembaga tersebut
juga memiliki lembaga teknisnya yaitu Forum Komunikasi Madrasah Diniyah
Takmiliah atau FKDT.
Sebagai lembaga bentukan Kementrian Agama yang menangani masalah
Madrasah Diniyah FKDT mempunyai tanggungjawab penuh dalam pengelolaan
madrasah dan mempunyai fungsi teknis seperti pembelajaran, kurikulum,
pembinaaan para pengajar Madrasah Diniyah dan bentuk kegiatan teknis lainya.
Untuk lebih mempermudah koordinasi FKDT terbagi dalam setiap
Kecamatan, dan saat ini telah terdapat delapan FKDT sesuai dengan jumlah
156
kecamatan yang ada di Cilegon, dengan fungsi yang begitu besar terhadap
pengelolaan Madrasah Diniyah sampai saat ini FKDT belum memilki gedung
sekretariat sendiri dan masih bergabung dengan Kementrian Agama, padahal
kepemilikan gedung merupakan hal yang penting bagi sebuah organisasi terlebih
saat ini Madrasah Diniyah telah diPerdakan.
Kesimpulanya ialah bahwa untuk struktur kelembagaan dalam
pelaksanaan kebijakan wajib belajar Madrasah Diniyah ini telah berjalan dengan
baik, akan tetapi struktur kelembagaan yang baik tersebut tidak dibarengi dengan
adanya gedung kesekretariatan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan FKDT
dalam mengelola dan membina Madrasah Diniyah.
Kedua, mengenai sumber daya. Sumber daya (resouces) memilik peran
penting dalam implementasi kebijakan. Edward III dalam Widodo (2007 :198)
mengemukakan bahwa bagaimanapun jelas dan konsistenya ketentutan-ketentuan
atau aturan-aturan tersebut, jika para pelaksana kebijakan yang bertanggung
jawab untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber daya
untuk melaksanakan kebijakan secara efektif maka implementassi kebijakan
tersebut tidak efektif. Implementasi kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya
dukungan dari sumber daya manusia yang cukup kualitas dan kuantitasnya.
Kualitas sumber daya manusia berkaitan dengan keterampilan,
dedikasi,profesionalitas, dan kompetensi dibidangnya, dan adanya kualitas yang
baik tersebut dimulai dari kualifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya atau
standar yang ditetapkan dalam proses penyeleksian. Sedangkan kuantitas
157
berkaitan dengan jumlah sumber daya manusia apakah sudah cukup untuk
melingkupi seluruh kelompok sasaran. Sumber daya manusia sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan implementasi, sebab tanpa sumber daya manusia yang
handal maka implementasi kebijakan tersebut akan berjalan dengan lambat.
Berkaitan dengan penelitian ini, sumber daya yang dimaksud ialah para
pengajar dan guru Madrasah Diniyah. Saat ini untuk kuantitas atau jumlah para
pengajar Madrasah Diniyah telah mencukupi, akan tetapi dalam masalah
kualifikasi dan penyeleksian pengajar atau tenaga pendidik belum sesuai dengan
standar yang berlaku. Kementrian Agama tidak melakukan seleksi secara khusus
bagi para pengajar Madrasah Diniyah karena dianggap sebagai pendidikan
nonformal yang tidak perlu sebuah aturan yang baku dalam masalah tenaga
pengajar yang terpenting adalah mengerti tentang agama.
Dalam analisa peneliti apa yang dilakukan oleh Kementrian Agama
tersebut dalam segi kebijakan publik kurang tepat mengingat sumber daya
manusia dalam kebijakan publik sangatlah penting seperti yang diungkapkan oleh
Edward III diatas, dalam kebijakan publik tidak memandang apakah kebijakan
tersebut berkaitan dengan masalah formal, informal ataupun nonformal seperti
pada Madrasah Diniyah, tetapi melihat pada usaha-usaha yang perlu dilakukan
untuk mewujudkan tujuan kebijakan tersebut, dan dalam kesuksesesan tujuan
kebijakan tesebut segi seumber daya manusia adalah kunci utamanya.
Kesuksesan tujuan kebijakan wajib belajar Madrasah Diniyah terletak
pada kemampuan dan profesionalitas pengajarnya, seorang pengajar tidak hanya
158
cukup paham dalam masalah agama tetapi juga harus paham dan mengerti
bagaimana caranya mengajar dan mendidik supaya tujuan dari kebijakan adanya
perda wajib belajar terwujud dengan baik, oleh karenanya pendidikan formal yang
dimiliki oleh pengajar adalah penting seperti harus lulusan S1 Pendidikan Agama
Islam.
Selain memperioritaskan pada kualifikasi pada penerimaan tenaga
pengajar, Kementrian Agama juga perlu melakukan pembinaan kepada para
pengajar Madrasah Diniyah Kota Cilegon, terlebih saat ini tenaga pengajar
Madrasah Diniyah tidak melakukan kualifikasi secara khusus. Pembinaan tersebut
berupa keterampilan dan melatih keprofesionalan para pengajar Madrasah
Diniyah supaya tujuan kebijakan tersebut benar-benar tercapai.
Pembinaan yang dilakukan oleh Kementrian Agama setahun sekali dengan
kondisi pengajar yang tidak ada kualifikasinya merupakan sebuah hal yang tidak
tepat, seharusnya Kementrian Agama rutin untuk melakukan pembinaan tersebut
terutama bagi para pengajar yang hanya lulusan pesantren. Pembinaan tersebut
seperti yang disampaikan diatas berupa pelatihan-pelatihan, keterampilan dan
keprofesionalan tenaga pengajar dalam mendidik peserta didiknya.
Sumber daya manusia yang tidak terampil dan profesional akan
menghambat daripada tujuan kebijakan wajib belajar Madarasah Diniyah di Kota
Cilegon, terlebih saat ini kondisi yang terjadi dimasyarakat sangat begitu
kompleks yang hal ini tentunya membutuhkan kualitas sumber daya manusia yang
159
handal dan dapat menjadi problem solver terhadap permasalahan yang terjadi
dimasyarakat.
Ketiga, mengenai sosialisasi, sosialisasi dalam kebijakan merupakan hal
yang penting setidaknya memiliki dua hal menurut Pasalong (2010 : 56). Pertama,
sebagai upaya memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang adanya
kebijakan tersebut, kedua, sebagai control dari masyarakat, dengan adanya
sosialisasi tersebut masyarakat pada nantinya akan menilai apakah kebijakan yang
telah disosialisasikan tersebut berjalan dengan baik atau tidak serta memberikan
dampak yang positif atau negatif kepada masyarakat.
Dalam masalah kebijakan perda wajib belajar Madrasah Diniyah di Kota
Cilegon sosialisasi telah dilakukan oleh Kementrian Agama sejak tahun 2008
kepada masyarakat Kota Cilegon, bahkan untuk melegitimasikan sosialisasi
Kementrian Agama mengeluarkan surat edaran Nomor.
Kd.28.06./5/PP.00.8/2328/2014 kepada setiap sekolah dan lembaga pendidikan
yang ada di Kota Cilegon tentang kewajiban Madrasah Diniyah.
Tetapi dalam pelaksanaanya sosialisasi ini berbenturan dengan Perwal Nomor
25 Tahun 2014, dalam perwal tersebut dijelaskan bahwa TPA disamakan dengan
MDTA yang berarti siswa TPA tidak perlu untuk belajar Madrasah Diniyah lagi.
Fenomena ini tentu membingungkan masyarakat dan juga pihak sekolah
terutama SMP dan MTs, informasi tentang kewajiban syahadah diniyah tidak lagi
menjadi isu sentral bagi masyarakat karena pihak LPPTKA/BKPRMI juga
160
mensosialisasikan tentang kebolehan kewajiban menggunakan ijazah TPA ketika
masuk SMP/MTs.
Apa yang terjadi dilapangan dengan adanya dua sosialisasi yang berbeda
akan menyebabkan kekuatan peraturan tersebut dianggap lemah oleh masyarakat,
masyarakat menganggap bahwa Kementrian Agama serta Dinas Pendidikan tidak
sanggup untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Sebagai otoritas pemerintah
yang mempunya wewenang, Kementrian Agama dan Dinas Pendidikan berhak
untuk mengekseskusi kebijakan tersebut dan juga mensosialisasikanya sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan sosialisasi telah berjalan
dengan baik tetapi mengalami hambatan ketika LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon
juga mensosialisasikan tentang kebolehan menggunakan ijazah TPA, sehingga
saat ini perhatian masyarakat terpecah dengan adanya dua sosialisasi yang
berbeda tersebut dan juga terlihat lemahnya Kementrian Agama dan Dinas
Pendidikan sebagai seksekutor sosialisasi kebijakan Wajib Belajar Madrasah
Diniyah.
2. Proses.
Dimensi proses dalam penelitian ini merupakan dimensi yang paling
penting karena dari dimensi ini permasalahan utama kebijakan tentang wajib
belajar Madrasah Diniyah, dimensi ini menggambarkan tentang pelbagai macam
permasalahan yang menyebabkan lamanya penyelenggaraan kebijakan wajib
161
belajar Madrasah Diniyah diimpelentasikan secara baik sesuai dengan amanat
perda.
Pertama mengenai pelayanan langsung kepada masyarakat, dalam
indikator pertama dapat dilihat bahwa pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan
wajib belajar madrasah ini belum memenuhi aspek kebutuhan masyarakat, dengan
jumlah peserta didik yang banyak dan sedikitnya gedung madrasah mengharuskan
Kementrian Agama untuk mendirikan pendirian ijin operasional dalam sebuah
sekolah dasar, seperti SDIT Raudhatul Jannah, SDIT Tamadun, dan beberapa
sekolah SD lainya yang berjumlah sepuluh Sekolah Dasar.
Pihak Kementrian Agama mengatakan bahwa hal tersebut harus dilakukan
karena kebutuhan yang mendesak dan juga atas permintaan pihak lembaga
tersebut untuk mendirikan Madrasah Diniyah. Pihak Dinas Pendidikan pun tidak
keberatan apabila Sekolah Dasar yang negeri dapat digunakan sebagai madrasah.
Tetapi fakta dilapangan berbeda seperti yang terjadi di SD YPWKS
Sekolah Dasar milik Krakatau Steel, dari hasil wawancara dengan Bapak Bayu
Pantagama bahwa apa yang dinamakan belajar Madrasah Diniyah tidak terjadi
dalam sekolah tersebut, para siswa tersebut tidak belajar Madrasah Diniyah tetapi
diikutkan pada ujian madrasah.
Fenomena di atas menunjukkan terlihat bahwa pelayanan yang diberikan
oleh Kementrian Agama belum memenuhi aspek publik, apa yang dilakukan
Kementrian Agama dengan mengikutkan Siswa SD YPWKS kedalam ujian
162
Madrasah tetapi tidak pernah mengikuti pembelajaran Madrasah Diniyah
merupakan sebuah kesalahan yang menyalahi prosedur Perda Diniyah.
Kedua, pemerataan kebijakan, pemerataan kebijakan ini dapat dilihat dari
belum meratanya Madrasah Diniyah keseluruh Kota Cilegon, Madrasah Diniyah
hanya berkembang pada masyarakat tradisional tetapi pada masyarakat yang
hidupnya di komplek perumahan, Madrasah Diniyah belum berkembang, seperti
yang terjadi di komplek perumahan Warnasari Citangkil, dengan penyebaran yang
belum merata ini pihak Kementrian Agama seperti diawal dijelaskan bekerjasama
dengan Dinas Pendidikan untuk mendirikan ijin operasional Madrasah Diniyah di
Sekolah Dasar terdekat.
Pemerataan kebijakan juga dapat dilihat dari sudah berlaku atau tidaknya
kewajiban melampirkan Syahadah Diniyah di Kota Cilegon, dari hasil wawancara
dengan para narasumber dapat diketahui bahwa hanya lembaga pendidikan yang
berada dinaungan Kementrian Agama terutama yang negeri seperti MTsN
Pulomerak, MTsN Cilegon, dan MTsN Ciwandan yang melaksanakan kewajiban
melampirkan syahadah diniyah sebagai persaratan masuk ketika pendaftaran
siswa baru, sedangkan untuk lembaga pendidikan yang berada dibawah Dinas
Pendidikan belum sama sekali melakukan kewajiban Syahadah Diniyah tersebut.
Dinas Pendidikan berpendapat bahwa mulai berlaku wajib belajar
Madrasah Diniyah dimulai dengan adanya Surat Edaran Kementrian Agama Kota
Cilegon Nomor. Kd.28.06./5/PP.00.8/2328/2014 Tentang Pemberlakuan wajib
Belajar Madrasah Diniyah Awaliyah di Kota Cilegon, sedangkan untuk kewajiban
163
melampirkan syahadah diniyah nanti ketika setelah empat tahun yaitu ketika
peserta didik tersebut lulus dengan demikian pada tahun 2018.
Alasan utama diberlakukanya nanti pada tahun 2018 dikarenakan saat ini
tidak semua siswa Sekolah Dasar belajar pada Madrasah Diniyah, yang apabila
diberlakukan sekarang maka akan banyak jumlah siswa Sekolah Dasar yang tidak
mempunyai ijazah, Dinas Pendidikan mengkhawatirkan apabila dipaksakan akan
jual beli ijazah atau ramai-ramai akan membuat surat keterangan sedang belajar
Madrasah Diniyah.
Pemberlakuan kewajiban syahadah diniyah sebagai persaratan masuk SMP
oleh Dinas Pendidikan dengan beralasan bahwa apabila dipaksakan akan banyak
siswa SD yang tidak belajar ke Madrasah Diniyah tetapi kemudian meminta surat
keterangan belajar Madrasah Diniyah dan akan menimbulkan masalah baru,
dalam hemat peneliti apa yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan tersebut kurang
tepat, mengingat dalam perda pada BAB X Ketentuan Peralihan Pasal 20
dijelaskan bahwa apabila siswa tersebut tidak memiliki syahadah diniyah tetap
diperbolehkan dan diterima dengan syarat siswa tersebut wajib mengikuti belajar
Madrasah Dinyah yang dilaksanakan secara khusus selama satu tahun dan pihak
Sekolah SMP tetap melakukan pengawasan seperti pada pada Madrasah
Tsanawiyah kepada siswanya yang belum memiliki syahadah untuk belajar di
Madrasah Diniyah, dan ketika kelas tiga syahadah diniyah tersebut diminta
sebagai persyaratan Ujian Nasional (UN) atau untuk pengambilan ijazah.
164
Asumsi yang digunakan oleh Dinas Pendidikan bahwa pemberlakukan
wajib belajar Madrasah baru dimulai pada Tahun 2014 dan kemudian kewajiban
melampirkan atau menyerahkan syahadah sebagai persaratan pendaftaran SMP
diberlalukan pada tahun 2018 merupakan sebuah kekeliruan yang besar, yaitu:
a. Keberadaan Madrasah Diniyah di Kota Cilegon sudah ada bahkan sebelum
kemerdekaan Negara Indonesia hal ini dapat dilihat pada usia Madrasah
Diniyah yang sangat tua seperti di MDTA langon yang menurut pengurusnya
sudah ada semenjak tahun 1928, begitu pula untuk di daerah lain seperti di
Cibeber, Citangkil, dan Karang tengah, yang basicnya banyak pesantren dan
kegiatan pembelajaran di Madrasah Diniyah sudah berjalan semenjak
sebelum kemerdekaan.
Apa yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan dengan menyatakan bahwa
mulai belajar Madrasah Diniyah pada tahun 2014 pada sisi lain telah
menghilangkan nilai historis Madrasah Diniyah di Kota Cilegon, Dinas
pendidikan telah menganggap keberadaaan Madrasah Diniyah di Kota
Cilegon dimulai ada pada tahun 2014 padahal Madrasah Diniyah sudah ada
semenjak sebelum adanya Kemeerdekaan Negara Indonesia.
Adanya kebijakan atau dimunculkan kebijakan wajib belajar Madrasah
Diniyah di Kota Cilegon bukanlah ditujukan untuk memulai baru adanya
Madrasah Diniyah di Kota Cilegon, tetapi untuk menghidupkan kembali
Madrasah Diniyah yang kini mulai redup dan hilang dari Masyarakat Kota
Cilegon, Madrasah Diniyah sekarang sudah tidak lagi diminati oleh
masyarakat, dan lebih memilih kepada sekolah-sekolah umum dan kursus-
165
kursus tertentu. Jadi harapanya dengan adanya kebijakan ini Madrasah
Diniyah hidup kembali dan banyak masyarakat Kota Cilegon yang kembali
menyekolahkan anaknya ke Madrasah Diniyah.
b. Dalam segi kebijakan publik, hal tersebut telah melanggar peraturan
perundang-undangan yang mana dalam impelementasi sebuah perda harus
dilaksanakan maksimal empat tahun setelah diundangkan, kebijakan tentang
wajib belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon diterbitkan pada tahun 2008
yang seharusnya sudah dilaksanakan pada tahun 2012 seiring dengan
munculnya Perwal Nomor 44 Tahun 2011. Proses perubahan dan perumusan
perwal yang terjadi selama dua kali pada jangka tahun yang lama selama
kurang lebih tiga tahun dan polemik ketidaksepahaman antara
LPTTKA/BKPRMI dengan Kementrian Agama juga merupakan bentuk dari
ketidakefktifan dan ketidak efisienya kebijakan tersebut dan tentu saja banyak
menghabiskan banyak waktu dan energi yang berimbas pada kemandegan
implementasi kebijakan wajib belajar Madrasah Diniyah
c. Keterlambatan pelaksanaan kebijakan wajib belajar Madrasah Diniyah di
Kota Cilegon akan menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat Kota Cilegon
dengan kebijakan tersebut, padahal sosialisasi telah diterima oleh Masyarakat
semenjak pada tahun 2008. Dalam aspek Kebijakan publik, masyarakat
merupakan sasaran dalam kebijakan, apabila kepercayaan masyarakatnya
hilang maka Kebijakan tersebut akan menjadi mandul dan tidak lagi menjadi
prioritas untuk dilaksanakan oleh masyarakat.
166
Berdasarkan pemaparan di atas dapat diketahui bahwa pemerataan
penerapan Madrasah Diniyah belum berjalan dengan baik, bahkan Dinas
Pendidikan ingin menerapkan kebijakan tersebut pada tahun 2018, yang secara
aturan kebijakan ini sudah kadaluarsa karena terlalu lama dan butuh sepuluh tahun
untuk diimplementasikan padahal dalam aturan, sebuah perda harus dilaksanakan
maksimal empat tahun setelah undangkan, dan hal ini menyebabakan tiga efek
yang harus diterima seperti yang telah dipaparkan diatas yaitu, terabaikanya nilai
historis Madrasah Diniyah Kota Cilegon, menyalahi peraturan dan perundang-
undangan, dan yang terahir kepercayaan masyarakat (publik) menurun.
Ketiga, hambatan, indikator ini merupakan indikator yang utama dalam
dimensi proses, karena indikator inilah yang menghabiskan banyak tenaga dan
waktu dalam penelitian ini. Pada indikator ini dapat menjelasakan apa yang
menjadi halangan utama pelaksanaan wajib belajar Madrasah Diniyah di Kota
Cilegon.
Pihak Kementrian Agama dan Forum Komunikasi Madrasah Diniyah
mengatakan bahwa hambatan utama dalam pelaksanaan perda ini ialah dari pihak
LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon. menurutnya pihak LPPTKA/BKPRMI
menginginkan lembaga TPA disamakan dengan Madrasah Diniyah, dan pihak
Kementrian Agama pun menolak atas persamaan tersebut, karena TPA adalah
lembaga pra Madrasah Diniyah yang kedudukanya disamakan dengan TPQ.
Pihak LPPTKA/BKPRMI pun menolak jika TPA dijadikan pra Madrasah
Diniyah karena usia peserta didik sama antara TPA dan MDTA atau Madrasah
167
Diniyah yaitu dalam rentang 7-12 tahun. Pihak LPPTKA/BKPRMI juga
berargumen bahwa TPA sebagai pra Madrasah Diniyah itu telah bertentangan
dengan peraturan di atasnya yaitu PP No. 55 tahun 2007 Tentang Pendidikan
Agama dan Keagamaan dan Peraturan Menteri Agama Nomor Tahun 2014
Tentang Pendidikan Keagamaan Islam, dalam kedua peraturan tersebut tidak
menjelasakan bahwa TPA dibawah Madrasah Diniyah.
Ketidaksepakatan tersebut akhirnya mempunyai titik temu pada
pembahasan Raperwal pada hari senin tanggal 18 Oktober tahun 2010, di Kantor
Kementrian Agama Kota Cilegon yang akan diajukan kepada Biro Hukum Setda
Pemerintah Kota Cilegon untuk ditetapkan sebagai Peraturan Walikota Cilegon
sebagai bentuk pelaksanaan teknis Perda No. 1 Tahun 2008.
Dalam pembahasan akhir draft tersebut dihadiri oleh Kepala Kantor
Kementrian Agama Kota Cilegon, Drs. H. Mahmudi, M.Si, Kepala Bidang
Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Kota Cilegon, Drs. H. Romli Rohani,
M.Pd, Kepala Seksi Pekapontren dan Penmas Kementrian Agama Kota Cilegon,
Dra. Hj. Titim Fatimah, MM, Direktur Daerah LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon,
Bayu Panatagam, S.Pd, Sekretaris Daerah LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon, M.
Rohman, Ketua KKMD Kota Cilegon, Tb. Mastur, S.Pd, Sekretaris KKMD Kota
Cilegon, Ahmad Yani, S.Pd.I, Wakil Sekertaris FOKMADA Kota Cilegon,
Sekretaris POKJAWAS Kementrian Agama Kota Cilegon.
Dalam perumusan tersebut disepakatilah bahwa pendidikan diniyah
bersifat umum dan terbuka dengan perserta usia didik antara 7-12 tahun (pasal 6
168
ayat 1 dan 2) dan membolehkan satuan pendidikan yang telah memuat kurikulum
pendidikan diniyah sebagai penyelenggara pendidikan diniyah (pasal 13 ayat 1
dan 2), tetapi pada tanggal 16 April 2011 rumusan tersebut tersebut dirubah atau
direvisi oleh Forum Komunikasi Madrasah Diniyah Kota Cilegon, yaitu pada
pasal 6 ditambahkan dengan 1 pasal yang mengkalsifikasikan jenjang peserta
didik dengan usia didik 6-7 tahun sebagai usia TPA paket A atau TPQ paket A,
usia 7-8 tahun untuk TPA paket B atau TPQ paket B, dan MDTA kelas 1-4 pada
usia 8-12 tahun, sedangkan pada pasal 13 dihapus karena tidak sesuai dengan
Perda Madrasah Diniyah.
Setelah revisi Raperwal tersebut, maka terbentuklah sebuah Peraturan
Walikota Nomor 44 Tahun 2011 yang isinya sesuai dengan yang diajukan oleh
Forum Komunikasi Madrasah Diniyah (FOKMADA) Kota Cilegon, setelah
adanya perwal tersebut lalu keluar Surat Edaran Kementrian Agama Kota Cilegon
Nomor. Kd.28.06./5/PP.00.8/2328/2014 Tentang Pemberlakuan wajib Belajar
Madrasah Diniyah Awaliyah di Kota Cilegon. dalam Surat Edaran tersebut
dinyatakan bahwa untuk masuk SMP/MTs wajib menyerahkan syahadah Diniyah.
Ketentuan tersebut mendapatkan pertentangan dari LPPTKA/BKPRMI
Kota Cilegon, pihak LPTTKA/BKPRMI mengatakan bahwa ketentuan dalam
Perwal Nomor 44 Tahun 2011 dan Surat Edaran Kementrian Agama tersebut telah
menyalahi kesepakatan yang telah dibuat bersama-sama dengan Dinas
Pendidikan, Kementrian Agama, LPPTKA/BKPRMI, KKMD dan FOKMADA
Kota Cilegon.
169
Sebagai pihak yang merasa dirugikan LPPTKA/BKPRMI mendatangi
Kantor Walikota Cilegon untuk dilakukan perubahan Perwal Nomor 44 Tahun
2011, seteleh LPPTKA/BKPRMI menunjukkan fakta-fakta dilapangan dan
menerangkan sebenarnya apa yang telah terjadi akhirnya perubahan Perwal
tersebut dilakukan dan kemudian terbit Perwal 25 Tahun 2014 yang merupakan
revisi perwal dari Perwal Nomor 44 Tahun 2011. Revisi perwal tersebut
mengembalikan pasal 6 dan 13 sesuai dengan kesepakatan bersama antara
Kementrian Agama, KKMD dan LPPTKA/BKPRMI pada bulan Oktober tahun
2010 yang lalu.
Pihak Kementrian Agama menjelaskan bahwa sampai saat ini tetap
mengacu kepada Peraturan Walikota yang pertama yaitu Perwal Nomor 44 Tahun
2011, walaupun dengan adanya perubahan perwal tersebut tidak akan menjadikan
adanya standar ganda yang berlaku yaitu ijazah TPA dan Syahadah Diniyah
terhadap masyarakat Cilegon.
Pihak Kementrian Agama mengatakan jika TPA ingin disamakan dengan
Madrasah Diniyah maka TPA harus menyelenggarakan Pendidikan Diniyah di
TPA tersebut dengan cara meminta ijin operasional kepada Kementrian Agama
dan juga mempunyai kurikulum yang sama dengan Madrasah Diniyah seperti
pada Sekolah Dasar Islam Terpadau (SDIT).
Pihak TPA atau LPPTKA/BKPRMI pun menyatakan bahwa lembaganya
sudah berulang kali mengajukan permohonan ijin operasional kepada Kementrian
Agama, tetapi sampai sekarang pihak Kementrian Agama Kota Cilegon belum
170
mengeluarkan ijin operasional tersebut dengan alasan bahwa pengajuan ijin
operasional tersebut bersifat kolektif yang dikumpulkan dari semua TPA kepada
LPPTKA/BKPRMI, dan kemudian LPPTKA/BKPRMI yang mengajukan secara
kepada Kementrian Agama. Pihak Kementrian Agama Kota Cilegon
menginginkan pengajuan tersebut perlembaga TPA, karena hal ini akan
mempermudah untuk melakukan peninjaun dan supervisi lapangan
Sebenarnya permasalahan tersebut dikarenakan adanya beda penafsiran
antara LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon dengan Kementrian Agama Kota Cilegon
dalam menerjemahkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Keagamaan dan Peraturan Menteri Agama Nomor 13
Tahuun 2014 Tentang Pendidikan Keagamaan Islam.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007, pasal 21 dijelaskan
sebagai berikut “Pendidikan Diniyah Nonformal diselenggarakan dalam bentuk
Pengajian Kitab, Majelis Taklim, Pendidikan Al-Qur’an. Diniyah Takmiliyah,
atau bentuk lain yang sejenis”. Dan dalam Peraturan Menteri Agama Nomor : 13
Tahun 2014. Tentang Pendidikan Keagamaan Islam, pasal 45 Ayat (1) juga
menjelaskan bahwa Pendidikan Diniyah nonformal diselenggarakan dalam
bentuk :
a. Madrasah Diniyah Takmiliyah
b. Pendidikan Al-Qur’an
c. Majelis Taklim, atau
d. Pendidikan Keagamaan Islam lainya
171
Dan pada BAB I Ketentuan Umum dalam PP No. 55 tahun 2007 serta
PMA No. 13 Tahun 2014 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pendidikan
Diniyah adalah pendidikan keagamaan Islam yang sejalur dan bertingkat, ini
dapat dipahami bahwa pendidikan diniyah itu merupakan pendidikan agama yang
mempunyai berbagai macam cabang salah satunya adalah Madrasah Diniyah dan
TPA.
Atas dasar inilah pihak LPPTKA/BKPRMI berargumen bahwa TPA setara
dan sama dengan Madrasah Diniyah, tetapi jika dilihat lebih dalam penyebutan
bahwa Pendidikan Diniyah adalah : Madrasah Diniyah, Pendidikan Al-Qur’an,
dan Majlis Taklim, pada dasarnya bukan menunjukkan persamaan dan kesetaraan
bahwa ketiga bentuk pendidikan tersebut adalah sama dan setara, majelis taklim
berbeda dengan TPA dan MDTA, dan begitu juga MDTA berbeda dengan TPA
dan Majlis Takilm. Oleh karenanya menurut hemat peneliti adalah benar apabila
TPA tidak bisa disamakan dengan Madrasah Diniyah Takmiliyah dan juga benar
bahwa TPA bukan pula pra-Madrasah Diniyah seperti yang dimaksud Kementrian
Agama Kota Cilegon, karena kedua-keduanya mempunyai jenjang umur yang
sama tetapi dengan kurikulum yang berbeda, hal ini dapat dilihat pada pasal 46,
47,48,49 dan 50 PMA No. 13 Tahun 2014, tentang perbedaan TPA dengan
Madrasah Diniyah dan buku Standarisasi Nasional Mutu Pendidikan Al-Qur’an
terbitan Kementrian Agama Tahun 2012
Penyamaan TPA dengan Madrasah Diniyah atau menjadikan TPA sebagai
pra-Madrasah Diniyah merupakan upaya pemaksaan kehendak yang tidak dalam
172
aturannya baik dalam Perda No. 1 Tahun 2008, PP.55 tahun 2007 maupun PMA
No.13 Tahun 2014.
Selain permasalahan di atas, terdapat juga permasalahan yang sangat
krusial karena hal ini penyebab utama penfsiran yang berbeda antara Kementrian
Agama Kota Cilegon dengan LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon yaitu dalam
masalah Perwal, dalam Perwal tersebut baik Perwal yang Pertama Nomor 44
Tahun 2011 ataupun Perwal yang kedua Nomor 25 tahun 2014 bukan tentang
Madrasah Diniyah tetapi tentang Pendidikan Diniyah.
PP No. 55 Tahun 2007 dan PMA No.13 Tahun 2014 dalam BAB I
Ketentuan Umum menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pendidikan Diniyah
adalah pendidikan keagamaan Islam yang sejalur dan bertingkat, lebih lanjut
diterangkan dalam PMA Nomor 13 Tahun 2014, BAB III pasal 20 tentang
pendidikan diniyah yaitu bahwa pendidikan diniyah terbagi menjadi :
a. Pendidikan diniyah formal
b. Pendidkan diniyah nonformal
c. Pendidikan diniyah informal
Dan pada pasal 21 PP No. 55 Tahun 2007 dan pasal 45 Ayat (1) Peraturan PMA
No. 13 Tahun 2014, dijelaskan sebagai berikut “Pendidikan Diniyah Nonformal
diselenggarakan dalam bentuk Pengajian Kitab, Majelis Taklim, Pendidikan Al-
Qur’an, Diniyah Takmiliyah, atau bentuk lain yang sejenis”
Sedangkan Madrasah Diniyah Dalam PMA No.13 Tahun 2014 di BAB 1
Ketentuan Umum, Madrasah Diniyah didefiniskan sebagai berikut “ Diniyah
173
Takmiliyah yang selanjutnya disebut Madrasah Diniyah Takmiliyah adalah
lembaga pendidikan keagamaan Islam pada jalur pendidikan nonformal yang
diselenggarakan secara terstruktur dan berjenjang sebagai pelengkap pelaksanaan
pendidikan agama islam pada jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi”
Melihat definisi di atas sungguh sangat jelas perbedaan antara Madrasah
Diniyah dengan Pendidikan Diniyah, Pendidkan Diniyah ialah pendidikan
keagamaan Islam yang mencakup seluruh pendidkan Islam baik yang formal,
informal maupun nonformal, sedangkan Madrasah Diniyah merupakan salah satu
bagian dari pendidikan diniyah yaitu pendidikan diniyah nonformal yang
diselenggarakan secara terstruktur dan berjenjang sebagai pelengkap pelaksanaan
pendidikan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi.
Apabila kedua perwal tersebut baik yang pertama No. 44 Tahun 2014,
maupun yang terbaru No. 25 Tahun 2011 dijadikan sebagai acuan teknis dalam
implementasi Perda No. 1 Tahun 2008, maka, argumen yang dilakukan pihak
LPPTKA/BKPRMI untuk memasukan TPA dalam perwal tersebut adalah benar
karena TPA bagian dari pendidikan diniyah yaitu pendidikan diniyah nonformal
seperti yang dimaksud dalam PMA Nomor 13 Tahun 2014 BAB III pasal 20,
tetapi pada sisi lain secara hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia
perwal tersebut telah bertentangan atau menyalahi peraturan di atasnya yaitu
Perda No. 1 Tahun 2008, karena perda tersebut tentang kewajiban belajar
Madrasah Diniyah bukan kewajiban pendidikan diniyah, seharusnya bunyi perwal
tersebut ialah mengikuti sesuai dengan bunyi perda.
174
Atas dasar inilah kiranya perlu diadakan peninjauan kembali (PK) dan
melakukan revisi terhadap Perwal No. 44 Tahun 2011 dan Perwal No. 25 Tahun
2014, karena klausul perwal tersebut telah menyalahi Peraturan Daerah Nomor 1
Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah dengan
catatan tetap mengikut sertakan TPA dalam pasal-pasalnya sesuai dengan amanat
pasal 13 point (c) Perda Madrasah Diniyah.
Bagi penyelenggara TPA, tidak perlu merasa khawatir dengan adanya
perubahan perwal tersebut karena sesungguhnya perda telah memberikan jalan
keluar bagi TPA yaitu pada pasal 13 point (c) Perda Madrasah Diniyah yang
berbunyi “bagi penyelenggara TPA Paket B atau TQA wajib menyesuaikan masa
lamanya belajar dan kurikulum Diniyah Awaliyah”.
Dari pasal tersebut sangat jelas solusi yang diberikan bagi penyelenggara
TPA khususnya TPA Paket B apabila ingin disamakan dengan Madrasah Diniyah
harus mempunyai kurikulum dan waktu belajar yang sama dengan Madrasah
Diniyah, dengan ketentuan hal tersebut harus memperoleh ijin opersional dari
Kementrian Agama Kota Cilegon, hanya saja nanti dalam point-point perwal
tersebut harus menjelaskan tetang aturan main (rule of game) TPA paket B supaya
tidak bertentangan dari pasal 13 point (c) di atas.
c. Output
Dimensi output merupakan dimensi tentang hasil kebijakan yang dapat diamati
dari indikator sebagai berikut :
175
a. Ketepatan
Adanya Kebijakan ini sangat tepat untuk diberlakukan di Kota Cilegon,
mengingat Kota Cilegon merupakan kota yang kental dengan nilai-nilai
keislaman. Ditengah arus globalisai saat ini budaya keislaman tersebut telah
hampir terkikis dan hilang, Madrasah Diniyah tidak ada yang meminati dan sepi
peserta didik, melihat fenomena ini para guru Madrasah Diniyah yang tergabung
dalam Forum Komunikasi Madrasah Diniyah (Fokmada) mengusulkan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Cilegon untuk membuat perda tentang
wajib belajar Madrasah Diniyah.
Akan tetapi perda ini telah mengabaikan salah satu lembaga pendidikan
Islam yaitu TPA yang berada dibawah naungan LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon.
padahal TPA tersebut sudah lama berkembang dan eksis di Kota Cilegon dengan
adanya kewajiban belajar Madrasah Diniyah tersebut TPA akan dirugikan, karena
sedikit yang meminati
b. Sasaran yang tertangani
Kebijakan perda tentang wajib belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon
ditujukan kepada peserta didik dengan usia 7-12 tahun, dalam artian sasaran
kebijakan ini adalah siswa Sekolah Dasar.
Fakta dilapangan saat ini masih banyak siswa Sekolah Dasar yang belum
belajar di Madrasah Diniyah, hal ini disebabkan tidak berimbangnya jumlah
Sekolah Dasar dengan Madrasah Diniyah, bahkan ada beberapa tempat di Kota
Cilegon yang belum ada Madrasah Diniyahnya.
176
Solusi yang diajukan oleh Kementrian Agama ialah bekerja sama dengan
Dinas Pendidikan dan lembaga-lembaga atau yayasan pendidikan untuk
mendirikan Madrasah Diniyah ditempat tersebut, kendati demikian hal tersebut
juga belum memenuhi aspek publik dan belum mampu menampung sasaran
peserta didik Madrasah Diniyah yang ada di Kota Cilegon
Adanya kebijakan ini juga pada sisi yang lain telah merugikan salah satu
lembaga pendidikan yaitu Taman Pendidikan Al-Qur’an atau TPA. Sasaran murid
TPA juga sama yaitu peserta didik dengan usia 7-12 tahun, dengan adanya
kebijakan ini maka akan banyak peserta didik TPA yang beralih ke Madrasah
Diniyah dan apabila diwajibkan untuk menggunakan syahadah diniyah ketika
memasuki jenjang yang lebih tinggi maka secara otomatis keberdaan TPA akan
ditinggalkan dan kemungkinan tidak diakui oleh masyarakat.
Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa sasaran kebijakan Madrasah
Diniyah belum semuanya optimal dan telah merugikan salah satu pendidikan
keagamaan Islam yaitu TPA yang sasaranya sama-sama peserta didik dengan usia
7-12 tahun.
d. Outcomes
Adanya kebijakan perda diniyah memberikan dua dampak yaitu positif
dan negatif. Dampak positifnya yaitu keberadaan Madrasah semakin berkembang
di masyarakat dan terjadi peningkatan setiap tahunya, peningkatan ini karena
kebutuhan madrasah yang begitu besar dari masyarakat Kota Cilegon.
177
Grafik 4. 1
Perkembangan Jumlah Madrasah Diniyah
Dari data di atas terlihat terdapat penambahan jumlah Madrasah per tiap
tahunya dengan penambahan per tahun tiga madrasah. Penambahan jumlah
Madrasah Diniyah ini menunjukkan bahwa Madrasah Diniyah semakin
berkembang dan maju pesat, dan juga menunjukkan apresiasi masyarakat yang
begitu tinggi terhadap Madrasah Diniyah
Selain itu pula masyarakat merespon positif dengan adanya kebijakan
perda tersebut, berdasarakan hasil wawancara dengan masyarakat dapat diketahui
bahwa masyarakat tidak mempermasalahkan adanya kebijakan tersebut, begitu
juga dengan pemerintah Kota Cilegon, pemerintah Kota Cilegon sangat
mendukung pemberlakuan wajib belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon, dan
sebagai bentuk dukungan pemerintah Kota Cilegon memberikan honor bagi para
pengajar/ustad Madrasah Diniyah.
Adapun dampak lain yang ditimbulkan oleh adanya kebijakan ini ialah,
banyaknya sekolah-sekolah TPA yang di bawa asuhan LPPTKA/BKPRMI Kota
Cilegon yang beralih menjadi Madrasah Diniyah, peralihan menjadi Madrasah
135 138
141 142
130
132
134
136
138
140
142
144
2011 2012 2013 2014
Jumah MadrasahDiniyah Takmiliyah
(Sumber : BPS, 2014)
178
Diniyah ini sangat merugikan lembaga LPPTKA/BKPRMI, selain itu pula
dampak yang diterima oleh LPPTKA/BKPRMI dengan adanya kebijakan ini ialah
LPPTKA/BKPRMI mempunyai image yang buruk di masyarakat Kota Cilegon
dan Kementrian Agama sebagai lembaga yang mempunyai tugas dalam
pendidikan keagamaan, image ini dikarenakan LPPTKA/BKPRMI dianggap
sebagai penghalang perda diniyah.
179
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan analisis teori dari
Nurcholis yang berupa input, proses, output,dan outcomes peneliti menyimpulkan
bahwa Evaluasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan
Wajib Belajar Madrasah Diniyah belum berjalan dengan optimal. Hal tersebut
dikarenakan banyaknya permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan
kebijakan yang hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa factor :
Pertama, Input, yaitu Sumber Daya Manusia para pengajar/ustad
Madrasah Diniyah belum memenuhi standar klasifikasi yang ditentukan oleh
perda, pembinaan yang belum optimal, sarana dan prasarana Madrasah Diniyah
yang masih minim, dan terdapatnya sosialisasi yang berbeda yang dilakukan oleh
Kementrian Agama dengan LPPTKA/BKPRMI.
Kedua, Proses, yaitu pada pelayanan langsung kepada masyarakat dan
pemerataan kebijakan yang belum optimal dan memenuhi aspek publik,
terdapatnya penafsiran, dan pola pikir yang berbeda antara Kementrian Agama
Kota Cilegon dan LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon.
Ketiga, Outputs, yaitu pada ketepatan dan sasaran kebijakan yang belum
sepenuhnya dapat mewadahi peserta didik dan jumlah gedung yang belum
179
180
memadai serta telah merugikan lembaga pendidikan TPA dibawah naungan
LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon.
Keempat, Outcomes. Yaitu adanya kebijakan perda Madrasah Diniyah
mempunyai dampak yang positif hanya saja adanya kebijakan tersebut telah
merugikan LPPTKA/BKPRMI Kota Cilegon dan citra LPPTKA/BKPRMI Kota
Cilegon menjadi negatif dimata pemerintah karena dianggap telah menghalangi
adanya kebijakan Wajib Belajar Madrasah Diniyah di Kota Cilegon.
5. 2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti maka saran
yang peneliti ajukan dalam bentuk rekomendasi dan masukan adalah sebagai
berikut :
1. Kepada Kementrian Agama perlu mengadakan seleksi dan kualifikasi bagi
para pengajar Madrasah Diniyah, memperbanyak pelatihan bagi para
pengajar Madrasah Diniyah, bentuk pola rekrutmen sesuai dengan
satandar yang telah ditentukan, dan memperbanyak sarana dan prasarana
pembangunan gedung madrasah.
2. Kepada Kementrian Agama dan Dinas Pendidikan untuk terus
meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat dengan memberikan satu
pemahaman yang jelas terkait dengan legalitas yang digunakan dalam
masalah ijazah TPA dan Syahadah Diniyah dan mempercepat
pengimplemtasian kebijakan menggunakan Syahadah Diniyah sebagai
persaratan pendftaran SMP/MTs, karena apabila terlalu lama dan masih
181
terdapat tarik ulur maka kepercayaan publik akan hilang, dan tujuan
kebijakan tersebut tidak berhasil.
3. Bagi penyelenggara TPA, tidak perlu merasa khawatir dengan adanya
kebijakan Perda tersebut karena sesungguhnya perda telah memberikan
jalan keluar bagi TPA yaitu pada pasal 13 point (c). Pasal tersebut telah
memberikan solusi bagi penyelenggara TPA khususnya TPA Paket B
apabila ingin disamakan dengan Madrasah Diniyah harus mempunyai
kurikulum dan waktu belajar yang sama dengan Madrasah Diniyah,
dengan ketentuan hal tersebut harus memperoleh ijin opersional dari
Kementrian Agama Kota Cilegon.
4. Meninjau kembali dan perlu melakukan revisi terhadap kedua Perwal baik
Perwal Nomor 44 Tahun 2011, dan Perwal Nomor 25 Tahun 2014, karena
kedua perwal tersebut telah menyalahi Perda Nomor 1 Tahun 2008
Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar Madrasah Diniyah.
xiv
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Agustino, Leo. 2006a.Dasar-Dasar Kebijakan Publik:Bandung:AIPI Bandung-
Puslit KP2W Lemlit Unpad
2006b. Politik dan Kebijakan Publik. Bandung:AIPI Bandung-
Puslit KP2W Lemlit Unpad
Dunn, William, 2003. Pengantar Anaslisis Kebijakan Publik (Edisi Terjemahan)
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
El Widdah, Minnah, dkk, 2012. Kepemimpinan Berbasis Nilai Dan
Pengembangan Mutu Madrasah. Bandung : Alfabeta
Irawan, Prasetyo.2005. Materi Pokok Metodologi Penelitian Administrasi.
Jakarta: Universitas Terbuka
Jahari, Jaja, dkk. 2013, Manajemen Madrasah Teori, Strategi, dan
Implementasi.Bandung : Alfabeta
Lembaga Administrasi Negara, 2004. Sistem Adminstrasi Negara kesatuan
Republik Indonesia, Edisi revisi, Buku III. Landasan dan Pedoman Pokok
Penyelenggraan dan Pengembangan Sistem Administrasi Negara. Jakarta:
CV Raga Meulaba
Moleong. L. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Nugroho, Riant. 2003. Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi.
Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Nurcholis, Hanif.2007.Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah.
Jakarta: Grasindo
Pasalong, Harbani.2010.Teori Administrasi Publik.Bandung:Alfabeta
Parsons, Wayne.2006. Public Policy:Pengantar Teori dan Praktik Analisis
Kebijakan.Jakarta:Kencana Prenada Media Group
Subarsono, AG. 2012. Analisis Kebijakan Publik. Konsep, Teori, dan Aplikasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
xv
Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Administrasi. Bandung, Alfabeta
. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif, R &D. Bandung.
Alfabeta
Suharto, Edi. 2007. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Public. Bandung:
Alfabeta
Thoha, Miftah. 2002. Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Widodo. Joko 2007. Analisis Kebijakan Publik : Konsep dan Aplikasi Proses
Kebijakan Publik. Malang : Bayumedia
Winarno, Budi.2007. Kebijakan Publik; Teori dan Proses. Jakarta:Media Presindo
Widya Wicaksono, Kristian. 2006. Administrasi dan Birokrasi Pemerintah.
Yogyakarta : Graha ILMU
Wibawa, Samodra, dkk, 1994, Evaluasi Kebijakan Publik, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Yashin, Sulcahn. 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (KBI-Besar) serta
Ejaan Yang Disempurnakan Dan Kosa Kata Baru. Surabaya: Amanah
.
Dokumen :
Uundang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Tentang Pendidikan dan Kebudayaan
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
Daerah.
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan
Keagamaan
Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Pendidikan Keagamaan
Islam
xvi
Peraturan Daerah Kota Cilegon No. 1 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaran Wajib
Belajar Madrasah Diniyah Di Kota Cilegon
Peraturan Walikota Cilegon No. 44 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaran Wajib
Belajar Madrasah Diniyah Di Kota Cilegon
Peraturan Walikota Cilegon No. 25 Tahun 2014 Tentang Perubahan Peraturan
Walikota Nomor 44 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Wajib Belajar
Pendidikan Diniyah di Kota Cilegon
Surat Edaran Kementrian Agama No. Kd.28.06/5/PP.00.8/2328/2014 Tahun 2014
Tentang Wajib Pemberlakuan Wajib Belajar Madrasah Diniyah Awaliyah
Pedoman Operasioanl Madrasah Diniyah. 2013
Standarisasi Nasional Mutu Pendidikan Al-Qur’an Kementrian Agama 2012
Sumber lain :
Fadullah. 2012. Doktrin dan Gerakan Pesantren di Cilegon Banten.Sebuah jurnal
ADDIN. STAIN Kudus Jateng
Ciyarti.2009. Peran Madrasah diniyah Nurul Anam Dalam Pengembangan
Pendidikan Islam di Desa Kranji Kecamatan Kedungwuni Pekalongan.
IAIN Walisongo Semarang
Saikhul Aris. 2014. Implementasi Amaliyah Diniyah Dalam Mewujudkan Budaya
Sekolah Islami di SD Islam Sultan Agung 4 Semarang. IAIN Walisongo
Miftahudin. 2009. Evaluasi Kebijakan Peraturan Walikota Semarang Nomor 6
Tahun 2008 Tentang Sistem dan Tata Cara Penerimaan Peserta Didik di
Kota Semarang (Kasus Penerimaan Peserta Didik Melalui Seleksi Khusus
SMP Negeri 10 Kota Semarang). Universitas Diponegoro Seamarang
Mariah. 2013. Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Tanggerang Nomor 10
Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Perhubungan (Studi Kasus
Penyelenggaraan Terminal Balaraja). Untirta Serang
RIWAYAT HIDUP
Nama : Herdandi
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tempat Tanggal Lahir : Legundi, 20 Januari 1993
Agama : Islam
Alamat : Jl. H. Leman Pintu Air Link. Kagungan Kelurahan Gerem
Kecamatan Grogol Kota Cilegon, Banten 42438
Email : [email protected]
Pendidikan Formal :
1999-2005 : SD Negeri 2 Legundi
2005-2008 : MTs Al Munawwaroh
2008-2011 : MAN Pulomerak
2011-2015 : Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Pengalaman Organisasi:
2012-2013 : Ketua Komisi Legislasi DPM FISIP UNTIRTA
2012-2103 : Bendahara Umum HMI Komisariat Pertanian-FISIP
2013-2014 : Wakil Ketua 1 DPM FISIP UNTIRTA