Abses Peritonsiler THT

download Abses Peritonsiler THT

of 23

Transcript of Abses Peritonsiler THT

BAB 1PENDAHULUAN

1.1. PENDAHULUANAbses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem imunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsil. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun.1Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Gejala dan tanda klinik dapat berupa nyeri dan pembengkakan. Abses peritonsil (Quinsy) merupakan salah satu dari Abses leher dalam dimana selain itu abses leher dalam dapat juga abses retrofaring, abses parafaring, abses submandibula dan angina ludovici (Ludwig Angina) . 6Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsil. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior.1Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri penginfeksi tenggorokan kesalah satu ruangan areolar yang longgar disekitar faring menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsul tonsil tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring.1Abses peritonsiler merupakan penyakit infeksi yang paling sering ditemukan pada kepala dan leher yang terjadi pada orang dewasa. Infeksi ini dimulai dengan adanya infeksi superficial dan berlangsung menjadi selulitis tonsiler. Suatu abses peritonsiler merupakan bentuk yang paling berat. Diagnosis yang lebih cepat dari abses ini memberikan kesempatan untuk melakukan penanganan dengan cepat sebelum abses menyebar ke struktur anatomi sekitarnya.1Abses peritonsiler merupakan suatu akumulasi pus yang terlokalisasi pada jaringan peritonsil yang diakibatkan oleh tonsillitis yang supuratif. Penjelasan lainnya menyatakan bahwa abses peritonsiler merupakan suatu bentuk abses yang berkumpul pada glandula saliva pada fossa supratonsiler, yang dikenal dengan kelenjar Weber.2

BAB 2PEMBAHASAN

2.1. ANATOMI TONSILTonsila palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fossa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior dan pilar posterior . Tonsil berbentuk oval dengan panjang 20 25 mm, dengan lebar 15- 20 mm, dimana masing masing tonsil mempunyai 8 20 kripta yang terdiri dari connective tissue seperti jaringan limfoid dan berisi sel limfoid . Tonsila palatina kaya akan pembuluh darah yang berasal dari cabang arteri karotis eksterna. 1

Gambar 2. Anatomi tonsil 3Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting dari cincin waldeyer. Palatoglosus mempunyai origo seperti kipas dipermukaan oral palatum mole dan berakhir pada sisi lateral lidah. Palatofaringeus merupakan otot yang tersusun vertical dan di atas melekat pada palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak. Otot ini meluas ke bawah sampai ke dinding atas esophagus. Otot ini lebih penting daripada palatoglosus dan harus diperhatikan pada operasi tonsil agar tidak melukai otot ini. Kedua pilar bertemu diatas untuk bergabung dengan palatum mole. Di inferior akan berpisah dan memasuki jaringan pada dasar lidah dan leteral dinding faring. 1,4Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsila palatina adalah:7 Anterior : arcus palatoglossus Posterior : arcus palatopharyngeus Superior : palatum mole Inferior : 1/3 posterior lidah Medial : ruang orofaring Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior oleh jaringan areolar longgar. A. carotis interna terletak 2,5 cm di belakang dan lateral tonsila.Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas kedalam jaringan tonsil. Di dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan.1,4 Tonsil tidak mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong di atasnya dikenal sebagai fossa supratonsilaris. Bagian luar tonsil terikat longgar pada muskulus konstriktor faring superior, sehingga tertekan setiap kali makan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi. 1,4Walaupun tonsil terletak di orofaring karena perkembangan yang berlebih, tonsil dapat meluas ke arah nasofaring sehingga dapat menimbulkan insufisiensi velofaring atau obstruksi hidung walau jarang ditemukan. Arah perkembangan tonsil tersering adalah ke arah hipofaring, sehingga sering menyebabkan terjaganya anak saat tidur karena gangguan pada jalan nafas. Secara mikroskopik mengandung 3 unsur utama yaitu :1) Jaringan ikat/trabekula sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf dan limfa.2) Folikel germinativum dan sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda.3) Jaringan interfolikuler yang terdiri dari jaringan limfoid dalam berbagai stadium.Tonsil mendapat darah dari a. palatine minor, a. palatine asendens, cabang tonsil a. maksila eksterna, a. faring asendens dan a. lingualis dorsal. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau Krista duktus tiroglosus.1,4Arteri karotis interna berada pada kira-kira 2 cm posterolateral dari aspek dalam tonsil; dengan demikian diperlukan ketelitian agar tetap berada pada bidang pembedahan/pemotongan yang tepat untuk menghindari luka pada lokasi pembuluh darah. Aliran utama limfa dari tonsil menuju superior deep cervical and jugular lymph nodes; Penyakit peradangan pada tonsil merupakan faktor signifikan dalam perkembangan adenitis atau abses servikal pada anak. Inervasi sensoris tonsil berasal dari n. glosofaringeal dan beberapa cabang-cabang n. palatina melalui ganglion sphenopalatina.7Inervasi tonsil bagian atas berasal dari serabut saraf v melalui ganglion sphenopalatina dan bagian bawah dari saraf glossofaringeus (N. IX). Pemotongan pada n. IX menyebabkan anastesia pada semua bagian tonsil.7

2.2 FUNGSI TONSILTonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2 % dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-57%:15-30%. Pada tonsil terdapat system imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membrane), makrofag, sel dendrite dan APCs (antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis immunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG. 1Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik. Jika tonsil tidak mampu melindungi tubuh, maka akan timbul inflamasi dan akhirnya terjadi infeksi yaitu tonsilitis (tonsillolith). Aktivitas imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 10 tahun. 4

2.3. ABSES PERITONSILER2.3.1. DEFINISIAbses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher dalam. Gabungan dari bakteri aerobik dan anaerobik sering ditemukan di daerah peritonsilar yang diduga sebagai penyebab abses. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior. Abses Peritonsil (PTA) merupakan kumpulan pus (nanah) yang terlokalisir atau terbatas pada jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis. 1,2Abses peritonsil merupakan infeksi akut atau abses yang berlokasi di spatium peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat di antara tonsil dengan m. kontriktor superior biasanya unilateral dan didahului oleh infeksi tonsilofaringitis akut 5-7 hari sebelumnya.1,3

2.3.2. EPIDEMIOLOGIAbses peritonsiler sering terjadi pada usia 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali terdapat penurunan system imun, tetapi infeksi dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Banyak eviden yang menunjukkan bahwa tonsillitis kronik atau percobaan multiple menggunakan antibiotic oral pada tonsillitis akut mungkin menjadi faktor predisposisi pada pasien untuk akhirnya menjadi abses peritonsiler.1 Insidensi abses peritonsiter di Amerika Serikat sekitar 30kasus per 100.000 orang per tahun, dan menunjukkan sekitar 45.000 kasus baru setiap tahun.2

2.3. 3. ETIOLOGIBanyak mikroorganisme yang dapat menyebabkan tonsillitis akut maupun kronik. Yang paling umum, bakteri gram positif aerobic maupun anearobik sering diidentifikasi dari hasil pengkulturan. Hasil kultur dari bakteri yang menginfeksi pasien paling sering berasal dari Streptococcus B-Hemoliticus grup A. Yang paling umum berikutnya adalah staphylococcus, penumococcus, dan haemophilus. Dan mikroorganisme sisanya yang bisa ditemukan dalam kultur termasuk lactobacillus, spesies actinomyces, micrococcus, spesies neisseria, dipteri, spesies bakteroides.

Tabel 1 Mikroorganisme Tersering pada Hasil Kultur Tonsil Dan AdenoidAerobicAnaerobicVirusLain-lain

Group A beta-hemolytic streptococci (GABHS)Groups B, C, F, streptococcus Haemophilus influenza (type b and nontypeable)Streptococcus pneumoniae

Streptococcus epidermidisMoraxella catarrhalis

Staphylococcus aureus

Hemophilus parainfluenza

Neisseria sp.Mycobacteria sp.Lactobacillus sp.Diphtheroids sp.Eikenella corrodensPseudomonas aeruginosaEscherichia coliHelicobacter pyloriChlamydia pneumoniaFusobacteriumPeptostreptococcusPrevotellaBacteroides sp.Peptococcus sp.Peptostreptococcus sp.Actinomycosis sp.Microaerophilic streptococciVeillonella parvulaBifidobacterium adolescencesEubacterium spLactobacillus sp.Fusobacterium sp.Bacteroides sp.Porphyromonas asaccharolyticaPrevotella sp.Epstein-BarrAdenovirusInfluenza A and BHerpes simplexRespiratory syncytialParainfluenzaMycobacterium (atypical nontuberculous)Candida albicans

2.3.4. PATOFISIOLOGIPatofisiologi abses peritonsiler masih belum diketahui. Teori yang paling dapat diterima adalah adanya episode yang progresif yang dimulai pada tonsillitis yang eksudatif hingga perotonsilitis sehingga membentuk abses, Perluasan dari proses inflamasi mungkin terjadi pada penderita yang diobat maupun yang tidak, Abses peritonsiler juga sudah didokumentasikan muncul tanpa diawali dengan adanya tonsillitis kronis atau rekuren. Suatu abses peritonsiler juga dapat terjadi disebabkan oleh karena adanya virus Epstein-Barr.Teori lain merujuk pada abses peritonsiler akibat gangguan pada glandula Weber. Glandula saliva minor ini ditemukan pada ruang peritonsiler dan diduga membantu membersihkan debris pada tonsil. Jika terdapat obstruksi akibat jaringan parut dari adanya infeksi, nekrosis jaringan, dan abses, mungkin bisa mengarah ke adanya abses peritonsiler.2

ImunologyTonsil dan adenoid adalah organ imunologis di bagian atas dari saluran aerodigestive. Pada mikroanatomi dijelaskan sebelumnya bahwa organ ini mengatur fungsi kekebalan lokal sebagaimana surveilans untuk pengembangan sistem pertahanan imunologi tubuh. Tonsil dan adenoid adalah organ yang unik sepanjang keterlibatannya pada kedua sistem imun baik imunitas lokal dan dalam survailans sistem kekebalan. Stimulasi antigenik akut dan kronis dari bakteri, virus, makanan, dan iritasi lingkungan di pada tonsil dan adenoid dapat menyebabkan produksi antibody lokal dan sistemik, pergeseran kompartemen selular dari perbandingan sel B dan sel T, dan peningkatan tingkat imunoglobulin serum dan lokal, yang akan menjadi normal setelah tonsilektomi dan adenoidektomi. Kontras dari kelenjar getah bening, tonsil dan adenoid tidak memiliki limfatik aferen. Oleh karena itu, epitel khasnya memegang peranan penting dalam presentasi dan pemprosesan antigen. Ini melibatkan respon sel T dan sel B, termasuk produksi imunoglobulin, perluasan kumpulan sel memori, dan produksi imunomodulator lokal. Adenoid juga merupakan target dari rangsang alergi yang menyebabkan pembesaran.6

2.3.5. GEJALA KLINIS Selain gejala dan tanda tonsillitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeri menelan yang hebat), biasanya pada posisi yang sama dan juga nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia), dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibular dengan nyeri tekan. Pasien juga sering datang dengan demam dan rasa penuh yang asimetris pada tenggorokan. Bersamaan dengan halitosis (bau nafas tidak sedap), odynophagia (nyeri menelan), dysphagia (sulit menelan), serta suara seperti hot potato-sounding.

Gambar 4. Pasien dengan abses peritonsilar kanan 2.3.6. PATOLOGIPatofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis eksudatif pertama menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang sebenarnya (frank abscess formation).Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang.Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral.Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.Selain itu, PTA terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis kronis atau berulang (recurrent) sebelumnya. PTA dapat juga merupakan suatu gambaran (presentation) dari infeksi virus Epstein-Barr (yaitu: mononucleosis).2.3.7. PEMERIKSAAN PENUNJANGPTA biasanya unilateral dan terletak di pole superior dari tonsil yang terkena, di fossa supratonsillar. Mukosa di lipatan supratonsillar tampak pucat dan bahkan seperti bintil bintil kecil.Pada penderita PTA perlu dilakukan pemeriksaan3: 1. Hitung darah lengkap (complete blood count)Pengukuran kadar elektrolit (electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures). Karena pasien dengan abses peritonsil seringkali dalam keadaan sepsis dan menunjukkan tingkat dehidrasi yang bervariasi akibat tidak tercukupinya asupan makanan.2. Tes Monospot (antibodi heterophile)Perlu dilakukan pada pasien dengan tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly. 3. Throat culture atau throat swab and culture Diperlukan untuk identifikasi organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik. 4. Plain radiographsPandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views) dari nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal. 5. Computerized tomography (CT scan)Biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan peripheral rim enhancement. Gambaran lainnya termasuk pembesaran asimetrik tonsil dan fossa sekitarnya.6. UltrasoundContohnya: intraoral ultrasonography merupakan teknik pencitraan yang simpel dan non-invasif, dapat membedakan selulitis dan abses.

2.3.8. DIAGNOSIS Diagnosis Abses Peritonsilar sering dibuat berdasarkan anamnesis riwayat dan pemeriksaan Fisis. Pasien sering datang dengan celulitis peritonsilar yang berpotensial menjadi abses. Diagnosis untuk abses peritonsilar adalah dengan didapatkannya pus pada needle aspiration. Tes radiologi juga dapat membantu untuk mengkonfirmasi diagnosis. Selain itu, transcutaneus atau USG intraoral juga dapat membantu dalam mengidentifikasi sebuah abses serta dapat membedakan abses peritonsilar dari celulitis peritonsilar. CT scan dan MRI dapat digunakan apabila penyebaran infeksi sudah menjangkau ruang peritonsilar atau komplikasi yang melibatkan daerah lateral dari ruang leher.

Area AbsesUvulaTonsil KananGambar 5. Gambaran CT scan Abses Peritonsilar kanan

2.3.9. DIAGNOSIS BANDINGBeberapa diagnosis banding dari abses peritonselar adalah limfoma, selulitis peritonsilar, dan abses retrofaring atau retromolar.1. Tonsilar Neoplasma (Limfoma)Hipertropy tonsil asimetrik adalah sebuah temuan klinis yang menyebabkan dokter harus memasukkan neoplasma dalam diferensial diagnosis. Limfoma dan squamos cell carcinoma adalah jenis neoplasma tonsil primer yang paling sering.3 Lymphoma adalah sejenis kanker yang melibatkan sel-sel dari sistem imun yang disebut lymphosit. Sama seperti kanker yang mewakili banyak jenis penyakit, lymphoma mewakili banyak jenis kanker yang berasal dari lymphosit sekitar 35 subtipe yang berbeda.10 Tumor ganas lainnya seperti melanoma carcinoma sel renal carcinoma paru, ca. Mammae, dan ca. Colon dilaporkan dapat bermetastase ke tonsil. Tumor jinak tonsil yang jarang timbul seperti lipoma, fibroma, dan squamosa.32. Abses RetrofaringPenyakit ini biasanya ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa, masing- masing 2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfa dari hidung , sinus paranasal, nasofaring, tuba eustachius dan telinga tengah. Gejala utamanya ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya unilateral. Mukasa terlihat bengkak dan hiperemis8.3. Selulitis PeritonsillarKadang-kadang, infeksi tonsila berlanjut menjadi selulitis difusa dari daerah tonsila meluas sampai palatum mole. Kelainan ini dapat terjadi cepat, dengan awitan awal dari tonsilitis, atau akhir dari perjalanan penyakit akut. Hal ini dapat teradi walaupun diberikan penisilin. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda. Gejalanya pada kasus yang agak berat, biasanya terdapat disfagia yang nyata, nyeri alih ke telinga pada sisi yang terkena, salivasi yang meningkat, khususnya trismus. Pembengkakan mengganggu artikulasi dan, dan jika nyata, bicara menjadi sulit. Demam sekitar 1000F, meskipun adakalanya mungkin lebih tinggi.

2.3.10. PENATALAKSAAN1. MedikamentosaPasien yang dehidrasi diberi cairan intravena. Antibiotika sebaiknya diberikan sesuai dengan hasil kultur dan diberikan secara iv karena efektivitasnya lebih baik daripada peroral. Pilihan terbaik adalah Cephalexin atau golongan cephalosporin (dengan atau tanpa metronidazole). Alternative terapi lainnya adalah penisilin 600.000 1.200.000 unit, Cefuroxime atau cefpodoxime (dengan atau tanpa metrondazole), Clindamicin 2-3 x 500 mg/hari atau ampisilin 3-4 x 250 500 mg/hari, amoxilin dengan asam clavulanate 3 x 500 mg/hari. Metronidazole 3-4 x 250 500 mg/hari. Pengobatan antibiotika diberikan 7 10 hari Analgetik antipiretik paracetamol 3-4 x 250 -500 mg/hari , dan diobati kumur antiseptic. Penggunaan steroid masih controversial.Studi yang dilakukan Ozbeck dengan memberikan dexamethasone IV single dose dan antibiotika parenteral memberikan hasil yang baik dimana waktu dirawat di rumah sakit lebih singkat dan nyeri tenggorokan, demam serta trismus lebih cepat mereda dibandingkan dengan pemberian antibiotika parenteral.

2. DrainaseJika terbentuk abses, memerlukan pembedahan drainase, baik dengan dengan teknik aspirasi jarum atau dengan teknik insisi dan drainase.Teknik insisi dan drainase membutuhkan anestesi lokal. Pertama faring disemprot dengan anestesi topikal. Kemudian 2cc Xilokain dengan adrenalin 1/100.000 disuntikkan. Pisau tonsila no 12 atau no.11 dengan pelester untuk mencegah penetrasi yang dalam yang digunakan untuk membuat insisi melalui mukosa dan submukosa dengan kutub atas foss tonsillaris. Hemostat tumpul dimasukkan melalui insisi ini dan dengan lembut direntangkan. Pengisapan tonsilla sebaiknya segera dilakukan untuk mengumpulkan pus yang dikeluarkan. Pada anak yang lebih tua atau dewasa muda, dengan trismus yang berat, pembedahan drainase untuk abses peritonsilar mungkin dilakukan setelah aplikasi cairan kokain 4% pada daerah insisi dan daerah ganglion spenopalatina pada fossa nasalis. Hal ini kadang-kadang mengurangi nyeri dan trismus. Anak-anak yang lebih muda, membutuhkan anestesi umum.

TEKNIK INSISI Teknik insisi dan drainase membutuhkan anestesi lokal. Pertama faring disemprot dengan anestesi topikal. Kemudian 2 cc Xilocain dengan adrenalin 1/100,000 disuntikkan. Untuk pasien anak-anak diperlukan anestesi umum, namun perlu kehati-hatian dan pengalaman karena akan sulit melakukan intubasi pada pasien dengan abses peritonsilar. Jika pasien terlihat sangat tegang, bisa diberikan sedatif intravena. Midazolam 4 mg bisa membantu dalam menenangkan pasien. Pasien yang tidak kooperatif akan mengganggu dalam evakuasi pus dan darah sehingga pemberian sedatif ini terkadang sangat diperlukan. Meminta asisten untuk mempersiapkan lampu selain lampu kepala agar daerah yang diinsisi bisa terlihat dengan bagus. Spatula lidah bisa digunakan untuk menekan lidah agar abses peritonsilar bisa terlihat Pisau tonsila no 12 atau no 11 dengan plester untuk mencegah penetrasi yang dalam. Digunakan untuk membuat insisi melalui mukosa dan submukosa dekat kutub atas fosa tonsilaris. Tempat insisi ialah didaerah paling menonjol dan lunak atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit. Jangan melakukan insisi lebih dari 1,5 cm di lateral dan posterior tonsil karena terdapat arteri karotis interna. Hemostat tumpul dimasukkan melalui insisi ini dan dengan lembut direntangkan. Pengisapan tonsila sebaiknya segera disediakan untuk mengumpulkan pus yang dikeluarkan. Pada anak yang lebih tua atau dewasa muda dengan trismus yang berat, pembedahan drainase untuk abses peritonsiler mungkin dilakukan setelah aplikasi cairan kokain 4% pada daerah insisi dan pada ganglion sfenopalatina pada fosa nasalis. Hal ini kadang-kadang mengurangi nyeri dan trismus.

3. TonsilektomiTonsilektomi merupakan satu dari prosedur pembedahan tertua yang masih dilakukan. Tonsilektomi biasanya dilakukan pada dewasa muda yang menderita episode ulangan tonsilitis, selulitis peritonsilaris, atau abses peritonsilar.11Indikasi absolut untuk tonsilektomi adalah tombulnya kor pulmonal karena obstruksi jalan nafas yang kronik, hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apneu waktu tidur, hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat badan penyerta, biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma), dan abses peritonsilaris berulang atua abses yang meluas pada jaringan sekitarnya.11Indikasi relatif adalah seluruh indikasi lain untuk tonsilektomi. Indikasi yang paling sering adalah episode berulang dari infeksi Streptococcus B Hemolitikus grup A. Biakan tenggorokan standar tidak selalu menunjukkan organisme penyebab dari episode faringitis yang sekarang. Di samping indikasi-indikasi absolut, indikasi tonsilektomi yang paling sering diterima pada anak-anak adalah serangan tonsilitis berulang yang tercatat, hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional dan menetap, riwayat demam reumatik.

Indikasi Tonsilektomi Indikasi Absolut a) Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner b) Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam d) Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi

Indikasi Relatif a) Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat b) Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis c) Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik -laktamase resisten d) Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai merupakan suatu keganasan

Gambar 3. Tonsilektomi

2.3.11. PENCEGAHANSegera melakukan pengobatan terhadap tosilitis yang diderita, terutama tonsilitis bakteria. Pengobatan yang cepat dan menyeluruh dapat mencegah terbentuknya abses.

2.3.12. KOMPLIKASIKomplikasi yang mungkin terjadi ialah :1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahan aspirasi paru, atau piema.2. Perjalanan infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis.3. Bila terjadi perjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.4. Obstruksi jalan Napas5. Pneumonitis Aspirasi atau abses paru secondary hingga ruptur abses peritonsillar.

2.3.13. PROGNOSISTingkat Rekurensi sangat sedikit ditemukan sekitar 9-22%.13 Kebanyakan pasien yang dirawat dengan antibiotik dan drainase yang adekuat pada abses mereka dapat sembuh dalam beberapa hari. Dalam beberapa kasus, pasien yang datang dengan abses, dibutuhkan tindakan tonsilektomy.2

BAB 3PENUTUPAbses peritonsil merupakan infeksi akut atau abses yang berlokasi di spatium peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat di antara tonsil dengan m. kontriktor superior, biasanya unilateral dan didahului oleh infeksi tonsilofaringitis akut 5-7 hari sebelumnya. Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium,dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobic.Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain panas sub febris, disfagia dan odinofagia yang menyolok dan spontan, hot potato voice, mengunyah terasa sakit karena m. masseter menekan tonsil yang meradang, nyeri telinga (otalgia) ipsilateral, foetor ex orae, perubahan suara karena hipersalivasi dan banyak ludah yang menumpuk di faring, rinolalia aperta karena udem palatum molle (udem dapat terjadi karena infeksi menjalar ke radix lingua dan epiglotisatau disebut udem perifokalis), trismus (terbatasnya kemampuan untuk membuka rongga mulut) yang bervariasi, tergantung derajat keparahan dan progresivitas penyakit, trismus menandakan adanya inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna, sehingga menimbulkan spasme muskulus tersebut. Akibat limfadenopati dan inflamasi otot, pasien sering mengeluhkan nyeri leher dan terbatasnya gerakan leher (torticolis). Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring sampai dehidrasi dan sepsis. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum oral terdapat eritema, asimetri palatum mole, eksudasi tonsil, dan pergeseran uvula kontralateral. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan antiseptik serta kompres dingin pada leher.Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Antibiotik yang diberikan ialah penisilin atau klindamisin. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Steyer, Terrence. Abscess Peritonsillar: Diagnosis and Treatment. Available from: http://www.aafp.org/afp/2002/0101/p93.html2. Gosselin, Benoit. Pertonsillar Abscess. [online]. February 2010. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/194863-overview#a01023. Lalwani, Anil. 2007. Current Diagnosis & Treatment: Otolaryngology Head and Neck Surgery. New York: Mc Graw Hill.4. Galioto N.J. Peritonsillar Abscess, Am Fam Phy 2008 Volume 77 ; 199-2025. Putz, Renate. 2007. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia Edisi22. Jakarta: EGC.6. Snow, James B., Ballenger John J. 2003. Ballengers Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi 16. Spain: BC Decker7. Bailey, Byron J., Jonas T. 2006. Head & Neck Surgery - Otolaryngology, 4th Edition. United States. Lippincott Williams & Wilkins8. Soepardi, dkk. Abses Peritonsilar. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan, Telinga, Hidung dan Tenggorokan,Jakarta FKUI,2008.9. Bull, Tony R. Color Atlas of ENT Diagnosis. Edisi 4. London. Thieme. P 199.10. Balentine J.R., Lhympoma. [online]. October 2014. Available from: http://www.emedicinehealth.com/lymphoma/article_em.htm11. Boies, Adam. 1997. Buku Ajar Penyakit THT .Edisi 6. Jakarta: EGC. P333-345 12. Takenaka Y. Et al. Research Article: Gram Staining for the treatment of Peritonsillar Abscess. International Jornal of Otolaryngology. Hindawi 201113. Preston, M, 2008. Peritonsillar Abscess (Quinsy). Accesed: http://www.patient.co.uk/showdoc/4000096114. Schwartz S. Peritonsillar Abscess, nlm 2012. (Available: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000986.htm)

24